1. HASIL PENGAMATAN1.1. Pengukuran Lapisan Nata de cocoHasil
pengamatan terhadap pengukuran lapisan nata de coco pada hari ke-0,
hari ke-7, dan hari ke-14 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengukuran Lapisan Nata de coco pada hari ke-0, ke-7,
dan ke-14KelTinggi MediaAwal (cm)Tinggi Ketebalan Nata (cm)%
Lapisan Nata
H0H7H14H0H7H14
A11,400,30,3021,4321,43
A21,200,40,4033,3333,33
A31,400,50,5035,7135,71
A4200,20,6010,0030,00
A51,200,20,3016,6025,00
Pada hasil pengamatan diatas dapat diketahu bahwa tinggi media
awal pada masing masing kelompok berbeda tergantung dari volume
wadah yang dipakai. Pada hari ke-0 tidak ada pertumbuhan dari
lapisan nata de coco. Pada hari ke-7 dan 14 sudah mulai menunjukan
ada pertumbuhan tetapi pada kelompok A1 sampai A3 pada hari ke-14
tidak terjadi peningkatan ketebalan nata sedangkan pada kelompok A4
dan A5 terjadi peningkatan ketebalan nata yang tidak terlalu
banyak.
17
21
2. PEMBAHASAN
Bahan utama dalam pembuatan nata de coco yaitu air kelapa dimana
air kelapa ini terkadang dijadikan sebagai limbah padahal air
kelapa memiliki kandungan nutrisi yang banyak dan dapat digunakan
sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhan mikroorganisme.
Pemanfaatan air kelapa dengan benar dengan menggunakan
mikroorganisme yang sesuai, maka contoh produk yang dapat dibuat
dengan air kelapa yaitu nata de coco (Astawan & Astawan, 1991).
Pada praktikum ini digunakan air kelapa sebagai bahan baku
pembuatan nata de coco.
Dalam proses fermentasi, air kelapa bisa dijadikan sebagai
substrat atau sumber isolat bakteri karena air kelapa mengandung
protein, gula, asam amino, dan berbagai macam vitamin dan mineral.
Pada air kelapa, kandungan gula yang dimiliki berkisar antara 7 10%
dan tersusun dari polisakarida berupa dekstrosa yang berpotensi
untuk dimanfaaatkan sebagai bahan baku fermentasi asam organik
(Widayati et al., 2002). Onifade (2003), juga menambahkan bahwa air
kelapa memiliki kandungan nutrisi yang tinggi yaitu karbohidrat
4,6%, protein 0,14%, lemak 1,5%, abu 1,06%, dan kandungan sisanya
berupa air. Dalam air kelapa terdapat kandungan gula yaitu
fruktosa, dekstrosa, dan sukrosa. Selain itu, dalam air kelapa juga
mengandung vitamin seperti vitamin B kompleks yang terdiri atas
asam folat, asam pantotenat, riboflavin, asam nikotinat, dan
biotin. Menurut Almeida et al. (2012) dalam jurnal yang berjudul
Mineral Consumption by Axetobacter xylinum on Cultivation Medium on
Coconut Water, mengatakan bahwa nutrisi yang ada pada air kelapa
dapat merangsang produksi selulosa oleh Acetobacter menjadi lebih
optimal.
Nata de coco termasuk dalam produk fermentasi yang terbuat dari
air kelapa yang dibantu oleh mikroorganisme untuk menghasilkan nata
yang tersusun dari senyawa selulosa (Pambayun, 2002). Santosa et al
(2012), juga mengatakan bahwa nata de coco merupakan produk
fermentasi yang tersusun atas komponen selulosa yang berasal dari
air kelapa dengan melibatkan mikroorganisme Acetobacter xylinum.
Dari asal katanya, Nata berarti suatu selulosa yang memiliki bentuk
padat, bertekstur kenyal, dan memiliki warna putih transparan,
serta mempunyai kandungan air sebesar 98%. Coco berarti buah kelapa
sehingga selulosa yang terbentuk dari buah kelapa dapat disebut
dengan nata de coco. Menurut Mesomya et al (2006) dalam jurnal yang
berjudul Effects of health food from cereal and nata de coco on
serum lipids in human menyatakan bahwa nata de coco dapat membantu
untuk menjaga berat badan dan dapat mencegah terjadinya kanker
kolon. Hal tersebut dapat terjadi karena terdapat kandungan
selulosa yang tinggi serta kandungan lemak yang rendah dan tidak
ada kandungan kolestrol yang mengganggu kesehatan. Mekanisme
Pembentukan NataMikroorganisme yang membantu dalam proses
fermentasi dalam pembuatan nata de coco yaitu bakteri Acetobacter
xylinum. Nata yang merupakan komponen selulosa terbentuk ketika
bakteri dapat tumbuh selama proses fermentasi berlangsung, dimana
air kelapa dapat memenuhi gula yang dibutuhkan. Pada proses
fermentasi, kandungan gula sangat penting agar pertumbuhan
mikroorganisme dapat berjalan dengan baik karena kandungan gula
tersebut berperan sebagai substrat dan akan mengalami konversi
menjadi senyawa asam organik yang diawali dengan pemecahan gula
menjadi selulosa oleh bakteri Acetobacter xylinum. Hasil pemecahan
ini kemudian akan membentuk serat tipis seperti benang halus yang
terbentuk oleh selulosa. Selama proses fermentasi, serat yang tipis
itu akan menghasilkan jaringan kuat dengan lapisan selulosa yang
tebal. Serat serat kasar yang terkandung dalam nata de coco sangat
dibutuhkan oleh tubuh terutama pada sistem pencernaan (Astawan
& Astawan, 1991).
Dalam praktikum mengenai pembuatan nata de coco dibagi menjadi 2
tahap yaitu pembuatan media dan proses fermentasi. Pada praktikum
ini digunakan air kelapa sebagai media pertumbuhannya. Widayati et
al (2002), mengatakan bahwa kandungan gula yang ada pada air kelapa
tersusun atas polisakarida berupa dekstrosa yang berpotensi untuk
dimanfaatkan sebagai bahan dasar fermentasi asam organik sehingga
penggunaan air kelapa yang dilakukan pada praktikum ini sudah
sesuai dengan teori yang ada. Pada proses fermentasi, bakteri yang
membantu dalam proses pembuatan nata de coco yaitu Acetobacter
xylinum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ofinade (2003), yang
mengatakan bahwa nutrisi yang terkandung dalam air kelapa seperti
fruktosa, sukrosa, dan dekstrosa sangat mendukung untuk pertumbuhan
bakteri Acetobacter xylinum selama proses fermentasi
berlangsung.
2.1. Pembuatan MediaPada praktikum ini dilakukan pembuatan media
fermentasi. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menunjang kondisi
lingkungan untuk pertumbuhan mikroorganisme dalam jumlah banyak,
memberikan nutrisi bagi mikroorganisme yang tumbuh, dan supaya
didapatkan hasil biakan murni (Volk & Wheeler, 1993). Langkah
pertama dalam pembuatan media yaitu melakukan penyaringan terhadap
air kelapa yang dipakai sebagai media. Pada praktikum ini digunakan
air kelapa sebanyak 1500 ml untuk 5 kelompok. Proses penyaringan
yang dilakukan pada praktikum ini sudah sesuai dengan teori Volk
& Wheeler (1993), yang mengatakan bahwa dilakukan proses
penyaringan dengan tujuan untuk memisahkan kotoran yang tidak larut
pada air kelapa. Setelah proses penyaringan dilakukan, kemudian air
kelapa dimasak dengan cara direbus hingga mendidih. Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk membunuh semua mikroorganisme yang
berada di dalam air kelapa tersebut sehingga nantinya bakteri
Acetobacter xylinum dapat tumbuh dengan baik tanpa adanya gangguan
dari mikroorganisme kontaminan (Tortora et al., 1995).
Gambar 1. Penyaringan air kelapa
Gambar 2. Perebusan air kelapa
Langkah selanjutnya yaitu memasukan gula pasir sebanyak 10% dari
air kelapa yaitu 150 gram untuk 5 kelompok ke dalam air kelapa yang
sudah mengalami perebusan, kemudian diaduk hingga gula larut
sempurna. Hayati (2003), mengatakan bahwa dilakukan penambahan gula
agar didapatkan karakteristik nata de coco sesuai yang diharapkan
baik dari segi tekstur, penampakan, dan juga flavor. Selain itu,
adanya penambahan gula juga dapat meningkatkan nutrisi dari nata de
coco dan juga berfungsi sebagai pengawet agar nata de coco yang
dihasilkan memiliki umur simpan yang panjang. Awang (1991), juga
menambahkan bahwa gula juga berguna sebagai sumber karbon selama
proses fermentasi berlangsung untuk menunjang pertumbuhan bakteri.
Pada praktikum ini, gula yang dipakai yaitu gula pasir. Hal ini
sesuai dengan teori yang dikatakan oleh Pambayun (2002), bahwa
sukrosa, disakarida, dan monosakarida adalah sumber karbon yang
biasa dipakai dalam proses fermentasi. Menurut Halib et al. (2012)
dalam jurnal yang berjudul Physicochemical Properties and
Characterization of Nata de coco from Local Food Industries as a
Source of Cellulose, mengatakan bahwa Acetobacter xylinum merupakan
bakteri asam asetat yang dapat mengoksidasi alkohol dan gula.
Penambahan gula sebanyak 10% pada praktikum ini sudah sesuai dengan
teori Sunarso (1982), yang mengatakan bahwa dalam pembuatan nata de
coco, konsentrasi gula optimum yaitu sebesar 10% akan dapat
menghasilkan selulosa yang liat, tebal, dan juga kokoh. Penambahan
gula yang berlebihan akan mengakibatkan bakteri Acetobacter xylinum
tidak dapat memanfaatkan gula tersebut secara maksimal sehingga
hasil akhir produk nata de coco akan menjadi sangat manis.
Gambar 3. Penambahan gula dalam rebusan air kelapa
Tahap selanjutnya yaitu penambahan ammonium sulfat sebanyak
0,75% atau 7,5 gram untuk 5 kelompok. Awang (1991), mengatakan
bahwa syarat suatu medium dapat digunakan selama proses fermentasi
yaitu harus mengandung minimal unsur nitrogen dan karbon. Perlakuan
penambahan gula akan memberikan unsur nitrogen pada air kelapa yang
digunakan sebagai media pertumbuhan sehingga berdasarkan teori
Awang (1991), maka sumber nitrogen didapatkan dari penambahan
ammonium sulfat. Selain karbon, nitrogen juga berperan dalam
mendukung pertumbuhan dari bakteri Acetobacter xylinum (Pambayun,
2002). Selain penggunaan ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen,
penggunaan ammonium fosfat dan urea juga dapat dilakukan sebagai
sumber nitrogen. Menurut Jagannath et al (2008), dari jurnal yang
berjudul The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate
concentrations on the production of bacterial cellulose
(Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum, mengatakan bahwa untuk
memperoleh ketebalan nata yang maksimum maka media fermentasi harus
berada pada pH 4,0 dengan penambahan gula sebanyak 10% dan
penambahan ammonium sulfat sebanyak 0,5% dimana pada kondisi
tersebut akan mendapatkan nata de coco dengan permukaan lembut dan
tekstur yang kenyal.
Gambar 4. Penambahan ammonium sulfat pada rebusan air kelapa
Langkah selanjutnya yaitu melakukan proses pemanasan selama 10
menit dengan tujuan untuk menghomogenkan media. Lalu, dilakukan
penambahan asam asetat glasial agar tercapai kondisi media yang
mempunyai pH 4 5. Tujuan dari penambahan asam asetat glacial ini
agar didapatkan kondisi pH medium yang sesuai dengan yang
dibutuhkan bakteri Acetobacter xylinum untuk dapat tumbuh
(Anastasia et al., 2008). Pambayun (2002), juga menambahkan bahwa
pH optimum untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum yaitu pada
kondisi asam dengan pH sekitar 4,3. Atlas (1984), menambahkan bahwa
pada pH 4,5, maka selulosa akan terbentuk oleh senyawa 2,5-asam
ketoglukonat. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter
agar pH media tidak terlalu tinggi ataupun terlalu rendah. Atlas
(1984), mengatakan bahwa pH yang terlalu rendah akan mengakibatkan
Acetobacter xylinum akan memakai energi secara berlebihan untuk
mengatasi tekanan karena adanya perbedaan pH yang terlalu besar
dari kondisi pH optimumnya untuk dapat tumbuh sehingga seiring
berjalannya waktu, maka aktivitas dari Acetobacter xylinum akan
berhenti karena persediaan energi sudah habis.
Gambar 5. Penambahan asam asetat glasial
Gambar 6. Penyesuaian pH media air kelapa
Setelah penyesuaian pH media, kemudian pemanasan dilanjutkan
hingga semua campuran larut sempurna. Kemudian, media disaring
dengan memakai kain saring. Proses pemasakan kembali dilakukan agar
media pertumbuhan Acetobacter xylinum menjadi steril (Pato &
Dwiloted (1994). Hal ini dilakukan karena selama proses penambahan
berbagai macam campuran seperti gula, ammonium sulfat, dan asam
asetat glacial tidak dilakukan secara aseptis sehingga pemasakan
kembali harus dilakukan untuk membunuh mikroorganisme kontaminan
yang kehadirannya tidak diinginkan. Proses penyaringan kembali
dilakukan untuk memurnikan media agar tidak terkontaminasi oleh
cemaran fisik seperti pasir, kotoran, dan padatan lainnya. Menurut
Santosa et al. (2012) dalam jurnal yang berjudul Dextrin
Concentrations and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Making of
Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco, mengatakan bahwa
bakteri Acetobacter xylinum akan berperan dalam mengubah komponen
gula yang terdapat pada air kelapa menjadi selulosa dimana selulosa
yang terbentuk ini yang disebut dengan nata de coco.
Gambar 7. Pemanasan kembali media air kelapa
2.2. Proses FermentasiProses fermentasi dilakukan dengan
menyiapkan 5 wadah plastik bersih sebagai tempat fermentasi. Lalu
tiap wadah diisi dengan 250 ml media yang sebelumnya telah
disiapkan pada proses pembuatan media. Selanjutnya, biang nata
berupa Acetobacter xylinum dimasukan ke dalam media sebanyak 10%
dari jumlah media yaitu sekitar 25 ml. Dalam proses penuangan biang
nata ke dalam media harus dilakukan secara aseptis dan dilakukan
penggojogan secara perlahan agar biang nata dapat tercampur rata di
dalam media. Kemudian, wadah ditutup dengan menggunakan kertas
coklat dan dilanjutkan dengan inkubasi. Proses penuangan biang nata
ini sesuai dengan teori yang dikatakan oleh Rahayu et al., (1993)
bahwa jumlah inokulum yang ditambahkan ke dalam media berkisar
antara 5 10%.
Gambar 8. Penuangan air kelapa ke dalam wadah
Gambar 9. Penambahan bakteri Acetobacter xylinum ke dalam
media
Gambar 10. Penutupan wadah dengan kertas coklat
Proses inkubasi dilakukan selama 14 hari dalam suhu ruang.
Selama inkubasi berlangsung, pada media akan ditumbuhi lapisan nata
yang harus dijaga agar tidak tergoncang dan terhindar dari sinar
matahari secara langsung. Pengamatan pembentukan nata ini dilakukan
pada hari ke-0, hari ke-7, dan hari ke-14. Lapisan nata yang
terbentuk kemudian diukur ketebalannya menggunakan penggaris dan
dihitung persentasenya. Dari persentase tersebut dapat dilihat
besarnya kenaikan dari lapisan nata tiap minggunya.
Rahayu et al., (1993), mengatakan bahwa tujuan dari dilakukannya
proses inkubasi yaitu memberikan waktu untuk bakteri Acetobacter
xylinum untuk dapat beraktivitas, beradaptasi, dan menghasilkan
selulosa pada media air kelapa yang memiliki kandungan gula.
Ketebalan lapisan nata yang optimum dapat diperoleh dengan
fermentasi selama 10 14 hari pada suhu 28-32C. Hal ini sudah sesuai
dengan praktikum yang dilakukan yaitu inkubasi selama 14 hari pada
suhu ruang yaitu sekitar 30C. Czaja et al (2004), menambahkan bahwa
setelah 14 hari fermentasi, tidak nampak adanya penambahan
ketebalan lapisan nata dimana hal ini menunjukan bahwa pertumbuhan
nata sudah tidak ada lagi sehingga waktu inkubasi yang optimum
yaitu 14 hari.
Gambar 11. Inkubasi pada suhu ruang
Pada saat inkubasi, wadah diberi perlakuan yaitu ditutup dengan
menggunakan kertas coklat. Hal ini dilakukan karena kertas coklat
memiliki pori pori besar yang bertujuan untuk melindungi nata dari
kontaminasi lingkungan sekitar. Tetapi, penggunaan kertas coklat
ini tidak menutup kemungkinan akan adanya udara yang masuk ke dalam
wadah fermentasi. Hal ini sesuai dengan teori yang dikatakan oleh
Budiyanto (2002), bahwa bakteri Acetobacter xylinum adalah bakteri
yang memiliki sifat obligat anaerob. Kouda et al (1997), juga
menambahkan bahwa keberadaan oksigen akan mempengaruhi produksi
dari selulosa yang merupakan hasil metabolit sekunder bakteri
Acetobacter xylinum.
Budiyanto (2002), mengatakan bahwa selama proses inkubasi
dilakukan, media harus diletakkan ditempat yang tidak terkena
goncangan karena hal ini akan mengakibatkan lapisan nata yang
terbentuk menjadi tenggelam ke dasar wadah dan lapisan nata baru
yang terbentuk memiliki struktur terpisah dari nata yang sebelumnya
sudah terbentuk. Hal ini menyebabkan ketebalan nata de coco yang
dihasilkan menjadi tidak sama atau tidak seragam antar sisinya.
Budiyanto (2002), juga menambahkan bahwa proses inkubasi juga harus
ditempat yang tidak terkena sinar matahari secara langsung karena
hal ini akan menyebabkan pertumbuhan dari Acetobacter xylinum
menjadi terhambat karena adanya perubahan suhu yang tidak sesuai
dengan suhu optimum.
Pada praktikum ini, proses pembentukan nata terjadi pada
permukaan media cair. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan
oleh Palungkun (1996), bahwa bakteri Acetobacter xylinum akan
menghasilkan gas karbondioksida selama proses fermentasi
berlangsung. Munculnya karbondioksida ini dapat terlihat dari
munculnya gelembung gelembung dimana mempunyai kecenderungan untuk
melekat pada jaringan selulosa yang dihasilkan oleh bakteri
Acetobacter xylinum. Hal ini mengakibatkan jaringan selulosa
menjadi terangkat ke permukaan media cair karena adanya gas
karbondioksida yang menempel sehingga nata akan terbentuk di
permukaan media cair.
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa pada hari ke-0 belum ada
lapisan nata yang terbentuk karena harus melalui proses inkubasi
terlebih dahulu. Pada hari ke-7 mulai terbentuk lapisan nata pada
permukaan media pada masing masing kelompok. Persentase lapisan
nata tertinggi dapat ditemukan pada kelompok A3 yaitu sebesar
35,71% dan diikuti oleh kelompok A2 yaitu 33,33%, lalu diikuti
kelompok A1 yaitu 21,43%, kemudian kelompok A5 yaitu 16,60%, dan
yang paling kecil yaitu pada kelompok A4 yaitu sebesar 10%. Adanya
perbedaan persentase tiap kelompok dapat terjadi karena adanya
perbedaan wadah fermentasi yang digunakan dimana volume wadah tidak
sama sehingga tinggi nata yang dihasilkan akan mengikuti lebar dan
panjang wadah fermentasi yang digunakan. Rahman (1992), mengatakan
bahwa lapisan nata yang terbentuk karena adanya aktivitas bakteri
Acetobacter xylinum yang ada di dalam media air kelapa.
Pada hari ke-14, lapisan nata yang dihasilkan semakin tebal.
Namun pada kelompok A1 sampai A3 tidak terdapat peningkatan
ketebalan nata yang mungkin terjadi karena adanya goncangan ketika
proses inkubasi dilakukan sehingga nata yang terbentuk akan
tenggelam ke dasar wadah dan nata baru yang terbentuk akan terpisah
strukturnya dari nata yang sudah terbentuk sebelumnya (Budiyanto,
2002). Selain itu, kemungkinan lain yang terjadi karena pH media
yang terlalu rendah sehingga Acetobacter xylinum akan memakai
energi secara berlebihan untuk mengatasi tekanan karena adanya
perbedaan pH yang terlalu besar dari kondisi pH optimumnya untuk
dapat tumbuh sehingga seiring berjalannya waktu, maka aktivitas
dari Acetobacter xylinum akan berhenti karena persediaan energi
sudah habis sehingga pembentukan lapisan nata akan terhenti. Namun,
pada kelompok A4 dan A5 didapatkan peningkatan ketebalan nata yang
terbentuk sehingga hal ini sesuai dengan teori yang dikatakan oleh
Rahman (1992), bahwa terdapat aktivitas dari bakteri Acetobacter
xylinum yang ditunjukan oleh adanya lapisan nata yang terbentuk
berwarna putih dan seiring berjalannya waktu akan mengalami
peningkatan menjadi semakin tebal dan padat. Adanya peningkatan
ketebalan nata selama proses inkubasi dilakukan menunjukan bahwa
bakteri Acetobacter xylinum terus bekerja untuk memecah gula yang
terdapat di dalam media cair. Anastasia et al (2008), mengatakan
bahwa polisakarida merupakan selulosa yang akan membentuk benang
serat dan akan terus mengalami penebalan dengan jaringan yang kuat
dan kokoh sehingga disebut dengan partikel nata. Perbedaan hasil
nata tiap kelompok dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah
starter pada tiap wadah fermentasi karena proses pembuatan media
dilakukan menjadi satu.
Gambar 12. Hasil nata de coco
Kesalahan yang terjadi seperti pada kelompok A1 sampai A3 yang
tidak terjadi peningkatan ketebalan nata selama penyimpanan dapat
terjadi karena beberapa faktor yaitu :a. pH fermentasiAnastasia et
al (2008), mengatakan bahwa kondisi pH media yang tidak sesuai akan
mempengaruhi nata yang dihasilkan. Penambahan asam asetat glacial
yang tidak sesuai akan berpengaruh terhadap pH media sehingga pH
yang tidak sesuai akan membuat bakteri Acetobacter xylinum bekerja
secara berlebihan sehingga energi habis terkuras sebelum waktunya.
Kondisi pH optimum untuk pertumbuhan nata adalah 4.3 4.5 (Pambayun,
2002 dan Atlas, 1984).b. Kebersihan alatAlat yang digunakan dalam
proses pembuatan nata de coco harus dalam kondisi steril agar tidak
terjadi kontaminasi dan menghambat pertumbuhan dari bakteri
Acetobacter xylinum (Budiyanto, 2002). c. Kondisi AseptisPada
pembuatan nata de coco harus dilakukan secara aseptis karena
penggunaan gula akan memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh yeast
(Jagannath et al., 2008). Pada praktikum ini, proses pembuatan yang
tidak aseptis akan menyebabkan nata de coco yang dihasilkan tidak
mengalami kenaikan ketebalan.
3. KESIMPULAN
Nata de coco merupakan produk fermentasi yang terbuat dari
komponen selulosa yang terbentuk dari air kelapa dengan bantuan
Acetobacter xylinum. Acetobacter xylinum termasuk dalam bakteri
yang bersifat obligat anaerob. Nata merupakan selulosa yang
berbentuk serat tipis seperti benang halus. Kemampuan Acetobacter
xylinum untuk membentuk selulosa tergantung sumber karbon dan
nitrogen, pH media, dan suhu inkubasi. Kondisi optimum media air
kelapa didapatkan dengan penambahan gula 10%, ammonium sulfat 0,5%,
dan pH media yaitu 4,5. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang dan
tanpa adanya goncangan, serta tidak terkena sinar matahari secara
langsung untuk mendapatkan nata de coco dengan kualitas yang baik.
Proses pembuatan nata de coco harus dilakukan secara aseptis untuk
menghindari terjadinya kontaminasi..
Semarang, 23 Juni 2015Asisten Dosen:Praktikan:- Wulan Apriliana
Nies Mayangsari
Michael Yefta(12.70.0029)4. DAFTAR PUSTAKA
Almeida et al. 2012. Minerals consumption by Acetobacter xylinum
on cultivation medium on coconut water. Brazilian Journal of
Microbiology. Vol 44(1) : 197-206
Anastasia; Nadia; dan Afrianto Eddy. (2008). Mutu Nata de
Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung.
Astawan, M. dan M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan
Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Awang, S. A. (1991). Kelapa: Kajian SosialEkonomi. Aditya Media.
Yogyakarta.
Budiyanto, M.A.K., (2002), Dasar-dasar Ilmu Gizi, Malang: UMM
Press.
Czaja W.; Dwight R; and R. Malcolm Brown, Jr. (2004). Structural
Investigations of Microbial Cellulose Produced in Stationary and
Agitated Culture. Cellulose 11: 403 411.
Halib, N; M.C.I.M. Amin; dan I. Achmad. (2012). Physicochemical
Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food
Industries as a Source of Cellulose. Journal of Sains Malaysia 41
(2) (2012): 205 211.
Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa.
Yogyakarta.
Jagannath, A.; A. Kalaiselvan; dan S.S. Manjunatha. (2008). The
effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the
production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter
xylinum. World Journal Microbiology Biotechnology (2008) 24: 2593
2599.
Kouda T, Naritomi T, Yano H, dan Yoshinaga F. (1997). Effects of
oxygen and carbon dioxide pressures on bacterial cellulose
production by Acetobacter in aerated and agitated culture. Journal
of Fermentation and Bioengineering. 84: 124-127.
Mesomya, W.; Varapat, P.; Surat, K.; Preeya, L.; Yaovadee, C.;
Duangchan, H.; Pramote, T. and Plernchai, T. 2006. Effects of
Health Food from Cereal and Nata De Coco on Serum Lipids in Human.
Journal Science Technology 28(Suppl. 1): 23-28.
Onifade. A.K. Jeff-Agboola, Y.A. 2003. Effect of Fungal
Infectionon Proximate nutrient Composition of Coconut (Cocos
Nucifera Linn) fruit. Food, Agriculture & Environment. Volume
1(2).
Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco.
Kanisius. Yogyakarta.
Pato, U. dan Dwiloted, B. (1994). Proses dan Faktor Yang
Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70 77.
Rahayu, E. S.; R. Indriati; T. Utami; E. Harmayanti dan M. N.
Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM.
Yogyakarta.
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.
Santosa, B; Kgs. Ahmadi; dan D. Taeque. (2012). Dextrin
Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Making of
Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. IEESE International
Journal of Science and Technology (IJSTE), Vol. 1, No. 1, pp. 6
11.
Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap
Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco. Skripsi. UGM.
Yogyakarta.
Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case. (1995). Microbiology.
The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.
Volk, W.A. & M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar.
Erlangga. Jakarta.
Widayati, Eny; Sutarno; dan Setyaningsih, Ratna. (2002). Seleksi
Isolat Bakteri untuk Fermentasi Asam Laktat dari Air Kelapa
Varietas Rubescent (Cocos nucifera L. var. rubescent). Biosmart
Volume 4 Nomor 2 Halaman 32-35.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan Rumus:
Persentase Lapisan Nata =
Kelompok A1
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = = 21,43 %
H14 Persentase Lapisan Nata = = 21,43 %
Kelompok A2
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = = 33,33 %
H14 Persentase Lapisan Nata = = 33,33 %
Kelompok A3
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = = 35,71 %
H14 Persentase Lapisan Nata = = 35,71 %
Kelompok A4
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = = 10 %22
H14 Persentase Lapisan Nata = = 30 %
Kelompok A5
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = = 16,60 %
H14 Persentase Lapisan Nata = = 25 %
5.2. Jurnal (Abstrak)
5.3. Laporan Sementara