EVALUASI TATALAKSANA DAN PENANGANAN KEJADIAN EFEK SAMPING OBAT TUBERCULOSIS MULTIDRUG RESISTANT (TB-MDR) DI RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG TAHUN 2014 – 2016 TUGAS AKHIR Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi Oleh: Itamah Yulaikha NIM: 115070500111022 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
76
Embed
EVALUASI TATALAKSANA DAN PENANGANAN KEJADIAN EFEK …repository.ub.ac.id/890/1/Itamah Yulaikha.pdf · EVALUASI TATALAKSANA DAN PENANGANAN KEJADIAN EFEK SAMPING ... memberikan bimbingan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
EVALUASI TATALAKSANA DAN PENANGANAN KEJADIAN EFEK SAMPING
OBAT TUBERCULOSIS MULTIDRUG RESISTANT (TB-MDR) DI RSUD Dr. SAIFUL
ANWAR MALANG TAHUN 2014 – 2016
TUGAS AKHIR
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi
Oleh:
Itamah Yulaikha
NIM: 115070500111022
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
iii
iii
xi
DAFTAR ISI
Halaman
Judul .......................................................................................................................... i
Lembar Pengesahan ................................................................................................. ii
Pernyataaan Keaslian Tulisan .................................................................................. iii
Kata Pengantar ......................................................................................................... iv
Abstrak .................................................................................................................... vii
Abstract .................................................................................................................. viii
Daftar Isi ................................................................................................................... xi
Daftar Gambar ........................................................................................................ xiv
Daftar Tabel ............................................................................................................. xv
Daftar Singkatan ..................................................................................................... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................................... 4
1.3.2 Tujuan Khusus .......................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik .................................................................................... 5
Ninda, Talita dan Hani atas pengalaman, dukungan, dan semangat.
15. Sahabat-sahabatku tersayang Fatimatuz Zahro, Rahma Vindyasari, Gigis A.
R, Risa Rezki P, Ninda A. W, Fintya M. I, yang telah memberikan doa,
motivasi, dukungan, dan semangat.
16. Teman-teman farmasi angkatan 2012 yang telah memberi dukungan,
semangat, dan banyak pengalaman berharga.
17. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah membantu
dalam menyelesaikan studi dan tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis membuka diri untuk segala saran dan kritik yang membangun.
Akhirnya, semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Malang, 17 Mei 2017
Penulis
vii
ABSTRAK Yulaikha, Itamah. 2017. Evaluasi Tatalaksana Dan Penanganan Kejadian Efek
Samping Obat Tuberculosis Multidrug Resistant (TB-MDR): Penelitian Dilakukan di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang. Tugas Akhir, Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya. Pembimbing: (1) Anisyah Achmad, S.Si, Apt, Sp.FRS, (2) dr. Jani Jane R. Sugiri, Sp.P(K).
Pada TB-MDR pemberian antibiotik yang tidak sesuai dapat mengakibatkan komplikasi berbahaya hingga kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian penggunaan antibiotik pada pasien TB-MDR di Instalasi Rawat Jalan RSUD Dr. Saiful Anwar Malang dibandingkan dengan Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat 2014. Penelitian dilakukan secara observasional dengan metode deskriptif kuantitatif dengan menggunakan data rekam medis selama periode Januari 2014-Desember 2016. Besar sampel yang memenuhi kriteria inklusi adalah 57 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesesuaian pemilihan terapi antibiotik terstandar pada pasien sebesar 96,49%. Kesesuaian penanganan efek samping adalah 19%. Kesimpulan pada penelitian ini adalah pemilihan terapi antibiotic terstandar dan penanganan efek samping TB-MDR belum sesuai dengan Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat 2014.
ABSTRACT Yulaikha, Itamah. 2017. Evaluation Management of and Treatment incident Drug
Side Effects Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB): Research was Conducted in Dr. Saiful Anwar General Hospital Malang. Final Assignment, Pharmacy Program, Faculty of Medicine, Brawijaya University. Supervisors: (1) Anisyah Achmad, S.Si, Apt, Sp.FRS, (2) dr. Jani Jane R. Sugiri, Sp.P(K).
In MDR-TB antibiotic therapy that do not match can result cause resistance until
death. This study aims to determine appropriateness of the pattern of antibiotic
use in patients with MDR-TB in the Installation the Outpatient Hospital Dr. Saiful
Anwar compared with the Integrated Management of Drug Resistant
Tuberculosis Control in 2014. The observational study was conducted by
quantitative descriptive method using medical records during the period January
2014 to December 2016. The study was observational research with descriptive
research method analysis of quantitative used retrospective medical record from
January 2014 to December 2016. The sample that met the inclusion criteria were
57 people. The research results show that appropriate the selection of
standardized antibiotic treatment in patients at 96,49%. Suitability selection of
treatment adverse effects is 19%. The conclusion in this research is the selection
of standardized antibiotic treatment and treatment adverse effects of MDR-TB not
been in accordance with the Integrated Management of Drug Resistant
Tuberculosis Control in 2014.
Keywords: multidrug resistant tuberculosis, antibiotic standardized, side effect,
appropriateness of antibiotic, appropriateness of treatment adverse effects
a. Pasien Baru: Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau pernah di obati menggunakan OAT kurang dari 1 bulan
b. Pengobatan ulangan: Pasien yang mendapatkan pengobatan ulang: - Kasus Gagal Pengobatan kategori 1 Pasien memperoleh pengobatan dengan paduan kategori 1 dengan hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. - Kasus Gagal Pengobatan kategori 2 Pasien memperoleh pengobatan ulangan dengan paduan kategori 2 yang hasil pemeriksaan dahaknya positif atau kembali menjadi positif pada bulan ke lima atau lebih selama pengobatan. Hal ini ditunjang dengan rekam medis dan atau riwayat pengobatan TB sebelumnya.
8
Klasifikasi Keterangan
- Kasus Kambuh (relaps) Pasien TB yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali sebagai kasus TB rekuren berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis dari pemeriksaan dahak mikroskopis, atau biakan atau tes cepat. - Pasien kembali setelah loss to follow – up (lalai berobat/default) Pasien yang kembali berobat setelah loss to follow – up/berhenti berobat paling sedikit 2 bulan dengan pengobatan kategori-1 atau kategori-2 serta hasil pemeriksaan bakteriologis menunjukkan hasil terkonfirmasi. - Pernah diobati tidak diketahui hasilnya Pasien yang telah mendapatkan pengobatan TB > 1 bulan tetapi hasil pengobatannya tidak diketahui atau terdokumentasi Pasien TB yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak jelas atau tidak dapat dipastikan
(Kemenkes, 2014)
2.3 Resistensi Tuberkulosis
2.3.1 Epidemiologi
TB Resistan Obat adalah keadaan dimana kuman Mycobacterum
tuberculosis sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan salah satu atau lebih obat
anti TB (OAT). Pada tahun 2013 WHO memperkirakan di Indonesia terdapat
6.800 kasus baru TB dengan Multidrug resistant tuberculosis (MDR-TB) setiap
tahun. Diperkirakan 2% dari kasus TB baru dan 12% dari kasus TB pengobatan
ulang merupakan kasus TB MDR. Diperkirakan pula lebih dari 55% pasein
Multidrug resistant tuberculosis (MDR-TB) belum terdiagnosis atau mendapatkan
pengobatan dengan baik dan benar (Kemenkes, 2015).
Perkiraan pada tahun 2014 di Indonesia kasus TB MDR pengobatan baru
sebesar 1.9% (1,4-2,5) dan 12% (8,1-17) pengobatan ulang. Tahun 2014
Indonesia dengan jumlah penduduk 254 juta orang telah dilaporkan 1058 (1%)
terkena TB MDR/RR dari kasus baru dan 8445 (88%) dengan total kasus 9503.
Sebesar 1812 kasus terdeteksi dari hasil laboratorium yang terkena TB MDR/RR.
Namun pasien yang baru diberikan pengobatan berjumlah 1284 orang. Penelitian
9
cohort tahun 2012, pengobatan TB MDR/RR di Indonesia telah berhasil
disembuhkan masih berjumlah 54% dari kasus yang ada (WHO, 2015).
Multidrug Resistance Tuberculosis TB (atau TB MDR) adalah salah satu
jenis resistensi bakteri TB terhadap minimal dua obat anti TB lini pertama, yaitu
Isoniazid dan Rifampicin yang merupakan dua obat TB yang paling efektif. TB
MDR menjadi tantangan baru dalam program pengendalian TB karena
penegakan diagnosis yang sulit, tingginya angka kegagalan terapi dan kematian.
Diperkirakan prevalensi TB MDR di Indonesia pada tahun 2004 adalah sebesar
8.900 kasus. Dua persen kasus TB MDR diperkirakan berasal dari kasus TB baru
dan 14,7% dari kasus TB yang mendapatkan pengobatan ulang (WHO, 2010).
2.3.2 Pengertian
Resistansi kuman M.tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan dimana
kuman sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT. TB resistan OAT pada
dasarnya adalah suatu fenomena “buatan manusia”, sebagai akibat dari
pengobatan pasien TB yang tidak adekuat maupun penularan dari pasien TB
resistan OAT. Penatalaksanaan TB resistan OAT lebih rumit dan memerlukan
perhatian yang lebih banyak daripada penatalaksanaan TB yang tidak resistan.
(Respirology, Management of multidrud-resitant tuberculosis: update 2007)
2.3.3.1 Mekanisme Resistensi Terhadap INH (Isoniazide)
Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut
air sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan
menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat
penting pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan
oksigen seperti rekasi katase peroksidase (Riyanto, et al. 2006). Mutasi
mikobakterium tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid terjadi secara
spontan dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi
isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase
peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA.
Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas
katalase dan peroksidase (Wallace, et al. 2004).
2.3.3.2 Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin
12
Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces
mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler
(Wallace, et al. 2004; Riyanto, et al. 2006). Obat ini menghambat sintesis RNA
dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang
tergantung DNA. Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan
gram negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya
tinggi, biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1:
107 atau lebih 12. Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya
permeabilitas barier atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA.
Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari mikobakterium,
dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation)
tidak pada perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase
manuisia tidak terganggu. Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya
mutasi kromosom dengan frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu
10-7 sampai 10-3, dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase.
Resistensi terjadi pada gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan
akibat terjadinya perubahan pada tempat ikatan obat tersebut (Riyanto, et al.
2006).
2.3.3.4 Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol
Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif
hanya pada mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada
dosis standar. Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim
arabinosyltransferase yang memperantarai polymerisasi arabinose menjadi
arabinogalactan yang berada di dalam dinding sel. Resistensi ethambutol pada
13
M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi missense pada gen embB
yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase. Mutasi ini telah ditemukan pada
70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306
atau 406 pada sekitar 90% kasus (Wallace, et al. 2004).
2.3.3.5 Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin
Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari
Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein
dengan menganggu fungsi ribosomal14. Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang
resisten terhadap streptomysin telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi
pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang
menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada
ikatan streptomysin ribosomal. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada
rpsl telah diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap streptomysin
dan mutasi pada rrs sebanyak 20% (Martin, 2007). Pada sepertiga yang lainnya
tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi resistensi mutan terjadi pada 1 dari
105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang resisten terhadap
streptomysin tidak mengalami resistensi silang terhadap capreomysin maupun
amikasin (Wallace, et al. 2004).
2.3.4 Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Tuberkulosis Resistan Obat
Faktor utama penyebab terjadinya resistansi kuman terhadap OAT adalah
ulah manusia sebagai akibat tata laksana pengobatan pasien TB yang tidak
14
dilaksanakan dengan baik. Penatalaksanaan pasien TB yang tidak adekuat
tersebut dapat ditinjau dari sisi (Kemenkes, 2014):
1. Pemberi jasa/petugas kesehatan, yaitu karena:
• Diagnosis tidak tepat
• Pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat
• Dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat
• Penyuluhan kepada pasien yang tidak adequat
2. Pasien, yaitu karena:
• Tidak mematuhi anjuran dokter/ petugas kesehatan
• Tidak teratur menelan paduan OAT
• Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya
• Gangguan penyerapan obat
3. Program Pengendalian TB, yaitu karena :
• Persediaan OAT yang kurang
• Kualitas OAT yang disediakan rendah (Pharmaco-vigillance)
2.4 Pengobatan TB-MDR
Pengobatan pasien TB Resistan Obat, diperlukan paduan OAT lini kedua
dan lini satu yang masih sensitif dan berkualitas dengan panduan pengobatan
yang tepat. OAT lini kedua lebih rumit dalam pengelolaannya antara lain
penentuan paduan obat, dosis, cara pemberian, lama pemberian, perhitungan
kebutuhan, penyimpanan dan sebagainya. Selain itu, harga OAT lini dua jauh
lebih mahal, potensi yang dimiliki lebih rendah, efek samping lebih banyak dan
lebih berat daripada OAT lini pertama. Strategi pengobatan yang tepat adalah
pemakaian OAT secara rasional, pengobatan didampingi pengawas menelan
15
obat yang terlatih yaitu petugas kesehatan. Pengobatan didukung oleh
pelayanan TB MDR dengan keberpihakan kepada pasien, serta adanya prosedur
tetap untuk mengawasi dan mengatasi kejadian efek samping obat (Kemenkes,
2014).
Penatalaksanaan klinis MDR TB lebih rumit bila dibandingkan dengan TB
yang sensitif karena mempergunakan obat anti-TB (OAT) lini I dan lini II. Pada
tatalaksana TB yang sensitif hanya menggunakan 4 obat dan membutuhkan
waktu 6 bulan, sedangkan pada tatalaksana MDR TB mempergunakan minimal 5
obat dan berlangsung selama 18 sampai 24 bulan. Tatalaksana kasus MDR TB
ini sering dihubungkan dengan kejadian efek samping mulai dari yang ringan
sampai yang berat (Bloss, 2010).
2.4.1 Strategi Pengobatan Pasien TB-MDR
Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB MDR mengacu kepada
strategi DOTS (Kemenkes, 2014).
a. Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB MDR ataupun resistan
Rifampisin berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan M. Tuberculosis baik
dengan tes cepat maupun metode konvensional dapat mengakses
pengobatan TB MDR yang baku dan bermutu.
b. Paduan OAT untuk pasien TB MDR adalah paduan standar yang
mengandung OAT lini kedua dan lini pertama.
c. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji
kepekaan M.tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh TAK.
Bila diagnosis TB MDR telah ditegakkan, maka sebelum memulai
pengobatan harus dilakukan persiapan awal termasuk pemeriksaan penunjang.
16
Persiapan sebelum pengobatan dimulai adalah (Kemenkes, 2016):
Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan terdapatnya riwayat
dan kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu
seperti hepatitis, diabetes mellitus, gangguan ginjal, gangguan kejiwaan,
kejang, kesemutan sebagai gejala kelainan saraf tepi (neuropati perifer)
dll.
Pemeriksaan: penimbangan berat badan, fungsi penglihatan, fungsi
pendengaran.
Pemeriksaan kondisi kejiwaan. Pemeriksaan ini berguna untuk
menetapkan strategi konseling dan harus dilaksanakan sebelum, selama,
dan setelah pengobatan pasien selesai. Bila perlu bandingkan dengan
pemeriksaan sebelumnya saat pasien berstatus sebagai pasien terduga
TB Resistan Obat.
Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam
sistem pencatatan yang digunakan (eTB manager dan pencatatan
manual).
Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah untuk
memastikan alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk mendukung
pengobatan melalui kerjasama jejaring eksternal.
Pemeriksaan baseline penunjang.
c) Pemeriksaan penunjang:
1) Pemeriksaan darah lengkap
2) Pemeriksaan kimia darah:
- Faal ginjal: ureum, kreatinin
- Faal hati: SGOT, SGPT
17
- Serum elektrolit (Kalium, Natrium, Magnesium)
- Asam Urat
- Gula Darah (Sewaktu dan 2 jam sesudah makan)
3) Pemeriksaan Thyroid stimulating hormon (TSH)
4) Tes kehamilan untuk perempuan usia subur
5) Foto toraks
6) Tes pendengaran sesuai dengan alat/kemampuan yang ada di fasyankes
tersebut (pemeriksanaan audiometri bila fasilitas tersedia)
7) Pemeriksaan EKG
8) Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)
9) Pemeriksaan penglihatan (fokus pada buta warna, lapang pandang)
10) Pemeriksaan kejiwaan (fokus pada kecenderungan psikosis dsan
kepatuhan pasien)
2.4.2 Penetapan Pasien TB MDR Yang Akan Diobati
Pada dasarnya, terduga TB resistan obat adalah semua orang yang
mempunyai gejala TB dengan satu atau lebih kriteria di bawah ini yaitu
(Kemenkes, 2016):
1) Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2
2) Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan
pengobatan
3) Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar
serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama 1
bulan
4) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
5) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi
18
6) Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2
7) Pasien TB yang kembali setelah loss to follow – up (lalai berobat/default)
8) Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR
9) Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara klinis maupun
bakteriologis terhadap pemberian OAT (bila penegakan diagnosis awal
tidak menggunakan GeneXpert)
Diagnosis TB Resistan Obat dipastikan berdasarkan uji kepekaan
M.tuberculosis baik menggunakan metode konvensional dengan menggunakan
media padat atau media cair, maupun menggunakan metode tes cepat (rapid
test) dengan GeneXpert atau dengan LPA. Tersedianya alat diagnosis TB
Resistan Obat dengan metode cepat menggunakan GeneXpert, maka alur
diagnosis TB Resistan obat yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut
(Kemenkes, 2014):
(Kemenkes, 2014)
Gambar 2.1. Alur Diagnosis TB Resistan Obat
19
Penetapan pasien TB Resistan Obat yang akan diobati dilaksanakan oleh
Tim Ahli Klinis (TAK) di Fasyankes Rujukan TB Resistan Obat (Kemenkes,
2016).
Tabel 2.3 Kriteria pasien TB MDR yang akan diobati
Kriteria Keterangan
1. Kasus TB RR/ TB MDR 1. Pasien yang terbukti Resistan terhadap rifampisin berdasarkan pemeriksaan genotipik (tes cepat) atau pemeriksaan fenotipik (uji kepekaan konvensional).
2. Pasien terbukti TB MDR berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan yang dilakukan oleh laboratorium yang tersertifikasi.
2. Penduduk dengan alamat yang jelas
Dinyatakan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau dokumen pendukung lain dari otoritas setempat
3. Bersedia menjalani program pengobatan dengan mendatangani informed consent serta bersedia untuk datang setiap hari ke fasyankes TB Resistan Obat
Pasien dan keluarga menandatangani informed consent setelah mendapat penjelasan yang cukup dari TAK
(Kemenkes, 2016)
2.4.3 Pengobatan TB MDR
Dasar pengobatan TB MDR berdasarkan paduan OAT yang digunakan,
yaitu (Dobriewski, 2009; WHO, 2010; WHO, 2014):
1. Pengobatan yang terstandar (standardized treatment) dimana paduan
pengobatan mengacu pada paduan standar yang tersedia.
2. Pengobatan yang bersifat individual (individualized treatment) di mana
pasien diobati sesuai dengan pola resistensi dan OAT yang digunakan untuk
setiap individu menyesuaikan pola resistensi tersebut.
3. Pengobatan yang bersifat empiris (empirical treatment) di mana pengobatan
diberikan tanpa menunggu uji kepekaan keluar. Dilakukan di negara-negara
yang sarana laboratoriumnya terbatas.
2.4.3.1 Jenis OAT
20
Pengobatan pasien TB MDR menggunakan paduan OAT yang terdiri dari
OAT lini kedua dan lini pertama, dibagi dalam 5 kelompok berdasar potensi dan
a. Sikloserin, Etionamid dan asam PAS dapat diberikan dalam dosis terbagi untuk mengurangi terjadinya efek samping. Selain itu pemberian dalam dosis terbagi direkomendasikan apabila diberikan bersamaan dengan ART.
b. Sodium PAS diberikan dengan dosis sama dengan Asam PAS dan bisa diberikan dalam dosis terbagi. Mengingat sediaan sodium PAS bervariasi dalam hal persentase kandungan aktif per berat (w/w) maka perhitungan khusus harus dilakukan. Misal Sodium PAS dengan w/w 60% dengan berat per sachet 4 gr akan memiliki kandungan aktif sebesar 2,4 gr.
c. Bedaquilin diberikan 400 mg/ hari dosis tunggal selama 2 minggu, dilanjutkan dengan dosis 200 mg intermiten 3 kali per minggu diberikan selama 22 minggu (minggu 3-24). Pada minggu ke 25 pemberian Bedaquilin dihentikan.
d. Klofazimin diberikan dengan dosis 200-300 mg per hari dosis tunggal selama 2 bulan, dilanjutkan dengan dosis 100 mg per hari.
Dosis OAT MDR ditetapkan oleh TAK dan diberikan kelomplok berat badan
Pengobatan ajuvan diberikan jika dipandang perlu (Kemenkes, 2014):
1) Nutrisi tambahan
28
- Pengobatan TB MDR pada pasien dengan status gizi kurang, keberhasilan
pengobatannya cenderung meningkat jika diberikan nutrisi tambahan berupa
protein, vitamin dan mineral (vit A, Zn, Fe, Ca, dll).
- Pemberian mineral tidak boleh bersamaan dengan fluorokuinolon karena
akan mengganggu absorbsi obat, pemberian masing – masing obat dengan
jarak paling sedikit 2 jam sebelum atau sesudah pemberian fluorokuinolon.
2) Kortikosteroid
- Kortikosteroid diberikan pada pasien TB MDR dengan gangguan respirasi
berat, gangguan susunan saraf pusat atau perikarditis. Kortikosteroid yang
digunakan adalah Prednison 1 mg/kg, apabila digunakan dalam jangka
waktu lama (5-6 minggu) maka dosis diturunkan secara bertahap (tappering
off). Kortikosteroid juga digunakan pada pasien dengan penyakit obstruksi
kronik eksaserbasi (Kemenkes, 2013).
2.5 Penanganan Efek Samping
Pemantauan terjadinya efek samping sangat penting pada pengobatan
pasien TB MDR, karena dalam paduan OAT MDR terdapat OAT lini kedua yang
memiliki efek samping yang lebih banyak dibandingkan dengan OAT lini pertama
(Kemenkes, 2014).
Semua OAT yang digunakan untuk pengobatan pasien TB MDR
mempunyai kemungkinan untuk timbul efek samping baik ringan, sedang,
maupun berat. Bila muncul efek samping pengobatan, kemungkinan pasien akan
menghentikan pengobatan tanpa memberitahukan TAK/petugas fasyankes
(default), sehingga KIE mengenai gejala efek samping pengobatan harus
dilakukan sebelum pasien memulai pengobatan TB MDR. Selain itu penanganan
29
efek samping yang baik dan adekuat adalah kunci keberhasilan pengobatan TB
MDR (Kemenkes, 2014).
a. Pemantauan efek samping selama pengobatan
1) Deteksi dini efek samping selama pengobatan sangat penting, karena
semakin cepat ditemukan dan ditangani maka prognosis akan lebih baik,
maka pemantauan efek samping pengobatan harus dilakukan setiap hari.
2) Efek samping OAT berhubungan dengan dosis yang diberikan.
3) Gejala efek samping pengobatan harus diketahui petugas kesehatan yang
menangani pasien, dan juga oleh pasien dan keluarga.
4) Semua efek samping pengobatan harus tercatat dalam formulir khusus.
b. Tempat penatalaksanaan efek samping
1) Fasyankes TB MDR menjadi tempat penatalaksanaan efek samping
pengobatan, tergantung pada berat atau ringannya gejala.
2) Dokter fasyankes satelit TB MDR akan menangani efek samping ringan
sampai sedang; serta melaporkannya ke fasyankes rujukan TB MDR.
3) Pasien dengan efek samping berat dan pasien yang tidak menunjukkan
perbaikan setelah penanganan efek samping ringan atau sedang harus
segera dirujuk ke fasyankes rujukan TB MDR.
c. Beberapa efek samping OAT MDR dan penatalaksanaannya
Tabel 2.8 Efek samping ringan dan sedang
No. Efek samping
Kemungkinan OAT Penyebab
Tindakan
1. Alergi Kulit Ringan
Z, E, Eto, PAS, Km, Cm
- Pengobatan OAT tetap dilanjutkan. - Diberikan Antihistamin p.o atau hidrokortison krim.
Reaksi kulit sedang dengan/ tanpa demam
Z, E, Eto, PAS, Km, Cm
- OAT dihentikan dan segera rujuk ke RS rujukan. - Bila pasien demam diberikan PCT (0.5 – 1 g, tiap 4-6 jam) - Diberikan kortikosteroid suntikan, misalnya hidrokortison
100 mg im atau deksametason 10 mg iv, dilanjutkan preparat oral prednison/ deksametason sesuai indikasi.
2. Neuropati Cs, Km, Eto, Lfx - Pengobatan TB MDR tetap dilanjutkan.
30
No. Efek samping
Kemungkinan OAT Penyebab
Tindakan
perifer - Tingkatkan dosis piridoksin sampai dengan 200 mg perhari - Dirujuk ke ahli neurologi bila terjadi gejala neuropati berat
(nyeri, sulit berjalan), selama 1-2 minggu OAT dihentikan. - Dapat diobati dulu dengan amitriptilin dosis rendah pada
malam hari dan OAINS. Bila gejala neuropati mereda/ hilang, OAT dimulai kembali dengan dosis uji.
- Bila gejalanya berat dan tidak membaik dapat diatasi dengan dihentikan sikloserin dan mengganti menjadi PAS.
- Pemakaian alkohol dan rokok dihindari karena akan memperberat gejala neuropati.
3. Mual, muntah ringan
Eto, PAS, Z, E, Lfx
- Pengobatan tetap dilanjutkan dan pasien dipantau untuk mengetahui berat ringannya keluhan.
- Penyebab lain disingkirkan seperti gangguan hati, diare karena infeksi, pemakaian alkohol/ merokok/ obat lainnya.
- Berikan domperidon 10 mg 30 menit sebelum minum OAT. - Untuk rehidrasi, diberikan infus cairan IV jika perlu. - Jika berat, dirujuk ke Pusat Rujukan TB MDR
Mual muntah berat
Eto, PAS, Z, E, Lfx
- Dirawat inap untuk penilaian lanjutan jika gejala berat. - Jika mual dan muntah tidak dapat diatasi Eto dihentikan
sementara sampai gejala berkurang atau menghilang. - Jika gejala timbul kembali setelah Eto ditelan, hentikan
semua pengobatan selama 1 minggu dan mulai kembali pengobatan seperti dijadwalkan untuk memulai OAT TB-MDR dengan dosis uji (dosis terbagi). Jika muntah terus menerus beberapa hari, segera lakukan pemeriksaan fungsi hati, kadar Kalium dan kadar kreatinin.
- Berikan suplemen Kalium jika kadar kalium rendah atau muntah berlanjut beberapa hari.
- Bila muntah terjadi bukan diawal terapi, muntah dapat merupakan tanda kekurangan kalium pada pasien yang mendapat suntikan kanamisin.
4. Anoreksia Z, Eto, Lfx - Perbaikan gizi melalui pemberian nutrisi tambahan dan konsultasi kejiwaan untuk menghilangkan dampak psikis dan depresi serta KIE mengenai pengaturan diet, aktifitas fisik dan istirahat cukup.
5. Diare PAS - Dilakukan rehidrasi oral sampai dengan rehidrasi intravena bila muncul tanda dehidrasi berat.
- Penggantian elektrolit bila perlu - Pemberian Loperamide, Norit - Pengaturan diet, menghindari makanan pemicu diare. - Dosis PAS dikurangi (rentang dosis terapi)
6. Nyeri kepala
Eto, Cs - Diberikan analgesik (aspirin, parasetamol, ibuprofen). - OAINS dihindari pada pasien dengan gastritis berat dan
hemoptysis. - Piridoksin menjadi 300 mg bila pasien mendapat Cs. - Bila tidak berkurang maka dipertimbangkan berkonsultasi
ke ahli jiwa untuk mengurangi faktor emosi yang berpengaruh.
- Paduan Parasetamol dengan Kodein atau Amitriptilin bila nyeri kepala menetap.
7. Vertigo Km, Cm, Eto - Pemberian antihistamin-anti vertigo: betahistin metsilat - Bila keluhan semakin berat dirujuk ke ahli neurologi. - Diberikan OAT suntik 1 jam setelah OAT oral dan diberikan
Eto dalam dosis terbagi bila memungkinkan.
8. Artralgia Z, Lfx - Pengobatan TB MDR dapat dilanjutkan. - Pemberian OAINS akan membantu demikian juga latihan/
fisioterapi dan pemijatan. - Dilakukan pemeriksaan asam urat, dan bila kadar asam
urat tinggi berikan alopurinol.
31
No. Efek samping
Kemungkinan OAT Penyebab
Tindakan
- Gejala dapat berkurang meskipun tanpa penanganan khusus sejalan dengan perjalanan waktu, bila gejala tidak hilang dan mengganggu dirujuk ke Pusat Rujukan, TAK bersama ahli rematologi/ahli penyakit dalam bekerjasama. Salah satu kemungkinan adalah pirazinamid perlu diganti.
9. Gangguan Tidur
Lfx, Moxi - Diberikan OAT golongan kuinolon pada pagi hari atau jauh dari waktu tidur pasien
- Diberikan konseling mengenai pola tidur yang baik - Diberikan Diazepam
10. Gangguan elektrolit ringan: Hipokalemi
Km, Cm - Gejala hipokalemi dapat berupa kelelahan, nyeri otot, kejang, baal/numbness, kelemahan tungkai bawah, perubahan perilaku atau bingung
- Hipokalemia (kadar < 3.5 meq/L) dapat disebabkan oleh: •Efek langsung aminoglikosida pada tubulus ginjal (Km). •Muntah dan diare. - Diobati bila ada muntah dan diare. - Diberikan tambahan Kalium peroral sesuai Tabel 2.12 - Jika kadar kalium kurang dari 2,3 meq/l pasien mungkin
memerlukan infus IV penggantian dan harus dirujuk untuk dirawat inap di Pusat Rujukan TB-MDR.
- Km dihentikan selama beberapa hari, jika kadar Kalium kurang dari 2.3 meq/L, laporkan kepada TAK ad hoc.
- Berikan infus cairan KCL: paling banyak 10 mmols/jam. - Pemberian bersamaan dengan Lfx saling mempengaruhi
11. Depresi Cs, Lfx, Eto - Dilakukan konseling kelompok atau perorangan. Penyakit kronik dapat merupakan fakor risiko depresi.
- Dirujuk ke Pusat Rujukan jika gejala menjadi berat. - Bila diperlukan akan mulai pengobatan anti depresi. - Pilihan Anti depresan yang dianjurkan adalah Amitriptilin
atau golongan SSRI (Sentraline/ Fluoxetine). - Selain penanganan depresi, TAK akan merevisi susunan
paduan OAT dan dosis yang digunakan. - Gejala depresi dapat berfluktuasi selama pengobatan dan
dapat membaik dengan berhasilnya pengobatan. - Riwayat depresi sebelumnya bukan merupakan kontra
indikasi bagi penggunaan obat tetapi berisiko terjadinya depresi selama pengobatan.
12. Perubahan Perilaku
Cs - Penanganan sama dengan Depresi. Pilihan obat adalah Haloperidol. Dapat diberikan 50mg B6 setiap 250mg Cs
13. Gastritis PAS, Eto - Pemberian PPI (Omeprazol) atau Antasida golongan Mg(OH)2 atau H2 antagonis (Ranitidin)
14. Nyeri ditempat suntikan
Km, Cm - Suntikan diberikan di tempat yang bergantian - Pengenceran obat dan cara penyuntikan yang benar - Berikan kompres dingin pada tempat suntikan
15. Metalic taste Eto Pemberian KIE bahwa efek samping tidak berbahaya.
(Kemenkes, 2014)
Tabel 2.9 Efek samping berat
No. Efek Samping Kemungkinan OAT Penyebab
Tindakan
1. Kelainan Fungsi Hati
Z, Eto, PAS, E, Lfx
- Semua OAT dihentikan, dirujuk ke Pusat Rujukan PMDT - Pasien dirawat inap untuk penilaian lanjutan. - Periksa serum darah untuk kadar enzim hati. - Selain hepatitis, penyebab lain disingkirkan. Dilakukan
anamnesis ulang tentang riwayat hepatitis sebelumnya.
32
No. Efek Samping Kemungkinan OAT Penyebab
Tindakan
- TAK akan mempertimbangkan untuk menghentikan obat yang paling mungkin menjadi penyebab. Mulai kembali dengan obat lainnya, apabila dimulai dengan OAT yang bersifat hepatotoksik maka perlu memantau fungsi hati.
2. Kelainan Fungsi Ginjal
Km, Cm - Dipantau gejala dan tanda gangguan ginjal: edema, penurunan produksi urin, malaise, sesak nafas dan renjatan pada pasien yang berisiko tinggi yaitu pasien dengan diabetes melitus atau riwayat gangguan ginjal.
- Bila ditemukan gejala yang mengarah ke gangguan ginjal, dirujuk ke Pusat Rujukan TB MDR.
- Jika terdapat gangguan ringan (kadar kreatinin 1.5-2.2 mg/dl), Km dihentikan sampai kadar kreatinin menurun. TAK bersama ahli nefrologi atau ahli penyakit dalam akan menetapkan penatalaksanaannya.
- Kasus sedang dan berat (kadar kreatinin > 2.2 mg/dl), semua obat dihentikan dan lakukan perhitungan GFR.
- Jika GFR atau klirens kreatinin (creatinin clearance) < 30 ml/menit atau pasien mendapat hemodialisa maka dilakukan penyesuaian dosis OAT sesuai Tabel 2.11.
- Jika setelah penyesuaian dosis kadar kreatinin tetap tinggi maka hentikan pemberian Km, diberikan Cm.
3. Perdarahan Lambung
PAS, Eto, Z - Perdarahan lambung dihentikan dengan menghentikan OAT sampai 7 hari setelah perdarahan lambung terkendali.
- Dapat dipertimbangkan untuk mengganti OAT penyebab dengan OAT lain selama standar pengobatan terpenuhi.
4. Gangguan Elektrolit
Berat (Bartter Like Syndrome)
Cm, Km - Gangguan elektrolit berat ditandai dengan hipokalemia, hipokalsemia, hipomagnesemia dan alkalosis hipoklorik metabolik secara bersamaan dan mendadak.
- OAT suntikan menyebabkan gangguan fungsi ginjal. - Dilakukan penggantian elektrolit sesuai pedoman. -Amilorid/spironolakton untuk mengurangi sekresi elektrolit.
5. Gangguan Pendengaran
Km, Cm - Data baseline diperiksa untuk memastikan bahwa gangguan pendengaran disebabkan oleh OAT atau sebagai pemburukan yang sudah ada sebelumnya.
- Dirujuk ke fasyankes rujukan, diperiksa penyebabnya dan dikonsulkan kepada TAK
- Dievaluasi gangguan pendengaran dan singkirkan penyebab lain seperti infeksi telinga, sumbatan dalam telinga, trauma, dll.
- Setiap minggu pasien diperiksa kembali, jika pendengaran semakin buruk selama beberapa minggu, Km dihentikan. Apabila penanganannya terlambat, tuli dapat menetap.
6. Gangguan Penglihatan
E - Gangguan berupa kesulitan membedakan warna merah dan hijau. Meskipun gejala ringan, E harus dihentikan
- TAK akan meminta rekomendasi kepada ahli mata jika gejala tetap terjadi meskipun E sudah dihentikan.
- Aminoglikosida juga dapat menyebabkan gangguan penglihatan yang reversibel: silau pada cahaya yang terang dan kesulitan melihat.
- Jangan membiarkan pasien sendirian, apabila akan dirujuk ke fasyankes rujukan harus didampingi.
- OAT yang dicurigai sebagai penyebab gejala psikotik dihentikan sementara. Diberikan haloperidol 5 mg p.o.
Fasyankes Pusat Rujukan TB MDR: - Pasien harus ditangani oleh TAK melibatkan seorang
dokter ahli jiwa, bila ada keinginan untuk bunuh diri atau
33
No. Efek Samping Kemungkinan OAT Penyebab
Tindakan
membunuh, Cs dihentikan selama 1-4 minggu sampai gejala terkendali dengan obat-obat antipsikotik.
- Diberikan pengobatan antipsikotik dan konseling. - Bila gejala psikotik telah mereda, Cs dimulai dengan
dosis uji. - Diberikan piridoksin sampai 200 mg/ hari. - Bila kondisi teratasi pengobatan TB-MDR dilanjutkan
bersamaan dengan obat anti-psikotik
8. Kejang Cs, Lfx - Dihentikan sementara pemberian OAT yang dicurigai sebagai penyebab kejang.
- Diberikan obat anti kejang, misalnya fenitoin 3-5 mg/ hari/kg BB, atau diberikan diazepam intravena 10 mg (bolus perlahan) serta bila perlu dinaikkan dosis vitamin B6 s/d 200 mg/hari. Setelah stabil segera dirujuk ke fasyankes Pusat Rujukan TB-MDR.
- Penanganan pasien dengan kejang harus di bawah pengamatan dan penilaian TAK di fasyankes Pusat Rujukan TB MDR.
- Diupayakan untuk mencari tahu riwayat atau kemungkinan penyebab kejang lainnya (meningitis, ensefalitis, pemakaian obat, alkohol atau trauma kepala).
- Apabila kejang terjadi pertama kali maka pengobatan TB-MDR dilanjutkan tanpa pemberian Cs selama 1-2 minggu. Setelah itu sikloserin dapat diberikan kembali dengan dosis uji (Tabel 2.11).
- Piridoksin (vit B-6) dapat diberikan sampai dengan 200 mg per hari.
- Diberikan profilaksis kejang yaitu fenitoin 3-5 mg/kg/hari. Jika menggunakan fenitoin dan pirazinamid bersama-sama, pantau fungsi hati. Dihentikan pirazinamid jika hasil faal hati abnormal.
- Pengobatan profilaksis kejang dapat dilanjutkan sampai pengobatan TB MDR selesai atau lengkap.
9. Tendinitis Lfx dosis tinggi - Penyebab lain disingkirkan seperti gout, arthritis rematoid, scleroderma sistemik dan trauma.
- Untuk meringankan gejala maka daerah yang terkena di istirahatkan, diberikan termoterapi panas/dingin dan berikan OAINS (aspirin, Ibuprofen).
- Kortikosteroid disuntikan pada daerah yang meradang. - Bila sampai terjadi ruptur tendo maka dilakukan tindakan
pembedahan.
10. Syok Anafilaktik
Km, Cm - Segera dirujuk ke fasyankes Pusat Rujukan TB MDR. - Diberikan pengobatan segera seperti di bawah ini, sambil
dirujuk ke fasyankes Pusat Rujukan TB MDR: 1. Adrenalin 0.2-0.5 ml, 1:1000 S/C, diulangi jika perlu. 2. Dipasang Infus cairan IV untuk jika perlu. 3. Beri kortikosteroid misalnya hidrokortison 100 mg i/m
atau deksametason 10 mg iv, diulangi jika perlu.
11. Reaksi Alergi Toksik
Semua OAT yang digunakan
- Diberikan segera pengobatan seperti di bawah ini, sambil dirujuk ke fasyankes Pusat Rujukan TB MDR, segera:
1. Diberikan CTM untuk gatal-gatal 2. Diberikan parasetamol bila demam.
Menyeluruh dan SJS
3. Diberikan prednisolon 60 mg per hari, atau jika tidak ada prednisolon, disuntikan deksametason 4 mg 3 kali sehari
4. Ranitidin 150 mg 2x per hari atau 300 mg malam hari. - Di fasyankes Pusat Rujukan TB MDR: 1. Diberikan antibiotik jika ada tanda – tanda infeksi kulit. 2. Pengobatan alergi dilanjutkan sampai ada perbaikan,
kortikosteroid tappering off jika sampai 2 minggu.
34
3. Diberikan pengobatan dengan dosis uji hingga perbaikan klinis. Pengobatan selanjutnya dirancang oleh TAK tanpa OAT yang diduga sebagai penyebab.
- Pengobatan dimulai bertahap dengan dosis terbagi, terutama bila dicurigai efek samping terkait dengan dosis obat. Dosis total perhari tidak boleh dikurangi (sesuai berat badan), kecuali bila ada data bioavaibilitas obat (terapeutic drug monitoring). Dosis yang digunakan disebut dosis uji (Tabel 2.11) diberikan selama 15 hari.
12. Hipotiroid PAS, Eto - Gejala dan tandanya adalah kulit kering, kelelahan, kelemahan dan tidak tahan terhadap dingin.
- Dirujuk ke fasyankes rujukan oleh TAK bersama seorang ahli endokrinologi atau ahli penyakit dalam.
- Diagnosis hipotiroid ditegakkan berdasar peningkatan kadar TSH (kadar normal < 10 mU/l).
- Ahli endokrin memberikan rekomendasi pengobatan dengan levotiroksin/Natiroksin serta evaluasinya.
(Kemenkes, 2014)
Tabel 2.10 Efek setiap obat golongan lini II
Obat Efek Samping yang Sering Muncul
Sikloserin Toksisitas CNS (psikiosis, kejang), sakit kepala, tremor, demam, dan ruam kulit
Etionamide Efek GI (rasa logam, mual, muntah, anoreksia, dan nyeri perut), hepatotoksisitas, neurotoksisitas, efek endokrin (alopecia, ginekomastia, impo cxtensi, dan hipotiroidisme), kesulitan dalam manajemen diabetes
Streptomisin Vestibular dan / atau disfungsi pendengaran saraf kranial kedelapan, disfungsi ginjal, ruam kulit, blokade neuromuskuler
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis memberikan saran yaitu:
1. Perlu dilakukan penanganan kejadian TB-MDR dan efek samping dengan
lebih cermat untuk mengurang putus obat.
2. Perlu penelitian masing-masing obat untuk setiap efek samping yang terjadi.
3. Dilakukannya penelitian lebih lanjut tentang efek samping OAT pada pasien
TB-MDR di rumah sakit rujukan TB-MDR di daerah lain untuk mendapatkan
jumlah sampel yang lebih banyak.
4. Perlu dilakukan penelitian tentang efek samping OAT pada pasien TB-MDR
secara kohort.
5. Diharapkan penataan ulang pada lemari penyimpanan rekam medis di ruang
23 infeksi rumah sakit Saiful Anwar Malang.
6. Diharapkan dapat berkerjasama dengan officer e-TB untuk memudahkan
mengakses e-TB.
7. Farmasis juga diharapkan dapat ikut serta menangani tatalaksana TB-MDR
secara cermat dan tepat.
8. Perlu disarankan kepada farmasis untuk melakukan pemantauan secara
rutin terhadap pengobatan dan pemeriksaan data laboratorium pasien, serta
memberikan edukasi kepada pasien tentang efek samping obat
antituberkulosis. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dilakukan secara
prospektif.
68
68
DAFTAR PUSTAKA
Aini, Q., I.Yovi dan M.Y.Hamidy. 2015. Gambaran Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Lini Kedua pada Pasien Tuberculosis-Multidrug Resistance (TB-MDR) di Poliklinik TB-MDR RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Riau: JOM FK
Bloss E, Kuksa L, Holtz TH, Riekstiena V, Skripiconoka V, et al. 2010. Adverse
Events Related to Multidrugs Resistant Tuberculosis Treatment, latvia 2000-2004. Int J Tuberc Lng Dis; 14(3): 275-281
Chandra IM, Baktiar A, Kusmiati T. Profil Of MDR-TB Patients in DOTS Out
Patient Clinic, Dr. Soetomo Hospital Surabaya, From January 2010 to March 2011. 2013:49(3): 177-181
Drobniewski F, Khanna P. 2009 Multidrug ResistanceTuberculosis in Adults.
Tuberculosis A Comprehensive ClinicalReference. Saunders, USA; 293 (22): 2726-2731
Johnson, R. 1997. Drug resistance in Mycrobacterium tuberculosis. Mol. Biol, 8;
97-112 diakses pada 12 Oktober 2015 Kemenkes. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13
Tentang Pedoman Manajemen Terpadu pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Resistan Obat. Kementerian Kesehatan RI: 1-154 Kemenkes, 2016. Addendum Pengobatan TB Resistan Obat. Kementerian
Kesehatan RI: 1-11 Koda-Kimble, Mary Anne; Young, Lloyd Yee; Alldredge, Brian K.; Corelli, Robin
L.; Guglielmo, B. Joseph; Kradjan, Wayne A.; Williams, Bradley R,. 2009. Applied Therapeutics: The Clinical Use Of Drugs, 9th Edition. Williams & Wilkins. Lippincott.
69
Martin A. Portaels F. 2007. Drug Resistance and Drug Resistance detection in Palmino JC, et al (eds), Tuberculosis 2007 From Basic Science to Patient Care, 1st ed. www.textbook.com.
Munir, Arifin, Dianiati. Pengamatan Pasien Tuberkulosis Paru dengan Multidrug
dkk. 2004. Adverse Events in The Treatment of Multidrug-Resistant Tuberculosis: Results From The Dotsplus Initiative. Int J Tuberc Lung Dis;8(11):1382–4.
dkk. 2007. Adverse Reactions Among Patients Being Treated for MDR-TB In Tomsk, Russia. Int J Tuberc Lung Dis;11(12):1314–20.
Sri, A. H. 2015. Hasil Kesembuhan Pasien TB MDR Di RSSA Periode Desember
2010 – Desember 2014 – Laporan Kasus. Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) I. Bagian / SMF Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang
70
Sagwa E , Kaija A, Teeuwisse M, Ruswa N, Musasa JP, Pal S, dkk.2012.The
Burden Of Adverse Events During Treatment oF Drug-resistant Tuberculosis in Namibia Southern. Med Rev.5(1):6–13.
Wallace RJ, Griffith DE.2004. Antimycrobial Agents in Kasper Dl, Braunwald E
(Eds), Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th ed. Mc Graw Hill. New York.
WHO, 2010. Multidrug and Extensively Drug-Resistant TB (M/XDR-TB): 2010
Global Report on Surveillance And Response. Geneva. World Health Organization. Global Tuberculosis Control: WHO Report 2010.
Available from http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/9789241564069_eng.pdf
World Health Organization. 2010. Guideline for The Programmatic
Management of Drug Resistance Tuberculosis Emergency Treatment of tuberculosis: guidelines – 4th ed.Update. Geneva, Switzerland: 1-160
World Health Organization. 2012. Global Tuberculosis Control. Who report 2012.
Geneva. World Health Organization. 2013.Tuberculosis control in The South-East Asia
Region: Anual report 2013. WHO Library Cataloguing-in-Publication data.New Delhi.
WHO, 2014. Companion Handbook To The WHO Guidelines For The
Programmatic Management Of Drug-Resistant Tuberculosis; 1-420. WHO, 2014, Global Health Observatory (GHO) data - Tuberculosis (TB) diakses
http://www.who.int/gho/tb/en/ 11 Oktober 2015 17.00 WIB World Health Organization. 2015. Global Tuberculosis Report. WHO Press.
WHO, 2015, Global Health Observatory (GHO) data - Tuberculosis (TB) Diakses
http://www.who.int/gho/tb/en/ 3 Januari 2016 13.00 WIB