perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN PATI TAHUN 2000-2009 SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Melengkapi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh: AHMAD JUNAIDI F 0104024 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
115
Embed
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET …/Analisis...analisis kemandirian keuangan daerah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten pati tahun 2000-2009 skripsi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DAN
PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI
DI KABUPATEN PATI TAHUN 2000-2009
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Melengkapi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
AHMAD JUNAIDI F 0104024
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Sesungguhnya Allah SWT tidak merubah keadaan suatau kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
“Untuk mendapatkan hasil yang berbeda
diperlukan cara berpikir dan tindakan yang berbeda pula”
Kupersembahkan karya yang sederhana untuk :
Bapak dan Ibuku tercinta yang telah berjuang untuk membesarkanku
Mbah Misri nenekku yang sangat memperhatikanku
Kakak, adik dan semua keluarga besarku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puja serta puji syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT karena
berkat rahmat dan karunia-Nya, akhirnya skripsi yang berjudul “Analisis
Kemandirian Keuangan Daerah Dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Di Kabupaten Pati Tahun 2000-2009” dapat diselesaikan untuk
memenuhi syarat dalam pencapaian gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi
Pembangunan pada Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini banyak sekali kendala yang penulis hadapi.
Namun, seiring dengan berlalunya waktu serta usaha yang tidak kenal lelah,
kendala yang muncul bisa teratasi. Tidak lupa penulis menghaturkan ucapan
terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang secara langsung maupun
tidak langsung memberikan bantuannya sehingga skripsi ini bisa diselesaikan.
Oleh karena itu dengan kerendahan hati dan ketulusan yang mendalam penulis
menghaturkan terima kasih kepada :
1. Bapak Sumardi, SE, selaku pembimbing yang dengan arif dan bijak telah
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing dan memberikan
masukan yang berarti dalam penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Wisnu Untoro, M.S selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas
Maret Surakarta yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak
membantu penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi UNS.
3. Drs. Supriyono, M.Si selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan.
4. Dra Izza Mafruah, M.Si selaku sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret
Surakarta beserta seluruh staff dan karyawan yang telah memberikan
bimbingan, arahan, dan pelayanan kepada penulis.
6. Keluarga yang senantiasa selalu mendoakan, memberi dorongan dan
bimbingan kepada penulis.
7. Titik Purwoningsih yang senantiasa menemaniku di saat suka dan duka, sehat
maupun sakit.
8. Teman-teman Ekonomi Pembangunan 2004 terutama kloter rerakhir Bram,
Puguh, Ridwan, Catur, Danang,
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu baik secara langsung
maupun tidak atas bantuannya kepada penulis hingga terselesaikannya
penelitian ini.
Penulis menyadari betul bahwa di dalam penulisan ini masih terdapat
kekurangan-kekurangan, yang dikarenakan keterbatasan waktu & pikiran. Semoga
skripsi ini bisa memberikan kontribusi yang berarti bagi perkembangan ilmu
pengetahuan. Saran serta kritik akan penulis terima, sebagai bahan evaluasi bagi
penulis.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Surakarta, Januari 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
BAB V PENUTUP .......................................................................................... ...100
A. Kesimpulan .......................................................................................... ...100
B. Saran ............................................................................................ ...105
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).........38
Tabel 3.1 Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah.........57
Tabel 3.2 Uji Statistik Durbin-Watson……………………………………....63
Tabel 4.1 Pertumbuhan PDRB Kabupaten Pati……………………………...74
Tabel 4.2 Pertumbuhan APBD Kabupaten Pati Tahun 2000-2009………….75
Tabel 4.3 Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten Pati
Tahun 2000-2009............................................................................76
Tabel 4.4 Ukuran DDF Kabupaten Pati...........................................................78
Tabel 4.5 Derajat Desentralisasi Fiskal 1 Kabupaten Pati...............................78
Tabel 4.6 Derajat Desentralisasi Fiskal 2 Kabupaten Pati …………………..79
Tabel 4.7 Derajat Desentralisasi Fiskal 3 Kabupaten Pati…………………...80
Tabel 4.8 Upaya Fiskal Kabupaten Pati...........................................................82
Tabel 4.9 Posisi Fiskal Kabupaten Pati……………………………………....83
Tabel 4.10 Kebutuhan Fiskal Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Pati……84
Tabel 4.11 Kapasitas Fiskal Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Pati……..85
Tabel 4.12 Derajat Otonomi Fiskal Kabupaten Pati………………………..…87
Tabel 4.13 Kemandirian Daerah dengan Pola Hubungan Kabupaten Pati……88
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
Tabel 4.14 Hasil Regresi Linear ……………………………………………..90
Tabel 4.15 Hasil Uji t-Statistik………………………………………………..92
Tabel 4.16 Hasil Pengujian Mulitkolinearitas………………………………...96
Tabel 4.17 Hasil Uji White Test ……………………………………………...99
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran...........................................................48
Gambar 3.1 Daerah Diterima Dan Daerah Tolak Uji t......................................60
Gambar 3.2 Daerah Diterima Dan Daerah Tolak Uji F.....................................62
Gambar 3.3 daerah terjadi atau tidak terjadi Autokorelasi................................64
Gambar 4.1 Perhitungan Durbin-Watson ..........................................................89
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
ABSTRAK
ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DAN PENGARUHNYA TERHADA PERTUMBUHAN EKONOMI DI
KABUPATEN PATI TAHUN 2000-2009
Ahmad Junaidi F 0104024
Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengetahui tingkat kemandirian daerah Kabupaten Pati terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah jika diukur dengan rasio kemandirian daerah dengan pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 2) Untuk mengetahui apakah Derajat Desentralisasi Fiskal, Upaya Fiskal, Kebutuhan Fiskal Daerah Kabupaten Pati berpengaruh terhadap pertumbuhan PDRB Kabupaten Pati. Sehubungan dengan hal itu diajukan hipotesis 1) Kabupaten Pati diduga belum mandiri secara keuangan dalam membiayai penyelenggaraan Otonomi Daerah bila di ukur dengan Rasio Kemandirian dan pola hubungannya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah. 2) Diduga ada pengaruh yang signifikan antara variabel Derajat Desentralisasi Fiskal, Upaya Fiskal, Kebutuhan Fiskal Daerah Kabupaten Pati terhadap pertumbuhan PDRB Kabupaten Pati.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kuantitatif dan deskriptif. Penelitian ini merupakan studi mengenai Derajat Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya fiskal, Derajat Otonomi Fiskal, Posisi Fiskal serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan PDRB Analisis data yang dilakukan dengan Metode Regresi Kuadrat Terkecil/OLS (ordinary least square) dengan bantuan program komputer Eviews4. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan runtut waktu 2000-2009. Data sekunder ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Bappeda Kabupaten Pati serta instansi-instansi yang terkait dalam penelitian ini.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari perhitungan t dan F hitung dapat diketahui bahwa variabel Derajat Desentralisasi Fiskal berpengaruh positif tidak signifikan secara statistik terhadap pertumbuhan PDRB di Kabupaten Pati. Variabel Upaya Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal berpengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap pertumbuhan PDRB di Kabupaten Pati. Secara bersama-sama variabel independen (derajat desentralisasi fiskal, upaya fiskal, kebutuhan fiskal, dan upaya fiskal) berpengaruh signifikan secara statistik terhadap variabel dependen (pertumbuhan PDRB Kabupaten Pati)
Berdasarkan hasil kesimpulan diajukan beberapa saran yaitu : 1)Mengoptimalkan potensi daerah yang ada untuk meningkatkan PAD, 2)Menyusun program kebijakan dan strategi pengembangan serta menggali objek pungutan pajak baru yang potensial, 3) Mengoptimalkan pemungutan pajak dan retribusi sesuai dengan potensi objektif berdasarkan Perda yang berlaku, 4)Mengadakan studi banding ke daerah lain untuk mendapatkan informasi dan bahan referensi mengenai sumber-sumber PAD dan pengelolaannya.
Kata Kunci: Kemandirian Keuangan Daerah, Pertumbuhan ekonomi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem desentralisasi, ternyata telah dikenal sejak pemerintahan orde
baru, dengan dilaksanakannya UU No. 5 tahun 1974. Pokok- pokok yang
terkandung dalam Undang- undang ini antara lain berisi tiga prinsip (Mudrajat
Kuncoro, 2004) Pertama, desentralisasi yang mengandung arti penyerahan urusan
pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah. Kedua,
dekonsentrasi yang berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala
wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat - pejabat di
daerah. Ketiga, tugas perbantuan yang berarti pengkondisian prinsip desentralisasi
dan dekonsentrasi oleh kepala daerah yang memiliki fungsi sebagai penguasa
tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah.
Walaupun diakui konsep desentralisasi tersirat dalam isi UU No 5 tahun
1974 namun pada kenyataannya implementasinya sangat jauh dari konsep.
Sentralisasi (kontrol dari pusat) terutama ketergantungan jelas terlihat dari aspek
keuangan, dimana pemerintah daerah kehilangan keleluasaan bertindak untuk
mengambil keputusan-keputusan penting. Sistem pemerintahan sentralistik ini,
ternyata menyebabkan meningkatnya beban anggaran pusat padahal pada saat ini
pemerintah pusat semakin kesulitan mengusahakan biaya pembangunan.
Pemerintahan yang sentralistik ini mengakibatkan adanya ketimpangan
pendapatan dan pengelolaan keuangan antara pusat dan daerah. Sumber daya yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
cukup potensial yang dimiliki oleh daerah sebagian besar dikirim ke pusat,
padahal seharusnya sumber daya itu dikelola secara mandiri demi kesejahteraan
masyarakat daerah. Akibat lebih jauh dari kebijakan sentralistik ini adalah
munculnya ketimpangan masyarakat, antara pusat dan daerah, padahal peran
pembangunan yang diharapkan adalah memacu perekonomian dan mencapai
kesejahteraan masyarakat.
Model pemerintahan top down ini berimplikasi pada tumpang tindih
antara rencana dan realisasi di lapangan serta kreativitas pemerintah daerah
beserta aparatnya terbatas, hanya bergantung pada pemerintah pusat oleh karena
itu lahirlah UU No. 22 dan UU No.25 tahun 1999 antara lain merupakan
perwujudan dari pergeseran sistem pemerintahan sentralistik (top down) menuju
sistem desentralisasi (bottom up). Dengan adanya UU No. 22 tahun 1999, tentang
pemerintahan daerah kepala daerah diberi wewenang yang luas untuk mengurus
dan mengatur kepentingan masyarakat daerahnya sesuai dengan prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat (UU No. 22 th. 1999 pasal 1, huruf h). Pemberian
wewenang yang luas tidak berarti apabila tidak dibarengi dengan pemberian
wewenang atas pengelolaan keuangan yang memadai (UU No. 22 Th. 1999, pasal
8 ayat 1 dan 2) Tujuan pemberian kewenangan dalam penyelenggaran otonomi
daerah adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan
sosial.
Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU
No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. Pada pasal 1 ayat 5, “Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang- undangan.”. Berkaitan dengan hal itu peranan pemerintah daerah
sangat menentukan berhasilnya pembangunan di daerah, dengan pemilihan
strategi perencanaan yang tepat, maka tidak mustahil peran itu akan tercapai.
Efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah
adalah refleksi dari seberapa besar kewenangan dimiliki dalam menetapkan
kebijakan pada tingkat lokal. Apabila keleluasaan dalam menetapkan kebijakann
penataan, kelembagaan personal dan sumber - sumber keuangan maka peranan
pemerintah daerah akan kuat dan efektif. Keleluasaan tersebut dapat juga berupa
kewenangan untuk merumuskan kebutuhan- kebutuhan masyarakat di daerah
sekaligus prioritas-prioitas apa yang diperlukan bagi daerah. Namun proses
pemindahan otoritas kewenangan itu menjadi sia-sia jika pemerintah daerah tidak
didukung secara maksimal baik dari segi sarana atau prasarana. Salah satu
permasalahan yang dihadapi kabupaten dalam pelaksanaan otonomi adalah
seberapa siap daerah membiayai kepentingannya secara mandiri, seperti yang kita
ketahui tujuan dari adanya desentralisasi ini adalah mencapai sasaran
pembangunan (Mudrajat Kuncoro, 2004) seperti:
1. Meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah.
2. Meningkatkan pendapatan per kapita.
3. Mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan.
Di sisi lain, saat ini kemampuan keuangan beberapa pemerintah daerah
masih sangat tergantung pada penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat.
Sebenarnya, peranan pemerintah daerah mengelola keuangan daerah sangatlah
menentukan berhasil atau tidaknya pemerintah dalam mengelola
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pemerintahannya. Selama ini, hubungan keuangan pusat dan daerah menyebabkan
relatif kecilnya peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di dalam struktur APBD
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Dengan kata lain, peranan atau
kontribusi penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat dalam bentuk Bagi
Hasil Pajak dan Bukan Pajak, sumbangan dan Bantuan mendominasi konfigurasi
APBD. Sumber-sumber penerimaan yang relatif lebih besar pada umumnya
dikelola oleh pusat, sedangkan sumber-sumber penerimaan yang relatif kecil
dikelola oleh daerah. Pola hubungan seperti inilah yang membuat pemerintah
daerah sangat tergantung oleh pusat.
Dari paparan diatas tampak jelas bahwa faktor kemampuan mengelola
keuangan daerah merupakan faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan
pelaksanaan Otonomi Daerah. Maka diharapkan kemampuan mengelola keuangan
daerah dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah.
Kabupaten Pati sebagai bagian integral dari pemerintahan pusat yaitu Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Propinsi Jawa Tengah serta didasarkan pada
pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh, berusaha menyelaraskan diri
dengan cita-cita otonomi daerah. maka ditulislah penelitian yang merupakan suatu
analisis mengenai pengelolaan kemandirian keuangan daerah dan pengaruhnya
terhadap perekonomian (pertumbuhan PDRB) di Kabupaten Pati tahun 2000-
2009. Tentunya banyak segi atau aspek keuangan daerah yang dapat diteliti
sehingga dapat diketahui seberapa tingkat kemandirian daerah di Kabupaten Pati
itu sendiri. Dalam hal ini, Peneliti memfokuskan pada analisis deskriptif melalui
pertumbuhan PAD dan pertumbuhan ekonomi di kabupaten Pati dan juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
secara analisis kuantitatif melalui Derajat Desentralisasi Fiskal, Upaya Fiskal,
Posisi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang seperti telah diutarakan di atas, permasalahan
penelitian yang diajukan pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana tingkat kemandirian daerah Kabupaten Pati terhadap pelaksanaan
Otonomi Daerah jika diukur dengan rasio kemandirian daerah dengan pola
hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah?
Kapasitas Fiskal Daerah Kabupaten Pati berpengaruh terhadap pertumbuhan
PDRB Kabupaten Pati?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan penelitian, maka tujuan studi yang ingin
dicapai adalah:
1. Mengetahui tingkat kemandirian daerah Kabupaten Pati terhadap pelaksanaan
Otonomi Daerah jika diukur dengan rasio kemandirian daerah dengan pola
hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
2. Untuk mengetahui apakah Derajat Desentralisasi Fiskal, Upaya Fiskal,
Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal Daerah Kabupaten Pati berpengaruh
terhadap pertumbuhan PDRB Kabupaten Pati
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Dapat dijadikan sebagai masukan bagi pemerintah daerah Kabupaten Pati
dalam memaksimalkan potensi daerah sehingga kemandirian daerah otonom
dapat tercapai.
2. Memberikan informasi dan bahan referensi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dalam membahas dan memperdalam masalah yang ada
hubungannya dengan penelitian ini.
3. Menjadi referensi dan bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang
sejenis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah
1. Konsep dan Pengertian
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana
pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya
yang ada dan membentuk pola kemitraan antara pemerintah daerah dan
sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang
perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi dalam wilayah
tersebut) (Lincolin Arsyad, 1999:108). Sedangkan pertumbuhan ekonomi
daerah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di daerah
tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di
daerah tersebut (Tarigan, 2004:44).
Pembangunan ekonomi daerah adalah proses. Yaitu proses yang
mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri-
industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk
menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar
baru, dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru.
Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan
utama untuk meningkatkan jumlah dan peluang kerja untuk masyarakat
daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah
dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pembangunan daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah beserta partisipasi
masyarakatnya dan dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang
ada harus mampu menaksir sumberdaya-sumberdayanya yang diperlukan
untuk merancang dan membangun perekonomian daerah.
Dari definisi diatas jelas bahwa pembangunan ekonomi
mempunyai pengertian :
a. Suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi terus-menerus
b. Usaha untuk menaikkan pendapatan perkapita dan,
c. Kenaikan pendapataan perkapita itu harus berlangsung dalam jangka
panjang.
d. Perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang (misalnya ekonomi,
politik, hukum, sosial dan budaya).
2. Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah
Pada hakekatnya teori tentang pertumbuhan dan pembangunan
daerah berkisar pada dua hal, yaitu pembahasan yang berkisar tentang
metode dalam menganalisis perekonomian suatu daerah dan teori-teori yang
membahas tentang faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi
suatu daerah.
Teori-teori yang mendukung pertumbuhan dan pembangunan
daerah diantaranya adalah sebagai berikut.
a. Teori Ekonomi Neo Klasik
Teori ini memberikan dua konsep pokok dalam pembangunan
ekonomi daerah yaitu keseimbangan dan mobilitas faktor produksi.
Artinya sistem perekonomian akan mencapai keseimbangan alamiahnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
jika modal mengalir tanpa restriksi (pembatasan). Oleh karena itu, modal
akan mengalir dari daerah yang berupah tinggi menuju kedaerah yang
berupah rendah (Lincolin Arsyad, 1999:116).
b. Teori Basis Ekonomi
Teori ini menyatakan bahwa faktor penentu utama bagi
pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah hubungan langsung dengan
permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah.
c. Teori Lokasi
Para ekonom regional sering mengatakan bahwa ada 3 faktor
yang mempengaruhi petumbuhan daerah yaitu : lokasi, lokasi dan lokasi.
Pernyataan tersebut sangat masuk akal jika dikaitkan dengan
pengembangan kawasan industri, perusahaan cenderung untuk
meminimumkan biayanya dengan cara memilih lokasi yang
memaksimumkan peluangnya untuk mendekati pasar.
d. Teori tempat sentral
Teori tempat sentral (central Place theory) menganggap bahwa
ada hierarki tempat, setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat
tempat yang lebih kecil yang menyediakan sumber daya (industri dan
bahan baku), tempat sentral tersebut merupakan suatu pemukiman yang
menyediakan jasajasa bagi penduduk yang mendukungnya. (Lincolin
Arsyad, 1999:117).
e. Teori Kausasi kumulatif
Kondisi daerah-daerah sekitar kota yang semakin buruk
menunjukkan konsep dasar dari tesis kausasi kumulatif (cumulative
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
causation) Hal ini berarti kekuatan-kekuatan pasar cenderung
memperparah kesenjangan antara daerah-daerah tersebut (maju versus
terbelakang) Daerah yang maju mengalami akumulasi keunggulan
kompetitif dibanding daerah-daerah lainnya. Hal ini sering disebut
sebagai back-wash effect (Myrdal dalam Arsyad, 1999:118).
f. Model Daya Tarik (attraction)
Teori daya tarik industri adalah model pembangunan ekonomi
yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Teori ekonomi yang
mendasarinya adalah bahwa suatu masyarakat dapat memperbaiki posisi
pasarnya terhadap industrialiasi melalui pemberian subsidi dan insentif.
g. Teori Harrod-Domar dalam Sistem Regional
Teori ini menyatakan agar suatu daerah tumbuh cepat,
dikehendaki tingkat tabungan tinggi, impor tinggi, ekspor kecil, serta
Capital Output Ratio (COR) kecil. Pertumbuhanyang mantap tergantung
pada apakah arus modal dan tenaga kerja interregional bersifat
menyeimbang atau tidak.
Teori Harrod-Domar sangat perlu diperhatikan bagi
wilayah yang masih terbelakang atau hubungan keluarnya sangat sulit.
Hasil produksi kurang layak untuk diekspor karena biaya angkut tinggi,
maka peningkatan produksi mengakibatkan produk tidak terserap oleh
pasar lokal sehingga merugikan konsumen. Oleh karena itu, lebih baik
mengatur pertumbuhan berbagai sektor secara seimbang. dengan
demikian pertambahan produksi di satu sektor dapat diserap oleh sektor
lain yang tumbuh secara seimbang (Tarigan, 2004:49-50).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Pembangunan Daerah
Pada dasarnya Pembangunan daerah merupakan bagian integral
dan merupakan penjabaran dari pembangunan nasional dalam rangka
pencapaian sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi,
aspirasi, dan permasalahan pembangunan di daerah. Pembangunan daerah
dilaksanakan dengan tujuan untuk mencapai sasaran pembangunan nasional
serta untuk meningkatkan hasil-hasil pembangunan daerah bagi masyarakat
secara adil dan merata.
Pembangunan daerah dapat dilihat dari berbagai segi. Pertama, dari
segi pembangunan sektoral. Pencapaian sasaran pembangunan nasional
dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan sektoral yang
dilaksanakan di daerah. Pembangunan sektoral di daerah disesuaikan
dengan kondisi dan potensinya. Kedua, dari segi pembangunan wilayah
yang meliputi perkotaan dan pedesaan sebagai pusat dan lokasi kegiatan
sosial ekonomi dari wilayah tersebut. Ketiga, pembangunan daerah dilihat
dari segi pemerintahannya. Agar tujuan dan usaha pembangunan daerah
dapat berhasil dengan baik maka pemerintah daerah perlu berjalan dengan
baik. Oleh karena itu, pembangunan daerah harus dilaksanakan dalam
rangka makin mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan
bertanggungjawab.
Secara umum pembangunan daerah mempunyai tujuan (Todaro,
2000 : 22-24) :
a. Menciptakan stabilitas perekonomian, yang ditempuh dengan cara
menciptakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan bagi pengembangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kegiatan ekonomi di daerah, meliputi : penyediaan lahan, tenaga kerja,
pembiayaan dan bantuan teknis/manajemen untuk mencegah timbulnya
ketimpangan-ketimpangan yang dapat menghambat pembangunan.
b. Mendorong terciptanya lapangan pekerjaan yang berkualitas pada
masyarakat, yaitu dengan mengupayakan peningkatan sumber daya
manusia yang lebih berkualitas, sehingga akan mampu berperan dalam
aktifitas yang lebih produktif.
c. Meningkatkan standar hidup masyarakat, dimana tidak hanya berupa
peningkatan pendapatan tetapi juga meliputi panambahan penyediaan
lapangan pekerjaan, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan
kualitas kultural, yang semuanya itu akan memperbaiki kesejahteraan
materiil maupun non materiil.
d. Mendorong terciptanya diversifikasi ekonomi yang lebih luas, yang
diharapkan dapat memperkecil resiko fluktuasi bisnis, di mana dengan
adanya basis ekonomi yang kuat maka resiko fluktuasi ekonomi
regional/wilayah dapat diperkecil.
e. Meningkatkan ketersediaan dan perluasan distribusi berbagai bahan
kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, dan
perlindungan keamanan.
f. Perluasan pilihan-pilihan ekonomi dan sosial bagi setiap individu serta
daerah secara keseluruhan yakni dengan membebaskan mereka dari
sikap ketergantungan, yang bukan saja pada orang atau daerah lain,
melainkan juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan
nilai-nilai kemanusiaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4. Peran Pemerintah Dalam Pembangunan Daerah
Ada 4 (empat) peran yang dapat diambil oleh pemerintah daerah
dalam proses pembangunan ekonomi daerah yaitu sebagai entrepreneur,
koordinator, fasilitator, dan stimulator bagi lahirnya inisiatif-inisiatif
pembangunan daerahnya (Lincolin Arsyad, 1999: 120)
a. Entrepreneur
Dengan perannya sebagai entrepreneur, pemerintah daerah
bertanggung jawab untuk menjalankan usaha bisnis. Pemerintah daerah
bisa mengembangkan suatu usaha sendiri (BUMD). Aset-aset daerah
harus dapat dikelola dengan baik sehingga secara ekonomis
menguntungkan.
b. Koordinator
Pemerintah daerah bertindak sebagai koordinator untuk
menetapkan kebijakan atau mengusulkan strategi-strategi bagi
pembangunan di daerahnya. Perluasan dari peranan ini dalam
pembangunan ekonomi bisa melibatkan kelompok-kelompok dalam
masyarakat dalam proses pengumpulan dan pengevaluasian informasi
ekonomi, misalnya tingkat kesempatan kerja , angkatan kerja,
pengangguran dan sebagainya. Dalam perannya ini, pemerintah daerah
bisa juga melibatkan lembaga-lembaga pemerintah lainnya, dunia usaha,
dan masyarakat dalam penyusunan sasaran-sasaran ekonomi, rencana-
rencana, dan strategi-strategi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c. Fasilitator
Pemerintah daerah dapat mempercepat pembangunan melalui
perbaikan linkungan attitudinal (perilaku atau budaya masyarakat) di
daerahnya. Hal ini akan mempercepat proses pembangunan dan prosedur
perencanaan serta pengaturan penetapan daerah (zoning) yang lebih baik.
d. Stimulator
Pemerintah daerah dapat menstimulasi penciptaan dan
pengembangan usaha melalui tindakan-tindakan khusus yang akan
mempengaruhi perusahaan-perusahaan untuk masuk ke daerah tersebut
dan menjaga agar perusahaan-perusahaan yang telah ada tetap berada di
daerah tersebut. Stimulasi ini dapat dilakukan dengan cara antara lain:
pembuatan brosur-brosur, pembangunan kawasan industri, pembuatan
outlets untuk industri-industri kecil, membantu idustri-industri kecil
melakukan pemerataan (Lincolin Arsyad, 1999: 121).
B. Otonomi Daerah
1. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi berasal dari bahasa Yunani, Autos yang berarti sendiri
dan Nomos yang berarti aturan. Beberapa penulis mengartikan otonomi
sebagai zelfwetgeving atau pengundangan sendiri, mengatur atau
memerintah sendiri atau pemerintahaan sendiri.
Di dalam negara kesatuan yang menganut Asas Desentralisasi,
dikenal adanya struktur Pemerintah Pusat (central government) dan daerah-
daerah yang menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Dengan kata lain
bahwa daerah-daerah tersebut memiliki hak dan kewajiban, wewenang dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
yang disebut dengan otonomi.
Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
pasal 1 ayat 5, diterangkan bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Otonomi Daerah memiliki makna sebagai
pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada
Daerah secara proposional menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
2. Landasan Hukum Otonomi Daerah
Dari sisi sejarah perkembangan penyelenggaraan pemerintahan di
daerah, telah dikeluarkan berbagai aturan perundangan yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, antara lain:
1. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah,
hanya mengatur pelaksanaan asas desentralisasi.
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah, yang berdasarkan Undang-undang Sementara Republik
Indonesia.
3. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 berisi tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah.
4. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
di Daerah, yang bertujuan melancarkan pembangunan dan stabilitas
politik serta kesatuan bangsa dan mengatur hubungan yang serasi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
6. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-
Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Sejalan dengan perlunya dilakukan reformasi di sektor publik, saat
ini telah dikeluarkan juga Peraturan Pemerintah untuk mendukung
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, antara lain:
1. Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan
yang diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005
tentang Dana Perimbangan.
2. Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang diperbaharui dengan
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah.
3. Peraturan Pemerintah No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
4. Peraturan Pemerintah No. 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah
yang diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2005
tentang Pinjaman Daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5. Peraturan Pemerintah No. 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pertanggungjawaban Kepala Daerah.
6. Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
7. Peraturan Pemerintah No. 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
8. Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi
Keuangan Daerah.
9. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah.
3. Maksud dan Tujuan Otonomi Daerah
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara republik
Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu
melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanerakagaman daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasar pencapaian tujuan di atas, maka Pemerintah Daerah
mengacu pada prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan
otonomi daerah adalah sebagai berikut (Penjelasan UU No. 32 Tahun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2004): Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur
semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang
ditetapkan Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat
kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan, peran serta,
prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip di atas dilaksankan pula prinsip otonomi
yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu
prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan
berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan
kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah
tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan
otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraanya harus benar-benar sejalan dengan maksud dan tujuan
pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah
termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama
dari tujuan nasional.
Ada dua alasan yang mendasari pemberian otonomi luas dan
desentralisasi (Mardiasmo, 2002: 66) yaitu:
a. Intervensi Pemerintah Pusat pada masa lalu yang terlalu besar telah
menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas Pemerintah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi
di daerah;
b. Tuntutan ekonomi muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new
game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan di masa
mendatang.
Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk
meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah.
Pada dasarnya terkandung tiga misi utama dalam pelaksanaan Otonomi
Daerah dan Desentralisasi Fiskal, yaitu (Mardiasmo, 2002: 59):
a. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan
masyarakat.
b. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.
c. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Otonomi daerah dengan menggunakan Asas Desentralisasi
membawa berbagai kebaikan bagi Negara kita, antara lain (Josef Riwu
Kaho dalam Sumadi Agus Prayitno, 2005: 31):
a. Mengurangi menumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.
b. Dalam menghadapi masalah yang mendesak, membutuhkan tindakan
yang cepat, di mana daerah tidak perlu menunggu lagi instruksi dari
pusat.
c. Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap
keputusan dapat segera dilaksankan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
d. Dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan perbedaan dan
pengkhususan bagi kepentingan tertentu.
e. Mengurangi kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan dari
pemerintah pusat.
4. Titik Berat Otonomi Daerah
Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud
dengan Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (UU No. 32 Tahun 2004,
Bab 1, Pasal 1).
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, menyatakan bahwa titik berat Otonomi Daerah diletakan pada
Daerah Kabupaten, sedangkan penjelasannya dikatakan bahwa dalam
rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat maka titik berat
pelaksanaan Otonomi Daerah diletakan pada Daerah kabupaten dengan
memandang pentingnya Daerah Kabupaten yang secara langsung
berhubungan dengan masyarakat sehingga diharapkan lebih dapat
mengetahui dan memahami aspirasi masyarakat.
Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan menitikberatkan pada
Daerah Kabupaten adalah merupakan suatu kebijakan yang harus didukung,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
artinya Daerah Kabupaten akan menjadi basis penyelenggaraan Otonomi
Daerah. Namun hal lain yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah yang menitikberatkan pada Daerah Kabupaten adalah
apakah kebijakan ini sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Beberapa pertimbangan yang mendasari penetapan daerah
Kabupaten dan Kota sebagai titik berat pelaksanaan Otonomi Daerah adalah
(Mudrajad Kuncoro, 1995: 4):
a. Dari dimensi politik, daerah Kabupaten dan Kota kurang memilki
fanatisme kedaerahan sehingga resiko separatisme dan peluang
berkembangnya aspirasi masyarakat federasi secara relatif dapat di
minimalisasi.
b. Dari dimensi administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif.
c. Daerah kabupaten dan Kota merupakan ujung tombak dalam
pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah Kabupaten dan Kota yang
lebih mengetahui potensi rakyat di daerahnya.
Otonomi Daerah dengan titik berat pada Daerah Kabupaten atau
Kota mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
a. Untuk memungkinkan Daerah mampu mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Daerah secara kreatif akan membina dan
mengembangkan kemampuan organisasi, aparatur dan sumber-sumber
keuangannya secara optimal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan, dalam rangka pelayanan masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan, melalui perluasan jenis pelayanan dalam berbagai bidang
kebutuhan publik.
c. Untuk menumbuhkan kemandirian daerah, Pemerintah Daerah dan
masyarakat perlu membangun usaha bersama yang mampu memberikan
daya saing bagi Daerah dalam pertumbuhannya yang secara nyata
berjalan bersama-sama dengan daerah-daerah lain.
d. Untuk dapat mengembangkan mekanisme demokrasi di tingkat Daerah,
dengan menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
e. Untuk mendukung pengembangan perekonomian daerah sesuai dengan
potensi yang dimiliki dan perluasan kewenangan birokrasi lokal.
5. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai ketentuan yang
tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2004 dalam penjelasannya mengenai
Pembagian Urusan Pemerintahan menjelaskan bahwa Penyelenggaraan
Desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara
Pemerintah dengan Daerah Otonom. Pembagian urusan tersebut didasarkan
pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang
sepenuhnya atau tetap menjadi kewenangan pemerintah. Urusan
pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa
dan negara secara keseluruhan. Urusan pemerintahan yang dimaksud
diantaranya:
a. Politik luar negeri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Pertahanan dan Keamanan.
c. Moneter.
d. Yustisi dan Agama.
e. Urusan tertentu pemerintah yang berskala nasional yang tidak diserahkan
kepada daerah.
Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat
concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian
tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dengan daerah.
Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent selalu ada bagian
urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada yang diserahkan kepada
Provinsi, dan ada yang diserahkan kepada Kabupaten atau Kota.
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent
secara proposional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah
Kabupaten/Kota maka disusunlah tiga kriteria dengan mempertimbangkan
keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat
pemerintahan yang meliputi (Baban Sobandi et. al, 2006: 104-105):
a. Kriteria Eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak /akibat yang
ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut.
Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan
pemerintahan tersebut menjadi kewenangan Kabupaten/Kota. Apabila
dampaknya regional maka menjadi kewenangan Provinsi, dan apabila
dampaknya nasional maka menjadi kewenangan Pemerintah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Kriteria Akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang
menangani suatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih
langsung/dekat dengan dampak/akibat urusan yang ditangani tersebut.
Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan
pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
c. Kriteria Efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya
(personil, daya, peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian dan
kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian
urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya
dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh
Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila
dilaksanakan oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan
kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Begitu juga
sebaliknya. Untuk itu pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan
memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan
pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan hasilguna tersebut dilihat
dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar-
kecilnya resiko yang harus dihadapi.
Dalam menyelenggarakan otonomi, Daerah mempunyai hak
sebagai berikut (UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 21):
a. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya
b. Memilih pimpinan daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c. Mengelola aparatur daerah
d. Mengelola kekayaan daerah
e. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah
f. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya yang berada di daerah
g. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah
h. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Selain itu Daerah juga mempunyai kewajiban dalam
menyelenggarakan otonomi, yaitu (UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 22):
a. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
nasional, serta keutuhan NKRI
b. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
c. Mengembangkan kehidupan demokrasi
d. Mewujudkan keadilan dan pemerataan
e. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan
f. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan sosial
g. Mengembangkan sistem jaminan sosial
h. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah
i. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah
j. Mengelola administrasi kependudukan
k. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai
dengan kewenangannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
C. Keuangan Daerah
1. Dimensi Keuangan Daerah
Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan
uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan
dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (Bab 1, Pasal 1, Ayat (5) PP No. 58 Tahun
2005). Selanjutnya pada ayat (7) disebutkan bahwa Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat (APBD) adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD dan ditetapkan berdasarkan Peraturan
Daerah.
Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar hubungan keuangan,
pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur secara adil dan
selaras berdasarkan Undang-Undang. Perimbangan keuangan antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dilakukan secara proposional,
demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan
kebutuhan daerah.
Pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama di
dalam menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat dan
pembangunan, yaitu (Penjelasan Umum UU No. 33 Tahun 2004):
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
a. Fungsi Distribusi yang meliputi pendapatan dan kekayaan masyarakat
serta pemerataan pembangunan. Fungsi distribusi berkaitan dengan upaya
pemerintah untuk menyalurkan anggaran, khususnya melalui pos belanja
pembangunan/belanja publik untuk menciptakan pemerataan atau
mengurangi tingkat kesenjangan antar wilayah, sektor maupun antar
golongan masyarakat.
b. Fungsi Stabilisasi, dimaksudkan bahwa melalui pengelolaan anggaran
(APBD), Pemerintah Daerah dapat menciptakan tingkat kesempatan kerja
yang memadai, kestabilan tingkat harga, serta pencapaian tingkat
pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi.
c. Fungsi Alokasi, berkaitan dengan upaya pemerintah di dalam
menyediakan dana bagi kebutuhan masyarakat luas yang tidak mungkin
disediakan oleh pihak swasta. Dengan kata lain fungsi alokasi merupakan
wujud intervensi pemerintah terhadap kebijakan yang tidak diminati oleh
sektor swasta agar terjadi alokasi anggaran yang merata melalui
penyediaan barang-barang dan jasa-jasa publik.
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan,
pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada Daerah secara
nyata dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian
dan pemanfaatan sumber daya nasional secar adil. Sebagai daerah otonom,
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat tersebut
harus dilakukan berdasarkan prinsip transparasi, partisipasi dan
akuntabilitas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam
mengelola daerahnya, adalah dilihat dari kemampuan daerah dalam
mengelola keuangannya. Hal tersebut dikarenakan faktor keuangan
merupakan hal terpenting untuk mengukur kemampuan daerah dalam
rangka melaksanakan otonomi. Agar daerah mempunyai pendapatan yang
mencukupi, maka daerah diharuskan untuk menggali potensi-potensi daerah
secara optimal, sehingga dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan
daerah tersebut.
2. Asas Umum Keuangan Daerah
Berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Pasal 4, prinsip-prinsip pengelolaan
keuangan daerah meliputi:
a. Efisien merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan
masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai
keluaran tertentu;
b. Ekonomis merupakan perolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas
tertentu pada tingkat harga yang terendah;
c. Efektif merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah
ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil;
d. Transparan merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan
masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-
luasnya tentang keuangan daerah;
e. Bertanggung jawab merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau
satuan kerja untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan
kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan;
f. Tertib adalah tepat waktu dan tepat guna yang didukung dengan bukti-
bukti administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan;
g. Taat pada peraturan perundang-undangan adalah berpedoman pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
h. Keadilan adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan
pendanaannya;
i. Kepatuhan adalah tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar
dan proposional;
j. Manfaat adalah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Selain itu prinsip-prinsip manajemen keuangan daerah harus
meliputi (Mardiasmo; 2002: 173 ):
a. Akuntabilitas yang merupakan prinsip pertanggungjawaban publik, yang
berarti proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, dan
pelaksanaan harus benar-benar dilaporkan dan dipertanggungjawabkan
kepada DPRD dan masyarakat secara umum. Hal ini berarti perumusan
kebijakan beserta cara dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses
dengan baik.
b. Konsep Nilai Uang yang merupakan penerapan dari tiga prinsip dalam
proses penganggaran, yaitu ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Prinsip
ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya
dalam jumlah dan kualitas tertentu dengan harga yang paling minimum.
Prinsip efisiensi berarti bahwa penggunaan dana masyarakat tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dapat menghasilkan output yang maksimal. Prinsip efektivitas berarti
bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target/tujuan atas
kepentingan publik. Keberhasilan dari otonomi daerah diukur dari
meningkatnya pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin
baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, dan hubungan yang
serasi dan selaras antara Pemerintah dan Daerah dan juga antar Daerah.
Keadaan tersebut akan tercapai jika sektor publik dikelola dengan baik
dan memperhatikan Konsep Niai Uang yang merupakan cara untuk
mencapai good governance.
c. Transparasi yang merupakan keterbukaan pemerintah dalam memuat
kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan
diawasi oleh DPRD dan masyarakat secara umum. Transparasi
pengelolaan keuangan daerah akan mendorong terciptanya pemerintahan
yang bersih, efektif, efisien, akuntabel dan responsif terhadap aspirasi
dan kepentingan masyarakat.
d. Pengendalian yang di mana dilakukan untuk memonitor penerimaan dan
pengeluaran daerah, yaitu dengan cara membandingkan antara yang
dianggarkan dengan yang dicapai (target-realisasi). Agar daerah dapat
mengetahui dan mengoptimalkan potensi dan keunggulan yang
dimilikinya.
Prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah
tersebut harus senantiasa dipegang teguh dan dilaksanakan oleh
penyelenggara pemerintahan dan Pengelolaan keuangan daerah harus
bertumpu pada kepentingan publik. Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat
pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan keuangan daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah membawa perubahan pada
pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan pengelolaan APBD pada
khususnya. Dalam PP No. 58 Tahun 2005 bab I pasal 4, dikemukakan asas
umum pengelolaan keuangan daerah Sebagai berikut:
a. Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-
undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan azas keadilan, kepatuhan dan manfaat untuk
masyarakat.
b. Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu sistem yang
terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD yang setiap tahun ditetapkan
dengan Perda.
Peraturan Pemerintah di atas sudah memberikan gambaran dan
arahan secara umum kepada Pemerintah Daerah dalam menyusun dan
melaksanakan APBD. Di samping itu Daerah dituntut lebih kreatif dalam
penyusunan dan pelaksanaan APBD dengan menggunakan pendekatan
kerangka pengeluaran jangka menengah, penganggaran terpadu dan
penganggaran berdasarkan prestasi kerja. (PP No. 58 Tahun 2005 Pasal 36
ayat 2).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah Bab I, Pasal 1, Ayat 17
disebutkan bahwa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya
disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah
yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Kemudian disebutkan juga bahwa APBD, Perubahan APBD, dan
Perhitungan APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan merupakan
Dokumen Daerah.
Anggaran dapat diartikan sebagai suatu daftar atau pernyataan
yang terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran organisasi yang
diharapkan dalam jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun (Suparmoko
dalam Yuyun Vitaloka, 2007: 49).
Anggaran Daerah adalah rencana kerja Pemerintah Daerah dalam
bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Anggaran
Daerah atau umum disebut dengan istilah APBD merupakan instrumen
kebijakan yang utama bagi Pemerintah Daerah. Sebagai instrument
kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya
pengembangan kapabilitas dan efektivitas Pemerintah Daerah dalam
menjalankan fungsi dan peranannya secara efisien. Sedangkan efektivitas
diartikan sebagai upaya untuk menyelaraskan kapabilitasnya dengan
tuntutan dan kebutuhan publik (Mardiasmo, 2002: 177).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah mempunyai fungsi
utama, yaitu (UU No. 33 Tahun 2004, Pasal 66, Ayat 3):
a. Fungsi otorisasi, mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar
untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang
bersangkutan;
b. Fungsi perencanaan, mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi
pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun
yang bersangkutan;
c. Fungsi pengawasan, mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi
pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan
daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan;
d. Fungsi alokasi, mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan
untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian;
e. Fungsi distribusi, mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah
harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan.
Anggaran merupakan instrumen penting dalam mengelola
keuangan daerah, karena anggaran memilki arti penting sebagai berikut
(Mardiasmo, 2002: 121):
a. Anggaran merupakan alat yang penting bagi pemerintah dalam
menentukan arah kebijakan pembangunan sosial-ekonomi, menjamin
kesinambungan, meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat
yang tidak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang
ada sangat terbatas;
c. Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah
bertanggung jawab kepada rakyat, karena anggaran merupakan instrumen
pelaksanaan akuntabilitas publik.
Anggaran sektor publik mempunyai beberapa fungsi diantaranya
adalah (Mardiasmo, 2002: 121):
a. Anggaran sebagai alat perencanaan
Anggaran digunakan untuk merencanakan tindakan yang akan
dilakukan pemerintah, berapa biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil
yang akan diperoleh dari belanja pemerintah tersebut.
b. Anggaran sebagai alat pengendalian
Anggaran merupakan suatu alat untuk menghubungkan proses
perencanaan dan proses pengendalian. Anggaran memberikan rencana
detail atas pendapatan dan pengeluaran pemerintah agar pembelanjaan
yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Selain itu
anggaran juga berfungsi untuk meyakinkan kepada badan legislatif
bahwa pemerintah telah bekerja secara efisien tanpa pemborosan.
c. Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal
Anggaran digunakan untuk menstabilkan perekonomian dan
mendorong pertumbuhan ekonomi secara optimal.
d. Anggaran sebagai alat politik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Anggaran digunakan untuk memutuskan prioritas-prioritas dan
kebutuhan keuangan terhadap skala prioritas tersebut. Anggaran
merupakan alat politik sebagai bentuk komitmen dan kesepakatan
legislatif atas penggunaan dana publik untuk keperluan tertentu.
e. Anggaran sebagai alat koordinasi dan komunikasi
Anggaran sebagai alat koordinasi antar bagian dalam
pemerintahan yang fungsinya untuk menditeksi terjadinya inkonsistensi
suatu unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi. Anggaran juga
berfungsi sebagai alat komunikasi anatar unit kerja dalam lingkungan
eksekutif dan harus dikomunikasikan ke seluruh bagian organisasi untuk
dilaksanakan.
f. Anggaran sebagai alat penilaian kerja
Anggaran merupakan wujud komitmen dari eksekutif kepada
legislatif sehingga kinerja eksekutif akan dinilai berdasarkan pencapaian
target anggaran dan efisiensi pelaksanaan anggaran.
Anggaran daerah pada hakekatnya merupakan salah satu
instrument yang memegang peranan penting dalam rangka meningkatkan
pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan prinsip
otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggungjawab. Dengan demikian,
APBD harus benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan
memperhatikan potensi dan kekhasan daerah, maka dari itu APBD harus
memperhatikan prinsip-prinsip anggaran sebagai berikut (Abdul Halim,
2004: 79-80):
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
a. Keadilan Anggaran, di mana pembiayaan Pemerintah Daerah dilakukan
melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dipilih oleh segenap lapisan
masyarakat daerah. Oleh karena itu Pemerintah Daerah wajib
mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati oleh
seluruh masyarakat tanpa adanya diskriminasi.
b. Disiplin Anggaran, Anggaran daerah disusun dengan orientasi pada
kebutuhan masyarakat tanpa harus meninggalkan keseimbangan antara
pemerintah, pembangunan, dan pelayanan publik.
c. Transparasi dan Akuntabilitas, Anggaran daerah harus mampu
memberikan informasi yang lengkap dan akurat, serta dilaksanakan
secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara tekhnis dan
ekonomi kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
d. Efisiensi dan Efektivitas, di mana Anggaran yang tersedia harus bisa
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk dapat menghasilkan
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan bagi kepentingan masyarakat.
e. Format Anggaran. Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format
anggaran defisit (defisit budget format). Selisih antara pendapatan dan
belanja mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran.
Menurut PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah Pasal 16-19, asas-asas umum APBD adalah:
a. APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan
dan kemampuan pendapatan daerah;
b. Penyusunan APBD berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah
Daerah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c. APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi,
distribusi dan stabilisasi;
d. APBD, perubahan APBD dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
ditetapkan dengan Perda;
e. Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dianggarkan dalam APBD;
f. Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan
yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber
pendapatan;
g. Seluruh pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah dianggarkan secara
bruto dalam APBD;
h. Pendapatan daerah yang dianggarkan dalam APBD harus didasarkan
pada ketentuan peraturan perundang-undangan;
i. Dalam penyusunan APBD, penganggaran pengeluaran harus didukung
dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang
cukup;
j. Penganggaran untuk setiap pengeluaran APBD harus didukung dengan
dasar hukum yang melandasinya;
k. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun mulai tanggal 1 januari
sampai dengan 31 desember.
Berdasarkan PP No. 58 Tahun 2005, pasal 20, ayat (1) disebutkan
bahwa struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri atas:
1) Pendapatan Daerah;
2) Belanja Daerah; dan
3) Pembiayaan Daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi/
Kabupaten/ Kota berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Tabel 2.1
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Nomor Uraian Jumlah I PENDAPATAN DAERAH 1.1 Pendapatan Asli Daerah 1.1.1 Pajak Daerah 1.1.2 Retribusi Daerah 1.1.3 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 1.1.4 Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah 1.2 Dana Perimbangan 1.2.1 Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak 1.2.2 Dana Alokasi Umum 1.2.3 Dana Alokasi Khusus 1.3 Lain-Lain Pendapatan yang Sah 1.3.1 Hibah 1.3.2 Dana Darurat 1.3.3 Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemda lainnya 1.3.4 Dana Penyesuaian dan Otonomi Khhusus 1.3.5 Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemda lainnya Jumlah Pendapatan II BELANJA DAERAH 2.1 Belanja Tidak Langsung 2.1.1 Belanja Pegawai 2.1.2 Belanja Bunga 2.1.3 Belanja Subsidi 2.1.4 Belanja Hibah 2.1.5 Belanja Bantuan Sosial 2.1.6 Belanja Bagi Hasil kpd Provinsi/Kabupaten/Kota/Desa
2.1.7 Belanja Bantuan Keuangan kpd Provinsi/Kabupaten/Kota/Desa
2.1.8 Belanja Tidak Terduga 2.2 Belanja Langsung 2.2.1 Belanja Pegawai 2.2.2 Belanja Barang dan Jasa 2.2.3 Belanja Modal Jumlah Belanja Surplus/ (Defisit) III PEMBIAYAAN DAERAH 3.1 Penerimaan Pembiayaan 3.1.1 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya (SILPA) 3.1.2 Pencairan Dana Cadangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Nomor Uraian Jumlah 3.1.3 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 3.1.4 Penerimaan Pinjaman Daerah 3.1.5 Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman 3.1.6 Penerimaan Piutang Daerah Jumlah Penerimaan Pembiayaan 3.2 Pengeluaran Pembiayaan 3.2.1 Pembentukan Dana Cadangan 3.2.2 Penyertaan Modal (Investasi) Pemerintah Daerah 3.2.3 Pembayaran Pokok Utang 3.2.4 Pemberian Pinjaman Daerah Jumlah Pengeluaran Pembiayaan Pembiayaan (neto/bruto)
3.3 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun berkenaan (SILPA)
Sumber: Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006, hal. 137-138 (Ringkasan Perhitungan APBD Propinsi/ Kabupaten/ Kota).
4. Sumber Penerimaan Daerah
Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dijelaskan
sumber-sumber penerimaan daerah terdiri atas:
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh
Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. PAD bertujuan untuk memberikan
kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai di dalam
pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah yang dimiliki.
Sumber-sumber penerimaan PAD antara lain yaitu:
1) Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi
atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang,
yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintah dan pembangunan daerah. Ketentuan mengenai Pajak
Daerah ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan
penetuan tarif dan tata cara pemungutan pajak ditetapkan dengan
Peraturan Daerah;
2) Retribusi Daerah adalah pungutan daerah dengan imbalan jasa secara
langsung sebagai pembiayaan atas jasa atau pemberian ijin tertentu
yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah
untuk kepentingan pribadi atau badan. Ketentuan mengenai Retribusi
Daerah ditetapkan dengan Undang-undang, sedangkan penentuan
tarif dan tata cara pemungutannya ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan;
4) Lain-lain PAD yang sah, yang meliputi: (i) hasil penjualan kekayaan
daerah yang tidak dipisahkan, (ii) jasa giro, (iii) pendapatan bunga,
(iv) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing,
dan (v) komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.
b. Dana Perimbangan
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai
kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sumber Dana Perimbangan terdiri dari:
1) Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Pemerintah Daerah
berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Bagi Hasil berasal
dari:
a) Pajak, yang terdiri atas:
1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB);
3. Pajak Penghasilan (PPh).
b) Sumber Daya Alam, yang berasal dari:
1. Kehutanan;
2. Pertambangan Umum;
3. Perikanan;
4. Pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi.
2) Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka desentralisasi. Jumlah DAU ditetapkan
sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri neto yang
ditetapkan dalam APBN (UU No. 33 Tahun 2004, Pasal 27). Proporsi
DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
berdasarkan imbangan kewenangan antara provinsi dan
kabupaten/kota. Hasil perhitungan DAU per provinsi, kabupaten/kota
ditetapkan dengan Keputusan Presiden dan ketentuan lebih lanjut
mengenai DAU diatur dalam Peraturan Pemerintah. Proporsi DAU
suatu Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan atas dasar
celah fiskal dan alokasi dasar. Celah Fiskal Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota dihitung dari Kebutuhan Fiskal dikurangi Kapasitas
Fiskal. Kebutuhan Fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan
Daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Kapasitas
Fiskal Daerah merupakan sumber pendanaan Daerah yang berasal
dari PAD ditambah Dana Bagi Hasil. Proporsi DAU menurut Alokasi
dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.
3) Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan
tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dengan demikian
tidak semua Daerah menerima alokasi DAK.
4) Lain-lain Pendapatan
Lain-lain pendapatan terdiri atas:
a) Pendapatan Hibah
Pendapatan Hibah adalah penerimaan Daerah yang
berasal dari Pemerintah negara asing, lembaga asing, lembaga
internasional, Pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang
dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu
dibayar kembali.
Hibah kepada Pemerintah Daerah yang bersumber dari
luar negeri dilakukan melalui Pemerintah dan tata cara mengenai
pemberian, penerimaan, dan penggunaan hibah, baik dari dalam
negeri maupun luar negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
b) Pendapatan Dana Darurat
Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN untuk
keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional
dan/atau peristiwa luar biasa dan mengalami krisis solvabilitas
yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan
APBD.
5. Indikator Kinerja Keuangan Daerah
Pada dasarnya terdapat dua hal yang dapat dijadikan sebagai
indikator kinerja, yaitu Kinerja Anggaran dan Anggaran Kinerja. Kinerja
anggaran merupakan instrumen yang dipakai oleh DPRD untuk
mengevaluasi kinerja Kepala Daerah, sedangkan Anggaran kinerja
merupakan instrumen yang dipakai oleh Kepala Daerah untuk mengevaluasi
unit-unit kerja yang ada di bawah kendali Daerah selaku manager eksekutif.
Penggunaan indikator kinerja sangat penting untuk mengetahui apakah
suatu program kerja telah dilaksanakan secara efisien dan efektif
(Mardiasmo, 2002: 19).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Keuangan daerah dikatakan berhasil apabila mampu meningkatkan
penerimaan daerah secara berkesinambungan sesuai dengan perkembangan
perekonomian tanpa memperburuk alokasi faktor-faktor produksi dengan
sejumlah biaya administrasi tertentu. Berdasarkan konsep Musgrave dalam
Sukanto Reksohadiprodjo (2001: 153-158), indikator keuangan daerah
adalah sebagai berikut:
a. Derajat Desentralisasi Fiskal
Derajat Desentralisasi Fiskal antara Pemerintah Pusat dan
Daerah pada umumnya ditunjukan oleh variabel-variabel: (i) Pendapatan
Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), (ii) Rasio
Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Daerah (BHPBP) terhadap Total
Penerimaan Daerah (TPD) dan (iii) Rasio Sumbangan Bantuan Daerah
(SBD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD).
b. Kebutuhan Fiskal
Variabel-variabel kebutuhan daerah dibagi atas variabel
kependudukan dan variabel kewilayahan. Variabel kependudukan
meliputi Jumlah Penduduk dan Indeks Kemiskinan Relatif. Sedangkan
Variabel kewilayahan meliputi Luas Wilayah dan Indeks Harga
Bangunan (Mardiasmo, 2002: 160).
c. Kapasitas Fiskal
Kapasitas Fiskal adalah sejumlah pajak yang seharusnya mampu
dikumpulkan dari dasar pajak, yang biasanya berupa pendapatan
perkapita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Upaya peningkatan kapasitas fiskal daerah sebenarnya tidak
hanya menyangkut peningkatan PAD. Peningkatan kapasitas fiskal
daerah pada dasarnya adalah optimalisasi sumber-sumber penerimaan
daerah. Variabel-variabel potensi daerah terdiri dari potensi PAD dan
potensi penerimaan Bagi Hasil (PBB, BHPBP, PPh Perseorangan dan
SDA).
d. Usaha fiskal
Usaha Pajak dapat diartikan sebagai rasio antara penerimaan
pajak dengan kapasitas membayar pajak di suatu Daerah. Salah satu
indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan
membayar pajak masyarakat adalah Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB). Jika PDRB meningkat maka kemampuan daerah dalam
membayar pajak juga meningkat. Hal ini berarti bahwa administrasi
penerimaan daerah dapat meningkatkan daya pajak.
D. Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang dilakukan oleh Ana Dwi Kurniawati (2004: 11) dalam
penelitiannya yang berjudul Analisis Kemampuan Keuangan Daerah di
Kabupaten Sukoharjo (Perbandingan Era Sebelum dan Sesudah Otonomi
Daerah)menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sukoharjo
mengalami peningkatan. Jika dilihat dari analisis kuantitatif menunjukkan bahwa
Kabupaten Sukoharjo belum mampu secara keuangan dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah, bila dilihat dari Derajat Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal,
Kafasitas Fiskal, Upaya atau Posisi Fiskal, Matrik Potensi Pendapatan Asli
Daerah, Rasio Aktivitas dan Efektifitas Pendapatan Asli Daerah. Selanjutnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kabupaten Sukoharjo belum mandiri secara keungan dalam membiayai
penyelenggaraan Otonomi Daerah jika diukur dengan rasio kemandirian dan pola
hubungannya. Kemudian Kabupaten Sukoharjo belum siap dalam
penyelenggaraan Otonomi Daerah jika dilihat dari Rasio Pendapatan Asli Daerah
terhadap Pengeluaran Total, Rasio Pendapatan Asli Daerah dan bagi hasil
terhadap Pengeluaran Rutin. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kabupaten
Sukoharjo dari sisi keuangannya belum mampu untuk melaksanakan Otonomi
Daerah. Hal ini terlihat dengan proporsi Pendapatan Asli Daerah terhadap total
penerimaan daerah yang rendah sekali baik pada era sebelum dan sesudah
otonomi daerah. Tingkat kemandirian Kabupaten Sukoharjo hanya sebesar
12,65% dengan pola hubungan yang instruktif. Sedangkan rasio Pendapatan asli
daerah dan bagi hasil terhadap total pendapatan rutin baik pada era sebelum dan
sesudah otonomi daerah masih sangat kecil.
Penelitian oleh Harmanto Yuandhi Wibowo (2006) yang berjudul
Analisis Kinerja Keuangan Daerah sebelum dan pada masa Otonomi Daerah
(Studi Kasus di Kabupaten Sragen tahun Anggaran 1996/97-2005). Tujuan
penelitan tersebut adalah untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah
Kabupaten Sragen baik sebelum dan pada masa Otonomi daerah. Data yang
digunakan adalah data APBD sepuluh tahun anggaran dari tahun 1996/97-2005.
Tekhnik analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif.
Hasil dari analisis deskriptif menunjukan bahwa APBD kabupaten Sragen
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hasil dari analisis kuantitatif
menunjukan bahwa Kabupaten Sragen belum mampu dan mandiri secara
keuangan dalam membiayai penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Hasil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
penelitian menunjukan bahwa proporsi PAD terhadap TPD tergolong rendah baik
sebelum dan sesudah Otonomi Daerah. Dimana rasio PAD rata-rata sebelum
Otonomi Daerah yaitu 15,21% dan rasio PAD rata-rata sesudah Otonomi Daerah
adalah 9,45%.
Penelitian oleh Fatima Zahra (2008) yang berjudul Analisis Keuangan
Daerah Di Kabupaten Karanganyar Perbandingan Sebelum Dan Selama Otonomi
Daerah (Periode 1994/1995-2006). Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa
Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten Karanganyar cenderung menurun
selama Otonomi Daerah. Begitu juga dengan Proporsi Pengeluaran Daerah
terhadap APBD selama Otonomi Daerah mengalami penurunan. Hasil analisis
Kuantitatif menunjukkan bahwa Kabupaten Karanganyar belum mampu secara
keuangan dalam melaksanakan Otonomi Daerah. Jika dilihat dari Derajat
Rata-rata 543.946.122.298 532.773.289.600 11.172.832.698 -472,262 Sumber: Kabupaten Pati Dalam Angka (2000-2009).
Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat diketahui bahwa
pertumbuhan surplus/defisit pada APBD Kabupaten Pati tertinggi terjadi
pada tahun anggaran 2002, yaitu sebesar 1111,12% (dari -3.985.118.037
menjadi 40.294.323.874), sedangkan yang mengalami penurunan paling
besar surplus/defisit pada APBD Kabupaten Pati adalah pada tahun
anggaran 2005, yaitu sebesar -5747,45% (dari -311.631.438 menjadi -
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18.222.500.000). Jika dilihat dari rata-rata maka pertumbuhan
surplus/defisit pada APBD Kabupaten Pati adalah sebesar -404,70%. Pada
tahun 2006 terdapat peningkatan Penerimaan yang sangat signifikan
sehingga APBD bisa surplus sampai 105.204.604.302 hal ini disebabkan
adanya perubahan Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 tentang Dana
Perimbangan yang diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No. 55
Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
b. Kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah
Kontribusi PAD terhadap APBD bertujuan untuk mengetahui
seberapa besar pengaruh PAD dalam membiayai roda pemerintahan
dan pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Pati
Tabel 4.3
Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten Pati Tahun
2000-2009
Tahun PAD APBD Kontribusi (%)
2000 12.732.616.632 135.846.756.356 9.37
2001 25.022.517.318 331.367.283.947 7.55
2002 34.573.274.285 324.087.778.534 10.67
2003 40.826.750.080 419.773.703.274 9.73
2004 55.030.348.945 437.343.084.174 12.58
2005 57.150.612.888 498.246.778.000 11.47
2006 66.197.687.376 576.233.096.051 11.49
2007 69.152.375.409 747.390.736.019 9.25
2008 80.677.766.092 900.119.171.674 8.96
2009 90.396.847.846 957.324.511.392 9.44
Rata-rata 53.176.079.687 532.773.289.942 10.05 Sumber: Pati Dalam Angka (2000-2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berdasarkan tabel 4.3 di atas dapat diketahui bahwa besarnya
kontribusi PAD Kabupaten Pati yang tertinggi terjadi pada tahun
anggaran 2004, yaitu sebesar 12,58% sedangkan kontribusi terendah
terjadi pada tahun anggaran 2001, yaitu senilai 7,55%. Jika dilihat dari
rata-ratanya Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten Pati adalah
sebesar 10,05. Hal ini menunjukan bahwa kontribusi PAD terhadap
APBD relatif masih rendah, sehingga Pemerintah Daerah Kabupaten
Pati masih perlu mengoptimalkan lagi penggalian potensi-potensi
daerahnya yang potensial bagi pemasukan PAD.
2. Analisis Kuantitatif
Indikator Kinerja Keuangan Daerah kabupaten Pati tahun 2000-2009
1) Derajat Desentralisasi Fiskal
Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) digunakan untuk
mengukur kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Pati dalam
mengumpulkan pendapatannya sesuai dengan potensi daerahnya. DDF
dapat diukur menggunakan tiga rumus, rumus pertama yaitu dengan
membandingkan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total
Penerimaan Daerah (TPD) yang disebut dengan DDF I. Besarnya
DDF I menunjukan kemandirian murni Kabupaten Pati. Rumus kedua
yaitu dengan membandingkan antara Bagi Hasil Pajak & Bukan Pajak
(BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) yang disebut
dengan DDF II. Besarnya DDF II menunjukan kemandirian semu
Kabupaten Pati. Rumus ketiga yaitu dengan membandingkan antara
Sumbangan & Bantuan Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(TPD) yang disebut dengan DDF III. Besarnya DDF III menunjukan
ketergantungan Pemerintah Daerah Kabupaten Pati terhadap
Pemerintah Pusat.
Tabel 4.4
Ukuran DDF Kabupaten Pati
DDF Kemampuan Keuangan Daerah
< 50% Rendah
> 50% Tinggi
Sumber: Sukanto Reksohadiprodjo. (2001). Ekonomika Publik, Edisi I. Yogyakarta: BPFE UGM, hal 155.
Tabel 4.5
Derajat Desentralisasi Fiskal 1 Kabupaten Pati
Tahun DDF 1 Kemampuan Keuangan Daerah
2000 9,80 Rendah 2001 7,64 Rendah 2002 9,49 Rendah 2003 9,78 Rendah 2004 12,59 Rendah 2005 11,91 Rendah 2006 9,71 Rendah 2007 8,80 Rendah 2008 9,10 Rendah 2009 9,73 Rendah
Rata-rata 9,85 Rendah Sumber: Pati Dalam Angka, data diolah.
Berdasarkan tabel 4.5 di atas dapat diketahui bahwa
Pemerintah Daerah Kabupaten Pati cenderung mempunyai tingkat
kemandirian murni (rasio PAD terhadap Total Penerimaan Daerah)
yang rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya angka DDF I
yang menunjukan persentase di bawah 50% dimana persentase DDF I
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tertinggi dicapai pada tahun anggaran 2004 sebesar 12,59% sedangka
yang terendah terjadi pada tahun anggaran 2001 yaitu sebesar 7,64%.
Rata rata DDF I Kabupaten Pati adalah sebesar 9,85%. Dari hasil
tersebut diketahui bahwa PAD Kabupaten Pati masih mempunyai
proporsi yang relatif kecil terhadap Total Penerimaan Daerah
Kabupaten Pati yaitu rata-ratanya kurang dari 50%. Padahal sebagai
daerah otonom, penggalian dana untuk membiayai pembangunan lebih
ditekankan pada PAD, karena PAD merupakan cerminan kemampuan
keuangan daerah, khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Pati.
Tabel 4.6
Derajat Desentralisasi Fiskal 2 Kabupaten Pati
Tahun DDF 2 Kemampuan Keuangan Daerah
2000 7,68 Rendah
2001 6,62 Rendah
2002 6,25 Rendah 2003 5,14 Rendah
2004 5,21 Rendah
2005 5,26 Rendah
2006 4,71 Rendah
2007 4,74 Rendah
2008 4,88 Rendah
2009 5,99 Rendah Rata-rata 5,65 Rendah Sumber: Pati Dalam Angka (2000-2009), data diolah
Berdasarkan tabel 4.6 di atas dapat diketahui bahwa
Pemerintah Daerah Kabupaten Pati cenderung mempunyai tingkat
kemandirian semu (Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap
Total Penerimaan Daerah yang rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
besarnya angka DDF II yang menunjukan persentase di bawah 50%
dimana persentase DDF II tertinggi dicapai pada tahun anggaran 2000
sebesar 7,68% sedangka yang terendah terjadi pada tahun anggaran
2006 yaitu sebesar 4,71%.Rata-rata DDF II Kabupaten Pati adalah
sebesar 5,65%. Dari hasil tersebut diketahui bahwa Pemerintah Daerah
Kabupaten Pati belum optimal dalam menggali pos-pos pajak
daerahnya.
Tabel 4.7
Derajat Desentralisasi Fiskal 3 Kabupaten Pati
Tahun DDF 3 Ketergantungan Keuangan Daerah
2000 73,09 Tinggi
2001 82,93 Tinggi
2002 84,36 Tinggi
2003 84,09 Tinggi
2004 83,05 Tinggi
2005 85,81 Tinggi
2006 89,59 Tinggi
2007 89,95 Tinggi
2008 92,51 Tinggi
2009 79,98 Tinggi
Rerata 84,54 Tinggi Sumber: Pati Dalam Angka (2000-2009), data diolah.
DDF3 < 50% berarti ketergantungan keuangan Pemerintah
Daerah Kabupaten Pati terhadap pemerintah Pusat rendah dan semakin
mandiri, sedangkan Jika DDF3 > 50% berarti ketergantungan
keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Pati terhadap Pemerintah
Pusat masih tinggi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berdasarkan tabel 4.7 di atas dapat diketahui bahwa
Pemerintah Daerah Kabupaten Pati cenderung mempunyai tingkat
ketergantungan yang tinggi terhadap Pemerintah Pusat. Hal tersebut
dapat dilihat dari besarnya angka DDF III yang menunjukan
persentase di atas 50%, dimana persentase DDF III tertinggi dicapai
pada tahun anggaran 2008 sebesar 92,51%, hal ini bisa disebabkan
karena inflasi yang terjadi dan meningkatnya belanja rutin pemerintah
daerah. Sedangkan yang terendah terjadi pada tahun anggaran 2000
yaitu sebesar 73,09%. Rata-rata besarnya DDF III Kabupaten Pati
adalah sebesar 84,54.
2) Upaya Fiskal
Upaya fiskal digunakan untuk mengukur sejauh mana sumber
pendapatan yang ada mampu membiayai biaya penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah
Daerah.
Upaya fiskal dapat dilihat dari usaha pengumpulan PAD, yang
merupakan perbandingan antara penerimaan PAD terhadap kapasitas
PAD. Kapasitas PAD adalah pendapatan yang diterima jika seluruh
potensi telah digunakan secara optimal. Karena untuk mengetahui
kapasitas PAD sangat sulit, maka digunakan PDRB sebagai proyeksi