i EVALUASI SEBARAN SPASIAL LOKASI STASIUN PELAYANAN BAHAN BAKAR UMUM (SPBU) PERTAMINA DI KOTA SEMARANG BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Universitas Negeri Semarang Oleh ANNAS SARASADI NIM. 3250405019 JURUSAN GEOGRAFI FAKULTAS ILMU SOSIAL 2011
110
Embed
EVALUASI SEBARAN SPASIAL LOKASI STASIUN …lib.unnes.ac.id/5132/1/7617.pdf · Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini adalah benar- ... mempertimbangkan aspek lingkungan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
1
EVALUASI SEBARAN SPASIAL LOKASI STASIUNPELAYANAN BAHAN BAKAR UMUM (SPBU)
PERTAMINA DI KOTA SEMARANGBERBASIS SISTEM INFORMASI
GEOGRAFIS
SKRIPSIUntuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Universitas Negeri Semarang
Oleh
ANNAS SARASADINIM. 3250405019
JURUSAN GEOGRAFIFAKULTAS ILMU SOSIAL
2011
ii
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan kesidang panitia
ujian skripsi pada,
Hari : Senin
Tanggal: 3 Januari 2011
Pembimbing I Pembimbing II
Drs.Heri Tjahyono,M.Si. Dr. Dewi Liesnoor Setyowati, M.Si.NIP. 196802021999031001 NIP. 196208111988032001
UNNES yang telah banyak membantu dan selalu memberikan dorongan
motivasi pada penulis.
4. Ibu Dr. Dewi Liesnoor Setyowati, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi ini
yang dengan penuh kesabaran selalu memberikan petunjuk dan bimbingan mulai
saat penyusunan proposal hingga penulisan akhir dari skripsi ini.
5. Bapak Drs. Heri Tjahjono, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi ini, yang
telah banyak memberikan bimbingan dan arahan baik secara teknis maupun
praktis sehingga tulisan ini dapat terwujud.
6. Ibu Dr.Eva Banowati, M.Si, selaku dosen penguji utama yang telah mengkritisi
dan memberikan kritik serta arahan sehingga skripsi ini dapat dianggap layak
untuk digunakan sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Sains
vii
(S.Si) di bidang geografi.
7. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Geografi FIS UNNES yang dengan penuh
kesabaran dan ketekunan memberikan banyak ilmu kegeografian kepada penulis,
sehingga penulis dapat memahami ilmu geografi .
8. Bapak dan Ibu jajaran pimpinan di lingkungan Pemerintah Kota Semarang,
khususnya Dinas Perhubungan, Informasi dan Komunikasi, BPS Kota
Semarang, PT. Pertamina Uni t Pemasaran IV.
9. Teman-teman Jurusan Geografi FIS UNNES yang telah ikut membantu dalam
pengumpulan data di lapangan, dan semua pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan dukungan
dalam penulisan skripsi ini.
Semoga segala amal baik dari Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu serta semua pihak yang
ikut membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini mendapat imbalan yang
setimpal dari Allah yang maha kuasa.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari yang diharapkan, untuk
itulah kritik dan saran demi perbaikan tulisan ini sangat penulis harapkan. Akhirnya
penulis juga berharap tulisan ini dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan
ilmu pengetahuan khususnya geografi dan juga dapat memberikan sedikit manfaat
bagi kepentingan praktis.
Semarang, Januari 2011
Penulis
viii
8
ABSTRAK
Annas Sarasadi, 2010. Evaluasi Sebaran Spasial Lokasi Stasiun PelayananBahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina Di Kota Semarang Berbasis SistemInformasi Geografis. Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas NegeriSemarang. Pembimbing Drs. Heri Tjahjono, M.Si dan.Dr. Dewi Liesnoor Setyowati,M.Si. 77 halaman, 26 tabel, 12 gambar.Kata Kunci: Pemetaan, Lokasi SPBU, Sistem Informasi Geografis (SIG)
Perkembangan bisnis Stasiun Pelayanan Bahan Bakar Umum (SPBU)meningkat secara tajam setelah era reformasi. Jumlah SPBU telah tumbuh danberkembang demikian pesat dan tersebar di berbagai lokasi yang kurangmempertimbangkan aspek lingkungan dan aspek etika bisnis. Pokok masalah dalampenelitian ini adalah (1) bagaimana pola sebaran spasial lokasi SPBU di wilayahKota Semarang; (2) sejauhmana tingkat kesesuaian lokasi SPBU di wilayah KotaSemarang. Tujuan penelitian ini adalah (1) melakukan pemetaan sebaran spasiallokasi SPBU di wilayah Kota Semarang, (2) melakukan evaluasi kelas kesesuaianlokasi SPBU di wilayah Kota Semarang.
Populasi dalam penelitian ini adalah SPBU di wilayah Kota Semarangberjumlah 60 buah, yang tersebar di 16 Kecamatan. Penelitian ini menggunakanteknik total sampling, sehingga semua anggota populasi dijadikan subyek penelitian.Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, pengukuran lapangan (dengan GPS),wawancara dengan Dinas Perhubungan, Informasi dan Komunikasi, PT. PertaminaUnit Pemasaran IV, serta wawancara dengan pelanggan BBM secara incidentalsampling. Analisis data dilakukan dengan cara analisis kuantitatif (sistempengharkatan), dan analisis spasial dengan teknologi Sistem Informasi Geografis(SIG) dengan perangkat lunak Arc/View 3.3.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola sebaran secara spasial SPBU diwilayah Kota Semarang bervariasi, yaitu: pola mengelompok di suatu wilayahdataran rendah Semarang bawah; pola memanjang jalur koridor Jakarta – Surabaya(jalur pantura); dan pola menyebar secara insidental di wilayah-wilayah kecamatanpinggiran. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang kuatantara populasi jumlah SPBU dengan populasi jumlah kendaraan bermotor yang adadi setiap wilayah kecamatan. Termasuk juga tidak terkait dengan tingkat kepadatanpenduduk suatu wilayah. Sementara itu, data penelitian menunjukkan bahwa tingkatkesesuaian lokasi SPBU di wilayah Kota Semarang secara umum masuk kriteria
ix
Sesuai (S2) ada 47 SPBU (78.33%), Kurang Sesuai (S3) 7 SPBU (11.66%); danSPBU yang masuk kriteria Sangat Sesuai (S1) hanya ada sejumlah 6 SPBU (10%).
Penelitian ini menyimpulkan bahwa (1) pola sebaran spasial SPBU di KotaSemarang mengelompok pada wilayah dataran rendah Semarang bawah yangmerupakan pusat konsentrasi kegiatan; dan sebagian pola memanjang di koridor jalurPantura; (2) secara umum loaksi SPBU dalam tingkat sesuai (S2), Adapun sarandalam penelitian ini: (1) pihak pemerintah dan PT. Pertamina hendaknya lebih ketatdalam memberikan persyaratan ijin lokasi, terutama memasukkan unsurkeberlanjutan baik dari sisi ekonomi, sosial, dan ekologis pada persyaratan perijinan;(2) perlu dilakukan kajian yang mendalam tentang aspek parameter persyaratanlokasi SPBU secara akademis agar lingkungan tertap terjaga.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………….. i
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………….. iii
PRAKATA …………………………………………………………….. vi
ABSTRAK …………………………………………………………….. viii
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. x
DAFTAR TABEL …………………………………………………….. xii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………….. xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………….. 1
1.2 Pertanyaan Penelitian ………………………...…... 5
1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………... 5
1.4 Manfaat Penelitian ……………………………... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 SIG Untuk Sektor Bisnis dan Jasa Perencanaan ……... 7
2.2 SIG Sebagai Alat Untuk Menentukan Lokasi Retail..... 8
2.3 Analisis Area Perdagangan ………………………….. 9
2.4 Peramalan Lokasi Bisnis Ritail ……………………... 11
2.5. Mengidentifikasi Area Perdagangan ………………… 14
2.6. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU)…….… 16
2.7. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Lokasi
Bisnis SPBU …………………………………...... 19
2.8. Pola Perkembangan Sebaran SPBU …………….. 20
2.8. Kerangka Pemikiran ………….……………………… 21
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Populasi Penelitian ............................................... 24
3.2 Sampel Penelitian ……………………………... 24
3.3 Variabel Penelitian ………………………………....... 25
xi
3.4. Teknik Pengumpulan Data ……………………………. 25
3.5. Teknik Analisis Data ………………………………….. 27
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Deskripsi Wilayah
4.1.1.1 Letak dan Luas Daerah Penelitian …………… 35
4.1.1.2. Kondisi Topografi dan Geomorfologi ............... 36
4.1.1.3.Kondisi Kependudukan ………………………. 38
4.1.1.4.Kondisi Sosial Ekonomi dan Jaringan Infrastruktur
Wilayah ……………………………………….. 44
4.1.2 Pemetaan Lokasi SPBU Berbasis SIG di Kota Semar .. 54
4.1.3 Evaluasi Kesesuaian Lokasi Sebaran SPBU di
Kota Semarang ……………………………………….. 59
4.1.3.1. Aspek Sosial Ekonomi ………………………. 59
4.1.3.2. Aspek Manajemen Lalu-Lintas ……………… 63
4.1.3.3 Kelas Kesesuaian Lokasi SPBU di Wilayah Kota
Semarang ……………………………….. 67
4.2 Pembahasan ……………………………………….. 68
4.2.1. Pola sebaran spasial lokasi SPBU di Kota Semarang…. 70
4.2.2. Kelas Kesesuaian Lokasi SPBU di Kota Semarang…… 71
4.1. Peta Administrasi Kota Semarang ...................................................... 37
4.2. Peta Kepadatan Penduduk Kota Semarang, 2008 ………................ 41
4.3. Peta Jaringan Jalan Kota Semarang Tahun 2008 …………….……. 48
4.4. Peta Sebaran Permukiman Kota Semarang Tahun 2008 ………….. 50
4.3. Grafik Perkembangan Jumlah dan Jenis Kendaraan Bermotor di Ko-
ta Semarang 2004 – 2008 ………………………………………… 52
4.4. Grafik Pola Sebaran Jumlah dan Jenis Kendaraan Bermotor per Ke
Kecamatan, Tahun 2008 …………………………………………... 56
4.5. Peta Jumlah dan Jenis Kendaraan Bermotor di Kota Semarang, 2008 57
4.6. Grafik Perbandingan Jumlah SPBU, populai Kendaraan Bermotor
dan Asumsi Kebutuhan BBM……………………………………….. 59
4.7. Peta Sebaran Lokasi SPBU di Kota Semarang Tahun 2010 ……….. 60
4.6. Peta Kepadatan Penduduk dan Sebaran SPBU Kota Semarang, 2010 …… 58
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Semarang sebagai kota propinsi dan kota industri mempunyai daya tarik
bagi tenaga kerja yang berakibat pada peningkatan aktifitas dan kepadatan
penduduk, menuntut pelayanan jasa transportasi angkutan yang memadai
bagi masyarakat. Angkutan umum yang ada belum dapat memberikan pelayanan
yang maksimal (nyaman dan aman), maka penggunaan kendaraan pribadi masih
merupakan alternatif berkendaraan yang masih diminati terutama mayarakat
menengah keatas.
Mobilitas warga Kota Semarang yang tinggi menjadikan beban jalan-
jalan di perkotaan mengalami kemacetan akibat pemakaian jalan dengan waktu
yang bersamaan. Masyarakat sebagai pengguna tidak merasakan dampak akibat
kemacetan sebagai inefisiensi ekonomi, karena bersifat intangible, artinya
tidak dapat langsung diukur dengan rupiah, padahal biaya sosial ekonomi
akibat kemacetan ini sangat besar. Termasuk dalam masalah ini, adanya konsumsi
bahan bakar minyak (BBM) untuk kendaraan bermotor semakin tinggi dan
cenderung tidak efisien. Hal ini tentu menuntut adanya ketersediaan pelayanan SPBU
yang cukup dan merata sesuai dengan kebutuhan masyarakat di wilayah Kota
Semarang.
2
Perkembangan bisnis Stasiun Pelayanan Bahan Bakar (SPBU) meningkat
secara tajam setelah era reformasi, dan mulai saat itu pemerintah telah merubah
kebijakan politik dan ekonomi Nasional. Dimana pemerintah telah memberikan
kelonggaran dan kemudahan pada pihak-pihak swasta (dalam negeri atau
asing)_untuk melakukan investasi ekonomi di semua bidang bisnis UURI
No.30/2007). Termasuk dalam hal ini adalah investasi bidang perminyakan dan gas
bumi. Dalam konteks ini termasuk juga bisnis investasi Stasiun Pelayanan Bahan
Bakar (SPBU), seperti perusahaan asing Shell dari Inggris, dan Petronas dari
Malaysia telah ikut meramaikan bisnis SPBU di sejumlah wilayah di Indonesia.
Seiring dengan era globalisasi perdagangan dunia, bisnis investasi Stasiun
Pelayanan Bahan Bakar (SPBU) telah berdiri di berbagai penjuru jalan-jalan raya,
baik di wilayah kota-kota besar maupun di kota-kota kecil, termasuk kota-kota
kecamatan. Pada saat sekarang kita dapat dengan mudah mendapatkan pelayanan
Stasiun Pelayanan Bahan Bakar (SPBU). Di kota Semarang yang memiliki 16
wilayah kecamatan dan terdapat 60 SPBU yang tersebar di setiap kecamatan. Setiap
wilayah kecamatan minimal terdapat satu Stasiun Pelayanan Bahan Bakar (SPBU),
dan bahkan ada beberapa kecamatan memiliki lebih dari satu Stasiun Pelayanan
Bahan Bakar (SPBU), terutama wilayah Kecamatan Kota.
Pertumbuhan bisnis Stasiun Pelayanan Bahan Bakar (SPBU) di Kota
Semarang yang demikian menjamur tersebut disatu sisi memberikan keuntungan
konsumen karena konsumen dengan mudah mendapatkan pelayanan bahan bakar
minyak. Namun di sisi lain membawa dampak adanya persaingan bisnis yang sangat
3
ketat, dan cenderung tidak sehat. Sejumlah SPBU berdiri saling berdekatan satu
dengan yang lain dalam jarak beberapa ratus meter saja. Sebagai akibatnya beberapa
SPBU terpaksa ditutup oleh pemiliknya karena kalah bersaing.
Sementara itu, sesuai dengan Undang-Undang No.8 Tahun 1971 Pasal 13
tentang tugas pokok Pertamina adalah: 1) melaksanakan pengusahaan minyak dan
gas bumi dengan memperoleh hasil yang sebesa-besarnya bagi kemakmuran rakyat
dan Negara; 2) menyediakan dan melayani kebutuhan bahan bakar minyak dan gas
bumi untuk kebutuhan dalam negeri yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan
pemerintah. Demikian pula dalam PP No. 31 Tahun 2003, disebutkan bahwa maksud
dan tujuan (Pasal 2), adalah bahwa “…Perusahaan Perseroan (PERSERO)
sebagaimana dimaksud dalamPasal 1 adalah untuk menyelenggarakan usaha di
bidang minyak dan gas bumi baik di dalam maupun di luar negeri serta kegiatan
usaha lain yang terkait atau menunjang kegiatan usaha di bidang minyak dan gas
bumi tersebut. “
Tujuan Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 adalah untuk: (a) mengusahakan keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan
perusahaan secara efektif dan efisien; (b)memberikan kontribusi dalam
meningkatkan kegiatan ekonomi untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Berdasarkan atas tugas pokok Pertamina tersebut, khususnya tugas dari Direktorat
Pembekalan dan Pemasaran Dalam Negeri Direktorat PPDN menjadi sangat penting.
Oleh karena itu dalam penyediaan dan pelayanan kebutuhan BBM (Bahan Bakar
Minyak) dan gas bumi untuk dalam negeri dan pemasarannya dalam negeri
4
menjadikan sebagai tugas utama. Dengan demikian perlu dilakukan secara
profesional, dalam arti dirancang, dilaksanakan secara efektif efisien dan
menguntungkan.
Seiring dengan perkembangan dunia bisnis yang ditandai dengan adanya
kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas (WTO dan AFTA) dalam dua dekade
terakhir ini, pendirian usaha bisnis menjadi terbuka dan bebas untuk siapa saja.
Dalam hal ini juga termasuk pendirian usaha bisnis SPBU, tidak memerlukan
persyaratan yang rumit atau kompleks. Siapa saja yang memiliki modal cukup dan
kemampuan dalam bidang usaha bisnis dapat dengan mudah mendirikan usaha bisnis
SPBU. Berdasarkan data dari PT. Pertamina (Persero) Unit Pemaran IV Jawa
Tengah, jumlah SPBU di Kota Semarang dalam tahun 2009 ada sejumlah 60 buah
SPBU, yang tersebar di 16 wilayah Kecamatan (Tabel 3.1). Jika dilihat dari sebaran
spatial terdapat sejumlah SPBU di beberapa wilayah Kota Semarang yang tampak
menggerombol saling berdekatan; dan sebaliknya pada beberapa tempat sebaran
spasial sangat berjauhan.
Oleh karena itu sebaran lokasi SPBU yang ada di suatu wilayah
seharusnya dirancang dan diatur sedemikian rupa sehingga dapat memberikan
pelayanan dan penyediaan kepada masyarakat secara optimal. Semua masyarakat
yang tersebar diberbagai wilayah dapat terlayani dengan sebaik-baiknya. Rumusan
masalah penelitian ini adalah, “sejauhmana kelas kesesuaian sebaran spasial lokasi
SPBU di wilayah Kota Semarang merupakan fokus permasalahan dalam penelitian
ini?”
5
1.2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di muka, maka dalam ini penelitian
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pola sebaran spasial lokasi SPBU di wilayah Kota
Semarang?
2. Apakah lokasi SPBU sudah sesuai dengan sebaran populasi penduduk dan
kepadatan lalu-lintas kendaraan bermotor di wilayah Kota Semarang?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan atas latar belakang masalah dan rumusan petanyaan penelitian di
muka, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. melakukan pemetaan pola sebaran spasial lokasi SPBU di wilayah Kota
Semarang.
2. mengevaluasi tentang kelas kesesuaian lokasi SPBU dalam kaitannya
dengan sebaran spasial populasi penduduk dan tingkat kepadatan lalu-lintas
kendaraan bermotor di wilayah Kota Semarang.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis:
Data dan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini berupa data dan
informasi spasial dan atribut, yang dianalisis baik secara terintegrasi
maupun secara terpisah, sehingga dihasilkan suatu model spasial tentang
6
pola sebaran lokasi bisnis SPBU di wilayah Kota Semarang. Model spasial
ini dapat memberikan sumbangan secara teoritis bagi pengembangan
analisis spasial lebih lanjut. Sebagaimana diketahui bahwa informasi
spasial pada beberapa dasa warsa terakhir ini secara teoritis telah
berkembang pesat.
2. Manfaat Praktis:
Dalam era globalisasi sekarang ini, telah terjadi perkembangan teknologi
informasi seperti komputer dan perangkat lunak (software) dan perangkat
keras (hardware ), termasuk juga komputer berbasis spasial. Perangkat
teknologi informasi ini telah banyak digunakan oleh berbagai
institusi/lembaga baik negeri maupun swasta dalam rangka mendukung
kegiatan perencanaan pembangunan wilayah dan bisnis para pengusaha.
Oleh karena itulah dengan penelitian ini diharapkan dari data dan informasi
spasial ini dapat digunakan sebagai kerangka acuan untuk pengembangan
bisnis khususnya SPBU bagi kalangan pengusaha. Bagi pemerintah sebagai
pemegang otoritas kebijakan tata-ruang wilayah, terutama digunakan untuk
bahan pertimbangan dalam penataan bisnis SPBU di wilayahnya. Misalnya
untuk dasar pengeluaran ijin pendirian SPBU baru, dan sekaligus evaluasi
terhadap SPBU yang telah ada.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. SIG Untuk Sektor Bisnis dan Jasa Perencanaan
Selama tiga dekade terakhir, beberapa kemajuan penting telah terjadi di
analisis data spasial penyimpanan data, pengambilan dan pemetaan. Sistem Informasi
Geografis telah sangat berguna dalam menangani pendekatan analitis spasial dan
dalam membentuk interface dengan lokasi bidang sains . Beberapa studi memberikan
ikhtisar dampak utama model aplikasi SIG dalam pekerjaan yang dilakukan di bidang
ilmu pengetahuan di lokasi, pengembangan dan berbagai metode yang dapat
digunakan untuk model kesesuaian penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan
(Malczewski, 2004). Sebagai contoh: SIG sekarang yang paling banyak digunakan
perangkat lunak untuk menganalisis, visualisasi data spasial dan pemetaan seperti
analisis lokasi ritel termasuk di dalamnya lokasi SPBU, jaringan transportasi, pola
penggunaan lahan dan melacak data sensus.
Sejak SIG dapat digunakan untuk mengumpulkan data dalam jumlah besar
dari berbagai sumber dengan skala peta yang berbeda dan dalam sistem koordinat
yang berbeda, itu dianggap penting sebagai alat analisis lokasi. SIG dapat
menggabungkan dan secara simultan menggunakan beberapa database dalam
mentransformasikannya menjadi suatu perangkat umum database (Pettit dan Pullar,
1999). Namun, penggunaan SIG dalam analisis lokasi melibatkan aspek akurasi yang
8
mewakili dunia nyata (real wold) situasi dalam database SIG. SIG tidak hanya
digunakan sebagai sumber input data untuk model lokasi, hal itu juga telah digunakan
sebagai alat untuk hasil model ini.
Orientasi konsumen yang berkembang dalam bisnis dan jasa perencanaan
mengalami kemajuan seiring dengan penggunaan teknik analisis spasial yang
didukung teknologi SIG, telah menyebabkan peningkatan penggunaan SIG. Beberapa
buku dan artikel menyatakan bahwa penggunaan SIG untuk mendukung layanan
bisnis dan perencanaan banyak memanfaatkan teknologi SIG dalam pengambilan
keputusan (Birkin, et al., 2002; Prahasta, 2005).
SIG dan perangkat lunak analisis spasial dapat diterapkan untuk pemecahan
masalah-masalah di berbagai aplikasi seperti analisis lokasi ritel, pemasaran lokal,
dan termasuk juga penentuan sebaran spasial lokasi SPBU. Hal ini melibatkan
integrasi model spasial dan SIG disesuaikan kebutuhan informasi spesifik dari
organisasi ritel untuk area tertentu. Jadi model spasial yang digunakan dalam
penjelasan dan prediksi interaksi antara permintaan dan penawaran untuk fasilitas
ritel SPBU dan mencari lokasi yang tepat untuk outlet ritel SPBU di suatu wilayah.
2.2. SIG Sebagai Alat Untuk Menentukan Lokasi Retail
Tingkat persaingan bisnis dalam berbagai bidang dan berbagai level dari
waktu ke waktu semakin kompleks. Dengan demikian diperlukan adanya sistem
organisasi spasial sebagai basis perencanaan, sehingga dapat diketahui secara pasti
9
dimana pasar konsumen, dimana lokasi ritel ditempatkan. Dalam konteks ini sistem
kompetitif atau persaingan dalam pasar juga dapat berjalan secara berkeadilan.
Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat membantu dalam pengambilan
keputusan atas permasalah-permasalah sebaran spasial untuk kepentingan bisnis.
SIG tidak hanya digunakan untuk analisis lokasi dan tangkapan tetapi juga untuk
sektor ritel lain, seperti persoalan manajemen, pemasaran dan komunikasi dan
pemasaran (Benoit dan Clarke. 1997).
SIG telah memberikan sumbangan yang sangat tinggi dalam meningkatkan
efisiensi dan ketepatan perencanaan ritel dan pemasaran. Sejak 1960 metodologi yang
digunakan untuk penelitian lokasi outlet ritel telah menjadi lebih canggih sebagai
hasil dari prosedur pemodelan yang dihasilkan oleh SIG (Birkin, Clark dan Clark,
2002).
Untuk menganalisis struktur ruang kegiatan retail dengan data lokasi pada
skala mikro, sekarang banyak teknologi tersedia dan digunakan. Ini termasuk
penerapan metode seperti Probability Density Function (PDF), Decision Support
Systems (DSS), Spatial Interaksi Model, Jaringan Huff Model, Analisis Varians
(ANOVA) (Byrom, 2005),
2.3. Analisis Area Perdagangan
Menurut literatur yang tersedia, beberapa metode lain juga telah digunakan
untuk menggambarkan area ritail. Metode ini telah diklasifikasikan ke dalam kategori
10
berikut (1) Metode dasar atau sederhana untuk analisis Area perdagangan; (2)
Metode Gravitasi untuk analisis perdagangan.
2.3.1. Metode dasar atau sederhana untuk Analisis Wilayah Perdagangan
William Applebaum memelopori metode analog pada tahun 1932, untuk
mengembangkan peramalan model ritel sistematik yang didasarkan pada data
empiris. Metode ini biasanya digunakan oleh ritel dan konsultan perusahaan untuk
mengukur karakteristik kinerja toko yang ada dalam rangka untuk meramalkan
penjualan di lokasi baru (Rogers dan Green, 1979). Metode analog non-geografis dan
sering dilaksanakan oleh analisis regresi (Wang, 2006). Area proksimal adalah
metode pendekatan geografis untuk menggambarkan Area perdagangan. Metode ini
mengasumsikan bahwa konsumen memilih untuk mengunjungi toko terdekat di
antara outlet serupa (Ghosh dan McLafferty, 1987). Metode ini juga mengasumsikan
bahwa pelanggan juga mempertimbangkan jarak dan waktu perjalanan dalam
memilih sebuah toko. Setelah wilayah perdagangan didefinisikan, toko penjualan
dapat diproyeksikan dengan menganalisis variabel-variabel demografis dan kebiasaan
pengeluaran dari perspektif pelanggan (Wang, 2006). Dengan menggunakan teknik
SIG, area proksimal. Metode ini dapat dipelajari oleh dua pendekatan. Pendekatan
pertama adalah berbasis konsumen dan yang kedua adalah berbasis toko (Wang,
2006).
2.3.2. Metode Gravitasi Analisis Perdagangan
Pendekatan berbasis konsumen mencari lokasi toko terdekat dalam kaitannya
dengan konsumen. Pendekatan berbasis toko poligon Thiessen di setiap toko di untuk
11
menentukan area proksimal. Metode ini memperhitungkan pertimbangan jarak dan
waktu melakukan perjalanan menggambarkan ke area-area perdagangan. Metodologi
prediksi penjualan yang telah dikembangkan dan diterapkan yang
mempertimbangkan jarak (atau waktu) dan daya tarik toko (Reilly, 1931, dan
Converse, 1949). Salah satu teknik yang telah digunakan selama bertahun-tahun
untuk menggambarkan area perdagangan ritel-didasarkan pada hukum gravitasi ritail.
Hukum ini menetapkan hubungan antara dua kota berdasarkan populasi relatif
mereka dan jarak antara mereka (Reilly, 1929). Rumus statistik diterapkan untuk
membangun hubungan ini sebagaimana yang diberikan oleh Converse (1943):
The Distant (Jarak) dari B ke titik dari Area perdagangan ritail antara dua kota
Jarak dari Titik A ke B=
1 +Keterangan:
Α = kota pertama
Β = kota kedua
Hukum gravitasi ritel telah digunakan untuk menandai Area / zona yang outlet ritel .
2.4. Peramalan Lokasi Bisnis Ritail
Pengecer selalu mencari pertumbuhan dan perluasan pendapatan dan
keuntungan mereka. Untuk mencapai hal ini, mereka mengadopsi berbagai strategi
seperti membuka outlet baru, diversifikasi barang dan produk, meningkatkan upaya
pemasaran, dan lain-lain untuk meningkatkan cakupan pendapatan outlet yang ada
12
juga tergantung pada ukuran dan potensi ekonomi area geografis yang dilayani oleh
outlet. Kelengkapan penting outlet ritel adalah ruang orientasi pasar mereka (Ghosh
dan McLafferty, 1987). Setiap toko mungkin memiliki wilayah geografis dari mana
sebagian besar pelanggan berasal. Potensi pasar dari setiap toko ditentukan oleh pola
pengeluaran penduduk di wilayah perdagangan. Namun potensi pasar, tidak statis dan
dapat berubah dari waktu ke waktu karena perubahan dalam perkembangan ekonomi,
ukuran populasi, usia dan komposisi etnis dan indikator sosial-ekonomi (Ghosh dan
McLafferty, 1987). Oleh karena itu, pemahaman tentang orientasi pelanggan adalah
dasar di mana gerai ritel harus membuat keputusan target pasar mereka.
Ukuran populasi, dengan komposisi demografis, potensi dan pengeluaran
orientasi pelanggan harus berhubungan kompetitif dengan lingkungan suatu rantai
ritel. Tingkat dan kualitas kompetisi langsung adalah penilaian penting yang harus
dipertimbangkan dalam strategi lokasi toko (Mercurio, 1984). Peritel mengukur
tingkat persaingan oleh toko per kapita, ukuran luas per kapita serta tingkat
konsentrasi pangsa pasar, dan lain-lain.
Perkiraan atau proyeksi penjualan dapat dibuat untuk masa depan lokasi toko.
Suatu model gravitasi menggunakan tiga faktor utama seperti: ukuran dari toko, jarak
yang ditempuh untuk sampai ke penampung dan citra ritel toko berdasarkan produk,
aksesibilitas mudah, visibilitas, parkir, dan sebagainya (Mercurio, 1984). Salah satu
Kelengkapan yang menonjol dari revolusi ritel beberapa dekade terakhir telah
menjadi bebas dalam transformasi, keluarga-perusahaan untuk menjalankan skala
besar, dikelola secara profesional beberapa organisasi ritel (Dawson, 1991).
13
Seleksi lokasi ritel adalah aspek terpenting dari setiap bisnis. Proyeksi
penjualan yang akurat sering membantu untuk menentukan jumlah yang tepat untuk
berinvestasi untuk mendapatkan keuntungan maksimum. Untuk membuka bisnis ritel
memerlukan biaya perangkat keras, seperti real estat, konstruksi, peralatan, dekorasi
interior dan perabotan dan biaya perangkat lunak seperti zonasi, biaya profesional,
pelatihan personil dan relokasi harus dipertimbangkan.
Analisis Statistik atau model matematis juga telah digunakan untuk
memperkirakan toko penjualan masa depan. Perdagangan regional dan data yang
terkait dapat digunakan sebagai masukan untuk model-model ini untuk peramalan
penjualan. Tiga metode statistik utama yang digunakan adalah: (1) Model regresi, (2)
Model gravitasi, (3) Hukum Reilly.
Banyak konsultan real estate lebih suka model regresi. Volume Shoe
Corporation menggunakan empat jenis model regresi berganda untuk memprediksi
toko baru berdasarkan kuantitatif informasi yang diperoleh dari toko-toko yang ada.
Model ini berisi data demografis dari lokasi toko baru: kepadatan penduduk,
pendapatan rata-rata rumah tangga, persentase pendapatan rumah tangga menengah
dan rendah, data umur, pekerjaan, dan lain-lain (Wood, 1986).
Sebuah model regresi dapat diterapkan untuk keputusan penentuan lokasi
ritel, yang berhubungan dengan penjualan output (variabel dependen) untuk satu atau
lebih faktor (variabel independen) positif atau negatif yang berkaitan dengan
penjualan. Hasilnya bisa dibandingkan dengan toko serupa yang ada untuk
pembangunan masa depan bisnis ritel (Thompson, 1982).
14
2.5. Mengidentifikasi Area Perdagangan
Setiap pengecer mencari pertumbuhan dan perluasan bisnis. Pertumbuhan ini
dapat dicapai dengan baik untuk meningkatkan penjualan / pendapatan dari toko-toko
yang ada. Pendirian dan ekspansi dengan menambahkan lebih tempat penjulan.
Ekspansi fisik menjadi baru atau pasar yang sudah ada, sebuah analisis dan seleksi
wilayah geografis yang luas harus menjadi bagian penting. Proses pemilihan lokasi
untuk gerai ritel baru mengikuti suatu hierarki dari analisis makro di tingkat regional
dan pasar, Analisis area perdagangan dan akhirnya turun ke analisis mikro-lokasi
tertentu (Anderson, 1993).
Suatu wilayah geografis terdiri dari beberapa pasar, yang pada gilirannya
terdiri dari beberapa bidang perdagangan yang meliputi Area metropolitan, kota, dan
kota kecil. Dalam setiap Area Perdagangan mungkin ada beberapa lokasi potensial
untuk mendirikan gerai ritel. Masing-masing pasar regional mungkin menunjukkan
peluang ritel berbeda-beda. Jaringan ritail besar menyesuaikan strategi pemasaran
mereka agar sesuai dengan persyaratan pasar regional individu berdasarkan fisik,
geografis, konsumen, ekonomi dan karakteristik kompetitif (Anderson, 1993). Sebuah
pasar regional lebih lanjut terdiri dari pasar geografis beragam seperti Area
metropolitan, kota atau kota kecil. Pengecer harus terus menyadari analisis perubahan
batas-batas wilayah pasar dan perilaku pasar sebagai proses yang berkelanjutan.
Perubahan dalam batas wilayah pasar dapat ditimbulkan oleh lokasi pelanggan dan
karakteristik, modifikasi dalam lalu lintas utama arteri dan masuk kompetisi baru di
pasar, dan sebagainya (Huff dan Rust, 1984).
15
Area pasar kemudian dibagi lagi menjadi Area perdagangan yang berisi target
pasar populasi dari mana suatu outlet ritel tertentu menarik pelanggan. Sementara
melaksanakan analisis kawasan perdagangan ini, gerakan pelanggan didasarkan pada
titik asal (pemukiman atau Area kerja), lebih disukai tujuan ritel dan sifat dari outlet
dilewati dalam perjalanan mereka ke tujuan toko, harus dievaluasi. Analisis wilayah
perdagangan dilakukan berdasarkan geografi demografi, ekonomi, administrasi dan
karakteristik kompetitif yang berlaku diwilayah perdagangan.
Pemetaan yang ingin menggambarkan suatu fenomena tematik disebut
pemetaan tematik yang menghasilkan suatu peta yang disebut dengan Peta Tematik
(Bos, 1985). Fungsi suatu peta tidak hanya sekedar sebagai sesuatu penyajian grafis
tentang suatu fenomena/tema yang ada kaitannya dengan permukaan bumi, atau suatu
informasi yang sifatnya special (keruangan), tetapi dari peta akan dapat ditemukan
hal-hal yang sifatnya dapat memberikan daya tarik yang lebih kuat terhadap obyek
yang digambarkan, terutama apabila yang menyangkut masalah pola sebaran spasial
keruangan dan juga dapat memberikan gambaran yang sangat khas dan menonjolkan
sifat yang tersembunyi dibandingkan dengan cara-cara lain, misalnya dengan table
statistik dan lain sebagainya. Peta yang dihasilkan tidak hanya berfungsi sebagai alat
penyampaian informasi (display), tetapi lebih jauh lagi peta dapat digunakan sebagai
alat analisis, khususnya analisis keruangan.
Dalam hal analis tentang teori lokasi misalnya seperti yang dikemukaan oleh
Lloyd & Dicken (1978) bahwa location in space merupakan faktor penentu juga
dalam mempengaruhi aktifitas ekonomi. Demikian pula menurut Christaller (1975)
16
mengemukaan suatu teori yang disebut Central Place Theory yang menyebutkan
antara lain bahwa penduduk suatu lokasi yang produktif tertentu memerlukan
fasilitas-fasilitas untuk memenuhi kebutuhannya pada tempat-tempat yang lebih
menyenangkan dan menguntungkan.
2.6. Stasiun Pelayanan Bahan Bakar Umum (SPBU)
Satasium Pelayanan Bahan Bakar Umum (SPBU) merupakan sarana
Pelayanan bahan bakar kendaraan bermotor yang disediakan untuk pemenuhan
kebutuhan bahan bakar kendaraan bermotor masyarakat umum, dimana manajemen
pemasarannya ditangani oleh pemerintah pusat melalui Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah.
Ditinjau dari aspek peruntukannya, SPBU yang dimaksud dalam penelitian ini
dalah SPBU yang menyediakan bahan bakar kendaraan bermotor untuk masyarakat
umum, dan bukan SPBK (Stasiun Pelayanan Bahan Bakar Khusus), yakni sarana
Pelayanan bahan bakar minyak untuk kendaraan bermotor dari instansi-instansi
tertentu, seperti TNI dan Polri.
SPBU merupakan salah satu infrastruktur wilayah yang sangat diperlukan
dalam menggerakkan sosial, ekonomi masyarakat. Karena hingga saat ini bahan
bakar minyak dari sumnber fosil masih menjadi andalan utama dalam memenuhi
kebutuhan energi bagi kehidupan manusia. Perkembangan kehidupan manusia baik
secara kualitatif maupun kuantitatif telah memicu peningkatan akan kebutuhan BBM
(Bahan Bakar Minyak) yang terus meningkat secara tajam dan bahkan konsumsi
17
BBM hampir tidak seimbang dengan peningkatan produksi dan distribusi. Akibatnya
pada beberap decade kita pernah didapkan adanya krisis energi.
Seiring dengan kebijakan pemerintah akan perdagangan bebas dan otonomi
daerah, bisnis usaha SPBU telah dibuka lebar untuk siapa saja. Dengan demikian
persaingan bisnis BBM menjadi sangat keras, dan menjurus pada kecenderungan
persaingan yang tidak sehat. Sebagai contoh, banyak SPBU yang berdiri saling
berdekatan beberapa puluh meter satu dengan yang lain, dalam satu poros jalan yang
sama. Dalam konteks ini, aspek pemilihan lokasi yang strategis baik dari sisi
ekonomi, sosial, lingkungan, maupun aspek manajemen lalu-lintas, kurang menjadi
perhatian para pembisnis SPBU, yang penting mereka dapat tempat untuk berbisnis.
Sementara itu, persayaratan perijinan pendirian usaha bisnis SPBU oleh PT.
Pertamina relatif sederhana, lebih menekankan pada aspek-aspek administratif
kelayakan usaha, seperti antara lain: Persyaratan permohonan ijin SPBU (http://www.
pertamina.com/spbu/)
1. Foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik/pimpinan badan usaha;2. Biodata perusahaan/akta pendirian perusahaan (untuk badan usaha);3. Lay out bangunan SPBU dan konfigurasi SPBU yang akan dibangun;4. Peta lokasi skala 1:10.000 atau lebih besar, dan peta topografi/rupa bumi skala
1:25.000 yang memperlihatkan titik lokasi rencana pendirian SPBU;5. Data kapasitas penyimpanan dan perkiraan penyaluran BBM;6. Data inventarisasi perlatan dan fasilitas yang dipergunakan;7. Rekomendasai dari penyedia BBM yang ditunjuk/diakui oleh Pemerintah
dilampiri dengan salinan/copy kontrak;8. Foto copy ijin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) sesuai dengan skala
kegiatan;9. Foto copy ijin gangguan (HO);10. Foto copy Ijin Mendirikan Bangunan (IMB);11. Bukti pengesahan meter pompa SPBU dari instansi yang berwenang;12. Foto copy ijin timbun tangki dari instansi yang berwenang;
18
13. Dokumen pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan skala kegiatan.14. Fotokopi surat izin pembangunan SPBU dari Jasamarga (khusus bagi
pendaftar yang memiliki lokasi di jalan tol).15. Nama Kelurahan di sertifikat tanah harus sesuai dengan lokasi pendirian
SPBU yang didaftarkan.
Tabel 2.1. Persyaratan Ijin Pendirian SPBUTata Letak Lokasi Keterangan
Lokasi umum lahan Posisi lahan yang akan digunakanLokasi lahan Peruntukan daerah tempat lahan beradaBentuk lahan Bentuk lahan secara fisik
Tipe lahan
Lahan kosong: Tidak pernah dipergunakan untuk bangunansebelumnyaTidak ada perkerasan /perkerasan tanah: Tanah belumdiratakan dengan permukaan jalan dan belum dipadatkanPerkerasan aspal /batu : Lahan sudah diratakan denganpermukaan jalan dan dipadatkan dengan aspal atau batuLahan bekas pemanfaatan tertentu: Lahan pernah digunakanuntuk peruntukan lain sebelumnya
Posisi lahan Posisi lahan terhadap jalanBatas lokasi lahan Batas lokasi lahan dari depan, belakang, kanan dan kiriLebar akses jalan Lebar akses jalan yang terletak di depan lahanJumlah lajur jalan Jumlah lajur jalan di depan lahanPembatas jalan Keberadaan pembatas/median jalan yang terletak di depan
lahanJumlah arah Jumlah arah jalan yang melintas di depan lahan ( satu arah
atau dua arah )Permukaan jalan Jenis permukaan jalan yang menutupi jalan di depan lahanKondisi jalan Kondisi jalan di sekitar lahanTopografi lahan Keadaan topografi lahan ( kemiringan, kontur, dsb )Jarak dengan SPBU lain Jarak terdekat dengan SPBU lainJumlah kendaraan / jam Banyaknya kendaraan yang melintas di depan lahan persatuan
jamStatus jalan Status lahan di sekitar lahanTingkat perjalanan Volume kendaraan yang lewatKecepatan pengguna jalan Kecepatan rata-rata pengendara jalan yang melewati lahan
Sumber: Kantor PT. Pertamina (Persero), 2009
19
Adapun persyaratan secara teknis yang terkait dengan lokasi yang akan
diusulkan sebagai tempat mendirikan SPBU sebagai mana Tabel 2.1. Jika dicermati
dari persyaratan pendirian usaha SPBU yang dikeluarkan oleh PT. Pertamina
(Persero) tersebut tampak bahwa aspek sebaran secara spasial di antara usaha SPBU
pada suatu wilayah tidaklah menjadi pertimbangan utama. Fenomena tersebut
kemudian memunculkan sejumlah persoalan, yakni di satu wilayah jumlah SPBU
menggerombol dengan jarak/radius yang relatif berdekatan, sehingga berdampak
pada persaingan usaha yang kurang sehat. Namun sebaliknya pada suatu wilayah
tertentu jumlah SPBU yang ada relatif terbatas, sehingga konsumen pada saat-saat
tertentu harus mengantri untuk mendapatkan pelayanan bahan bakar.
2.7. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Lokasi Bisnis SPBU
Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap lokasi bisnis SPBU, yaitu:
(1) faktor fisik lahan, merupakan faktor penting dalam memilih lokasi SPBU, karena
faktor fisik lahan berkaitan langsung dengan dampak lingkungan. Lingkungan fisik
lahan seperti tingkat stabilitas tanah/tingkat kerawanan bencana/longsor lahan,
penggunaan lahan, drainase tanah; (2) faktor sosial ekonomi, yakni yang terkait
dengan tingkat kepadatan penduduk, sebaran penduduk pada suatu wilayah, jumlah
dan jenis kendaraan bermotor yang terdapat di wilayah sekitar, jarak SPBU dengan
pusat-pusat kegiatan masyarakat; jarak antar SPBU yang terdekat; (3) manejemen
lalu-lintas, pengaturan sistem lalu-lintas suatu daerah sangat mempengaruhi tingkat
keamanan dan kenyamanan dan berkendaraan bermotor. Penempatan lokasi bangunan
20
SPBU tidak berdekatan dengan titik-tik kemacetan, seperti pasar, sekolahan,
perempatan/pertigaan jalan, status/kelas jalan.
2.8. Pola Pertumbuhan Sebaran SPBU
Menurut Teori Sektor dari Hoyt (Yunus, 2008; Banowati, 2010) kunci
terhadap peletakan sektor adalah pada lokasi dari pada “high quality areas” (daerah-
daera yang berkualitas tinggi untuk tempat tinggal). Kecenderungan penduduk untuk
bertempat tinggal adalah daerah-daerah yang dianggap “nyaman” dalam arti luas.
Nyaman dapat diartikan dengan kemudahan-kemudahan terhadap fasilitas, kondisi
lingkungan baik alami maupun non alami yang bersih dari polusi baik fisikal maupun
non fisikal, prestise yang tinggi karena dekat dengan tempat tinggal orang-orang
terpandang dan lain sebagainya. Dengan demikian seperti dikemukakan dalam tesis
Hoyt bahwa:
“sector arranements do not skip about at random in the process ofdevelopment but they follow a definitie path in one or more sectors in the city.The are axtended outward along communications axes that are producingsectors they do not encircle the city at its outer limits”
Berdasarkan kalimat tersebut dapat disimpulkan bahwa sektor yang ada di kota tidak
terjadi secara acak-acakan saja tetapi selalu mengikuti jalur tertentu, khususnya jalur
komunikasi dan bukannya melingkar. Berikut adalah Model Teori Sektor (Homer
Hoyt, dalam Banowati, 2010),
21
Gambar 2.1 Model Teori Sektor (Homer Hoyt)
Keterangan:
1. Daerah pusat kegiatan (DPK) atau CBD
2. Zone of wholesale light manufacturing
3. Zona Permukiman kelas rendah
4. Zona permukiman kelas menengah
5. Zona permukiman kelas tinggi
Dalam konteks dengan penelitian ini, teori yang dikemukakan oleh Hoyt ini
kiranya dapat digunakan sebagai landasan teori dalam melakukan penjelasan tentang
pola sebaran lokasi SPBU pada wilayah Kota Semarang.
2.9. Kerangka Pemikiran
Melakukan evaluasi yang bertitik tolak dari konsep Christaller tersebut tidak
mudah dilakukan tanpa data data yang memadai. Sebaran spasial lokasi SPBU mudah
dilihat dan mudah dipahami pola penyebarannya melalui peta sebaran spasial, yang
sejauh ini belum banyak mendapat perhatian dari para pemangku kepentingan
22
(stakeholder), terutama dalam pembangunan data spasial yang berbasis SIG. Selain
peta pokok yang perlu dipersiapkan yaitu peta lokasi SPBU dengan tambahan
informasi penting seperti kemampuan kapasitas volumenya dan kemampuan
pemasarannya, juga peta-peta pendukung utama khususnya peta kepadatan penduduk
per kecamatan, peta jumlah kendaraan bermontor di Wilayah Kota Semarang.
Mengingat penelitian yang akan dilakukan mencakup seluruh wilayah Kota
Semarang yang relatif jauh lebih rumit dibandingkan kabupaten/kota lainnya, maka
pemetaan lokasi sebaran spasial SPBU dilakukan pada skala yang relatif besar, yakni
skala 1 : 25.000. Adapun peta yang digunakan sebagai dasar untuk penelitian ini
adalah Peta Rupabumi Indonesia (RBI) skala 1 : 25.000 yang diterbitkan oleh
Bakosurtanal. Selain itu, untuk validasi data spasial terkini, digunakan citra satelit
Quickbird yang memiliki resolusi cukup tinggi, yaitu 0,65 meter.
23
Gambar 2.2. Diagram Kerangka Pemikiran Penelitian parameterAnalisis*Alat Interpretasi
ANALISISoDeskriptif kuantitatifo Sistem Informasi Geografis
EVALUASI KELAS KESESUAIANLOKASI SPBU
o Parameter: sosial ekonomi (jarak antar SPBU,rasio jumlah SPBU&kend.bermotor)
o Parameter: manajemen lalu-lintas (jarak SPBUdengan titik macet, nilai tingkat pelayanan jalan(LOS)
ANALISISoDeskriptif kuantitatifo Sistem Informasi Geografis
DATA SPASIALo Peta Administrasio Peta Jaringan Jalano Peta Kepadatan Penduduko Peta Jumlah&Jenis Kend.Bermotoro Peta Sebaran Permukiman
DATA ATRIBUToData KependudukanoData Jumlah & Jenis Kend.BermotoroData Jumlah SPBUoData Lokasi/alamat SPBUoData Kepadatan lalu-lintas jalan
Input
Proses
PETA KELASSEBARAN SPASIAL SPBU
DI KOTA SEMARANG
Output
24
BAB IIIMETODE PENELITIAN
3.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah SPBU yang berada di wilayah Kota
Semarang. Berdasarkan data dari Kantor PT. Pertamina unit pemasaran IV ada
sejumlah 60 buah, yang tersebar di 16 Kecamatan yang ada di Kota Semarang.
Jumlah dan sebaran SPBU Kota Semarang tahun 2010 tercantum pada Tabel 3.1
(Lampiran, hal. 78).
3.2 Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah SPBU di wilayah Kota Semarang yang
berjumlah 60 buah SPBU, tersebar di 16 kecamatan. Kesemua SPBU tersebut
dijadikan sebagai sampel atau dengan menggunakan teknik total sampling. Setiap
SPBU dilakukan pengamatan dan pengukuran lokasi dengan GPS (Global
Positioning System) untuk mengetahui posisi absolut lokasi SPBU. Melalui data
tersebut dapat diketahui jarak antar SPBU terdekat.
Adapun dasar pertimbangan untuk memperoleh data spasial sebaran lokasi
SPBU di Kota Semarang didasarkan pada dua aspek, yaitu (1) jumlah SPBU dalam
satu koridor jalan yang sama; (2) jarak terdekat antar SPBU satu dengan yang lain.
Kedua data tersebut diperoleh dari hasil pengamatan lapangan, pengukuran titik
lokasi dengan GPS.
25
3.3 Variabel Penelitian
Berdasarkan kajian pustaka di muka, maka variabel dalam penelitian ini
terdiri dari,
1. Jumlah SPBU
2. Jarak terdekat antar SPBU
3. Lokasi absolute (koordinat X & Y) SPBU
4. Lokasi relatif (berdasarkan administrasi)
5. Tingkat kepadatan lalu-lintas
6. Tingkat kepadatan penduduk per kecataman
7. Jumlah dan Jenis kendaraan bermotor per kecamatan
3.4. Teknik Pengumpulan Data
1. Pengamatan
Teknik pengamatan digunakan untuk mendapatkan gambaran awal atau situasi
umum dari sebaran lokasi SPBU, yakni berkenaan dengan alamat lokasi SPBU,
kondisi lingkungan SPBU. Pengamatan terutama difokuskan pada jarak terdekat
SPBU terhadap pusat-pusat kegiatan seperti pasar, sekolah, perkantoran dan
pusat industri/pabrik, dan persimpangan jalan.
2. Teknik Dokumentasi
Teknik dokumentasi digunakan untuk mendapatkan data tentang: (1) Alamat dan
nomor registrasi SPBU yang diperoleh di Kantor PT. Pertamina UP IV
Semarang; (2) jumlah dan jenis kendaraan bermotor, volume kepadatan lalu-
lintas pada jalan-jalan di wilayah Kota Semarang. Data ini diperoleh di Kantor
26
Dinas Perhubungan dan Informasi Komunikasi Kota Semarang. Selain itu,
digunakan juga untuk mendapatkan (3) data kependudukan dan data jumlah dan
jenis kendaraan bermotor pada setiap kecamatan. Data tersebut diperoleh dari
Badan Pusat Statistik Kota Semarang.
3. Pengukuran Lapangan
Teknik pengukuran lapangan ini digunakan untuk mengumpulkan data tentang
lokasi (koordinat X-Y) dari setiap SPBU yang ada di wilayah Kota Semarang.
Alat yang digunakan untuk menentukan koordinat lokasi SPBU adalah GPS
(Global Positioning System). Di samping data koordinat lokasi, peneliti juga
melakukan pengamatan tentang kondisi fisik SPBU yang ada, dengan cara
merekam/memfoto setiap SPBU.
4. Geocoding
Teknik ini digunakan untuk mengkonversi alamat ke lokasi titik tertentu di
jaringan jalan berdasarkan lokasi dari alamat sebagaimana ditetapkan dalam data
referensi informasi jalan. Mempertimbangkan berbagai jenis parameter alamat
yang dapat melakukan Geocoding untuk mencocokkan nomor SPBU dan nomor
jalan dalam database. Dalam studi ini SPBU telah geocode menggunakan alamat
jalan masing-masing. Geocoding menggabungkan informasi peta dengan alamat
jalan sehingga titik dapat berada pada peta dasar untuk setiap sesuai alamat.
5. Wawancara
Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data-data pendukung, terutama data
tentang jumlah konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk setiap jenis
27
kendaraan bermotor. Dari teknik ini diperoleh data tentang konsumsi BBM tiap
jenis kendaraan bermotor dalam satuan liter perhari (l/hr). Data diperoleh
dengan cara teknik incidental sampling, yaitu peneliti langsung menemui sopir
motor (tidak memilih) yang pada saat berhenti dijalan sedang mengendarai
kendaraan bermotor ditanya tentang rata-rata jumlah BBM yang dikonsumsi oleh
kendaraannya dalam satu hari.
Dalam pengumpulan data ini, dilakukan klasifikasi jenis kendaraan bermotor
menjadi 6 (enam) kelompok kendaraan bermotor, yaitu jenis bus, truk, taksi,
oplet/mikrolet, mobil dinas/pribadi, dan sepeda motor.
3.5 Teknik Analisis Data
1. Teknik analisis SIG
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi peta
yang diintegrasikan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Data-data titik-
titik lokasi SPBU yang diperoleh dari lapangan dianalisis secara spasial dengan
menggunakan peta dan citra satelit quickbird (sebagai bantuan validasi data),
Model analisis yang digunakan adalah: (1) analisis pola spasial; dan (2) analisis
asosiasi spasial. Dalam proses pengerjaan kedua model analisis spasial tersebut
akan menggunakan Software Arc/View versi 3.3.
28
2. Teknik analisis deskriptif kuantitatif
Analisis deskriptif kuantitatif digunakan, terutama untuk memberikan
penjelasan-penjelasan dari fenomena yang muncul dari analisis spasial. Teknik
analisis deskriptif kuantitatif yang digunakan adalah model pengharkatan
(scoring). Teknik ini digunakan untuk untuk melakukan evaluasi kesesuaian
lokasi SPBU.
Tolok ukur untuk suatu lokasi yang sesuai untuk SPBU dapat didasarkan oleh
beberapa faktor, antara lain: faktor fisik lahan; faktor sosial ekonomi penduduk
sekitar; dan faktor manajemen lalu lintas. Namun dalam penelitian ini hanya
dibatasi pada dua faktor, yaitu faktor sosial ekonomi, dan faktor manajemen lalu
lintas, karena pertimbangan keterbatasan biaya dan waktu.
1) Faktor Sosial Ekonomi
Parameter yang digunakan untuk aspek sosial ekonomi adalah: (1) jarak radius
antar SPBU yang ada pada jalan yang sama; (2) rasio jumlah SPBU dengan
jumlah kendaraan bermotor yang ada di wilayah kecamatan. Asumsi dasar yang
digunakan adalah bahwa semakin dekat jarak lokasi antar SPBU, maka semakin
meningkatkan persaingan yang tidak sehat, demikian sebaliknya semakin jauh
jarak lokasi antar SPBU persaingan menjadi semakin sehat. Sedangkan untuk
rasio antara jumlah kendaraan pada suatu wilayah dengan ketersediaan fasilitas
SPBU, diasumsikan bahwa jumlah kendaraan bermotor seharusnya sebanding
dengan kebutuhan BBM, dalam arti ketersediaan SPBU yang memadai, sehingga
29
kebutuhan BBM menjadi tercukupi. Berikut Tabel 3.1 dan Tabel 3.2, disajikan
criteria dan harkat tentang ‘jarak’ dan ‘rasio SPBU’
Tabel 3.1. Jarak Antar SPBU TerdekatNo. Kelas Jarak Kriteria Harkat
1 > 1 km Sangat jauh 52 0.75 km - < 1 km Jauh 43 0.5 km - < 0.75 km Sedang 34 0.25 km - < 0.5 km Rendah 25 < 0.25 km Sangat rendah 1
Sumber : Asumsi dari data primer 2010
Dimana semakin berdekatan lokasi SPBU satu dengan yang lain, maka tingkat
persaingan menjadi semakin tinggi. Jika salah satu dari pengusaha SPBU tidak
mampu dalam bersaing, maka bisa terjadi kerugian, kebangkrutan usaha, dan
pada akhirnya terjadi penutupan usaha.
Tabel 3.2. Rasio Jumlah SPBU dengan JumlahKendaraan Bermotor Dalam Kecamatan
No. Kelas Ratio Harkat1 0.074 - 0.092 Sangat tinggi 52 0.056 - < 0.074 Tinggi 43 0.039 - < 0.056 Sedang 34 0.021 - < 0.039 Rendah 25 0.003 - < 0.021 Sangat Rendah 1
Sumber: Asumsi dari data primer 2010
2) Faktor Manajemen Lalu-lintas
Parameter untuk faktor manajemen lalu-lintas adalah: (1) jarak SPBU dengan
titik kemacetan (pasar, terminal, obyek wisata, sekolahan, perempatan jalan); (2)
nilai tingkat pelayanan jalan (Level of Service=LOS); (3) status jalan. Asumsi
30
dasar yang digunakan adalah (1) semakin dekat lokasi SPBU dengan titik
kemacetan, maka akan semakin rendah tingkat kualitas pelayanannya, karena
para konsumen dan pengguna jalan menjadi kurang nyaman; (2) nilai tingkat
pelayanan jalan yang semakin tinggi akan membuat pengguna jalan menjadi
lebih nyaman; (3) tinggi rendahnya status jalan akan berpengaruh terhadap tinggi
rendahnya kebutuhan akan pelayanan SPBU, dimana semakin tinggi status jalan
maka tingkat kepadatan lalu lintas semakin tinggi.
Adapun kriteria dan pengharkatan “manajemen lalu lintas tercantum pada Tabel
3.3, Tabel 3.4, dan Tabel 3.5 .
Tabel 3.3. Harkat Jarak SPBU Dengan Titik MacetNo. Kelas Kriteria Harkat
1 > 1 km Sangat jauh 52 0.50 km - < 1 km Jauh 43 0.25 km - < 0.50 km Sedang 34 0.15 km - < 0.25 km Dekat 25 < 0.15 km Sangat dekat 1
Sumber: Asumsi analisis data primer 2010
Tabel 3.4. Harkat Tingkat Pelayanan/Kepadatan Lalu-Lintas JalanNo. LOS (smp/jam) Kriteria Harkat Ciri-Ciri Arus Lalu-Lintas
1 0.0 - 0.19 A 5arus bebas, volume rendah, kecepatantinggi, kepadatan lalu-lintas rendah
2 0.20 - 0.44 B 4arus setabil, mulai ada pembatasankecepatan
arus mendekati tidak stabil, kecepatanmulai terganggu oleh kondisi jalan
kondisi jalan5 0.85 - 1.00 E 1 terjadi kemacetan lalu-lintas
6 Lebih dari 1.00 F 1 sering terjadi kemacetan dan antrianpanjang, kecepatan kadang-kadang nol
Sumber : Traffic survey (Dishubinfo Kota Semarang, 2008)
31
Keterangan: LOS = Level of Service (Tingkat Pelayanan) smp/jam = satuan mobil penumpang/jam
Sementara itu, untuk mendapatkan nilai/jarak digunakan analisis SIG, yaitu
dengan menggunakan peta-peta berbasis SIG, yang memiliki database dari semua
informasi spasial yang tergambar.
Tabel 3.5. Status JalanNo. Status Jalan Kriteria Harkat1 Nasional Sangat tinggi 52 Provinsi Tinggi 43 Kota/Kabupaten Sedang 34 Kecamatan Rendah 25 Desa Sangat rendah 1
Sumber : Dishubinfo Kota Semarang
Berdasarkan atas kriteria pengharkatan (Tabel 3.1; 3.2; 3.3; 3.4; dan 3.5) di
muka, selanjutnya disusun faktor pembobot untuk tiap parameter dengan cara sebagai
berikut,
Tabel 3.6. Faktor Pembobot Tiap Parameter
No. Faktor yang berpengaruh Faktor pembobot(weight factor)
1 Jarak antar SPBU yang ada 42 Rasio jumlah SPBU dengan jumlah kendaraan
bermotor3
3 Jarak SPBU dengan titik macet 24 Tingkat kepadatan lalu-lintas 15 Status jalan 1
Sumber: Asumsi data lapangan
32
(Harkat A x pembobot A)+(Harkat B x pembobt B) + …nHarkat Total =
Harkat faktor pembatas x pembobot
Selanjutnya untuk memperoleh harkat total hasil perhitungan dari semua
parameter (Tabel 3.7) dan dengan memperhatikan faktor pembobot untuk masing-
masing faktor, maka dapat diperoleh hasil sebagai berikut:
Sumber : Traffic survey (Dishubinfo Kota Semarang, 2008)
Berdasarkan rumus tersebut diperoleh harkat total sebesar:
(5x4)+(5x3)+(5x2)+(5x1)Harkat total terbesar =
(1x2)= 25
(1x4)+(1x3)+(1x2)+(1x1)Harkat total terkecil =
5x2= 1
Setelah diperoleh harkat total tertinggi dan total terendah maka dapat ditentukan
interval kelas klasifikasi kesesuaian lokasi SPBU. Interval kelas tersebut dapat
ditentukan dengan rumus,
25 – 1Interval kelas = = 6
4
Harkat total faktor pendukungHarkat Total =
Harkat total faktor pembatas
Harkat total tertinggi – Harkat total terendahInterval kelas =
Jumlah kelas yang diinginkan
33
Selanjutnya setelah diperoleh perhitungan tersebut maka dapat ditentukan kelas
klasifikasi Tingkat Kesesuaian Lokasi SPBU sebagai berikut,
Tabel 3.7. Kelas Kesesuaian Lokasi SPBU
Kelas Kiteria Keterangan Harkat Total
S1 Sangat sesuai Merupakan lokasi yang sangat me-nguntungkan baik secara ekonomimaupun kenyamanan konsumen
19 - 25
S2 Sesuai Lokasi yang menguntungkan secaraekonomi dan konsumen cukupnyaman
13 - < 19
S3 Kurang sesuai Lokasi kurang menguntungkansecara ekonomi dan kurang nyamanbagi konsumen
7 - < 13
N Tidak sesuai Lokasi yang tidak menguntungkansecara ekonomi maupun kenyamanankonsumen
< 7 -
Sumber: Traffic Survey, 2008 dengan modifikasi peneliti, 2010
34
Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian
validasi
Pengharkatan
Surve LokasiSPBU (GPS)
Pengumpulan data penduduk data SPBU data jenis&
jumlah kenda-raan bermotor
data kepadatan/volume kenda-raan bermotor
Jarak terdekatantar SPBU
Analisis SIG
PETA KELAS SEBARANSPASIAL SPBU
DI KOTA SEMARANG
Peta RBI skala1:25000
tahun 2000
Citra SatelitQuickbird tahun
2006
Peta Administrasiskala 1:100.000
Peta Jaringan Jalanskala :100.000
Digiitasi Petaon screen
Overlay(Tumpangsusun)
Peta WilayahKota Semarangskala 1:100.000
Peta Kpdt PenddkKota Semarangskala 1:100.000
Peta Sebaran LokasiSPBU Kota Semarang
skala 1:100.000
Peta Jml Kend.bermotorKota Semarang
skala 1:100.000
35
BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Deskripsi Wilayah Penelitian
4.1.1.1. Letak dan Luas Daerah Penelitian
Kota Semarang secra geografis, terletak diantara 1090 35’ – 1100 50 ‘ BT
dan 60 50’ – 70 10’ Lintang selatan. Luas wilayah 388.23 km2. dengan batas-batas
administrasi sebagai berikut: sebelah utara berbatasan laut Jawa, sebelah selatan
berbatasan Kabupaten Semarang, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten
Demak dan Kabupaten Grobogan, sebelah barat berbatasan Kabupaten Kendal.
Kota Semarang terdiri dari 16 wilayah kecamatan, dengan luas 388,23 km2.
10 Candisari 7,06 1,8211 Gajahmungkur 9,53 2,4612 Ngaliyan 43,87 11,3113 Semarang Barat 22,21 5,7314 Semarang Utara 11,44 2,9515 Semarang Selatan 6,16 1,5916 Semarang Tengah 5,03 1,21
J U M L A H 388,23 100Sumber: BPS Kota Semarang, 2009
36
Secara keruangan wilayah kota Semarang, dapat dilihat pada Gambar 4.1.berikut ini.
4.1.1.2. Kondisi Topografi dan Geomorfologi
Menurut Zaidam (1979) dalam Maulana (2006), relief yang terdapat
di muka bumi ditentukan oleh keadaan topografi (bagian dari lereng dan
ketinggian tempat), keadaan morfologi (kemiringan, lereng, panjang lereng,
bentuk lereng, dan bentuk lembah) dan aspek relief lainnya (hubungan
antar unit relief- kemiringan-perbedaan tinggi tempat, kepadatan drainase
dan pola drainase), dimana ketiga faktor tersebut yang mempengaruhi bentuk
permukaan bumi. Kondisi topografi tersebut juga berpengaruh terhadap
pola sebaran permukiman penduduk dan pola sebaran unit-unit usaha
bisnis. Lebih jelasnya mengenai hubungan antar unit relief, kemiringan lereng
dan perbedaan tinggi tempat dapat dilihat pada Tabel 4.2 sebagai berikut.
Tabel 4.2 Hubungan Antar Unit Relief, Kemiringan Lereng, danPerbedaan Tinggi Tempat di Wilayah Penelitian
No. Kondisi Topografi KemiringaanLereng
PerbedaanKetinggian
1 Topografi datar 0-2% <5 m
2 Topografi agak miring 3-7% 5 - 50
3 Topografi miring 8-13% 25-754 Topografi agak curam 14-20% 50-200
5 Topografi curam 21-55% 200-500
6 Topografi sangat curam 56-140% 500-10007 Topografi sangat curam
sekali >140% >1000
Sumber : Zuidam, 1979
37
Gambar 4.1. Peta Administrasi Kota Semarang
Peta Administrasi
38
Kondisi topografi wilayah Kota Semarang bervariasi dari datar hingga sangat
curam. Di bagian utara memiliki permukaan yang relatif datar dengan
kemiringan antara 0% - 2% memanjang dari Barat ke Timur. Di bagian tengah
memiliki kemiringan antara 3% - 13%, dan beberapa kawasan di sebelah selatan
seperti disepanjang perbukitan Kaligarang, kali Kripik, Lereng Gombel, Gunung
Sureng, Gunung Dua Gogor dan sepanjang perbukitan dari Kecamatan Ngaliyan,
Mijen, Banyumanik, Tembalang dan Gunungpati umumnya kemiringannya lebih
dari 14%. Menurut keadaan kemiringan lereng, 37,07 % dari luas wilayah
Kota Semarang terletak pada kemiringan 0–2% yaitu merupakan relief datar,
39,19% terletak pada kemiringan 3-13 % merupakan daerah relief agak
miring sampai miring, dan 23,74% terletak pada kemiringan lebih dari 14%
yang merupakan daerah relief agak curam sampai sangat curam.
4.1.1.3. Kondisi Kependudukan
Penduduk merupakan sumberdaya yang mempunyai peranan yang
sangat penting dalam proses pembangunan baik sebagai subyek/pelaku
pembangunan maupun sebagai obyek pembangunan. Kondisi sumberdaya
manusia sangat menentukan pola kehidupan masyarakat. Kondisi demografi
yang akan dibahas dalam sub bab ini yaitu mengenai pertambahan
penduduk dan kepadatan penduduk serta komposisi penduduk umur dan jenis
kelamin.
Hubungan jumlah dan kepadatan penduduk dengan kebutuhan sarana
39
infrastruktur wilayah, seperti sarana jalan, listrik, telepon dan kebutuhan bahan
bakar minyak (SPBU), dan lain-lain. Dimana semakin tinggi jumlah dan tingkat
kepadatan penduduk di suatu wilayah, maka diasumsikan semakin besar tingkat
kebutuhan infrastruktur wilayah. Ditinjau dari a s p e k persebaran p e n d u d u k
baik dari jumlah, pertumbuhan, maupun kepadatan, penduduk Kota
Semarang sangat bervariasi, hal ini sebagaimana tercantum pada Tabel 4.3
dan Peta Kepadatan Penduduk Kota Semarang yang disajikan dalam Gambar
Peta 4.2.
Pertumbuhan penduduk di suatu daerah dipengaruhi oleh besarnya
kelahiran, kematian, dan migrasi penduduk. Jumlah penduduk akan bertambah
jika penduduk yang lahir dan datang bertambah, sebaliknya penduduk akan
berkurang apabila penduduk yang yang meninggal atau berpindah ke daerah lain
bertambah. Pertumbuhan penduduk Kota Semarang terjadi baik secara alami
maupun migrasi.
Berdasarkan dari Tabel 4.3 besarnya jumlah penduduk di Kota Semarang
dari tahun 2004 hingga tahun 2008 sebanyak 1.481.640 jiwa. Ditinjau dari
besarnya pertumbuhan penduduk dari tahun 2004 hingga tahun 2008 adalah
0,92% pertahun. Luas seluruh wilayah Kota Semarang sebesar 373,7 Km², dan
rata-rata kepadatan penduduk geografis wilayah adalah 3.965 jiwa/Km². Jika
dilihat, distribusi penduduk Kota Semarang tidak menyebar secara merata. Hal ini
mengindikasikan terjadinya konsentrasi penduduk disuatu daerah.
40
Tabel.4.3. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Semarang
10 Gayamsari 4 8.790 32.61611 Semarang Timur 3 5.984 23.93012 Semarang Utara 3 17.369 70.23613 Semarang Tengah 4 9.775 34.83814 Semarang Barat 5 43.587 163.10515 Tugu 5 1.419 5.44416 Ngaliyan 1 12.897 55.378
Jumlah 60 171.491 661.641Sumber: Hasil Penelitian lapangan. 2010
59
Gambar 4.6. Grafik Perbandingan Jumlah SPBU, Populasi Kendaraan Bermotor dan AsumsiKebutuhan BBM
4.1.3. Evaluasi Kesesuaian Lokasi Sebaran SPBU di Kota Semarang
Untuk menilai kelas kesesuaian lokasi sebaran SPBU di Kota Semarang
dalam penelitian ini didasarkan pada dua aspek, yaitu: (1) aspek sosial ekonomi,
dengan tolok ukur (a) jarak radius antar SPBU terdekat dan (b) rasio jumlah SPBU
dengan jumlah kendaraan bermotor yang terdapat pada setiap kecamatan; dan (2)
aspek manajemen lalu-lintas dengan tolok ukur (a) jarak SPBU dengan titik
kemacetan, (b) nilai tingkat pelayanan jalan (LOS).
4.1.3.1 Aspek Sosial Ekonomi
Aspek sosial eknomi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah meliputi
(1) jarak radius antar SPBU terdekat yang ada pada jalur jalan yang sama, (2) rasio
jumlah SPBU dengan jumlah kendaraan bermotor yang terdapat pada setiap
kecamatan.
020,00040,00060,00080,000
100,000120,000140,000160,000180,000
59
Gambar 4.6. Grafik Perbandingan Jumlah SPBU, Populasi Kendaraan Bermotor dan AsumsiKebutuhan BBM
4.1.3. Evaluasi Kesesuaian Lokasi Sebaran SPBU di Kota Semarang
Untuk menilai kelas kesesuaian lokasi sebaran SPBU di Kota Semarang
dalam penelitian ini didasarkan pada dua aspek, yaitu: (1) aspek sosial ekonomi,
dengan tolok ukur (a) jarak radius antar SPBU terdekat dan (b) rasio jumlah SPBU
dengan jumlah kendaraan bermotor yang terdapat pada setiap kecamatan; dan (2)
aspek manajemen lalu-lintas dengan tolok ukur (a) jarak SPBU dengan titik
kemacetan, (b) nilai tingkat pelayanan jalan (LOS).
4.1.3.1 Aspek Sosial Ekonomi
Aspek sosial eknomi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah meliputi
(1) jarak radius antar SPBU terdekat yang ada pada jalur jalan yang sama, (2) rasio
jumlah SPBU dengan jumlah kendaraan bermotor yang terdapat pada setiap
kecamatan.
Populasi KendaraanBermotor
Asumsi KebutuhanBBM(l/hr)
59
Gambar 4.6. Grafik Perbandingan Jumlah SPBU, Populasi Kendaraan Bermotor dan AsumsiKebutuhan BBM
4.1.3. Evaluasi Kesesuaian Lokasi Sebaran SPBU di Kota Semarang
Untuk menilai kelas kesesuaian lokasi sebaran SPBU di Kota Semarang
dalam penelitian ini didasarkan pada dua aspek, yaitu: (1) aspek sosial ekonomi,
dengan tolok ukur (a) jarak radius antar SPBU terdekat dan (b) rasio jumlah SPBU
dengan jumlah kendaraan bermotor yang terdapat pada setiap kecamatan; dan (2)
aspek manajemen lalu-lintas dengan tolok ukur (a) jarak SPBU dengan titik
kemacetan, (b) nilai tingkat pelayanan jalan (LOS).
4.1.3.1 Aspek Sosial Ekonomi
Aspek sosial eknomi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah meliputi
(1) jarak radius antar SPBU terdekat yang ada pada jalur jalan yang sama, (2) rasio
jumlah SPBU dengan jumlah kendaraan bermotor yang terdapat pada setiap
kecamatan.
Populasi KendaraanBermotor
Asumsi KebutuhanBBM(l/hr)
60
Gambar 4.7. Peta Sebaran Lokasi SPBU di Kota Semarang Tahun 2010
PETA SEBARAN SPBU
61
(1) Jarak radius antar SPBU terdekat
Jarak radius antar SPBU terdekat dijadikan sebagai salah satu parameter dalam
menentukan tingkat kesesuaian lokasi SPBU, didasarkan pada suatu asumsi bahwa
semakin dekat jarak antar SPBU, maka semakin tinggi tingkat persaingan di antara
keduanya. Dalam konteks persaingan usaha menggambarkan adanya persaingan
yang kurang sehat, walaupun dalam sisi lain dengan adanya dua atau lebih SPBU
dalam satu lokasi akan memberikan kemudahan pada konsumen.
Hasil penelitian dalam aspek ‘jarak radius antar SPBU terdekat’ sebagaimana
tercantum pada Tabel 4.14. (Lampiran hal. 80 – 81). Rata-rata jarak antar SPBU di
wilayah Kota Semarang adalah 1,384.75 meter, dan jarak terdekat adalah 483 meter
yakni SPBU 4450108 di jalan Pemuda. Sedangkan jarak lokasi SPBU terjauh adalah
4,848 meter. yaitu SPBU Jl.Raya Boja, Kelurahan Jatisari, Kecamatan Mijen.
(2) rasio jumlah SPBU dengan jumlah kendaraan bermotor yang terdapatpada setiap kecamatan
Rasio jumlah SPBU dengan jumlah kendaraan bermotor pada setiap kecamatan
dijadikan sebagai salah satu parameter untuk menentukan tingkat kesesuaian lokasi
SPBU di suatu tempat. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa semakin banyak
jumlah kendaraan bermotor pada suatu wilayah maka akan semakin besar kebutuhan
BBM. Metode ini mengasumsikan bahwa pelanggan juga mempertimbangkan jarak
dan waktu perjalanan dalam memilih sebuah SPBU, semakin dekat dengan tempat
mereka berada, maka ada kecenderungan untuk mendapatkan BBM di tempat
tersebut.
62
Tabel 4.11. Asumsi Kebutuhan BBMJenis Kendaraan
bermotorBBM
(liter/hari)Bus 30
Truk 30
Taksi/Oplet/Mikrolet 20
Mobil Dinas/Pribadi 10
Sepeda Motor 2
Sumber: Hasil penelitian lapangan, 2010
Dengan demikian rasio jumlah SPBU dalam suatu wilayah kecamatan memiliki
kaitan dengan jumlah kendaraan bermotor dalam kecamatan tersebut. Untuk
menghitung rasio antara jumlah SPBU dengan jumlah kendaraan bermotor
(kebutuhan akan BBM (l/hari)) digunakan rumus : Jumlah SPBU dalam wilayah
Kecamatan dibagi Jumlah Total kebutuhan BBM kendaraan bermotor yang ada pada
wilayah tersebut dikalikan 100%. Sedangkan jumlah total kebutuhan BBM
diperoleh dari asumsi kebutuhan setiap jenis kendaraan bermotor (dalam satuan liter
perhari).
Keterangan: ∑ K_B = Jumlah kendaraan Bermotor
Berdasarkan hasil penelitian di Kota Semarang, rasio jumlah SPBU dengan
jumlah kendaraan pada setiap kecamatan sebagaimana Tabel 4.12. Berdasarkan tabel
tersebut menunjukkan bahwa rasio kriteria Sangat Rendah terdapat hampir pada
sebagian besar kecamatan di Kota Semarang, yaitu 12 kecamatan (75%) dari 16
Kecamatan yang ada. Sedangkan wilayah Kecamatan yang memiliki rasio kriteria
Sangat Tinggi hanya 1 (satu) kecamatan, yaitu di Kecamatan Tugu. Untuk
∑ SPBU Dalam Wilayah KecamatanRasio ∑ SPBU : ∑ K _B = ----------------------------------------------------------- x 100%
∑ Total Kebutuhan BBM K_B di Wil. Kecamatan
63
kecamatan yang lain berada pada kriteria Rendah.
Tabel 4.12. Rasio Jumlah SPBU dengan Jumlah Kendaraan Bermotorper Kecamatan
No. Kecamatan JumlahSPBU
PopulasiKendaraanBermotor
AsumsiKebutuhanBBM(l/hr)
Rasio JumlahSPBU: JumlahKend.bermotor
Harkat
1 Mijen 2 4.221 12.255 0.016 SR2 Gunungpati 2 4.802 14.390 0.014 SR3 Banyumanik 8 5.864 34.906 0.023 R4 Gajah Mungkur 5 3.282 14.583 0.034 R5 Semarang Selatan 3 9.362 36.301 0.008 SR6 Candisari 2 2.047 7.182 0.028 R7 Tembalang 3 12.909 69.684 0.004 SR8 Pedurungan 6 16.906 54.906 0.011 SR9 Genuk 4 12.277 31.887 0.013 SR10 Gayamsari 4 8.790 32.616 0.012 SR11 Semarang Timur 3 5.984 23.930 0.013 SR12 Semarang Utara 3 17.369 70.236 0.004 SR13 Semarang Tengah 4 9.775 34.838 0.011 SR14 Semarang Barat 5 43.587 163.105 0.003 SR15 Tugu 5 1.419 5.444 0.092 ST16 Ngaliyan 3 12.897 55.378 0.005 SR
Jumlah 62 171.491 661.641 0.009Sumber: Hasil Penelitian lapangan. 2010
Keterangan: ST = Sangat Tinggi (5). T = Tinggi (4). S = Sedang (3). R = Rendah(2). SR = Sangat Rendah (1)
4.1.3.2. Aspek Manajemen Lalu-Lintas
Aspek manajemen lalu-lintas merupakan pengelolaan sistem lalu-lintas
suatu daerah sangat mempengaruhi tingkat keamanan dan kenyamanan dan
berkendaraan bermotor (Dinhubinkom, 2008). Dalam penelitian ini, manajemen
64
lalu-lintas yang digunakan sebagai parameternya adalah (1) jarak SPBU dengan titik
kemacetan (pasar, terminal, obyek wisata, sekolahan, perempatan jalan); (2) nilai
tingkat pelayanan jalan (Level of Service=LOS); dan (3) status jalan.
(1) jarak SPBU dengan titik kemacetan
Faktor kondisi lingkungan lokasi SPBU berpengaruh terhadap tingkat
kelayakan usaha baik dari sisi pengusaha maupun konsumen. Kondisi lingkungan
lokasi SPBU yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah jarak radius terdekat
Lokasi SPBU dengan titik-titik kemacetan karena adanya pusat-pusat kegiatan pasar,
terminal/stasiun KA, sekolahan/pabrik/institusi lainnya, dan perempatan/pertigaan
jalan (Traffic Surve, Dinhubinfokom, 2008). Data hasil penelitian lapangan terhadap
kondisi lokasi SPBU dengan titik-titik kemacetan di wilayah penelitian adalah
sebagai tercamtum pada Tabel 4.15 (lampiran).
(2) nilai tingkat pelayanan jalan (Level of Service=LOS)
Nilai tingkat pelayanan jalan (Level of Service/LOS) merupakan metode
untuk mengetahui tingkat pelayanan suatu lalu-lintas jalan apakah jalan tersebut
telah memberikan pelayanan dengan nyaman atau belum bagi pengguna jalan. Untuk
mengetahui LOS dapat menggunakan rumus, sebagai berikut:
Sumber: Traffic Surve, 2008
Volume lalu-lintasLevel of Service (LOS) = ----------------------
KapasitasV (SMP/Hours)
= ---------------------K (SMP/Hours)
65
Keterangan:V = Volume, SMP/Hours = Satuan Mobil Penumpang per JamK = Kapasitas
Hasil penelitian terhadap “Tingkat Pelayanan Jalan” (LOS) menunjukkan
sebagai berikut,
Tabel 4.13. Tingkat Kenyamanan Jalan ( LOS) Pada SejumlahJalan Utama Kota Semarang
No, Nama Jalan NilaiLOS_SMP/Jam
TingkatPelayanan Harkat
1 Jl, Jend, Sudirman 0,49 C 32 Jl,Kali Garang/Kelud Raya 0,55 C 33 Jl, Dr, Soetomo 0,58 C 34 Jl, Brigj, Sudiarto 0,6 C 35 Jl, Tentara Pelajar 0,66 C 36 Jl, Dr, Wahidin 0,62 C 37 Jl, Citarum 0,67 C 38 Jl, Pattimura 0,67 C 39 Jl, Setiabudi 0,59 C 3
10 Jl, Prof, Sudarto 0,25 B 411 Jl, Veteran 0,62 C 312 Jl, Gajah Mada 0,58 C 313 Jl, MH, Thamrin 0,42 B 414 Jl, Imam Bonjol 0,44 B 415 Jl, MT, Haryono 0,72 D 216 Jl, Walisongo 0,72 D 217 Jl, Pandanaran 0,66 C 318 Jl, Siliwangi 0,75 D 219 Jl, MGR, Soegijopranoto 0,57 C 320 Jl, A, Yani 0,73 D 221 Jl, Kaligawe 0,95 E 122 Jl, Perintis Kemerdekaan 0,54 C 323 Jl, Indraprasta 0,40 B 424 Jl, Pemuda 0,52 C 3Sumber: Tarffic Survey, Dinhubinkom, 2008, dengan modifikasi
peneliti, 2010.
66
Dalam penelitian ini, LOS tidak dilakukan perhitungan sendiri, karena pertimbangan
teknis, waktu dan biaya. Sumber data yang digunakan data sekunder, yaitu dari
Dinas Perhubungan dan Informasi Komunikasi Kota Semarang.
Berdasarkan data Tabel 4.13, menunjukkan bahwa Level of Service (LOS)
pada semua ruas jalan berada pada nilai B, C, D, dan E, dengan volume per kapasitas
(V/C Ratio) berada pada titik 0.40 sampai dengan 0.95. Ruas-ruas jalan dengan
V/C Ratio di atas 0.70 yaitu: Jl. Raya Kaligawe, Jl. Siliwangi, Jl. Ahmad Yani, Jl.
Walisongo, dan Jl. MT. Haryono. Pada jalan tersebut sering mengalami hambatan
akibat dari pergerakan arus lalu-lintas yang padat aktivitas di sepanjang ruas jalan.
(3) status jalan
Status jalan merupakan salah satu faktor yang terkait dengan kondisi volume
lalu-lintas di jalan raya. Ruas-ruas jalan yang memiliki status Nasional merupakan
jalan yang menghubungan suatu provinsi dengan provinsi lain, dan biasanya
memiliki tingkat kepadatan/volume lalu-lintas kendaraan bermotor lebih tinggi
dibanding dengan jalan yang statusnya lebih rendah.
Jaringan jalan yang terdapat di wilayah Kota Semarang terdiri dari jalan
dengan Status Nasional, Jalan Status Provinsi, Jalan Status Kota, dan Jalan Status
Lokal (Kecamatan, dan Jalan Status Desa). Status jalan tersebut terkait dengan
fasilitas akan kebutuhan SPBU, untuk menyediakan kebutuhan BBM bagi kendaraan
bermotor yang melintas/lewat di jalan tersebut. Dengan demikian, semakin tinggi
status jalan maka akan semakin tinggi lalu-lintas kendaraan yang melintas, sehingga
kemungkinan kebutuhan BBM akan menjadi lebih besar.
67
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di wilayah Kota Semarang terdapat
Jalan yang berstatus Nasional, Status Provinsi, Status Kota, dan Status Jalan Lokal.
Data secara lebih rinci tercantum pada Tabel 4.16 (terlampir).
4.1.3.3. Kelas Kesesuaian Lokasi SPBU di Wilayah Kota Semarang
Model analsis yang digunakan untuk mengetahui Tingkat Kesesuaian Lokasi
SPBU di wilayah penelitian menggunakan model analisis pengharkatan dari
sejumlah variabel yang diteliti. Sumber data diperoleh dari hasil pengumpulan data
lapangan (lokasi SPBU, dan kondisi lingkungannya, serta data-data sekunder) dan
selanjutnya diintegrasikan ke dalam peta-peta dengan menggunakan piranti/software
SIG, yaitu Arc/view Versi 3.3.
Berdasarkan hasil analisis data terhadap variabel-variabel yang dijadikan
parameter dalam menentukan tingkat kesesuaian lokasi SPBU di wilayah Kota
Semarang (Tabel 4.12, Tabel 4.13, Tabel 4.14, Tabel 4.15, dan Tabel 4.16), maka
pada bagian ini dilakukan analisis pengelompokan kelas berdasarkan tingkat
kesesuaian lokasi SPBU yang ada. Dasar penentuan pengelompokan kelas
kesesuaian Lokasi SPBU menggunakan kriteria sebagaimana dalam Tabel 3.7, yakni
dikelompokkan menjadi empat kelas kesesuaian: Kelas S1 = Sangat Sesuai, Kelas S2
= Sesuai, Kelas S3 = Kurang sesuai, dan N = Tidak Sesuai. Kelas S1 = Sangat
Sesuai yang bearti merupakan loaksi yang sangat menguntungkan baik secara
ekonomi maupun kenyamanan konsumen. Kelas S2 = Sesuai, berarti lokasi
menguntungkan secara ekonomi dan konsumen cukup nyaman. S3 = Kurang Sesuai,
berarti lokasi kurang menguntungkan secara ekonomi dan kurang nyaman bagi
68
konsumen. N = Tidak Sesuai, berarti lokasi tidak menguntungkan secara ekonomi
maupun kenyamanan konsumen.
Hasil penelitian tingkat kesesuaian lokasi SPBU secara rinci tercantum pada
Tebel 4.17 (Lampiran hal.87). Jumlah SPBU yang ada di wilayah Kota Semarang
sebanyak 60 buah SPBU tersebar di 16 kecamatan, dengan pola variasi sebaran
secara spasial kurang merata atau kurang sebanding dengan jumlah populasi
kendaraan bermotor yang terdapat pada wilayah tersebut. Sebagai contoh, di suatu
wilayah kecamatan terdapat jumlah kendaraan bermotor yang relatif besar tetapi
SPBU yang tersedia jumlahnya sedikit. Sebaliknya suatu wilayah kecamatan
memiliki jumlah populasi kendaraan bermotor relatif sedikit, tetapi jumlah SPBU
cukup banyak (Tabel 4.10 dan Tabel 4.13).
Dalam Tabel 4.17 (lampiran hal. 87-89), jelas tergambar bahwa dari 60
SPBU terdapat 7 SPBU (11.66%) yang ternyata masuk pada kriteria Kurang Sesuai
(S3), dan yang masuk kriteria Sangat Sesuai (S1) ada sejumlah 6 SPBU (10%),
sedangkan SPBU yang lainnya masuk kriteria Cukup Sesuai (S2), yaitu 47 SPBU
(78.33%).
4.2. Pembahasan
Penelitian ini memfokuskan pada dua pertanyaan penelitian yang mendasar
tentang tingkat kesesuaian lokasi SPBU yang terdapat di wilayah Kota Semarang.
Sebagaimana diketahui bahwa di era globalisasi yang telah berjalan selama lebih dari
dua dekade ini, telah membawa dampak dan konsekuensi terhadap tatanan
69
kehidupan di perbagai sektor kehidupan manusia dan berbagai level kewilayahan,
yakni dari tingkat lokal, daerah, nasional, regional, hingga internasional. Khususnya
pada bidang ekonomi dan sosial, dengan adanya globalisasi membawa dampak
terhadapa munculnya issu-issu perdagangan bebas, isssu desentralisasi, dan lain-lain.
Sejak setelah berakhirnya gerakan reformasi di Indonesia tahun 1997/998,
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara terjadi perubahan yang luar biasa.
Sebelumnya seseorang individu atau kelompok organisasi tidak bisa dengan mudah
melakukan kegiatan usaha/bisnis pada sektor-sektor penting. Tetapi sekarang orang
atau kelompok orang dengan bebasnya untuk dapat berpartisipasi dan berkompetisi
dalam bidang bisnis dengan mudah, termasuk juga bisnis SPBU. Bisnis SPBU di
Inodnesia sekarang telah melibatkan investor baik dari dalam negeri maupun luar
negeri. Sudah banyak bermunculan SPBU yang dimiliki oleh pihak pemodal asing
yang datang dari Amerika serikat, Inggris, Korea selatan, Malaysia, Singapura, dan
lain-lain. Di samping itu pemodal dalam negeri juga telah mendapat kemudahan-
kemudahan dalam mendirikan usaha bisnis SPBU sepanjang telah memiliki modal
yang cukup.
Fenomena perdagangan bebas tersebut berdampak adanya persaingan di
antara para pengusaha SPBU yang cukup ketat, sehingga sekarang kita para
konsumen dapat dengan mudahnya mendapatkan layanan BBM (Bahan Bakar
Minyak) di semua wilayah, termasuk wilayah Kota Semarang. Pada beberapa
tempat terdapat sejumlah SPBU di wilayah Kota Semarang yang jaraknya sangat
berdekatan, bahkan saling berjajar atau berhadapan kanan kiri jalan, sehingga pola
70
sebaran secara spasial lokasi SPBU di Kota Semarang sangat bervariastif, cenderung
kurang memperhatikan tingkat kesesuaian yang layak, baik dari sisi bisnis maupun
dari sisi kenyamanan konsumen. Hasil penelitian menunjukkan hal-hal sebagai
berikut:
4.2.1. Pola sebaran spasial lokasi SPBU di wilayah Kota Semarang
Pola sebaran spasial lokasi SPBU di wilayah Kota Semarang, membentuk
pola yang mengelompok pada wilayah Kota Semarang bawah (wilayah dataran
rendah), bahkan cenderung mengumpul di pusat-pusat kota, sehingga membawa
dampak pada kemacetan lalu lintas di beberapa ruas jalan. Contohnya kemacetan di
ruas Jalan Siliwangi, Jalan Pandanaran, Jalan Indraprasta, Jalan Brigjen Sudiarto,
wilayah Pedurungan, dan lain-lain. Pada sisi lain polanya menyebar di wilayah
Kecamatan pinggiran, seperti di Kecamatan Mijen, Kecamatan Ngaliyan, Kecamatan
Gunungpati, Kecamatan Tembalang, dan Kecamatan Genuk.
Pola-pola sebaran tersebut sesuai dengan “model teori sector” dari Hoyt,
dimana kecenderungan pembentukan sektor-sektor ini memang bukan terjadi secara
kebetulan (at random) tetapi terlihat adanya asosiasi keruangan yang kuat dengan
beberapa variabel. Selanjutnya menurut Hoyt (dalam Banowati, 2010), dikatakan
kunci terhadap perletakkan sektor ini terlihat pada lokasi “high quality areas”
(daerah-daerah yang berkualitas tinggi untuk tempat tinggal).
Pola persebaran spasial lokasi SPBU di wilayah Kota Semarang ternyata
tidak berkaitan secara langsung dengan populasi jumlah kendaraan bermotor yang
ada di wilayah kecamatan. Dalam arti jumlah kendaraan bermotor yang berada di
71
suatu wilayah kecamatan tidak selalu tersedia fasilitas SPBU yang sebanding. Hal
ini berarti bahwa faktor populasi jumlah kendaraan bermotor pada suatu
tempat/lokasi tertentu tidak menjadi salah satu pertimbangan dalam merancang
sebaran lokasi SPBU. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
menentukan pilihan lokasi SPBU di wilayah Kota Semarang lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor: kedekatan dengan pusat-pusat kegiatan (pusat kota), jalur
transportasi yang potensial, ketersediaan lahan, di samping juga persyaratan
administratif lainnya yang sudah menjadi regulasi dari pihak pemerintah (PT.
Pertamina).
Faktor-faktor itulah, yang menjadikan salah satu sebab terjadinya
persaingaan tidak sehat antar pengusaha SPBU, sehinggga beberapa SPBU di Kota
Semarang karena kalah bersaing akhirnya bangkrut dan tutup usaha. Sebagai contoh:
SPBU di Jl. Jendral Sudirman, SPBU Jl. Kaligarang (sekarang sudah dialihkan
kepemilikannya oleh PT. Pertamina), pengusaha sebelumnya telah bangkrut; SPBU
di Jl. Siliwangi terpaksa ditutup dan area bekas SPBU dialihfungsikan menjadi
komplek pertokoaan; SPBU di Jl. Pandanaran juga pernah mengalami problem
manajemen keuangan, sehingga pernah tidak mampu beroperasi beberapa waktu.
4.2.2. Kelas Kesesuaian Lokasi SPBU di Wilayah Kota Semarang
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap 60 lokasi usaha SPBU di wilayah Kota
Semarang, 7 SPBU (11.66%) yang ternyata masuk pada kriteria Kurang Sesuai
(S3). Ketidaksesuaian terutama disebabkan oleh faktor jarak antar SPBU terdekat
sangat dekat, berada di dekat pusat-pusat titik kemacetan, dan Level of Service (LOS)
72
yang rendah. Sebagian besar lokasi SPBU masuk pada kriteria Sesuai (S2) yakni
ada 47 SPBU (78.33%). Namun berdasarkan hasil analisis data lapangan nilai skor
yang diperoleh rata-rata berada pada level batas ambang bawah. Adapun faktor-
faktor penyebabnya relatif sama dengan sebelumnya. Sedangkan SPBU yang masuk
kriteria Sangat Sesuai (S1) hanya ada sejumlah 6 SPBU (10%).
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa dampak
dari era perdagangan bebas yang saat ini sedang mengalami tingkat persaingan usaha
yang sangat ketat mendorong para investor sebagai pemilik modal untuk
memanfaatkan momentum tersebut dalam rangka mengekspansi unit-unit usahanya.
Dengan demikian siapa yang memiliki kekuatan manajemen bisnis dan modal yang
kuat, merekalah yang akan mampu melakukan usaha-usaha bisnisnya. Oleh karena
itu faktor-faktor yang bersifat orientasi bisnis (untung-rugi) menjadi faktor penentu,
yang terkadang mengabaikan faktor-faktor teknis, termasuk faktor kerusakan
lingkungan.
Sekalipun di sisi lain, dengan adanya lokasi SPBU yang menyebar hampir di
semua ruas jalan semakin memberikan kemudahan para konsumen untuk
memperoleh BBM, namun di sisi lain juga dapat menimbulkan kemacetan-
kemacetan lalu-lintas, karena kurang sesuainya lokasi SPBU tersebut. Bahkan pada
beberapa kasus, bisa menimbulkan pencemaran air tanah di sekitar lokasi, karena
terjadi kebocoran BBM, terutama loaksi SPBU yang didirikan di dekat lokasi
pemukiman penduduk.
73
BAB VPENUTUP
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di muka, maka dalam bab
penutup, penulis akan memberikan simpulan-simpulan sebagai berikut,
1. Pola sebaran spasial lokasi SPBU di wilayah Kota Semarang: (1) memiliki
pola mengelompok pada wilayah pusat-pusat kegiatan, terutama berada di
wilayah Semarang bawah, seperti wilayah Kecamatan Semarang selatan,
Semarang Barat, Semarang Tengah, Semarang Utara, Semarang Timur,
Pedurungan. Wilayah Semarang bawah di samping topografi datar, juga
merupakan pusat-pusat kegiatan, seperti komplek pertokoan, perkantoran,
pusat pemerintahan, pusat pendidikan. (2) pola memanjang di koridor jalan-
jalan potensial jalur Jakarta – Surabaya (Jalur pantura), dan koridor jalan
antara Semarang – Solo dan Jogjakarta, yaitu sepanjang jalan Dr. Wahidin, Jl.
Perintis Kemerdekaan. dan (3) pola menyebar secara insidental pada
wilayah-wilayah kecamatan pinggiran, seperti Kecamatan Ngaliyan,
Kecamatan Mijen, Kecamatan Gunungpati, Kecamatan Tembalang.
2. Pola sebaran spasial lokasi SPBU di wilayah Kota Semarang tidak
berhubungan dengan pola kepadatan penduduk dan pola populasi kendaraan
bermotor pada setiap wilayah kecamatan.
74
3. Kelas kesesuaian dari 60 lokasi SPBU di wilayah Kota Semarang secara
umum masuk dalam kriteria sesuai (S2) ada 47 buah SPBU (78.33%), dalam
arti lokasi yang menguntungkan secara ekonomi dan konsumen cukup
nyaman. Untuk lokasi SPBU yang masuk kriteria Sangat Sesuai hanya ada
pada 6 SPBU (10%), dalam arti merupakan lokasi yang sangat
menguntungkan baik secara ekonomi maupun kenyamanan konsumen.
Sedangkan sisanya yaitu 7 buah SPBU masuk dalam kriteria Kurang Sesuai
(11.66%), yang berarti lokasi kurang menguntungkan secara ekonomi dan
kurang nyaman bagi konsumen.
5.2. Saran-Saran
1. Ditinjau dari aspek sebaran spasial lokasi SPBU di wilayah Kota Semarang
menunjukkan temuan-temuan yang menarik dari sisi akademis maupun
praktis. Dari sisi akademis, dapat dikembangkan sebagai dasar membangun
teori yang terkait dengan kelayakan/kesesuaian lokasi area bisnis termasuk
juga lokasi SPBU, dengan mengembangkan variabel-variabel yang lebih rinci.
Hal ini menjadi penting karena pembangunan seharusnya berorientasi pada
pembangunan berkelanjutan yang berpegang pada keberlanjutan ekonomi,
sosial, budaya dan ekologis, sehingga mampu memberikan jaminan bagi masa
depan bangsa dan Negara sampai generasi mendatang.
2. Sedang dari aspek praktis, terutama bagi pemberintah daerah dan pihak PT.
Pertamina yang memiliki hak dalam pengambilan keputusan atas perijinan
pengelolaan usaha SPBU, dapat lebih menata dalam memberikan ijin bagi
75
usaha SPBU, sehingga tidak terjadi dampak negatif, seperti persaingan tidak
sehat di antara pengusaha SPBU, kerusakan lingkungan/pencemaran di sekitar
SPBU, gangguan kenyamanan perjalanan lalu-lintas di ruas jalan yang berdiri
bangunan SPBU. Dalam arti persyaratan perijinan pendirian usaha SPBU
harus bertumpu pada kerangka dasar ekonomi, sosial, budaya, dan ekologis
secara terintegratif.
76
Daftar Pustaka
Aiz, Lukman dan Ridwan said. 1985. Peta Tematik. Bandung: Jurusan TeknikGeodesi Fakultas Teknik dan Perencanaan ITB.
Anonim. 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2003Tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas BumiNegara (Pertamina) Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
………., 2002. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentangMinyak Dan Gas Bumi.
……….,. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 TentangEnergi.
Bintarto, R. dan Surastopo Hadisumarno. 1979. Metode Penelitian Geografi. Jakarta:LP3ES.
Birkin, M., Clarke G., Clarke M. And Wilson Alan., (1996) Intelligent GIS: Location
Decisions and Strategic Planning, (GeoInformation International, Bell andBain, Glasgow, UK).
Benoit D and G P Clarke. 1997. Assessing GIS for retail location planning School ofGeography, University of Leeds, Leeds LS2 9JT, UK. Journal ~! Retailing andC~msumer Services, Vol. 4, No. 4, Elsevier Science Ltd. pp. 239-258,
Bos E.S. 1973. Cartographic Principles in Thematic Mapping. The Netherlands. ITCLecture Note, Enschede.
BPS Kota Semarang. 2009. Kota Semarang Dalam Angka. Pemerintah KotaSemarang.
Huff, D.C., (1963) A Probabilistic Analysis of Consumer Spatial Behaviour, RealEstate Research Program Reprint No. 18, Graduate School of BusinessAdministration, University of California, Los Angeles, USA.
Huff, David, L. and Ronald T. Rust, (1984) “Measuring the Congruence of MarketAreas”, in Journal of Marketing, 48 (Winter), p 68-74.
Jones, K. G. and Mock, D. R., (1984) “Evaluating retail trading performance”, (Ed.Davies, R. L. and Rogers, D. S., Store Location and Store AssessmentResearch, John Wiley & Sons, New York, USA).
John P.R.St. dan D.A Richardson. 1989. Method of Presenting Fieldwork Data. TheGeographical Association.
77
Juhadi dan Dewi Liesnoor Setiyowati. 2001. Desain dan Komposisi Peta Tematik.Semarang: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Sistem Informasi geografis,Geografi UNNES.
Kopec, R.J., (1963) “An Alternative Method For The Construction Of ThiessenPolygons”, in The Professional Geographer, 15, p 24-26.
Sadahiro, Yukio, (2001) “ A PDF-based analysis of the spatial structure of retailing”,in GeoJournal 52, p 237-252.
………, (2001) Number of polygons generated by map overlay: The case of
convex polygons, in Transactions in GIS, 5(4), p 345-353.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1985. Metode Penelitian Survai. Jakarta:LP3ES.
Suwarjono dan Mas Sukotjo. 1993. Pengetahuan Peta. Yogyakarta: FakultasGeografi UGM.
Traffic Surve, 2008. “Surve Evaluasi Tingkat Pelayanan Jalan Tahun 2008. LaporanPenelitian. Pemerintah Kota Semarang Dinas Perhubungan. TidakDiterbitkan.
Yunus, Hadi Sabari. 2008. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
78
Tabel 3.1. Jumlah dan Lokasi SPBU di Kota Semarang
Tabel 4.16. Hasil Pengharkatan dari Setiap Status Jalan di kota Semarang
No Alamat Status Jalan HarkatNasional Provinsi Kota Lokal
1 Jl.Brigjen Sudiarto,Pedurungan v 4
2 Jl.A.Yani v 33 Jl.Sultan Agung v 4
4 Jl.Kaligarang,Kec.Gajahmungkur v 3
5 Jl.Plamongan Sari v 36 Jl.Usman Janatin v 37 Jl.Raya Genuk v 58 Jl.Brigjen Sudiarto v 49 Jl.Raya Mangkang v 5
10 Jl.Yos Sudarso,Arteri v 511 Jl.Pemuda v 312 Jl.Jenderal Sudirman v 313 Jl.Cendrawasih v 314 Jl.Raya Genuk v 515 Jl.Imam Bonjol v 316 Jl.Raya Ngalian v 317 Jl.Raya Tugu v 518 Jl.Sendangguwo v 419 Jl.Pengapon v 320 Jl.Citarum,Pedurungan v 421 Jl.Pamularsih v 322 Jl.Abdur Rachman Saleh v 323 Jl.Dr.Cipto v 324 Jl.Kelud Raya,Semarang v 325 Jl.Siliwangi v 326 Jl.Indrapasta 20-22 v 3
27 Jl.WolterMonginsidi,Bangetayu v 3
28 Jl.SoekarnoHatta,Pedurungan v 4
29 Jl.Raya Mangkang v 5
30 Jl.Raya Semarang-Kendal,Randugarut,Tugu v 5
85
31 Jl.Simongan,Kel.Ngemplak v 3
32 Jl.RayaGajah,Kec.Gayamsari v 3
33Jl.Raya Gajah No.108,Kel.Gayamsari,Kec.Gayamsari v 3
34 Jl.Untung SuropatiKav.173,Kalipancur,Ngalian v 3
35Jl.Brigjen Sudiarto, Kec.Pedurungan Kidul,Semarang v 3
36 Jl.RayaKaligawe,Kec.Gayamsari v 5
37 Jl.Raya Kaligawe,Genuk v 538 Jl.Dr.Cipto No.29,Semarang v 339 Jl.S.Parman v 440 Jl.Perintis Kemerdekaan v 4
41Jl.PerintisKemerdekaan,PudakPayung v 4
42 Jl.Dr.Setiabudi v 443 Jl.Pandanaran,Semarang v 344 Jl.Dr.Wahidin v 445 Jl.Sriwijaya v 346 Jl.Tentara Pelajar v 3
47 Jl.Raya Semarang-Boja,Kawasan BSB v 4
48 Jl.Fatmawati,Ketileng v 349 Jl.Ngesrep v 350 Jl.Perintis Kemerdekaan v 3
51 Kel.Sumurboto, Kec.Gunungpati v 3
52 Jl.Menoreh Raya,Kec.Gajahmungkur v 3
53Jl.Imam Soeparto,Kel.Bulusan,Kec.Tembalang v 3
54 Jl.Raya Boja, Kel.Jatisari,Kec.Mijen v 4
55 Jl.Raya Semarang-Kendal,Kec.Tugu v 5
86
56 Jl.Perintis Kemerdekaan,Banyumanik, Semarang v 4
57 Jl.Setiabudi, Srondol Kulon,Kec.Banyumanik, Semarang v 4
58 Jl.RayaMuntal,Kec.Gunungpati v 2
59 Jl.Dr.Wahidin v 460 Jl.Raya Tembalang v 3
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan, 2010
Tabel 4.13. Rasio Jumlah SPBU dengan Jumlah Kendaraan Bermotorper Kecamatan
No. Kecamatan JumlahSPBU
PopulasiKendaraanBermotor
AsumsiKebutuhanBBM(l/hr)
Rasio JumlahSPBU: JumlahKend.bermotor
Harkat
1 Mijen 2 4.221 12.255 0.016 SR2 Gunungpati 2 4.802 14.390 0.014 SR3 Banyumanik 8 5.864 34.906 0.023 R4 Gajah Mungkur 5 3.282 14.583 0.034 R5 Semarang Selatan 3 9.362 36.301 0.008 SR6 Candisari 2 2.047 7.182 0.028 R7 Tembalang 3 12.909 69.684 0.004 SR8 Pedurungan 6 16.906 54.906 0.011 SR9 Genuk 4 12.277 31.887 0.013 SR10 Gayamsari 4 8.790 32.616 0.012 SR11 Semarang Timur 3 5.984 23.930 0.013 SR12 Semarang Utara 3 17.369 70.236 0.004 SR13 Semarang Tengah 4 9.775 34.838 0.011 SR14 Semarang Barat 5 43.587 163.105 0.003 SR15 Tugu 5 1.419 5.444 0.092 ST16 Ngaliyan 3 12.897 55.378 0.005 SR
Jumlah 62 171.491 661.641 0.009Sumber: Hasil Penelitian lapangan. 2010
Keterangan: ST = Sangat Tinggi (5). T = Tinggi (4). S = Sedang (3). R = Rendah (2).SR = Sangat Rendah (1)
Tabel 4.15. Tingkat Kenyamanan Jalan ( LOS) Pada SejumlahJalan Utama Kota Semarang
No, Nama Jalan NilaiLOS_SMP/Jam
TingkatPelayanan Harkat
1 Jl, Jend, Sudirman 0,49 C 32 Jl,Kali Garang/Kelud Raya 0,55 C 33 Jl, Dr, Soetomo 0,58 C 34 Jl, Brigj, Sudiarto 0,6 C 35 Jl, Tentara Pelajar 0,66 C 36 Jl, Dr, Wahidin 0,62 C 37 Jl, Citarum 0,67 C 38 Jl, Pattimura 0,67 C 39 Jl, Setiabudi 0,59 C 3
10 Jl, Prof, Sudarto 0,25 B 411 Jl, Veteran 0,62 C 312 Jl, Gajah Mada 0,58 C 313 Jl, MH, Thamrin 0,42 B 414 Jl, Imam Bonjol 0,44 B 415 Jl, MT, Haryono 0,72 D 216 Jl, Walisongo 0,72 D 217 Jl, Pandanaran 0,66 C 318 Jl, Siliwangi 0,75 D 219 Jl, MGR, Soegijopranoto 0,57 C 320 Jl, A, Yani 0,73 D 221 Jl, Kaligawe 0,95 E 122 Jl, Perintis Kemerdekaan 0,54 C 323 Jl, Indraprasta 0,40 B 424 Jl, Pemuda 0,52 C 3
Sumber: Tarffic Survey, Dinhubinkom, 2008, dengan modifikasipeneliti, 2010.
Tabel 4.15. Tingkat Kenyamanan Jalan ( LOS) Pada SejumlahJalan Utama Kota Semarang
No, Nama Jalan NilaiLOS_SMP/Jam
TingkatPelayanan Harkat
1 Jl, Jend, Sudirman 0,49 C 32 Jl,Kali Garang/Kelud Raya 0,55 C 33 Jl, Dr, Soetomo 0,58 C 34 Jl, Brigj, Sudiarto 0,6 C 35 Jl, Tentara Pelajar 0,66 C 36 Jl, Dr, Wahidin 0,62 C 37 Jl, Citarum 0,67 C 38 Jl, Pattimura 0,67 C 39 Jl, Setiabudi 0,59 C 3
10 Jl, Prof, Sudarto 0,25 B 411 Jl, Veteran 0,62 C 312 Jl, Gajah Mada 0,58 C 313 Jl, MH, Thamrin 0,42 B 414 Jl, Imam Bonjol 0,44 B 415 Jl, MT, Haryono 0,72 D 216 Jl, Walisongo 0,72 D 217 Jl, Pandanaran 0,66 C 318 Jl, Siliwangi 0,75 D 219 Jl, MGR, Soegijopranoto 0,57 C 320 Jl, A, Yani 0,73 D 221 Jl, Kaligawe 0,95 E 122 Jl, Perintis Kemerdekaan 0,54 C 323 Jl, Indraprasta 0,40 B 424 Jl, Pemuda 0,52 C 3
Sumber: Tarffic Survey, Dinhubinkom, 2008, dengan modifikasipeneliti, 2010.
Gambar 4.1. Peta Administrasi Kota Semarang, 2010
Gambar 4.2. Peta Kepadatan Penduduk Kota Semarang, 2008
Gambar 4.5. Peta Jumlah dan Jenis Kendaraan Bermotor Kota Semarang , 2008
Gambar 4.7. Peta Sebaran Lokasi SPBU di Kota Semarang, 2010
Gambar 4.4. Peta Sebaran Permukiman Kota Semarang, 2008
Gambar 4.3. Peta Jaringan Jalan Kota Semarang, 2010
Gambar 4.6. Peta Kepadatan Penduduk dan Sebaran SPBU Kota Semarang, 2010