Page 1
IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 12 TAHUN 2010
TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN WARALABA, PUSAT
PERBELANJAAN DAN TOKO MODERN
DI KABUPATEN PANDEGLANG
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial
Pada Program Studi Ilmu Administrasi Publik Konsentrasi Kebijakan Publik
Oleh :
Oleh :
M. HAFIDZ RIZKI RAMADHAN
NIM 6661 132697
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2018
Page 4
ABSTRAK
M. HAFIDZ RIZKI RAMADHAN, 6661 132697. Skripsi. Implementasi
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Waralaba, Pusat Perbelanjaan Dan Toko Modern di Kabupaten Pandeglang.
Pembimbing I Dr. Ismanto, S.Sos., MM., Pembimbing II Riny Handayani, M.Si
Penelitian ini tentang Implementasi Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba, Pusat Perbelanjaan Dan Toko
Modern di Kabupaten Pandeglang. Masalah dalam penelitian ini adalah: 1)
Beberapa waralaba minimarket yang berdiri tidak sesuai dengan ketentuan, yaitu
waralaba yang dibangun kurang dari radius 500M dengan pasar tradisional; 2)
Minimarket yang berdekatan dan posisinya berada tepat di sebuah pasar
tradisional; 3) Tidak satupun ditemukan produk lokal baik panganan maupun
produk barang yang dipasarkan oleh waralaba minimarket tersebut; 4) Perizinan
waralaba minimarket tidak memperhatikan beberapa aspek salah satunya seperti
masalah jarak serta aspek sosial lain sehingga menyebabkan menjamurnya
waralaba minimarket. Metode penelitian adalah kualitatif. Penelitian ini
menggunakan teori implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn dalam
Agustino (2012:141-144), yaitu: 1) Ukuran dan Tujuan, 2) Sumberdaya, 3)
Karakteristik Agen Pelaksana, 4) Sikap Kecenderungan Pelaksana, 5) Komunikasi
antar organisasi, 6) Lingkungan Eksternal. Hasil Penelitian : Implementasi
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern di Kabupaten Pandeglang belum
berjalan optimal. Saran: 1) Peningkatan sosialisasi mengenai peraturan tersebut;
2) Peningkatan kompetensi atau pengetahuan dalam tim teknis; 3) Peningkatan
kinerja tim dan meminimalisir permainan oknum dalam perijinan waralaba; 4)
Melibatkan secara langsung stakeholder dalam perumusan kebijakan; 5) Lebih
meningkatkan lagi koordinasi dan komunikasi; 6) Pengawasan yang ketat dari
Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi sebagai salah satu tim teknis
untuk melindungi pelaku usaha kecil yang ada di Kabupaten Pandeglang.
Kata Kunci: Implementasi, kebijakan publik
Page 5
ABSTRACT
M. HAFIDZ RIZKI RAMADHAN, 6661 132697. Thesis. Implementation of
Regional Regulation No. 12 of 2010 on Guidelines for Implementing Franchises,
Shopping Centers and Modern Stores in Pandeglang District. Supervisor I Dr.
Ismanto, S.Sos., MM., Advisor II Riny Handayani, M. Si
This research is about Implementation of Local Regulation Number 12 Year 2010
About Guidance of Implementation of Franchise, Shopping Center And Modern
Store in Pandeglang Regency. Problems in this research are: 1) Some minimarket
franchise that stands not in accordance with the provisions, the franchise is built
less than 500M radius with traditional markets; 2) The adjacent minimarket and
its position are right in a traditional market; 3) None of the local products found in
either food or products that are marketed by the minimarket franchise; 4)
Licensing minimarket franchise does not pay attention to several aspects such as
distance and other social aspects that cause the mushrooming of mini market
franchises. The research method is qualitative. This research uses the policy
implementation theory of Van Meter and Van Horn in Agustino (2012: 141-144),
namely: 1) Size and Purpose, 2) Resources, 3) Characteristics of Implementing
Agent, 4) Attitude of Executing Trend, 5) organization, 6) External Environment.
Result of Research: Implementation of Local Regulation Number 12 Year 2010
About Guidance of Franchising of Shopping Center and Modern Store in
Pandeglang Regency has not run optimally. Suggestion: 1) Increase socialization
on the regulation; 2) Increased competence or knowledge in the technical team; 3)
Improved team performance and minimized game of person in franchise permit;
4) Involving stakeholders directly in policy formulation; 5) Increase coordination
and communication; 6) Strict supervision from the Department of Industry, Trade
and Cooperatives as one of the technical teams to protect small business actors in
Pandeglang District.
Keywords: Implementation, public policy
Page 6
“Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup
adalah membiarkan pikiran yang cemerlang menjadi
budak bagi tubuh yang malas, yang mendahulukan
istirahat sebelum lelah”
– Buya Hamka –
Page 7
Skripsi ini aku persembahkan
untuk Ibu… Ibu… Ibu dan Ayah
Juga seluruh keluargaku tercinta….
Page 8
i
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillahirobbil’alamin peneliti
panjatkan kehadirat ALLAH SWT, serta shalawat serta salam selalu tercurahkan
untuk Nabi Muhammad SAW, sahabat beserta keluarganya, karena dengan ridho,
rahmat, karunia dan kasih sayang-Nya yang berlimpah sehingga akhirnya peneliti
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul IMPLEMENTASI PERATURAN
DAERAH NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN
PENYELENGGARAAN WARALABA, PUSAT PERBELANJAAN DAN
TOKO MODERN DI KABUPATEN PANDEGLANG.
Dengan selesainya Skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bimbingan,
bantuan dan dorongan dari berbagai pihak yang senantiasa selalu mendukung
peneliti dalam upaya menyelesaikan penelitian ini. Maka peneliti ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M.Pd selaku Rektor Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa
2. Dr. Agus Sjafari, S.Sos. M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Rahmawati, M.Si, selaku Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
4. Iman Mukroman, M.Si, selaku Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Page 9
ii
5. Kandung Sapto Nugroho, S.Sos., M.Si, selaku Wakil Dekan III Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
6. Listyaningsih, M.Si, selaku Ketua Prodi Ilmu Administrasi Publik Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
7. Dr. Arenawati, M.Si selaku Sekretaris Prodi Ilmu Administrasi Publik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa .
8. Dr. Ismanto S.Sos., MM., selaku Dosen Pembimbing I yang membimbing dan
membantu peneliti dalam penyusunan skripsi, terima kasih atas arahan dan
pembelajarannya.
9. Riny Handayani, M.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang membimbing dan
membantu peneliti dalam penyusunan skripsi, terima kasih atas arahan dan
pembelajarannya.
10. Semua Dosen dan Staf Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang telah
membekali ilmu dan pengetahuan selama perkuliahan.
11. Kedua Orang tua tercinta dan adik tersayang yang telah memberikan dorongan
semangat dan nasehatnya, keluarga peneliti tercinta terima kasih atas segenap
perhatian dan motivasinya, canda tawa serta dukungannya untuk peneliti.
12. Sahabat-sahabatku dan teman-teman seperjuanganku di Prodi Ilmu
Administrasi Publik FISIP Untirta 2013 yang tak bisa kusebutkan satu persatu.
Akhir kata peneliti berharap dan berdoa kepada pihak-pihak yang telah
banyak membantu peneliti dalam menyusun skripsi ini mendapat imbalan dari
Allah SWT serta peneliti menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan
Page 10
iii
dalam Skripsi ini sehingga peneliti dengan rendah hati menerima masukan dari
semua pihak agar dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi dan peneliti
berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan kepada
pembaca umumnya.
Serang, Januari 2018
Peneliti
Page 11
iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Identifikasi Masalah ...................................................................... 11
1.3. Batasan Masalah ........................................................................... 12
1.4. Perumusan Masalah ...................................................................... 12
1.5. Tujuan Penelitian .......................................................................... 12
1.6. Manfaat Penelitian ........................................................................ 13
1.7. Sistematika Penulisan ................................................................... 13
Page 12
v
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI
DASAR PENELITIAN
2.1. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 16
2.2. Penelitian Terdahulu ..................................................................... 38
2.3. Kerangka Berfikir ......................................................................... 40
2.4. Asumsi Dasar Penelitian ............................................................... 43
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan dan Metode Penelitian ............................................... 44
3.2. Ruang Lingkup dan Fokus Penelitian ........................................... 45
3.3. Lokasi Penelitian ........................................................................... 45
3.4. Variabel Penelitian ........................................................................ 45
3.5. Instrumen Penelitian ..................................................................... 46
3.6. Informan Penelitian ....................................................................... 47
3.7. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ....................................... 48
3.8. Jadwal Penelitian .......................................................................... 54
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Objek Penelitian ........................................................... 55
4.2. Deskripsi Data ............................................................................... 58
4.3. Deskripsi Hasil Penelitian ............................................................. 61
4.4. Pembahasan ................................................................................... 90
Page 13
vi
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan ................................................................................... 104
5.2. Saran ............................................................................................. 107
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Page 14
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi yang penuh persaingan dewasa ini, sistem usaha
waralaba muncul sebagai salah satu komoditi usaha yang sangat menjanjikan bagi
pelaku usaha. Perkembangannya yang sangat pesat mengindikasikan sebagai
salah satu bentuk investasi yang menarik dan mudah bagi pelaku usaha, sekaligus
membantu pelaku usaha dalam memulai suatu usaha sendiri dengan tingkat
kegagalan yang rendah. Keunggulan dari bisnis waralaba sendiri yaitu, dapat
memperluas jaringan usaha dengan cepat dan mudah, menciptakan kemitraan
yang sama-sama saling menguntungkan, meningkatkan lapangan kerja baru di
daerah, serta mampu mempercepat alih teknologi dan meningkatkan peluang
berusaha bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), serta merupakan
pilihan berwiraswasta dengan resiko kerugian yang kecil.
Salah satu usaha waralaba yang perkembangannya paling pesat yaitu
usaha waralaba minimarket. Minimarket sendiri memiliki gerai yang lebih banyak
jumlahnya jika dibandingkan dengan kelompok usaha ritel lainnya seperti
hypermarket dan supermarket. Pertumbuhan ekonomi memang semakin maju
dengan tumbuhnya toko modern ini, namun seperti buah simalakama,
pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak dibarengi dengan tingkat kesejahteraan,
sehingga perlu adanya keselarasan dan keseimbangan antara toko modern dengan
1
Page 15
2
pedagang kecil seperti toko kelontong dan pasar tradisional. Tetapi
kecenderungan bisnis sekarang semakin tidak memperhatikan masalah etika,
sehingga kepentingan pasar dan jenis usaha ini akan saling bertabrakan sehingga
dapat menciptakan persaingan atau iklim perdagangan yang tidak sehat. (Sumber:
Badan Koordinasi Penanaman Modal RI, 2015)
Istilah waralaba sendiri mulai disebut dalam perundang-undangan di
Indonesia sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang
Usaha Kecil. Kemudian pemerintah menerbitkan PP Nomor 16 Tahun 1997
tentang waralaba, yang kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 259/MPP/KEP/7/1997 tentang
ketentuan dan pelaksanaan pendaftaran usaha waralaba.
Dalam rangka untuk membangun usaha waralaba di Indonesia maka
dikeluarkanlah Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 12/M-
DAG/PER/3/2006 yang mengatur mekanisme waralaba di Indonesia kemudian
perkembangan waralaba di Indonesia yang teraktual adalah diberlakukannya
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang waralaba yang kemudian
diperkuat oleh Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor
31/MEN-DAG/PER/8/2008 Tentang Penyelenggaraan waralaba sebagai peraturan
yang didalamnya mengatur terkait pelaksanaan dan penyelenggaraannya. Dengan
munculnya peraturan tersebut mulai terlihat adanya indikasi penggunaan usaha
waralaba sebagai sistem bisnis yang digunakan sebagai alternatif usaha yang
sangat menjanjikan.
Page 16
3
Di Provinsi Banten, fenomena waralaba berbentuk minimarket juga
sedang terjadi. Tercatat, sampai 2016 jumlah gerai waralaba berbentuk
minimarket adalah berjumlah 1123 gerai (Indomaret, Alfamart, AlfaMidi, dan
Ceriamart). Dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 1.1
Jumlah Waralaba Berbentuk Minimarket
Di Provinsi Banten
Tahun 2016
No
Kab/Kota
JUMLAH
Indomaret Alfamart Alfamidi Ceriamart Total
1 Kab. Lebak 45 31 3 4 83
2 Kab. Pandeglang 55 45 6 2 108
3 Kab. Serang 60 47 8 6 121
4 Kota Serang 32 28 3 4 67
5 Kota Tangerang 102 95 14 10 221
6 Kab. Tangerang 97 82 9 13 201
7 Kota Tangsel 103 99 14 9 225
8 Kota Cilegon 52 35 6 4 97
546 462 63 52 1123
Sumber : Disperindag Provinsi Banten, 2016
Dari data tersebut, tercatat bahwa Kota Tangerang Selatan adalah wilayah
yang penyebaran waralaba berbentuk minimarketnya paling banyak yaitu 225.
Sementara di Kabupaten Pandeglang, sebagai wilayah Provinsi Banten yang
merupakan tercatat sebagai wilayah dengan angka kemiskinan tertinggi di
Provinsi Banten (yang mencapai 10,25 persen dari jumlah penduduk sekitar 1.2
juta jiwa) tercatat sampai 2016 jumlah waralaba berbentuk minimarket adalah 108
waralaba yang tersebar di beberapa Kecamatan. Berikut peneliti lampirkan tabel
jumlah waralaba berbentuk minimarket per-Kecamatan di Kabupaten Pandeglang
tahun 2016.
Page 17
4
Tabel 1.2
Jumlah Waralaba Berbentuk Minimarket
Di Kabupaten Pandeglang Per-Kecamatan
Tahun 2016
No
KECAMATAN
JUMLAH
Indomaret Alfamart Alfamidi Ceriamart Total
1 Cadasari 2 1 0 0 3
2 Karang Tanjung 2 2 1 0 5
3 Pandeglang 7 7 0 0 14
4 Majasari 4 4 1 0 9
5 Kadu Hejo 3 3 1 1 8
6 Cipeucang 1 0 0 0 1
7 Saketi 3 2 0 0 5
8 Mandalawangi 3 2 0 0 5
9 Jiput 1 0 0 0 1
10 Menes 3 3 0 0 3
11 Labuan 4 5 1 0 10
12 Carita 1 0 0 1 2
13 Sukaresmi 1 0 0 0 1
14 Panimbang 4 3 1 0 8
15 Pagelaran 5 2 0 0 6
16 Sobang 2 1 0 0 3
17 Munjul 2 1 0 0 2
18 Cibaliung 2 3 0 0 5
19 Sumur 1 2 0 0 2
20 Cimanggu 0 1 0 0 1
21 Cikeusik 1 1 0 0 2
22 Cikeusal 2 1 1 0 2
23 Bojong 1 1 0 0 2
55 45 6 2 108
Sumber : BPMPPTSP Kab.Pandeglang, 2016
Berdasarkan tabel 1.2., peneliti memperoleh data bahwa dari 35
kecamatan yang ada di Kabupaten Pandeglang, usaha waralaba berbentuk
minimarket sudah tersebar di 23 kecamatan dengan jumlah sekitar 108 waralaba
berbentuk minimarket. Sementara menurut Dinas Perindustrian dan Perdagagngan
Kabupaten Pandeglang, dari 35 Kecamatan yang ada, Kabupaten Pandeglang
hanya memiliki 31 Pasar Tradisional (Sumber: Disperindag Kab. Pandeglang,
2017).
Page 18
5
0
5
10
15
20
25
30
Indomart Alfamart Alfamidi Ceria
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
Perkembangan usaha waralaba ini tergolong signifikan yaitu, dari yang
hanya 30 waralaba pada tahun 2010 menjadi 108 waralaba pada tahun 2016 ini
(Data 2010-2016 dari BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang). Berikut peneliti
sajikan data pertumbuhan waralaba berbentuk minimarket di Kabupaten
Pandeglang (2010-2016).
Gambar 1.1
Pertumbuhan Waralaba Berbentuk Minimarket di Kabupaten Pandeglang
Dari Tahun 2010-2016
Sumber: BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang, 2010-2016
Dari gambar 1.1 di atas, dapat dianalisa bahwa keberadaan waralaba
minimarket saat ini sudah sangat menjamur dan persebarannya saat ini sangat luas
dan hampir ada disetiap sudut Kabupaten Pandeglang. Dari data tersebut, dilihat
bahwa perkembangan waralaba sangat signifikan yang tadinya hanya 35 di tahun
Page 19
6
2010 menjadi 108 pada tahun 2016. Jika kondisi seperti ini terus berlangsung
maka tidak menutup kemungkinan pedagang kios kecil akan semakin melesu dan
boleh jadi mereka terpaksa gulung tikar karena tidak sanggup bersaing dengan
waralaba minimarket. Apabila keberadaan waralaba ini tidak diatur dan di awasi
dengan ketat oleh pemerintah daerah, maka hal ini menjadi bom waktu bagi
perekonomian Kabupaten Pandeglang.
Berkembangnya usaha waralaba minimarket di Kabupaten Pandeglang
tentu membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi di Kabupaten
Pandeglang. Menciptakan iklim investasi yang baik serta sekaligus dapat
membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat di Kabupaten Pandeglang. Akan
tetapi di sisi lain keberadaan waralaba berbentuk minimarket juga dapat
membawakan dampak negatif bagi iklim perekonomian di daerah timbulnya
persaingan yang tidak sehat antar pelaku usaha di Kabupaten Pandeglang.
Sekarang saja sudah terlihat adanya persaingan yang kurang sehat antara waralaba
dengan pedagang kecil khususnya kios-kios kecil, para pedagang kecil dipaksa
bersaing dengan waralaba yang memiliki modal besar dan didukung dengan
tempat yang memadai, fasilitas yang lengkap dan layanan yang prima. Hal ini
tentu saja akan berpengaruh kepada minat konsumen yang akan memilih
berbelanja ke waralaba minimarket karena dirasa lebih nyaman dan harga yang
lebih murah.
Di Kabupaten Pandeglang sendiri keberadaan waralaba berbentuk
minimarket sudah tersebar diberbagai wilayah. Tidak hanya ditepi jalan besar
Page 20
7
saja, tetapi juga berada di wilayah pemukiman padat penduduk. Keberadaan
minimarket tersebut akan membawa dampak negatif terhadap warung atau pasar
tradisonal yang ada di Kabupaten Pandeglang. Minimarket lebih dipilih
masyarakat karena lebih memiliki daya tarik dibanding warung atau pasar
tradisional.
Dalam upaya mengatasi semakin menjamurnya keberadaan waralaba di
Kabupaten Pandeglang serta untuk mengatur keberadaan waralaba agar tidak
bersinggungan dengan pedagang kecil maupun pasar tradisional, pada tahun 2010
Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang telah membuat suatu kebijakan yang
mengatur tentang penyelenggaraan waralaba di Kabupaten Pandeglang yakni
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Dalam Perda No 12 Tahun 2010
tersebut diatur mengenai penyelenggaraan waralaba di Kabupaten Pandeglang
dimulai dari prosedur perizinan hingga pengaturan tata lokasi atau zonasi
bangunan waralaba yang mana telah diatur secara rinci dalam perda tersebut. Pada
pasal 4 ayat 1 Perda tersebut dijelaskan bahwa pendirian waralaba berupa toko
modern/minimarket, harus memperhatikan batasan jarak dengan batas Pasar
Tradisional minimal 500 (lima ratus) meter. Hal ini dilakukan agar keberadaan
took modern/minimarket tersebut tidak mematikan pasar tradisional.
Berdasarkan observasi awal yang peneliti lakukan, peneliti melihat bahwa
dalam penyelenggaraan waralaba di Kabupaten Pandeglang ini belum berjalan
dengan baik meskipun penyelenggaraannya sudah diatur dalam Peraturan Daerah
Page 21
8
Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern. Peneliti menilai bahwa pengendalian dan
pengaturan keberadaan waralaba di Kabupaten Pandeglang ini masih belum
optimal dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Pandeglang. Hal ini terlihat pada
saat peneliti melakukan observasi di lapangan. Hal ini diakui langsung oleh Bapak
Dedi Mulyadi SH. Selaku Kabid Sistem Informasi dan Pengendalian BPMPPTSP
Kabupaten Pandeglang.
Peneliti menemukan beberapa permasalahan terkait penyelenggaraan
waralaba di Kabupaten Pandeglang. Yang pertama, dari pengamatan peneliti ada
beberapa waralaba minimarket yang berdiri tapi tidak sesuai dengan ketentuan
yang sudah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern
seperti jarak antara bangunan waralaba minimarket dengan pasar tradisional yang
kurang dari 500 meter, hal ini bertentangan dengan Peraturan Daerah Nomor 12
Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan
Toko Modern yang tertuang dalam Pasal 4 ayat 1(a). Selama melakukan observasi
lapangan, peneliti menemukan hal ini dibeberapa waralaba minimarket salah
satunya di wilayah Kecamatan Cadasari di daerah tersebut waralaba berdiri dan
jaraknya kurang dari 500 meter dekat pasar tradisional. Waralaba yang berikutnya
yang peneliti lihat melanggar aturan adalah waralaba minimarket di Pasar
Pandeglang. Waralaba berdiri kokoh di depan pasar tradisional tersebut. Ketika
dimintai konfirmasi, Kepala Toko dari waralaba tersebut menampik telah
Page 22
9
menabrak aturan dalam perda dan berdalih waralabanya sudah mengantongi ijin
dari pihak terkait.
Permasalahan kedua, ada multi tafsir pasal dalam Peraturan Daerah
Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern. Pada Bab I dalam Ketentuan umum Pasal 1
dijelaskan bahwa yang dimaksud Toko Modern salah satunya adalah minimarket.
Kemudian dijelaskan lagi dalam pasal 4 (1) a bahwa “Memperhatikan batasan
jarak dengan batas pasar tradisional minimal 500 meter” sedangkan pada pasal
berikutnya yaitu Pasal 10 (2) b bahwa “Jarak antara Minimarket dengan Pasar
Tradisional minimal 200 meter”. Hal ini dikhawatirkan akan menjadikan sebuah
pembelaan bagi oknum dan menjadi sebuah multi penafsiran bagi masyarakat.
Permasalahan ketiga, adalah dari beberapa waralaba yang peneliti
kunjungi, tidak satu pun peneliti menemukan produk lokal baik panganan maupun
produk barang yang dipasarkan oleh waralaba minimarket tersebut. Padahal
berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang tercantum
pada pasal 5 ayat 1 disebutkan secara gamblang bahwa “Waralaba yang berbentuk
toko modern wajib menjual produk hasil daerah Kabupaten Pandeglang”. Dari
wawancara dengan salah satu pegawai waralaba Alfamart, diketahui bahwa tidak
pernah ada himbauan khusus dalam hal tersebut, dan ketidak tahuan pegawai juga
terhadap isi perda.
Peneliti mencoba mengklarifikasi mengenai temuan masalah yang peneliti
Page 23
10
dapatkan pada observasi. Instansi yang membidani terkait perijinan waralaba
adalah Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu
(BPMPPTSP) Kabupaten Pandeglang. Ketika ditemui untuk diminta klarifikasi,
peneliti dipertemukan dengan bagian perizinan pada BPMPPTSP Kabupaten
Pandeglang. Pihak BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang sendiri membantah bahwa
perizinan yang diberikan dalam pendirian waralaba belum sesuai dengan isi
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Pihak BPMPPTSP Kabupaten
Pandeglang berdalih bahwa setiap ijin yang diberikan kepada pihak manapun
sudah sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Ketika peneliti menyodorkan bukti-
bukti waralaba yang tidak sesuai dengan aturan yang tertulis dalam Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba
Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern pihak BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang
mengatakan akan mengkaji lagi permasalahan tersebut secara mendalam.
Berdasarkan atas berbagai pertimbangan dan observasi peneliti, peneliti memilih
judul penelitian yaitu: “Implementasi Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern di Kabupaten Pandeglang”.
Page 24
11
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti
mengidentifikasi masalah yang antara lain sebagai berikut:
1. Beberapa waralaba minimarket yang berdiri tidak sesuai dengan ketentuan
yang sudah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern, yaitu waralaba yang dibangun kurang dari radius 500M dengan
pasar tradisional;
2. Ada multi tafsir pasal dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan
Toko Modern antara pasal 4 (1) a dengan Pasal 10 (2) b;
3. Tidak satupun ditemukan produk lokal baik panganan maupun produk
barang yang dipasarkan oleh waralaba minimarket tersebut. Padahal
berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern;
4. Pihak Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu
Pintu (BPMPPTSP) Kabupaten Pandeglang sebagai institusi yang terkait
perizinan waralaba minimarket tidak memperhatikan beberapa aspek salah
satunya seperti masalah jarak serta aspek sosial lain sehingga
menyebabkan menjamurnya waralaba minimarket.
Page 25
12
1.3. Batasan Masalah
Penelitian ini peneliti lakukan untuk mengetahui sejauhmana Implementasi
Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern
berjalan di Kabupaten Pandeglang.
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka
permasalahan pokok yang dapat peneliti rumuskan dalam penelitian ini yaitu
bagaimana Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12
Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan
Toko Modern berjalan di Kabupaten Pandeglang.
1.5. Tujuan Penelitian
Tanpa adanya tujuan penelitian, maka seorang peneliti tentunya akan
mengalami kesulitan dalam melakukan penelitian. Sesuai dengan latar belakang
dan rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui
bagaimana Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12
Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan
Toko Modern berjalan di Kabupaten Pandeglang dan pengaruhnya terhadap
menjamurnya waralaba minimarket di Kabupaten Pandeglang
Page 26
13
1.6. Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini antara lain sebagai
berikut:
a. Secara Teoritis
Secara teoritis penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan keilmuan dan
pengetahuan karena akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam
dunia akademis khususnya Ilmu Administrasi Negara, terutama yang
berkaitan dengan kinerja aparatur pemerintah. Selain itu, penelitian ini
juga dapat bermanfaat untuk pengembangan studi administrasi negara.
b. Secara Praktis
Bagi peneliti, diharapkan penelitian ini dapat mengembangkan
kemampuan dan penguasaan ilmu-ilmu yang pernah diperoleh peneliti
selama mengikuti pendidikan di Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa hingga saat ini. Selain itu, karya
peneliti dapat dijadikan bahan informasi dan referensi bagi pembaca dan
peneliti selanjutnya.
1.7. Sistematika Penelitian
BAB I PENDAHULUAN
Terdiri dari latar belakang yang menjelaskan ruang lingkup dan
kedudukan masalah yang akan diteliti dalam bentuk deduktif, dari ruang
Page 27
14
lingkup yang paling umum hingga mengerucut kepada lingkup yang paling
khusus. Kemudian selanjutnya, identifikasi masalah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI
DASAR PENELITIAN
Dalam bab ini akan dijelaskan landasan teori yang akan mendukung
penelitian ini dari metode – metode yang menjadi dasar bagi analisa
permasalahan yang ada dan pemecahan tersebut. Landasan teori ini didapat
dari studi pustaka mengenai hal – hal yang berhubungan dengan penelitian
skripsi ini.
BAB III METODE PENELITIAN
Metode penelitian membahas tentang jenis pendekatan, lokasi penelitian,
tehnik pengumpulan data, tehnik analisis data.
BAB IV HASIL PENELITIAN
Bab ini merupakan pokok pembahasan dari permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini, yang meliputi gambaran umum Kota Cilegon,
Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi, Pelaksanaan Pemungutan
retribusi pasar, hambatan hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan
pemungutan retribusi pasar dan upaya untuk mengatasi hambatan tersebut.
Memperlihatkan metode – metode analisis yang dilakukan selama penelitian
serta hasil dari penelitian – penelitian tersebut.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bab akhir dari keseluruhan penulisan ini yang berisi
kesimpulan yang merupakan hasil dari kegiatan penelitian mengenai
Page 28
15
permasalahan yang diangkat dengan menggunakan metode-metode yang
telah disebutkan. Bab ini juga menyertakan saran-saran yang mungkin
diperlukan bagi penelitian.
Page 29
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR
PENELITIAN
2.1. Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka dalam penelitian ini merupakan acuan uraian yang
sistematis tentang teori-teori yang di terapkan dalam penelitian menurut pendapat
pakar atau peneliti dan buku, hasil-hasil penelitian yang relevan dengan variabel
yang diteliti. Deskripsi teori ini berisi tentang beberapa penjelasan terhadap
variabel-variabel yang diteliti, melalui pendefinisian, dan uraian yang lengkap dan
mendalam dari berbagai referensi, sehingga ruang lingkup, kedudukan dan
prediksi terhadap hubungan antar variabel yang akan diteliti menjadi lebih jelas
dan terarah. (Sugiyono, 2005: 63)
Menurut Snelbecker dalam Moleong (2013: 57), mendefinisikan teori
sebagai seperangkat proposisi yang berinteraksi secara sintaksi (yaitu yang
mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis dengan lainnya
dengan data atas dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk
meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.
Menurut Kerlinger (1978) dalam Sugiyono (2012:52), mengemukakan
bahwa:
“Theory is a set of interrelated construct (concepts), definition, and
proposition that present a systematic view of phenomena by specifying
relations among variabels, with purpose of explaning and predicting the
phenomena” (Teori adalah seperangkat konstruk (konsep), dafinisi, dam
16
Page 30
17
proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik,
melalui, spesifikasi hubungan antar variabel hingga dapat berguna untuk
menjelaskan dan meramalkan fenomena).
Dari keterangan di atas bias kita simpulkan bahwa teori adalah suatu
proporsi yang sudah didefinisikan secara luas sesuai dengan hubungan unsur-
unsur dalam proporsi tersebut secara jelas.
2.1.1. Pengertian Kebijakan
Kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil
oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan
dan cara untuk mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat
kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.
Bagi para pemegang kekuasaan yang berwenang dalam membuat
kebijakan-kebijakan, tentu perlu pertimbangan serta peninjauan secara
seksama. Karena kebijakan-kebijakan yang dibuat memiliki dampak yang
luas, tidak hanya oleh kelompok tertentu, namun masyarakat juga dapat
merasakan dampak tersebut.
Pada dasarnya, kebijakan dibuat untuk melakukan tindakan
pencegahan dan bukan saat telah terjadi atau sudah terjadi. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kebijakan didefinisikan sebagai rangkaian konsep
dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan
suatu pekerjaan, kepemimpinan, serta cara bertindak (tentang pemerintah,
organisasi, dan sebagainya).
Page 31
18
Menurut Dunn (2003: 51), kebijakan didefinisikan dari asal
katanya. Secara etimologis, istilah policy atau kebijakan berasal dari
bahasa Yunani, Sanksekerta dan Latin, akar kata dalam bahasa Yunani dan
Sanksekerta yaitu polis (Negara-Kota) dan pur (Kota) dan memliki arti
suatu pedoman dasar atau rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan
yang menyangkut Negara dan Kota.
Sedangkan Hogwood dan Gunn dalam Wicaksana (2006: 53),
menyebutkan sepuluh penggunaan istilah kebijakan dalam pengertian
modern, diantaranya:
a. Sebagai label untuk sebuah bidang aktivitas (as a label for a
field of activity)
Contohnya: statemen umum pemerintah tentang kebijakan
ekonomi, kebijakan industry, atau kebijakan hukum dan
ketertiban.
b. Sebagai ekspresi tujuan umum atau aktivitas negara yang
diharapkan (as expression of general purpose or desired state
of affairs)
Contohnya: untuk menciptakan lapangan kerja seluas mungkin
atau pegembangan demokrasi melalui desentralisasi.
c. Sebagai proposal spesifik (as specific proposal)
Contohnya: membatasi pemegang lahan pertanian hingga 10
hektar atau menggratiskan pendidikan dasar.
d. Sebagai keputusan pemerintah (as decesions of government)
Contohnya: keputusan kebijakan sebagaimana yang
diumumkan Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden.
e. Sebagai otorisasi formal (as formal authorization)
Contohnya: tindakan-tindakan yang diambil oleh parlemen atau
lembaga-lembaga pembuat kebijakan lainnya.
f. Sebagai sebuah program (as a programe)
Contonya: sebagai ruang aktivitas pemerintah yang sudah
didefinisikan, seperti program reformasi agrarian atau program
peningkatan kesehatan perempuan.
g. Sebagai output (as output)
Page 32
19
Contohnya: apa yang secara aktual telah disediakan, seperti
sejumlah lahan yang diredistribusikan dalam program
reformasi agraria dan jumlah penyewa yang terkena
dampaknya.
h. Sebagai hasil (as outcome)
Contohnya: apa yang secara aktual tercapai, seperti dampak
terhadap pendapatan petani dan standar hidup dan output
agrikultural dari program reformasi agararia.
i. Sebagai teori atau model (as a theory or model)
Contohnya apabila kamu melakukan x maka akan terjadi y,
misalnya apabila kita meningkatkan insentif kepada industri
manufaktur, maka output industry akan berkembang.
j. Sebagai sebuah proses (as a process)
Sebagai sebuah proses yang panjang yang dimulai dengan
issues lalu bergerak melalui tujuan yang sudah di (setting),
pengambilan keputusan untuk implementasi dan evaluasi.
Dari teori diatas bias kita tarik kesimpulan bahwa kebijakan adalah
suatu pedoman dasar atau konsep dalam pelaksanaan suatu pekerjaan atau
program, kepemimpinana dan cara bertindak. Istilah kebijakan ini dapat
kita terapkan pada birokrasi pemerintahan, organisasi, dan kelompok
sektor swasta, serta individu.
2.1.2. Kebijakan Publik
Setelah memahami definisi dari kebijakan yang telah dikemukakan
sebelumnya, yang selanjutnya akan dijelaskan adalah pengertian dari
kebijakan publik. Kebijakan publik dalam kepustakaan internasional
disebut public policy. Dengan adanya tujuan yang ingin direalisasikan dan
adanya masalah publik yang harus diatasi, maka pemerintah perlu
membuat suatu kebijakan publik. Kebijakan yang merupakan sekumpulan
keputusan-keputusan yang ditetapkan, yang bertujuan dalam melindungi
Page 33
20
serta membatasi perilaku atau tindakan masyarakat sesuai dengan norma-
norma yang berlaku di dalam masyarakat. Karena para pembuat kebijakan
perlu mencari tahu dan meninjau terlebih dulu terkait isu-isu masalah apa
yang terjadi di masyarakat. Masyarakat adalah sumber utama dalam
penyusunan kebijakan publik. Kebijakan ini untuk keberhasilannya tidak
hanya didasarkan atas prinsip-prinsip ekonomis, efisiensi dan
administratif, akan tetapi juga harus didasarkan atas pertimbangan etika
dan moral.
Eulau dan Prewitt dalam Agustino (2012: 6-7), dalam persepektif
mereka mendefinisikan kebijakan publik sebagai: “keputusan tetap’ yang
dicirikan dengan konsistensi dan pengulangan (repitisi) tingkah laku dari
mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan
tersebut.”
Definisi lain dikemukakan oleh Dye dalam Agustino (2012: 7),
bahwa:
“kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk
dikerjakan atau tidak dikerjakan” seperti ungkapannya dalam
Subarsono (2005:2)public policy is whatever governments choose
to do or not to do).
Sedangkan menurut Dunn dalam Wicaksana (2006: 64), Kebijakan
publik ialah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan
kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk
tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah.Rose
berupaya mengemukakan definisi lain dalam Agustino (2012: 7), yaitu
Page 34
21
kebijakan publik sebagai, ”sebuah rangkaian panjang dari banyak atau
sedikit kegiatan yang saling berhubungan dan memiliki konsekuensi bagi
yang berkepentingan sebagai keputusan yang berlainan.”
Frederick (1963: 79), mendefinisikan kebijakan publik sebagai
serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman peluang
yang ada. Kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk
memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam
rangka mencapai tujuan tertentu. Sedangkan menurut Laswell dan Kaplan
(1970: 71), kebijakan publik adalah suatu program yang diproyeksikan
dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik
tertentu.
Anderson (1978) sebagaimana dikutip Tachjan (2006: 16),
mengemukakan bahwa, “Public policies are those policies developed by
governmental bodies and officials”. Maksudnya, kebijakan publik adalah
kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-
pejabat pemerintah. Adapun tujuan penting dari kebijakan tersebut dibuat
pada umumnya dimaksudkan untuk:
1. Memelihara ketertiban umum (negara sebagai stabilisator)
2. Melancarkan perkembangan masyarakat dalam berbagai hal
(negara sebagai perangsang, stimulator)
3. Menyesuaikan berbagai aktivitas (negara sebagai koordinator)
4. Memperuntukkan dan membagi berbagai materi (negara
sebagi pembagi, alokator).
Page 35
22
Widodo (2007:12) mendefinisikan kebijakan publik adalah
“serangkaian tujuan dan sasaran dari program-program pemerintah”.
Kebijakan publik merupakan suatu pilihan atau tindakan yang
menghasilkan suatu keputusan yang diambil oleh pemerintah untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang bertujuan mencapai
tujuan yang telah ditetapkan untuk kepentingan masyarakat. Sebagaimana
yang dikatakan Inu Kencana (2010) dalam bukunya Pengantar Ilmu
Pemerintahan, bahwa public policy dapat menciptakan situasi dan dapat
pula diciptakan oleh situasi.
Dari definisi-definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa kebijakan
publik adalah serangkaian tujuan dan saran serta keputusan tetap yang
dicirikan dengan konsistensi dan suatu pilihan atau tindakan yang
menghasilkan suatu keputusan yang diambil oleh pemerintah untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal untuk tujuan yang telah
ditetapkan demi kepentingan masyarakat.
2.1.3. Tahap-Tahap Kebijakan Publik
Tahap-tahap pembuatan kebijakan publik menurut Dunn (2000 :
24), ialah sebagai berikut.
a. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah
pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama
sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
Page 36
23
b. Formulasi Kebijakan
Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk
mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya
membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan
tindakan legislatif.
c. Adopsi/Legitimasi Kebijakan
Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari
mayoritas legislatif, konsensus di antara direktur lembaga,
atau keputusan peradilan.
d. Implementasi Kebijakan
Kebijakan yang telah diambil, dilaksanakan oleh unit-unit
administrasi yang memobilisasi sumber daya finansial dan
manusia.
e. Penilaian/Evaluasi Kebijakan
Unit-unit pemeriksaan dan akuntansi dalam pemerintahan
menentukan apakah badan-badan eksekutif, legislatif, dan
peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam
pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.
2.1.4. Implementasi Kebijakan Publik
Pada tahap selanjutnya dalam deskripsi teori ini akan dikemukakan
definisi implementasi kebijakan publik, setelah sebelumnya diuraikan
tentang definisi formulasi kebijakan publik. Menurut Meter dan Horn
dalam Wibawa (1994:21), mendefinisikan implementasi kebijakan,
sebagai:
“Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu
atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah
atauswasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang
telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”
Sedangkan Mazmanian dan Sabatier dalam Agustino (2012:139),
mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai:
“Pelaksanaan keputusan-keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya
dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk
Page 37
24
perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting
atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut
mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan
secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai
cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya”
Dari kedua definisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi
kebijakan adalah suatu tindakan yang dilakukan/pelaksanaan oleh
individu-individu atau pejabat-pejabat dalam kegiatan yang diarahkan
untuk mencapai suatu tujuan dan menghasilkan sesuatu dari kegiatan yang
telah dilaksanakan.
Dari uraian di atas bisa dikatakan bahwa implementasi dapat dilihat
dari proses dan capaian tujuan berupa hasil akhir. Ini sesuai dengan yang
kemukakan oleh Lester dan Stewart dalam Agustino (2012:139), dimana
mereka mengatakan bahwa implementasi sebagai suatu proses dan
pencapaian suatu hasil akhir (output), yaitu: tercapai atau tidaknya tujuan-
tujuan yang ingin diraih.
Grindle pun berpendapat hampir serupa dengan pernyataan
sebelumnya dalam Agustino (2012:139), bahwa:
“Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari
prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program
sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat pada action
program dari individual project dan yang kedua apakah tujuan
program tersebut tercapai”
Definisi lain dikemukakan Pressman dan Wildavsky dalam
Parsons (2001:468),yaitu:
Page 38
25
”Implementasai menjadikan orang melakukan apa-apa yang
diperintahkan dan mengontrol urutan tahap dalam sebuah sistem
dan implementasi adalah soal pengembangan sebuah program
kontrol yang meminimalkan konflik dan deviasi dari tujuan yang
ditetapkan oleh hipotesis kebijakan”.
Dari keseluruhan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
implementasi kebijakan merupakan serangkaian aktivitas atau kegiatan
yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan untuk mencapai tujuan atau
sasaran yang telah ditetapkan dan dapat memberikan hasil dari aktivitas
atau kegiatan tersebut.
2.1.5. Model Pendekatan Implementasi Kebijakan Publik
Berikutnya akan diuraikan beberapa model implementasi kebijakan
publik menurut beberapa ahli diantaranya yaitu :
1) Model Donald Van Meter dan Carl Van Horn
Meter dan Horn dalam Agustino (2012:141), yang biasa disebut
juga A Model of The Policy Implementation,proses implementasi ini
merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu implementasi
kebijakan yang pada dasarnya sengaja dilakukan untuk meraih kinerja
implementasi kebijakan publik yang tinggi yang berlangsung dalam
hubungan berbagi variabel. Model ini mengandaikan bahwa
implementasi kebijakan berjalan secara linier dari keputusan politik
yang tersedia, pelaksana, dan kinerja kebijakan publik.
Page 39
26
Ada enam variabel menurut Van Metter dan Van Horn dalam
Agustino (2012:142), yang mempengaruhi kinerja kebijakan public
tersebut, adalah:
1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan.
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat
keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan
dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur
mengada di level pelaksana kebijakan.
2. Sumberdaya.
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat
tergantung dari kemampuan memanfaatkan
sumberdayayang tersedia. Manusia merupakan
sumberdaya yang terpenting dalam menentukan suatu
keberhasilan proses implementasi.
3. Karakteristik Agen Pelaksana.
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi
formal dan organisasi informal yang akan terlibat
pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat
penting karena kinerja implemenrasi kebijakan (publik)
akan sangat banyak dipengaruhi oleh cirri-ciri yang tepat
serta cocok dengan para agen pelaksananya.
4. Sikap/Kecenderungan (Disposotion) para Pelaksana.
Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana
akan sanagat banyak mempengaruhi keberhasilan atau
tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik.
5. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana.
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam
implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi
komunikasi antar pihak-pihak yang terlibat dalam suatu
proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-
kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi. Dan begitupula
sebaliknya.
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik.
Sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong
keberhasilan kebijakan publik yang telah
ditetapkan.Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang
tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan
kinerja implementasi kebijakan.
Page 40
27
Gambar 2.1 Model Pendekatan The Policy Implementation process
(Donald Van Metter dan Carl Van Horn, dalam Agustino, 2012: 144)
2) Model Mazmanian dan Sabatier
Dalam Nugroho (2011:629), dijelaskan bahwa model ini
dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)
yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan
keputusan kebijakan. Model Mazmanian dan Sabatier disebut model
Kerangka Analisis implementasi (A framework for implementation
Analysis). Duet Mazmanian Sabatier mengklasifkasikan proses
implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel.
1. Variabel independen, yaitu mudah-tidaknya masalah
dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah
teori dan teknis pelaksanaan, keragamaan objek, dan
perubahan seperti apa yang dikehendaki.
KEBIJAKAN
PUBLIK
Standar dan
tujuan
Standar dan
tujuan
Aktivitas
implemetasi dan
komunikasi
Antarorganisasi
Karakteristik dari
Agen Pelaksana
Kondisi Ekonomi,
Sosial, dan Politik
Kecenderungan/
Disposisi dari
Pelaksana
KINERJA
KEBIJAKAN
PUBLIK
Page 41
28
2. Variabel intervening, yaitu variabel kemampuan
kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi
dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan,
dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber
dana, keterpaduan hierarkis diantara lembaga pelaksana,
aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan
pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar; dan
variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses
implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi
sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan
risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi,
dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat
pelaksana.
3. Variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses
implementasi dengan lima tahapan-pemahaman dari
lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya
kebijakan pelaksana, kepatuhan objek, hasil nyata,
penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya
mengarah pada revisi atau kebijakan yang dibuat dan
dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan
yang bersifat mendasar.
Page 42
29
3) Model Hogwood dan Gunn
Model yang selanjutnya atau model yang ketiga adalah model
Brian W.Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978) dalam Nugroho
(2011:630). Menurut kedua pakar ini, untuk melakukan implementasi
kebijkan diperlukan beberapa syarat. Syarat pertama berkenaan
dengan jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi lembaga/badan
pelaksana tidak akan menimbulkan maslah besar. Syarat kedua, apakah
untuk melaksanakannya tersedia sumber daya yang memadai,
termasuk sumber daya waktu. Syarat ketiga, apakah perpaduan
sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada. Syarat keempat,
apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan
kausalyang andal. Syarat kelima, seberapa banyak hubungan kausalitas
yang terjadi. Syarat keenam, apakah hubungan saling kebergantungan
kecil. Syarat ketujuh, pemahaman yang mendalam dan kesepakatan
terhadap tujuan. Syarat kedelapan, bahwa tugas-tugas telah dirinci dan
ditempatkan dalam urutan yang benar. Syarat kesembilan, koordinasi
dan komunikasi yang sempurna. Syarat kesepuluh, bahwa pihak-pihak
yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan
kepatuhan yang sempurna.
Page 43
30
4) Model Goggin, Bowman, dan Lester
Dalam Nugroho (2011:633), Malcolm Goggin, Ann Bowman,
dan James Lestermengembangkan apa yang disebutnya sebagai
“communication model” untuk implementasi kebijakan, yang
disebutnya sebagai “Generasi Ketiga Model Implementasi Kebijakan”
(1990). Goggin, dkk. Bertujuan mengembangkan sebuah model
implementasi kebijakan yang “lebih ilmiah” dengan mengedepankan
pendekatan “metode penelitian” dengan adanya variabel independen,
intervening, dan dependen, dan meletakkan faktor “komunikasi”
sebagai penggerak dalam implementasi kebijakan.
5) Model Grindle
Menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994:22),
implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks
implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan
ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan.
Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari
kebijakan tersebut. Isi kebijakannya mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan
2) Jenis manfaat yang dihasilkan
3) Derajat perubahan yang diinginkan
4) Kedudukan pembuat kebijakan
5) Pelaksana program
6) Sumber daya yang dikerahkan
Page 44
31
Sementara itu, dari isi yang mencakup hal-hal yang di atas
terdapat konteks implementasinya adalah sebagai berikut:
1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
2) Karakteristik lembaga dan penguasa
3) Kepatuhan dan daya tanggap
Gambar 2.2 Model Implementasi Kebijakan Menurut Grindle dalam
Wibawa (1994:22)
6) Model Elmore, dkk.
Model ini disusun oleh Richard Elmore (1979), Michael Lipsky
(1971), dan Benny Hjern & David O’Porter dikemukakan dalam
Page 45
32
Nugroho (2011:635-636), bahwa dalam model ini dimulai dari
mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan
dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan
kontak-kontak yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan
pada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk
mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau tetap melibatkan
pejabat pemerintah namun hanya di tataran rendah.
7) Model George C. Edward III
Dalam Agustino (2012: 150-153), dijelaskan bahwa model
implementasi yang dikembangkan oleh Edward III berspektif top
down. Edward III menanamkan model implementasi kebijakan
publiknya dengan Direct and Indirect Impact on Implementation.
Dalam pendekatan yang diteoremakan oleh Edward III, terdapat empat
variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu
kebijakan, yaitu: (1) komunikasi; (2) sumberdaya; (3) disposisi; dan
(4) struktur birokrasi.
Page 46
33
Gambar 2.3
Model Pendekatan Direct and Indirect Impact on Implementation (George
Edward III) Agustino (2012:150-153)
Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi suatu kebijakan, menurut George Edward III, adalah
komunikasi. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau
digunakan) dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi, yaitu:
1) Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat
menghasilkan suatu implementasi yang baik pula.
Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi
adalah adanya salah pengertian (miskomunikasi), hal
tersebut disebagiankan karena komunikasi telah melalui
beberapa tingkatan birokrasi, sehingga apa yang
diharapkan terdistorsi ditengah jalan. 2) Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana
kebijakan (street-level-bureuacrats) haruslah jelas dan
tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua).
Ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi
implementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana
membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan
kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain haltersebut justru
akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh
kebijakan yang telah ditetapkan.
KOMUNIKA
SI
SRUKTUR
BIROKRASI
SUMBER
DAYA
DISPOSISI
IMPLEMENT
ASI
Page 47
34
3) Konsisitensi; perintah yang diberikan dalam pelaksanaan
suatu komunikasi haruslah konsisten dan jelas (untuk
diterapkan atau dijalankan). Krena jika perintah yang
diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan
kebingungan bagi pelaksana dilapangan.
Variabel atau faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan
suatu kebijakan implementasi suatu kebijakan adalah sumberdaya.
Indikator sumber-sumberdaya terdiri dari beberapa elemen, yaitu:
1) Staf; sumber daya utama dalam implementasi kebijakan
adalah staf. Kegagalan yang sering terjadi dalam
implementasi kebijakan salah satunya disebagiankan oleh
karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun
tidak kompeten dibidangnya. Penambahan jumlah staf
dan implementor saja tidak mencukupi, tetapi diperlukan
pula kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan
yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam
mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan
tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.
2) Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi
mempunyai dua bentuk, yaitu pertama informasi yang
berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan.
Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka
lakukan disaat mereka diberi perintah untuk melakukan
tindakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari
para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi
pemerintah yang telah ditetapkan. Implementor harus
mengetahui apakah orang lain yang terlibat di dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.
3) Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat
formal agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan
merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana
dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara
politik. Ketika wewenang itu nihil, maka kekuatan para
implementor dimata publik tidak terlegitimasi, sehingga
dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan.
4) Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting
dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin
memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang
dilakukannya, dan memiliki wewenang untuk
Page 48
35
melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas
pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi
kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
Variabel ketiga yang mempengaruhi tingkat keberhasilan
implementasi kebijakan publik adalah disposisi. Hal-hal penting yang
perlu dicermati pada variabel disposisi, menurut George Edward III,
adalah:
1) Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap para
pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang
nyata terhadap implementasi kebijakan bila personil yang
ada tidak melaksanakan kebijkan-kebijakan yang
diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Karena itu,
pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan
haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada
kebijakan yang telah ditetapkan; lebih khusus lagi bagi
kepentingan warga.
2) Insentif, Edward menyatakan bahwa salah satu teknik
yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan
para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif.
Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut
kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif
oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan
para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah
keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi
faktor pendorong yang membuat para pelaksana
kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi
(self interest) atau organisasi.
Variabel keempat, yang mempengaruhi tingkat keberhasilan
implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun
sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau
para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan,
dan mempunyai keinginan untuk melaksankan suatu kebijakan,
Page 49
36
kemungkinan suatu kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau
terealisasi karena terdapatnya kelemahan dalam suatu struktur
birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerja
sama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada
kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebagiankan
sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif dan menghambat
jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan
harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik
dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.
Dari beberapa teori yang peneliti jelaskan pada uraian di atas,
peneliti hanya mengambil salah satu teori yang peneliti anggap paling
cocok untuk menyelesaikan penelitian yang peneliti lakukan yaitu
Teori Donald Van Metter dan Carl Van Horn (A Model of The Policy
Implementation), yang dikutip dalam Agustino (2012: 141-144), terdapat
enam variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik, yaitu,
ukuran dan tujuan kebijakan, sumberdaya, karakteristik agen
pelaksana, sikap/kecenderungan (Disposition) para pelaksana,
komunikasi antarorganisasi dan aktivitas pelaksana, serta lingkungan
ekonomi, sosial, dan politik.
2.1.6. Waralaba
Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2007 tentang Waralaba : “Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh
Page 50
37
orang perseorangan atau badan usaha terhadap system bisnis dengan cirri
khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan / atau jasa yang telah
terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan / atau digunakan oleh pihak
lain berdasarkan perjanjian waralaba”.
Waralaba menurut Keputusan Mentri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia No.259/MPR/Kep/7/1997 Tentang
Ketentuan dan tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, yaitu
adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau
penemuan atau cirri khas usaha yang dimiliki oleh pihak lain dengan suatu
imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan dalam rangka
menyediakan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan
dalam rangka menyediakan dan atau penjualan barang dan jasa.
Adapun Waralaba Menurut Peraturan Daerah Kabupaten
Pandeglang No.12 Tahun 2010 tentang pedoman penyelenggaraan
waralaba, pusat perbelanjaan dan toko modern waralaba adalah
merupakan hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan
usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka
memasarkan barang atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian
waralaba.
Di Indonesia, sistem waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an,
yaitu dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembelian
Page 51
38
lisensi. Perkembangan kedua dimulai pada tahun 1970-an, yaitu dengan
dimulainya sistem pembelian lisensi plus, yaitu pewaralaba tidak sekedar
menjadi penyalur, namun juga memiliki hak untuk memproduksi
produknya. Agar waralaba dapat berkembang dengan pesat, maka
persyaratan utama yang harus dimiliki satu teritori adalah kepastian hukum
yang mengikat baik bagi pengwaralaba maupun pewaralaba. Karenanya,
kita dapat melihat bahwa di negara yang memiliki kepastian hukum yang
jelas, waralaba berkembang pesat, misalnya di AS dan Jepang.
2.2. Penelitian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan di cantumkan
beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah peneliti
baca, yaitu:
1. Skripsi Yogi Muhamad Akbar (2015) yang berjudul Pengawasan
Penyelenggaraan Waralaba Oleh Badan Penanaman Modal dan
Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (BPMPPTSP) Kabupaten
Pandeglang. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif.
Penelitian ini mengkaji mengenai pengawasan yang dilakukan oleh
BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang terhadap penyelenggaraan waralab
di Kabupaten Pandeglang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengawasan yang dilakukan oleh BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang
belum berjalan secara optimal.
Page 52
39
2. Skripsi Sandy Negara (2015) dalam penelitiannya yang berjudul
“Implementasi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2010 Tentang
Pengelolaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Kota Serang”.
Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini
mengkaji mengenai Implementasi Perda No. 5 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Kota Serang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Implementasi Perda No. 5 Tahun 2010
tersebut belum berjalan secara baik dan optimal.
3. Skripsi Agus Prasetyo Universitas Mataul Anwar (UNMA). Penelitian
dengan judul Pengaruh Keberadaan Waralaba Terhadap Pedagang
Kecil di Kabupaten Pandeglang. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui dampak keberadaan waralaba terhadap pedagang kecil di
Kabupaten Pandeglang. Hasil penelitian menunjukan bahwa
keberadaan waralaba di Kabupaten Pandeglang seperti indomart dan
alfamart disatu sisi membawakan dampak positif terhadap
perkembangan prekonomian didaerah dan menciptakan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat pandeglang namun disisi keberadaan
waralaba juga membawakan dampak negative bagi iklim
perekonomian didaerah karena terjadi persaingan tidak sehat antara
waralaba dan pedagang kecil didaerah. Saran dari peneliti adalah
kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan waralaba di pandeglang
harus lebih memperhatikan pedagang kecil dengan membuat aturan
Page 53
40
yang lebih memperhatikan keberadaan pedagang kecil atau pasar
tradisional.
2.3. Kerangka Berfikir
Menurut Sugiyono (2008: 60), kerangka berfikir adalah sintesa tentang
hubungan antar-variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah
dideskripsikan. Dan berdasarkan teori-teori yang telah dideskripsikan, selanjutnya
dianalisis secara kritis dan sistematis sehingga menghasilkan sintesa tentang
hubungan antar-variabel yang diteliti. Sementara Sekaran dalam Sugiyono (2008:
65) mengemukakan bahwa kerangka berfikir merupakan model konseptual
tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah
diidentifikasikan sebagai masalah yang penting. Oleh karenanya peneliti
berangkat dari identifikasi masalah untuk membuat kerangka berfikir. Adapun
permasalah-permasalahan yang ada terkait dengan Implementasi Peraturan Daerah
Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern di Kabupaten Pandeglang adalah sebagai berikut:
1. Beberapa waralaba minimarket yang berdiri tidak sesuai dengan
ketentuan yang sudah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 12
Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern;
Page 54
41
2. Ada multi tafsir pasal dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan
Toko Modern antara pasal 4 (1) a dengan Pasal 10 (2) b;
3. Tidak satupun ditemukan produk lokal baik panganan maupun produk
barang yang dipasarkan oleh waralaba minimarket tersebut. Padahal
berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern;
4. Pihak Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu
Satu Pintu (BPMPPTSP) Kabupaten Pandeglang sebagai institusi
yang terkait perizinan waralaba minimarket tidak memperhatikan
beberapa aspek sehingga menyebabkan menjamurnya waralaba
minimarket.
Dibawah ini akan dikemukakan mengenai indikator Implementasi yang
menjadi titik acuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
Implementasi Perda ini belum berjalan dengan baik. Dengan menggunakan
indikator Implementasi Kebijakan Publik menurut Van Metter dan Van Horn (A
Model of The Policy Implementation), yang dikutip dalam Agustino (2012:141-144),
terdapat enam variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik, yaitu:
1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan.
2. Sumberdaya.
3. Karakteristik Agen Pelaksana.
4. Sikap/Kecenderungan (Disposition) para Pelaksana.
5. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana.
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik.
Page 55
42
Variabel Implementasi Kebijakan Publik yang disebutkan diatas, dinilai
dan dianggap lebih rasional dan tepat untuk menjawab permasalahan-
permasalahan yang ada pada Implementasi Perda ini. Untuk memahami lebih jelas
dari kerangka berfikir penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.4 berikut:
Gambar 2.4
Kerangka Berfikir Penelitian
Sumber : Hasil analisis Konsep Peneliti 2016
OUTPUT:
Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor
12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba
Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern berjalan baik
Input:
1. Ada beberapa waralaba minimarket yang
berdiri tidak sesuai dengan ketentuan
yang sudah diatur dalam Peraturan Daerah
Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern;
2. Ada multi tafsir pasal dalam Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Waralaba
Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern
antara pasal 4 (1) a dengan Pasal 10 (2) b;
3. Tidak satupun peneliti menemukan
produk lokal baik panganan maupun
produk barang yang dipasarkan oleh
waralaba minimarket tersebut. Padahal
berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 12
Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern;
4. Pihak Badan Penanaman Modal dan
Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu
(BPMPPTSP) Kabupaten Pandeglang
sebagai institusi yang terkait perizinan
waralaba minimarket tidak
memperhatikan beberapa aspek sehingga
menyebabkan menjamurnya waralaba
minimarket.
Proses:
Teori Donald Van Metter dan Carl Van Horn (A Model
of The Policy Implementation), yang di kutip Agustino,
terdapat enam variabel yang mempengaruhi kinerja
kebijakan publik, yaitu:
1) Ukuran dan Tujuan Kebijakan
2) Sumberdaya
3) Karakteristik Agen Pelaksana
4) Sikap/Kecenderungan (Disposition) para
Pelaksana
5) Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas
Pelaksana
6) Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
IMPACT:
Perkembangan Perekonomian di Kabupaten Pandeglang
Page 56
43
2.4. Asumsi Dasar Penelitian
Berdasarkan observasi pendahuluan yang peneliti lakukan serta merujuk
kepada konsep kerangka berfikir di atas, maka peneliti berasumsi bahwa
Implementasi Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern di Kabupaten
Pandeglang dalam realitanya ternyata masih belum optimal.
Page 57
44
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Pendekatan dan Metode Penelitian
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti
kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris,
dan sistematis. Rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara
yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. Empiris berarti
cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indera manusia, sehingga orang
lain dapat mengenali dan mengetahui cara-cara yang digunakan. Sistematis artinya
proses yang digunakan dalam penelitian itu menggunakan langkah-langkah
tertentu yang bersifat logis. Data yang diperoleh melalui penelitian ini adalah data
empiris (teramati) yang mempunyai kriteria tertentu yaitu valid. Valid
menunjukkan derajat ketepatan antara data yang sesungguhnya terjadi pada obyek
dengan data yang dapat dikumpulkan oleh peneliti.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Metode penelitian kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang
mendalam, suatu data yang mengandung makna atau data yang sebenarnya.
Penelitian kualitatif ini juga tidak semata-mata mencari kebenaran, tetapi pada
pemahaman peneliti terhadap apa yang di teliti.
44
Page 58
45
3.2. Ruang Lingkup dan Fokus Penelitian
Penelitian mengenai Implementasi Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern di Kabupaten Pandeglang. Oleh karena itu peneliti hanya membatasi
penelitian ini pada bagaimana Implementasi Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun
2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern di Kabupaten Pandeglang.
3.3. Lokasi Penelitian
Penelitian mengenai Implementasi Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern di Kabupaten Pandeglang ini dilaksanakan di kawasan wilayah
Kabupaten Pandeglang.
3.4. Variabel Penelitian
3.4.1 Definisi Konsep
Teori implementasi yang digunakan adalah Teori Donald Van
Metter dan Carl Van Horn (A Model of The Policy
Implementation), yang di kutip Agustino.
3.4.2 Definisi Operasional
Terdapat enam variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan
publik, yaitu:
Page 59
46
1) Ukuran dan Tujuan Kebijakan
2) Sumberdaya
3) Karakteristik Agen Pelaksana
4) Sikap/Kecenderungan (Disposition) para Pelaksana
5) Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana
6) Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
3.5. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini instrument penelitian yang digunakan ialah peneliti
sendiri, kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif adalah sebagai perencana,
pelaksana pengumpulan data, analis, dan pelapor hasil penelitiannya. Menurut
Irawan (2006:17) satu-satunya instrumen terpenting dalam penelitian kualitatif
adalah peneliti itu sendiri. Nasution dalam Sugiyono (2008:223) menyebutkan
alasan manusia sebagai instrumen penelitian utama:
“Dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan
manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya ialah bahwa,
segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus
penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil
yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan
jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang
penelitian itu. Dalam keadaan yang serba tidak pasti dan tidak jelas itu,
tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai alat satu-
satunya yang dapat mencapainya.”
Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri,
sehingga dalam penelitian ini, peneliti harus bersifat netral agar penelitian yang
dihasilkan tidak bersifat subjektif. Dengan demikian, posisi peneliti sangat penting
karena sebagai instrumen penelitian.
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari sumbernya secara
Page 60
47
langsung, seperti wawancara dan observasi. Sedangkan, data sekunder adalah data
yang telah tersedia dan diperoleh secara tidak langsung. Data sekunder ini
dijadikan sebagai data tambahan untuk memperkuat penelitian, seperti dokumen,
peraturan daerah, gambar, rekaman, dan lain-lain. Adapun alat-alat tambahan
yang digunakan peneliti dalam mengumpullkan data berupa panduan wawancara,
buku catatan, dan handphone untuk mengambil gambar atau foto dan untuk
merekam hasil wawancara.
3.6. Informan Penelitian
Penelitian yang berjudul Implementasi Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun
2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern di Kabupaten Pandeglang, penentuan informannya menggunakan teknik
purposive (bertujuan), Teknik purposive adalah teknik penentuan informan
berdasarkan pada pertimbangan tertentu. Adapun pertimbangan tersebut
didasarkan pada informan yang mengetahui secara jelas dan tepat informasi
mengenai masalah dalam penelitian ini. Menurut Bungin (2007:53), penentuan
informan yang terpenting dalam penelitian kualitatif adalah bagaimana
menentukan key informan (informan kunci) atau situasi sosial tertentu yang sarat
informasi sesuai dengan fokus penelitian.
Page 61
48
Tabel 3.1.
Informan Penelitian
Informan Spesifikasi Informan Keterangan
I1 Kepala BPMPPTSP Kab.Pandeglang Key Informan
I2 Kepala Bidang Sistem Informasi dan
Pengendalian BPMPPTSP
Kab.Pandeglang
Key Informan
I3 Tim Teknis Dinas Cipta Karya,
Penataan Ruang dan Kebersihan
Kab. Pandeglang
Key Informan
I4 Tim Teknis Dinas Koperasi,
Peindustrian dan Perdagangan Kab.
Pandeglang
Key Informan
I5 Tim Teknis SATPOL PP Kab.
Pandeglang
Key Informan
I6 Pimpinan Waralaba I Key Informan
I7 Pimpinan Waralaba II Key Informan
I8 Pimpinan Waralaba III Key Informan
I9 Pimpinan Waralaba IV Key Informan
I10 Pemilik Kios Usaha Warungan I Secondary Informan
I11 Pemilik Kios Usaha Warungan II Secondary Informan
I12 Pemilik Kios Usaha Warungan III Secondary Informan
I13 Pemilik Kios Usaha Warungan IV Secondary Informan
Sumber: Peneliti 2017
3.7. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
3.7.1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam Penelitian yang
berjudul “Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor
12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern” adalah kombinasi dari beberapa teknik,
yaitu:
Page 62
49
1. Wawancara Mendalam
Wawancara dalam penelitian kualitatif bersifat mendalam (indept
interview) karena peneliti dapat menjelaskan pertanyaan yang tidak
dimengerti responden, peneliti dapat mengajukan pertanyaan, informan
cenderung menjawab apabila diberi pertanyaan, dan informan dapat
menceritakan sesuatu yang terjadi di masa silam dan masa mendatang.
Menurut Denzin dalam Alwasilah (2006:154), wawancara adalah
pertukaran percakapan dengan tatap muka dimana seseorang memperoleh
informasi dari yang lain. Melalui wawancara peneliti bisa mendapatkan
informasi yang mendalam (indepth interviev) karena peneliti dapat
menjelaskan pertanyaan yang tidak dimengerti responden, peneliti dapat
mengajukan pertanyaan, informan cenderung menjawab apabila diberi
pertanyaan, dan informan dapat menceritakan sesuatu yang terjadi di masa
silam dan masa mendatang.
Adapun jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara tidak terstruktur. Menurut Sugiyono (2008:160)
wawancara tidak terstruktur ialah wawancara yang bebas dimana peneliti
tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara
sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Hal ini dimaksudkan
agar proses wawancara berlangsung secara alami dan mendalam seperti
yang diharapkan dalam penelitian kualitatif.
Page 63
50
2. Observasi
Observasi, menurut Hadi dalam Sugiyono (2008:166)
mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks,
suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis.
Dua diantaranya yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan
ingatan.
Dalam penelitian ini, teknik observasi/pengamatan yang digunakan
adalah observasi partisipasi, dimana menitikberatkan pada keterlibatan
peneliti. Peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang-orang yang
digunakan sebagai sumber data penelitian. Menurut Soehartono (2002:70),
dalam observasi partisipan, pengamat ikut serta dalam kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh subjek yang diteliti atau yang diamati, seolah-olah
merupakan bagian dari mereka.
3. Studi Dokumentasi
Dalam penelitian ini menggunakan studi dokumentasi sebagai
salah satu teknik pengumpulan data sekunder. Dokumen ialah setiap bahan
tertulis ataupun film, lain dari record, yang tidak dipersiapkan karena
adanya permintaan seorang penyidik. Dokumen digunakan dalam
penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai
sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk
meramalkan. Adapun studi dokumentasi dapat diartikan sebagai teknik
pengumpulan data melalui bahan-bahan tertulis yang diterbitkan oleh
Page 64
51
lembaga-lembaga yang menjadi obyek penelitian, baik berupa prosedur,
peraturan-peraturan, gambar, laporan hasil pekerjaan serta berupa foto
ataupun dokumen elektronik (rekaman).
3.7.2. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan meyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,
menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam
pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat
kesimpulan yang dapat diceriterakan kepada orang lain. Analisis data
kualitatif menurut Bogdan dan Biklen dalam Moleong (2010:248), yaitu:
“Analisis data adalah proses mencari dan mengatur secara
sistematis transkip interview, catatan di lapangan dan bahan-bahan
lain yang anda di dapatkan, yang kesemuanya itu anda kumpulkan
untuk meningkatkan pemahaman anda (terhadap suatu fenomena)
dan membantu anda untuk mempresentasikan penemuan anda
kepada orang lain.”
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum
memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisa data model
Milles dan Huberman, dimana terdapat tiga aktivitas dalam analisis data,
yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan
penarikan kesimpulan/verifikasi (conclusion drawing/verification). Model
interaktif dalam analisis data menurut kedua tokoh tersebut dapat dilihat
pada gambar berikut:
Page 65
52
Gambar 3.1
Komponen Dalam Analisis Data (Interactive Model)
Sumber: Miles dan Huberman, (2009:20)
1. Reduksi Data (Data Reduction)
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan,
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data
“kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Mereduksi
data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada
hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Data yang telah direduksi
akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti
untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila
diperlukan. Reduksi data membantu memberikan kode pada aspek-aspek
tertentu.
2. Penyajian Data (Data Display)
Dalam sebuah penelitian kualitatif, penyajian data dapat dilakukan
dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart
Data
Collection Data
Display
Data
Reduction
Conclusions:
drawing/verifying
Page 66
53
dan sejenisnya. Namun pada peneltian ini, penyajian data yang peneliti
lakukan dalam penelitian ini adalah bentuk teks narasi, hal ini seperti yang
dikatakan oleh Miles & Huberman (2009:17) :
”the most frequent form display data for qualitative research data
ini the past has been narrative text” (yang paling sering digunakan
untuk penyajian data kualitatif pada masa yang lalu adalah bentuk
teks naratif).
3. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi (Conclusion
Drawing/Verification)
Langkah ketiga dalam tahapan analisis interaktif menurut Miles &
Huberman (2009:18-21) adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi, yaitu
menyimpulkan dari temuan-temuan penelitian untuk dijadikan suatu
kesimpulan penelitian. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat
sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat
yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila
kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti
yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan
data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang
kredibel.
Page 67
54
3.8. Jadwal Penelitian
Jadwal Penelitian yang berjudul “Implementasi Peraturan Daerah
Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern di Kabupaten Pandeglang” yaitu dari bulan
November 2016 sampai dengan Mei 2017.
Tabel 3.2
Jadwal Penelitian
Kegiatan
Waktu Pelaksanaan
April
2017
Mei
2017
Juni
2017
Juli
2017
Agust
2017
Des
2017
Januari
2018
Pengajuan Proposal
Seminar Proposal
Revisi Proposal
Pengolahan dan
Analisis Data
Sidang Skripsi
Revisi Skripsi
Page 68
55
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Objek Penelitian
Deskripsi objek penelitian ini akan menjelaskan tentang objek penelitian
yang meliputi lokasi penelitian yang diteliti dan memberikan gambaran umum
Kabupaten Pandeglang. Hal tersebut dipaparkan di bawah ini.
4.1.1. Gambaran Umum Kabupaten Pandeglang
Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu dari 8
Kabupaten/Kota di Propinsi Banten yang berada di ujung Barat Pulau
Jawa. Kabupaten Pandeglang terletak di bagian Selatan Provinsi Banten,
secara administratif Kabupaten Pandeglang dibentuk pada tanggal 1 April
1874 (Sumber Humas Pandeglang). Jumlah penduduk Kabupaten
Pandeglang berdasarkan sensus Penduduk pada bulan Mei 2010 adalah
1.149.610 orang dengan komposisi penduduk laki-laki sebanyak 589.056
orang dan perempuan sebanyak 560.554 orang.
Secara geografis terletak antara 6º21’- 7º10’ Lintang Selatan dan
104º48’- 106º11’ Bujur Timur, memiliki luas wilayah 2.747 Km2
(274.689,91 ha), atau sebesar 29,98% dari luas Provinsi Banten dengan
panjang pantai mencapai 307 km. Kota Pandeglang sebagai Ibukota
Kabupaten terletak pada jarak 23 km dari Ibukota Provinsi banten dan 111
km dari Ibukota Negara.
55
Page 69
56
Wilayah administrasi pemerintah Kabupaten Pandeglang terdiri
dari wilayah administrasi Kecamatan sebanyak 35 Kecamatan, wilayah
Desa sebanyak 322 Desa dan 13 Kelurahan, dengan batas-batas
administrasi: Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Serang; Sebelah
Barat berbatasan dengan Selat Sunda; Sebelah Selatan berbatasan dengan
Samudra Indonesia; Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Lebak.
Secara geologi, wilayah Kabupaten Pandeglang termasuk kedalam
zona Bogor yang merupakan jalur perbukitan. Sedangkan jika dilihat dari
topografi daerah Kabupaten Pandeglang memiliki variasi ketinggian antara
0-1.778 m di atas permukaan laut. Sebagian besar topografi daerah
Kabupaten Pandeglang adalah dataran rendah yang berada di daerah
Tengah dan Selatan yang memiliki luas 85,07% dari luas keseluruhan
Kabupaten Pandeglang. Kedua daerah ini ditandai dengan karakteristik
utamanya adalah ketinggian gunung-gunungnya yang relatif rendah,
seperti Gunung Payung (480 m), Gunung Honje (620 m), Gunung Tilu
(562 m) dan Gunung Raksa (320 m). Daerah Utara memiliki luas 14,93 %
dari luas Kabupaten Pandeglang yang merupakan dataran tinggi, yang
ditandai dengan karekteristik utamanya adalah ketinggian gunung yang
relatif tinggi, seperti Gunung Karang (1.778 m), Gunung Pulosari (1.346
m) dan Gunung Aseupan (1.174 m).
Rasio jenis kelamin pada tahun 2010 sebesar 105,08. Sebaran
penduduk perkecamatan relatif tidak merata. Kecamatan dengan penduduk
Page 70
57
terjarang yaitu Kecamatan Sumur dengan rata-rata sebanyak 88 jiwa/Km2,
sementara wilayah yang terpadat adalah Kecamatan Labuan, yaitu
sebanyak 3.439 jiwa/Km2. Sedangkan rata-rata kepadatan penduduk (LPP)
Kabupaten Pandeglang Sensus Penduduk periode 1961-1971 sebesar 2,71
persen, periode 1971-1980 sebesar 2,15 persen, periode 1980-1990 sebesar
2,14 persen, periode 1990- 2000 sebesar 1,64 persen dan 2000-2010
sebesar 1,30 persen. Menurut angka laju pertumbuhan penduduk ialah
merupakan salah satu wujud keberhasilan pembangunan bidang
kependudukan yang salah satunya antara lain adalah program Keluarga
Berecana (KB).
4.1.2. Gambaran Perekonomian Kabupaten Pandeglang
Berdasarkan BPS Kabupaten Pandeglang, jumlah penduduk 15
tahun keatas yang bekerja yang bekerja berjumlah 384.657 jiwa. Lapangan
pekerjaan utama penduduk berupa pertanian, perkebunan, kehutanan,
perburuan dan perikanan. Kemudian industri perdagangan, rumah makan
dan jasa akomodasi dan jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan.
Secara umum, pekerja di Kabupaten Pandeglang bekerja di sektor informal
(83,67%) dan sisanya bekerja di bidang formal (16,33%) dari jumlah
pekerja di atas 15 tahun berjumlah 434.746 jiwa, pekerja dengan setatus
pekerjaan berusaha sendiri memiliki proporsi ya ng terbesar yaitu 23,67%
sedangkan pekerja dengan setatus pekerjaan berusaha dibantu buruh tidak
tetap /tidak dibayar memiliki proporsi terkecil (2,32%) Struktur penduduk
Page 71
58
ini selalu berubah-ubah Karena disebabkan oleh proses demografi yakni
kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan juga migrasi atau
perpindahan penduduk Sebaran penduduk perkecamatan relative tidak
merata. Kecamatan dengan penduduk terjarang yaitu kecamatan sumur
dengan rata-rata sebanyak 88 jiwa/Km2, sementara wilayah yang terpadat
adalah Kecamatan Labuan, yaitu sebanyak 3.439 jiwa/Km2.
4.2. Deskripsi Data
4.2.1. Deskripsi Data Penelitian
Deskripsi data merupakan penjelasan mengenai data yang telah
didapatkan dari hasil penelitian di lapangan. Dalam penelitian yang
digunakan untuk melihat sejauh mana implementasi yang dilakukan oleh
pemerintah Kabupaten Pandeglang melalui dinas-dinas terkait tentang
Implementasi Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern di
Kabupaten Pandeglang. Data yang peneliti dapatkan lebih banyak berupa
kata-kata, yang peneliti dapatkan melalui proses wawancara. Dalam
penelitian ini, kata – kata yang diamati, dan diwawancarai merupakan
sumber data utama. Sumber data utama dicatat dalam catatan tertulis, atau
melalui alat perekam yang peneliti gunakan selama proses wawancara
berlangsung.
Page 72
59
Untuk mempertajam analisis data, maka peneliti menggunakan
pisau bedah berupa teori yang dikemukakan oleh Donald Van Metter dan
Carl Van Horn, di antaranya adalah:
1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan;
2. Sumber daya;
3. Karakteristik agen pelaksana;
4. Sikap/kecenderungan (disposition) para pelaksana;
5. Komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana; dan
6. Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik.
Dalam proses analisis data, peneliti menggunakan teknik analisis
yang dilakukan oleh Miles dan Huberman. Ini bertujuan agar terjadi
peningkatan pemahaman pada peneliti, serta membantu untuk
mempresentasikannya kepada orang lain. Huberman menjelaskan bahwa
langkah-langkah yang harus diambil adalah reduksi data, penyajian data,
dan verifikasi data.
Kegiatan pertama yang dilakukan adalah mereduksi data (data
reduction), yaitu merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada
hal yang penting, dicari tema, dan polanya. Untuk mempermudah peneliti
dalam mereduksi data, penelitian memberikan kode pada aspek tertentu,
yaitu:
1. Kode Q1, 2, 3 dst. untuk menandakan daftar urutan pertanyaan
2. Kode I1, 2, 3 dst. untuk menandakan daftar urutan informan
Langkah selanjutnya adalah melakukan penyajian data (data
display). Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam
bentuk uraian singkat atau teks naratif, bagan, matriks, hubungan antar
Page 73
60
kategori, network, flowchart dan sejenisnya. Namun dalam penelitian ini,
peneliti menyajikan data dalam bentuk teks narasi.
Langkah ketiga adalah penarikan kesimpulan (verification) setelah
data bersifat jenuh, artinya telah ada pengulangan informasi, maka
kesimpulan tersebut dapat dijadikan jawaban atas masalah penelitian.
4.2.2. Daftar Informan Penelitian
Seperti yang telah peneliti paparkan pada bab 3, bahwa dalam
penelitian ini informan penelitiannya ditentukan dengan menggunakan
teknik purposive sampling, yakni suatu teknik pengambilan informan
dengan penetapan sampel berdasarkan kriteria-kriteria tertentu disesuaikan
dengan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.
Adapun informan dalam penelitian ini adalah informan yang
dianggap mempunyai sumber data atau informasi yang dapat menjawab
permasalahan yang diteliti. Beberapa informan pada penelitian ini antara
lain sebagai berikut:
Page 74
61
Tabel 4.1.
Informan Penelitian
Informan Spesifikasi Informan Keterangan
I1 Kepala BPMPPTSP Kab.Pandeglang Key Informan
I2 Kepala Bidang Sistem Informasi dan
Pengendalian BPMPPTSP
Kab.Pandeglang
Key Informan
I3 Tim Teknis Dinas Cipta Karya,
Penataan Ruang dan Kebersihan
Kab. Pandeglang
Key Informan
I4 Tim Teknis Dinas Koperasi,
Peindustrian dan Perdagangan Kab.
Pandeglang
Key Informan
I5 Tim Teknis SATPOL PP Kab.
Pandeglang
Key Informan
I6 Pimpinan Waralaba I Key Informan
I7 Pimpinan Waralaba II Key Informan
I8 Pimpinan Waralaba III Key Informan
I9 Pimpinan Waralaba IV Key Informan
I10 Pemilik Kios Usaha Warungan I Secondary Informan
I11 Pemilik Kios Usaha Warungan II Secondary Informan
I12 Pemilik Kios Usaha Warungan III Secondary Informan
I13 Pemilik Kios Usaha Warungan IV Secondary Informan
Sumber: Peneliti 2017
4.3. Deskripsi Hasil Penelitian
Deskripsi hasil penelitian ini merupakan suatu data dan fakta yang peneliti
dapatkan langsung dari lapangan serta disesuaikan dengan teori yang peneliti
gunakan yaitu menggunakan teori implementasi menurut Van Metter dan Van
Horn (Agustino, 2012). Dalam teori Van Metter dan Van Horn, proses
implementasi ini merupakan sebuah abstaraksi atau performansi suatu
Page 75
62
implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk
meraih kinerja impelementasi kebijakan publik yang tinggi yang berlangsung
dalam hubungan berbagai variabel. Model ini menjelaskan bahwa impelemntasi
kebijakan berjalan secara linier dari keputusan politik yang tersedia, pelaksana
dan kinerja kebijakan.
4.3.1. Dimensi Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat
keberhasilannya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis
dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran
kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (utopis) untuk dilaksanakan di
level warga, maka akan sulit merealisasikan kebijakan publik hingga titik
yang dapat dikatakan berhasil.
Dari dimensi ukuran dan tujuan kebijakan ini, peneliti menilai
beberapa aspek yang terkandung di dalamnya, yaitu: tingkat keberhasilan
suatu penegakan Perda, tujuan dari adanya kebijakan, dan juga langkah-
langkah yang sudah diambil oleh dinas-dinas terkait di Kabupaten
Pandeglang.
Mengenai aspek ukuran dan tujuan kebijakan dalam Perda
Kabupaten Pandeglang No. 12 Tahun 2010, peneliti bertanya kepada Ibu
Ida Novaida (Kepala BPMPPTSP Kab. Pandeglang). Berikut hasil
wawancaranya:
Page 76
63
“Dari segi penerapan barang jualan yang menjual barang lokal.
Memang masih banyak pelanggarannya. Sementara untuk kasus
waralaba yang posisinya dekat dengan pasar, waralaba tersebut
berdiri sebelum Perda ini disahkan dan masih dalam tahap kajian.
Itu yang membuat perda seakan-akan tidak efektif. Kami bergerak,
bahkan atas sepengetahuan DPRD kab. Pandeglang. Menurut
kami saat ini sudah efektif. Contohnya adalah melakukan
peneguran pada waralaba yang menyalahi peraturan, misalnya
peraturan tentang waralaba minimarket tidak boleh buka selama
24 jam.” (Wawancara dengan Ibu Ida Novaida pada Senin, 23
Oktober 2017)
Dari hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa apa yang
dilakukan telah efektif dan memang telah bagus berdasarkan aturan yang
berlaku yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun
2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan
dan Toko Modern. Hanya saja untuk waralaba yang lebih dulu ada
sebelum perda ini muncul, hal ini tidak menjadi berlaku surut. Dan ini
membuat Perda ini tidak efektif untuk berlaku surut sehingga seringkali
pemerintah daerah dianggap lemah dan berpihak pada pemilik modal.
Hal ini juga senada dengan yang dikatakan oleh Kepala Bidang
Sistem Informasi dan Pengendalian BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang
Bapak Mubagyo, ST., M.Si., dimana dia mengatakan sebagai berikut:
“Sebetulnya, kami ingin menindak waralaba yang lebih dulu buka
dibandingkan adanya Perda ini. Tetapi karena terkendala juga
dengan kontrak tanah antara minimarket dengan pemilik tanah.
Akhirnya kami susah untuk bergerak pada kasus seperti itu. Yang
bisa kami lakukan adalah membuat para pengusaha minimarket
agar setelah kontrak habis, mereka dipaksa untuk pindah.”
(Wawancara dengan Bapak Mubagyo, ST., M.Si., pada Senin, 23
Oktober 2017)
Page 77
64
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa sebenarnya
penegakkan aturan memang sudah berjalan efektif, tetapi lagi-lagi untuk
kasus minimarket yang telah buka sebelum adanya Perda, ini akan susah
untuk diimplementasikan. Dari kedua informan tersebut kita memperoleh
informasi bahwa penegakan perda ini sudah cukup berhasil. Hanya saja
memang masih terkendala pada waktu pendirian minimarket yang terjadi
sebelum adanya aturan Perda ini. Ini juga berimbas pada kebijakan tata
ruang, di mana kendala untuk menegakkan aturan ini adalah pada
permasalahan sewa-menyewa tanah yang terjadi antara pengusaha
minimarket dan pemilik tanah. Akhirnya pemerintah kesulitan untuk
menegakkan aturan ini pada minimarket-minimarket yang berdiri sebelum
adanya Perda ini.
Kemudian untuk tujuan dari adanya kebijakan ini, pihak
BPMPPTSP mengatakan sebagai berikut:
“Tujuan dari diberlakukannya perda ini adalah agar pengusaha
waralaba bisa diatur sehingga bisa berinvestasi tanpa harus
merusak tatanan sosial yang sudah ada di daerah. Kita juga kan
harus mensupport kearifan lokal oleh karena itu maka ada
aturannya dalam perda ini.” (Wawancara dengan Ibu Ida Novaida
pada Senin, 23 Oktober 2017)
“Tujuan adanya perda ini adalah agar minimarket juga
menghormati bagaimana situasi ekonomi sosial yang ada di sini.
Kami juga harus melindungi masyarakat dong meskipun investasi
waralaba menguntungkan untuk PAD” (Wawancara dengan Bapak
Mubagyo, ST., M.Si., pada Senin, 23 Oktober 2017)
Jadi diadakannya Perda itu menurut BPMPPTSP adalah agar
pemerintah tetap bisa menjaga situasi ekonomi sosial, melindungi
Page 78
65
masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang kecil dan juga agar
pengusaha waralaba bisa diatur dengan baik sehingga bisa berinvestasi
tanpa harus merusak tatanan sosial yang sudah ada di Kabupaten
Pandeglang. Ini untuk menghindari terjadinya konflik yang berpotensi bisa
merusak harmonisasi yang ada di Kabupaten Pandeglang.
Ini mirip dengan apa yang dikatakan juga oleh pihak Tim Teknis
Dinas Cipta Karya Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten
Pandeglang. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti, dia
mengatakan sebagai berikut:
“Tujuan penetapan tata ruang di sini adalah agar investasi di
suatu daerah termasuk waralaba agar mengedepankan
keberlanjutan, keserasian, dan keseimbangan dalam daerah atau
lokasi. Jadi dalam pembangunan tersebut, kita melihat mana
daerah zona cepat tumbuh dan zona tidak cepat tumbuh, sesuai
dengan tata ruang kita. Jadi intinya, adanya perda ini agar
waralaba ini tidak tumbuh secara sporadis karena efeknya akan
sangat luar biasa jika hal itu terjadi. Tetapi harus dilihat, jika itu
jalur wisata maka bisa tumbuh juga dengan pertimbangan yang
lain” (Wawancara dengan Bapak Dariato, S.St., MM. Selaku Tim
Teknis Dinas Cipta Karya Penataan Ruang dan Kebersihan
Kabupaten Pandeglang. pada Selasa, 24 Oktober 2017)
Dari hasil wawancara tersebut dapat dikatakan bahwa menurut
perspektif pihak Dinas Cipta Karya Penataan Ruang dan Kebersihan
Kabupaten Pandeglang, adanya Perda ini adalah agar investasi di
Kabupaten Pandeglang tetap mengedepankan keberlanjutan, keserasian,
dan keseimbangan di wilayah Kabupaten Pandeglang. Jadi nantinya dalam
pembangunan tersebut harus melihat juga mana zona-zona yang dianggap
Page 79
66
sebagai zona dengan tingkat ekonomi yang cepat bertumbuh, mana juga
yang termasuk zona tidak cepat tumbuh.
Jadi, dikatakan pula bahwa dalam adanya Perda ini, dimaksudkan
agar pembangunan waralaba minimarket yang dilakukan oleh para
pengusaha tidak tumbuh secara sporadis. Tetapi harus diperhatikan pula,
jika pembangunan minimarket dilakukan di jalur wisata, maka itu bisa
menjadi pertimbangan lain untuk pembangunan minimarket tersebut,
mengingat kebutuhan wisatawan yang berdatangan ke kawasan tersebut.
Maka dalam rangka menegakkan aturan yang berlaku, yaitu
menegakkan Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun
2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan
dan Toko Modern, pemerintah Kabupaten Pandeglang tentu memiliki
langkah-langkah terkait dengan penegakan. Ini diungkapkan oleh
BPMPPTSP sebagai berikut:
“Maka dalam penegakan penyelengaraan waralaba, tentu kami
tetap beracuan pada Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan
dan Toko Modern. Kami selalu mengacu pada Perda tersebut
untuk melakukan penindakan. Namun jika memang ada waralaba
yang tidak sesuai dengan prosedur yang ada, kami biasanya akan
mengkaji. Dan jika memang benar ada pelanggaran, maka tentu
kami akan memanggil pemilik waralaba minimarket tersebut”
(Wawancara dengan Ibu Ida Novaida pada Senin, 23 Oktober
2017).
Berdasarkan hasil wawancara di atas maka rupanya para pihak
pemerintah, dalam hal ini BPMPPTSP melakukan tindakan-tindakan yang
berdasarkan Perda Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 kepada
Page 80
67
para pemilik waralaba yang melakukan pelanggaran. Selain itu ada juga
hal lain yang dilakukan oleh pihak BPMPPTSP yaitu melakukan
sosialisasi. Ini terungkap pada wawancara selanjutnya antara peneliti
dengan Kepala Bidang Sistem Informasi dan Pengendalian BPMPPTSP
Kabupaten Pandeglang Bapak Mubagyo, ST., M.Si., yaitu sebagai berikut:
“Kami melakukan sosialisasi kepada waralaba, misalnya tentang
pembangunan yang harus 200m, dan jam buka tutupnya
minimarket itu” (Wawancara dengan Bapak Mubagyo, ST., M.Si.,
pada Senin, 23 Oktober 2017)
Rupanya dalam sosialisasi juga sudah dilakukan oleh pihak
BPMPPTSP. Tentu saja hal itu harus dilakukan, mengingat kerawanan
terjadi konflik karena permasalahan ekonomi antara pihak minimarket dan
pedagang kios biasa.
Sedangkan untuk tugas dari dinas lain, yaitu Dinas Cipta Karya
Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Pandeglang, yang dilakukan
dalam rangka menegakkan Perda ini adalah:
“Tiap 3 bulan sekali ada pengawasan dan pengendalian, yaitu
waralaba, perumahan, dan sektor-sektor lain. Kita mencatat apa
yang dilanggar dan terus melaporkan ke atasan kita. Kita juga
koordinasi langsung dengan satpol PP karena satpol PP yang
akan mengeksekusi pelanggaran itu” (Wawancara dengan Bapak
Dariato, S.St., MM. Selaku Tim Teknis Dinas Cipta Karya
Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Pandeglang. pada
Selasa, 24 Oktober 2017)
Jadi pihak hanya melakukan pencatatan saja. Tetapi, pencatatan
pelanggaran itu dilakukan setiap triwulan, dan akan dilaporkan untuk
selanjutnya dikoordinasikan kepada pihak Satpol PP.
Page 81
68
Perlu diketahui bahwa Tim Teknis Dinas Cipta Karya Penataan
Ruang dan Kebersihan Kabupaten Pandeglang juga mencatat pelanggaran-
pelanggaran yang sesuai dengan Perda tersebut. Ini sesuai dengan
wawancara berikut:
“Dalam pelaksanaannya, Tim Teknis Dinas Cipta Karya Penataan
Ruang dan Kebersihan Kabupaten Pandeglang yang merupakan
salah satu dari tim teknis yang memproses perizinan di lapangan,
maka akan melihat apakah waralaba tersebut sudah sesuai dengan
ketentuan di dalam Perda. Misalnya adalah jarak antara waralaba
dengan pasar tradisional yang harus berjarak minimal 200 meter,
atau jarak bangunan dengan as jalan yang harus berjarak 15
meter. Itu kami yang memprosesnya.” (Wawancara dengan Bapak
Dariato, S.St., MM. Selaku Tim Teknis Dinas Cipta Karya
Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Pandeglang. pada
Selasa, 24 Oktober 2017)
Peran Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) juga sangat strategis
dimana terkait pelanggaran-pelanggaran yang terjadi merupakan
wewenang dari Satpol PP untuk memberikan sanksi. Hal ini berdasarkan
pada hasil wawancara dengan Tim Teknis Satpol PP yang mengatakan
bahwa dalam menegakkan aturan tersebut mereka juga perannya sangat
strategis. Ini hasil dari wawancara peneliti dengan Tim Teknis Satpol PP:
“Tugas kami adalah penindakkan. Karena kami merupakan unsur
penegak hukum dan perundang-undangan. Maka kami selain
bertugas mengawasi, juga memberikan penindakan terhadap
pelanggaran yang dilakukan.” (Wawancara dengan Bapak Juanda,
SH., MM. Selaku Tim Teknis Satuan Polisi Pamong Praja
Kabupaten Pandeglang. Pada Selasa, 24 Oktober 2017)
Pihak Satpol PP dalam hal ini berperan untuk penindakan jika ada
pelanggaran. Ini dilakukan dalam rangka penegakan aturan dari peraturan
yang sudah dibuat oleh pemerintah daerah. Penindakan akan dilakukan
Page 82
69
manakala pelanggaran yang terjadi terus menerus walaupun sudah
diberikan teguran dulu di awal.
Sementara Tim Teknis Dinas Koperasi, Perindustrian dan
Perdagangan mengatakan bahwa peran mereka hanyalah pembinaan
terhadap waralaba yang sudah ada. Pembinaan disini maksudnya
mendorong pemilik waralaba untuk ikut memajukan sektor usaha kecil
yang ada di Kabupaten Pandeglang. Berikut wawancaranya:
“Tugas kami adalah pembinaan kepada waralaba. Maksudnya
agar mendorong waralaba yang ada untuk ikut dalam memajukan
sector usaha kecil di wilayah kami. Seperti mendorong untuk
menjual produk local sesuai dengan amanah dari Perda tentang
waralaba.” (Wawancara dengan Bapak Firman Abdul Kadir,
Selaku Tim Teknis Dinas Koperasi, Perindustiran dan
Perdagangan Kabupaten Pandeglang. Pada Selasa, 24 Oktober
2017)
Berdasarkan wawancara yang peneliti paparkan di atas, tujuan dari
implementasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern adalah untuk mengatur sepenuhnya keberadaan waralaba agar
tidak secara sporadis tumbuh tanpa control dari pemerintah. Karena jika
terjadi hal seperti itu maka akan terjadi pergolakkan secara social ekonomi
masyarakat dan pasti akan mematikan usaha kecil yang ada di Kabupaten
Pandeglang. Oleh karena itu, berbagai Instansi dilibatkan dalam
penegakkan aturan tersebut mulai dari bidang perijinan, tata ruang hingga
bidang koperasi.
Page 83
70
4.3.2. Dimensi Sumber Daya
Keberhasilan proses Implementassi kebijakan sangat tergantung
dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia
merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu
keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan
proses implementasi menurur adanya sumber daya manusia yang
berkualitas sesuai pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah
ditetapkan secara politik
Tetapi diluar sumberdaya manusia, sumber daya-sumber daya lain
yang perlu diperhitungkan juga, ialah: sumberdaya financial dan sumber
daya waktu. Karena mau tidak mau ketika sumberdaya manusia yang
kompeten dan kapabel telah tersedia sedangkan kucuran dana melalui
anggaran tidak tersedia, maka memang menjadi persoalan pelik untuk
merealisasikan apa yang hendak dituju oleh tujuan kebijakan publik.
Demikian pula halnya dengan sumberdaya waktu. Saat sumber daya
manusia giat bekerja dan kucuran dana berjalan dengan baik, tetapi
terbentur dengan persoalan waktu yang terlalu ketat, maka hal ini pun
dapat menjadi penyebab ketidakberhasilan implementasi kebijakan.
Karena itu sumberdaya yang diminta dan dimaksudkan oleh Van meter
Van Horn adalah ketiga bentuk sumberdaya tersebut.
Page 84
71
Pertama, Sumber Daya Manusia. Dalam hal ini adalah orang-orang
yang menjadi pelaksana dalam implementasi dan penegakan Peraturan
Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Dalam
hal ini tentu yang menjadi penegak dan pelaksana dari Peraturan Daerah
ini adalah BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang, Dinas Cipta Karya
Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Pandeglang, Dinas Koperasi
Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pandeglang, serta Satuan Polisi
Pamong Praja Kabupaten Pandeglang.
Diketahui bahwa pelaksanaan Perda ini dilakukan oleh sumberdaya
manusia atau tim teknis yang kompeten, hal ini diketahui dari wawancara
dengan pihak BPMPPTSP, berikut wawancaranya:
“Bahwa pelaksanaan perda ini dilakukan oleh orang-orang yang
kompeten dan professional. Tim teknis tersebut merupakan orang-
orang instansi yang terkait. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan
perda tersebut untuk melindungi masyarakat kecil dan
menstabilkan kondisi social ekonomi di daerah kami.”
(Wawancara dengan Ibu Ida Novaida pada Senin, 23 Oktober
2017)
“Iya benar. Sumberdaya dari tim teknis dalam pelaksanaan perda
ini adalah sumberdaya manusia terbaik dan kompeten”
(Wawancara dengan Bapak Mubagyo, ST., M.Si., pada Senin, 23
Oktober 2017)
Sementara sumberdaya lainnya seperti anggaran sudah memadai
dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12
Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Bidang
Page 85
72
Sistem Informasi dan Pengendalian BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang
Bapak Mubagyo, ST., M.Si., yaitu sebagai berikut:
“Anggaran dalam menyokong pelaksanaan Peraturan Daerah
Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern
sudah sesuai dan amat memadai dan menunjang pekerjaan.”
(Wawancara dengan Bapak Mubagyo, ST., M.Si., pada Senin, 23
Oktober 2017)
Dalam pelaksanaan, yang menjadi inti dari pelaksanaan dan
penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun
2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan
dan Toko Modern adalah seberapa besar tim teknis yang ada memahami isi
dari perda tersebut. Ini terungkap melalui wawancara dengan Kepala
Bidang Sistem Informasi dan Pengendalian BPMPPTSP Kabupaten
Pandeglang Bapak Mubagyo, ST., M.Si. Berikut isi wawancara tersebut:
“Yang saya tahu, seluruh tim teknis memahami dengan baik isi
daari perda tersebut serta bisa mengimplementasikannya dengan
baik ketika pengawasan terhadap waralaba dilakukan.”
(Wawancara dengan Bapak Mubagyo, ST., M.Si., pada Senin, 23
Oktober 2017)
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan Tim Teknis
Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern. Berikut hasil wawancaranya:
“Tentu kami sangat paham seperti apa isi Perda Nomor 12
tersebut karena merupakan kewajiban kami sebagai tim teknis
harus paham dan mengerti isi dari perda tersebut.” (Wawancara
dengan Bapak Dariato, S.St., MM. Selaku Tim Teknis Dinas Cipta
Page 86
73
Karya Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Pandeglang.
pada Selasa, 24 Oktober 2017)
“Memahami dan mengetahui isi perda adalah wajib untuk tim
teknis. Karena bagaimana mau melaksanakan isi perda jika kami
tidak memahaminya” (Wawancara dengan Bapak Juanda, SH.,
MM. Selaku Tim Teknis Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten
Pandeglang. Pada Selasa, 24 Oktober 2017)
“Ketika kami ditunjuk sebagai tim teknis maka kewajiban kami
adalah bagaimana perda nomor 12 ini terlaksana dengan baik.
Maka otomatis agar berjalan dengan baik kami juga harus paham
dengan isinya.” (Wawancara dengan Bapak Firman Abdul Kadir
Selaku Tim Teknis Dinas Koperasi, Perindustiran dan Perdagangan
Kabupaten Pandeglang. Pada Selasa, 24 Oktober 2017)
Dari hasil wawancara tersebut diatas, peneliti dapat menyimpulkan
bahwa dari segi dimensi sumberdaya, para penyelenggara Peraturan
Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern sudah
didukung oleh sumberdaya yang memadai seperti sumberdaya manusia
yang kompeten dalam pelaksanaan Perda tersebut dan sumberdaya
manusia yang memahami isi Perda tersebut secara menyeluruh. Selain itu,
meskipun tidak memberikan jawaban yang detail, mengenai anggaran juga
sudah memenuhi sesuai dengan yang diharapkan oleh para penyelenggara
atau tim teknis.
4.3.3. Dimensi Karakteristik Agen Pelaksana
Perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan
organisasi informal yang terlibat dalam implementasi kebijakan. Hal ini
Page 87
74
penting karena pelaksanaan implementasi kebijakan banyak dipengaruhi
oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan agen pelaksanaannya. Adanya
organisasi informal atau pun nonformal turut serta dalam mempengaruhi
sebuah kebijakan, apakah memberi pengaruh yang positif atau negatif
pada kebijakan. Misalnya, implementasi kebijakan yang berusaha untuk
merubah prilaku atau tingkah laku manusia secara radikal, maka agen
pelaksana projek itu haruslah berkarakteristik keras dan ketat pada
aturan serta tegas dalam memberikan sanksi hukum pada sebuah
pelanggaran. Sebaliknya apabila kebijakan publik itu tidak terlalu
merubah perilaku dasar manusia maka dapat saja agen pelaksana yang
diturunkan tidak sekeras dan tidak setegas pada gambaran yang pertama.
Dalam wawancara yang dilakukan dengan Kepala Bidang Sistem
Informasi dan Pengendalian BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang Bapak
Mubagyo, ST., M.Si., dikatakan bahwa pembentukan tim teknis dan
pemilihan orang-orangnya sudah didasarkan pada aturan dan seleksi yang
ketat sehingga terpilih individu yang tepat. Berikut isi wawancara tersebut:
“Ya tentu saja tim teknis merupakan gabungan dari individu yang
sesuai dengan basic keilmuannya. Selain itu dalam pemilihannya
juga dilakukan dengan seleksi yang ketat dan standar yang tinggi.
Saya berani menjamin kalau tim ini adalah yang terbaik dari yang
ada.” (Wawancara dengan Bapak Mubagyo, ST., M.Si., pada
Senin, 23 Oktober 2017)
Ketika peneliti bertanya mengenai hambatan yang ada dalam upaya
penegakkan perda, Kepala Bidang Sistem Informasi dan Pengendalian
Page 88
75
BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang Bapak Mubagyo, ST., M.Si.,
mengatakan sebagai berikut:
“Bahwa hambatan yang sering terjadi adalah ketika muncul
penolakan dari masyarakat jika suatu warlaba akan didirikan.
Padahal kajian terhadap hal tersebut sudah sesuai dengan aturan
yang ada. Disini kita kadang dilema, padahal apa yang dilakukan
juga memikirkan nasib masyarakat kecil seperti mereka.
Terkadang protes dari masyarakat datangnya karena dipanasi oleh
LSM yang ga jelas.” (Wawancara dengan Bapak Mubagyo, ST.,
M.Si., pada Senin, 23 Oktober 2017)
Kesempatan wawancara juga peneliti dapatkan dari pemilik
waralaba di Kabupaten Pandeglang. Dalam wawancara peneliti mencoba
menanyakan tentang masalah perijinan karena berdasarkan desas desus
yang ada, perijinan waralaba di Kabupaten Pandeglang akan dipermudah
apabila ada semacam “pelicin” dari pemilik waralaba kepada pihak
tertentu. Berikut wawancara tersebut:
“Iya mas, sempat sih ada oknum yang seperti itu (meminta
pelican), cuma kami menolak tegas dan meminta proses perijinan
berjalan berdasarkan prosedur yang semestinya saja. Karena kami
yakin prosedur yang kami tempuh sudah sesuai dan segala
persyaratan yang harus dilakukan sudah dilakukan dengan baik.
Makanya Alhamdulillah ijin waralaba kami didapatkan tanpa
jalur-jalur khusus yang menjadi isu hangat. Walaupun ijinnya
kami dapatkan dalam tempo cukup lama.” (Wawancara dengan
Bapak Aap Aptadi salah satu pemilik waralaba pada Senin, 30
Oktober 2017)
Jawaban yang sama juga peneliti dapatkan dari pemilik waralaba
yang lain. Wawancara juga peneliti lakukan dengan pemilik waralaba
yang lain di Kabupaten Pandeglang. Berikut wawancara tersebut:
“Iya mas. Saya diminta sekian juta untuk mempercepat proses
perijinan berdirinya waralaba. Waralaba saya ini bentuknya
Page 89
76
kerjasama atau frienchise.” (Wawancara dengan Bapak Heri
Suheri salah satu pemilik waralaba pada Senin, 30 Oktober 2017)
“Iya mas memang seperti itu adanya” (Wawancara dengan Ibu
Farida salah satu pemilik waralaba pada Senin, 30 Oktober 2017)
“Saya dengar desas desusnya seperti itu mas. Tapi saya kurang
tau karena ketika saya ajukan perijinan berjalan normative saja.”
(Wawancara dengan Bapak Faisal salah satu pemilik waralaba
pada Senin, 30 Oktober 2017)
Kemudian untuk mendapatkan jawaban valid, maka peneltii
mendatangi lagi Kepala Bidang Sistem Informasi dan Pengendalian
BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang Bapak Mubagyo, ST., M.Si., beliau
dengan tegas mengelak bahwa perijinan waralaba di Kabupaten
Pandeglang bisa dipercepat dengan “pelicin”. Berikut wawancara tersebut:
“Wah itu tidak benar mas, tidak pernah ada istilah pelicin untuk
mempercepat perijinan. Semua sesuai prosedur sebagaimana
mestinya. Kalau mau itu si pemilik waralaba datang kesini dan
tunjuk hidung siapa oknum yang berbuat demikian. ” (Wawancara
dengan Bapak Mubagyo, ST., M.Si., pada Senin, 30 Oktober 2017)
Jawaban yang sama peneliti juga dapatkan setelah mewawancarai
salah satu tim teknis dari Dinas Cipta Karya Penataan Ruang dan
Kebersihan Kabupaten Pandeglang. Berikut wawancaranya:
“Yang saya tau dan rasakan, tidak ada main mata selama ini
antara pemilik waralaba dengan tim teknis soal perijinan karena
kami terikat dengan aturan dan sop yang ada.” (Wawancara
dengan Bapak Bapak Dariato, S.St., MM. Selaku Tim Teknis
Dinas Cipta Karya Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten
Pandeglang. pada Selasa, 24 Oktober 2017)
Dari jawaban tersebut diatas, bisa diambil kesimpulan bahwa
masih ada sederet oknum dalam internal pemerintah yang bermain dalam
Page 90
77
perijinan pendirian waralaba. Hal ini tentu menciderai semangat
terbentuknya Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun
2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan
dan Toko Modern yang dimaksudkan untuk mencegah secara sporadis
munculnya waralaba yang tidak terkontrol dan dapat merusak tatanan
sosial ekonomi di Kabupaten Pandeglang.
Wawancara peneliti lanjutkan mengenai sejauhmana kerja tim
teknis dalam mengawal terlaksananya Peraturan Daerah Kabupaten
Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Dalam hal ini, peneliti
mewawancarai kembali pemilik waralaba. Berikut wawancara tersebut:
“Kalau harus jujur, saya sempat kecewa ketika mengajukan
perijinan usaha waralaba ini. Ijin turun terlalu lama kemudian
terlihat tim yang ada tidak optimal dalam bekerja. Padahal
menurut saya, munculnya waralaba banyak memiliki dampak
positif bagi daerah selain membuka lapangan kerja juga
meningkatkan iklim investasi. Jadi tidak seharusnya dipersulit.”
(Wawancara dengan Bapak Aap Aptadi salah satu pemilik
waralaba pada Senin, 30 Oktober 2017)
Jawaban yang sama juga peneliti dapatkan dari pemilik waralaba
yang lain. Wawancara juga peneliti lakukan dengan pemilik waralaba
yang lain di Kabupaten Pandeglang. Berikut wawancara tersebut:
“Jelas sekali mas. Kerjanya kurang optimal dan menurut saya
mengecewakan karena masih ada oknum yang bermain. Hanya
saja mungkin bagi sebagian orang hal ini sangat biasa.”
(Wawancara dengan Bapak Heri Suheri salah satu pemilik
waralaba pada Senin, 30 Oktober 2017)
Page 91
78
“Saya liat sih belum optimal ya mas. Soalnya masih beredar isu
tersebut juga saya kira masih terdapat beberapa pelanggaran
dalam pelaksanaan perda ini” (Wawancara dengan Ibu Farida
salah satu pemilik waralaba pada Senin, 30 Oktober 2017)
“Saya rasa sih kinerjanya biasa-biasa saja”(Wawancara dengan
Bapak Faisal salah satu pemilik waralaba pada Senin, 30 Oktober
2017)
Dari jawaban diatas bisa kita simpulkan bahwa kinerja dari tim
teknis masih belum optimal. Harus ada perbaikan kedepannya agar tidak
terjadi permainan oknum seperti yang dimaksudkan oleh pemilik waralaba
yang peneliti wawancara. Selain itu, dari jawaban diatas, karakteristik
agen pelaksana masih sangat lemah dalam pelaksanaan Peraturan Daerah
Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
4.3.4. Dimensi Sikap/ Kecenderungan (Disposisi) para implementor
Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan
sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja
implementasi kebijakan publik. Faktor yang mempengaruhi sikap
kecenderungan adalah dilibatkan atau tidaknya sasaran kebijakan dalam
membuat sebuah kebijakan. Seluruh pihak yang peneliti wawancarai
menjawab hal yang sama. Pihak sasaran kebijakan dalam hal ini adalah
pemilik waralaba, masyarakat serta pedagang kecil yang harus dilindungi.
Mereka semua kompak menjawab tidak merasa dilibatkan dalam
Page 92
79
pembuatan kebijakan. Hal ini berarti kebijakan tersebut bersifat Top-down.
Berikut hasil wawancaranya:
“Saya sih perasaan ga merasa dilibatkan ya mas, padahal saya
punya waralaba ini lebih dulu dari Perda tersebut disahkan.”
(Wawancara dengan Bapak Aap Aptadi salah satu pemilik
waralaba pada Senin, 30 Oktober 2017)
Jawaban serupa juga peneliti dapatkan dari pemilik waralaba yang
lain. Wawancara juga peneliti lakukan dengan pemilik waralaba yang lain
di Kabupaten Pandeglang. Berikut wawancara tersebut:
“Tidak merasa dilibatkan saya nya mas.” (Wawancara dengan
Bapak Heri Suheri salah satu pemilik waralaba pada Senin, 30
Oktober 2017)
“Saya rasa perumusan perda ini tidak melibatkan stakeholders
soalnya saya sendiri tidak merasa dilibatkan.” (Wawancara
dengan Ibu Farida salah satu pemilik waralaba pada Senin, 30
Oktober 2017)
“Pemerintah daerah dan dewan saja itu mah mas. Tidak ada
keterlibatan dari para pemilik waralab. Tiba-tiba ada
sosialisasinya saja.” (Wawancara dengan Pak Faisal salah satu
pemilik waralaba pada Senin, 30 Oktober 2017)
Hal yang sama juga peneliti dapatkan dari hasil wawancara dengan
pemilik usaha kios/warungan disekitaran Pasar Pandeglang. Bahwa dalam
perumusan Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun
2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan
dan Toko Modern tidak ada keterlibatan mereka. Berikut wawancaranya:
“Tidak dilibatkan. Padahal mengenai permasalahan waralaba ini
menyangkut ke kami pedagang kecil ya mas. Hanya hidup kami
dipertaruhkan.” (Wawancara dengan Bapak Udin (Pemilik Usaha
Kios/Warungan) pada Senin, 30 Oktober 2017)
Page 93
80
“Tidak ada etikad baik dari pemerintah melibatkan kami minimal
urun rembug gitulah. Makanya kami berkesimpulan bahwa
pemerintah berpihak pada pengusaha-pengusaha besar saja.”
(Wawancara dengan Bapak Jaka (Pemilik Usaha Kios/Warungan)
pada Senin, 30 Oktober 2017)
“Iya mas saya sendiri merasa pemerintah tidak peduli sehingga
kami tidak dilibatkan. Liat saja hasilnya waralab semakin banyak.
Itu alfa indomart makin banyak. Bingung ke depan nasib kita akan
seperti apa. ” (Wawancara dengan Bapak Supri (Pemilik Usaha
Kios/Warungan) pada Senin, 30 Oktober 2017)
“Kita mah disini ga akan dianggap mas. Buktinya segala protes
kita ga di dengar. Apalagi keterlibatan bikin aturan.” (Wawancara
dengan Ibu Janah (Pemilik Usaha Kios/Warungan) pada Senin, 30
Oktober 2017)
Pernyataan diatas diakui langsung oleh Kepala Bidang Sistem
Informasi dan Pengendalian BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang Bapak
Mubagyo, ST., M.Si., beliau mengakui bahwa memang perumusan
Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern ini tidak secara langsung melibatkan para pemilik waralaba serta
masyarakat luas seperti pemilik usaha warungan. Tapi beliau juga
membantah adanya keberpihakan pemerintah kepada pengusaha waralaba.
Berikut wawancara tersebut:
“Memang diakui bahwa perumusan kebijakan ini hanya antara
pemerintah dengan dewan saja mas. Tapi saya tegas membantah
bahwa pemerintah berpihak pada pengusaha waralaba. Justru
aturan ini dibuat tujuannya adalah untuk mencegah menjamurnya
waralaba di Kabupaten Pandeglang dan jelas untuk melindungi
masyarakat kecil atau pelaku usaha kecil warungan. Jadi kalau
dibilang kita berpihak pada pengusaha itu jelas nda bener.”
Page 94
81
(Wawancara dengan Bapak Mubagyo, ST., M.Si., pada Senin, 30
Oktober 2017)
Kemudian Kepala Bidang Sistem Informasi dan Pengendalian
BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang Bapak Mubagyo, ST., M.Si.,
menambahkan bahwa peran pemilik waralaba adalah mentaati aturan yang
sudah dibuat, dan masyarakat berperan besar dalam pelaksanaan Peraturan
Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yaitu
berperan mengawasi segala bentuk pelanggaran yang ada. Berikut
penjelasannya:
“Peran masyarakat harusnya ikut mengawasi jalannya
pelaksanaan perda sementara pemilik waralaba cukup dengan
mentaati aturan yang sudah dibuat.” (Wawancara dengan Bapak
Mubagyo, ST., M.Si., pada Senin, 30 Oktober 2017)
Dari pernyataan diatas, bisa kita lihat bahwa sebagai stakeholders,
meskipun tidak terlibat secara langsung dalam perumusan Peraturan
Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, tetapi
pemilik waralaba memiliki peran sentral dalam pelaksanaan aturan ini.
Yaitu sebagai pihak yang mentaati aturan yang sudah dibuat.
4.3.5. Dimensi Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana
Koordinasi merupakan mekanisme yang paling ampuh dalam
implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi
Page 95
82
diantara pihak-pihak yang telibat dalam suatu proses implementasi, maka
asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi, dan begitu
pula sebaliknya.
Komunikasi Antarorganisasi adalah hal yang bisa dikatakan krusial
karena seperti dikatakan sebelumnya dalam implementasi kebijakan
publik, semakin baik koordinasi dan komunikasi antarorganisasi maka
semakin kecil pula kemungkinan terjadinya kesalahan yang mana akan
menghambat terlaksananya suatu kebijakan.
Koordinasi dan Komunikasi Antarorganisasi dalam pelaksanaan
implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun
2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan
dan Toko Modern berjalan sudah cukup baik. Koordinasi antar tim teknis
dari instansi terkait juga berjalan baik. Hal ini peneliti ketahui dari
pernyataan Kepala Bidang Sistem Informasi dan Pengendalian
BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang Bapak Mubagyo, ST., M.Si., berikut
pernyataannya:
“Koordinasi yang dilakukan oleh tim teknis yang merupakan
perwakilan dari beberapa instansi berjalan dengan baik. Sehinga
pelaksanaan perda juga berjalan dengan baik. Komunikasi juga
lancar dan saling memahami tugas dan wewenang masing-
masing.” (Wawancara dengan Bapak Mubagyo, ST., M.Si., pada
Senin, 30 Oktober 2017)
Hal yang sama juga dikatakan oleh tim teknis dari instansi lainnya.
Dalam hal ini mereka sepakat dengan pernyataan dari Kepala Bidang
Page 96
83
Sistem Informasi dan Pengendalian BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang
Bapak Mubagyo, ST., M.Si., berikut pernyataan para tim teknis tersebut:
“Pola koordinasi dan komunikasi dalam tim sudah terlaksana
dengan baik sehingga menghasilkan sebuah tim kerja yang solid.”
(Wawancara dengan Bapak Dariato, S.ST., MM Selaku Tim
Teknis Dinas Cipta Karya Penataan Ruang dan Kebersihan
Kabupaten Pandeglang. pada Selasa, 24 Oktober 2017)
“Koordinasi dan komunikasi selalu kami tekankan untuk
meminimalisir missed communication.” (Wawancara dengan
Bapak Firman Abdul Kadir Selaku Tim Teknis Dinas Koperasi,
Perindustiran dan Perdagangan Kabupaten Pandeglang. Pada
Selasa, 24 Oktober 2017)
“Untuk mewujudkan pelaksanaan Perda No 12 tahun 2010 ini
maka kami dari tim teknis selalu berkoordinasi dengan baik dan
melakukan komunikasi yang berkesinambungan agar
pelaksanaannya berjalan dengan baik juga.” (Wawancara dengan
Bapak Juanda Selaku Tim Teknis Satuan Polisi Pamong Praja
Kabupaten Pandeglang. Pada Selasa, 24 Oktober 2017)
Koordinasi dan komunikasi di internal tim teknis berjalan dengan
baik dan lancar, hal ini juga berlaku antara pemerintah dalam hal ini tim
teknis dengan pihak waralaba. Koordinasi dan Komunikasi selalu berjalan
dengan baik mengingat untuk kelancaran pelaksanaan Peraturan Daerah
Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Berikut
wawancara tersebut:
“Saya rasa sih sudah cukup baik. Artinya memang pelaksanaan
aturannya berjalan..” (Wawancara dengan Bapak Aap Aptadi salah
satu pemilik waralaba pada Senin, 30 Oktober 2017)
“Selalu ada dari pihak pemerintah yang mengontrol waralaba
saya. Hal ini patut di apresiasi karena sampai saat ini control dari
pihak pemerintah selalu ada. Pola komunikasi yang dibangun juga
Page 97
84
sudah cukup baik.” (Wawancara dengan Bapak Heri Suheri
pemilik waralaba pada Senin, 30 Oktober 2017)
“Sampai saat ini sih selalu ada koordinasi dari berbagai instansi.”
(Wawancara dengan Ibu Fairda Pemilik waralaba pada Senin, 30
Oktober 2017)
“Cukup sering ya mas kalo berbicara komunikasi. Dan tentu kita
berkoordinasi dengan baik.” (Wawancara dengan Bapak Faisal
pemilik waralaba pada Senin, 30 Oktober 2017)
Jawaban yang berbeda justru peneliti dapatkan dari para pemilik
usaha kios/warungan. Sebagai stakeholder dalam pelaksanaan Peraturan
Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern mereka
betul-betul merasa tidak pernah diajak berkoordinasi dan berkomunikasi
dengan pihak pemerintah. Padahal menurut mereka, sebagai pihak yang
terkena dampak dari penerapan perda tersebut harusnya diajak berunding
mulai dari perumusan aturan hingga implementasinya. Berikut pernyataan
tersebut:
“Tidak dilibatkan sama sekali. Mungkin pemerintah lupa kalo
kami adalah pihak yang secara langsung terkena dampak dari
banyaknya waralaba yang ada.” (Wawancara dengan Bapak Udin
(Pemilik Usaha Kios/Warungan) pada Senin, 30 Oktober 2017)
“Tidak ada koordinasi, tidak diajak berkomunikasi dan tidak
pernah dianggap juga.” (Wawancara dengan Bapak Jaka (Pemilik
Usaha Kios/Warungan) pada Senin, 30 Oktober 2017)
“Kecewa mas pokoknya. Masalahnya kan ini menyangkut
perekonomian kita ke depan.” (Wawancara dengan Bapak Supri
(Pemilik Usaha Kios/Warungan) pada Senin, 30 Oktober 2017)
Page 98
85
“Ya gitulah. Jangankan berkoordinasi, masukan kita saja ga
pernah di dengarkan.” (Wawancara dengan Ibu Janah (Pemilik
Usaha Kios/Warungan) pada Senin, 30 Oktober 2017)
Pernyataan diatas dibantah oleh Kepala Bidang Sistem Informasi
dan Pengendalian BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang Bapak Mubagyo,
ST., M.Si., menurutnya, pemilik kios/warungan disekitaran usaha waralaba
yang akan berdiri diajak untuk mengemukakan pendapat dan memberikan
masukan. Berikut pernyataan para tim teknis tersebut:
“Koordinasi yang dilakukan oleh tim teknis dengan usaha kios
atau warungan berjalan kok. Tidak mungkin tidak kita libatkan
karena sejatinya pelaksanaan perda no 12 tahun 2010 ini yaitu
untuk melindungi para usaha kecil tersebut. Jadi aneh dan ga
benar itu kalo dibilang tidak dilibatkan.” (Wawancara dengan
Bapak Mubagyo, ST., M.Si., pada Senin, 30 Oktober 2017)
Dari pernyataan diatas bisa kita ambil kesimpulan bahwa pola
koordinasi dan komunikasi antarorganisasi di dalam internal tim teknis
sudah berjalan dengan baik karena untuk keberhasilan pelaksanaan
Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern ditentukan oleh koordinasi yang baik dan komunikasi
antarorganisasi yang baik dan berkesinambungan. Sedangkan di eksternal,
koordinasi dan komunikasi antarorganisasi yang dibangun antara
pemerintah dengan pelaku usaha kecil belum berjalan optimal.
Page 99
86
4.3.6. Dimensi Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
Sejauhmana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan
kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan
politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan
implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk pengimplementasikan
kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan
eksternal.
Peneliti memperoleh data bahwa dari 35 kecamatan yang ada di
Kabupaten Pandeglang, usaha waralaba berbentuk minimarket sudah
tersebar di 23 kecamatan dengan jumlah sekitar 108 waralaba berbentuk
minimarket (Sumber: BPMPPTSP Kab. Pandeglang, 2016). Sementara
menurut Dinas Perindustrian dan Perdagagngan Kabupaten Pandeglang,
dari 35 Kecamatan yang ada, Kabupaten Pandeglang hanya memiliki 31
Pasar Tradisional (Sumber: Disperindag Kab. Pandeglang, 2017). Hal ini
terlihat jelas terjadi sebuah ketimpangan yang mempengaruhi kondisi
sosial, ekonomi dan politik.
Dalam lingkungan ekonomi, sosial dan politik maksud dari tujuan
Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern adalah untuk mengatur berdirinya sebuah waralaba sehingga tidak
secara sporadis bermunculan karena akan merusak kondisi sosial ekonomi
di Kabupaten Pandeglang. Selain itu, upaya pelaksanaan Peraturan Daerah
Page 100
87
Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern pun
bertujuan untuk tetap membuat usaha kecil seperti kios dan warungan
disekitaran berdirinya waralaba tidak mati atau gulung tikar. Seperti yang
dijelaskan oleh Kepala Bidang Sistem Informasi dan Pengendalian
BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang Bapak Mubagyo, ST., M.Si., berikut
penjelasannya:
“Seperti yang telah kita bahas tempo hari ya mas. Bahwa tujuan
adanya perda no 12 ini adalah agar kita bisa mengontrol
keberadaan minimarket atau waralaba agar tidak menjamur dan
memberikan dampak sosial yang buruk di Kabupaten Pandeglang
ini. Pemilik waralaba juga harus menghormati bagaimana situasi
ekonomi sosial yang ada di sini. Pihak pemerintah juga harus
melindungi masyarakat dong terutama pelaku usaha kecil.
Meskipun sebetulnya investasi waralaba menguntungkan untuk
PAD dan menekan pengangguran.” (Wawancara dengan Bapak
Mubagyo, ST., M.Si., pada Senin, 30 Oktober 2017)
Ketika peneliti bertanya bagaimana upaya menangkalnya agar
waralaba tumbuh tidak secara sporadis di Kabupaten Pandeglang. Kepala
Bidang Sistem Informasi dan Pengendalian BPMPPTSP Kabupaten
Pandeglang Bapak Mubagyo, ST., M.Si., memaparkannya dengan jelas.
Berikut pemaparannya:
“Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12
Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern disitu dipaparkan mengenai
syarat-syarat pendirian waralaba. Mulai dari kajian jarak antara
toko dengan pasar tradisional, aturan mengenai produk local yang
wajib dijual disana dan aturan lainnya yang menurut saya
lumayan rumit. Dijelaskan juga dalam pasal 2 ayat 1 Perda no 12
tahun 2010 ini bahwa pendirian waralaba harus memperhatikan
aspek sosial ekonomi masyarakat serta memperhatikan keberadaan
Page 101
88
pasar tradisional, usaha kecil dan menengah di Kabupaten
Pandeglang. Nah dengan aturan tersebut maka jelas kalau dari
pihak waralaba keberatan memenuhi syarat tersebut ya silahkan
untuk mendirikan waralaba di daerah lain. Saya rasa disinilah
letak perlindungan atau upaya pemerintah daerah melindungi
pelaku usaha kecil dan keberadaan pasar tradisional.”
(Wawancara dengan Bapak Mubagyo, ST., M.Si., pada Senin, 30
Oktober 2017)
Dari pernyataan diatas, bisa kita simpulkan bahwa memang
Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern ini dibuat bertujuan untuk mencegah rusaknya kondisi sosial dan
ekonomi di Kabupaten Pandeglang dengan munculnya banyak waralaba.
Hal ini dicatatkan dalam pasal 2 ayat 1 Perda tersebut yang menerangkan
bahwa pendirian waralaba harus memperhatikan aspek sosial ekonomi
masyarakat serta memperhatikan keberadaan pasar tradisional, usaha kecil
dan menengah di Kabupaten Pandeglang. Secara tidak langsung perda ini
mencegah secara sporadis munculnya waralaba di Kabupaten Pandeglang
dan secara otomatis melindungi pelaku usaha kecil di tempat sekitaran
berdirinya waralaba.
Dari pernyataan tersebut juga bisa kita lihat bahwa meskipun
keberadaan waralaba menguntungkan untuk pemerintah daerah mulai dari
menambah PAD di daerah serta mengurangi angka pengangguran di
daerah tetapi apabila tidak dikontrol melalui aturan-aturan yang tercantum
dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan
Page 102
89
Toko Modern maka akan menimbulkan dampak sosial yang besar di
lingkungan masyarakat.
Hal tersebut senada dengan pernyataan dari para pemilik waralaba
itu sendiri. Bahwa mereka juga sepakat dengan aturan yang ada dan
mereka juga tidak menginginkan kemunculan waralaba berupa minimarket
yang justru akan menimbulkan keresahan bagi para pelaku usaha kecil di
sekitaran waralaba berdiri. Berikut pernyataannya:
“Iya saya juga sepakat bahwa kemunculan waralaba haruslah
berdampak positif bagi daerah bukan malah memunculkan
masalah baru.” (Wawancara dengan Bapak Aap Aptadi salah satu
pemilik waralaba pada Senin, 30 Oktober 2017)
“Untuk menghindari konflik sosial, maka memang
penyelenggaraan waralaba harus diatur dengan jelas, dan saya
sepekat dengan aturan saat ini.” (Wawancara dengan Bapak Heri
Suheri salah satu pemilik waralaba pada Senin, 30 Oktober 2017)
“Kita sama-sama usaha dan tidak boleh merusak tatanan dari
kondisi sosial yang ada. Upaya pemerintah melindungi pelaku
usaha kecil adalah hal yang baik dan kita harus mendukungnya.”
(Wawancara dengan Ibu Farida salah satu pemilik waralaba pada
Senin, 30 Oktober 2017)
“Dalam perda kan dijelaskan bahwa pendirian waralaba harus
memperhatikan aspek sosial ekonomi masyarakat serta
memperhatikan keberadaan pasar tradisional, usaha kecil dan
menengah di Kabupaten Pandeglang dan ini saya sangat setuju.”
(Wawancara dengan Bapak Faisal salah satu pemilik waralaba
pada Senin, 30 Oktober 2017)
Dari pernyataan diatas kita bisa tarik kesimpulan bahwa ada upaya
dari pemerintah daerah untuk melindungi aspek sosial ekonomi dalam
masyarakat dengan mencegah menjamurnya waralaba berbentuk
minimarket menggunakan Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang
Page 103
90
Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba
Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Perlindungan terhadap masyarakat
bawah, pelaku usaha kecil adalah prioritas utama dari pemerintah daerah
dan patut diberikan apresiasi. Meskipun pada kenyataannya berdirinya
waralaba berdampak pada peningkatan PAD dari sektor pajak dan
berkurangnya angka pengangguran yang terserap dari usaha ini.
4.3. Pembahasan
Pembahasan dan analisis hasil penelitian adalah isi dari hasil analisis data
dan fakta yang peneliti kumpulkan di lapangan serta disesuaikan dengan teori
yang digunakan. Dengan menggunakan indikator Implementasi Kebijakan Publik
menurut Van Metter dan Van Horn (A Model of The Policy Implementation), yang
dikutip dalam Agustino (2012:141-144), terdapat enam variabel yang
mempengaruhi kinerja kebijakan publik, yaitu: Ukuran dan Tujuan Kebijakan,
Sumberdaya, Karakteristik Agen Pelaksana, Sikap/Kecenderungan (Disposition)
para Pelaksana, Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana, serta
Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik. Kemudian hasil dalam penelitian
mengenai Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12
Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan
Toko Modern diperoleh data berdasarkan data dilapangan adalah sebagai berikut:
Page 104
91
1. Dimensi Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat
keberhasilannya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis
dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran
kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (utopis) untuk dilaksanakan di
level warga, maka akan sulit merealisasikan kebijakan publik hingga titik
yang dapat dikatakan berhasil.
Dari dimensi ukuran dan tujuan kebijakan ini, peneliti menilai
beberapa aspek yang terkandung di dalamnya, yaitu: tingkat keberhasilan
suatu penegakan Perda, tujuan dari adanya kebijakan, dan juga langkah-
langkah yang sudah diambil oleh dinas-dinas terkait di Kabupaten
Pandeglang.
Dari hasil wawancara, peneliti menyimpulkan bahwa tujuan dari
implementasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern adalah untuk mengatur sepenuhnya keberadaan waralaba agar
tidak secara sporadis tumbuh tanpa kontrol dari pemerintah. Karena jika
terjadi hal seperti itu maka akan terjadi pergolakkan secara social ekonomi
masyarakat dan pasti akan mematikan usaha kecil yang ada di Kabupaten
Pandeglang. Oleh karena itu, berbagai Instansi dilibatkan dalam
penegakkan aturan tersebut mulai dari bidang perijinan, tata ruang hingga
bidang koperasi.
Page 105
92
2. Dimensi Sumberdaya
Keberhasilan proses Implementassi kebijakan sangat tergantung
dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia
merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu
keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan
proses implementasi menurur adanya sumber daya manusia yang
berkualitas sesuai pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah
ditetapkan secara politik.
Tetapi diluar sumberdaya manusia, sumber daya-sumber daya lain
yang perlu diperhitungkan juga, ialah: sumberdaya financial dan sumber
daya waktu. Karena mau tidak mau ketika sumberdaya manusia yang
kompeten dan kapabel telah tersedia sedangkan kucuran dana melalui
anggaran tidak tersedia, maka memang menjadi persoalan pelik untuk
merealisasikan apa yang hendak dituju oleh tujuan kebijakan publik.
Demikian pula halnya dengan sumberdaya waktu. Saat sumber daya
manusia giat bekerja dan kucuran dana berjalan dengan baik, tetapi
terbentur dengan persoalan waktu yang terlalu ketat, maka hal ini pun
dapat menjadi penyebab ketidakberhasilan implementasi kebijakan.
Sumber Daya Manusia dalam hal ini adalah orang-orang yang
menjadi pelaksana dalam implementasi dan penegakan Peraturan Daerah
Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Dalam
Page 106
93
hal ini tentu yang menjadi penegak dan pelaksana dari Peraturan Daerah
ini adalah BPMPPTSP Kabupaten Pandeglang, Dinas Cipta Karya
Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Pandeglang, Dinas Koperasi
Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pandeglang, serta Satuan Polisi
Pamong Praja Kabupaten Pandeglang.
Peneliti dapat menyimpulkan bahwa dari segi dimensi sumberdaya,
para penyelenggara Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12
Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern sudah didukung oleh sumberdaya yang
memadai seperti sumberdaya manusia yang kompeten dalam pelaksanaan
Perda tersebut dan sumberdaya manusia yang memahami isi Perda tersebut
secara menyeluruh. Selain itu, meskipun tidak memberikan jawaban yang
detail, mengenai anggaran juga sudah memenuhi sesuai dengan yang
diharapkan oleh para penyelenggara atau tim teknis.
3. Dimensi Karakteristik Agen Pelaksana
Perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan
organisasi informal yang terlibat dalam implementasi kebijakan. Hal ini
penting karena pelaksanaan implementasi kebijakan banyak dipengaruhi
oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan agen pelaksanaannya. Adanya
organisasi informal atau pun nonformal turut serta dalam mempengaruhi
sebuah kebijakan, apakah memberi pengaruh yang positif atau negatif
pada kebijakan. Misalnya, implementasi kebijakan yang berusaha untuk
Page 107
94
merubah prilaku atau tingkah laku manusia secara radikal, maka agen
pelaksana projek itu haruslah berkarakteristik keras dan ketat pada
aturan serta tegas dalam memberikan sanksi hukum pada sebuah
pelanggaran. Sebaliknya apabila kebijakan publik itu tidak terlalu
merubah perilaku dasar manusia maka dapat saja agen pelaksana yang
diturunkan tidak sekeras dan tidak setegas pada gambaran yang pertama.
Kesimpulan dari hasil penelitian adalah bahwa kinerja dari tim
teknis masih belum optimal. Harus ada perbaikan kedepannya agar tidak
terjadi permainan oknum seperti yang dimaksudkan oleh pemilik waralaba
yang peneliti wawancara. Selain itu, dari jawaban diatas, karakteristik
agen pelaksana masih sangat lemah dalam pelaksanaan Peraturan Daerah
Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
4. Dimensi Sikap/ Kecenderungan (Disposisi) para implementor
Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan
sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja
implementasi kebijakan publik. Faktor yang mempengaruhi sikap
kecenderungan adalah dilibatkan atau tidaknya sasaran kebijakan dalam
membuat sebuah kebijakan. Seluruh pihak yang peneliti wawancarai
menjawab hal yang sama. Pihak sasaran kebijakan dalam hal ini adalah
pemilik waralaba, pelaku usaha kecil yang harus dilindungi. Mereka
Page 108
95
semua kompak menjawab tidak merasa dilibatkan dalam pembuatan
kebijakan. Hal ini berarti kebijakan tersebut bersifat Top-down.
Bisa kita lihat bahwa sebagai stakeholders, meskipun tidak terlibat
secara langsung dalam perumusan Peraturan Daerah Kabupaten
Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, tetapi pemilik waralaba
memiliki peran sentral dalam pelaksanaan aturan ini. Yaitu sebagai pihak
yang mentaati aturan yang sudah dibuat.
5. Dimensi Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana
Koordinasi merupakan mekanisme yang paling ampuh dalam
implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi
diantara pihak-pihak yang telibat dalam suatu proses implementasi, maka
asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi, dan begitu
pula sebaliknya.
Komunikasi Antarorganisasi adalah hal yang bisa dikatakan krusial
karena seperti dikatakan sebelumnya dalam implementasi kebijakan
publik, semakin baik koordinasi dan komunikasi antarorganisasi maka
semakin kecil pula kemungkinan terjadinya kesalahan yang mana akan
menghambat terlaksananya suatu kebijakan. Koordinasi dan Komunikasi
Antarorganisasi dalam pelaksanaan implementasi Peraturan Daerah
Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern berjalan
Page 109
96
sudah cukup baik. Koordinasi antar tim teknis dari instansi terkait juga
berjalan baik.
Bisa kita ambil kesimpulan bahwa pola koordinasi dan komunikasi
antarorganisasi di dalam internal tim teknis sudah berjalan dengan baik
karena untuk keberhasilan pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten
Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern ditentukan oleh koordinasi
yang baik dan komunikasi antarorganisasi yang baik dan
berkesinambungan. Sedangkan di eksternal, koordinasi dan komunikasi
antarorganisasi yang dibangun antara pemerintah dengan pelaku usaha
kecil belum berjalan optimal.
6. Dimensi Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
Sejauhmana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan
kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan
politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan
implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk pengimplementasikan
kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan
eksternal.
Peneliti memperoleh data bahwa dari 35 kecamatan yang ada di
Kabupaten Pandeglang, usaha waralaba berbentuk minimarket sudah
tersebar di 23 kecamatan dengan jumlah sekitar 108 waralaba berbentuk
minimarket (Sumber: BPMPPTSP Kab. Pandeglang, 2016). Sementara
Page 110
97
menurut Dinas Perindustrian dan Perdagagngan Kabupaten Pandeglang,
dari 35 Kecamatan yang ada, Kabupaten Pandeglang hanya memiliki 31
Pasar Tradisional (Sumber: Disperindag Kab. Pandeglang, 2017). Hal ini
terlihat jelas terjadi sebuah ketimpangan yang mempengaruhi kondisi
sosial, ekonomi dan politik.
Dalam lingkungan ekonomi, sosial dan politik maksud dari tujuan
Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern adalah untuk mengatur berdirinya sebuah waralaba sehingga tidak
secara sporadis bermunculan karena akan merusak kondisi sosial ekonomi
di Kabupaten Pandeglang. Selain itu, upaya pelaksanaan Peraturan Daerah
Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern pun
bertujuan untuk tetap membuat usaha kecil seperti kios dan warungan
disekitaran berdirinya waralaba tidak mati atau gulung tikar.
Dalam penelitian diketahui bahwa memang Peraturan Daerah
Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern ini
dibuat bertujuan untuk mencegah rusaknya kondisi sosial dan ekonomi di
Kabupaten Pandeglang dengan munculnya banyak waralaba. Hal ini
dicatatkan dalam pasal 2 ayat 1 Perda tersebut yang menerangkan bahwa
pendirian waralaba harus memperhatikan aspek sosial ekonomi
Page 111
98
masyarakat serta memperhatikan keberadaan pasar tradisional, usaha kecil
dan menengah di Kabupaten Pandeglang. Secara tidak langsung perda ini
mencegah secara sporadis munculnya waralaba di Kabupaten Pandeglang
dan secara otomatis melindungi pelaku usaha kecil di tempat sekitaran
berdirinya waralaba.
Bisa kita lihat pula bahwa meskipun keberadaan waralaba
menguntungkan untuk pemerintah daerah mulai dari menambah PAD di
daerah serta mengurangi angka pengangguran di daerah tetapi apabila
tidak dikontrol melalui aturan-aturan yang tercantum dalam Peraturan
Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern maka
akan menimbulkan dampak sosial yang besar di lingkungan masyarakat.
Dijelaskan juga dalam Pasal 2 ayat 1 Peraturan Daerah Kabupaten
Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern ini bahwa pendirian
waralaba harus memperhatikan aspek sosial ekonomi masyarakat serta
memperhatikan keberadaan pasar tradisional, usaha kecil dan menengah di
Kabupaten Pandeglang.
Bisa kita lihat bahwa meskipun keberadaan waralaba
menguntungkan untuk pemerintah daerah mulai dari menambah PAD di
daerah serta mengurangi angka pengangguran di daerah tetapi apabila
tidak dikontrol melalui aturan-aturan yang tercantum dalam Peraturan
Page 112
99
Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern maka
akan menimbulkan dampak sosial yang besar di lingkungan masyarakat.
Ada upaya dari pemerintah daerah untuk melindungi aspek sosial
ekonomi dalam masyarakat dengan mencegah menjamurnya waralaba
berbentuk minimarket menggunakan Peraturan Daerah Kabupaten
Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Perlindungan terhadap
masyarakat bawah, pelaku usaha kecil adalah prioritas utama dari
pemerintah daerah dan patut diberikan apresiasi. Meskipun pada
kenyataannya berdirinya waralaba berdampak pada peningkatan PAD dari
sektor pajak dan berkurangnya angka pengangguran yang terserap dari
usaha ini.
Page 113
100
Tabel 4.2.
Hasil Temuan Lapangan
No. Dimensi Hasil Temuan Lapangan Kesimpulan
1. Dimensi Ukuran dan
Tujuan Kebijakan
Peneliti menyimpulkan
bahwa tujuan dari di
terbitkannya Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun
2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba
Pusat Perbelanjaan dan
Toko Modern adalah untuk
mengatur sepenuhnya
keberadaan waralaba agar
tidak secara sporadis
tumbuh tanpa kontrol dari
Pemerintah Daerah yang
akan menimbulkan gejolak
sosial.
Belum Optimal
2. Sumberdaya Dari segi sumberdaya
peneliti menilai belum
berjalan optimal. Ada
beberapa pasal yang
terdapat dalam Perda yang
masih multitafsir.
Belum Optimal
3. Karakteristik Agen
Pelaksana
Kesimpulan dari hasil
penelitian adalah bahwa
kinerja dari tim teknis
Belum Optimal
Page 114
101
masih belum optimal.
Harus ada perbaikan
kedepannya agar tidak
terjadi permainan oknum
seperti yang dimaksudkan
oleh pemilik waralaba yang
peneliti wawancara. Selain
itu, dari jawaban diatas,
karakteristik agen
pelaksana masih sangat
lemah dalam pelaksanaan
Peraturan Daerah
Kabupaten Pandeglang
Nomor 12 Tahun 2010
Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba
Pusat Perbelanjaan dan
Toko Modern.
4. Sikap/Kecenderungan
(Disposition)para
Pelaksana
Dari hasil penelitian
diketahui bahwa pemilik
waralaba sebagai sasaran
kebijakan ternyata tidak
dilibatkan dalam
perumusan kebijakan.
Padahal, sebagai
stakeholders pemilik
waralaba memiliki peran
sentral dalam pelaksanaan
Belum Optimal
Page 115
102
aturan ini.
5. Komunikasi
Antarorganisasi dan
Aktivitas Pelaksana
Pola koordinasi dan
komunikasi antarorganisasi
di dalam internal tim teknis
sudah berjalan dengan baik
karena untuk keberhasilan
pelaksanaan Peraturan
Daerah Kabupaten
Pandeglang Nomor 12
Tahun 2010 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan
Waralaba Pusat
Perbelanjaan dan Toko
Modern ditentukan oleh
koordinasi yang baik dan
komunikasi antarorganisasi
yang baik dan
berkesinambungan.
Sedangkan di eksternal,
koordinasi dan komunikasi
antarorganisasi yang
dibangun antara
pemerintah dengan pelaku
usaha kecil belum berjalan
optimal
Pola Koordinasi
Internal sudah
optimal sementara
Eksternal Belum
Optimal
6. Lingkungan
Ekonomi, Sosial dan
Politik
Peneliti berkesimpulan
bahwa ada upaya dari
pemerintah daerah untuk
Belum Optimal
Page 116
103
melindungi aspek sosial
ekonomi dalam masyarakat
dengan mencegah
menjamurnya waralaba
berbentuk minimarket
menggunakan Peraturan
Daerah Kabupaten
Pandeglang Nomor 12
Tahun 2010 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan
Waralaba Pusat
Perbelanjaan dan Toko
Modern. Perlindungan
terhadap masyarakat
bawah, pelaku usaha kecil
adalah prioritas utama dari
pemerintah daerah dan
patut diberikan apresiasi.
Meskipun pada
kenyataannya berdirinya
waralaba berdampak pada
peningkatan PAD dari
sektor pajak dan
berkurangnya angka
pengangguran yang
terserap dari usaha ini.
Page 117
104
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan temuan-temuan di lapangan mengenai
Implementasi Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern di Kabupaten
Pandeglang, peneliti berkesimpulan bahwa pelaksanaan impelementasi kebijakan
belum berjalan optimal. Berdasarkan teori Implementasi kebijakan publik model
Donald Van Metter dan Carl Van Horn yang dikutip dalam Agustino (2012:141-
144) yaitu terdiri dari Ukuran dan Tujuan Kebijakan, Sumberdaya,
Karakteristik Agen Pelaksana, Sikap/Kecenderugan (Disposition) para Perlaksana,
Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana, dan Lingkungan Ekonomi
Sosial dan Politik, adalah sebagai berikut:
1. Tujuan dari penerapan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan
dan Toko Modern ini belum optimal. Karena di lingkungan
masyarakat masih terjadi pergolakkan dengan banyaknya
penolakan pendirian waralaba karena dianggap tidak sesuai dengan
aturan Perda. Contohnya di wilayah Menes karena dianggap dekat
dengan pasar tradisional.
Page 118
105
2. Dari segi sumberdaya peneliti menilai belum berjalan optimal.
Ada beberapa pasal yang terdapat dalam Perda yang masih
multitafsir.
3. Karakteristik agen pelaksana masih sangat lemah dalam
pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12
Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern. Dari pantauan peneliti, Satpol PP
sebagai agen pelaksana belum bersikap tegas terhadap penindakan
pelanggaran yang terjadi. Selain itu berdasarkan hasil penelitian
kinerja dari tim teknis masih belum optimal karena menurut
pemilik waralaba, masih ada oknum yang bermain dalam proses
perijinan.
4. Pola koordinasi dan komunikasi antarorganisasi di dalam internal
tim teknis sudah berjalan dengan baik karena untuk keberhasilan
pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12
Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern ditentukan oleh koordinasi yang
baik dan komunikasi antarorganisasi yang baik dan
berkesinambungan. Sedangkan di eksternal, koordinasi dan
komunikasi antarorganisasi yang dibangun antara pemerintah
dengan pelaku usaha kecil belum berjalan optimal.
Page 119
106
5. Peneliti berkesimpulan bahwa ada upaya dari pemerintah daerah
untuk melindungi aspek sosial ekonomi dalam masyarakat dengan
mencegah menjamurnya waralaba berbentuk minimarket
menggunakan Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12
Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern. Perlindungan terhadap masyarakat
bawah, pelaku usaha kecil adalah prioritas utama dari pemerintah
daerah dan patut diberikan apresiasi. Meskipun pada kenyataannya
berdirinya waralaba berdampak pada peningkatan PAD dari sektor
pajak dan berkurangnya angka pengangguran yang terserap dari
usaha ini.
5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang peneliti ajukan berupa
rekomendasi sebagai berikut:
1. Lebih meningkatkan kompetensi atau pengetahuan dalam tim
teknis sehingga bisa menularkan pengetahuannya kepada
masyarakat.
2. Peningkatan kinerja tim dan meminimalisir permainan oknum
dalam perijinan waralaba. Sebagai pelaksana, bersikap tegas
terhadap pelanggaran yang terjadi baik dari pihak waralaba
maupun tim teknis itu sendiri.
Page 120
107
3. Melibatkan secara langsung stakeholder dalam perumusan
kebijakan karena berkaitan dengan sasaran kebijakan itu sendiri.
4. Lebih meningkatkan lagi koordinasi dan komunikasi
antarorganisasi di internal maupun eksternal.
5. Pengawasan yang ketat dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan
Koperasi sebagai salah satu tim teknis untuk melindungi pelaku
usaha kecil yang ada di Kabupaten Pandeglang.
6. Mengkaji dan merevisi kembali isi dari Peraturan Daerah
Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern
karena menurut peneliti ada beberapa pasal yang bisa dijadikan
celah permainan oknum seperti yang peneliti sebutkan pada
identifikasi masalah.
Page 121
DAFTAR PUSTAKA
SumberBuku:
Denzin, Norman K. &Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook Of Qualitative
Research. Terjemahan Dari yanto dkk. Yogyakarta ; Pustaka Pelajar.
Djam’an Satori, Dan Aan Komariah. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung ; Alfabet.
Dessler, Gary. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta; Indeks.
George R.Terry. 2001. Prinsip – prinsip Manajemen. PT Bumi Aksara.
.1986. Asas – asas Manajemen. Penerjemah Winardi. Bandung;
Alumni.
Harahap, Sofyan. 2001. Sistem Pengawasan Manajemen. Jakarta ; Quantum.
Hasibuan, Malayu. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia :Pengertian Dasar,
Pengertian, dan Masalah. Jakarta ; PT Toko Gunung Agung.
Husnaini, Usman. 2001. Manajemen Teori Praktik dan Riset Pendidikan. Jakarta;
Bumi Aksara.
Manullang, M. Dan Manullang Marihot. 2001. Manajemen Sumber Daya
Manusia. Edisi Pertama. Cetak Pertama. Yogyakarta; BPEE.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung ; PT Remaja
Rosda karya Offset.
.2005. Metode Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung ; PT Remaja
Rosdakarya.
Ricky W. Griffin. 2004. Manajemen. Edisi Tujuh. Jilid Pertama. Jakarta;
Erlangga.
Siagian, Sondang. 2003. Filsafat Administrasi. Edisi Revisi. Jakarta; BumiAksara.
Simbolon, Maringan Masri. 2004. Dasar – dasar Administrasi dan Manajemen.
Jakarta; Ghalia Indonesia.
Silalahi, Ulber. 2010. Metode Penelitian Sosial. Jakarta; RefikaAditama.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif & RND. Bandung;
Alfabet.
Page 122
. 2010. Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif & RND.
Bandung; Alfabet.
Sule, E. Saefullah, K. 2005. Perkenalan Dengan Konsep Manajemen. Jakarta;
Kencana.
T. Hani Handoko. 1984. Edisi Ke-1. Dasar–dasar Manajemen Produksi dan
Operasi.Yogyakarta ; BPEE.
Wicaksana, Kristian Widya. 2006. Administrasi dan Birokrasi
Pemerintah.Yogyakarta : Graha ILMU
SumberPeraturan:
Peraturan Daerah KabupatenPandeglangNomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
Page 123
MATRIKS WAWANCARA
Kepala BPMPPTSP Kab.Pandeglang (I1)
Dimensi Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Q1 Tingkat keberhasilan suatu Penegakkan Perda?
“Dari segi penerapan barang jualan yang menjual barang lokal. Memang masih
banyak pelanggarannya. Sementara untuk kasus waralaba yang posisinya dekat
dengan pasar, waralaba tersebut berdiri sebelum Perda ini disahkan dan masih dalam
tahap kajian. Itu yang membuat perda seakan-akan tidak efektif. Kami bergerak,
bahkan atas sepengetahuan DPRD kab. Pandeglang. Menurut kami saat ini sudah
efektif. Contohnya adalah melakukan peneguran pada waralaba yang menyalahi
peraturan, misalnya peraturan tentang waralaba minimarket tidak boleh buka selama
24 jam.”
Q2 Apa tujuan kebijakan tersebut?
“Tujuan dari diberlakukannya perda ini adalah agar pengusaha waralaba bisa diatur
sehingga bisa berinvestasi tanpa harus merusak tatanan sosial yang sudah ada di
daerah. Kita juga kan harus mensupport kearifan lokal oleh karena itu maka ada
aturannya dalam perda ini.”
Q3 Langkah apa yang sudah dilakukan dalam Penegakkan Perda ini?
“Maka dalam penegakan penyelengaraan waralaba, tentu kami tetap beracuan pada
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Kami selalu mengacu pada Perda
tersebut untuk melakukan penindakan. Namun jika memang ada waralaba yang tidak
sesuai dengan prosedur yang ada, kami biasanya akan mengkaji. Dan jika memang
benar ada pelanggaran, maka tentu kami akan memanggil pemilik waralaba
minimarket tersebut”
Dimensi Sumberdaya
Q1 Sumberdaya manusia yang mendukung dalam pelaksanaan perda tersebut sudah
memadai?
“Bahwa pelaksanaan perda ini dilakukan oleh orang-orang yang kompeten dan
professional. Tim teknis tersebut merupakan orang-orang instansi yang terkait. Hal ini
bertujuan agar pelaksanaan perda tersebut untuk melindungi masyarakat kecil dan
menstabilkan kondisi social ekonomi di daerah kami.”
Q2 Bagaimana pemahaman para tim teknis terhadap Perda tersebut?
“Saya kira cukup baik ya mas…”
Page 124
Kepala Bidang Sistem Informasi dan Pengendalian BPMPPTSP Kab.Pandeglang (I2)
Dimensi Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Q1 Tingkat keberhasilan suatu Penegakkan Perda?
“Sebetulnya, kami ingin menindak waralaba yang lebih dulu buka dibandingkan
adanya Perda ini. Tetapi karena terkendala juga dengan kontrak tanah antara
minimarket dengan pemilik tanah. Akhirnya kami susah untuk bergerak pada kasus
seperti itu. Yang bisa kami lakukan adalah membuat para pengusaha minimarket agar
setelah kontrak habis, mereka dipaksa untuk pindah.”
Q2 Apa tujuan kebijakan tersebut?
“Tujuan adanya perda ini adalah agar minimarket juga menghormati bagaimana
situasi ekonomi sosial yang ada di sini. Kami juga harus melindungi masyarakat dong
meskipun investasi waralaba menguntungkan untuk PAD”
Q3 Langkah apa yang sudah dilakukan dalam Penegakkan Perda ini?
“Kami melakukan sosialisasi kepada waralaba, misalnya tentang pembangunan yang
harus 200m, dan jam buka tutupnya minimarket itu”
Dimensi Sumberdaya
Q1 Sumberdaya manusia yang mendukung dalam pelaksanaan perda tersebut sudah
memadai?
“Iya benar. Sumberdaya dari tim teknis dalam pelaksanaan perda ini adalah
sumberdaya manusia terbaik dan kompeten”
Q2 Sumberdaya lainnya yang mendukung pelaksanaan perda tersebut sudah memadai?
“Anggaran dalam menyokong pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang
Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern sudah sesuai dan amat memadai dan menunjang
pekerjaan.”
Q3 Bagaimana pemahaman para tim teknis terhadap Perda tersebut?
“Yang saya tahu, seluruh tim teknis memahami dengan baik isi daari perda tersebut
serta bisa mengimplementasikannya dengan baik ketika pengawasan terhadap
waralaba dilakukan.”
Dimensi Karakteristik Agen Pelaksana
Q1 Apa yang menjadi acuan dalam pemilihan individu menjadi Tim Teknis Pelaksanaan
Perda ini?
“Ya tentu saja tim teknis merupakan gabungan dari individu yang sesuai dengan basic
keilmuannya. Selain itu dalam pemilihannya juga dilakukan dengan seleksi yang ketat
dan standar yang tinggi. Saya berani menjamin kalau tim ini adalah yang terbaik dari
yang ada.”
Q2 Apa yang menjadi hambatan Tim Teknis dalam pelaksanaan kebijakan tersebut?
Page 125
“Bahwa hambatan yang sering terjadi adalah ketika muncul penolakan dari
masyarakat jika suatu warlaba akan didirikan. Padahal kajian terhadap hal tersebut
sudah sesuai dengan aturan yang ada. Disini kita kadang dilema, padahal apa yang
dilakukan juga memikirkan nasib masyarakat kecil seperti mereka. Terkadang protes
dari masyarakat datangnya karena dipanasi oleh LSM yang ga jelas.”
Q3 Bagaimana tanggapan anda mengenai isu adanya oknum yang meminta pelican terkait
perijinan waralaba?
“Wah itu tidak benar mas, tidak pernah ada istilah pelicin untuk mempercepat
perijinan. Semua sesuai prosedur sebagaimana mestinya. Kalau mau itu si pemilik
waralaba datang kesini dan tunjuk hidung siapa oknum yang berbuat demikian. ”
Dimensi Sikap/ Kecenderungan (Disposisi) para implementor
Q1 Sejauhmana keterlibatan masyarakat dan pemilik waralaba dalam perumusan Perda
ini?
“Memang diakui bahwa perumusan kebijakan ini hanya antara pemerintah dengan
dewan saja mas. Tapi saya tegas membantah bahwa pemerintah berpihak pada
pengusaha waralaba. Justru aturan ini dibuat tujuannya adalah untuk mencegah
menjamurnya waralaba di Kabupaten Pandeglang dan jelas untuk melindungi
masyarakat kecil atau pelaku usaha kecil warungan. Jadi kalau dibilang kita berpihak
pada pengusaha itu jelas nda bener.”
Q2 Seperti apa peran pemilik waralaba dan masyarakat dalam keberhasilan implementasi
Perda?
“Peran masyarakat harusnya ikut mengawasi jalannya pelaksanaan perda sementara
pemilik waralaba cukup dengan mentaati aturan yang sudah dibuat.”
Dimensi Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana
Q1 Apakah koordinasi dan komunikasi antar lembaga dalam tim teknis berjalan dengan
baik?
“Koordinasi yang dilakukan oleh tim teknis yang merupakan perwakilan dari
beberapa instansi berjalan dengan baik. Sehinga pelaksanaan perda juga berjalan
dengan baik. Komunikasi juga lancar dan saling memahami tugas dan wewenang
masing-masing.”
Q2 Apakah pola koordinasi dengan pemilik usaha warungan sudah berjalan baik?
Maksudnya ketika akan berdiri suatu waralaba pihak pemilik usaha warungan disekitar
dilibatkan atau dari jauh hari sudah diberitahukan?
“Koordinasi yang dilakukan oleh tim teknis dengan usaha kios atau warungan
berjalan kok. Tidak mungkin tidak kita libatkan karena sejatinya pelaksanaan perda
no 12 tahun 2010 ini yaitu untuk melindungi para usaha kecil tersebut. Jadi aneh dan
ga benar itu kalo dibilang tidak dilibatkan.”
Page 126
Dimensi Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
Q1 Apa dampak social ekonomi dari menjamurnya waralaba di Kabupaten Pandeglang?
“Seperti yang telah kita bahas tempo hari ya mas. Bahwa tujuan adanya perda no 12
ini adalah agar kita bisa mengontrol keberadaan minimarket atau waralaba agar
tidak menjamur dan memberikan dampak sosial yang buruk di Kabupaten Pandeglang
ini. Pemilik waralaba juga harus menghormati bagaimana situasi ekonomi sosial yang
ada di sini. Pihak pemerintah juga harus melindungi masyarakat dong terutama
pelaku usaha kecil. Meskipun sebetulnya investasi waralaba menguntungkan untuk
PAD dan menekan pengangguran.”
Q2 Seperti apa upaya menangkalnya?
“Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Waralaba Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern disitu
dipaparkan mengenai syarat-syarat pendirian waralaba. Mulai dari kajian jarak
antara toko dengan pasar tradisional, aturan mengenai produk local yang wajib dijual
disana dan aturan lainnya yang menurut saya lumayan rumit. Dijelaskan juga dalam
pasal 2 ayat 1 Perda no 12 tahun 2010 ini bahwa pendirian waralaba harus
memperhatikan aspek sosial ekonomi masyarakat serta memperhatikan keberadaan
pasar tradisional, usaha kecil dan menengah di Kabupaten Pandeglang. Nah dengan
aturan tersebut maka jelas kalau dari pihak waralaba keberatan memenuhi syarat
tersebut ya silahkan untuk mendirikan waralaba di daerah lain. Saya rasa disinilah
letak perlindungan atau upaya pemerintah daerah melindungi pelaku usaha kecil dan
keberadaan pasar tradisional.”
Page 127
Tim Teknis Dinas Cipta Karya, Penataan Ruang dan Kebersihan Kab. Pandeglang (I3)
Dimensi Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Q1 Apa tujuan kebijakan tersebut?
“Tujuan penetapan tata ruang di sini adalah agar investasi di suatu daerah termasuk
waralaba agar mengedepankan keberlanjutan, keserasian, dan keseimbangan dalam
daerah atau lokasi. Jadi dalam pembangunan tersebut, kita melihat mana daerah zona
cepat tumbuh dan zona tidak cepat tumbuh, sesuai dengan tata ruang kita. Jadi
intinya, adanya perda ini agar waralaba ini tidak tumbuh secara sporadis karena
efeknya akan sangat luar biasa jika hal itu terjadi. Tetapi harus dilihat, jika itu jalur
wisata maka bisa tumbuh juga dengan pertimbangan yang lain”
Q2 Langkah apa yang sudah dilakukan agar pelaksanaan kebijakan tidak berbenturan
dengan kebijakan tata ruang?
“Tiap 3 bulan sekali ada pengawasan dan pengendalian, yaitu waralaba, perumahan,
dan sektor-sektor lain. Kita mencatat apa yang dilanggar dan terus melaporkan ke
atasan kita. Kita juga koordinasi langsung dengan satpol PP karena satpol PP yang
akan mengeksekusi pelanggaran itu”
Dimensi Sumberdaya
Q1 Bagaimana pemahaman para tim teknis terhadap Perda tersebut?
“Tentu kami sangat paham seperti apa isi Perda Nomor 12 tersebut karena
merupakan kewajiban kami sebagai tim teknis harus paham dan mengerti isi dari
perda tersebut.”
Dimensi Karakteristik Agen Pelaksana
Q1 Bagaimana tanggapan anda mengenai isu adanya oknum yang meminta pelican terkait
perijinan waralaba?
“Yang saya tau dan rasakan, tidak ada main mata selama ini antara pemilik waralaba
dengan tim teknis soal perijinan karena kami terikat dengan aturan dan sop yang
ada.”
Dimensi Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana
Q1 Apakah koordinasi dan komunikasi antar lembaga dalam tim teknis berjalan dengan
baik?
“Pola koordinasi dan komunikasi dalam tim sudah terlaksana dengan baik sehingga
menghasilkan sebuah tim kerja yang solid.”
Page 128
Tim Teknis Dinas Koperasi, Peindustrian dan Perdagangan Kab. Pandeglang (I4)
Dimensi Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Q1 Bagaimana pembinaan terhadap waralaba?
“Tugas kami adalah pembinaan kepada waralaba. Maksudnya agar mendorong
waralaba yang ada untuk ikut dalam memajukan sector usaha kecil di wilayah kami.
Seperti mendorong untuk menjual produk local sesuai dengan amanah dari Perda
tentang waralaba.”
Dimensi Sumberdaya
Q1 Bagaimana pemahaman para tim teknis terhadap Perda tersebut?
“Ketika kami ditunjuk sebagai tim teknis maka kewajiban kami adalah bagaimana
perda nomor 12 ini terlaksana dengan baik. Maka otomatis agar berjalan dengan baik
kami juga harus paham dengan isinya.”
Dimensi Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana
Q1 Apakah koordinasi dan komunikasi antar lembaga dalam tim teknis berjalan dengan
baik?
“Koordinasi dan komunikasi selalu kami tekankan untuk meminimalisir missed
communication.”
Page 129
Tim Teknis SATPOL PP Kab. Pandeglang (I5)
Dimensi Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Q1 Penindakkan seperti apa yang telah dilakukan terkait indikasi pelanggaran perda
tersebut?
“Tugas kami adalah penindakkan. Karena kami merupakan unsur penegak hukum dan
perundang-undangan. Maka kami selain bertugas mengawasi, juga memberikan
penindakan terhadap pelanggaran yang dilakukan.”
Dimensi Sumberdaya
Q1 Bagaimana pemahaman para tim teknis terhadap Perda tersebut?
“Memahami dan mengetahui isi perda adalah wajib untuk tim teknis. Karena
bagaimana mau melaksanakan isi perda jika kami tidak memahaminya”
Dimensi Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana
Q1 Apakah koordinasi dan komunikasi antar lembaga dalam tim teknis berjalan dengan
baik?
“Untuk mewujudkan pelaksanaan Perda No 12 tahun 2010 ini maka kami dari tim
teknis selalu berkoordinasi dengan baik dan melakukan komunikasi yang
berkesinambungan agar pelaksanaannya berjalan dengan baik juga.”
Page 130
Pemilik Waralaba (I6-I9)
Dimensi Karakteristik Agen Pelaksana
Q1 Adakah hambatan ketika mengurus perijinan, misalkan adanya oknum yang meminta
pelicin?
I6 “Iya mas, sempat sih ada oknum yang seperti itu (meminta pelican), cuma kami
menolak tegas dan meminta proses perijinan berjalan berdasarkan prosedur yang
semestinya saja. Karena kami yakin prosedur yang kami tempuh sudah sesuai dan
segala persyaratan yang harus dilakukan sudah dilakukan dengan baik. Makanya
Alhamdulillah ijin waralaba kami didapatkan tanpa jalur-jalur khusus yang menjadi
isu hangat. Walaupun ijinnya kami dapatkan dalam tempo cukup lama.”
I7 “Iya mas. Saya diminta sekian juta untuk mempercepat proses perijinan berdirinya
waralaba. Waralaba saya ini bentuknya kerjasama atau frienchise.”
I8 “Iya mas memang seperti itu adanya”
I9 “Saya dengar desas desusnya seperti itu mas. Tapi saya kurang tau karena ketika saya
ajukan perijinan berjalan normative saja.”
Q2 Menurut anda apakah tim teknis sudah bekerja maksimal dalam pelaksanaan perda ini?
I6 “Kalau harus jujur, saya sempat kecewa ketika mengajukan perijinan usaha waralaba
ini. Ijin turun terlalu lama kemudian terlihat tim yang ada tidak optimal dalam
bekerja. Padahal menurut saya, munculnya waralaba banyak memiliki dampak positif
bagi daerah selain membuka lapangan kerja juga meningkatkan iklim investasi. Jadi
tidak seharusnya dipersulit.”
I7 “Jelas sekali mas. Kerjanya kurang optimal dan menurut saya mengecewakan karena
masih ada oknum yang bermain. Hanya saja mungkin bagi sebagian orang hal ini
sangat biasa.”
I8 “Saya liat sih belum optimal ya mas. Soalnya masih beredar isu tersebut juga saya
kira masih terdapat beberapa pelanggaran dalam pelaksanaan perda ini”
I9 “Saya rasa sih kinerjanya biasa-biasa saja”
Dimensi Sikap/ Kecenderungan (Disposisi) para implementor
Q1 Sejauhmana keterlibatan masyarakat dan pemilik waralaba dalam perumusan Perda
ini?
I6 “Saya sih perasaan ga merasa dilibatkan ya mas, padahal saya punya waralaba ini
lebih dulu dari Perda tersebut disahkan.”
I7 “Tidak merasa dilibatkan saya nya mas.”
I8 “Saya rasa perumusan perda ini tidak melibatkan stakeholders soalnya saya sendiri
tidak merasa dilibatkan.”
I9 “Pemerintah daerah dan dewan saja itu mah mas. Tidak ada keterlibatan dari para
pemilik waralab. Tiba-tiba ada sosialisasinya saja.”
Dimensi Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana
Q1 Apakah pihak pemerintah melakukan koordinasi dan selalu berkomunikasi dengan
pihak waralaba dalam pelaksanaan perda tersebut?
Page 131
I6 “Saya rasa sih sudah cukup baik. Artinya memang pelaksanaan aturannya berjalan..”
I7 “Selalu ada dari pihak pemerintah yang mengontrol waralaba saya. Hal ini patut di
apresiasi karena sampai saat ini control dari pihak pemerintah selalu ada. Pola
komunikasi yang dibangun juga sudah cukup baik.”
I8 “Sampai saat ini sih selalu ada koordinasi dari berbagai instansi.”
I9 “Cukup sering ya mas kalo berbicara komunikasi. Dan tentu kita berkoordinasi
dengan baik.”
Dimensi Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
Q1 Setujukah jika Perda No 12 Tahun 2010 adalah upaya pemerintah membatasi
keberadaan waralaba?
I6 “Iya saya juga sepakat bahwa kemunculan waralaba haruslah berdampak positif bagi
daerah bukan malah memunculkan masalah baru.”
I7 “Untuk menghindari konflik sosial, maka memang penyelenggaraan waralaba harus
diatur dengan jelas, dan saya sepekat dengan aturan saat ini.”
I8 “Kita sama-sama usaha dan tidak boleh merusak tatanan dari kondisi sosial yang
ada. Upaya pemerintah melindungi pelaku usaha kecil adalah hal yang baik dan kita
harus mendukungnya.”
I9 “Dalam perda kan dijelaskan bahwa pendirian waralaba harus memperhatikan aspek
sosial ekonomi masyarakat serta memperhatikan keberadaan pasar tradisional, usaha
kecil dan menengah di Kabupaten Pandeglang dan ini saya sangat setuju.”
Page 132
Pemilik Kios Usaha Warungan (I10-I13)
Dimensi Sikap/ Kecenderungan (Disposisi) para implementor
Q1 Sejauhmana keterlibatan masyarakat dan pemilik waralaba dalam perumusan Perda
ini?
I10 “Tidak dilibatkan. Padahal mengenai permasalahan waralaba ini menyangkut ke kami
pedagang kecil ya mas. Hanya hidup kami dipertaruhkan.”
I11 “Tidak ada etikad baik dari pemerintah melibatkan kami minimal urun rembug
gitulah. Makanya kami berkesimpulan bahwa pemerintah berpihak pada pengusaha-
pengusaha besar saja.”
I12 “Iya mas saya sendiri merasa pemerintah tidak peduli sehingga kami tidak dilibatkan.
Liat saja hasilnya waralab semakin banyak. Itu alfa indomart makin banyak. Bingung
ke depan nasib kita akan seperti apa. ”
I13 “Kita mah disini ga akan dianggap mas. Buktinya segala protes kita ga di dengar.
Apalagi keterlibatan bikin aturan.”
Dimensi Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana
Q1 Apakah pola koordinasi sudah berjalan baik? Maksudnya ketika akan berdiri suatu
waralaba pihak pemilik usaha warungan disekitar dilibatkan atau dari jauh hari sudah
diberitahukan?
I10 “Tidak dilibatkan sama sekali. Mungkin pemerintah lupa kalo kami adalah pihak yang
secara langsung terkena dampak dari banyaknya waralaba yang ada.”
I11 “Tidak ada koordinasi, tidak diajak berkomunikasi dan tidak pernah dianggap juga.”
I12 “Kecewa mas pokoknya. Masalahnya kan ini menyangkut perekonomian kita ke
depan.”
I13 “Ya gitulah. Jangankan berkoordinasi, masukan kita saja ga pernah di dengarkan.”