1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Flu biasa (common-cold), salesma atau batuk pilek adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang sangat umum diderita oleh masyarakat. Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA di Indonesia adalah 25,5% (kisaran 17,5– 41,4%); masyarakat umumnya mampu mengenali sendiri gejala flu, salesma atau batuk-pilek yang khas seperti pilek/hidung berair (rhinorrhoea), hidung tersumbat, tenggorokan sakit dan sakit kepala. Flu, salesma atau batuk pilek sebagian besar (90%) disebabkan oleh virus saluran pernapasan, umumnya rhinovirus, dan penderita dapat sembuh sendiri (self limiting disease) bergantung pada daya tahan tubuhnya (Gitawati, 2014). Lebih dari 83% penderita flu atau salesma seringkali disertai dengan batuk akut. Gejala batuk inilah yang paling sering dikeluhkan oleh
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Flu biasa (common-cold), salesma atau batuk pilek adalah infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) yang sangat umum diderita oleh
masyarakat. Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA di
Indonesia adalah 25,5% (kisaran 17,5–41,4%); masyarakat umumnya
mampu mengenali sendiri gejala flu, salesma atau batuk-pilek yang khas
seperti pilek/hidung berair (rhinorrhoea), hidung tersumbat, tenggorokan
sakit dan sakit kepala. Flu, salesma atau batuk pilek sebagian besar (90%)
disebabkan oleh virus saluran pernapasan, umumnya rhinovirus, dan pen-
derita dapat sembuh sendiri (self limiting disease) bergantung pada daya
tahan tubuhnya (Gitawati, 2014).
Lebih dari 83% penderita flu atau salesma seringkali disertai den-
gan batuk akut. Gejala batuk inilah yang paling sering dikeluhkan oleh
pasien rawat jalan saat berobat ke dokter atau puskesmas untuk gejala flu,
kemungkinan karena gejala batuk adalah yang paling dirasakan sangat
mengganggu kualitas hidup keseharian penderita flu (Gitawati, 2014)
Batuk merupakan refleks fisiologis baik waktu sehat maupun sakit
yang bermanfaat untuk mengeluarkan dan membersihkan saluran perna-
pasan dari dahak, zat-zat asing, dan unsur infeksi. Batuk disebabkan oleh
iritasi mekanik dari respon sensorik di larings, di dinding posterior trachea
dan di cabang atas bronkhus. Batuk juga terjadi bila ada iritasi kimia pada
2
reseptor sensorik di saluran terhalus pada saluran udara (Alam et al.,
2012). Klasifikasi batuk bermacam-macam tetapi umumnya dibagi dalam
kelompok besar yaitu batuk akut dan batuk kronik. Klasifikasi batuk kro-
nik bervariasi, ada yang menyatakan batuk kronik adalah batuk yang
berlangsung lebih dari atau sama dengan 2 minggu, ada yang mengambil
batasan 3 minggu, bahkan 4 minggu. Unit Kerja Koordinasi Respirologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Respirologi IDAI) membuat batasan
batuk kronik adalah batuk yang berlangsung lebih dari atau sama dengan 2
minggu sedangkan batuk akut adalah batuk yang berlangsung kurang dari
2 minggu. Selain batuk kronik dikenal istilah batuk kronik berulang (BKB)
yaitu batuk yang berlangsung lebih dari atau sama dengan 2 minggu dan/
atau berlangsung 3 episode dalam 3 bulan berturut-turut (Supriyatno,
2010).
Untuk mengatasi batuk dapat dilakukan dengan berbagai cara, an-
tara lain dengan tanpa pemberian obat bagi penderita-penderita dengan
batuk tanpa gangguan yang disebabkan oleh penyakit akut, batuk yang di-
alami akan sembuh sendiri, dan biasanya tidak perlu pengobatan. Yang ke-
dua adalah dengan pengobatan yang secara spesifik ditujukan terhadap
penyebab timbulnya batuk, dan yang ketiga adalah dengan pengobatan
simptomatik, yang diberikan kepada penderita yang tidak ditentukan
penyebab batuknya atau kepada penderita yang batuknya dapat menim-
bulkan komplikasi. Obat yang biasa digunakan untuk pengobatan simp-
tomatik biasanya adalah jenis obat yang menurut kategori far-
3
makologiknya seperti antitusif, ekspektoran, dan mukolitik (Alam et al.,
2012)
Diketahui bahwa obat batuk tidak bisa disamaratakan untuk semua
jenis batuk yang diderita. Ekspektoran untuk merangsang dahak dikelu-
arkan dari saluran pernafasan, mukolitik untuk mengencerkan dahak, dan
antitusif untuk obat menekan refleks batuk. Ekspektoran dan mukolitik
diberikan kepada penderita batuk yang berdahak, sedangkan antitusif akan
diberikan kepada penderita batuk yang tidak berdahak (Meriati, Goenawi,
dan Wiyono, 2013)
Dekstrometorfan merupakan salah satu obat batuk supressan (anti-
tusif) yang telah banyak digunakan di dunia sejak tahun 1958 untuk
menggantikan penggunaan kodein fosfat karena struktur dextrometorfan
ada kesamaan dengan morfin dan kodein tetapi dextrometorfan tidak
memiliki efek analgesik dan efek sedatifnya ringan. Dextrometorfan
banyak dijumpai pada sediaan obat batuk dan flu dengan mekanisme
menekan batuk melalui peningkatan ambang batuk secara sentral di
medulla. Dosis rentang yang aman lebih tinggi dari dosis kodein (Bonauli
dan Bhima, 2010; Pujiarto, 2014).
Zat aktif ini selain banyak digunakan pada obat batuk tunggal juga
digunakan pada obat flu kombinasi dengan zat aktif lain seperti fenilefrin,
paracetamol, dan klorfeniramin maleat. Obat yang mengandung dek-
strometorfan tersedia di pasar dalam berbagai bentuk sediaan seperti sirup,
tablet, spray, dan lozenges (Badan POM RI, 2012).
4
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui secara umum obat Dekstrometorfan
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui sifat fisiko kimia dan rumus kimia obat Dekstrometor-
fan.
b. Mengetahui farmakologi umum obat Dekstrometorfan.
c. Mengetahui Farmakodinamik Dekstrometorfan.
d. Mengetahui Farmakokinetik Dekstrometorfan.
e. Mengetahui Toksisitas Dekstrometorfan.
C. Manfaat
1. Manfaat akademik
Untuk menambah ilmu pengetahuan dibidang farmasi, serta menge-
tahui sediaan, mekanisme kerja, farmakodinamik dan farmakokinetik
serta efek samping dan toksisitas Dekstrometorfan.
2. Manfaat bagi masyarakat
Memberikan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat mengenai
pentingnya edukasi dan informasi golongan Antitusif khususnya Dek-
strometorfan.
5
3. Manfaat bagi penulis lanjutan
Sebagai sumber referensi untuk pembahasan terkait.
6
BAB II
FARMASI - FARMAKOLOGI
A. Sifat Fisiko Kimia dan Rumus Kimia Obat
Dekstrometorfan yang memiliki nama kimia (+)-3-methoxy-17-
methyl-(9α,13α,14α)-morphinan
menurut aturan International Union
of Pure and Applied Chemistry (IU-
PAC) dan struktur kimia C18H25NO
ini tersedia dalam beberapa bentuk
sediaan, antara lain tablet, kapsul,
sirup, dan suspense dalam bentuk
dekstrometorfan hidrobomida. Sifat fisikokimia dekstrometorfan adalah
serbuk berbentuk kristal berwarna putih sampai sedikit kekuningan, tidak
berbau, larut dalam air maupun etanol, dan tidak larut dalam eter (Bonauli,
Bhima, 2010).
7
B. Farmakologi Umum
Dekstrometorfan, salah satu antitusif tersering sebagai komponen
obat flu yang dapat dibeli tanpa resep dokter. Dekstrometorfan adalah D-
isomer dari kodein dan mekanisme farmakologik sebagai antitusif serupa
kodein, yakni bekerja menekan pusat batuk di medulla otak. Pada dosis
tinggi dapat bersifat adiktif seperti halnya narkotika, akan tetapi dek-
strometorfan tidak memiliki efek analgesik dan relatif aman jika digu-
nakan pada dosis terapi yang direkomendasikan. Meskipun demikian, hasil
meta-analisis menunjukkan sebagai antitusif dekstrometorfan secara klinis
manfaatnya kurang. Antitusif tidak boleh diberikan pada batuk yang pro-
duktif (berdahak) karena supresi batuk akan menghambat pengeluaran da-
hak. Dosis dekstrometorfan pada orang dewasa yang dianjurkan adalah
maksimal <120 mg/hari, dan dalam preparat obat flu kombinasi umumnya
berkisar antara 2,5–15 mg per dosis, 4–6 jam per hari. (Gitawati, 2014).
Dekstrometorfan memiliki efek halusinogen. Zat yang memiliki
peran dalam mengakibatkan efek halusinogen ini adalah metabolit aktif
dari dekstrometorfan yaitu dekstrorfan (3-hydroxy-17-methylmorphinan).
Dekstrorfan dapat terikat dengan afinitas lemah dengan reseptor opioid
tipe sigma dan terikat dengan afinitas kuat dengan reseptor NMDA (N-
methyl-D-aspartate). (Klein et al., 1989; Murray et al., 1984); (Franklin et
al., 1992).
8
C. Farmakodinamika
1. Khasiat
Derivat-fenantren ini berkhasiat menekan batuk, yang sama kuat-
nya dengan kodein, tetapi bertahan lebih lama dan tidak bersifat anal-
getis, sedative, sembelit, atau adiktif. Dekstrometorfan adalah zat aktif
dalam bentuk serbuk berwarna putih, yang memiliki khasiat sebagai
antitusif atau penekan batuk (Badan POM RI, 2012)
2. Kegunaan terapi
Penekan batuk cukup kuat kecuali untuk batuk akut yang berat
3. Kontra indikasi
a. Hipersensitif terhadap dekstromethrofan
b. Diberikan bersama dengan monoamine oxidase inhibitors.
D. Farmakokinetik
Dekstrometorfan diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral
dengan kadar serum maksimal dicapai dalam 2,5 jam. Onset efeknya
cepat, seringkali 15-30 menit setelah pemberian oral. Belum ada penelitian
tentang distribusi volume dekstrometorfan pada manusia, akan tetapi
penelitian oleh Silvasti et al. (1989) yang dilakukan pada anjing, distribusi
volume dekstrometorfan berkisar antara 5,0-6,4 L/kg. Waktu paruh obat
ini bervariasi secara individual, dari 2-4 jam dan lama kerjanya adalah 3-6
jam dengan bioavailabilitas 11%. Metabolisme dan ekskresinya sama den-
gan kodein, yaitu dimetabolisme di hati lalu diekskresi melalui urin dalam
bentuk tak aktif. Metabolisme dekstrometorfan telah diketahui dengan
9
baik dan telah diterima secara luas bahwa aktivitas terapeutik dekstrome-
torfan ditentukan oleh metabolit aktifnya yaitu dextrorphan. Dekstrometor-
fan mengalami metabolisme di hepar oleh enzim sitokrom P-450 dan di-
ubah menjadi dextrorphan yang mempunyai derivat lebih aktif dan poten
sebagai antagonis NMDA. de (Schadel et al., 1995; Pujiarto, 2014)
Dekstrometorfan tidak bekerja pada reseptor opioid tipe mu dan
delta seperti jenis levoisomer, tetapi bekerja pada reseptor tipe sigma
(Badan POM RI, 2012).
E. Toksisitas
1. Efek samping, toksisitas dan gejala toksisitas
Pada penggunaan dengan dosis lazim efek samping yang pernah
muncul seperti mengantuk, pusing, nausea, gangguan pencernaan, ke-
sulitan dalam berkonsentrasi dan rasa kering pada mulut dan teng-
gorok. Sebagaimana halnya dengan kodein, dekstrometorfan bisa
menyebabkan pelepasan histamin pada orang yang sensitif. Pada dosis
tinggi, bisa menyebabkan depresi SSP. Dua penelitian mengemukakan
intoksikasi dekstrometorfan yaitu ataksia, nistagmus dan gangguan ke-
sadaran (Badan POM RI, 2012; Pujiarto, 2014).
Pada dosis 5-10 kali lebih besar dari dosis yang lazim, efek samp-
ing yang timbul menyerupai efek samping yang diamati pada penggu-
naan ketamin atau PCP, dan efek ini meliputi: kebingungan, keadaan
seperti mimpi, rasa kehilangan identitas pribadi, gangguan bicara dan
pergerakan, disorientasi, keadaan pingsan, mengantuk (Schwartz,
2005; Siu et al., 2007).
10
2. Penanggulangannya
Tidak ada antidot khusus untuk intoksikasi dekstrometorfan.
Arang diketahui dapat menyerap opiat dan diharapkan dapat mengikat
dekstrometorfan. Prosedur standar lainnya yang juga diharapkan mem-
berikan hasil efektif untuk mengurangi penyerapan dekstrometorfan
dari saluran pencernaan jika dilakukan tepat waktu adalah dengan
melakukan emesis atau bilas lambung (Badan POM RI, 2012).
Penggunaan nalokson untuk menangani keracunan dekstrometor-
fan masih diperdebatkan karena bertentangan dengan laporan tentang
keefektivitasannya. Walaupun tidak ada kontradiksi dalam penggunaan
nalokson, kemampuannya untuk menangani gejala dari keracunan dek-
strometorfan masih dipertanyakan. Ketika digunakan, nalokson se-
baiknya diberikan pada dosis standard yang direkomendasikan untuk
dalam berkonsentrasi dan rasa kering pada mulut dan tenggorok.
Dekstrometorfan merupakan D-isomer dari kodein tetapi tidak memi-
liki efek analgesik dan efek sedatifnya ringan, akan tetapi apabila dikon-
sumsi dengan dosis tinggi dapat bersifat adiktif seperti halnya narkotika.
Dekstrorfan yang merupakan metabolit aktif dari dekstrometorfan adalah zat
21
yang mengakibatkan efek halusinogen apabila mengkonsumsi dekstrome-
torfan dengan dosis tinggi. Hal inilah yang menyebabakan dektrometorfan
banyak disalahgunakan, selain itu juga karena dekstrometorfan merupakan
obat yang mudah diperoleh dan digunakan secara bebas bahkan tanpa
perlu menggunakan resep dokter.
22
DAFTAR PUSTAKA
Badan POM RI (2012) Mengenal Penyalahgunaan Dekstrometorfan, Vol. 13, No. 6 Jakarta. Penerbit Badan POM RI, hal 4-6.
Bonauli, N., (2010) Pengaruh Pemberian Dekstrometorfan Dosis Bert-ingkat Per Oral terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Wis-tar, Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro, Semarang; Artikel Karya Tulis Ilmiah.
Gitawati, R., (2014) Bahan Aktif dalam Kombinasi Obat Flu dan Batuk-Pilek, dan Pemilihan Obat Flu yang Rasional, Media Litbangkes, Vol. 24 No. 1, hal 11, 13-16.
Meriati, N. W. E., Goenawi, L. R., Wiyono, W., (2013) Dampak Penyu-luhan pada Pengetahuan Masyarakat terhadap Pemilihan dan Peng-gunaan Obat Batuk Swamedikasi di Kecamatan Malalayang, PHAR-MACON Jurnal Ilmiah Farmasi Unsrat, Vol. 2 No. 03, hal 101, 102.
Muchid, A., Umar, F., Chusun., Supardi, S., Sinaga, E., Azis, S., dkk (2006) Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas, Di-rektorat Bina Farmasi Komunitas dna Klinik Ditjen Bina Kefar-masian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan, Jakarta; hal 18
Pujiarto, P., S., (2014) Batuk Pilek (Common Cold) pada Anak, InHealth Gazette, Ed. Agust-Nov, hal 5.
Soedibyo, S., Yulianto, A., Wardhana., (2013) Profil Penggunaan Obat Batuk Pilek bebas pada Pasien Anak di bawah umur 6 Tahun, Sari Pediatri, Vol. 14, No. 6, hal 398, 399, 401-403.
Supriyatno, B. (2010) Batuk Kronik pada Anak, Majalah Kedokteran In-donesia, Vol. 60 No. 6, hal 286, 287.
Tjay . T. H, Rahardja . K, (2002) ,Obat –obat penting khasiat, penggunaan , dan efek-efek sampingnya, Edisi 7, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 666, 669.