Top Banner

of 30

Evaluasi Paru Pada Bedah Non Paru

Jul 21, 2015

Download

Documents

Sari Nurfaizah
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB 1 PENDAHULUAN

Evaluasi paru praoperasi merupakan suatu hal yang penting dalam pengelolaan pasien dengan penyakit paru-paru yang akan menjalani bedah kardiotoraks atau non kardiotoraks elektif. Pada beberapa kasus bedah cito, evaluasi paru praoperasi juga memiliki peranan dalam pengelolaan pasien. Tujuan dari manajemen paru perioperatif adalah untuk mengidentifikasi pasien yang beresiko tinggi terhadap komplikasi paru pascaoperasi, sehingga intervensi yang tepat dapat diberikan untuk meminimalkan resiko itu. Dalam kebanyakan kasus, bahkan dalam pasien beresiko tinggi, prosedur operasi dapat dilakukan dengan aman sesuai rencana.1 Komplikasi paru pascaoperasi merupakan suatu resiko yang sering terjadi dalam suatu prosedur operasi. Hal ini menyebabkan bertambah lamanya waktu perawatan hingga satu sampai dua minggu dan menyebabkan meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas penyakit. Definisi dari komplikasi paru pascaoperasi sangat bervariasi.

Variasi ini terjadi karena ada banyak perbedaan gejala klinis yang terdapat pada pasien dan komplikasi paru yang dilaporkan.1-3 Resiko komplikasi paru pascaoperasi bervariasi dan berhubungan dengan jenis operasi yang dilakukan. Komplikasi paru pada pasien yang menjalani operasi non kardiotoraks elektif dapat diprediksi lebih akurat daripada pasien yang menjalani bedah kardiotoraks elektif. Komplikasi paru lebih sering terjadi daripada komplikasi jantung pada pasien yang menjalani operasi elektif pada abdomen, toraks dan bagian atas. Operasi di lokasi yang jauh dari diafragma angka kejadian komplikasi paru pasca operasi jauh lebih rendah.1-4 Komplikasi paru lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan komplikasi jantung pada pasien yang menjalani bedah non kardiotoraks. Menurut salah satu tinjauan pustaka dari 25 studi terdapat 17 studi yang menyebutkan bahwa komplikasi paru pascaoperasi lebih sering terjadi daripada komplikasi pada jantung.1-3

1

Komplikasi paru yang paling sering terjadi adalah pada pembedahan abdomen bagian atas dan pembedahan toraks. Komplikasi paru pascaoperasi meliputi demam (karena mikroatelektasis), batuk, dyspnea, bronkospasme, hipoksemia, atelektasis, hiperkapnia, reaksi negatif terhadap obat paru, efusi pleura, pneumonia, pneumotoraks, kegagalan ventilasi dan eksaserbasi pada penyakit paru obstuktif kronis. Kebanyakan peneliti mendefinisikan komplikasi paru pasca operasi sebagai suatu kelainan saluran nafas yang menghasilkan penyakit atau disfungsi saluran nafas yang dapat diidentifikasi, secara klinis signifikan, dan mempengaruhi perjalanan klinis.1-3 Mengidentifikasi pasien yang beresiko untuk terjadinya komplikasi paru

pascaoperasi dan mengelola mereka berdasarkan faktor resiko yang dapat diterapi secara agresif sebelum operasi sangat penting. Penatalaksanaan yang efektif untuk mencegah komplikasi pada periode pascaoperasi hanya sedikit yang dapat dilakukan. Spirometri dan continuous positive airway pressure adalah salah satu modalitas yang terbukti bermanfaat.3 Tinjauan pustaka ini membahas tentang evaluasi paru dan faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya komplikasi paru pascaoperasi serta penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya komplikasi paru pascaoperasi. Dengan harapan dapat menjadi masukan untuk evaluasi paru sebelum dilakukan pembedahan non paru sehingga dapat mengurangi terjadinya morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi paru pascaoperasi.

2

BAB 2 ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN NAFAS

2.1 Anatomi Saluran Pernafasan Paru-paru merupakan jaringan tubuh yang terletak dalam rongga toraks berbentuk kerucut dan elastik. Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus dan bronkiolus. Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh mediastinum yang berisi jantung dengan pembuluh darah besar. Setiap paru mempunyai puncak (apeks), dasar (basis) dan hilus tempat masuknya arteri pulmonalis, arteri bronkialis, bronkus, sistem syaraf dan pembuluh getah bening serta tempat keluarnya vena pulmonalis.5-6 Paru kanan lebih besar dari paru kiri, dan tiap paru dibagi menjadi lobus oleh fissura interlobularis. Paru kanan dibagi menjadi 3 lobus, sedangkan paru kiri dibagi menjadi 2 lobus. Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronkus-bronkusnya. Paru-paru kanan dibagi menjadi 10 segmen sedangkan paru-paru kiri dibagi menjadi 9. Proses patologis seperti atelektasi dan pneumonia seringkali hanya terbatas pada segmen satu saja.5-6 Pleura merupakan lapisan tipis dibentuk oleh adanya jaringan kolagen dan elastis. Pleura terdiri dari pleura parietalis dan pleura visceralis. Pleura parietalis akan melapisi rongga pleura, sedangkan pleura visceralis menutupi langsung terhadap jaringan paru. Diantara kedua pleura ini ditemukan rongga pleura, berisi cairan tipis untuk memudahkan gerak jaringan paru. Tekanan rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfir, sehingga paru-paru tidak menjadi kolaps.5-6

3

Jalan nafas Faring Larying Mulut Epiglotis Trakea Lobus Kanan Atas Bronkus Kanan Lobus Kanan Tengah Lobus Kanan Bawah PARU KIRI PARU KANAN Vena Pulmonalis Bronkus Kiri Arteri Pulmonalis Bronkiolus Pleura Alveoli Lobus kiri bawah

Gambar 1. Anatomi Saluran Pernafasan6

2.2 Fisiologis Sistem Pernafasan Proses fisiologi pernafasan di mana oksigen dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan dan karbon dioksida dikeluarkan ke udara ekspirasi dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu proses ventilasi, proses difusi, proses transportasi, dan proses regulasi.5-6

2.2.1 Proses Ventilasi Proses ini merupakan proses inspirasi dan ekspirasi melalui saluran nafas. Proses ini terjadi karena adanya selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik dari otot-otot. Selama inspirasi, volume toraks bertambah bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot serrati anterior,

4

skalenus, dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga. Toraks membesar ke arah anteroposterior, lateral dan vertikal.5-6 Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks menyebabkan volume toraks berkurang. Otot interkostalis internus dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam dengan kuat pada ekspirasi kuat dan aktif. Selain itu, otot-otot abdomen dapat berkontraksi sehingga tekanan intrabdominal membesar dan menekan diafragma ke atas. Perubahan pada ventilasi dapat dinilai dengan uji fungsional paru-paru.5-6

2.2.2 Proses Difusi Tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan kapiler. Proses ini melalui membran alveolus dan kapiler darah yang tipis. Tekanan parsial oksigen di udara atmosfir sekitar 149 mmHg. Pada waktu inspirasi tekanan tersebut akan mengalami penurunan sekitar 103 mmHg. Penurunan ini terjadi karena udara inspirasi yang masuk akan tercampur dengan udara dalam ruang rugi anatomis saluran nafas. Tekanan parsial oksigen dalam kapiler paru (PvO2) sekitar 46 mmHg sedangkan tekanan karbondioksida di alveoli (PaCO2) 40 mmHg, dengan demikian karbondioksida akan berdifusi dari kapiler darah menuju alveoli untuk kemudian dikeluarkan melalui saluran nafas.5-6

2.2.3 Proses Transportasi Proses ini merupakan transportasi oksigen di dalam darah menuju ke jaringan tubuh (sel-sel) dan membawa karbondioksida dari sel-sel menuju kapiler paru. Transportasi ini melalui 2 cara : 1. Secara kimia, berikatan dengan hemoglobin. Sebagian besar oksigen akan diangkut dengan ikatan oksihemoglobin.

5

2. Secara fisik, larut dalam plasma darah. Jumlah oksigen yang larut dalam plasma sangat kecil, sekitar 1% karena daya larut oksigen dalam plasma yang rendah. Satu gram hemoglobin dapat mengangkut 1,34 ml oksigen. Oksihemoglobin setelah keluar dari jaringan paru sekitar 25% akan menuju jaringan, sedangkan 75% akan kembali lagi kedalam sirkulasi paru, jadi yang dimanfaatkan untuk keperluan jaringan tubuh hanya sekitar 25%. Oksigen di jaringan akan mengalami disosiasi dari hemoglobin dan berdifusi ke sel-sel jaringan tubuh.5-6

2.2.4 Proses Regulasi Proses regulasi ini merupakan proses pengaturan pernafasan meliputi pusat pernafasan, mekanisme kerja pusat pernafasan dan regulasi pernafasan. Pengaturan pernafasan dilaksanakan oleh 2 sistem, yaitu sistem syaraf dan sistem kimia/kemoreseptor.5

2.3 Uji Fungsi Paru Uji fungsi paru dibagi menjadi 2 kategori, yaitu uji fungsi paru yang berhubungan dengan ventilasi termasuk pengukuran volume paru-paru dalam keadaan statis dan dinamis juga pengukuran tekanan. Uji fungsi paru yang berhubungan dengan pertukaran gas mencakup analisis gas-gas yang terdapat dalam udara ekspirasi dan dalam darah.5-6 Uji fungsi ventilasi menggunakan alat bantu yang dikenal dengan sebagai spirometri. Dikenal adanya volume paru dan kapasitas paru. Volume paru merupakan jumlah udara yang dapat keluar masuk saluran nafas, sedangkan kapasitas paru merupakan kemampuan paru untuk mengisi udara. Biasanya kapasitas paru merupakan gabungan dari dua volume paru atau lebih.5-6 Volume paru terdiri dari : 1. Volume Tidal (TV) : jumlah udara dari inspirasi dan ekspirasi pada pernafasan normal, jumlahnya 500 ml.

6

2. Volume Ekspirasi Reserve (ERV) : Jumlah udara yang dikeluarkan pada ekspirasi maksimal setelah pernafasan biasa, jumlahnya 1100 ml. 3. Volume Inspirasi Reserve (IRV) : Jumlah udara yang dapat masuk pada inspirasi maksimal, jumlahnya 3000 ml. 4. Volume Residual : Jumlah udara yang masih tersisa didalam paru-paru setelah ekpirasi maksimal, jumlahnya 1200 ml. Kapasitas paru terdiri dari : 1. Kapasitas Inspirasi (IC) : Jumlah udara volume tidal (TV) ditambahkan jumlah udara volume inspirasi reserve (IRV), jumlahnya 3500 ml. 2. Kapasitas Residual Fungsional : Jumlah udara pada volume ekspirasi reserve ditambah dengan volume residual, jumlahnya 2300 ml. 3. Kapasitas Vital (VC) : Jumlah udara yang ditemukan dari volume inspirasi reserve ditambah dengan volume tidal (TV) dan volume ekspirasi reserve (ERV), jumlahnya 4600 ml. 4. Kapasitas Total Paru (TLC) : yaitu jumlah udara dalam inspirasi maksimal, jumlahnya sekitar 5.800 ml.

Gambar 2. Hubungan antara volume dan kapasitas paru-paru6

7

Forced Vital Capacity atau kapasitas vital yang dipaksakan (FVC) adalah pengukuran kapasitas vital yang dihasilkan dengan ekspirasi yang cepat dan sekuat mungkin. Volume udara yang dihasilkan dalam keadaan normal kurang lebih sama dengan kapasitas vital, akan tetapi akan mengalami penurunan nyata pada penderita obstruksi saluran udara.45-6 Forced Expiratory Volume (FEV) adalah volume udara yang dapat diekspirasi paksa, biasanya diukur dalam waktu 1 detik (FEV1). Pemeriksaan ini merupakan

petunjuk yang berharga untuk menilai kapasitas ventilasi dan nilai yang kurang dari 1 liter selama detik pertama menunjukkan adanya gangguan fungsi ventilasi berat.4-5 Uji fungsi paru yang berhubungan dengan pertukaran gas mencakup analisis gasgas yang terdapat dalam udara ekspirasi dan dalam darah biasanya digunakan contoh darah arteri. Yang dipilih adalah arteri radialis atau brakialis karena arteri ini mudah dicapai.5-6 PaCO2 merupakan petunjuk ventilasi alveolar yang paling baik. Bila PaCO2 meningkat , maka penyebab langsung selalu adalah hipoventilasi alveolar. Hipoventilasi menyebabkan asidosis respiratorik dan penurunan pH darah. Penyebab langsung penurunan PaCO2 adalah hiperventilasi alveolar. Hiperventilasi menyebabkan alkalosis respiratorik dan kenaikan pH darah.6 Tabel 1. Nilai-Nilai Normal Dari Gas-Gas Dalam Darah Arteri6 Pengukuran Gas Darah Tekanan karbon dioksida Tekanan Oksigen Simbol PaCO2 PaO2 pH HCO3Nilai Normal 35-45 mmHg 80-100 mmHg 97 7,35-7,45 22-26 mEq/L

Persentase kejenuhan oksigen SaO2 Konsentrasi ion hidrogen Bikarbonat

8

BAB 3 FAKTOR-FAKTOR RESIKO TERKAIT TERJADINYA KOMPLIKASI PARU PASCAOPERASI

3.1. Penilaian Resiko Praoperasi Tujuan dari evaluasi paru praoperasi adalah untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko untuk terjadinya komplikasi paru selama atau setelah operasi serta melakukan penatalaksanaan untuk mengurangi resiko tersebut. Ada banyak potensi komplikasi yang dapat terjadi setelah operasi. Identifikasi pasien yang beresiko terjadi komplikasi paru pasca operasi sangat penting mengingat bahwa jenis komplikasi yang paling sering dilaporkan dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas selama periode pascaoperasi.1,2,7 Walaupun kemampuan untuk memprediksi apakah komplikasi paru pascaoperasi akan terjadi pada pasien yang menjalani operasi sudah baik, penilaian risiko paru sering tidak dilakukan karena beberapa alasan, antara lain: kurangnya pemahaman apakah evaluasi paru dapat memprediksi terjadinya suatu komplikasi paru, tidak adanya pedoman khusus yang menggambarkan tes/ pemeriksaan yang harus dilakukan pada pasien, dan / atau keraguan tentang apakah perawatan pasca operasi harus mencakup pendekatan untuk mengurangi komplikasi paru pada semua pasien, terlepas dari ada atau tidaknya resiko pada mereka.2 Suatu riwayat kesehatan secara keseluruhan harus diketahui dari seluruh pasien dengan memperhatikan riwayat merokok dan riwayat pekerjaan, gejala pernafasan, kapasitas paru-paru, riwayat penyakit dahulu dan / atau infeksi pernafasan terakhir. Pasien dengan penyakit paru-paru yang sudah ada sebelumnya memiliki resiko yang sangat tinggi terjadinya komplikasi paru pascaoperasi. Walaupun demikian pasien tanpa riwayat penyakit paru sebelumnya juga memiliki resiko untuk terjadinya komplikasi paru. Pemeriksaan fisik yang mendukung terjadinya gangguan paru-paru dan pemeriksaan laboratorium yang memungkinkan resiko pada pasien untuk terjadinya

9

komplikasi paru harus dapat diidentifikasi untuk mengurangi kejadian komplikasi tersebut.2,7 American society of anesthesiologist (ASA) menggunakan kriteria klinis dan klasifikasi status fisik sebagai pedoman untuk memprediksi tingkat kejadian dari komplikasi paru pascaoperasi. Skor ini sederhana dan mudah untuk diukur. Meskipun bersifat subjektif, untuk ASA kelas II sampai V dapat menunjukkan peningkatan tingkat keparahan dan morbiditas pascaoperasi. Klasifikasi ASA, bersama dengan contohcontoh dari masing-masing kelas, diuraikan di bawah ini: a. ASA kelas I - Seorang pasien yang normal dan sehat tanpa kelainan organik, gangguan fisiologis, atau kejiwaan (misalnya, sehat dengan toleransi latihan yang baik) b. ASA kelas II - Seorang pasien dengan kondisi medis yang terkontrol tanpa efek sistemik (misalnya, hipertensi terkontrol atau diabetes terkontrol tanpa efek sistemik, merokok tanpa PPOK, anemia, obesitas ringan, usia yang lebih muda dari 1 tahun atau lebih tua dari 70 tahun, kehamilan) c. ASA kelas III - Seorang pasien dengan kondisi medis yang memberikan efek sistemik yang signifikan (misalnya, gagal jantung kongestif terkontrol, angina stabil, infark miokard lama, hipertensi tidak terkontrol, obesitas, penyakit bronkhospastik dengan gejala intermiten, Chronic Kidney Disease) d. ASA kelas IV - Seorang pasien dengan kondisi medis yang tidak terkontrol, dengan disfungsi yang signifikan dan merupakan potensi yang mengancam jiwa (misalnya, angina tidak stabil, PPOK eksaserbasi, gagal jantung kongestif simtomatik, hepatorenal failure)1,4,8 Menurut American society of anesthesiologist (ASA) faktor-faktor resiko resiko pada pasien yang berpotensi menyebabkan komplikasi paru pasca operasi termasuk merokok, status kesehatan umum yang buruk, usia tua, obesitas, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan asma. Sedangkan menurut New York Heart Association (NYHA) faktor-faktor resiko preoperasi tersebut termasuk penyakit paru obstruksif kronis

10

(PPOK), umur, perokok, hipertensi pulmonal NYHA II, obstructive sleep apnea (OSA), status nutrisi pasien.3-4 Tabel 2. Angka kejadian komplikasi paru menurut ASA3 Angka kejadian ASA kelas I II III IV Pasien normal Pasien dengan penyakit sistemik ringan Pasien dengan penyakit sistemik berat yang Pasien dengan kondisi medis yang tidak terkontrol dengan disfungsi yang signifikan dan berpotensi mengancam jiwa Definisi komplikasi paru pascaoperasi 1,2% 5,4% 11,4% 10,9%

3.1.1 Riwayat Penyakit Pasien Melakukan anamnesis tentang riwayat penyakit pasien secara lengkap dan melakukan pemeriksaan fisik secara teliti sangat berguna untuk membantu mengidentifikasi faktor resiko komplikasi paru. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada setiap anamnesis termasuk riwayat merokok, intoleransi latihan, dyspnea, batuk, rawat inap terakhir di rumah sakit dan penyakit infeksi terakhir ( Smetana dkk, 2006). Perhatikan gejala-gejala penyakit paru obstruksi, seperti bunyi nafas menurun, mengi, crackles, atau fase ekspirasi yang berkepanjangan.1,8

3.1.2 Pemeriksaan Penunjang 3.1.2.1 Pemeriksaan Uji Fungsi Paru Menurut sebuah konsensus semua pasien yang akan menjalani reseksi paru-paru harus memiliki uji fungsi paru praoperasi . Konsensus American College of Physicians merekomendasikan uji fungsi paru praoperasi pada kedua kelompok:

11

1. Pasien yang menjalani bypass koroner atau pembedahan abdomen bagian atas dengan riwayat merokok atau dispnea2.

Pasien yang menjalani prosedur operasi kepala dan leher, ortopedi, atau operasi perut bagian bawah dengan dyspnea atau gejala paru.9 Beberapa penelitian retrospektif tentang rutinitas tes fungsi paru praoperasi

didapat hasil bahwa tes fungsi paru secara rutin tidak banyak manfaatnya dalam memprediksi komplikasi pascaoperasi pada pasien-pasien bedah yang bukan menjalani reseksi paru. Sebuah tinjauan pustaka melaporkan bahwa spirometri praoperasi tidak dapat memprediksi komplikasi setelah operasi abdomen.3,9 Tidak ada penentuan batas bawah FEV1 untuk memprediksi terjadinya komplikasi paru pascaoperasi, bahkan komplikasi paru tersebut dapat terjadi pada pasien dengan FEV1 normal. Tetapi pasien-pasien dengan FEV1 atau FVC kurang dari 70% atau rasio FEV1/FVC kurang dari 65% adalah pasien yang lebih beresiko untuk terjadinya komplikasi paru. Uji fungsi paru tidak harus dilakukan secara rutin pada pasien yang menjalani operasi nonreseksional. Sebaliknya, uji fungsi paru harus dilakukan pada pasien dengan dyspnea atau pada pasien dengan intoleransi latihan.3,9-10 Identifikasi pasien praoperasi dengan asma atau PPOK merupakan hal penting. Asma atau PPOK dapat dideteksi oleh riwayat penyakit pasien, gejala klinis dan pemeriksaan fisik. Pada beberapa individu mungkin perlu dilakukan intervensi praoperasi tertentu.10

12

Pasien dgn gejala Pemeriksaan spirometri : FEV1/VC 70 % dan/atau FEV180% Ya Uji reversibilitas dengan bronkhodilator Tidak Provokasi bronkhial dengan methacholine : Menyebabkan penurunan FEV1 20%

FEV1 12%

FEV1 12% dan 200 ml

Ya

Tidak

PPOK

Asma

Tidak OAD

Gambar 3. Identifikasi Asma dan PPOK

Data dari studi oleh Kroenke dkk (1992) menunjukkan bahwa pasien dengan PPOK berat beresiko tinggi komplikasi pascaoperasi (29%). Insiden komplikasi paru pascaoperasi paling sering terjadi sejalan dengan tingkat keparahan gangguan saluran nafas. Walaupun demikian operasi nonreseksional jangan sampai ditunda hanya berdasarkan hasil dari uji fungsi paru.1,3,9-10

13

Tabel 3. Hubungan Uji Fungsi Paru dengan Resiko Kejadian Komplikasi Paru Pascaoperasi4 Variabel Jumlah Pasien Spirometri FEV1 1 L/min FVC 1,5 L/min Arterial blood gases PCO2 45mmHg PO275 mmHg 145 10 08 66 03 14 Odds Ratio (95% Confidence Interval) 0,84 (0,53-1,35) 7,9(1,7-37,0) 11,1(2,2-56,4) 0,7(0,3-1,8) 61,0(3,8-6,4) 13,4(1,3-14,1) 0,78 0,02 0,005 0,61 0,001 0,008 P Value

3.1.2.2 Analisa Gas Darah Meskipun hiperkapnia telah dikaitkan dengan peningkatan risiko komplikasi paru pascaoperasi dalam beberapa kasus, sebuah tinjauan pustaka berkesimpulan bahwa gas darah arteri (ABG) bukan merupakan faktor resiko independen dalam memprediksi komplikasi paru pasca operasi. Kemungkinan pasien dengan hiperkapnia dapat diidentifikasi sebagai berisiko tinggi atas dasar kriteria lainnya.3 Hiperkapnia dengan PaCO2 yang lebih besar dari 45 mmHg adalah faktor risiko yang kuat untuk terjadinya komplikasi paru, meskipun tidak selalu merupakan kontraindikasi mutlak untuk pembedahan. Hipoksemia adalah prediktor yang kurang signifikan untuk terjadinya komplikasi paru. Pasien yang menjalani operasi toraks, jantung atau abdomen dengan dyspnea atau yang merokok harus memiliki analisis gas darah praoperasi.1,9

3.1.2.3 Rontgen Toraks Rontgen toraks adalah suatu pemeriksaan paling sering dilakukan sekalipun pada orang sehat. Dalam praktek klinis, rontgen toraks yang bermanfaat hanya pada pasien yang memiliki bukti klinis penyakit dada. Perbandingan komplikasi paru pascaoperasi

14

adalah 12,8% pada pasien yang memiliki rontgen praoperasi dan 16% pada pasien yang tidak memiliki rontgen paru. Rekomendasi dari Guidelines Association Committe

rontgen toraks tidak harus dilakukan secara rutin untuk evaluasi praoperasi pada pasien tanpa faktor risiko ini didukung oleh studi Joo et al.11

3.2. Indeks Resiko Sejumlah sistem penilaian telah dirancang untuk memprediksi resiko komplikasi paru pascaoperasi pada pasien yang akan menjalani operasi. Masing-masing sistem memiliki keterbatasan dalam memprediksi kemungkinan terjadinya komplikasi paru pascaoperasi.

3.2.1 Indeks Resiko terjadinya Pneumonia dan Gagal Nafas Pascaoperasi Arozullah dkk telah memvalidasi sistem skoring untuk memprediksi risiko pneumonia pascaoperasi dan kegagalan pernafasan. Indeks-indeks ini menggabungkan prosedur operasi dan faktor pasien:12 Tabel 4. Indeks Resiko terjadinya Pneumonia dan Gagal Nafas Pascaoperasi 12,29 Variabel Jenis Operasi : Aneurysma Aorta Abdomen Toraks Bedah syaraf Abdominal bagian atas Bedah vaskular Bedah leher Emergency surgery Penurunan berat badan Albumin 27 kg/m2) Merokok dalam waktu 8 minggu dari operasi Batuk produktif dalam waktu 5 hari operasi Mengi difus dalam waktu 5 hari operasi FEV1/FVC rasio kurang dari 70% dan PaCO2> 45 mmHg Pasien dengan skor gabungan lebih besar dari 4 poin (dari total 10) adalah 17 kali lebih mungkin untuk mengalami komplikasi. Indeks ini dikembangkan untuk memprediksi risiko komplikasi paru khusus setelah operasi toraks.13

16

Tabel 5. Goldman Cardiac Risk Index Riwayat Usia > 70 tahun Miokard infark o Dalam 6 bulan Edema alveolar pulmonary o Pernah Goldman 5 o > 6 bulan o Dalam 1 minggu o Tidak pernah o Tidak pernah 10 Tidak dinilai Goldman Tidak dinilai Tidak dinilai

Angina (Canadian Heart Association Classification) o Class III o Class IV o Tidak pernah o Unstable angina dalam 3 bulan

Tes fungsi jantung Goldman o Tanda-tanda congestive heart failure (S3 gallop atau distensi 11 jugular) o Aorta stenosis signifikan 3 Elektrokardiografi Goldman o Aritmia selain sinus atau premature atrial contractions 7 o 5 atau lebih premature ventricular contractions per menit sebelum 7 operasi

General Medical Condition (salah satu) Goldman PO250mmHg (6.7 kPa); K50 mg/dl); Creatinine>260 umol/l, 3 (3mg/dl); elevated SGOT; penyakit hati kronis; terbaring di tempat tidur bukan karena penyakit jantung

Operasi o Emergency o Intraperitoneal atau intrathoracic o Vascular-aortic o Vascular-carotid o Vascular-peripheral o Ortopedi o Kepala&leher o Bedah minor o Bukan salah satu diatas

Goldman 4 3 3

17

3.3. Faktor-Faktor Resiko Pada Pasien 3.3.1. Usia Secara normal seseorang dapat membentuk alveoli baru sampai umur 20 25 tahun. Setelah itu jumlah alveoli akan berkurang, paru-paru akan mulai kehilangan jaringannya dan terdapat penurunan fungsi kapiler paru. Paru-paru juga menjadi kurang elastis karena berbagai faktor termasuk hilangnya protein jaringan yang disebut elastin. Jadi penuaan adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan berkurangnya

kapasitas dari semua fungsi paru. Tetapi tingkat hilangnya fungsi sangat bervariasi antara orang-orang dari usia kronologis yang sama. Namun, secara garis besar terdapat empat perubahan utama dari proses penuaan: 1. Penurunan elastisitas tulang dada 2. Hilangnya massa otot dengan melemahnya otot-otot pernapasan dan menurunkan daya mekanik 3. Penurunan pertukaran gas permukaan alveolar dan 4. Penurunan respon sistem saraf pusat, yang memiliki anatomi, konsekuensi mekanik dan fungsional.14-16 Usia > 65 tahun meningkatkan risiko terjadinya komplikasi paru pada pasien yang menjalani operasi nonthorak.14 Beberapa tinjauan pustaka menemukan bukti bahwa usia lanjut sebagai prediktor yang penting untuk terjadinya komplikasi paru pascaoperasi. Sepuluh studi multivariabel menunjukkan bahwa usia adalah prediktor yang signifikan. Didapatkan odd rasio 2,09 (95% CI, 1,70 untuk 2,58) untuk pasien 60 sampai 69 tahun dan 3,04 (CI, 2,11 untuk 4,39) bagi mereka 70 sampai 79 tahun dibandingkan dengan lebih muda pasien (orang-orang 60 tahun).17 Polanczyk dkk meneliti secara prospektif 4315 pasien usia di atas 50 tahun yang menjalani operasi elektif dan menentukan angka kematian dan lama tinggal di rumah sakit pascaoperasi besar. komorbiditas meningkat dengan bertambahnya umur.18

18

Tabel 6. Persentase Angka Kematian dan Lama tinggal pada Pasien ASA kelas III atau IV berdasarkan kelompok Umur. Polanczyk dkk18 Usia 50-59 th 60-69 th 70-79 th 80 th Persentase angka kematian dan lama tinggal 30% 39% 48% 53%

Usia merupakan faktor risiko minor bila pada terdapat kondisi co-morbid pada pasien tersebut. Misalnya seseorang yang berusia > 60 th dengan PPOK maka usia merupakan faktor resiko minor bila dibandingkan dengan PPOK. Operasi tidak perlu ditunda pada pasien usia lanjut yang harus dilakukan tindakan pembedahan.1,14-16

3.3.2. Obesitas Obesitas telah mencapai proporsi epidemi di Amerika Serikat dan di banyak negara industri di dunia. Dalam klasifikasi yang paling banyak digunakan dari obesitas adalah berat badan dinyatakan dalam indeks massa tubuh (BMI) . Obesitas didefinisikan sebagai BMI 30 kg/m2 dan dapat dibagi lagi menjadi 5 kelas (Tabel 5).19

19

Table 7. Classification of Body Weight19-20 ____________________________________________________________________ Underweight: BMI 18.5 kg/m2 Normal or acceptable weight: BMI 18.524.9 kg/m2 Overweight: BMI 2529.9 kg/m2 Obese: BMI 30 kg/m2 Grade 1: BMI 3034.9 kg/m2 Grade 2: BMI 35.0 39.9 kg/m2 Grade 3: BMI _40 kg/m2 (severe, extreme, or morbid obesity) Grade 4: BMI _50 kg/m2 Grade 5: BMI _60 kg/m2 ____________________________________________________________________

Obesitas memiliki dampak terhadap gangguan fungsi paru-paru dan dikaitkan dengan penyebab berbagai penyakit penyerta. Beberapa kelainan tersebut dapat menyebabkan kecacatan atau kematian.. Resiko ini meningkat sesuai dengan terjadinya peningkatan BMI . Adanya penumpukan lemak pada dinding dada dan perut dapat mengganggu kerja pernafasan. Hal ini mengakibatkan ventilasi menjadi tidak adekuat. Dampaknya akan terjadi perubahan pada volume paru. Penderita obesitas memiliki peningkatan kebutuhan untuk ventilasi dan beban kerja pernapasan, otot pernapasan inefisiensi, penurunan kapasitas cadangan fungsional dan ekspirasi cadangan volume, dan penutupan paru perifer unit. Obesitas adalah penyebab klasik terjadinya

hipoventilasi alveolar. Beberapa peneliti menemukan bahwa volume paru yang paling berkurang adalah kapasitas residu fungsional dan volume cadangan ekspirasi. Namun, tidak menutup kemungkinan juga terjadi penurunan pada volume paru yang lain. Dalam hal ini kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1). 19-20

20

Riwayat Penyakit, pemeriksaan fisik secara komprehensive dan pemeriksaan kimia darah sesuai indikasi

STEP 1

Pasien beresiko sangat rendah

Ya

lanjutkan dengan operasi direncanakan

Tidak

STEP 2 Satu faktor resiko CAD

12-lead ECG

RVH : hipertensi pulmonal LBBB : CAD

Rontgen toraks

STEP 3 Kapasitas fungsi paru baik

Ya

lanjutkan dengan operasi direncanakan

Tidak, tidak diketahui atau tidak mampu melakukan latihan fisik

STEP 4 Imaging techniqeue untuk menilai fungsi jantung

STEP 5Fungsi ventrikel kiri menurun

Pertimbangkan obesity cardiomyopathy atau hibernating myocardium

Angiography

Gambar 4. Algoritma penilaian jantung dan paru pasien obese pada operasi elektif non kardiak19

Pada kasus yang berat, obesitas dikaitkan dengan hipertensi paru, cor pulmonale, dan gagal napas hiperkapnia (sindrom Pickwickian). Sindroma Pickwick adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sekelompok gambaran klinis yang ditemukan pada

21

orang yang sangat gemuk. Gambaran ini terdiri dari atas hipoventilasi alveolar kronik, somnolen, polisitemia, hipoksemia dan hiperkapnia. Meskipun beberapa studi menunjukkan bahwa obesitas meningkatkan resiko independen.4,7,21 resiko komplikasi paru pasca operasi

seperti atelektasis, yang lain menunjukkan bahwa obesitas bukan merupakan faktor

3.3.3 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.21 Inflamasi saluran nafas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon inflamasi normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme amplifikasi ini belum diketahui, kemungkinan disebabkan faktor genetik. Pada pasien PPOK yang tidak mempunyai riwayat merokok, penyebab respons inflamasi yang terjadi belum diketahui. Inflamasi bronkial eksaserbasi dengan saluran napas instrumentasi, kolonisasi saluran napas praoperasi bakteri,operasi-induced imunosupresi dan peningkatan kerja otot pernapasan semua dapat mendorong terjadinya komplikasi paru pasca operasi. PPOK meningkatkan resiko terjadinya komplikasi paru pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi.22 PPOK eksaserbasi, infeksi saluran pernafasan praoperasi, operasi yang memerlukan imunosupresi dan peningkatan kerja otot pernapasan semua dapat menyebabkan terjadinya komplikasi paru pascaoperasi. Pasien dengan PPOK yang parah memiliki resiko 6 kali lebih besar untuk terjadinya komplikasi paru paru pascaoperasi.8 Menurut Kroenke dkk (1992), kejadian komplikasi paru pascaoperasi (kecuali atelektasis) paling sering sejalan dengan tingkat keparahan kerusakan saluran nafas terutama pada pasien dengan temuan klinis yang abnormal (suara napas menurun , mengi, ronkhi ) dan / atau ditandai perubahan dari pertukaran gas (PaCO2 7 kPa,

22

hipoksemia yang membutuhkan oksigen tambahan). Menurut Jaber dkk 2005; Ramakrishna dkk (2005) prognosis buruk bila pasien disertai dengan hipertensi arteri pulmonalis dan kelelahan otot pernapasan kronis. Hal ini dapat menyebabkan kegagalan ventrikel kanan dengan gangguan hemodinamik dan ketergantungan terhadap ventilator.8,12 PPOK juga meningkatkan resiko terjadinya aritmia pada pascaoperasi kardiotoraks. Hasil FEV1 60% merupakan suatu prediktor independen untuk peningkatan mortalitas pada pasien yang menjali operasi coronary artery bypass graft (CABG).1,11 Meskipun resiko komplikasi paru pascaoperasi meningkat pada pasien dengan PPOK, tingkat gangguan fungsi paru sebagai kontraindikasi mutlak untuk operasi tidak jelas. Manfaat dari operasi harus dipertimbangkan terhadap komplikasi ini. Suatu evaluasi praoperasi pasien dengan PPOK harus mencakup identifikasi pasien berisiko tinggi dan pengobatan agresif. Operasi elektif harus ditunda pada pasien yang memiliki gejala, memiliki kapasitas latihan yang buruk, atau pasien dengan PPOK eksaserbasi. Pasien dengan PPOK harus ditangani secara agresif untuk mencapai fungsi paru yang optimal. Bronkodilator, berhenti merokok, antibiotik, dan terapi fisik dapat membantu secara signifikan untuk mengurangi komplikasi paru. Dapat diberikan steroid sistemik praoperasi pada pasien yang terus memiliki gejala meskipun terapi bronkodilator telah diberikan.1,8

3.3.4. Asma Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan berbagai sel inflamasi sehingga menimbulkan gejala yang berhubungan dengan luas inflamasi, obstruksi saluran nafas yang reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai macam rangsangan yang dengan terapi spesifik dapat diredakan secara total atau sebagian gejalanya.3,25

23

-Alergi - Imunologi

Faktor genetik

- Non alergi - Non Imunologi

Alergen

Sel Mast

Reseptor Ig G Kompleks imun

Pengobatan Mis : aspirin, opioid, antibiotik, kontras, pelemas otot Aditif makanan Mis: tatrazin Infeksi alamiah Mis : hepatitis B Anafilatoxin Mis : C3a, C4a, C5a Pencetus fisis: Mis: dingin, panas, tekanan, aktivitas fisik Neurotensin,ATP, substance P Faktor modulasi Mis: hormon, psikologis, vasodilatasi

Autoimun IgG anti reseptor IgE Sel lainnya Neutrofil Eosinofil Limfosit Makrofag Trombosit Sel endotel

Histamin Prostglandin Leukotren Mediator lain sitokin Gejala

Gambar 5. Berbagai faktor yang dapat memicu degranulasi Sel Mast26

Penelitian terdahulu membuktikan bahwa asma merupakan suatu faktor resiko untuk terjadinya komplikasi paru pascaoperasi, tetapi tidak demikian halnya dengan penelitian terbaru. Analisis retrospektif dari Mayo Clinic menemukan angka kejadian komplikasi paru yang rendah di antara 706 pasien dengan asma yang menjalani

berbagai operasi. Komplikasi paru dan persentase kejadiannya adalah spasme bronkus 1,7%, gagal nafas 0,1%, spasme laring, 0,3%.3,8 Walaupun demikian sebuah analisis mengungkapkan bahwa meskipun bronkospasme hanya terdiri 1,7%, 90% dari cedera otak parah atau kematian disebabkan oleh karena bronkospasme.18 Evaluasi pasien dengan asma harus dilakukan sebelum operasi. Evaluasi mencakup gejala klinis, penggunaan obat (khususnya penggunaan kortikosteroid sistemik untuk lebih dari 2 minggu dalam 6 bulan terakhir), dan uji fungsi paru. Pasien dengan asma yang tidak terkontrol dengan baik (berdasarkan penggunaan inhaler terakhir atau kunjungan terakhir ke Instalasi Gawat Darurat) memiliki resiko

24

komplikasi paru lebih tinggi dari pada pasien dengan asma terkontrol. Pasien dengan asma yang terkontrol memiliki resiko komplikasi paru sama dengan orang sehat.2,4,29 Pasien dengan asma yang tidak terkontrol dan telah mendapatkan kortikosteroid sistemik selama 6 bulan terakhir, dapat diberikan Hidrokortison 100 mg setiap 8 jam secara intravena selama periode operasi dan mengurangi dosis cepat dalam waktu 24 jam setelah operasi.1,27

3.3.5. Merokok Merokok merupakan faktor resiko untuk terjadinya komplikasi paru pasca operasi. Hal ini telah berulang kali dilaporkan sejak laporan pertama pada tahun 1944. Merokok meningkatkan resiko bahkan di antara mereka yang tidak memiliki penyakit paru-paru kronis. Tidak hanya perokok aktif tapi juga perokok pasif pada anak-anak dan orang dewasa juga meningkatkan resiko masalah pernapasan intra dan pascaoperasi.2,8 Beberapa mekanisme yang membuat perokok lebih rentan untuk terjadi komplikasi paru adalah produksi lendir yang berlebihan, meningkatnya sensitivitas saluran napas atas, memperlambat bersihan lendir bronkus , perubahan dalam sintesis surfaktan, peningkatan permeabilitas epitel paru serta terganggunya aktifitas makrofag dan natural killer sitotoksik. Terbatasnya ketersediaan oksigen dalam jaringan

penyembuhan karena anti-proliferasi nikotin pada sel darah merah, fibroblasts dan makrofag kemungkinan dapat menyebabkan gangguan penyembuhan luka / tulang, kerentanan terhadap infeksi bakteri dan gangguan penyembuhan dari pembuluh darah / anastomosis usus.8 Pasien yang menjalani operasi elektif diharuskan untuk tidak merokok selama minimal 8 minggu sebelum operasi. Warner dkk melakukan penelitian prospektif dengan mempelajari 200 perokok yang akan menjalani operasi bypass koroner dan menemukan rendahnya resiko komplikasi paru antara mereka yang telah berhenti merokok setidaknya delapan minggu sebelum operasi dari kalangan perokok. Perbandingan resiko terjadinya komplikasi diantaranya adalah 14,4 persen pada mereka yang telah berhenti merokok dan 33 persen pada mereka yang tetap merokok.2-4,8-9

25

3.3.6. Status Kesehatan Umum Klasifikasi ASA dan Goldman cardiac risk index dapat digunakan untuk memprediksi resiko komplikasi paru pascaoperasi. Pasien yang memiliki kapasitas latihan kurang dapat meningkatkan resiko komplikasi paru pascaoperasi. Dalam sebuah studi oleh Gerson dkk, ketidakmampuan untuk menaikkan denyut jantung dengan latihan sederhana diprediksi memiliki tingkat komplikasi paru mencapai 79%.1-4 Kadar albumin serum kurang dari 3,5 mg / dL merupakan faktor resiko independen untuk komplikasi paru pascaoperasi dan harus diperiksa pada individu dengan dugaan hipoalbuminemia dan terdapat minimal satu faktor risiko lain untuk terjadinya komplikasi paru pascaoperasi.1-4

26

Keputusan melakukan operasi elektif

Resiko tinggi operasi?

ya

Keluar dari guideline

noPenilaian staus kesehatan dasar : Riwayat penyakit Pemeriksaan fisik

Kelainan yg berkaitan preoperative

ya

evaluasi lebih lanjut dilakukan dan evaluasi untuk bedah / resiko anestesi

noKomunikasi hasil pemeriksaan, persiapan operasi (Pasien dan Fasilitas)

Penatalaksanaan co morbid stabil

Resiko tinggi operasi?

yaKeluar dari guideline

Penilaian segera pra operasi

Gambar 6. Guideline evaluasi praoperasi28

27

BAB 4 PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN RESIKO KOMPLIKASI PARU PASCAOPERASI

4.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Pengobatan pasien dengan PPOK dilakukan secara agresif untuk mencapai fungsi paru yang optimal. Bronkodilator, berhenti merokok, antibiotik, dan terapi fisik dada dapat membantu secara signifikan mengurangi komplikasi paru. Dapat dilakukan manuver ekspansi paru untuk mencegah terjadinya penurunan fungsi paru atau membuka daerah atelektasis. Latihan daya tahan otot pernafasan dan perbaikan gizi pasien dapat meningkatkan kekuatan otot pernafasan.1,8 Pemberian beta2 adrenergic agonist (salbutamol) dan anticholinergic agents (Ipratropium) secara inhalasi harus diteruskan sampai hari pelaksanaan operasi pada pasien dengan gejala hiperaktifitas bronkus.1-3,8 Pengobatan jangka pendek dengan kortikosteroid sistemik atau inhalasi telah terbukti meningkatkan fungsi paru-paru dan untuk mengurangi mengi yang disebabkan karena intubasi endotrakea tanpa meningkatkan risiko infeksi atau gangguan penyembuhan luka.1.8 Pemberian Antibiotik hanya jika karakter sputum atau bilasan cairan bronchoalveolar menunjukkan infeksi dan apabila memungkinkan pelaksanaan operasi ditunda selama setidaknya 10 hari. Sebuah studi pasien dengan CABG mengalami COPD menunjukkan penurunan risiko komplikasi pasca operasi antara kelompok yang mendapat prednisolon 20 mg sehari selama 10 hari sebelum operasi dan berlanjut sampai keluar rumah sakit.1,8 Meskipun teofilin efektif untuk melemahkan bronkospasme dan untuk memperkuat kontraktilitas diafragma tetapi obat ini bukan merupakan pilihan pertama untuk mengelola obstruksi saluran nafas karena memiliki potensi untuk menghasilkan aritmia dan episode kejang.1

28

4.2. Asma Pada dasarnya prinsip penatalaksanaan asma praoperasi sama dengan PPOK. Dengan mengoptimalkan kontrol asma sebelum operasi maka dapat membantu mengurangi resiko terjadinya komplikasi paru.1,29 Pemberian Kortikosteroid sistemik perioperatif dapat diberikan pada pasien dengan gejala asma persisten jika tingkat aliran puncak dan FEV1 kurang dari 80% prediksi atau terbaik sebelumnya. Pengobatan tersebut telah terbukti menurunkan resiko bronkospasme. Keamanan kortikosteroid perioperatif pada pasien dengan asma baik dan penggunaannya tidak terkait dengan kematian, infeksi serius, atau supresi adrenal. Pasien harus menerima dosis cakupan stres perioperatif (hidrokortison 100 mg IV setiap 8 jam, dengan tappering cepat setelah 24 jam).1,29-30 Penggunaan antibiotik profilaksis tidak mengurangi terjadinya komplikasi paru. Antibiotik dapat digunakan pada pasien yang memiliki gejala infeksi pernapasan Pertimbangkan untuk menunda operasi jika pasien memiliki gejala klinis infeksi.1,29-30

4.3. Merokok Meskipun merokok merupakan faktor risiko untuk komplikasi paru pasca operasi, salah satu kekhawatiran tentang berhenti merokok pada periode praoperasi secara langsung adalah bahwa penghilangan mendadak dari efek iritasi asap rokok dapat menghambat batuk dan menyebabkan retensi sekresi dan obstruksi jalan napas kecil. Sebagai efek menguntungkan dari berhenti merokok, termasuk peningkatan fungsi silia dan saluran napas kecil serta penurunan produksi dahak, penghentian harus dilakukan secara bertahap selama beberapa minggu.1-4,8 Warner dkk meneliti secara prospektif peran berhenti merokok sebelum operasi pada komplikasi paru pascaoperasi pada pasien yang menjalani operasi CABG. Mereka yang saat ini merokok persentase komplikasi pascaoperasi adalah 33%, dibandingkan dengan 57% untuk individu yang berhenti kurang dari 8 minggu. Persentase komplikasi pada orang yang tidak pernah merokok adalah 11,9% dan pada pasien yang telah berhenti selama lebih dari 8 minggu adalah 14,5%.1

29

BAB 5 RINGKASAN

Semua pasien yang akan menjalani operasi non kardiotoraks harus dievaluasi terutama pada pasien-pasien yang dengan faktor resiko yang signifikan untuk terjadi komplikasi paru pascaoperasi. Tujuannya adalah untuk mengurangi kejadian morbiditas, mortalitas dan lamanya rawat inap di rumah sakit pascaoperasi. American society of anesthesiologist (ASA) menggunakan kriteria klinis dan klasifikasi status fisik sebagai pedoman untuk memprediksi tingkat dari komplikasi paru pascaoperasi. Skor ini sederhana dan mudah untuk diukur. Meskipun subjektif, untuk ASA kelas II sampai V menunjukkan peningkatan tingkat keparahan dan morbiditas pascaoperasi. Pasien-pasien dengan resiko komplikasi paru harus mendapatkan

penatalaksanaan secara optimal. Apabila memungkinkan operasi harus ditunda untuk mengurangi terjadinya komplikasi paru pascaoperasi. Beberapa faktor resiko tidak dapat dimanipulasi seperti usia lanjut. Spirometri preoperative dan rontgen toraks tidak perlu digunakan secara rutin untuk memprediksi resiko untuk pasca operasi paru komplikasi. Spirometri preoperative pengujian fungsi paru atau rontgen toraks perlu dilakukan pada pasien yang sebelumnya didiagnosis penyakit paru obstruktif kronik atau asma.

30