2
Peran Community of Inquiry Dalam Diskusi Online Asinkronus Pada
Keterampilan Berpikir Kritis Mahasiswa
FA Triatmoko Heru Santoso1 dan Sri Hartati S. R. Suradijono2
1. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Kampus Universitas
Indonesia, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia2. Fakultas
Psikologi, Universitas Indonesia, Kampus Universitas Indonesia,
Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia
[email protected]@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini membahas peran diskusi online (dalam
jaringan/daring) asinkronus yang menerapkan kerangka kerja
community of inquiry (CoI) pada keterampilan berpikir kritis
mahasiswa. Tujuan dari penelitian ini adalah menguji kerangka kerja
CoI dalam peningkatan keterampilan berpikir kritis mahasiswa, serta
melihat hubungan social presence, cognitive presence, dan teaching
presence dengan keterampilan berpikir kritis mahasiswa. Penelitian
kuasi eksperimental yang menggabungkan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif ini dilakukan pada 45 mahasiswa angkatan 2014 dan 2
pengajar dari Fakultas Farmasi Universitas Indonesia yang mengikuti
Mata Ajar Pengembangan Kepribadian Terintegrasi (MPKT B). Proses
pembelajaran MPKT sendiri diselenggarakan secara tatap muka dan
daring. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa kelompok eksperimen
yang diajarkan CoI tidak mendapatkan skor berpikir kritis yang
lebih besar dari kelompok kontrol yang tidak diajarkan CoI.
Penelitian juga menunjukkan bahwa skor berpikir kritis memiliki
hubungan dengan elemen-elemen dalam CoI meski tidak signifikan.
Meski ditemukan hasil-hasil tidak signifikan, kelompok eksperimen
mulai menampilkan indikator-indikator berpikir yang lebih kritis
daripada kelompok kontrol. Kedua kelompok mahasiswa juga
menampilkan perilaku teaching presence sampai pada batas-batas
tertentu.
Kata kunci: Berpikir kritis, community of inquiry, pembelajaran
dalam jaringan
Role of Community of Inquiry in Asynchronous Online Discussion
on University Students Critical Thinking SkillAbstractThe focus of
this study is to test the community of inquiry (CoI) framework on
critical thinking skill development and investigates the relation
between social presence, cognitive presence, and teaching presence
and critical thinking. The study is conducted using quasi
experimental design, which combines quantitative and qualitative
approach. The participants are 45 first year students (2014) from
the Faculty of Pharmacy in Universitas Indonesia, enrolled in
character building course (MPKT B). The courses itself is delivered
through blended mode, between face to face and online environment.
The participants are grouped into experimental group of 23 students
and the control group of 22 students. The study also involves
facilitators in each class. The study exhibit the fact that the
students in the experimental group do not have higher critical
thinking score compared to the students of the control group. In
addition to that, the critical thinking scores are related to the
CoI elements, although these results are not significant. Although
the results are not significant, it is discovered that students in
experimental group exhibit more critical thinking than the control
group. The two groups also demonstrate teaching presence behavior
to certain extend.
Keywords:critical thinking, community of inquiry, online
learning
Pendahuluan Pendidikan tinggi, sebagai salah satu jenjang dalam
sistem pendidikan di Indonesia, memiliki peran penting dalam
perkembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hal tersebut
dimungkinkan karena pendidikan tinggi di Indonesia diselenggarakan
berdasarkan penalaran dan kebenaran ilmiah (Presiden Republik
Indonesia, 2012). Salah satu dari kemampuan berpikir tingkat tinggi
tersebut adalah berpikir kritis. Jika dikaitkan dengan asas dan
tujuan pendidikan tinggi, berpikir kritis merupakan landasan untuk
bisa melakukan penalaran dan juga mencapai kebenaran ilmiah.
Seorang pemikir kritis akan melakukan pemeriksaan terhadap
kejelasan, akurasi, kaitan, ataupun logika dari suatu informasi
(The Critical Thinking Community, 2011). Ennis (1987) menambahkan
bahwa pemikir kritis akan melakukan refleksi yang difokuskan pada
pengambilan keputusan untuk meyakini atau melakukan sesuatu.
Keterampilan berpikir kritis menjadi penting karena manusia dalam
kesehariannya selalu dituntut untuk membuat keputusan, mulai dari
keputusan sederhana hingga keputusan-keputusan besar. Paul (1995)
berpendapat bahwa mengambil keputusan dengan proses berpikir yang
benar akan membuat manusia bisa bertahan hidup. Meski merupakan
elemen penting, nampak belum banyak perhatian tertuju padanya dalam
bentuk intervensi untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis.
Salah satu indikator bisa dilihat dari hasil survei internasional
Programme for International Student Assessment (PISA) yang
dilakukan Organisation for Economic Co-operation and Development
(OECD). Survei dilakukan pada anak usia 15 tahun di 65 negara,
untuk mengukur pengetahuan dan keterampilan di bidang membaca,
matematika, sains dan pemecahan masalah (OECD, 2013). Hasilnya,
pada science literacy, yang terkait dengan proses penalaran,
Indonesia mendapatkan skor 396. Kecurangan yang terjadi saat Ujian
Nasional (UN) yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan Nasional
juga bisa menjadi indikator kurangnya perhatian pada proses
berpikir kritis. Dari beberapa artikel (Soares, 2014); (Republika,
2014); (Salim, 2014); (Aulia , Werdiono, & Radius, 2013)
ditemukan adanya kunci jawaban soal UN yang beredar melalui media
sosial atau alat komunikasi, atau disembunyikan di balik meja.
Salah satu kasus kecurangan bahkan melibatkan kepala sekolah.
Kecurangan tersebut mengindikasikan bahwa sistem pendidikan di
Indonesia masih berfokus pada mendapatkan nilai yang baik pada
ujian, dan tidak memperhatikan aspek pengembangan berpikir
siswanya. Mekipun fenomena-fenomena di atas menggambarkan kondisi
keterampilan berpikir anak Indonesia masih rendah, harapan tetap
ada. Penelitian-penelitian terkini (Niu, Behar-Horenstein, &
Garvan, 2013; Abrami, et al., 2008) menunjukkan bahwa berpikir
kritis bisa diajarkan. Lebih lanjut, untuk bisa membantu siswa
berpikir dengan kritis tidak harus dilakukan dengan mengubah ulang
kurikulum, melainkan bisa melalui program-program singkat, misalnya
selama 12 minggu (Marin & Halpern, 2011). Rogoff (2003)
mengatakan komputer bisa dirancang untuk meningkatkan kolaborasi
dan interaksi dalam berpikir sekelompok orang. Ia bahkan menganggap
bahwa komputer adalah salah satu alat kognitif yang penting. Namun
ia juga menyatakan bahwa komputer sebagai alat bantu berpikir perlu
melibatkan orang lain, baik itu secara langsung maupun dari jarak
jauh melalui alat bantu tersebut (Rogoff, 2003). Oleh sebab itu,
pengajaran berpikir kritis pun bisa dilakukan melalui bantuan
teknologi, khususnya komputer.Pengajaran berpikir kritis lewat
komputer bisa ditemukan, salah satunya di Universitas Indonesia.
Sejak tahun 2010, Universitas Indonesia menyelenggarakan mata
kuliah yang dirancang dengan tujuan melatih mahasiswa
mengidentifikasi, menganalisis, dan menyelesaikan permasalahan alam
dan lingkungannya secara integratif dan nyata menggunakan informasi
kuantitatif (Tim MPKT B, 2014). Mata kuliah tersebut dikenal dengan
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi B (MPKT B). Di
dalam MPKT B, mahasiswa akan dibimbing oleh fasilitator untuk
mempelajari materi-materi terkait ilmu alam, teknologi dan
kesehatan, lewat metode diskusi collaborative learning (CL) dan
juga problem-based learning (PBL). Mahasiswa bisa saling bertanya,
berargumentasi, dan menampilkan keterampilan berpikir kritis
lainnya. Fasilitator bisa menjalankan peran sebagai pembimbing,
yang akan membantu perkembangan keterampilan berpikir. Berpikir
secara kritis yang tadinya tidak bisa dilakukan sendiri oleh
mahasiswa, akan bisa ditingkatkan dengan bantuan fasilitator atau
teman yang lebih mampu. Bantuan tersebut bisa berupa petunjuk,
pemicu, contoh, penjelasan, pertanyaan pengarah, diskusi,
partisipasi bersama, dorongan dan mengontrol perhatian anak
(Miller, 2011). Dengan memberikan bantuan, fasilitator menjalankan
peran scaffolding untuk mengembangkan keterampilan berpikir
mahasiswanya. Kedua metode diskusi CL dan PBL dalam MPKT B
dilakukan secara tatap muka maupun daring, yang keduanya dirancang
untuk saling mendukung. Aktivitas diskusi daring ditujukan sebagai
kelanjutan diskusi yang tidak mungkin dilakukan secara tatap muka,
karena terbatasnya waktu diskusi tatap muka. Diskusi daring
tersebut bisa terjadi pada waktu yang sama (sinkronus) ataupun pada
waktu yang berbeda (asinkronus). Meski sudah ada intervensi
berpikir kritis, namun nampak belum ada evaluasi menyeluruh terkait
kemampuan berpikir pesertanya. Walaupun intervensi yang dilakukan
secara online seperti ini bisa meningkatkan keterampilan berpikir
kritis, penelitian tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kemampuan tersebut masih perlu mendapat perhatian (Niu,
Behar-Horenstein, & Garvan, 2013). Faktor-faktor yang bisa
dieksplorasi dalam intervensi berpikir kritis, salah satunya bisa
ditemukan dalam sebuah kerangka kerja yang berkembang pesat dalam
penelitian pembelajaran online adalah community of inquiry (CoI)
(Garrison, Anderson, & Archer, 2000). Meski kerangka kerja CoI
banyak mendorong penelitian dalam bidang pembelajaran online, masih
ada isu yang dihadapi. Salah satunya adalah penelitian CoI belum
bisa menghasilkan temuan terkait hasil belajar, dalam hal ini
cognitive presence, atau berpikir kritis. Dari 200-an hasil
penelitian tentang CoI, hanya 5 yang mencoba mengukur hasil belajar
dengan menggunakan CoI; itupun hanya mengukur persepsi belajar
menggunakan kuesioner yang diisi oleh siswa (Rourke & Kanuka,
2009). Mereka menambahkan, kerangka kerja konseptual CoI yang tidak
dikaitkan dengan bukti empiris adanya pembelajaran yang dalam,
adalah sesuatu yang tidak berdasar. Dari isu tersebut, peneliti
ingin melihat apakah ada kaitan antara CoI dengan keterampilan
berpikir kritis. Pertanyaan yang ingin dijawab penelitian ini
adalah: apakah diskusi daring asinkronus yang menerapkan kerangka
kerja CoI akan mampu meningkatkan keterampilan berpikir kritis
mahasiswa. Pertanyaan lanjutan yang ingin dijawab dalam penelitian
ini adalah: apakah ada kaitan antara CoI dan elemennya dengan
keterampilan berpikir kritis mahasiswa.
Community of InquiryDi dalam kerangka kerja CoI, terdapat 3
elemen penting yang membentuk sebuah komunitas pembelajar, yaitu
social presence (SP), cognitive presence (CP) dan teaching presence
(TP). Elemen pertama adalah social presence. SP adalah kemampuan
anggota komunitas untuk menampilkan dirinya sebagai orang sungguhan
secara sosial dan emosional di dalam media komunikasi yang
digunakan (Garrison, Anderson, & Archer, 2000). Di dalam SP ada
3 kategori umum, yaitu afektif, komunikasi terbuka dan respon
kohesif. Respon afektif misalnya dengan mengungkapkan emosi,
menggunakan humor atau membagi pengalaman pribadi kepada kelompok.
Elemen kedua adalah cognitive presence. CP adalah sejauh mana
pembelajar mampu menciptakan makna melalui refleksi berkala dan
juga melalui diskusi (Garrison, Anderson, & Archer, 2000).
Konsep CP ini terkait dengan konsep practical inquiry atau berpikir
kritis yang diutarakan John Dewey, yang didefinisikan sebagai
proses refleksi tingkat tinggi dan diskusi (Garrison &
Anderson, 2003). Di dalam CP, ada 4 fase practical inquiry, yaitu:
adanya kondisi tidak seimbang karena adanya pemicu (triggering
event), eksplorasi informasi/pengetahuan untuk menyelesaikan
ketidakseimbangan (exploration), integrasi informasi/pengetahuan
menjadi konsep yang terkait (integration) dan resolusi masalah
(resolution). Elemen ketiga adalah teaching presence, yang
didefinisikan sebagai perancangan, fasilitasi dan arahan sosial
maupun kognitif untuk menyadarkan sasaran pembelajaran yang
bermakna bagi individu dan bermanfaat dalam pendidikan (Anderson,
Rourke , Garrison, & Archer, 2001). Di dalam TP ada 3 kategori,
yaitu perancangan dan organisasi, memfasilitasi diskusi dan
pengajaran langsung.
Berpikir KritisBelum ada kesepakatan dalam mendefinisikan
berpikir kritis. Ada yang menganggapnya sebagai sebuah sikap,
proses logika, refleksi yang bertujuan dan proses perkembangan
(Niu, Behar-Horenstein, & Garvan, 2013). Glaser (1942) adalah
yang pertama kali mencetuskan definisi beripikir kritis. Ia
menganggap berpikir kritis sebagai sebuah sikap dan aplikasi logika
dalam pemecahan masalah. Ennis (1996) mengartikan berpikir kritis
sebagai proses yang bertujuan untuk mengambil keputusan yang masuk
akal untuk meyakini atau melakukan sesuatu. Lain lagi definisi dari
Halpern (2003), yang melihat berpikir kritis sebagai penggunaan
kemampuan kognitif atau strategi yang meningkatkan kemungkinan
pencapaian suatu hasil yang diharapkan. Berpikir kritis juga
dianggap sebagai kemampuan berpikir yang bertujuan, bernalar dan
terarah pada tujuan tertentu. Studi Delphi (Facione, 1990) juga
menelurkan definisi berpikir kritis. Dari studi tersebut, berpikir
kritis diartikan sebagai penilaian yang bertujuan dan dilakukan
sendiri oleh individu, yang didasarkan pada interpretasi, analisis,
evaluasi dan penyimpulan, serta pertimbangan bukti-bukti,
konseptual, metodologis, kriteria atau kontekstual. Meski ada
berbagai definisi, ada kesamaan di dalamnya, yaitu melibatkan
pencapaian suatu tujuan dengan cara berpikir secara rasional yang
diarahkan pada tujuan tertentu (Butler, et al., 2012). Dalam
penelitian ini, konstruk berpikir kritis yang akan digunakan adalah
keterampilan menganalisis (analyzing), mengevaluasi (evaluating)
dan menggunakan premis untuk membuat kesimpulan serta mengenali
lingkup penerapan dari argumen (extending arguments) (ACT, 2008).
Argumen sendiri diartikan sebagai serangkaian pernyataan yang
mencakup pendapat bahwa salah satu pernyataan, kesimpulan, berasal
dari pernyataan yang lain (ACT, 2008).
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi (MPKT) B Mata
kuliah MPKT B adalah mata kuliah wajib bagi mahasiswa tahun pertama
di Universitas Indonesia. Tujuan utama dari mata kuliah ini adalah
melatih mahasiswa mengidentifikasi, menganalisis, dan menyelesaikan
permasalahan alam dan lingkungannya secara integratif dan nyata
menggunakan informasi kuantitatif (Tim MPKT B, 2014). Di dalam mata
kuliah ini, mahasiswa akan mempelajari topik tentang ilmu alam,
teknologi, kesehatan dan juga penalaran kuantitatif. Metode yang
digunakan dalam MPKT B adalah pembelajaran kolaboratif
(collaborative learning/CL) dan pembelajaran berdasarkan masalah
(problem-based learning/PBL). Mata kuliah ini dirancang dengan
menggabungkan aktivitas pembelajaran tatap muka dan juga daring,
atau biasa dikenal dengan pendekatan pembelajaran campuran/blended
learning. Kegiatan diskusi CL dan PBL yang dilakukan di dalam kelas
secara tatap muka, dilanjutkan dengan diskusi di dalam forum
diskusi daring dalam durasi 1 minggu.
Metode Partisipan dan Desain PenelitianPopulasi penelitian ini
adalah mahasiswa dan dosen Universitas Indonesia yang melakukan
pembelajaran secara daring. Mahasiswa Universitas Indonesia
partisipan penelitian adalah 45 mahasiswa peserta Mata kuliah
Pengembangan Kepribadian Terintegrasi Sains, Teknologi dan
Kesehatan Universitas Indonesia (MPKT B), yang sudah terbagi ke
dalam 2 kelas (A dan B). Kelas A (N=22) akan menjadi kelompok
kontrol sedangkan kelas B (N=23) menjadi kelompok eksperimen.
Masing-masing kelas sudah dibagi lagi ke dalam 3 kelompok kecil.
Persiapan Berpikir kritis & CoI Berpikir kritis & CoI
Diajarkan CoI Tidak diajarkan CoI Berpikir kritis & CoI
Berpikir kritis & CoI Pre tes Post tes
Bagan 1 Desain penelitian
Peralatan dan ProsedurBeberapa peralatan yang akan digunakan
untuk penelitian adalah: (1) forum diskusi daring yang akan
dilakukan di dalam learning management system (scele.ui.ac.id), (2)
tes berpikir kritis Collegiate Assessment of Academic Proficiency
(CAAP) (ACT, 2008), (3) alat ukur analisis konten kuantitatif CoI,
(4) kuesioner pra pelatihan dan pasca pelatihanm, (5) lembar
persetujuan penelitian, dan (6) materi pelatihan.Penelitian
dijalankan dalam beberapa tahapan, yaitu tahap pra pelatihan,
pelaksanaan pelatihan, perekaman diskusi daring, cek manipulasi,
koding. Penelitian dimulai dengan aktivitas pertemuan yang dihadiri
fasilitator. Pertemuan ditujukan untuk mendapatkan kesepakatan
antar fasilitator, sehingga kedua kelas yang akan diteliti memiliki
standar yang sama, dalam hal proses fasilitator memfasilitasi
diskusi, waktu diskusi daring dan juga pemberian nilai tambahan
bagi aktivitas diskusi daring oleh mahasiswa. Aktivitas berikutnya
adalah menyebarkan kuesioner untuk melihat kesiapan partisipan
terhadap teknologi informasi dan komunikasi serta meminta
partisipan mengisi lembar persetujuan penelitian. Aktivitas
selanjutnya adalah melakukan pre tes keterampilan berpikir kritis.
Tahap berikutnya adalah pemberian pelatihan, bagi fasilitator
kelompok eskperimen, lalu mahasiswa kelompok eksperimen, pada waktu
terpisah. Setelah masa pengambilan data (minggu 10) selesai,
peneliti memberikan pelatihan bagi kelompok kontrol karena alasan
etis. Setelah pelatihan, data diskusi dari partisipan untuk
digunakan sebagai pre tes CoI adalah data diskusi dari 3 buah forum
diskusi sejak minggu 5 hingga minggu 7, dan data diskusi untuk
postes adalah data diskusi 3 buah forum sejak minggu ke 9-10. Tahap
berikutnya adalah pengeraan postes dan cek manipulasi. Tahap
terakhir adalah koding transkrip diskusi dan menganalisis
hasis.
HasilDari perhitungan independent sample t-test, secara umum
didapatkan bahwa peningkatan skor berpikir kritis partisipan
kelompok kontrol lebih tinggi (M=5,73, SE=3,44) daripada partisipan
kelompok eksperimen (M=4,74, SE=3,09). Perbedaan ini tidak
signifikan pada LOS 0,05 (p=0,832) dengan nilai t(42) = 0,213. Hal
ini menunjukkan bahwa H0 1, yaitu kelompok yang diajarkan dan
menerapkan kerangka kerja community of inquiry dalam diskusi daring
asinkronus akan menghasilkan skor berpikir kritis yang tidak lebih
tinggi dibandingkan kelompok yang tidak diajarkan kerangka kerja
CoI, diterima.Hipotesis 2 terkait dengan hubungan antara
elemen-elemen dalam community of inquiry dan skor berpikir kritis.
Dari hasil korelasi menggunakan Pearson 2-tailed antara rata-rata
skor berpikir kritis dan rata-rata skor tiap elemen CoI, ditemukan
bahwa skor cognitive presence berhubungan negatif dengan skor
berpikir kritis (r=-0,145), namun tidak signifikan (grafik 1). Bisa
disimpulkan bahwa H0 2, yaitu skor cognitive presence tidak
berhubungan dengan skor berpikir kritis, diterima.
Grafik 1 Hubungan antara CP dan berpikir kritis
Hasil berikutnya adalah skor social presence berhubungan secara
positif (r=0,211), namun tidak signifikan (grafik 2). Bisa
disimpulkan bahwa H0 3, yaitu skor social presence tidak
berhubungan dengan skor berpikir kritis, diterima.
Grafik 2 Hubungan antara SP dan berpikir kritis
Hasil berikutnya adalah skor teaching presence berhubungan
secara negatif (r=-0,214), namun tidak signifikan (grafik 3). Bisa
disimpulkan bahwa H0 4, yaitu skor teaching presence tidak
berhubungan dengan skor berpikir kritis, diterima.
Grafik 3 Hubungan antara TP dan berpikir kritis
Temuan LainElemen CoIDari hasil didapatkan hubungan yang positif
dan signifikan antara cognitive presence dengan social presence
serta teaching presence. Artinya, semakin tinggi CP, semakin tinggi
juga SP dan TP, dan juga sebaliknya. Social presence dan teaching
presence juga berhubungan positif dan signifikan. Artinya, semakin
tinggi SP, semakin tinggi pula TP, dan sebaliknya. Sedangkan Skor
berpikir kritis dan CP berhubungan negatif meski tidak
signifikan.Dari temuan perbedaan yang signifikan pada CP2 dan CP3
bisa disimpulkan bahwa partisipan di kedua kelompok justru berada
di fase CP yang makin rendah. Diskusi dalam kelompok makin banyak
berada di dalam fase eksplorasi (CP2), yang ditandai dengan
aktivitas seperti mendiskusikan ide, menawarkan ide yang mendukung
ataupun menolak, atau memberikan penilaian akan kebermanfaatan
suatu informasi atau ide. Makin sedikit diskusi kelompok yang
sampai pada fase integrasi (CP3), yang ditandai dengan aktivitas
seperti menggabungkan informasi, menyatakan kesetujuan, membangun
ide baru dari ide yang ada, memberikan alasan atau penjelasan atau
memberikan solusi.Dari pendalaman secara kualitatif terhadap 3
kelompok dari kelompok kontrol (KK) dan kelompok eksperimen (KE),
bisa disimpulkan bahwa nampaknya tidak ada kaitan antara skor
berpikir kritis dengan kualitas isi diskusi. Pada kelompok KK3 yang
memiliki rata-rata skor berpikir kritis paling tinggi, justru
kurang menampilkan berpikir kritis dalam diskusinya. Kelompok KE3,
yang mengalami penurunan skor berpikir kritis, justru menampilkan
indikator-indikator yang mengarah ke berpikir kritis, meski belum
sepenuhnya. Demikian halnya dengan kelompok KE1 yang mulai
menampilkan keterampilan analisis. Hal ini didukung oleh temuan
sebelumnya, yaitu korelasi negatif antara CP2 (kategori CP paling
dominan) dengan skor berpikir kritis. Ternyata CP2 yang dominan
tidak diimbangi dengan kualitas diskusi yang makin kritis juga.
Fenomena tersebut kemungkinan yang mampu menjelaskan hubungan
negatif antara CP, khususnya CP2 dengan berpikir kritis. Meski
minim pesan diskusi oleh pengajar, yang menyebabkan minimnya pesan
yang dikode sebagai teaching presence, mahasiswa yang berdiskusi
sesungguhnya menampilkan indikator perilaku TP. Indikator dari
kategori perancangan dan organisasi, memfasilitasi diskusi dan
pengajaran langsung (direct instruction), muncul dari peserta
diskusi. Artinya, mahasiswa sesungguhnya bisa menjalankan
peran-peran seperti dalam teaching presence, sampai pada
batas-batas tertentu (misalkan, tidak bisa merancang materi atau
menentukan batas waktu tugas).
Preferensi Diskusi SinkronusDiskusi asinkronus dianggap memiliki
kelebihan yang mengarah pada pengembangan berpikir kritis, namun
dari penelitian didapatkan bahwa 18% kelompok menganggap bahwa
tidak spontannya diskusi daring adalah hambatan. Selain itu 9%
menganggap sulitnya mencari waktu diskusi bersama juga adalah
hambatan. Dari kuesioner sebelum penelitian juga didapatkan
sebanyak 27% mahasiswa menganggap sulitnya mencari waktu diskusi
sebagai kendala. Dengan kata lain, justru sifat asinkronus dianggap
menjadi penghambat diskusi daring mahasiswa.
DiskusiDitolaknya kedua hipotesis alternatif tersebut bisa
disebabkan oleh beberapa hal, seperti durasi penelitian, partisipan
penelitian dan partisipasi fasilitator. Dari sebuah studi meta
analisis (Niu, Behar-Horenstein, & Garvan, 2013) ditemukan
bahwa intervensi yang efektif adalah intervensi yang berdurasi
lebih dari 12 minggu, namun tidak dalam 1 program bergelar.
Intervensi pada penelitian ini berlangsung selama 2 minggu (27
Oktober - 9 November 2014). Intervensi selama 2 minggu tersebut
tentunya tidak ideal jika dibandingkan dengan waktu 12 minggu yang
dibutuhkan supaya efektif. Durasi 2 minggu penerapan hasil
pelatihan yang kurang ideal, bisa dijelaskan menggunakan teori
perkembangan kognitif dari Jean Piaget. Piaget mengemukakan konsep
adaptasi kognitif (Miller, 2011), untuk mencapai keseimbangan
antara struktur pikiran dan lingkungan. Di dalam proses adaptasi
tersebut, ada 2 proses lain yang bekerja saling melengkapi terjadi,
yaitu asimilasi dan adaptasi. Jika dikaitkan dengan pelatihan yang
diberikan, ada kemungkinan partisipan penelitian masih dalam proses
mengakomodasi materi yang dilatihkan, ke dalam struktur pikiran
mereka. Terjadinya akomodasi ini mungkin yang menyebabkan
terjadinya penurunan dominasi fase CP3 menjadi CP2 setelah
menjalani pelatihan. Partisipan yang mendapatkan pelatihan,
melakukan restrukturisasi kognisi mereka, sehingga mereka akan
menjalankan diskusi menggunakan skema yang baru saja didapatnya.
Partisipan penelitian ini berasal dari Fakultas Farmasi angkatan
2014, yang berada di bawah Rumpun Ilmu Kesehatan UI. Dari studi
meta analisis (Niu, Behar-Horenstein, & Garvan, 2013),
ditemukan bahwa mengajarkan berpikir kritis pada mahasiswa bidang
kesehatan, tidak seefektif mengajarkan ke bidang-bidang lainnya.
Peneliti belum menemukan bukti yang menjelaskan mekanisme fenomena
ini.Di dalam diskusi daring, fasilitator di kedua kelas minim
menampilkan teaching presence. Selama 2 minggu penelitian, hanya 1
pesan diskusi yang dituliskan di dalam forum diskusi daring, dan
dikode sebagai TP2 atau memfasilitasi diskusi, dengan mengajak
partisipasi peserta. Peran fasilitator dalam peningkatan
keterampilan berpikir kritis bisa dijelaskan dengan konsep
sosiokultural, yaitu zone of proximal development atau ZPD.
Berdasarkan konsep ini, seorang pembelajar akan mengalami
perkembangan dalam memecahkan masalah jika berada di bawah
bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Dalam
hal ini, bimbingan bisa berasal dari fasilitator. Fasilitator bisa
memberikan bimbingan dalam bentuk petunjuk, pemicu, contoh,
penjelasan, pertanyaan pengarah, atau juga mengontrol perhatian
mahasiswanya dalam menampilkan perilaku berpikir secara kritis.
Oleh karena kurangnya model dari fasilitator dalam berpikir kritis,
isi pesan mahasiswa pun masih belum terlalu menggambarkan kemampuan
berpikir kritis meski perkuliahan sudah sampai di minggu 10 dari 14
minggu. Misalkan, dari hasil pendalaman kualitas diskusi di 2
kelompok yang mendapatkan skor berpikir kritis tinggi dan 1
kelompok yang mengalami penurunan skor, didapatkan bahwa mahasiswa
belum berpikir secara kritis. Pada kelompok KK3 yang memiliki
rata-rata skor berpikir kritis paling tinggi, justru kurang
menampilkan berpikir kritis dalam diskusinya. Kelompok KE3, yang
mengalami penurunan skor berpikir kritis, justru menampilkan
indikator-indikator yang mengarah ke berpikir kritis, mseki belum
sepenuhnya. Demikian halnya dengan kelompok KE1 yang mulai
menampilkan keterampilan analisis.Desain pembelajaran kelas MPKT B
tidak sepenuhnya daring, melainkan ada aktivitas tatap muka. Desain
ini tentunya akan berpengaruh kepada dinamika di dalam forum
diskusi daring. Jackson, Jackson, & Chambers (2013) menemukan
pentingnya aktivitas tatap muka terhadap aktivitas daring.
Siswa-siswa yang berada di sekolah yang sama, dan bisa berinteraksi
langsung, mendapatkan nilai lebih baik dalam tugas kelompok.
Interaksi tatap muka langsung tersebut membantu siswa untuk
mengembangkan hubungan antar anggota kelompok. Pertemuan tatap muka
di kelas MPKT B kemungkinan yang menyebabkan skor social presence
tidak pernah lebih rendah dari 90. Partisipan punya kesempatan
membina hubungan secara tatap muka, sehingga tidak akan kesulitan
menampilkan indikator SP. Selain desain pembelajaran yang campuran
antara aktivitas daring dan tatap muka, ada perbedaan dalam
instruksi diskusi. Pada minggu 6 dan 9, setiap anggota kelompok
diinstruksikan secara jelas untuk membuat 1 pesan sendiri dan
kemudian memberikan tanggapan bagi pesan diskusi anggota lain.
Intruksi ini nampak berpengaruh pada jumlah pesan diskusi yang
dihasilkan. Frekuensi pesan diskusi setiap kelompok di kedua minggu
tersebut, menghasilkan angka terbesar dari keseluruhan minggu.
Temuan ini sejalan dengan penelitian yang menemukan bahwa metode
pembelajaran dimana (1) strukturnya jelas, (2) pembagian peran dan
tanggung jawab mahasiswanya jelas, dan (3) mendorong mahasiswanya
untuk menantang siswa lain, akan lebih efektif dalam
mememfasilitasi pembelajaran tingkat tinggi (Kanuka, 2011).
Struktur yang jelas juga mampu menghasilkan distribusi munculnya
presence yang lebih seimbang, serta munculnya pengetahuan kelompok
dibandingkan pengetahuan pribadi (Zydney, deNoyelles, & Seo,
2011). Cognitive presence terdiri dari 4 fase, mulai dari adanya
pemicu (CP1) hingga resolusi (CP4). Dari kedua KK dan KE selama
diskusi selama 5 minggu, rata-rata CP paling besar adalah fase
eksplorasi CP2 (M=78,50), diikuti dengan pemicu CP1 (M=20,11), fase
integrasi CP3 (M=1,45) dan fase resolusi CP4 (M=0). Sulitnya
mencapai fase yang lebih tinggi dari CP2 juga ditemukan dalam
penelitian-penelitian lain tentang CoI (Garrison & Arbaugh,
2007). Dalam penelitian ini, ada beberapa kemungkinan penyebabnya.
Pertama, desain pembelajaran MPKT B merupakan campuran antara
diskusi daring dan tatap muka. Karena kendala yang ditemui terkait
sifat asinkronus dari diskusi daring, ada kemungkinan peserta
diskusi menyelesaikan fase CP 3 atau 4 ketika bertemu muka. Kedua,
tugas yang perlu diselesaikan oleh mahasiswa bukanlah tugas yang
bisa langsung diaplikasikan atau diujicobakan. Selain sulitnya
mencapai fase lebih tinggi dari CP2, ditemukan juga penurunan fase
CP3 pada minggu 9-10 dibandingkan minggu 5-7. Hal ini bisa
dijelaskan juga lewat konsep adaptasi kognitif. Adaptasi kognitif
kemungkinan terjadi akibat perubahan metode pembelajaran. Pada
minggu 5-7, diskusi dijalankan menggunakan metode collaborative
learning, di mana masing-masing partisipan dalam kelompok sudah
diberikan topik-topik untuk didiskusikan. Sedangkan pada minggu
9-10 metode yang digunakan adalah problem-based learning, di mana
kelompok diminta untuk merumuskan sendiri topik yang akan
dibahasnya, sesuai dengan permasalahan yang ditemuinya. Adaptasi
ini kemungkinan yang mengakibatkan partisipan membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk melakukan eksplorasi, yang menyebabkan
dominannya fase CP2 dalam diskusi minggu 9-10 pada KK dan KE. Dari
hasil penelitian ditemukan bahwa sifat sinkronus dari diskusi
daring justru dianggap sebagai hambatan oleh mahasiswa. Persepsi
ini kemungkinan disebabkan oleh kombinasi beberapa hal. Pertama,
diskusi daring dilakukan dalam periode 1 minggu. Artinya, mahasiswa
bisa berdiskusi tentang suatu tugas/topik selama seminggu, di mana
di dalam minggu tersebut terdapat 2 sesi tatap muka pada hari
Selasa dan Kamis. Namun jika dilihat dari frekuensi mengakses
diskusi daring, hanya 16% yang menyatakan setiap hari (kurang dari
5 jam) meluangkan waktu untuk diskusi daring. Sebanyak 60%
mengakses 2-3 hari sekali, 20% 4-6 hari sekali, dan 4% seminggu
sekali mengakses diskusi daring. Sedikitnya waktu yang diluangkan
untuk diskusi daring, diduga karena ada mata kuliah lain yang juga
membutuhkan fokus waktu dan tenaga dari para mahasiswa. Temuan ini
mengindikasikan bahwa partisipan diskusi tidak memiliki waktu
diskusi daring yang cukup. Kedua, jika dilihat dari gambar 49,
kekurangan diskusi daring adalah sulitnya mendapatkan akses
internet (26%). Mayoritas partisipan mengakses diskusi daring dari
rumah atau kampus. Ketiga, dari gambar 49 diketahui bahwa ada
hambatan komunikasi dalam diskusi daring. Sebanyak 18% menganggap
diskusi daring memunculkan kegagalan dalam komunikasi, dan 9%
memiliki kesulitan dalam mengungkapkan ide. Ketiga hal ini
kemungkinan adalah yang menyebabkan mahasiswa menganggap diskusi
daring yang asinkronus justru menjadi penghambat. Dalam penelitian
ditemukan bahwa mahasiswa peserta diskusi menampilkan
perilaku-perilaku yang merupakan indikator teaching presence.
Temuan ini sejalan dengan beberapa temuan lain (Zydney, deNoyelles,
& Seo, 2011; Rourke & Anderson, 2002; Baran & Correia,
2009). Baran & Correia, (2009) menemukan bahwa diskusi yang
difasilitasi oleh rekan mahasiswa membantu memunculkan ide-ide
inovatif, mendorong mahasiswa berpartisipasi aktif dan memunculkan
keterlibatan dan komitmen anggota.Dari hasil cek manipulasi
disimpulkan bahwa pelatihan CoI mampu meningkatkan skor CP dan juga
SP dan kemudian skor berpikir kritis pada kelompok eksperimen. Oleh
sebab itu bentuk pelatihan menggunakan experiential learning
seperti yang digunakan dalam pelatihan ini bisa diterapkan untuk
menjalankan pelatihan CoI berikutnya.
Keterbatasan PenelitianKeterbatasan MetodePenelitian ini
dijalankan menggunakan metode kuasi eksperimental, dengan
menggunakan partisipan yang sudah ada sebelumnya. Artinya kontrol
terhadap variabel-variabel yang mungkin mempengaruhi jalannya
penelitian, tidak terlalu ketat. Selain metode, disain penelitian
juga mungkin berpengaruh. Penelitian ini menggunakan disain 2
kelompok, dengan fasilitator dan mahasiswa yang berbeda, dan
perbedaan tersebut tidak bisa dikontrol. Contohnya seperti tidak
adanya proses randomisasi partisipan di kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Pembagian kelompok diskusi di kedua kelompok
tersebut juga sudah dilakukan oleh pengajar. Selain itu, ada
variabel-variabel lain yang tidak bisa dikontrol, yang mungkin
mempengaruhi hasil penelitian. Variabel lain tersebut misalnya
kepribadian dosen, cara dosen memberikan umpan balik, atau cara
dosen menciptakan iklim kelas. Keterbatasan lain terkait kurangnya
pendalaman terhadap respon mahasiswa dan fasilitator setelah
penelitian selesai. Melalui wawancara, bisa tergali hal-hal seperti
motivasi mahasiswa menjalani diskusi daring, respon mahasiswa
terhadap minimnya peran fasilitator, atau alasan fasilitator tidak
menampilkan TP meski telah diajarkan.
Keterbatasan Desain PembelajaranPartisipan dalam penelitian ini
adalah peserta mata kuliah MPKT B yang menggabungkan aktivitas
pembelajaran tatap muka dan daring. Aktivitas pembelajaran yang
terajadi di kelas secara tatap muka tidak diteliti. Hal ini membuka
kesempatan munculnya faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi
hasil penelitian. Selain dari proses pembelajaran campuran, adanya
perubahan metode pembelajaran, dari collaborative learning ke
problem bases learning diduga mempengaruhi hasil penelitian.
Indikasinya muncul pada makin sedikitnya fase CP3 pada diskusi PBL.
Hal ini mungkin disebabkan oleh terjadinya adaptasi kognitif pada
mahasiswa, setelah sebelumnya menjalankan proses diskusi
menggunakan metode CL.
Keterbatasan Alat UkurAlat ukur untuk mengukur keterampilan
berpikir kritis merupakan alat ukur yang diadaptasi sendiri oleh
peneliti. Alat ukur aslinya hanyalah alat ukur contoh dari alat
ukur versi yang berbayar. Sangat mungkin hal tersebut yang membuat
reliabilitas alat ukur pada uji coba 1 dan 2 hasilnya kurang
memuaskan. Alat ukur tersebut juga hanya mengukur 3 dimensi
berpikir kritis, yaitu keterampilan menganalisis (analyzing),
mengevaluasi (evaluating) dan menggunakan premis untuk membuat
kesimpulan serta mengenali lingkup penerapan dari argumen
(extending arguments). Sedangkan dari kesepakatan dalam studi
Delphi (Facione, 1990) ada 6 keterampilan dalam berpikir kritis,
yaitu: (1) interpretasi (interpretation), (2) analisis (analysis),
(3) evaluasi (evaluation), (4) penyimpulan (inference), (5)
penjelasan (explanation), dan (6) regulasi diri (self-regulation).
Alat ukur kedua adalah panduan analisis konten kuantitatif, yang
dijalankan dengan memberikan kode pada unit pesan diskusi daring.
Total pesan diskusi di kedua kelompok selama masa penelitian
(minggu 5-10) berjumlah 1111 unit pesan. Oleh karena jumlah pesan
yang besar tersebut, proses analisis konten merupakan proses yang
membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak. Untuk mencapai hasil
koding yang memuaskan, peneliti melakukan koding sebanyak 2-3 kali
untuk seluruh transkrip diskusi tersebut. Meskipun menghabiskan
waktu dan tenaga yang banyak, proses analisis konten merupakan
salah satu cara yang tepat dalam meneliti diskusi daring. Hal ini
disebabkan oleh terdokumentasinya pesan diskusi partisipan, yang
merupakan respon otentik dari masing-masing partisipan.
Keterbatasan Hasil PenelitianUntuk menciptakan teaching presence
pengajar perlu meluangkan waktu dan tenaganya dalam proses
perancangan dan organisasi, fasilitasi diskusi dan pengajaran
langsung. Dari pengakuan fasilitator kelas eksperimen, waktu untuk
menjalankan proses tersebut tidak banyak, karena ada kesibukan
lain, seperti pengajaran mata kuliah lain atau aktivitas lainnya di
fakultas. Dalam penelitian ini pengajar tidak berpartisipasi dalam
diskusi daring. Hal ini menyebabkan hanya ada 1 pesan yang
dikodekan sebagai teaching presence. Oleh karena itu, hasil olahan
secara statistik yang melibatkan TP, perlu dimaknai dengan
hati-hati. Keterbatasan hasil penelitian berikutnya terkait dengan
sampel penelitian. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa farmasi
UI angkatan 2014 yang mengikuti perkuliahan MPKT B. Hasil
penelitian ini belum bisa digeneralisir ke populasi mahasiswa UI di
fakultas atau jurusan lain, atau bahkan mahasiswa di Indonesia.
Saran Ada dua kategori saran dari hasil penelitian ini. Pertama
adalah saran penelitian dan kedua adalah saran praktis. Saran
penelitian pertama, penelitian bisa dijalankan menggunakan metode
eksperimen murni atau disain 1 kelompok, sehingga bisa melakukan
kontrol yang lebih ketat terhadap variabel-variabel penelitian.
Kedua, penelitian lanjutan yang bisa dilakukan adalah melihat CoI
pada sesi tatap muka dan daring. Bisa juga mencari partisipan dalam
mata kuliah yang dijalankan daring secara keseluruhan. Selain itu,
metode pembelajaran yang berubah, diduga mempengaruhi hasil
penelitian. Oleh sebab itu penelitian selanjutnya perlu
mempertimbangkan desain pembelajaran, jika hendak menggunakan
pendekatan kuasi eksperimental. Ketiga, keterampilan berpikir
kritis bisa diukur menggunakan alat yang sudah standar dan mengukur
berbagai dimensi berpikir kritis yang lebih lengkap. Selain itu,
transkrip diskusi daring yang otomatis tersedia dan merupakan
respon otentik partisipan, membuat pendekatan analisis konten
kuantitatif bisa menjadi salah satu alternatif yang
direkomendasikan dalam meneliti diskusi daring. Keempat, peneliti
berikutnya bisa melakukan koding terhadap teaching presence dari
pesan diskusi mahasiswa, atau melakukan penelitian spesifik tentang
peran mahasiswa sebagai fasilitator diskusi di kelompoknya. Kelima,
penelitian selanjutnya bisa dilakukan pada sampel yang lebih luas
atau berbeda fakultas/jurusan/bidang ilmu. Keenam, penelitian bisa
dilakukan dalam durasi yang lebih lama, supaya bisa terlihat efek
pemberian manipulasi terhadap keterampilan berpikir kritis.
Ketujuh, penelitian bisa dilakukan pada bidang ilmu yang aplikatif,
yang mungkin bisa memunculkan fase CP hingga selesai. Kedelapan,
penelitian selanjutnya perlu menyertakan aktivitas wawancara bagi
partisipan, misalnya terkait motivasi mahasiswa menjalani diskusi
daring, respon mahasiswa terhadap minimnya peran fasilitator, atau
alasan fasilitator tidak menampilkan TP meski telah diajarkan. Data
ini akan bisa membantu memperkaya hsil penelitian. Saran praktis
pertama, dalam menjalankan diskusi daring, fasilitator bisa
memberikan kesempatan bagi pesertanya untuk menjalankan peran
memfasilitasi pembelajaran. Selain lebih mendorong mahasiswanya
untuk terlibat dan juga lebih kompak, pelibatan mahasiswa sebagai
fasilitator juga akan membantu mengurangi beban kerja dosen. Dosen
bisa memfokuskan diri memposisikan diri sebagai scafollder untuk
mengembangkan potensi mahasiswanya. Kedua, untuk bisa menjalankan
peran sebagai fasilitator daring, pengelola pembelajaran perlu
mempertimbangkan untuk memberikan pelatihan menjadi fasilitator
proses bagi calon fasilitator. Ketiga, dalam merancang pembelajaran
daring, ada beberapa prinsip yang bisa diterapkan, seperti (1)
ketika memberikan instruksi diskusi, perlu dibuat struktur dan
pembagian peran mahasiswa yang jelas, serta setiap mahasiswanya
dituntut untuk aktif menantang rekan diskusinya, (2) aktivitas
tatap muka bisa dilakukan di awal proses pembelajaran, (3) untuk
menyelesaikan satu tugas yang perlu didiskusikan secara daring,
perancang pembelajaran perlu memberikan waktu lebih banyak.
Keempat, dari penelitian ditemukan bahwa mahasiswa menganggap
komunikasi tertulis dalam diskusi daring, rentan akan gangguan
komunikasi. Oleh karena itu, pengelola pembelajaran daring perlu
mempertimbangkan untuk memberikan pelatihan bagi peserta, baik
dosen maupun mahasiswa, tentang komunikasi daring secara tertulis.
Kelima, pelatihan CoI menggunakan pendekatan experiential learning
dalam penelitian ini terbukti mampu meningkatkan social presence,
cognitive presence dan juga skor berpikir kritis, sehingga bisa
direplikasi.
Daftar Referensi
Abrami, P. C., Bernard, R. M., Borokhovski, E., Wade, A.,
Surkes, M. A., Tamim, R., et al. (2008). Instructional
Interventions Affecting Critical Thinking Skills and Dispositions:
A Stage 1 Meta-Analysis. Review of Educational Research,
1102-1134.ACT. (2008). Critical Thinking Sample Test Questions
Booklet. Dipetik Juli 31, 2014, dari ACT:
www.act.org/caap/sampletest/pdf/CriticalThinking.pdfAnderson, T.,
Rourke , L., Garrison, D. R., & Archer, W. (2001). Assessing
teaching presence in a computer conferencing context. Journal of
Asynchronous Learning Network, 1-17.Arbaugh, J. B.,
Cleveland-Innes, M., Diaz, S. R., Garrison, D. R., Ice, P.,
Richardson, J. C., et al. (2008). Developing a community of inquiry
instrument: Testing a measure of the Community of Inquiry framework
using a multi-institutional sample. Internet and Higher Education,
133-136.Aulia , L., Werdiono, D., & Radius, D. B. (2013, Mei
27). Kecurangan UN Diungkap. Dipetik Januari 07, 2015, dari
Edukasi.kompas.com:
http://edukasi.kompas.com/read/2013/05/27/11322671/Kecurangan.UN.Diungkap/didownloadBaran,
E., & Correia, A.-P. (2009). Student-led facilitation
strategies in online discussions. Distance Education,
339-361.Butler, H. A., Dwyer, C. P., Hogan, M. J., Franco, A.,
Rivas, S. F., Saiz, C., et al. (2012). The Halpern Critical
Thinking Assessment and real-world outcomes: Cross-national
applications. Thinking Skills and Creativity, 112-121.Ennis, R. H.
(1996). Critical Thinking. Upper Saddle River: Prentice-Hall,
Inc.Facione, P. A. (1990). Critical Thinking: A Statement of Expert
Consesus for Purposes of Educational Assessment and Instruction.
Newark: American Philosophical Association.Garrison, D. R., &
Anderson, T. (2003). E-Learning in the 21st Century. London:
RoutledgeFalmer.Garrison, D. R., & Arbaugh, J. B. (2007).
Researching the community of inquiry framework: Review, issues, and
future directions. Internet and Higher Education, 157-172.Garrison,
D. R., Anderson, T., & Archer, W. (2000). Critical Inquiry in a
Text-Based Environment: Computer Conferencing in Higher Education.
The Internet and Higher Education, 87-105.Garrison, D. R.,
Anderson, T., & Archer, W. (2000). Critical Inquiry in a
Text-Based Environment: Computer Conferencing in Higher Education.
The Internet and Higher Education, 87-105.Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2012). Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No. 24. Penyelenggaraan Pendidikan Jarak
Jauh Pada Pendidikan Tinggi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia.Marin, L. M., & Halpern, D. F. (2011).
Pedagogy for developing critical thinking in adolescents: Explicit
instruction produces greatest gains. Thinking Skills and
Creativity, 1-13.Miller, P. H. (2011). Theories of Developmental
Psychology 5th ed. New York: Worth Publishers.Niu, L.,
Behar-Horenstein, L. S., & Garvan, C. W. (2013). Do
instructional interventions inuence college students critical
thinking skills? A meta-analysis. Educational Research Review,
114-128.Ocker, R. J., & Yaverbaum, G. J. (1999). Asynchronous
computer-mediated communication versus face-to-face collaboration:
results on student learning, quality and satisfaction. The Journal
of Group Decision and Negotiation, 427-440.OECD. (2013). About
Pisa. Dipetik Januari 3, 2014, dari OECD:
http://www.oecd.org/pisa/aboutpisa/OECD. (2013). PISA 2012 Results.
Dipetik Januari 3, 2014, dari OECD:
http://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa-2012-results.htmPaul, R.
(1995). Critical Thinking: how to prepare student in ad rapidly
changing world. Santa Rosa: Foundation of Critical
Thinking.Presiden Republik Indonesia. (2012, Agustus 10). Peraturan
Perundangan. Dipetik Januari 3, 2014, dari Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi:
http://www.dikti.go.id/?page_id=509&lang=idRepublika. (2014,
April 16). Begini Modus Kecurangan UN. Dipetik Januari 07, 2015,
dari Republika.co.id:
http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/14/04/16/n44dm8-begini-modus-kecurangan-unRogoff,
B. (2003). The Cultural Nature of Human Development . Oxford:
Oxford University Press.Rourke , L., & Kanuka, H. (2009).
Learning in Communities of Inquiry: A Review of the Literature.
Journal of Distance Education, 19-48.Salim, H. J. (2014, Mei 17).
Mendikbud: Ada Oknum Kepala Sekolah Terlibat Kecurangan UN. Dipetik
Januari 07, 2015, dari News.liputan6.com:
http://news.liputan6.com/read/2050912/mendikbud-ada-oknum-kepala-sekolah-terlibat-kecurangan-unSoares,
S. (2014, Mei 04). Pengamat: Modus Kecurangan UN SMP Sama dengan
SMA. Dipetik Januari 07, 2015, dari Tempo.co:
http://www.tempo.co/read/news/2014/05/04/079575173/Pengamat-Modus-Kecurangan-UN-SMP-Sama-dengan-SMAThe
Critical Thinking Community. (2011). Our Concept and Definition of
Critical Thinking. Dipetik April 03, 2013, dari The Critical
Thinking Community:
http://www.criticalthinking.org/pages/our-concept-and-definition-of-critical-thinking/411Tim
MPKT B. (2014, Agustus 29). Pengantar Struktur MPKT B. Pengantar
Struktur MPKT B.Zydney, J. M., deNoyelles, A., & Seo, K. K.-J.
(2011). Creating a community of inquiry in online environments: An
exploratory study on the effect of a protocol on interactions
within asynchronous discussions. Computers & Education,
77-87.
Universitas Indonesia