Pengantar Menuju FI LSAFAT I NDONESI A Oleh FERRY HIDAYAT 1. Definisi Baru ‘Filsafat Indonesia’ dalah mustahil menemukan definisi kata ‘Filsafat Indonesia’ dalam kamus-kamus atau ensiklopedi-ensiklopedi filsafat Barat yang standar. Filsafat Indonesia memang belum seberuntung Filsafat Timur lainnya yang telah lebih dulu dikenal Barat. Ambillah karya Paul Edwards sebagai satu ukuran. Dalam karyanya The Encyclopedia of Philosophy yang 8 jilid itu, terdapat 1.500 artikel yang ditulis oleh 500 kontributor dari filosof seluruh dunia, tapi tak satupun artikel yang mengenai Filsafat Indonesia. Sementara itu, ada 1 filosof Mesir, 1 filosof Iran, dan 4 filosof Cina yang menyumbangkan artikelnya selain dari 494 filosof Barat, tapi tak satupun filosof Indonesia yang menjadi kontributor artikel di dalamnya. 1 St. Elmo Nauman Jr., dalam karyanya yang klasik Dictionary of Asian Philosophies (1979), juga hanya mencantumkan nama-nama filosof Asia dari daerah Persia, India, Cina, Palestina, Babilonia, Tibet, Jepang, Arab, Siria, dan Lebanon. 2 Tak satupun nama filosof Indonesia yang disebut. Apatah lagi di dalam Encyclopaedia Britannica atau Encarta Encyclopedia 2005. Kondisi yang sama juga terjadi ketika anda mencoba browsing di dunia maya lewat fasilitas mesin search dari situs seperti www.google.com. Dengan penuh putus asa tidak akan ditemukan artikel-artikel internet yang berjudul ‘Filsafat Indonesia’. 3 Itu belum seberapa menyedihkan. Ada lagi kenyataan yang lebih membuat kita, orang Indonesia sendiri, lebih sedih. Perpustakaan Nasional RI, suatu perpustakaan milik pemerintah di Jakarta, hanya memiliki koleksi 42 judul buku dalam katalog subyek ‘Filsafat Indonesia’, sedangkan koleksi buku Filsafat Barat dan Filsafat Timur lainnya malah memiliki beratus-ratus judul. Seorang filosof Mesir berkaliber internasional seperti Hassan Hanafi juga mengaku tidak pernah mengetahui adanya Filsafat Indonesia, sehingga pada saat diwawancara oleh GATRA pada 5 Juni 2001 mengatakan dengan penuh sinisme: A
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Pengantar Menuju FILSAFAT INDONESIA
Oleh
FERRY HIDAYAT
1. Definisi Baru ‘Filsafat Indonesia’
dalah mustahil menemukan definisi kata ‘Filsafat Indonesia’ dalam kamus-kamus
atau ensiklopedi-ensiklopedi filsafat Barat yang standar. Filsafat Indonesia memang
belum seberuntung Filsafat Timur lainnya yang telah lebih dulu dikenal Barat.
Ambillah karya Paul Edwards sebagai satu ukuran. Dalam karyanya The Encyclopedia of
Philosophy yang 8 jilid itu, terdapat 1.500 artikel yang ditulis oleh 500 kontributor dari filosof
seluruh dunia, tapi tak satupun artikel yang mengenai Filsafat Indonesia. Sementara itu, ada 1
filosof Mesir, 1 filosof Iran, dan 4 filosof Cina yang menyumbangkan artikelnya selain dari 494
filosof Barat, tapi tak satupun filosof Indonesia yang menjadi kontributor artikel di dalamnya.1
St. Elmo Nauman Jr., dalam karyanya yang klasik Dictionary of Asian Philosophies (1979), juga
hanya mencantumkan nama-nama filosof Asia dari daerah Persia, India, Cina, Palestina,
Babilonia, Tibet, Jepang, Arab, Siria, dan Lebanon.2 Tak satupun nama filosof Indonesia yang
disebut. Apatah lagi di dalam Encyclopaedia Britannica atau Encarta Encyclopedia 2005.
Kondisi yang sama juga terjadi ketika anda mencoba browsing di dunia maya lewat fasilitas
mesin search dari situs seperti www.google.com. Dengan penuh putus asa tidak akan
ditemukan artikel-artikel internet yang berjudul ‘Filsafat Indonesia’.3
Itu belum seberapa menyedihkan. Ada lagi kenyataan yang lebih membuat kita, orang Indonesia
sendiri, lebih sedih. Perpustakaan Nasional RI, suatu perpustakaan milik pemerintah di Jakarta,
hanya memiliki koleksi 42 judul buku dalam katalog subyek ‘Filsafat Indonesia’, sedangkan
koleksi buku Filsafat Barat dan Filsafat Timur lainnya malah memiliki beratus-ratus judul.
Seorang filosof Mesir berkaliber internasional seperti Hassan Hanafi juga mengaku tidak pernah
mengetahui adanya Filsafat Indonesia, sehingga pada saat diwawancara oleh GATRA pada 5
Juni 2001 mengatakan dengan penuh sinisme:
A
…kalian misalnya bilang tentang pengaruh Muhammad Abduh, Afghani, Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna, atau Sayyid Qutub, tetapi mana pemikir Indonesia? Seperti yang terjadi di Turki, mereka hanya menyebutkan pengaruh dari Abduh, Afghani dan lain-lain. Lalu di mana pemikir Indonesia?
Bahkan di dalam wawancara itu pula Hanafi mengungkap niatnya untuk menulis tentang
pemikir-pemikir Indonesia.
Ini semua berarti, kajian Filsafat Indonesia masih amat baru, bahkan untuk orang Indonesia
sendiri. Namun, walaupun belum terkenal secara internasional, setidaknya Filsafat Indonesia
sudah dikaji di negeri sendiri, oleh segelintir orang yang memelopori kajiannya, seperti Sunoto,
R. Pramono, M. Nasroen, S.A. Kodhi, dan Jakob Sumardjo. Sunoto dan R. Pramono
berlatarbelakang UGM. Sunoto sendiri bekas Dekan Jurusan Filsafat Indonesia di UGM
Yogyakarta, sedangkan M. Nasroen adalah Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia dan
Jakob Sumardjo dari ITB Bandung.
M. Nasroen adalah orang pertama yang memelopori kajian Filsafat Indonesia pada dekade 60-
an. Dalam karyanya yang sangat klasik (Perpustakaan Nasional RI memasukkan bukunya
sebagai salah satu koleksi ‘buku langka’), Guru Besar UI ini dalam banyak halaman
menegaskan keberbedaan Filsafat Indonesia dengan Filsafat Barat (Yunani-Kuno) dan Filsafat
Timur, lalu mencapai satu kesimpulan bahwa Filsafat Indonesia adalah suatu Filsafat khas yang
‘tidak Barat’ dan ‘tidak Timur’, yang amat jelas termanifestasi dalam ajaran filosofis mupakat,
pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, gotong-royong, dan kekeluargaan.4
Demikian pula Sunoto, yang melakukan kajian serius tentang Filsafat Indonesia, walaupun
diakuinya sendiri bahwa kajiannya ‘…masih berkisar pada kefilsafatan Jawa…,’ dan tidak
menyeluruh.5 R. Pramono mencoba lebih jauh dari Sunoto. Selain Jawa, ia menelusuri alam
pikiran Batak, Minangkabau, dan Bugis.6 Sedangkan Jakob Sumardjo, dalam karyanya
Arkeologi Budaya Indonesia, membahas ‘Ringkasan Sejarah Kerohanian Indonesia’, yang
secara kronologis memaparkan sejarah Filsafat Indonesia dari ‘era primordial’, ‘era kuno’, hingga
‘era madya’.7 Dengan berbekal hermeneutika yang sangat dikuasainya, Jakob menelusuri
medan-medan makna dari budaya material (lukisan, alat musik, pakaian, tarian, dan lain-lain)
hingga budaya intelektual (cerita lisan, pantun, legenda rakyat, teks-teks kuno, dan lain-lain)
yang merupakan warisan filosofis agung masyarakat Indonesia. Dalam karyanya yang lain,
Mencari Sukma Indonesia (2003), Jakob pun menyinggung ‘Filsafat Indonesia Modern’, yang
secara radikal amat berbeda ontologi, epistemologi, dan aksiologinya dari ‘Filsafat Indonesia
Lama’. Semua perintis tersebut sangat membantu dalam mencapai pemahaman yang dalam
tentang Filsafat Indonesia.
Semua perintis Filsafat Indonesia tadi mendefinisikan Filsafat Indonesia secara berbeda-beda.
M. Nasroen mendefinisikan Filsafat Indonesia sebagai sekumpulan ajaran-ajaran filosofis yang
asli Indonesia, yang tidak pernah dimiliki oleh Filsafat manapun. Dalam ungkapannya sendiri,
Nasroen menjelaskan:
Pandangan hidup Indonesia [Filsafat Indonesia- pen.] adalah berlainan betul dari Pandangan Hidup Junani dan Pandangan Hidup Barat dan Timur yang bersumberkan pada Pandangan Hidup Junani itu…8
Sedangkan Sunoto, R. Pramono, dan filosof UGM dari Jurusan Filsafat Indonesia lainnya,
mendefinisikan Filsafat Indonesia sebagai ‘…kekayaan budaya bangsa kita sendiri…yang
terkandung di dalam kebudayaan sendiri…’9 Atau, dalam ungkapan R. Pramono, Filsafat
Indonesia berarti ‘…pemikiran-pemikiran…yang tersimpul di dalam adat istiadat serta
kebudayaan daerah…’10 Jadi, dalam pemikiran kelompok filosof UGM itu, Filsafat Indonesia
ialah semua pemikiran filosofis yang ditemukan dalam adat istiadat dan kebudayaan kelompok-
kelompok etnis masyarakat Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke. Definisi ini juga
dianut oleh Alumni UGM dan Dosen Matakuliah Filsafat Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah.
Jakob Sumardjo mendefinisikan Filsafat Indonesia secara amat gamblang dan lugas sebagai
‘Filsafat Etnik Indonesia’, yakni ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang
menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ dari suatu kelompok etnik di Indonesia. Jika
disebut ‘Filsafat Etnik Jawa’, maka artinya:
filsafat… [yang] terbaca dalam cara masyarakat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk rumah Jawanya, dari buku-buku sejarah dan sastra yang ditulisnya…11
Semua filosof pelopor tadi, nampaknya, mencapai kata sepakat bahwa definisi Filsafat
Indonesia adalah ‘segala warisan pemikiran asli yang terdapat dalam adat-istiadat dan
kebudayaan semua kelompok etnik Indonesia.’ Jadi, semua produk filosofis sebelum datangnya
filsafat asing (Cina, India, Persia, Arab, Eropa) ke Indonesia, dapat disebut sebagai Filsafat
Indonesia. Mereka menekankan ‘keaslian’ bagi Filsafat Indonesia. Padahal, ‘Filsafat asli
Indonesia’ hanya ada pada saat masyarakat Indonesia belum kedatangan penduduk asing. Jika
Filsafat Indonesia hanya berisi ini saja, maka sungguh betul miskinlah tradisi filsafat kita.
Penulis menganggap penting adanya definisi baru, agar Filsafat Indonesia tidak hanya seperti
katak dalam tempurung, yang kebal terhadap pengaruh intelektual asing dan ‘suci’ dari unsur
filosofis asing, dengan cara memperluas scope Filsafat Indonesia, yang bukan hanya
mengandung segala warisan pemikiran asli yang terdapat dalam adat-istiadat dan kebudayaan
semua kelompok etnik Indonesia, tapi juga segala pemikiran Indonesia yang terpengaruh oleh
antar-koneksi filsafat-filsafat sejagat.
Memang benar, sebagaimana sering ditunjukkan oleh penulis buku Filsafat Islam, Persia, Cina,
Jepang, Inggris, Jerman, Amerika, dan lain-lain, bahwa para filosof menamai kajian mereka
dengan sebutan ‘Filsafat Islam’, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Jepang’, ‘Filsafat Jerman’, dst., di
samping untuk menegaskan sumbangan komunal dari komunitas tempat mereka berasal
terhadap tradisi filsafat sejagat, juga untuk menunjukkan kekhasan, otentisitas, identitas, atau
fitur distingtif dari filsafat yang mereka kaji daripada tradisi filsafat lain. Tapi, para filosof itu tidak
berhenti sampai di situ saja. Mereka kemudian juga mengakui, baik secara implisit maupun
eksplisit, bahwa tradisi filsafat sejagat juga turut memberi warna-warni dalam struktur filsafat
regional mereka.
Bertrand Russell, dalam buku sejarah filsafat Baratnya yang amat klasik History of Western
Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from The Earliest Times
to The Present Day (Sejarah Filsafat Barat dan Hubungannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari
Masa Lampau Hingga Sekarang), mengakui pengaruh Filsafat Islam terhadap tradisi Filsafat
Barat. Dengan kata-katanya sendiri, Russell berujar:
Writers in Arabic showed some originality in mathematics and chemistry—in the latter case, as an incidental result of alchemical researches. Mohammedan civilization in its great days was admirable in the arts and in many technical ways, but it showed no capacity for independent speculation in theoretical manners. Its importance, which must not be underrated, is as a transmitter. Between ancient and modern European civilization, the dark ages intervened. The Mohammedans and the Byzantines, while lacking the intellectual energy required for innovation, preserved the apparatus of civilization—education, books, and learned leisure. Both stimulated the West when it emerged from barbarism—the Mohammedans chiefly in the thirteenth century, the Byzantines chiefly in the fifteenth. In each case the stimulus produced new thought better than any produced by the transmitters—in the one case scholasticism, in the other the Renaissance (which however had other causes also)…12
Pengaruh Filsafat Islam terhadap tradisi Filsafat Barat juga diakui oleh filosof Barat lain,
Frederick Mayer. Dalam karyanya yang juga tergolong klasik A History of Ancient & Medieval
Philosophy, lektur filsafat pada University of Redlands California ini mengatakan:
Averrhoes defended, against Al-Gazzali, the value of philosophical discussion. He held that it could give a spiritual interpretation of the faith and lead to a symbolic explanation of dogmas which otherwise would be accepted in their literal sense. After his death Arabic philosophy declined, but his theories played an important part in Western scholastic circles.13
Bukan hanya filosof Barat yang mengakui pengaruh warna-warni filsafat asing dalam struktur
filsafat regionalnya, tapi juga filosof Jepang, seperti Masaaki Kôsaka. Dalam artikelnya The
Intellectual Background of Modern Japanese Thought (Latarbelakang Intelektual dari Alam
Pikiran Jepang Modern), Masaaki mengakui pengaruh Filsafat Barat dalam struktur Filsafat
Jepang, seraya berkata:
When Japan [in the time of The Meiji Restoration-pen.] began dealing with foreign nations, she admitted a host of Western influences. At the time, these sprang solely from modern Europe and America, but it was inevitable that the attention of the Japanese would eventually be caught by the glories of the Renaissance and ancient Greek civilization, and more important, that they would encounter Christianity…14 Huang Songjie, seorang filosof Cina, juga turut mengakui pengaruh tradisi Filsafat Barat
terhadap struktur Filsafat Cina. Dalam artikelnya The ‘Great Triangle’ of Chinese Philosophical
Academia and The Modernization of China (‘Segitiga Emas’ Akademi Filsafat Cina dan
Modernisasi Cina) , Songjie menegaskan bahwa:
Marxist philosophy, Western philosophy and Chinese traditional philosophy are three independent and yet interrelated philosophical trends in the 20th century Chinese academic and cultural world. I refer to this as the "Great Triangle". Dealing properly with this interrelationship is of great importance for the development of Chinese culture and the modernization of China… Western science and culture spread gradually in China after the Opium War (1840) and forcefully challenged traditional Confucianism. Early in 20th century, with the Revolution of 1911 and the May 4th New Culture Movement, traditional Confucianism was attacked intensely by a large number of progressive intellectuals and radical thinkers. During the twenties and thirties of this century, more and more Chinese intellectuals introduced and popularized Western philosophy in China, among which pragmatism was especially influential. But early in 20th century the greatest impact on Chinese society was the introduction and spread of Marxism. From the 1920’s on the "Great Triangle" appeared in the Chinese philosophical arena, in which the traditional Confucianist philosophy was defeated and Marxist philosophy emerged as the winner. The victory of Marxism is due to the fact that the Chinese communists combined Marxism tactically with Chinese social and revolutionary practice; they made of Marxism an ideological weapon against feudalism and imperialism, leading thereby to the founding of New China.15
Tidak mengakui adanya ‘Filsafat asli Indonesia’ dan hanya mengakui pengaruh Modernisme
Barat dalam struktur Filsafat Indonesia juga sama buruknya dan sama naifnya. Memang tidak
dapat disangkal, bahwa kata ‘Indonesia’ baru diciptakan pada tahun 1917, tapi bukan berarti
sebelum tahun itu tradisi Filsafat Indonesia belum ada; sebelum tahun itu, pemikir Indonesia
belum lahir. Memang tak dapat disangkal, bahwa ‘Indonesia’ sebagai suatu lembaga politik
modern Republik ala Barat baru lahir pada 17 Agustus 1945, tapi bukan berarti semua pemikir
yang ada sebelum tanggal itu harus diabaikan begitu saja.
Semangat ‘anti-tradisi’ semacam itu pernah mencuat dalam tulisan-tulisan polemis ‘Sutan Takdir
Muda’ dengan Ki Hajar Dewantara, yang kemudian dikenal sebagai Polemik Kebudayaan
1935,16 dimana Sutan Takdir berpendapat bahwa tradisi ‘Indonesia Lama’—termasuk struktur
budaya, peradaban, seni, dan filsafatnya sebagai satu paket—harus dibuang jauh-jauh ke
belakang dan, sebagai gantinya, tradisi Dunia Modern yang mengandung ‘budaya progresif’
harus diadopsi, dipelajari, dan dikuasai, supaya Indonesia dapat mewarisi kebesaran struktur
budaya Modern itu dan menjelmakannya untuk dirinya sendiri sebagai ‘Indonesia Modern’. Motif-
motif ‘anti-tradisi’ juga sempat hadir dalam deklarasi dan pernyataan-sikap para sastrawan yang
tergabung dalam kelompok Angkatan ’45, yang terungkap dalam Surat Kepercayaan
Gelanggang Indonesia Merdeka (Jakarta, 18 Februari 1950):
…Kami tidak akan memberikan suatu kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan,… Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan…17
Upaya pengadopsian filsafat asing ke dalam struktur tradisional Indonesia dalam wujud proyek
Modernisasi (Westernisasi) berada pada track yang benar, apabila dimaksudkan untuk
menghancurkan sisa-sisa sukuisme dan feodalisme pra-Kemerdekaan, tapi menjadi salah-
langkah, apabila ditujukan untuk membuang seluruh heritage filosofis lama.
Pada saat Modernisasi mulai mengetam hasil panennya setelah 2 abad berjalan, yang
puncaknya tercapai di era Orde Baru Soeharto, tidaklah salah jika ada orang yang mau ‘kembali
ke Tradisi’, bukan untuk sekadar romantisme yang nostalgik, tapi untuk interpretasi-ulang, cipta-
ulang, daur-ulang, reka-ulang, pemaknaan-ulang atau introspeksi terhadap tradisi sendiri.
Mungkin ada ‘penyakit-penyakit Modernitas’ yang ‘obatnya’ justru terdapat dalam Tradisi.
Mungkin juga ada Tradisi yang elemen-elemennya malah menopang sendi-sendi yang rapuh
dari struktur Modernitas. Tradisi yang dimaknai-ulang oleh orang modern tentu bukan lagi tradisi
kuno, tapi menjadi suatu Modernitas baru, karena tradisi kuno sudah sejak lama hilang,
digantikan oleh Modernitas. Ketika Modernitas telah menjadi barang kuno oleh orang Indonesia
sekarang, maka penafsiran-ulang terhadap Tradisi mungkin saja menghasilkan ‘Modernitas
Baru’.
Definisi baru Filsafat Indonesia mesti merangkul Tradisi dan Modernitas sekaligus. Tidak boleh
ada preferensi yang berlebihan pada salah satunya. Jika pilihan dijatuhkan pada salah satu dari
keduanya, berarti Filsafat Indonesia telah dimiskinkan isinya.
Mitologi kuno yang sarat elemen filosofis, sebagai bagian dari Tradisi, setidaknya dapat
dijadikan titik-tolak (turning point) untuk pindah ke khazanah filosofis selanjutnya, jika bukan
sebagai pintu gerbang (gateway) untuk masuk ke alam pikiran Indonesia. Banyak penulis
sejarah filsafat yang sengaja memasukkan kajian mitologis sebagai kajian pembuka dalam
bukunya, apalagi jika bukunya memang disusun menurut kronologi. Thomas Kasulis, dalam
artikelnya Japanese Philosophy, memulai kajiannya dengan mitologi Jepang kuno. Mohammad
Hatta, dalam buku Alam Pikiran Yunani, juga memulai kajiannya dengan mitologi Yunani.
Bahkan, Plato, dalam setiap tulisannya, menggunakan mitologi, baik sebagai bahan-baku (raw
material) filsafatnya maupun sebagai target kritik untuk membangun struktur filosofisnya.
Untuk membuat definisi yang baik dari Filsafat Indonesia, maka dibutuhkan beberapa
perbandingan dengan definisi filsafat yang lain. Misalnya, ‘Filsafat Islam’ disebut demikian,
karena filsafat itu lahir di wilayah kuasa Islam dan diproduksi oleh komunitas religius Islam yang
menetap di wilayah itu. Hal serupa juga berlaku bagi ‘Filsafat Kristen’ dan ‘Filsafat Yahudi’.
Sementara, ‘Filsafat Jerman’ disebut demikian, karena ia ditulis dengan aksara dan bahasa
Jerman. Ini serupa dengan definisi ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Rusia’, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat
Kontinental’ (Filsafat yang ditulis berbahasa Eropa Kontinental), ‘Filsafat Analitis’ (Filsafat yang
ditulis berbahasa Inggris atau Amerika), ‘Filsafat Korea’, dan ‘Filsafat Arab’, yang mendasarkan
penamaan filosofisnya dari penggunaan aksara dan bahasa nasionalnya. ‘Filsafat Afrika’ lebih
menekankan segi distingtif tradisi filosofisnya dari tradisi filsafat sejagat lainnya. Ini serupa
dengan ‘Filsafat Persia’, ‘Filsafat Bantu’, dan ‘Filsafat Pakistan’.
Berdasarkan perbandingan di atas, berarti definisi Filsafat Indonesia dapat dibangun dari 3 segi:
1) wilayah tempat filosof itu berada; 2) aksara dan bahasa yang digunakan filosof untuk menulis
karya filosofisnya; dan 3) segi distingtif pemikiran filosofisnya dari tradisi filsafat sejagat. Kalau 3
segi ini diterapkan pada definisi Filsafat Indonesia, maka Filsafat Indonesia adalah filsafat yang
diproduksi oleh semua orang yang menetap di wilayah yang dinamakan belakangan sebagai
Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan yang
isinya kurang-lebih memiliki segi distingtif bila dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya.
Pernyataan bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang
menetap di wilayah Indonesia berimplikasi, bahwa semua orang yang berasal dari kelompok
etnis, kelompok ras, atau kelompok religius yang berbeda, asalkan semuanya menetap di
Indonesia, maka semuanya filosof Indonesia.
Pernyataan bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yang menggunakan bahasa-bahasa di
Indonesia sebagai medium ekspresi filosofisnya berimplikasi, bahwa semua orang yang
menetap di Indonesia, asalkan menggunakan bahasa-bahasa yang hidup di Indonesia sebagai
mediumnya, maka semuanya adalah filosof Indonesia. Disebut ‘bahasa-bahasa di Indonesia’,
karena Indonesia memiliki 587 bahasa etnik disamping ‘bahasa persatuan’ nya yakni Bahasa
Indonesia.
Untuk sifat ketiga, bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yang sekurang-kurangnya memiliki
segi distingtif dari filsafat sejagat lainnya, harus diberi penjelasan tambahan. Distinctiveness
bukanlah suatu keharusan dalam Filsafat Indonesia, sebab, harus diakui, bahwa segi distingtif
dalam isi Filsafat Indonesia amatlah sedikit daripada segi adaptifnya. Lebih banyak borrowing
nya daripada otentisitasnya. Lebih banyak segi ‘pinjamannya’ daripada segi ‘aslinya’. Yang asli
dalam Filsafat Indonesia hanya Filsafat-Filsafat Etnisnya, sedangkan yang pinjaman cukup
banyak, meliputi pinjaman dari ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Arab’, ‘Filsafat Persia’,
hingga ‘Filsafat Barat’. Pinjaman-pinjaman itu, pada saatnya, akan dipulangkannya lagi setelah
ia berhasil membangun suatu corak lain, apakah dalam bentuk sintesa dialektis, adaptasi,
transformasi, metamorfosis, atau malah rejeksi dan objeksi.
Definisi baru Filsafat Indonesia ini juga berimplikasi pada masalah kapan lahirnya kajian Filsafat
Indonesia. Jika dimaksud sebagai suatu nama cabang filsafat yang dikaji filosof Indonesia, yang
membedakannya dari kajian Filsafat Barat dan Filsafat Asia lainnya, maka Filsafat Indonesia
lahir pada dekade 60-an. Tapi, jika dimaksud sebagai aktivitas berpikir logis-rasional yang
diproduksi orang Indonesia, maka Filsafat Indonesia lahir bukan sejak dekade itu, tapi malahan
sejak local genius primitif memproduksi mitologi filosofis, yang diperkirakan para sejarawan
berproduksi sejak era neolitik sekitar 3500-2500 SM, yang jejak-jejaknya masih dapat ditelusuri
hingga sekarang dalam kebudayaan suku Sakuddei di Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat),
suku Atoni di Timor Timur, suku Marind-Anim di Papua (Irian Barat), juga di suku Minangkabau,
Jawa, Nias, Batak, dan lain-lain.18
2. Mazhab, Sumber, dan Tokoh Filsafat Indonesia
ini tibalah pada tempatnya untuk membahas cabang-cabang dari ‘Filsafat Indonesia’ dan tokoh-
tokoh kunci yang menguasai cabang itu. Di sini penulis membagi Filsafat Indonesia ke dalam 6
mazhab besar, berdasarkan pada sumber-sumber inspirasinya: Filsafat Etnik, Filsafat Timur,
Filsafat Barat, Filsafat Islam, Filsafat Kristen, dan Filsafat Paska-Soeharto.
Filsafat Etnik
Jakob Sumardjo telah menjelaskan di muka, bahwa yang dimaksud dengan ‘Filsafat Etnik’ ialah
‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya
budaya…’ dari suatu kelompok etnik di Indonesia. Maka, jika disebut ‘Filsafat Etnik Jawa’, itu
artinya:
filsafat… [yang] terbaca dalam cara masyarakat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk rumah Jawanya, dari buku-buku sejarah dan sastra yang ditulisnya…19
‘Filsafat Etnik’ adalah filsafat orisinil dari Indonesia, yang diproduksi oleh local genius primitif
sebelum kedatangan pengaruh filsafat asing. Di era neolitikum, sekitar tahun 3500–2500 SM,
penduduk Indonesia asli telah membentuk komunitas berupa desa-desa kecil yang telah
mengenal sistem pertanian, sistem irigasi sederhana, sistem peternakan, pembuatan perahu,
sistem pelayaran sederhana, dan seni bertenun.20 Mereka juga sudah mulai berspekulasi
mengenai segala yang mereka perhatikan dari alam, sehingga merekapun sudah memproduksi
filsafat, sekalipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Mitologi-mitologi filosofis yang
diproduksi suku-suku etnis Indonesia kini sudah banyak yang dibukukan, sehingga para peneliti
Filsafat Indonesia kini dapat membacanya, baik dalam Bahasa Indonesia maupun dalam bahasa
asing. Misalnya, mitologi filosofis suku Dayak-Benuaq telah dibukukan dan diterjemahkan ke
Bahasa Inggris oleh Michael Hopes, Madras & Karaakng dengan judul Temputn: Myths of The
Benuaq and Tunjung Dayak (Jakarta: Puspa Swara & Rio Tinto Foundation, 1997).
Kajian ‘Filsafat Etnik’ telah banyak dilakukan oleh filosof Indonesia. M. Nasroen adalah orang
pertama yang memelopori kajian ‘Filsafat Etnik’ pada dekade 60-an,21 lalu Sunoto, yang
melakukan kajian serius tentang Filsafat Etnik Jawa.22 R. Pramono mengkaji Filsafat Etnik Jawa,
Batak, Minangkabau, dan Bugis.23 Sedangkan Jakob Sumardjo, dalam karyanya Arkeologi
Budaya Indonesia dan Mencari Sukma Indonesia, membahas Filsafat Etnik Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Melayu, dan lain-lain.24 Franz Magnis-Suseno juga
mengkaji Filsafat Etnik Jawa, seperti karya-karyanya yang berjudul Kita dan Wayang (Jakarta,
1984), Etika Jawa dalam Tantangan, dan Etika Jawa: sebuah Analisa Filsafat tentang
K
Kebijaksanaan Hidup Jawa. I Made Swasthawa Dharmayuda mengkaji Filsafat Bali yang
terkandung dalam adat-istiadat suku Bali dalam karyanya Filsafat Adat Bali. P.J. Zoetmulder
mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari segi kesusastraannya dalam buku Kalangwan: Sastra Jawa
Kuno Selayang Pandang dan Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam
Sastra Suluk Jawa. Nian S. Djoemena mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari tradisi luriknya dalam
buku Lurik: Garis-garis Bertuah (The Magic Stripes). Soewardi Endraswara mengkaji Filsafat
Etnik Jawa dari tradisi peribahasanya dalam buku Mutiara Wicara Jawa. Purwadi mengkaji
Filsafat Etnik Jawa terutama kearifan tokoh Semar dalam pewayangan Jawa dalam karyanya
Semar: Jagad Mistik Jawa dan Woro Aryandini mengkaji kearifan tokoh Bima dalam karyanya
Citra Bima dalam Kebudayaan Jawa. Suwardi Endraswara membahas Filsafat Hidup yang
dipahami khas orang Jawa dalam karyanya Filsafat Hidup Jawa, dan masih banyak lagi filosof
Indonesia yang mengkaji Filsafat Etnik, bahkan hingga detik ini.
Filsafat Timur
Yang dimaksud dengan ‘Filsafat Timur’ adalah tradisi filsafat yang dikembangkan oleh orang-
orang ‘Timur’, sebagai kebalikan dari orang ‘Barat’. Istilah ini jelas saja diberikan oleh bangsa
Barat untuk bangsa Timur. Pada kenyataannya, tidak semua bangsa Timur filsafatnya dikenal
baik oleh bangsa Barat. Yang tradisii filsafatnya dikenal baik hanya sebagian saja, yakni, ‘Filsafat
Cina’, ‘Filsafat Jepang’, dan ‘Filsafat India’.
‘Filsafat Cina’ baru-baru ini saja dipelajari dengan serius oleh filosof Indonesia, walaupun
nyatanya orang Cina sudah menetap di Indonesia lebih dari 30 abad yang lalu! ‘Filsafat Cina
Klasik’, seperti Filsafat Lao Tzu (605-531 SM), Konfusius (551-479 SM), dan Chuang Tzu (w.360
SM), kini dengan penuh antusias dikaji-ulang dan ditafsir-ulang. Indra Widjaja mengkaji Filsafat
Chuang Tzu dalam karyanya Filsafat Perang Sun Tzu, sedangkan Anand Krishna menafsir-ulang
Filsafat Lao Tzu untuk dipahami secara modern dalam karyanya Mengikuti Irama Kehidupan:
Tao Teh Ching bagi Orang Modern. Soejono Soemargono membuat ikhtisar sejarah Filsafat Cina
dalam karyanya yang pionir Sejarah Ringkas Filsafat Tiongkok.
‘Filsafat Cina Modern’ sudah mulai dikaji oleh filosof Indonesia sejak abad 19 M. Sun Yat-
Senisme telah dikaji oleh Kwee Kek Beng (1900-1974) lewat terjemahan karya Sun Yat Sen
Djalan Ke Kemerdekaan dari bahasa Cina ke bahasa Melayu,25 Filsafat Anti-Konfusianisme dikaji
oleh Kwee Hing Tjiat (1891-1939), Filsafat Marxisme-Leninisme dan Maoisme dikaji oleh Oey
Gee Hoat dan Siauw Giok Tjhan,26 Tan Ling Djie, Wang Jen Shu, Ong Eng Djie, Lie A Tjong,
Lien Tiong Hien, Lie Wie Tjung, dll.27 Namun, karya Leo Suryadinata yang berjudul Mencari
Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien (Jakarta: LP3ES, 1990) dan
Politik Tionghoa Peranakan di Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1994) memuat dengan jenial
ikhtisar sejarah filsafat politik Cina Modern yang dipahami filosof Indonesia dari etnik Cina.
‘Filsafat India’ juga masih sedikit yang mengkaji. Dari survei, penulis hanya menemukan satu
karya saja yang mengkaji ‘Filsafat India Klasik’, itupun hanya sebatas ikhtisar sejarah, seperti
karya Harun Hadiwidjono yang berjudul Sari Filsafat India. Sedangkan yang mengkaji ‘Filsafat
India Modern’ sudah cukup banyak, di antaranya ialah R. Wahana Wegig yang mengkaji Filsafat
Etika dari Mahatma Gandhi dalam karyanya Dimensi Etis Ajaran Gandhi.
Yang cukup menarik dipelajari ialah karya orisinal hasil dari blending antara Filsafat Etnik
Indonesia dengan Filsafat India atau hasil dari blending antara Buddhisme dan Hinduisme, yang
saya namakan ‘Filsafat India-Indonesia’. Filsafat ini adalah hasil eksperimen filosofis dari
beberapa filosof kreatif dari Indonesia, yang menghasilkan corak filosofis yang menarik dan
orisinil. Sambhara Suryawarana, seorang penulis kitab suci Buddhisme yang hidup di kerajaan
Medang Hindu di sekitar tahun 929-947, memuji-muji raja Sindok yang Hinduist di dalam kitab
suci Buddhist yang dikarangnya, Sang Hyang Kamahayanikan. Mpu Prapanca (1335-1380)
menulis buku Negarakertagama dan Ramayana Kakawin. Ramayana Kakawin ialah terjemahan
epik Hindu-India yang disesuaikan dengan alam pikiran Indonesia primitif, sementara
Negarakertagama ialah karya puisi epik berbahasa Jawa Kuno yang menjelaskan filsafat yang
dianut Kertanagara (1268-1292), seorang raja terbesar dari Dinasti Singhasari, yang
memadukan filsafat Siwaisme-Hindu dengan Buddhisme. Sedangkan Mpu Tantular, seorang
pengarang yang hidup di masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), menulis buku
Sutasoma, yang memadukan filsafat Buddhisme dengan Syiwaisme-Hindu.
Raja Dharmawangsa (991-1006) pernah memerintahkan penerjemahan Mahabharata ke bahasa
Jawa Kuno—tindakan yang memungkinkan masuknya alam pikiran primitif Jawa ke dalam epik
Hinduisme-India itu. Juga raja Jayabaya (1130-1160), yang memerintahkan penyaduran
Bharatayudha versi India menjadi versi Jawa, untuk menggambarkan perang saudara antara
Jayabaya (sebagai Pandawa) dengan sepupunya Jenggala (sebagai Kurawa). Bahkan, raja
Indra (782-812) dari Sailendra membangun Candi Borobudur yang bertingkat 9, untuk memuja
arwah 9 keluarga moyangnya dalam perjalanan mereka menuju Nirvana.
‘Filsafat Jepang’ masih jarang dikaji. Dari survei, penulis hanya menemukan 2 karya yang ditulis
filosof Indonesia mengenai cabang filsafat ini: pertama, karya Tun Sri Lanang yang berjudul
Busido, dan kedua, karya Irmansyah Effendi yang berjudul Rei Ki: Teknik Efektif untuk
Membangkitkan Kemampuan Penyembuhan Luarbiasa Secara Seketika.
Filsafat Barat
‘Filsafat Barat’ atau Western Philosophy ialah tradisi filsafat yang dikembangkan bangsa Barat
sejak masa klasik (abad 5 SM-5 M), pertengahan (6 M-14 M), dan masa modern (15 M-
sekarang), yang diproduksi di negara-negara Barat seperti Yunani, Italia, Perancis, Jerman,
Inggris, Amerika, dan lain-lain. Sekarang kajian Western Philosophy dipecah-pecah menjadi
banyak cabang, seperti Analytic Philosophy, Continental Philosophy, German Philosophy, dan
lain-lain.
‘Filsafat Barat’ yang cabang-cabangnya amat banyak itu telah banyak dikaji oleh filosof
Indonesia, bahkan bisa dikatakan sebagai filsafat yang paling banyak dikaji dan yang paling
dikuasai oleh mereka. Sejak abad 19 M, saat kolonialis Belanda menerapkan ‘Politik Etis’
dengan berdirinya sekolah-sekolah ala Barat dan gereja-gereja Protestan yang mengajarkan
peradaban Barat Modern di tengah-tengah pribumi Indonesia, ‘Filsafat Barat’ mulai dipelajari
pelajar-pelajar pribumi. Hingga proklamasi kemerdekaan RI pun, ‘Filsafat Barat’ sering dijadikan
counter-culture terhadap ‘Filsafat Etnik’ oleh para filosof Indonesia yang telah Western-minded.
‘Sejarah Filsafat Barat’, terutama sejarah Filsafat Barat abad 20, telah dikajii oleh K. Bertens
dalam karyanya Filsafat Barat Abad XX dan Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. ‘Filsafat
Barat Klasik’, seperti Filsafat Yunani-Kuno sejak Thales hingga Plotinus, telah dikaji oleh
Mohammad Hatta (salah satu founding father kita) dalam bukunya Alam Pikiran Yunani.
‘Filsafat Barat Modern’ adalah cabang yang paling banyak dikaji, karena hampir semua lembaga
sosial-politik Indonesia banyak yang terinspirasi darinya. Bentuk pemerintahan Republik,
konstitusi negara modern, lembaga perwakilan rakyat, distribusi kekuasaan yang sejalan dengan
Trias Politica, partai politik, dan ideologi partai tersebut sungguh-sungguh cerminan pengaruh
alam pikiran Barat.
Filsafat Marxisme-Leninisme pernah dikaji oleh Tan Malaka dalam bukunya Madilog:
Materialisme, Dialektika, Logika dan D.N. Aidit dalam bukunya Tentang Marxisme, Problems of
The Indonesian Revolution, dan Kibarkan Tinggi Pandji Revolusi!. Semaoen mengkaji
organisasi buruh komunis dalam bukunya Toentoenan Kaoem Boeroeh. Filsafat Sosialisme-
Demokrat pernah dikaji oleh Sutan Syahrir dalam tulisannya Sosialisme di Eropah Barat dan
Masa Depan Sosialisme Kerakyatan. Filsafat Politik Republik pernah dikaji oleh Tan Malaka
dalam buku Naar de ‘Republiek Indonesia’ dan perkembangan Kapitalisme di Indonesia juga
dibahas dalam bukunya Massa Actie. Soekarno, ‘si penyambung lidah rakyat’, pernah
membahas Filsafat Nasionalisme dalam bukunya Mencapai Indonesia Merdeka. Filsafat
Fasisme Jerman pernah mencuat dalam pidato Soepomo di Rapat BPUPKI menjelang
kemerdekaan dan Filsafat Modernisasi mengisi hampir seluruh wacana sosial-politik di era Orde
Baru Soeharto.
Di era Soeharto, yakni era ‘filsafat sebagai candu’, banyak sekali cabang filsafat Barat yang dikaji
oleh filosof Indonesia. Filsafat Estetika dikaji oleh Jakob Sumardjo dalam bukunya Filsafat Seni.
Juga oleh Wajid Anwar L. dalam kedua bukunya Filsafat Estetika dan Filsafat Estetika (Sebuah
Pengantar). Filsafat Etika dikaji oleh K. Bertens dalam beberapa karyanya seperti Keprihatinan
Moral, Telaah atas Masalah Etika, Perspektif Etika, Kajian atas Masalah-Masalah Aktual, dan
Aborsi sebagai Masalah Etika. Juga dikaji oleh W. Poespoprodjo dalam bukunya Filsafat Moral,
dan I.R. Poedjawijatna dalam bukunya Etika Filsafat Tingkah Laku. Rosady Ruslan mengkaji
Filsafat Etika yang diterapkan pada bidang Kehumasan dalam karyanya Etika Kehumasan,
sedangkan M. Dawam Rahardjo mengkaji Filsafat Etika yang diterapkan dalam bidang Ekonomi
dan Manajemen dalam bukunya Etika Ekonomi dan Manajemen.
Filsafat Epistemologi Barat dikaji SJ. Sudarminta dalam bukunya Epistemologi Dasar, Pengantar
ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan dan M. Ghozi Badrie dalam karyanya Filsafat
Umum: Aspek Epistemologi. Sedangkan Widoyo Alfandi mengkaji Filsafat Epistemologi yang
diterapkan dalam bidang Geografi dalam karyanya Epistemologi Geografi. Filsafat Logika dikaji
oleh I.R. Poedjawijatna dalam karyanya Logika: Filsafat Berpikir dan Burhanuddin Salam dalam
bukunya Logika Formal. Filsafat Kosmologi dikaji oleh Moertono dalam karyanya Filsafat
Kosmologi/Filsafat Alam Semesta: Filsafat Teori Kejadian-Kejadian Factual, Dihampiri secara
Manusiawi Filsafat.
Filsafat Semiotika dalam perspektif Roland Barthes dikaji oleh Kurniawan dalam bukunya
Semiologi Roland Barthes, sedangkan Filsafat Hukum dikaji oleh Soetikno dalam bukunya
Filsafat Hukum, Suhadi dalam bukunya Filsafat Hukum, Lili Rasjidi dalam kedua karyanya
Filsafat Hukum: Apakah Hukum itu? dan Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya. Juga oleh
Moertono dalam bukunya Filsafat Hukum: Metodik Penelitian Ilmu Desisi. Filsafat Politik dikaji
oleh J.H. Rapar dalam beberapa karyanya seperti Filsafat Pemikiran Politik, Filsafat Politik
Aristoteles, Filsafat Politik Agustinus, Filsafat Politik Machiavelli, dan Filsafat Politik Plato. Franz
Magnis-Suseno juga punya concern dalam Filsafat Politik, sebagaimana terlihat dalam bukunya
Filsafat Kebudayaan Politik.
Filsafat Sejarah dikaji oleh beberapa filosof, seperti H.R.E Tamburaka dalam bukunya Pengantar
Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Kunto Wijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah, dan
Purwo Husodo dalam karyanya Filsafat Sejarah Oswald Spengler. Filsafat Agama dikaji oleh
Tom Jacobs, SJ dalam bukunya Paham Allah, dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi,
Hamzah Ya’qub dalam karyanya Filsafat Agama, Hamka dalam bukunya Filsafat Ketuhanan,
H.M. Rasjidi dalam karya terjemahannya Filsafat Agama, dan Louis Leahy dalam bukunya
Filsafat Ketuhanan Kontemporer.
Filsafat Ilmu dikaji oleh Djohansjah dalam bukunya Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu, Jujun
Suriasumantri dalam dua buku masterpiece-nya Ilmu dalam Perspektif dan Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer, Burhanuddin Salam dalam dua karyanya Logika Materiil, Filsafat Ilmu
Pengetahuan dan Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Hartono Kasmadi dalam bukunya Filsafat
Ilmu, M. Solly Lubis dalam bukunya Filsafat Ilmu dan Penelitian, Hidanul I Harun dalam bukunya
Filsafat Ilmu Pengetahuan, dan Chairul Arifin dalam karyanya Filsafat Ilmu Pengetahuan: Suatu
Pengantar. Filsafat Pendidikan dikaji oleh Redja Mudyahardjo dalam karyanya Filsafat Ilmu
Pendidikan, Imam Barnadib dalam bukunya Filsafat Pendidikan, dan Paul Suparno dalam
bukunya Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan.
Filsafat Manusia dikaji oleh Zainal Abidin dalam bukunya Filsafat Manusia, Burhanuddin Salam
dalam bukunya Filsafat Manusia: Antropologi Metafisika, Kasmiran Wuryo Sanadji dalam
bukunya Filsafat Manusia, N. Drijarkara dalam karyanya Filsafat Manusia, dan Moertono dalam
5. Eksistensialisme dalam Puisi-Puisi Chairil Anwar
Filsafat Kristen
1. Ekaristi dan Filsafatnya
2. Transubstansiasi: Filsafat dan Sejarahnya
3. Hermeneutika Injili: Filsafat dan Aplikasinya
Filsafat Paska-Soeharto
1. Reformasi: Tujuan-Tujuan dan Aplikasinya
2. Filsafat Reformasi
1 Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, 8 jilid, terbitan New York, Macmillan Publishing Co., Inc., & The Free Press, 1967. Ini adalah salah satu ensiklopedia filsafat yang diakui banyak pelajar filsafat sebagai yang paling terlengkap sampai saat ini. 2 St.Elmo Nauman Jr., Dictionary of Asian Philosophies, (*Routledge and Kegan Paun Ltd., 1979), h. xiii-xvii 3 Baru-baru ini penulis menggunakan fasilitas dari situs www.wikipedia.org untuk mempublikasikan kajian Filsafat Indonesia di dunia maya. Silahkan baca artikel penulis versi Indonesia (http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_Indonesia) atau versi Inggris (http://en.wikipedia.org/wiki/Indonesian_Philosophy). 4 M. Nasroen, Falsafah Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 14, 24, 25, 33, dan 38 5 Sunoto, Pemikiran Tentang Kefilsafatan Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Lembaga Studi Filsafat Pancasila & Andi Offset, 1983), h. iii; Beliau sangat produktif dalam mengkaji Filsafat Indonesia, karya-karyanya yang lain misalnya ialah: Menuju Filsafat Indonesia: Negara-Negara di Jawa Sebelum Proklamasi Kemerdekaan, (Yogyakarta: Hanindita Offset, 1987) dan Selayang Pandang tentang Filsafat Indonesia, (Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1981). 6 R. Pramono, Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, (Yogyakarta: Andi Offset, 1985), h. v-vi 7 Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002). 8 M. Nasroen, Falsafah Indonesia, h. 3 9 Sunoto, Menuju Filsafat Indonesia, h.ii 10 R. Pramono, Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, h.iii 11 Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan, (Yogyakarta: AKA Group, 2003), h.116 12 Bertrand Russell, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to The Present Day, (London: George Allen and Uniwin, Ltd., 1946), h. 447-448 13 Frederick Mayer, A History of Ancient & Medieval Philosophy, (New York: American Book Company, 1950), h. 395 14 Masaaki Kôsaka, ‘The Intellectual Background of Modern Japanese Thought’, dalam Guy S. Metraux & François Crouzet (eds.), The New Asia: Readings in The History of Mankind, (Canada: The New American Library, 1965), h.356 15 Sayang sekali penulis tidak bisa melacak website apa yang menerbitkan artikel on-line ini. Yang pasti, artikel ini penulis temukan dengan bantuan mesin search dari www.yahoo.com dengan kata kunci ‘Chinese Philosophy’. Silahkan browse. 16 Harus dibedakan antara pemikiran ‘Sutan Takdir Muda’ dengan ‘Sutan Takdir Tua’. ‘Sutan Takdir Muda’ adalah potret seorang pemberontak yang hendak menerabas kekangan tradisi (harap diingat, beliau lahir dari tradisi Minangkabau yang amat konservatif dalam hal hukum adat), sedangkan ‘Sutan Takdir Tua’ adalah sosok pemikir matang yang lebih realistis melihat kenyataan tentang ekses-ekses modernisasi (Westernisasi), misalnya, berupa nihilisme, ketimpangan ekonomi antara negara kaya dan negara miskin, dan krisis ekologi. 17 Abdul Hadi W.M., ‘Mengenang Asrul Sani (1927-2004): Surat Kepercayaan Gelanggang dan Masalah-Masalah Kesusastraan Kita’, dalam Majalah Sastra HORISON, Maret 2004, h.22 18 Mochtar Lubis, Indonesia: Land under the Rainbow, (Oxford, New York, Singapore: Oxford University Press, 1990), h. 6-14 19 Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan, (Yogyakarta: AKA Group, 2003), h.116 20 Mochtar Lubis, Indonesia: Land under the Rainbow, h.4-6 21 M. Nasroen, Falsafah Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967). 22 Sunoto, Pemikiran Tentang Kefilsafatan Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Lembaga Studi Filsafat Pancasila & Andi Offset, 1983); Menuju Filsafat Indonesia: Negara-Negara di Jawa Sebelum Proklamasi Kemerdekaan, (Yogyakarta: Hanindita Offset, 1987), dan Selayang Pandang tentang Filsafat Indonesia, (Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1981). 23 R. Pramono, Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, (Yogyakarta: Andi Offset, 1985). 24 Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002) dan Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan, (Yogyakarta: AKA Group, 2003). 25 Lihat karya kami, Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia, yang mengkaji filosof Indonesia dari etnis Cina dalam sub-bab ‘Adaptasionisme Cina’. 26 Ibid. 27 Ibid. 28 Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia, hal. 117