1 EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN 2007: BERDASARKAN INDEKS PEMERINTAHAN BERBASIS GOVERNANCE 1 Dede Mariana, Caroline Paskarina, dan Widya Setiabudhi ABSTRACT The policy of decentralisation and local autonomy is not a new phenomenon in Indonesia, but in more than a century, the implementation of this policy is more oriented toward elite’s interests instead of public’s interest. Therefore, evaluation to the implementation of decentralisation and local autonomy policy is necessary to obtain objective information as input to improve local autonomy implementation in the future. Measurement fo Governance-Based Index in West Java Province in this research used indicatiors such as citizen participation, government orientation, social development, and economic management. The result indicated that governance quality in West Java Province in 2007 is 58,57, which is mediate category. Indicator with lowest score (54,68) is government orientation, meanwhile the highest score (63,71) is obtain by citizen participation. In the future, comprehensive effort are needed to revise relationship among stakeholders to achieve synergic relationship. Trust as foundation of governance relationship is build through law enforcement, bureaucracy reform, and elimination of corruption, collution, and nepotism in public affairs. Keywords: local autonomy evaluation, governance-based index Pengantar Otonomi daerah merupakan salahsatu agenda reformasi yang hingga saat ini masih menjadi wacana yang hangat diperdebatkan. Semangat kebebasan dan pengakuan akan identitas lokal yang mendasari prinsip otonomi daerah pascareformasi seolah menimbulkan euforia di tingkat daerah, sehingga muncul idiom “raja kecil”, “bos lokal”, dll untuk merefleksikan hubungan pusat dan daerah yang ditandai dengan kuatnya posisi tawar daerah berhadapan dengan pemerintah pusat. Namun, di sisi lain, berbagai inovasi dan best practices pun bermunculan dari daerah. Jembrana, Sidoarjo, Sragen, Blitar, 1 Ditulis ulang/versi ringkas dari penelitian tentang Pengukuran Indeks Pemerintahan Berbasis Governance sebagai indikator evaluasi otonomi daerah di Jawa Barat
26
Embed
EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/evaluasi_otonomi... · Makalah. Jakarta : Bappenas ... kebijakan itu. Dalam konsep ini,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN 2007: BERDASARKAN INDEKS PEMERINTAHAN BERBASIS GOVERNANCE1
Dede Mariana, Caroline Paskarina, dan Widya Setiabudhi
ABSTRACT
The policy of decentralisation and local autonomy is not a new phenomenon in Indonesia, but in more than a century, the implementation of this policy is more oriented toward elite’s interests instead of public’s interest. Therefore, evaluation to the implementation of decentralisation and local autonomy policy is necessary to obtain objective information as input to improve local autonomy implementation in the future. Measurement fo Governance-Based Index in West Java Province in this research used indicatiors such as citizen participation, government orientation, social development, and economic management. The result indicated that governance quality in West Java Province in 2007 is 58,57, which is mediate category. Indicator with lowest score (54,68) is government orientation, meanwhile the highest score (63,71) is obtain by citizen participation. In the future, comprehensive effort are needed to revise relationship among stakeholders to achieve synergic relationship. Trust as foundation of governance relationship is build through law enforcement, bureaucracy reform, and elimination of corruption, collution, and nepotism in public affairs. Keywords: local autonomy evaluation, governance-based index
Pengantar
Otonomi daerah merupakan salahsatu agenda reformasi yang hingga saat ini masih
menjadi wacana yang hangat diperdebatkan. Semangat kebebasan dan pengakuan akan
identitas lokal yang mendasari prinsip otonomi daerah pascareformasi seolah
menimbulkan euforia di tingkat daerah, sehingga muncul idiom “raja kecil”, “bos lokal”,
dll untuk merefleksikan hubungan pusat dan daerah yang ditandai dengan kuatnya posisi
tawar daerah berhadapan dengan pemerintah pusat. Namun, di sisi lain, berbagai inovasi
dan best practices pun bermunculan dari daerah. Jembrana, Sidoarjo, Sragen, Blitar, 1 Ditulis ulang/versi ringkas dari penelitian tentang Pengukuran Indeks Pemerintahan Berbasis Governance sebagai indikator evaluasi otonomi daerah di Jawa Barat
2
Indramayu, Solok, dll. menjadi beberapa contoh daerah yang berhasil menerapkan
pembaharuan dalam tata kelola pemerintahannya, khususnya yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik dan reformasi birokrasi. Keberhasilan daerah-daerah ini
membawa harapan bahwa dengan otonomi daerah, akan ada perbaikan dalam kehidupan
masyarakat di daerah.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah bukanlah hal baru di Indonesia karena
sejak tahun 1803 telah diberlakukan Decentralizatie Wet. Namun, pada kenyataannya
hingga lebih dari seabad, kebijakan desentralisasi lebih banyak berorientasi pada
kepentingan elit dan bukan kepentingan masyarakat. Karena itulah, evaluasi terhadap
pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah menjadi penting untuk dilakukan
agar dapat diperoleh informasi yang obyektif sebagai bahan perbaikan pelaksanaan
otonomi daerah di masa mendatang.
Penyelenggaraan pemerintahan secara desentralistis pada dasarnya menyangkut
transfer kewenangan dari pusat ke daerah, maupun dari pemerintah kepada institusi-
institusi non pemerintah. Karena itu, pada praktiknya, desentralisasi senantiasa dikaitkan
dengan manajemen pemerintahan berbasis governance sebagai salahsatu model
manajemen pemerintahan yang mensyaratkan adanya jejaring kerja dan kemitraan di
antara seluruh stakeholders atau pemangku kepentingan, baik pemerintah, pelaku usaha,
maupun masyarakat (civil society).
Sebagian besar evaluasi terhadap suatu kebijakan atau program cenderung bersifat
sentralistis, hanya memandang hambatan terhadap kebijakan atau program tersebut. Oleh
karena itu, diperlukan metodologi evaluasi yang melibatkan penerima manfaat dari
kebijakan atau program tersebut sebagai narasumber. Dengan demikian, evaluasi berguna
untuk mencari pola proses sosial dan hasil (outcome), memahami persoalan di sekitar
3
kelebihan dan kelemahan kebijakan atau program, merumuskan dan memperbaiki
metodologi evaluasi kebijakan atau program, juga memberi landasan dan alternatif
pemecahan masalah bagi tindakan selanjutnya oleh para pengambil kebijakan2.
Keberhasilan penyelenggaraan governance seyogianya dapat diukur agar diperoleh
informasi yang obyektif mengenai kapasitas penyelenggaraan pemerintahan, baik dalam
melaksanakan kewenangannya, mengalokasikan sumber-sumberdaya publik, serta
memberikan pelayanan publik yang berkualitas bagi warga masyarakatnya. Melalui
pengukuran ini, masyarakat dapat mengetahui sejauhmana upaya yang dilakukan
pemerintah telah sesuai dengan harapan dan tuntutan mereka, yang pada gilirannya akan
menentukan sikap masyarakat apakah akan mendukung atau menolak pola
penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Sementara bagi para pelaku usaha, pengukuran
governance menjadi bahan masukan untuk menentukan keputusan-keputusan bisnis
mereka, misalnya apakah daerah yang bersangkutan cukup prospektif bagi investasi atau
tidak. Bagi pemerintah, pengukuran indeks pemerintahan berbasis governance menjadi
salahsatu bahan untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan yang selama ini dilaksanakan.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, pengukuran
indeks pemerintahan yang berbasis pada indikator-indikator governance menjadi relevan
sebagai salahsatu alat ukur untuk menilai pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.
Dalam era desentralisasi, tata kelola pemerintahan daerah menjadi ujung tombak bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat karena pemerintah daerah berada lebih dekat
dengan masyarakat, sehingga diharapkan dapat lebih memahami kebutuhan masyarakat
dan dapat lebih responsif dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Desentralisasi dalam
pengertian transfer atau pelimpahan kewenangan baru akan bermakna bila disertai dengan
2 Miller (1991) dalam Fahmi Wibawa dan Moch. Yunus (eds). Inovasi sebagai Referensi: Tiga Tahun Otonomi Daerah dan Otonomi Award. Surabaya : Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi, 2004.
4
peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam bidang-bidang
yang merupakan pelayanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, daya beli, dan
infrastruktur.
Berbagai Model Evaluasi Otonomi Daerah
Dalam kajian-kajian pemerintahan yang bersifat institusionalisme atau
kelembagaan, pemerintah dimaknai sebagai institusi atau lembaga sedangkan
pemerintahan adalah kerja pemerintah. Inilah yang dimaknai sebagai konsep government.
Dalam arti luas, government diartikan sebagai lembaga-lembaga yang bertanggung jawab
membuat keputusan kolektif bagi masyarakat, sementara dalam arti sempit, government
adalah pejabat politik paling tinggi dalam lembaga-lembaga itu, yaitu presiden, perdana
menteri, dan menteri3. Pemahaman tentang pemerintah dalam konsep ini menempatkan
pemerintah sebagai aktor dominan bahkan aktor utama dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Keputusan kolektif dalam masyarakat dibuat sendiri oleh seorang pimpinan,
misalnya presiden atau kepala daerah, atau oleh satu kelompok (misalnya kabinet).
Peranan masyarakat terbatas sebagai kelompok sasaran dalam pelaksanaan kebijakan,
bahkan partisipasi masyarakat dimaknai secara sempit hanya sebagai formalitas dalam
mendukung legitimasi kebijakan yang dibuat pemerintah.
Secara umum, istilah government lebih mudah dipahami sebagai pemerintah yaitu
lembaga beserta aparaturnya yang mempunyai tanggung jawab untuk mengurus negara
dan menjalankan kehendak rakyat, kecenderungannya lebih tertuju pada lembaga eksekutif
atau kepresidenan (executive heavy)4. Selanjutnya ditegaskan bahwa wacana mengenai
3 Mochtar Mas’oed. “Desentralisasi dan Good Governance”. Dalam Good Governance : Untuk Daulat Siapa ?. Edy Soehardono. Yogyakarta : Forum LSM DIY bekerja sama dengan YAPPIKA. 2001, hal. 19. 4 Satish Chandra Mishra. The Economic and Politics of Good Governance : Notes Towards an Anatomy. Makalah. Jakarta : Bappenas. 2000, hal. 3.
5
government lebih mengarah pada meminimalkan peran negara dan mempromosikan peran
sektor swasta atau limitation of the state’s roles5. Terdapat pula diskusi mengenai
reformasi aparatur negara (civilservice reform) namun hal ini tidak lebih dari bagian
agenda ekonomi untuk penyesuaian struktural (structural adjustment).
Wacana government adalah fenomena yang berkembang pada abad 20 di mana
negara memegang hegemoni kekuasaan atas rakyat6. Ketika negara (pemerintah)
memegang hegemoni maka tertib sosial cenderung ditegakkan secara hierarkhis dan
birokratis, dan kurang mengandalkan pada mekanisme spontan yang dapat berlangsung
dari dalam masyarakat, oleh kekuatan yang ada pada masyarakat itu sendiri.
Kegagalan konsep sentralisasi menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma
pemerintahan yang semula menekankan pada institusi pemerintah (government) menjadi
governance, yakni suatu konsep yang memandang pemerintahan sebagai suatu proses yang
tidak lagi bersifat intra bureaucratic anality (perspektif yang melihat aktivitas dan
kekuasaan pemerintahan di dalam dirinya sendiri). Kinerja pemerintahan harus dilihat dari
interaksi dan relasi antara berbagai faktor dan aktor di luar birokrasi.
Konsep governance dimunculkan sebagai alternatif model dan metode governing
(proses pemerintahan) yang lebih mengandalkan pada pelibatan seluruh elemen
masyarakat, baik pemerintah, semi pemerintah, atau non pemerintah, seperti lembaga
bisnis, LSM, komunitas, atau lembaga. Dengan cara pandang itu, sekat-sekat formalitas
negara atau pemerintah menjadi terabaikan.
Konsep governance melihat kegiatan, proses atau kualitas memerintah, bukan
tentang struktur pemerintahan, tetapi kebijakan yang dibuat dan efektivitas penerapan
5 Mishra. Loc.Cit. 6 Baca lebih lanjut dalam Francis Fukuyama. The Great Discruption : Human Nature and the Reconstruction of Social Order. New York : The Free Press. 1999 dan Manuel Castells. The Information Age : Economy, Society and Culture Vo. II Th ePower of Identity. Massachusetts : Blackwell Publishers Ltd. 1997.
6
kebijakan itu7. Kebijakan bukan dibuat oleh seorang pemimpin atau satu kelompok
tertentu melainkan muncul dari proses konsultasi antara berbagai pihak yang terkena oleh
kebijakan itu. Dalam konsep ini, pemerintah bukan satu-satunya aktor dan tidak selalu
menjadi pelopor dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai fungsi pengelolaan
masyarakat yang kompleks, governance melibatkan relasi antara berbagai kekuatan dalam
negara, yakni pemerintah (state), civil society, economic society, dan political society.
Pengukuran mengenai indeks tata kelola pemerintahan, khususnya yang berbasis
governance sudah mulai dilakukan sejak tahun 1998 melalui indeks yang disusun oleh Jeff
Huther dan Anwar Shah. Namun, selain indeks tersebut, sebenarnya ada sejumlah
pendekatan yang dapat digunakan untuk menyusun indeks pemerintahan berbasis
governance. Setidaknya terdapat 4 (empat) pendekatan dalam menyusun indeks
governance, yakni: (1) pendekatan geometric mean index yang digunakan oleh Huther dan
Shah (1998)8; (2) pendekatan unobserved component yang digunakan oleh Kaufmann,
Kraay, dan Lobaton (1999)9; (3) pendekatan principal component analysis yang digunakan
oleh Toatu (2004)10; serta (4) pendekatan arithmetic mean index yang digunakan oleh
Manning, Mukherjee, dan Gokcekus (2000)11.
Sekalipun terdapat 4 (empat) pendekatan berbeda, namun pada dasarnya keempat
pendekatan tersebut menekankan pada dimensi kuantitatif dari tata kelola pemerintahan
yang bersumber dari pengukuran terhadap indikator agregat (indikator komposit) yang
7 Mas’oed, op.cit., hal. 19. 8 Jeff Huther and Anwar Shah. 1998. Applying a Simple Measure of Good Governance to the Debate on Fiscal Decentralization. Washington, DC : World Bank 9 Daniel Kaufmann, Aart Kraay, dan Pablo Zoido-Labaton. 1999. Agregating Governance Indicators. Washington, DC : World Bank. 10 Ronald Duncan, Teuea Toatu, dan Azmat Gani. 2004. A Conceptual Framework for the Development of a Composite Governance Index for the Pacific Island Countries. Pacific Institute of Advanced Studies in Development and Governance. 11N. Manning, R. Mukherjee, dan O. Gokcekus, 2000. Public Officials and their Institutional Environment. Washington, D.C : World Bank.
7
dibentuk dari sejumlah tolok ukur. Pengukuran terhadap indikator-indikator agregat ini
kemudian diinterpretasikan, sehingga potensi subyektivitas dan bias memang tetap ada,
terutama ketika menentukan pembobotan untuk tiap indikator. Karena itu, pendekatan
kualitatif tetap diperlukan sebagai penyeimbang dan pelengkap analisis terhadap hasil
pengukuran kuantitatif.
Secara umum, keempat pendekatan tersebut membangun indikator-indikator
governance dengan berlandaskan pada konsep governance yang mensyaratkan adanya
partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum (rule of law). Penjabaran
dari keempat prasyarat ini kemudian melahirkan sejumlah model indikator, antara lain
yang dibuat oleh Huther dan Shah (1998) sebagai berikut :
1. Citizen participation (partisipasi warga) partisipasi warga, dengan tolok ukur:
a. Kebebasan politik : mengukur kemampuan warga untuk mempengaruhi
kualitas tata pemerintahan yang mereka peroleh.
b. Stabilitas politik : mengukur kemampuan warga untuk berpartisipasi dalam
pembuatan kebijakan.
2. Government orientation (orientasi pemerintah) keberpihakan pemerintah terhadap
kebutuhan warga masyarakat, terutama dalam kinerja pelayanan publik (penyediaan
barang dan jasa publik), dengan tolok ukur:
a. Efisiensi yudisial/penegakan hukum
b. Efisiensi birokrasi
c. Tingkat korupsi.
3. Social development (pembangunan sosial) tolok ukur:
a. Indeks Pembangunan Manusia
b. Distribusi pendapatan
8
4. Economic management (pengelolaan ekonomi) kemampuan pemerintah dalam
mengelola perekonomian diukur melalui indikator kinerja yang mencakup kebijakan
fiskal (ratio hutang dan pendapatan/GDP); kebijakan moneter (independensi bank
sentral); dan kebijakan perdagangan (orientasi keluar).
Tolok ukur:
a. Orientasi keluar : tingkat investasi
b. Independensi Bank Sentral
c. Rasio hutang dengan pendapatan
Sejalan dengan model di atas, Kaufmaan, Kraay, dan Lobaton (2002) menyusun
indeks governance dengan berpatokan pada indikator-indikator sebagai berikut:
1. Voice and accountability : mengukur sejauhmana warga masyarakat dapat
berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan serta independensi media.
2. Political stability : mengukur keberlangsungan pemerintahan, termasuk jaminan bahwa
pemerintahan yang berlangsung tidak akan digantikan melalui mekanisme
inkonstitusional.
3. Government effectiveness : mengukur kualitas pelayanan publik, kinerja birokrasi,
kompetensi birokrasi, independensi birokrasi, dan kredibilitas pemerintah dalam
melaksanakan kebijakan.
4. Regulatory quality : mengukur keberpihakan kebijakan-kebijakan publik untuk
menciptakan iklim usaha yang kondusif.
5. Rule of law : mengukur sejauhmana hukum dapat ditegakan melalui mekanisme
peradilan yang adil dan akuntabel.
6. Control of corruption : mengukur sejauhmana kasus-kasus korupsi, penyuapan, dan
sejenisnya dapat ditangani oleh institusi penegak hukum.
9
Perangkat indikator yang sejenis juga digunakan dalam penelitian yang dilakukan
Ronald Duncan, Teuea Toatu, dan Azmat Gani (2004). Ketiga peneliti tersebut
menggunakan indikator-indikator agregat yang tersusun dari komponen-komponen sebagai
berikut:
Tabel 1
Indeks Governance versi Principal Component Analysis
Indeks Indikator 1. Indeks Rule of Law a) Kebebasan Politik
b) Stabilitas Politik c) Efektivitas Lembaga Peradilan d) Independensi Media
2. Indeks Government Effectiveness a) Efisiensi Birokrasi b) Pengelolaan ekonomi c) Tingkat korupsi
3. Indeks Social Development a) Indeks Pembangunan Manusia b) Distribusi Pendapatan
4. Indeks Regulatory Quality a) Kapasitas institusi keuangan b) Daya saing
Sumber : Duncan, Toatu, dan Gani (2004)
Model yang keempat dikemukakan oleh Manning, Mukherjee dan Gokcekus
(2000) dalam penelitiannya tentang indeks governance untuk negara-negara di Asia
Pasifik, dengan karakteristik khusus bagi negara-negara yang tergolong miskin. Model
yang ditawarkan berbasis pada metode perhitungan rata-rata aritmatika dengan
berpedoman pada kinerja organisasi. Indeks governance disusun dengan mencakup kriteria
sebagai berikut: (1) rule credibility; (2) policy credibility; dan (3) resource adequacy and
predictability. Ketiga indikator ini mencerminkan faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi kinerja organisasi pemerintahan.
Secara khusus, pengukuran Indeks Governance juga pernah dilakukan di Indonesia
ketika UU No. 22 Tahun 1999 baru diberlakukan. Pengukuran ini dilaksanakan dalam
bentuk Governance and Decentralization Surveys (GDS) yang dilaksanakan pada tahun
10
2002 di sekitar 177 kabupaten/kota di seluruh wilayah Indonesia. Indikator yang
digunakan dalam survei ini mencakup isu-isu governance seperti: (1) akuntabilitas; (2)
2 Dunia Usaha (Market) 54.17 54.13 56.11 62.22 56.66
3 Masyarakat (Civil Society) 65.03 54.90 57.89 59.03 59.21
Sumber: Hasil Penelitian, 2007
Bila kita perhatikan tabel tersebut, terdapat perbedaan di antara well-informen
persons dalam menilai governance, seperti dugaan semula unsur pemerintah akan
memberikan penilaian yang lebih tinggi dan penilaian terendah diberikan oleh kalangan
dunia usaha (pasar). Pemerintah menilai variabel pengelolaan ekonomi (EM) sebagai unsur
governance yang memiliki nilai tertinggi dan variabel orientasi pemerintah (OG) mendapat
penilaian paling rendah. Demikian pula bagi kalangan dunia usaha bahwa variabel
pengelolaan ekonomi (EM) sebagai unsur governance yang memiliki nilai tertinggi dan
variabel orientasi pemerintah (OG) mendapat penilaian paling rendah. Namun berbeda
dengan dua kelompok ini kalangan civil society menilai variabel partisipasi publik (CP)
sebagai unsur governance yang memiliki nilai tertinggi sedangkan variabel orientasi
pemerintah (OG) juga mendapat penilaian paling rendah.
Berkenaan dengan hubungan antara ketiga pilar governance yaitu pemerintah,
pelaku usaha (pasar) dan civil society serta yang berkenaan dengan isu-isu strategis yang
harus ditangani agar tercipta sinergitas antara ketiga unsur tadi, terungkap temuan menarik.
23
Penilaian dari ketiga unsur stakeholders menunjukkan masih belum terwujudnya sinergitas
dalam hubungan governance. Hubungan ini masih bersifat koordinatif dan simbolis, baru
sebatas pada tindakan-tindakan yang temporer, padahal seharusnya sinergitas tersebut
berjalan secara terencana dan proporsional. Hal ini terjadi karena belum terwujudnya
saling percaya (mutual trust) di antara unsur-unsur governance, sehingga unsur yang satu
seringkali masih mencurigai adanya kepentingan tersembunyi di balik perilaku unsur
lainnya. Belum tuntasnya penanganan kasus-kasus korupsi, seringkali digunakan sebagai
alasan belum terbentuknya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Sebaliknya,
pelaku usaha masih belum sepenuhnya percaya pada pemerintah karena ketidakmampuan
pemerintah dalam memberikan jaminan kepastian hukum bagi mereka dalam berusaha.
Hal inilah yang menjadi salahsatu penyebab keengganan pelaku usaha untuk berinvestasi,
karena menganggap bahwa ekonomi biaya tinggi (high cost economy) belum sepenuhnya
berhasil dihapuskan oleh pemerintah, meskipun sudah ada perubahan dalam mekanisme
pelayanan publik melalui sistem pelayanan satu atap dan satu pintu.
Dalam rangka mensinergikan hubungan antara pemerintah, pelaku usaha, dan
masyarakat, responden pada umumnya menyarankan agar pemerintah memperbaiki sikap
mental birokrat sekaligus meningkatkan kinerja aparatur negara. Prosedur birokratis perlu
dipangkas untuk memudahkan kalangan pelaku usaha dan masyarakat dalam melakukan
usahanya. Transparansi APBD perlu segera dilaksanakan karena pada hakikatkan APBD
adalah dokumen publik dan perlu diketahui oleh publik sehingga publik mengetahui
alokasi anggaran yang secara langsung diperuntukan bagi kepentingan publik. Hal ini
mempengaruhi proses penegakan hukum dan juga menandakan pengelolaan administrasi
yang tidak sehat. Kepedulian pelaku usaha terhadap masyarakat sekitarnya juga
ditingkatkan. Di sisi lain, pihak pemerintah juga perlu menjamin regulasi-regulasi yang
24
berlaku agar konsisten diberlakukan, hal ini terkait langsung dengan kepastian ilkim usaha
bagi para pelaku usaha.
Penutup
Secara keseluruhan model pengukuran Indeks Pemerintahan berbasis Governance
ini dapat dioperasionalkan untuk mengukur kualitas governance suatu pemerintahan
sebagai refleksi dari kapasitas daerah dalam menerapkan otonomi daerahnya. Meskipun
sebagaimana layaknya bahwa dalam survei yang bersifat perception-based terdapat unsur
subjektivitas, namun dengan menggunakan konsep well-informed persons subjektivitas
tersebut diharapkan tidak akan menimbulkan bias berarti bagi evaluasi. Diakui bahwa
pengukuran ini secara statistik tidak memiliki tingkat signifikansi yang tinggi karena
memang pengukuran ini lebih bertujuan untuk melakukan uji terap model Indeks
Pemerintahan berbasis Governance, untuk itu disarankan dilakukan survei yang lebih luas
lagi yang melibatkan stakeholders yang lebih besar.
Meskipun secara metodologis hasil pengukuran ini cenderung bersifat indikatif
ketimbang konklusif (indicative rather than conclusive), hasil uji terap ini menghasilkan
beberapa isu menarik sebagaimana terungkap pada hasil analisis dari proses penilaian
governance. Hasil analisis terhadap hubungan antar-stakeholders yang terungkap dari hasil
pengumpulan data menunjukkan bahwa relasi governance belum sinergis karena
rendahnya tingkat kepercayaan (trust) antar-stakeholders. Relasi yang berimbang dalam
nuansa kemitraan juga belum dirasakan oleh para responden karena masih ada kalangan
yang merasa dieksploitasi oleh kalangan lain atau hanya dimanfaatkan peran sertanya
untuk justifikasi kebijakan pemerintah. Di masa mendatang, perlu ada upaya yang
komprehensif untuk membenahi relasi antar-stakeholders ini agar lebih sinergis.
25
Kepercayaan sebagai landasan dari relasi governance perlu dibangun melalui penegakan
hukum, peningkatan kinerja birokrasi pemerintah, serta pemberantasan kasus korupsi,
kolusi, dan nepotisme secara tegas. Ketiganya merupakan bagian dari indikator orientasi
pemerintah yang menurut persepsi para stakeholders (pemerintah, dunia usaha, dan civil
society) tergolong rendah. Karena itu, upaya pembenahan relasi governance diarahkan
untuk memperbaiki orientasi pemerintah agar lebih peka terhadap kebutuhan dan tuntutan
masyarakat, termasuk dalam hal transparansi dan akuntabilitas.
Cisangkuy, Agustus 2007
26
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas. 2001. Kompilasi Bahan-bahan Diskusi Rutin Public Good Governance. Jakarta : Sekretariat Pengembangan Public Good Governance Bappenas.
Duncan, Ronald, Teuea Toatu, dan Azmat Gani. 2004. A Conceptual Framework for the Development of a Composite Governance Index for the Pacific Island Countries. Pacific Institute of Advanced Studies in Development and Governance.
Huther, Jeff and Anwar Shah. 1998. Applying a Simple Measure of Good Governance to the Debate on Fiscal Decentralization. Washington, DC : World Bank.
Kaufmann, Daniel, Aart Kraay, dan Pablo Zoido-Labaton. 1999. Agregating Governance Indicators. Washington, DC : World Bank.
Kooiman, Jan (ed). 1993. Modern Governance : New Government-Society Interactions. London, Newbury Park, New Delhi : Sage Publications.
Manning, N., R. Mukherjee, dan O. Gokcekus, 2000. Public Officials and their Institutional Environment. Washington, D.C : World Bank.
Mishra, Satish Chandra. 2000. The Economic and Politics of Good Governance : Notes Towards an Anatomy. Makalah. Jakarta : Bappenas.
Piliang, Indra J., Dendi Ramdani, dan Agung Pribadi. 2003. Otonomi Daerah : Evaluasi dan Proyeksi. Jakarta : Yayasan Harkat Bangsa.
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. 2002. Teladan dan Pantangan dalam Tata Kepemerintahan yang Baik. Yogyakarta: PSKK.
Soehardono, Edy. 2001. Good Governance : Untuk Daulat Siapa ?. Yogyakarta : Forum LSM DIY bekerja sama dengan YAPPIKA.
Syaukani (dkk). 2002. Otonomi dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Wanandi, Jusuf. 1999. Good Governance dan Kaitannya dengan Stabilitas Dalam Negeri
dan Kawasan : Agenda Masa Depan. Jurnal Analisis Tahun XXVII No. 3. Wibawa, Fahmi dan Moch. Yunus (eds). 2004. Inovasi sebagai Referensi: Tiga Tahun
Otonomi Daerah dan Otonomi Award. Surabaya : Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi.