BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pengaruh globalisasi perdagangan pangan sudah mulai meluas ke berbagai negara termasuk Indonesia. Ditinjau dari aspek keamanan pangan, globalisasi tersebut dapat memperbesar kemungkinan timbulnya bahaya yang terkandung dalam makanan yang akan dikonsumsi dan menyebarluaskan bahaya secara global pula. Oleh karena itu, tuntutan akan jaminan keamanan pangan terus bertambah sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan pangan yang akan dikonsumsi. Seluruh masyarakat Indonesia berhak mendapatkan pangan yang aman dan bermutu. Namun kenyataannya, belum semua masyarakat dapat mengakses makanan yang aman. Hal ini ditandai dengan masih tingginya angka kesakitan dan kematian akibat food borne illness. Food borne illness atau penyakit bawaan makanan (PBM) merupakan salah satu permasalahan kesehatan masyarakat yang paling banyak dijumpai. Penyakit ini pada umumnya menunjukkan gejala gangguan saluran pencernaan dengan rasa sakit perut, diare, dan kadang disertai muntah. Penyebabnya bersifat toksik maupun infeksius dan disebabkan oleh agen- agen penyakit seperti bakteri E coli, salmonella, hepatitis dan bakteri yang masuk ke dalam tubuh melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi. Penyakit ini menyerang bayi, anak, lansia, dan mereka yang kekebalan tubuhnya terganggu (WHO, 2006). 1
92
Embed
faktor yang mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pengaruh globalisasi perdagangan pangan sudah mulai meluas ke berbagai
negara termasuk Indonesia. Ditinjau dari aspek keamanan pangan, globalisasi
tersebut dapat memperbesar kemungkinan timbulnya bahaya yang terkandung
dalam makanan yang akan dikonsumsi dan menyebarluaskan bahaya secara global
pula. Oleh karena itu, tuntutan akan jaminan keamanan pangan terus bertambah
sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan
pangan yang akan dikonsumsi.
Seluruh masyarakat Indonesia berhak mendapatkan pangan yang aman dan
bermutu. Namun kenyataannya, belum semua masyarakat dapat mengakses
makanan yang aman. Hal ini ditandai dengan masih tingginya angka kesakitan
dan kematian akibat food borne illness. Food borne illness atau penyakit bawaan
makanan (PBM) merupakan salah satu permasalahan kesehatan masyarakat yang
paling banyak dijumpai. Penyakit ini pada umumnya menunjukkan gejala
gangguan saluran pencernaan dengan rasa sakit perut, diare, dan kadang disertai
muntah. Penyebabnya bersifat toksik maupun infeksius dan disebabkan oleh agen-
agen penyakit seperti bakteri E coli, salmonella, hepatitis dan bakteri yang masuk
ke dalam tubuh melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi. Penyakit ini
menyerang bayi, anak, lansia, dan mereka yang kekebalan tubuhnya terganggu
(WHO, 2006).
1
2
Di era pasar bebas ini industri pangan Indonesia harus mampu bersaing
dengan derasnya arus masuk produk industri pangan negara lain yang telah mapan
dalam sistem mutunya sehingga bahan pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat
banyak mengalami perubahan baik dari jenis maupun jumlah pangan yang
dikonsumsi. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, jumlah produksi pangan
juga mengalami peningkatan untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Disamping
itu, perubahan jenis dan jumlah pangan juga disebabkan oleh kemajuan teknologi,
ekonomi dan pendidikan. Masyarakat dengan pendidikan yang baik akan
mengupayakan pangan yang dikonsumsinya berkualitas baik (Cahyono, 2002).
Masyarakat telah menyadari bahwa industri yang bergerak di bidang pangan harus
memberikan jaminan bahwa suatu produk yang akan dikonsumsi aman dari
potensi bahaya yang berasal dari cemaran fisik, kimia, dan biologi sehingga
industri pangan perlu menerapkan sistem quality control pada proses pengolahan
makanan.
Salah satu tempat penyelenggaraan atau pengelolaan makanan adalah Industri
Rumah Tangga Pangan (IRTP). Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia tahun 2012, IRTP adalah perusahaan
pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan
pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Untuk mendukung upaya
penerapan sistem quality control di IRTP, pemerintah memberlakukan sertifikasi
terhadap IRTP dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, motivasi dan
kesadaran produsen serta karyawan tentang pentingnya standar higiene sanitasi
dalam pengolahan makanan. Produsen juga diharapkan bertanggung jawab
3
terhadap keselamatan konsumen sehingga implikasinya adalah meningkatnya
kepercayaan konsumen terhadap produk pangan yang dihasilkan serta
meningkatkan daya saing IRTP. Menindaklanjuti hal tersebut maka ditetapkan
Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) untuk IRTP sebagai panduan bagi pihak
yang berkecimpung di bidang keamanan pangan. CPPB IRTP diatur dalam
Peraturan Kepala BPOM Republik Indonesia Nomor HK. 03.1.23.04.12.2206
tanggal 5 April 2012 tentang CPPB untuk IRTP. CPPB IRTP merupakan salah
satu faktor yang harus dipenuhi sebagai syarat terpenuhinya standar mutu atau
persyaratan keamanan pangan dan dengan menerapkan CPPB-IRTP ini, industri
pangan dapat menghasilkan pangan yang bermutu, aman dan layak dikonsumsi
sehingga masyarakat yang mengkonsumsinya terlindung dari bahaya kesehatan
akibat pangan.
Di Indonesia, belum tersedia data yang lengkap mengenai jumlah IRTP
namun dari hasil pengawasan ditemukan bahwa belum semua IRTP memiliki izin
produksi bagi produknya. Temuan lain berupa penggunaan bahan makanan
berbahaya, konstruksi bangunan yang tidak sesuai maupun higiene sanitasinya
yang tidak memadai. Tindak lanjut yang dilakukan oleh Badan POM dan Balai
Besar POM adalah berupa pembinaan sampai dengan penegakan hukum (BPOM
RI, 2013a).
BPOM melaporkan jumlah sarana IRTP di Provinsi Bali sampai dengan tahun
2014 adalah 765 sarana. Selama tahun 2014, BPOM telah melakukan pemeriksaan
terhadap penerapan higiene sanitasi pada 128 IRTP dan hasilnya adalah 116
(90,63%) IRTP tidak memenuhi ketentuan (BPOM RI, 2014). Tindak lanjut yang
4
sudah dilakukan oleh BPOM adalah pembinaan pada IRTP yang belum memenuhi
ketentuan dan peringatan bagi IRTP yang menggunakan bahan berbahaya. Data
mengenai penerapan quality control pada IRTP belum tersedia baik di Indonesia
maupun di Bali, namun beberapa perusahaan yang bergerak di bidang pangan di
Bali dalam upaya promosinya mengklaim telah menerapkan sistem ini.
Berdasarkan data yang diperoleh di Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem,
jumlah IRTP mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah IRTP yang terdata pada
tahun 2012 adalah sebanyak 179, tahun 2013 meningkat menjadi 231 dan sampai
dengan bulan Juni 2014 terdata sebanyak 270 IRTP. Peran Dinas Kesehatan adalah
menerbitkan rekomendasi pada penerbitan izin, pembinaan, pemantauan ulang dan
pemeriksaan sarana IRTP. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi
Registrasi,Akreditasi, Sertifikasi dan Perizinan di Dinas Kesehatan Kabupaten
Karangasem, diketahui bahwa sampai dengan bulan Juni 2014, IRTP yang telah
memiliki izin sebanyak 10 sarana dan telah dilakukan pemantauan ulang sebanyak satu
kali ke masing-masing sarana tersebut. Hasil yang diperoleh adalah hanya satu IRTP
yang telah menerapkan CPPB IRTP sedangkan sembilan dari sarana tersebut tidak lagi
menerapkan beberapa aspek dalam CPPB IRTP.
Keberadaan IRTP memberi lapangan pekerjaan bagi tenaga penjamah
makanan. Tenaga penjamah makanan adalah seorang tenaga yang menjamah
makanan dan terlibat langsung dalam menyiapkan, mengolah, maupun
menyajikan makanan (BPOM RI, 2013b). Tenaga penjamah makanan memiliki
risiko menularkan penyakit melalui perilakunya dalam pengolahan makanan
(Fatima dkk, 2002). Oleh karena itu, peningkatan pengetahuan dan sikap sangat
5
dibutuhkan untuk mendorong penjamah makanan berperilaku baik khususnya
dalam penerapan higiene dan sanitasi pengolahan pangan (Azira dkk, 2012).
Penelitian mengenai IRTP dan penjamah makanannya di Kabupaten Karangasem
belum pernah dilakukan sebelumnya, oleh karena itu pengkajian lebih mendalam
diperlukan untuk mengetahui sejauh mana IRTP dan penjamah makanannya
sudah menerapkan CPPB dan permasalahan yang dihadapi IRTP dalam
menerapkan CPPB tersebut. Perhatian besar penelitian ini adalah pelaksanaan
CPPB IRTP oleh penjamah makanan di IRTP yang ada di Kabupaten Karangasem
terutama untuk IRTP yang produknya telah mendapatkan izin produksi sebab
apabila penjamah makanan tidak melaksanakan aspek higiene dan sanitasi dalam
CPPB IRTP, dikhawatirkan pangan yang diedarkan ke masyarakat melalui pasar
tradisional dan toko modern adalah pangan yang tidak aman mengingat IRTP
yang telah memiliki izin produksi memiliki akses masuk ke pasar tradisional dan
toko modern lebih mudah dibandingkan IRTP tanpa izin produksi. Perlu juga
diketahui apakah setelah mendapat izin tersebut penjamah makanan di IRTP
Kabupaten Karangasem masih melaksanakan CPPB-IRTP dengan baik secara
berkesinambungan dan faktor yang mempengaruhi pelaksanaanya di sarana IRTP
tersebut.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui
faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam
menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
6
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah penelitian
yaitu, apakah:
1. umur mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB
pada IRTP di Kabupaten Karangasem?
2. jenis kelamin mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan
CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem?
3. tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam
menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem?
4. masa kerja mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan
CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem?
5. pengetahuan mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan
CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem?
6. sikap mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB
pada IRTP di Kabupaten Karangasem?
7. penyuluhan mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan
CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem?
8. ketersediaan fasilitas mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam
menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem?
9. dukungan pengelola IRTP mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam
menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem?
7
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan Cara Pengolahan
Pangan yang Baik (CPPB) Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Kabupaten
Karangasem.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh:
1. umur terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPBB pada
IRTP di Kabupaten Karangasem.
2. jenis kelamin terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPBB
pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
3. tingkat pendidikan terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan
CPBB pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
4. masa kerja terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPBB
pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
5. pengetahuan terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPBB
pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
6. sikap terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPBB pada
IRTP di Kabupaten Karangasem.
7. Penyuluhan terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPBB
pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
8
8. ketersediaan fasilitas terhadap perilaku penjamah makanan dalam menerapkan
CPBB pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
9. dukungan pengelola IRTP terhadap perilaku penjamah makanan dalam
menerapkan CPBB pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis/Akademik
Untuk menambah wawasan keilmuan khususnya dalam hal CPPB dan
sebagai dokumen ilmiah yang dapat dikembangkan pada penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi tempat penelitian: sebagai masukan kepada IRTP dalam
mengembangkan dan menyempurnakan proses produksi di IRTP berkaitan
dengan CPPB IRTP.
2. Bagi masyarakat: sebagai informasi serta pertimbangan dalam memilih
makanan yang aman dan sesuai dengan syarat higiene sanitasi.
3. Bagi peneliti: menambah pengetahuan dan pengalaman tentang pengolahan
pangan yang baik di khususnya IRTP.
4. Bagi pengambil kebijakan: untuk membantu dalam perencanaan program
intervensi pendidikan kesehatan bagi penjamah makanan agar memiliki
peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku penerapan CPPB.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) untuk Industri Rumah Tangga
IRTP semakin banyak bermunculan di Indonesia sebagai salah satu dampak
dari krisis moneter yang terjadi saat ini. Keinginan masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan sedikit modal menyebabkan IRTP berkembang pesat
dan tumbuh dalam skala usaha yang beragam. Untuk menghasilkan produk
pangan yang aman dikonsumsi serta pengolahannya telah sesuai dengan standar
keamanan pangan, dipandang perlu untuk dilakukan pembinaan kepada IRTP.
Untuk menertibkan IRTP dalam mengolah makanan, pemerintah menerbitkan
standar bagi IRTP yaitu CPPB. CPPB merupakan faktor penting yang harus
dipenuhi agar standar mutu pangan tercapai. Disamping itu, CPPB wajib
dilaksanakan oleh IRTP agar kegiatan yang dilakukan sesuai dengan persyaratan
pengolahan pangan. CPPB penting bagi kelangsungan industri pangan karena
dengan menerapkan CPPB, produk pangan yang dihasilkan IRTP menjadi baik
mutunya, layak dikonsumsi dan aman bagi kesehatan serta kejadian gangguan
kesehatan akibat pangan dapat dikendalikan (BPOM RI, 2012a).
Beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh IRTP dikelompokkan untuk
pengelola dan untuk penjamah makanan. Aspek-aspek ini hendaknya diterapkan
dengan tujuan yaitu menghasilkan produk pangan yang aman dan mutunya sesuai
standar. Aspek yang diatur untuk pengelola diantaranya adalah mengenai
lingkungan produksi, bangunan dan fasilitas IRTP, peralatan produksi,
9
10
pengendalian hama dan pengendalian proses. Sementara, untuk penjamah
makanan diatur mengenai perilakunya terkait higiene dan sanitasi.
Lokasi dan lingkungan produksi IRTP hendaknya berada di lokasi yang tidak
berdekatan dengan sumber pencemaran misalnya tempat pembuangan sampah.
Kebersihan lokasi dan lingkungan IRTP harus selalu dijaga agar tidak terjadi
kontaminasi pada makanan (BPOM RI, 2012a). Bangunan IRTP yang sesuai
dengan standar dari pemerintah memiliki lantai dan dinding yang kedap air dan
mudah dibersihkan. Langit-langit diupayakan agar terbuat dari bahan yang licin
untuk mencegah penempelan debu dan kotoran. Sirkulasi udara melalui jendela
dan pintu juga harus diperhatikan. Fasilitas IRTP dikatakan lengkap apabila
tersedia sarana cuci tangan lengkap dengan sabun dan pengeringnya serta
tersedianya tempat sampah yang sudah dipilah menjadi sampah organik dan
anorganik serta memiliki fasilitas penunjang lain seperti sarana pencucian bahan
dan alat, toilet, dan sistem pembuangan limbah (BPOM RI, 2012a).
Proses pengolahan makanan di IRTP membutuhkan peralatan produksi.
Peralatan produksi sebaiknya terbuat dari bahan yang kuat, tidak berkarat serta
mudah dibersihkan. Penempatan peralatan dilakukan sedemikian rupa untuk
menghindari kontaminasi. Selain peralatan, ketersediaan air menjadi aspek vital
dalam kegiatan di IRTP sehingga ketersediaan air senantiasa harus dijaga agar
mencukupi kebutuhan dalam proses produksi (BPOM RI, 2012a).
Sarana yang telah disediakan juga harus mendapat pemeliharaan.
Pemeliharaan dan kegiatan pembersihan dilaksanakan secara berkala. Untuk
menghindari kontaminasi cemaran terhadap pangan. Cemaran dapat berasal dari
11
sisa-sisa makanan, hama seperti tikus, serangga dan hewan pemeliharaan, serta
sampah yang dihasilkan dari proses produksi. Penumpukan sampah terutama di
ruang pengolahan harus dihindari dengan melakukan pengangkutan sampah
secara berkala.
Aspek yang juga diatur untuk pengelola dalam CPPB adalah penyimpanan
bahan makanan, penyimpanan makanan jadi dan penyimpanan bahan berbahaya.
Penyimpanan bahan makanan hendaknya terpisah dari penyimpanan makanan jadi
dan bahan berbahaya. Penyimpanan bahan makanan harus terhindar dari kontak
langsung dengan lantai, dinding dan langit-langit ruangan. Sistem penggunaan
bahan menggunakan sistem FIFO (First In First Out) yaitu bahan yang lebih dulu
masuk atau memiliki tanggal kedaluwarsa lebih awal harus digunakan terlebih
dahulu. Penyimpanan bahan makanan dan makanan jadi masih dapat dilakukan
dalam satu ruangan, namun untuk bahan berbahaya seperti sabun, detergen, racun
serangga dan tikus harus disimpan dalam ruangan terpisah (BPOM RI, 2012a).
Menurut BPOM RI (2012a), beberapa aspek penting dari penjamah makanan
yang wajib dipenuhi untuk menghindari pencemaran pangan adalah kesehatan,
kebersihan dan kebiasaan atau perilaku penjamah makanan. Perilaku penjamah
makanan yang diatur dalam CPPB IRTP adalah sebagai berikut:
1. Mencuci tangan
Kebersihan tangan sangat penting bagi setiap orang terutama bagi penjamah
makanan. Kebiasaan mencuci tangan harus dibiasakan karena sangat
membantu dalam mencegah penularan bakteri dari tangan ke makanan.
Mencuci tangan sebaiknya menggunakan sabun dan air yang mengalir
12
kemudian dikeringkan. Kebiasaan mencuci tangan sebaiknya dilakukan
sebelum dan setelah menjamah makanan, sebelum menangani bahan/alat yang
kotor, setelah menangani bahan mentah dan setelah keluar dari toilet. Cara
mencuci tangan yang benar adalah basahi tangan dengan air mengalir sampai
pergelangan tangan, gunakan sabun cuci tangan dan ratakan di seluruh tangan
dan telapak tangan, sela-sela jari dan ujung kuku-kuku, gosok tangan dengan
sabun ini kurang lebih 15-20 detik, bilas dengan air mengalir hingga bersih,
keringkan dengan pengering tangan atau tisu sekali pakai dan tutup kran
dengan tisu yang tadi sudah dipakai.
2. Menggunakan celemek
Tujuan penggunaan celemek bagi penjamah makanan adalah mencegah
pencemaran makanan dari pakaian yang digunakan oleh penjamah makanan.
Selain itu, dengan menggunakan celemek dapat menunjukkan penampilan
yang rapi dari penjamah makanan itu sendiri.
3. Menggunakan penutup kepala
Penutup kepala digunakan oleh penjamah makanan untuk menghindari
pencemaran terhadap makanan dari rambut penjamah makanan. Tanpa
penutup kepala, kemungkinan helai rambut, ketombe atau kutu rambut dapat
mengkontaminasi makanan yang sedang diolah.
4. Menggunakan masker
Penjamah makanan wajib menggunakan masker saat mengolah makanan
dengan tujuan menghindari pencemaran berupa air liur atau kotoran dari
hidung penjamah makanan. Masker juga membantu menghindari terjadinya
13
pencemaran saat penjamah makanan batuk atau bersin ke arah makanan.
Masker juga sebaiknya tidak digunakan berkali-kali. Apabila masker terbuat
dari bahan yang dapat dicuci, setelah masker digunakan harus dicuci sebelum
digunakan kembali.
5. Menggunakan sarung tangan
Sarung tangan berfungsi agar tangan tidak kontak langsung dengan makanan
sehingga apabila tangan sedang mengalami luka, makanan tidak akan tercemar
oleh luka tersebut. Disamping itu, sarung tangan juga berfungsi sebagai
perlindungan tambahan sekalipun penjamah makanan telah mencuci
tangannya sebelum bekerja.
6. Menggunakan alat bantu atau penjepit saat mengambil makanan
Alat bantu/penjepit biasanya digunakan untuk mengambil makanan matang
saat melakukan pengemasan agar tidak terjadi kontak langsung dengan tangan
penjamah makanan.
7. Menutupi makanan matang
Perilaku menutupi makanan matang bertujuan untuk menghindari pencemaran
dari serangga, debu atau kotoran dan menghindari kontaminasi silang dari
bahan makanan lain. Selain harus ditutup, makanan matang sebaiknya
ditempatkan pada wadah yang tertutup, disimpan pada suhu yang tepat,
terpisah dari bahan makanan yang belum diolah.
14
8. Tidak bercakap-cakap
Kebiasaan yang harus dihindari oleh penjamah makanan adalah bercakap-
cakap saat mengolah makanan untuk menghindari pencemaran makanan oleh
air liur penjamah makanan.
9. Tidak menggaruk-garuk anggota tubuh
Penjamah makanan sebaiknya tidak menggaruk-garuk anggota tubuh karena
dapat menyebabkan tangan menjadi kotor sehingga berpotensi menyebabkan
terjadinya pencemaran terhadap makanan.
10. Tidak mengunyah makanan
Kebiasaan mengunyah makanan saat mengolah makanan juga harus dihindari
oleh penjamah makanan, karena saat mengunyah makanan, kemungkinan air
liur dapat menyebabkan terjadi pencemaran pada makanan yang sedang
diolah.
11. Tidak menggunakan perhiasan
Perhiasan penjamah makanan seperti cincin, gelang, jam tangan dan anting
sebaiknya tidak digunakan saat bekerja karena kulit dibawah perhiasan dan
pada perhiasan itu sendiri dapat menjadi tempat berkumpulnya kuman.
Perhiasan seperti anting dikhawatirkan dapat jatuh ke dalam makanan tanpa
dapat dicegah atau tanpa disadari sehingga dapat mengotori makanan,
12. Tidak memanjangkan kuku
Penjamah makanan sebaiknya memotong kukunya menjadi pendek karena
dalam kuku berkumpul kotoran yang menjadi sumber kuman penyakit yang
akan mencemari makanan. Kuku dipotong pendek, sebab dalam kuku akan
15
terkumpul kotoran yang menjadi sumber kuman penyakit yang akan
mencemari makanan. Hasil penelitian Mudey,dkk (2010) diketahui bahwa
97% dari penjamah makanan terinfeksi satu atau lebih parasit disebabkan oleh
tinja dan kuku. Tingginya angka parasit pada penjamah makanan sebagian
besar disebabkan oleh rendahnya praktek higiene perorangan dan sanitasi
lingkungan sehingga dapat meningkatkan resiko kontaminasi makanan.
13. Memisahkan bahan mentah dengan produk akhir
Bahan dan produk akhir harus disimpan terpisah dalam ruangan yang bersih,
sesuai dengan suhu penyimpanan, bebas hama dan penerangan yang cukup.
Pemisahan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang antara
bahan dengan produk akhir tersebut.
14. Tidak makan dan minum selama bekerja
Penjamah makanan sebaiknya tidak makan dan minum selama bekerja dengan
tujuan menghindari sisa-sisa makanan dan air ludah mencemari makanan yang
sedang diolah.
15. Membuang sampah pada tempatnya
Penanganan sampah yang wajib dilakukan penjamah makanan adalah
membuang sampah dengan memilah sesuai dengan jenis sampahnya. Sampah
daun, kertas, sisa makanan merupakan jenis sampah organik sedangkan plastik
dan kaleng merupakan jenis sampah anorganik.
16. Menutup luka pada bagian tubuh
Penjamah makanan wajib menutup luka pada bagian tubuh untuk mencegah
pencemaran bakteri dan kuman pada luka terhadap makanan yang diolah.
16
Luka yang dimaksud adalah luka terbuka atau koreng, bisul dan bernanah.
Kulit dalam keadaan normal mengandung banyak bakteri penyakit. Sekali
kulit terkelupas akibat luka atau teriris, maka bakteri akan masuk ke bagian
dalam kulit dan terjadilah infeksi.
17. Tidak meludah
Perilaku meludah dapat menyebabkan terjadinya pencemaran makanan yang
menggunakan perantara serangga seperti lalat dan semut. Hal yang mungkin
terjadi adalah gangguan pencernaan pada penjamah makanan.
18. Tidak merokok
Merokok dilarang saat mengolah makanan atau berada di dalam ruang
pengolahan makanan. Kebiasaan merokok dapat menimbulkan resiko bakteri
atau kuman dari mulut dan bibir dapat dipindahkan ke tangan sehingga tangan
menjadi semakin kotor dan kemudian akan mengotori makanan, abu rokok
dapat jatuh ke dalam makanan secara tidak disadari dan sulit dicegah,
disamping itu, bau asap rokok yang dapat mengotori udara sehingga terjadi
sesak yang mengganggu pekerja lain dan bau rokok dapat meresap ke dalam
makanan.
19. Tidak bersin dan batuk ke arah pangan
Bersin dan batuk menghasilkan partikel kecil di udara yang dapat mencemari
makanan, sehingga diharapkan penggunaan alat pelindung diri berupa masker
untuk meminimalisir kemungkinan tersebut.
17
2.2 Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Penjamah Makanan dalam
Penerapan CPPB
Penjamah makanan adalah setiap orang yang terlibat langsung dalam proses
produksi makanan baik dari tahap pemilihan bahan makanan, proses pengolahan,
maupun tahap pengemasan dan penyajian makanan (BPOM, 2012). Penjamah
makanan pada umumnya memiliki kualifikasi pendidikan khusus di bidang tata
boga, namun dengan pesatnya perkembangan IRTP dan permintaan akan
penjamah makanan meningkat maka kualifikasi pendidikan formal menjadi hal
yang tidak lagi diprioritaskan.
2.2.1 Pengetahuan
Pengetahuan penjamah makanan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi perilakunya. Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau
hasil tahu seorang manusia terhadap objek melalui indera yang dimiliki baik itu
indera pengelihatan, pendengaran, penciuman dan sebagainya (Notoatmodjo,
2010). Pengetahuan mengenai CPPB dapat diperoleh dari informasi yang
diperoleh baik dari media televisi, sosialisasi oleh dinas terkait, maupun dari
pengelola IRTP. Pengetahuan yang diperoleh penjamah makanan mengenai CPPB
umumnya diperoleh dari proses melihat dan mendengar. Penjamah makanan
biasanya melihat penerapan CPPB dari pengelola maupun rekan kerja dan
biasanya mendengar informasi mengenai CPPB dari pelatihan mengenai
keamanan pangan. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, faktor sikap juga
disebutkan mempengaruhi perilaku seseorang.
18
2.2.2 Sikap
Sikap merupakan konsep penting dalam psikologi sosial yang membahas
unsur sikap baik sebagai individu maupun kelompok. Banyak kajian dilakukan
tentang sikap kaitannya dengan efek dan perannya dalam pembentukan karakter
manusia (Notoatmodjo, 2010). Sikap dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu
pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh
kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan faktor emosional. Budiyono
(2008) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pengetahuan penjamah makanan
mengenai higiene sanitasi masih kurang, yaitu sebesar 63%. Senada dengan
Budiyono, Meikawati dkk (2010) menyebutkan bahwa pengetahuan tidak
memegang peranan penting terhadap higiene sanitasi makanan. Hal ini mungkin
disebabkan karena responden kurang mengetahui benar tentang higiene sanitasi
makanan, kurang mengetahui manfaat pemakaian perlengkapan khusus seperti
pakaian kerja, penutup rambut dan celemek. Responden hanya mengikuti aturan
dari atasannya tanpa tahu apa manfaatnya, sehingga tujuan pemakaian
perlengkapan khusus tidak tercapai dan ada yang tidak memakainya karena alasan
tidak nyaman dan mengganggu saat bekerja.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rodmanee dkk (2013) di Thailand
menyebutkan bahwa hanya 10% penjamah makanan yang mendapat pengetahuan
dari mengikuti pelatihan tentang higiene dan sanitasi makanan, namun
perilakunya dalam menerapkan kebersihan masih sangat kurang. Pendapat
berbeda yang menyatakan adanya keterkaitan antara tingkat pengetahuan dengan
sikap dan tindakannya, tingkat pengetahuan yang baik akan memiliki sikap yang
19
baik dan sikap yang baik ini akan mendorong untuk bertindak baik (Fatima dkk,
2002). Pendapat yang sama disampaikan juga oleh Rahmawati (2005) di
Tembalang Semarang bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan,
sikap dan perilaku penjamah makanan dalam menerapkan higiene sanitasi di
tempat kerjanya.
2.2.3 Penyuluhan Keamanan Pangan
Penyuluhan keamanan pangan sebaiknya diberikan kepada pengelola dan
karyawan IRTP dengan tujuan meningkatkan pengetahuan pengelola dan
karyawan mengenai pangan yang aman. Pada penyuluhan keamanan pangan akan
diberikan pemahaman materi mengenai bahan pangan yang baik, bahan tambahan
pangan, higiene sanitasi baik pada saat pemilihan bahan pangan, pengolahan,
maupun penyajian makanan. Pemilik dan karyawan IRTP juga harus mengetahui
tentang bahaya biologis,bahaya kimia, dan bahaya fisik yang mungkin terjadi
pada makanan (BPOM RI, 2013c). Penyuluhan keamanan pangan dapat diberikan
oleh BPOM atau diadakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Materi penyuluhan diberikan oleh Penyuluh Keamanan Pangan
(PKP). PKP yang memberikan materi penyuluhan telah memiliki kualifikasi dan
kompetensi dalam bidang produksi pangan serta telah ditunjuk oleh organisasi
yang kompeten.
Pengelola dan Karyawan IRTP yang telah mengikuti pelatihan akan
memperoleh sertifikat penyuluhan keamanan pangan yang menjadi persyaratan
mutlak dalam penerbitan Sertifikat Produksi Pangan (BPOM RI, 2012). Penelitian
20
yang dilakukan Thimoteo dkk (2014) menyebutkan bahwa pelatihan tidak
berhubungan langsung dengan sikap dan praktek penjamah makanan dalam
menerapkan higiene dan sanitasi, namun pelatihan merupakan alat yang efektif
untuk meningkatkan pengetahuan. Sebuah penelitian meta analisis dilakukan oleh
Jan Mei Soon dkk (2012) di Malaysia memperoleh hasil yang berbeda, program
pelatihan keamanan pangan meningkatkan pengetahuan dan sikap penjamah
makanan khususnya tentang praktek kebersihan tangan. Penelitian yang dilakukan
Tokuca (2009) di Turki menyebutkan sangat diperlukan penyuluhan atau
pelatihan bagi tenaga penjamah makanan untuk meningkatkan pengetahuan
penjamah makanan dalam menyiapkan makanan pasien.
2.2.4 Ketersediaan Fasilitas IRTP
Adanya fasilitas higiene sanitasi di IRTP bertujuan untuk menjamin ruang
produksi dalam keadaan bersih dan terbebas dari cemaran serta produk pangan
yang dihasilkan bebas dari cemaran. Syarat mutlak dari fasilitas di IRTP adalah
tersedianya air bersih. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah sumber air berasal
dari sumber yang aman, memenuhi persyaratan baku air serta cukup untuk
melakukan proses produksi. Fasilitas higiene karyawan disediakan untuk
menjamin kebersihan karyawan. Fasilitas yang sebaiknya tersedia adalah bak
untuk mencuci tangan lengkap dengan sabun dan handuk atau alat pengering
tangan, tempat ganti pakaian karyawan, toilet atau jamban dalam jumlah yang
cukup serta terjaga kebersihannya. Jumlah toilet yang cukup adalah satu buah
21
untuk 10 karyawan pertama dan 1 buah untuk setiap penambahan 25 karyawan
(BPOM RI, 2012).
2.2.5 Dukungan Pengelola
Dukungan pengelola IRTP merupakan faktor berikutnya yang mempengaruhi
perilaku penjamah makanan. Dukungan pengelola merupakan salah satu faktor
penguat (reinforcing factors) bagi penjamah makanan untuk menerapkan CPPB
IRTP di tempat kerjanya. Dukungan yang diberikan pengelola IRTP kepada
penjamah makanan dapat berupa ucapan, sikap, serta pemberian reward bagi
penjamah makanan. Reward yang diberikan dapat berupa imbalan atau insentif
serta pemberian kesempatan untuk mengikuti penyuluhan keamanan pangan.
Insentif atau bonus diberikan dengan tujuan menstimulasi dorongan internal dari
penjamah makanan. Dengan pemberian insentif, diharapkan pengetahuan, sikap
dan kemauan untuk menerapkan CPPB lebih meningkat (Dewi, 2014). Dukungan
pengelola merupakan salah satu dukungan organisasi, seperti penelitian yang
dilakukan oleh Schappe (1998) dan Moorman dkk (1998) menemukan bahwa
penilaian karyawan terhadap keadilan, berbagai kebijakan, atau peraturan
perusahaan juga ikut mempengaruhi perilaku karyawan. Karyawan yang merasa
diperlakukan secara adil oleh perusahaan dalam hal peraturan atau kebijakannya,
maka akan meningkat perilakunya. Begitu pula sebaliknya, karyawan yang
merasa diperlakukan tidak adil akan semakin menurun perilakunya. Eisenberger
dkk (1986) mengemukakan dua aspek untuk mengetahui kondisi dukungan
organisasi yang dirasakan karyawan. Kedua aspek tersebut adalah penghargaan
22
organisasi terhadap kontribusi karyawan dan perhatian organisasi terhadap
kesejahteraan karyawan. Menurut Rhoades dan Eisenberger (2002), terdapat tiga
bentuk umum perlakuan dari organisasi yang dianggap baik dan akan dapat
meningkatkan dukungan organisasi yang dirasakan karyawan yaitu keadilan,
dukungan atasan dan imbalan dari organisasi dan kondisi kerja.
2.3 Keamanan Pangan
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih
tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen
Kesehatan dari tahun 2000 sampai dengan 2010 terlihat kecenderungan insiden
naik. Pada tahun 2000 IR penyakit diare 301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik
menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan
tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga
masih sering terjadi, dengan CFR yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB
di 69 Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR
2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756
orang, dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi
KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73
orang (CFR 1,74 %). Menurut catatan World Health Organization (WHO), diare
membunuh dua juta anak di dunia setiap tahun. Diare hingga kini masih
merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada bayi dan anak-anak.
Sebuah penelitian menunjukkan adanya hubungan antara praktek higiene produk
23
makanan, higiene peralatan, higiene perorangan dan praktek higiene sanitasi
makanan dengan frekuensi diare pada anak. Praktik higiene dan higiene peralatan
yang rendah akan menyebabkan meningkatnya kejadian diare pada konsumen
makanan tersebut (Kusumawardani, 2010).
Pemberlakuan UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan merupakan
terobosan pemerintah dalam melindungi konsumen untuk serta menjamin
masyarakat memperoleh pangan yang aman. Pangan yang aman dan bermutu
dihasilkan oleh industri pangan dan industri rumah tangga yang telah menerapkan
CPPB. Sehingga dalam hal ini, IRTP merupakan penentu bagi beredarnya pangan
yang sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah.
Jaminan akan pangan yang aman merupakan hak asasi konsumen. Sesuai
dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen
berhak mendapatkan pangan yang aman karena pangan merupakan kebutuhan
dasar yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Selain harus mengandung
cukup gizi, pangan yang dikonsumsi harus diolah secara benar dan aman. Namun
pengetahuan dan kepedulian konsumen tentang keamanan pangan masih sangat
kurang, hal ini tercermin dari rendahnya keluhan konsumen akan produk pangan
yang telah mereka beli. Konsumen sangat jarang melaporkan ketidaksesuaian
pangan dengan informasi produk pada kemasan. Padahal, kepedulian konsumen
sangat mendukung peningkatan pengetahuan produsen serta perubahan tata cara
pengolahan pangan ke arah yang lebih baik yaitu sesuai dengan syarat pangan
yang aman (Cahyono, 2002).
24
Keamanan pangan di suatu tempat dibuktikan dengan terbebasnya masyarakat
dari beredarnya pangan yang membahayakan kesehatan. Menurut Fardiaz (2006),
masalah keamanan pangan biasanya terjadi karena produk pangan terpapar dengan
lingkungan yang kotor, sehingga pangan menjadi tercemar oleh bahan-bahan yang
dapat membahayakan kesehatan manusia. Bahan-bahan berbahaya yang dimaksud
adalah cemaran kimia, fisik maupun mikrobiologi.
Pada usaha perdagangan baik nasional maupun internasional, keamanan
pangan menjadi pertimbangan pokok karena keamanan pangan memiliki peranan
yang sangat vital. Pemerintah memberlakukan UU No. 18 Tahun 2012 tentang
Pangan dan PP No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan
dengan tujuan melindungi masyarakat dari pangan yang tidak memenuhi
persyaratan dan standar kesehatan. Adapun sasaran dari program keamanan
pangan yang dicanangkan pemerintah adalah untuk melindungi masyarakat dari
jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan yaitu yang terlihat dari meningkatnya
pengetahuan serta kesadaran produsen terhadap keamanan pangan. Sasaran yang
kedua yang termuat dalam peraturan ini adalah memantapkan kelembagaan
pangan yaitu antara lain dicerminkan oleh adanya peraturan perundangan yang
mengatur keamanan pangan. Sasaran yang ketiga adalah meningkatkan jumlah
industri pangan yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Cahyono (2002) menyatakan bahwa banyak pangan yang berbahaya yang
masih beredar di masyarakat. Penggunaaan bahan tambahan pangan yang tidak
sesuai takaran standar juga masih menjadi permasalahan pangan di masyarakat.
Pemasalahan yang tidak kalah penting yaitu beredarnya pangan yang telah
25
kedaluwarsa, pangan impor tanpa izin edar, serta makanan yang pengolahannya
tidak mengikuti kaidah higiene dan sanitasi.
Harapan untuk mewujudkan kemanan pangan harus ditunjang dengan
pendekatan dari good practices, quality control dan penerapan sanitasi yang baik.
Tidak kalah pentingnya diperhatikan adalah penjamah makanan (food handler)
yang bekerja pada penyelenggaraan makanan (Nurlaela, 2011). Quality control
merupakan suatu sistem pengawasan dan pencegahan sejak awal untuk
menghindari terjadinya pencemaran yang berlanjut dalam suatu proses produksi
sehingga keamanan produk dapat dipertanggungjawabkan (quality assurance)
bagi konsumen. Penerapan quality control dalam pengolahan pangan IRTP secara
terpadu memungkinkan untuk mengantisipasi terjadinya bahaya (hazard) yang
mengakibatkan ketidakamanan dan ketidaklayakan mutu produk IRTP. Penerapan
quality control juga membantu tugas pengawasan rutin oleh pemerintah dan
memfokuskan pengawasan pada makanan yang berisiko tinggi bagi kesehatan dan
meningkatkan kepercayaan dalam perdagangan lokal (Kemenkes RI, 2012).
Setiap orang yang terlibat dalam rantai pangan wajib mengendalikan risiko
bahaya pada pangan, baik yang berasal dari bahan, peralatan, sarana produksi
maupun dari perseorangan sehingga keamanan pangan terjamin serta wajib
memenuhi persyaratan sanitasi yang meliputi sarana prasarana, penyelenggaraan
kegiatan dan sanitasi personal. Pemenuhan persyaratan sanitasi di seluruh
kegiatan rantai pangan pada IRTP dilakukan dengan menerapkan CPPB IRTP.
Keberhasilan penerapan CPPB IRTP membutuhkan komitmen yang penuh dari
26
semua pihak termasuk keterlibatan pengelola dan penjamah makanan (Kemenkes
RI, 2012).
2.4 Teori yang mendukung perilaku penjamah makanan dalam penerapan
CPPB IRTP
Menurut Green (1994), kesehatan individu sangat dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu faktor perilaku dan faktor luar perilaku. Selanjutnya faktor perilaku
ini ditentukan oleh tiga kelompok faktor yang meliputi faktor predisposisi
mencakup karakteristik, pengetahuan, persepsi, sikap, norma sosial, tradisi,
keyakinan dan sebagainya. Faktor pemungkin atau pendukung adalah tersedianya
fasilitas, biaya serta tersedianya cukup informasi dan faktor penguat yaitu
dukungan pengelola dan kebijakan yang ditetapkan sarana untuk menguatkan
keputusan seseorang
1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
Faktor karakteristik penjamah makanan merupakan faktor predisposisi yang
memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi perilaku penerapan CPPB. Umur,
jenis kelamin dan tingkat pendidikan adalah tiga faktor yang akan diteliti
pengaruhnya terhadap perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB pada
penelitian ini.
Apabila dikaitkan dengan perilaku penjamah makanan dalam menerapkan
CPPB IRTP, maka pengetahuan yang dimaksud adalah sejauh mana penjamah
makanan mengetahui kegiatan higiene sanitasi dan praktek higiene karyawan
sedangkan sikap adalah tanggapan karyawan terhadap penerapan CPPB IRTP.
27
Masa kerja adalah lama bekerja penjamah makanan di satu sarana IRTP.
Penjamah makanan yang mengikuti penyuluhan juga merupakan faktor
predisposisi, karena dengan mengikuti penyuluhan, diharapkan pengetahuan
penjamah makanan tentang penerapan higiene sanitasi dan CPPB IRTP dapat
meningkat sehingga perilakunya juga sejalan dengan peningkatan
pengetahuannya.
2. Faktor Pemungkin (Enabling Factors)
Faktor pemungkin berupa ketersediaan fasilitas yang mendukung penjamah
makanan dalam pelaksanaan CPPB IRTP. Fasilitas yang dimaksud adalah fasilitas
yang tersedia baik di ruang produksi maupun ruang penyimpanan. Sementara itu,
jumlah informasi yang dimaksud apakah penjamah makanan pernah mendapat
informasi mengenai pelaksanaan higiene sanitasi karyawan seperti yang
dituangkan dalam peraturan mengenai penerapan CPPB IRTP.
3. Faktor Penguat (Reinforcing Factors )
Faktor penguat dalam penerapan CPPB adalah dukungan pengelola IRTP
yaitu dalam memberikan reward dan punishment bagi penjamah makanan yang
bekerja di sarana IRTP yang dikelola. Serta adanya kebijakan yang mengatur
pelaksanaan CPPB IRTP di sarana tempat penjamah makanan bekerja. Reward
dari pengelola dapat berupa insentif yaitu uang tambahan atau bonus apabila
penjamah makanan menerapkan CPPB dengan baik. Faktor penguat dapat juga
28
berupa pujian dan penghargaan berupa rekomendasi bagi penjamah makanan yang
ingin meningkatkan karirnya di bidang pengolahan makanan.
Secara matematis, determinan perilaku menurut Green dapat digambarkan
sebagai berikut:
Keterangan :
B = Behaviour
F = Fungsi
Pf = Predisposing factors
Ef = Enabling factors
Rf = Reinforcing factors
B=F(Pf, Ef,Rf)
29
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir
Penerapan CPPB adalah salah satu upaya melindungi masyarakat dari pangan
yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Produsen pangan hendaknya
memiliki pengetahuan dan kesadaran mengenai mutu dan kemanan pangan
sehingga dapat menghasilkan pangan yang terbebas dari cemaran yang dapat
membahayakan kesehatan masyarakat.
Kebersihan dan higiene penjamah makanan dalam menerapkan CPPB IRTP
sangat penting sebab penjamah makanan melakukan kontak langsung pada bahan
pangan sehingga merupakan salah satu hal yang penting diperhatikan agar produk
pangan yang dihasilkan IRTP bermutu dan aman dikonsumsi.
Berdasarkan kajian yang dilakukan dan beberapa teori mengenai perilaku
seseorang, maka hal-hal yang mempengaruhi perilaku pejamah makanan dalam
menerapkan CPPB adalah faktor yang mendukung seperti karakteristik penjamah
makanan (umur, jenis kelamin, pendidikan, masa kerja), persepsi, sikap,
pengetahuan, dan pernah tidaknya mengikuti penyuluhan mengenai pengolahan
pangan yang baik. Sementara faktor yang memungkinkan dalam penerapan CPPB
IRTP adalah ketersediaan fasilitas yang mendukung pekerjaan penjamah makanan
di sarana IRTP, jumlah informasi mengenai CPPB IRTP yang diterima penjamah
makanan apakah ada manfaatnya apabila menerapkan CPPB IRTP tersebut serta
biaya yang dikeluarkan untuk menunjang penerapan CPPB IRTP.
29
30
Selain faktor pendukung dan pemungkin, ada juga faktor yang dapat
memperkuat dalam penerapan CPPB IRTP adalah kebijakan dari IRTP terkait
aturan tertulis yang diterapkan sarana IRTP serta dukungan dari pengelola
berkaitan dengan sanksi dan penghargaan yang diperoleh penjamah makanan
apabila menerapkan CPPB di tempat kerjanya. Dengan adanya pengaruh dari
faktor-faktor tersebut, penerapan CPPB di IRTP akan semakin baik sehingga
pangan yang beredar dan dikonsumsi masyarakat adalah pangan yang aman serta
bermutu.
Persyaratan dalam CPPB memungkinkan untuk tidak diterapkan secara
menyeluruh oleh IRTP misalnya karena alasan modal yang terbatas, fasilitas
lingkungan yang tidak menunjang dan sebagainya. Dari beberapa aspek yang
disyaratkan dalam CPPB IRTP, peneliti membatasi aspek yang akan diteliti yaitu
aspek peralatan produksi, fasilitas dan kegiatan higiene sanitasi, kesehatan dan
higiene karyawan, serta pemeliharaan dan program higiene sanitasi.
31
3.2. Konsep Penelitian
Keterangan:
Gambar 3.1 Konsep penelitian faktor- faktor yang berpengaruh terhadap perilaku
penjamah makanan dalam penerapan CPPB IRTP (merujuk teori L. Green).
Faktor Predisposisi
Umur
Pendidikan
Jenis Kelamin
Masa Kerja
Mengikuti Penyuluhan
Pengetahuan
Persepsi
Sikap
Variabel Independen
Faktor Pemungkin
Ketersediaan Fasilitas
Jumlah Informasi
Biaya
Faktor Penguat
Kebijakan IRTP
Dukungan Pengelola
Variabel Dependen
Perilaku Penjamah
Makanan dalam
menerapkan CPPB
pada IRTP di
Kabupaten
Karangasem
: TidakDiteliti : Diteliti
32
3.3. Hipotesis Penelitian
1. Umur mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB
pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
2. Jenis kelamin mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan
CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
3. Tingkat Pendidikan mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam
menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
4. Masa kerja mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan
CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
5. Pengetahuan mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan
CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
6. Sikap mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan CPPB
pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
7. Penyuluhan mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam menerapkan
CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
8. Ketersedian fasilitas mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam
menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
9. Dukungan pengelola mempengaruhi perilaku penjamah makanan dalam
menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten Karangasem.
33
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik kuantitatif yaitu penelitian
yang bermaksud untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan perilaku
penjamah makanan dalam menerapkan CPPB di IRTP. Sedangkan rancangan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah crosssectional yaitu peneliti
melakukan pengukuran variabel pada waktu yang sama dan hanya dilakukan satu
kali saja (Sudigdo, 2011).
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1 Lokasi
Penelitian dilakukan di 10 Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) yang telah
memiliki izin produksi IRTP di Kabupaten Karangasem.
4.2.2 Waktu
Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari-Maret 2015.
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah semua penjamah makanan yang bekerja di
IRTP yang telah memiliki izin IRTP di Kabupaten Karangasem. Adapun jumlah
IRTP yang telah memiliki izin adalah 10 sarana.
33
34
4.3.2 Sampel
Sampel penelitian ini adalah penjamah makanan yang bekerja di IRTP yang
telah memiliki izin IRTP di Kabupaten Karangasem yang memenuhi kriteria
inklusi. Adapun kriteria inklusi sampel adalah mampu berkomunikasi dengan baik
dan bersedia menjadi responden. Pengelola yang bekerja sekaligus sebagai
penjamah makanan tidak digunakan sebagai sampel penelitian.
4.3.3 Besar Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah seluruh populasi penelitian. Adapun jumlah
sampel dalam penelitian ini adalah 79 orang penjamah makanan yang bekerja di
IRTP yang sudah memiliki izin IRTP.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Variabel Independen
Variabel independen atau variabel bebas dalam penelitian ini adalah umur,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja, pengetahuan, sikap, pernah
mengikui penyuluhan, ketersediaan fasilitas dan dukungan pengelola IRTP
4.4.2 Variabel Dependen
Variabel dependen atau variabel terikat dari penelitian ini adalah perilaku
penjamah makanan dalam menerapkan CPPB pada IRTP di Kabupaten
Karangasem.
35
4.5 Definisi Operasional Variabel
Tabel 4.1. Definisi Operasional Variabel dan Skala Data
Variabel Definisi Operasional Catatan tentang rencana
analisis
Variabel Dependen
Perilaku
Penjamah
makanan
Berbagai hal yang dilakukan oleh
penjamah makanan terkait dengan
produksi IRTP dan penerapan CPPB
IRTP. Penilaian tentang perilaku
dilakukan dengan lembar observasi. Item
lembar observasi berjumlah 12 item.
Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali
dengan selang waktu tujuh hari dari
pengamatan sebelumnya. Waktu
pengamatan adalah saat penjamah
makanan sedang melakukan kegiatan
produksi di IRTP.
Skala pengukuran data
adalah interval, diberikan
skor 1 apabila perilaku
dilakukan oleh responden
dan 0 apabila tidak
dilakukan. Lalu
dikelompokkan
berdasarkan Mean
1. Baik ( > mean)
2. Kurang baik (≤mean)
Variabel Independen
Umur Umur dalam tahun responden saat
wawancara mengenai usia. Wawancara
dilakukan dengan kuesioner.
Skala pengukuran data
adalah interval
Akan dikelompokkan
dalam dua kategori yaitu:
1=Umur < 35 tahun
2=Umur ≥ 35 tahun
(Nursalam, 2001)
Jenis
Kelamin
Pembagian jenis seksual yang ditentukan
secara biologis dan anatomis yang
dinyatakan dalam jenis kelamin laki-laki
dan jenis kelamin perempuan.
Wawancara dilakukan dengan kuesioner.
Skala pengukuran data
adalah interval
Kemudian data
dikelompokkan menjadi
kelompok laki-laki dan
perempuan
Pendidikan Pendidikan formal terakhir yang
diselesaikan responden sampai dengan
penelitian dilakukan. Wawancara
terstruktur dilakukan dengan kuesioner.
Skala pengukuran data
adalah nominal
Dikelompokkan ke dalam
dua kategori yaitu:
1=Rendah (Tidak sekolah-
SMP)
2=Tinggi (SMA-S1)
(Rizky, 2009)
36
Variabel Definisi Operasional Catatan tentang rencana
analisis
Masa Kerja Lamanya waktu bekerja responden di
IRTP terhitung mulai masuk bekerja
sampai saat pengambilan data dilakukan.
Masa kerja dihitung selama responden
bekerja sebagai penjamah makanan
walaupun di perusahaan yang berbeda.
Wawancara terstruktur dilakukan dengan
kuesioner.
Skala pengukuran data
adalah interval
Dikelompokkan ke dalam
dua kategori yaitu:
1= Baru (≤ 60 bulan)
2=Lama ( >60 bulan)
(Agustini, 2008)
Pengetahuan Segala sesuatu yang dipahami oleh
penjamah makanan tentang CPPB IRTP.
Pengetahuan dinilai dengan
menggunakan 12 item pertanyaan.
Wawancara terstruktur dilakukan dengan
kuesioner.
Skala pengukuran data
adalah ordinal
Akan diberikan skor yaitu
skor 1 apabila responden
tahu dan skor 0 apabila
tidak tahu.
Kemudian dikategorikan
menjadi:
1. Pengetahuan Baik
(≥80% dari skor total)
2. Pengetahuan kurang
(<80% dari skor total)
Pernah
mengikuti
penyuluhan
Pernah mengikuti penyuluhan/pelatihan
keamanan pangan baik yang diadakan
oleh pemerintah maupun oleh IRTP
tempat responden bekerja. Wawancara
terstruktur dilakukan dengan kuesioner.
Skala pengukuran data
adalah nominal
Dikelompokkan menjadi
kelompok pernah dan tidak
pernah
Sikap Tanggapan karyawan tentang penerapan
CPPB pada IRTP. Penilaian sikap
menggunakan 17 item pernyataan positif
dan negatif. Respon terhadap masing-
masing pernyataan diukur dengan dua
tingkatan skala yaitu setuju dan tidak
setuju. Pemberian skor dilakukan sebagai
berikut: pernyataan positif : setuju diberi
skor 1 dan tidak setuju diberi skor 0
Pernyataan negatif: setuju diberi skor 0
dan tidak setuju diberi skor 1.
Wawancara terstruktur dilakukan dengan
kuesioner.
Skala pengukuran data
adalah ordinal
Dikelompokkan menjadi
dua kategori yaitu:
1= Baik (≥ 80% dari skor
total)
2= Kurang baik (<80% dari
skor total)
(Fatima dkk, 2002)
37
Variabel Definisi Operasional Catatan tentang rencana
analisis
Ketersediaan
Fasilitas
Fasilitas yang mendukung pelaksanaan
CPPB pada IRT yang tercantum dalam
pedoman CPPB. Fasilitas digolongkan
menjadi dua yaitu fasilitas mutlak dan
fasilitas penunjang lain. Fasilitas mutlak
adalah fasilitas cuci tangan dengan air
mengalir dan sabun, fasilitas penunjang
adalah tempat sampah yang dilengkapi
tutup, pengering tangan/lap, sarana
pencucian bahan pangan, sarana
pencucian peralatan, sarana toilet, sarana
pembuangan limbah, tempat
penyimpanan bahan makanan, tempat
makanan jadi, dan sistem penerangan
yang baik. Penilaian dilakukan dengan
observasi. Pengkategorian saat
pengamatan dibagi menjadi dua yaitu ada
apabila memenuhi syarat, dan tidak ada
apabila tidak memenuhi syarat atau
fasilitas tersebut tidak ada sama sekali.
Lembar observasi terdiri dari 10 item.
Skala pengukuran data
adalah ordinal
Dikelompokkan menjadi
dua kategori yaitu :
1= Lengkap (fasilitas
mutlak ada dan ≥50%
fasilitas penunjang ada)
2= Kurang lengkap
(apabila tidak memenuhi
kriteria diatas) (Agustini,
2008)
Dukungan
Pengelola
Dukungan berupa ucapan, sikap dan
reward dari pengelola IRTP serta
pemberian kesempatan untuk mengikuti
penyuluhan yang dapat mendorong
karyawan menerapkan CPPB. Penilaian
dukungan pengelola menggunakan lima
item pertanyaan dengan dua pilihan
jawaban yaitu ya diberikan skor 1 dan
tidak diberikan skor 0. Wawancara
terstruktur dilakukan dengan kuesioner.
Skala pengukuran data
adalah ordinal
Dikelompokkan ke dalam
dua kategori yaitu:
1= Baik (≥ 80% dari skor
total)
2= Kurang baik (<80% dari
skor total)
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner dan lembar observasi.
Kuesioner berisi pertanyaan tentang karakteristik, pengetahuan, dan sikap
penjamah makanan serta pertanyaan mengenai dukungan pengelola IRTP. Lembar
38
observasi (check list) berisi item tentang ketersediaan fasilitas dan perilaku
penjamah makanan dalam menerapkan CPPB IRTP.
Uji coba kuesioner bertujuan untuk content analysis yaitu untuk mengetahui
apakah pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner dapat dimengerti dan dipahami
oleh responden. Uji coba kuesioner dilakukan pada delapan penjamah makanan
dengan karakteristik yang hampir sama dengan karakteristik sampel yaitu
penjamah makanan yang bekerja di industri jasa boga Kabupaten Karangasem.
4.7 Prosedur Penelitian
4.7.1 Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data sekunder yaitu data mengenai jumlah IRTP di Kabupaten
Karangasem yang telah memiliki izin IRTP dan penjamah makanan yang bekerja
di masing-masing sarana tersebut sedangkan data primer adalah data mengenai
karakteristik, pengetahuan dan sikap penjamah makanan, ketersediaan fasilitas di
IRTP, dukungan pengelola IRTP kepada penjamah makanan, serta perilaku
penjamah makanan dalam menerapkan CPPB IRTP. Data perilaku penjamah
makanan yang dikumpulkan dibatasi hanya 12 jenis perilaku dari 19 jenis perilaku
yang diatur dalam CPPB IRTP.
4.7.2 Cara Pengumpulan Data
Cara pengambilan dan pengumpulan data primer pada penelitian ini adalah
dengan observasi dan wawancara yang berpedoman pada kuesioner. Pengumpulan
39
data dilakukan dengan cara wawancara langsung pada responden. Enumerator
membacakan pertanyaan penelitian dan dijawab oleh responden. Untuk
menghindari pertanyaan yang terlewatkan, enumerator mengecek kembali lembar
pertanyaan sebelum mengakhiri wawancara. Observasi dilakukan pada fasilitas
yang tersedia di IRTP serta pada perilaku penjamah makanan saat melakukan
pengolahan pangan. Observasi akan dilakukan oleh observer yang sudah dilatih
dengan waktu yang tidak disepakati sebelumnya.
Adapun langkah-langkah wawancara yang dilakukan sebagai berikut.
1. Meminta izin kepada pengelola IRTP dan responden agar dapat melakukan
penelitian dengan cara menjelaskan tujuan penelitian.
2. Memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden dalam penelitian
kepada calon responden.
3. Membacakan pertanyaan pada responden dan dijawab langsung oleh
responden kemudian peneliti mencatat jawaban dari responden tersebut.
4. Menjamin kerahasiaan informasi yang dikumpulkan dari responden
5. Melakukan pengecekan kembali pada semua item pertanyaan sebelum
mengakhiri wawancara untuk menghindari pertanyaan yang terlewatkan.
Apabila ada pertanyaanyang terlewatkan maka peneliti menanyakan kembali
kepada responden untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat.
4.7.3 Etika Penelitian
Sebelum memulai penelitian telah diperoleh rekomendasi penelitian di Badan
Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Bali dengan nomor
40
070/23803/IV/BPMP. Kemudian telah diperoleh pula ijin penelitian di Badan
Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang Pol dan Linmas)
Kabupaten Karangasem dengan nomor 070/191/KBPPM/2015. Oleh karena
penelitian ini melibatkan masyarakat maka dilengkapi juga dengan Ethical
Clearance dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan
nomor 101/UN.14.2/Litbang/2015. Sebelum memulai wawancara, responden
menandatangani pernyataan kesediaan menjadi responden penelitian, setelah
dibacakan tujuan penelitian oleh enumerator.
4.8 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
4.8.1 Teknik Pengolahan Data
Data yang diperoleh diolah melalui beberapa tahapan :
1. Editing
Setelah data terkumpul, tahap pertama yang dilakukan adalah melakukan
pemeriksaan terkait kelengkapan dokumen data IRTP, lembar observasi, dan
kuesiner untuk memudahkan proses penyempurnaan data apabila masih ada data
yang belum lengkap.
2. Coding
Merupakan proses penyusunan data mentah yang ada dalam kuesioner
menjadi bentuk yang mudah dibaca oleh alat pengolah data.
3. Data Entry
Merupakan tahap pemindahan data yang telah dirubah menjadi kode-kode ke
dalam alat pengolah data.
41
4. Data Cleaning
Tahap ini dilakukan untuk memastikan bahwa seluruh data yang telah
dimasukkan ke dalam alat bantu pengolah data sudah sesuai dengan yang data
sebenarnya yang terkumpul saat pengumpulan data.
5. Scoring
Hasil pengisian kuesioner oleh responden dilakukan scoring untuk keperluan
analisis.
4.8.2 Analisis Data
4.8.2.1 Analisis Univariat
Analisis ini dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi
frekuensi yang meliputi karakteristik penjamah makanan, variabel dependen, dan
variabel independen. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui gambaran
distribusi frekuensi dan proporsi dari masing-masing variabel baik variabel bebas
maupun variabel terikat. Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
4.8.2.2 Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan untuk menilai pengaruh satu variabel bebas dengan
variabel tergantung yaitu pengaruh karakteristik, pengetahuan, sikap responden,
ketersediaan fasilitas dan dukungan pengelola IRTP terhadap perilaku penjamah
makanan dalam menerapkan CPPB IRTP. Hasil analisis bivariat akan ditampilkan
dalam tabel 2x2. Ukuran asosiasi yang digunakan untuk menilai pengaruh
variabel bebas terhadap variabel tergantung pada analisis ini adalah Crude
42
Prevalence Ratio (CPR) dan uji statistik yang digunakan adalah Chi square
dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05)
4.8.2.3 Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari masing-
masing variabel bebas terhadap variabel tergantung dengan cara mengontrol
keberadaan variabel bebas yang lain. Uji statistik yang digunakan adalah poisson
regression dan ukuran asosiasi akan ditampilkan dalam bentuk Adjusted
Prevalence Ratio (APR) dengan 95% CI serta perhitungan nilai p.
43
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Lokasi Penelitian
Perekonomian masyarakat di Kabupaten Karangasem bergerak di bidang
pertanian, peternakan, perikanan, industri dan perdagangan. Industri di Kabupaten
Karangasem yang berkembang dengan pesat adalah industri kerajinan dan rumah
tangga. Industri rumah tangga khususnya di bidang pangan menjadi salah satu
mata pencaharian sebagian penduduk di Kabupaten Karangasem. Berdasarkan
data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem, jumlah IRTP mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Jumlah IRTP yang terdaftar pada tahun 2012 adalah
sebanyak 179, tahun 2013 meningkat menjadi 231 dan sampai dengan bulan Juni 2014
tercatat sebanyak 270 IRTP. Jumlah tenaga penjamah makanan yang bekerja di IRTP
Kabupaten Karangasem mencapai 1246 orang.
Program pembinaan yang dilakukan oleh Puskesmas dan Dinas Kesehatan
berintegrasi dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan telah dilakukan dengan
tujuan pangan yang dijual oleh IRTP aman dikonsumsi oleh masyarakat. Pembinaan
yang dilakukan antara lain adalah penyuluhan kelompok kepada penjamah makanan,
sosialisasi peraturan menteri kesehatan tentang CPPB IRTP dan Bahan Tambahan
Pangan (BTP). Beberapa jenis pangan yang tergolong IRTP diantaranya hasil olahan
tepung seperti roti, kue dan mie, hasil olahan buah seperti manisan, keripik buah, selai
buah, dodol buah dan buah kering, dan hasil olahan kacang-kacangan seperti kacang
kapri, kacang mente, kacang asin dan bumbu kacang.
43
44
Jumlah IRTP yang telah melengkapi legalitas usahanya dengan mengurus izin
produksi IRTP sampai dengan bulan Juni 2014 adalah sebanyak 10 IRTP (3,7%)
dengan jumlah tenaga penjamah makanan yang dipekerjakan adalah 79 orang. IRTP ini
tersebar di 5 kecamatan yaitu Kecamatan Karangasem, Bebandem, Selat, Rendang, dan
Kubu.
5.2 Karakteristik Responden
Penelitian ini diawali dengan mencari data jumlah dan nama usaha IRTP di
Kabupaten Karangasem. Berdasarkan data pada Seksi Registrasi, Akreditasi,
Sertifikasi dan Perijinan Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem, jumlah IRTP
sampai dengan bulan Juni 2014 di Kabupaten Karangasem sebanyak 270 IRTP
dan 10 diantaranya telah memiliki izin produksi IRTP. Selain itu dilakukan cross
check data jumlah IRTP pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten
Karangasem diperoleh data jumlah IRTP yang telah memiliki izin produksi IRTP
sudah sesuai dengan data di Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem. Adapun
jumlah penjamah makanan yang bekerja di 10 IRTP tersebut berjumlah 79 orang.
Mengingat jumlah sampel minimal pada penelitian ini sebanyak 58 penjamah
makanan, maka semua penjamah makanan yang bekerja di IRTP dengan izin
produksi dipilih menjadi sampel.
Data diambil dari pengisian kuesioner yang disebarkan kepada 79 orang
tenaga penjamah makanan yang bekerja pada IRTP yang telah memiliki izin
usaha IRTP. Karakteristik responden yaitu umur dikategorikan menjadi <35 tahun
dan ≥35 tahun, pendidikan dikategorikan menjadi pendidikan rendah dan tinggi
45
sedangkan masa kerja dikategorikan menjadi ≤ 60 bulan dan > 60 bulan seperti
yang disajikan pada tabel dibawah ini.
Tabel 5.1
Karakteristik Penjamah Makanan pada Industri Rumah Tangga Pangan di
Kabupaten Karangasem Tahun 2015
Karakteristik (n=79) f %
Umur, rerata ±SD 35,8 ± 11,6 tahun
< 35 tahun 41 51,9
≥ 35 tahun 38 48,1
Jenis kelamin
Laki-laki 17 21,52
Perempuan 62 78,48
Pendidikan
Tinggi 46 58,23
Rendah 33 41,77
Masa kerja, median (IQR) 48 (24-96) bulan
> 60 bulan 48 60,76
≤ 60 bulan 31 39,24
Penyuluhan
Pernah 21 26,58
Tidak pernah 58 73,42
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa distribusi subjek berdasarkan kelompok umur
relatif seimbang antara subjek yang berumur lebih dari atau sama dengan 35 tahun
(48,1%) dibandingkan yang berumur kurang dari 35 tahun (51,9%), sedangkan
berdasarkan distribusi jenis kelamin, sebagian besar penjamah makanan adalah
perempuan sebanyak 62 orang (78,48%) dan sisanya sebanyak 17 orang (21,52%)
adalah laki-laki. Berdasarkan pendidikan, sebagian besar penjamah makanan
berpendidikan tinggi (SMA, diploma, sarjana) sebanyak 46 orang (58,23%).
Dilihat berdasarkan lama bekerja, penjamah makanan yang bekerja lebih dari 60
bulan berjumlah 48 orang (60,76%) dan sisanya bekerja kurang atau sama dengan
46
60 bulan. Karakteristik responden berdasarkan pernah tidaknya mengikuti
penyuluhan tentang CPPB pada penelitian ini sebagian besar belum pernah
mengikuti penyuluhan yaitu sebanyak 58 orang (73,42%).
5.3 Gambaran Perilaku Penjamah Makanan dalam Penerapan CPPB pada
IRTP di Kabupaten Karangasem
Penilaian perilaku penjamah makanan dilakukan pengamatan sebanyak tiga
kali dengan selang waktu tujuh hari dari pengamatan sebelumnya. Dilakukan
berulang dalam selang waktu tersebut untuk mendapatkan pola yang jelas atau
konsistensi dalam perilaku dari waktu ke waktu. Pengamatan berulang juga
mengontrol variasi normal perilaku yang diharapkan dalam interval waktu yang
singkat (Milan dkk, 2001). Waktu pengamatan adalah saat penjamah makanan
sedang melakukan kegiatan produksi di IRTP. Item lembar observasi berjumlah
12 item yang terdiri dari perilaku mencuci tangan, memakai perlengkapan kerja,
menggunakan alat bantu saat mengambil makanan matang, menutup makanan
matang, tidak bercakap-cakap, tidak menggaruk anggota tubuh, tidak mengunyah
makanan, tidak menggunakan perhiasan dan tidak memanjangkan kuku saat
melakukan pengolahan makanan. Penelitian ini dibatasi hanya 12 item perilaku
karena pertimbangan lokasi IRTP tidak memiliki fasilitas yang dapat mendukung
perilaku tersebut. Gambaran pengamatan perilaku, perilaku secara keseluruhan
dan gambaran perilaku berdasarkan karakteristik penjamah makanan dapat dilihat