FENOMENOLOGI DAN HERMENEUTIKA PERSAMAAN, KEKUATAN, DAN KELEMAHAN Oleh: Derichard H. Putra PENDAHULUAN Fenomenologi dan hermenutika telah menjadi semakin populer dewasa ini. Keduanya memiliki karakteristik tersendiri dan penggunaannya disesuaikan dengan fenomena dan permasalahan yang hendak diteliti. Jika fenomenologi memberikan atensi lebih besar pada sifat pengalaman yang dihidupkan, sedang hermeneutika berkonsentrasi pada masalah- masalah yang muncul dari interpretasi tekstual. Keduanya membicarakan manusia sebagai realita yang eksistensinya ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik dan budaya yang mempengaruhi. Fenomenologi dan hermenutika saling bersentuhan, namun juga mempunyai perbedaan, kekuatan dan kelemahan masing-masing. Fenomenologi dengan Edmund Husserl-nya mampu “mengusung” menjadi sebuah disiplin ilmu yang berpengaruh dan banyak mempengaruhi filsup-fulsup lain di abad 20, sedangkan hermeneutik, dengan Friedrich Schleiermacher-nya (dikenal sebagai Bapak Hermeneutika modern), dijadikan banyak peneliti sebagai metode-metode penelitian tidak hanya menguak makna teks tetapi juga interpretasi fenomena sosial. Fenemoneologi didefinisikan sebagai ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
FENOMENOLOGI DAN HERMENEUTIKA
PERSAMAAN, KEKUATAN, DAN KELEMAHAN
Oleh: Derichard H. Putra
PENDAHULUAN
Fenomenologi dan hermenutika telah menjadi semakin populer dewasa
ini. Keduanya memiliki karakteristik tersendiri dan penggunaannya disesuaikan
dengan fenomena dan permasalahan yang hendak diteliti. Jika fenomenologi
memberikan atensi lebih besar pada sifat pengalaman yang dihidupkan, sedang
hermeneutika berkonsentrasi pada masalah-masalah yang muncul dari
interpretasi tekstual. Keduanya membicarakan manusia sebagai realita yang
eksistensinya ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik dan budaya yang
mempengaruhi. Fenomenologi dan hermenutika saling bersentuhan, namun juga
mempunyai perbedaan, kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Fenomenologi dengan Edmund Husserl-nya mampu “mengusung”
menjadi sebuah disiplin ilmu yang berpengaruh dan banyak mempengaruhi
filsup-fulsup lain di abad 20, sedangkan hermeneutik, dengan Friedrich
Schleiermacher-nya (dikenal sebagai Bapak Hermeneutika modern), dijadikan
banyak peneliti sebagai metode-metode penelitian tidak hanya menguak makna
teks tetapi juga interpretasi fenomena sosial.
Fenemoneologi didefinisikan sebagai ilmu tentang esensi-esensi
kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran1 sedang
hermeneutik merupakan seni pemahaman dan penginterpretasian tentang teks-
teks historis2.
Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai
subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Ketika berbicara tentang makna
dan pemaknaan yang dilakukan, maka hermeneutik terlibat di dalamnya.
Ricoeur (1985), kemudian menyimpulkan bahwa fenomenologi
merupakan asumsi dasar yang tak tergantikan bagi hermeneutika. Di sisi lain,
fenomenologi tidak berfungsi dengan baik dalam memahami berbagai fenomena
1 Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif,
Yogyakarta: Jalasutra, 2005, hlm. 151.
2 Lihat, Richard E. Palmer. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Terj. Masnur Heri
Damanhuri Muhammad, hal 14-36.
1
secara utuh dan menyeluruh tanpa penafsiran terhadap pengalaman-
pengalaman subjek. Untuk keperluan penafsiran itu, menurut Ricoeur sangat
dibutuhkan disiplin lain yaitu hermeneutika. Jadi pada dasarnya fenomenologi
dan hermeneutik saling melengkapi. Dengan dasar itu, Ricoeur menggunakan
metode fenomenologi hermeneutik.
Metode ini dalam literatur ilmu humaniora diakui sebagai metode
penafsiran yang rigorous (ketat), dapat membawa peneliti kepada pemahaman
tentang fenomena secara apa adanya, menyeluruh dan sistematik terutama
dalam menjelaskan tentang identitas diri tanpa mengabaikan aspek
objektivitasnya.
Uraian singkat di atas mengisyaratkan ada perbedaan dan hubungan
yang jelas antara dua bidang ilmu ini. Namun perbedaan dan hubungan itu
belum terlihat begitu jelas sebelum mengarungi lebih jauh lagi.
Dalam makalah ini, akan dipaparkan perbandingan fenomenoloogi dan
hermeneutik sebagai bagian dari epistemologi. Perbandingan ini difokuskan
kepada persamaan/perbedaan dan juga kelemahan dan kekuatan masing-
masing. Cuff dan Payne (1980: 3), menyebutkan suatu cabang ilmu pada
dasarnya dibedakan mengenai objek yang diteliti, masalah-masalah yang ingin
dipecahkan, konsep-konsep, metode-metode serta teori yang dihasilkan3.
Perbandingan yang baik tentu harus memperhatikan hal-hal tersebut4.
Sebelum melakukan perbandingan, saya mencoba memaparkan secara
singkat asal muasal pemikiran dan tokoh-tokoh yang berpengaruh dibelakang
“kesuksesan” epistemologi tersebut serta pokok-pokok pikirannya, ini
dimaksudkan supaya lebih mudah untuk membandingkannya keduanya.
Fenomenologi
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert
(1728-1777), seorang filsuf Jerman dalam bukunya Neues Organon (1764).
Sebelum Lambert, istilah fenomenologi juga pernah dikemukan oleh filsup-filsup
lainnya; Immanuel Kant (1724-1804) dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-
1831). Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-
Prinsip Pertama Metafisika (1786). Kant menyebutkan untuk menjelaskan kaitan
3 Lihat, Ahimsa-Putra. Etnosains dan Etnometodologi, Sebuah Perbandinga. Hal: 104.
dari penafsiran. Dari sini kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan
dengan sebuah penafsiran atau interpretasi.
Kehadiran hermeneutika dipengaruhi oleh beberapa faktor, dalam analisis
Werner, ada tiga sebab yang paling mendominasi pengaruh terhadap
pembentukan hermeneutika, dari masa interpretasi bibel hingga saat ini. Ketiga
yang dimaksud Werner terbut yaitu (1) Masyarakat yang terpengaruh mitologi
Yunani, (2) Masyarakat Yahudi dan Kristen yang mengalami masalah dengan
teks kitab “suci” agama mereka, dan (3) Masyarakat Eropa zaman pencerahan
(Enlightenment) yang berusaha lepas dari otoritas keagamaan dan membawa
hermeneutika keluar konteks keagamaan15.
Richard E. Palmer (2005) menyimpulkan enam defenisi hermeneutika,
keenam definisi tersebut merupakan urutan fase sejarah yang menunjuk suatu
peristiwa atau pendekatan penting dalam persoalan interpretasi yang berkenaan
dengan hermeneutika.
“Sejak awal kemunculannya, hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi, khususnya prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang hermeneutika telah ditafsirkan (secara kronologisnya) sebagai: (1) teori eksegesis Bibel, (2) metodologi filologi umum, (3) ilmu pemahaman linguistic, (4) fondasi metodologis geisteswissenschaften, (5) fenomenologi esistensi dan pemahaman eksistensial, dan (6) sitem interpretasi, baik recollektif maupun iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraik makna di balik mitos dan simbol” (Palmer 2005: 38)
Definisi yang disebut Palmer tersebut mewakili berbagai dimensi yang
sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang
berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan dari setiap penafsiran terutama
penafsiran teks, defenisi tersebut dapat disebut pendekatan Bibel, filologis,
saintifik, geisteswissenschaften, eksistensial, dan kultural. Setiap defenisi
merepresentasikan sudut pandang dari mana hermeneutika dilihat, melahirkan
pandangan-pandangan yang berbeda-beda namun memberi ruang bagi tindakan
interpretasi, khususnya teks.
15 Berdasarkan analisis Werner, Hamid Fahmi Zarkasyi membagi sejarah hermeneutika menjadi
tiga fase, yaitu (1) mitologi Yunani ke teologi Yahudi dan Kristen, (2) teologi Kristen yang
problematik ke gerakan rasionalisasi dan filsafat, dan (3) hermeneutika filosofis menjadi filsafat
hermeneutika
10
Hermeneutika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci
Pemahaman ini merupakan pertama kali digunakan untuk hermeneutik, di
sini hermeneutika difungsikan untuk memahami kitab suci, terutama oleh
kalangan gereja. Hermeneutika bukanlah hasil atau isi penafsiran, melainkan
metode. Tokoh utamanya adalah J.C.Dannhauer. Pada masa ini, bentuk
hermeneutika memunculkan banyak aliran serta corak yang terkadang saling
bertolak belakang. Tokoh selanjutnya adalah Schleiermacher, dengan
mencetuskan hermeneutika modern. Schleiermacher juga berjasa membakukan
hermeneutika sebagai acuan dalam interpretasi secara metodologis.
Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834), tokoh hermeneutika
romantisis, ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian
teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat.
Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur
penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural16.
Hermeneutika sebagai Metode Filologi
Dalam defenisi ini, hermeneutika difungsikan sebagai metode pengkajian
teks dan menempatkan semua teks sama, termasuk kitab suci. Pemahaman
awal bahwa hermeneutik hanya untuk menafsirkan kitab suci mulai mengalami
pergeseran.
Menerapkan metode hermeneutika pada bidang non Kitab Suci yang
terpenting adalah sang penafsir tidak hanya menarik nilai-nilai moral dari suatu
teks, tetapi juga mampu memahami “roh” yang berada di balik teks tersebut, dan
menterjemahkannya secara rasional sesuai konteks yang berlaku. Banyak ahli
yang berpendapat, bahwa pemahaman semacam itu merupakan proses
demitologisasi gerakan pencerahan atas teologi dan agama-agama. Tokoh pada
masa ini adalah Johan August Ernesti, ia diklaim sebagai sosok sekulerisme oleh
kalangan gereja17.
Kajian terpenting dari fungsi metodologi filologi, hermeneutika menuntut
sang penafsir untuk mengerti latar belakang sejarah dari teks yang
16 Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2005) 39-42.
17 Id. at 43-44
11
ditafsirkannya. Penafsir haruslah mampu berbicara tentang teks yang
ditafsirkannya dengan cara yang sesuai dengan jaman yang berbeda, serta
situasi yang berbeda. Dengan demikian, seorang penafsir juga adalah seorang
ahli sejarah, yang mampu mengerti dan memahami makna historis dari teks yang
dianalisanya, sehingga makna yang tersembunyi dapat terungkap.
Hermeneutika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik
Dari metode filologi, hermeneutika berkembang kearah sebuah ilmu yang
memahami linguistik. Hermeneutika difungsikan sebagai ilmu untuk memahami
berdasarkan teori linguistik dan menjadi landasan interpretasi teks. Filsuf yang
banyak memberikan kontribusi pemahaman linguistik kepada hermeneutika
adalah Schleiermacher. Menurutnya hermeneutika bisa dikatakan semacam
sintesa antara “ilmu” sekaligus “seni” untuk memahami bahasa. Schleiermacher
kurang setuju kalau hermeneutika hanya terfokus kepada metode filologi, tetapi
juga melihat hermeneutika sebagai “hermeneutika umum”. Hermeneutika
semacam ini merupakan semacam sintesa antara tafsir Kitab Suci dan Filologi18.
Hermeneutika sebagai Fenomena Dassein dan Pemahaman Eksistensial
Dalam defenisi ini, hermeneutika berfungsi sebagai penafsiran melihat
fenomena tentang keberadaan manusia dengan menggunakan bahasa sebagai
instrumennya. Martin Heidegger, dalam merefleksikan berbagai problem
metafisika, ia menggunakan fenomenologi seperti yang dikemukakan Edmund
Husserl. Dalam bukunya Being and Time (1927), ia melakukan refleksi atas
(manusia) Dasein, yang disebutnya sebagai hermeneutika atas Dasein19.
Heidegger tidak menyebut hermeneutika sebagai ilmu ataupun aturan
tentang penafsiran teks, atau sebagai metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan, tetapi
sebagai eksplisitasi eksistensi manusia itu sendiri. Dalam konteks ini,
hermeneutika bagi Heidegger bahwa “penafsiran” dan “pemahaman” merupakan
modus mengada manusia. Dengan demikian, hermeneutika Dasein dari
Heidegger, terutama selama berupaya merumuskan ontologi dari pengertian,
18 Id. at 44-45
19 Id. at 46-47
12
jugalah merupakan hermeneutika. Ia merumuskan metode khusus hermeneutika
untuk menafsirkan Dasein secara fenomenologis.
Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi
Tokoh dibalik ini adalah Paul Ricoeur, ia mendefinisikan hermeneutika
kembali pada analisis tekstual yang memiliki konsep-konsep distingtif serta
sistematis. “Yang saya maksudkan dengan hemeneutika,” demikian tulis Ricoeur,
“adalah peraturan-peraturan yang menuntun sebuah proses penafsiran, yakni
penafsiran atas teks partikular atapun kumpulan tanda-tanda yang juga dapat
disebut sebagai teks”
Ricoeur membedakan dua macam simbol, yakni simbol univokal dan
simbol ekuivokal. Simbol univokal adalah simbol dengan satu makna, seperti
pada simbol-simbol logika. Sementara itu, simbol ekuivokal, yang merupakan
perhatian utama dari hermeneutika, yang simbol yang memiliki bermacam-
macam makna. Heremeneutika haruslah berhadapan dengan teks-teks simbolik,
yang memiliki berbagai macam makna. Hermeneutika juga haruslah membentuk
semacam kesatuan arti yang koheren dari teks yang ditafsirkan, dan sekaligus
memiliki relevansi lebih dalam serta lebih jauh untuk masa kini maupun masa
depan. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan sebuah sistem penafsiran, di
mana relevansi dan makna lebih dalam dapat ditampilkan melampaui sekaligus
sesuai dengan teks yang kelihatan.
Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologi bagi Geisteswissenchften
Wilhelm Dithey, ia menyebut hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat
melayani sebagai fondasi bagi melihat Geisteswissenchften (semua disiplin yang
memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia) Dalam
menafsirkan ekspresi hidup manusia, dibutuhkan tindakkan pemahaman sejarah.
Dalam pandangan Dilthey, apapun yang dibutuhkan dalam ilmu-ilmu
kemanusiaan, merupakan “kritik” nalar yang akan mengurusi pemahaman
sejarah20.
Hermeneutika sebagai Sistem Penafsiran
20 Id. at 45-46
13
Hermeneutika difungsikan sebagai seperangkat aturan penafsiran dengan
cara menghilangkan segala misteri yang menyelimuti simbol dengan cara
membuka selubung yang menutupinya. Tokohnya utama dibalik ini adalah Paul
Richouer. Ia membedakan interpretasi teks tertulis dan percakapan. Makna tidak
hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut
pengertian pandangan hidup dari pembacanya.
Di samping itu masih ada tokoh lain yang turut berperan pada
perkembang hermeneutika pada masa ini, seperti Jurgen Habermas (1929-),
tokoh hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh
kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial
yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran
dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan
gender. Selain itu juga ada Jacques Derrida (1930), tokoh hermenutika
dekonstruksionis, dan Edmund Husserl (1889-1938), tokoh hermeneutika
fenomenologis.
Tokoh dibelakang Hermeneutika
Perubahan perspektif dan perkembangan hermeneutika tidak terlepas
dari peran tokoh besar di baliknya. Setiap tokoh membawa pengaruh dan corak
yang berbeda dengan dengan tokoh-tokoh sebelumnya. Sumaryono (1999) dan
Palmer (2005) menyebutkan beberapa tokoh tersebut.
Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768 -1834)
Tokoh hermeneutika romantisis, memperluas pemahaman hermeneutika
dari sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam
pengertian filsafat. Schleiermacher menyebutkan, dalam upaya memahami
wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan
konteks kultural.
F.D.E Schleiermacher ditempatkan sebagai tokoh Hermeneutik . Ia
membedakan hermeneutik dalam pengertian sebagai ilmu atau seni memahami
dengan hermeneutik yang mendefinisikan sebagai studi tentang memahami itu
sendiri ( Richard E. Palmer, 1969 : 40 ). Scleiermacher menulis sebagai berikut :
Semenjak seni berbicara dan seni memahami berhubungan satu sama lain,
14
maka berbicara hanya merupakan sisi luar dari berpikir , Hermeneutik adalah
bagian dari seni berfikir itu dan oleh karenanya bersifat filosofis ( Schleiermacher,
1977 : 97 ). Penerapan hermeneutik sangatlah luas yaitu dalam bidang teologis,
filosofis, sebab merupakan ” bagian dari seni berfikir “. Pertama- tama buah
pikiran kita mengerti, baru kemudian kita ucapkan. Inilah alasannya
Schleiermacher menyatakan bahwa bicara kita berkembang seiring dengan buah
pikiran kita. Namun bila saat berfikir kita merasa perlu untuk membuat persiapan
dalam mencetuskan buah pikiran kita, maka pada saat itulah disebut sebagai ”
Transformasi berbicara yang internal dan orisinal dan karenanya interpretasi
menjadi penting”.
Wilhelm Dilthey (1833 -1911)
Hermeneutika metodis, ia beragumentasi bahwa proses pemahaman
hermeneutika bermula dari pengalaman, kemudian mengekspresikan nya.
Pengalaman hidup manusia merupakan sebuah neksus struktural yang
mempertahankan masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini.
Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat digunakan
sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften21. Wilhelm Dilthey adalah seorang
filosof, kritikus sastra, dan sejarawan asal Jerman. Baginya hermeneutika adalah
“tehnik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk
tulisan”. Oleh karena itu ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah
yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup di masa lalu. Untuk memahami
pengalaman tersebut intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan
pengarang. Bentuk kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi psikologis
Schleiermacher.
Dilthey berusaha membumikan kritiknya ke dalam sebuah transformasi
psikologis. Namun karena psikologi bukan merupakan disiplin historis, usaha-
usahanya ia hentikan, Ia menolak asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja
pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang.
Ia anggap asumsi ini anti-historis sebab tidak mempertimbangkan pengaruh
eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang.
21 Semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia.
15
Edmund Husserl (1889 -1938)
Hermeneutika fenomenologis, ia beranggapan bahwa pemahaman teks
harus dibiarkan berdiri sendiri tanpa adanya prasangka dan perspektif dari dari
penafsir. Oleh sebab itu, menafsirkan sebuah teks berarti secara metodologis
mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada hubungannya, termasuk bias-
bias subjek penafsir dan membiarkannya mengomunikasikan maknanya sendiri
pada subjek.
Martin Heidegger (1889 -1976)
Hermeneutika dialektis, menjelaskan tentang pemahaman sebagai
sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Oleh sebab itu,
pembacaan atau penafsiran selalu merupakan pembacaan ulang atau penafsiran
ulang.
Pemikiran Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis,
meskipun akhirnya Heidegger mengambil jalan menikung dari prinsip
fenomenologi yang dibangun Husserl. Fenomenologi Husserl lebih bersifat
epistemologis karena menyangkut pengetahuan tentang dunia, sementara
fenomenologi Heidegger lebih sebagai ontologi karena menyangkut kenyataan
itu sendiri. Heidegger menekankan, bahwa fakta keberadaan merupakan
persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan
manusia, sementara Husserl cenderung memandang fakta keberadaan sebagai
sebuah datum keberadaan.
Hans-Georg Gadamer (900-2002)
Hermeneutika dialogis, baginya pemahaman yang benar adalah
pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis.
Kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan
mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium
sangat penting bagi terjadinya dialog.
Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada
empat kunci heremeneutis (1) kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”, (2)
situasi hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri
pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan
16
konteks. Pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari
kesalahan, (3) setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon,
horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus dikomunikasikan agar
ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca
harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon
pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan
dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer
disebut “lingkaran hermeneutik”. (4) menerapkan “makna yang berarti” dari teks,
bukan makna objektif teks.
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada
asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia
menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger
dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya
Jurgen Habermas (1929)
Hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh
kepentingan. Yang menentukan horison pemahaman adalah kepentingan sosial
yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran
dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan
gender.
Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain
horizon penafsir, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.
Menurut Habermas, teks bukanlah media netral, melainkan media dominasi.
Karena itu, ia harus selalu dicurigai. Bagi Habermas pemahaman didahului oleh
kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial
(social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang
interpereter
Jean Paul Gustave Ricoeur (1913-2005)
Ia selalu menekankan betapa pentingnya memperhatikan simbol-simbol
yang hidup di masyarkaat. Ricoeur menjelaskan tentang simbol-simbol dengan
menggunakan simbol kejahatan dan juga menerangkan asal-usul dari kejahatan
itu dengan menggunakan mitos-mitos. Kenyataan selalu tidak akan pernah lepas
dari simbol-simbol yang harus di tafsirkan. Seperti halnya bahasa yang
17
diterjemahkan dalam kata-kata, itu semua harus diterjemahkan agar manusia
menemukan makna sesungguhnya. “Setiap teks mempunyai 3 macam otonomi,
yaitu, intensi atau maksud pengarang, situasi cultural dan kondisi social
pengadaan teks, serta untuk siapa teks itu dimaksudkan” (Sumaryono, 1999,109)
Paul Richour mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada
fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam
hermeneutika. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi
dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek
interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam
mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra.
Hermeneutika harus terkait dengan teks simbolik yang memiliki multi makna
(multiple meaning); ia dapat membentuk kesatuan semantik yang memiliki makna
permukaan yang betul-betul koheren dan sekaligus mempunyai signifikansi lebih
dalam. Hermeneutika adalah sistem di mana signifikansi mendalam diketahui di
bawah kandungan yang nampak. Konsep yang utama dalam pandangan Ricoeur
adalah bahwa begitu makna obyektif diekspresikan dari niat subyektif sang
pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin.
Makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup (worldview) pengarang,
tapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya. Sederhananya,
hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir.
Jürgen Habermas (1929)
Hermenutika dekonstruksionis, mengingatkan bahwa setiap upaya
menemukan makna selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi
sederhana antara petanda dan penanda. Makna teks selalu mengalami
perubahan tergantung konteks dan pembacanya.
PERBANDINGAN
Dari penjelasan di atas, dapat kita lihat beberapa persamaan dan
perbedaan dari fenomenologi dan hermeneutika. Beberapa persamaan dan
perbedaan bisa dilihat berikut ini.
Teks ketika dipahami seseorang, secara tidak langsung akan
memunculkan interpretasi terhadap teks tersebut. Membicarakan teks tidak
pernah terlepas dari unsur bahasa, Heidegger menyebutkan bahasa adalah
18
dimensi kehidupan yang bergerak yang memungkinkan terciptanya dunia sejak
awal, bahasa mempunyai eksistensi sendiri yang di dalamnya manusia turut
berpartisipasi22.
Sebagai metode tafsir, hermeneutika menjadikan bahasa sebagai tema
sentral, kendati di kalangan para filsuf hermenutika sendiri terdapat perbedaan
dalam memandang hakikat dan fungsi bahasa: Intensionalisme dan
Hermeneutika Gadamerian. Intensionalisme memandang makna sudah ada
karena dibawa pengarang/penyusun teks sehingga tinggal menunggu
interpretasi penafsir. Sementara Hermeneutika Gadamerian sebaliknya
memandang makna dicari, dikonstruksi, dan direkonstruksi oleh penafsir sesuai
konteks penafsir dibuat sehingga makna teks tidak pernah baku, ia senantiasa
berubah tergantung dengan bagaimana, kapan, dan siapa pembacanya.
Hermeneutika Gadamerian dianggap sebagai sejarah penting bagi studi
hermeneutika. Sebab, aliran hermeneutika ini memberikan dimensi yang sangat
luas kepada setiap pembaca teks untuk lebih kreatif dan menjelajah dunia makna
dengan sangat luas. Bagi hermeneutika makna tidak saja ada di belakang teks
(meaning behind the texts), melainkan juga di depan teks (meaning before the
texts). Makna di balik teks , berarti dibuat (created), sedangkan yang di depan
teks berarti ditemukan (invented)23.
Pada dasarnya, fenomenologi mengkaji struktur berbagai jenis
pengalaman yang bergerak dari persepsi, pemikiran, memori, imajinasi,
keinginan, kehendak yang diwujudkan dalam tindak nyata, aktivitas sosial
termasuk aktivitas berbahasa.
Fenomenolgi yang selalu bersandar kepada kesadaran manusia, jika
dilihat lebih jauh dalam kehidupan sehari-hari atau ditipifikasikan, maka bahasa
menjadi medium sentral untuk tranformasi tipifikatif, oleh karena ada makna yang
dapat ditemukan dalam tipifikasi (pergaulan sehar-hari). Keadaan ini memberikan
orientasi metodologi bagi fenomenologi tentang kehidupan sosial dengan
memberikan perhatian lebih kepada relasi antara bahasa yang digunakan
dengan obyek pengalaman. Dengan demikian maka fenomenologi sosial
22 Lihat, Terry Eagleton. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif, hal 88.
23 Lihat, Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian,
hal 55.
19
dilandaskan atas ajaran bahwa interaksi sosial adalah rancang bangun
sepanjang di dalamnya memuat makna yang dapat diungkap.
Sedang makna diperoleh dari kajian fenomenologi didapat tidak dengan
menunggu secara pasif melainkan dengan melakukan konstruksi secara aktif
terhadap tumpukan multi struktur yang diupayakan ditemukan maknanya melalui
bahasa, peneliti fenomenlogis harus berusaha menemukan makna tersebut.
Dalam keseharian, penggunaan bahasa dan tipifikasi selalu menciptakan makna
(create a sense) bahwa dunia kehidupan (life-world) adalah substansial,
sehingga mengungkap makna tidak bisa dilepaskan dari bahasa.
Bahasa jelas merupakan sangat esensial bagi fenomenologi dan
hermeneutika. Kedua disiplin ini tidak mungkin bisa menjalankan perannya tanpa
menggunakan bahasa dalam “program-programnya”.
Fenomenologi dan hermeneutik juga menganggap bahwa pemaknaan
linguistik merupakan watak turunan dari pengalaman yang dihayati. Dalam upaya
memahami fenomena, kesadaran yang selalu tertuju kepada objek
menggunakan perangkat-perangkat perseptualnya (noesis) untuk memperoleh
gambaran perseptual yang lengkap tentang fenomena (noema). Pembentukan
gambaran perseptual yang lengkap itu mensyaratkan perlengkapan linguistik
yang memadai untuk melakukan pengertian, predikasi, hubungan sintaktik dan
sebagainya agar gambaran itu dapat diartikulasikan. Dari sisi hermeneutik,
penempatan linguistik sebagai kendaraan yang digunakan untuk memahami
analisis terhadap gambaran perseptual pra-lingusitik merupakan prinsip yang
mendasari proses penafsiran.
Ricoeur (1986) menggunakan analogi sebuah permainan dari
pengalaman seni yang pada dasarnya bukan sesuatu yang bersifat linguistik.
Pengalaman seni yang dimaksud adalah yang mengandung unsur permainan.
Ketika seseorang mendapatkan pengalaman seni, dan suatu waktu ia
memamerkan atau menampilkan pengalaman tersebut. Maka secara tidak
langsung, kegiatan memamerkan pengalaman itu tak bisa dilepaskan dari
medium linguistik. Pengalaman yang ditampilkan dan dipahami oleh
penontonnya juga melalui medium linguistik. Jadi, linguistik merupakan turunan
dari pengalaman yang dihayati subjek, baik sebagai pameran maupun penonton.
Selain bahasa, fenomenologi dan hermeneutika diasumsikan sebagai
teori pengalaman atau teori tentang bagaimana kata-kata berhubungan dengan
20
pengalaman. Fenomenologi memberikan atensi lebih besar pada sifat
pengalaman yang dihidupkan, sedangkan hermeneutik berkonsentrasi pada
masalah-masalah yang muncul dari interpretasi tekstual tersebut. Keduanya
membicarakan objek sebagai realita yang eksistensinya dimungkinkan dan
ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik dan budaya yang melingkupi.
Persamaan lainnya adalah hermeneutik dan fenomenologi terlihat dalam
penggunaan konsep Labenswelt (dunia-kehidupan) dalam fenomenologi, oleh
hermeneutik dipahami sebagai perbendaharaan makna, surplus kesadaran
dalam pengalaman hidup yang memungkinkan objetivikasi dan pemaknaan yang
kaya terhadap fenomena dalam kehidupan manusia. Dengan konsep
Labenswelt, dimungkinkan pengembangan fenomenologi persepsi yang
membawa fenomenologi kepada hermeneutik untuk memahami pengalaman
historis.
Hermeneutik dan fenomenologi juga memiliki persamaan yang
memungkinkan subjek untuk memaknai pengalaman yang dihayatinya dan
kepemilikannya akan tradisi historis.
Fenomenologi harus dibiarkan termanifestasi apa adanya tanpa
memasukkan kategori pikiran kita padanya. Seperti kata Husserl dengan
menyebutnya dengan ”kembalilah pada realitas itu sendiri”. Dengan kata lain
fenomenologi tidak membiarkan kita untuk mencampur fenomena yang ada
dengan pikiran kita, dan membiarkan fenomena tersebut berbicara apa adanya.
Hal ini disebabkan karena pikiran hanya bersifat teoritis yang terikat oleh
pengalaman indrawi yang bersifat relatif subyektif sedangkan fenomena adalah
realitas yang bersifat obyektif. Berbeda dengan hermeneutika, dalam dalam
menjalankan tugasnya hermeneutika harus memperhatikan sejarah, konteks,
prinsip, religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Dengan memperhatikan
beberapa kaidah tersebut hasil kajian hermeneutika akan jauh lebih sempurna.
Jika dilihat dari akar ilmu, fenomenologi dan hermeneutika jelas sangat
berbeda. Fenomenologi merupakan akar dari Philosophy, dengan pertanyaan
utama ”apa struktur dan esensi pengalaman atas gejala-gejala ini bagi
masyarakat tersebut?” Sedangkan hermeneutika berakar dari teologi, filsafat,
dan kritik sastra, dengan pertanyaan utama, ”apa kondisi-kondisi yang
melahirkan prilaku atau produk yang dihasilkan yang memungkinkan penafsiran
makna?”
21
Disamping persamaan dan perbedaan, fenomenologi dan hermeneutika
juga mempunyai kekuatan dan kelemahan. Beberapa kekuatan dan kelemahan
tersebut bisa dilihat di bawah ini.
Salah satu kekuatan filsafat fenomenologi adalah fenemenologi sebagai
suatu metode keilmuan dapat mendiskripsikan penomena dengan apa adanya
dengan tidak memanipulasi data, aneka macam teori dan pandangan.
Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari
segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semu konstruksi,
asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak
peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya
harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan
sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu
sendiri.
Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan
historis apapun—apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program
utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari
subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret,
lekat, dan penuh penghayatan.
Kekuatan fenomenologi lainnya adalah dapat mendeskripsikan fenomena
sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan
pandangan yang didapat sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari
adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan harus buang dulu, ini dimaksudkan
agar hasil dalam mengungkap pengetahuan atau kebenaran benar-benar
objektif.
Kekuatan lainnya, fenomenologi memandang objek kajian sebagai satu
kesatuan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya, dengan demikian
fenomenologi menuntut pendekatan holistik, bukan pendekatan partial, sehingga
diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati.
Di samping kekuatan, fenomenologi juga tidak lepas dari kelemahan.
Salah satu kelemahannya adalah tujuan dari fenomenologi itu sendiri.
Fenomenologi bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif
tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama
ataupun ilmu pengetahuan, merupakan suatu yang absurd. Sebab fenomenologi
sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai
22
(value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida
yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan
implikasi filosofis status pengetahuan24. Kita tidak dapat lagi menegaskan
objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku
sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh
pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian
fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
Kelemahan lainnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek
untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan
objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau
kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus
tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan
ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat
digenaralisasi.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, kita bisa menarik kesimpulan. Fenomenologi
merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha
memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya tanpa perlu
“intervensi” oleh apapun dan siapapun. Terlepas dari kelebihan dan
kekurangannya, fenomenologi telah memberikan kontribusi yang berharga bagi
dunia ilmu pengetahuan, mengatasi krisis metodologi, dan mampu menjadi
sebuah disiplin ilmu yang berpengaruh dan banyak mempengaruhi filsup-fulsup
lain di abad 20.
Fenomenologi berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis serta
pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi
manapun sebelumnya. Oleh karena itu, oleh kaum fenomenolog, fenomenologi
dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini tampaknya sejalan
dengan 'prinsip' ilmu pengetahuan, sebagaimana dinyatakan J.B Connant, yang
dikutip oleh Moh. Muslih, bahwa: "The scientific way of thinking requires the habit
of facing reality quite unprejudiced by and any earlier conceptions. Accurate
observation and dependence upon experiments are guiding principles."