MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017 73 Analisis Dampak Kebijakan Fiskal dan Sasaran Akhir Kebijakan Moneter Terhadap Pertumbuhan Inklusif di Indonesia, Malaysia, Qatar dan Saudi Arabia Ira Eka Pratiwi, Rifki Ismal Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia Email: [email protected], [email protected]Abstract In the last decade, a number of Muslim countries experience an unqualified economic growth due to the rising of inequalities. The Fiscal and monetary policy become an important instrument to promote the inclusive growth that provides equal opportunity for people to enjoy growth. This study empirically investigates the impacts of fiscal policy (spending on health and education) as well as the monetary policy target (inflation and domestic credit by banks) to inclusive growth in 4 selected OIC countries (Indonesia, Malaysia, Qatar, Saudi Arabia). The results of the study with Error Correction Model shows that health expenditures positively and significantly influences the inclusive growth in Malaysia and Qatar in the short and long term, while the education expenditures positively and significantly influences the inclusive growth in Indonesia and Saudi Arabia. Inflation is only significant in the long term, while the domestic credit positively and significantly affect the inclusive growth in Saudi Arabia, Malaysia and Qatar in the long term. Based on these results, it is required to review the portion of expenditure in both sectors and the efficiency of the allocation to support inclusive growth. In addition, the strengthening of monetary policy, political stability and country security, as well as the expansion of the financial sector (financial deepening) to reach all people in getting access to finance to support the achievement of inclusive growth. Keywords: ECM; Domestic Credit; Government Spending; Inclusive Growth; Inflation PENDAHULUAN Pertumbuhan inklusif telah menjadi topik perbincangan yang sangat populer di kalangan praktisi ekonomi pembangunan dalam beberapa tahun terakhir ini. Konsep pertumbuhan inklusif menurut World Bank mengacu pada langkah (pace) dan pola (pattern) pertumbuhan ekonomi suatu negara terutama dalam menurunkan laju kemiskinan dan kesenjangan sehingga dalam jangka panjang dapat mewujudkan pertumbuhan yang berkelanjutan (OECD, 2014). Satu hal yang penting dalam mewujudkan tercapainya pertumbuhan inklusif adalah penggunaan kebijakan makroekonomi. Stabilitas moneter melalui penurunan laju inflasi secara positif dapat mempengaruhi pertumbuhan dan mengatasi kesenjangan (Groepe, 2012). Kebijakan moneter yang efektif dapat menjaga kestabilan harga-harga barang sehingga dapat menjaga daya beli masyarakat
19
Embed
File MEIS 5 - Jurnal Middle East and Islamic Studies
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017
73
Analisis Dampak Kebijakan Fiskal dan Sasaran Akhir Kebijakan Moneter Terhadap Pertumbuhan Inklusif di Indonesia, Malaysia, Qatar dan Saudi
Arabia
Ira Eka Pratiwi, Rifki Ismal Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam, Sekolah Kajian Stratejik dan Global,
In the last decade, a number of Muslim countries experience an unqualified economic growth due to the rising of inequalities. The Fiscal and monetary policy become an important instrument to promote the inclusive growth that provides equal opportunity for people to enjoy growth. This study empirically investigates the impacts of fiscal policy (spending on health and education) as well as the monetary policy target (inflation and domestic credit by banks) to inclusive growth in 4 selected OIC countries (Indonesia, Malaysia, Qatar, Saudi Arabia). The results of the study with Error Correction Model shows that health expenditures positively and significantly influences the inclusive growth in Malaysia and Qatar in the short and long term, while the education expenditures positively and significantly influences the inclusive growth in Indonesia and Saudi Arabia. Inflation is only significant in the long term, while the domestic credit positively and significantly affect the inclusive growth in Saudi Arabia, Malaysia and Qatar in the long term. Based on these results, it is required to review the portion of expenditure in both sectors and the efficiency of the allocation to support inclusive growth. In addition, the strengthening of monetary policy, political stability and country security, as well as the expansion of the financial sector (financial deepening) to reach all people in getting access to finance to support the achievement of inclusive growth. Keywords: ECM; Domestic Credit; Government Spending; Inclusive Growth; Inflation
PENDAHULUAN
Pertumbuhan inklusif telah menjadi
topik perbincangan yang sangat populer di
kalangan praktisi ekonomi pembangunan
dalam beberapa tahun terakhir ini. Konsep
pertumbuhan inklusif menurut World Bank
mengacu pada langkah (pace) dan pola
(pattern) pertumbuhan ekonomi suatu
negara terutama dalam menurunkan laju
kemiskinan dan kesenjangan sehingga
dalam jangka panjang dapat mewujudkan
pertumbuhan yang berkelanjutan (OECD,
2014). Satu hal yang penting dalam
mewujudkan tercapainya pertumbuhan
inklusif adalah penggunaan kebijakan
makroekonomi. Stabilitas moneter melalui
penurunan laju inflasi secara positif dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan mengatasi
kesenjangan (Groepe, 2012). Kebijakan
moneter yang efektif dapat menjaga
kestabilan harga-harga barang sehingga
dapat menjaga daya beli masyarakat
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017
74
terutama masyarakat miskin dan
memeratakan standar hidup rakyat.
Stabilitas harga dapat menghindari adanya
ketidakpastian ekonomi dan dapat
menyediakan lapangan kerja dalam jangka
waktu yang panjang serta menurunkan
tingkat pengangguran dan pemerataan
distribusi pendapatan.
Sementara itu, pertumbuhan inklusif
dapat tercapai melalui rancangan anggaran
pemerintah untuk menciptakan
pertumbuhan dan lapangan kerja produktif.
Kebijakan fiskal sangat berperan dalam
mempercepat pertumbuhan ekonomi serta
kesetaraan terutama melalui penggunaan
instrumen pengeluaran pemerintah.
Penggunaan dan pendistribusian
pengeluaran pemerintah yang baik dan
benar akan berimplikasi pada pencapaian
pertumbuhan inklusif (Estrada, Lee dan
Park, 2014). Negara-negara maju telah
membuktikan bahwa penggunaan kebijakan
fiskal yang efektif akan mendukung
tercapainya pemerataan dalam masyarakat
terutama dalam menurunkan kesenjangan
pendapatan. Pengalaman yang dialami oleh
Finlandia, Denmark, Norwegia dan Swedia
menunjukkan bahwa rendahnya tingkat
kesenjangan pendapatan di negara-negara
Nordik tersebut disebabkan oleh penarikan
pajak pendapatan yang progresif serta
pengeluaran publik yang efektif meliputi
pengeluaran untuk sektor sosial, kesehatan
dan pendidikan (Estrada, Angresano,
Maattanen, Mcbride, Park Sato dan
Svanborg, 2015).
Sama halnya dengan negara maju,
pemerintah di negara-negara kawasan OKI
(Organisasi Kerjasama Islam) juga
menggunakan kebijakan makroekonominya
melalui kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter untuk menciptakan pemerataan
dan menurunkan kemiskinan. Data tahun
2005-2011 yang diolah oleh SESRIC
(Social Research and Training Center for
Islamic Countries) menunjukkan bahwa
sebagian besar pengeluaran pemerintah
negara OKI dialokasikan untuk peningkatan
sumber daya manusia melalui pengeluaran
di sektor kesehatan, pendidikan,
komunikasi dan transportasi dengan total
pengeluaran sebesar 44,6% dan
pengeluaran untuk sektor sosial sebesar
28,8%. Selaras dengan hal tersebut,
beberapa negara OKI kemudian
memperlihatkan pertumbuhan ekonomi dan
kemajuan dalam hal pengurangan laju
pengangguran. Namun demikian, di sisi lain
masalah ketimpangan juga semakin tinggi
di kawasan tersebut.
Laporan Tahunan Kekayaan Global
yang dilakukan oleh Credit Suisse
menunjukkan bahwa kekayaan yang
dimiliki oleh penduduk Qatar meningkat
sejak tahun 2009 meskipun keuangan dunia
sedang menurun. Namun, seiring dengan
peningkatan kekayaan masing-masing
individunya, ketimpangan di negara
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017
75
tersebut juga semakin tidak merata karena
kekayaan tidak terdistribusi ke seluruh
lapisan masyarakat. Hal ini menyebabkan
yang kaya menjadi semakin kaya
sedangkan pendapatan penduduk kelas
menengah tidak mengalami peningkatan
(Kovessy, 2015).
Saudi Arabia yang dikenal sebagai
negara dengan cadangan minyak yang besar
serta termasuk ke dalam negara
berpenghasilan tinggi juga masih
menghadapi masalah kesenjangan. Standar
garis kemiskinan yang ditetapkan oleh
pemerintah Saudi adalah $480 per bulan,
namun masih ada sekitar 35 persen
penduduknya berpenghasilan di kurang dari
$533. Selain itu juga, masih banyak
penduduk miskin yang tinggal di daerah
kumuh (Scott, 2016). Hal ini
mengindikasikan bahwa ketimpangan
masih cukup tinggi di Saudi Arabia.
Di sisi lain, meskipun mengalami
pertumbuhan ekonomi yang sangat baik
selama 15 tahun terakhir sehingga mampu
menurunkan angka kemiskinan dan
menumbuhkan kelas menengah, namun
tingkat kesenjangan di Indonesia juga
semakin tinggi. Pertumbuhan ekonomi
yang terjadi selama satu dekade terakhir
hanya bermanfaat untuk 20% orang kaya,
sementara 80% penduduk lainnya atau
sekitar 200 juta penduduk masih mengalami
ketertinggalan. Koefisien gini, indikator
yang sering digunakan untuk mengukur
ketimpangan, menunjukkan bahwa pada
tahun 2014 koefisien gini di Indonesia
adalah 40 meningkat dari tahun 2000 yaitu
30, mengindikasikan bahwa ketimpangan
semakin tinggi di Indonesia.
Hal yang sama juga terjadi pada
Malaysia. Meskipun telah berhasil
mengurangi kemiskinan dan mengalami
pertumbuhan ekonomi yang sangat baik,
namun kesenjangan masih sangat tinggi di
Malaysia Pada tahun 2014 koefisien gini
Malaysia adalah 40 (World Bank, 2016).
Oleh karena itu, penelitian ini disusun untuk
mengetahui pengaruh kebijakan fiskal yang
meliputi pengeluaran pemerintah di sektor
kesehatan dan sektor pendidikan serta
sasaran akhir kebijakan moneter berupa
inflasi dan kredit perbankan yang dilakukan
oleh pemerintah di negara-negara kawasan
OKI yang meliputi Indonesia, Malaysia,
Saudi Arabia, dan Qatar terhadap
pertumbuhan inklusif.
Gambar 1 Kerangka Hubungan
Kebijakan Makroekonomi dengan
Pertumbuhan Inklusif
TINJAUAN TEORITIS
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017
76
Konsep Pertumbuhan Inklusif
Pertumbuhan inklusif merupakan
suatu konsep pertumbuhan ekonomi yang
saat ini tengah diperbincangkan antara
lembaga-lembaga internasional di negara
maju dan negara-negara berkembang.
Pertumbuhan inklusif menjadi semakin
penting dan diakui serta menjadi sorotan
dalam rencana kerja dan strategi dalam
lembaga-lembaga internasional untuk
mewujudkan agenda pembangunan
ekonomi global. Sejumlah institusi
pembangunan telah mengembangkan
konsep pertumbuhan inklusif yang
didefinisikan sebagai pertumbuhan yang
memungkinkan semua anggota
masyarakat untuk berpartisipasi dan
berkontribusi pada proses pertumbuhan
atas dasar kesetaraan terlepas dari keadaan
masing-masing.
Menurut Commission on Growth
and Development (2008), pertumbuhan
inklusif didefinisikan sebagai
pertumbuhan yang berkelanjutan dan
secara luas menggabungkan sejumlah
sektor ekonomi dan menggerakkan tenaga
kerja dalam jumlah yang besar. Sementara
itu, menurut World Bank, pertumbuhan
inklusif adalah pertumbuhan yang merata
(shared growth) yang menciptakan
kesetaraan kesempatan bagi semua orang
melalui penciptaan lapangan kerja,
perluasan pasar, konsumsi, produksi bagi
masyarakat miskin sehingga kondisi hidup
yang baik dapat tercapai (Ianchovichina
dan Lundstrom, 2009).
Klasen (2010) mendefinisikan
bahwa pertumbuhan ekonomi yang
inklusif adalah pertumbuhan yang meluas
antar sektor atau intensif terhadap tenaga
kerja atau suatu pertumbuhan yang
melibatkan partisipasi semua pihak tanpa
diskriminasi dan mampu melibatkan
seluruh sektor ekonomi. Dengan kata lain,
pertumbuhan inklusif dapat didefinisikan
sebagai pertumbuhan yang tidak
mendiskriminasikan dan mampu
menjamin pemerataan akses pertumbuhan
sekaligus sebagai pertumbuhan yang
mampu menurunkan kelompok yang tidak
memperoleh keuntungan dari
pertumbuhan (mengurangi disparitas antar
kelompok). Menurut IDB (Islamic
Development Bank) (2012), pertumbuhan
inklusif adalah pembangunan yang
memberikan kesempatan kepada
masyarakat dari seluruh lapisan ikut
berpartisipasi di dalamnya tanpa
mempertimbangkan gender, suku, agama,
atau status sosial-ekonominya.
Definisi pertumbuhan inklusif
dalam penelitian ini merupakan gabungan
dari beragam konsep yang telah diuraikan
sebelumnya, yaitu pertumbuhan yang
merata yang menciptakan kesempatan yang
sama untuk semua masyarakat sehingga
pertumbuhan dapat dirasakan seluruh
lapisan masyarakat, menurunkan angka
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017
77
kemiskinan, menurunkan ketimpangan
distribusi pendapatan, dan menyerap lebih
banyak tenaga kerja.
Konsep pertumbuhan inklusif ini
juga sesuai dengan tujuan ekonomi dalam
Islam yaitu mengurangi kemiskinan,
ketidakadilan serta kesenjangan. Menurut
Chapra (1979), nilai dan tujuan ekonomi
dalam Islam adalah ekonomi kemanusiaan
dalam kerangka norma moral Islam,
persaudaraan universal dan keadilan,
distribusi pendapatan secara merata,
kebebasan individual dalam konteks
kesejahteraan sosial.
“Tujuan utama syariah adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat,
melalui penjagaan terhadap iman, jiwa,
ilmu, keturunan dan kekayaan
mereka.”(Al-Gazali, al Mustafa)
“Dasar syariah adalah kebijaksanaan dan
kesejahteraan manusia di dunia dan di
akhirat. Kesejahteraan terletak pada
keadilan, kemurahan hati, kebahagiaan,
dan kebijaksanaan. Apapun yang
mengubah keadilan menjadi penindasan,
kemurahan hari menjadi kekerasan,
kesejahteraan menjadi kesengsaraan, dan
kebijaksanaan menjadi pembodohan, maka
hal tersebut tidak dibenarkan oleh Syariah.
(Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, I’lam al-
Muwaqqin)
Meskipun demikian, sesungguhnya
Islam tidak menginginkan kemakmuran dan
kemewahan terjadi di tengah-tengah
kemiskinan, kekurangan dan ketimpangan
yang meluas. Oleh karena itulah untuk
mengatasi kemiskinan dan kefakiran, Islam
memerintahkan setiap Muslim – apapun
status ekonominya – untuk bekerja sesuai
dengan kemampuan dan keterampilan yang
dimiliknya. Bekerja adalah suatu kewajiban
dalam Islam dan dinilai sebagai ibadah.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Apabila salat telah selesai dilaksanakan,
maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak agar kamu beruntung.”(Al-
Jumu’ah[62]:10).
Indikator Pertumbuhan Inklusif
Sejumlah peneliti telah merumuskan
indikator-indikator yang berguna untuk
mengukur pertumbuhan inklusif suatu
negara. McKinley (2010) menjabarkan 4
kriteria indikator yang dapat digunakan
untuk mengukur pencapaian pertumbuhan
inklusif suatu negara, yaitu: (i)
pertumbuhan, lapangan kerja produktif, dan
infrastruktur ekonomi, (ii) kemiskinan dan
kesenjangan, (iii) pengembangan manusia,
dan (iv) perlindungan sosial. Sementara itu,
Zhuang (2010) juga telah menyusun
sejumlah indikator pertumbuhan inklusif
yang terdiri dari
(i) kemiskinan dan kesenjangan, (ii)
pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja,
(iii) infrastruktur, (4) akses pendidikan dan
kesehatan, (5) akses infrastruktur dan
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017
78
layanan dasar, (6) kesetaraan dan
kesempatan gender, (7) jaring pengaman
sosial, dan (8) tata kelola pemerintahan dan
institusi yang baik (ADB, 2011)
Sementara itu, Hakimian (2013)
juga menjabarkan 8 indikator yang dapat
digunakan untuk menghitung indeks
pertumbuhan inklusif suatu negara (lihat
Tabel 1).
Pengukuran Pertumbuhan Inklusif
Ada beberapa metode yang
digunakan untuk mengukur pertumbuhan
inklusif suatu negara. Diantaranya adalah
metode yang dirumuskan oleh Ali dan Son
(2007), Kakwani dan Son (2008) serta
McKinley
Tabel 1 Indikator Pertumbuhan Inklusif
Menurut Hakimian (2013)
Sumber: Hakimian (2013)
(2010). Namun dalam penelitian ini,
pengukuran yang digunakan adalah dengan
menggunakan metode Hakimian (2013).
Dalam metode yang diformulasikan oleh
Hakimian, digunakan delapan indikator
utama untuk mengukur indeks
pertumbuhan inklusif suatu negara.
Selanjutnya, pengukuran indeks
pertumbuhan inklusif masing-masing
negara oleh Hakimian dilakukan dengan
formulasi sebagai berikut:
Dimana,IG = Pertumbuhan Inklusif
i = 1………m; negara i yang termasuk
dalam data
j = 1………n; indikator j yang digunakan
dalam data
Sji = Nilai standar indikator j yang
diperoleh dengan rumus berikut:
(2.2)
Dimana,
mj = Total negara sesuai indikator j
rj = Peringkat negara i sesuai indikator j
Kebijakan Makroekonomi dan
Pertumbuhan Inklusif
Kebijakan fiskal merupakan
instrumen yang paling penting dalam
mewujudkan pertumbuhan yang inklusif.
Menurut Estrada, Lee, dan Park (2014),
kebijakan fiskal sangat berperan dalam
mempercepat pertumbuhan ekonomi serta
kesetaraan. Di negara-negara berkembang
kawasan Asia, termasuk Indonesia dan
Malaysia, kebijakan fiskal hanya digunakan
IGi = (S1i.S1i.....Sji)1/n
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017
79
untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Padahal di kawasan lainnya, penggunaan
kebijakan fiskal selain untuk pertumbuhan
ekonomi juga untuk digunakan pemerataan.
Negara-negara di kawasan OECD dan
Amerika Latin memanfaatkan kebijakan
fiskal melalui pengeluaran pemerintah di
sektor kesehatan, pendidikan dan
perlindungan sosial untuk mencapai
pertumbuhan inklusif. Sehingga, negara-
negara di kawasan tersebut menganggarkan
pengeluaran pemerintahnya di ketiga sektor
ini dengan porsi yang sangat tinggi.
Pendidikan dan kesehatan
merupakan modal manusia (human capital)
yang paling penting, sehingga investasi
yang dilakukan terhadap keduanya dapat
meningkatkan kualitas seseorang. Sejumlah
kajian telah membuktikan bahwa investasi
terhadap modal manusia dapat mendukung
pertumbuhan ekonomi. Schultz (1961)
menyatakan bahwa modal manusia
merupakan faktor penting dalam
pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Sementara itu menurut Mushkin (1962),
investasi terhadap pendidikan dan
kesehatan dapat meningkatkan aktivitas
seseorang dalam masyarakat. Investasi
yang ditujukan untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan baik preventif maupun
kuratif sangat bermanfaat dan
meningkatkan status kesehatan masyarakat
yang kemudian akan meningkatkan
produktivitas ekonomi. Hal ini disebabkan
karena jika status kesehatan meningkat
maka akan semakin banyak orang yang
dapat bekerja. Di sisi lain, investasi untuk
pendidikan akan meningkatkan kualitas
tenaga kerja dalam bekerja. Hal ini
kemudian berdampak pada kualitas output
yang dihasilkan.
Studi empiris yang dilakukan oleh
Claus, Martinez, dan Vulovic (2012)
membuktikan bahwa pengeluaran
pemerintah yang secara signifikan efektif
dalam menurunkan kesenjangan adalah
pengeluaran pemerintah di sektor
pendidikan dan kesehatan. Sementara itu
menurut Estrada, Lee, dan Park (2014),
penggunaan dan pendistribusian
pengeluaran publik yang baik dan benar
akan berimplikasi terhadap pertumbuhan
inklusif. Secara khusus, pengeluaran
pemerintah sektor kesehatan dan
pendidikan harus diprioritaskan kepada
masyarakat miskin sehingga dapat
mempercepat inklusifitas, sebab asset
utama yang dimiliki oleh masyarakat
miskin adalah pendidikan dan kesehatan.
Jika pemerintah tidak mendukung mereka
di kedua sektor ini, maka hanya orang-
orang yang kaya saja yang dapat bersekolah
dan mendapatkan pelayanan kesehatan.
Selain itu, pengeluaran untuk sektor
infrastruktur serta transfer langsung (seperti
program bantuan langsung tunai kepada
orang miskin) juga mendukung tercapainya
pemerataan.
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017
80
Pengeluaran pemerintah di sektor
pendidikan dapat mengurangi kesenjangan
karena semua orang berkesempatan untuk
bersekolah dan mendapatkan pendidikan
termasuk orang miskin. Dengan begitu,
mereka juga dapat mengembangkan
kemampuan dan keterampilannya serta
menjadi lebih produktif dan dapat bersaing
dalam pasar tenaga kerja. Sementara itu,
pengeluaran pemerintah di sektor kesehatan
dapat meningkatkan kesehatan masyarakat
miskin sehingga mereka menjadi lebih
produktif di sekolah dan saat bekerja.
Kajian yang dilakukan oleh Gupta,
Verhoeven dan Tiongson (2001)
menemukan bahwa masyarakat miskin
cenderung lebih membutuhkan pelayanan
kesehatan dari pada masyarakat lainnya.
Dengan demikian, peningkatan pengeluaran
pemerintah di kedua sektor ini dapat
meningkatkan akses masyarakat miskin
untuk mendapatkan pendidikan dan
pelayanan kesehatan sehingga dapat
mewujudkan pemerataan.
Selain itu, kebijakan moneter juga
menjadi salah satu hal yang penting dalam
mewujudkan tercapainya pertumbuhan
inklusif. Ketidakstabilan moneter akibat
laju inflasi yang sangat tinggi dan tidak
terduga akan mengakibatkan kesenjangan
penghasilan. Davtyan (2015) menyebutkan
bahwa laju inflasi yang tinggi berdampak
buruk terutama bagi masyarakat miskin
karena pendapatan mereka tidak mampu
mengimbangi kenaikan harga. Laju inflasi
yang tinggi juga menyebabkan turunnya
suku bunga sehingga hal ini dapat
merugikan nasabah, menyebabkan orang-
orang enggan untuk menyimpan uangnya di
bank dan merugikan kreditur (pihak
pemberi pinjaman seperti perbankan)
karena nilai uang yang dikembalikan lebih
rendah dari pada saat peminjaman awal.
Namun, jika kondisi moneter stabil maka
hal ini mendorong masyarakat untuk
menyimpan uangnya di bank serta memberi
kemudahan bagi pihak bank untuk
menyalurkan dananya pada debitur. Para
pengusaha (terutama pengusaha kecil) juga
diuntungkan dengan terkendalinya situasi
moneter karena biaya produksi tidak
mengalami kenaikan. Jika pengusaha terus
berproduksi, hal ini akan meningkatkan
lapangan kerja, mendorong penyerapan
tenaga kerja sehingga mengurangi jumlah
pengangguran, meningkatkan pemerataan
pendapatan masyarakat, serta mengurangi
angka kemiskinan.
Penelitian Terdahulu
Sejumlah penelitian terkait
pertumbuhan inklusif telah banyak
dilakukan sebelumnya. Di antaranya adalah
penelitian tentang kebijakan fiskal dan
pertumbuhan inklusif yang dilakukan oleh
David dan Petri (2013). Hasil penelitiannya
membuktikan bahwa belanja pemerintah
untuk perlindungan sosial dapat
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017
81
menurunkan kemiskinan dan kesenjangan,
dimana pengalokasian pengeluaran
pemerintah di sektor sosial secara lebih baik
dan terukur akan berpengaruh signifikan
terhadap pengentasan kemiskinan.
Penelitian tentang pengaruh
kebijakan fiskal terhadap kesetaraan dan
pertumbuhan juga dilakukan oleh Hur
(2014). Hasil penelitiannya adalah bahwa
pengeluaran pemerintah di sektor
pendidikan dan kesehatan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi, namun pengaruh
pengeluaran pemerintah di sektor
pendidikan dan kesehatan terhadap
kesenjangan bersifat temporer. Sementara
itu, Hatlebakk (2008) dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa diperlukan sejumlah
kebijakan untuk pertumbuhan inklusif,
diantaranya adalah kemudahan akses untuk
pelayanan kesehatan, tersedianya
infrastruktur fisik yang mendorong
perekonomian rakyat, serta jaringan
pengaman sosial.
Ncube, Anyanwu dan Hausken
(2013) menemukan bahwa kesenjangan
pendapatan menurunkan pertumbuhan
ekonomi di negara MENA. Habito (2009)
meneliti pertumbuhan inklusif di wilayah
Asia yaitu dengan mengidentifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi pola
pertumbuhan inklusif di Asia yang ditandai
dengan menurunnya angka kemiskinan dan
pengangguran. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa investasi publik
khususnya untuk sektor sosial dan pertanian
serta kualitas pemeritntah berpengaruh
positif secara signifikan terhadap
kemiskinan dan pengangguran.
Chang dan Jaffar (2014) melakukan
penelitian kuantitatif mengenai pengaruh
kebijakan moneter terhadap pertumbuhan
inklusif dengan studi kasus di Korea. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kebijakan
tingkat suku bunga sangat berpengaruh
terhadap lapangan kerja. Kenaikan tingkat
suku bunga berpengaruh pada penurunan
lapangan kerja dan sebaliknya, penurunan
suku bunga memperluas lapangan kerja.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, data-data yang
digunakan adalah data 15 tahun terakhir
yaitu dari tahun 2000 hingga 2014. Data
untuk menghitung indeks pertumbuhan
inklusif adalah GDP perkapita, angka
kematian anak di bawah usia 5 tahun, laju
angka melek huruf (populasi 15-24 tahun),
tingkat populasi dengan sanitasi yang
memadai, efektifitas pemerintah, gini
indeks, persentasi tenaga kerja yang berusia
+15 tahun dan laju angkatan kerja wanita
dari negara-negara OKI, yaitu Indonesia,
Malaysia, Qatar dan Saudi Arabia.
Pengukuran indeks pertumbuhan inklusif
sebagai variabel terikat dilakukan dengan
menggunakan formulasi yang dirumuskan
oleh Hakimian (2013). Sementara itu,
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017
82
variabel bebas yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pengeluaran
pemerintah di sektor pendidikan dan
pengeluaran pemerintah di sektor kesehatan
yang mewakili kebijakan fiskal, serta laju
inflasi dan penyaluran kredit perbankan
yang mewakili sasaran akhir kebijakan
moneter. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari berbagai sumber diantaranya
adalah World Bank, SESRIC, dan United
Nation Development Program (UNDP).
Metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode
kuantitatif yaitu membangun model regresi
dengan metode kuadrat terkecil biasa/OLS
(ordinary least squares). Sebelum
melakukan regresi, terlebih dahulu
dilakukan uji validasi atau kestasioneran
terhadap data deret waktu (time series data)
yang digunakan melalui uji akar unit (unit
root test) atau uji Dickey Fuller/uji
Augmented Dickey Fuller. Setelah itu
dilanjutkan dengan uji kointegrasi
(Contegration Test) untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya keseimbangan atau
kestabilan jangka panjang di antara
variabel-variabel yang diamati. Sementara
itu, meskipun keseimbangan telah terjadi di
antara variabel-variabel yang diamati,
namun hasil uji kointegrasi tidak akan
berlaku setiap periode. Oleh karena itu,
untuk mengetahui kemungkinan adanya
perubahan struktural maka dilakukan juga
uji kestabilan dengan pendekatan ECM
(error correction model), dimana error
terms yang terdapat pada persamaan yang
ditaksir harus diperlakukan sebagai suatu
keseimbangan kesalahan penganggu
(equilibrium error) dalam jangka panjang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perhitungan Indeks Pertumbuhan Inklusif
Berdasarkan hasil perhitungan
indeks pertumbuhan inklusif dengan
metode pengukuran Hakimian (2013)
diketahui bahwa negara yang memiliki
indeks pertumbuhan inklusif tertinggi dari
tahun 2000 hingga 2014 adalah Qatar
sedangkan negara dengan pertumbuhan
inklusif paling rendah adalah Saudi Arabia.
Sementara itu, Malaysia memiliki
pertumbuhan inklusif yang lebih baik dari
pada Indonesia dengan menempati urutan
kedua setelah Qatar (lihat Grafik 2).
Grafik 2 Tren Indeks Pertumbuhan
Inklusif Indonesia, Malaysia, Qatar dan
Saudi Arabia
Hasil perhitungan ini juga
menunjukkan bahwa pertumbuhan inklusif
Qatar dari tahun 2000 hingga 2014 terus
mengalami peningkatan dimana indeks
pertumbuhan inklusifnya naik dari 58,661
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017
83
pada tahun 2000 menjadi 60,625 pada tahun
2014. Pertumbuhan inklusif Qatar mulai
meningkat sejak tahun 2004 namun sempat
mengalami penurunan pada tahun 2007
dimana saat itu bertepatan dengan awal
terjadinya krisis keuangan global, namun
indeks pertumbuhan inklusif Qatar kembali
mengalami peningkatan hingga tahun 2014.
Hal yang sama juga terjadi pada Saudi
Arabia dimana indeks pertumbuhan
inklusifnya meningkat sejak tahun 2000
hingga tahun 2014 yaitu dari 37,21 menjadi
42,19 meski sempat mengalami penurunan
pada tahun 2011. Sementara itu di sisi lain,
indeks pertumbuhan inklusif Malaysia
mengalami penurunan sejak tahun 2000
hingga 2014 yaitu dari 54,20 menjadi 50,21.
Begitu pula dengan Indonesia dimana
pertumbuhan inklusifnya mengalami
penurunan dari 47,12 pada tahun 2000
menjadi 44,99 di tahun 2014.
Hasil Uji Stasioneritas
Berdasarkan hasil uji stasioneritas
yang dilakukan untuk setiap variabel
meliputi pengeluaran di kesehatan,
pengeluaran di pendidikan, inflasi dan
kredit domestik perbankan dari masing-
masing negara (Indonesia, Malaysia, Qatar
dan Saudi Arabi) diketahui bahwa data
tidak stasioner pada tingkat level karena
karena nilai absolut statistik ADF
(Augmented Dickey Fuller) yang diperoleh
lebih kecil dibandingkan nilai absolut
kritis pada setiap α-nya. Namun demikian,
setelah dilakukan diferensiasi diperoleh
nilai absolut statistik ADF yang lebih
besar dari nilai absolut kritis pada setiap α-
nya, sehingga dapat disimpulkan bahwa
dari uji akar unit ini data pengeluaran
pemerintah di setor kesehatan,
pengeluaran pemerintah di sektor
pendidikan, inflasi, kredit perbankan dan
pertumbuhan inklusif di Indonesia,
Malaysia, Qatar dab Saudi Arabia tidak
stasioner pada tingkat level tetapi stasioner
pada tingkat diferensi pertama.
Hasil Uji Kointegrasi
Dalam penelitian ini uji yang
digunakan adalah uji Johansen, dimana
apabila terjadi kointegrasi maka
probabilitasnya lebih kecil dari pada 0,05
atau dapat pula dengan melihat
perbandingan antara nilai kritisnya dengan
nilai trace statistic atau max-Eigen
Statisticnya. Berdasarkan hasil
pengolahan data, maka dapat diketahui
bahwa baik pengujian variabel untuk
Indonesia, Malaysia, Qatar dan Saudi
Arabia menunjukkan adanya kointegrasi
pada tingkat signifikasi α = 5% dan nilai
kritisnya lebih kecil dari pada nilai trace
statistiknya sehingga dapat disimpulkan
bahwa diantara variabel-variabel yang
diamati memiliki hubungan jangka
panjang untuk masing-masing negara.
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017
84
Tabel 2 Hasil Uji Akar Unit Data
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Menggunakan Eviews 8
Hasil Pengujian ECM
Dalam penelitian ini, estimasi model
ECM yang digunakan adalah estimasi
model koreksi kesalahan Domowitz-
Elbadawi. Model ECM ini dikembangkan
oleh Domowitz dan Elbadawi dan
didasarkan pada kenyataan bahwa
perekonomian berada dalam kondisi
ketidakseimbangan. Model ECM ini
mengasumsikan bahwa para agen ekonomi
akan selalu menemukan bahwa apa yang
direncanakan tidak selalu sama dengan
realitanya (Widarjono, 2013).
Hasil pengujian ECM untuk
Indonesia menunjukkan bahwa nilai R2-nya
adalah 0,6945 yang berarti bahwa variabel
independen dapat menjelaskan variansi dari
variabel terikat sebanyak 69,45%
sedangkan sisanya sebesar 31% dijelaskan
oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke
dalam variabel ini. Sementara itu, untuk
pengujian Malaysia diperoleh nilai R2-nya
sebesar 0,68 sehingga dapat disimpulkan
bahwa variabel independen dapat
menjelaskan variansi variabel terikat
sebanyak 68% sedangkan sisanya
dijelaskan oleh variabel lain.
Tabel 3 Hasil Estimasi Model Dinamis
ECM Indonesia dan Malaysia
Keterangan :
* Signifikan pada tingkat kesalahan 1%
** Signifikan pada tingkat kesalahan 5%
*** Signifikan pada tingkat kesalahan 10%
Tabel 3 menunjukkan bahwa secara
statistik koefisien ECT baik untuk
Indonesia dan Malaysia signifikan karena
nilai probabilitasnya lebih kecil dari 0,05,
sehingga diasumsikan bahwa kesalahan
keseimbangan mempengaruhi pertumbuhan
inklusif atau dapat diartikan bahwa
pertumbuhan inklusif menyesuaikan
perubahan variabel bebasnya pada satu
periode sebelumnya. Selain itu, output di
1st Difference
Negara Variabel Nilai Nilai Kritis Prob.
ADF 1% 5% 10%
Indonesi Pengeluaran untuk Kesehatan -6,4234 -4,0139 -3,4369 -3,1426 0,0000*
a Pengeluaran untuk Pendidikan -5,7226 -4,0142 -3,4371 -3,1427 0,0000*
Inflasi -4,6260 -4,0142 -3,4371 -3,1427 0,0013*
Kredit Perbankan -4,2574 -4,01074 -3,4354 -3,1417 0,0041*
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017
86
koefisien jangka panjangnya adalah sebagai
berikut:
Koefisien regresi jangka panjang Qatar
= 1,3990 + 0,0029 − 0,1271
− 0,0115
+ 0,090
Koefisien regresi jangka panjang Saudi
Arabia
= 9,11859 − 0,0928 + 0,292
− 0,0091
+ 0,1074
PEMBAHASAN
Apabila dilihat dari porsinya dari
total pengeluarannya, pengeluaran
kesehatan di keempat negara masih
memiliki porsi yang sangat kecil jika
dibandingkan dengan pengeluaran di sektor
lainnya seperti pendidikan dan
infrastruktur. Mushkin (1962) dalam
kajiannya ”Health as an Investment”
menjelaskan bahwa kesehatan merupakan
modal utama yang dimiliki oleh manusia.
Oleh karena itu, investasi terhadap
kesehatan dapat meningkatkan pendapatan
tenaga kerja, merangsang pertumbuhan
ekonomi dan menurunkan kemiskinan dan
kesenjangan. Hal ini disebabkan karena
orang yang sehat memiliki energi fisik dan
mental yang lebih baik sehingga lebih
efesien dalam bekerja dan menghasilkan
tingkat produktivitas yang lebih tinggi.
Selain itu, masalah inefisiensi alokasi
anggaran tersebut dapat menjadi penyebab
masih kurangnya layanan kesehatan yang
dapat diakses oleh masyarakat di Indonesia
dan Saudi Arabia.
Meskipun pengeluaran kesehatan di
Malaysia dan Malaysia masih memiliki
porsi yang rendah dari total
pengeluarannya, namun Malaysia memiliki
anggaran kesehatan per kapita yang cukup
tinggi, sehingga menyebabkan setiap
penduduk di Malaysia dan Qatar dapat
menikmati akses layanan kesehatan dengan
mudah, terjangkau dan berkualitas. Selain
itu, menurut Ministry of Health Malaysia
(2015), Malaysia juga termasuk ke dalam
20 negara terbaik di dunia dengan sistem
pelayanan kesehatan yang efisien.
Sebaliknya, hal berbeda terjadi di Saudi
Arabia dimana anggaran kesehatan per
kapitanya juga cukup tinggi namun
berbanding terbalik dengan status
kesehatan Saudi Arabia seperti angka
kematian anak di bawah 5 tahun (Data
World Bank, 2016) dan kasus beberapa
penyakit epidemik seperti TB
(Tuberculosis) dan HIV/AIDS (Hajoj dan
Varghese, 2015 dan Mazroa,et.al 2012).
Dimana hal ini dapat disebabkan karena
inefisiensi alokasi pengeluarannya.
Sementara itu pendidikan adalah
modal manusia (human capital) dimana
dinvestasi yang dilakukan terhadap modal
tersebut dapat meningkatkan kualitas
sumber daya manusia sehingga berguna
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017
87
bagi pembangunan. Hasil estimasi
menunjukkan bahwa pengeluaran di
pendidikan berpengaruh terhadap
pertumbuhan inklusif di Indonesia dan
Saudi Arabia baik dalam jangka panjang
maupun jangka pendek. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu selain
karena tingginya porsi pengeluaran
pendidikan, pemerintah Indonesia juga
telah membuat banyak perubahan dalam
dua dekade terakhir di sektor pendidikan.
Selain itu, pengeluaran pemerintah untuk
sektor pendidikan di Indonesia lebih banyak
disalurkan untuk sekolah dasar (primary
school level) dimana pengeluaran ini lebih
bersifat pro-poor (mendukung rakyat
miskin), sehingga dapat membantu
masyarakat miskin untuk mendapatkan
akses di pendidikan tingkat dasar (World
Bank, 2007). Di Qatar dan Malaysia,
meskipun memiliki porsi yang cukup tinggi,
namun pengeluaran di pendidikan belum
dapat meningkatkan jumlah partisipasi
angkatan kerja, terutama angkatan kerja
wanita sehingga hal ini mengindikasikan
bahwa masih ada kesenjangan yang cukup
tinggi di kedua negara tersebut.
Dari sisi kebijakan moneter, hasil
estimasi menunjukkan bahwa inflasi
berpengaruh secara signifikan terhadap
pertumbuhan inklusif di Indonesia,
Malaysia, Qatar dan Saudi Arabia dalam
jangka panjang. Fischer (1993) dalam
kajiannya menemukan bahwa inflasi dapat
mengubah mekanisme harga sehingga
mempengaruhi efisiensi alokasi sumber
daya dan oleh karena itu mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi secara negatif.
Dalam penelitian ini, pengaruh inflasi
terhadap pertumbuhan inklusif di Qatar,
Saudi Arabia dan Indonesia adalah negatif
dimana apabila terjadi peningkatan inflasi
maka akan menurunkan pertumbuhan
inklusif, sebaliknya pengaruh inflasi
terhadap pertumbuhan inklusif di Malaysia
adalah positif. Hasil penelitian ini sama
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Mallik and Chowdhury (2001) yang
menemukan adanya hubungan jangka
panjang antara inflasi dan pertumbuhan
ekonomi. Laju inflasi Malaysia selama 15
tahun terakhir sejak tahun 2000 hingga
tahun 2014 cenderung lebih stabil dan tetap
terkontrol dimana sepanjang tahun 2000 –
2014 inflasi tidak pernah menembus level
7%. Studi yang dilakukan oleh Barro (1996)
menemukan bahwa inflasi memberikan
dampak negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi jika inflasi yang terjadi di atas
10%.
Dari hasil penelitian juga ditemukan
bahwa kredit domestik perbankan
berpengaruh positif secara signifikan
terhadap pertumbuhan inklusif di Malaysia,
Qatar dan Saudi Arabia dan jangka panjang,
sedangkan di Indonesia berpengaruh
negatif. Hasil ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Anand, Tulin dan
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017
88
Kumar (2014) yang menemukan bahwa
penyaluran kredit oleh perbankan secara
statistik tidak berpengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan inklusif karena
kredit cenderung lebih efektif untuk rumah
tangga masyarakat perkotaan, sehingga
dalam jangka panjang, penyaluran kredit
domestik oleh sektor perbankan di
Indonesia emakin memperlebar
kesenjangan antara masyarakat miskin dan
yang kaya. Selain itu, rendahnya tingkat
kepemilikan tabungan di lembaga keuangan
formal oleh masyarakat miskin atau
masyarakat di pedasaan nampaknya
menjadi penyebab penyaluran kredit lebih
efektif untuk masyarkat perkotaan. Hal ini
kemudian menyebabkan masyarakat miskin
kesulitan untuk mendapatkan akses
pinjaman dari bank. Di Malaysia,
nampaknya dapat disebabkan karena
keberhasilan pihak perbankan Malaysia
dalam memperluas pasar keuangannya
(financial deepening) sehingga
meningkatkan pasokan kredit melalui
tabungan domestik. Selain itu, tingkat suku
bunga Malaysia yang cederung lebih rendah
menarik perhatian debitur untuk
meningkatkan pinjamannya di sektor
perbankan, begitu halnya dengan di Qatar
dan Saudi Arabia.
SIMPULAN
Hasil estimasi menunjukkan bahwa
pengeluaran pemerintah di sektor kesehatan
berpengaruh secara positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan inklusif di Malaysia
dan Qatar baik dalam jangka panjang dan
jangka pendek. Hal ini dapat disebabkan
karena pengalokasian pengeluaran yang
dilakukan oleh pemerintah di kedua negara
tersebut dilakukan secara efisien sehingga
masyarakat dapat mendapatkan layanan
akses kesehatan dengan mudah, terjangkau
dan berkualitas, sedangkan di Indonesia dan
Saudi Arabia selain pengalokasian
anggarannya yang masih inefisien,
ketimpangan akses layanan kesehatan juga
masih terjadi antar daerah dan wilayahnya,
sehingga hanya masyarakat tertentu saja
yang dapat menikmati layanan kesehatan.
Di sisi lain, pengeluaran pemerintah di
sektor pendidikan hanya berpengaruh
secara positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan inklusif di Indonesia dan
Saudi Arabia. Investasi untuk pendidikan
akan menyebabkan peningkatan jumlah
angkatan kerja dalam bursa tenaga kerja,
meningkatkan kualitas tenaga kerja dan
menentukan upah yang didapatkan.
Sementara itu, inflasi ditemukan hanya
berpengaruh signifikan dalam jangka
panjang baik di Indonesia, Qatar, Malaysia
dan Saudi Arabia, sedangkan kredit
domestik perbankan berpengaruh secara
positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan inklusif di Saudi Arabia,
Malaysia dan Qatar dalam jangka panjang.
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017
89
Secara umum selain masih rendahnya
alokasi pengeluaran di sektor kesehatan
dibandingkan dengan sektor pendidikan,
efisiensi alokasi anggaran juga masih
menjadi permasalahan utama yang perlu
diperhatikan oleh pemerintah di masing-
masing negara. Oleh karena itu, penting
bagi pemerintah masing-masing negara
untuk meninjau ulang porsi alokasi kedua
pengeluaran ini dan meningkatkan
efisiensi alokasi anggarannya, sehingga
lebih bermanfaat. Selain itu, penguatan
kebijakan moneter melalui pengendalian
jumlah uang yang beredar, menjaga
stabilitas politik dan keamanan dalam
negeri serta gangguan eksternal yang dapat
mengganggu stabilitas moneter serta upaya
perluasan sektor keuangan (financial
deepening) untuk mencapai kesetaraan
dalam mendapatkan akses keuangan harus
dilakukan untuk mendukung pertumbuhan
yang lebih inklusif.
DAFTAR PUSTAKA Al-Hajoj, S., & Varghese, Bright. (2015).
Tuberculosis in Saudi Arabia: the journey across time. J Infect Dev Ctries 2015; 9(3):222-231.
Ali, I., &, Son, H. H. (2007). Measuring inclusive growth. Asian Development Review, vol.24, No.1. Filipina: Asian Development Bank.
Al-Mazroa, M. A., Kabbash, I. A., Felemban, S. M., Stephens, G. M., Al-Hakeem, R. F., Zumla, A. I., &, Ziad A. M. (2012). HIV case notification rates in the Kingdom of Saudi Arabia over the past becade (2000–2009). PLoS ONE 7(9): e45919.
Anand, R., Tulin, V., & Kumar, N. (2014). India: Defining and explaining inclusive growth and poverty reduction. IMF Working Paper, WP/14/63, International Monetary Fund.
Asian Development Bank. (2011). Framework of inclusive growth indicators: Key indicators for Asia and the Pacific 2011 special supplement. Filipina: Asian Development Bank.
Barro, R., J. (1996). Inflation and growth. Review May/June 1996 https://pdfs.semanticscholar.org/9c2d/b4bdfddc6abc6daac0f5e076cd414c49b811.pdf.
Chang, D., & Jaffar, J. (2014). Monetary policy towards inclusive growth: The case of Korea. Malaysia: The South East Asian Central Banks (SEACEN) Research and Training Center.
Chapra, M. U. (1979). Objectives of the Islamic economic order. London: The Islamic Foundation
Chapra, M. U. (1983). Monetary policy in an Islamic economy in Ziauddin Ahmed, Munawar Iqbal and Fahim Khan (eds), Money and Banking in Islam. Islamabad, Pakistan : Institute of Policy Studies, pp. 27 – 46.
Claus, I., Vazquez, J.M., & Vulovic, V. (2012). Governement fiscal policies and redistributions in Asian countries. ADB Economics Working Paper Series, No.310 October 2012. Filipina: Asian Development Bank.
Commission on Growth and Development. (2008). The growth report strategies for sustained growth and inclusive development. Washington, DC: Author(s).
David, A. C., & Petri, M. (2013). Inclusive growth and the incidence of fiscal policy in Mauritius – much progress, but more could be done. International Monetary Fund Working Paper WP/13/16. Washington, DC: IMF.
Davtyan, K. (2015). Income inequality and monetary policy. November 15, 2015.
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017
90
University of Barcelona, AQR Research Group-IREA, Department of Econometric.
Estrada, G., Angresano, J., Lind, J. T., Maattanen, N., Mcbride, W., Park D. H., Sato, M., & Svanborg-S. K. (2015). Fiscal policy and equity in advanced economices: Lesson for Asia. ERIA Discussion Paper Series, ERIA-DP-2015-04: 1 – 27.
Estrada, G., Lee, S. H., & Park, D. H. (2014). Fiscal policy for inclusive growth: An overview. ADB Economics Working Paper Series No.424, December 2014. Filipina: Asian Development Bank.
Fischer, S., (1993). The role of macroeconomic factors in growth. Journal of Monetary Economics 32 (3), 485-511. http://www.nber.org/papers/w4565
Groepe, F. (2012). Monetary policy and inclusive growth. 3rd UBS Economics Conference, Cape Town.
Gupta, S., Verhoeven, M., & Tiongson, E. Public spending on health care and the poor. International of Monetary Fund Working paper, WP/01/127, 1-38.
Habito, C. (2009). Patterns of inclusive growth in developing Asia: Insight from an enhanced growth – Poverty Elasticity Analysis. ADBI Working Paper Series 145. Tokyo: ADBI Institute.
Hakimian, H., Said, M., Shenas, M. K., El-Mahdi, Alia, A. R., & Rashed, A. (2013). Inclusive growth in MENA: Employment and poverty dimensions in a comparative context. Femise Research Working Paper ,No. FEM 35 – 16. London: University of London.
Hatlebakk, M. (2008). Inclusive growth in Nepal. Norwegian Embassy Research, Bergen, Norwegia.
Hur, S. K. (2014). Government spending and inclusive growth in developoing Asia. ADB Economics Working Paper Series, No.415, November 2014. Filipina: Asian Development Bank.
Ianchovichina, E., & Lundstrom, S. (2009). What is inclusive growth? Washington, DC: World Bank. http://sitesource.worldbank.org
Islamic Development Bank. (2012). Fostering Inclusive Development in IDB Member Countries. Issues Paper, 37th Annual Meeting of the IDB Board of Governors, Khartoum, Sudan.
Kakwani, N., & Hwa S. H. (2008). Poverty equivalent growth rate. Review of Income and Wealth, vol.54, Issue 4, December 2008. Filipina: Asian Development Bank. http://ssrn.com/abstract=1299953
Klasen, S. (2010). Measuring and monitoring inclusive growth: Multiple definitions, open questions and some constructive proposals. ADB Sustainable Development Working Paper Series, No.12, June 2010. Filipina: Asian Development Bank.
Kovessy, P. (2015). Report: Qatar’s rich getting richer, but wealth of middle class stagnates. 19 November 2016. http://dohanews.co/report-qatars-rich-getting-richer-but-wealth-of-middle-class-stagnates/
Lucas, S. (2016). Saudi Arabian feature: poverty in a wealthy land. 19 Novermber 2016. http://eaworldview.com/2016/03/saudi-arabia-feature-poverty-wealthy-land/
Mallik, G., & Chowdhury, A. (2001). Inflation and economic growth: evidence from four South Asian countries. Asia-Pacific Development Journal, Vol. 8, No. 1, June 2001.
McKinley, T. (2010). Inclusive growth criteria and indicators: An inclusive growth index for diagnosis of country progress. ADB Sustainable Development Working Paper Series, No.14. Filipina: Asian Development Bank.
Ministry Malaysia National Health Accounts Unit Planning Division (2015). Malaysia national health accounts health expenditure report 1997-2013. 31 Oktober 2016.
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari –Juni 2017
91
Mushkin, S. (1962). Health as an investment. Journal of Political Economy, 70 (5), Part 2: Investment in Human Beings (Oct., 1962), pp. 129-157. The University of Chicago Press Journal, http://www.jstor.org/stable/1829109, diakses 11 Desember 2016.
Ncube, M., Anyanwu, J., & Hausken, K. (2013). Inequality, economic growth, and poverty in the Middle East and North Africa (MENA). African Development Bank Group Working Paper Series, No.195, December 2013. Tunis: African Development Bank Group.
OECD. (2014). Report on the OECD framework for inclusive growth. 22 November 2016. www.oecd.org.
Organization of Islamic Cooperation Statistical Economic and Social Research and Training Centre For Islamic Countries (SESRIC). (2015). OIC economic Outlook: promoting investment for development. Ankara, Turki: SESRIC.
Schultz, T.W. (1961). Investment in human capital. American Economic Review, 51, 1 – 17.
UIS Statistic-Unesco. (2016). Adult literacy rate. http://data.uis.unesco.org/. Unesco Institute for Statistic. 28 September 2016.
Widarjono, A. (2013). Ekonometrika: Pengantar & aplikasinya disertai panduan eviews (Edisi Keempat). Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
World Bank Poverty Reduction and Economic Management Unit East Asia and Pacific Region. (2007). Investing in Indonesia’s education, allocation, equity and efficiency of public expenditures. 1 November 2016.
World Bank. (2016). Data. The World Bank. 28 September 2016, http://data.worldbank.org/
World Bank. Indonesia brief. 27 November, 2016, http://www.worldbank.org/en/country/malaysia/overview
World Bank. Malaysia Overview. 27 November, 2016, http://siteresources.worldbank.org.