BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL PADA RINOSINUSITIS KRONIS Dewi Sinaga , Denny S Utama Bagian IKTHT- KL FK Unsri/ Departemen KTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Abstrak Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) adalah prosedur operasi sinus invasif minimal dengan prinsip mengembalikan ventilasi dan drainase melalui ostium alami serta mengembalikan fungsi mucocilliary clearance. Indikasi terutama pada rinosinusitis kronik dan rinosinusitis akut rekuren. Teknik operasi BSEF bertahap dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi, BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total. Pemeriksaan pencitraan seperti Tomografi Komputer sinus paranasal merupakan baku emas dalam tindakan BSEF untuk mengidentifikasi penyakit, perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi sinus paranasal serta untuk menghindari terjadinya komplikasi BSEF. Dilaporkan 2 kasus RSK pada wanita dengan DM tipe II dan laki-laki dengan Hipertensi yang ditatalaksana dengan BSEF. Paska operasi tampak perbaikan pada kedua kasus baik dari keluhan subjektif maupun pemeriksaan nasoendoskopi. Kata kunci : BSEF, Rinosinusitis kronis Abstract Functional endoscopic sinus surgery (BSEF) is a minimally invasive sinus surgery procedure, with the principle of restoring ventilation and drainage through natural ostia and restore function mucocilliary clearance. Indications, especially in chronic rhinosinusitis and recurrent acute rhinosinusitis. BSEF surgery techniques gradually from the lightest is infundibulektomi, mini BSEF to frontosfenoidektomi total. Computer tomography imaging examinations such as the paranasal sinuses is the 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL PADA RINOSINUSITIS KRONIS
Dewi Sinaga, Denny S Utama
Bagian IKTHT- KL FK Unsri/Departemen KTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang
AbstrakBedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) adalah prosedur operasi sinus invasif minimal dengan prinsip mengembalikan ventilasi dan drainase melalui ostium alami serta mengembalikan fungsi mucocilliary clearance. Indikasi terutama pada rinosinusitis kronik dan rinosinusitis akut rekuren. Teknik operasi BSEF bertahap dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi, BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total. Pemeriksaan pencitraan seperti Tomografi Komputer sinus paranasal merupakan baku emas dalam tindakan BSEF untuk mengidentifikasi penyakit, perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi sinus paranasal serta untuk menghindari terjadinya komplikasi BSEF. Dilaporkan 2 kasus RSK pada wanita dengan DM tipe II dan laki-laki dengan Hipertensi yang ditatalaksana dengan BSEF. Paska operasi tampak perbaikan pada kedua kasus baik dari keluhan subjektif maupun pemeriksaan nasoendoskopi. Kata kunci : BSEF, Rinosinusitis kronis
Abstract Functional endoscopic sinus surgery (BSEF) is a minimally invasive sinus surgery procedure, with the principle of restoring ventilation and drainage through natural ostia and restore function mucocilliary clearance. Indications, especially in chronic rhinosinusitis and recurrent acute rhinosinusitis. BSEF surgery techniques gradually from the lightest is infundibulektomi, mini BSEF to frontosfenoidektomi total. Computer tomography imaging examinations such as the paranasal sinuses is the gold standard in action BSEF to identify the disease, its expansion and to know the anatomical landmarks and variations of paranasal sinuses and to avoid complications BSEF. Reported two cases of RSK in women with type II diabetes mellitus and men with hypertension are treated by BSEF. Postoperative improvement in both cases looks better than the subjective complaints and inspection nasoendoskopi.
Key word : FESS, Chronic Rhinosinusitis
1
PENDAHULUAN
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan suatu prosedur
operasi yang invasif minimal. Saat ini merupakan teknik operasi yang sangat
populer dalam penatalaksanaan rinosinusitis kronis, polip hidung, tumor pada
hidung dan sinus paranasal, dan kelainan lainnya. Operasi sinus endoskopi ini
diawali oleh Messerklinger sebelum tahun 1970, kemudian teknik ini
dipopulerkan dan distandarisasi mulai tahun 1980 oleh Kennedy di USA dan oleh
Stammberger, Wigand serta Hosemann di Eropa. Sejak tahun 1990 sudah mulai
diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia.1-3 Prinsip bedah sinus endoskopi
ini adalah membuka dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang
menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan drainase sinus
dapat lancar kembali melalui ostium alami serta mengembalikan fungsi
mucocilliary clearance. Teknik operasi sinus konvensional lainnya yang bersifat
invasif radikal seperti operasi Caldwel-Luc, Fronto-etmoidektomi eksternal dan
lainnya, maka BSEF merupakan terapi yang lebih bersifat konservatif sehingga
tingkat morbiditasnya lebih minimal.2-5
Data dari CDC (The Center for Disease Control), menunjukkan terdapat
32 juta penderita rinosinusitis kronis dewasa di USA ( sekitar 16% dari populasi
dewasa) yang dapat menghabiskan biaya 5,8 hingga 6 miliar setiap tahunnya dan
hal ini dapat menjadi beban ekonomi yang besar. Penggunaan BSEF saat ini
merupakan suatu perubahan yang besar terhadap pendekatan terapi pada penyakit
ini, dan berdasarkan beberapa laporan dari penelitian menunjukkan tingkat
keberhasilan yang baik terhadap penatalaksanaan penyakit ini dengan pendekatan
BSEF.6-8 Dengan alat endoskopi maka mukosa yang sakit dan polip-polip yang
menyumbat diangkat sedangkan mukosa sehat tetap dipertahankan agar
transportasi mukosiliar tetap berfungsi dengan baik sehingga fungsi ventilasi dan
drainase tetap terjadi melalui ostium alami. Keuntungan dari teknik BSEF ini
adalah dengan penggunaan alat endoskopi bersudut dan sumber cahaya yang
terang maka visualisasi terhadap kondisi didalam rongga hidung, sinus dan daerah
sekitarnya dapat tampak jelas. Dengan demikian diagnosis lebih akurat dan
diharapkan operasi lebih teliti dan bersih sehingga hasil dapat lebih maksimal.2,9
2
Terris dan Davidson tahun 1994 menganalisis terhadap 1713 pasien RSK
dalam 10 seri yang dilakukan operasi BSEF, menunjukkan peningkatan perbaikan
gejala sampai 91%, dari jumlah tersebut 63% sangat baik, dan 28% baik,
sementara hanya 9% yang tidak ada perbaikan.10 Sedangkan Penttila tahun 1994
membandingkan teknik Caldwell-luc (CWL) dengan BSEF dan didapatkan 23%
dari 115 penderita yang dilakukan tindakan CWL menderita terus menerus yaitu
nyeri pipi, adanya sensasi terhadap perubahan suhu atau tekanan sebagai akibat
dari operasi sedangkan untuk kelompok BSEF menunjukkan perbaikan gejala
dengan morbiditas yang rendah.11 Sementara itu Lund dan Scadding tahun 1994
melaporkan terjadi peningkatan dalam CBF (Ciliary Beat Frequency) dari rata-
rata 13,1 Hz sampai 15 Hz pada 95 pasien yang dilakukan BSEF untuk kasus
RSK dimana ada perbaikan signifikan setelah 6 bulan paska operasi.12 Bersamaan
hasilnya seperti yang ditemukan oleh Abdel-Hak dkk tahun 1998 pada 70 pasien
yang diamati bersama.13
Vleming dkk tahun 1993 mencoba menghubungkan gambaran endoskopi
pada 131 pasien yang dilakukan BSEF untuk RSK, dimana 46% ditemukan
objektif yang baik dan adanya perbaikan keluhan subjektif, sementara 20%
gambaran objektif yang kurang baik meskipun keluhan pasien membaik dan 12%
tidak ada perbaikan.14 Forsgren dkk tahun 1995, membandingkan gambaran
histologikal pada mukosa yang dilakukan BSEF dan CWL, suatu parameter
reduksi inflamasi yang besar yang ditemukan pada CWL tetapi tidak ada
hubungan dengan perbaikan gejala maupun perbaikan endoskopi.15 Ada beberapa
penelitian yang membandingkan sebelum dan sesudah operasi dari gambaran
Tomografi Komputer (TK) sinus paranasal seperti Ikeda dkk melihat dari 32
pasien sebelum dan sesudah operasi terlihat suatu reduksi yang signifikan pada
nilai perluasan penyakit dan rata-rata 82% tiga bulan paska operasi.16
Modalitas pencitraan sangat diperlukan untuk mengkonfirmasi antara
temuan klinis dan endoskopi dengan pencitraan. Tersedianya alat diagnostik
Tomografi Komputer (TK) telah membuat pencitraan sinus paranasal lebih jelas
dan terinci, sedangkan dengan adanya alat endoskopi untuk operasi bedah sinus
menciptakan tindakan pengobatan yang tidak radikal tetapi dapat lebih tuntas.
3
Pencitraan dengan TK sinus paranasal diperlukan juga untuk mengidentifikasi
penyakit dan perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ
sinus paranasal dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari
daerah-daerah rawan tembus kedalam orbita dan intra kranial. Namun seiring
perkembangannya BSEF juga dapat menimbulkan komplikasi yang dapat terjadi
selama atau setelah prosedur operasi, baik komplikasi intranasal,
periorbita/orbital, intrakranial, vaskular dan sistemik, sehingga perawatan paska
operasi yang baik untuk memperoleh hasil yang optimal.2,9
ANATOMI
Banyaknya variabilitas anatomi dan hubungan antar sinus, maka teknik
bedah endoskopi memerlukan pengetahuan yang rinci mengenai anatomi untuk
menghindari komplikasi potensial. Hidung dibagi atas hidung bagian luar dan
hidung bagian dalam. Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan
tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Rongga hidung
berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi
dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi
memiliki 4 dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.17,18
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema yang biasanya rudimenter. Diantara konka-konka dan dinding lateral
hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus,
ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior
terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga
hidung, dan pada meatus inferior terdapat ostium duktus nasolakrimalis. Meatus
medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid
anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.17-19
4
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina
kribriformis merupakan tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di
bagian posterior atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid. Celah pada dinding
lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea disebut
sebagai kompleks ostiomeatal (KOM). Struktur anatomi yang penting membentuk
KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula
etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang
tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus
maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit
ini maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang
terkait.17,19-21
Prosesus unsinatus paling baik dinilai dengan memaparkan secara sagital
setelah memindahkan konka media kearah superior. Bagian posterior bebas
sedangkan batas anterior berbatasan dari hiatus semilunaris. Prosesus unsinatus
membentuk dinding medial dari infundibulum etmoid. Menempel bagian anterior
superior pada krista etmoid dari maksila, dibawahnya prosesus unsinatus
bergabung dengan bagian posterior tulang lakrimal. Sedangkan bagian anterior
inferior tidak memiliki perlekatan tulang. Pada bagian superior medial merupakan
lantai dari resesus frontal yang sangat penting diperhatikan saat pembedahan
resesus frontal. Bagian tengah sejajar dengan bula etmoid, ini yang menjadi alasan
pembuangan prosesus unsinatus adalah salah satu tahap pertama pada
pembedahan sinus endoskopi karena memberikan akses bedah dari bula etmoid
dan struktur etmoid yang lebih dalam. Bagian inferior berbatasan dengan bagian
medial dari sinus maksila. Ostium sinus maksila terletak medial dan superior
terhadap bagian ini, dengan demikian bagian ini harus dibuang untuk
memperlebar ostium alami.18,19
Infundibulum etmoid dinding anterior dibentuk oleh prosesus unsinatus,
dinding medial dibentuk oleh prosesus frontalis os maksila dan lamina papiracea.
Dibatasi secara medial oleh prosesus unsinatus yang terlindungi mukosa, secara
lateral oleh lamina orbitalis, secara anterior dan superior oleh resesus frontal dari
5
maksila dan tulang lakrimal secara superolateral. Infundibulum etmoid bergabung
dengan meatus medius melewati hiatus semilunaris.18,19 Bula etmoid adalah salah
satu sel udara etmoid yang paling konstan dan besar, terletak diantara meatus
medius dan secara langsung berada dibagian posterior prosesus unsinatus dan
anterior terhadap lamina basalis. Dinding anterior dari bula etmoid dapat
mengalami perpanjangan sampai basis kranii dan membentuk batas posterior dari
resesus frontal. Jika bula tidak mencapai basis kranii, sebuah resesus suprabular
terbentuk diantara basis kranii dan permukaan superior dari bula. Hiatus
semilunaris adalah celah berbentuk bulan sabit diantara batas bebas bagian
posterior dari prosesus unsinatus dan dinding anterior dari bula etmoid. Hiatus
semilunaris melewati celah dua dimensi yang berorientasi secara sagital atau jalur
dimana meatus media bergabung dengan infundibulum etmoid.18-20
Resesus frontal merupakan bagian paling anterior dan superior dari sinus
etmoid anterior yang berhubungan dengan sinus frontal. Resesus frontal adalah
ruang diantara sinus frontalis dan hiatus semilunaris yang menuju ke aliran sinus.
Bagian anterior dibatasi oleh sel agger nasi, superior oleh sinus frontalis, bagian
medial oleh konka media, dan bagian lateral dengan lamina papiracea. Struktur
yang anomali seperti sinus lateralis (bagian posterior ke resesus frontalis didasar
tengkorak) dan bula frontalis (bagian posterior ke resesus didasar sinus frontalis)
menyebabkan salah interpretasi seperti sinus frontalis saat operasi sinus.18,19
Sel Agger nasi dijumpai di os lakrimal anterior dan superior persimpangan
dari konka media dengan dinding lateral nasal. Sel ini tersembunyi di belakang
anterior prosesus unsinatus dan mengalirkan ke dalam hiatus semilunaris. Ini
merupakan sel yang pertama pneumatisasi pada bayi yang baru lahir dan terdapat
satu sampai tiga sel. Dinding sel posterior membentuk dinding anterior dari
resesus frontalis. Atap sel agger nasi adalah dasar dari sinus frontal, yang
merupakan tanda penting untuk operasi sinus frontal.18,19
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya yang bervariasi untuk tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, yaitu : sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan
sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi
6
tulang-tulang kepala sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus
mempunyai muara ke dalam rongga hidung. Secara embriologis sinus paranasal
berasal dari invaginasi rongga hidung dan perkembangan dimulai sejak fetus
berusia 3-4 bulan kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal.18-20
Sinus maksilaris orang dewasa adalah berbentuk piramida mempunyai
volume kira-kira 15 ml (34x33x23 mm). Dasar dari piramida adalah dinding nasal
dengan puncak yang menujuk ke arah prosesus zigomatikum. Dinding anterior
mempunyai foramen infraorbital berada pada bagian midsuperior dimana nervus
infraorbital berjalan diatas atap sinus dan keluar melalui foramen itu. Saraf ini
dapat dehisense (14%). Bagian yang tertipis dari dinding anterior adalah sedikit
diatas fosa kanina. Atap dibentuk oleh dasar orbita dan ditranseksi oleh nervus
infraorbita. Dinding posterior tidak bisa ditandai. Cabang dari arteri maksilaris
interna mendarahi sinus ini. Termasuk infraorbital yang berjalan bersama dengan