1 e x p l o r e K o t a G e d e Yogyakarta - 1 Januari 2012
Mar 06, 2016
1
e x p l o r e K o t a G e d eYogyakarta - 1 Januari 2012
2
e x p l o r e K o t a G e d eYogyakarta - 1 Januari 2012
Fotografer Wahyu Widhi W
Penulis Wawies Wisnu Wisdantio
Desain dan Lay Out Untung Sumarsono
Editor Fitria Werdiningsih
Sita Apriliasari
3
"Ayunan langkah perjalanan bagai serpihan mozaik yang
menjahit masa lalu dan masa kini. Jejak-jejak segera menjadi
masa lalu untuk selalu dikenang dan entah suatu saat nanti
bayang-bayang itu akan kembali ditelusuri oleh saya, anda,
atau bahkan oleh anak cucu kita"
4
5
Ucapan selamat pagi tersaji hangat, bertabur bumbu wajah sumringah (ceria) menjadi
kudapan di pagi pertama tahun 2012. Mungkin hanyalah menu ala kadarnya yang jauh
dari rasa kenyang. Namun, akan sangat berbeda rasa ketika menikmatinya dibawah bayang
rimbun dedaunan Waringin Sepuh (Beringin Tua) kota tua dengan segudang cerita
yang lestari tersembunyi dibalik dinding-dinding rapuh berlumutnya. Bahkan, jauh lebih
berkesan daripada gegap gepita menyambut pergantian tahun semalam yang dipenuhi
hiruk pikuk bertabur dentum ledakan kembang api beragam warna dan nyaring suara
terompet bersahut-sahutan.
Semua berawal dari selembar announcement Forum Joglo dan tawaran jelajah budaya
lamanya yang didapat Fitria ketika menikmati suasana temaram Kotagede terbalut
eksotisme musik jazz dalam acara Ngayogjazz 2011. Menjadi sebuah ide akan kegiatan
Blusukan menelusuri lurung-lurung (lorong-lorong) sempit Kotagede disepakati menjadi
pengisi hari pertama di awal tahun. Kotagede, Kota tua di sudut tenggara Yogyakarta
yang selalu di-identik-kan dengan kerajinan Perak Bakar dan pesona rumah kaum
Kalang-nya.
Fitria, Sita, Widhi, Untung, maupun saya sendiri tak pernah mengira bila trip ini akan
sama gurihnya Jadah Manten yang menjadi welcome snack dan awal perjalanan panjang
selama lebih dari 3 jam kedepan. Awal mengesankan untuk sebuah trip yang awalnya
kami kira akan dimenemukan suasana layaknya sebuah tour di museum ditemani para
guide yang bermuka datar dengan senyum dipaksakan sambil menghamburkan berbagai
informasi kaku bak teks book. Perkenalan singkat yang ringan ketika mbak Shinta sang
sekretaris forum Joglo memperkenalkan apa dan siapa forum joglo, mas David sang
pemandu perjalanan, dan mbak Lista yang tak pernah lepas dari view finder kamera
DSLR-nya ditanggapi Widhi dan Untung dengan penuh keseriusan. Terlihat dari awal
saja mereka berdua telah aktif mengesplorasi setiap lekuk potongan-potongan beras ketan
berisi daging cincang berbalut kulit telur dadar tipis itu dan dengan antusias memindahkan
dari bambu penjepitnya ke dalam perut mereka masing-masing (doyan apa emang laper
mas?... :D ... ). Tetapi ketika mbak Shinta memperkenalkan seorang bapak yang telah
beranjak sepuh membuat kami terkaget-kaget. Beliau adalah pak Suryantoro sang koordinator
forum Joglo sendiri yang berkenan hadir menyambut kami yang masih terbilang anak-
anak kemarin sore. Terlebih lagi ketika bapak yang juga cukup intens menjadi penggiat
kegiatan konservasi heritage di Kotagede tersebut berkenan untuk menemani jalan-jalan
kami kali ini. Wow!!! Belum memulai perjalanan saja kami sudah dibuat tercengang, tak
terbayangkan bagaimana suasana perjalanan yang ditemani empat pemandu sekaligus...
:D
6
Njogo Srawung liwat Lurung, Langgar, Pasar lan Kampung
7
Nyai Panggung masih kokoh berdiri meski usianya telah mencapai 400 tahun.
Akar-akar gantungnya menjulur menyentuh tanah, mengeras bagai beberapa batang pohon
yang saling membelit dan menyangga tajuk dedaunan membuat benak membayangkan
citra seorang ibu tua yang tengah berjalan berdiri tenang dengan bantuan tongkat-tongkat
penyangga tubuhnya yang telah renta.
Pagi ini jalanan sepanjang kurang dari 300 meter dari sekitar pelataran sang Waringin
Sepuh masih terasa sangat lengang. Rumah-rumah tradisional dikanan kiri jalan setapak
yang telah diperkeras batu-batu candi hitam tertata rapi itu pun belum banyak memperlihatkan
aktivitasnya. Kesan yang sangat jauh dari suasana yang terjadi ratusan tahun lampau,
ketika jalanan ini masih berupa hutan lebat yang sedang dipenuhi ratusan orang tengah
bahu membahu menebangi pepohonan. Alas Mentaok (hutan Mentaok) bukanlah hutan
biasa, lahan disepanjang sungai Gajah Wong itu dipercaya pernah menjadi pusat Kerajaan
Mataram Kuno abad ke-8. Sebuah peradaban kuno yang pernah berjaya dan sangat lekat
dengan kisah sejarah wangsa-wangsa terkemuka
di tanah Jawadwipa seperti wangsa Syailendra
dan Sanjaya. Peradaban yang sangat terkenal
karena kedasyatan peninggalannya yang
saat ini masih membuat siapapun berdecak
kagum ketika memandangnya, seperti candi
Borobudur maupun candi Prambanan.
Namun entah mengapa, peradaban itu
tiba-tiba hilang tak berbekas dan lahan
itu perlahan berubah menjadi hutan yang
sangat lebat.
8
Tampak dikejauhan dua pria gagah tengah berdiri mengawasi
jalannya pekerjaan maha berat mem-Babat Alas Mentaok (membuka
hutan Mentaok), hutan lebat berumur lebih dari 7 abad. Ki Ageng
Pemanahan masih berbadan tegap meski gurat-gurat wajahnya tak
bisa lagi sembunyikan usianya yang beranjak senja. Dalam diam, dia
hanya berdiri mematung tepat di sebelah putranya Sutawijaya yang
sesekali berteriak dan melompat tenggelam dalam hiruk pikuk.
Keduanya tak lain adalah pembesar istana sekaligus orang-orang yang
paling dipercaya penguasa kerajaan Pajang, Sultan Hadiwijaya.
Karena jasa mereka yang berhasil mengalahkan Arya Penangsang
dan bala tentara Kadipaten Jipang Panolan di tahun 1549, sang
Sultan menghadiahkan lahan luas yang dinamai tanah Mataram
di sepanjang sungai Gajah Wong itu sebagai wilayah kekuasaannya.
Semenjak dibukanya kembali, perlahan tanah Mataram seakan kembali
kembali hidup. Terus berkembang bahkan menjadi layaknya sebuah
kerajaan kecil. Bahkan, sepeninggal kakek Pemanahan yang kemudian
digantikan Sutawijaya muda, tanah Mataram menjadi pusat kerajaan
baru sekaligus menjadi awal sejarah panjang generasi dinasti
Mataram di pulau Jawa yang masih terus berkembang dan lestari
hingga saat ini.
9
"Toleransi adalah dasar dan pondasi terkuat
tempat berdirinya negeri ini" ujar pak Suryantoro
diantara langkah-langkah kami menembus relung
gapura Padureksa. Gapura dengan nuansa budaya
hindu budha dengan balok dan daun pintu kayu
penuh relief sulur-sulur dedaunan rumit tertatah
halus di tiap sisi terbukanya yang dapat ditangkap
oleh mata. Setelah kami mengitari kelir (dinding
penghalang) berhiaskan ornamen lambang kerajaan,
kesunyian halaman yang sejuk ternaungi pepohonan
dan tugu jam berhiaskan mahkota Kasunanan
Surakarta menyambut kedatangan kami di halaman
masjid tertua di Yogyakarta, Masjid Mataram
Kotagede. "Bukan sekedar untuk menghormati
para pekerja yang kebanyakan masih menganut
ajaran Hindu Budha, namun dibangunnya gapura
itu juga menjadi pengingat bahwa Hindu Budha
sudah menjadi budaya lama yang tidak akan
pernah bisa dilepaskan dari kehidupan di tanah ini".
Kesunyian syahdu dan gemerisik dedaunan sejenak
menenggelam kami dalam setiap lekuk dan gurat
hasil karya tangan-tangan seniman terbaik dinasty
Mataram yang seakan memancarkan doa-doa
untuk mengagungkan sang pencipta, menghembuskan
kesejukan kesetiap relung benak kami diantara
langkah-langkah pelan tapak kaki tanpa alas di atas
dinginnya lantai Masjid Mataram yang awalnya
hanyalah sebuah langgar kecil tempat Ki Ageng
Pemanahan menunaikan kewajibannya.
10
11
12
Jam tugu hijau menunjukkan pukul 10.30 ketika kami beranjak meninggalkan Masjid
Mataram dan beragam fragmen sejarah yang kembali dikisahkan mas David. Pasarean
Senopaten, Kompleks makam raja-raja Mataram yang tak jauh dari Masjid Mataram menjadi
tujuan selanjutnya melalui beberapa regol (pintu gerbang) dan kelir pembatas antar
pelataran atau petak halaman yang masing-masing dilingkupi dinding tebal pembatas.
Ternyata ketika kami melalui gerbang Srimanganti dan mencapai pelataran bangsal
pengapit, seorang abdi dalem keraton memberi tahu bila hari masih terlampau pagi
sehingga gerbang terakhir menuju pelataran Pasarean Senopaten masih terkunci rapat.
Sehingga, mau tak mau kami hanya bisa duduk di salah satu sudut bangsal Pengapit beralaskan
karpet hijau menikmati keramahan para Abdi dalem yang tengah menjalankan tugasnya.
13
14
15
S imbol-simbol budaya Jawa semakin lengkap terpapar ketika kami sampai di
pelataran Sendang Selirang yang konon menjadi tempat mandi khusus keluarga istana.
Sepasang kolam kecil yang diberi nama sendang Kakung (pria) dan Sendang Putri
(perempuan). Berada cukup lama di bibir pagar keliling sendang Kakung, mas David
menceritakan sejarah panjang yang masih letari tersimpan dibalik permukaan air tempat
hidup beberapa ikan yang berukuran cukup besar. Seklumit kisah tentang salah satu
"lelaku" dalam kepercayaan yang masih kental dalam budaya masyarakat setempat dan
sering kali disebut sebagai budaya Kejawen pun diceritakan mas David masih sangat
mudah ditemui di sendang yang cukup sepi itu.
16
Belum habis tawa dan canda ringan kami sambil membahas cerita mas David, seketika
suara kami menghilang bak tertelan angin ketika seorang ibu berusia setengah baya
mendekat ke pagar telaga tanpa sedikitpun menghiraukan keberadaan kami. Kekusyukan
sang ibu melantunkan permohonan panjang dalam bahasa Jawa Kromo Inggil (salah
satu tingkatan dalam tata bahasa tradisional suku Jawa- red) yang halus tak urung
membuat kami ikut terpaku dalam keheningan. Seakan ikut meng-amin-i doa sang ibu,
kami pun baru beranjak meninggalkan sendang Kakung setelah seluruh prosesi itu usai
dengan berbagai hal yang berkecamuk dalam benak kami masing-masing.
17
18
19
20
21
22
23
Meninggalkan situs-situs tua disekitar Masjid Mataram yang masih sangat kental dengan
fragmen budaya dalam kehidupan masyarakat Jawa, perjalanan berlanjut pada penelusuran
lurung-lurung Kotagede yang rumit saling berkelindan bagaikan jejaring urat-urat nadi. Meski
hanya selebar kurang dari 1,5 meter, dinding-dinding tua berlumut seakan ikut berbisik mengisi
benak kami dengan cerita beberapa tradisi lama yang masih lestari hingga saat ini. "Waduh, kalo
seumpama ada 2 motor yang saling bersilangan di lurung ini, gimana caranya ya pak?" seloroh
Fitria. "Ya, mau enggak mau salah satu harus mengalah", jawab pak Surya sambil terkekeh geli.
"Urut Tuwo, mbak, hehehe..." (berurutan sesuai usia yang lebih tua - red) tambah mbak Shinta
yang membuat kami ikut tertawa.
24
"Sejauh ini sih, memang tidak pernah ada permasalahan karena hal itu, mbak" tambah
pak Surya menegaskan masih kentalnya nilai-nilai toleransi dalam keseharian
masyarakat Kotagede hingga sekarang. Tak hanya itu, disepanjang perjalanan pun kami
menemukan salah satu ciri khas yang sangat mudah ditemui di Kotagede. Keramahan
disertai senyum dan tawaran untuk sekedar singgah sejenak menjadi hal yang sangat
mudah ditemui hampir disetiap rumah yang kami lalui. Namun sayangnya, terpaksa kami
tolak dengan halus mengingat masih jauhnya perjalanan.
25
26
"Lho!! Mbak Shinta!! Lho..lho... ada pak Sur juga to... Monggo mampir dulu!!"
sergah seorang bapak menyapa ramah ketika kami tiba didekat Pendopo Joglo tua
yang baru saja selesai direnovasi. Disela-sela waktu menunggu mbak Shinta yang
masih bercengkerama dengan bapak yang tadi menyapanya, pak Surya mem-
perkenalkan alah satu ciri khas Kotagede ketika beranjak duduk di tempat duduk
beton di dinding salah satu rumah dan menjorok ke jalanan. "Tempat duduk
ini namanya Tadahlas, alias tadah (tempat) alas (dasar) ... maksudnya
alas manusia alias pantat.... hahahaha... Disinilah biasa orang-orang Kotagede
berkumpul dan bercengkerama satu sama lain.... tidak hanya disini... hampir
disemua rumah di Kotagede punya Tadahlas. Jadi bisa dibayangkan bagaimana
eratnya persaudaraan di sini".
27
28
29
"Lho, Fit!!!! Kamu pernah kesini ya??!! hahahaha" teriakan Widhi dari kejauhan
disela-sela keasyikannya menjepretkan kamera mau tak mau telah membuat kami
penasaran dan beranjak meninggalkan pak Surya yang masih menikmati suasana
di Tadahlas. Tiba-tiba tawa lepas kami meledak bersama-sama setelah mendekati
tempat mas Widhi berdiri sambil melihat ke dinding-dinding disekeliling kami yang
penuh grafity liar. Uniknya, hampir disetiap dinding ditemukan goresan membentuk
sebaris nama Fitria dalam berbagai ukuran.... :D ... "Jangan-jangan Fitria mengajak
kita ke kotagede cuma mau nunjukin ini nih... hahahaha... nunjukin kalo sekarang
jadi artis di Kotagede" seloroh Untung membuat gelak tawa kami semakin keras
berderai. "Siauuulll!!!" jawab Fitria disela-sela tawanya.
30
Tak jauh dari pelataran tembok ratapan
Fitria (hehehehe... sorry fit... belum
menemukan nama yang cocok untuk
menyebutnya sih... :P...), langkah-langkah
kami kembali terhenti di halaman sebuah
rumah ekletis yang cukup apik mempadukan
ketradisionalan Joglo dengan gaya
arsitektur jengky, gaya bangunan yang
banyak berkembang di era 60-an.
31
"Rumah ini salah satu joglo tua di Kotagede yang masih sangat terawat", ujar mas David.
"Rencananya sih rumah ini akan dikembangkan jadi salah satu homestay bagi para petualang Heritage
yang berminat melewatkan waktu lebih lama di Kotagede, semoga saja cepat terealisasi" timpal mbak
Shinta bersemangat. "Monggo... monggo masuk, monggo kalo mau lihat-lihat, tapi maaf sekali, rumah
kami masih sangat kotor karena banyak yang belum selesai dibenahi", ramah bu Gunawan menyambut.
Seketika panas sinar matahari tergantikan oleh kelembaban suhu ruangan sejuk membelai kulit. Di
sebuah ruang besar yang belum tertata dan berbagai furniture kuno diletakkan ala kadarnya agar tetap
bisa digunakan, benak kami seakan membawa kembali ke masa-masa kecil ketika suasana yang sama
masih sangat mudah kami temukan.
32
Keunikan rumah Keluarga Gunawan yang membuat kami terpukau adalah
kesempatan untuk bisa melihat langsung salah satu fragmen yang memperlihatkan geliat
masyarakat Kotagede dimasa revolusi. Mungkin sekilas tidaklah semenarik yang kami
bayangkan sebelumnya. Situs sejarah itu hanya berupa sebuah almari kuno yang mulai lapuk
termakan jaman dan tak lagi berdiri tegak. Saat daun pintu almari itu dibuka pun,
kami hanya melihat barang-barang usang berdebu yang tak lagi berfungsi. Tetapi, ketika
kami cermati lebih jauh, ternyata barang-barang itu menyamarkan bagian belakang
almari yang tidak berdinding dan berhubungan dengan sebuah lubang besar menganga.
33
Ya! Sebuah Pintu Rahasia! "Dahulu
kalau ada serangan udara, atau ada
serangan dan sweeping tentara penguasa
kolonial, lewat almari inilah kami masuk
ke gua (lubang) dibelakangnya. Sehingga
setiap kali tentara Kolonial masuk ke
dalam rumah, mereka selalu tertipu dan
menganggap rumah ini hanyalah rumah
kosong yang ditinggalkan pemiliknya
pergi mengungsi", ujar bu Gunawan
menjelaskan sambil sesekali matanya
menerawang jauh seakan hendak
mengenang kembali masa-masa itu.
"Meski cuma lubang kecil, jasanya sangat
besar ketika melindungi keluarga ini.
Karena itulah kami tetap mempertahankan
keberadaannya".
34
Di ruang tengah yang awalnya merupakan pendopo joglo, bu Gunawan kembali
melanjutkan berbagai kisah lama lainnya yang tersimpan rapi hampir disetiap furniture
maupun setiap lekuk keindahan kayu berukir pada balok-balok kayu tumpang sari dengan
penyangga empat soko guru (tiang penyangga) berumpak batu hitam legam di tengah
ruangan. Belum habis kisah-kisah lama itu terceritakan, tak disangka-sangka suasana
dalam pendopo menjadi semakin ramai ketika mas Totok Surahman datang bersama putranya,
pria yang juga salah satu pengurus Forum Joglo sekaligus kepala rumah tangga yang
dibinanya bersama mbak Shinta.
35
"Baru kali ini saya merasakan trip jalan-jalan yang jumlah pemandunya sama banyak
dengan jumlah peserta trip-nya... hahahahahaha", seloroh Fitria dan Sita sambil tawa geli
ketika mas Totok memutuskan ikut menemani kami menelusuri lurung-lurung Kotagede.
"Sekalian ngajak si kecil jalan-jalan, mbak. Mumpung hari minggu.. hehe" ujar mas Totok
yang ternyata tak kalah ramah dibanding pasukan forum Joglo lainnya yang sudah lebih
dulu menemani kami semenjak pagi.
36
37
Semakin jauh ke arah barat, memasuki lorong-lorong kampung Citran memberikan
nuansa terasa sedikit berbeda. Banyak lorong-lorong sempit yang tak lagi terapit dinding-
dinding tua berlumut. "Sayang sekali, gempa banyak mengubah wajah Kotagede. Terlalu
banyak dinding lurung maupun bangunan lama yang roboh. Bahkan nggak sedikit yang
dibiarkan begitu saja karena pemiliknya tak mampu mendirikannya kembali", ujar mbak
Shinta sambil sesekali menunjukkan beberapa pelataran penuh alang-alang liar diantara
puing bangunan terlantar yang kami lalui disepanjang perjalanan.
38
Sinar matahari semakin kejam membakar ketika lorong demi lorong terus kami lalui.
Dari joglo Tumenggungan yang merupakan satu-satunya joglo dengan konstruksi gantung
hingga sampai di Omah UGM.
39
Tergoda sejuk semilir angin setelah terpanggang panasnya matahari, kami menghempaskan
tubuh ke lantai pelataran tegel abu-abu omah UGM yang dingin. Teras unik dengan
furniture lama di sisa-sisa Gandhok (ruang samping rumah Jawa) tepat di sebelah timur
pendapa yang telah dibangun kembali dengan tetap mempertahankan sisa-sisa dinding
tak utuh menjadi sebuah monumen pengingat kejadian maha besar di tahun 2006 lalu.
40
41
Kenarsisan kami mulai menggeliat... :P .... beruntung, mbak Lista ternyata
cukup berbesar hati berkenan mengabadikan kami meski pose-pose kami
mungkin "sedikit" tak wajar baginya... hahaha.. :D. Seakan belum juga
terpuaskan, usai menyerap habis seluruh informasi dari setiap diorama dalam
omah UGM, teras yang asri-pun kembali menjadi korban kenarsisan kami.
Bahkan, Mbak Shinta, Mas Totok, Mas David, Mbak Lista, dan bahkan
Pak Suryantoro pun sedikit teracuni ajakan kami untuk berfoto bersama
(untungnya beliau-beliau tidak ikut teracuni mengambil pose-pose kami
yang tak wajar, haahahahaha).....
42
43
"Kelihatannya hari sudah terlalu siang,
bagaimana kalau setelah ini kita pergi
ke tempat makan siang", tawaran yang
langsung kami sambut serempak,
"Setujuuuuuuu, hahahaha!!!!"
44
45
Etape terakhir perjalanan pun kembali berlanjut ditengah
sinar matahari yang semakin terasa tajam mengiris kulit.
Lorong demi lorong, joglo demi joglo, berkenalan dengan
sejarah pos penjagaan yang tepat berada di persimpangan
jalan yang seringkali disebut pos Malang (jawa: melintang,
red), lorong omah kalang milik jutawan Rudi Pesik yang
pernah digunakan menginap Lech Walesa, presiden Polandia
era 1990-1995. Sayang sekali, waktu kembali menjadi
penghalang kami untuk menyaksikan koleksi benda budaya
di rumah seni Rudi Pesik.
46
Langkah-langkah kami terus terayun memasuki lorong-lorong kampung Ngerikan hingga
menembus ke Jalan Mondorakan yang memisahkan wilayah Kotagede menjadi 2, yaitu
sisi utara jalan masuk dalam wilayah administrasi kota Yogyakarta dan di sisi selatan
jalan yang masuk dalam wilayah pemerintahan kabupaten Bantul.
47
Menyeberangi Jalan Mondorakan, kami tiba dalem Sopingen, salah satu dari sekian
banyak saksi bisu sejarah panjang yang bertebaran di hampir seluruh wilayah kota tua
ini. Sebuah rumah tua yang didalamnya pernah terjadi berbagai kejadian bersejarah
dunia politik semenjak era kebangkitan kaum muda hingga era ketika Partai Komunis
Indonesia masih memiliki kekuatan politis di negeri ini.
48
Akhirnya, petualangan inipun berakhir
disebuah rumah sederhana ternaungi
pepohonan rindang yang usianya mung-
kin sudah sangat tua. Ndalem Ngaliman,
demikian mbak Shinta menyebutnya.
Tepat didepan rumah Bp. H. Ngalim,
dalam naungan atap joglo telah tertata
sebuah meja kecil lengkap dengan hidangan
sederhana yang menyambut.
49
50
"Monggo, monggo, selamat datang di Dalem Ngaliman", ujar mbak Shinta sambil
mengajak kami berkenalan langsung dengan pak Ngalim yang meski usianya sudah
cukup sepuh masih tetap sigap bergerak dan mantap menyambut setiap uluran jabat
tangan kami. Ini dia yang harusnya menjadi welcome snack tadi pagi. Perkenalkan,
inilah yang dinamakan Kipo, penganan berwarna hijau yang sedikit terdapat noda
menghitam karena dipanggang diatas bara api terpapar cantik diatas piring-piring kecil
bersanding dengan segelas minuman ramuan rempah yang biasa disebut wedhang
Secang menjadi pemandangan sangat indah dimata kami.
51
Tanpa menunggu lebih lama lagi, sepotong demi sepotong kipo yang terbuat dari ulenan
tepung ketan lembut berisi parutan kelapa manis berpindah dari piring-piring kecil itu
masuk ke dalam mulut kami yang seakan tak lelah mengunyah. Sementara wedang Secang
yang hangat kembali menyegarkan tubuh lelah kami. Dan akhirnya bersama-sama
dengan pak Ngalim, kami rasakan nikmatnya masakan "rumahan" yang telah disiapkan
secara khusus. Entah mengapa, meski sederhana, makan siang kali ini terasa sangat
berbeda. Mungkin saja memang keramahan sang tuan rumah yang duduk bersama-sama
dengan kami, ataukan memang kami terlalu lapar ... :P, Entahlah.....
52
Ketika Sesrawungan itu Harus Berakhir
53
Kesejukan angin, perut penuh, dan tempat merebahkan tubuh di lantai joglo yang
dingin saat hari tengah panas menyengat, menjadi perpaduan sangat sempurna untuk
menghadirkan rasa kantuk yang bisa dipastikan akan membuat kelopak mata siapapun
terasa luar biasa berat! Hahaha.... Cukup lama kami asyik memanjakan diri di joglo
Dalem Ngaliman, Widhi lebih memilih menyerah pada rasa kantuk dan tertidur disalah
satu sudut pendopo, Untung ternyata masih memiliki sedikit ruang dalam perutnya
sehingga tetap menyibukkan diri dengan piring kipo ke-tiganya, Sita dan Fitria terlihat
asyik berbagi pengalaman dengan mbak Shinta tentang suka duka menjalani kesehariannya
menjadi penggiat forum joglo dan pelestari heritage Kotagede, sedangkan saya sendiri
menyibukkan diri membolak-balik halaman-halaman buku Toponim Kotagede hasil
karya keroyokan tiga penulis sekaligus, yaitu Erwito Wibowo, Hamid Nuri dan Agung
Hartadi yang banyak mengulas sejarah penamaan di Kotagede (hiks... ketemu buku
bagus tapi nggak bawa uang cukup... :p ...).
54
"Lho, masih banyak kok mas, kok sudah selesai?"
ujar mbak Shinta sambil berdiri dan kembali
sambil menyodorkan dua piring terakhir kipo
yang masih tersisa diatas meja. Tentu saja
Untung yang sepertinya telah jatuh hati pada
penganan hijau manis itu menyambut penuh
antusias. Waktu terus bergulir hingga akhirnya
gulungan-gulungan mendung tebal mulai
menyelimuti sepanjang ufuk utara hingga ke
barat dan terus bergerak ke arah kami. Meski
dengan berat hati, kami harus berpamitan dengan
keluarga Pak Ngalim, mas Totok, mas David,
mbak Lista (yang sampai akhir masih tetap setia
dengan senyumnya tanpa banyak berkata... :P)
dan bapak Suryantoro. "Mari saya antarkan
sampai ke pelataran parkir. Sekalian ambil beberapa
barang yang masih saya tinggalkan disana", ujar
mbak Shinta sigap berdiri bersiap diri menemani
kami berjalan kaki ke pelataran Waringin Sepuh
tempat motor-motor dititipkan.
55
Kotagede tetap menjadi tempat yang terlalu eksotis untuk segera kami tinggalkan begitu
saja hanya karena mendung tebal. Jabat tangan sebagai pengikat tali paseduluran (Jawa:
tali persahabatan, red) pun akhirnya memisahkan kami dengan mbak Shinta dan teman-teman
baru di forum Joglo. Namun, sudut-sudut Kotagede ternyata masih cukup menggoda
kami untuk tidak segera meninggalkannya, "hey, kita masih punya uang sisa makan
malam kemarin lhooo..... kita beli coklat aja yuuuk", ujar fitria. "Iya nih, sekalian mau
beli oleh-oleh buat temen-temen di Jakarta", sambut Untung yang akan berangkat ke
ibukota ke-esokan harinya. Akhirnya, semua perjalanan panjang inipun berakhir dengan
pesta coklat disalah satu outlet coklat terkenal dari Kotagede yang letaknya tak jauh dari
pelataran situs Watu Gilang di selatan pasar Kotagede yang masih ramai oleh penjual
penganan tradisional.
56
Kotagede, kota tua ini agaknya akan kembali kami jajaki. Meskipun belum tau kapan itu
akan kami lakukan, tapi pasti kami akan kembali. Petilasan Keraton Mataram yang
penuh dengan berbagai situs tua penuh kisah panjang perjalanan kerajaan Mataram di
Tanah Jawa, seperti: situs Watu Gilang, situs tembok pangeran Rangga, situs gerbang
kembar, atau menikmati berbagai koleksi benda budaya di museum budaya Rudi Pesik,
menjajaki rumah-rumah Kalang, merasakan membuat perhiasan perak hasil karya kami
sendiri, dan mungkin kembali bersama forum Joglo untuk merasakan trip malam yang
tadi sempat ditawarkan mbak Shinta.
Kotagede, tunggu kedatangan kami tuk kembali suatu saat nanti... :)
57
Divisi Jelajah Pusaka Kotagede FORUM JOGLO
Ndalem Ngaliman,Kompleks Sopingen,Prenggan Kotagede Yogyakarta IndonesiaTelepon : 0274 6665448 : 085 743 768 8484e-mail : [email protected]
FB Page : kotagedeheritage.org |sanggar tari tejo arum kotagede | Perpustakaan Heritage Kotagede | Kotagede Heritage Trail
www.kotagedeheritage.org
Rekening :BRI KCP Gedongkuning,No. Rek : 1008-01-000826-53-2an. Shinta Noor Kumala
Bantuan Anda akan sangat berguna untukpelestarian bangunan bersejarah di Kota Gede
58
2012Share pengalaman atau destinasi favorit Anda.
Hubungi kami di: w w w.landscapeindonesia.com