Konsep Fana, Baqa, Ittihad Abu Yazid Al- Bisthomi Sebuah Telaah Kritis-Analitis Abstract In the history of mysticism development, the name of Abu Yazid Al-Bisthomi had the special place in Sufist’s hearts. He was the first people who introduced the concept ofFana and Baqa and then was sparked the Ittihad Concept. He had done that concepthimself. After he was successful in doing the concept of fana and baqa, he reached the highest level of makrifat then that called ittihad, the level where a sufist felt himself unitedwith his God. God had been in himself, in one place, although in the fact, there is two forms. Pendahuluan Dalam Islam dikena l isti lah tasawuf. Tas awuf itu sendir i dal am buku -buku baha sa Inggris sering disebut denganIslamic Mysticism (ajaran mistik yang diwarnai oleh Islam). Jadi tasawuf, yang sering juga disebut dengan sufisme, sebenarnya adalah ajaran mistik yang dikembangkan oleh umat Islam dan dijiwai oleh ajaran Islam. Definisi mistik itu sendiri dalam kamus susunan A. S. Hornby adalah: Mysticism is the teaching or belief that knowledge of Real Truth and of Godmay be obtained through meditation or spiritual insight, independently of the mindand senses. 1 “Mistik adalah suatu ajaran atau suatu kepercayaan bahwa pengetahuan tentang Hak ikat atau ten tang Tuha n (di kat akan) bis a diperoleh deng an jal an medi tasi atau kes adaran spi ri tual yang bebas dar i camp ur tan gan akal dan pancaindera.” Dari definisi di atas, tasawuf atau mistik itu termasuk jenis ajaran atau kepercayaan. Jadi seorang mis ti kus adal ah ora ng yang memper caya i ata u mengaj arkan bahwa peng eta huan 1 Simuh , Tasawuf dan Perkembangannya da lam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 103 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
In the history of mysticism development, the name of Abu Yazid Al-Bisthomi had the
special place in Sufist’s hearts. He was the first people who introduced the concept of
Fana and Baqa and then was sparked the Ittihad Concept. He had done that concept
himself. After he was successful in doing the concept of fana and baqa, he reached the
highest level of makrifat then that called ittihad, the level where a sufist felt himself united with his God. God had been in himself, in one place, although in the fact, there is two
forms.
Pendahuluan
Dalam Islam dikenal istilah tasawuf. Tasawuf itu sendiri dalam buku-buku bahasa
Inggris sering disebut dengan Islamic Mysticism (ajaran mistik yang diwarnai oleh Islam). Jadi
tasawuf, yang sering juga disebut dengan sufisme, sebenarnya adalah ajaran mistik yang
dikembangkan oleh umat Islam dan dijiwai oleh ajaran Islam. Definisi mistik itu sendiri dalam
kamus susunan A. S. Hornby adalah:
Mysticism is the teaching or belief that knowledge of Real Truth and of God
may be obtained through meditation or spiritual insight, independently of the mind
and senses.1
“Mistik adalah suatu ajaran atau suatu kepercayaan bahwa pengetahuan
tentang Hakikat atau tentang Tuhan (dikatakan) bisa diperoleh dengan jalan
meditasi atau kesadaran spiritual yang bebas dari campur tangan akal dan
pancaindera.”
Dari definisi di atas, tasawuf atau mistik itu termasuk jenis ajaran atau kepercayaan. Jadi
seorang mistikus adalah orang yang mempercayai atau mengajarkan bahwa pengetahuan
1 Simuh , Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 103
“Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, maka yang akan tinggal adalah
taqwanya.”7
Untuk mencapai baqa ini, perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, dzikir,
beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji.
Dari term-term yang ada dapat disimpulkan bahwa istilah fana di kalangan sufi adalah
bergantinya sifat-sifat tercela dalam dirinya sebagai manusia dan yang tersisa adalah sifat-sifat
terpuji yang menyamai sifat-sifat Tuhan. Dengan memiliki sifat-sifat Tuhan maka dia
dianggap sama dengan Tuhan dan memungkinkan dia berbuat sebagaimana Tuhan. Tuhan ada
dalam dirinya dan dia bersatu dengan Tuhan.
Fana itu sendiri menurut kaum sufi dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, sebagaimana
yang ditulis R. A. Nicholas dalam bukunya The Mystics of Islam, yaitu:1) A moral transformation of the soul through the extinction of all its passions and
desires. (Suatu peralihan moral dari sifat-sifat tercela dengan jalan pengendalian
nafsu-nafsu dan segala keinginannya).
2) A mental abstraction or passing away of the mind from all objects or perception,
thoughts, actions, and feelings through its concentration upon the thought of God.
Here the thought of God signifies contemplation of the divine attributes. (Lenyapnya
kesadaran terhadap segala yang ada di alam sekelilingnya, baik pikiran, perbuatan dan
perasaan lantaran kesadarannya telah terpusat dalam penghayatan pada Tuhan. Dalam
hal ini penghayatannya tertuju pada sifat-sifat Allah).
3) The cessation of all consciouns thought. The highest stage of fana is reached when
even the consciousness of having attained fana disappears. This is what the Sufis call
the passing away of passing away (fana al fana). The mystic is now rapt in
contemplation of the divine essence. (Lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya.
Puncak tertinggi dari fana ini tercapai ketika kesadaran akan kefanaannya itu sendiri
telah lenyap. Para sufi menyebut keadaan ini sebagai fana terhadap kesadaran akan
kefanaannya. Sang sufi ketika itu terhisap dalam kesadaran serba Tuhan).8
7 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam(Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm.808 Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, hlm. 105
Jadi tingkatan fana itu; pertama adalah transformasi moral, kedua adalah penghayatan
kejiwaan , dan ketiga lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran terhisap pada
kesadaran serba Tuhan.
Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa pada fana pertama dimulailah proses penghayatan
kejiwaan (kasyaf) dan penyaksian alam gaib, seperti bertemu malaikat dan roh-roh para nabi,
mendengar percakapan mereka dan berdialog dengan makhluk-makhluk gaib. Pada tingkat
kedua, dimulailah penyaksian langsung apa yang mereka yakini sebagai Zat al-Haqq (Tuhan).
Pada tingkat ketiga, yang sering disebut dengan fana al fana atau fana al nafs, terjadilah apa
yang disebut dengan lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran telah terhisap dan
luluh dalam kesatuan dengan Tuhannya.
Namun dalam hal ini, Imam Al-Ghazali membatasi bahwa seorang sufi hanya dapatsampai pada fana tingkat dua, beliau tetap mempertahankan adanya perbedaan yang
fundamental antara hamba yang melihat dengan Tuhan yang dilihatnya. Pendapat ini
bertentangan dengan pemikiran beberapa orang sufi yang menyatakan bahwa tujuan akhir dari
proses penghayatan makrifat itu adalah pencapaian fana tingkat tiga yang cenderung mengarah
pada paham manunggaling kawula Gusti.9
Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa pada umumnya, tujuan utama
dari proses fana dan baqa itu adalah mencapai persatuan secara rohaniah atau batiniah dengan
Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya ada Tuhan dalam dirinya (ittihad). Jadi ittihad itu
sendiri adalah suatu tingkatan dimana seorang sufi telah merasa bersatu dengan Tuhannya,
satu tingkatan yang menunjukkan bahwa yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu
sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata “Hai aku”.
Inilah yang terjadi pada diri Abu Yazid Al-Bisthomi.
Konsep Fana-Ittihad Abu Yazid Al-Bisthomi
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Abu Yazidlah yang pertama sekalimemperkenalkan faham fana dan baqa dalam tasawuf. Dia senantiasa ingin dekat dengan
Tuhan. Fananya Abu Yazid berarti hilangnya kesadaran terhadap segala sesuatu selain Allah.
Hal ini tergambar pada ucapannya ketika mencari-cari jalan untuk berada di hadirat Allah:
9 Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, hlm. 106-107
“Aku bermimpi melihat Tuhan. Akupun bertanya: “Tuhanku, apa jalannya untuk sampai
kepadaMu?” Dia menjawab: “Tinggalkan dirimu dan datanglah.”
Dengan fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bukti bahwa
dia telah dekat dengan Tuhan dapat dilihat dari Syathahat ( احطشش , theopathical
stammerings) yang diucapkannya. Syathahat adalah kata-kata penuh khayal, yang tidak dapat
dipegangi dan dikenakan hukum karena orang yang berkata pada waktu itu sedang “ mabuk ”.
Mabuk karena fananya. 10Adapun dalam hal ini yang dimaksud syathahat adalah ucapan-
ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika dia mulai berada di pintu gerbang ittihad.
11
Ucapan-ucapan demikian belum pernah terdengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya:
ان
“Yang kukehendaki dari Tuhan hanya Tuhan.”
Selanjutnya dia mengatakan:
“ Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan Ia berkata: “Abu Yazid,
makhlukKu ingin melihat engkau.” Aku menjawab: “KekasihKu, aku tak ingin melihat
mereka, Tetapi jika itu kehendakMu, maka aku tak berdaya untuk menentang kehendakMu.Hiasilah aku dengan keesaanMu sehingga jika makhlukMu melihat aku, mereka akan berkata:
”Telah kami lihat Engkau”. Karena yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau dan saat itu
aku tidak berada di sana.”
Di sini ittihad belum tercapai, tapi nyata bahwa Abu Yazid telah dekat benar dengan
Tuhan. Ittihad terjadi sebagaimana telihat dalam ucapannya berikut:
انا نت ونت نا ونا نت قت: .ريغ ىقخ ه هن زاا .ال:
Tuhan berkata: “Semua mereka kecuali engkau adalah makhlukKu.” Akupun berkata:
“Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau.”
نو ان ان ن.
“Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku”
10 Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 10411 Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hlm. 83
Di sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai gambaran dari diri Abu
Yazid tetapi sebagai gambaran Tuhan karena Abu Yazid telah bersatu dengan Tuhan. Dengan
kata lain dalam ittihad, Abu Yazid berbicara atas nama Tuhan, atau lebih tepat lagi dikatakan
Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Jadi dalam hal ini, Abu Yazid tidaklah mengaku
dirinya Tuhan.12
Berbagai Respon tentang Ucapan Syathahat Abu Yazid
Adapun menyikapi kontroversi seputar ucapan syathahatnya tersebut, kebanyakan orang
menganggap itu muncul karena disebabkan suatu kondisi psikis yang tidak normal. Al-Thusi
berkata: “Ucapan ganjil (syathahat) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah karena
berlimpahnya intuisi dan dibarengi seruan.”13 Ucapan ganjil itu (al-syathhu) dalam bahasa
Arab artinya adalah gerakan, dari syathaha-yasythahu yang berarti bergerak. Oleh karena itu,
menurut kaum sufi, ucapan ganjil tersebut bisa dikatakan sebagai gerakan-gerakan rahasia
orang yang dominan intuisinya. Jika intuisi tersebut sedang kuat-kuatnya, maka mereka akan
mengucapkan sesuatu yang dipandang ganjil oleh orang yang mendengarnya.
Al-Thusi menekankan bahwa dalam kondisi trance, seorang sufi sepenuhnya tidak akan
mampu mengendalikan dirinya. Saat itu, dia begitu sulit untuk bisa menanggung apa yang
bergejolak dalam kalbunya sehingga dia pun mengucapkan sesuatu yang sulit dipahami
pendengarnya.14
Menurut Louis Massignon yang telah mengkajinya secara mendalam, ucapan syathahat
itu muncul di luar kesadaran sang sufi dengan mengambil bentuk orang pertama (Aku). Hal ini
menunjukkan bahwa sang sufi telah fana dari dirinya sendiri serta kekal dalam Dzat Yang
Maha Benar, sehingga dia berbicara dengan menggunakan kalam Yang Maha Benar dan
bukan ucapannya sendiri.15 Dalam kondisi normal ini tak mungkin terjadi karena dengan
sendirinya sang sufi akan menolak ucapan tersebut, lebih-lebih lagi sampai mengucapkannya.
12 Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hlm. 84-8613 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 116-11714 Sufi dari Zaman ke Zaman, hlm. 11715 Ibid
Adapun menurut pengamatan W. T. Stace, Ucapan-ucapan ganjil Abu Yazid itu
hanyalah sekedar suatu pengalaman khusus dimana terdapat kesadaran untuk bersatu (unitary
consciousness). Pengalaman mistis yang mana segala yang lahir itu luluh lantak dan dinding-
dinding yang membatasi hal yang tanpa akhir itu runtuh sehingga individualitasnya pun fana
dan terlebur dalam Yang Tanpa Akhir.16
Hal yang senada diungkapkan oleh Al-Taftazani dalam bukunya, bahwa ucapan ganjil
tersebut tak lebih sekedar kesadaran psikis Abu Yazid untuk bersatu, bukan dalam artian
akhirnya dia benar-benar bersatu dengan Tuhan. Karena kalau hal ini terjadi tentu sangat
bertentangan dengan aqidah Islam, padahal kata-kata Abu Yazid sendiri pada sebuah
kesempatan mengisyaratkan bahwa dia tidaklah keluar dari garis syara’ : “Kalau kamu lihat
seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggupterbang di udara, maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti
perintah syariat dan menjauhi batas-batas yang dilarang syariat.” 17
Mungkin itulah yang membuat sebagian para sufi bisa memahami ungkapan-ungkapan
ganjil yang diucapkan Abu Yazid. Sufi Sunni, Abdul Qadir Jailani berkata: “Terhadap apa
yang diucapkan seorang sufi, tidak bisa dijatuhkan hukum kecuali terhadap apa yang
diucapkannya dalam keadaan sadar. Sementara yang diucapkannya dalam keadaan tidak sadar
diri, tidak bisa dijatuhkan hukum.”18
Sementara menurut sebagian sufi yang lain, orang yang mengucapkan kata-kata
demikian itu bukanlah termasuk sufi yang sempurna. Mereka tidak bisa mengendalikan diri
dan termasuk orang yang tunduk pada intuisi. Tidak bisa dijadikan panutan bagi sufi-sufi yang
lain.
Ibnu Taimiyah yang berkomentar dalam hal ini mengatakan: “ Sebagian sufi yang berada
dalam kondisi trance kadang ada yang terkenal. Terkadang dalam keadaan itu, mereka
berkata: ‘Maha Suci Aku’ atau ‘dalam jubah ini tidak ada apa pun melainkan Allah’ atau
ungkapan lain yang sejenis. Kata-kata yang diucapkan dalam keadaan trance seharusnya
dihapus saja, bukan untuk dituturkan dan bukan pula untuk dilakukan.”19
16 Ibid , 11817 Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, hlm. 10218 Sufi dari Zaman ke Zaman, hlm. 11919 Ibid, 119
“Semua yang ada di dunia ini akan binasa. Yang tetap kekal Dzat Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”22
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas secara garis besar dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama
tentang definisi fana, baqa, dan ittihad.
Fana dapat didefinisikan dengan hilangnya sifat-sifat manusia yang tercela yang
dipengaruhi nafsu dan syahwat.
Baqa adalah implikasi dari fana yaitu munculnya sifat-sifat terpuji yang menyamai
sifat Tuhan pada diri manusia.
Ittihad adalah suatu tingkatan dimana seorang sufi merasa bersatu dengan Tuhannya,
terjadi setelah sang sufi melalui proses fana dan baqa.
Abu Yazid adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep fana, baqa, dan
ittihad ini. Setelah melalui proses fana dan baqa, Abu Yazid sampai pada tingkatan ittihad. Ini
dibuktikan dengan keluarnya kata-kata Syathahat dari mulutnya. Tapi menurut para ahli, Abu
Yazid bukanlah benar-benar bersatu dengan Tuhan. Ucapan ini muncul hanyalah disebabkan
oleh kondisi psikis yang labil karena terlalu kuatnya keinginan bersatu dengan Tuhan. Saking
kuatnya keinginan itu, dia tidak dapat lagi membendung sesuatu yang membebaninya itu
sehingga bukanlah suatu hal yang aneh apabila di kemudian hari terlontar kata-kata yang
ganjil dan aneh bagi orang yang mendengar ucapannya itu. Menurut para sufi moderat, para
sufi yang melontarkan kata-kata ganjil tersebut bukanlah termasuk para sufi yang sempurna.Terlepas dari semua itu, para sufi tetap mengakui keberadaan faham fana, baqa, dan
ittihad ini. Mereka bahkan menjustifikasikannya dengan menggunakan ayat al-Qur’an Surah
al-Kahfi ayat 110 dan Surah ar-Rahman ayat 26-27, serta riwayat Nabi Musa yang ingin