i FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI BUDIDAYA JERUK PAMELO (Citrus grandis L. Osbeck) DI KECAMATAN SUKOMORO KABUPATEN MAGETAN Skripsi Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Oleh: RENNY FEBIE VALENTINAWATI H0405048 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
92
Embed
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI BUDIDAYA …... · TEKNOLOGI BUDIDAYA JERUK PAMELO ... FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENERAPAN ... Komunikasi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENERAPAN
TEKNOLOGI BUDIDAYA JERUK PAMELO (Citrus grandis L. Osbeck)
DI KECAMATAN SUKOMORO KABUPATEN MAGETAN
Skripsi
Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan
Guna Memperoleh Derajat Sarjana Pertanian
di Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret
Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian
Oleh:
RENNY FEBIE VALENTINAWATI
H0405048
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ii
HALAMAN PENGESAHAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENERAPAN
TEKNOLOGI BUDIDAYA JERUK PAMELO (Citrus grandis L. Osbeck)
DI KECAMATAN SUKOMORO KABUPATEN MAGETAN
Yang dipersiapkan dan disusun oleh:
RENNY FEBIE V H0405048
Telah dipertahankan di hadapan tim penguji
Pada tanggal: April 2010
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan tim penguji
Ketua
Dr. Sapja Anantanyu, SP, MSi NIP. 19681227 199403 1 002
Lampiran 7 Hasil Analisis Hubungan Antar Variabel ............................................ 104
RINGKASAN
Renny Febie Valentinawati, H0405048. ” FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI BUDIDAYA JERUK PAMELO (Citrus grandis L. Osbeck) DI KECAMATAN SUKOMORO KABUPATEN MAGETAN”. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dibawah bimbingan Dr. Sapja Anantanyu, SP. MSi. Dan Bekti Wahyu Utami, SP. MSi.
xi
Hortikultura menjadi suatu yang penting karena merupakan produk bisnis yang berbeda dengan tanaman pangan lainnya. Pengembangan jeruk di Indonesia sebenarnya sangat menjanjikan, baik dari jenis jeruk yang dipasarkan, agribisnis, maupun pemasarannya. Hal ini disebabkan karena buah jeruk merupakan komoditi yang bisa memberikan nilai tambah. Di antara jenis jeruk yang telah dikembangkan Balitbang Departemen Pertanian, pamelo atau sering disebut juga sebagai jeruk besar atau jeruk bali (Citrus grandis L. Osbeck) berpotensi merebut peluang pasar. Sampai saat ini produksi jeruk pamelo terserap habis di pasaran, dan permintaan ekspor masih belum bisa dipenuhi. Dalam upaya memenuhi permintaan buah-buahan jeruk yang makin meningkat, peningkatan produksi komoditas tersebut juga perlu ditingkatkan, baik melalui peningkatan luas panen maupun peningkatan produktivitas tanaman. Keberhasilan dalam membudidayakan jeruk pamelo, sangat bergantung pada kualitas bibit yang akan ditanam serta pemeliharaannya setelah tanam. Selain itu tingkat penerapan teknologi budidaya yang baik juga mempengaruhi keberhasilan budidaya jeruk pamelo.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat penerapan teknologi budidaya tanaman jeruk pamelo oleh petani, mengetahui faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo oleh petani dan mengetahui hubungan antara faktor internal dan eksternal dengan tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo oleh petani.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sukomoro Kabupaten Magetan dengan menggunakan metode deskriptif. Penentuan sample dilakukan dengan metode Proposional random sampling di kelompok tani Kecamatan Sukomoro dengan jumlah responden sebanyak 60 responden. Metode analisis yang digunakan adalah Uji Koefisien Korelasi Rank Spearman (rs) pada tingkat kepercayaan 95%.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang mengkaji hubungan faktor internal dan eksternal dengan tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo oleh petani, dengan menggunakan analisis Rank Spearman dan uji signifikansi pada tingkat kepercayaan 95% didapat hasil bahwa faktor internal dan eksternal terdapat hubungan yang signifikan dengan tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo.
xii
SUMMARY
Renny Febie Valentinawati, H0405048 “FACTORS WHICH INFLUENCE IMPLEMENTATION LEVEL OF CULTIVATION TECHNOLOGY OF PAMELO ORANGE (Citrus grandis L. Osbeck) IN SUKOMORO SUBDISTRICT MAGETAN DISTRICT”. Agriculture Faculty of Sebelas Maret University, Surakarta. Under guidance of Dr. Sapja Anantanyu, SP. MSi. and Bekti Wahyu Utami, SP. MSi.
Horticulture becomes a thing is important because it is a product of business which is different to other food plants. The plant of orange in Indonesia is really very prospectus, whether it is from kinds of orange which is marketed, agribusiness or its marketing. This in because of that oranges is commodity which can give additional value. Among of kinds of oranges which has been developed by research and developing board (Balitbang) of agriculture Departement, Pamelo or often called big orange or Bali’s orange (Citrus grandis L. Osbeck) is potential to attrack market’s change. Recently, the product of pamelo orange are sold up in markets, and demand for export can not fulfilled. In the effort of fulfilling demand of oranges which is increasing, the increasing production of the commodity needs to be improved, both it is trough improving the width of corps and the improvement of plan productivity. The success in cultivation of pamelo orange is highly depended on quality of seed will be planted, and maintaining after planting. Besides, the implementation level of cultivation technology must be well, it also influences success of cultivation of farmer’s pamelo orange. However there are external and internal factors which also influence farmers in cultivation of oranges.
This research aims describes implementation level of pamelo orange plant cultivation technology, internal and external factors which influences implementation level of pamelo orange cultivation, and the relationship between internal and external factors with implementation level of pamelo orange cultivation technology by farmers.
This research was done in Sukomoro subdistrict of Magetan district with using descriptive method. Determination of sample was done with proportional random sampling method in farmer group of Sukomoro subdistrict with amount of 60 respondents. Analysis method is used coefficient test of Rank Spearman correlation (rs) on the confidence level of 95%.
Based on the result of the research and analysis is studying the relationship between internal and external factors and implementation level of cultivation technology of pamelo orange by farmer, with using Rank Spearman analysis and significance test on the confidence level of 95% is founded that there is significant relationship with implementation level of cultivation technology pamelo orange.
xiii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hortikultura menjadi suatu yang penting karena merupakan produk
bisnis yang berbeda dengan tanaman pangan lainnya. Kontribusi hortikultura
terhadap manusia dan lingkungan cukup besar. Manfaat produk hortikultura
bagi manusia adalah sumber pangan dan gizi, pendapatan keluarga dan negara,
sedangkan bagi lingkungan adalah rasa estetikanya, konservasi genetik
sekaligus penyangga kelestarian alam. Berdasarkan tersebut, pemerintah telah
mengambil kebijakan dengan menerapkan kaidah prioritas, artinya komoditas
yang bernilai ekonomis tinggi dan berpeluang pasar tinggi, baik di dalam
maupun di luar negeri, diutamakan untuk dikembangkan (Azis, 1993).
Pengembangan jeruk di Indonesia sebenarnya sangat menjanjikan, baik
dari jenis jeruk yang dipasarkan, agribisnis, maupun pemasarannya. Hal ini
disebabkan karena buah jeruk merupakan komoditi yang bisa memberikan
nilai tambah. Artinya bisa dikonsumsi sebagai buah segar atau dapat diolah
menjadi produk olahan, misalnya: jus/minuman, manisan, dan selai.
Saat ini pangsa pasar jeruk lokal di dalam negeri semakin membesar.
Adanya potensi pasar jeruk lokal yang terbuka lebar menjadikan peluang
pemasaran jeruk semakin membaik. Akan tetapi peluang ini tidak dapat
dimanfaatkan oleh petani di dalam negeri dengan maksimal. Karena adanya
pesaing jeruk produksi luar negeri yang mampu menggeser posisi jeruk lokal
di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini dikarenakan kurangnya
jaringan pemasaran petani jeruk lokal, sehingga peluang tersebut diambil oleh
petani luar negeri yang lebih pintar didalam memasarkan produksi jeruknya
tersebut. Kondisi seperti ini merupakan tantangan bagi pemerintah untuk
memperbaiki jaringan pemasaran di dalam maupun luar negeri, agar petani
lokal tidak kalah bersaing dengan petani luar negeri.
xiv
Konsumsi dan kebutuhan komoditas buah dari tahun ke tahun terus
meningkat. Namun, keadaan ini tidak diimbangi dengan produksi buah-
buahan yang memadai. Misalnya produksi jeruk pada tahun 1996 jumlahnya
hanya 730.860 ton. Pada tahun berikutnya (1997) bahkan lebih sedikit,
696.422 ton dan 1998 semakin mengecil lagi, menjadi 613.759 ton. Bahkan,
pada 2001, produksi jeruk kendati naik, tapi masih pada kisaran angka
744.052 ton. Hal tersebut berarti, untuk memenuhi seluruh konsumsi itu
Indonesia masih membutuhkan tambahan buah jeruk ratusan ribu buah lagi.
Kira-kira masih diperlukan penambahan lahan kebun jeruk 50.129 ha. Tentu,
bukan hanya menambah luas lahan garapan, tapi juga produktivitas. Sebab
sampai saat ini produktivitas jeruk di Indonesia berkisar 8,6-15 ton/ha/tahun.
Padahal potensinya, seperti di daerah tropis lain bisa mencapai 20 ton/ha.
Angka produktivitas itu sendiri sebenarnya masih tergolong rendah, terutama
jika dibandingkan dengan negara produsen utama jeruk dunia di daerah
subtropis. Mereka mampu mencapai 40 ton/ha (Putranto, 2008).
Sebenarnya Indonesia memiliki ratusan varietas jeruk unggulan namun
hanya beberapa varietas yang memiliki kualitas ekspor. Sebagai contoh, jeruk
unggulan yang berkualitas saat ini adalah jeruk Soke, yang hanya ada di Nusa
Tenggara Timur (NTT), jeruk Selayar dari Sulawesi Selatan, selain jeruk yang
sudah lama terkenal seperti jeruk Siam, Keprok, dan jeruk besar, yang cukup
banyak di pulau Jawa.
Di antara jenis jeruk yang telah dikembangkan Balitbang Departemen
Pertanian, pamelo atau sering disebut juga sebagai jeruk besar atau jeruk bali
(Citrus grandis L. Osbeck) berpotensi merebut peluang pasar. Jeruk Pamelo
sering dijumpai di beberapa wilayah Indonesia, seperti Sumatera Utara, Bali,
Sulawesi, dan Jawa Timur dengan nama yang berbeda-beda, seperti Nagiri
(Aceh), Unte Balon, Unte Susu (Toba), atau jeruk Mutis (Bali).
Salah satu sentra produksi jeruk pamelo di Indonesia ada di Kecamatan
Sukomoro Kabupaten Magetan. Sebagai pusat jeruk pamelo, komoditas
pertanian unggulan Magetan ini juga memasok kebutuhan di Indonesia.
Konsumen bisa mendapatkannya di pengecer atau supermarket, biasanya
xv
supermarket di kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dan
Bali. Hingga saat ini, negosiasi langsung antara supermarket dan petani atau
pemerintah daerah setempat belum ada. Mereka masih mendapat pesanan
melalui pedagang besar yang juga membeli dari pedagang pengumpul.
Menurut Budiman dan Lesmana (2004), agribisnis pamelo sangat
menguntungkan dan sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai buah
unggul nasional. Analisis usahatani pamelo di Kabupaten Magetan
menunjukkan, nilai Net Present Value (NPV) bisa mencapai Rp 231,6 juta
untuk setiap hektarenya.
Sampai saat ini produksi jeruk pamelo terserap habis di pasaran, dan
permintaan ekspor masih belum bisa dipenuhi. Pemasarannya sebagian besar
masih terkonsentrasi pada Jawa Timur, Jawa Tengah, Jakarta, dan Bali.
Walaupun sebagian kecil diekspor ke Jepang, Belanda, Hongkong, dan
Singapura. Upaya untuk memenuhi permintaan buah-buahan jeruk yang makin
meningkat, peningkatan produksi komoditas tersebut juga perlu ditingkatkan,
baik melalui peningkatan luas panen maupun peningkatan produktivitas
tanaman.
Keberhasilan dalam membudidayakan jeruk pamelo, sangat bergantung
pada kualitas bibit yang akan ditanam serta pemeliharaannya setelah tanam.
Selain itu tingkat penerapan teknologi budidaya yang baik juga mempengaruhi
keberhasilan budidaya jeruk pamelo. Saat ini, petani di Indonesia sudah
menyadari bahwa menanam bibit jeruk yang bermutu akan menghasilkan
pohon-pohon jeruk yang tegar dan seragam. Pemeliharaan kebun yang lebih
efisien akan meningkatkan produktivitas, mutu buah, dan masa berproduksi
semakin lebih lama. Akan tetapi tidak hanya kesadaran dari diri petani saja
yang dapat mempengaruhi keberhasilan dari budidaya jeruk pamelo tersebut.
Namun diperlukan juga pengaruh dari lingkungan sekitar petani. Untuk itu,
penelitian ini dilakukan untuk mengkaji hubungan antara faktor internal dan
eksternal dengan tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo.
xvi
B. Perumusan Masalah
Tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo yang dilakukan
oleh masyarakat di Kecamatan Sukomoro Kabupaten Magetan merupakan
suatu kegiatan pertanian yang dilakukan secara turun temurun. Hal ini
dipengaruhi oleh kondisi alam yang sangat mendukung dilakukannya
budidaya jeruk pamelo, karena dengan kondisi alam yang mendukung maka
tanaman akan memberikan hasil yang baik. Selain itu tingkat penerapan
teknologi yang tinggi juga mempengaruhi produksi jeruk pamelo.
Kecamatan Sukomoro merupakan salah satu sentra produksi jeruk
pamelo di Kabupaten Magetan. Penerapan budidaya tanaman jeruk pamelo
tersebut sudah dilakukan petani cukup lama. Dengan waktu penerapan yang
cukup lama tersebut, maka perlu dilihat apakah selama ini tingkat penerapan
yang dilakukan petani sudah sesuai atau belum dengan yang diharapkan oleh
penyuluh. Adapun tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo
meliputi pembibitan, penanaman, pemeliharaan, panen dan pasca panen.
Tingkat penerapan teknologi tersebut akan berpengaruh dalam tingkat
produktivitas usaha tani dan kesejahteraan hidup petani.
Untuk itu dari uraian di atas, dapat dirumuskan suatu permasalahan
sebagai berikut:
1. Faktor internal dan eksternal apa saja yang mempengaruhi tingkat
penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo oleh petani di Kecamatan
Sukomoro Kabupaten Magetan?
2. Sejauh mana tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo oleh
petani di Kecamatan Sukomoro Kabupaten Magetan?
3. Bagaimana hubungan antara faktor internal dan eksternal dengan tingkat
penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo oleh petani di Kecamatan
Sukomoro Kabupaten Magetan?
xvii
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan yang ada, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Mengetahui faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi tingkat
penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo oleh petani di Kecamatan
Sukomoro Kabupaten Magetan.
2. Mengetahui sejauh mana tingkat penerapan teknologi budidaya tanaman
jeruk pamelo oleh petani di Kecamatan Sukomoro Kabupaten Magetan.
3. Mengetahui hubungan antara faktor internal dan eksternal dengan tingkat
penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo oleh petani di Kecamatan
Sukomoro Kabupaten Magetan.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan proses belajar yang harus ditempuh
sehingga dapat bermanfaat untuk menambah wawasan peneliti dan
merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana
pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bagi instansi, dapat digunakan untuk membantu petani didalam
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh petani
didalam menerapkan teknologi budidaya jeruk pamelo.
3. Bagi peneliti lain, dapat dijadikan bahan informasi dalam melakukan
penelitian yang sejenis ataupun untuk pengembangan penelitian
selanjutnya.
xviii
II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Inovasi
Menurut Soekartawi (1988), inovasi adalah suatu ide yang dipandang baru oleh seseorang. Karena latar belakang seseorang berbeda-beda, maka didalam menilai secara obyektif apakah suatu ide baru yang dimaksud itu adalah sangat relatif sifatnya. Sifat baru ide tersebut kadang-kadang menentukan reaksi seseorang. Reaksi ini tentu saja berbeda-beda antara individu satu dengan yang lain. Dengan demikian, maka suatu pandangan inovasi mungkin berupa suatu teknologi baru, cara organisasi yang baru, cara pemasaran pertanian yang baru dan sebagainya.
Rogers dan Shoemaker (1971) mengartikan inovasi sebagai ide-ide baru, praktek-praktek baru, atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluh.
Pengertian baru yang melekat pada istilah inovasi tersebut bukan selalu berarti baru diciptakan, tetapi dapat berupa sesuatu yang sudah lama dikenal, diterima, digunakan atau diterapkan oleh masyarakat di luar sistem sosial yang menganggapnya sebagai sesuatu yang masih baru (Mardikanto, 1996).
Dengan demikian, pengertian inovasi dapat semakin diperluas menjadi sesuatu ide, perilaku, produk, informasi, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima dan digunakan/diterapkan, dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu. Yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan disegala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan (Mardikanto, 1988).
2. Adopsi Inovasi
Adopsi dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa: pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah menerima “inovasi” yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya. Penerimaan disini mengandung arti tidak sekedar “tahu”, tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai cerminan dari adanya perubahan: sikap, pengetahuan, dan atau ketrampilannya (Mardikanto, 1993).
xix
Adopsi dapat diartikan sebagai penerapan atau penggunaan sesuatu ide, alat-alat atau teknologi baru yang disampaikan berupa pesan komunikasi (lewat penyuluhan). Manifestasinya dari bentuk adopsi ini dapat dilihat atau diamati berupa tingkah laku, metode maupun peralatan dan teknologi yang dipergunakan dalam kegiatan komunikasinya (Mardikanto dan Sutarni, 1983).
Menurut Junaidi (2007), adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks dan dinamis. Hal ini disebabkan karena proses adopsi inovasi sebenarnya adalah menyangkut proses pengambilan keputusan, dimana dalam proses ini banyak faktor yang mempengaruhinya. Adopsi inovasi merupakan proses berdasarkan dimensi waktu. Dalam penyuluhan pertanian, banyak kenyataan petani biasanya tidak menerima begitu saja, tetapi untuk sampai tahapan mereka mau menerima ide-ide tersebut diperlukan waktu yang relatif lama.
Dalam mengadopsi suatu inovasi tidak semua orang mengadopsi pada tingkat yang sama. Ada orang yang melakukannya bahkan setelah bertahun-tahun. Dalam hal ini biasanya pengadopsi dibagi menjadi 5 kategori: (1) inovator, (2) pengadopsi, (3) mayoritas awal, (4) mayoritas lambat, (5) kelompok lambat (Van Den Ban,1999).
Menurut Samsudin (1982), dengan adanya perbedaan dalam kecepatan menerima sesuatu hal baru oleh petani, berakibat timbulnya suatu pembagian golongan petani yang didasarkan atas cepat lambatnya proses adopsi dan partisipasi petani dalam usaha penyebarlusan hal-hal baru tersebut ke dalam lingkungannya. Dikenal lima golongan adopter, yaitu : a. Golongan perintis atau inovator
b. Golongan pengetrap dini atau early adopter.
c. Golongan tokoh setempat atau pengetrap awal atau early mayoritity.
d. Golongan penganut lambat atau golongan pengetrap akhir atau late
mayority.
e. Golongan penolak atau golongan kaum kolot atau laggard.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses adopsi menurut Slamet dalam Mardikanto dan Sutarni (1983), meliputi : 1) Sifat-sifat inovasi
a. Keuntungan relatif (relative advantage)
Setiap ide (inovasi) baru akan dipertimbangkan mengenai seberapa jauh keuntungan relatif yang dapat diberikan, yang diukur dengan derajat keuntungan ekonomi, besarnya penghematan atau keamanan, atau pengaruhnya terhadap posisi social yang akan diterima oleh komunikasi selaku adopter.
Menurut Rogers (1995), keuntungan relatif adalah tingkatan dimana suatu ide baru dianggap suatu yang lebih baik daripada ide-
xx
ide yang ada sebelumnya. Keuntungan relatif seringkali dinyatakan dengan atau dalam bentuk keuntungan ekonomis.
b. Kompatibilitas (compatibility)
Setiap inovasi baru akan cepat diadopsi manakala mempunyai kecocokan atau berhubungan dengan kondisi setempat yang telah ada di masyarakat. Menurut Rogers (1995), kompatibilitas adalah sejauh mana suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan penerima.
c. Kompleksitas (complexity)
Inovasi baru akan sangat mudah untuk dimengerti dan disampaikan manakala cukup sederhana, baik dalam arti mudahnya bagi komunikator maupun mudah untuk dipahami dan dipergunakan oleh komunikasinya.
Menurut Rogers (1995), kompleksitas adalah tingkat dimana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan digunakan. Inovasi-inovasi tertentu begitu mudah dapat dipahami oleh penerima tertentu, sedangkan orang lainnya tidak. Kerumitan suatu inovasi menurut pengamatan anggota sistem sosial, berhubungan negatif dengan kecepatan adopsinya. Ini berarti makin rumit suatu inovasi bagi seseorang, maka akan makin lambat pengadopsiannya.
d. Triabilitas (trialability)
Inovasi baru yang tidak mudah dicoba karena perlengkapannya yang kompleks dan memerlukan biaya atau modal yang besar lebih sulit diadopsi dibanding benih varietas unggul baru yang tidak mahal dan mudah dikerjakan oleh petani.
Menurut Rogers (1995), triabilitas adalah suatu tingkat dimana suatu inovasi dapat dicoba dengan skala kecil. Ide baru yang dapat dicoba biasanya diadopsi lebih cepat daripada inovasi yang tidak dapat dicoba lebih dulu.
Petani cenderung untuk mengadopsi inovasi jika telah dicoba dalam skala kecil di lahanya sendiri dan terbukti lebih baik daripada mengadopsi inovasi cepat dalam skala besar (Van Den Ban dan Hawkins, 1999).
e. Observabilitas (observability)
Inovasi baru, akan lebih cepat diadopsi manakala pengaruhnya atau hasilnya mudah dan atau cepat dapat dilihat atau diamati oleh komunikannya. Menurut Rogers (1995), observabilitas adalah tingkat dimana hasil-hasil suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain.
f. Input komplementer yang diperlukan (required complementery
inputs)
xxi
2) Jenis keputusan inovasi
Tergantung bagaimana proses atau siapa yang harus berhak mengambil keputusan untuk mengadopsi inovasi baru, sangat menentukan kecepatan adopsi. Keputusan yang diambil secara individual (optional), relatif lebih cepat bila dibanding adopsi inovasi yang harus menunggu keputusan kelompok (kolektif), apalagi dibanding dengan yang harus menunggu pihak penguasa yang berhak mengambil keputusan.
Menurut Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1987), ada beberapa tipe keputusan inovasi, yaitu : a. Keputusan otoritas, yaitu keputusan yang dipaksakan kepada
seseorang oleh individu yang berada dalam posisi atasan.
b. Keputusan individual, yaitu keputusan dimana individu yang
bersangkutan ambil peranan dalam pembuatannya.
Keputusan individual ini ada 2 macam : a) Keputusan opsional yakni keputusan yang dibuat oleh
seseorang, terlepas dari keputusan-keputusan yang dibuat oleh
anggota sistem.
b) Keputusan kolektif yakni keputusan yang dibuat oleh individu-
individu yang ada dalam sistem sosial melalui konsensus.
Sebagai tambahan dari ketiga tipe di atas, ada keputusan kontingen, yakni pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi setelah ada keputusan inovasi yang mendahuluinya.
3) Saluran komunikasi
Penyampaian inovasi baru lewat media massa, relatif akan lebih lamban diadopsi oleh komunikan dibanding jika disampaikan secara interpersonal (hubungan antar pribadi). Sedangkan menurut Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1987), saluran komunikasi yakni alat yang dipergunakan untuk menyebarkan suatu inovasi mungkin juga punya pengaruh terhadap kecepatan pengadopsian inovasi.
Karakteristik komunikasi yang penting adalah bahwa orang lain menerima pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan. Jika beberapa orang menerima pesan yang disampaikan berarti komunikasi berjalan dengan baik, namun jika pesan tidak mampu diterima oleh orang lain maka dapat dikatakan bahwa komunikasi berjalan kurang baik (Brooks, 1971). Menurut Campbell dan Hepler (1969), terkait dengan setiap program adalah serangkaian informasi yang menggunakan aliran komunikasi yang memerlukan rangsangan dan data untuk membangkitkan dan menjalankan program. Umumnya hal ini pasti melewati saluran komunikasi, baik formal maupun informal.
4) Ciri-ciri sistem sosial
xxii
a. Adopsi inovasi didalam masyarakat modern, relatif lebih cepat
dibanding dengan adopsi inovasi di dalam masyarakat yang masih
tradisional.
b. Demikian pula, proses adopsi dalam masyarakat lokalite akan lebih
lamban bila dibandingkan di dalam masyarakat yang kosmopolite.
5) Kegiatan promosi
Kecepatan adopsi inovasi, juga sangat ditentukan oleh semakin
intensif dan seringnya intensitas atau frekuensi promosi yang
dilakukan agen pembaharuan (penyuluh) setempat dan atau pihak-
pihak lain yang berkompeten dengan adopsi inovasi tersebut seperti:
lembaga penelitian produsen, pedagang, dan atau sumber informasi
(inovasi) tersebut.
Menurut Rogers (1995), model proses pengambilan inovasi terdiri dari 5 langkah. Langkah-langkah tersebut adalah: a. Pengetahuan, terjadi ketika seseorang dihadapkan pada suatu inovasi
dan memperoleh beberapa pemahaman fungsi-fungsi dari inovasi itu
sendiri.
b. Persuasi atau bujukan, terjadi ketika seseorang membentuk suatu sikap
yang kurang baik atau baik ke arah inovasi.
c. Pengambilan keputusan, terjadi ketika seseorang terlibat dalam
aktivitas yang mendorong kearah suatu pilihan untuk mengadopsi atau
menolak inovasi.
d. Implementasi, terjadi ketika seseorang menggunakan suatu inovasi.
e. Konfirmasi, terjadi ketika seseorang mencari penguatan mengenai
suatu inovasi untuk menolak atau mengadopsi suatu inovasi.
Menurut Lionberger (1960), langkah-langkah yang dilakukan seseorang untuk mengadopsi suatu ide atau gagasan baru adalah sebagai berikut : a. Kesadaran (awareness), yaitu pengetahuan pertama tentang ide baru,
produk atau latihan.
xxiii
b. Tumbuhnya minat (Interest), yaitu aktif mencari informasi tentang ide
atau gagasan baru untuk mengetahui manfaat dan penerapan ide atau
gagasan baru tersebut.
c. Evaluasi (Evaluation), yaitu penilaian terhadap informasi dilihat dari
suatu kondisi, apakah cocok untuk diterapkan.
d. Percobaan (Trial), dimana bersifat sementara untuk mencoba gagasan
atau ide baru yang diterima untuk lebih meyakinkan.
e. Penerapan (Adoption), yaitu penggabungan secara penuh latihan
kedalam operasi atau pelaksanaan yang berkesinambungan.
Soekartawi (1988) mengatakan bahwa cepat tidaknya proses adopsi inovasi sangat tergantung dari faktor internal dari adopter itu sendiri, antara lain latar belakang sosial, ekonomi, budaya ataupun politik. Beberapa hal penting lain yang mempengaruhi adopsi inovasi adalah: a. Umur
Makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui. Sehingga mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman dalam soal adopsi inovasi tersebut.
b. Pendidikan
Mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Begitu pula sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah agak sulit untuk melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat.
Suhardiyono (1992) menjelaskan bahwa para ahli pendidikan mengenal 3 sumber pengetahuan, yaitu: 1) Pendidikan Informal
Adalah proses pendidikan yang panjang diperoleh dan dikumpulkan oleh seseorang berupa pengetahuan, ketrampilan, sikap hidup, dan segala sesuatu yang diperoleh dari pengalaman pribadi sehari-hari dan kehidupannya di dalam masyarakat.
2) Pendidikan Formal
Adalah struktur dari suatu sistem pengajaran yang kronologis dan berjenjang lembaga pendidikan mulai dari pra sekolah sampai dengan perguruan tinggi.
3) Pendidikan Non Formal
Adalah pengajaran sistematis yang diorganisir dari luar sistem pendidikan formal bagi sekelompok orang untuk memenuhi keperluan khusus. Salah satu contoh pendidikan nonformal ini adalah penyuluhan pertanian.
xxiv
c. Sistem Kepercayaan Tertentu
Makin tertutup suatu sistem sosial dalam masyarakat terhadap sentuhan luar, misalnya sentuhan teknologi, maka makin sulit pula anggota masyarakatnya untuk melakukan adopsi inovasi.
d. Karakteristik Psikologi
Karakteristik psikologi dari calon adopter anggota masyarakat disekitarnya juga menentukan cepat atau tidaknya suatu adopsi inovasi. Bila karakter itu mendukung situasi yang memungkinkan adanya adopsi inovasi, maka proses adopsi inovasi itu akan berjalan lebih cepat.
Lionberger dalam Mardikanto (1996) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan seseorang untuk mengadopsi inovasi meliputi: a. Luas usahatani, semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi
karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik.
Adapun luas tanah garapan digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1) Sangat sempit (kurang dari 0,25 hektar) 2) Sempit (antara 0,25 – 0,49 hektar) 3) Sedang (antara 0,50 – 0,99 hektar)
b. Tingkat pendapatan, petani dengan tingkat pendapatan semakin tinggi
biasanya akan semakin cepat mengadopsi inovasi.
Penerimaan usahatani atau pendapatan akan mendorong petani untuk dapat mengalokasikannya dalam berbagai kegunaan, seperti untuk kegiatan produktif (biaya produksi periode selanjutnya), kegiatan konsumtif (untuk pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi dan pajak-pajak), pemeliharaan investasi serta tabungan dan investasi.
c. Tingkat partisipasinya dalam kelompok atau organisasi di luar sistem
sosialnya sendiri. Warga masyarakat yang suka bergabung dengan
orang-orang di luar sistem sosialnya sendiri, umumnya lebih inovatif
dibanding mereka yang hanya melakukan kontak pribadi dengan warga
masyarakat setempat.
d. Aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru. Golongan masyarakat
yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru, biasanya lebih inovatif
dibanding orang-orang yang pasif apalagi selalu skeptis terhadap
sesuatu yang baru.
xxv
e. Sumber informasi yang dimanfaatkan. Golongan yang inovatif,
biasanya benyak memanfaatkan beragam sumber informasi, seperti:
lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dinas-dinas terkait, media
massa, tokoh-tokoh masyarakat setempat maupun dari luar lembaga-
lembaga komersial (pedagang). Golongan yang kurang inovatif
umumnya hanya memanfaatkan informasi dari tokoh-tokoh setempat
dan relatif sedikit memanfaatkan informasi dari media massa.
Menurut Dixon dalam Mardikanto (2009) ada beberapa sifat individu yang sangat berperan dalam mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi, berupa: (1) Prasangka interpersonal, (2) Pandangan terhadap kondisi lingkungan yang terbatas, (3) Sikap terhadap penguasa, (4) Sikap kekeluargaan (5) Fatalisme, (6) Kelemahan aspirasi, (7) Hanya berpikir untuk hari ini, (8) Kosmopolitnes, (9)Kemampuan berpikir kritis, (10) Tingkat kemajuan peradabannya, (11) Cara pengambilan keputusan.
Mardikanto (1996) mengatakan bahwa faktor eksternal petani yang mempengaruhi perubahan-perubahan meliputi lingkungan sosial dan lingkungan ekonomi. Adapun lingkungan sosial yang mempengaruhi adalah kebudayaan, opini publik, pengambilan keputusan dalam keluarga dan kekuatan lembaga sosial. Sedangkan kekuatan-kekuatan ekonomi yang berkembang dimasyarakat meliputi: (a) tersedianya dana atau kredit usahatani, (b) tersedianya sarana produksi dan peralatan usahatani, (c) perkembangan teknologi pengolahan hasil dan (d) pemasaran hasil.
Menurut Soekartawi (1988) dalam proses pengambilan keputusan, apakah seseorang menolak atau menerima suatu inovasi adalah banyak tergantung pada sikap mental dan perbuatan yang dilandasi oleh situasi internal orang tersebut (misalnya pendidikan, status sosial, umur dan sebagainya), serta situasi eksternal atau situasi lingkungan (misalnya frekuensi kontak dengan sumber informasi, kesukaan mendengarkan radio atau menonton televisi, menghadiri temu karya dan sebagainya).
Hanafi (1987) mengatakan bahwa antara adopter yang inovatif dengan yang kurang inovatif memiliki ciri-ciri sosial ekonomi yang berbeda. Dibandingkan dengan adopter yang lebih lambat, anggota sistem yang lebih inovatif itu: a. Lebih berpendidikan, termasuk lebih menguasai kemampuan baca
tulis.
b. Mempunyai status sosial yang lebih tinggi. Status sosial ditandai
dengan pendapatan, tingkat kehidupan, kesehatan, prestise pekerjaan
atau jabatan, pengenalan diri tehadap kelas sosial tersebut.
c. Mempunyai tingkat mobilitas keatas lebih besar, yakni kecenderungan
untuk lebih meningkat lagi status sosialnya.
xxvi
d. Mempunyai ladang yang lebih luas (jika ia petani).
e. Lebih berorientasi pada ekonomi komersial, dimana produk-produk
yang dihasilkan ditujukan untuk dijual bukan semata-mata untuk
konsumsi sendiri, karena barang kali mereka mengadopsi inovasi
untuk lebih meningkatkan produksi.
f. Memiliki sikap lebih berkenan terhadap kredit.
g. Mempunyai pekerjaan yang lebih spesifik.
3. Budidaya Jeruk Pamelo
a. Jeruk Pamelo
Tanaman jeruk adalah tanaman buah tahunan yang berasal dari Asia. Cina dipercaya sebagai tempat pertama kali jeruk tumbuh. Sejak ratusan tahun yang lalu, jeruk sudah tumbuh di Indonesia baik secara alami atau dibudidayakan. Tanaman jeruk yang ada di Indonesia adalah peninggalan orang Belanda yang mendatangkan jeruk manis dan keprok dari Amerika dan Itali.
Klasifikasi botani tanaman jeruk adalah sebagai berikut: Divisi: Spermatophyta; Subdivisi:Angiospermae; Kelas:Dicotyledonae; Keluarga:Rutaceae; Genus:Citrus; Spesies:Citrus sp. Jenis jeruk lokal yang dibudidayakan di Indonesia adalah jeruk Keprok (Citrus reticulata/nobilis L.), jeruk Siem (C. microcarpa L. dan C.sinensis. L) yang terdiri atas Siem Pontianak, Siem Garut, Siem Lumajang, jeruk manis (C. auranticum L. dan C.sinensis L.), jeruk sitrun/lemon (C. medica), jeruk besar (C.maxima Herr.) yang terdiri atas jeruk Nambangan-Madiun dan Bali. Jeruk untuk bumbu masakan yang terdiri atas jeruk nipis (C. aurantifolia), jeruk Purut (C. hystrix) dan jeruk sambal (C. hystix ABC). Jeruk varietas introduksi yang banyak ditanam adalah varitas Lemon dan Grapefruit. Sedangkan varietas lokal adalah jeruk siem, jeruk baby, keprok medan, bali, nipis dan purut (Cahya, 2009).
Asal mula nama jeruk pamelo (Citrus grandis L. osbeck) mungkin dikaitkan dengan tiga varietas jeruk pamelo, yaitu pamelo nambangan, pamelo srinyonya, dan jeruk bali merah (Anonim, 2003).
b. Teknologi Budidaya Jeruk Pamelo
Jeruk pamelo dapat ditanam mulai dataran rendah sampai dataran tinggi, yaitu pada ketinggian 50-400 m di atas permukaan laut. Suhu berkisar antara 13-35oC (optimum 22-33oC), curah hujan (CH) antara 1.000 sampai dengan 3.000 mm/th (optimum 1.500 s.d 2.500 mm/th) dengan bulan kering (CH< 60 mm) antara 2-6 bulan berturut-turut (optimum 3-4 bulan). Bulan kering penting untuk merangsang pembungaan. Tanaman jeruk membutuhkan pH tanah 5-8 (optimum <
xxvii
6), solum (lapisan tanah) cukup dalam (optimum <100 cm), tidak berpadas/berlapisan kedap, tekstur berpasir sampai dengan lempung berliat (optimum berpasir atau lempung berpasir). Tanah-tanah dangkal yang liatnya tinggi dengan draenasi dan aerasi jelek harus dihindari, karena dapat menghambat perkembangan akar, defisiensi unsur dan mengakibatkan penyakit busuk akar (Phytophtora), sehingga tanaman tidak dapat bertahan lama.
Berdasarkan informasi Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Timur (2008) dalam pembibitan, bibit yang baik berasal dari okulasi batang bawah dengan mata temple bebas penyakit. Adapun ciri-ciri bibit yang baik adalah pertumbuhan batang, cabang, dan daun baik. Batang pada ketinggian 60 cm berbentuk bulat (tinggi bibit minimal 75 cm), ditanam dalam polibag berlabel bebas penyakit.
Menurut Dinas Pertanian Kabupaten Magetan, varietas bibit yang sebaiknya digunakan petani jeruk pamelo di Kecamatan Sukomoro adalah jenis Pamelo Adas Nambangan, Pamelo Bali Merah dan Pamelo Sri Nyonya. Ketiga varietas tersebut sangat disarankan oleh penyuluh karena ketiga varietas tersebut adalah varietas unggulan.
Waktu penanaman yang baik dilakukan pada awal musim penghujan yaitu bulan November. Penanaman dilakukan dengan cara ajir dicabut dengan pisau atau gunting secara hati-hati. Lalu polibag dilepas dengan pisau atau gunting. Kemudian bibit dimasukkan kedalam lubang ditimbun tanha galian sambil ditekan-tekan. Setelah tanam disiram air secukupnya (25-50 liter). Sekitar 1-2 bulan sebelum tanam dibuat lubang tanam dengan ukuran 60 x 60 x 75 cm, dan jarak tanam 6 x 7 m.
Setelah umur 12 bulan setelah tanam dilakukan penyulaman dengan memotong batang utama setinggi 40-50 cm dari tanah dan ditumbuhkan 4-5 tunas. Setelah tunas tumbuh kuat, dipilih 3 tunas (cabang utama) dari sisi berlainan yang baik dan seimbang. Kemudian setelah cabang utama tumbuh kuat, dipilih 3 tunas dan dipotong setinggi 25-30 cm.
Setelah tanam sampai umur ± 3 tahun, saat pertunasan, saat pembungaan sampai pembentukan buah harus diberi air yang cukup. Menjelang buah masak pemberian air dikurangi dan setelah panen dikeringkan (stress air) 2 – 4 bulan. Tabel 1. Umur Tanaman dan Kebutuhan Air Tanaman Jeruk Pamelo
Sumber: BPTP Jawa Timur Tabel 2.Umur Tanaman dan Dosis Pemupukan Tanaman Jeruk Pamelo
Umur Macam Dan Dosis Pupuk Yang Frekuensi Pupuk
xxviii
Dibutuhkan (g/pohon) (tahun) Urea
(45%) SP36
(36%P2O5) ZK-plus
(48%K2O)
Pemberian Pupuk Buatan
Kandang (g/pohon/
tahun) 0-2 40-60 30-60 15-40 Setiap 2-3
minggu 30-60
2-4 150-230
90-140 70-230 Setiap 3-4 bulan
90-120
5 300 175 300 Awal musim hujan dan 4 bulan kemudian
150
>5 + 2-3% dari bobot panen buah (0,3 bagian N + 0,2 bagian P2O5 + 0,5 bagian K2O)
Setiap6 bulan 200
Sumber: BPTP Jawa Timur Dosis pemupukan disesuaikan dengan umur tanaman. Jenis
pupuk yang digunakan adalah Urea, SP26, ZK dan pupuk kandang. Pupuk Urea dan SP26 yang dapat memacu pertumbuhan akar dan pembentukan sistem perakaran dan ZK diberikan pada saat awal dan akhir musim hujan, sedangkan pupuk kandang diberikan awal musim kemarau. Pemangkasan dapat dilakukan setiap saat terutama setelah panen untuk menjaga keseimbangan tumbuhan dan kesehatan tanaman. Bagian yang dipangkas adalah tunas-tunas air, cabang atau ranting yang terlalu rimbun, ranting kering atau yang sakit, tangkai buah jeruk yang telah dipanen. Jeruk pamelo idealnya dipanen pada tahun keempat atau kelima setelah tanam. Saat panen buah diambil yang sudah matang dan digunting dengan gunting pemangkas.
Sebelum dipasarkan, buah perlu diberi perlakuan khusus untuk mempertahankan kualitasnya. Perlakuan-perlakuan tersebut meliputi a) Sortasi adalah pembersihan buah dari sisa obat-obatan dan tanah yang menempel, dengan cara dilap dengan kain lap yang bersih. Lalu dilakukan pemisahan buah yang jelek, rusak, sakit atau busuk dari buah yang berkualitas baik; b) Grading adalah pengkelasan buah dengan menggunakan patokan diameter buah dan penampakan fisik buah; c) Pengemasan dilakukan untuk menjaga kualitas buah, untuk pasar lokal biasanya menggunakan karung atau keranjang bambu, sedangkan untuk pasar ekspor digunakan peti kayu yang terbuat dari kayu albasia (Setiawan, 1992). Tabel 3. Standar Mutu Jeruk Pamelo Nambangan
Keterangan Grade Super Grade A Grade B Grade C
Berat (kg) >2 1,5-2 1,3-1,5 1-1,2
%burik-kusam 10 10 15 15
Brix (minimal) 10 10 10 10
Sumber: Direktorat Budidaya Tanaman Buah Tahun 2008 Tabel 4. Standar Mutu Jeruk Pamelo Sri Nyonya
xxix
Keterangan Grade Super Grade A Grade B Grade C
Berat (kg) >1,5 1-1,5 0,8-1 <0,8
%burik-kusam 10 10 15 15
Brix (minimal) 10 10 10 10
Sumber: Direktorat Budidaya Tanaman Buah Tahun 2008 Tabel 5. Standar Mutu Jeruk Pamelo Bali Merah
Keterangan Grade Super Grade A Grade B Grade C
Berat (kg) >2 1,5-2 1,3-1,5 1-1,2
%burik-kusam 10 10 15 15
Brix (minimal) 10 10 10 10
Sumber: Direktorat Budidaya Tanaman Buah Tahun 2008
B. Kerangka Berpikir
Adopsi atau penerapan terhadap suatu inovasi memerlukan proses waktu yang lama, yang nantinya akan berpengaruh pada perubahan perilaku seseorang (pengetahuan, sikap, keterampilan) dalam menerapkan suatu inovasi. Dimana perubahan perilaku tersebut tergantung pada sifat inovasi, sejauh mana inovasi itu mudah diterapkan dan tergantung pada individu petani.
Budidaya jeruk pamelo sudah lama diterapkan. Akan tetapi sejauh mana tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo oleh petani di Kecamatan Sukomoro belum dapat diketahui. Hal tersebut terkait dengan berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo oleh petani yaitu karakteristik petani (faktor internal) dan faktor eksternal. Dimana dalam karakteristik petani terbagi atas pendidikan formal, pendidikan non formal, penguasaan lahan usahatani, tingkat partisipasi dalam kelompok tani, sumber informasi yang dimanfaatkan dan tingkat kosmopolit. Adapun faktor eksternal petani terdiri dari sifat usahatani, keadaan kelompok tani dan tingkat keaktifan penyuluh pertanian.
Dari uraian di atas, dapat digambarkan secara sistematik hubungan antar variabel dalam penelitian sebagai berikut:
Tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo: 1. Pembibitan 2. Penanaman 3. Pemeliharaan 4. Panen 5. Pasca panen
Produktivitas tanaman
Faktor eksternal: a. Sifat usahatani b. Keadaan kelompok tani c. Tingkat keaktifan
usahatani b. Pendidikan formal c. Pendidikan non formal d. Tingkat partisipasi
dalam kelompok tani e. Sumber informasi yang
dimanfaatkan f. Tingkat kosmopolit
xxx
Keterangan : : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti
Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir
C. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang, tujuan penelitian, serta tinjauan pustaka yang telah dijabarkan di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Diduga faktor internal dan eksternal mempengaruhi tingkat penerapan
teknologi budidaya jeruk pamelo oleh petani.
2. Diduga tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo oleh petani
adalah tinggi.
3. Diduga ada hubungan antara faktor internal dan eksternal dengan tingkat
penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo oleh petani.
D. Pembatasan Masalah
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penerapan teknologi budidaya
jeruk pamelo dalam penelitian ini dibatasi pada karakteristik petani (faktor
internal) dan faktor eksternal.
2. Karakteristik petani dalam penelitian ini dibatasi pada pendidikan formal,
pendidikan non formal, penguasaan lahan usahatani, tingkat partisipasi
dalam kelompok tani, sumber informasi yang dimanfaatkan dan tingkat
kosmopolit.
3. Faktor eksternal dalam penelitian ini dibatasi pada sifat usahatani, keadaan
kelompok tani, dan tingkat keaktifan penyuluh pertanian.
4. Responden dalam penelitian ini adalah petani yang tergabung dalam
kelompok tani jeruk pamelo di Kecamatan Sukomoro Kabupaten Magetan.
E. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
1. Definisi Operasional
Peningkatan pendapatan
xxxi
a. Karakteristik petani adalah suatu tanda atau ciri-ciri dari seseorang yang
ada di dalam diri orang tersebut, yang dapat mempengaruhi seseorang di
dalam menerapkan suatu inovasi, meliputi:
1) Penguasaan lahan usahatani adalah ukuran luas lahan pertanian yang
dikuasai oleh responden dan status kepemilikan lahan. Penguasaan
lahan usahatani dinyatakan dalam satuan hektar (Ha) dan diukur dalam
skala ordinal.
2) Pendidikan formal adalah tingkat pendidikan terakhir yang pernah
ditempuh oleh responden dibangku sekolah yang diukur dengan skala
ordinal.
3) Pendidikan non formal adalah pendidikan yang diperoleh responden
diluar pendidikan formal, seperti mengikuti penyuluhan pertanian dan
pelatihan dihitung dalam jangka waktu satu tahun terakhir, diukur
dengan skala ordinal.
4) Tingkat partisipasi dalam kelompok tani adalah peran petani didalam
kelompok tani tersebut, seperti kehadiran petani dalam pertemuan
kelompok tani, keaktifan petani didalam memberi masukan dan
keaktifan petani dalam menghadiri pertemuan rutin kelompok tani
diluar kegiatan penyuluhan dalam setahun. Diukur dengan skala
ordinal.
5) Sumber informasi yang dimanfaatkan adalah sarana yang
dimanfaatkan petani untuk mencari atau menambah informasi tentang
jeruk pamelo. Diukur dengan skala ordinal.
6) Tingkat kosmopolit adalah tingkat hubungan petani dengan dunia luar
di luar sistem sosialnya sendiri, yang dinyatakan melalui frekuensi
bepergian ke luar kota dalam hubungannya dengan kegiatan pertanian
khususnya yang berkaitan dengan budidaya jeruk pamelo dalam jangka
waktu satu tahun. Diukur dengan skala ordinal.
b. Faktor eksternal adalah kondisi di sekitar responden yang dapat
mempengaruhi responden didalam menerapkan suatu inovasi:
xxxii
1) Sifat usahatani yaitu keadaan masyarakat sekitar responden yang
usahataninya masih bersifat tradisional (subsisten) maupun modern
(komersial) yang dapat mempengaruhi responden didalam menerapkan
suatu inovasi. Diukur dengan skala ordinal.
2) Keadaan kelompok tani adalah suasana kekeluargaan didalam
kelompok tani serta keadaan finansial kelompok tani tersebut. Diukur
dalam skala ordinal.
3) Tingkat keaktifan penyuluh adalah kegiatan penyuluh dalam
melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian, diukur dengan indikator
frekuensi kegiatan penyuluhan pertanian dan kegiatan penyuluh
bersama kelompok tani. Diukur dalam skala ordinal.
c. Tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo adalah penerimaan
informasi budidaya yang diikuti dengan tindakan nyata melalui pelaksanan
budidaya jeruk pamelo sesuai dengan metode yang dianjurkan dalam
rangka untuk menaikkan nilai tambah dari produk yang dihasilkan.
Penerapan teknologi tersebut meliputi:
1) Pembibitan, yaitu pemilihan dan penggunaan bibit jeruk pamelo diukur
melalui varietas dan asal bibit yang digunakan.
2) Penanaman, yaitu cara-cara petani dalam menanam tanaman jeruk
pamelo yang meliputi beberapa aspek yaitu waktu tanam, jarak tanam
dan lubang tanam.
3) Pemeliharaan, yaitu hal-hal yang harus dilakukan petani setelah
penanaman jeruk pamelo untuk menjaga pertumbuhan dan
memperoleh hasil yang optimal yang meliputi penyulaman,
penyiangan, pemupukan, pemangkasan, pengairan dan pengendalian
hama dan penyakit.
4) Panen, yaitu cara yang tepat dalam melakukan pemanenan jeruk
pamelo dan kualitas buah yang akan dipanen.
5) Pasca panen adalah kegiatan yang dilakukan petani setelah melakukan
pemanenan, seperti sortasi, grading dan pengemasan.
2. Pengukuran Variabel
xxxiii
a. Faktor yang mampengaruhi tingkat penerapan teknologi oleh petani
Tabel 6. Deskripsi Variabel, Indikator, Kriteria dari Karakteristik individu Variabel Indikator Kriteria Skor
1. Penguasaan lahan usahatani
2. Pendidikan formal
3. Pendidikan non formal
4. Tingkat partisipasidalam kelompok tani
5. Sumber informasi
yang dimanfaatkan
6. Tingkat kosmopolit
Ukuran luas usahatani yang dikuasai responden Frekuensi responden mengikuti kegiatan penyuluhan (10x) dalam 1 tahun terakhir Frekuensi responden mengikuti kegiatan pelatihan (2x) tentang budidaya jeruk pamelo dalam 1 tahun terakhir Keaktifan petani dalam menghadiri pertemuan kelompok tani (10x) dalam 1 tahun Keaktifan petani memberi masukan dalam setiap kegiatan penyuluhan Keaktifan petani dalam menghadiri pertemuan rutin kelompok tani diluar kegiatan Penyuluhan (12x) dalam setahun Keaktifan petani dalam mencari sumber informasi: penyuluh, ketua kelompok tani, pedagang, tetangga, media massa Frekuensi petani keluar desa dalam hubungannya dengan budidaya jeruk pamelo (12x) dalam waktu 1 tahun
Tinggi: ≥ 0,50 Ha Sedang: 0,20 – 0,49 Ha Rendah: < 0,20 Ha Tinggi: Tamat Diploma - Sarjana Sedang: Tamat SMP – Tamat SMU Rendah: Tidak sekolah – TamatSD Tinggi: ≥ 7 kali Sedang: 4-6 kali Rendah: ≤ 1-3 kali Tinggi: Mengikuti 2x pelatihan Sedang: Hanya mengikuti 1 kali pelatihan Rendah: Tidak mengikuti pelatihan Tinggi: ≥ 7 kali Sedang: antara 4-6 kali Rendah: ≤ 1-3 kali Tinggi: Apabila petani memberi masukan
dan masukan tersebut diterima Sedang: Apabila petani memberikan
masukan tetapi tidak diterima Rendah: Tidak pernah memberi masukan Tinggi: ≥ 9 kali Sedang: antara 5-8 kali Rendah: ≤ 1-4 kali
Tinggi: apabila petani menggunakan lebih dari 3 sumber informasi
Sedang: apabila petani menggunakan 2 – 3 sumber informasi
Rendah: apabila petani hanya menggunakan 1 sumber informasi
Tinggi: ≥ 9 kali dalam setahun Sedang: 5-8 kali dalam setahun Rendah: ≤ 1-4 kali dalam setahun
3 2 1
3 2 1
3 2 1
3 2 1
3 2 1
3
2
1
3 2 1
3
2
1
3 2 1
xxxiv
Tabel. 7. Deskripsi Variabel, Indikator, Kriteria dari Faktor eksternal Variabel Indikator Kriteria Skor
1. Sifat usahatani
2. Keadaan
kelompok tani
3. Tingkat keaktifan
penyuluh
Usahatani yang bersifat modern, semi modern dan tradisional
Suasana kekeluargaan didalam kelompok tani Kemampuan kelompok tani dalam mencukupi kebutuhan kelompok taninya Frekuensi penyuluhan (10x) dalam 1 tahun
Kegiatan penyuluh bersama kelompok tani
Tinggi: Usahatani bersifat modern (menerapkan usahatani komersil)
Sedang: Usahatani bersifat semi modern (perpaduan antara usahatani komersil dan subsisten)
Rendah: Usahatani bersifat tradisional (menerapkan usahatani subsisten)
Tinggi: Sangat mengutamakan sifat
kekeluargaan Sedang: Kurang mengutamakan sifat
kekeluargaan Rendah: Bersikap semaunya, tidak
memikirkan rasa kekeluargaan dalam kelompok tani
Tinggi: Dapat mencukupi kebutuhan
kelompok tani Sedang: Kurang mampu mencukupi
kebutuhan kelompok tani Rendah: Tidak mampu mencukupi
kebutuhan kelompok tani Tinggi: ≥ 7 kali Sedang: 4-6 kali Rendah: ≤ 1-3 kali Tinggi: Terlaksana secara rutin Sedang: Terlaksana tetapi tidak rutin Rendah: Tidak terlaksana
3
2
1
3
2
1
3
2
1
3 2 1
3 2 1
b. Tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo
Tabel 8. Deskripsi Variabel, Indikator, Kriteria dari Teknologi Budidaya Jeruk Pamelo
Variabel Indikator Kriteria Skor 1. Pembibitan
Varietas bibit yang digunakan (Pamelo adas nambangan, pamelo bali merah, pamelo sri nyonya) Bibit yang digunakan
Tinggi : Menggunakan 3 varietas unggulan
Sedang : Menggunakan 1-2 varietas unggulan
Rendah : Tidak menggunakan varietas unggulan
Tinggi: Menggunakan bibit yang baik
dan sesuai dengan yang disarankan penyuluh (pertumbuhan batang, cabang dan daun baik, batang pada ketinggian 60 cm berbentuk
3
2
1
3
xxxv
2. Penanaman
3. Pemeliharaan
Waktu tanam yang baik awal musim hujan (November) Jarak tanam Lubang tanam Waktu penyulaman Penyiangan Pemupukan: - Jenis pupuk yang digunakan (pupuk organik, Urea, SP26, ZK) - Dosis pemupukan
bulat, ditanam dalam polibag berlabel bebas penyakit)
Sedang: Kurang sesuai dengan yang disarankan penyuluh (salah satu kriteria diatas diabaikan)
Rendah: Tidak sesuai dengan yang disarankan oleh penyuluh (mengabaikan semua kriteria bibit yang baik)
Tinggi: Awal musim hujan Sedang: Pertengahan musim hujan Rendah: Sebelum musim hujan Tinggi: Sesuai dengan yang disarankan
penyuluh (6 x 7 m)
Sedang: Kurang sesuai dengan yang disarankan penyuluh (< 6 x 7m)
Rendah: Tidak sesuai dengan yang disarankan oleh penyuluh (asal-asalan)
Tinggi: Sesuai dengan yang disarankan
penyuluh (60 x 60 x 75 cm)
Sedang: Kurang sesuai dengan yang disarankan penyuluh (<60 x 60 x 75 cm)
Rendah: Tidak sesuai dengan yang disarankan oleh penyuluh (asal-asalan)
Tinggi : Setaun setelah tanam
(umur 12 bulan setelah tanam) Sedang : Umur 10 – 11 bulan setelah
tanam Rendah : < 10 bulan setelah tanam Tinggi : Dibersihkan secara periodik 3-4
bulan Sedang : Dibersihkan tetapi tidak secara
periodik Rendah : Tidak dibersihkan Tinggi : Menggunakan 4 jenis pupuk Sedang : Menggunakan 2-3 jenis pupuk Rendah : Hanya menggunakan 1 jenis
pupuk Tinggi: Sesuai dengan umur tanaman,
kondisi tanah dan iklim Sedang: Kadang-kadang sesuai dengan
2
1
3 2 1
3
2
1
3
2
1
3
2
1
3
2
1
3 2 1
3
2
xxxvi
4. Panen 5. Pasca Panen
Pemangkasan
Pengairan Pengendalian Hama dan Penyakit
Cara pemanenan Kualitas buah Sortasi Grading
umur tanaman, kondisi tanah dan iklim
Rendah: Tidak sesuai umur tanaman, kondisi tanah dan iklim
Tinggi : Pemangkasan ranting yang
rimbun atau sakit secara teratur Sedang : Pemangkasan tidak teratur Rendah : Tidak dilakukan pemangkasan Tinggi: Dilakukan dengan baik
(Pengairan cukup setelah tanam sampai umur 3thn, setelah buah masak pemberian air dikurangi)
Sedang: Dilakukan kurang baik (Salah satu syarat dilakukan dengan baik)
Rendah: Dilakukan tidak baik (pengairan dilakukan asal-asalan)
Tinggi: Dilakukan pengendalian hama
dan penyakit dengan menggunakan pestisida sesuai hama dan penyakit yang menyerang dengan dosis sesuai anjuran.
Sedang: Dilakukan pengendalian hama
dan penyakit dengan menggunakan pestisida sesuai hama dan penyakit yang menyerang dengan dosis diperkirakan.
Rendah: Tidak dilakukan pengendalian hama
Tinggi : Digunting dengan gunting
pemangkas Sedang : Dipetik dengan tangan Rendah : Buah dibiarkan jatuh ketanah Tinggi : Dipilih buah yang baik dan
berorientasi pasar Sedang : Dipilih buah yang baik namun
tidak berorientasi pasar Rendah : buah tidak dipilih (asal-asalan) Tinggi: Dilakukan oleh petani sendiri Sedang: Dilakukan oleh tengkulak Rendah: Tidak dilakukan sortasi Tinggi: Dilakukan grading dengan
menggunakan patokan kelas yang sudah ditentukan
Sedang: Dilakukan grading tanpa
1
3
2 1
3
2
1
3
2
1
3
2 1
3
2
1
3 2 1
3
2
xxxvii
Pengemasan
mempedulikan patokan kelas yang sudah ditentukan
Rendah: Tidak dilakukan grading Tinggi: Menggunakan peti kayu yang
terbuat dari kayu Albasia Sedang: Menggunakan karung atau
keranjang bambu Rendah: Tidak dilakukan pengemasan
1
3
2
1
xxxviii
III. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif explanatory.
Penelitian kuantitatif yaitu penelitian yang menitikberatkan pada pengujian
hipotesis, data yang digunakan harus terukur dan akan menghasilkan
kesimpulan yang dapat digeneralisasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menguji hubungan antara variabel yang dihipotesiskan. Explanatory
merupakan suatu penelitian yang tidak hanya bertujuan menggambarkan
(describe), tetapi juga bertujuan untuk menjelaskan (why), dimana hubungan
yang dijelaskan adalah hubungan (kausalitas) antara variabel-variabel yang
diteliti (Petra, 2009).
Sedangkan teknik pelaksanaan penelitian ini menggunakan teknik survai
yaitu pengamatan atau penyelidikan yang kritis untuk mendapatkan
keterangan yang sebenarnya dan baik terhadap suatu persoalan tertentu dan di
dalam suatu daerah. Teknik survai ini mengambil sampel dari suatu populasi
dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data dengan maksud
menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian
hipotesis (Singarimbun dan Effendi, 1995).
B. Penentuan Lokasi
Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive)
yaitu di Kecamatan Sukomoro Kabupaten Magetan. Kabupaten Magetan
memiliki empat kecamatan sentra budidaya jeruk pamelo yaitu Kecamatan
Bendo, Takeran, Sukomoro dan Kawedanan. Penelitian ini dilaksanakan di
Kecamatan Sukomoro dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Sukomoro
merupakan sentra pengembangan jeruk pamelo yang menghasilkan
produktivitas jeruk pamelo terbesar dari keempat kecamatan sentra jeruk
pamelo tersebut. Adapun data produktivitas jeruk pamelo dari keempat
kecamatan tersebut adalah sebagai berikut:
xxxix
Tabel 9. Data Produktivitas Jeruk Pamelo di Empat Kecamatan Kabupaten Magetan
Sumber : Data Dinas Pertanian Kabupaten Magetan Tahun 2008
Kecamatan Sukomoro terbagi atas 14 desa yang terdiri dari 6 desa
penghasil padi dan jagung sedangkan 8 desa merupakan penghasil jeruk
pamelo. Dimana dalam 8 desa tersebut terdiri dari 23 kelompok tani jeruk
pamelo. Dari 8 desa tersebut dipilih 3 desa yaitu desa yang memiliki jumlah
petani jeruk terbanyak, sedang dan terendah. Kemudian ketiga desa tersebut
digunakan sebagai lokasi penelitian.
Tabel 10. Nama Desa, Kelompok Tani dan Jumlah Petani Jeruk Pamelo di Kecamatan Sukomoro
No Nama Desa Kelompok Tani Jumlah anggota Jumlah petani 1. Tambakmas Sumber Mas 69 407 Tani Rukun 74 Mekar Sari 69 Gotong Royong 102 Tawang Rejo 54 Sekar Mulyo 39
2. Tamanan Taman Makmur 54 377 Taman Sari 108 Taman Mukti 101 Taman Mulyo 114
3. Pojok Sari Rukun Santoso 76 315 Tani Lancar 239
4. Sukomoro Ngundi Makmur 101 280 Sumber Rejeki 126 Sri Murni 53
5. Bibis Tani Makmur 110 263 Sido Makmur 110 Rukun Makmur 43
6. Bandar Margo Mulyo 104 228 Guyub Rukun 124
7. Bulu Sido Semi 70 165 Tani Makmur 95
8. Kalangketi Rukun Santoso 86 86
Sumber : Data BPP Kecamatan Sukomoro Tahun 2008
xl
C. Penentuan Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani jeruk pamelo
yang terdapat di Kecamatan Sukomoro Kabupaten Magetan.
2. Sampel
Dalam penelitian ini diambil sampel sebanyak 60 petani jeruk
pamelo. Pengambilan sampel ini dilakukan dengan menggunakan metode
proporsional random sampling yaitu pengambilan jumlah sampel yang
dilakukan secara proporsional dengan maksud agar pengambilan sampel
dilakukan dengan suatu penalaran yang logis yang diharapkan dalam
setiap stratum akan diwakili oleh suatu sampel (Emory, 1980), dengan
menggunakan rumus:
ni =Nnk
x n
Dimana : ni = Jumlah sampel masing-masing kelompok tani
nk = Jumlah petani jeruk pamelo dari masing-masing kelompok
tani
N = Jumlah seluruh petani jeruk pamelo yang diambil
n = Jumlah petani responden yang diambil sebanyak 60 petani
Adapun jumlah sampel dalam penelitian ini yang diperoleh dari
rumus diatas adalah sebagai berikut:
Tabel 11. Distribusi Jumlah Sampel dari Kelompok Tani
No Nama Desa Kelompok Tani Jumlah anggota Jumlah sampel 1. Tambakmas Sumber Mas 69 5 Tani Rukun 74 5 Mekar Sari 69 5 Gotong Royong 102 8 Tawang Rejo 54 4 Sekar Mulyo 39 3
2. Sukomoro Ngundi Makmur 101 10 Sumber Rejeki 126 10 Sri Murni 53 4
3. Kalangketi Rukun Santoso 86 6 Jumlah 773 60
Sumber: Data BPP Kecamatan Sukomoro Tahun 2008
xli
D. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan sumbernya
adalah:
1. Data primer, yaitu data yang diambil langsung dari responden dengan
menggunakan kuesioner sebagai alatnya. Data primer meliput: nama
responden, umur responden, pendidikan, luas lahan, status kepemilikan
lahan, tingkat partisipasi dalam kelompok tani, sumber informasi yang
dimanfaatkan, tingkat kosmopolit, keaktifan penyuluh.
2. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari instansi atau lembaga
yang berkaitan dengan penelitian, dengan cara mencatat langsung data
yang bersumber dari dokumentasi yang ada. Data sekunder ini berupa
catatan atau laporan, yaitu tentang monografi wilayah dan data kelompok
tani Kecamatan Sukomoro.
E. Metode Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik-
teknik sebagai berikut :
1. Wawancara
Menurut Nazir (1988) yang dimaksud dengan wawancara adalah
proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya
jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan
si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan
interview guide (panduan wawancara). Adapun data yang dikumpulkan
dengan menggunakan teknik ini adalah data primer.
2. Observasi
Pengumpulan data dengan observasi langsung atau dengan
pengamatan langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan
mata tanpa ada alat pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut
(Nazir, 1988). Teknik observasi ini digunakan untuk mengumpulkan data
primer maupun data sekunder.
xlii
3. Pencatatan
Teknik yang dilakukan untuk memperoleh data baik dari responden
maupun dari instansi yang terkait dengan penelitian maupun dokumen-
dokumen. Teknik pencatatan ini digunakan untuk mengumpulkan data
sekunder yang diperlukan dalam penelitian.
F. Metode Analisis Data
Untuk menentukan tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo
dilakukan dengan menjumlahkan skor-skor antar sub variabel. Kemudian hasil
dari penjumlahan antar sub tersebut dikategorikan dalam tiga kelompok atau
tingkat, yaitu: tinggi, sedang dan rendah. Untuk mengukur kategori tersebut
digunakan rumus interval sebagai berikut:
Lebar Interval = Kelas
TerendahSkorTertinggiSkorå
å-å
Untuk mengetahui hubungan faktor internal dan eksternal dengan
tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo oleh petani di Kecamatan
Sukomoro Kabupaten Magetan digunakan uji korelasi rank spearman (rs).
Analisis dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 17 for windows.
Perhitungan uji korelasi menurut Siegel (1997) dirumuskan sebagai berikut :
NN
dirs
N
i
--=å=3
1
261
Dimana : rs = koefisien korelasi rank spearman
N = banyaknya sampel
di = selisih antara ranking dari variabel
Untuk menguji tingkat signifikansi hubungan digunakan uji t, karena
sampel yang diambil lebih dari 10 (N>10) dengan tingkat kepercayaan 95%
dengan rumus (Siegel, 1997) :
( )21
2
rs
Nrst
--
=
Dimana : N = Jumlah Sampel
: rs = Koefisien rank spearman
xliii
Ø Jika t hitung ≥ t tabel (a = 0,05) maka Ho ditolak, berarti terdapat
hubungan yang signifikan antara faktor internal dan eksternal dengan
tingkat penerapan teknologi oleh petani dalam budidaya jeruk pamelo di
Kecamatan Sukomoro Kabupaten Magetan.
Ø Jika t hitung < t tabel (a = 0,05) maka Ho diterima, berarti tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara faktor internal dan eksternal dengan
tingkat penerapan teknologi oleh petani dalam budidaya jeruk pamelo di
Kecamatan Sukomoro Kabupaten Magetan.
xliv
IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
A. Keadaan Alam
1. Kondisi Geografi dan Topografi
Kecamatan Sukomoro merupakan kecamatan yang terletak di
bagian timur Kabupaten Magetan dan berada pada ketinggian antara 104
sampai dengan 188 meter di atas permukaan laut. Jumlah curah hujan di
Kecamatan Sukomoro pada musim hujan sebesar 334 mm dengan jumlah
hari hujan terlebat sebanyak 16 hari. Adapun batas wilayah Kecamatan
Sukomoro adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kecamatan Karas
Sebelah Timur : Kecamatan Maospati dan Kecamatan Bendo
Sebelah Selatan : Kecamatan Kawedanan dan Kecamatan Ngariboyo
Sebelah Barat : Kecamatan Magetan dan Kecamatan Panekan
Kecamatan Sukomoro terdiri atas satu kelurahan yaitu Kelurahan
Tinap dan 13 desa yang terdiri dari Kalangketi, Tamanan, Tambakmas,
rs = Korelasi rank Spearman X2.2 = Keadaan kelompok tani
** = Signifikan pada a = 0,01 X2.3 = Keaktifan penyuluh
* = Signifikan pada a = 0,05 X2tot = Faktor eksternal
X1.1 = Penguasaan lahan usahatani Y1 = Pembibitan
X1.2 = Pendidikan formal Y2 = Penanaman
X1.3 = Pendidikan non formal Y3 = Pemeliharaan
X1.4 = Tingkat partisipasi dalam kelompok tani Y4 = Panen
X1.5 = Sumber informasi yang dimanfaatkan Y5 = Pasca panen
X1.6 = Tingkat kosmopolit Ytot = Penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo
lxxviii
Dari Tabel 39 dapat dilihat bahwa hasil analisis menunjukkan hubungan
yang signifikan dan tidak signifikan antar variabel. Untuk mengetahui makna
angka-angka hasil analisis di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Hubungan antara penguasaan lahan usahatani dengan tingkat
penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo
Berdasarkan Tabel 39 menunjukan bahwa terdapat hubungan yang
tidak signifikan dengan arah hubungan yang cenderung positif antara
penguasaan lahan dengan tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk
pamelo dengan nilai rs sebesar 0,170 dan t hitung 1,313 lebih kecil dari t
tabel 2,002 pada taraf kepercayaan 95%. Hasil ini menunjukkan bahwa
penguasaan lahan usahatani tidak mempengaruhi tingkat penerapan
teknologi budidaya jeruk pamelo. Hal ini terjadi karena budidaya jeruk
pamelo sudah dilakukan petani secara turun temurun, sehingga membuat
petani enggan untuk mengganti budidaya jeruk pamelo ke budidaya yang
lainnya. Selain itu luas atau sempit lahan yang dimiliki oleh petani tidak
akan mempengaruhi tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo,
karena petani akan melakukan teknik budidaya jeruk pamelo yang sama.
Misalnya dalam penggunaan bibit, petani akan sama-sama menggunakan
ketiga jenis bibit unggulan. Begitu juga dalam hal pemupukan, petani akan
menggunakan jenis pupuk yang sama. Hal yang membedakan antara
petani satu dengan yang lainnya adalah luas lahan yang dimiliki.
2. Hubungan antara pendidikan formal dengan tingkat penerapan
teknologi budidaya jeruk pamelo
Berdasarkan Tabel 39 dapat diketahui bahwa nilai t hitung lebih
kecil dari t tabel yaitu 0,990 < 2,002. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan yang tidak signifikan dengan arah hubungan yang cenderung
positif antara pendidikan formal dengan tingkat penerapan teknologi
budidaya jeruk pamelo. Berdasarkan hasil analisis di atas dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan formal yang
ditempuh oleh petani, tidak berpengaruh pada tingkat penerapan teknologi
budidaya yang dilakukan oleh petani. Hal ini disebabkan tingkat
lxxix
penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo diperoleh dari pengalaman
petani didalam membudidayakan jeruk pamelo bukan berasal dari
pendidikan formal yang ditempuh oleh responden. Tingkat pendidikan
petani yang rata-rata masih dalam kategori rendah, membuat petani kurang
memikirkan kemajuan budidaya jeruk pamelo.
3. Hubungan antara pendidikan non formal dengan tingkat penerapan
teknologi budidaya jeruk pamelo
Berdasarkan pada Tabel 39 dapat dilihat nilai t hitung ≥ t tabel
yaitu 2,151 ≥ 2,002. Nilai ini menunjukkan hubungan yang signifikan
dengan arah hubungan yang cenderung positif. Hal ini menunjukkan
bahwa pendidikan non formal mempengaruhi tingkat penerapan teknologi
budidaya jeruk pamelo. Artinya semakin tinggi pendidikan non formal
(penyuluhan dan pelatihan yang berhubungan dengan budidaya jeruk
pamelo) yang lakukan oleh petani maka tingkat penerapan teknologi
budidaya jeruk pamelo akan semakin tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh
keaktifan petani didalam mengikuti pendidikan non formal yang
berhubungan dengan tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo.
Melalui pendidikan non formal yang diikuti oleh petani, maka petani akan
mendapatkan banyak informasi yang berkaitan dengan tingkat penerapan
teknologi budidaya jeruk pamelo. Informasi yang didapat dalam
pendidikan non formal tersebut, akan membuat petani memiliki
pertimbangan tentang penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo dengan
apa yang telah diterapkannya.
4. Hubungan antara tingkat partisipasi dalam kelompok tani dengan
tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo
Berdasarkan pada Tabel 39 diketahui bahwa nilai t hitung lebih
kecil dari t tabel yaitu 1,385 < 2,002. Nilai ini menunjukkan hubungan
yang tidak signifikan dengan arah hubungan yang cenderung positif. Hal
ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi petani dalam kelompok tani
tidak mempengaruhi tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo.
lxxx
Kelompok tani di Kecamatan Sukomoro sebenarnya memiliki suasana
kelompok yang baik. Hal ini juga didukung dengan adanya komunikasi
yang baik. Keharmonisan suasana ini seharusnya mendorong anggota
untuk berpartisipasi aktif dalam mengeluarkan pendapat maupun
mengeluarkan inisiatif. Sementara itu, pada kelompok tani di Kecamatan
Sukomoro, individu yang sering mengajukan usulan atau pendapat tidak
sebanding jumlah anggota. Terkadang yang sering mengajukan pendapat
atau usulan hanya mereka yang aktif berbicara, sementara yang lain tidak.
Pendapat maupun usulan akan berpengaruh terhadap kemajuan kelompok.
Semakin banyak usulan yang diajukan, maka akan semakin banyak pilihan
untuk menuju kemajuan kelompok. Begitu pula ketika hanya beberapa
orang saja yang mengajukan pendapat atau usul, maka pilihan untuk
kemajuan semakin terbatas. Selain itu hasil yang tidak signifikan ini
disebabkan karena kelompok tani yang ada didaerah penelitian belum
memiliki tujuan untuk mengembangkan budidaya jeruk pamelonya ke arah
yang lebih baik lagi. Pertemuan rutin yang mereka adakan lebih
dimanfaatkan untuk membahas masalah simpan pinjam dari pada untuk
membahas masalah pengembangan jeruk pamelo.
5. Hubungan antara sumber informasi yang dimanfaatkan oleh petani
dengan tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo
Pada Tabel 39 diketahui bahwa nilai dari t hitung lebih besar atau
sama dengan t tabel yaitu 2,254 ≥ 2,002 dengan arah hubungan yang
cenderung positif. Perbandingan nilai ini menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan antara sumber informasi yang dimanfaatkan oleh petani
dengan tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo. Artinya
bahwa sumber informasi yang dimanfaatkan oleh petani mempengaruhi
tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo. Hal ini dipengaruhi
karena petani mencari informasi tentang budidaya jeruk pamelo kesegala
sumber informasi (penyuluh, ketua kelompok tani, tetangga, pedagang dan
media massa). Dengan mencari informasi kesegala sumber, petani
berharap dapat meningkatkan kemampuannya dalam membudidayakan
lxxxi
jeruk pamelo. Meskipun petani lebih sering mencari informasi melalui
penyuluh, ketua kelompok tani dan tetangga, sesekali petani juga mencari
informasi melalui media massa (majalah pertanian) dan pedagang saprodi.
Menurut Lionberger dalam Mardikanto (1996) golongan yang
kurang inovatif adalah golongan yang hanya memanfaatkan informasi dari
tokoh-tokoh setempat dan relatif sedikit memanfaatkan informasi dari
media massa. Berdasarkan teori tersebut, maka petani jeruk pamelo di
Kecamatan Sukomoro termasuk dalam golongan yang kurang inovatif. Hal
ini dikarenakan mereka lebih sering mencari informasi kepada penyuluh,
ketua kelompok tani dan tetangga, sedangkan mereka jarang mencari
informasi melalui media massa.
6. Hubungan antara tingkat kosmopolit dengan tingkat penerapan
teknologi budidaya jeruk pamelo
Berdasarkan Tabel 39 dapat dilihat bahwa nilai t hitung lebih kecil
dari t tabel yaitu -1,987 < 2,002 dengan arah hubungan yang cenderung
negatif. Nilai ini menunjukan adanya hubungan yang tidak signifikan
antara tingkat kosmopolit dengan tingkat penerapan teknologi budidaya
jeruk pamelo. Artinya bahwa tingkat kosmopolit tidak mempengaruhi
tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo. Hal ini disebabkan
karena Kecamatan Sukomoro merupakan salah satu kecamatan yang
mendapatkan perhatian dari pemerintah dalam pengembangan budidaya
jeruk pamelo. Sehingga tingkat penerapan budidaya jeruk pamelo di
Kecamatan Sukomoro tergolong tinggi. Oleh sebab itu, petani tidak pernah
pergi keluar kota untuk mencari informasi yang berkaitan dengan
budidaya jeruk pamelo. Mereka merasa bahwa informasi yang mereka
miliki sudah cukup untuk melakukan budidaya jeruk pamelo. Selain itu
Kecamatan Sukomoro merupakan sentra produksi jeruk pamelo yang
dijadikan tempat studi banding oleh petani-petani jeruk pamelo dari kota-
kota yang lain.
lxxxii
7. Hubungan antara faktor internal dengan tingkat penerapan teknologi
budidaya jeruk pamelo
Berdasarkan Tabel 39 dapat dilihat bahwa nilai t hitung lebih besar
atau sama dengan t tabel yaitu 2,264 ≥ 2,002 dengan arah hubungan yang
cenderung positif. Nilai ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara
faktor internal dengan tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo.
Artinya bahwa faktor internal mempengaruhi tingkat penerapan teknologi
budidaya jeruk pamelo. Hal ini disebabkan karena kemauan atau keinginan
dari dalam diri petani yang tinggi, membuat petani melakukan tingkat
penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo dengan baik. Jika dalam
melakukan teknik budidaya jeruk pamelo petani merasa senang, maka
tingkat penerapan budidaya jeruk pamelo akan semakin tinggi. Namun jika
petani melakukan teknik penerapan budidaya jeruk pamelo dengan
terpaksa, maka tingkat penerapan budidaya jeruk pamelo akan rendah. Jadi
adanya kemauan dan ketertarikan dari dalam diri petani sangat penting
bagi petani dalam menerapkan teknik budidaya jeruk pamelo.
8. Hubungan antara sifat usahatani dengan tingkat penerapan teknologi
budidaya jeruk pamelo
Pada Tabel 39 dapat diketahui bahwa nilai t hitung lebih besar atau
sama dengan t tabel yaitu 3,402 ≥ 2,002 dengan arah hubungan yang
cenderung positif. Nilai ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara
sifat usahatani dengan tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo.
Artinya bahwa sifat usahatani mempengaruhi tingkat penerapan teknologi
budidaya jeruk pamelo. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar sifat
usahatani petani jeruk pamelo yang usahataninya sudah bersifat komersial.
Artinya bahwa seluruh hasil jeruk pamelonya dijual untuk memenuhi
kebutuhan hidupmya. Selain itu kondisi alam yang mendukung (cocok
dengan tanaman jeruk pamelo) juga menambah kemauan petani untuk
menerapkan budidaya jeruk pamelo.
lxxxiii
9. Hubungan antara keadaan kelompok tani dengan tingkat penerapan
teknologi budidaya jeruk pamelo
Berdasarkan pada Tabel 39 dapat dilihat bahwa t hitung kurang
dari t tabel yaitu -0,038 < 2,002 dengan arah hubungan yang cenderung
negatif. Perbandingan ini menunjukkan hubungan yang tidak signifikan
antara keadaan kelompok tani dengan tingkat penerapan teknologi
budidaya jeruk pamelo. Artinya bahwa keadaan kelompok tani tidak
mempengaruhi tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo. Hal
ini disebabkan karena kegiatan yang dilakukan oleh kelompok tani tidak
berkaitan dengan budidaya jeruk pamelo. Pertemuan yang diadakan oleh
kelompok tani lebih mengarah pada kegiatan simpan pinjam, sehingga
menyebabkan kurangnya kepedulian petani dalam tingkat penerapan
teknologi budidaya jeruk pamelo. Selain itu petani tidak memperoleh
kebutuhan yang diperlukan untuk budidaya jeruk pamelo dari kelompok
tani, karena kelompok tani tidak menyediakannya. Jadi untuk memenuhi
kebutuhan untuk budidaya jeruk pamelo, petani harus mencari sendiri
ketoko-toko saprodi. Sifat kekeluargaan yang tinggi didalam kelompok
tani tidak mempengaruhi petani didalam melakukan teknik budidaya jeruk
pamelo. Hal ini terjadi karena sifat kekeluargaan tersebut hanya
berpengaruh pada keadaan psikologi petani bukan pada teknik penerapan
budidaya jeruk pamelo. Sehingga keadaan kelompok tani tersebut tidak
mempengaruhi tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo.
10. Hubungan antara tingkat keaktifan penyuluh dengan tingkat
penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo
Tabel 39 menunjukan ada hubungan yang tidak sigifikan antara
keaktifan penyuluh dengan tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk
pamelo dengan nilai perbandingan t hitung -0,565 < t tabel 2,002 dengan
arah hubungan yang cenderung negatif. Artinya, bahwa kualitas maupun
intensitas penyuluh dalam melakukan kegiatan penyuluhan tidak
berpengaruh terhadap tinggi rendahnya tingkat penerapan teknologi
budidaya jeruk pamelo. Hal ini dikarenakan petani lebih mengandalkan
lxxxiv
pengalamannya selama melakukan budidaya jeruk pamelo dibandingkan
dengan mendengarkan apa yang disarankan oleh penyuluh. Merujuk pada
sumber informasi yang dimanfaatkan, sebagian besar petani mencari
informasi kepada penyuluh pertanian. Namun informasi yang ditanyakan
kepada penyuluh lebih mengarah pada hal-hal yang baru, yang belum
mereka ketahui. Untuk teknik budidaya jeruk pamelo itu sendiri, mereka
tetap memilih melakukan berdasarkan pengalaman mereka. Misalkan saja
saat tanaman jeruk pamelo mereka terkena hama yang belum mereka
ketahui, maka mereka akan bertanya kepada penyuluh tentang cara
pengendalian hama tersebut.
11. Hubungan antara faktor eksternal dengan tingkat penerapan
teknologi budidaya jeruk pamelo
Berdasarkan Tabel 39 dapat dilihat bahwa t hitung kurang dari t
tabel yaitu 1,154 < 2,002. Perbandingan ini menunjukkan hubungan yang
tidak signifikan dengan arah hubungan yang cenderung positif. Artinya
bahwa faktor ekternal tidak mempengaruhi tingkat penerapan teknologi
budidaya jeruk pamelo. Hal ini dikarenakan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh petani dengan sistem sosialnya tidak terfokus pada tingkat
penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo. Jadi dalam menerapkan
teknologi budidaya jeruk pamelo, petani lebih mengandalkan pengetahuan
yang telah dimilikinya dan pengalaman yang telah diperolehnya selama
membudidayakan jeruk pamelo.
lxxxv
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang mengkaji hubungan
antara faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penerapan petani (faktor
internal dan eksternal) dengan tingkat penerapan budidaya jeruk pamelo di
Kecamatan Sukomoro Kabupaten Magetan maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Faktor internal yang mempengaruhi tingkat penerapan teknologi budidaya
jeruk pamelo adalah pendidikan non formal dan sumber informasi yang
dimanfaatkan, sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi tingkat
penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo adalah sifat usahatani.
2. Tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo berada dalam kategori
tinggi. Artinya bahwa tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo
dilakukan petani dengan baik.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penerapan teknologi budidaya
jeruk pamelo terdiri dari:
a. Penguasaan lahan usahatani termasuk dalam kategori sedang, artinya
bahwa sebagian besar responden memiliki luas lahan sebesar 0,20-0,49
ha yang terdiri dari lahan basah/sawah dan lahan kering/pekarangan.
b. Pendidikan formal yang ditempuh oleh petani termasuk dalam kategori
rendah, artinya sebagian besar responden hanya menempuh pendidikan
formal sampai dengan tingkat SD.
c. Pendidikan non formal responden terdapat dalam kategori tinggi,
artinya responden aktif didalam mengikuti kegiatan penyuluhan
maupun kegiatan pelatihan yang berkaitan dengan budidaya jeruk
pamelo.
d. Tingkat partisipasi petani dalam kelompok tani terdapat dalam kategori
tinggi, artinya responden aktif untuk berpartisipasi dalam kelompok
tani baik didalam menghadiri pertemuan kelompok tani dan juga
didalam memberikan masukan.
lxxxvi
e. Sumber informasi yang dimanfaatkan oleh petani termasuk dalam
kategori tinggi, artinya petani menggunakan segala sumber informasi
(penyuluh pertanian, ketua kelompok tani, tetangga, pedagang dan
media massa) untuk meningkatkan hasil budidaya jeruk pamelo.
f. Tingkat kosmopolit termasuk dalam kategori rendah, artinya dalam
setahun (12x) petani tidak pernah keluar kota untuk mencari informasi
tentang budidaya jeruk pamelo.
g. Sifat usahatani termasuk dalam kategori tinggi, artinya sebagian besar
petani memiliki usahatani yang bersifat komersial.
h. Keadaan kelompok tani termasuk dalam kategori tinggi, artinya bahwa
suasana yang tercipta didalam kelompok tani tersebut sangat
menyenangkan dan membuat nyaman para anggota kelompoknya.
i. Tingkat keaktifan penyuluh termasuk dalam kategori tinggi, artinya
bahwa penyuluh aktif didalam menghadiri kegiatan penyuluhan.
4. Tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo meliputi:
a. Tingkat penerapan budidaya jeruk pamelo dalam kegiatan pembibitan
termasuk dalam kategori tinggi, artinya bahwa sebagian besar petani
menggunakan varietas unggulan dan menggunakan bibit yang baik
yang sesuai dengan saran penyuluh.
b. Tingkat penerapan budidaya jeruk pamelo dalam kegiatan penanaman
termasuk dalam kategori tinggi, artinya teknik penanaman yang
diterapkan oleh petani sudah sesuai dengan yang disarankan oleh
penyuluh.
c. Tingkat penerapan budidaya jeruk pamelo dalam kegiatan
pemeliharaan termasuk dalam kategori tinggi, artinya bahwa petani
sangat baik melakukan pemeliharaan tanaman jeruk pamelo yang
dimilikinya.
d. Tingkat penerapan budidaya jeruk pamelo dalam kegiatan panen
termasuk dalam kategori tinggi, artinya bahwa kegiatan panen yang
dilakukan oleh petani sudah baik yaitu petani memanen buah jeruk
pamelo dengan menggunakan gunting pemangkas.
lxxxvii
e. Tingkat penerapan budidaya jeruk pamelo dalam kegiatan pasca panen
termasuk dalam kategori rendah, artinya bahwa kegiatan pasca panen
kurang diperhatikan oleh petani karena pada waktu panen semua hasil
panen dibeli oleh tengkulak secara borongan.
5. Hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal dengan tingkat
penerapan teknologi dalam budidaya jeruk pamelo di Kecamatan
Sukomoro Kabupaten Magetan adalah sebagai berikut:
a. Hubungan antara penguasaan lahan usahatani dengan tingkat
penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo menunjukkan hubungan
yang tidak signifikan, artinya bahwa penguasaan lahan usahatani tidak
mempengaruhi tingkat penerapan budidaya jeruk pamelo.
b. Hubungan antara pendidikan formal dengan tingkat penerapan
teknologi budidaya jeruk pamelo menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan, artinya bahwa pendidikan formal tidak mempengaruhi
tingkat penerapan budidaya jeruk pamelo.
c. Hubungan antara pendidikan non formal dengan tingkat penerapan
teknologi budidaya jeruk pamelo menunjukkan hubungan yang
signifikan, artinya bahwa pendidikan non formal mempengaruhi
tingkat penerapan budidaya jeruk pamelo.
d. Hubungan antara tingkat partisipasi dalam kelompok tani dengan
tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo menunjukkan
hubungan yang tidak signifikan, artinya bahwa tingkat partisipasi
dalam kelompok tani tidak mempengaruhi tingkat penerapan budidaya
jeruk pamelo.
e. Hubungan antara sumber informasi yang dimanfaatkan oleh petani
dengan tingkat penerapan teknologi budidaya jeruk pamelo
menunjukkan hubungan yang signifikan, artinya bahwa intensitas
sumber informasi yang dimanfaatkan oleh petani mempengaruhi
tingkat penerapan budidaya jeruk pamelo.
lxxxviii
f. Hubungan antara tingkat kosmopolit dengan tingkat penerapan
teknologi budidaya jeruk pamelo menunjukan hubungan yang tidak
signifikan, artinya tingkat kosmopolit tidak mempengaruhi tingkat
penerapan budidaya jeruk pamelo.
g. Hubungan antara faktor internal dengan tingkat penerapan teknologi
budidaya jeruk pamelo menunjukkan hubungan yang signifikan,
artinya bahwa faktor internal mempengaruhi tingkat penerapan
teknologi budidaya jeruk pamelo.
h. Hubungan antara sifat usahatani dengan tingkat penerapan teknologi
budidaya jeruk pamelo menunjukkan hubungan yang yang signifikan,
artinya kondisi masyarakat setempat mempengaruhi tingkat penerapan
budidaya jeruk pamelo.
i. Hubungan antara keadaan kelompok tani dengan tingkat penerapan
teknologi budidaya jeruk pamelo menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan. Artinya bahwa keadaan kelompok tani tidak mempengaruhi
tingkat penerapan budidaya jeruk pamelo.
j. Hubungan antara tingkat keaktifan penyuluh dengan tingkat penerapan
teknologi budidaya jeruk pamelo menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan. Artinya bahwa keaktifan penyuluh tidak mempengaruhi
tingkat penerapan budidaya jeruk pamelo.
k. Hubungan antara faktor ekternal dengan tingkat penerapan teknologi
budidaya jeruk pamelo menunjukkan hubungan yang tidak signifikan.
Artinya bahwa faktor ekternal tidak mempengaruhi tingkat penerapan
budidaya jeruk pamelo.
B. Saran
1. Pendidikan non formal petani berhubungan dengan tingkat penerapan
teknologi budidaya jeruk pamelo. Jadi, sebaiknya pendidikan non formal
perlu ditingkatkan lagi dengan cara memperbanyak kegiatan pelatihan
yang berhubungan dengan teknik budidaya jeruk pamelo.
lxxxix
2. Penggunaan sumber informasi yang hanya terbatas pada penyuluh, ketua
kelompok tani dan tetangga, membuat petani kurang inovatif dalam
melakukan budidaya jeruk pamelo. Jadi, sebaiknya petani lebih
memanfaatkan sumber informasi yang lain yaitu media massa atau melalui
lembaga-lembaga yang terkait dengan pertanian khususnya budidaya jeruk
pamelo.
3. Sistem penjualan yang kurang baik (sistem ijon) menyebabkan petani
mengalami kerugian disaat menjual buah jeruk pamelonya. Jadi, sebaiknya
petani tidak menjual produksi jeruk pamelonya dengan sistem ijon.
Dengan tidak menjual jeruk pamelo dengan sistem ijon, petani akan
mendapatkan penawaran harga yang tinggi dalam menjual jeruk pamelo.
Sehingga pendapatan yang diperoleh petani lebih tinggi dibandingkan
dengan pendapatan yang diperoleh dengan menjual melalui sistem ijon.
xc
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Jeruk Pamelo, Mutiara Hijau Asal Magetan. http://www.deptan.co.id. Diakses tanggal 19 Maret 2009 pukul 08.00 WIB.
Aziz, Amin. M. 1993. Agroindustri Buah-Buahan Tropis. Pusat Pengembangan
Agrobisnis. Jakarta. Budiman dan Lesmana. 2004. Agro Wirausaha. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta.
Brooks, William. 1971. Speech Communication. WM. C. Brown Company Publishers. Iowa.
Cahya, Sidik. 2009. Jeruk ( Citrus, sp.) Tintahitam.com. Diakses tanggal 19 Maret 2009 pukul 08.00 WIB.
Campbell, James. H. and Hepler, Hal. W. 1969. Dimensions in Communication.
Wadsworth Publishing Company Inc. Belmont California.
Dewi, Lusviana Candra. 2009. Analisis Kelembagaan Agribisnis Jeruk Pamelo (Citrus grandis L. Osbeck) Di Kabupaten Magetan. Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Timur. 2008. Budidaya Jeruk Besar (Pamelo). Surabaya.
Direktorat Budidaya Tanaman Buah. 2008. Standar Mutu Jeruk Pamelo Betasuka Magetan. Jakarta.
Emory, William C. 1980. Perancangan Sampel (Sampling Desaign).
http://www.elearninggunadarma.ac.id. Diakses tanggal 22 Maret 2010 pukul 14.00 WIB.
Hanafi, Abdillah. 1987. Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Usaha Nasional.
Surabaya.
Junaidi. 2007. Pemahaman tentang Adopsi, Difusi dan Inovasi (Teknologi) dalam Penyuluhan Pertanian. http://www.deptan.go.id/portalpenyuluhan/index.php?option=com_content&task=view&id=60&Itemid=43. Diakses pada tanggal 22 September 2009 pada Pukul 15.30 WIB.
Koentjaraningrat. 1977. Metode-metode Penelitian Masyarakat. PT Gramedia. Jakarta.
xci
Lionberger, Herbert F. 1960. Adoption of New Ideas and Practices. The Iowa State University Press. Missouri.
Litbang Deptan. 2007. Kelembagaan Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP). Primatani.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task. Diakses tanggal 4 Maret 2010.
Mantra, Ida Bagoes. 2003. Demografi Umum. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Mardikanto, Totok. 1988. Komunikasi Pembangunan. UNS Press. Surakarta.
Mardikanto, Totok.1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. UNS Press. Surakarta.
. 2001. Prosedur Penelitian Penyuluhan Pembangunan. Prima
Pressindo. Surakarta. . 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. LPP dan UNS Press.
Surakarta. Mardikanto, Totok dan Sutarni. 1983. Pengantar Penyuluhan Pertanian dalam
Teori dan Praktek. Hapsara. Surakarta. Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Petra, Universitas Kristen. 2009. Metode Penelitian.
http://digilib.petra.ac.id/viewer.php?page=1&submit.x=0&submit.y=0&qual=high&fname=/jiukpe/s1/hotl/2009/jiunkpe-ns-s1-2009-33405070-12147-konsumen-chapter3.pdf. Diaskes tanggal 21 April 2010 pukul 06.45 WIB.
Putranto. 2008. Budidaya Jeruk Bisa Diharapkan, Asalkan.
http://www.google.com. Diakses tanggal 19 Maret 2009 pukul 08.00 WIB.
Samsudin, U. 1982. Dasar-dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. Angkasa Offset. Bandung.
Setiawan, Ade Iwan. 1992. Usaha Pembudidayaan Jeruk Besar. PT. Penebar
Swadaya. Jakarta. Siegel, S. 1997. Statistik Non Parametrik. PT. Gramedia. Jakarta. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai.
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Jakarta.
xcii
Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta.
Suhardiyono. 1992. Penyuluhan Petunjuk Bagi Penyuluh Pertanian. Erlangga. Jakarta
Surakhmad, W. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode Dan Teknik
Edisi Kedelapan. Tarsito. Bandung.
Rogers, Everett M. 1995. Diffution of Innovation fourth Edition. The Free Press. New York.
Rogers, E. M. and F. F. Shoemaker. 1971. Communication of Inovation. New York : Free Press.
Van Den Ban, A.W. dan Hawkins, H.S. 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius.