1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah (DB) atau Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang ditemukan di daerah tropis dengan penyebaran geografis yang mirip dengan malaria. Demam berdarah disebarkan kepada manusia oleh nyamuk Aedes aegypti (Kalyanamitra, 2012). Sekitar 2,5 milyar orang (2/5 penduduk) mempunyai resiko untuk terkena infeksi virus dengue. Lebih dari 100 negara tropis dan subtropis pernah mengalami letusan dengue dan demam berdarah dengue, lebih kurang 50.000 kasus setiap tahun dirawat di rumah sakit dengan ribuan orang diantaranya meninggal dunia. Nyamuk Aedes aegypti yang merupakan vektor yang berperan dalam penularan penyakit DBD ini hidup di dalam rumah, di kloset, di tempat-tempat yang gelap, dan di luar rumah (Misnadiarly, 2009).
159
Embed
faktor yang berhubungan dengan keberadaan jentik aedes aegypti
skripsi untuk memperoleh gelar sarjana kesehatan masyarakat, tujuan skripsi ini untuk mengetahui hubungan jenis TPA, kondisi TPA, kondisi rumah, menguras TPA, dan jenis jentik terhadap keberadaan jentik aedes aegypti di kelurahan paccerakkang kota makassar tahun 2012
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam Berdarah (DB) atau Demam Berdarah Dengue (DBD)
adalah penyakit demam akut yang ditemukan di daerah tropis dengan
penyebaran geografis yang mirip dengan malaria. Demam berdarah
disebarkan kepada manusia oleh nyamuk Aedes aegypti
(Kalyanamitra, 2012). Sekitar 2,5 milyar orang (2/5 penduduk)
mempunyai resiko untuk terkena infeksi virus dengue. Lebih dari 100
negara tropis dan subtropis pernah mengalami letusan dengue dan
demam berdarah dengue, lebih kurang 50.000 kasus setiap tahun
dirawat di rumah sakit dengan ribuan orang diantaranya meninggal
dunia. Nyamuk Aedes aegypti yang merupakan vektor yang berperan
dalam penularan penyakit DBD ini hidup di dalam rumah, di kloset, di
tempat-tempat yang gelap, dan di luar rumah (Misnadiarly, 2009).
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan
pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu,
terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health
Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara
dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Pusat Data dan
Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI, 2010).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia.
2
Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah
seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Di
Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya
pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang
diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Sejak
saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia (Pusat Data
dan Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI, 2010).
Tahun-tahun berikutnya kasus demam berdarah berfluktuasi
jumlahnya setiap tahun dan cenderung meningkat. Demikian pula
wilayah yang terjangkit bertambah luas. Menurut Suroso dan Umar
penyebab meningkatnya jumlah kasus dan semakin menyebar luasnya
penyakit demam berdarah itu antara lain karena semakin
meningkatnya arus transportasi (mobilitas) penduduk dari satu daerah
ke daerah lain. Sedangkan nyamuk penularnya masih tersebar dan
banyak terdapat baik di rumah, sekolah maupun tempat umum lainnya
(Hadinegoro dan Satari, 2002).
Hampir setiap tahun terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) di
beberapa daerah yang biasanya terjadi pada musim penghujan,
namun sejak awal tahun 2011 ini sampai bulan Agustus 2011 tercatat
jumlah kasus relatif menurun. Program pencegahan dan
pemberantasan DBD telah berlangsung lebih kurang 43 tahun dan
berhasil menurunkan angka kematian dari 41,3% pada tahun 1968
menjadi 0,87 % pada tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan
3
angka kesakitan. Jumlah penderita cenderung meningkat,
penyebarannya semakin luas, menyerang tidak hanya anak-anak
tetapi juga golongan umur yang lebih tua. Pada tahun 2011 sampai
bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian (CFR: 0,80
%) (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2011).
Penyakit Demam Berdarah Dengue di Sulawesi Selatan juga
merupakan jenis penyakit yang banyak menimbulkan kematian. Hal ini
dapat dilihat bahwa pada tahun 2009 jumlah penderita DBD sebanyak
3553 penyakit dengan jumlah kematian 24 orang, pada tahun 2010
jumlah penyakit DBD sebanyak 3999 penderita dengan jumlah
kematian 28 orang (Dinkes Prov. Sulsel, 2010).
Sekitar 30 daerah yang rawan penyebaran penyakit DBD di
Makassar. Kelurahan yang rawan penyebaran DBD di antaranya
Kelurahan Sudiang Raya, Daya, Tamalanrea Jaya, Tamalanrea Indah,
padamkanlah lampu. Sesungguhnya setan tak bisa membuka kantung air, tak bisa membuka pintu, & tak pula bisa membuka bejana. Jika salah seorang dari kalian tak mendapatkan (penutup) kecuali hanya dgn membentangkan sebatang ranting pohon kemudian ia menyebut nama Allah, hendaklah ia lakukan itu”.
ABJ yang rendah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dalam
penelitian Sulistyawati (2011) menjelaskan bahwa ada hubungan
antara kondisi tempat penampungan air dengan keberadaan larva
Aedes aegypti di Kelurahan Rappocini Kota Makassar.
3. Tinjauan Umum Tentang Karakteristik Tempat Penampungan
Air (TPA)
Telur, larva, dan pupa nyamuk Aedes aegypti tumbuh dan
berkembang di dalam air. Genangan yang disukai sebagai tempat
perindukan nyamuk ini berupa genangan air yang tertampung di
31
suatu wadah yang disebut kontainer atau tempat penampungan air
(TPA) bukan genangan air di tanah. Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi peletakan telur nyamuk Aedes sp antara lain jenis
TPA, warna TPA, bahan dasar TPA, letak TPA, air, suhu,
kelembaban, dan kondisi lingkungan setempat. Identifikasi TPA
dapat digunakan untuk keperluan pemberantasan penyakit DBD
(Sari, et al., 2005). Namun yang akan dibahas dalam penelitian ini
adalah jenis TPA, warna TPA, dan bahan dasar TPA.
Jenis-jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes
aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Tempat penampungan air (TPA), untuk keperluan sehari-hari,
seperti: drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/WC,
ember dan lain-lain.
b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari
seperti tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan
barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastic dan lain-lain).
c. Tempat penampungan air alamiah seperti: lubang pohon,
Tabel 5.15 menunjukkan bahwa dari 624 kontainer yang
diobservasi terdapat 48 kontainer (84,2%) yang positif jentik Aedes
aegypti dan 9 kontainer (15,8%) yang positif jentik Aedes
albopictus. Hasil uji statistik menunjukkan dengan menggunakan uji
chi square diperoleh p = 0,000. Hal ini berarti p < α (0,05). Dengan
demikian, Ho ditolak yang berarti bahwa terdapat hubungan antara
jenis jentik dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang.
C. Pembahasan
Pembahasan hasil penelitian ini didasarkan pada landasan
teoritis yang digunakan didalam penyusunan kerangka konsep
peneltian sebelumnya.
1. Hubungan Karakteristik Tempat Penampungan Air (TPA)
dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti
Karakteristik tempat penampungan air dalam penelitian ini
meliputi jenis, bahan dasar, dan warna TPA.
a) Jenis TPA
Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti umumnya
berupa tempat-tempat teduh di mana air tergenang. Air tempat
73
nyamuk bertelur harus jernih, bukan air kotor, atau air yang
langsung bersentuhan dengan tanah, melainkan air jernih yang
berada dalam wadah dan tergenang tenang tak terusik.
Keberadaan tempat perindukan sangat berperan dalam
kepadatan vektor nyamuk Aedes aegypti, karena semakin
banyak tempat perindukan maka akan semakin padat populasi
nyamuk Aedes aegypti.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis TPA yang
positif jentik Aedes aegypti adalah TPA sehari-hari sebanyak 48
TPA. Jenis tempat penampungan air sehari-hari yang positif
jentik Aedes aegypti yang paling banyak adalah dispenser
sebanyak 17 (48,6%) dan bak mandi sebanyak 15 (44,1%),
sementara non TPA sehari-hari tidak ditemukan jentik Aedes
aegypti. Hal ini disebabkan karena non TPA sehari-hari
ditemukan di luar rumah dan digenangi oleh air kotor,
sementara breeding place Aedes aegypti kebanyakan di dalam
rumah dan lebih suka berekmbang biar digenangan air yang
bersih.
Hasil uji statistik menunjukkan dengan menggunakan
uji chi square diperoleh p = 0,000. Hal ini berarti p < α (0,05).
Dengan demikian, Ho ditolak yang berarti bahwa terdapat
hubungan antara jenis tempat penampungan air dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang.
74
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Badrah
(2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara jenis TPA lainnya dengan keberadaan jentik di
kelurahan Penajam Kecamatan Penajam Tahun 2010.
Berdasarkan hasil penelitian jenis TPA sehari-hari yang
paling banyak ditemukan postif jentik Aedes aegypti adalah
dispenser dan bak mandi. Pada bagian bawah dispenser
terdapat wadah untuk menampung air yang tumpah dari gelas.
Wadah penampungan ini memiliki celah bagi nyamuk untuk
beristirahat. Kurangnya perhatian terhadap air yang tergenang
dalam wadah ini yang menyebabkan wadah tersebut menjadi
tempat yang baik bagi perkembangbiakan jentik. Membuang air
dalam wadah dispenser secara berkala akan membuat wadah
tersebut bebas dari jentik nyamuk. Sementara bak mandi
merupakan tempat yang potensial untuk perkembangan nyamuk
Aedes aegypti karena ukuran wadah yang besar dan air yang
jarang digunakan dan dibersihkan. Hal ini menjadi lebih buruk
lagi dengan perilaku responden yang tidak menutup tempat-
tempat penampungan air.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Novelani (2007) yang menyatakan bahwa
perolehan larva tertinggi pada jenis bak mandi sebesar (50%).
Penelitian yang dilakukan oleh Yudhastuti (2005) di Kelurahan
75
Wonokusumo, dari 252 kontainer ditemukan TPA sehari-hari
yang positif larva sebanyak 82 kontainer. Dari 82 kontainer
terdapat 38 bak mandi yang positif larva Aedes aegypti.
Perbedaan hasil penentuan jenis wadah yang
memfasilitasi larva Aedes aegypti tertinggi pada lokasi
penelitian dan pembanding, disebabkan masing-masing wilayah
tertentu mempunyai kesenangan akan pemilihan jenis tempat
penampungan air yang digunakan. Tetapi dari pengamatan di
lokasi penelitian dan pembanding dari angka-angka yang
diperoleh jenis wadah yang paling banyak ditemukan larva
adalah bak mandi yang merupakan jenis wadah dengan volume
air yang besar (Novelani, 2007).
b) Bahan Dasar TPA
Banyak sedikitnya larva Aedes aegypti yang ditemukan
kemungkinan ada hubungannya dengan makanan larva yang
tersedia, karena kesediaan makanan ada hubungannya dengan
bahan dasar TPA. Hal ini terjadi, mungkin disebabkan
mikroorganisme yang menjadi makanan larva lebih mudah
tumbuh pada dinding TPA yang kasar seperti semen. Selain itu,
pada kontainer yang berdinding kasar, nyamuk betina lebih
mudah mengatur posisi tubuh waktu meletakan telur, dimana
telur diletakan secara teratur di atas permukaan air.
76
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 48 kontainer
yang positif jentik Aedes aegypti terdapat 31 kontainer (64,6%)
yang memiliki bahan dasar plastik dan 17 kontainer (35,4%)
yang berasal dari bahan semen.
Berdasarkan hasil penelitian bahan dasar TPA yang
positif jentik Aedes aegypti adalah plastik dan semen. Hal ini
dikarenakan TPA yang paling banyak digunakan oleh warga di
lokasi penelitian adalah ember, baskom, dispenser dan bak
mandi yang kebanyakan terbuat dari plastik dan semen.
Banyaknya TPA berbahan dasar plastik yang ditemukan
dikarenakan saat ini banyak alat-alat untuk kebutuhan sehari-
hari yang terbuat dari plastik. Bahan dasar tersebut merupakan
bahan dasar yang paling banyak dan mudah ditemukan di
pasar, harganya yang cenderung lebih murah juga menjadi
pertimbangan dalam memilih TPA berbahan dasar plastik.
Selain itu kebanyakan TPA berbahan dara plastik kurang
diperhatikan kebersihannya sehingga member peluang untuk
Aedes aegypti berkembang biak.
Hasil uji statistik menunjukkan dengan menggunakan
uji chi square diperoleh p = 0,000. Hal ini berarti p < α (0,05).
Dengan demikian, Ho ditolak yang berarti bahwa terdapat
hubungan antara bahan dasar tempat penampungan air dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang.
77
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Salim (2005), dari 36 TPA yang postif jentik
Aedes aegypti terdapat 19 TPA yang memiliki bahan dasar
plastik, 12 TPA dari semen, dan 5 TPA dari keramik. Sementara
hasil penelitian yang dilakukan oleh Novelani (2007) di
Kelurahan Utan Kayu Jakarta menyatakan bahwa sebagian
besar di lokasi penelitian ditemukan larva pada wadah yang
terbuat dari bahan dasar plastik (55,6%), keramik (25,0%) dan
paling sedikit pada bahan dasar semen (19,4%). Di lokasi
penelitian tersebut sebagian besar masyarakat menggunakan
wadah dengan bahan dasar plastik untuk bak, tempayan, drum
dan ember sehingga perolehan larva dengan bahan dasar ini
lebih tinggi dari pada yang lainnya.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Sari (2012) yang menyatakan bahwa dominan TPA yang
banyak ditemukan berasal dari bahan dasar plastik namun TPA
yang positif jentik Aedes aegypti lebih banyak ditemukan pada
TPA yang berasal dari bahan dasar semen (44,8%). Hal ini
terjadi, mungkin disebabkan mikroorganisme yang menjadi
makanan larva lebih mudah tumbuh pada dinding TPA yang
kasar seperti semen. Sementara pada kontainer berbahan
dasar plastik (sebagian besar adalah ember dan dispenser),
banyaknya jentik yang terdapat pada kontainer tersebut lebih
78
dikarenakan kondisi sekitar kontainer yang gelap, lembab dan
jarang dibuang airnya serta warna kontainer yang menunjang
perkembangan jentik.
c) Warna TPA
Kondisi yang lembab dan warna TPA yang gelap
memberikan rasa aman dan tenang bagi nyamuk untuk bertelur,
sehingga telur yang diletakkan lebih banyak dan jumlah larva
yang terbentuk lebih banyak pula. Selain itu suasana gelap
menyebabkan larva menjadi tidak terlihat sehingga tidak bisa
diciduk atau dibersihkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 48 TPA, TPA
berwarna gelap yang positif jentik yaitu 15 TPA (31,3%)
berwarna biru, 9 TPA (18,8%) berwarna hitam, dan 1 TPA
(2,1%) berwarna abu-abu. Sementara TPA berwarna terang
yang positif jentik Aedes aegypti yaitu 10 TPA (20,8%) berwarna
putih, 8 TPA (16,7%) berwarna merah, 3 TPA (6,3%) berwarna
hijau, dan masing-masing 1 TPA (2,1%) berwarna merah muda
dan kuning.
Berdasarkan hasil penelitian warna TPA yang paling
banyak positif jentik Aedes aegypti adalah warna biru.
Kepadatan larva Aedes aegypti dalam suatu TPA juga
dipengaruhi oleh warna TPA. TPA yang berwarna gelap
memberikan rasa aman dan tenang pada waktu bertelur
79
sehingga telur yang diletakkan lebih banyak dan jumlah larva
yang terbentuk juga lebih banyak. Sebaliknya pada TPA yang
berwarna terang jumlah telur yang diletakkan lebih sedikit.
Selain itu, TPA yang berwarna gelap kebanyakan dalam kondisi
terbuka dan kurang dijaga kebersihannya sehingga memberi
peluang terhadap nyamuk Aedes aegypti berkembang biak.
Hasil uji statistik menunjukkan dengan menggunakan
uji chi square p = 0,058. Hal ini berarti p < α (0,05). Dengan
demikian, Ho ditolak yang berarti bahwa terdapat hubungan
antara warna tempat penampungan air dengan keberadaan
jentik Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Novelani (2007) yang menyatakan bahwa
ternyata wadah yang positif larva lebih banyak dijumpai pada
wadah berwarna biru (41,7%). Namun berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sari (2012) yang menyatakan
bahwa tempat penampungan air yang berwarna biru merupakan
TPA yang paling banyak ditemukan di lokasi penelitian yaitu
sebanyak 222 buah (28,2%) tetapi tempat penampungan air
dengan warna merah muda memiliki persentase paling besar
(38,8%) positif jentik.
Penelitian lain di Buenos Aires, Argentina menemukan
tempat penampungan air dari bahan dasar plastik berwarna
80
hitam banyak mengandung larva Aedes aegypti 82,1% (Vezzani
et al.dalam Novelani, 2007). Perbedaan hasil perolehan antara
peneliti dan pembanding karena masing-masing masyarakat di
wilayah tertentu mempunyai kesenangan akan tempat
penampungan air yang berbeda-beda baik dalam jenis, bahan
dasar dan warna yang digunakan. Di perkirakan dapat
mempengaruhi prosentase perolehan larva pada setiap wilayah
tersebut.
2. Hubungan Menguras Tempat Penampungan Air dengan
Keberadaan Jentik Aedes aegypti
Menguras tempat penampungan air dalam penelitian ini
meliputi cara dan frekuensi pengurasan TPA. Pengurasan tempat-
tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur sekurang-
kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat
berkembangbiak di tempat itu. Pada saat ini telah dikenal pula
istilah ”3M” plus, yaitu kegiatan 3M yang diperluas. Bila PSN DBD
dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, maka populasi nyamuk
Aedes aegypti dapat ditekan serendah-rendahnya, sehingga
penularan DBD tidak terjadi lagi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 48 kontainer
terdapat 47 TPA (97,9%) yang positif jentik Aedes aegypti karena
tidak memenuhi syarat dalam menguras TPA. Sementara 3 TPA
(0,8%) yang pengurasannya tidak memenuhi syarat namun tidak
81
ditemukan jentik di dalamnya dikarenakan air dalam TPA cepat
habis dan tidak memungkinkan nyamuk Aedes betina untuk
meletakkan telurnya di TPA tersebut. Sedangkan dari 365 TPA
yang pengurasannya memenuhi syarat terdapat 1 TPA (2,1%) yang
postif jentik Aedes aegypti karena kondisi TPA dalam keadaan
kondisi tidak tertutup rapat sehingga tidak menutup kemungkinan
nyamuk betina untuk bertelur di wadah tersebut.
Kebersihan TPA berkaitan dengan kegiatan pengurasan
yang dilakukan minimal seminggu sekali. Pengurasan dimaksud
adalah membersihkan TPA dengan cara menyikat bak dan TPA
yang lain dan mengganti air didalamnya dengan air yang bersih.
Menyikat dinding tempat penampungan air dimaksudkan untuk
menghilangkan telur-telur nyamuk jika ada menempel pada dinding
TPA. Pengurasan tempat penampungan air dengan mengosongkan
dan mengganti dengan air yang baru saja tidak cukup karena tidak
dapat membersihkan dinding dari kotoran yang menempel,
termasuk telur nyamuk yang kemungkinan besar masih menempel
di dinding TPA. Telur yang masih menempel tersebut nantinya
akan dapat berkembang menjadi jentik dan nyamuk dewasa.
Sehingga menguras tempat penampungan air dengan menyikat
dinding TPA dapat memperkecil kesempatan telur nyamuk untuk
berkembang menjadi nyamuk dewasa.
82
Hasil uji statistik menunjukkan dengan menggunakan uji
chi square diperoleh, p = 0,000. Hal ini berarti p < α (0,05). Dengan
demikian, Ho ditolak yang berarti bahwa terdapat hubungan antara
menguras tempat penampungan air dengan keberadaan jentik
Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Badrah (2011) yang menyatakan bahwa ada
hubungan antara kebersihan TPA dengan keberadaan jentik
dengan p=0.045 (p<0,05). Penelitian yang dilakukan oleh Wati
(2009) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi
pengurasan kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan Ploso
Kecamatan Pacitan Tahun 2009.
Penelitian yang dilakukan oleh Sari (2012) menyatakan
bahwa ada hubungan antara praktik PSN dengan kejadian DBD
pada sekolah tingkat dasar di Kota Semarang (p value = 0,005).
Salah satu praktik PSN adalah menguras tempat penampungan air.
Salah satu tempat yang paling potensial sebagai tempat
perindukan nyamuk Aedes sp adalah tempat penampungan air.
Kebiasaan menguras tempat penampungan air lebih dari seminggu
sekali dapat memberikan kesempatan telur Aedes sp menjadi
nyamuk dewasa mengingat pertumbuhan telur menjadi nyamuk
dewasa berkisar antara 7-14 hari.
83
3. Hubungan Kondisi Tempat Penampungan Air dengan
Keberadaan Jentik Aedes aegypti
Wadah penyimpanan air sebaliknya menggunakan
penutup rapat serta mudah dibersihkan. Dengan menggunakan
tutup yang rapat pada setiap penampungan air akan mencegah
nyamuk untuk bersarang dan bertelur. Wadah yang terbuka akan
memungkinkan nyamuk berkembang biak dengan mudah.
Penyimpanan air bersih dirumah, umumnya menggunakan
gentong dan ember plastik. Gentong dan ember plastik harus
mempunyai tutup yang rapat dan wadah paling sedikit dua kali
seminggu harus dibersihkan / dikuras. Gentong dan ember plastik
diletakkan ditempat yang tidak mudah dicemari, lebih tinggi dari
lantai, jauh dari tempat sampah dan selalu tutup rapat.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
48 kontainer (100%) yang positif jentik Aedes aegypti dalam kondisi
terbuka atau tidak tertutup rapat dan terkena udara langsung.
Sementara terdapat 307 TPA dalam keadaan terbuka, namun tidak
terdapat jentik di dalamnya. Hal ini dapat terjadi karena responden
membersihkan TPA secara rutin (1 minggu sekali) atau TPA
berukuran kecil, sehingga air dalam TPA cepat habis dan tidak
memungkinkan nyamuk Aedes betina untuk meletakkan telurnya di
TPA tersebut.
84
Hasil uji statistik menunjukkan dengan menggunakan uji
chi square diperoleh p = 0,000. Hal ini berarti p < α (0,05). Dengan
demikian, Ho ditolak yang berarti bahwa terdapat hubungan antara
kondisi tempat penampungan air dengan keberadaan jentik Aedes
aegypti di Kelurahan Paccerakkang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Badrah (2011) yang menyatakan bahwa ada
hubungan antara kondisi TPA dengan keberadaan jentik dengan
p=0.000 (p<0.05). Penelitian yang dilakukan oleh Sulistyawati
(2011) juga menyatakan bahwa ada hubungan kondisi tempat
penampungan air dengan kepadatan jentik Aedes aegypti di
Kelurahan Rappocini.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Salim
(2007) yang menyatakan dari hasil survei kontainer dengan
penutup justru lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak
berpenutup. Ini disebabkan karena kontainer/TPA tanpa penutup
lebih sering digunakan penduduk sehingga arus air di dalam
kontainer menjadi tidak kondusif bagi perkembangan jentik.
Sementara kontainer yang berpenutup digunakan penduduk
sebagai tampungan air cadangan yang jarang digunakan sehingga
jarang dibersihkan. Bisa juga disebabkan penutupnya tidak rapat
atau ada bagian yang berlubang pada penutup kontainer tersebut.
Oleh sebab itu, dalam penggunaan air dianjurkan untuk sesegera
85
mungkin menutup kembali TPA setelah digunakan. Hal ini
dilakukan untuk meminimalisir kesempatan nyamuk Aedes Aegypti
betina dalam metetakkan telurnya pada TPA.
4. Hubungan Kondisi Rumah dengan Keberadaan Jentik Aedes
aegypti
Faktor yang dapat mempengaruhi indeks jentik DBD yang
berkaitan dengan kondisi perumahan adalah sistem ventilasi,
pencahayaan, dan kebiasaan menggantung pakaian (bukan dalam
almari). Ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan antara lain
ventilasi yang berkasa atau penutup ventilasi lainnya karena selain
tetap berfungsi sebagai tempat keluar masuknya udara dan tetap
mendapatkan udara yang segar. Dengan menggunakan ventilasi
berkasa berarti telah mengurangi jalan masuk bagi nyamuk Aedes
aegypti ke dalam rumah sehingga dapat mengurangi terjadinya
kontak antara nyamuk dan manusia.
Intensitas cahaya merupakan faktor utama yang
mempengaruhi biomonik nyamuk aedes aegypti yang merupakan
penular demam berdarah yaitu dalam perilaku nyamuk di suatu
tempat. Intensitas cahaya yang rendah (< 60 lux ) merupakan
kondisi yang baik bagi nyamuk. Dengan demikian faktor
pencahayaan yang kurang di dalam rumah–rumah sangat
mendukung kelangsungan siklus hidup nyamuk aedes aegypti
sebagai penular demam berdarah sehingga memungkinkan
86
terjadinya KLB demam berdarah. Pengukuran cahaya dalam
penelitian ini adalah pengukuran cahaya kamar mandi.
Pakaian yang manggantung dalam ruangan merupakan
tempat yang disenangi nyamuk Aedes aegypti untuk beristirahat
setelah menghisap darah manusia. Setelah beristirahat pada
saatnya akan menghisap darah manusia kembali sampai nyamuk
tersebut cukup darah untuk pematangan sel telurnya. Jika nyamuk
yang beristirahat pada pakaian menggantung tersebut menghisap
darah penderita demam berdarah dan selanjutnya pindah dan
menghisap darah orang yang sehat maka dapat tertular virus
demam berdarah dengue.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 77
rumah yang diobservasi terdapat 36 rumah (90%) yang positif jentik
Aedes aegypti memiliki kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat.
Sementara 32 rumah (86,5%) yang kondisi rumahnya tidak
memenuhi syarat tidak ditemukan jentik karena menjaga
kebersihan TPA nya dan bisa juga karena kondisi TPA yang
tetutup. Selain itu jenis TPA yang paling banyak digunakan adalah
ember yang menampung air dalam jumlah kecil sehingga setiap air
habis langsung diisi lagi dengan air baru yang bersih. Hal ini
memperkecil peluang Aedes aegypti untuke bertelur, sedangkan
dari 9 rumah yang kondisi rumahnya memenuhi syarat terdapat 4
rumah yang postif jentik dikarenakan tidak menjaga kebersihan
87
TPA nya dan kemungkinan penyebab lainnya adalah kondisi TPA
dalam keadaan terbuka sehingga tidak menutup kemungkinan
nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang biak dalam TPA
tersebut.
Hasil uji statistik menunjukkan dengan menggunakan uji
chi square diperoleh p = 0,731. Hal ini berarti p > α (0,05). Dengan
demikian, Ha ditolak yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan
antara kondisi rumah dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di
Kelurahan Paccerakkang. Hal ini mungkin disebabkan karena
kurang menjaga kebersihan TPA dan juga dari segi kondisi TPA
yang terbuka sehingga member peluang untuk nyamuk Aedes
agypti berkembang biak.
Hasil penelitian sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Sukowinarsih (2011) yang menyatakan bahwa Tidak ada
hubungan antara intensitas pencahayaan dengan kejadian DBD
pada penelitian yang dilakukannya, sehingga intensitas
pencahayaan bukan merupakan faktor risiko kejadian DBD di
wilayah kerja Puskesmas Sekaran.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Dardjito (2008) menyatakan bahwa dari hasil uji Chi
Square untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan gantung
pakaian dengan kejadian DBD di Kecamatan Purwokerto Timur
diperoleh p value sebesar 0,295. Hal ini dapat diartikan bahwa tidak
88
ada hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan
kejadian DBD di Kecamatan Purwokerto Timur.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wati
(2009) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
kebiasaan menggatung pakaian dengan kejadian DBD di
Kelurahan Ploso Kecamatan Pacitan Tahun 2009.
Sementara hasil penelitian penelitian yang dilakukan oleh
Intang (2008) yang menyatakan sebagian besar memiliki kondisi
rumah yang memenuhi syarat yaitu 88 rumah dari 85 rumah yang
tidak memenuhi syarat. Dari sejumlah rumah yang memenuhi
syarat ditemukan hanya 12 rumah yang positif terdapat jentik
Aedes aegypti, sedangkan dari sejumlah rumah yang tidak
memenuhi syarat ditemukan 47 rumah yang positif jentik Aedes
aegypti, juga tidak mempunyai ventilasi yang berkasa sehingga
nyamuk bisa keluar masuk.
Hasil penelitian yang berbeda dengan skripsi pembanding
disebabkan karena adanya faktor-faktor lain seperti menjaga
kebersihan TPA dan kondisi TPA yang dalam keadaan tertutup
serta jenis TPA yang paling banyak digunakan di lokasi penelitian.
5. Hubungan Jenis Jentik dengan Keberadaan Jentik Aedes
aegypti
Pemeriksaan jentik dalam penelitian ini sangat diperlukan
dalam menentukan jenis jentik yang ada di rumah warga sehingga
89
dapat diketahui rumah yang positip jentik Aedes aegypti. Nyamuk
Aedes aegypti merupakan vektor utama (primer) dalam penularan
penyakit DBD karena tempat hidupnya yang biasanya berada di
dalam ataupun dekat lingkungan rumah sedangkan nyamuk Aedes
albopictus merupakan vektor sekunder dikarenakan habitat aslinya
biasanya berada di kebun-kebun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari kontainer yang
diobservasi terdapat 48 kontainer (84,2%) yang positif jentik Aedes
aegypti. Sementara 9 kontainer (15,6%) positif Aedes albopictus.
Berdasarkan hasil penelitian jenis jentik yang paling banyak
ditemukan adalah Aedes aegypti. Hal ini dikarenakan tempat
perindukan Aedes aegypti lebih banyak di dalam rumah dan lebih
suka dengan genangan air yang bersih, sedangkan kontainer yang
postif Aedes albopictus ditemukan di luar rumah dan digenangi air
yang keruh.
Hasil uji statistik menunjukkan dengan menggunakan uji
chi square diperoleh p = 0,000. Hal ini berarti p < α (0,05). Dengan
demikian, Ho ditolak yang berarti bahwa terdapat hubungan antara
jenis jentik dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian survei jentik
yang dilakukan oleh Salim (2005) yang menyatakan bahwa
90
prosentase jentik Aedes aegypti yang ditemukan sebesar 94,45%
sedangkan jentik Aedes albopictus sebesar 5,55%.
Penelitian yang dilakukan oleh Novelani (2007)
menyatakan bahwa jentik Aedes aegypti lebih banyak ditemukan di
sekitar rumah, sedangkan Aedes albopictus lebih banyak
ditemukan di sekitar sekolah. Sebagian besar Aedes aegypti
bersifat endofagik atau menghisap darah di dalam rumah,
sedangkan Aedes albopictus bersifat eksofagik atau menghisap
darah diluar.
6. Keberadaan Jentik Aedes aegypti
Jumlah rumah yang diperiksa pada penelitian ini sebanyak
77 rumah dan kontainer yang diperiksa sebanyak 624 buah. Dari
77 rumah yang diperiksa terdapat 40 rumah yang positif jentik
Aedes aegypti sedangkan dari 624 kontainer yang diperiksa
sebanyak 48 kontainer yang positif jentik Aedes aegypti. Dengan
diketahuinya jumlah rumah dan kontainer yang positif jentik maka
kepadatan jentik dapat dihitung.
Perhitungan kepadatan jentik dapat dilakukan dengan
menghitung House Index (HI), Container Index (CI), dan Breteau
Index (BI). Selanjutnya indeks tersebut dikorelasikan dengan angka
Density Figure (DF) yang telah ditetapkan oleh WHO. Hasil
perhitungan jentik menunjukkan bahwa HI pada Kelurahan
Paccerakkang sebesar 51,9% dengan Density Figure 7 (kepadatan
91
tinggi), CI pada Kelurahan Paccerakkang sebesar 7,7% dengan
Density Figure 3 (kepadatan sedang), BI pada Kelurahan
Paccerakkang sebesar 62,3% dengan Density Figure 6 (kepadatan
tinggi). Angka CI yang merupakan angka keberadaan jentik
nyamuk dibandingkan terhadap jumlah seluruh wadah yang
diperiksa yang ada dalam rumah responden, namun angka BI
merupakan pengukuran terbaik yang digunakan untuk
memperkirakan densitas jentik, karena sudah mengkombinasikan
keduanya baik rumah maupun wadah. Angka BI pada penelitian ini
masuk dalam kategori kepadatan tinggi.
D. Keterbatasan Peneliti
1. Beberapa rumah responden tidak dapat diobseravasi karena tidak
menetap di rumah tersebut atau rumah dalam keadaan kosong.
2. Beberapa responden tidak berkenan rumahnya diobservasi karena
rumahnya sedang direnovasi.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Ada hubungan antara karakteristik tempat penampungan air (p =
0,000, p < 0,05) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di
Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar
Tahun 2012.
92
2. Ada hubungan antara menguras tempat penampungan air (p =
0,000, p < 0,05) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di
Kelurahan Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar
Tahun 2012.
3. Ada hubungan antara kondisi tempat penampungan air (p = 0,000,
p < 0,05) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Tahun
2012.
4. Tidak ada hubungan antara kondisi rumah (p = 0,731, p > 0,05)
dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan
Paccerakkang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Tahun
2012.
5. Ada hubungan antara jenis jentik (p = 0,000, p < 0,05) dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan Paccerakkang
Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Tahun 2012.
B. Saran
1. Perlu adanya survei jentik dilakukan sekali dalam 3 bulan secara
rutin di wilayah Kelurahan Paccerakkang untuk mengetahui tingkat
kepadatan jentik Aedes aegypti sehingga dapat dilakukan upaya
pemberantasan dengan cepat.
93
2. Sebaiknya masyarakat mengetahui karakateristik tempat
penampungan air yang disenangi oleh jentik Aedes aegypti
sehingga dapat mengurangi tempat perindukan jentik.
3. Sebaiknya masyarakat setempat meningkatkan kedisiplinan dalam
membersihkan tempat penampungan air. Pengurasan TPA harus
dilakukan minimal 1 minggu sekali secara terus-menerus.
4. Diharapkan agar setiap tempat penampungan air disediakan
penutup untuk dapat meminimalisir jentik.
5. Sebaiknya masyarakat mengurangi tempat peristirahatan nyamuk
Aedes aegypti di dalam rumah seperti menghilangkan kebiasaan
menggantung pakaian (bukan dalam almari), pencahayaan kamar
mandi sebaiknya > 60 lux, dan memberi kasa pada ventilasi rumah
agar nyamuk tidak gampang masuk ke dalam rumah.
DAFTAR PUSTAKA
Arman. 2008. Analisis Faktor–faktor Yang Berhubungan Dengan Kontainer Indeks Jentik Nyamuk Aedes aegypti Di Kota Makassar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Madani, ISSN.1979-228X,Vol.01 No.02, Tahun 2008. (online) (http://journal.umi.ac.id/pdf, Diakses 1 November 2012)
94
Badrah & Hidayah. 2011. Hubungan Antara Tempat Perindukan Nyamuk Aedes Aegypti Dengan Kasus Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Penajam Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara. J. Trop. Pharm. Chem. (Indonesia), 2011. Vol 1. No. 2. (online) (http://isjd.lipi.go.id/admin/jurnal/1211153160_2087-7099.pdf, Daikses 12 November 2012).
Damyanti, R. 2009. Hubungan Pengetahuan, Sikap Dan Praktek 3M Dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti Pada Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Di Kelurahan Kepolorejo Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan. Skripsi Dipublikasikan. Semarang SI Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro.
Dardjito, et. al. 2008. Beberapa Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kabupaten Banyumas. Media Litbang Kesehatan Volume XVIII Nomor 3 Tahun 2008. (online) (http://ejournal.litbang.depkes.go.id, Diakses 12 November 2012).
Departemen Kesehatan RI. 2004. Bulletin Harian (Newsletter) Tim Penanggulangan DBD Departemen Kesehatan R.I., (online) (www.depkes.go.id, Diakses 6 Oktober 2012).
Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan. 2010. Warga Suspect Demam Berdarah. (online) (http://www.dinkes-sulsel.go.id/index.php, Diakses 12 November 2012).
Ditjen P2M & PL Depkes RI. 2004. Perilaku Dan Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti Sangat Penting Diketahui Dalam Melakukan Kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk Termasuk Pemantauan Jentik Berkala. (online) (ww.depkes.go.id, Diakses 6 Oktober 2012)
Ditjen PP dan PL Depkes RI. 2011. Informasi Umum Demam Berdarah Dengue, (online) (www.pppl.depkes.go.id/_.../INFORMASI_UMUM_DBD_2011.pdf, Diakses 6 Oktober 2012).
Fajar Harian. 2011. Waspadai Kasus DBD, Januari Tertinggi. (online) (http://www.fajar.co.id/read-20111209224415-waspadai-kasus-dbd-januari-tertinggi, Diakses 30 September 2012)
Fakultas Kesehatan Masyarkat UMI. 2004. Pedoman Penulisan Skripsi. Makassar.
Fathi, et. al. 2005. Peran Faktor Lingkungan Dan Perilaku Terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue Di Kota Mataram. Jurnal Kesehatan Lingkungan, vol. 2, no. 1, juli 2005 : 1 – 10. (online) (http://210.57.222.46/index.php/JKL/article/view/689, Diakses 12 November 2012).
Gama, T.A. & Betty, R.F. 2010. Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali. Eksplanasi, Volume 5, Nomor 2, (Online) (http://Faizah Betty, A Gama - Eksplanasi, 2012 - kopertis6.or.id, Diakses 6 Oktober 2012).
Hadi, et al. 2006. SebaranJentik Nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor (Online) (http://ejournal.litbang.depkes.go.id, Diakses 13 Oktober 2012).
Hadinegoro & Satari. 2002. Demam Berdarah Dengue. Balai Penerbit FK UI: Jakarta.
Kalyanamitra, 2012. Demam Berdarah, Gejala, Pencegahan, dan Pengobatannya. Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan, (online) (http://www.kalyanamitra.or.id/wp-content, Diakses 13 Oktober 2012).
Misnadiarly. 2009. Demam Berdarah Dengue. Pustaka Populer Obor: Jakarta.
Muslim. 2004. Faktor Lingkungan Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Infesi Virus Dengue. Tesis Dipublikasikan. Semarang Magister Epidemiologi. Universitas Diponegoro.
Nasution R. 2003. Teknik Sampling, (online) (http://www.google.co.id/url, Diakses 6 November 2012).
Novelani. 2007. Studi Habitat Dan Perilaku Menggigit Nyamuk Aedes Serta Kaitannya Dengan Kasus Demam Berdarah Di Kelurahan Utan Kayu Utara Jakarta Timur. Tesis Dipublikasikan. Bogor Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Nugroho, S.F. 2009. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Jentik Aedes Aegypti Di RW IV Desa Ketitang Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. Skripsi Dipublikasikan. Surakarta SI Kesehatan Masyarakat. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Oktaviani, N. 2008. Faktor - Faktor yang Berpengaruh Terhadap Keberadaan Larva Nyamuk Aedes aegypti di Kota Pekalongan, (online) (http://N Oktaviani - Pena Medika Jurnal Kesehatan, 2010 - journal.unikal.ac.id, Diakses 6 Oktober 2012).
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI. 2010. Demam Berdarah Dengue. Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 2, (Online) (www.depkes.go.id/downloads/.../buletin/BULETIN%20DBD.pdf, Diakses 6 Oktober 2012).
Puskesmas Sudiang Raya. 2012. Profil Puskesmas Sudiang Raya. Makassar.
Puskesmas Sudiang Raya. 2011. Pemantauan Jentik Puskesmas Sudiang Raya. Makassar.
Puskesmas Sudiang Raya. 2012. Data Kejadian Demam Beradarah Dengue Puskesmas Sudiang Raya. Makassar.
Riyadi, et al. 2007. Hubungan Kondisi Sanitasi Lingkungan Rumah Tangga Dengan Keberadaan Jentik Vektor Dengue (Aedes aegypti Dan Aedes albopictus) Di Daerah Rawan Demam Berdarah Dengue Kota Libuklinggau Tahun 2006. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 6 No. 2, Agustus 2007: 594-601. (online) (http://isjd.pdii.lipi.go.id, Diakses 12 November 2012).
Salim, M. 2007. Survey Jentik Aedes aegypti Di Desa Saung Naga Kab. Oku Tahun 2005. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 6 No. 2, Agustus 2007: 602-607. (online) (http://ejournal.litbang.depkes.go.id, Diakses 12 November 2012).
Salim, et al. 2011. Efektivitas Malathion Dalam Pengendalian Vektor DBD Dan Uji Kerentanan Larva Aedes Aegypti Terhadap Temephos Di Kota Palembang. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 39, No 1: 10
97
– 21, (Online) (http://ejournal.litbang.depkes.go.id, Diakses 13 Oktober 2012).
Salim dan Febriyanto Survei Jentik Aedes aegypti Di Desa Saung Naga Kab. Oku. Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol. 6, No 2: 602-607, (Online) (http://ejournal.litbang.depkes.go.id, Diakses 13 Oktober 2012).
Santoso, et al. 2008. Hubungan Pengetahuan Sikap Dan Perilaku (PSP) Masyarakat Terhadap Vektor DBD di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol 7, No 2: 732 – 739, (Online) (http://eprints.undip.ac.id/16497/, Diakses 20 Oktober 2012).
Sari, et. al. 2012. Hubungan Kepadatan Jentik Aedes sp Dan Praktik PSN Dengan Kejadian DBD Di Sekolah Tingkat Dasar Di Kota Semarang. JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 413 – 422. (online) (http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm, Diakses 12 November 2012).
Soedarmo. 2005. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Penerbit Universitas Indonesia: Jakarta.
Soegijanto, S. 2004. Demam Berdarah Dengue. Penerbit Universitas Airlangga: Surabaya.
Sudoyo, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Pusat Penerbit Dep. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
Sukamto. 2007. Studi Karakteristik Wilayah Dengan Kejadian DBD Di Kecamatan Cilacap Selatan Kabupaten Cilacap. Tesis Dipublikasikan. Semarang Magister Kesehatan Lingkungan. Universitas Diponegoro.
Sukowinarsih & Cahyati. 2011. Hubungan Sanitasi Rumah Dengan Angka Bebas Jentik Aedes aegypti. KEMAS 6 (1) (2011) 30-35. (online) (http://journal.unnes.ac.id/index.php/kemas, Diakses 12 November 2012).
Sulistyawati, I.H. 2011. Hubungan Letak, Jenis, Dan Kondisi Tempat Penampungan Air (TPA) Dengan Kepadatan Larva Aedes Aegypti Di Kelurahan Rappocini Kecamatan Rappocini Kota Makassar.
Skripsi tidak dipublikasikan. Makassar SI Kesehatan Masyarakat. Ubiversitas Hasanuddin.
Supartha. 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse)(Diptera: Culicidae), (online) (http://dies.unud.ac.id/wp-content/uploads/2008/09/makalah-supartha-baru.pdf, Diakses 13 Oktober 2012).
Triwinasis, S. 2010. Hubungan Antara Praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk Dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti Pada Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue. Di Kelurahan Keparakan Kecamatan Mergangsan Kota Yogyakarta. Skripsi Dipublikasikan. Semarang SI Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro.
Wati, E.W. 2009. Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kelurahan Ploso Kecamatan Pacitan Tahun 2009. Skripsi Dipublikasikan. Surakarta SI Kesehatan Masyarakat. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Widiyanto, T. 2007. Kajian Manajemen Lingkungan Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Purwokerto Jawa –Tengah. Tesis Dipublikasikan. Semarang Magister Kesehatan Lingkungan. Universitas Diponegoro.
Yudhastuti & Vidiyani. 2005. Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer, Dan Perilaku Masyarakat Dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti Di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.1, No.2. (online) (http://210.57.222.46/index.php, Diakses 12 November 2012).
99
LAMPIRAN
1. Lampiran Kuesioner
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEBERADAAN JENTIK
Aedes aegypti DI KELURAHAN PACCERAKKANG KECAMATAN
BIRINGKANAYA KOTA MAKASSAR
100
TAHUN 2012
No. Responden:
Hari/Tanggal:
A. Identitas Responden
1. Nama :
2. Alamat :
3. RW/RT :
4. Pendidikan:
B. Cara Penyimpanan Air Bersih
1. Sumber air bersih:
a. PDAM
b. Sumur gali
2. Kualitas air bersih yang diperoleh (dilihat secara fisik):
a. Jernih, tidak berbau, tidak berasa
b. Keruh, berbau, dan berasa
3. Kebiasaan masyarakat dalam penyimpanan air bersih:
a. Tidak menyimpan
b. Menyimpan
4. Lama penyimpanan air bersih
a. 1 hari
b. 3 hari
c. 1 minggu
d. Lainnya………………………
101
C. Lembar Observasi Keberadaan Larva Aedes aegypti
No Karakteristik TPA Pengurasan TPA Kondisi TPA
Kondisi Rumah Jenis jentik
Positif
Jenis Warna Bhn dasar
Cara Frekuensi
ventilasi
Pencahayaan
Kebiasaan gantung pakaian
102
2. Lampiran Dokumentasi Penelitian
Gambar 1 Pemeriksaan Jentik Gambar 2 Pengambilan Jentik
Gambar 3. Wawancara Responden Gambar 4 Pemeriksaan Pencahayaan