HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI PERILAKU AGRESI ORANG TUA DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA DI SMP NEGERI 4 AMBON OLEH LIDIA KASTANYA 80 2012 020 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016
34
Embed
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10134/2/T1_802012020_Full... · PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI PERILAKU AGRESI
ORANG TUA DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA DI SMP
NEGERI 4 AMBON
OLEH
LIDIA KASTANYA
80 2012 020
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN
AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda
tangan di bawah ini:
Nama : Lidia Kastanya
NIM : 80 2012 020
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Jenis Karya : Tugas Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hak
bebas royalty non-eksklusif (non-exclusicve royalty freeright) atas karya ilmiah saya yang
berjudul:
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI PERILAKU AGRESI ORANG TUA
DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA DI SMP NEGERI 4 AMBON
Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan/
mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan
mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada Tanggal : 31 Mei 2016
Yang menyatakan,
Lidia Kastanya
Mengetahui,
Pembimbing Utama
Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi., MA.
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Lidia Kastanya
NIM : 80 2012 020
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul:
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI PERILAKU AGRESI ORANG TUA
DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA DI SMP NEGERI 4 AMBON
Yang dibimbing oleh:
Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi., MA..
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau
gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk
rangkaian kalima atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-oleh sebagai karya sendiri
tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber aslinya.
Salatiga, 31 Mei 2016
Yang memberi pernyataan
Lidia Kastanya
LEMBAR PENGESAHAN
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MNGENAI PERILAKU AGRESI ORANG TUA
DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA DI SMP NEGERI 4 AMBON
Oleh
Lidia Kastanya
802012020
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai
Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui pada tanggal: 31 Mei 2016
Oleh:
Pembimbing Utama
Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi., MA.
Diketahui oleh, Disahkan oleh,
Kaprogdi Dekan
Dr. Chr. H. Soetjiningsih, MS Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA.
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI PERILAKU AGRESI
ORANG TUA DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMJA DI SMP
NEGERI 4 AMBON
Lidia Kastanya
Berta Esti Ari Prasetya
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
i
Abstrak
Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui
signifikansi hubungan antara persepsi mengenai perilaku agresi orang tua dengan perilaku
agresi pada remaja pada siswa SMP Negeri 4 Ambon. Sebanyak 113 orang diambil sebagai
sampel yang dilakukan dengan teknik insidental sampling. Metode penelitian yang dipakai
dalam pengumpulan data dengan metode skala, yaitu skala persepsi mengenai perilaku agresi
orang tua dan aggression questionnaire. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik
korelasi product moment. Dari hasil analisa data diperoleh koefisien korelasi (r) 0,789 dengan
p< 0,05 yang berarti ada hubungan positif yang signifikan antara persepsi mengenai perilaku
agresi orang tua dengan perilaku agresi pada remaja. Hal ini bermakna bahwa persepsi remaja
yang tinggi akan diikuti dengan perilaku agresi yang tinggi.
Kata kunci : Persepsi mengenai perilaku agresi orang tua, agresi remaja
ii
Abstract
This research is a correlational study which aimed to determine the significance of the
correlation between a perception of behavior aggressive parents with aggressive behavior in
teenagers on SMP Negeri 4 Ambon. There are 113 students were taken as samples using
insidental sampling technique. Research methods using scale of perception and aggression
questionnaire. Data analysis tecnique used was product moment of correlation tecnique.
Analysis of data obtained from the data coefficient of correlation was (r) 0,789 with p<0,05,
which means there is a significant positive relationship between a perception of behavior
aggressive parents with aggressive behavior in teenangers. This mean that the higher
perception teenangers who will followed by aggressive.
Keywords : Perception regarding aggressive behavior of parents, teenagers
aggressive
1
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan salah satu periode dalam rentangan kehidupan manusia,
dimana individu meninggalkan masa anak-anaknya dan mulai memasuki masa dewasa.
Istilah adolenscene, seperti yang dijelaskan oleh Piaget memiliki arti yang lebih luas,
mencangkup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Menurut ahli teori psikologi
perkembangan, tahapan perkembangan remaja dibagi menjadi tiga tahapan dengan kisaran
umur antara 10 sampai 21 tahun. Menurut Hurlock (dalam Santrock, 2002) tahapan masa
pubertas mengarah pada kematangan fisik dan seksual dan terdiri atas masa remaja awal (pre
adolescence) pada umur 10 atau 12 tahun sampai 13 atau 14 tahun, masa remaja tengah pada
umur 13 atau 14 tahun sampai umur 17 tahun, dan remaja akhir pada umur 17 tahun sampai
21 tahun. Jika pada masa kanak-kanak keluarga dan sekolah menjadi pusat lingkungan sosial
bagi perkembangan individu, maka pada masa remaja lingkungan sosialnya menjadi semakin
luas, dengan pergaulan inilah remaja menyesuaikan diri dan memperoleh nilai-nilai baru,
teman baru, dan pola persahabatan yang baru (Susilo, 1992).
Dalam proses penyesuaian inilah akan banyak masalah yang dihadapi oleh remaja.
Apabila remaja tidak mampu memenuhi tuntutan sosial yang ada, seringkali berpengaruh
kepada emosi remaja tersebut. Menurut Hurlock (dalam Santrock, 2002) beberapa kondisi
yang membuat remaja sulit untuk mengatur keadaan emosinya adalah lebih banyak
dipengaruhi oleh kondisi sosial yang mengelilingi remaja masa kini. Hal inilah yang dapat
membuat remaja melakukan perilaku agresi untuk melindungi diri atau menghindari
perlakuan orang terhadap dirinya. Remaja yang melakukan perilaku agresi seringkali
mengalami bias dalam atribusi, terutama dalam mempersepsikan situasi-situasi sosial, dan hal
ini mendorong mereka untuk berperilaku agresi ketika menghadapi konflik yang tidak
menyenangkan.
2
Perilaku agresif menurut Krahe (2005) merupakan segala bentuk perilaku yang
dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk
menghindari perlakukan itu. Agresi menurut Myers (dalam Sarwono, 2010) adalah tindakan
yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain. Sama halnya
dengan yang dikemukakan oleh Buss (dalam Ramirez dkk, 2003) memberikan rangsangan
berbahaya kepada orang lain disebut dengan agresi. Perilaku agresi menurut Ramirez dkk
(2003) disebabkan oleh 2 hal yaitu nature dan nurture, dimana nature terdiri dari (a) Teori
psikoanalisis dimana seseorang melakukan agresi karena dasar atau dorongan (drive) dari
dirinya sendiri, (b) Teori etiologi agresi terjadi karena spontanitas, naluri bawaan dan drive
yang bersifat instingtif yang hanya dapat dipahami melalui analisis filogenetik, (c)
sosiobiologi interaksi agresi adalah salah satu cara meningkatkan keberhasilan reproduksi
dalam suatu lingkungan yang memiliki sumber daya yang terbatas. Selanjutnya, untuk
nurture terdiri dari (a) frustasi-agresi merupakan pelampiasan dari rasa frustasi individu, (b)
Social learning, Seorang individu dapat mempelajari agresi melalui peniruan atau
pengamatan dari satu model agresi dan (c) Teori kognitif, perilaku agresi dipelajari dan mulai
terbentuk pada masa awal kehidupan individu (6-8 tahun).
Manifestasi dari perilaku agresi remaja dapat dilihat akhir-akhir ini dengan berbagai
macam kasus kenakalan remaja. Keagresifan remaja merupakan kesalahan dalam
penyesuaian diri disuatu lingkungan. Remaja sangat rentan berperilaku agresi karena mereka
dalam proses mencari jati diri, mereka belum bisa mengendalikan luapan emosi sebagai
reaksi terhadap kegagalan individu yang ditampakkan dalam bentuk pengrusakan terhadap
orang atau benda dengan unsur kesengajaan yang diekspresikan dengan kata-kata verbal dan
perilaku non verbal (Fitriani, 2013)
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren kenakalan dan kriminalitas remaja
di Indonesia mulai dari kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan psikis meningkat.
3
Pada tahun 2007 tercatat sebanyak 3145 remaja usia ≤ 18 tahun menjadi 2 pelaku
tindak kriminal, tahun 2008 dan 2009 meningkat menjadi 3280 hingga 4123 remaja
(BPS, 2010). Dari sejumlah kasus yang dilaporkan, tercatat 197.423 jumlah pelaku laki-laki
maupun perempuan menurut Kemenpora (2009). Dalam penelitian longitudinal terhadap
remaja, Elliott (dalam Tremblay, 2000) menemukan bahwa terdapat peningkatan tindakan
kekerasan pada anak laki-laki maupun perempuan pada usia 12 tahun sampai 17 tahun. Hal
ini menunjukan bahwa tahap perkembangan remaja tergolong rentan berperilaku agresi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru BK SMP Negeri 4 Ambon (pada
tanggal 30 Agustus 2015), yang mengatakan bahwa siswa dari kelas VII sampai kelas IX,
masih ada yang dipanggil ke ruang BK karena melanggar peraturan sekolah, mengalami
teguran dari wali kelas, atau menerima surat panggilan karena perilaku-perilaku yang
menyakiti orang lain dalam menghadapi masalah, baik masalah dengan guru, teman maupun
orang lain yang berada diluar lingkungan sekolah tersebut. Ada beberapa murid yang masih
terlibat tawuran dengan murid sekolah lain, hal ini biasanya terjadi setiap tahunnya, dan tak
jarang sekolah yang dianggap musuh adalah sekolah yang dari tahun ke tahun memang
mengalami konflik yang sama dengan mereka. Cepat terprovokasi oleh isu yang belum tentu
kebenarannya, merasa kalah dalam hal penampilan, ingin menunjukan kekuatan kepada orang
lain, merasa berkuasa, atau masalah pasangan, merasa kurang diperhatikan, tertekan, dan efek
dari tayangan kekerasan di media masa adalah beberapa alasan yang menyebabkan remaja
melakukan perilaku agresif. Perilaku agresi ini menyebabkan sakit fisik maupun sakit hati
dari korban yang mengalami perlakuan baik secara fisik maupun secara mental. Perilaku
agresi merupakan penggunaan hak sendiri dengan cara melanggar hak orang lain, sehingga
apabila perilaku agresi ini tidak dikontrol dengan baik oleh orang-orang yang berada dalam
lingkungan remaja itu sendiri, maka akan lebih memberikan efek yang buruk, bahkan
kematian dapat dialami seseorang akibat perilaku tersebut (Taganing, 2008).
4
Menurut Bush dan Perry (1992) mengklasifikasikan perilaku agresi dalam empat
macam, yaitu agresi fisik, agresi verbal, kemarahan, dan permusuhan. Agresi fisik dan agresi
verbal mewakili komponen motorik dalam agresivitas, sedangkan kemarahan dan
permusuhan mewakili komponen afektif dan kognitif dalam agresivitas :
a. Agresi fisik (Physical Agression) ialah bentuk agresif yang dilakukan dengan
menyerang secara fisik dengan tujuan untuk melukai atau membahayakan seseorang.
Perilaku agresif ini ditandai dengan terjadinya kontak fisik antara agresor dan
korbannya
b. Agresi verbal (Verbal Agression) ialah agresivitas dengan kata-kata. Agresi verbal
dapat berupa umpatan, sindiran, fitnah, dan sarkasme.
c. Kemarahan (Anger) ialah suatu bentuk indirect agression atau agresi tidak langsung
berupa perasaan benci kepada orang lain maupun sesuatu hal atau karena seseorang
tidak dapat mencapai tujuannya.
d. Permusuhan (Hostility), merupakan komponen kognitif dalam agresivitas yang terdiri
atas perasaan ingin menyakiti dan ketidakadilan.
Didalam perilaku agresi ini keempat hal ini saling berhubungan antara satu dengan
yang lainnya, terdapat pula keterkaitan antara aspek afektif, kognitif, dan arousal yang
bereaksi dan berproses terhadap stimulus yang ada dan memunculkan perasaan negatif.
Perilaku agresi bukan hanya dipicu oleh kejadian di lingkungan luar individu, namun juga
dimunculkan dari bagaimana kejadian tersebut diterima dan diproses secara kognitif atau
yang disebut atribusi diungkapkan oleh Berkowitz (1989). Dalam mencapai suatu
kematangan emosional pada remaja, bukanlah proses yang mudah, namun membutuhkan
kemauan keras dari remaja tersebut serta, kondisi sosial dan emosional lingkungan terutama
lingkungan terkecil yaitu keluarga sangat mempengaruhi individu.
5
Lingkungan keluarga menjadi sangat penting bagi individu, karena dilingkungan
inilah hubungan yang baik antara orang tua, atau antara orang tua terhadap anak, rasa saling
percaya, saling menghargai serta tanggung jawab ditunjukan dalam lingkungan ini. Apabila
keluarga memiliki lingkungan yang positif, anak diharapkan juga dapat mencapai
kematangan emosionalnya dengan baik. Namun, akan menjadi sebaliknya apabila kondisi
seperti itu tidak ada dalam keluarga, tindak kekerasan yang dilakukan dari suami kepada istri
atau sebaliknya, memukul jika sesuatu tidak berjalan sesuai harapan, dibentak dengan
intonasi yang tinggi, cepat termakan omongan orang lain, kemudian hal-hal yang negatif
seperti ini dipertontonkan dan diberlakukan kepada anak, akan membentuk persepsi anak
tersebut bahwa kekerasan adalah wujud untuk merespon suatu hal yang salah (Satiadarma,
2001). Hal ini terjadi karena melihat apa yang dilakukan orang tua dan dipersepsikan oleh
anak tersebut.
Menurut penelitian dari Vissing, dkk (1991) didapatkan data dari 3346 keluarga yang
menjadi sampel bahwa agresi anak, kenakalan dan masalah dalam berhubungan dengan orang
lain disebabkan karena anak-anak tersebut pernah mengalami kekerasan psikologis dalam
keluarga. Padahal, keluarga adalah yang akan dijadikan anak tersebut sebagai contoh
dikemudian harinya, karena anak mempersepsikan perilaku dan apa yang diperhatikannya
dalam keluarga untuk kembali diwujudkan dalam tindakan dan perilakunya, inilah proses
internal yang terjadi, yang sering disebut persepsi.
Persepsi menurut Solso, Otto, & Maclin (2008) adalah sesuatu yang melibatkan
kognisi tingkat tinggi dalam hal penginterpretasian, yang kita tangkap dengan indera.
Persepsi menurut Walgito (2003) persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh
proses penginderaan terhadap suatu stimulus yang kemudian diorganisasikan dan
diinterpretasikan oleh individu, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang
diindera tersebut. Seseorang memilikli perasaan, kemampuan berpikir, dan pengalaman-
6
pengalaman yang tidak sama yang menyebabkan persepsi orang terhadap stimulus atau objek
yang sama dapat berbeda-beda. Baron & Byrne (1983) menambahkan persepsi adalah proses
yang dialami seseorang untuk mengetahui dan memahami orang-orang lain. Persepsi inilah
yang akan dimiliki oleh anak, anak tumbuh dengan hubungan yang dimulai dengan orang-
orang terdekatnya yaitu orang tua, sehingga persepsi anak adalah penginterpretasian yang
dibentuk anak dari hasil tangkap indera, melalui penglihatan, pendengaran, perasa,
penciuman dan peraba yang dia temui pertama kalinya dari orang tuanya.
Anak-anak yang menjadi saksi peristiwa kekerasan dalam lingkup keluarga dapat
mengalami gangguan fisik, mental dan emosional menurut Bair dkk (dalam Margareta dkk,
2013 ). Ekspos kekerasan dalam keluarga pada anak dapat menimbulkan berbagai persoalan
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek seperti: ancaman
terhadap keselamatan hidup anak, merusak struktur keluarga, munculnya berbagai gangguan
mental. Sedangkan dalam jangka panjang memunculkan potensi anak terlibat dalam perilaku
kekerasan dan pelecehan di masa depan, baik sebagai pelaku maupun korbannya. Kekerasan
dalam keluarga adalah suatu peristiwa traumatis karena kekerasan dilakukan oleh orang-
orang yang terdekat bagi anak, keluarga yang semestinya memberikan rasa aman, justru
menampilkan dan memberikan kekerasan yang menciptakan rasa takut serta kemarahan
menurut Margareta, dkk (2013). Hal inilah yang membuat anak menginterpretasikan apa
yang ditemuinya dalam keluarga dalam bentuk persepsi, berdasarkan apa yang ditangkapnya
dengan alat indera.
Belajar Sosial (social learning) menjelaskan bahwa perilaku agresi terjadi karena
belajar sosial atau transmisi antar generasi anak-anak yang mengalami kekerasan, yaitu anak-
anak mempelajari penyimpangan norma-norma dan perilaku yang dapat direplikasi di dalam
hubungan saat dewasa menurut Bandura (1976). Marriott & Chebib (2014) menjelaskan
bagaimana efek belajar sosial terjadi sangat cepat bergantung pada genetika ataupun
7
lingkungan dimana individu bertumbuh dan beradaptasi. Jika sejak anak-anak sudah
menyaksikan kekerasan, dalam masa remaja mereka akan mengembangkan persepsi yang
salah tentang kekerasan; bahwa kekerasan adalah salah satu cara yang tepat untuk
menyelesaikan masalah. Pembelajaran tentang orang tua inilah yang ditangkap oleh remaja
melalui alat indera kemudian dipersepsikan, dan terwujud dalam perilaku dimasa depan
(Bodenhausen dan Hugenbregh, 2009). Dalam kultur di mana tindak kekerasan adalah jarang,
orang menjadi sangat sensitif dengan setiap bentuk kekerasan dan agresi dan menolaknya.
Sebaliknya, di komunitas di mana kekerasan merupakan cara menyelesaikan masalah yang
umum, seperti zona konflik etnis, orang mungkin menjadikan pola perilaku kekerasan
tersebut sebagai norma Buckey, (dalam Erick & David, 2012).
Masalah yang ditemukan sekarang adalah remaja cendrung akan melakukan
pengulangan atas perilaku agresi yang sama jika lingkungan atau faktor eksternalnya
mendukung individu tersebut untuk melakukukan perilaku tersebut, menurut Lopez dkk
(2008). Pemikiran orang tua bahwa dengan memberi pukulan itu adalah perilaku yang
mengajarkan anak menjadi individu yang patuh, penurut dengan tujuan yang baik, tanpa
mereka sadari hal tersebut malah memberi dampak sebaliknya. Perilaku yang dilakukan oleh
orang tua kepada orang lain, dengan memukul, meneriaki dengan kata-kata kasar atau
sebagainya, menjadi hal yang biasa kepada remaja, kemudian orang tua akan mendorong
anak mereka untuk mengerti bahwa hal tersebut adalah untuk “membela diri”. Sementara itu,
dari pengalaman orang tua contoh tersebut tidak menjadi masalah bagi mereka, sehingga
orang tua berusaha untuk membuat anak mereka menyadari apa yang mereka lakukan adalah
suatu hal yang memang seharusnya dilakukan. Dengan cara seperti inilah yang akan
mempengaruhi cara didik orang tua terhadap anak tersebut, karena bila orang tua memberi
pukulan dengan pengertian “membela diri”, “demi kebaikan kamu”, anak ketika bertumbuh
akan mengulangi dan menerapkan hal yang sama di kemudian hari pada orang lain, karena
8
dia merasa yang dilakukan oleh orang tuanya adalah yang terbaik baginya, sehingga dia akan
melakukan hal yang dia anggap terbaik juga kepada orang lain, karena skema atau persepsi
yang dibentuknya sesuai dengan apa yang dirasakan dan dialaminya.
Valois, dkk (2002) dalam hasil penelitiannya tentang faktor resiko yang berhubungan
dengan kekerasan dan perilaku agresi dan Mackowicz (2014) tentang kekerasan pada siswa di
sekolah menengah pertama menemukan bahwa keluarga menjadi salah satu faktor yang
beresiko terkait dengan perilaku agresi remaja, terutama untuk remaja yang berada pada
sekolah menengah pertama dan sekolah menengah keatas. Lopez dkk (2008), dari hasil
penelitiannya tentang Agresi remaja pengaruh: gender, keluarga dan lingkungan sekolah
menemukan apabila lingkungan keluarga yang positif akan memberikan faktor perlindungan
yang kuat juga untuk anak perempuan maupun laki-laki dalam menghadapi masalah. Dilain
sisi, ada juga penelitian yang memiliki hasil berbeda dalam menilah perilaku agresi remaja
yaitu, Adachi & Willoughby (2011) dalam penelitiannya tentang efek dari game kompetisi
dan kekerasannpada perilaku agresi remaja, dan yang lebih memberikan efek kepada perilaku
agresi adalah game kompetisi. Penelitian lainnya yang serupa dengan Adachi dan
Willioughby adalah Anderson dkk (2010) tentang videogame kekerasan yang berpengaruh
pada perilaku agresi, empati dan sikap prososial. Berdasarkan fenomena serta hasil penelitian
yang telah ada, tentang perilaku agresif, maka penulis tertarik untuk melihat persepsi remaja
terhadap perilaku agresi orang tua dengan remaja terhadap perilaku agresif di SMP Negeri 4
Ambon.
Hipotesis
Adakah hubungan positif yang signifikan antara persepsi mengenai perilaku agresi orang tua
dengan perilaku agresi pada remaja di SMP Negeri 4 Ambon.
9
METODE PENELITIAN
Variabel Penelitian
Variabel Terikat : Perilaku agresi remaja
Variabel Bebas : Persepsi mengenai perilaku agresi orang tua
Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian correlational, yaitu penelitian yang bersifat
menghubungkan (Sugiyono, 2012) dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian
ini menggunakan instrumen berbentuk skala.
Populasi dan Sampel Penelitian
Subjek penelitian adalah sumber utama data penelitian, yaitu yang memiliki data
mengenai variabel-variabel yang diteliti (Azwar, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah
keseluruhan siswa SMP Negeri 4 Ambon yang berjumblah 1095 siswa. Adapun
karakteristiknya adalah: (1) masih memiliki orang tua lengkap (ayah dan ibu), (2) tinggal
bersama kedua orang tua ayah dan Ibu.
Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan teknik Insidental Sampling,
yang merupakan teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara
kebetulan atau insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila
dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2012).
Saat penelitian, yang dilakukan peneliti disekolah tersebut, beberapa kelas yang dijadikan
sampel ditentukan langsung oleh pihak sekolah, sehingga saat pengisian angket pihak sekolah
yang menemani untuk menunjukan kelas berapa saja yang bisa dimintai data atau dijadikan
sampel. Maka dari 32 kelas yang ada di SMP Negeri 4 Ambon, peneliti mengambil sampel
sebanyak 4 kelas yaitu kelas VII-1 yang berjumlah 30 siswa, dengan 26 siswa sesuai
10
kateristik, dan 4 lainnya tidak, kelas VII-2 yang berjumlah 31 siswa sesuai karakteristik, kelas
VIII-1 yang berjumlah 28 siswa, dengan 27 siswa sesuai karakteristik dan 1 lainnya tidak,
dan kelas VIII-4 yang berjumlah 33 siswa, dengan 29 sesuai karakteristik dan 4 lainnya tidak.
Pemilihan kelas ditentukan langsung oleh pihak sekolah, sehingga jumlahnya adalah 113
siswa yang berpartisipasi. Pengisian Angket dilakukan 2 kali, hari pertama siswa mengisi
skala agresi, keesokan harinya mereka mengisi skala persepsi tentang orang tua.
Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah Aggression
Questionnaire dari Buzz dan Perry dan Skala persepsi mengenai perilaku agresi orang tua
(seterusnya akan disingkat PAOT) yang telah dimodifikasi oleh penulis.
1. Skala Aggression Questionnaire
Skala yang digunakan adalah Aggression Questionnaire dari Buzz dan Perry
(1992) yang terdiri dari 29 item dengan menggunakan aspek-aspek anger (7 item),
verbal aggression (5 item), physical aggression (9 item), dan hostily (8 item). Dalam
penelitian ini item telah dialih bahasakan menjadi Bahasa Indonesia dan diubah
menjadi skala Likert dengan tetap mempertahankan dimensi indikator yang diukur.
Dalam pengisian alat ukur Aggression responden diminta untuk memilih dari lima
pilihan jawaban, yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak dapat menentukan
dengan pasti (N), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Butir
pernyataan dalam skala ini bersifat favourable untuk 27 item dan 2 item lainnya
unfavorable. Rentang skor setiap butr pernyataan dari 1 sampai 5. Jika Butir
pernyataan SS diberi skor 5, jawaban S diberi skor 4, N diberi skor 3, TS diberi skor
2, dan STS diberi skor 1.
11
Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala
Aggression Questionnaire sebanyak dua kali putaran, yang terdiri dari 29 item,
diperoleh item yang gugur sebanyak 5 item dengan koefisien korelasi item totalnya
bergerak antara 0,326-0,573 dengan penentuan-penentuan item yang mempunyai nilai
diskriminasi yang baik, menggunakan ketentuan Anzwar (2012) yang menyatakan
bahwa item skala pengukuran dapat dikatakan baik apabila r ≥ 0,30.
Teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas menggunakan teknik koefisien
Alpha Cronbach. Hasil koefisien Alpha pada skala Aggression Questionnaire sebesar
0,876. Hal ini berarti skala Aggression Questionnaire reliabel.