http://www.bbrp2b.dkp.go.id Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 53 BAB V PRODUK FERMENTASI IKAN – KARBOHIDRAT – GARAM 1. PICUNGAN Picungan adalah suatu produk unik yang hanya dapat ditemukan di Provinsi Banten. Pada dasarnya, picungan adalah produk fermentasi ikan tradisional yang diolah dengan menggunakan biji picung (Pangium edule) yang dapat memberikan flavor spesifik terhadap produk. Tujuan utama dari pengolahan menggunakan biji picung ini adalah untuk pengawetan dalam rangka menciptakan pasar produk yang lebih luas, pemasaran tidak terbatas hanya pada daerah tempat produk tersebut dibuat, tetapi juga menjangkau daerah pelosok yang jauh dari pantai. Produk ini banyak dipasarkan di daerah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang. Daerah produsen utama ikan picungan adalah Labuhan dan Saketi di Kabupaten Pandeglang dan Binuangen di Kabupaten Lebak. Pengolah produk tersebut dapat dijumpai dengan mudah di sekitar tempat – tempat pendaratan ikan atau pasar – pasar tradisional. Bahan Mentah Semua jenis ikan, baik yang berukuran kecil maupun yang besar dapat digunakan sebagai bahan mentah pada pengolahan picungan. Sebagian besar bahan mentah yang digunakan adalah ikan laut, terutama ikan layang, ikan kembung, teri, layur, tiga wajah, pari dan cucut. Ikan harus dalam keadaan segar untuk menghindarkan terbentuknya flavor yang tidak dikehendaki pada produk. Pengolah menginformasikan bahwa mutu picungan yang diolah dari ikan yang telah di-es tidak sebaik mutu produk yang diolah dari ikan yang tidak di-es. Biji picung yang digunakan sebaiknya yang masih mentah. Biji picung mengandung asam sianida yang berasal dari aktivitas ginokardase yang menstimulasi pelepasan sianida dari senyawa giniokardin glukosida. Peran dari biji picung pada pengolahan picungan masih belum diketahui secara pasti, tetapi diduga berperan sebagai sumber kabohidrat untuk fermentasi bakteri asam laktat, yang diindikasikan dengan cukup rendahnya nilai pH produk ikan picungan, yaitu 5,26 (Tabel 14). Disamping itu, biji picung diduga memiliki efek disinfeksi terhadap bakteri pembusuk (Emmawati, 1998). Teknologi Pengolahan Biji picung harus dibebaskan dari asam sianida sebelum digunakan. Dua cara yang dapat diterapkan untuk membebaskan asam sianida dari biji picung. Cara pertama, picung dikupas kulitnya dan kemudian dibelah menjadi dua, setelah itu direndam dalam
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
http://www.bbrp2b.dkp.go.id
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
53
BAB V
PRODUK FERMENTASI IKAN – KARBOHIDRAT – GARAM
1. PICUNGAN
Picungan adalah suatu produk unik yang hanya dapat ditemukan di Provinsi
Banten. Pada dasarnya, picungan adalah produk fermentasi ikan tradisional yang diolah
dengan menggunakan biji picung (Pangium edule) yang dapat memberikan flavor
spesifik terhadap produk. Tujuan utama dari pengolahan menggunakan biji picung ini
adalah untuk pengawetan dalam rangka menciptakan pasar produk yang lebih luas,
pemasaran tidak terbatas hanya pada daerah tempat produk tersebut dibuat, tetapi juga
menjangkau daerah pelosok yang jauh dari pantai.
Produk ini banyak dipasarkan di daerah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten
Lebak dan Kabupaten Serang. Daerah produsen utama ikan picungan adalah Labuhan
dan Saketi di Kabupaten Pandeglang dan Binuangen di Kabupaten Lebak. Pengolah
produk tersebut dapat dijumpai dengan mudah di sekitar tempat – tempat pendaratan ikan
atau pasar – pasar tradisional.
Bahan Mentah
Semua jenis ikan, baik yang berukuran kecil maupun yang besar dapat
digunakan sebagai bahan mentah pada pengolahan picungan. Sebagian besar bahan
mentah yang digunakan adalah ikan laut, terutama ikan layang, ikan kembung, teri, layur,
tiga wajah, pari dan cucut. Ikan harus dalam keadaan segar untuk menghindarkan
terbentuknya flavor yang tidak dikehendaki pada produk. Pengolah menginformasikan
bahwa mutu picungan yang diolah dari ikan yang telah di-es tidak sebaik mutu produk
yang diolah dari ikan yang tidak di-es.
Biji picung yang digunakan sebaiknya yang masih mentah. Biji picung
mengandung asam sianida yang berasal dari aktivitas ginokardase yang menstimulasi
pelepasan sianida dari senyawa giniokardin glukosida. Peran dari biji picung pada
pengolahan picungan masih belum diketahui secara pasti, tetapi diduga berperan sebagai
sumber kabohidrat untuk fermentasi bakteri asam laktat, yang diindikasikan dengan
cukup rendahnya nilai pH produk ikan picungan, yaitu 5,26 (Tabel 14). Disamping itu,
biji picung diduga memiliki efek disinfeksi terhadap bakteri pembusuk (Emmawati,
1998).
Teknologi Pengolahan
Biji picung harus dibebaskan dari asam sianida sebelum digunakan. Dua cara
yang dapat diterapkan untuk membebaskan asam sianida dari biji picung. Cara pertama,
picung dikupas kulitnya dan kemudian dibelah menjadi dua, setelah itu direndam dalam
http://www.bbrp2b.dkp.go.id
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
54
air mengalir atau pada sungai selama dua hari. Cara kedua dilakukan dengan menjemur
picung yang telah dikupas dan dibelah dua selama dua hari. Sebelum digunakan, picung
yang telah bebas dari sianida dicacah atau diparut.
Metoda pengolahan picungan dapat dilihat pada Gambar 7. Pada pengolahan
picungan, insang dan isi perut ikan dibuang. Ikan yang telah disiangi dicuci. Ikan yang
berukuran besar, seperti ikan pari dan ikan cucut, dibelah atau dipotong menjadi beberapa
potong dengan ukuran sesuai yang diinginkan. Untuk mendapatkan proses fermentasi
yang efektif, ikan difillet dengan ketebalan 1 – 1,5 cm. Untuk ikan yang panjang, seperti
ikan layur, dapat diolah dalam bentuk ikan utuh atau potongan.
Gambar 7. Proses Pengolahan Picungan
Ikan Ukuran
Kecil
Ikan Ukuran
Besar
Ikan Berbentuk
Panjang
Pembuangan
insang dan isi
perut
Pemfiletan Pemotongan
Campuran picung
dan garam
dimasukkan dalam
insang dan rongga
perut
Pencampuran
dengan picung
dan garam
Pencampuran
dengan picung
dan garam
Disusun dalam keranjang yang telah dilapisi daun pisang
Fermentasi (2 – 7 hari)
PICUNGAN
Campuran picung dan
garam ditaburkan pada
permukaan ikan
http://www.bbrp2b.dkp.go.id
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
55
Pada proses fermentasi, ikan dicampur secara merata dengan picung dan garam.
Perbandingan antara ikan, picung dan garam adalah 4 : 2 : 1. Garam berfungsi untuk
memberikan rasa produk picungan dan bila produk tidak segera dijual garam juga
berperan pada penurunan aW yang membantu dalam menghambat pertumbuhan bakteri
pembusuk. Bila picungan diolah dari ikan utuh, seperti ikan kembung, tiga wajah dan
bentong, campuran picung dan garam dimasukkan ke dalam insang dan rongga perut.
Setelah itu pada bagian permukaan ikan ditaburi dengan campuran picung dan garam.
Jika picungan diolah dari potongan ikan, seperti ikan pari dan cucut, potongan ikan
langsung ditaburi dengan campuran picung dan garam. Ikan yang telah dicampur dengan
picung dan garam telah siap untuk dipasarkan. Tetapi bagi picungan yang tidak untuk
dijual pada hari pengolahan atau akan dijual ke daerah lain harus dikemas dan disusun
berlapis – lapis dalam keranjang yang telah dilapisi dengan daun pisang. Diantara lapisan
ikan diberi taburan campuran picung dan garam. Sisa campuran picungan dan garam
ditaburkan pada lapisan paling atas.
Produk ikan picungan yang setelah diproses langsung dijual dan dikonsumsi
proses fermentasi belum sempat terjadi. Fermentasi terjadi bila produk tersebut tidak
segera dipasarkan atau dijual. Selama proses fermentasi, keranjang ditutup yang rapat
untuk menghindarkan dari lalat, karena lalat kemungkinan dapat menyebabkan proses
fermentasi gagal. Aroma dan rasa spesifik picungan berkembang selama fermentasi.
Picungan dapat mengawetkan ikan sampai dua minggu tergantung kepada jenis ikan yang
digunakan. Bagi pengolah, lama fermentasi tidak menjadi masalah, karena proses
fermentasi akan dihentikan begitu ikan terjual. Berdasarkan pengalaman pengolah dan
konsumen, lama fermentasi yang optimum adalah 3 – 7 hari. Selama waktu tersebut,
tekstur ikan masih dalam keadaan kenyal.
Cara penyiapan picungan yang akan dikonsumsi tergantung kepada kegemaran
dari konsumen. Pada dasarnya, picungan adalah produk mentah yang memerlukan
perlakuan pemasakan sebelum dikonsumsi. Sebelum dimasak, beberapa konsumen
membuang picung yang melekat pada ikan, terutama pada insang dan rongga perut,
dengan cara mencucinya, tetapi sebagian konsumen yang lain tidak melakukan cara
tersebut. Biasanya sebelum dikonsumsi picungan digoreng atau dipepes terlebih dahulu.
1.3. Mikrobiologi Ikan Picungan
Hasil pengamatan Irianto et al. (2003) pada pembuatan ikan picungan dari ikan
pari , ikan kembung dan ikan layur menunjukkan bahwa total jumlah koloni bakteri asam
laktat cenderung meningkat selama fermentasi sembilan hari. Hasil ini mengindikasikan
bahwa lingkungan produk picungan sesuai untuk pertumbuhan bakteri asam laktat.
Diantara 24 isolat yang diperoleh dari produk picungan, delapan adalah
merupakan koloni bakteri asam laktat. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa koloni
bakteri asam laktat tersebut adalah termasuk dalam genus Lactobacillus dan dua
dinataranya diyakini sebagai Lactobacillus murinus. Sedangkan untuk koloni bakteri
http://www.bbrp2b.dkp.go.id
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
56
asam laktat yang lain belum dapat ditentukan, tetapi dapat dipastikan sebagai
Lactobacillus sp.
1.4. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi
Karakteristik kimia dan nilai gizi dari picungan sangat dipengaruhi oleh bahan
mentah, jumlah picungan yang ditambahkan dan lama fermentasi. Oleh karena itu,
karakteristik produk akhir sangat spesifik menurut jenis ikan yang digunakan sebagai
bahan mentah dan kondisi pengolahan. Sebagai contoh, Tabel 14 memperlihatkan
komposisi proksimat picungan yang dibuat dari ikan bentong yang difermentasi selama 6
hari.
Tabel 14. Karakteristik kimia dan nilai gizi picungan dari ikan bentong yang difermentasi
selama 6 hari
Parameter Analisis
Kadar air (%)
Kadar protein (%)
Kadar lemak (%)
Kadar abu (%)
Kadar asam laktat (%)
pH
66,35
21,69
3,08
6,17
0,36
5,26
2. BEKASAM
Bekasam adalah produk ikan fermentasi tradisional yang pada awalnya diolah
oleh penduduk bermukim di Muara Sungai Bengawan Solo dan Surabaya, tetapi
kemudian menyebar ke Jawa Tengah, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Produk
tersebut di Kalimantan Tengah disebut dengan wadi (Moeljanto, 1992).
Pengolahan bekasam dilakukan dengan menambahkan sumber karbohidrat dan
dalam kondisi anaerobik. Karbohidrat didekomposisi melalui proses fermentasi menjadi
gula-gula sederhana dan kemudian dikonversi menjadi alkohol dan asam yang berperan
sebagai pengawet dan memberikan rasa dan bau spesifik pada bekasam. Bekasam
disajikan dengan membumbuinya menggunakan cabai dan gula (Murtini, 1992).
2.1. Bahan Mentah
Pada dasarnya, semua ikan air tawar dapat diolah menjadi bekasam, tetapi setiap
daerah mempunyai pertimbangan tersendiri di dalam memilihi jenis ikan air tawar yang
digunakan sebagai bahan mentah. Ikan yang telah umum digunakan untuk pengolahan
bekasam adalah ikan lele, ikan mas, bader, nila, mujahir (Afrianto dan Liviawaty, 1989).
http://www.bbrp2b.dkp.go.id
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
57
Gambar 8. Alur Proses Bekasam
2.2. Teknologi Pengolahan
Murtini (1992) secara rinci telah menjelaskan prosedur pengolahan bekasam.
Pertama-tama, ikan dibuang kepala, sisik dan isi perutnya. Ikan kemudian dibelah
menjadi bentuk kupu-kupu dan dicuci. Ikan yang telah dicuci selanjutnya direndam
dalam larutan garam 16% selama 48 jam dan diusahakan agar ikan tidak mengambang
dengan menempatkan pemberat. Ikan kemudian ditiriskan dan ditambah dengan nasi
biasa dan nasi ketan sebanyak masing-masing 50% dan 25% dari berat ikan. Campuran
ikan dan nasi ditempatkan dalam wadah plastik yang kemudian ditutup rapat. Campuran
ikan dan nasi tersebut diperam selama satu minggu atau lebih agar terjadi proses
fermentasi. Afrianto dan Liviawaty (1989) menyarankan penggaraman dilakukan dengan
menaburkan garam pada permukaan ikan. Metoda ini akan menghasilkan proses
penetrasi garam ke dalam daging ikan yang lebih cepat. Garam yang digunakan
Ikan air Tawar
Pembuangan Isi Perut dan Insang
Pembelahan Menjadi Bentuk Kupu-Kupu
Perendaman Dalam Larutan Garam
(16% b/b, selama 2 hari)
Penirisan
Penambahan Nasi
Pengemasan
Fermentasi
BEKASAM
http://www.bbrp2b.dkp.go.id
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
58
sebaiknya tidak lebih dari 20% dari berat ikan, kalau lebih akan dihasilkan bekasam yang
sangat asin. Secara tradisional, proses fermentasi dilakukan dalam kuali.
Penelitian penggunaan berbagai jenis karbohidrat telah dilakukan. Tiga jenis
sumber karbohidrat, yaitu beras sangrai (ditambahkan 50% dari berat ikan), campuran
nasi dan fermentasi beras ketan (tapai ketan), serta campuran beras sangrai, gula, nenas
dan jahe (ditambahkan 50%, 10%, 15% dan 0,5% dari berat ikan). Bekasam yang
dihasilkan dari penelitian ini memiliki rasa asam dan bau alkohol yang spesifik. Produk
dapat disimpan selama tiga bulan tanpa ada tanda-tanda kebusukan. Secara organoleptik,
bekasam yang baik adalah yang diolah dengan menggunakan campuran nasi dan tapai
ketan sebagai sumber karbohidrat. Penggunaan nenas dan jahe menyebabkan warna
merah kecoklatan pada produk. Warna ini menyebabkan penurunan penerimaan oleh
konsumen. Sumber karbohidrat tidak secara nyata mempengaruhi nilai pH dan kadar
NPN (non-nitrogen protein) dari produk, tetapi secara nyata mempengaruhi kadar air,
amonia, asam laktat dan TVB dari produk. Lama fermentasi berpengaruh nyata terhadap
kadar amonia, NPN, asam laktat dan TVB dari produk (Murtini, 1991). Selain itu di
Palembang juga ditemukan bahwa produk sejenis bekasam yang diolah dengan
menggunakan beras sangrai sebagai sumber karbohidrat yang disebut dengan ikan pede.
Mutu bekasam dapat diperbaiki dengan menambahkan kultur starter bakteri asam
laktat. Murtini et al. (1997) menggunakan bagian cairan dari asinan sawi dan kubis
sebagai sumber bakteri asam laktat pada pembuatan bekasam ikan gurami. Penggunaan
kedua jenis cairan asinan sebagai sumber bakteri asam laktat secara nyata mempengaruhi
jumlah bakteri asam laktat dan total koloni bakteri anaerob awal, dimana cairan tersebut
menyebabkan jumlah koloni kedua jenis bakteri lebih tinggi. Kadar asam laktat bekasam
meningkat tajam pada fermentasi minggu kedua dan kemudian cenderung menurun.
Nilai pH bekasam cenderung konstan sampai fermentasi minggu keempat dan fermentasi
lebih lanjut menghasilkan peningkatan nilai pH produk yang mungkin disebabkan oleh
penurunan kecepatan pembentukan asam laktat dan meningkatnya kecepatan senyawa
bersifat basa. Penambahan asinan sawi menghasilkan produk yang secara organoleptik
lebih baik, khususnya dalam hal warna. Selama penyimpanan delapan minggu, bekasam
yang diolah dengan menggunakan metoda ini masih tetap disukai sampai akhir
penyimpanan.
Dari uraian di atas diketahui bahwa proses fermentasi pada produk bekasam
terjadi pada ikan dan sumber karbohidrat yang meibatkan bakteri (terutama bakteri asam
laktat), kapang dan khamir. Peranan kapang dan khamir dapat dilihat pada penggunaan
tapai ketan sebagai sumber karbohidrat. Tapai di dalam pengolahannya melalui proses
fermentasi dengan menggunakan ragi. Mikroorganisma yang terdapat pada ragi tapai
adalah Amylomyces rouxii, Rhizopus oryzae, Endomycopsis burtonii, Mucor sp., Candida
utilis, Saccharomycopsis fibuligera, Saccharomyces cerevisiae dan beberapa bakteri
seperti Pediococcus sp., dan Bacillus sp. (Gandjar, 2003).
http://www.bbrp2b.dkp.go.id
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
59
2.3. Mikrobiologi Bekasam
Isolasi bakteri dari produk bekasam ikan lampan, bekasam ikan saluang, bekasam
ikan sepat, dan bekasam ikan betino yang dibeli di Palembang dan dibuat di laboratorium
diperoleh 27 isolat bakteri asam laktat (Sugiyono et al., 1999). Identifikasi lebih lanjut
terhadap isolat tersebut diperoleh bahwa bakteri asam laktat yang terdapat pada bekasam
yang dibeli dari pengolahan adalah Lactobacillus coryneformis dan Lactobacillus spp.
Sedangkan bakteri asam laktat yang diidentifikasi dari bekasam yang dibuat di
labpratorium adalah Lactobacillus spp., Pediococcus sp., Lactobacillus coryneformis dan
Pediococcus damnosus.
Indiati et al (1999) melakukan isolasi dan identifikasi bakteri asam laktat dari ikan
pede, yaitu bekasam yang diolah dengan menggunakan beras sangrai sebagai sumber
karbohidrat. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa bakteri asam laktat yang dominan
pada produk ikan pede adalah Lactobacillus coryneformis.
2.4. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi
Kandungan asam laktat bekasam meningkat setelah melalui proses fermentasi dan
kecepatan peningkatannya secara nyata dipengaruhi oleh sumber karbohidrat yang
digunakan. Kandungan asam laktat bekasam hasil penelitian Murtini et al. (1991) adalah
0,60 – 5,33%.
Komposisi proksimat bekasam yang dibuat dari ikan mas dapat dilihat pada Tabel
15. Kadar garam dan nilai pH bekasam masing-masing adalah 14,95-17,20% dan 4,57-
4,89.
Tabel 15. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi Bekasam dari Ikan Mas
Parameter
Kadar Air (%)
Kadar Abu (%)
Kadar Protein (%)
Kadar Lemak (%)
Kadar Garam (%)
PH
Kadar Asam Laktat (%)
58,40 – 66,95
6,11 – 8,67
4,80 – 6,91
5,00 – 5,72
14,95 – 17,20
4,57 – 4,89
0,60 – 5,33
Sumber: Murtini et al. (1991)
3. CINCALOK
Cincalok adalah produk fermentasi ikan tradisional yang telah dikenal dari
generasi ke generasi oleh masyarakat Melayu di Provinsi Riau, khususnya Bengkalis.
http://www.bbrp2b.dkp.go.id
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
60
Cincalok juga ditemukan di Penang, Malaysia dan masyarakat di sana menyebutnya
dengan nama yang sama. Produk tersebut di Pontianak disebut dengan mencalok. Di
Bangka terdapat produk yang mirip dengan cincalok disebut dengan rusip yang terbuat
dari ikan ukuran kecil. Produk ini biasanya diproduksi oleh industri skala kecil atau
industri rumah tangga.
3.1. Bahan Mentah
Pada umumnya bahan mentah yang digunakan untuk pembuatan cincalok adalah
udang kecil yang biasanya disebut oleh masyarakat setempat udang pepai atau udang
rebon (Schizopodes dan Mytis sp.). Bahan mentah harus dalam keadaan segar.
Gambar 9. Alur Proses Cincalok
3.2. Teknologi Pengolahan
Tidak ada metoda pengolahan yang baku untuk cincalok. Pada metoda yang
diterapkan oleh pengolah di Bengkalis, udang segar ditambah dengan nasi dan garam
yang dicampur secara merata dalam wadah plastik. Untuk satu kilogram udang ditambah
nasi sebanyak 200-300g, sedangkan garam sebanyak 300g. Selanjutnya wadah tersebut
Udang Rebon
Sortasi dan Pencucian
Pencampuran Dengan Nasi dan Garam
Penempatan Dalam Wadah Tertutup
Fermentasi Selama 4 hari
Pengemasan Dalam Botol
CINCALOK
http://www.bbrp2b.dkp.go.id
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
61
ditutup untuk menghindarkan kontak dengan udara dan diinkubasi selama 4 hari sampai
cairan dilepaskan. Setelah itu campuran tersebut dimasukkan ke dalam botol dan ditutup
rapat. Selanjutnya produk telah siap untuk dipasarkan.
Cara pengolahan cincalok yang lain adalah dengan mencampur udang ukuran
kecil dengan tepung tapioka, garam dan gula, dengan perbandingan 20:1:1:1. Pada cara
ini udang dibuang kulitnya dan kemudian dicuci. Tepung tapioka dilarutkan dalam air,
digelatinisasi dan kemudian dibiarkan sampai dingin. Udang dicampur sampai merata
dengan garam, gula dan tepung tapioka yang telah digelatinisasi. Campuran tersebut
kemudian dimasukkan dalam botol dan ditutup rapat. Akhirnya campuran difermentasi
pada suhu kamar selama 1-2 minggu (Irianto dan Irianto, 1998).
3.3. Mikrobiologi Cincalok
Isolasi bakteri asam laktat yang dilakukan terhadap cincalok yang dibeli dari
pengolah di Bengkalis, Riau didapat tiga isolat. Setelah dilakukan identifikasi diperoleh
informasi bahwa bakteri asam laktat yang beperan di dalam fermentasi produk cincalok
adalah Lactobacillus coryneformis, Pediococcus damnosus dan Pediococcus sp.
(Sugiyono et al., 1999)
3.4. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi
Hasil analisis kimia cincalok yang diolah dengan menggunakan metoda yang
menambahkan nasi dan garam seperti pada alur proses Gambar 9. dapat dilihat pada
Tabel 16. Nilai pH cincalok relatif rendah, yaitu 4,82. Sedangkan kandungan garam dan
kadar asamnya cukup tinggi, yaitu masing-masing 10,11% dan 2,34%.
Tabel 16. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi Cincalok
Parameter
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Kadar protein (%)
Kadar lemak (%)
Kadar garam (%)
Kadar asam laktat (%)
pH
69,76
12,43
16,23
1,57
10,11
2,34
4,82
Sumber: Irianto (1999)
http://www.bbrp2b.dkp.go.id
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
62
4. NANIURA
Naniura adalah produk tradisional ikan fermentasi yang berasal dari daerah
Batak Toba, Sumatera Utara. Naniura dapat digolongkan sebagai produk pangan
semibasah dengan nilai aW 0,8 (Silalahi, 1994).
4.1. Bahan Mentah
Bahan mentah yang biasa digunakan untuk pengolahan naniura adalah ikan mas
(Cyprinus carpio). Masyarakat Batak Toba secara tradisional mengawetkan ikan secara
fermentasi dengan mengolahnya menjadi naniura. Silalahi (1994) menggunakan ikan
gabus (Chana striatus) sebagai bahan mentah pada pembuatan naniura dan dapat
menghasilkan produk yang secara organoleptik dapat diterima oleh konsumen.
4.2. Teknologi Pengolahan
Pada pengolahan naniura, ikan pertama-tama disiangi dengan membuang isi perut
dan insang. Selanjutnya ikan dicuci dengan air bersih untuk membuang darah. Ikan yang
telah bersih direndam dalam air jeruk nipis dan kemudian dilumuri dengan tumbukan
beras. Cara lain adalah ikan yang telah dibersihkan diberi tumbukan beras dan direndam
dalam asam asetat selama tiga jam. Setelah itu ikan dikemas dan siap untuk dipasarkan
(Gambar 9).
Gambar 9. Alur Proses Naniura
Ikan Mas
Penyiangan dan Pencucian
Direndam Air Jeruk Nipis 3 jam
Dilumuri Tumbukan Beras
Dikemas
Naniura
http://www.bbrp2b.dkp.go.id
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
63
Silalahi (1994) mengolah naniura dari ikan gabus. Ikan gabus disiangi, dibuang
tulangnya dan kemudian dicuci. Bumbu-bumbu ditumbuk sampai halus dan homogen.
Bumbu yang telah halus tersebut dicampurkan pada ekstrak jeruk nipis dan dicampur
sampai merata. Selanjutnya ikan direndam dalam ekstrak jeruk nipis yang telah
dicampur dengan bumbu tersebut selama tiga jam. Kemudian ikan ditiriskan dan
difermentasi selama empat hari.
Bumbu yang digunakan pada pengolahan naniura adalah kunyit, jahe, kencur,