Top Banner
1 EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN 2007: BERDASARKAN INDEKS PEMERINTAHAN BERBASIS GOVERNANCE 1 Dede Mariana, Caroline Paskarina, dan Widya Setiabudhi ABSTRACT The policy of decentralisation and local autonomy is not a new phenomenon in Indonesia, but in more than a century, the implementation of this policy is more oriented toward elite’s interests instead of public’s interest. Therefore, evaluation to the implementation of decentralisation and local autonomy policy is necessary to obtain objective information as input to improve local autonomy implementation in the future. Measurement fo Governance-Based Index in West Java Province in this research used indicatiors such as citizen participation, government orientation, social development, and economic management. The result indicated that governance quality in West Java Province in 2007 is 58,57, which is mediate category. Indicator with lowest score (54,68) is government orientation, meanwhile the highest score (63,71) is obtain by citizen participation. In the future, comprehensive effort are needed to revise relationship among stakeholders to achieve synergic relationship. Trust as foundation of governance relationship is build through law enforcement, bureaucracy reform, and elimination of corruption, collution, and nepotism in public affairs. Keywords: local autonomy evaluation, governance-based index Pengantar Otonomi daerah merupakan salahsatu agenda reformasi yang hingga saat ini masih menjadi wacana yang hangat diperdebatkan. Semangat kebebasan dan pengakuan akan identitas lokal yang mendasari prinsip otonomi daerah pascareformasi seolah menimbulkan euforia di tingkat daerah, sehingga muncul idiom “raja kecil”, “bos lokal”, dll untuk merefleksikan hubungan pusat dan daerah yang ditandai dengan kuatnya posisi tawar daerah berhadapan dengan pemerintah pusat. Namun, di sisi lain, berbagai inovasi dan best practices pun bermunculan dari daerah. Jembrana, Sidoarjo, Sragen, Blitar, 1 Ditulis ulang/versi ringkas dari penelitian tentang Pengukuran Indeks Pemerintahan Berbasis Governance sebagai indikator evaluasi otonomi daerah di Jawa Barat
26

EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

Feb 04, 2018

Download

Documents

vantu
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

1

EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN 2007: BERDASARKAN INDEKS PEMERINTAHAN BERBASIS GOVERNANCE1

Dede Mariana, Caroline Paskarina, dan Widya Setiabudhi

ABSTRACT

The policy of decentralisation and local autonomy is not a new phenomenon in Indonesia, but in more than a century, the implementation of this policy is more oriented toward elite’s interests instead of public’s interest. Therefore, evaluation to the implementation of decentralisation and local autonomy policy is necessary to obtain objective information as input to improve local autonomy implementation in the future. Measurement fo Governance-Based Index in West Java Province in this research used indicatiors such as citizen participation, government orientation, social development, and economic management. The result indicated that governance quality in West Java Province in 2007 is 58,57, which is mediate category. Indicator with lowest score (54,68) is government orientation, meanwhile the highest score (63,71) is obtain by citizen participation. In the future, comprehensive effort are needed to revise relationship among stakeholders to achieve synergic relationship. Trust as foundation of governance relationship is build through law enforcement, bureaucracy reform, and elimination of corruption, collution, and nepotism in public affairs. Keywords: local autonomy evaluation, governance-based index

Pengantar

Otonomi daerah merupakan salahsatu agenda reformasi yang hingga saat ini masih

menjadi wacana yang hangat diperdebatkan. Semangat kebebasan dan pengakuan akan

identitas lokal yang mendasari prinsip otonomi daerah pascareformasi seolah

menimbulkan euforia di tingkat daerah, sehingga muncul idiom “raja kecil”, “bos lokal”,

dll untuk merefleksikan hubungan pusat dan daerah yang ditandai dengan kuatnya posisi

tawar daerah berhadapan dengan pemerintah pusat. Namun, di sisi lain, berbagai inovasi

dan best practices pun bermunculan dari daerah. Jembrana, Sidoarjo, Sragen, Blitar, 1 Ditulis ulang/versi ringkas dari penelitian tentang Pengukuran Indeks Pemerintahan Berbasis Governance sebagai indikator evaluasi otonomi daerah di Jawa Barat

Page 2: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

2

Indramayu, Solok, dll. menjadi beberapa contoh daerah yang berhasil menerapkan

pembaharuan dalam tata kelola pemerintahannya, khususnya yang terkait dengan

penyelenggaraan pelayanan publik dan reformasi birokrasi. Keberhasilan daerah-daerah ini

membawa harapan bahwa dengan otonomi daerah, akan ada perbaikan dalam kehidupan

masyarakat di daerah.

Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah bukanlah hal baru di Indonesia karena

sejak tahun 1803 telah diberlakukan Decentralizatie Wet. Namun, pada kenyataannya

hingga lebih dari seabad, kebijakan desentralisasi lebih banyak berorientasi pada

kepentingan elit dan bukan kepentingan masyarakat. Karena itulah, evaluasi terhadap

pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah menjadi penting untuk dilakukan

agar dapat diperoleh informasi yang obyektif sebagai bahan perbaikan pelaksanaan

otonomi daerah di masa mendatang.

Penyelenggaraan pemerintahan secara desentralistis pada dasarnya menyangkut

transfer kewenangan dari pusat ke daerah, maupun dari pemerintah kepada institusi-

institusi non pemerintah. Karena itu, pada praktiknya, desentralisasi senantiasa dikaitkan

dengan manajemen pemerintahan berbasis governance sebagai salahsatu model

manajemen pemerintahan yang mensyaratkan adanya jejaring kerja dan kemitraan di

antara seluruh stakeholders atau pemangku kepentingan, baik pemerintah, pelaku usaha,

maupun masyarakat (civil society).

Sebagian besar evaluasi terhadap suatu kebijakan atau program cenderung bersifat

sentralistis, hanya memandang hambatan terhadap kebijakan atau program tersebut. Oleh

karena itu, diperlukan metodologi evaluasi yang melibatkan penerima manfaat dari

kebijakan atau program tersebut sebagai narasumber. Dengan demikian, evaluasi berguna

untuk mencari pola proses sosial dan hasil (outcome), memahami persoalan di sekitar

Page 3: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

3

kelebihan dan kelemahan kebijakan atau program, merumuskan dan memperbaiki

metodologi evaluasi kebijakan atau program, juga memberi landasan dan alternatif

pemecahan masalah bagi tindakan selanjutnya oleh para pengambil kebijakan2.

Keberhasilan penyelenggaraan governance seyogianya dapat diukur agar diperoleh

informasi yang obyektif mengenai kapasitas penyelenggaraan pemerintahan, baik dalam

melaksanakan kewenangannya, mengalokasikan sumber-sumberdaya publik, serta

memberikan pelayanan publik yang berkualitas bagi warga masyarakatnya. Melalui

pengukuran ini, masyarakat dapat mengetahui sejauhmana upaya yang dilakukan

pemerintah telah sesuai dengan harapan dan tuntutan mereka, yang pada gilirannya akan

menentukan sikap masyarakat apakah akan mendukung atau menolak pola

penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Sementara bagi para pelaku usaha, pengukuran

governance menjadi bahan masukan untuk menentukan keputusan-keputusan bisnis

mereka, misalnya apakah daerah yang bersangkutan cukup prospektif bagi investasi atau

tidak. Bagi pemerintah, pengukuran indeks pemerintahan berbasis governance menjadi

salahsatu bahan untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan yang selama ini dilaksanakan.

Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, pengukuran

indeks pemerintahan yang berbasis pada indikator-indikator governance menjadi relevan

sebagai salahsatu alat ukur untuk menilai pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.

Dalam era desentralisasi, tata kelola pemerintahan daerah menjadi ujung tombak bagi

peningkatan kesejahteraan masyarakat karena pemerintah daerah berada lebih dekat

dengan masyarakat, sehingga diharapkan dapat lebih memahami kebutuhan masyarakat

dan dapat lebih responsif dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Desentralisasi dalam

pengertian transfer atau pelimpahan kewenangan baru akan bermakna bila disertai dengan

2 Miller (1991) dalam Fahmi Wibawa dan Moch. Yunus (eds). Inovasi sebagai Referensi: Tiga Tahun Otonomi Daerah dan Otonomi Award. Surabaya : Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi, 2004.

Page 4: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

4

peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam bidang-bidang

yang merupakan pelayanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, daya beli, dan

infrastruktur.

Berbagai Model Evaluasi Otonomi Daerah

Dalam kajian-kajian pemerintahan yang bersifat institusionalisme atau

kelembagaan, pemerintah dimaknai sebagai institusi atau lembaga sedangkan

pemerintahan adalah kerja pemerintah. Inilah yang dimaknai sebagai konsep government.

Dalam arti luas, government diartikan sebagai lembaga-lembaga yang bertanggung jawab

membuat keputusan kolektif bagi masyarakat, sementara dalam arti sempit, government

adalah pejabat politik paling tinggi dalam lembaga-lembaga itu, yaitu presiden, perdana

menteri, dan menteri3. Pemahaman tentang pemerintah dalam konsep ini menempatkan

pemerintah sebagai aktor dominan bahkan aktor utama dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Keputusan kolektif dalam masyarakat dibuat sendiri oleh seorang pimpinan,

misalnya presiden atau kepala daerah, atau oleh satu kelompok (misalnya kabinet).

Peranan masyarakat terbatas sebagai kelompok sasaran dalam pelaksanaan kebijakan,

bahkan partisipasi masyarakat dimaknai secara sempit hanya sebagai formalitas dalam

mendukung legitimasi kebijakan yang dibuat pemerintah.

Secara umum, istilah government lebih mudah dipahami sebagai pemerintah yaitu

lembaga beserta aparaturnya yang mempunyai tanggung jawab untuk mengurus negara

dan menjalankan kehendak rakyat, kecenderungannya lebih tertuju pada lembaga eksekutif

atau kepresidenan (executive heavy)4. Selanjutnya ditegaskan bahwa wacana mengenai

3 Mochtar Mas’oed. “Desentralisasi dan Good Governance”. Dalam Good Governance : Untuk Daulat Siapa ?. Edy Soehardono. Yogyakarta : Forum LSM DIY bekerja sama dengan YAPPIKA. 2001, hal. 19. 4 Satish Chandra Mishra. The Economic and Politics of Good Governance : Notes Towards an Anatomy. Makalah. Jakarta : Bappenas. 2000, hal. 3.

Page 5: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

5

government lebih mengarah pada meminimalkan peran negara dan mempromosikan peran

sektor swasta atau limitation of the state’s roles5. Terdapat pula diskusi mengenai

reformasi aparatur negara (civilservice reform) namun hal ini tidak lebih dari bagian

agenda ekonomi untuk penyesuaian struktural (structural adjustment).

Wacana government adalah fenomena yang berkembang pada abad 20 di mana

negara memegang hegemoni kekuasaan atas rakyat6. Ketika negara (pemerintah)

memegang hegemoni maka tertib sosial cenderung ditegakkan secara hierarkhis dan

birokratis, dan kurang mengandalkan pada mekanisme spontan yang dapat berlangsung

dari dalam masyarakat, oleh kekuatan yang ada pada masyarakat itu sendiri.

Kegagalan konsep sentralisasi menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma

pemerintahan yang semula menekankan pada institusi pemerintah (government) menjadi

governance, yakni suatu konsep yang memandang pemerintahan sebagai suatu proses yang

tidak lagi bersifat intra bureaucratic anality (perspektif yang melihat aktivitas dan

kekuasaan pemerintahan di dalam dirinya sendiri). Kinerja pemerintahan harus dilihat dari

interaksi dan relasi antara berbagai faktor dan aktor di luar birokrasi.

Konsep governance dimunculkan sebagai alternatif model dan metode governing

(proses pemerintahan) yang lebih mengandalkan pada pelibatan seluruh elemen

masyarakat, baik pemerintah, semi pemerintah, atau non pemerintah, seperti lembaga

bisnis, LSM, komunitas, atau lembaga. Dengan cara pandang itu, sekat-sekat formalitas

negara atau pemerintah menjadi terabaikan.

Konsep governance melihat kegiatan, proses atau kualitas memerintah, bukan

tentang struktur pemerintahan, tetapi kebijakan yang dibuat dan efektivitas penerapan

5 Mishra. Loc.Cit. 6 Baca lebih lanjut dalam Francis Fukuyama. The Great Discruption : Human Nature and the Reconstruction of Social Order. New York : The Free Press. 1999 dan Manuel Castells. The Information Age : Economy, Society and Culture Vo. II Th ePower of Identity. Massachusetts : Blackwell Publishers Ltd. 1997.

Page 6: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

6

kebijakan itu7. Kebijakan bukan dibuat oleh seorang pemimpin atau satu kelompok

tertentu melainkan muncul dari proses konsultasi antara berbagai pihak yang terkena oleh

kebijakan itu. Dalam konsep ini, pemerintah bukan satu-satunya aktor dan tidak selalu

menjadi pelopor dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai fungsi pengelolaan

masyarakat yang kompleks, governance melibatkan relasi antara berbagai kekuatan dalam

negara, yakni pemerintah (state), civil society, economic society, dan political society.

Pengukuran mengenai indeks tata kelola pemerintahan, khususnya yang berbasis

governance sudah mulai dilakukan sejak tahun 1998 melalui indeks yang disusun oleh Jeff

Huther dan Anwar Shah. Namun, selain indeks tersebut, sebenarnya ada sejumlah

pendekatan yang dapat digunakan untuk menyusun indeks pemerintahan berbasis

governance. Setidaknya terdapat 4 (empat) pendekatan dalam menyusun indeks

governance, yakni: (1) pendekatan geometric mean index yang digunakan oleh Huther dan

Shah (1998)8; (2) pendekatan unobserved component yang digunakan oleh Kaufmann,

Kraay, dan Lobaton (1999)9; (3) pendekatan principal component analysis yang digunakan

oleh Toatu (2004)10; serta (4) pendekatan arithmetic mean index yang digunakan oleh

Manning, Mukherjee, dan Gokcekus (2000)11.

Sekalipun terdapat 4 (empat) pendekatan berbeda, namun pada dasarnya keempat

pendekatan tersebut menekankan pada dimensi kuantitatif dari tata kelola pemerintahan

yang bersumber dari pengukuran terhadap indikator agregat (indikator komposit) yang

7 Mas’oed, op.cit., hal. 19. 8 Jeff Huther and Anwar Shah. 1998. Applying a Simple Measure of Good Governance to the Debate on Fiscal Decentralization. Washington, DC : World Bank 9 Daniel Kaufmann, Aart Kraay, dan Pablo Zoido-Labaton. 1999. Agregating Governance Indicators. Washington, DC : World Bank. 10 Ronald Duncan, Teuea Toatu, dan Azmat Gani. 2004. A Conceptual Framework for the Development of a Composite Governance Index for the Pacific Island Countries. Pacific Institute of Advanced Studies in Development and Governance. 11N. Manning, R. Mukherjee, dan O. Gokcekus, 2000. Public Officials and their Institutional Environment. Washington, D.C : World Bank.

Page 7: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

7

dibentuk dari sejumlah tolok ukur. Pengukuran terhadap indikator-indikator agregat ini

kemudian diinterpretasikan, sehingga potensi subyektivitas dan bias memang tetap ada,

terutama ketika menentukan pembobotan untuk tiap indikator. Karena itu, pendekatan

kualitatif tetap diperlukan sebagai penyeimbang dan pelengkap analisis terhadap hasil

pengukuran kuantitatif.

Secara umum, keempat pendekatan tersebut membangun indikator-indikator

governance dengan berlandaskan pada konsep governance yang mensyaratkan adanya

partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum (rule of law). Penjabaran

dari keempat prasyarat ini kemudian melahirkan sejumlah model indikator, antara lain

yang dibuat oleh Huther dan Shah (1998) sebagai berikut :

1. Citizen participation (partisipasi warga) partisipasi warga, dengan tolok ukur:

a. Kebebasan politik : mengukur kemampuan warga untuk mempengaruhi

kualitas tata pemerintahan yang mereka peroleh.

b. Stabilitas politik : mengukur kemampuan warga untuk berpartisipasi dalam

pembuatan kebijakan.

2. Government orientation (orientasi pemerintah) keberpihakan pemerintah terhadap

kebutuhan warga masyarakat, terutama dalam kinerja pelayanan publik (penyediaan

barang dan jasa publik), dengan tolok ukur:

a. Efisiensi yudisial/penegakan hukum

b. Efisiensi birokrasi

c. Tingkat korupsi.

3. Social development (pembangunan sosial) tolok ukur:

a. Indeks Pembangunan Manusia

b. Distribusi pendapatan

Page 8: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

8

4. Economic management (pengelolaan ekonomi) kemampuan pemerintah dalam

mengelola perekonomian diukur melalui indikator kinerja yang mencakup kebijakan

fiskal (ratio hutang dan pendapatan/GDP); kebijakan moneter (independensi bank

sentral); dan kebijakan perdagangan (orientasi keluar).

Tolok ukur:

a. Orientasi keluar : tingkat investasi

b. Independensi Bank Sentral

c. Rasio hutang dengan pendapatan

Sejalan dengan model di atas, Kaufmaan, Kraay, dan Lobaton (2002) menyusun

indeks governance dengan berpatokan pada indikator-indikator sebagai berikut:

1. Voice and accountability : mengukur sejauhmana warga masyarakat dapat

berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan serta independensi media.

2. Political stability : mengukur keberlangsungan pemerintahan, termasuk jaminan bahwa

pemerintahan yang berlangsung tidak akan digantikan melalui mekanisme

inkonstitusional.

3. Government effectiveness : mengukur kualitas pelayanan publik, kinerja birokrasi,

kompetensi birokrasi, independensi birokrasi, dan kredibilitas pemerintah dalam

melaksanakan kebijakan.

4. Regulatory quality : mengukur keberpihakan kebijakan-kebijakan publik untuk

menciptakan iklim usaha yang kondusif.

5. Rule of law : mengukur sejauhmana hukum dapat ditegakan melalui mekanisme

peradilan yang adil dan akuntabel.

6. Control of corruption : mengukur sejauhmana kasus-kasus korupsi, penyuapan, dan

sejenisnya dapat ditangani oleh institusi penegak hukum.

Page 9: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

9

Perangkat indikator yang sejenis juga digunakan dalam penelitian yang dilakukan

Ronald Duncan, Teuea Toatu, dan Azmat Gani (2004). Ketiga peneliti tersebut

menggunakan indikator-indikator agregat yang tersusun dari komponen-komponen sebagai

berikut:

Tabel 1

Indeks Governance versi Principal Component Analysis

Indeks Indikator 1. Indeks Rule of Law a) Kebebasan Politik

b) Stabilitas Politik c) Efektivitas Lembaga Peradilan d) Independensi Media

2. Indeks Government Effectiveness a) Efisiensi Birokrasi b) Pengelolaan ekonomi c) Tingkat korupsi

3. Indeks Social Development a) Indeks Pembangunan Manusia b) Distribusi Pendapatan

4. Indeks Regulatory Quality a) Kapasitas institusi keuangan b) Daya saing

Sumber : Duncan, Toatu, dan Gani (2004)

Model yang keempat dikemukakan oleh Manning, Mukherjee dan Gokcekus

(2000) dalam penelitiannya tentang indeks governance untuk negara-negara di Asia

Pasifik, dengan karakteristik khusus bagi negara-negara yang tergolong miskin. Model

yang ditawarkan berbasis pada metode perhitungan rata-rata aritmatika dengan

berpedoman pada kinerja organisasi. Indeks governance disusun dengan mencakup kriteria

sebagai berikut: (1) rule credibility; (2) policy credibility; dan (3) resource adequacy and

predictability. Ketiga indikator ini mencerminkan faktor-faktor lingkungan yang

mempengaruhi kinerja organisasi pemerintahan.

Secara khusus, pengukuran Indeks Governance juga pernah dilakukan di Indonesia

ketika UU No. 22 Tahun 1999 baru diberlakukan. Pengukuran ini dilaksanakan dalam

bentuk Governance and Decentralization Surveys (GDS) yang dilaksanakan pada tahun

Page 10: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

10

2002 di sekitar 177 kabupaten/kota di seluruh wilayah Indonesia. Indikator yang

digunakan dalam survei ini mencakup isu-isu governance seperti: (1) akuntabilitas; (2)

partisipasi; (3) penegakan hukum; (4) keadilan; (5) responsivitas politisi; (6) tingkat KKN;

serta (7) kualitas pelayanan publik. Berbeda dari model-model sebelumnya yang

melakukan pengukuran indeks governance untuk tingkat pemerintah pusat (nasional),

GDS melakukan pengukuran indeks governance untuk tingkat pemerintah kabupaten/kota

dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi.

Dalam kaitan dengan evaluasi otonomi daerah, model sejenis juga pernah

dikembangkan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti yang dilakukan oleh

Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, atau

Yayasan Harkat Bangsa yang bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in

Indonesia. Evaluasi dan monitoring otonomi daerah yang dilaksanakan Jawa Pos

menggunakan parameter-parameter sebagai berikut12 :

1. Parameter Kinerja Politik :

a. Kesinambungan politik

b. Partisipasi publik

c. Akuntabilitas

2. Paramater Pengembangan Ekonomi :

a. Pertumbuhan ekonomi

b. Pemerataan ekonomi

c. Pemberdayaan ekonomi lokal

d. Pemberdayaan ekonomi lemah

3. Parameter Pelayanan Publik :

12 Wibawa dan Yunus, ibid.

Page 11: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

11

a. Kesehatan

b. Pendidikan

c. Pelayanan administrasi dasar

Ketiga parameter ini kemudian dijabarkan secara operasional ke dalam pengukuran

kinerja fungsional dan kinerja alokasi sumber daya (distributif)13. Kinerja fungsional

berkaitan dengan kinerja representasi; kinerja legislasi; kinerja kontrol; dan kinerja

penganggaran. Kinerja distributif berkaitan dengan isu-isu kebijakan strategis, seperti

kebijakan pro-pendidikan; pro-kesehatan; pro-orang miskin; pro-pemerataan ekonomi; dan

pro-lingkungan hidup.

Indikator tersebut tidak jauh berbeda dengan yang digunakan oleh UGM,

perbedaannya, UGM lebih menitikberatkan indikator-indikator tersebut untuk menilai

praktik good governance. Indikator yang digunakan tersebut adalah sebagai berikut14:

1. Profesionalisme dan Kinerja Birokrasi Pemerintah

a. Netralitas

b. Keadilan

c. Efisiensi

d. Responsivitas

e. Kualitas Pelayanan

f. Akuntabilitas

2. Kinerja Lembaga Legislatif

a. Penyusunan Anggaran

b. Penyusunan Perda

13 Ibid. 14 Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. Teladan dan Pantangan dalam Tata Kepemerintahan yang Baik. Yogyakarta : PSKK, 2002.

Page 12: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

12

c. Pengawasan

3. Penegakan Hukum

4. Penanggulangan Kemiskinan

Kedua kelompok indikator tersebut memunculkan pengukuran terhadap hasil

penerapan desentralisasi, antara lain partisipasi publik, pemberdayaan ekonomi, dan

penanggulangan kemiskinan. Berbeda dari kedua studi terdahulu, studi yang dilakukan

Yayasan Harkat Bangsa dengan metode diskusi expert meeting menggunakan indikator

untuk mengukur pemahaman stakeholders tentang paradigma dan konsep otonomi daerah

yang diterapkan. Sementara aspek implementasi tetap terfokus pada bidang

politik/pemerintahan (birokrasi), ekonomi, dan pelayanan publik. Secara rinci, indikator

evaluasi otonomi daerah yang digunakan oleh Yayasan Harkat Bangsa adalah sebagai

berikut15:

1. Aspek Kewenangan :

a. Pemahaman konsepsi

b. Pemetaan potensi konflik

2. Dinamika hubungan Kepala Daerah-DPRD

3. Kelembagaan daerah

4. Pengawasan dan pembinaan

5. Birokrasi

6. Desentralisasi fiskal

7. Pelayanan publik

Model pengukuran Indikator Good Governance juga mulai dikembangkan oleh

Bappenas yang meliputi 14 prinsip tata kepemerintahan yang baik, yakni: (1) wawasan ke

15 Indra J. Piliang, Dendi Ramdani, dan Agung Pribadi. Otonomi Daerah : Evaluasi dan Proyeksi. Jakarta : Yayasan Harkat Bangsa, 2003.

Page 13: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

13

Depan (visionary); (2) keterbukaan dan transparansi (openness and transparency); (3)

partisipasi masyarakat (participation); (4) tanggung gugat (accountability); (5) supremasi

hukum (rule of law); (6) demokrasi (democracy); (7) profesionalisme dan kompetensi

(profesionalism and competency); (8) daya tanggap (responsiveness); (9) keefisienan dan

keefektifan (efficiency and effectiveness); (10) desentralisasi (decentralization); (11)

kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat (private sector and civil society

partnership); (12) komitmen pada pengurangan kesenjangan (commitment to reduce

inequality); (13) komitmen pada perlindungan lingkungan hidup (commitment to

environmental protection); dan (14) komitmen pada pasar yang fair (commitment to fair

market). Setiap variabel dijabarkan ke dalam indikator minimal, perangkat pendukung

indikator, dan penerapannya.

Berbagai model yang diungkapkan di atas memiliki persamaan, yakni seluruhnya

berbasis pada governance. Perbedaannya terletak pada ruang lingkup dan metode

pengukurannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model evaluasi otonomi

daerah dapat disusun dengan berbasis pada kinerja tata kepemerintahan (governance),

terutama untuk meningkatkan obyektivitas metode evaluasi karena penilaian dari unsur-

unsur stakeholders menjadi dasar evaluasi. Model yang dikembangkan Bappenas

sebenarnya sudah cukup komprehensif, namun belum didukung oleh metode pengukuran

yang sederhana yang dapat diaplikasikan oleh seluruh level pemerintahan. Karena itu, di

Jawa Barat dikembangkan model Indeks Pemerintahan berbasis governance. Luaran

(output) berupa indeks ini dapat dijadikan sebagai tolok ukur yang relatif valid untuk

mengevaluasi otonomi daerah dengan mempertimbangkan persepsi dari unsur-unsur lain di

luar pemerintah, sekaligus dapat menjadi bahan masukan dalam perencanaan

pembangunan di daerah.

Page 14: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

14

Indeks Pemerintahan berbasis Governance

Indeks Pemerintahan berbasis governance yang dapat dikembangkan untuk

mengevaluasi otonomi daerah, tersusun dari indikator-indikator sebagai berikut:

1. Citizen participation (partisipasi publik) partisipasi warga, dengan tolok ukur:

a. Kebebasan politik : mengukur kemampuan warga untuk mempengaruhi kualitas

tata pemerintahan yang mereka peroleh.

b. Stabilitas politik : mengukur kemampuan warga untuk berpartisipasi dalam

pembuatan kebijakan.

Partisipasi warga menjadi indikator dalam menilai kadar tata kelola pemerintahan

karena konsep ini menggambarkan esensi dari penerapan demokrasi dalam tata kelola

pemerintahan. Demokrasi sebagai paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan

memiliki banyak model, antara lain yang bercorak model perwakilan, model

deliberatif, bahkan model komunitarian. Pada prinsipnya, keseluruhan varian atau

model demokrasi yang ber/kembang berfokus pada perluasan ruang partisipasi publik

secara substantif untuk turut berperan dalam proses pengambilan keputusan dan

pembuatan kebijakan-kebijakan strategis.

Demokrasi secara substantif menghendaki adanya keterlibatan secara aktif dan otonom

dari seluruh komponen masyarakat karena dengan demikian, aspirasi masyarakat dapat

diketahui secara pasti. Di sisi lain, dengan adanya partisipasi masyarakat, maka kadar

legitimasi pemerintah yang berkuasa dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan karena

partisipasi biasanya sejalan dengan transparansi dan akuntabilitas. Partisipasi akan

muncul manakala ada keterbukaan dan partisipasi akan menghasilkan pemerintahan

yang akuntabel, yang senantiasa diarahkan untuk mendengarkan aspirasi masyarakat.

Page 15: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

15

Berdasarkan konsepsi tersebut, maka partisipasi publik didefinisikan sebagai

keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan yang terkait dengan kepentingan

publik, seperti penyusunan rencana pembangunan (musrenbang), pemilihan umum,

atau pemilihan lokal. Umumnya partisipasi dalam kegiatan-kegiatan publik dapat

diobservasi di level pemerintahan terendah, yang mencakup baik partisipasi pasif

maupun aktif dari masyarakat yang bermukim dalam suatu wilayah. Partisipasi aktif

maupun pasif diperoleh datanya dari data primer melalui kuesioner yang disebarkan

pada responden rumah tangga.

Selain berupa data primer, pengukuran tingkat partisipasi juga dapat diukur melalui

data sekunder berupa data jumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) dan LSM dalam

suatu periode tertentu. Data ini dapat menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat,

meskipun potensi biasnya cukup besar karena bertambahnya jumlah ormas dan LSM

belum tentu mengindikasikan peningkatan partisipasi karena bisa saja organisasi-

organisasi tersebut terbentuk bukan secara otonom dari masyarakat.

2. Government orientation (orientasi pemerintah) keberpihakan pemerintah terhadap

kebutuhan warga masyarakat, terutama dalam kinerja pelayanan publik (penyediaan

barang dan jasa publik), dengan tolok ukur:

a. Efisiensi yudisial/penegakan hukum

b. Efisiensi birokrasi

c. Tingkat korupsi

Indikator ini mengukur sejauhmana pemerintah memiliki komitmen untuk

melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan dengan optimal, termasuk dalam

meningkatkan kualitas pelayanan publik. Secara umum, fungsi pemerintahan

mencakup fungsi regulasi, fungsi pembangunan/pemberdayaan, dan fungsi

Page 16: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

16

pelayanan publik. Ketiga ini akan optimal bila didukung oleh sumberdaya yang

memadai, baik dari sisi sumberdaya manusia, dana, maupun sarana dan prasarana.

Keseluruhan sumberdaya ini perlu dikelola dengan efektif dan efisien agar kualitas

pelayanan publiknya bisa semakin meningkat. Di sisi lain, kinerja pemerintah

daerah juga diukur dari kapasitasnya untuk menegakan hukum. Fungsi penegakan

hukum ini diperlukan untuk menunjukkan komitmen pemerintah dalam

menerapkan kebijakan-kebijakan yang telah dibuatnya. Selain itu, konsistensi

dalam penegakan hukum juga dapat membantu memulihkan kepercayaan

masyarakat pada figur-figur otoritas (pemegang kewenangan).

Isu korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi salahsatu indikator untuk mengukur

netralitas pemerintahan terhindar dari praktek-praktek korupsi, kolusi dan

nepotisme birokrasi.

3. Social development (pembangunan sosial) mengukur pelaksanaan pembangunan

dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, tolok ukur:

a. Pembangunan Manusia

b. Distribusi pendapatan

Indikator ini merupakan alat ukur untuk menganalisis sejauhmana kinerja

pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakan, program, dan kegiatan-kegiatan

untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dalam paradigma pembangunan

yang berkelanjutan, kualitas pembangunan diukur dari peningkatan kualitas

sumberdaya manusia yang tercermin dalam capaian Indeks Pembangunan Manusia

(IPM) yang merupakan indeks komposit dari indikator pendidikan, kesehatan, dan

ekonomi.

Page 17: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

17

Dalam pengukuran indeks pemerintahan berbasis governance, indeks komposit

IPM tetap digunakan dengan modifikasi indikator untuk bidang ekonomi, berupa

indeks kemiskinan dan indeks kesenjangan. Keduanya digunakan untuk mengukur

tingkat kemiskinan dan kesenjangan dalam bidang ekonomi, yang juga berkaitan

dengan pemerataan pembangunan. Tolok ukur distribusi pendapatan merujuk pada

persoalan seberapa jauh pendapatan terdistribusikan secara merata di antara

kelompok-kelompok masyarakat.

4. Economic management (pengelolaan ekonomi) kemampuan pemerintah daerah

dalam mengelola perekonomian diukur melalui indikator kinerja yang mencakup

kebijakan fiskal; kebijakan moneter; dan kebijakan perdagangan.

Tolok ukur:

a. Kapasitas fiskal daerah.

b. Tingkat investasi.

Indikator ini berupaya mengukur sejauhmana birokrasi pemerintah daerah melalui

kebijakan, program, dan kegiatannya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.

Isu kapasitas fiskal daerah berkaitan dengan kemampuan daerah untuk menggali

potensi sumberdaya daerah sebagai penghasil keuangan daerah. Namun, perlu

dipahami bahwa otonomi daerah tidak hanya berorientasi pada peningkatan PAD,

tetapi lebih pada pemerataan pertumbuhan ekonomi. Karena itu, kapasitas fiskal

daerah juga perlu diukur dari proporsi penggunaan APBD agar tidak lebih banyak

digunakan untuk kepentingan internal birokrasi.

Isu pertumbuhan investasi yang menjadi salahsatu tolok ukur bukan sekedar

menunjuk pada persoalan dinamisasi perekonomian tapi juga transformasi gaya

hidup masyarakat. Dalam kaitan otonomi penting untuk dicermati; apakah tata

Page 18: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

18

kelola pemerintahan daerah meningkatkan biaya-biaya investasi atau sebaliknya;

apakah otonomi memunculkan perda-perda baru bermasalah atau sebaliknya;

apakah otonomi menjadikan masyarakat semakin produktif atau sebaliknya.

Secara sederhana, komponen pengukuran yang digunakan untuk mengukur Indeks

Pemerintahan berbasis governance adalah sebagai berikut:

Tabel 2

Komponen Pengukuran

No. Variabel Indikator Tolok Ukur 1. Partisipasi publik

(citizen participation)

Kebebasan politik - Akses informasi - Kebebasan berekspresi - Aktivitas

berkelompok/berorganisasi - Perlakuan yang adil (non

diskriminatif) - Tingkat partisipasi

Stabilitas politik - Jaminan kebebasan berusaha - Potensi konflik - Kepercayaan masyarakat pada

institusi pemerintahan - Kepercayaan masyarakat pada figur

otoritas 2. Orientasi pemerintah

(government orientation)

Efisiensi yudisial (penegakan hukum)

- Orientasi perda - Konsistensi penegakan hukum - Kapasitas penegakan hukum

Efisiensi birokrasi - Struktur organisasi - Kinerja birokrasi - Kompetensi birokrasi - Alokasi anggaran - Kualitas pelayanan publik

Tingkat korupsi - Jumlah korupsi - Domain korupsi - Bentuk-bentuk korupsi

3. Pembangunan sosial (social development)

Pembangunan Manusia

- Pencapaian IPM

Distribusi Pendapatan - Pendapatan per kapita - Indeks Gini (kesenjangan)

4. Pengelolaan ekonomi (economic management)

Kapasitas fiskal daerah - Kapasitas PAD - Kontribusi PAD - Rasio pendapatan dan belanja

Tingkat investasi - Realisasi investasi - Kontribusi investasi

Page 19: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

19

Penerapan Indeks Pemerintahan berbasis Governance: Kasus Jawa Barat

Model Indeks Pemerintahan berbasis governance tersebut kemudian diujiterapkan

untuk mengevaluasi otonomi daerah di Jawa Barat. Melalui metode survei, kualitas

governance diukur berdasarkan persepsi well-informed persons tentang berbagai indikator

governance yang dikembangkan. Penilaian responden terhadap kualitas governance

menggunakan skala ordinal yang memiliki rentang antara 1 sampai dengan 5 di mana

semakin tinggi angka yang diberikan, maka semakin tinggi/baik persepsi responden

terhadap pernyataan/unsur yang dinilai.

Well-informed persons yang menjadi responden dalam uji terap adalah sebagai

berikut:

1. Unsur government atau birokrasi, termasuk di dalamnya unsur Pemerintah Provinsi

Jawa Barat, DPRD Provinsi Jawa Barat, Kejaksaan Tinggi, Pengadilan Tinggi,

Kepolisian Daerah, Komando Daerah Militer, KPUD dan KPID.

2. Unsur pasar/market (pelaku usaha), diwakili oleh asosiasi-asosiasi pengusaha seperti

APINDO dan KADINDA Jawa Barat

3. Unsur Civil Society, yang terdiri dari para akademisi, para profesional di bidang

hukum, LSM, partai politik, tokoh agama, mahasiswa dan kalangan pers.

Kualitas governance secara keseluruhan merupakan agregat dari nilai-nilai variabel

governance yang ditetapkan. Dalam hal ini secara formal kualitas governance dirumuskan

sebagai berikut:

4

dSDcSDbGOaCPG

Di mana:

G = indeks kualitas governance

CP = variabel partisipasi warga

Page 20: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

20

GO = variabel orientasi pemerintah

SD = variabel pembangunan masyarakat

EM = variabel pengelolaan ekonomi

a = skor indeks CP

b = skor indeks GO

c = skor indeks SD

d =skor indeks EM

Sedangkan nilai-nilai a, b, c dan d diperoleh melalui penghitungan rata-rata responden

terhadap indikator-indikator dari keempat variabel governance.

Proses penilaian governance berada dalam konteks Pemerintah Provinsi Jawa

Barat. Dengan demikian harus dapat dipastikan bahwa responden tidak akan keliru atau

salah paham dalam memberikan penilaian, jangan sampai responden menilai kinerja

governance pemerintah Provinsi Jawa Barat tetapi sebenarnya yang dia nilai adalah kinerja

dari sebuah pemerintah kabupaten atau pemerintah kota atau pemerintah pusat. Kekeliruan

ini dapat terjadi mengingat tidak semua unsur stakeholders dari pemerintah Provinsi Jawa

Barat memahami kewenangan atau urusan apa saja yang sebenarnya menjadi milik

pemerintah Provinsi Jawa Barat dan mana yang bukan. Misalnya menyangkut pelayanan

publik, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan atau urusan yang menyangkut

penyelenggaraan pendidikan sekolah dasar (SD) dan pelayanan langsung dari Pusat

Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) merupakan kewenangan atau urusan dari pemerintah

kabupaten/kota. Bila saja ada responden yang menilai pelayanan langsung dari Puskesmas

yang ada di wilayah provinsi Jawa Barat buruk kemudian yang bersangkutan menilai

bahwa buruknya pelayanan tersebut terkaiat langsung dengan performa governance

pemerintah Provinsi Jawa Barat maka tentu penilaian tersebut salah alamat.

Page 21: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

21

Berdasarkan pengolahan data yang terkumpul melalui survei pada responden,

diperoleh nilai Indeks Pemerintahan berbasis governance untuk masing-masing variabel,

sebagai berikut:

Tabel 3

Hasil Pengukuran Indeks Pemerintahan berbasis Governance

di Provinsi Jawa Barat tahun 2007

Variabel Nilai

Partisipasi publik (citizen participation) 63.71429

Orientasi pemerintah (government orientation) 54.67574

Pembangunan sosial (social development) 58.29365

Pengelolaan ekonomi (economic management) 59.84127

Indeks Pemerintahan 58.57048

Sumber: Hasil Penelitian, 2007

Berdasarkan tabel tersebut, diperoleh bahwa kualitas tata kepemerintahan di

Provinsi Jawa Barat pada tahun 20007 berdasarkan penilaian responden adalah sebesar

58.57. Bila merujuk pada tipologi kualitas governance yang dikembangkan The Urban

Governance Initiative (TUGI) yang membuat tipologi berikut:

Tabel 4

Tipologi Kualitas Governance Model TUGI

Range Makna 85 – 100 Sangat Baik 65 – 84 Baik (Tetapi masih memiliki kesempatan untuk

ditingkatkan) 50 -64 Cukup (Dapat Melakukan Lebih baik lagi) 35 – 49 Buruk (Dibutuhkan komitmen dan upaya yang lebih besar

lagi) 0 – 35 Sangat Buruk (Ada sesuatu yang salah dalam

penyelenggaraan governance di tempat itu)

Maka kualitas governance di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007 sebesar 58,57

masuk ke dalam kategori Cukup. Sedangkan untuk masing-masing variabel governance

Page 22: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

22

maka nilai terendah (54.68) diperoleh oleh variabel orientasi pemerintah (government

orientation) sedangkan nilai tertinggi (63.71) adalah variabel partisipasi publik (citizen

participation).

Tabel 5

Hasil Pengukuran Indeks Pemerintahan berbasis Governance

di Provinsi Jawa Barat tahun 2007 Berdasarkan Kelompok Responden

No Unsur Responden Variabel Governance

CP GO SD EM Total

1 Birokrasi (Government) 66.67 55.24 60.56 68.52 62.75

2 Dunia Usaha (Market) 54.17 54.13 56.11 62.22 56.66

3 Masyarakat (Civil Society) 65.03 54.90 57.89 59.03 59.21

Sumber: Hasil Penelitian, 2007

Bila kita perhatikan tabel tersebut, terdapat perbedaan di antara well-informen

persons dalam menilai governance, seperti dugaan semula unsur pemerintah akan

memberikan penilaian yang lebih tinggi dan penilaian terendah diberikan oleh kalangan

dunia usaha (pasar). Pemerintah menilai variabel pengelolaan ekonomi (EM) sebagai unsur

governance yang memiliki nilai tertinggi dan variabel orientasi pemerintah (OG) mendapat

penilaian paling rendah. Demikian pula bagi kalangan dunia usaha bahwa variabel

pengelolaan ekonomi (EM) sebagai unsur governance yang memiliki nilai tertinggi dan

variabel orientasi pemerintah (OG) mendapat penilaian paling rendah. Namun berbeda

dengan dua kelompok ini kalangan civil society menilai variabel partisipasi publik (CP)

sebagai unsur governance yang memiliki nilai tertinggi sedangkan variabel orientasi

pemerintah (OG) juga mendapat penilaian paling rendah.

Berkenaan dengan hubungan antara ketiga pilar governance yaitu pemerintah,

pelaku usaha (pasar) dan civil society serta yang berkenaan dengan isu-isu strategis yang

harus ditangani agar tercipta sinergitas antara ketiga unsur tadi, terungkap temuan menarik.

Page 23: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

23

Penilaian dari ketiga unsur stakeholders menunjukkan masih belum terwujudnya sinergitas

dalam hubungan governance. Hubungan ini masih bersifat koordinatif dan simbolis, baru

sebatas pada tindakan-tindakan yang temporer, padahal seharusnya sinergitas tersebut

berjalan secara terencana dan proporsional. Hal ini terjadi karena belum terwujudnya

saling percaya (mutual trust) di antara unsur-unsur governance, sehingga unsur yang satu

seringkali masih mencurigai adanya kepentingan tersembunyi di balik perilaku unsur

lainnya. Belum tuntasnya penanganan kasus-kasus korupsi, seringkali digunakan sebagai

alasan belum terbentuknya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Sebaliknya,

pelaku usaha masih belum sepenuhnya percaya pada pemerintah karena ketidakmampuan

pemerintah dalam memberikan jaminan kepastian hukum bagi mereka dalam berusaha.

Hal inilah yang menjadi salahsatu penyebab keengganan pelaku usaha untuk berinvestasi,

karena menganggap bahwa ekonomi biaya tinggi (high cost economy) belum sepenuhnya

berhasil dihapuskan oleh pemerintah, meskipun sudah ada perubahan dalam mekanisme

pelayanan publik melalui sistem pelayanan satu atap dan satu pintu.

Dalam rangka mensinergikan hubungan antara pemerintah, pelaku usaha, dan

masyarakat, responden pada umumnya menyarankan agar pemerintah memperbaiki sikap

mental birokrat sekaligus meningkatkan kinerja aparatur negara. Prosedur birokratis perlu

dipangkas untuk memudahkan kalangan pelaku usaha dan masyarakat dalam melakukan

usahanya. Transparansi APBD perlu segera dilaksanakan karena pada hakikatkan APBD

adalah dokumen publik dan perlu diketahui oleh publik sehingga publik mengetahui

alokasi anggaran yang secara langsung diperuntukan bagi kepentingan publik. Hal ini

mempengaruhi proses penegakan hukum dan juga menandakan pengelolaan administrasi

yang tidak sehat. Kepedulian pelaku usaha terhadap masyarakat sekitarnya juga

ditingkatkan. Di sisi lain, pihak pemerintah juga perlu menjamin regulasi-regulasi yang

Page 24: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

24

berlaku agar konsisten diberlakukan, hal ini terkait langsung dengan kepastian ilkim usaha

bagi para pelaku usaha.

Penutup

Secara keseluruhan model pengukuran Indeks Pemerintahan berbasis Governance

ini dapat dioperasionalkan untuk mengukur kualitas governance suatu pemerintahan

sebagai refleksi dari kapasitas daerah dalam menerapkan otonomi daerahnya. Meskipun

sebagaimana layaknya bahwa dalam survei yang bersifat perception-based terdapat unsur

subjektivitas, namun dengan menggunakan konsep well-informed persons subjektivitas

tersebut diharapkan tidak akan menimbulkan bias berarti bagi evaluasi. Diakui bahwa

pengukuran ini secara statistik tidak memiliki tingkat signifikansi yang tinggi karena

memang pengukuran ini lebih bertujuan untuk melakukan uji terap model Indeks

Pemerintahan berbasis Governance, untuk itu disarankan dilakukan survei yang lebih luas

lagi yang melibatkan stakeholders yang lebih besar.

Meskipun secara metodologis hasil pengukuran ini cenderung bersifat indikatif

ketimbang konklusif (indicative rather than conclusive), hasil uji terap ini menghasilkan

beberapa isu menarik sebagaimana terungkap pada hasil analisis dari proses penilaian

governance. Hasil analisis terhadap hubungan antar-stakeholders yang terungkap dari hasil

pengumpulan data menunjukkan bahwa relasi governance belum sinergis karena

rendahnya tingkat kepercayaan (trust) antar-stakeholders. Relasi yang berimbang dalam

nuansa kemitraan juga belum dirasakan oleh para responden karena masih ada kalangan

yang merasa dieksploitasi oleh kalangan lain atau hanya dimanfaatkan peran sertanya

untuk justifikasi kebijakan pemerintah. Di masa mendatang, perlu ada upaya yang

komprehensif untuk membenahi relasi antar-stakeholders ini agar lebih sinergis.

Page 25: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

25

Kepercayaan sebagai landasan dari relasi governance perlu dibangun melalui penegakan

hukum, peningkatan kinerja birokrasi pemerintah, serta pemberantasan kasus korupsi,

kolusi, dan nepotisme secara tegas. Ketiganya merupakan bagian dari indikator orientasi

pemerintah yang menurut persepsi para stakeholders (pemerintah, dunia usaha, dan civil

society) tergolong rendah. Karena itu, upaya pembenahan relasi governance diarahkan

untuk memperbaiki orientasi pemerintah agar lebih peka terhadap kebutuhan dan tuntutan

masyarakat, termasuk dalam hal transparansi dan akuntabilitas.

Cisangkuy, Agustus 2007

Page 26: EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,

26

DAFTAR PUSTAKA

Bappenas. 2001. Kompilasi Bahan-bahan Diskusi Rutin Public Good Governance. Jakarta : Sekretariat Pengembangan Public Good Governance Bappenas.

Duncan, Ronald, Teuea Toatu, dan Azmat Gani. 2004. A Conceptual Framework for the Development of a Composite Governance Index for the Pacific Island Countries. Pacific Institute of Advanced Studies in Development and Governance.

Huther, Jeff and Anwar Shah. 1998. Applying a Simple Measure of Good Governance to the Debate on Fiscal Decentralization. Washington, DC : World Bank.

Kaufmann, Daniel, Aart Kraay, dan Pablo Zoido-Labaton. 1999. Agregating Governance Indicators. Washington, DC : World Bank.

Kooiman, Jan (ed). 1993. Modern Governance : New Government-Society Interactions. London, Newbury Park, New Delhi : Sage Publications.

Manning, N., R. Mukherjee, dan O. Gokcekus, 2000. Public Officials and their Institutional Environment. Washington, D.C : World Bank.

Mishra, Satish Chandra. 2000. The Economic and Politics of Good Governance : Notes Towards an Anatomy. Makalah. Jakarta : Bappenas.

Piliang, Indra J., Dendi Ramdani, dan Agung Pribadi. 2003. Otonomi Daerah : Evaluasi dan Proyeksi. Jakarta : Yayasan Harkat Bangsa.

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. 2002. Teladan dan Pantangan dalam Tata Kepemerintahan yang Baik. Yogyakarta: PSKK.

Soehardono, Edy. 2001. Good Governance : Untuk Daulat Siapa ?. Yogyakarta : Forum LSM DIY bekerja sama dengan YAPPIKA.

Syaukani (dkk). 2002. Otonomi dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Wanandi, Jusuf. 1999. Good Governance dan Kaitannya dengan Stabilitas Dalam Negeri

dan Kawasan : Agenda Masa Depan. Jurnal Analisis Tahun XXVII No. 3. Wibawa, Fahmi dan Moch. Yunus (eds). 2004. Inovasi sebagai Referensi: Tiga Tahun

Otonomi Daerah dan Otonomi Award. Surabaya : Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi.