1
PENDAHULUANIstilah narkotik, sering digunakan dalam hubungannya
dengan golongan obat analgesik opiod, dan istilah ini merupakan
istilah yang tepat, karena narkosis berarti juga sebagai suatu
keadaan penurunan kesadaran. Istilah opiat dan analgesik opioid
merupakan istilah yang lebih tepat, karena termasuk obat yang
menghilangkan nyeri tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan
kesadaran. Analgesik opioid biasanya memberi pengertian untuk
mencakup semua turunan alkaloid alamiah dan semisintetik dari opium
sama halnya dengan pengganti-penggantinya dengan efek-efek yang
menyamai morfin. Istilah opioat digunakan untuk obat-obat yang
diturunkan dari alkaloid opium poppy . Dalam tahun-tahun terakhir,
analgesik yang juga mempunyai sifat-sifat anatagonis (campuran
agonis-antagonis) telah dipakai dalam keadaan-keadaan klinik di
mana obat-obat ini dapat menggantikan penggunaan morfin.
Selanjutnya dengan adanya peptida-peptida endogen dengan
sifat-sifat analgesik menunjukkan bahwa peptide-peptida sintetik
dengan karakteristik opioid yang mungkin pada waktu yang akan
dating juga dimasukkan dalam golongan ini. Diantara opioid-opioid,
dimasukkan opioat-opioat(diturunkan dari alkaloid opium), opioid
sintetik (agonis, campuran agonis-antagonis dan antagonis), dan
opiopeptin( seperti -endorfin dan enkefalin). Morfin dianggap
sebagai prototip agonis.
SEJARAH DAN KIMIA1. Sejarah Sumber opium, zat-zat dari opium
yang belum diolah dan morfin bersumber dari bunga Papaver
somniverum. Setelah sayatan biji poppy pod yang mengeluarkan zat
putih yang dapat berubah menjadi permen cokelat dari opium mentah.
Opium mengandung banyak alkaloid, terutama menjadi morfin yang
mengandung konsentrasi sekitar 10%. Kodein disintesis secara
komersial dari morfin.Tanaman ini telah digunakan selama lebih dari
6000 tahun, dan penggunaannya terdapat dalam dokumen-dokumen Mesir
kuno , Yunani, dan Romawi. Yang menarik pada opium ialah bahwa
sampai pada abad ke 18 belum ada perhatian akan kecenderungan
adiksi opium. Dasar dari farmakologi modern telah diletakkan oleh
Sertuner, seorang ahli Jerman, yang mengisolasi suatu zat alkali
murni yang aktif dari opium pada tahun 1803. Hal ini merupakan
peristiwa penting di mana telah dimungkinkan untuk menstandarisasi
potensi suatu produk alamiah. Setelah melakukan pengujian pada
dirinya sendiri dan beberapa kawannya, Sertuner mengajukan nama
morfin untuk senyawa ini, yang berasal dari bahasa Yunani; Morpheus
yang berarti mimpi dari Dewa ( God of dreams).
2. Kimia Dari Tabel 1.1 diterakan daftar tentang sifat-sifat
agonis, campuran agonis-antagonis, atau antagonis dari senyawa-
senyawa opioid. Beberapa sifat farmakologinya diringkaskan dalam
Tabel 1.2. Perubahan molekular yang relative kecil dapat
mengakibatkan perubahan-perubahan yang drastic dari efek
senyawa-senyawa ini, dari suatu efek agonis berubah menjadi
antagonis atau menjadi suatu senyawa dengan efek-efek agonis dan
anatagonis (campuran agonis-antagonis).Sifat- sifat anatagonis
disertai dengan penggantian subtitusi metil pada atom nitrogen
dengan gugusan-gugusan yang lebih besar, seperti alil dalam hal
nalorfin dan nalokson; metilsiklopropan atau metilsiklobutan untuk
beberapa senyawa lain. Subtitusi gugusan hidroksil pada atom C3 dan
C6 pada molekul morfin dengan jelas mengubah sifat-sifat
farmakokinetik morfin. Subtitusi metil pada hidroksil fenolik pada
C3 mengurangi kepekaan molekul terhadap metabolism hepar first pass
dengan konjugasi glukuronid pada posisi ini. Oleh karena itu
obat-obat seperti kodein dan oksikodon mempunyai rasio potensi
oral, parenteral yang lebih tinggi. Asetilasi kedua gugusan
hidroksil pada morfin menghasilkan heroin, dengan penetrasi ke
dalam sawar darah - otak lebih cepat daripada morfin. Kemudian
heroin ini dengan cepat dihidrolisis dalam otak menjadi
monoasetilmorfin dan morfin.
Tabel 1.1 Struktur- struktur kimia analgesik opioid dan
anatagonisStruktur dasarAgonis kuat Agonis ringan hingga sedang
Campuran Agonis- AntagonisAntagonis
Morfin
Hidromorfon
Oksimorfon
Kodein
Oksikodon
Hidrokodon Nabulfin
Buprenorfin
Nalorfin
Nalokson
Naltrekson
Fenil heptaminMetadon Propoksifen
Fenil piperidinMeperidinDifenoksilat
MorfinanLevorfanolButorfanol
Benzomorfan
Pentazosin
Tabel 1.2 Analgesik- Analgesik opioid yang umum terdapat
Ket: 1. + + +, + +, +, agonis kuat, , agonis parsial, -,
antagonis.
2. Penggunaan dalam bentuk berkelanjutan-release, morfin (MS
Contin), oxycodone (Oxy Contin).3. Administrasi sebagai infus di
0,025-0,2 mcg / kg / menit.4. Durasi tergantung pada
konteks-sensitif setengah waktu 3-4 menit.5.Penggunaan dalam tablet
yang mengandung acetaminophen (Norco, Vicodin, Lortab,
lain-lain).6. Penggunaan dalam tablet yang mengandung acetaminophen
(Percocet), aspirin (Percodan).
FARMAKODINAMIKA. Mekanisme Kerja Morfin dan penggantinya
berikatan secara selektif pada banyak tempat-tempat diseluruh tubuh
menghasilkan efek farmakologi. Pada umumnya tempat yang
memperlihatkan afinitas yang tinggi untuk ligan opioid seperti
morfin, juga mengandung peptide endogen dalam konsentrasi yang
mempunyai sifat seperti opioid. Nama generik yang dipakai untuk
zat-zat ini adalah endorpin (morfin endogen). Walaupun demikian
istilah ini telah menyebabkan kekacauan karena hubungannya dengan
salah satu prototype peptide opioid utama -endorfin nampaknya
paling mirip dengan morfin.Peptida terkecil yang mempunyai
aktifitas opioid langsung adalah metionin- enkefalin dan
leusi-enkelfalin. Dengan pengecualian gugusan terminal metionin
atau leusin, rangkaian asam amino enkefalin adalah identik. Salah
satu atau kedua peptide ini mengandung tiga protein prekurson utama
yang mempun yai asam amino antra 257 dan 256 dengan urutan
rangkaian peptide berlainan. 1. Tipe-tipe reseptorLigan-ligan
eksogen dan endogen berikatan pada lokus ini dalam tingkat yang
bervariasi, dominasi, dan sifat kombinasi antara senyawa utama dari
reseptor spesifik memberikan profil farmakologi khas. Analgesia
pada tingkat supraspinal maupun sifat-sifat euforia, depresi
pernapasan, dan ketergantungan fisik dari sifat morfin terutama
sebgai kombinasi reseptor mu dan delta. Reseptor juga mempentarai
analgesi spinal dari opioid. Reseptor kappa juga memperantarai
analgesia tingkat spinal. Ketiga reseptor ini telah dapat diisolasi
dan dibuat klonnya. Reseptor ke 4 yaitu reseptor sigma dikaitkan
dengan efek-efek opioid berupa disforik, halusigonik, dan stimulasi
jantung. Tabel 1.3 Klasifikasi Reseptor opioid Subtipe dan Tindakan
dari Model Hewan
Ket: Tindakan terdaftar untuk antagonis terlihat dengan
antagonis saja. Semua korelasi dalam tabel ini didasarkan pada
studi pada tikus yang kadang-kadang menunjukkan perbedaan spesies.
Dengan demikian, setiap ekstensi asosiasi ini untuk manusia
tentatif. Studi klinis tidak menunjukkan bahwa reseptor menimbulkan
analgesia spinally dan supraspinally, tindakan awal dengan peptida
opioid sintetik, [D-Ala2, D-Leu5] enkephalin, menunjukkan bahwa
intratekal delta agonis bersifat analgesik pada manusia.
2. Distribusi reseptorTempat-tempat ikatan opioid terdapat pada
saraf trans misi nyeri medulla spinalis dan pada aferen-aferen
primer yang merelai nyeri yang disampaikan pada tempat ini.
Tempat-tempat di otak yang terlibat dalam perubahan reaktivitas
terhadap nyeri kurang dapat diidentifikasi dengan baik dibandingkan
yang berkaitan dengfan transmisi nyeri. 3. Efek-efek selularOpioid
tampak memperlihatkan efek-efeknya dengan hiperpolarisasi dan
penghambatan saraf pascasinaptik atau mengurangi masuknya Ca2+ ke
dalam ujung saraf presinaptik dank arena itu mengurangi pembebasan
transmitter. Kerja presinaptik menekan pembebasan transmiiter yang
telah diperlihatkan untuk sejumlah besar neurotransmitter ,termasuk
asetilkolin, norepinefrin, dopamine , serotonin. B. Efek-efek
Sistem Organ dari Morfin dan Penggantinya1. Efek-efek pada SSP
Efek-efek utama analgesik opioid dengan afinitas pada reseptor mu
adalah pada SSP yang terpenting ialah analgesia, euphoria, sedasi,
dan depresi pernapasan. a. AnalgesiaAnalgesia opioid memberikan
efek analgesia terhadap sensari nyeri hebat yang berasal dari
manapun termasuk nyeri yang berasal dari luar ditambah dengan
reaksi organisme terhadap stimulus . Dengan adanya analgesic yang
efektif , nyeri mungkin masih dirasakan, tetapi nyeri yang sangat
hebat dan asupan sensoris nyeri yang merusak tidak lama diderita
pasien. b. EuforiaDisforik adalah suatu keadaan tidak dapat tenang
yang disertai dengan kegelisahan dan perasaan lemas. Jika jelas ada
indikasi penggunaannya, maka pada umumnya respons afektif yang umum
adalah euforia.
Tabel 1.4 Toleransi yang terjadi pada beberapa efek
opioid-opioid
c. Depresi pernapasan Depresi pernapasan bergantung pada dosis
dan dipengaruhi dengan jelas oleh derajat masukan sensoris lain
pada waktu yang sama. Bila rangsangan nyeri lebih besar
dihilangkan, maka depresi pernapasan dengan tiba-tiba menjadi
jelas. d. Penekanan batuk Penekanan refleks batuk merupakan efek
analgesic opioid yang telah diketahui dengan baik. Kodein terutama
telah digunakan dan bermanfaat pada orang-orang yang menderita
batuk patologis dan pada pasien-pasien yang perlu untuk
mempertahankan ventilasi pada endotracheal tube.e. Mual dan Muntah
Analgesik opioid dapat aktif pada chemoreceptor trigger zone di
batang otak menimbulkan mual dan muntah. Mungkin terdapat komponen
lain pada efek-efek ini yang meningkatkan insiden mual dan
muntah.
2. Efek- Efek Perifer a. Sistem kardiovaskular Tekanan darah
biasanya dipertahankan pada subyek-subyek yang menerima opioid
kecuali sitem kardiovaskular ditekan, pada kasus mana dapat terjadi
hipotensi. Efek hipotensi ini mungkin disebabkan oleh dilatasi
arterial dan vena yang telah membantu beberapa mekanisme, termasuk
pembebasan histamin dan depresi sentral mekanisme stabilisasi
vasomotor. b. Saluran cerna Reseptor-reseptor opioid memperlihatkan
densitas yang tinggi dalam saluran cerna, dan efek konstipasi
opioid diperantarai melalui efeknya pada sistem saraf enterik lokal
maupun SSP . Pada lambung, motilitas dapat menurun tetapi tonus
dapat meninggi terutama di bagian sentral sedangkan sekresi asam
hidroklorid berkurang. c. Saluran biliar Opioid menyebabkan
konstriksi otot polos saluran biliar yang dapat menimbulkan kolik
biliar. Sfingter Oddi dapat berkontriksi menyebabkan refluks
sekresi biliar dan pankreas serta meningkatkan kadar amylase dan
lipase dalam plasma. d. UterusAnalgesik opioid dapat memperlama
partus. Mekanisme kerja ini belum jelas, tetapi diketahui bahwa
efek perifer dan efek sentral dapat mengurangi tonus uterus
FARMAKOKINETIK A. Penyerapan Kebanyakan analgesik opioid diserap
dengan baik bila diberikan oleh subkutan, intramuskular, dan lisan
rute. Namun, karena First-pass effect dosis oral dari opioid
(misalnya, morfin) dapat harus jauh lebih tinggi daripada dosis
parenteral untuk mendapatkan terapi efek. Variabilitas interpatient
yang cukup besar ada di first-pass metabolisme opioid, membuat
prediksi oral yang efektif Dosis sulit. Analgesik tertentu seperti
kodein dan oxycodone efektif secara lisan karena mereka telah
mengurangi metabolisme pertama-pass. Insuflasi hidung opioid
tertentu dapat mengakibatkan cepat tingkat darah terapeutik dengan
menghindari metabolisme pertama-pass. Lain rute administrasi opioid
termasuk mukosa oral melalui lozenges, dan transdermal patch
transdermal melalui. Yang terakhir ini dapat memberikan pengiriman
analgesik kuat selama beberapa hari. Baru-baru ini iontophoretik
sistem transdermal telah diperkenalkan, yang memungkinkan bebas
jarum pengiriman fentanil untuk analgesia yang dikontrol oleh
pasien.B. Distribusi Penyerapan opioid oleh berbagai organ dan
jaringan adalah fungsi dari kedua faktor fisiologis dan kimia.
Meskipun semua opioid mengikat protein plasma dengan berbagai
afinitas, obat cepat meninggalkan kompartemen darah dan
melokalisasi dalam konsentrasi tertinggi pada jaringan yang sangat
perfusi seperti otak, paru-paru, hati, ginjal, dan limpa.
Konsentrasi obat pada otot rangka mungkin jauh lebih rendah, tetapi
jaringan ini berfungsi sebagai reservoir utama karena curah lebih
besar. Meskipun aliran darah ke jaringan lemak jauh lebih rendah
dibandingkan dengan jaringan yang sangat perfusi, akumulasi dapat
menjadi sangat penting, terutama setelah dosis tinggi administrasi
atau infus kontinu opioid yang sangat lipofilik yang lambat
dimetabolisme, misalnya, fentanil.C. Metabolisme Opioid dikonversi
sebagian besar untuk metabolit polar (kebanyakan glucuronides),
yang kemudian mudah diekskresikan oleh ginjal. Sebagai contoh,
morfin, yang berisi bebas hidroksil kelompok, terutama konjugasi
morfin-3-glukuronida (M3G), suatu senyawa dengan sifat
neuroexcitatory. The neuroexcitatory efek M3G tampaknya tidak
dimediasi oleh reseptor melainkan oleh sistem GABA / glycinergic.
Sebaliknya, sekitar 10% dari morfin dimetabolisme menjadi morfin-
6-glukuronida (M6G), metabolit aktif dengan potensi analgesic empat
sampai enam kali bahwa senyawa induknya. Namun, ini relatif
metabolit kutub memiliki kemampuan terbatas untuk menyeberangi
bloodbrain yang penghalang dan mungkin tidak memberikan kontribusi
signifikan terhadap biasa SSP efek morfin diberikan akut. Namun
demikian, akumulasi metabolit ini dapat menghasilkan tak terduga
yang merugikan efek pada pasien dengan gagal ginjal atau bila
sangat besar dosis morfin diberikan atau dosis tinggi diberikan
dalam waktu lama. Hal ini dapat mengakibatkan M3G diinduksi SSP
eksitasi (kejang) atau tindakan opioid ditingkatkan dan
berkepanjangan diproduksi dengan M6G. SSP penyerapan M3G dan, pada
tingkat lebih rendah, M6G dapat ditingkatkan dengan tugas
pembantuan dengan probenesid atau dengan obat yang menghambat
transporter obat P-glikoprotein. Seperti morfin, hydromorphone
dimetabolisme melalui konjugasi, menghasilkan hydromorphone-
3-glukuronida (H3G), yang memiliki SSP rangsang properti. Namun,
hydromorphon belum terbukti untuk membentuk sejumlah besar
metabolit 6-glukuronida.D. EkskresiMetabolit polar, termasuk
konjugat glukuronida analgesik opioid, diekskresikan terutama di
urin. Sejumlah kecil tidak berubah Obat ini juga dapat ditemukan
dalam urin. Selain itu, glukuronida konjugasi ditemukan dalam
empedu, tetapi sirkulasi enterohepatik mewakili hanya sebagian
kecil dari proses ekskretoris.
EFEK SAMPING DAN TOKSISITASA. Toleransi dan
KetergantunganKetergantungan obat jenis opioid ditandai dengan
toleransi, sindrom putus obat atau sindrom abstinensia yang
relative spesifik yang mencerminkan ketergantungan fisik, kerinduan
yang memuncak atau ketergantungan psikologik. Diantara berbagai
opioid juga terdapat perbedaan dalam potensi penyalahgunaan dan
beratnya efek-efek putus obat. Sebagai contoh putus obat dari
ketergantungan pada agonis kuat disertai dengan tanda-tanda dan
gejala putus obat berat daripada agonis ringan atau sedang.
Pemberian antagonis opioid pada seseorang yang bergantung pada
opioid diikuti oleh tanda-tanda putus obat yang berat. Propoksifen
suatu agonis opioid lemah, memberikan gejala ketergantungan yang
kurang berat, tetapin sindrom putus obat tampaknya secara
kualitatif sama dengan opioid lain. 1. ToleransiToleransi terhadap
efek euphoria dan pernapasan dari opioid menghilang dalam beberapa
hari setelah obat dihentikan. Toleransi terhadap efek emetik dapat
menetap selama beberapa bulan setelah penghentian obat. Kecepatan
muncul dan menghilangnya toleransi, maupun tingkat toleransi juga
dapat berbeda-beda diantara obat-obat analgesik opioid. 2.
Ketergantungan Fisik Perkembangan fisik tetap menyertai toleransi
terhadap opioid dari tipe mu ( ) setelah pemberiaanya yang
terus-menerus. Kegagalan pemberian obat terus-menerus menimbulkan
suatu sindrom putus obat atau sindrom abstinensia yang khas yang
mencerminkan suatu rebound efek-efek farmakologi akut yang
berlebih-lebihan dari opioid. Ledakan sindrom abstinensia yang
bersifat sementara dapat diinduksi oleh suatu anatagonis yang
mempercepat gejala putus obat pada subyek ketergantungan fisik akan
opioid dengan pemberian nalokson atau antagonis lain. Tiga menit
setelah suntikan anatagonis opioid, muncul tanda-tanda dan gejala
yang sama seperti terlihat pada penghentian mendadak pemberian
opioid, mencapai puncaknya dalam 10-20 menit dan sebagian besar
mengurang setelah 1 jam. Berbeda dengan kasus metadon, penghentian
obat menghasilkan sindrom abstinensia yang relatif ringan sedangkan
pemberian antagonis opioid akan mempercepat timbulnya sindrom
abstinesia. 3. Ketergantungan Psikologik Euforia, sikap acuh tak
acuh terhadap rangsangan dan sedasi biasanya ditimbulkan oleh
analgesik opioid terutama bila disuntikan secara intravena,
memberikan kecenderungan untuk penggunaannya yang kompulsif .
Faktor-faktor ini merupakan sebab-sebab utama untuk kecenderungan
penyalahgunaan opioid dan ini sangat diperkuat dengan timbulnya
ketergantungan fisik, karena itu penerusan penggunaan obat oleh
pemakai obat merupakan hal yang rasional untuk maksud pencegahan
gejala-gejala abstinensia yaitu agar mereka tetap normal. B.
Diagnosis dan Pengobatan Keracunan Opioid Pengobatan keracunan
opioid ialah dengan nalokson secara intravena dengan dosis 0,4-0,8
mg dan diulang bila perlu. Penggunaan nalokson pada bayi baru lahir
yang mengalami depresi berat, penting untuk memulai dengan dosis
5-10 mikrogram/ kg dan bila tidak ada respons dapat dipertimbangan
pemberian dosis kedua sampai mencapai 25 mikrogram/kg. C.
Kontraindikasi dan Peringatan dalam terapi : 1. Penggunaan agonis
murni bersama dengan campuran agonis-antagonisBila campuran obat
agonis- antagonis seperti pentazosin diberikan pada pasien yang
juga mendapat agonis, kemungkinan pengurangan analgesia atau
mungkin menginduksi suatu keadaan adanya penghentian obat, sehingga
bila memang diperlukan kombinasi agonis dengan campuran
agonis-antagonis opioid, maka pemberiaanya harus berhati-hati. 2.
Penggunaan pada pasien dengan trauma pada kepala Retensi CO2
menyebabkan depresi pernapasan yang menimbulkan vasodilatasi
serebral pada pasien dengan tekanan intrakranial yang meninggi
dapat menimbulkan perubahan fungsi otak yang fatal. 3. Penggunaan
pada pasien dengan gangguan fungsi paru Pada pasien-pasien dengan
cadangan pernapasan yang terbatas, sifat depresan dari analgesik
opioid dapat menyebabkan terjadinya kelemahan pernapasan akut. 4.
Penggunaan pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi hati dan
ginjalMorfin dan turunannnya dimetabolisme terutama dalam hepar
dengan cara konjugasi dengan glukoronid, sehingga penggunaannya
pada pasien dengan koma prehepatik dapat dipertanyakan. 5.
Penggunaan pada penyakit endokrin Pasien-pasien dengan infusiensi
adrenal dan pada pasien dengan hipotirodisme respons terhadap
opioid dapat diperpanjang dan berlebihan.
PENGGUNAAN KLINIKA. Analgesia Nyeri yang berat dan menetap
biasanya dihilangkan dengan opioid yang efeknya lebih tinggi, namun
nyeri yang tajam dan intermitten tampaknya tidak dapat dihilangkan
dengan mudah. Harus diusahakan untuk menentukan kualitas nyeri, dan
informasi ini harus digunakan untuk memilih obat yang layak dan
dimonitor efeknya. Nyeri yang menyertai kanker, dan penyakit
terminal lain harus diobati secara adekuat, serta pertimbangan
mengenai toleransi dan ketergantungan fisik harus dikesampingkan
untuk menyokong usaha membuat pasien senyaman mungkin. Nyeri yang
berat pada kolik renal dan biliar sering memerlukan agonis opioid
kuat yang cukup untuk menghilangkan nyeri. Walaupun demikian, obat
yang menginduksi peningkatan tonus otot polos dapat menyebabkan
suatu paradoksal peningkatan nyeri sekunder terhadap spasme yang
meninggi. Peningkatan dosis opioid biasanya berhasil untuk
menghilangkan nyeri. B. Edema paru akutHilangnya dispenia pada
edema paru yang menyertai kegagalan ventrikel kiri dengan pemberian
suntikan intravena morfin benar-benar merupakan hal yang luar
biasa. Mekanisme belum jelas , tetapi mungkin melibatkan
pengurangan persepsi pendeknya napas dan ansietas yang berhubungan
dengan gejala ini maupun berhubungan dengan pengurangan preload dan
afterload.
C. BatukPenekanan batuk dapat diperoleh dengan dosis lebih
rendah daripada yang diperlukan untuk analgesi. Tetapi, dalam
tahun-tahunterakhir ini penggunaaan analgesic opioid untuk
menghilangkan batuk sangat berkurang karena telah dikembangkan
beberapa senyawa sintetik baru yang efektif serta tidak mempunyai
efek analgesik maupun adiksi. D. Diare Diare yang ditimbulkan oleh
hamper semua penyebab dapat dikontrol dengan analgesic opioid,
tetapi diare yang berhubungan dengan infeksi penggunaan analgesic
ini tidak dianjurkan dan diganti dengan kemoterapi yang sesuai.
Preparat opium(seperti paregoric) telah lama digunakan untuk
mengontrol diare, tetapi pada tahun-tahun terakhir ini telah
ditemukan preparat sintetik sebgai pengganti dengan efek-efek yang
lebih selektif pada saluran cerna dan sedikit atau tidak mempunyai
efek pada SSP, misalnya difenoksilat. E. Pemakaian dalam
AnestesiOpioid sering digunakan sebagai obat premedikasi sebelum
anestesi dan pembedahan karena sifat-sifat sedasi, ansiolitik dan
analgesiknya. Opioid-opioid juga digunakan intraoperatif sebgai
pembantu obat anestesi lain dan morfin dalam dosis tinggi (misalnya
1-3 mg/kg morfin, atau 0,02-0,075 mg/kg fentanil) yang paling
sering digunakan pada pembedahan kardiovaskular dan operasi lain
yang berisiko tinggi di mana tujuan utama adalah untuk memperkecil
depresi kardiovaskular.
Karena efeknya langsung pada medulla spinalis, opioid-opioid
dapat juga digunakan sebagai analgesik regional dengan pemberian ke
dalam ruang epidural atau subarakhonid kolumna spinalis. Pada
permulaanya diasumsikan bahwa pemberian opioid melalui epidural
dapat menghasilkan analgesik tanpa menganggu fungsi motorik,
otonomik, atau sensorik lain tanpa nyeri. Tabel 1.5 Dosis Data
Analgesik Opioid
Ket: Tabel Diterbitkan bervariasi dalam dosis yang disarankan
equianalgesic dengan morfin. Respon klinis adalah kriteria yang
harus diterapkan untuk setiap pasien, dengan respon klinis
diperlukan. Karena tidak ada toleransi silang yang lengkap antara
obat ini, biasanya diperlukan untuk menggunakan lebih rendah dari
dosis equianalgesic ketika mengubah obat-obatan dan untuk respon
ulang . Perhatian: dosis yang direkomendasikan tidak berlaku untuk
pasien dengan insufisiensi ginjal atau hati atau kondisi lain yang
mempengaruhi metabolisme obat dan kinetika.1Perhatian: Dosis yang
terdaftar untuk pasien dengan berat badan kurang dari 50 kg tidak
dapat digunakan sebagai dosis awal awal pada bayi kurang dari 6
bulan. Konsultasikan Pedoman Praktek Klinis untuk Akut2.Manajemen
nyeri: Prosedur Operatif atau Medis dan Trauma pada bagian
pengelolaan nyeri pada neonatus untuk rekomendasi.3.Untuk Morfin :
hidromorfon, dan oxymorphone, pemberian rektal merupakan alternatif
untuk pasien tidak dapat mengambil obat oral, tetapi dosis
equianalgesic mungkin berbeda dari lisan dan parenteraldosis karena
perbedaan farmakokinetik.4. Perhatian: dosis Codeine atas 65 mg
sering tidak tepat karena mengurangi analgesia tambahan dengan
dosis meningkat namun terus meningkat sembelit dan efek samping
lainnya.5. Perhatian: Dosis aspirin dan acetaminophen dalam
kombinasi persiapan opioid / NSAID juga harus disesuaikan dengan
berat badan pasien. Maksimum dosis acetaminophen: 4 gram / hari
pada orang dewasa,90 mg / kg / hari pada anak-anak.6 .Dosis untuk
nyeri sedang tidak selalu setara dengan 30 mg lisan atau 10 mg
morfin parenteral.7. Risiko kejang: formulasi parenteral tidak
tersedia di AS8. OXYCONTIN adalah persiapan extended-release
mengandung sampai 160 mg per tablet oksikodon dan direkomendasikan
untuk menggunakan setiap 12 jam. Ini telah tunduk pada
penyalahgunaan substansial. SINGKATAN: q=setiap, Im=intramascular,
sq=subkutan.
KESIMPULAN Jadi zat-zat dari opium yang belum diolah dan morfin
bersumber dari bunga Papaver somniverum. Setelah sayatan biji poppy
pod yang mengeluarkan zat putih yang dapat berubah menjadi permen
cokelat dari opium mentah. Opium mengandung banyak alkaloid,
terutama menjadi morfin yang mengandung konsentrasi 10%. Kemudian
diantara opioid-opioid, dimasukkan opioat-opioat(diturunkan dari
alkaloid opium), opioid sintetik (agonis, campuran agonis-antagonis
dan antagonis), dan opiopeptin( seperti -endorfin dan
enkefalin).
DAFTAR PUSTAKA1. Katzung,Betram.G . 1998. Farmakologi Dasar Dan
Klinik Edisi VI . EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta2.
Katzung,Betram G & Trevor, Anthony.J . 2011. Basic and Clinical
Pharmacology 12 Th edition. McGraw-Hill Medica. University of
California, San Francisco3. Goodman & Gillman. 2008. Manual of
Pharmacology and Theraupetics. McGraw-Hill Medica .New York Chicago
San Francisco