Figur Wayang
Raden Samba dalam penggambaran wayang kulit buatan Kaligesing
Purworejo,koleksi museum Tembi Rumah Budaya (foto:
Sartono)SambaRaden Samba dan Gunadewa adalah saudara kandung, lahir
dari rahim Dewi Jembawati yang berpasangan dengan Prabu Kresna,
Raja Dwarawati. Walupun keduanya sama-sama tampan, Gunadewa
mempunyai ekor panjang dan kulinya penuh bulu seperti layaknya
seekor kera. Keadaan Gunadewa yang demikian tersebut dapat
dimaklumi karena Dewi Jembawati adalah anak Kapi Jembawan yang
adalah seekor kera prajurit Prabu Ramawijaya. Oleh karena keadaan
yang demikian, Prabu Kresna dan juga Dewi Jembawati lebih
menyayangi Raden Samba. Dengan perhatian dan kasih sayang yang
berlebih dari Prabu Kresna, Samba tumbuh menjadi pemuda yang kurang
mandiri dan manja. Sejarah hidup Samba tidaklah mulus, bahkan dapat
dikatakan kelam. Pasalnya ia mencintai Hagnyanawati, isteri Prabu
Setija, kakaknya sendiri lain ibu. Cinta Samba itulah yang kemudian
berujung maut. Dikarenakan tidak rela Samba memadu kasih dengan
istrinya, Prabu Setija murka, dan Samba menjadi korban. Peristiwa
tersebut dapat diibaratkan seperti kriwikan dadi grojogan.
Peristiwa yang semula kecil, dengan amat cepat menjadi besar.
Berawal dari permusuhan adik dan kakak kemudian berkembang menjadi
perang besar yang disebut dengan perang Gujalisuta, perang antara
bapak dan anak yang masing-masing melibatkan negara besar. Kisah
tersebut dalam pewayangan diberi judul Samba Sebit. Samba dibunuh
secara aniaya oleh Setija kakaknya.Semasa hidupnya Samba tinggal di
ksatriyan Paranggaruda. Dengan Hagnyanawati Samba meninggalkan anak
satu yang diberi nama Danurwenda.herjaka HS
Dewi Durgandini (1)Prabu Basuparicara atau Prabu Basupati Raja
negara Cediwiyasa yang kemudian bernama negara Wirata, adalah anak
Prabu Basukesthi atau Prabu Basukiswara. Prabu Basuparicara adalah
sosok raja yang dapat dikatakan istimewa. Keistimewaan tersebut
dikarenakan ia dapat mengetahui bahasa binatang. Oleh karenanya
Prabu Basuparicara harus pandai-pandai memanfaatkan kelebihan yang
ia miliki. Karena jika tidak, mendengar apa yang dibicarakan antara
para binatang, akan memecah konsentrasi dan membuat hidup ini tidak
nyaman. Sadar akan hal itu, sang Prabu Basuparicara berusaha untuk
mengesampingkan kelebihannya dalam hal mendengarkan pembicaraan
para binatang, untuk lebih mengutamakan perhatiannya kepada Negara
dan keluarga, terlebih kepada Dewi Girika istrinya. Namun ternyata
pengalihan perhatihan yang dipaksakan beresiko pula. Dikarenakan
terlalu mencintai istrinya, ke mana pun Prabu Basuparicara pergi,
bayangan Dewi Girika tak pernah lepas dari pikirannya. Demikian
juga ketika Prabu Basuparicara berburu di hutan, kecantikan wajah
dan kemolekan tubuh istrinya tak pernah bisa lepas dari pikirannya.
Semakin besar niatnya untuk melepaskan bayang-bayang Dewi Girika di
dalam pikirannya, semakin besar pula kerinduan Prabu Basuparicara
kepada istrinya. Kerinduan puncak dari seorang suami kepada istri,
berubah menjadi bongkahan nafsu yang tumpah dari kelelakiannya.
Akibatnya, air kama Prabu Basuparicara jatuh di atas dedaunan pohon
talas yang banyak tumbuh di pinggir hutan. Di mata Prabu
Basuparicara kama yang jatuh itu adalah wujud kerinduannya kepada
istri yang amat dicintanya, oleh karenanya Sang Prabu ingin
menyampaikan kerinduan itu kepada Dewi Girika. Dengan kelebihannya
atas bahasa binatang, Prabu Basuparicara memanggil burung Gagak
untuk mengantarkan air kama yang sudah dibungkus dengan daun talas
kepada istrinya. Maka terbanglah burung Gagak tersebut membawa
kerinduan Prabu Basuparicara kepada Dewi Girika. Di tengah
perjalanan, burung Gagak tersebut diterjang oleh burung Elang, maka
jatuhlah kama yang dibawa dengan paruhnya ke sungai Gangga.Di
sungai Gangga, hiduplah seekor ikan besar yang lain dari pada
ikan-ikan yang ada di sungai tersebut. Ikan istimewa tersebut
adalah jelmaan dari bidadari Adrika yang puluhan tahun lalu dikutuk
oleh Dewa. Ia dapat pulih kembali menjadi bidadari, jika ia dapat
melahirkan anak manusia. Dalam masa penantian yang tak kunjung
selesai, tiba-tiba dihadapan mulutnya jatuhlah segumpal kama yang
dibungkus dengan daun talas. Dengan naluri yang ada, ikan kutukan
itu menyambar daun talas. Sebentar kemudian, daun talas yang berisi
kama Prabu Basuparicara tersebut berada di perut ikan.Tkeajaiban
terjadi, tak berapa lama dari peristiwa tersebut, ikan kutukan
tersebut mengandung dan melahirkan anak manusia kembar, laki-laki
dan perempuan. Seperti yang sudah dijanjikan, bersamaan dengan
lahirnya anak kembar tersebut, ikan tersebut pulih wujud semula,
menjadi bidadari Adrika. Anak kembar yang dilahirkan Bidadari
Adrika tersebut diberi nama Durgandana dan Durgandini. Sebelum naik
ke kahyangan, Durgandana dan Durgandini di percayakan kepada
Dasabala si tukang perahu, untuk diasuh dan dibesarkan. Kelak jika
sudah dewasa haturkan kedua anak tersebut kepada raja Wirata,
demikian pesan Bidadari Adrika kepada Dasabala. herjaka
HSDurgandini (2)Dasabala si tukang perahu itu mengasuh anak kembar
dampit (laki-laki dan perempuan) yang dilahirkan oleh Bidadari
Adrika dengan penuh kasih sayang. Kedua anak tersebut tumbuh
menjadi remaja yang tampan, cantik serta cerdas. Namun ada satu hal
yang memprihatinkan, yaitu keadaan Durgandini. kulitnya mbekisik
dan menebarkan bau amis yang menyengat. Oleh karenanya Durgandini
juga disebut Laraamis. Hal tersebut berkaitan erat dengan Bidadari
Adrika yang melahirkannya ketika sedang menjalani kutukan menjadi
seekor ikan. Seperti yang dipesankan bidari Adrika sebelum kembali
ke kahyangan, bahwa kelak jika si kembar dampit yaitu Durgandana
dan Durgandini sudah dewasa, hendaknya Dasabala menyerahkan kepada
raja Wirata. Dasabala tidak tahu, mengapa Durgandana dan Durgandini
harus diserahkan kepada raja Wirata yang bertahta? Namun
ketidaktahuannya tidak menjadikan Dasabala enggan ketika tiba
saatnya, si kembar yang diasuhnya selama belasan tahun harus
diserahkan kepada sang raja. Seperti yang diduga dan diragukan
sebelumnya, bahwasannya yang diterima oleh raja Wirata hanyalah
Durgandana. Sedangkan Durgandini dikembalikan kepada Dasabala, agar
dicarikan tabib untuk menyembuhkan penyakitnya. Jika nanti sudah
sembuh, bawalah kembali ke istanaSelain perasaan iba karena derita
Durgandini, Dasabala bahagia, karena masih diberi waktu untuk
mendampingi Dewi Durgandini. Kesempatan tersebut tidak
disia-siakan. Dengan kasih sayang yang tak pernah pudar, Dasabala
mengajari apa yang menjadi keahlihannya kepada Dewi Durgandini,
yaitu mencari ikan dan menjalankan perahu. Dengan ketrampilan
menjalankan perahu, Durgandini dapat membantu setiap orang yang
kesulitan untuk menyeberang sungai Yamuna. Rupanya profesi sebagai
tukang santang oleh Durgandini dijalaninya dengan tulus dan
dijadikannya sebagai laku dan permohonan agar dirinya dibebaskan
dari penyakit yang mengganggu dan memalukan.Seperti hari-hari
biasanya, pagi-pagi benar, Dewi Laraamis telah menyiapkan
perahunya. Dari kejauhan nampaklah seorang petapa muda yang berdiri
di tepi sungai Yamuna. Dihampirinya petapa itu dengan perahunya.
Sesampainya di depan Petapa muda itu, Dewi Durgandini menawarkan
jasanya dan mempersilakan petapa muda itu naik di perahunya.
Beberapa saat setelah petapa muda itu naik di perahu, mereka berdua
saling berkenalan.Aku bernama Durgandini, tetapi banyak orang
memanggilku Raraamis. dikarenakan sekujur tubuhku menebarkan bau
amis yang menyengat. ucap Durgandini, sesaat setelah orang yang
diseberangkan itu memperkenalkan diri bernama Palasara, seorang
petapa dari Saptarga di puncak Ngukiretawu. Melihat penderitaan
Durgandini, Palasara merasa iba. sebagai petapa muda yang waskita
Ia dapat membaca bahwa penuturan Durgandini tersebut merupakan
sebuah litani permohonan agar dirinya dilepaskan dari penyakit yang
sudah belasan tahun mencengkeram hidupnya. Dengan kesaktiannya,
Palasara berhasil menyembuhkan Durgandini. Dasabala bersukacita
melihat bahwa putrinya telah terbebas dari mala trimala,
sakit-penyakit yang menyiksa tubuhnya. Kini keelokan dan kecantikan
Dewi Durgandini nampak memancar dari wajah dan tubuhnya.herjaka
HSDurgandini (3)Seiring dengan proses pemulihan Dewi Durgandini
dari penyandang kutukan, untuk kembali menjadi bidadari, bersih
dari sesuker kotoran jiwa, ada perang besar yang tejadi. Perang
antara penyakit atau memala bahkan rajanya penyakit atau Rajamala
dengan Palasara. Kesembuhan Dewi Durgandini sama halnya dengan
kekalahan si Rajamala. Rajamala bersama perahu dayung yang setiap
hari menyatu dengan Dewi Durganini telah dipecahkan oleh petapa
sakti Palasara. Perahu yang pecah menjadi dua tersebut mewujud
menjadi manusia dan diberi nama Rupakenca dan Kencakarupa,
sedangkan dayung perahu berubah wujud menjadi seorang putri dengan
nama Dewi Rekatawati. Keempat perwujudan yang telah lama menjadi
beban hidup Dewi Durgandini telah dilepaskan, dan selanjutnya
diperintahkan untuk mengabdi di kerajaan Wirata.Setelah sembuh dari
penyakitknya, Dewi Durgandini memancarkan kecantikan yang luar
biasa. Jika sebelumnya, Dewi Durgandini ikut menyangga dosa ibunya
Bidadari Adrika yang dikutuk menjadi ikan, sehingga badan sekujur
kasar dan amis, kini setelah disembuhkan oleh Palasara, sang Petapa
muda, Dewi Durgandini atau Dewi Laraamis, sudah tidak amis lagi. Ia
berubah menjadi bidadari muda yang tubuhnya halus mulus dan sangat
jelita, mewarisi kecantikan ibunya yang adalah bidadari kahyangan.
Kecantikan Dewi Durgandini yang tiba-tiba memancar membuat Palasara
terpana karenanya. Pertemuannya dengan Durgandini merupakan
peristiwa istimewa yang mampu menggoncangkan hatinya. Walaupun
sejak kanak-kanak Palasara telah menjalani laku tapa, belajar
mengolah pikir serta mengendalikan rasa, ia tak kuasa menahan
goncangan asmara. Ada perasaan yang tumbuh begitu cepat dan
dahsyat. Perasaan yang mengkristal dan tertuju hanya kepada satu
wajah, satu sosok, satu hati, serta satu nama yaitu Durgandini.
Karena tidak kuasa menanggungnya, dengan kepolosan Palasara
menyatakan perasaannya kepada dewi Durgandini. Entah karena hutang
budi atau perasaan kagum atau sentuhan rasa yang lain, tetapi yang
pasti bukan karena ketampanannya, sang Dewi Durgandini mau menerima
cinta Palasara. Kedua insan muda tersebut mulai merenda benang
harapan akan masa depan yang indah dan membahagiakan. Bersamaan
dengan cinta mereka yang tumbuh, Dasabala, orang tua asuh
Durgandini ingin membawa anak angkatnya besama dengan Palasara
menghadap Prabu Basuparicara raja Wirata. Sesuai dengan janji Prabu
Basuparicara, Dewi Durgandini setelah menjadi sembuh diterima di
kraton Wirata, termasuk juga Palasara, yang mampu menyembuhkan
Durgandini dan juga perwujudan dari penyakit dan perahu dayung
Durgandini yaitu: Rajamala, Rupakenca, Kencakarupa dan Rekatawati.
Bahkan untuk selanjutnya, ketika Prabu Basuparicara mengetahui
bahwa diantara Durgandini dan Palasara ada benih cinta yang mulai
bersemi, mereka berdua di resmikan menjadi suami istri.Tak berapa
lama kemudian pasangan Palasara dan Durgandini dianugerahi seorang
anak laki-laki dan diberi nama Abiyasa. Durgandini menginginkan
agar Abiyasa kelak menjadi raja, tidak sengsara seperti dirinya.
Namun Palasara tidak demikian, ia berharap agar Abiyasa menjadi
seorang petapa atau brahmana seperti dirinya. Perbedaan pendapat
antara Dewi Durgandini dan Palasara dalam hal mendampingi dan
mengarahkan Abiyasa anaknya, tidak dapat dipersatukan. Keduanya
kukuh bertahan dengan pendapatnya masing-masing. Maka kemudian yang
terjadi adalah Palasara membawa Abiyasa ke gunung Saptarga dipuncak
Wukiretawu, meninggalkan Durgandini seorang anak bidadari yang
setahun lalu sangat dicintainya.herjaka HSDurgandini (4)Sang Dewi
Durgandini atau Dewi Setyawati memang terpaksa harus merelakan
Abiyasa anak satu-satu yang setelah tidak menyusu, dibawa oleh
Palasara suaminya ke pertapaan Saptaarga. Lebih baik berpisah
daripada harus mendampingi Palasara dan Abiyasa menjadi petapa di
gunung Saptaarga, jauh dari keraton Wirata. Baginya, hidup sebagai
petapa tidak jauh berbeda dengan hidup menderita seperti yang
pernah ia jalani sejak kecil hingga dewasa, yaitu hidup yang
dibuang, menjadi penjual jasa penyebrangan dengan perahunya di
sungai Yamuna. Maka jika saat ini ia meninggalkan keraton Wirata
untuk mengikuti Palasara sama artinya ia sengaja mengulangi
penderitaannya.Semenjak Palasara membebaskan penyakit dan
penderitaannya, Dewi Durgandini diperkenankan kembali keraton
Wirata dan menikmati fasilitas yang ada sebagai putri raja. Pada
saat itu Dewi Durgandini ingat sebuah kata-kata yang berisi
pengharapan yang senantiasa diucapkan Ki Dasabala ayah angkatnya:
Bersabarlah, ada saatnya nanti, penyakit dan segala penistaannya
dihapuskan. Dan sekarang saatnya telah tiba, semenjak ia bertemu
dan menyeberangkan Palasara. Namun jika kini ia bersama Palasara
dan Abiyasa kembali naik perahu menyebrangi sungai Gangga dan
sungai Yamuna, meninggalkan Wirata dan menuju Saptaarga, artinya ia
siap menderita kembali bersama berbagai hal yang menyakitkan. Aku
tidak siap, tidak mau menderita lagi. Aku ingin tinggal di keraton
dengan segala kemewahan dan kesenangannya.Durgandini telah
menggunakan jalan pikirannya dengan benar, bahwasannya ujung dari
sebuah penderitaan dan kesengsaraan adalah kebahagiaan dan
kemuliaan. Tidaklah mungkin setelah bahagia dan mulia dicapai, akan
kembali menderita. Kemuliaan adalah puncak dari tumpukan
kesengsaraan, di mana kesengsaraan tidak ada lagi, yang ada adalah
kemuliaan. Ajakan suami untuk meninggalkan keraton dan mengasuh
anaknya menjadi petapa dianggap menunda atau bahkan membatalkan
kesempatannya untuk merasakan kebahagiaan serta kemuliaan itu.
Sebuah pilihan telah diambil, ia telah memilih untuk tidak
meninggalkan keraton, baik dengan atau tidak bersama suami dan
anak. Hari-harinya dijalani dengan kesendiriannya. Abiyasa memang
selalu hadir dalam angannya, namun tidak sebagai petapa kecil,
melainkan sebagai calon raja di sebuah negara yang besar.Ketika
pada suatu waktu, Dewi Durgandini sedang melakukan sesuci di sungai
Gangga, ia bertemu dengan Prabu Sentanu, raja Hastinapura. Dalam
pandangan pertama itu Sentanu amat terkejut melihat pancaran wajah
Dewi Durgandini yang mirip sekali dengan bidadari Ganggawati
isterinya yang telah kembali ke kahyangan. Untuk menyakinkan bahwa
yang berada di depannya bukan Batari Ganggawati, Sentanu semakin
mendekat memperkenalkan dirinya kepada Durgandini, demikian
sebaliknya. Aku bukan Ganggawati sang Prabu, namaku Durgandini atau
Setyawati.Pertemuan dan perkenalan diantara keduanya merupakan
pertemuan bersejarah, yang nantinya akan membuat sejarah baru
kerajaan Hastinapura. Dimulai dari kerinduan Prabu Sentanu kepada
Batari Ganggawati dan rasa sepi Dewi Setyawati semenjak ditinggal
Palasara suaminya dan Abyasa anaknya, keduanya semakin dekat. Ada
kekosongan yang saling mengisi di hatinya. Walaupun wanita di
hadapannya bukan Ganggawati, kehadiran Durgandini mampu mengobati
kerinduan Sentanu kepada Ganggawati. Demikian sebaliknya, kehadiran
Sentanu mampu mengobati rasa sepi Setyawati semenjak kepergian
Palasara suaminya, dan Abiyasa anaknya ke Pertapaan
Saptaarga.Gayung pun bersambut. Keduanya mulai merenda
benang-benang harapan, harapan akan cinta-kasih yang member daya
hidup.Adakah yang memberatkan, jika pada suatu waktu aku datang ke
Wiratha untuk melamarmu?. Tidak sang Prabu, aku berharap dan
bersyukur jika sang Prabu sudi meminangku. Namun sebelumnya saya
mohon maaf. Setyawati berhenti sejenak untuk menenangkan hati.Ada
satu permohonan yang mungkin sangat memberatkan hati sang Prabu.
Permintaan apa, Setyawati? Katakanlah!Aku takut, jika hal ini aku
katakana, sang prabu akan mengurungkan niatnya melamar aku.Tidak,
Setyawati, apa pun yang akan kau katakan aku tetap akan
meminangmu.Sungguhkah itu Sang Prabu?.Prabu Sentanu mengangguk
perlahan.Sang Prabu Sentanu, jika kelak Sang Hyang Widdi Wasa
mengijinkan kita untuk bersatu dan melahirkan anak laki-laki, aku
berharap agar anak kita menjadi raja di Hastinapura Herjaka HS
SetaRaden Seta adalah anak sulung Prabu Matswapati raja Wirata
yang berpasangan dengan Dewi Rekatawati. Seta berarti putih, nama
tersebut diberikan karena Raden Seta berkulit putih. Selain berarti
putih Seta berasal dari kata set atau belatung. Nama tersebut
berkaitan dengan kelahiran Seta. Ada yang mengatakan bahwa Seta
lahir dari set atau belatung yang ada di tubuh Dewi Durgandini,
saudara kembar Prabu Matswapati, jadi tidak dilahirkan oleh Dewi
Rekatawati istri Prabu Matswapati. Konon dikisahkan, Dewi
Durgandini menderita penyakit kulit, hingga sekujur tubuhnya
dikerumuni oleh set dan menebarkan bau amis. Penyakit yang telah
menaun tersebut dapat disembuhkan oleh Begawan Palasara. Karena
jasanya, Begawan Palasara dinikahkan dengan Dewi Durgandini.
Setahun setelah menikah, Dewi Durgandini melahirkan anak yang
diberi nama Abiyasa. Pada saat kelahiran Abiyasa ada set yang
keluar bersamaan dengan bayi Abiyasa. Diperkirakan bahwa set
tersebut merupakan sisa dari penyakit yang pernah diderita oleh
Dewi Durgandini. Set tersebut kemudian disabda oleh Begawan
Palasara maka jadilah seorang bayi dan diberi nama Seta. Raden Seta
kemudian dijadikan anak sulung oleh Prabu Matswapati atau Raden
Durgandana, saudara kembar Dewi Durgandini. Seta adalah seorang
yang pemberani, mempunyai ilmu-ilmu tingkat tinggi, dan pusaka
sakti. Batara Narada pernah meminta bantuan kepada Seta untuk
mengundurkan pasukan Pancalaretna pimpinan Prabu Malangkara atau
Malangdewa, yang menyerang kahyangan Suduk Pangudal-udal. Atas
jasanya mengalahkan Prabu Malangkara, Seta mendapatkan Dewi
Kanekawati, putri Batara Narada. Sebagai si sulung, sesungguhnya
Seta akan diangkat sebagai putra mahkota, namun ia lebih senang
menjalani laku sebagai petapa. Oleh karenanya sebagian besar dari
waktunya dihabiskan di pertapaan Suhini, yang terletak di lereng
gunung Selaperwata atau gunung Ulu-ulu.Walupun menjadi petapa, Seta
adalah beteng Negara Wirata yang kuat dan tangguh. Pernah pada
suatu waktu, Seta bersama Bima dan Harjuna berhasil mengundurkan
musuh gabungan dari Negara Trigatra dan Negara Hastina yang sudah
berhasil menangkap Prabu Matswapati dan hampir saja menduduki
kraton Wirata. Ketika perang Baratayuda meletus, Seta diangkat
sebagai panglima perang Pandawa untuk yang pertama kalinya. Di
medan laga Seta berhasil memporak-porandakan lawan. Raden
Rukmarata, putra Prabu Salya gugur di tangan Seta. Resi Bisma yang
diunggul-unggulkan di Hastina, jika tidak dibantu ibunya, yaitu
Dewi Ganggawati kewalahan tanding dengan Seta. Jika sesuai dengan
namanya, Seta artinya putih, maka penggambaran Seta dalam
pewayangan berwajah putih. Namun kebanyakan wayang Resi Seta
bermuka merah, untuk menggambarkan watak pemberani, tegas
getapan.herjaka HS
Matswapati dalam bentuk wayang kulit,koleksi museum Tembi Rumah
Budaya (foto: Sartono)MatswapatiDi wilayah yang terletak di sebelah
timur negara Dwarawati dan si sebelah selatan negara Mandura, Raden
Srinada membuka hutan dan kemudian membangun sebuah kerajaan yang
diberi nama Wirata. Selanjutnya Raden Srinada memerintah kerajaan
tersebut dengan gelar Prabu Basurata. Setelah lanjut usia tahta
negara Wirata diwariskan kepada salah satu anaknya yang bernama
Prabu Basukesti. Selanjutnya, dari tangan Prabu Basukesti, tahta
Wirata diwariskan kepada Raden Durgandana yang setelah naik tahta
bergelar Prabu Matswapati. Di bawah masa pemerintahan Prabu
Matswapati inilah negara Wirata mencapai jaman keemasan. Dikenal
diseluru penjuru dunia, disegani oleh lawan maupun kawan. Hal
tersebut tidak lepas dari dukungan seluruh kawula Wirata dan peran
ketiga putra raja yang menjadi beteng negara Wirata yatiu Raden
Seta, Raden Utara dan Raden Wratsangka. Prabu Matwapati banyak
membantu Pandawa Lima yang teridi dari Yudistira, Bimasena,
Harjuna, Pinten dan Tangsen, pada waktu mereka membuka hutan untuk
mendirikan keraton. Juga pada masa Yudistira dan kelima saudaranya
dalam pembuangan. Bagi Pandawa, Prabu Matswapati adalah dewa
penolong, yang telah mengangkat Pandawa dari dalam keterpurukan.
Demikian pula sebaliknya, bagi Prabu Matswapati, Pandawa adalah
dewa penyelamat, yang telah menyelamatkan negara dan dirinya dari
kehancuran dan kematian, ketika negara Wirata diserbu oleh prajurit
gabungan dari negara Trigata dan Negara Hastina yang dipimpin oleh
Prabu Susarma. Bima yang pada waktu itu menyamar sebagai jagal di
Wirata dan Harjuna yang menyamar sebagai guru tari, berhasil
membebaskan Prabu Matswapati yang telah ditawan, dan mengundurkan
musuh.Pada peristiwa paling berdarah sepanjang sejarah negara
Wirata, yang dikenang dengan sebutan Geger Wirata tersebut, Prabu
Matswapati mengira bahwa yang berhasil merebut dirinya dari tangan
musuh dan mencerai-beraikan pasukan lawan adalah ketiga anaknya.
Maka ketika mengetahui dengan senyatanya bahwa yang menolong
dirinya adalah Bima dan Harjuna, ada perasaan bersalah dan beban
dosa di hati Prabu Matswapati karena tidak mengenali ksatria utama
yang telah bergabung setahun lalu, sebagai pembantu berderajat
rendah di Negara Wirata. Semenjak peristiwa tersebut kedekatan
hubungan antara Prabu Matswapati dan Pandawa melebihi saudara.
Diantara mereka merasa saling berhutang budi. Oleh karenanya ketika
perang Baratayuda pecah, Prabu Matswapati beserta seluruh
prajuritnya secara resmi menyatakan bergabung dengan Pandawa.
Bahkan Prabu Matswapati, Seta, Utara dan Wratsangka bersedia
sebagai tawur perang korban perang untuk yang pertama kali.Prabu
Matswapati menikah dengan Dewi Rekatawati dan mempunyai empat anak
yaitu: Raden Seta, Raden Utara, Raden Wratsangka dan Dewi
Utari..herjaka HS
Dewi Utari, (tanpa samir) dalam bentuk wayang kulit
purwa,koleksi museum Tembi Rumah Budaya,buatan Kaligesing Purworejo
(foto: Sartono) UtariDewi Utari adalah putri bungsu dari empat
bersaudara, anak pasangan Prabu Matswapati atau Prabu Durgandana,
raja negara Wirata dengan permaisuri Dewi Rekatawati, putri angkat
Resi Palasara dengan Dewi Durgandini. Ke tiga kakak Dewi Utari
adalah Raden Seta, Raden Utara dan Raden Wratsangka.Dewi Utari
disebut sebagai babone ratu yaitu yang menjadi induk dari ratu. Hal
tersebut dikarenakan ia mendapatkan anugrah Wahyu Hidayat, yang
menandai bahwa dirinya kelak akan menurunkan raja besar. Oleh
karenanya Kresna yang mengetahui hal itu menginginkan agar
Abimanyu, yang akan menurunkan raja dikarenakan mendapatkan
anugerah Wahyu Cakraningrat memperistri Utari. Dengan demikian
antara Wahyu Cakraningrat dan Wahyu Hidayat akan menyatu di dalam
keturunan Abimanyu dan Utari. Jika pun ada yang mengabarkan bahwa
perkawinan antara Abimanyu dan Utari melalui sayembara Pondong,
tentunya hal tersebut hanyalah sebagai cara untuk mengesahkan
perkawinan diantara keduanya. Karena wahyu Hidayat itulah, tidak
ada laki-laki yang kuat memondong Utari, kecuali laki-laki yang
mendapatkan Wahyu Cakraningrat, yaitu Abimanyu. Walaupun
sesungguhnya Abimanyu sudah beristri Siti Sendari, para sesepuh
yang berpengaruh yaitu Prabu Kresna dan Prabu Matswapati menyetujui
dan mengesahkan perkawinan antara Abimanyu dan Utari.Namun bukan
berarti perkawinan Abimanyu dan Utari yang telah diberi restu
tersebut berlangsung lancar. Ada dua prahara yang mengiring
perkawinan keduanya, yaitu gugurnya Kala Bendana dan dan sumpah
Abimanyu. Kala Bendana gugur di tangan Gatotkaca keponakannya dalam
upaya menegakkan kejujuran karena mengatakan hal yang sejujurnya
bahwa Abimanyu telah beristri Dewi Siti Sundari. Sedangkang Sumpah
Abimanyu merupakan penyangkalan dari apa yang dikatakan Kala
Bendana di hadapan Dewi Utari yang menyatakan bahwa dirinya belum
berisitri. Aku bersumpah jika aku sudah beristri, kelak dalam
perang Baratayuda aku akan gugur dengan seribu luka. Demikian
sumpah Abimanyu. Dewi Utari adalah seorang putri yang cantik
jelita, dan dikasihi dewa. Ia berperangai lembut dan berwatak
halus, berwibawa dan setia berbakti. Hasil pernikahan Utari dengan
Abimanyu, lahirlah seorang anak laki-laki dan diberi nama
Parikessit. Seperti telah diramalkan para cerdik pandai, Parikesit
menjadi raja besar di Hastiapura.Herjaka HS
Tokoh Kala Bendana digambarkan pada wayang kulit purwa buatan
Kaligesing Purworejo,koleksi museum Tembi Rumah Budaya. (foto:
Sartono)Kala BendanaTokoh yang satu ini erat hubungannya dengan
ketokohan Gatotkaca. Kala Bendana termasuk bangsa raksasa dari
kerabat bangsawan keraton Pringgandani. Ia adalah saudara bungsu
dari Dewi Arimbi ibu Gatotkaca. Sehingga ia adalah paman Gatotkaca.
Secara fisik Kala Bendana tidak sempurna, tubuhnya kerdil,
tangannya cacat dan bicaranya cedal tidak jelas. Namun ada sesuatu
yang sangat bernilai melekat pada dirinya yaitu, jujur dan berani
mempertahankan kejujurannya, walau sampai harus mengorbankan
nyawanya. Sesuai dengan kapasitasnya, Kala Bendana berpikir dan
bertindak dengan cara yang sederharna. Dalam pergaulannya dengan
saudara dan sesamanya, Kala Bendana selalu menginginkan ketentraman
dan kedamaian. Sikap tersebut nampak jelas saat terjadi
pertentangan diantara saudara-saudara perihal pengangkatkan
Gatotkaca sebagai raja muda Pringgandani, Kala Bendana bertindak
sebagai penengah. Kepada Gatotkaca keponakannya, Kala Bendana
menaruh cinta yang tulus. Ia dengan setia menempatkan diri sebagai
pamomong. Seperti juga yang dialami oleh kebanyakan pejuang
nilai-nilai kejujuran, Kala Bendana mengalami nasib tragis dalam
upaya mempertahankan sebuah nilai kejujuran. Kisahnya adalah ketika
Kala Bendana mengikuti Gatotkaca dan Abimanyu yang disarankan oleh
Batara Kresna untuk mengunjungi Dewi Utari di Negara Wirata.
Pertemuan Abimahyu dan Dewi Utari ini merupakan sekenario besar
yang disusun Batara Kresna, menyangkut keberadaan wahyu raja. Dasar
berpijaknya adalah prediksi masa depan. Batara Kresna mengetahui
bahwa jika Abimanyu mengawini Utari, ia akan menurunkan raja besar,
yang nantinya akan menduduki Negara Hastina. Oleh karenanya ia
menginginkan Abimanyu mengambil istri Dewi Utari anak Prabu
Matswapati raja Wirata, yang adalah babone ratuGayung pun
bersambut, dalam perjumpaan yang diatur itu, Abimanyu dan Utari
saling jatuh cinta. Mereka berjanji akan melanjutkan percintaan ini
ke pelaminan. Namun sebelum melangkah lebih jauh Utari bertanya
kepada Abimanyu, apakah dirinya belum mempunyai istri? Abimanyu
menjawab belum. Pada hal sesungguhnya Abimanyu sudah mempunyai
istri Dewi Siti Sundari. Hal itulah yang kemudian dikatakan yang
senyatanya oleh Kala Bendana, bahwa Abimanyu telah berbohong kepada
Utari. Gatotkaca yang kala itu mendampingi Abimanyu memperingatkan
kepada Kala Bendana untuk diam, tidak usah ikut campur dalam urusan
ini. Kala Bendana tidak takut atas peringatan Gatotkaca. Ia tetap
mengatakan bahwa Abimanyu sudah mempunyai istri namanya Dewi Siti
Sundari, anak Batara Kresna. Gatotkaca yang ditugaskan oleh Batara
Kresna mengawal menjaga dan mensukseskan recana tersebut kawatir
bahwasannya rencana tersebut akan gagal, gara-gara kejujuran Kala
Bendana. Oleh karenanya, sebelum Utari mempercayainya, Kala Bendana
diseret ke luar untuk diamankan. Namun entah apa yang terjadi.
Apakah ketika Gatotkaca tidak lagi dapat menahan amarah,
ajian-ajian sakti yang ada di tubuhnya keluar dengan sendirinya.
Seperti misalnya aji Ismu Gunting, yang dapat memutus leher lawan
hanya dengan tangannya. Atau aji Narantaka yang dapat menghancurkan
lawan hingga jadi debu. Pada kenyataannya Kala Bendana mati di
tangan Gatotkaca.Di awal tulisan ini telah disinggung bahwa
ketokohan Gatotkaca erat hubungannya dengan ketokohan Kala Bendana.
Keduanya sama-sama menjadi pahlawan. Kala Bendana gugur membela
nilai kejujuran, sedangkan Gatotkaca gugur membela Negara. Namun
ironisnya kepahlawanan Gatotkaca justru tercoreng karena kejujuran
Kala Bendana. Kejujuran yang seharusnya dibela oleh seorang
pahlawan, termasuk jujur untuk gelar kepahlawannannya. herjaka
HS
Gatotkaca, dalam bentuk wayang kulit, hasil karya dari
Kaligesing Purworejo,koleksi Museum Tembi Rumah Budaya (Foto:
Sartono)GatotkacaSejak kekalahannya melawan Dursala, Gatotkaca
berguru kepada eyangnya yang bernama Resi Seta, di pertapaan Suhini
di gunung Sela Perwata. Untuk mengalahkan aji Gineng yang dimiliki
Dursala, Gatotkaca diberi ajian sakti yang bernama Aji Narantaka.
Barang siapa terkena ajian ini akan hancur menjadi debu. Ajian ini
sesungguhnya merupakan kekuatan alam yang terdiri dari: bumi. api,
air dan angin. Siang malam Gatotkaca menjalani laku untuk belajar
menggunakan energi bumi yang kuat, energi api yang panas, energi
air yang dingin dan energi angin yang ringan. Tahapan demi tahapan,
baik lahir maupun batin dijalani oleh Gatotkaca untuk mematangkan
Aji Narantaka. Setelah menuntaskan aji Narantaka, Gatotkaca turun
gunung dan ingin segera berperang kembali dengan Dursasana yang
telah mengalahkannya. Di tengah jalan ia bertemu dengan Dewi
Sumpaniwati yang mengungkapkan niatnya agar dirinya dijadikan istri
oleh Gatotkaca. Menurut pengakuannya, Dewi Sumpaniwati jatuh hati
kepada Gatotkaca sejak ia bermimpi memadu-kasih dengannya.
Permohonan Dewi Sumpaniwati ditolak. Saat ini fokus utama tidak
pada wanita, melainkan kepada Dursala. Namun Sumpaniwati tidak mau
menarik niat, ia bersikeras untuk diperistri Gatotkaca.Gatotkaca
marah, dengan nada tinggi ia berkata bahwa dirinya mau memperistri
Sumpaniwati asalkan ia kuat menghadapi Aji Narantaka. Pada saat itu
Dewi Wilutama masuk ke diri Sumpaniwati sehingga ia kuat menerima
aji Narantaka. Semula, ketika pertamakali berjumpa sesungguhnya
Gatotkaca mengakui kecantikan Sumpaniwati, hanya saja ia sengaja
menolaknya karena ada hal yang lebih mendesak untuk dilakukan
terlebih dahulu, yaitu mengalahkan Dursala. Namun dikarena
kesaktiannya Sumpaniwati yang kuat menerima aji Narantaka,
Gatotkaca berubah pikiran. Dengan serta merta dipondongnya Dewi
Sempaniwati yang sintal untuk kemudian dijadikannya istri. Resi
Sumpanajati menyetujui putri tunggal diambil istri oleh Raden
Gatotkaca. Demikian pula Batara Kresna menyetujui perkawinan
tersebut. Oleh Batara Kresna nama Dewi Sumpaniwati diganti dengan
nama Dewi Galawati, karena perkawinan ini terlaksana setelah Dewi
Sumpaniwati di gala dengan Aji Narantaka.Setelah semuanya selesai,
Gatotkaca menuju Tegal Kurusetra untuk menantang Dursala berperang
tanding. Walaupun pada akhirnya Dursala dapat dihancurkan dengan
aji Narantaka, perang tanding itu cukup memakan waktu lama,
keduanya menunjukkan kesaktiannya dengan mengeluarkan jurus-jurus
andalan.Gatotkaca dicatat sebagai pahlawan bangsa, karena
pengorbanannya dalam membela negara. Sifat kepahlawannannya nampak
menonjol ketika terjadi perang Baratayuda. Walau disadari bahwa di
dalam tubuhnya telah bersarang warangka pusaka Kuntawijayandanu,
Gatotkaca dengan gagah berani menghadapi Adipati Karno. Pada saat
senjata pamungkas yang adalah Kuntawijayandanu dibidikkan dan
mengancam Padepokan Randu Watangan tempat Puntadewa dan para
pepunden berada, Gatotkaca terbang secepat kilat membendung
serangan itu. Secepat kilat pula Kuntawijayandanu masuk
kesarungnya, kembali ke wadahnya melalui pusar Gatotkaca, dan
menjadi satu dengan raga Gatotkaca. Hari kesepuluh sesudah perang
Baratayuda berlangsung, Gatotkaca gugur di medan laga ditembus
panah Kuntawijayandanu dan jatuh menimpa kereta Adipati Karno.
Kematian Gatotkaca disatu sisi telah menyelamatkan Puntadewa namun
disisi lain telah membawa banyak korban di pihak Kurawa, Awangga
dan juga Pringgandani.Kelak dikemudian hari sifat kapahlawanan
Gatotkaca diwarisi oleh Jayasumpena, anaknya hasil perkawinannya
dengan Dewi Galawati.herjaka HSGatotkaca 2Sejak bayi, Raden Tetuka
atau Raden Gatotkaca telah menunjukkan kelebihannya. Tali pusarnya
yang tidak dapat dipotong dengan berbagai macam senjata tajam,
kecuali dengan sarung pusaka Kunta Wijayandanu, menandakan bahwa ia
bukanlah bayi sembarangan. Ditambah lagi dengan melesaknya sarung
pusaka Kunta Wijayandanu ke dalam pusar Gatotkaca dan menyatu
dengan tubuhnya, menjadikan bayi Gatotkaca tidak sama dengan bayi
pada umumnya. Oleh karenanya ia dipilih menjadi jagonya dewa untuk
memerangi musuh sakti yang memporak-porandakan kahyangan. Pada
mulanya kedua orang tua dari Gatotkaca yaitu Wrekudara dan Arimbi,
tidak memperbolehkan Gatotkaca yang masih bayi dijadikan jago oleh
para dewa untuk melawan Patih Sekipu dan Prabu Naga Pracona. Namun
setelah dijelaskan oleh Batara Narada bahwa hanya bayi Gatotkaca
yang dapat mengalahkan Patih Kala Sekipu dan Prabu Naga Pracona,
Wrekudara dan Arimbi memperbolehkan bayi Gatotkaca dibawa di
kahyangan.Sesampainya di kahyangan, Batara Narada langsung menuju
Repat Kepanasan, tempat Prabu Naga Pracona dan Patih Sekipu
menunggu jawab, boleh atau tidaknya Dewi Gagar Mayang diboyong ke
negara Ngembat Keputihan. Kehadiran Batara Narada bersama Gatotkaca
mengejutkan mereka. Terlebih ketika diketahuinya bahwa bayi yang
dibawa Narada adalah jagonya para dewa, yang harus terlebih dahulu
dikalahkan sebelum memboyong Dewi Gagar Mayang. Ha ha ha, rupanya
dewa sudah kehilangan nalar, karena saking takutnya seorang bayi di
jadikan jago untuk melawan kami, ledek Prabu Naga Pracona dan Patih
Kala Sekipu, beserta bala raksasa. Namun tatkala Kala Sekipu ingin
membunuh Gatotkaca dengan sekali gigit, tawa mereka berhenti
seketika. Gatotkaca tidak terluka karena gigitan Kala Sekipu.
Bahkan ia dapat melepaskan diri dari terkamannya. Kala Sekipu
marah, Gatotkaca dibanting hingga pingsan. Narada segera mohon
waktu untuk memulihkan tenaga Gatotkaca. Gatotkaca dipasrahkan
kepada empu Anggajali agar ditempa di kawah Candradimuka dengan
berbagai macam pusaka kahyangan. Pusaka yang dihujamkan tersebut
satu-persatu masuk ke tubuh Gatotkaca, seperti warangka Kunta
Wijayandanu yang masuk di pusar Gatotkaca. Dalam sekejab Gatotkaca
telah menjelma menjadi anak perkasa yang kebal terhadap berbagai
macam senjata tajam.Patih Kala Sekipu dibuat semakin kesulitan
untuk mengalahkan Gatotkaca. Setiap kali Kala Sekipu menghajarnya,
Gatotkaca justru bertumbuh menjadi besar. Hingga akhir menjadi
manusia dewasa yang perkasa dan sakti mandraguna. Kala Sekipu dan
Naga Pracona mati di tangan Gatotkaca.Sejak peristiwa itu nama
Gatotkaca melambung tinggi. Ia dikenal sebagai ksatria muda yang
sakti mandraguna, berotot kawat dan bertulang besi. Oleh rakyat
Pringgandani yang sebagian besar raksasa, Gatotkaca diangkat
menjadi raja. Tidaklah heran, sebagai anak muda yang sakti dan
mempunyai jabatan tertinggi, Gatotkaca ingin memamerkan kesaktian
dan kekuatannya. Demi tujuan tersebut Gatotkaca mengumpulkan
prajurit dan ksatria untuk melakukan latihan perang di Tegal
Kurusetra. Tindakan Gatotkaca tersebut sangat mengejutkan. Karena
dilakukan di Tegal Kurusetra, beberapa bulan sebelum perang
Baratyuda meletus, tanpa memberi tahu terlebih dahulu kepada pihak
Kurawa dan juga pihak Pandawa.Tindakan Gatotkaca tersebut telah
memancing Dursala calon senapati perang dari pihak Kurawa, yang
adalah anak Dursasana, mendatangi perkemahan Gatotkaca untuk
menantang perang tanding. Gatotkaca yang adalah jagonya para dewa,
sakti mandraguna, otot kawat balung wesi, jatuh terpuruk di kaki
Dursala yang mempunyai aji gineng. Gatotkaca merasa malu, dan
menyadari bahwa kesaktiannya belum cukup untuk menandingi Dursala.
Ia meninggalkan Dursala dan berjanji akan menemuinya kembali untuk
mengalahkannya.herjaka HSGatotkacaGatotkaca adalah anak Raden
Wrekudara atau Bima, dari istri nomor dua yaitu Dewi Arimbi, adik
seorang raja raksasa dari Pringgondani. Pada waktu lahir, Gatotkaca
telah menunjukkan keistimewaannya dibandingkan dengan bayi pada
umumnya. Keistimewaan tersebut nampak pada tali pusar bayi
Gatotkaca. Tali pusar yang menyatukan antara pusar Gatotkaca dan
plasenta tersebut tidak dapat dipotong dengan berbagai senjata
tajam. Oleh karena hal itu, Wrekudara dan juga kerabat Pandawa
merasa prihatin dan berupaya mencari senjata yang dapat memotong
tali pusar bayi Gatotkaca.Bersamaan dengan kesulitan yang dihadapi
para Pandawa, para Dewa pun berada dalam kesulitan. Pasalnya tempat
kahyangan para dewa telah dikepung oleh Prabu Naga Pracona bersama
dengan Patih Kala Sekipu dan bala tentara raksasa dari negara
Ngembat Keputihan. Tak satu pun diantara para dewa yang dapat
mengalahkan dan mengusir Patih Kala Sekipu dan Prabu Naga Pracona.
Jika Dewi Gagar Mayang tidak diberikan kepada Prabu Naga Pracona,
kahyangan akan dibumi hanguskan. Mengetahui akan kesaktian bayi
Gatotkaca, Batara Guru mengutus Batara Narada mengirim pusaka sakti
yang bernama Kuntawijayandanu kepada Arjuna agar dapat digunakan
memotong tali pusar bayi Gatotkaca. Tetapi jika nanti tali pusar
bayi telah putus, hendaknya Wrekudara dan para kerabat Pandawa
merelakan bayi Gatotkaca dibawa ke kahyangan untuk dijadikan jago
para dewa dalam menghadapi musuh sakti. Batara Narada yang turun ke
arcapada dengan membawa panah pusaka Kuntawijayandanu yang sedianya
akan diberikan kepada Arjuna, ternyata keliru diberikan kepada
Suryatmaja. Akibatnya diantara kedua ksatria yang hampir sama
wajahnya itu saling berebut pusaka Kuntawijayandanu. Arjuna
mendapat warangka atau wadahnya, sedangkan Suryatmaja membawa
pusakanya. Atas kejadian tersebut Batara Narada memohon maaf kepada
Arjuna dan meyakinkan bahwa dengan wadah Kuntawijayandanu,
talipusar Gatotkaca dapat dipotong.Benar apa yang dikatakan Batara
Narada, tali pusar Gatotkaca dapat putus dengan warangka Kunta
Wijayandanu. Keelokan terjadi, bersamaan dengan putusnya tali pusar
Gatotkaca, warangka Kuntawijayandanu hilang musnah, melesak di
pusar Gatotkaca. Selanjutnya, bayi Gatotkaca dibawa ke kahyangan.
Namun sebelumnya, Gatotkaca yang masih bayi dimasukan ke kawah
Candradimuka agar menjadi satria yang sakti mandraguna. Oleh Batara
Guru, Gatotkaca diberi pusaka berupa: Caping Basunanda, Kotang
Antrakusuma, dan alas kaki bernama Terumpah Padakacerma. Dalam usia
yang relatif muda Gatotkaca diwisuda menjadi raja para raksasa di
negara Pringgandani yang adalah warisan dari Dewi Arimbi ibunya,
dengan gelar Prabu Anom Gatotkaca. Ia beristri tiga orang yakni:
Dewi Pergiwa, Dewi Sumpaniwati dan Dewi Suryawati. Dari ketiga
istri tersebut Gatotkaca menurunkan tiga anak laki-laki, yakni:
Sasikirana, Jayasumpena, dan Suryakaca.Nama lain Gatotkaca adalah:
Tutuka, Purubaya, Arimbiatmaja, Krincingwesi, Guruputra, Surya
Narada, Senaputra, Bendarares. Menurut cerita wayang versi India,
Gatotkaca adalah anak seorang Raseksi Hidimbi, oleh karenanya
Gatotkaca lahir sebagai bayi yang berparas raksasa dengan kepala
gundul. Sangat berbeda dengan cerita wayang di Jawa bahwa Gatotkaca
adalah satria gagah tampan berpakaian serba gemerlap.herjaka HS
Danaraja dalam bentuk wayang kulit, buatan Kaligesing
Purworejo,koleksi museum Tembi Rumah Budaya. (foto:
Sartono)DanarajaDanaraja atau Wisrawana adalah anak Prabu Lokawarna
raja negara Lokapala yang berpasangan dengan Dewi Lokawati. Ketika
Dewi Lokawati melahirkan, Batara Brahma datang. Ia menyaksikan bayi
yang dilahirkan Dewi Lokawati mirip sekali dengan ayahnya, maka
diberilah nama Wisrawana. Nama Wisrawana ini di sesuaikan dengan
nama Wisrawa, yang adalah nama ayahnya sebelum menjadi raja.
Setelah Wisrawana dewasa, ia mendapat warisan tahta negara
Lokapala, dan menjadi raja bergelar Prabu Danaraja atau Danapati.
Semenjak tahta pemerintahan negara Lokapala dipasrahkan kepada
Wisrawana, Prabu Lokawarna meninggalkan negeri Lokapala untuk
bertapa di pertapaan Girijembangan, dengan sebutan Begawan Wisrawa.
Salah satu cacatan suram yang pernah menghampiri negara Lokapala
dalam pemerintahan Prabu Danaraja adalah, ketika begawan Wisrawa
dimohon oleh Prabu Danaraja untuk melamarkan Dewi Sukesi melalui
sayembara yang digelar di Negara Alengkadiraja. Pada waktu itu
Begawan Wisrawa atas nama Prabu Danaraja anaknya, berhasil
memenangkan sayembara dengan membedhah ilmu Sastrajendra
Hayuningrat Pangruwating Diyu. Dengan keberhasilan tersebut, Dewi
Sukesi menjadi haknya Begawan Wisrawa. Namun Dewi Sukesi bukanlah
barang yang dapat diperlakukan seenaknya oleh Begawan Wisrawa. Ia
tidak mau diberikan kepada Danaraja anaknya. Bukankah yang berhasil
membedah ilmu Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah
Wisrawa? Oleh karenanya Dewi Sukesi memasrahkan jiwa-raga hanya
kepada Begawan Wisrawa. Sejatinya Begawan Wisrawa sendiri telah tak
berdaya saat membedhah ilmu sakti Sastrajendra dihadapan kemolekan
Dewi Sukesi. Ada magnet yang amat kuat, yang tidak mungkin
dilepaskan Begawan Wisrawa.Maka pada akhirnya Begawan Wisrawa
dengan sadar memilih untuk tidak menyerahkan hasil lamarannya
kepada Danaraja anaknya, melainkan hasil lamarantersebut untuk
dirinya sendiri. Atas keputusan sang pemenang tersebut, Begawan
Wisrawa dan Dewi Sukesi diresmikan menjadi sepasang suami istri
oleh Pabu Sumali di negara Alengkadiraja Tentu saja Danaraja
menjadi marah, ia mendatangi ayahnya di Alengkadiraja untuk minta
pertanggungjawaban sebagai orang tua. Wisrawa merasa bersalah,
namun tidaklah mungkin untuk menyerahkan Dewi Sukesi kepada
Danaraja. Dan perang tanding pun tidak dapat dihindari. Para Dewa
di kahyangan merasa gerah atas perang tanding antara bapak dan anak
yang telah berlangsung berhari-hari. Peperangan harus segera
dihentikan, demikian Batara Guru yang adalah rajanya dewa
memerintahkan kepada Batara Narada patihnya, untuk melerai
pertikaian tersebut. Atas perintah Batara Guru, Batara Narada
segera turun ke Arcapada (dunia) untuk melerai yang sedang
bertikai. Dikatakan kepada keduanya, bahwa kejadian ini sudah
sesuai dengan rencana para dewa, jodoh Dewi Sukesi adalah Wisrawa.
oleh karenanya Danaraja harus menerima kenyataan ini. Dengan
penjelasan Batara Narada, Prabu Danaraja mau menerima kenyataan
yang terjadi. Dengan kebesaran hati Prabu Danaraja, ia diangkat
menjadi Dewa dengan sebutan Batara Danaraja. Ia menjadi dewanya
harta benda, dan tinggal di Kahyangan Wukir Kaliasa dan lebih
dikenal dengan sebutan Batara Kwera.herjaka HS
Sembadra dalam rupa wayang kulit buatan Kaligesing
Purworejo,koleksi museum Tembi Rumah Budaya (foto:
Sartono)SembadraSembadra adalah anak Basudewa, raja Mandura, yang
berpasangan dengan Dewi Badraini. Sembadra adalah seorang putri
yang cantik jelita, kulitnya hitam manis. Oleh karena itu ia juga
disebut Dewi Rara Ireng, kakak-kakaknya sering memanggilnya dengan
sebutan mrenges yang artinya hitam. Walaupun ia anak seorang raja
besar, sejak kecil Sembadra tidak pernah merasakan kehidupan di
istana. Karena ia dititipkan di Kademangan Widara Kandang bersama
dengan kedua kakaknya yaitu Kakrasana dan Narayana, dan diasuh oleh
Demang Antyagopa dan Endang Segopi. Penitipan tersebut dilakukan
oleh Prabu Basudewa secara rahasia, demi langkah penyelamatan.
Dikarenakan ketiga anak Prabu Basudewa tersebut diincar oleh Raden
Kangsadewa untuk dibunuh. Ketika kakaknya Narayana menjadi raja
Dwarawati, Sembadra ikut kakaknya sampai akhirnya dilamar oleh
Arjuna. Walau akhirnya Sembadra menjadi istri Arjuna, pada awalnya
Kakrasana tidak menyetujui, karena Sembadra akan dijodohkan dengan
Burisrawa anak Prabu Salyantaka raja Mandaraka. Kisah perkawinan
Sembadra dengan Arjuna ini terdapat dalam lakon Parta Krama. Parta
adalah nama lain dari Arjuna. Diceritakan bahwa barang siapa yang
ingin melamar Sembadra, Baladewa mengajukan syarat-buat yang tidak
mudah dipenuhi oleh orang-orang pada umumnya, diantaranya: saka
domas bale kencana, gamelan lokananta, kereta kencana yang ditarik
oleh 144 ekor kuda pancal panggung, yakni kuda yang kakinya berwarn
putih mulai dari lutut ke bawah, dan kera putih yang dapat menari
di atas pecut penjalin tingal. Dibantu oleh kerabat Pandawa dan
para dewa, Arjuna dapat memenuhi semua syarat yang diajukan oleh
Kakrasana. Sembadra adalah sosok wanita yang mendapat wahyu raja
dan kelak akan menurunkan raja besar, oleh karenanya ia dijuluki
dengan babone ratu. Dari perkawinan dengan Arjuna, Sembadra
melahirkan seorang anak laki-laki bernama Abimanyu.Nama lain
Sembadra adalah: Dewi Bratajaya (ketika masih muda), Lara Ireng
(berkulit hitam manis), Kendeng Retnali (ketika menyamar di
Kedemangan Widara Kandang) dan Mrenges (biasa dipanggil oleh
kakak-kakaknya).herjaka HS
Prabu Setija dalam bentuk wayang kulit purwa buatan Kaligesing
Purworejo,koleksi museum Tembi Rumah Budaya (foto:
Sartono)SetijaSetija adalah anak dari Prabu Kresna, raja Dwarawati,
yang berpasangan dengan Dewi Pertiwi, seorang bidadari anak Sang
Hyang Nagaraja. Setija adalah seorang ksatria gagah, sakti dan
tampan. Ia tinggal bersama Dewi Agnyanawati istrinya di kerajaaan
Trajutrisna atau sering disebut Kerajaan Surateleng. Setija
diangkat menjadi raja oleh para punggawa serta wadyabala negara
Trajutrisna yang sebagian besar adalah raksasa, setelah ia berhasil
menaklukan Prabu Bomantara raja Trajutrisna sebelumnya. Walaupun
Setija adalah seorang raja muda, tampan dan sakti, ia tidak pernah
mendapatkan cinta dari seseorang yang seharusnya memberikan
cintanya, yaitu Agnyanawati istrinya. Bahkan pada suatu saat,
Setija pernah memergoki istrinya sedang memadu kasih dengan Raden
Samba adiknya. Pada mulanya Prabu Setija memaafkan perbuatan
adiknya terhadap istrinya. Karena sesungguhnya prabu Setija sangat
menyayangi Samba adiknya yang amat tampan ini. Namun dikarenakan
semakin lama perilaku adiknya dan juga dibarengi dengan perilaku
istrinya semakin tidak tahu diri, rasa sayang itu berubah menjadi
rasa benci. Harga diri Prabu Setija telah diinjak-injak. Gelombang
amarah yang sangat besar telah menggulung prabu Setija, sehingga
mata hati menjadi gelap pekat. Wajah rupawan adiknya telah menjelma
menjadi sosok iblis menakutkan yang harus segera dilumatkan. Dalam
sekejab ketampanan raden Samba hilang, termasuk juga hilangnya
keindahan badannya, dan kemudian disusul dengan hilangnya nyawanya.
Raden Samba dibunuh oleh prabu Setija dengan cara di juwing-juwing
atau di sebit-sebit. Kematian raden Samba membuat prabu Kresna
murka. Cara Setija dalam menyelesaikan masalah dianggap salah.
Menanggapi kemarahan ayahnya, Setija yang dipengaruhi oleh patih
Pancatnyanya, menghadapi kemarahan ayahnya dengan kemarahan pula.
Sehingga terjadi perang besar antara negara Dwarawati melawan
negara Trajutrisna. Perang besar antara bapak melawan anak yang
melibatkan dua negara besar disebut perang Gojali Suta.Dalam
peperangan tersebut Kresna berhasil membunuh Setija anaknya atas
bantuan dewa dan bantuan Gatutkaca.Herjaka HSKunti
Kunti atau Dewi Prita adalah anak Raja Kuntiboja dari negara
Mandura. Setiap ada tamu kehormatan yang datang di negara Mandura,
Kunti lah yang mendapat kepercayaan oleh Prabu Kuntiboja untuk
menyambut tamu kehormatan tersebut. Karena perangainya yang lembut,
sabar dan mempesona, banyak tamu negara yang memuji cara Kunti
menjamu tamu-tamunya. Salah satu tamu kehormatan yang sangat kagum
kepada kunthi adalah seorang begawan sakti dan nyentrik bernama
Begawan Druwasa. Saking senangnya kepada Kunti, Begawan Druwasa
mengangkat Kunti sebagai murid dan memberi mantra sakti aji
pameling atau Aditya Herdaya, yang dapat mendatangkan dewa sesuai
dengan keinginannya. Disuatu pagi nan cerah, Kunthi sengaja
bermalas-malasan di tempat tidur, sehingga hari semakin siang.
Sinar matahari mulai menembus celah-celah kamarnya. Oh begitu indah
sinar mentari di siang itu, Kunthi terhenyak dari tilam sari dan
segera mandi. Masih terpana dengan indahnya sinar surya disiang
itu, pada saat mandi Kunti membayangkan betapa indahnya pula Dewa
yang berada dibalik keindahan matahari tersebut. Niatnya untuk
bertemu dengan dewa Surya semakin kuat, maka kemudian Kunti membaca
mantra aji Aditya Herdaya. Selesai mantra dibaca, Dewa Surya datang
menemui Kunti. Akibat dari pertemuan tersebut Kunti hamil. Raja
Kuntiboja murka, Kunti akan disingkirkan dari negara Mandura,
karena telah mencemarkan nama orang tua dan kewibawaan negara
Mandura.Namun sebelum Prabu Kuntiboja menghukum Kunti, Begawan
Druwasa datang untuk menolong Kunti muridnya. Dengan kesaktiannya,
bayi yang ada di dalam kandungan dikeluarkan melalui telinga,
sehingga Kunti masih tetap perawan. Bayi yang lahir melalui telinga
tersebut diberi nama Karno, yang artinya telinga. Atas perintah
Prabu Kuntiboja bayi tersebut di masukan ke dalam kendaga dengan
pakaian lengkap kemudian hanyutkan di sungai Gangga.Agar peristiwa
memalukan tidak terulang lagi, Prabu Kuntiboja berniat menikahkan
Kunti dengan membuka sayembara. Dan sayembara tersebut dimenangkan
oleh Pandudewanata. Kunti kemudian dinikahkan dengan Pandudewanata,
raja Hastinapura. Dalam perjalanan mengarungi bahtera rumah tangga,
Pandudewanata mendapat kutukan dari Resi Kimindamana, bahwa dirinya
akan mati mendadak jika melakukan hubungan suami istri. Oleh karena
kutuk tersebut, Kunti sebagai pendamping yang setia ingin
membesarkan hati Pandu agar jangan putus asa, masih ada harapan
untuk masa depan Hastinapura. Masa depan Hastinapura senantiasa
gelap adanya, karena kutukan Resi Kimindama, aku tidak mampu
memberikan anak keturunan untuk menyambung tahta Hastinapura. Kunti
meyakinkan bahwa masih ada harapan untuk masa depan Hastinapura
yang cerah. Tiba-tiba wajah Pandu yang murung berubah cerah. Ia
teringat akan cerita Kunti tentang mantra sakti aji Aditya Herdaya
pemberian Begawan Druwasa. Dengan penuh kesungguhan, Pandu memohon
kepada Kunti agar bersedia mengetrapkan mantra aji Aditya Herdaya
untuk mendapatkan anak demi masa depan Hastinapura. Karena
ketaatannya kepada Pandu, maka kemudian dengan mantra sakti Aditya
Herdaya Kunti mendatangkan tiga dewa sesuai dengan keinginan Pandu,
yaitu dewa Darma, Dewa Bayu dan dewa Indra. Dari ketiga dewa itulah
Kunti melahirkan Puntadewa, Bimasena dan Harjuna. Setelah itu Kunti
mengajari Dewi Madrim istri Pandu yang satunya, untuk membaca
mantra sakti pemberian Begawan Druwasa. Maka kemudian datanglah
dewa kembar yang bernama dewa Aswan dan dewa Aswin. Dari mereka
berdua, Dewi Madrim melahirkan anak kembar yang diberi nama Pinten
dan Tangsen, atau Nakula dan Sadewa.Kunti adalah seorang wanita
yang sabar, taat dan setia pada suami dan sangat mencintai
anak-anaknya. Ia adalah sosok pendamping yang mampu memberikan
cahaya, dikala pasangannya sedang jatuh dalam gelap.herjaka HS
Pandudewanata dalam bentuk wayang kulit buatan Kaligesing
Purworejo,koleksi Museum Tembi Rumah Budaya. (foto:
Sartono)PandudewanataRaden Pandu adalah anak kedua raja Hastina
yang bernama Abiyasa atau Prabu Kresnadwipayana, yang berpasangan
dengan salah satu dari ketiga putri negara Kasi atau Giyantipura,
yaitu Dewi Ambalika. Raden Pandu mempunyai wajah yang tampan,
tetapi mukanya pucat dan lehernya tengeng (kaku selalu menengok).
Walaupun mempunyai cacat secara fisik, Pandu adalah satria yang
sakti mandraguna serta patuh kepada orang tua. Dikarenakan kakak
Pandu buta, maka Raden Pandu menggantikan ayahandanya menjadi raja
di Negara Hastinapura dengan gelar Prabu Pandudewanata. Ia
beristrikan Dewi Prita atau Dewi Kunti anak raja Mandura Prabu
Kuntiboja, yang didapat melalui sayembara di negara Mandura, serta
Dewi Madrim, anak Prabu Mandrapati raja Mandaraka. Dari kedua istri
tersebut Pandu tidak mendapatkan anak, karena kutukan Resi
Kimindama, yang disotkan (dikutukan) setelah Pandu membunuh istri
Resi Kimindama dengan panah. Hai Pandu raja yang bodoh! engkau akan
binasa ketika melakukan saresmi dengan istrimu. Pandu sangat
terkejut, tidak menyangka bahwa sepasang kijang yang sedang
berpasihan di rumput hijau tersebut jelmaan Resi Kimindama dan
istrinya.Oleh karena kutukan itu, Pandu bersama kedua istrinya
yaitu Kunti dan Madrim tidak mendapatkan anak. Kepada siapakah
negara Hastina akan diwariskan? Pandu sangat gelisah, sebagai raja
besar ia tidak mempunyai keturunan. Ia kemudian meminta kepada
Kunthi yang mempunyai aji Aditya Herdaya pemberian Resi Druwasa.
Dengan aji tersebut Kunti dapat mendatangkan Dewa sesuai dengan
keinginannya untuk memberikan anak. Maka kemudian lahirlah dari
rahim Kunti secara berurutan: Puntadewa pemberian Dewa Darma,
Bimasena pemberian Dewa Bayu, Harjuna pemberian Dewa Indra, dan
disusul anak kembar Nakula dan Sadewa pemberian Dewa Aswan dan Dewa
Aswin yang lahir dari rahim Madrim. Kelima anak laki-laki yang
lahir dari kedua istri Pandu tersebut disebut Pandawa Lima. Pada
saat terjadi perang Pamukswa, perang antara negara Hastina dan
negara Pringgondani, Prabu Pandudewanata berhasil membunuh Prabu
Tremboko raja raksasa dari Pringgondani. Belum puas atas kematian
musuhnya, mayat Prabu Tremboko diinja-injak sepuasnya. Pada waktu
menginjak-injak mayat prabu Tremboko, kaki Prabu Pandudewanata
menginjak keris Kalanadah yang masih dipegang Prabu Tremboko. Maka
jatuhlah Prabu Pandudewanata dan untuk beberapa lama ia menderita
sakit... dan kemudian wafat. Ada yang mengatakan bahwa wafatnya
Prabu Pandu bukan karena keris Kalanadah, melainkan karena ia
sedang saresmi dengan Dewi Madrim istrinya. herjaka HS
Kala yang adalah anak Batara Guru mendapat gelar Batara.Dan ia
pun berpakaian seperti layaknya pakaian para dewa,yaitu berjubah,
memakai tutup kepala ketu dewa oncit,memakai samir dan praba.
Batara Kala dalam bentuk wayang kulit purwa,buatan Kaligesing
Purworejo,koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)KalaDisuatu
hari, ketika Batara Guru dan Dewi Uma terbang bercengkrama di atas
alam desa yang indah permai, sampailah mereka berdua dipenghujung
hari. Senja temaram yang indah, langit berwarna kemerah-merahan,
sungguh pemandangan yang amat indah dan romantis. Kulit Dewi Uma
yang tertimpa sinar mentari senja, merona cemerlang bagaikan emas
murni. Batara Guru terpana melihat kecantikan Dewi Uma dan keelokan
tubuhnya. Darah lelakinya bergolak. Ia lupa akan dirinya yang
adalah raja dewa Suralaya, dan memaksa istrinya untuk melayani
gejolak nafsunya. Dewi Uma menolak untuk melakukan perbuatan yang
tidak pada tempatnya itu. Ia menghindar dari sergapan suaminya yang
penuh nafsu birahi, sehingga kama Batara Guru jatuh di samodra.
Batara Guru amat marah kepada Dewi Uma. Maka dikutuklah Dewi Uma
menjadi raksasa dan diberi nama Batari Durga. Dikisahkan kama salah
yang jatuh, mengebur samodra dibarengi dengan badai dahsyat. Lalu
kemudian munculah dari samodra sinar putih berujud sosok menakutkan
yang bergulung-gulung menuju Kahyangan. Atas perintah Batara Guru
Kama Gumlundung demikian cahaya putih itu disebut, dihujami
pusaka-pusaka andalan para dewa untuk dibinasakan, agar tidak masuk
ke Kahyangan. Namun Kama Gumlundung tidak binasa oleh pusaka-pusaka
para dewa yang dihujamkannya, bahkan ia mampu menyerap
energi-energi para dewa dan sekaligus keempat energi alam, yaitu
Guntur Geni (energi api), Guntur Banyu (energi air), Guntur Bayu
(energi angin) dan Guntur Bumi (energi bumi). Dari Guntur Geni ia
mendapat kekuatan, dari Guntur Banyu ia mendapat kehidupan, dari
Guntur Bayu ia mendapat kecepatan gerak dan dari Guntur Bumi ia
semakin tumbuh dan jadilah rasaksa umur belasan tahun. Ia
meninggalkan lautan menyusuri rawa-rawa.Para dewa berlari masuk
kahyangan. Raksaksa tersebut mengejarnya, sembari mengambil
ganggeng dan lumut dan ditempelkan di badannya, untuk menutupi
tubuhnya menirukan busana yang dipakai para dewa. Tak beberapa lama
raksasa remaja tersebut telah bertemu Batara Guru. Ia ngawu-ngawu
sudarma, meminta diaku sebagai anak. Batara Guru tidak dapat
mengingkari nya. Ia mengakui dengan jujur bahwa geger kahyangan ini
adalah merupakan akibat dari hasil perbuatannya. Oleh karenanya
raksasa yang lahir dari kama salah ini diaku sebagai anak dan
diberi nama Kala. Batara Guru merasa kawatir, jika hal itu
dibiarkan akan menelan banyak korban. Maka, ketika Kala bersujud di
hadapan Batara Guru, dipotonglah lidah dan taring Kala yang
mengandung bisa itu.Potongan lidah dicipta Batara Guru menjadi
senjata panah, dinamakan Pasopati. Kemudian potongan taring sebelah
kanan dicipta menjadi senjata keris bernama Kalanadah, dan potongan
taring sebelah kiri dicipta menjadi keris bernama Kaladete.Kala
didampingi oleh Batari Durga, yaitu penjelmaan dari Dewi Uma, istri
Guru yang dikutuk menjadi wanita bermuka raksasa diberi tempat di
Pasetran Gandamayit. Ditempat itu mereka berkuasa atas bangsa
makhluk halus. Ada yang menyebutkan bahwa tempat tinggal Kala
adalah Kahyangan Sela Mangumpeng.herjaka HS
Limbuk dalam bentuk wayang kulit purwa, buatan Kaligesing
Purworejo,koleksi Museum Tembi Rumah Budaya (foto:
Sartono)LimbukLimbuk dan Cangik adalah abdi raja yang bertugas
melayani bendara-bendara putri di keputren, bersama dengan
abdi-abdi putri lainnya. Pasangan Limbuk dan Cangik ini paling
populer dibandingkan dengan abdi-abdi putri lainnya. Kepopuleran
sepasang abdi tersebut bukan karena kemampuannya yang istimewa,
melainkan karena ciri fisik yang dimiliki berbeda dengan abdi-abdi
lainnya.Limbuk dalam bahasa Jawa artinya lemu tur wagu yaitu
badannya gemuk tetapi kurang proposional. Pada masyarakat Jawa
seorang wanita yang mempunyai ciri fisik gemuk tetapi tak beraturan
diberi paraban atau sebutan Limbuk. Nama sebutan yang sesuai dengan
ciri fisiknya tersebut justru lebih populer ketimbang nama yang
sesungguhnya pemberian dari orang tua. Limbuk tergolong abdi wanita
yang berparas jelek, namun genit. Oleh karenanya berkali-kali
Limbuk batal dilamar. Sebagian orang menganggap bahwa Limbuk adalah
anak Cangik. Tetapi ada pula yang menganggap bahwa hubungan Limbuk
dan Cangik adalah hubungan teman sekerja. Lepas dari itu semua
Limbuk dan Cangik merupakan pasangan yang populer dan digemari
orang banyak. Saking populernya hingga ada adegan khusus yang
dinamakan Limbukan. Dalam adegan ini, tokoh Limbuk dan Cangik
dijadikan sarana untuk memberi informasi, pencerahan dan sekaligus
hiburan. Kedua abdi tersebut saling melengkapi. Mereka sangat dekat
dengan bendara putrinya. Pada saat bendara putrinya mengalami
kebingungan, Cangiklah yang sering diajak berembug untuk memecahkan
masalah serta mencari solusi. Sementara itu jika bendara putrinya
berduka, Limbuk tampil menghibur dengan bernyanyi dan menari.
Selain badannya yang gemuk pating pecotot, Limbuk mempunyai ciri
fisik yang lain, yaitu: dahinya lebar, matanya pecicilan, hidung
sunthi, rambutnya selalu digelung kecil dan memakai kesemekan serta
jaritBanyak orang beranggapan bahwa pasangan Limbuk Cangik bukanlah
abdi biasa, mereka merupakan abdi kesayangan, yang berfungsi ganda
sesuai dengan kebutuhan bendara putrinya. Peran ganda itulah yang
kemudian memposisikan Limbuk dan Cangik selain sebagai abdi yang
melayani, juga sebagai orang tua yang memberi solusi dan sekaligus
berperan sebagai sahabat yang penghibur, termasuk menghibur
masyarakat luas. herjaka HS
Cangik dalam bentuk wayang kulit purwa, buatan Kaligesing
Purworejo,koleksi Museum Tembi Rumah Budaya (foto:
Sartono)CangikDiantara abdi raja yang bertugas melayani
bendara-bendara putri di keputren, ada dua abdi yang populer, satu
diantaranya adalah Cangik. Dinamakan Cangik karena abdi putri yang
satu ini mempunyai ciri fisik yang menonjol, yaitu dagunya menjorok
ke depan, dalam bahasa Jawa disebut Nyangik. Oleh karena ciri fisik
inilah, ia kemudian dikenal dengan nama Cangik. Nama paraban ini
lebih populer ketimbang nama asli pemberian orang tua. Selain
dagunya yang nyangik, ciri fisik lainnya adalah: dahinya nonong,
matanya pecicilan, hidung sunthi, badannya kurus, rambutnya selalu
digelung tekuk, kebiasaannya mengenakan kesemekan dan memakai jarit
motif kawung. Cangik tergolong abdi yang serba bisa, setia, sabar,
periang dan berwawasan luas. Ia sangat dekat dengan bendara
putrinya. Pada saat bendara putrinya mengalami kebingungan, Cangik
bisa diajak berembug untuk mencari solusi. Ketika bendara putrinya
berduka, Cangik tampil bernyanyi dan menari untuk menghiburnya.
Banyak orang beranggapan bahwa Cangik bukanlah abdi biasa, ia dapat
berperan ganda sesuai dengan kebutuahan bendara putrinya. Bahkan
bagi si bendara putri, Cangik dapat dijadikan pengganti orang
tuanya dalam hal nasihat-nasihat yang dibutuhkan.Peran ganda itulah
yang kemudian memposisikan Cangik sebagai juru penerang dan
sekaligus juru penghibur kepada bendaranya dan juga kepada
masyarakat luas.herjaka HS
Tokoh Cantrik ditampilkan dalam wayang kulit purwa dengan roman
muka yang gembira dengan plelengan. Hidungnya ndelik atau sumpel.
Bermulut sunthi dengan kumis tipis, kadang ada yang berjenggot dan
berjabang. Perut buncit, memakai rompi dan memakai celana pocong
dagelan. Kepalanya memakai kethu, semacam topi. Dipunggungnya,
kemana-mana menyandang sabit.(wayang buatan Kaligesing Purworejo,
koleksi museum Tembi Rumah Budaya, foto: Sartono)CantrikCantrik
termasuk panakawan, namun tidak panakawan baku seperti halnya:
Semar, Gareng, Petruk dan Bagong (panakawan tengen) atau pun Togog
dan Bilung (panakawan kiwa). Cantrik merupakan panakawan morgan
atau panakawan sampingan dan tidak baku. Walaupun tidak baku
kehadiran Cantrik dalam wayang kulit purwa cukup penting. Ia hadir
sebagai pengiring pendeta atau begawan, baik pendeta yang berujud
raksasa maupun pendeta yang berujud ksatria, di sebuah pertapaan
atau percabaan.Pada pagelaran wayang kulit Purwa, adegan percabaan
ini merupakan kelanjutan dari adegan gara-gara, ketika para
panakawan tengen (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong) selesai
bersenang-senang menghibur, lalu mengantar seorang ksatria menuju
percabaan untuk memohon pencerahan kepada pendeta yang
bersangkutan. Dalam adegan percabaan ini biasanya seorang dalang
memanfaatkan bertemunya Cantrik dan Semar Gareng, Petruk, Bagong
dengan guyonan yang lucu dan konyol.Sesungguhnya Cantrik merupakan
penggambaran seseorang yang sedang menuntut ilmu kepada pendeta
atau begawan di padepokan atau percabaan. Sistem pengajaraannya
menggunankan sistem khusus, yaitu sistem pengajaran paguron. Dalam
sistem paguron ini, para Cantrik (laki-laki) dan Mentrik
(perempuan) juga menjadi bagian dari keluarga, mereka tinggal makan
dan bekerja bersama serta berfungsi sebagai pelayan atau pengasuh.
Tokoh Cantrik jarang diceritakan secara khusus, kecuali tokoh
cantrik yang bernama Janaloka. Cantrik yang satu ini menjadi
terkenal karena keinginannya memperistri Endang Pergiwa dan
ssaudara kembarnya Endang Pergiwati. Pergiwa dan Pergiwati adalah
anak Arjuna dengan Endang Manuhara yang tinggal bersama eyangnya
Begawan Sidik Wacana di percabaan Andong Sumiwi. Pada suatu hari
kedua putri kembar itu ingin menemui Arjuna ayahnya di keraton
Ngamarta. Begawan Sidik Wacana mengutus Cantrikanya untuk mengantar
kedua cucunya menemui ayahnya. Namun di tengah jalan Cantrik
Janaloka yang seharusnya melindungi Endang Pergiwa dan Endang
Pergiwati, malahan berniat memperistrinya. Namun sebelum niat
Cantrik Janaloka kesampaian, ia keburu mati ditangan para
Korawa.Cerita ini menggambarkan seseorang yang memiliki keinginan,
namun tidak ngilo githoke dhewe, tidak melihat kekuatan dan
kenyataan yang dimilikinya. Dan juga merupakan penggambaran dari
abdi yang tidak setia kepada gurunya yang selama ini telah
membimbingnya. Diibaratkan pagar makan tanaman yang seharusnya
dijaga malah dirusak sendiri.herjaka HS
Basukarno, sesaat setelah diwisuda menjadi seorang Adipadi
(lukisan: Herjaka HS)Kidung Malam 93Energi MatahariDi siang hari
yang terik, Adipati Karno berjalan menyusuri tepi Sungai Gangga.
Air sungai yang mengalir tenang mampu menampakkan wajah matahari
secara utuh. Adipati Karno memilih memandangi wajah matahari tidak
secara langsung, melainkan melalui gambaran yang dipantulkan oleh
air sungai Gangga. Entah mengapa hal itu selalu dilakukukan oleh
Adipati Karno sejak kanak-kanak hingga sekarang, saat dirinya telah
diwisuda menjadi Adipati, oleh Duryudana. Jika ditanya mengapa hal
itu dilakukan, Adipati Karno tidak tahu. Hanya saja saat Karno
melakukan hal itu, ada getaran energi yang mengalir di dalam tubuh.
Energi yang didapat dari pantulan matahari sangat membantu saat
dirinya berada pada suasana yang sedang tidak menguntungkan.
Seperti misalnya ketika masih remaja. Karno diolok-olok oleh
murid-murid Sokalima saat dirinya ingin ikut bergabung belajar ilmu
kepada Pandita Durna. Para murid Sokalima yang terdiri dari Kurawa
dan Pandawa mengusir Karno dengan kata-kata: Anak kusir diusir,
anak ratu dijamu Karno tidak menanggapi olok-olokan tersebut, ia
berlari meninggalkan halaman padepokan Sokalima, bukan karena
takut, tetapi agar tidak menjadi bulan-bulanan oleh mereka. Jika
hatinya sedang kacau seperti itu, ada magnet yang amat kuat agar
Karno mengadu kepada matahari. Namun dikarenakan matanya tidak kuat
menatap secara langsung, ia menatap matahari melalui pantulan yang
ada di air. Ajaibnya, pada waktu Karno melakukan hal itu,
kegundahan hatinya segera sirna. Ada energi baru yang memungkinkan
Karno untuk menghadapi segala olok-olok dan cercaan hidup dengan
dada yang tegap dan penuh percaya diri. Beberapa saat setelah
menatap pantulan matahari, Karno pun kembali pada niat semula,
yaitu belajar ilmu-ilmu tingkat tinggi di Sokalima. Entah apa yang
terjadi kemudian, senyatanya Karno dapat dengan leluasa mengikuti
pelajaran yang diberikan oleh Pandita Durna dari jarak jauh, tanpa
diketahui oleh mereka dan tanpa olok-olok dari murid lain. Dengan
penuh ketekunan, dalam beberapa waktu, Karno mengalami kemajuan
yang pesat di dalam berolah senjata panah, tidak kalah jika
dibandingkan dengan muri-murid Sokalima yang lain, bahkan
murid-murid terbaik Sokalima, yaitu Ekalaya dan ArjunaAdirata
bapaknya dan Nyi Rada Ibunya, tidak tahu apa yang dilakukan Karno
anaknya, namun kedua orang tua tersebut melihat bahwa anaknya telah
tumbuh menjadi remaja yang tampan, terampil, penuh percaya diri dan
yang istimewa bahwa Karno tidak pernah mengeluh dalam segala macam
kesulitan hidup. Walaupun Karno tumbuh menjadi remaja yang
mempunyai kelebihan dalam segala hal, jika dibandingkan dengan
remaja-remaja pada umumnya, Adirata sebagai seorang sais kereta
berpandangan sederhana, bahwa Karno diharapkan dapat mewarisi
dirinya sebagai sais kereta. Oleh karenanya untuk menunjang hal
itu, Adirata membelikan kereta kuda kepada Karno.Menjadi anak yang
berbakti kepada orang tua memang tidak mudah. Ada hal-hal yang
perlu dikorbankan sebagai tanda bakti kepada orang tua. Seperti
halnya yang dialami Karno, disatu sisi ia harus menerima pemberian
orang tuanya berupa kereta kuda untuk belajar menjadi sais, disisi
lain Karno tidak pernah bermimpi menjadi seorang sais kereta
seperti bapaknya. Oleh karenanya agar tidak mengecewakan orang
tuanya, Karno selalu menyisihkan waktu untuk berlatih mengendarai
kereta kuda, tetapi tidak untuk menjadi sais kereta, melainkan
untuk menjadi senapati perang dikelak kemudian hari. herjaka
HSKidung Malam 92Adipati KarnoBasukarno tidak hanya menunjukkan
kelasnya dalam hal ilmu berolah senjata panah, tetapi ia pun mampu
menguasai dirinya dengan amat matang. Sikap Dewi Durpadi yang
merendahkan dirinya di atas panggung sayembara, pada saat Basukarno
berhasil menarik dengan sempurna busur pusaka Cempalaradya, serta
penolakan Dewi Durpadi yang seharusnya menjadi putri boyongan
setelah Basukarno berhasil membidik sasaran dengan tepat, tidak
membuatnya menjadi kalap. Walaupun ada perasaan jengkel, Basukarno
pemenang sayembara yang dibatalkan tanpa sebab, turun dari panggung
kehormatan dengan penuh percayaan diri, tanpa sedikitpun rasa
kecewa menggores di wajahnya. Dengan tenang Basukarno meninggalkan
panggung kehormatan. Ia tidak mempedulikan penolakan Dewi Durpadi.
Baginya yang paling utama adalah mempertontonkan kemampuan ilmunya
dihadapan orang banyak. Ia menyeberangi lautan manusia yang
memenuhi alun-alun Cempalaradya waktu itu. Ribuan pasang mata
mengikuti dan mengamati setiap gerak langkahnya. Demikian juga saat
ketika ia meladeni Arjuna untuk beradu kebolehan ilmu memanah.
Menyaksikan tingkat ilmu yang dimiliki Basukarno orang-orang dibuat
penasaran, benarkah ia seorang sudra? Biarlah semua orang menilaiku
demikian, orang sudra! kelas bawah! Hal itu saya sadari bahwa aku
memang seorang sudra anak sais kereta kerajaan yang bernama
Adirata. Walaupun aku seorang sudra, kata mereka, aku adalah anak
yang cerdas berani dan jujur. Aku tumbuh dan dibesarkan dibawah
asuhan pasangan Adirata dan Nyai Rada. Setelah menginjak dewasa,
Basukarno sering berpetualang sendirian. Belajar kesana-kemari
kepada orang-orang berilmu. Ketika pada suatu waktu Karna lewat di
Sokalima, ada dorongan yang amat kuat untuk mencecap ilmu kepada
Pandita Durna. Namun dikarenakan ia adalah seorang sudra, Basukarno
tidak berani berterus terang, karena tahu akibatnya, yaitu ditolak.
Oleh karenanya ia memilih belajar secara diam-diam dan
sembunyi-sembunyi, agar tidak diketahui oleh siapa pun. Selain
berguru kepada Pandita Durna, Basukarno juga berguru kepada
Ramaparasu guru sakti yang ahli bermain senjata Kapak dan senjata
panah. Seperti halnya ketika belajar di Sokalima, di hadapan
Ramaparasu, Basukarno tidak mau berterus terang. ia menyamar
sebagai seorang brahmana penggembara. Hal tersebut dilakukan karena
Rama Parasu mempunyai dendam pribadi kepada seorang ksatria, dan
tidak mau menerima murid seorang ksatria. Maka Karna menyamar
menjadi seorang brahmana dan berguru kepada Rama Parasu. Dengan
menyamar sebagai brahmana, Basukarno diterima menjadi murid Rama
Parasu. Ilmu-ilmu yang diajarkan diserapnya dengan cepat dan
tuntas. Jika Basukarno ingin belajar ilmu setinggi mungkin, harapan
Adirata sangatlah sederhana dan realistis. Ia menginginkan agar
anaknya menjadi seorang sais kereta seperti dirinya. Agar harapan
tersebut dapat tercapai, Adirata memberi kereta kuda kepada
Basukarno, untuk belajar menjadi sais kereta. Basukarno tidak
menolak pembereian ayahnya, malahan ia menggunakan kereka kuda
tersebut untuk latihan perang-perangan. Kini, ketika Basukarno
telah menjelma menjadi pemuda berilmu tinggi, Sengkuni dan
Duryudana telah memeluknya. Di tengah-tengah para Kurawa, Basukarno
tidak lagi seorang sudra. Ia telah diangkat menjadi Adipati yang
sederajat dengan para ksatria Pandawa. Adipati Karno, demikianlah
nama yang pantas disandang setelah pengangkatannya. Adipati Karno
sungguh bahagia. Kebahagiaannya tidak semata-mata pengangkatan
dirinya sebagai seorang adipati, melainkan dengan pengangkatan
dirinya, jalan terbuka lebar untuk dapat berperang tanding melawan
Arjuna, dikelak kemudian hari. herjaka HS
Bagong digambarkan pada wayang kulit buatan Kaligesing
Purworejo,koleksi Museum Tembi Rumah Budaya (foto:
Sartono)BagongTokoh Bagong digambarkan sebagai orang yang bertubuh
pendek dan gemuk, matanya bundar besar, bibirnya ndower hidungnya
kecil dan pesek. Sekilas postur tubuh Bagong mirip dengan Semar,
kecuali bagian kepala. Kisah kelahiran Bagong bermula ketika Semar
diperintahkan oleh Sang Hyang Tunggal, ayahnya turun ke dunia. Oleh
karena sendirian, Semar meminta seorang teman. Sang Hyang Tunggal
mengabulkan permintaan Semar dengan memuja bayangan Semar menjadi
seorang manusia, yang kemudian diberi nama Bagong. Ada pula yang
menceritakan bahwa yang memuja bayangan Semar menjadi Bagong adalah
bukan Sang Hyang Tunggal, melainkan Semar sendiri. Hal tersebut
dilakukan atas permintaan Petruk anak angkatnya yang tidak terima
menjadi adik Gareng. Dikarenakan sebelum badannya rusak, Petruk
adalah kakak Gareng dengan nama Raden Pecruk. Agar Petruk tetap
menjadi seorang kakak, maka Semar mengangkat anak satu lagi dengan
memuja bayangannya sendiri menjadi seorang manusia. Kemudian
manusia tersebut diberi nama Bagong dan diangkat menjadi anak nomor
tiga, adik Petruk. Bagong bersama Semar Gareng dan Petruk, disebut
sebagai prepat Panakawan. Mereka selalu menemani, mendampingi kisah
perjalanan hidup seorang ksatria untuk menggapai cita-cita luhur.
Selain menemani dan mendampingi, prepat Panakawan juga berperan
sebagai penasihat yang memberi solusi bilamana ksatria atau pun
raja yang diikutinya menemui kesulitan. Kehadiran Bagong di antara
para Panakawan sungguh memberi warna tersendiri dengan sifatnya
yang kekanak-kanakan dan lucu. Bagong menjadi tokoh idola,
kemunculannya selalu ditunggu-tunggu dikalangan masyarakat luas.Di
daerah Banyumas, Bagong populer dengan sebutan Bawor. Kalau di Jawa
Barat ia disebut Cepot atau Astrajingga. Sedangkan Jawa Timur
Bagong lebih dikenal dengan nama Mangundiwangsa. Bagong. Istri
Bagong adalah seoerang Dewi yang cntik bernama Dewi Bagnawati,
putri Prabu Balya dari Kerajaan Pucangsewu. herjaka HS
Petruk yang digambarkan dalam bentuk wayang kulit Purwa, buatan
Kaligesing Purworejo,koleksi Museum Tembi Rumah Budaya (foto:
Sartono)PetrukPetruk adalah adiknya Gareng, anak angkat Semar yang
nomor dua. Postur tubuhnya jangkung dengan anggota badan yang serba
panjang. Leher panjang, hidung panjang, tangan dan kakinya panjang,
rambutnya dikuncir, mata agak sipit, bibirnya selalu mengulum
senyum. Saking seringnya tersenyum Petruk senang tersenyum-senyum
sendiri, seperti orang yang kehilangan ingatan. Oleh karena
perangainya yang lucu, ramah dan murah senyum ia selalu tampil
menghibur dan akrab dengan semua orang termasuk anak-anak. Sebelum
diangkat anak oleh Semar, Petruk adalah seorang ksatria bernama
Bambang Precupanyukilan dari padepokan Kembangsore. Ia adalah sosok
pemuda tampan yang gemar memperdalam ilmu dari kerajaan ke kerajaan
serta menjalani laku tapa dari hutan ke hutan dan gunung ke gunung.
Sebagai anak muda Bambang Precupanyukilan pantas berbangga dengan
ketampanannya dan pencapaian ilmunya. Oleh karenanya ketika bertemu
dengan Bambang Sukadadi seorang pemuda tampan yang juga gemar
menjalani laku tapa seperti dirinya, Bambang Precupanyukilan merasa
terancam keberadaannya. Pertemuan sesama pemuda tampan berlimu
tinggi tersebut berujung pada perkelahian. Mereka menggunakan cara
kekerasan untuk saling memaksakan kehendak, bahwa dirinyalah yang
lebih tampan dan lebih sakti. Namun cara itu tidak menyelesaikan
masalah. Hingga muka dan badan mereka rusak, belum ada satu
diantaranya yang benar-benar mampu membuat lawannya tidak berdaya.
Perkelahian terhenti ketika ada lurah cebol berkulit hitam dari
Padepokan Karang Kadempel yang bernama Janggan Smarasanta yang
menghampiri tempat itu. Bambang Sukadadi dan Bambang
Precupanyukilan sepakat meminta lurah Janggan Smarasanta menjadi
hakim untuk memutuskan siapakah diantara keduanya yang paling
tampan. Janggan Smarasanta mengatakan bahwa keduanya tidak ada yang
tampan. Coba lihat wajah kalian pada telaga. Keduanya berlari ke
telaga dan mendapati bahwa wajahnya telah rusak akibat perkelahian
yang berkepanjangan. Ketampanan yang dianugerahkan telah pergi
tanpa membawa rasa syukur dari pemiliknya. Mereka berdua menyadari
ketololannya, dan meyesali perbuatannya, untuk kemudian memasrahkan
diri kepada Janggan Smarasanta yang adalah titisan Sang Hyang
Ismaya. Dengan perasaan iba Lurah Karang Kadempel yang kemudian
terkenal dengan nama Semar tersebut mengobati luka keduanya, baik
luka batin maupun luka raga. Dengan mantra tembang yang mengalun
lembut keduanya tertidur pulas. Ketika Bambang Sukadadi dan Bambang
Precupanyukilan berbaring dalam ketenangan jiwa dan ketenangan
raga, angan mereka menggembara pada suasana masa lalu yang pernah
ditinggali ketika mereka masih kecil. Pada waktu itu mereka berdua
bernama Kucir dan Kuncung, anak dari pasangan Gandarwa Bausasra dan
Nyi Luntrung yang berkuasa di wilayah gunung Nilandusa. Dikarenakan
Gandarwa Bausasra mempunyai istri muda dan berpisah dengan Nyi
Luntrung, Kucir dan Kuncing disia-siakan oleh ibu tirinya. Mereka
tidak kerasan di rumah dan melarikan diri ke padepokan Karang
Kadempel, dan kemudian diangkat anak oleh Lurah Janggan
Semarasanta.Selesai menyusuri masa lalunya dari wilayah Gunung
Nilandusa, angan Bambang Sukadadi dan Bambang Precupanyukilan
meloncat pada masa lalu yang lain, saat mereka menjadi anak raja
Jin yang bernama Gandarwa Raja Bali, dengan nama Pecruk dan
Penyukilan. Walaupun anak raja Jin keduanya berwajah tampan. Namun
ketampanannya tidak digunakan sebagai mana mestinya. Kedua kakak
beradik itu senang menakut-nakuti dengan mencegat orang untuk
disakiti dan dirampas barang bawaannya. Pada suatu saat ketika
sedang melakukan aksi pencegatan, Pecruk dan Penyukilan berhadapan
dengan Semar yang baru saja turun dari Kahyangan, maka diganggulah
Semar oleh keduanya. Tetapi Semar melawan bahkan Pecruk dan
Penyukilan diinjak-injak hingga tubuhnya rusak. Akhirnya Pecruk dan
Penyukilan mohon ampun dan mengaku kalah. Oleh Semar, kedua anak
itu diampuni asal bersedia menemani menjadi pamomong satria. Pecruk
dan Penyukilan bersedia menuruti kehendak Semar. Keduanya diangkat
menjadi anak Semar. Penyukilan yang lebih dulu rusak tubuhnya,
dianggap sebagai saudara sulung dan diberi nama Gareng. Kemudian
Pecruk diangkat menjadi anak nomor dua dengan nama Petruk. Setelah
mengingat bahwa dirinya pernah menjadi begal Bambang
Precupanyukilan masih menyisakan angannya, bahwa ia pernah menjadi
anak raja Gandarwa yang bernama Prabu Suwala dari negara Pecuk
Pacukilan, namun ia tidak ingat lagi peristiwa peritiwa penting
lainnya yang terjadi dimasa lalu. Memang, dengan mantra kidung yang
ditembangkan, Semar sengaja ingin menghapus masa lalu nan getir
yang pernah dialami oleh Bambang Sukadadi dan Bambang
Precupanyukilan, terlebih ketika mereka kehilangan ketampanannya.
Agar untuk selanjutnya mereka dapat menjalani hidup dengan penuh
semangat dan sukacitaSetelah mantra kidung selesai, Bambang
Sukadadi dan Bambang Pecrupanyukilan tersadar dari tidurnya. Masa
lalu yang pernah melintas dalam hidupnya hanyalah sebuah mimpi yang
akan segera dilupakan. Ibarat seorang bayi yang lahir, mereka tidak
ingat lagi masa lalunya. Yang mereka tahu bahwa mereka berdua
adalah anak Semar yang diberi nama Gareng dan Petruk.Nama lain dari
Petruk adalah: Kantong Bolong, Pentung Pinanggul, Doblajaya,
Loncung Boing, Dawala, Udawala.Dengan pasangan Dewi Ambarwati
Petruk mempunyai seorang anak laki-laki bernama Lengkungkusuma.
Dalam riwayat hidupnya, Petruk pernah menjadi raja di negara
Ngrancang Kencana dengan gelar Prabu Welgeduwelbeh.herjaka HS
Penggambaran tokoh Gareng dalam bentuk wayang kulit Purwa,
buatan Kaligesing Purworejo,koleksi Tembi Rumah Budaya (foto:
Sartono)GarengDi padepokan Bluluktiba, tinggallah seorang ksatria
muda berwajah tampan bernama Bambang Sukadadi. Sebagian besar dari
hidupnya dijalaninya dengan laku tapa. Pada suatu waktu, ketika
dalam perjalanan pulang sehabis melakukan tapa, Bambang Sukadadi
bertemu dengan seorang pemuda tampan sebaya dirinya, bernama
Bambang Precupanyukilan dari padepokan Kembangsore, yang juga gemar
menjalani laku tapa. Pertemuan sesama petapa muda tersebut berujung
dengan pertengkaran. Masing-masing dari keduanya merasa dirinyalah
yang paling tampan, paling sakti dan paling unggul. Untuk
membuktikan siapa yang pantas diunggulkan, mereka malakukan perang
tanding, satu melawan satu. Konon perang tanding itu amatlah lama.
Jika lelah mereka sepakat untuk berhenti, dan kemudian melanjutkan
lagi. Beberapa hari berlalu, ketika perang belum juga usai,
lewatlah Janggan Smarasanta manusia cebol yang kemudian menjadi
tempat menitis Semar Ismaya, dari padepokan Karang Kadempel. Semar
tidak sampai hati melihat wajah dan tubuh kedua rusak. Maka Semar
mencoba melerainya dengan kata-kata. Apakah yang kalian perebutkan
hai anak muda? Ketampanan? Atau kesaktian? Karena sesungguhnya
ketampanan dan kesaktian yang dianugerahkan sudah tidak ada padamu.
Lihatlah wajahmu telah rusak dan tidak ada pemenang diantara
kalian. Mendengar seruan Semar, Bambang Sukadadi dan Bambang
Precupanyukilan seperti diberi aba-aba, mereka menghentikan
pertengkarannya dan lari untuk mendapatkan permukaan air nan jernih
untuk melihat wajahnya. Keduanya lungkai dan lemas mendapati
wajahnya yang telah rusak. Mereka menyesali perbuatan bodohnya dan
berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Atas penyesalan yang
diungkapkan, Semar mengangkat mereka menjadi anaknya. Bambang
Sukadadi, yang lebih tua diberi nama Gareng. Sedangkan Bambang
Precupanyukilan menjadi adik Gareng bernama Petruk. Mengenai
asal-usul Gareng ini ada beberapa versi, ada yang menyebutkan bahwa
sebelumnya Gareng ini adalah anak dari pasangan Gandarwa Bausasra
dan Nyi Luntrung yang berkuasa di wilayah gunung Nilandusa dengan
nama Kucir. Karena disia-siakan Kucir dan Kuncung adiknya di ambil
anak oleh Semar dan namamnya diganti dengan Gareng dan Petruk.
Sedangkan menurut versi pedhalangan khusunya yang sering
diceritakan oleh dalang Jogyakarta, Gareng sebelumnya adalah anak
raja Jin yang bernama Gandarwa Raja Bali, dengan nama Penyukilan.
Ia berwajah tampan tetapi nakal. Ia memiliki saudara tua bernama
Pecruk. Bersama dengan kakaknya itulah ia sering mengganggu orang
yang sedang lewat.Pada suatu saat ketika sedang melakukan aksi
nakalnya, Pecruk dan Penyukilan berhadapan dengan Semar yang baru
saja turun dari Kahyangan, maka diganggulah Semar oleh keduanya.
Tetapi Semar melawan bahkan kedua anak itu diinjak-injak hingga
tubuhnya rusak.Akhirnya Pecruk dan Penyukilan mohon ampun dan
mengaku kalah. Oleh Semar, kedua anak itu diampuni asal bersedia
menemani menjadi pamomong satria. Pecruk dan Penyukilan bersedia
menuruti kehendak Semar. Keduanya diangkat menjadi anak Semar.
Penyukilan yang lebih dulu rusak tubuhnya, dianggap sebagai saudara
sulung dan diberi nama Gareng. Kemudian Pecruk diangkat menjadi
anak nomor dua. Dari beberapa versi tersebut, Gareng ditempatkan
sebagai anak angkat Semar yang nomor satu, dan selalu bersama Semar
menjadi pamomong satria berbudi luhur. Dalam pewayangan Gareng
digambarkan sebagai seorang yang serba cacat. Matanya juling
hidungnya bulat, tangannya ceko atau bengkok, perutnya buncit
seperti, kakinya pincang karena sakit bubulen. Namun dibalik semua
kekurangan pada fisiknya, Gareng adalah seseorang yang sederhana,
rendah hati dan jujur. Dalam pentas wayang kulit purwa, Gareng
selalu tampil pada tengah malam saat adegan gara-gara. Ia tampil
bersama Semar, Petruk dan Bagong. Gareng mempunyai seorang istri
bernama Dewi Sariwati putri Prabu Sarawasesa dari kerajaan
Saralengka. Dalam sejarah hidupnya, Gareng pernah menjadi seorang
raja bergelar Prabu Pandu Pragola di kerajaan Paranggumiwang. Nama
lain Gareng adalah: Nala Gareng, Nalawangsa, Cekruk Tuna, Pancal
Pamor, Pegat Waja.herjaka HS
Batara Guru tidak mengendarai Lembu Andini, melainkan
mengendarai sepasang Naga,wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo,
koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Batara GuruBatara Guru
adalah raja para dewa, di kahyangan Jonggringsaloka, atau juga
sering disebut kahyangan Suralaya. Kedudukannya sebagai penguasa
tertinggi ini berkaitan dengan sayembara yang diadakan oleh Sang
Hyang Tunggal ayahnya. Pada waktu ke tiga anak pasangan Sang Hyang
Tunggal dan Dewi Rekatawati, yaitu Sang Hyang Tejamantri (dari
kulit telur), Sang Hyang Ismaya (dari putih telur) dan Sang Hyang
Manikmaya (dari kuning telur) telah tumbuh dewasa, mereka
memperebutkan penguasa tertinggi di kahyangan Suralaya. Untuk
mengatasi agar tidak saling berebut, Hyang Tunggal mengadakan
sayembara, barang siapa dapat menelan gunung Saloka dan dengan
segera mampu memuntahkannya kembali, ia berhak menjadi penguasa
Kahyangan. Sang Hyang Tejamantri sebagai putra tertua mendapat
kesempatan pertama. Namun hingga mulutnya robek dan badannya rusak
Sang Hyang Tejamantri yang kemudian terkenal dengan nama Togog
tidak berhasil menelan gunung Saloka. Kesempatan ke dua diberikan
kepada Sang Hyang Manikmaya. Ia berhasil menelan gunung Saloka
tetapi tidak dapat mengeluarkan kembali. Gunung Saloka mengeram di
pantat Sang Hyang Ismaya, sehingga pantatnya menjadi sangat besar,
ia kemudian terkenal dengan nama Semar. Dengan kejadian tersebut
Sang Hyang Manikmaya anak yang nomor tiga, dengan sendirinya tidak
mendapat kesempatan untuk mengikuti sayembara. Atas kebijaksanaan
Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Manikmaya dinobatkan menjadi raja,
dengan sebutan Batara Guru. Batara Guru adalah dewa yang berwajah
tampan tetapi memiliki taring kecil, bertangan empat dua
diantaranya selalu menggenggam pusaka andalan yang berupa cis,
bentuknya seperti anak panah bermata tiga dalam ukuran besar. Kedua
pusaka itu namanya adalah cis Jaludara dan cis Trisula. Lehernya
berwarna biru/nila, serta kakinya apus, tidak kuat menopang
badannya, sehingga ia selalu naik seekor lembu namanya lembu
Andini.Batara Guru mempunyai banyak nama (dasanama) yang antara
lain adalah: Batara Siwah, Sang Hyang Caturboja (bertangan empat),
Sang Hyang Jagadnata, Sang Hyang Girinata, Sang Hyang Nilakantha
(berleher nila), Sang Hyang Udipati, Batara Trinetra (bermata
tiga).Pada dasarnya nama-nama tersebut menggambarkan ciri dan
perwatakkan dari Batara Guru yang dikenal di masyarakat. Namun
sering juga antara nama yang satu dan nama yang lainnya menunjuk
sosok pribadi yang berbeda. Misalnya, nama Batara Guru diberi kesan
berbeda dengan Batara Siwa. Walaupun menjadi raja dari para dewa,
Batara Guru bukanlah makhluk yang sempurna. Seperti halnya manusia,
atau pun dewa lainnya. Ia tidak jarang berbuat salah. Dalam
berbagai lakon, Batara Guru beberapa kali melakukan kesalahan, ia
sering tidak dapat mengendalikan nafsu birahinya, nafsu amarahnya,
dan dendamnya. Menurut mitologi Hindu, Batara Guru ini disebut Dewa
Siwa, yaitu salah satu Dewa yang dipercaya sebagai perusak dunia.
Dewa pencipta dunia adalah Dewa Brahma dan Dewa pemelihara dunia
adalah Dewa Wisnu, selanjutnya ketiga dewa tersebut disebut dengan
Tri Murti. Menurut sejarahnya, mengapa Batara Guru mempunyai tangan
empat, karena pada waktu itu ia merasa kesulitan untuk menangkap
Dewi Uma, bidadari yang amat dicintainya. Pasalnya selain sakti,
Dewi Uma sangat licin, sehingga ia selalu dapat melepaskan diri
dari tangkapan Batara Guru. Pada hal Dewi Uma telah berjanji, ia
mau menjadi istri Batara Guru, jika ia dapat menangkapnya. Atas
kesulitan itu, Batara Guru memohon kepada Sang Hyang Wenang
kakeknya, agar ia dapat menangkap Dewi Uma. Oleh kakeknya ia diberi
tangan empat, yang kemudian dengan keempat tangannya, Batara Guru
berhasil menangkap Dewi Uma, dan mengambilnya menjadi istri. Dengan
Dewi Uma Batara Guru mempunyai anak yang diantaranya adalah Batara
Sambo, Batara Brama, Batara Endra, Batara Bayu, Batara Wisnu,
Batara Sakra, Batara Asmara dan Batara Mahadewa. Selain bertangan
empat, Batara Guru mempunyai taring akibat dari kutukan Dewi Uma
istrinya. Karena pada waktu bercengkerama bersama istrinya, Batara
Guru melakukan tindakan atas Dewi Uma seperti layaknya seorang
raksasa. Sedangkan leher Batara Guru berwana nila kebiru-biruan,
karena ia telah menelan racun yang muncul dari samodra Mantana,
tempat para dewa mencari Tirta Amerta. Racun tersebut sengaja
ditelan oleh Batara Guru demi penyelamatan para dewa, yang pada
waktu itu saling berebut ingin menelan racun, karena dikira Tirta
Amerta. Herjaka HSFigur Wayang
Semar dalam penggambaran wayang kulit purwa,buatan Kaligesing
Purworejo,koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) SemarPada
mulanya Semar adalah dewa berparas tampan, bernama Sang Hyang
Ismaya. Ia mempunyai dua saudara laki-laki yang bernama Sang Hyang
Tejamantri dan Sang Hyang Manikmaya. Kisah kelahiran Semar berawal
dari sebuah telur yang dilahirkan oleh Dewi Rekatawati. Telur
tersebut kemudian dipuja oleh Sang Hyang Tunggal. Kulit telur
menjadi anak laki-laki tampan yang lahir sulung dan diberi nama
Sang Hyang Tejamantri. Disusul oleh kelahiran anak kedua yang
berasal dari putih telur yang diberi nama Sang Hyang Ismaya.
Sedangkan anak laki-laki tampan nomor tiga berasal dari kuning
telur dan diberi nama Sang Hyang Manikmaya.Ketiga laki-laki anak
pasangan Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati tersebut setelah
dewasa saling berebut kekuasaan di Kahyangan. Untuk mengambil
keputusan siapa yang berhak menjadi penguasa tertinggi di
Kahyangan, Sang Hyang Tunggal menggelar sayembara. Barang siapa
dapat menelan gunung Saloka dan dengan segera memuntahkannya
kembali akan di jadikan penguasa tertinggi di kahyangan. Sang Hyang
Ismaya berhasil menelah gunung Saloka tetapi tidak berhasil
memuntahkan kembali, akibatnya Sang Hyang Ismaya yang sebelumnya
tampan berubah wujud menjadi gemuk bulat, pendek, hitam dan
berparas jelek. Karena gagal memenangkan sayembara, Sang Hyang
Ismaya tidak mendapat kekuasaan di kahyangan, ia diperintahkan
turun ke dunia sebagai pamomong para ksatria dan bertempat tinggal
di Karang Kadempel atau Karang Kabolotan. Sejak menjadi pamomong,
ia tidak pernah lagi disebut-sebut sebagai dewa dengan nama Sang
Hyang Ismaya. Semuanya tersamarkan di dalam tugasnya sebagai
pamomong atau panakawan. Ia dipanggil dengan nama Semar, dari kata
samar atau tidak jelas.Nama lain dari Semar adalah Badranaya yang
artinya rembulan, dikarenakan badannya bulat seperti rembulan.
Perkawinannya dengan Dewi Kanestren, Semar mempunyai 10 orang anak
yaitu: 1. Batara Bongkokan, 2. Batara Patuk, 3. Batara Temburu, 4.
Batara Wrehaspati, 5. Batara Yamadipati, 6. Batara Surya, 7. Batara
Candra, 8. Batara Kwera, 9. Batara Kamajaya dan 10. Dewi
Darmanastiti. Tugas Semar yang terutama dan utama adalah mengantar
ksatria yang diemongnya untuk mendapat wahyu. Wahyu yang berdaya
guna untuk memayu hayuning bawana. herjaka HS
Togog dalam penggambaran wayang kulit purwa,koleksi Tembi Rumah
Budaya (foto: Sartono) TogogTogog digambarkan sebagai seorang yang
bertubuh pendek dan gemuk. Mulutnya lebar dan menjorok panjang,
bentuknya seperti mulut bunglon. Pada waktu kecil hingga remaja
nama Togog adalah Sang Hyang Tejamantri atau Sang Hyang Antaga atau
juga Sang Hyang Puguh. Ia berparas tampan, anak dari pasangan Sang
Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati. Togog Tejamantri mempunyai dua
saudara laki-laki yang bernama Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang
Manikmaya. Kisah kelahiran Togog berawal dari sebuah telur yang
dilahirkan oleh Dewi Rekatawati. Kemudian telur itu dipuja oleh
Sang Hyang Tunggal menjadi tiga laki-laki tampan. Kelahiran
laki-laki tampan yang nomor satu berasal dari kulit telur dan
diberi nama Sang Hyang Tejamantri. Laki-laki tampan yang nomor dua
lahir berasal dari putih telur dan diberi nama Sang Hyang Ismaya
dan laki-laki tampan nomor tiga lahir berasal dari kuning telur dan
diberi nama Sang Hyang Manikmaya.Dari kecil hingga remaja mereka
bertiga hidup rukun. Namun setelah dewasa masing-masing dari mereka
menginginkan menjadi penguasa tertinggi di Kahyangan. Ketiga anak
pasangan Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati ter