PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018) 54 FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN SEBAGAI PREDIKTOR KEMAMPUAN AKADEMIK (BAHASA, MATEMATIKA, DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM) PADA ANAK USIA SEKOLAH DI SURABAYA Wellbeing Factors for Predicting Academic Achievements (Language, Mathematics, and Science) among School-Age Children in Surabaya Margaretha Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya [email protected]Abstract. This research focused on identifying best predictors of education achievements, namely, Language, Mathematics and Science. As a pilot study, about 348 of 8-grade students in Surabaya were assessed on their wellbeing, relationship and mental health factors by using a comprehensive measure of wellbeing. The measure was constructed from Middle Years Development Instrument and Health Behaviour in School-aged Children. Multivariate path analysis was used to examine the associations between predictors and the academic outcomes. The result showed that each of Language, Mathematics and Science has a unique set of predictors. This study provides a map of contextual factors and their dynamicity in building the pathway toward wellbeing and academic resilience among school-age children in Surabaya. The finding of this study is expected to support the development of evidence-based intervention for optimizing education attainments via the improvement of wellbeing among school-age children, which is important for guiding the development of educational policy in Surabaya. Keywords: academic achievement, non-cognitive factors, wellbeing factors, school-age children Abstrak. Penelitian ini berfokus untuk mengidentifikasi prediktor kemampuan akademik, yaitu, Bahasa, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Sebagai studi awal, sekitar 348 siswa kelas 8 di Surabaya diukur kemampuan akademik, kesejahteraan, relasi sosial dan faktor kesehatan mental dengan menggunakan alat ukur kesejahteraan yang komprehensif, yaitu: Middle Years Development Instrument and Health Behaviour in School-aged Children. Analisis jalur multivariat digunakan untuk menguji hubungan antara prediktor dan kemampuan akademik. Hasilnya menunjukkan bahwa masing-masing kemampuan akademik, Bahasa, Matematika, dan Sains memiliki seperangkat prediktor yang unik. Studi ini memberikan peta faktor kontekstual serta dinamika faktor-faktor non-kognitif dalam membangun kesejahteraan dan kemampuan akademik anak usia sekolah di Surabaya. Temuan penelitian ini diharapkan dapat mendukung pengembangan intervensi berbasis data ilmiah dalam rangka mengoptimalkan pencapaian pendidikan melalui peningkatan kesejahteraan di antara anak-anak usia sekolah, yang juga akan mendukung pengembangan kebijakan pendidikan di Surabaya. Kata kunci: kemampuan akademik, faktor non-kognitif, faktor kesejahteraan, anak usia sekolah PENDAHULUAN Dalam rangka mendukung perkembangan anak usia sekolah, maka sistem pendidikan perlu menciptakan keseimbangan antara penyelenggaran program pendidikan akademik dan juga pengembangan keterampilan pribadi dan sosial; dimana keduanya harus hadir dalam dalam kurikulum sekolah (Atkinson & Hornby, 2002). Akan tetapi, hal ini menjadi lebih sulit dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, karena penekanan utama pendidikan lebih ditempatkan pada tujuan penguatan kemampuan kognitif. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan telah menjadi sangat bergantung pada penggunaan tes terstandar sebagai penentu keberhasilan akademik ( high- stake exam), dan ditambah lagi keinginan berkompetisi dalam sistem peringkat akademik di seluruh dunia (misalkan the Programme of International Student Assessment; PISA). Negara- negara dan sekolah-sekolah bersaing mencetak skor terbaik di peringkat global tersebut. Fokus pada tujuan akademik telah menyebabkan berkurangnya peran sekolah dalam hal pengembangan pribadi, sosial dan moral siswa. Perlu dipahami, keberhasilan akademik sebenarnya bukan hanya ditentukan oleh faktor kognitif. Inteligensi dianggap sebagai prediktor
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
54
FAKTOR-FAKTOR KESEJAHTERAAN
SEBAGAI PREDIKTOR KEMAMPUAN AKADEMIK
(BAHASA, MATEMATIKA, DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM)
PADA ANAK USIA SEKOLAH DI SURABAYA
Wellbeing Factors for Predicting Academic Achievements (Language, Mathematics,
and Science) among School-Age Children in Surabaya
Margaretha Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya
Abstract. This research focused on identifying best predictors of education achievements, namely, Language, Mathematics and Science. As a pilot study, about 348 of 8-grade students in Surabaya were assessed on their
wellbeing, relationship and mental health factors by using a comprehensive measure of wellbeing. The
measure was constructed from Middle Years Development Instrument and Health Behaviour in School-aged Children. Multivariate path analysis was used to examine the associations between predictors and the
academic outcomes. The result showed that each of Language, Mathematics and Science has a unique set of
predictors. This study provides a map of contextual factors and their dynamicity in building the pathway toward wellbeing and academic resilience among school-age children in Surabaya. The finding of this study is
expected to support the development of evidence-based intervention for optimizing education attainments via
the improvement of wellbeing among school-age children, which is important for guiding the development of
educational policy in Surabaya.
Keywords: academic achievement, non-cognitive factors, wellbeing factors, school-age children
Abstrak. Penelitian ini berfokus untuk mengidentifikasi prediktor kemampuan akademik, yaitu, Bahasa, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Sebagai studi awal, sekitar 348 siswa kelas 8 di Surabaya diukur
kemampuan akademik, kesejahteraan, relasi sosial dan faktor kesehatan mental dengan menggunakan alat ukur kesejahteraan yang komprehensif, yaitu: Middle Years Development Instrument and Health Behaviour in
School-aged Children. Analisis jalur multivariat digunakan untuk menguji hubungan antara prediktor dan
kemampuan akademik. Hasilnya menunjukkan bahwa masing-masing kemampuan akademik, Bahasa,
Matematika, dan Sains memiliki seperangkat prediktor yang unik. Studi ini memberikan peta faktor
kontekstual serta dinamika faktor-faktor non-kognitif dalam membangun kesejahteraan dan kemampuan akademik anak usia sekolah di Surabaya. Temuan penelitian ini diharapkan dapat mendukung pengembangan
intervensi berbasis data ilmiah dalam rangka mengoptimalkan pencapaian pendidikan melalui peningkatan
kesejahteraan di antara anak-anak usia sekolah, yang juga akan mendukung pengembangan kebijakan
pendidikan di Surabaya.
Kata kunci: kemampuan akademik, faktor non-kognitif, faktor kesejahteraan, anak usia sekolah
PENDAHULUAN
Dalam rangka mendukung perkembangan
anak usia sekolah, maka sistem pendidikan perlu menciptakan keseimbangan antara
penyelenggaran program pendidikan akademik dan juga pengembangan keterampilan pribadi
dan sosial; dimana keduanya harus hadir dalam dalam kurikulum sekolah (Atkinson & Hornby,
2002). Akan tetapi, hal ini menjadi lebih sulit dilakukan dalam beberapa tahun terakhir,
karena penekanan utama pendidikan lebih ditempatkan pada tujuan penguatan
kemampuan kognitif. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan telah menjadi sangat
bergantung pada penggunaan tes terstandar
sebagai penentu keberhasilan akademik (high-
stake exam), dan ditambah lagi keinginan
berkompetisi dalam sistem peringkat akademik
di seluruh dunia (misalkan the Programme of
International Student Assessment; PISA). Negara-
negara dan sekolah-sekolah bersaing mencetak skor terbaik di peringkat global tersebut. Fokus
pada tujuan akademik telah menyebabkan berkurangnya peran sekolah dalam hal
pengembangan pribadi, sosial dan moral siswa. Perlu dipahami, keberhasilan akademik
sebenarnya bukan hanya ditentukan oleh faktor kognitif. Inteligensi dianggap sebagai prediktor
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
55
utama dari prestasi akademik. Namun,
meskipun memiliki hubungan yang signifikan dengan prestasi akademik, intelegensi
ditemukan hanya mampu memprediksi sekitar 50% dari prestasi akademik (Suarez-Alavrez,
Fernandez-Alonso, & Muniz, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari 50% varian
dijelaskan oleh variabel non-kognitif lainnya. Berbagai penelitian sebelumnya
menunjukkan adanya hubungan positif antara keterampilan non-kognitif dan prestasi
akademik. Binet pada 1916 menemukan bahwa prestasi akademik di sekolah tidak dapat
dijelaskan hanya oleh kecerdasan; tetapi siswa juga harus memiliki kualitas, seperti:
kemampuan fokus, kemauan belajar dan karakter yang baik (Duncan dkk., 2007).
Beberapa peneliti telah mengalihkan perhatian mereka pada faktor psikologis,
kontekstual sosial, dan emosional sebagai prediktor yang prestasi akademik (Lee & Shute,
2010). Payung terminologi digunakan adalah 'keterampilan non-kognitif', yaitu serangkaian
perilaku, sikap, dan strategi yang telah terbukti terkait dengan keberhasilan individu (Garcia,
2014). Pendidik dan pembuat kebijakan pendidikan semakin tertarik dalam
mengembangkan keterampilan non-kognitif siswa dalam mendukung kesuksesan baik di
selama anak di sekolah dan di masa depan (Egalite, Mills, & Greene, 2016).
Sejak itu, banyak penelitian telah dilakukan untuk menjelaskan bagaimana keterampilan
non-kognitif dapat mempengaruhi prestasi kognitif siswa di sekolah, serta untuk mengukur
dampak keterampilan non-kognitif pada kesehatan mental di kalangan anak usia sekolah. Seperangkat perilaku, sikap, dan
strategi belajar ditemukan sebagai prediktor keberhasilan individu di masa depan disebut
sebagai keterampilan non-kognitif (Garcia, 2014; 2016).
Keterampilan akademik awal dan perilaku sosio-emosional juga ditemukan terkait dengan
prestasi akademik karena kedua kapasitas non-kognitif ini menyediakan dasar untuk adaptasi
kelas yang positif (Cuhna dkk., 2006). Penelitian juga telah menemukan bahwa faktor
kesejahteraan anak dan perilaku positif, seperti harga diri dan locus of control, adalah penentu
penting kesuksesan pada masa kehidupan dewasa (Carneiro, Crawford, & Goodman,
2007; Feinstein, 2000). Temuan-temuan itu telah mengarahkan
langkah menuju penguatan program pengembangan keterampilan non-kognitif di
sekolah. Lebih lanjut, riset juga menemukan
bahwa keterampilan non-kognitif responsif
terhadap intervensi pendidikan (Cunha & Heckman, 2008; Dee & West, 2011; Jackson,
2012). Dampaknya ke masa depan juga menjadi sangat yang penting, seperti: berkembangnya
keterampilan sosial yang efektif (Mischel, Shoda, & Peake, 1988), peningkatan kinerja
pada tugas-tugas akademik (Blackwell, Trzesniewski, & Dweck, 2007; Mischel, Shoda,
& Rodriguez, 1989; Zimmerman, 2000), mengurangi penggunaan rokok, alkohol, dan
ganja (Wulfert dkk., 2002), kesehatan fisik yang lebih baik, serta peningkatan kemampuan untuk
menangani situasi sulit di masa dewasa (Moffitt dkk., 2011).
Salah satu bentuk keterampilan non-kognitif dalam bidang pendidikan yang telah banyak
diteliti adalah konsep diri akademik (academic
self concept). Konsep diri akademik didefinisikan
sebagai persepsi seseorang atas kemampuan akademiknya (Seaton dkk., 2014). Review
literatur membedakan antara 'konsep diri' (harga diri atau kepercayaan diri secara umum)
dan 'konsep diri akademik' (keyakinan tentang kompetensi akademis). Konsep-diri akademik
ditemukan lebih berkaitan erat dengan prestasi akademik daripada konsep diri umum
(Zimmerman, 2000). Sebuah meta-analisis yang komprehensif oleh Valentine dan rekan (2004)
menyimpulkan bahwa konsep diri akademik memberikan dampak positif pada prestasi
akademik anak, namun pengaruhnya tergolong ringan.
Penelitian sebelumnya juga menemukan hubungan positif antara ketekunan dan prestasi
akademik. Ketekunan (perseverance) secara
umum dianggap sebagai kemampuan bekerja
menuju tujuan jangka panjang dan mempertahankan upaya meskipun ada
tantangan. Duckworth dan rekan (2007) menemukan korelasi positif antara ketekunan
dan nilai kuliah (mampu menjelaskan sekitar 4% dari varians dalam prestasi akademik).
Menariknya, setelah mengendalikan variabel seperti usia dan Intelligence Quotient (IQ), hasil
tetap menunjukkan bahwa ketekunan memprediksi keberhasilan akademik lebih baik
daripada IQ. Lounsbury dan rekan (2009) mempelajari 24
kekuatan karakter dalam kaitannya dengan nilai rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dalam
sampel 237 mahasiswa Sarjana. Lima kekuatan karakter adalah prediktor signifikan dari IPK,
yaitu: Ketekunan, Cinta Belajar, Humor, Keadilan dan Kebaikan; semua bersama-sama
menjelaskan tentang 17% variasi dalam IPK. Van Blerkom (1996), dalam sebuah studi
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
56
terhadap 140 mahasiswa sarjana, menemukan
korelasi ringan antara ketekunan dan nilai kuliah.
Konsep yang berkaitan dengan ketekunan adalah disiplin diri. Duckworth dan rekan
(2007) menemukan bahwa disiplin diri dapat memprediksi nilai akhir dan skor tes prestasi di
siswa kelas delapan. Beberapa penelitian juga mengkaji tingkat persistensi anak-anak di taman
kanak-kanak. Data dari Studi Longitudinal Anak Usia Dini, sampel nasional 20.000 anak
di taman kanak-kanak di Amerika Serikat, digunakan untuk mengidentifikasi faktor
prediktif prestasi akademik (West dkk., 2016). Selain faktor sosio-demografi, penelitian ini
menemukan bahwa tingkat penguasaan tugas seorang guru yang berkorelasi dengan prestasi
membaca dan matematika. West dan rekan (2016) menjelaskan bahwa dengan ketekunan,
seorang anak dapat mempertahankan kemampuan untuk tetap fokus dan bersemangat
untuk belajar, dan yang pada gilirannya akan secara positif mempengaruhi kemampuan
akademik mereka, seperti Membaca dan Matematika.
Keterampilan non-kognitif lainnya yang telah banyak diteliti adalah keterampilan
prososial. Kemampuan siswa dalam mengembangkan, mempertahankan hubungan
sosial dengan orang-orang di sekelilingnya ternyata berdampak pada kesejahteraan
akademik. Durlak dan rekan (2011) melakukan meta-analisis lebih dari 200 intervensi yang
ditujukan untuk meningkatkan pembelajaran sosial dan emosional anak-anak dari taman
kanak-kanak sampai sekolah menengah (usia 5-18). Studi ini adalah salah satu tinjauan yang paling ekstensif tentang intervensi prososial di
anak usia sekolah. Hasilnya menunjukkan bahwa peserta didik mendapat manfaat dari
intervensi di sekolah, dan keterampilan prososial meningkat. Di samping itu, siswa
yang berpartisipasi juga menunjukkan prestasi akademik yang lebih tinggi. Garcia (2014)
mengidentifikasi beberapa keterampilan belajar dengan komponen prososial, yang penting
untuk keberhasilan belajar, di antaranya adalah: kehadiran (absensi), kebiasaan kerja, perilaku
mencari bantuan, juga pemecahan masalah sosial dan akademik.
Persepsi tentang iklim sekolah secara keseluruhan juga dianggap sebagai faktor
protektif untuk kesejahteraan siswa (Shochet dkk., 2006; Syvertsen dkk., 2009). Meskipun
menentukan hubungan kausalitas sulit, namun penelitian menemukan bahwa siswa yang
merasa bahwa mereka diterima di sekolah dan
memiliki pengalaman positif di sekolah
cenderung untuk bersekolah lebih sering dan memiliki prestasi akademik yang lebih tinggi.
Bagian lain dari hidup sebagai seorang anak, juga tentang menghadapi tantangan hidup; dan
ini dapat mengarah pada pengembangan perilaku masalah, baik secara internal
(perubahan suasana hati, perasaan dan pemikiran internal) dan juga eksternal
(perilaku). Survei kesehatan mental remaja global oleh WHO melaporkan bahwa maslah
perilaku dan emosional dialami banyak anak antara usia 4-17 tahun (Sawyer dkk., 2001;
WHO, 2016). Masalah-masalah psikologis ini telah menyebabkan prestasi akademik yang
lebih rendah di antara anak-anak usia sekolah dan dipengaruhi secara negatif dengan
kesejahteraan mereka. Dalam populasi umum, masalah kesehatan mental terutama terdiri dari
perilaku dan masalah emosional selama masa kanak-kanak (Moilanen, Shaw, & Maxwell,
2010). Masalah perilaku biasanya termasuk penolakan, atau perilaku oposisi dengan Guru
dan orang tua, hiperaktif dan agresi, atau sering dikenal sebagai masalah Eksternalisasi, karena
anak-anak menunjukkan manifestasi lahiriah dari masalah mentalnya. Masalah emosional
biasanya termasuk kecemasan, penarikan diri dan depresi; yang sering disebut sebagai
masalah Internalisasi, karena anak-anak mengalami tekanan batin batin yang mungkin
tidak terbuka atau tidak jelas bagi orang lain. Masalah internalisasi seperti masalah afektif
telah ditemukan terkait dengan jumlah hari membolos atau lebih banyaknya hari belajar
dengan gangguan (Galera dkk., 2009; Glied & Pine, 2002). Masalah-masalah eksternalisasi seperti Gangguan Deviant Oposisi dan
Gangguan Perilaku telah dikaitkan dengan berkurangnya produktivitas di ruang kelas
(Fjord dkk., 2008). Di sisi lain, Bullying juga merupakan
fenomena di sekolah. Bullying biasanya
didefinisikan sebagai intimidasi atau penghinaan yang ditargetkan yang tidak dapat
dihindari oleh korban; perlakukan bullying dapat
bersifat fisik, verbal, sosial atau penindasan di
dunia maya. Anak usia sekolah yang mengalami penindasan lebih mungkin
mengalami stres yang tinggi, masalah emosional, dan persoalan psikosomatik, yang
pada gilirannya dikaitkan dengan absen dari sekolah dan prestasi akademik yang lebih
rendah (Juvonen & Graham, 2014; Van der Ploeg, Steglich, & Veenstra, 2016).
Kebahagiaan dan afek positif berperan penting dalam pengalaman hidup manusia
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
57
karena mereka mewakili keadaan yang lebih
disukai secara intrinsik, dan bentuk-bentuk emosi positif ini dapat mengoptimalkan fungsi
hidup manusia lainnya (Isen, 2003; King dkk., 2006). Emosi positif juga penting dimunculkan
di proses pendidikan di sekolah. Riset menemukan bahwa emosi positif menghasilkan
perhatian yang lebih baik, pemikiran yang lebih kreatif dan pemikiran yang lebih holistik (Bolte
Keterangan: N= 348. Min.= Skor Minimum, Max.= Skor Maximum, M= Mean, SD= Standard deviation, SE= Standar kesalahan. Koefisien korelasi antara kesejahteraan dengan Bahasa, Matematika dan IPA. * = p < .05, ** = p < .01
Tabel 3. Perbandingan mean antar gender
Keterangan: a = mean anak perempuan lebih tinggi daripada mean anak laki-laki. b = mean anak laki-laki lebih tinggi daripada mean anak perempuan.
Variabel Perempuan Laki-laki Effect size
Kemampuan akademik
Bahasa 88.91a 86.83 .04 Mat 86.96 85.76 .00 IPA 90.16 89.86 .00
Farrington, C., Roderick, M., Allensworth, E., Nagaoka, J., Keyes, T. S., Johnson, D., & Beechum, N. O. (2012). Teaching adolescents to become learners: The role of noncognitive
factors in shaping school performance. Chicago,
IL: University of Chicago Consortium on Chicago School Research.
Feinstein, L. (2000). The relative economic importance of academic, psychological and
behavioural attributes developed on childhood.
Centre for Economic Performance, London School of Economics and Political Science.
Fraillon, J. (2004). Measuring student well-being in the context of Australian
schooling: Discussion paper. The
Australian Council for Educational Research,
2, 1-54.
Fredrickson, B.L. & Branigan, C. (2005)
Positive emotions broaden the scope of attention and thought-action repertoires,
Cognition & Emotion, 19, 313-332.
Frojd, S.A., Nissinen, E.S., Pelkonen, M.U.,
Marttunen, M.J., … & Kaltiala-Heino, R. (2008). Depression and school
performance in middle adolescent boys and girls. Journal of Adolescence, 31, 485-
498. Galera, C., Melchior, M., Chastang, J.F.,
Bouvard, M.P., & Fombonne, E. (2009). Childhood and adolescent hyperactivity-
inattention symptoms and academic achievement 8 years later: the GAZEL
youth study. Psychology Medicine, 39, 1895-
1906.
Garcia, E. (2014). The need to address non-cognitive skills in the Education Policy
Agenda. Economic Policy Institute, 386.
García, E., & Weiss, E. (2016). Making Whole-
Child Education the Norm: How Research and Policy Initiatives Can Make
Social and Emotional Skills a Focal Point of Children's Education. Economic Policy
Institute.
Gilman, R., & Huebner, E.S. (2006).
Characteristics of adolescents who report very high life satisfaction. Journal of Youth
and Adolescence, 35, 311-319.
Glied, S., & Pine, D.S. (2002). Consequences and correlates of adolescent depression. Archives of Pediatric Adolescence Medicine,
156, 1009-1014.
Inglehart, R., Foa, R., Peterson, C. & Welzel,
C. (2007) Development, freedom, and rising happiness: a global perspective,
Perspectives on Psychological Science, 3, 264-
285.
Isen, A.M. (2003). Positive affect, systematic
cognitive processing, and behavior: Toward integration of affect, cognition,
and motivation. In F. Dansereau and F.J. Yammarino (Eds.), Multi-level issues in
organizational behavior and strategy (pp.55-
62). Oxford: Elsevier Science.
Jackson, C. K. (2012). Non-cognitive ability, test scores, and teacher quality: Evidence from 9th
grade teachers in North Carolina (NBER
Working Paper No. 18624). Retrieved
from http://www.nber.org/papers/ w18624.
Jennings, J. L., & DiPrete, T. A. (2010). Teacher effects on social and behavioral
skills in early elementary school. Sociology
of Education, 83, 135-159.
PROSIDING 1st National Conference on Educational Assessment and Policy (NCEAP 2018)
69
Juvonen, J. & Graham, S. (2014). Bullying in
schools: The power of bullies and the plight of victims. Annual Review of
Psychology, 65, 159-85.
King, L.A., Hicks, J.A., Krull, J.L., & Del Gaiso, A.K. (2006). Positive affect and
the experience of meaning in life. Journal
of Personality and Social Psychology, 90, 179-
196. Kuntsche, E., & Ravens-Sieberer, U. (2015).
Monitoring adolescent health behaviours and social determinants cross-nationally
over more than a decade: introducing the Health Behaviour in School-aged
Children (HBSC) study supplement on trends. The European Journal of Public
Health, 25, 1-3. Doi: 10.1093/
eurpub/ckv009 Lounsbury, J. W., Fisher, L. A., Levy, J. J., &
Welsh, D. P. (2009). An investigation of character strengths in relation to the academic success of college students.
Individual Differences Research, 7, 52-69.
Lee, J., & Shute, V. (2010). Personal and social-contextual factors in K-12 academic
performance: An integrative perspective on student learning. Educational
Psychologist, 45, 185-202.
Mischel, W., Shoda, Y., & Peake, P. K. (1988). The nature of adolescent competencies
predicted by preschool delay of gratification. Journal of Personality and
Social Psychology, 54, 687-696.
Moffitt, T. E., Arseneault, L., Belsky, D.,
Dickson, N., Hancox, R. J., Harrington, H., . . . Caspi, A. (2011). A gradient of
childhood self control predicts health, wealth, and public safety. Proceedings of the
National Academy of Sciences of the United
States of America, 108, 2693-2698.
Moilanen, K. L., Shaw, D. S., & Maxwell, K. L. (2010). Developmental cascades:
Externalizing, internalizing, and academic competence from middle
childhood to early adolescence. Development and psychopathology, 22, 635-
653.
Phan, H. P., & Ngu, B. H. (2015). Validating personal well-being experiences at school: a quantitative examination of secondary
school students. Education, 136, 34-52.
Piette D, Maes L, Peeters R, Prevost M, Stevens AM, De Smet P and Smith C (1993) The
WHO-collaborative Study: Health Behaviour in School Children in Belgium.
Methodology and dissemination of data. Archives of Public Health, 51, 387-405.
Rowe, G., Hirsh, J.B., Anderson, A.K. &
Smith, E.E. (2007) Positive affect increases the breadth of attentional
selection. PNAS Proceedings of the National
Academy of Sciences of the United States of
America, 104, 383-388.
Sawyer, M. G., Arney, F. M., Baghurst, P. A., Clark, J. J., Graetz, B. W., Kosky, R. J.,
... & Rey, J. M. (2001). The mental health of young people in Australia: key findings
from the child and adolescent component of the national survey of mental health and well-being. Australian and New Zealand
Journal of Psychiatry, 35, 806-814.
Schonert-Reichl, K. A., Guhn, M., Gadermann, A. M., Hymel, S., Sweiss, L., &
Hertzman, C. (2012). Development and validation of the Middle Years
Development Instrument: Assessing children’s well-being and assets across
multiple contexts. Social Indicators
Research, 114, 345-369. Doi:
10.1007/s11205-012-0149-y Seaton, M., Parker, P., Marsh, H. W., Craven,
R. G., & Yeung, A. S. (2014). The reciprocal relations between self-concept,
motivation and achievement: juxtaposing academic self-concept and achievement
goal orientations for mathematics success. Educational Psychology, 34, 49-72.
Seligman, M.E.P., Ernst, R.M., Gillham, J., Reivich, K., & Linkin, M. (2009). Positive
education: positive psychology and classroom interventions. Oxford Review of
Education, 35, 293-311.
Shochet, I.M., Dadds, M.R., Ham, D., & Montaque, R. (2006). School
connectedness is an underemphasized parameter in adolescent mental health:
Results of a community prediction study. Journal of Clinical Child and Adolescent
Psychology, 35, 170-179.
Soutter, A. K. (2011). What can we learn about wellbeing in school? The Journal of Student
Wellbeing, 5, 1-21.
Stankov, L., Morony, S. & Lee, Y.P. (2014). Confidence: the best non-cognitive
predictor of academic achievement? Educational Psychology, 34, 9-28. Doi:
10.1080/01443410.2013.814194 Suárez-Álvarez, J., Fernández-Alonso, R., &
Muñiz, J. (2014). Self-concept, motivation, expectations, and
socioeconomic level as predictors of academic performance in mathematics.