FERMENTASI SUBSTRAT CAIRFERMENTASI NATA DE COCO
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI
`Disusun oleh:Nama: Poei,Laurensia Cindy SNIM:
11.70.0041Kelompok: B2
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI
PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
Acara II20141
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan nata de coco dapat dilihat pada Tabel 1 dan
Tabel 2.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de cocoKelTinggi media
awal (cm)Ketebalan (cm)% Lapisan Nata
07140714
B1 (50 g)0,500,80,50160100
B2 (25 g)100,90,509050
B3 (125 g)1,201,31,60108,33133,33
B4 (75 g)0,500,80,50160100
B5 (100 g)0,8010,7012587,5
Berdasarkan dari Tabel 1 diatas dapat diketahui tinggi media
awal, ketebalan nata yang terbentuk dan % lapisan nata yang
terbentuk selama 2 minggu inkubasi. Hasil pengamatan yang diperoleh
setiap kelompok pun berbeda-beda. Namun untuk ketebalan nata pada
hari ke 0 dan % lapisan nata yang terbentuk adalah sama untuk semua
kelompok yaitu 0. Untuk kelompok B1, tinggi media awal sebesar 0,5
cm kemudian ketebalan nata meningkat dari hari 0 ke hari 7 dan
menurun pada hari 14 sehingga persentase lapisan nata yang
terbentuk pun juga meningkat dari hari 0 ke hari 7 dan menurun pada
hari 14. Untuk kelompok B2, tinggi media awal sebesar 1 cm dimana
ketebalan nata pada hari ke 7 sebesar 0,9 cm dan menurun pada hari
ke 14 yaitu 0,5 cm sehingga persentase lapisan nata pada hari ke 7
adalah 90% dan menurun pada hari ke 14 yaitu sebesar 50%. Lain
halnya dengan kelompok B3, tinggi media awal adalah sebesar 1,2 cm
dimana ketebalan nata pada hari ke 7 sebesar 1,3 cm dan meningkat
pada hari ke 14 yaitu 1,6 cm sehingga persentase lapisan nata pada
hari ke 7 adalah 108,33% dan meningkat pada hari ke 14 yaitu
133,33%. Untuk kelompok B4, tinggi media awal sebesar 0,5 cm dimana
ketebalan nata pada hari ke 7 sebesar 0,8 cm dan menurun pada hari
ke 14 yaitu 0,5 cm sehingga persentase lapisan nata pada hari ke 7
adalah 1600% dan menurun pada hari ke 14 yaitu sebesar 100%. Dan
untuk kelompok B5, tinggi media awal sebesar 0,8 cm dimana
ketebalan nata pada hari ke 7 sebesar 1 cm dan menurun pada hari ke
14 yaitu 0,7 cm sehingga persentase lapisan nata pada hari ke 7
adalah 125% dan menurun pada hari ke 14 yaitu sebesar 87,5%.
Tabel 2.Hasil Pengamatan Uji Sensoris Nata de Coco
Kelompok Aroma Warna Tekstur Rasa
B1 (50 g)++++++++++++
B2 (25 g)++++++++++++
B3 (125 g)++++++++++++++
B4 (75 g)+++++++++++++
B5 (100 g)++++++++++++++
Keterangan : Aroma WarnaTekstur Rasa++++: tidak asamputihsangat
kenyalsangat manis +++: agak asamputih beningkenyalmanis ++:
asamputih agak beningagak kenyalagak manis +: sangat
asamkuningtidak kenyaltidak manis
Berdasarkan pada Tabel 2 dapat diketahui hasil pengamatan uji
sensoris terhadap nata de coco dari segi aroma, warna, tekstur dan
rasa. Untuk parameter aroma, semua kelompok menunjukkan hasil yang
sama yaitu tidak asam. Untuk parameter warna, kelompok B1 berbeda
dengan kelompok lainnya dimana kelompok B1 menghasilkan nata yang
berwarna putih bening sedangkan keempat kelompok lainnya
menunjukkan warna putih. Untuk parameter tekstur, kelompok B1 dan
B2 menunjukkan tekstur nata yang kenyal sedangkan untuk kelompok B3
hingga B5 menunjukkan tekstur nata yang agak kenyal. Sedangkan
untuk parameter rasa menunjukkan hasil yang berbeda-beda untuk
setiap kelompok. Untuk kelompok B1 menghasilkan nata dengan rasa
agak manis. Untuk kelompok B2 menghasilkan nata dengan rasa tidak
manis. Untuk kelompok B3 dan B5 menghasilkan nata dengan rasa
sangat manis. Dan kelompok B4 menghasilkan nata dengan rasa
manis.
2
1
2. PEMBAHASAN
Menurut Astawan & Astawan (1991), nata de coco merupakan
suatu jenis makanan yang merupakan produk hasil fermentasi oleh
adanya bantuan bakteri Acetobacter xylinum. Nata de coco memiliki
bentuk padat, kokoh, kuat, berwarna putih, transparan, teksturnya
kenyal dan rasanya mirip dengan kolang-kaling. Produk ini sering
digunakan sebagai bahan pencampur dalam es krim, koktail buah,
maupun makanan lainnya. Hal serupa juga diungkapkan oleh Anastasia
& Afrianto (2008) yang mengatakan bahwa nata merupakan senyawa
selulosa yang memiliki bentuk padat, berwarna putih dan transparan,
serta bertekstur kenyal. Nata ini memiliki kandungan air yang
tinggi dan biasanya nata ini dikonsumsi sebagai makanan ringan.
Sedangkan menurut Pambayun (2002), nata de coco merupakan jenis
makanan yang berasal dari air kelapa yang difermentasi dan
menghasilkan senyawa selulosa karena adanya bantuan jasad renik
(mikroba). Selain air kelapa, bahan dasar pembuatan nata juga bisa
dari bahan-bahan yang mengandung mineral, protein dan gula seperti
sari kedelai, sari buah mangga, maupun sari buah nanas.
Menurut Hernaman (2007) dalam jurnalnya yang berjudul Dampak
Nata De Coco dalam Ransum Mencit (Mus muculus) Terhadap Metabolism
Lemak dan Penyerapan Mineral menyatakan bahwa nata de coco
merupakan salah satu jenis makanan berserat tinggi dan hal ini
sangat bermanfaat bagi tubuh. Oleh karena itu, nata de coco juga
biasa dikonsumsi sebagai menu makan dalam diet. Hal ini didukung
pula oleh Mesomya et al (2006) dimana dalam jurnalnya yang berjudul
Effects of health food from cereal and nata de coco on serum lipids
in human menyatakan bahwa nata de coco merupakan jenis makanan yang
sangat cocok untuk dikonsumsi dengan tujuan dapat menjaga berat
badan. Selain itu, dengan mengkonsumsi nata de coco juga dapat
mencegah kanker kolon dan rektum. Adanya nilai fungsional dari nata
de coco ini dikarenakan kandungan selulosa yang tinggi, rendah
kandungan lemak dan kalori, serta tidak mengandung lemak
kolesterol. Selain itu, Halib et al (2012) juga menyatakan dalam
jurnalnya yang berjudul Physicochemical Properties and
Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a
Source of Cellulose bahwa nata de coco adalah makanan yang memiliki
potensi untuk dapat dijadikan sebagai sumber selulosa murni
sehingga dapat dimanfaatkan untuk keperluan industri.
Dan pada praktikum kali ini, substrat cair yang digunakan dalam
fermentasi nata de coco adalah air kelapa. Sedagkan untuk starter
yang digunakan adalah bakteri Acetobacter xylinum. Hal ini telah
sesuai dengan pendapat menurut Astawan & Astawan (1991) dimana
nata de coco merupakan suatu jenis makanan yang merupakan produk
hasil fermentasi oleh adanya bantuan bakteri Acetobacter xylinum
dan pendapat menurut Pambayun (2002) bahwa substrat cair yang dapat
digunakan untuk fermentasi nata de coco adalah air kelapa. Hal
serupa juga didukung oleh pernyataan menurut Rahayu et al (1993)
yang menyatakan bahwa ketika Acetobacter xylinum dikulturkan pada
substrat yang mengandung gula, maka kandungan gula dalam substrat
tersebut akan diubah menjadi selulosa dan akan diakumulasikan
secara ekstraseluler menjadi bentuk pelikel. Rahman (1992)
menambahkan juga bahwa selama proses fermentasi yang terjadi,
Acetobacter xylinum akan menguraikan gula dan menghasilkan selulosa
yang akan membentuk benang-benang serat yang semakin lama akan
semakin menebal sehingga membentuk jaringan yang kuat yang biasa
disebut dengan sebutan pelikel nata.
Widayati et al., (2002) menyatakan bahwa air kelapa dapat
digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi. Penggunaan air
kelapa sebagai substrat cair dikarenakan air kelapa mengandung
gula, protein, asam-asam amino, vitamin dan mineral yang dapat
menunjang pertumbuhan bakteri seperti Acetobacter xylinum dalam
pembuatan nata de coco. Oleh karena itu, air kelapa sangat baik
untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar fermentasi asam-asam organic
seperti pembuatan nata de coco. Hal serupa juga diungkapkan oleh
Palungkun (1996) yang menyatakan bahwa air kelapa mengandung
sukrosa, dekstrosa, fruktosa, dan vitamin B kompleks yang dapat
menunjang pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum. Berikut dibawah
ini merupakan kandungan nutrisi yang terdapat di dalam air kelapa
menurut Palungkun (1996) :
KandunganPersentaseKandungan5Persentase
Air91,23%Asam niotinat0,01 mg
Protein0,29%Asam pantotenat0,52 mg
Lemak0,15%Biotin0,02 mg
Karbohidrat7,27%Riboflavin0,01 mg
Abu1,06%Asam folat0,003 mg/l
Menurut Palungkun (1996), bakteri Acetobacter xylinum adalah
jenis bakteri yang memiliki sifat spesifik yaitu dapat membentuk
selaput tebal pada permukaan cairan fermentasi yang disebut nata.
Hal serupa juga dinyatakan oleh Awang (1991) yang menyatakan bahwa
Acetobacter xylinum memiliki kemampuan untuk dapat membentuk
selaput tebal menjadi komponen selulosa pada permukaan substrat
cair selama proses fermentasi berlangsung. Menurut Palungkun
(1996), proses pembentukan nata de coco selama inkubasi dapat
terjadi dikarenakan sel-sel bakteri Acetobacter xylinum mengambil
dan menggunakan senyawa gula dari larutan gula yang telah
dicampurkan ke dalam air kelapa. Selanjutnya, gula tersebut akan
bergabung menyatu dengan asam lemak dan membentuk prekursor
(penciri nata) di dalam membran sel. Lalu, prekursor yang terbentuk
ini akan dikeluarkan secara ekskresi, yang dengan bantuan enzim
akan mempolimerisasikan glukosa tersebut untuk dapat diubah menjadi
polisakarida yaitu selulosa.
Dalam praktikum ini, proses pembuatan nata de coco terbagi
menjadi 2 tahap yaitu pembuatan media dan proses fermentasi.
2.1. Proses Pembuatan MediaDalam proses pembuatan media perlu
dilakukan dalam kondisi aseptic. Hal ini dilakukan dengan tujuan
agar tidak terjadi kontaminasi selama proses fermentasi
berlangsung. Hal ini sesuai dengan teori menurut Dwidjoseputro
(1994) yang mengatakan bahwa perlakuan aseptis perlu dilakukan
dalam proses fermentasi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
pencemaran pada kultur biakan, serta mencegah adanya kontaminasi
dari mikroba lainnya yang tidak diinginkan dalam proses
fermentasi.
6Dalam proses pembuatan media, pertama-tama air kelapa yang akan
digunakan sebagai substrat dapat disaring terlebih dahulu dengan
menggunakan kain saring untuk memisahkan kotoran yang adal dalam
air kelapa. Selanjutnya, ditambahkan gula pasir sebanyak 10% dan
diaduk sampai semua gula larut. Setelah itu, dapat dilakukan
penambahan ammonium sulfat sebanyak 0,5%. Kemudian dapat
ditambahkan asam cuka glasial hingga pH larutan menjadi berkisar
antara 4-5. Setelah pH larutan berada pada range pH yang telah
ditentukan, larutan air kelapa tersebut dapat dipanaskan hingga
gulanya larut kemudian disaring lagi sebelum digunakan sebagai
substrat cair.
Pada awalnya, air kelapa harus disaring terlebih dahulu dengan
kain saring. Hal ini telah sesuai dengan teori menurut Astawan
& Astawan (1991) yang menyatakan bahwa air kelapa yang akan
digunakan sebagai media cair dalam pembuatan nata harus disaring
dengan menggunakan kain penyaring terlebih dahulu dengan tujuan
untuk membebaskan air kelapa dari kotoran-kotoran yang mungkin
masih ada didalamnya. Selain itu, dengan penyaringan air kelapa
juga akan menghasilkan media cair yang bebas kontaminan dan bersih.
Hal ini juga telah sesuai dengan teori menurut Pato & Dwiloka
(1994) yang mengatakan bahwa air kelapa perlu disaring terlebih
dahulu dengan tujuan agar dapat memperoleh media cair yang steril,
bersih, serta bebas dari kotoran atau kontaminan. Berikut dibawah
ini merupakan gambar penyaringan air kelapa dengan menggunakan kain
saring.
Gambar 1. Penyaringan Air Kelapa
Setelah air kelapa disaring, dapat ditambahkan gula pasir
sebanyak 10%. Tujuan penambahan gula dalam penyiapan media ini
adalah sebagai sumber karbon bagi bakteri Acetobacter xylinum
dimana selama fermentasi berlangsung bakteri akan menguraikan gula
ini. Hal ini telah sesuai dengan teori menurut Pambayun (2002)
bahwa sumber karbon yang dapat digunakan dalam proses fermentasi
adalah monosakarida dan disakarida dimana disakarida yang paling
banyak digunakan adalah sukrosa yang berbentuk gula pasir. Secara
ekonomis, sukrosa juga memiliki harga yang paling murah dan mudah
ditemukan. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Awang (1991) yang
mengatakan bahwa dengan adanya penambahan gula pasir ke dalam air
kelapa maka hal ini akan menjadi sumber unsur karbon organik (C)
bagi bakteri Acetobacter xylinum selama proses fermentasi
berlangsung sehingga bakteri ini dapat menghasilkan selulosa pada
akhir fermentasi. Untuk penambahan gula sebesar 10%, hal ini telah
sesuai dengan teori yang ada menurut Sunarso (1982) yang mengatakan
bahwa dalam pembuatan nata de coco konsentrasi maksimal gula yang
dapat ditambahkan ke dalam media cair adalah 10%. Dengan penambahan
gula sebesar 10% maka lapisan nata yang dihasilkan akan tebal.
Namun jika penambahan gula kurang atau lebih dari konsentrasi
maksimal maka bakteri tidak dapat memanfaatkan gula tersebut secara
optimal. Kemudian, dengan adanya penambahan gula menurut Hayati
(2003) bertujuan untuk membentuk tekstur nata, mempengaruhi
penampakan nata, membentuk flavor nata yang pas dan juga memiliki
fungsi sebagai pengawet.
7Setelah dilakukan penambahan gula, dilakukan pula penambahan
ammonium sulfat sebanyak 0,5%. Hal ini telah sesuai dengan teori
yang ada yaitu teori menurut Awang (1991) yang mengatakan bahwa
penambahan ammonium sulfat ke dalam media cair dalam proses
pembuatan nata de coco bertujuan sebagai sumber nitrogen dimana
sumber nutrisi ini juga diperlukan guna mendukung aktivitas bakteri
Acetobacter xylinum selama fermentasi berlangsung. Menurut Pambayun
(2002), sumber nitrogen lainnya selain ammonium sulfat yang bisa
digunakan dalam proses pembuatan nata de coco adalah protein atau
ekstrak yeast, ammonium fostat (ZA), urea.
Selanjutnya, dilakukan pula penambahan asam cuka glacial ke
dalam larutan air kelapa hingga mencapai pH yang berkisar antara
4-5. Tujuan dilakukannya penambahan asam cuka glacial ini adalah
untuk mencapai kondisi dimana pH lingkungan sesuai dengan pH
optimum bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum. Hal ini telah
sesuai dengan teori menurut Pambayun (2002) bahwa dengan adanya
penambahan asam asetat glacial maka akan menciptakan media dengan
kondisi pH yang optimal, dan juga untuk 8menghasilkan kondisi
lingkungan yang asam karena bakteri Acetobacter xylinum dapat
tumbuh optimal pada pH yang berkisar antara 4-4,5. Hal serupa juga
telah dikatakan oleh Anastasia & Afrianto (2008) yang
mengatakan bahwa pencapaian pH media yang sesuai dengan aktivitas
Acetobacter xylinum dapat ditempuh dengan melakukan penambahan
acidulan (asam) dimana asam yang ditambahkan dapat berupa asam cuka
glacial. Berikut merupakan gambar pengecekan pH media hingga
mencapai pH 4-5 dengan penamabahan asam cuka glacial.
Gambar 2. Pengecekan pH Media & Penambahan Asam Cuka
Glacial
Setelah dilakukan penambahan berbagai bahan pendukung, dilakukan
proses pemanasan hingga semua gula terlarut sempurna. Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk dapat membunuh semua mikroorganisme
yang ada dalam larutan air kelapa. Hal ini telah sesuai dengan
teori menurut Tortora et al (1995) dimana pemanasan air kelapa
harus dilakukan hingga mendidih dengan tujuan agar mikroba
kontaminan dalam air kelapa dapat mati. Dengan demikian maka akan
diperoleh media cair yang steril dan bebas dari kontaminan.
Selanjutnya, Astawan & Astawan (1991) menambahkan bahwa
pemanasan air kelapa perlu dilakukan dengan tujuan agar dapat
melarutkan gula pasir. Jika gula dalam media tidak larut dengan
sempurna, maka gula tersebut akan sulit digunakan oleh bakteri
Acetobacter xylinum sehingga proses fermentasi dapat terhambat dan
tidak dapat menghasilkan selaput tebal nata.
2.2. Proses FermentasiPada proses fermentasi, pertama-tama wadah
plastic bersih disiapkan dan media steril sebanyak 100 ml
dimasukkan ke dalam masing-masing wadah lalu ditutup rapat.
9Selanjutnya, biang nata (starter) sebanyak 10% dari jumlah media
dapat ditambahkan ke dalam media secara aseptis dan digojog secara
perlahan hingga seluruh starter dapat bercampur homogen dalam
media. Dalam menambahkan biang nata ke dalam media harus dilakukan
secara aseptis dengan tujuan agar dapat mencegah terjadinya
kontaminasi oleh mikroba lain yang dapat menghambat kerja mikroba
biakan selama proses fermentasi berlangsung. Hal yang dilakukan
saat praktikum telah sesuai dengan pendapat menurut Hadioetomo
(1993). Berikut merupakan gambar pengambilan biang nata secara
aseptis:
Gambar 3. Pengambilan Biang Nata secara Aseptis
Kemudian, wadah dapat ditutup dengan menggunakan kertas coklat
dan dilakukan inkubasi selama 2 minggu pada suhu ruang. Selama
inkubasi berlangsung, wadah plastik tidak boleh digoyang-goyang
dengan tujuan agar lapisan nata yang terbentuk tidak akan
terpisah-pisah/rusak. Berikut dibawah ini merupakan gambar inkubasi
media yang berisi starter pada suhu ruang:
Gambar 4. Inkubasi Media
Selanjutnya, pengamatan terhadap nata de coco dilakukan ketika
lapisan di permukaan cairan mulai terbentuk, serta dilakukan
pengamatan terhadap ketebalan lapisan nata de coco pada hari ke-0,
hari ke-7 dan hari ke-14. Persentase lapisan nata yang terbentuk
dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
10
Setelah nata sudah jadi dan terbentuk, selanjutnya nata dapat
dicuci dengan menggunakan air mengalir sebanyak 3 kali. Kemudian,
nata dipotong kecil-kecil menjadi bentuk kotak dadu yang dapat
dilihat pada gambar 4, lalu dimasak dengan menggunakan air gula
dimana konsentrasi gula yang digunakan untuk setiap kelompok
berbeda yaitu kelompok B1 sebanyak 50 gram, kelompok B2 sebanyak 25
gram, kelompok B3 sebanyak 125 gram, kelompok B4 sebanyak 75 gram
dan kelompok B5 sebanyak 100 gram. Setelah nata tersebut dimasak
maka dilakukan pengujian sensori terhadap nata yaitu parameter
rasa, aroma, tekstur dan warna dari nata yang telah dimasak.
Gambar 5. Pemotongan Nata
Dalam praktikum mengenai pembuatan nata de coco, dilakukan
penambahan starter sebanyak 10%. Hal ini telah sesuai dengan teori
menurut Pato & Dwiloka (1994) yang mengemukakan bahwa jumlah
starter yang dapat ditambahkan dalam proses pembuatan nata adalah
sebanyak 4-10%. Dalam penambahan starter ini perlu memperhatikan
jumlahnya dikarenakan jika jumlah starter yang ditambahkan tidak
pas (terlalu sedikit atau terlalu banyak jumlahnya), maka akan
menghasilkan nata dengan karakteristik yang tidak baik. Menurut
Misgiyarta (2007), pada substrat cair nata de coco dapat
diinokulasikan dengan starter atau bibit sebanyak 10% (v/v). Rahayu
et al (1993) juga menambahkan bahwa jumlah inokulum starter yang
dapat ditambahkan dalam pembuatan nata berkisar 410% dari jumlah
media yang digunakan.
11Setelah dilakukan penambahan starter, wadah plastik yang
berisi media steril dan starter dapat ditutup dengan menggunakan
kertas coklat. Penutupan wadah ini dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari kontaminasi yang dapat terjadi selama inkubasi
berlangsung. Penutupan wadah dengan menggunakan kertas ini
dilakukan agar oksigen masih dapat masuk ke dalam wadah. Dan hal
yang telah dilakukan dalam praktikum ini telah sesuai dengan teori
menurut Pambayun (2002) yang mengatakan bahwa penutupan wadah ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya kontaminasi pada nata. Pambayun
(2002) juga menyatakan bahwa penutup yang digunakan untuk menutupi
wadah harus memiliki ventilasi yang baik agar oksigen dapat tetap
masuk ke dalam wadah yang mengandung substrat, namun oksigen yang
masuk ini tidak boleh bersentuhan langsung dengan permukaan nata.
Sehingga, penutupan wadah ini biasa dilakukan dengan menggunakan
kertas agar oksigen tetap dapat masuk ke dalam wadah mengingat
bakteri Acetobacter xylinum termasuk dalam jenis bakteri aerob.
Dalam praktikum ini, inkubasi selama fermentasi nata de coco
dilakukan di suhu ruang dalam waktu 2 minggu. Hal ini telah sesuai
dengan teori menurut Pambayun (2002) yang mengatakan bahwa bakteri
Acetobacter xylinum dapat tumbuh optimum ketika berada pada suhu
ruang. Ketika suhu terlalu tinggi (>40C), maka bakteri
Acetobacter xylinum akan mati, sedangkan ketika suhu terlalu
rendah, maka pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum dapat
terhambat. Selain itu, menurut Rahayu et al (1993), untuk dapat
memperoleh hasil nata yang baik yaitu nata dengan ketebalan yang
optimum, maka proses fermentasi dapat dilakukan pada suhu 28-32C
dalam kurun waktu 2 minggu.
Setelah 2 minggu inkubasi, pada akhir proses fermentasi akan
terbentuk lapisan nata. Hasil praktikum telah sesuai dengan teori
menurut Rahman (1992) yang mengemukakan bahwa ketika proses
fermentasi sudah berakhir, maka pda akhir fermentasi akan terbentuk
lapisan putih yang disebut nata dimana hal ini menandakan bahwa
proses fermentasi pada substrat yang digunakan tersebut berhasil.
Gunsalus & Staines (1962) juga menambahkan bahwa selama proses
fermentasi berlangsung maka akan dihasilkan pula gas CO2 sehingga
dengan adanya gas tersebut maka lapisan nata yang terbentuk akan
terangkat ke permukaan cairan substrat. Menurut Hamad et al (2011)
dalam jurnalnya Pengaruh Penambahan Sumber Karbon Terhadap Kondisi
Fisik Nata De Coco menyatakan bahwa pembentukan lapisan nata dapat
digambarkan seperti pada reaksi berikut ini:
12Glukosa Glukosa-6-fosfat Glukosa-1-fosfat UDP-Glukosa
Selulosa
Selanjutnya, lapisan nata yang terbentuk dapat dicuci dengan air
mengalir, lalu dilakukan pemasakan dengan air gula. Tujuan dari
proses pencucian lapisan nata adalah untuk menghilangkan flavor
asam yang dihasilkan oleh nata akibat fermentasi. Hal yang
dilakukan saat praktikum tersebut telah sesuai dengan teori menurut
Rahayu et al (1993) yang mengatakan bahwa setelah terbentuk lapisan
putih, maka lapisan putih tersebut dapat disebut nata yang
selanjutnya akan mengalami proses pencucian dan perendaman. Proses
pencucian dan perendaman nata ini dilakukan dengan tujuan agar
dapat menghilangkan rasa asam dan aroma asam yang dihasilkan oleh
nata dan flavor asam tersebut tidak diinginkan ada pada nata yang
sudah jadi. Hayati (2003) juga menambahkan bahwa tujuan
dilakukannya penambahan gula selama proses pemasakan nata adalah
untuk memperoleh tekstur, penampakan, dan flavor yang ideal bagi
nata dan sebagai pengawet pada nata. Berikut dibawah ini merupakan
gambar pencucian nata dan proses pemasakan nata dengan menggunakan
air gula :
Gambar 6. Proses Pencucian dan Pemasakan Nata
Setelah dilakukan pemasakan dengan penambahan gula, hasil nata
yang sudah jadi dan selanjutnya akan dilakukan uji sensoris dapat
dilihat pada Gambar 5.
13
Gambar 7. Hasil nata yang akan diuji sensoris
Pada praktikum kali ini, uji sensoris yang dilakukan pada nata
yang sudah jadi meliputi uji aroma, warna, tekstur dan rasa.
Berdasarkan pada hasil uji sensoris pada parameter aroma, hasil
praktikum yang diperoleh semua kelompok (B1-B5) menunjukkan bahwa
aroma nata de coco yang diuji memiliki aroma tidak asam. Hal ini
telah sesuai dengan pendapat menurut Rahayu et al (1993) yang
mengatakan proses pencucian dan perendaman nata dilakukan dengan
tujuan agar dapat menghilangkan rasa dan aroma asam dimana flavor
asam tersebut tidak diinginkan pada nata. Arsatmodjo (1996) juga
menambahkan bahwa agar dapat menghilangkan aroma dan rasa asam yang
ada pada nata, maka nata dapat dicuci beberapa kali dengan air
mengalir kemudian dilakukan pemasakan dengan penambahan air gula
hingga mendidih sehingga akan dihasilkan nata yang tidak berflavor
asam lagi. Menurut Astawan & Astawan (1991), aroma asam pada
nata dapat terbentuk dikarenakan media substrat yang digunakan
yaitu air kelapa juga memiliki pH asam. Selain itu, aroma asam yang
dihasilkan oleh nata juga menunjukan bahwa proses fermentasi telah
berlangsung dengan baik.
Selanjutnya jika dilihat dari parameter sensoris warna, dapat
dilihat bahwa warna nata yang dihasilkan memiliki warna putih untuk
kelompok B2-B4 dan warna putih bening untuk kelompok B1. Warna
putih pada nata ini menunjukkan bahwa nata mengalami kekeruhan yang
diakibatkan karena adanya reaksi gula dan asam pada nata. Hasil
praktikum yang diperoleh ini telah sesuai dengan teori menurut
Astawan & Astawan (1991) yang mengemukakan bahwa ketika air
kelapa bercampur dengan bakteri Acetobacter xylinum maka akan
menghasilkan kekeruhan yang ditunjukkan dengan warna keruh pada
nata dikarenakan adanya proses fermentasi yang berlangsung.
Kekeruhan pada nata dapat disebabkan pula karena adanya kandungan
gula dan asam selama berlangsungnya proses fermentasi. Selain itu,
Rahman (1992) menambahkan pula bahwa nata akan berwarna keruh
dikarenakan adanya penguraian substrat yang mengandung gula oleh
bakteri Acetobacter xylinum, dan dikarenakan adanya reaksi gula
dengan nitrogen yang terlarut. Namun, hasil praktikum ini juga
kurang sesuai dengan pendapat menurut Mashudi (1993) yang
mengatakan bahwa ketika penambahan gula semakin banyak jumlahnya,
maka akan semakin banyak pula gula yang mengalami browning,
terlebih ketika dilakukan proses pemanasan dan hal ini akan
mempengaruhi warna nata yang terbentuk. Seharusnya, kelompok B2
yang memiliki warna putih bening dan kelompok B3 yang memiliki
warna putih. Hal ini dikarenakan semakin banyak jumlah gula yang
ditambahkan maka kekeruhan yang dihasilkan akan semakin tinggi.
Arsatmodjo (1996) juga menambahkan bahwa selama proses pemasakan
nata dengan penambahan air gula, gula tersebut akan masuk ke
jaringan antar serat (selulosa) sehingga hal ini akan mempengaruhi
warna nata.
14Selanjutnya jika dilihat dari parameter tekstur, dapat dilihat
bahwa kelompok B1 dan B2 menghasilkan tekstur nata yang kenyal
sedangkan kelompok B4-B5 menghasilkan nata yang agak kenyal. Adanya
perbedaan tekstur pada nata yang dihasilkan ini dikarenakan oleh
jumlah gula yang ditambahkan selama pemasakan nata berbeda-beda.
Hal ini sesuai dengan pendapat menurut Astawan & Astawan (1991)
yang mengatakan bahwa tingkat kekenyalan pada nata akan berubah
setelah nata mengalami proses perebusan dengan penambahan air gula.
Tingkat kekenyalahn nata yang telah mengalami pemasakan dengan air
gula akan mengalami penurunan dan ketika nata tersebut digigit maka
akan lebih mudah putus. Hal ini dikarenakan selama proses pemasakan
nata, komponen air dan gula akan beralih masuk ke jaringan selulosa
yang ada pada nata sehingga susunan dalam nata menjadi lebih
longgar dan lebih mudah putus. Selain itu, Arsatmodjo (1996)
menambahkan pula semakin tinggi kandungan yang ada pada nata, maka
nata akan memiliki tekstur yang semakin kenyal dan ketebalan nata
pun semakin meningkat.
Jika dilihat dari parameter rasa, hasil praktikum menunjukkan
bahwa kelompok B2 menghasilkan nata yang tidak manis, kelompok B1
menghasilkan rasa agak manis, kelompok B4 menghasilkan nata yang
manis dan kelompok B3 dan B5 menghasilkan nata yang sangat manis.
Adanya perbedaan tingkat kemanisan pada nata yang dihasilkan ini
dikarenakan adanya perbedaan jumlah gula yang ditambahkan pada saat
proses pemasakan nata. Hal ini telah sesuai dengan pendapat menurut
Arsatmodjo (1996) yang menyatakan bahwa semakin banyak jumah gula
yang ditambahkan dalam proses pemasakan nata maka nata yang
dihasilkan akan memiliki rasa yang semakin manis.
15Selanjutnya, untuk pengamatan terhadap lapisan nata de coco,
berdasarkan hasil pengamatan dapat diperoleh informasi mengenai
tinggi media awal dimana tinggi media awal untuk setiap kelompoknya
berbeda-beda. Kemudian untuk tinggi ketebalan nata dan persentase
lapisan nata pada hari ke-0 adalah 0. Hal ini dikarenakan pada hari
ke-0 belum terjadi pembentukan lapisan nata. Jika dilihat dari
ketebalan nata dan persentase lapisan nata yang terbentuk maka
ketebalan dan persentase lapisan nata meningkat dari hari ke-0
menuju ke hari-7 selanjutnya menurun ketika mencapai hari ke-14
kecuali kelompok B3. Adanya penurunan ketebalan dan persentase
lapisan nata yang terbentuk ini tidak sesuai dengan teori yang ada
dimana seharusnya semakin lama berlangsungnya fermentasi, maka
ketebalan nata dan persentase lapisan nata yang terbentuk akan
semakin meningkat. Pernyataan ini didukung oleh teori menurut Lapuz
et al (1967) yang mengatakan bahwa tinggi ketebalan nata dapat
dipengaruhi oleh lamanya waktu inkubasi dimana semakin lama waktu
inkubasi yang berlangsung, maka lapisan nata yang terbentuk akan
semakin tebal. Namun ketika selama inkubasi terjadi goncangan maka
hal ini akan menyebabkan lapisan nata yang terbentuk menjadi
tenggelam. Hal inilah yang mungkin menyebabkan tinggi ketebalan
nata pada hari ke-14 lebih rendah daripada hari ke-7 karena
terjadinya goncangan pada wadah selama inkubasi berlangsung
sehingga menyebabkan lapisan nata yang sudah terbentuk menjadi
turun dan tenggelam. Selain itu, jumlah gula yang ditambahkan pun
juga mempengaruhi ketebalan nata yang terbentuk dimana semakin
banyak jumlah gula yang ditambahkan maka ketebalan akan semakin
tinggi. Anastasia & Afrianto (2008) menyatakan bahwa selama
proses fermentasi berlangsung, bakteri Acetobacter xylinum akan
memecah gula yang terdapat pada media dan mengubahnya menjadi
polisakarida (selulosa) dimana selulosa ini akan membentuk
serat-serat yang semakin menebal sehingga dapat membentuk nata. Hal
ini didukung pula oleh pernyataan Naufalin & Condro (2004)
dalam jurnalnya yang berjudul Pemanfaatan Hasil Samping Pengolahan
tepung Tapioka Untuk Pembuatan Nata de Cassava : Kajian Penambahan
Sukrosa dan Ekstrak Kecambah yang menyatakan bahwa ketebalan nata
dapat meningkat dikarenakan adanya peningkatan kadar serat yang
dihasilkan oleh nata akibat adanya penambahan sukrosa dimana
sukrosa ini akan digunakan sebagai sumber karbon bagi bakteri A.
xylinum untuk diubah menjadi serat-serat selulosa yang dapat
meningkatkan ketebalan nata. Hal serupa diungkapkan pula oleh
Iskandar et al (2010) dalam jurnalnya yang berjudul Pembuatan Film
Selulosa dari nata de pina yang mengemukakan bahwa peningkatan
ketebalan nata berkaitan erat dengan aktivitas A. xylinum. Seperti
halnya pada praktikum, penambahan gula dengan konsentrasi 10% dan
pencapaian pH optimum yaitu pH 5 akan menyebabkan bakteri bertumbuh
optimum sehingga akan menggunakan sumber nutrisi yang ada yaitu
gula untuk diubah menjadi selulosa sehingga lapisan selulosa yang
berbentuk serat-serat inilah yang akan semakin menebal. Dengan
begitu nata yang terbentuk akan semakin tebal pula.
16Adanya perbedaan pada hasil pengujian terhadap ketebalan dan
persentase lapisan nata dapat terjadi mungkin juga dikarenakan
wadah yang digunakan untuk setiap kelompok berbeda-beda. Menurut
Mashudi (1993), ketinggian media pada wadah dalam proses
pembentukan nata dapat mempengaruhi ketebalan lapisan nata yang
terbentuk. Semakin luas permukaan wadah maka akan menghasilkan
ketebalan nata yang lebih rendah daripada nata yang dihasilkan dari
wadah yang luas permukaannya kecil.
4
3. 3
4. KESIMPULAN
Nata de coco merupakan salah satu produk hasil fermentasi pada
substrat cair Substrat cair yang digunakan untuk membuat nata de
coco adalah air kelapa Bakteri yang berperan dalam proses pembuatan
nata de coco adalah Acetobacter xylinum. Nata de coco memiliki
bentuk padat, memiliki warna putih transparan, dan kenyal. Selama
inkubasi, Acetobacter xylinum akan mengubah substrat gula menjadi
polisakarida (selulosa) yang ditandai dengan terbentuknya lapisan
tebal pada permukaan substrat cair. Tujuan dilakukannya penyaringan
pada air kelapa adalah untuk menghilangkan kotoran yang ada pada
air kelapa. Tujuan dilakukannya penambahan gula adalah sebagai
suplai sumber karbon yang dapat menunjang pertumbuhan Acetobacter
xylinum. Tujuan dilakukannya penambahan ammonium silfat adalah
sebagai suplai sumber nitrogen yang dapat menunjang pertumbuhan
Acetobacter xylinum. Tujuan dilakukannya penambahan asam cuka
glacial adalah agar dapat menciptakan kondisi lingkungan pH yang
sesuai bagi A.xylinum untuk tumbuh optimal. Tujuan dilakukannya
pemasakan adalah untuk melarutkan gula yang ditambahkan dan
membunuh bakteri pathogen. Proses inkubasi dalam pembuatan nata
dilakukan selama 2 minggu di suhu ruang. Pencucian nata dengan air
mengalir bertujuan untuk menghilangkan flavor asam yang dihasilkan
oleh nata akibat adanya fermentasi. Warna putih pada nata
disebabkan karena adanya kekeruhan yang timbul akibat adanya
kandungan gula dan asam. Semakin tinggi konsentrasi gula yang
ditambahkan, maka rasa nata yang dihasilkan semakin manis, warna
nata semakin putih keruh. Semakin tinggi kandungan selulosa pada
nata maka ketebalan nata semakin tinggi. Peningkatan ketebalan nata
berkaitan erat dengan akitivitas bakteri A. xylinum. 17Semakin lama
waktu fermentasi yang berlangsung maka ketebalan dan persentase
lapisan nata yang terbentuk akan semakin tinggi. 18Dalam proses
pembuatan nata de coco diperlukan kondisi aseptis dengan tujuan
agar tidak ada mikroba kontaminan selama proses fermentasi
berlangsung.
Praktikan, Asisten Dosen
Poei, Laurensia Cindy Chrysentia Archinitta 11.70.0041
5. DAFTAR PUSTAKA
Anastasia, N. dan Afrianto, E. 2008. Mutu Nata de Seaweed dalam
Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional
Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung.
Arsatmodjo, E. 1996. Formulasi Pembuatan Nata de Pina. Skripsi
Fateta. IPB. Bogor.
Astawan, M. dan M.W. Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Nabati
Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Awang, S.A. 1991. Kelapa: Kajian SosialEkonomi. Aditya Media.
Yogyakarta.
Dwidjoseputro, D. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan.
Gunsalus, I.C. and Staines, R.Y. 1962. The Bacteria A Treatise
On Structure & Function. Academic Press. New York.
Hadioetomo, R. S. (1993). Mikobiologi Dasar dalam Praktek,
Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Halib, N.; Mohd, C.I.M.A. and Ishak, A. 2012. Physicochemical
Properties and Characterization of Nata de Coco fromLocal Food
Industries as a Source of Cellulose. Sains Malaysiana 41(2)(2012):
205211.
Hamad, A.; Andriyani, N.A.; Wibisono, H. dan Sutopo, H. 2011.
Pengaruh Penambahan Sumber Karbon Terhadap Kondisi Fisik Nata De
Coco. Jurnal Teknik Kimia. Vol 12 (2): 74-77.
Hayati, M. 2003. Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa.
Yogyakarta.
Hernaman, I.; Kamil, K.A.; Mayasari, N. dan Salim, M.A. 2007.
Dampak Nata De Coco dalam Ransum Mencit (Mus muculus) Terhadap
Metabolism Lemak dan Penyerapan Mineral. Jurnal Peternakan
Universitas Padjadjaran Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Islam Negeri Sunan Gunung Djati.
Iskandar, M. Zaki, Sri Mulyati, Umi Fathanah, Indah Sari &
Juchairawati. 2010. Pembuatan Film Selulosa dari nata de pina.
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. Universitas Syiah Kuala.
19
20Lapuz, M.M.; Gallardo, E.G. and Palo, M.A. 1967. The Nata
Organism Cultural. Requirements Characteristis and Indentity. The
Philippine Journal of Science Vol 96.
20Mashudi. 1993. Mempelajari Pengaruh Penambahan Amonium Sulfat
dan Waktu Penundaan Bahan Baku Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan dan
Struktur Gel Nata de coco. Skripsi. Jurusan Teknologi Pandan dan
Gizi, Fateta. IPB. Bogor.
Mesomya, W.; Varapat, P.; Surat, K.; Preeya, L.; Yaovadee, C.;
Duangchan, H.; Pramote, T. and Plernchai, T. 2006. Effects of
Health Food from Cereal and Nata De Coco on Serum Lipids in Human.
Journal Science Technology 28(Suppl. 1): 23-28.
Misgiyarta. 2007. Teknologi Pembuatan Nata de Coco. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.
Naufalin, R. dan Condro Wibowo. 2004. Pemanfaatan Hasil Samping
Pengolahan tepung Tapioka Untuk Pembuatan Nata de Cassava : Kajian
Penambahan Sukrosa dan Ekstrak Kecambah. Jurnal Teknologi dan
Industri Pangan vol XV, No 2.
Palungkun, R. 1996. Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Pambayun, R. 2002. Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius.
Yogyakarta.
Pato, U. dan Dwiloka, B. 1994. Proses dan Faktor Yang
Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70 77.
Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan
Cahyanto, M.N. 1993. Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM.
Yogyakarta.
Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.
Sunarso. 1982. Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap
Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco. Skripsi. UGM.
Yogyakarta.
Tortora, G.J., Funke, R. and Case, C.L. 1995. Microbiology. The
Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.
21Widayati, Eny; Sutarno; dan Setyaningsih, Ratna. (2002).
Seleksi Isolat Bakteri untuk Fermentasi Asam Laktat dari Air Kelapa
Varietas Rubescent (Cocos nucifera L. var. rubescent). Biosmart
Volume 4 Nomor 2 Halaman 32-35
6. LAMPIRAN6.1. Perhitungan
Rumus :
Kelompok B1Hari ke 0
Hari ke 7
Hari ke 14
Kelompok B2Hari ke 0
Hari ke 7
Hari ke 14
Kelompok B3Hari ke 0
22
23Hari ke 7
Hari ke 14
Kelompok B4Hari ke 0
Hari ke 7
Hari ke 14
Kelompok B5Hari ke 0
Hari ke 7
Hari ke 14
6.2. Laporan Sementara6.3. Report Viper6.4. Abstrak Jurnal