Page 1
LAPORAN HASIL PENELITIAN
EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG
PERTANIAN UNTUK MEMPERCEPAT TERWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN
(Buku I)
Oleh:
Tahlim Sudaryanto
I Wayan Rusastra Kurnia Suci Indraningsih
Nyak Ilham Herlina Tarigan
Sri Hery Susilowati Syahyuti
Bambang Irawan
Deri Hidayat
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2016
Page 2
i
RINGKASAN EKSEKUTIF
A. Pendahuluan
1. Arah kebijakan dan strategi untuk mewujudkan kedaulatan pangan dalam
Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019 menekankan perlunya mengatur urusan pangan secara mandiri, yang didukung oleh: (a) ketahanan
pangan, terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri; (b) kebijakan pangan yang dirumuskan dan ditentukan oleh bangsa sendiri; dan (c) melindungi dan mensejahterakan pelaku utama sistem
pangan, terutama petani dan nelayan.
2. Arah kebijakan umum kedaulatan pangan dalam RPJMN 2015-2019 adalah:
pemantapan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan dengan peningkatan produksi pangan pokok, stabilisasi harga bahan pangan, terjaminnya bahan pangan yang aman, berkualitas dan bergizi, serta
meningkatnya kesejahteraan pelaku usaha pangan.
3. Dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan, selain menetapkan strategi
dan kebijakan yang tercantum dalam RPJMN dan Renstra, pemerintah juga telah merumuskan berbagai undang-undang yang selayaknya menjadi acuan
dalam perumusan kebijakan dan program. Ada 5 undang-undang terkait sub-sektor dan 6 undang-undang lintas sub-sektor maupun lintas sektor yang secara langsung atau tidak langsung terkait sektor pertanian.
4. Berdasarkan pertimbangan di atas, dilakukan kajian dengan tujuan: (a) mensintesis arah kebijakan dari setiap undang-undang lingkup pertanian; (b)
menganalisis keterkaitan antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya; (c) menganalisis keterkaitan undang-undang dengan kebijakan dan
program pembangunan pertanian; dan (d) merumuskan arah program pembangunan pertanian yang sesuai amanat undang-undang; dan (e) merumuskan arah penyempurnaan undang-undang untuk menjadi acuan dari
program pembangunan pertanian prioritas.
B. Arah kebijakan dalam undang-undang pertanian
UU No.18/2012 tentang Pangan
5. Undang-undang ini memberikan amanat tentang penyelenggaraan urusan pangan secara komprehensif, yang meliputi aspek-aspek ketersediaan, keterjangkauan, konsumsi pangan dan gizi, serta keamanan pangan.
Ketersediaan pangan menekankan produksi pangan dalam negeri, yang bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal, namun tetap
diupayakan secara efisien. Sistem produksi pangan juga perlu dilakukan dalam seluruh segmen rantai nilai baik sisi produksi, paska panen maupun pengolahan.
6. Untuk mendorong produksi pangan dalam negeri pemerintah perlu: (a) membangun dan merehabilitasi sarana dan prasarana; (b) memfasilitasi
penerapan teknologi baru; (c) melindungi dan memberdayakan petani dan
Page 3
ii
pelaku usaha pangan; (d) mengatur, mengembangkan dan mengalokasikan lahan pertanian dan sumberdaya air; (e) memberikan penyuluhan dan
pendampingan; (f) menghilangkan berbagai kebijakan yang berdampak pada penurunan daya saing; dan (g) mengantisipasi dan menanggulangi ancaman
produksi pangan. Selain itu produksi pangan juga perlu memenuhi standar keamanan pangan untuk menjaga pangan tetap aman, higienis, bermutu,
bergizi, serta mencegah kemungkinan terjadinya cemaran pangan.
7. Pemerintah berkewajiban mengatur perdagangan pangan, dengan tujuan: (a) stabilisasi pasokan dan harga pangan; (b) manajemen cadangan pangan; dan
(c) penciptaan iklim usaha pangan yang sehat. Perdagangan pangan ditekankan sebagai berikut: (a) ekspor pangan pokok hanya dapat dilakukan
setelah terpenuhinya kebutuhan konsumsi pangan pokok dan cadangan pangan nasional; (b) impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di
dalam negeri.
UU No.12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (SBT)
8. Undang-undang ini memuat berbagai aspek berkaitan dengan budidaya
tanaman yang mencakup cara-cara pertanian yang sesuai dengan sistem budidaya tanaman berkelanjutan. Sasaran yang ingin diwujudkan adalah sistem pertanian yang maju, efisien, dan tangguh, menghadapi liberalisasi
dan globalisasi, serta melindungi tanaman dari segala upaya yang menyebabkan kerugian pada budidaya tanaman.
9. Beberapa hal pokok yang ditekankan adalah: (a) kegiatan penanaman ditujukan untuk memperoleh tanaman dengan pertumbuhan optimal guna
mencapai produktivitas tinggi; (b) penanaman harus dilakukan dengan tepat pola tanam, tepat benih, tepat cara, tepat sarana, dan tepat waktu; (c) terkait aspek perbenihan, varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri
sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah kecuali hasil pemuliaan oleh perorangan petani kecil dalam negeri.
UU No.13/2010 tentang Hortikultura
10. Undang-undang ini mengatur tentang pemanfaatan dan pengembangan sumber daya, pengembangan hortikultura, distribusi, perdagangan, pemasaran, konsumsi, pembiayaan, penjaminan, penanaman modal,
penelitian&pengembangan, pemberdayaan dan kelembagaan. Pengembangan hortikultura harus memperhatikan aspek-aspek: (a) pendekatan kawasan; (b)
meliputi seluruh segmen rantai nilai; (c) memperhatikan aspek-aspek: permintaan pasar; budidaya yang baik, efisiensi dan daya saing, fungsi lingkungan, dan kearifan lokal; (d) memprioritaskan penanaman modal dalam
negeri, sedangkan penanaman modal asing dibatasi maksimal 30%.
11. Pemerintah perlu melaksanakan pemberdayaan usaha hortikultura yang
meliputi: (a) penguatan kelembagaan dan SDM; (b) bantuan teknis penerapan teknologi dan pengembangan usaha; (c) fasilitasi akses terhadap
Page 4
iii
lembaga pembiayaan/permodalan; (d) fasilitasi promosi dan pemasaran; (e) bantuan sarana dan prasarana; (f) sertifikasi kompetensi dalam keahlian
usaha hortikultura; (g) pengembangan kemitraan; dan (h) penyediaan data dan informasi.
UU No.39/2014 tentang Perkebunan
12. Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk mendorong penyelenggaraan perkebunan yang mampu meningkatkan produksi, produktivitas dan daya saing, meningkatkan devisa negara serta kesejahteraan rakyat. Fokus utama
dari undang-undang ini adalah pengaturan penyelenggaraan perkebunan pada era yang dinamik, menangani sengketa lahan perkebunan, pembatasan
penanaman modal asing, kewajiban membangun dan menyiapkan sarana dan prasarana serta perijinan usaha.
13. Beberapa hal penting dari undang-undang ini adalah: (a) pengaturan tentang
pemanfaatan lahan untuk perkebunan melemahkan posisi komunitas adat dalam mempertahankan hak ulayat; (b) mengatur perlindungan tanaman
dari OPT, tapi sama sekali tidak mengatur perlindungan tanaman dari gangguan lain yang berdampak signifikan terhadap penurunan produksi
(perubahan iklim, kebakaran dan bencana alam lain); (c) budi daya tanaman perkebunan secara terintegrasi dengan unit pengolahan hasil, dengan budi daya ternak, agrowisata dan usaha lainnya; (d) pengaturan usaha
pengolahan hasil yang mengharuskan pengusaha memenuhi sekurang-kurangnya 20% bahan baku dari kebun sendiri perlu ditinjau ulang, karena
mengurangi kesempatan pengusaha pengolahan yang tidak memiliki kebun; (e) melindungi, memperkaya dan mengembangkan sumber daya genetik
dalam negeri namun kurang membahas terkaitannya dengan aspek karantina pertanian.
UU No.18/2009 dan UU No.41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH)
14. Undang-undang ini mengatur penyelenggaraan urusan peternakan dan kesehatan hewan secara komprehensif yang meliputi: sumberdaya, budidaya
ternak, panen, pasca panen, pemasaran, kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner, dan pemberdayaan peternak. Hal-hal pokok yang diamanatkan adalah: (a) penyediaan dan pengembangan benih, bibit,
dan/atau bakalan dilakukan dengan mengutamakan produksi dalam negeri; (b) usaha peternakan dikembangkan secara terintegrasi dengan tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan kehutanan; (c) pengeluaran hewan atau ternak dan produk hewan ke luar negeri dapat dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi; (d)
pemasukan ternak dan produk hewan dari luar negeri dapat dilakukan apabila produksi dan pasokan ternak dan produk hewan di dalam negeri belum
mencukupi; (e) dalam rangka menjamin produk hewan asal dalam dan luar negeri yang aman, sehat, utuh, dan halal Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Page 5
iv
berkewajiban melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan.
15. Pemberdayaan peternak dilakukan dengan memberikan kemudahan bagi kemajuan usaha peternakan dan kesehatan hewan serta peningkatan daya
saing, meliputi: meningkatkan akses pembiayaan, permodalan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta informasi; pelayanan peternakan,
kesehatan hewan, dan bantuan teknik; menghindari ekonomi biaya tinggi; pembinaan kemitraan; penciptaan iklim usaha yang kondusif; pemanfaatan sumber daya peternakan dan kesehatan hewan dalam negeri; fasilitasi
pembentukan kawasan peternakan; fasilitasi promosi dan pemasaran; dan perlindungan harga dan produk hewan dari luar negeri.
C. Keterkaitan antar undang-undang
16. Arah kebijakan pertanian seperti diamanatkan dalam berbagai undang-
undang lingkup pertanian secara umum konsisten dan saling mendukung satu sama lain. Beberapa aspek bahkan sejalan dengan amanat yang terkandung
dalam undang-undang lintas sektor, khususnya UU No.7/2014 tentang Perdagangan.
17. Beberapa aspek yang secara konsisten tercantum dalam beberapa undang-undang diantaranya adalah:
(a) Pengembangan budidaya tanaman maupun ternak dilakukan secara
komprehensif meliputi semua segmen rantai nilai [UU No.18/2012 (Pangan), No.12/1992 (SBT), No.13/2010 (Hortikultura), No.39/2014
(Perkebunan), dan No.18/2009&No.41/2014 (PKH)].
(b) Pengembangan budidaya diarahkan untuk mewujudkan usaha yang
memiliki produktivitas tinggi, efisien, berdaya saing, dan mampu mensejahterakan para pelakunya [UU No.18/2012 (Pangan), No.12/1992 (SBT), No.13/2010 (Hortikultura), No.39/2014 (Perkebunan), dan
No.18/2009&No.41/2014 (PKH)].
(c) Perlunya pemberdayaan dan perlindungan para pelaku usaha dalam
negeri, terutama petani/peternak [UU No.18/2012 (Pangan), No.13/2010 (Hortikultura), No.39/2014 (Perkebunan), No.18/2009&No.41/2014 (PKH),
No.19/2013 (PPP) dan No.7/2014 (Perdagangan)].
(d) Perlunya memprioritaskan penggunaan produk dalam negeri, termasuk benih/bibit dan sarana produksi [UU No.18/2012 (Pangan), No.12/1992
(SBT), No.13/2010 (Hortikultura), No.39/2014 (Perkebunan), No.18/2009& No.41/2014 (PKH), dan No.7/2014 (Perdagangan)].
(e) Ekspor benih/bibit dan produk pertanian, terutama pangan pokok, hanya dapat dilakukan setelah terpenuhinya kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan nasional [UU No.18/2012 (Pangan), No.12/1992 (SBT),
No.13/2010 (Hortikultura), No.39/2014 (Perkebunan), No.18/2009&No.41/ 2014 (PKH), dan No.7/2014 (Perdagangan)].
Page 6
v
(f) Impor produk-produk tersebut hanya dapat dilakukan apabila produksi dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam
negeri [UU No.18/2012 (Pangan), No.12/1992 (SBT), No.13/2010 (Hortikultura), No.39/2014 (Perkebunan), No.18/2009& No.41/2014
(PKH), No.19/2013 (PPP) dan No.7/2014 (Perdagangan)].
18. Pengaturan tentang impor seperti tercantum pada UU No.18/2012 (Pangan),
No.12/1992 (SBT), No.13/2010 (Hortikultura), No.39/2014 (Perkebunan), No.18/2009& No.41/2014 (PKH), No.19/2013 (PPP) dan No.7/2014 (Perdagangan)] tidak sejalan dengan amanat Pasal 4 UU No.7/1994 tentang
Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menekankan pentingnya membuka akses pasar bagi semua negara sehingga
negara-negara anggota diharapkan tidak menerapkan aturan-aturan yang menghambat akses pasar tersebut.
D. Keterkaitan antara undang-undang dengan Renstra dan Program Kementan
19. Tujuan, sasaran dan strategi pembangunan pertanian seperti tercantum dalam Renstra Kementan 2015-2019 telah menjawab beberapa arah
kebijakan yang diamanatkan oleh beberapa undang-undang lingkup pertanian. Demikian juga semua program dan kegiatan Kementan yang tercantum dalam Rencana Kerja (Renja) tahun 2016 secara umum konsisten
dengan amanat yang tercantum dalam beberapa pasal dari beberapa undang-undang lingkup pertanian. Program dan kegiatan Kementan yang dikemas
menurut unit kerja Eselon I dan II menjawab amanat undang-undang terkait dengan: (a) ketersediaan produk pangan dan pertanian dari hasil produksi
dalam negeri; (b) penyediaan benih/bibit dan sarana produksi lain; (b) penyediaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan, air dan prasarana pertanain; (c) perlindungan tanaman dan ternak dari gangguan OPT, penyakit
hewan/ternak dan bencana alam; (d) fasilitasi pengolahan dan pemasaran hasil untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing.
20. Program Kementan yang menjadi kontroversi terutama adalah berkaitan dengan fasilitasi pemasaran. Dari sisi landasan yuridis, program tersebut
dipayungi oleh semua undang-undang lingkup pertanian dan UU No.7/2014 (Perdagangan). Namun demikian, pelaksanaan program tersebut bukan merupakan kewenangan dan tupoksi pokok dari Kementan.
21. Beberapa aspek program Kementan yang masih memerlukan penyempurnaan sesuai amanat UU adalah: (a) dalam rangka melindungi petani/peternak dari
gangguan OPT/penyakit hewan, bencana alam dan krisis ekonomi dan konflik sosial-politik perlu dirancang program yang lebih mendasar dan sistematis untuk mewujudkan daya tahan (resilient) petani dan peternak; (b) sesuai
amanat undang-undang, pengembangan budidaya ternak perlu dilakukan secara terintegrasi dengan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan
kehutanan; (c) untuk mendorong pelaku usaha pengolahan perkebunan yang tidak memiliki kebun, maka persyaratan pasokan bahan baku minimal 20%
dari kebun sendiri perlu ditinjau ulang; (d) perlu pengarusutamaan aspek
Page 7
vi
keberlanjutan dalam pengembangan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan.
E. Rekomendasi kebijakan
22. Pengembangan komoditas pertanian diarahkan untuk mewujudkan sistem produksi yang memiliki karakteristik: efisien, berdaya tahan (resilient), inklusif, responsif terhadap kebutuhan konsumen dan sensitif terhadap lingkungan.
23. Fokus pengembangan tidak hanya terbatas pada sisi produksi tetapi meliputi
seluruh segmen dari rantai nilai. Selain mewujudkan koordinasi secara vertikal antar segmen, kebijakan ini juga memperluas cakupan potensi peningkatan
pendapatan dari kegiatan off-farm.
24. Dalam rangka mendorong konsumsi pangan dan gizi sesuai standar, meningkatkan pendapatan petani, serta merespon peluang pasar (domestik
dan internasional), maka pengembangan komoditas bernilai gizi tinggi dan bernilai ekonomi tinggi (sayuran, buah-buahan, dan produk ternak) perlu
mendapat prioritas lebih tinggi.
25. Arah kebijakan tentang pengaturan impor komoditas pertanian, walaupun
ditekankan oleh beberapa undang-undang lingkup pertanian dan UU No.7/2014 tentang Perdagangan, dalam impletantasinya perlu memperhatikan pula UU No.7/1994 tentang Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terutama Pasal 4 tentang akses pasar. Amanat UU No.7/1994 juga diperkuat dengan hasil kesepakatan dalam
berbagai forum pertemuan multilateral (ASEAN, G-20, APEC, OECD, dll) yang menekankan perlunya mendorong perdagangan dunia yang terbuka,
transparan dan tidak diskriminatif.
26. Untuk mewujudkan konsistensi antar undang-undang dengan tetap memperhatikan kekhasan masing-masing, perlu penyelarasan tentang ruang
lingkup pengaturan terutama untuk No.12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, UU No.13/2010 tentang Hortikultura, UU No.39/2014 tentang
Perkebunan, dan UU No.41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. UU No.18/2012 tentang Pangan yang dinilai cukup komprehensif dapat
dijadikan sebagai acuan
Page 8
vii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii
I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Dasar Pertimbangan ................................................................... 2 1.3. Tujuan ....................................................................................... 3
1.4. Keluaran yang Diharapkan .......................................................... 4 1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak ................................................... 4
II. METODOLOGI .................................................................................... 6
2.1. Kerangka Pemikiran .................................................................... 6
2.2. Data dan Metode Analisis ............................................................ 7
III. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN .................................................. 9
3.1. Undang-Undang No. 18/2012 Tentang Pangan ............................. 9 3.1.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ................................ 9
3.1.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain ............................ 12 3.1.3. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan .......... 21
3.2. Undang-Undang No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman . 30 3.2.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ................................ 30
3.2.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain ............................ 36 3.2.3. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan .......... 44
3.3. Undang-Undang No. 13/2010 tentang Hortikultura ....................... 50
3.3.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ................................ 50 3.3.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain ............................ 56
3.3.3. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan .......... 58
3.4. Undang-Undang No. 18/2004 Tentang Perkebunan ........................... 61
3.4.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ................................ 61 3.4.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain ............................ 64 3.4.3. Keterkaitandengan Renstra dan Program Kementan ........... 69
3.5. Undang-Undang UU N0.18/2009 dan UU No. 41/2014 Tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan ...................................................... 75 3.5.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ................................ 75 3.5.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain ............................ 79 3.5.3. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan .......... 82
Page 9
viii
3.6. Undang-Undang No. 41/2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan .................................................. 93
3.6.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ................................ 93 3.6.2. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan .......... 101
3.7. Undang-Undang N0.16/2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan .......................................... 104
3.7.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ................................ 104 3.7.2. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan .......... 108
3.8. Undang-Undang No. 19/2013 Tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani ................................................................. 112 3.8.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ................................ 112
3.8.2. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan .......... 126
3.9. Undang-Undang No. 7/2014 Tentang Perdagangan ...................... 136 3.9.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ............................... 136
3.10.Undang-Undang No. 14/1994 Tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ......................................... 138
3.10.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ............................. 138
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ........................................... 141
4.1. Kesimpulan ................................................................................ 141 4.2. Rekomendasi Kebijakan .............................................................. 142
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 144
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Pikir Evaluasi dan Penyesuaian Arah Kebijakan dalam UU Pertanian untuk Mempercepat Terwujudkan Kedaulatan Pangan ........... 7
Page 10
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sektor pertanian mempunyai peran penting dan strategis dalam penyediaan
pangan nasional, mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, dan peningkatan
kesejahteraan petani. Nawa Cita menawarkan jalan perubahan untuk Indonesia
yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Jalan perubahan kemandirian yang
mensejahterakan salah satunya dibangun melalui daulat pangan berbasis
agribisnis kerakyatan. Agenda Nawa Cita lima tahun ke depan (2015-2019) yang
relevan dengan pembangunan pertanian adalah butir (5) Meningkatkan kualitas
hidup manusia Indonesia, butir (6) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya
saing di pasar internasional, dan butir (7) Mewujudkan kemandirian ekonomi
dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Berdasarkan
rincian tersebut, maka agenda prioritas di bidang pertanian terdiri dari dua hal,
yaitu (1) Peningkatan Agroindustri, dan (2) Peningkatan Kedaulatan Pangan.
Arah kebijakan dan strategi kedaulatan pangan pada Rencana Strategis
Kementerian Pertanian 2015-2019 dicerminkan pada kekuatan untuk mengatur
masalah pangan secara mandiri, yang perlu didukung dengan: (i) ketahanan
pangan, terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri; (ii)
pengaturan kebijakan pangan yang dirumuskan dan ditentukan oleh bangsa
sendiri; dan (iii) mampu melindungi dan mensejahterakan pelaku utama pangan,
terutama petani dan nelayan. Selanjutnya, dalam rangka kedaulatan pangan,
ketersediaan air merupakan faktor utama untuk meningkatkan dan memperkuat
kapasitas produksi. Arah kebijakan umum kedaulatan pangan dalam RPJMN
2015-2019 adalah: pemantapan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan
dengan peningkatan produksi pangan pokok, stabilisasi harga bahan pangan,
terjaminnya bahan pangan yang aman dan berkualitas dengan nilai gizi yang
meningkat, serta meningkatnya kesejahteraan pelaku usaha pangan.
Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran, maka Kementerian Pertanian
menyusun dan melaksanakan Tujuh Strategi Utama Penguatan Pembangunan
Pertanian untuk Kedaulatan Pangan (P3KP)sebagai berikut: (1) Peningkatan
ketersediaan dan pemanfaatan lahan; (2) Peningkatan infrastruktur dan sarana
Page 11
2
pertanian; (3) Pengembangan dan perluasan logistik benih/bibit; (4) Penguatan
kelembagaan petani; (5) Pengembangan dan penguatan pembiayaan pertanian;
(6) Pengembangan dan penguatan bioindustri dan bioenergi; serta (7) Penguatan
jaringan pasar produk pertanian (Kementerian Pertanian, 2015).
Berbagai Undang-Undang yang terkait dengan pembangunan sektor
pertanian telah dikeluarkan Pemerintah, yang kesemuanya ditujukan untuk
mempercepat terwujudnya kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani. Dalam
implementasinya terdapat dua kemungkinan: (1) arah kebijakan yang terdapat
pada salah satu UU tersebut mampu secara baik bersinergi dengan arah kebijakan
pada UU lainnya dan (2) tidak sinkron atau malah saling berlawanan dengan UU
lainnya.
Kebijakan Kementerian Pertanian yang tertuang dalam Rencana Strategis
mencerminkan amanat berbagai UU yang ada. Secara yuridis, kebijakan yang
dirumuskan seharusnya menerjemahkan arah kebijakan yang terkandung dalam
berbagai UU, seperti UU Sistem Budi daya Tanaman,UU Hortikultura, UU
Perkebunan, UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU Karantina, dan lain-lain.
UU dan naskah akademik dari masing-masing subsektor merupakan arah
kebijakan yang mengikat. Oleh karena itu harmonisasi (evaluasi dan
penyesuaian) arah kebijakan dari UU subsektor pertanian dinilai strategis dikaitkan
dengan program pembangunan pertanian dalam rangka akselerasi terwujudnya
kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani.
1.2. Dasar Pertimbangan
Dari kerangka kebijakan pertanian yang ada, terdapat modifikasi pada arah
kebijakan yang baru: (1) Ada program/kegiatan yang mungkin belum terpayungi
oleh UU; (2) Terdapat elemen-elemen dari UU tertentu yang tidak sinkron bahkan
konflik dengan UU lain, misal UU Pangan dan UU Hortikultura dengan UU tentang
ratifikasi WTO. Ada beberapa elemen yang bertentangan, seperti ketersediaan
pangan pokok yang mengutamakan sumber pengadaan dalam negeri, demikian
juga hortikultura yang terkait dengan investasi, sehingga perlu dicermati
sinkronisasi antar UU tersebut; (3) Beberapa aspek dari UU mungkin juga ada
yang sudah tidak relevan dengan konteks kebijakan saat ini; (4) Ada juga
Page 12
3
beberapa kebijakan strategis ke depan, tetapi belum ada rujukan UU, misal: aging
farmer, belum ada UU yang mengatur ataupun mendorong tenaga kerja muda
untuk bekerja di sektor pertanian, termasuk insentifnya. Beberapa negara lain
telah memiliki kerangka kebijakan tentang tentang program pensiun untuk para
petani. Mestinya Indonesia juga mulai merancang kebijakan tentang aspek
tersebut dan dipayungi oleh produk UU.
Undang-Undang yang tertua adalah UU Budi Daya Tanaman, kemudian
disusul oleh UU terkait sub-sektor lainnya, seperti UU Hortikultura, UU Perkebunan
UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Selain itu ada UU yang bersifat lintas sub-
sektor yaitu UU Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan, UU Penyuluhan, UU
Karantina, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Selain UU yang spesifik lingkup pertanian, ada juga beberapa UU lain yang
terkait dengan pertanian, seperti UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal
Asing, UU Perdagangan, dan UU tentang Ratifikasi perjanjian WTO. Untuk itu
perlu dicermati UU lain yang mendukung atau sejalan dan UU yang mungkin tidak
sejalan dengan UU Pertanian. Beberapa elemen dari UU lingkup pertanian
mungkin juga sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini sehingga perlu
diperbaiki. Selain itu mungkin juga ada ruang kosong dimana beberapa kebijakan
strategis belum terpayungi oleh UU.Misalnya UU Budi Daya Tanaman apakah
sinkron/mendukung UU Karantina atau malah bertentangan. Selanjutnya
beberapa program prioritas yang sedang berjalan, apakah sinkron atau tidak
dengan arah kebijakan dalam UU? Apabila tidak sinkron, apakah perlu dilakukan
revisi terhadap UU tersebut? Untuk itu diperlukan suatu kajian yang dapat
menganalisis secara kritis dari masing-masing UU tersebut.
1.3. Tujuan
Tujuan umum kajian ini adalah menghasilkan rekomendasi kebijakan tentang
penyesuaian arah kebijakan dalam UU Pertanian untuk mempercepat terwujudnya
kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani.
Secara khusus, kajian ini bertujuan:
1. Mengevaluasi arah kebijakan yang terkandung dalam UU lingkup pertanian;
2. Mengevaluasi keterkaitan antara arah kebijakan yang terkandung dalam suatu
UU dengan UU lainnya;
Page 13
4
3. Mengevaluasi relevansi arah kebijakan dalam UU Pertanian dengan program
pembangunan pertanian yang sedang berjalan;
4. Merumuskan arah kebijakan baru yang perlu dimasukkan dalam UU lingkup
pertanian;
5. Merumuskan kebijakan/program pembangunan pertanian sesuai amanat UU
lingkup pertanian.
1.4. Keluaran yang Diharapkan
Keluaran Umum
Secara umum keluaran kajian ini adalah rumusan konsepsi penyesuaian arah
kebijakan dalam UU Pertanian untuk mempercepat terwujudnya kedaulatan
pangandan kesejahteraan petani.
Keluaran Khusus
Keluaran khusus kajian ini adalah:
1. Hasil evaluasi tentang arah kebijakan yang terdapat pada UU lingkup
pertanian (UU subsektor, sektor, dan pendukungnya);
2. Hasil evaluasi tentang kaitan antara arah kebijakan yang ada dalam suatu UU
dengan UU lainnya(saling menunjang atau bertentangan);
3. Harmonisasi arah kebijakan dalam UU lingkup pertanian dengan program
pembangunan pertanian;
4. Rumusan arah kebijakan baru yang perlu dimasukkan dalam UU lingkup
pertanian;
5. Rumusan kebijakan/program pembangunan pertanian sesuai amanat UU
lingkup pertanian.
1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak
Manfaat dari hasil analisis atau hasil evaluasi dari kajian ini dapat diperoleh
informasi mengenai sinkronisasi peraturan perundangan pertaniandengan UU
lainnya untuk penyesuaian arah kebijakan pembangunan pertanian dalam rangka
mempercepat terwujudnya kedaulatan pangandan kesejahteraan petani.
Hasil analisis atau hasil evaluasi memberikan kontribusi terhadap
pengambilan keputusan mengenai arah kebijakan pembangunan pertanian, mana
Page 14
5
yang telah atau belum merujuk pada peraturan perundang-undangan, sehingga
kebijakan yang ada dapat diperbaiki dan berperan sesuai fungsi dan
peruntukkannya, terutama dalam mendorong terwujudnya kedaulatan pangandan
kesejahteraan petani.
Page 15
6
II. METODOLOGI
2.1. Kerangka Pemikiran
Berbagai program pembangunan pertanian telah banyak dirumuskan
pemerintah, namun sejauh ini dinilai belum mencapai sasaran yang ditargetkan,
yakni meningkatkan kesejahteraan petani. Kelemahan dalam pembangunan
pertanian perlu dicermati oleh para pengambil kebijakan, sehingga ke depan
dapat dilakukan upaya perbaikan yang signifikan. Kelemahan yang diduga
fundamental adalah pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
sumber daya alam untuk pertanian, aspek keuangan, organisasi petani,
perlindungan produk pertanian dari impor, dan keberpihakkan pada kemandirian
petani, serta kedaulatan pertanian pedesaan.
Faktor peraturan perundang-undangan menjadi salah satu titik lemah serius
yang menyebabkan pertanian di Indonesia tidak berkembang sebagaimana yang
terjadi di negara-negara lain. Di tingkat Undang-Undang yang bersifat subsektor
pertanian, seperti UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, UU No. 12
tahun 1992 tentang Budi Daya Tanaman, UU No. 41 tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU No. 16 tahun 2006
tentang Sistem Penyuluhan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan,
masih mengandung beberapa masalah baik dari segi substansi maupun
konsistensi dalam implementasi (Indraningsih et al. 2012).
UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, menggantikan UU No. 7 Tahun
1996 yang telah berusia 16 tahun. Dalam Undang-undangbaru ini, persoalan
pangan ditujukan untuk mencapai tiga hal sekaligus yaitu kedaulatan pangan,
kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Diadopsinya kedaulatan pangan
sebagai salah satu tujuan pembangunan pertanian nasional membutuhkan
penyusunan rencana dan pendekatan pembangunan yang berbeda. Salah satu
perbedaan pendekatan kedaulatan pangan adalah pada pengakuan posisi politik
petani. Hal ini sejalan dengan berbagai kebijakan baru tentang petani Indonesia
yang lebih memberikan otoritasyang kuat kepada posisi politik petani. Dengan
Undang-Undang Pangan yang baru berarti adaketegasan tentang hak dan
Page 16
7
kewajiban, baik daridan oleh negara, maupun daridan oleh warga negara
(Sunarsih et al. 2015).
Selain UU subsektor, terdapat juga UU lintas sektor seperti UU
Perdagangan, UU Sumber Daya Air, UU tentang Ratifikasi WTO, dan UU
Penanaman Modal yang perlu dievaluasi keterkaitan antara UU tersebut, apakah
saling mendukung/sinkron atau bahkan menimbulkan konflik, karena tidak sejalan.
Kerangka pemikiran kajian ini ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pikir Evaluasi dan Penyesuaian Arah Kebijakan dalam UU Pertanian untuk Mempercepat Terwujudkan Kedaulatan Pangan
2.2. Data dan Metode Analisis
Jenis dan Sumber Data
Kajian ini menggunakan data dan informasi sekunder. Data sekunder
dikumpulkan melalui berbagai dokumen dari instansi terkait baik dikumpulkan
UU Bidang/Masalah Pertanian
UU Sub-sektor
Utama Pertanian
UU Lintas Sektor
Renstra Kementan/Program Subsektor Pertanian
Reorientasi UU dan Kebijakan Kedaulatan Pangan
Sinkronisasi UU Harmonisasi UU
Penguatan UU
UU No. 18/2012
tentang Pangan
Page 17
8
secara langsung maupun melalui media elektronik (jaringan internet). Dilakukan
pula diskusi dengan nara sumber yang terlibat dalam penyusunan UU terkait.
Metode Analisis
Analisis data dan informasi dilakukan dengan pendekatan deskriptif dengan
cara verifikasi dokumen dan mengkomparasi antara legislasi (UU).
Page 18
9
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Undang-Undang No. 18/2012 Tentang Pangan
3.1.1. Pokok-pokok amanat undang-undang
1. Dari 12 lingkup pengaturan penyelenggaraan pangan dalam konteks analisis
kebijakan undang-undang pertanian yang dinilai strategis adalah empat aspek
yaitu: ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, konsumsi pangan dan
gizi, dan keamanan pangan.
2. Ketersediaan pangan mencakup empat dimensi utama yaitu produksi pangan
dalam negeri, cadangan pangan, ekspor dan impor pangan, dan
penganekaragaman pangan:
a. Pengembangan produksi pangan dalam negeri mengedepankan
pemanfaatan sumber daya pertanian domestik, perlindungan dan
pemberdayaan petani, penyuluhan dan pendampingan, pemantapan daya
saing, dan penanggulangan ancaman produksi pangan melalui bantuan
teknologi dan regulasi;
b. Pengembangan cadangan pangan nasional (pemerintah dan masyarakat)
diutamakan pada pangan pokok dengan sasaran mengantisipasi gejolak
harga pangan yang dilakukan melalui pengembangan kemitraan, pembelian
produksi dalam negeri (terutama pada saat panen raya) dan dalam
distribusinya tidak merugikan konsumen dan produsen;
c. Kebijakan perdagangan pangan pokok (ekspor dan impor) harus
mempertimbangkan kebutuhan dan cadangan pangan, eksistensi defisit
pangan, memenuhi persyaratan (keamanan, mutu, gizi, dan halal),dan
tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan uasahatani dan pelaku
usaha pangan mikro dan kecil;
d. Penganekaragaman pangan diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan
pangan berbasis sumber daya lokal, melalui pengembangan teknologi dan
sistem insentif, diversifikasi usahatani, optimalisasi pemanfaatan lahan, dan
pengembangan industri pangan berbasis pangan lokal.
3. Keterjangkauan pangan mencakup lima dimensi utama yaitu distribusi pangan,
pemasaran pangan, perdagangan pangan, stabilitas pasokan dan harga
pangan pokok, dan bantuan pangan:
Page 19
10
a. Distribusi pangan diarahkan untuk memenuhi pemerataan ketersediaan
pangan (khususnya pangan pokok) melalui pengembangan distribusi
pangan secara efektif dan efisien dengan mengutamakan pelayaanan
trasportasi, bongkar muat, penyediaan sarana prasarana, dan
pengembangan lembaga distribusi pangan masyarakat;
b. Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan pemasaran pangan terkait
dengan tatacara pemasaran pangan, promosi penggunaan produk pangan
lokal, dan promosi ekspor produk pangan;
c. Pemerintah berkewajiban mengatur perdagangan pangan dengan nsasaran
utama stabilisasi pasokan dan harga pangan (terutama pangan pokok)
melalui penetapan mekanisme, tatacara, dan jumlah maksimal
penyimpanan pangan pokok oleh pelaku usaha pangan;
d. Pemerintah berkewajiban melakukan stabilisasi pasokan dan harga pangan
pokok di tingkat produsen dan konsumen dengan sasaran melindungi
pendapatan petani dan daya beli konsumen, diantaranya melalui penetapan
HPP, pengelolaan cadangan pangan, pengaturan kelancaran distribusi
antar wilayah, dan pangaturan ekspor/impor pangan;
e. Pemerintah bertanggungjawab dalam penyediaan dan penyaluran pangan
(khususnya pangan pokok) bagi masyarakat miskin, rawan pangan, dan
keadaan darurat dengan mengutamakan produksi dalam negeri dan
kearifan lokal.
4. Konsumsi pangan dan gizi mencakup tiga dimensi uatama yaitu konsumsi
pangan, penganekaragamnan pangan dan gizi, dan perbaikan gizi:
a. Pemerintah berkewajiban meningkatkan pemenuhan kuantitas dan kualitas
konsumsi pangan masyrakat melalui penetapan target pencapaian angka
konsumsi pangan, penyediaan pangan (beragam, bergizi, aman, dan halal),
serta pengembangan pengetahuan dan kemampuan masyarakat terkait
pola konsumsi pangan;
b. Pemrintah berkewajiban mewujudkan penganekaragaman konsumsi
pangan dengan sasaran peningkatan kesadaran masyarakat dan
membudayakan pola konsumsi pangan sesuai dengan potensi dan kearifan
Page 20
11
lokal, melalui kegiatan promosi, edukasi, pengembangan industri dan
teknologi tepat guna pengolahan pangan lokal;
c. Pemerintah menetapkan kebijakan di bidang gizi untuk perbaikan status
gizi masyarakat melalui penetapan persyaratan perbaikan/pengayaan gizi
pangan, komposisi pangan olahan, pemenuhan kebutuhan gizi kelompok
masyarakat tertentu (ibu hamil, balita, kelompok rawan gizi, dll),
peningkatan konsumsi pangan hewani/ikani, sayuran, buah-buahan, dan
umbi-umbian lokal, serta kebijakan perbaikan gizi masyarakat lainnya.
5. Keamanan pangan mencakup enam dimensi utama yaitu sanitasi pangan,
pengaturan bahan tambahan pangan, produk rekayasa genetik, iradiasi
pangan, standar kemasan pangan, jaminan keamanan dan mutu pangan:
a. Kebijakan sanitasi pangan (dalam proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan/atau peredaran pangan) dilakukan dengan sasaran
agar pangan aman untuk dikonsumsi, pengendalian risiko bahaya sehingga
keamanan pangan terjamin, dan sebagai acuan bagi penyelenggara
kegiatan terkait pangan;
b. Bahan tambahan pangan merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam
pangan untuk mempengaruhi sifat dan/atau bentuk pangan, dimana
pemerintah berkewajiban memeriksa keamanan bahan yang akan
digunakan, dengan tujuan untuk mendapatkan izin peredaran;
c. Produk pangan rekayasa genetik dan proses produksi pangan yang
menggunakan bahan rekayasa genetik dilarang diproduksi dan diedarkan
sebelum mendapatkan persetujuan dan persyaratan keamanan pangan;
d. Iradiasi pangan dapat dilakukan dengan menggunakan zat radioaktif
maupun akselerator untuk mecegah terjadinya pembusukan dan kerusakan
pangan, dan izin iradiasi pangan akan diberikan setelah memenuhi
persyaratan yang ditetapkan pemerintah;
e. Produksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan kemasan
pangan yang membahayakan, dapat menyebabkan kerusakan dan/atau
pencemaran, dan dilarang membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas
kembali dan diperdagangkan;
Page 21
12
f. Pemerintah dan/atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi dapat
memberikan sertifikasi jaminan KP/MP (keamanan pangan dan mutu
pangan), dan petani/pelaku usaha pangan segar secara bertahap dan
melalui pembinaan serta fasilitasi pemerintah ditargetkam mampu
memenuhi persayatan teknis minimal KP/M.
3.1.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain
Keterkaitan antara UU No. 18/2012 tentang Pangan dengan UU No.
41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan
1. Perencanaan pangan dilakukan untuk merancang penyelenggaraan pangan ke
arah kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan pada
Pasal 6 UU No. 18/2012 tentang Pangan sejalan dengan tujuan UU
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Pasal 3, yang bertujuan
untuk mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan.
Perencanaan pangan pada Pasal 7 harus memperhatikan rencana tata ruang
wilayah, dan rencana pembangunan nasional dan daerah. Hal ini juga sejalan
dengan UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan,
dimana Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nasional/
Provinsi/kabupaten diatur dalam Peraturan Pemerintah/Pemda mengenai
Rencana Tata Ruang Wilayah. (Pasal 23/ayat 1,2,3,4).
2. Pada aspek Ketersediaan Pangan, untuk mewujudkan ketersediaan pangan
melalui produksi pangan dalam negeri dilakukan diantaranya dengan
membangun kawasan sentra produksi pangan (Pasal 12/ayat 5). Hal ini
didukung oleh UU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan tentang
Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nasional/Provinsi/
kabupaten pada Pasal 24/ayat 1,2 dengan mempertimbangkan diantaranya
produktivitas kawasan pertanian pangan; potensi teknis lahan; keandalan
infrastruktur; dan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian.
3. Masih pada aspek Ketersediaan Pangan, Pemerintah berkewajiban melindungi
dan memberdayakan petani dan pelaku usaha pangan sebagai produsen
pangan (Pasal 17). Hal ini sejalan dengan Pasal 61 pada UU Perlindungan
lahan Pertanian Berkelanjutan, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
Page 22
13
melindungi dan memberdayakan petani, kelompok petani, koperasi petani,
serta asosiasi petani. Demikian pula Pemerintah berkewjiban mengatur dan
menjamin tersedianya lahan pertanian pangan Hal ini disebutkan pada UU
Pangan (Pasal 18) dan didukung pula melalui Pasal 3 UU Lahan pertanian
Pangan Berkelanjutan.
4. Masalah alih fungsi lahan disebutkan pada Pasal (Pasal 22/ayat 1 UU Pangan,
bahwa pemerintah berkewajiban mengantisipasi dan menanggulangi ancaman
produksi pangan karena alih fungsi lahan. Hal ini didukung oleh UU
Perlindungan lahan pertanian berkelanjutan (Pasal 44/ayat 1) bahwa Lahan
yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.
5. Kerjasama melalui kemitraan dengan pelaku usaha dapat dilakukan baik untuk
pengembangan cadangan pangan (Pasal 26) pada UU Pangan dan
Pengembangan terhadap Kawasan dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
yang meliputi intensifikasi dan ekstensifikasi lahan (Pasal 27/ayat 1, 2, 3).
6. Peran Pemerintah (pusat dan daerah) dalam menjamin terwujudnya
penyelenggaraan keamanan pangan (Pasal 68/ayat 1) konsisten dengan UU
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dimana Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan dilakukan dengan dukungan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, (Lembaga penelitian dan/atau perguruan tinggi) melalui
penelitian (Pasal 30/ayat 1,2,3,4).
Keterkaitan antara UU No. 18/2012 tentang Pangan dengan UU No
16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tanaman
1. Sebagian besar pasal-pasal pada UU No. 12/2012 tentang pangan tidak terkait
dengan UU No. 16/1992 tentang karantina, namun secara tidak langsung UU
Karantina berkait dalam hal perlindungan sumber daya penghasil bahan
pangan.
2. Asas UU No. 16/1992 tentang karantina (Pasal 2 dan 3) sejalan dan
mendukung dengan perencanaan pangan pada UU No. 18/2012 tentang
pangan (pasal 6). Melalui tindakan karantina untuk mencegah masuknya hama
dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, dan
Page 23
14
organisme pengganggu tumbuhan karantina dari luar negeri ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia sehingga dapat menjaga kelestarian sumber daya
hayati termasuk yang menghasilkan bahan pangan agar kemandirian pangan
terjaga.
3. Agar perencanaan pangan memperhatikan antara lain (UU No.12/2012 Pasal
7): (a) pertumbuhan dan sebaran penduduk, (b) kebutuhan konsumsi pangan
dan gizi, (c) daya dukung sumber daya alam, teknologi, dan kelestarian
lingkungan, (d) potensi pangan dan budaya lokal, maka penyelenggaraan
karantina hewan, ikan dan tumbuhan tersebar pada berbagai daerah pada
tempat pemasukan dan tempat pengeluaran mencakup pelabuhan laut,
pelabuhan sungai, pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, pos
perbatasan dengan negara lain, dan tempat-tempat lain yang dianggap perlu
(UU No. 12/1992 Pasal 1, butir 12).
4. Kegiatan impor pangan yang dipersyaratkan UU Pangan Pasal 37 (1) yaitu
harus memenuhi: keamanan pangan, mutu, gizi, dan tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat. Pada UU Karantina belum
memasukkan aspek yang tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan
budaya masyarakat dan tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan
usahatani skala kecil. Sebaiknya hal itu dimasukkan juga dalam UU Karantina,
sehingga sejalan dengan UU Pangan.
5. Kelancaran distribusi pangan yang diamanahkan UU Pangan Pasal 49: (i)
pelayanan transportasi yang efektif dan efisien dan (ii) memberikan prioritas
untuk kelancaran bongkar muat produk pangan, maka sebaiknya
diharmoniskan dengan UU Karantina Pasal 11 dan 12, sehingga tindakan
pemeriksaan karantina yang dilakukan dapat dilakukan secara efektif agar
tidak menghambat kegiatan distribusi pangan termasuk pakan ternak.
6. Pembinaan yang dilakukan pemerintah kepada pihak yang melakukan
pemasaran pangan mencakup aspek karantina, sehingga pelaku pemasaran
turut aktif menjaga kelestarian sumber daya pangan nasional.
Page 24
15
Keterkaitan antara UU No. 18/2012 tentang Pangan dengan UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan UU No. 41/2014 tentang Perubahan atas UU No. 18/2009
1. Perencanaan pangan sejalan dengan penyelenggaraan peternakan dan
kesehatan hewan, yaitu berasaskan pada kemandirian dan keberlanjutan
dengan memperhatikan: keamanan dan kesehatan, kerakyatan dan keadilan,
pertumbuhan dan sebaran penduduk, potensi pangan dan budaya lokal,
kemitraan dan keprofesionalan, serta daya dukung sumber daya alam.
2. Pasal 12 (5) UU Pangan menyatakan bahwa: “untuk mewujudkan
ketersediaan pangan melalui produksi pangan dalam negeri antara lain
dilakukan melalui: (i) mengembangkan produksi pangan yang bertumpu pada
sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, (ii) mengembangkan efisiensi
sistem usaha pangan, (iii) mempertahankan dan mengembangkan lahan
produktif, dan (iv) membangun kawasan sentra produksi pangan”. Salah satu
bentuk yang perlu dikembangkan adalah usaha integrasi ternak pada lahan-
lahan perkebunan dan peternakan, sehingga terbentuk kawasan perkebunan
yang terintegrasi dengan usaha peternak untuk mencapai efisiensi usaha dan
keberlanjutan usaha dengan memanfaatkan pupuk kandang untuk tanaman
dan produk samping tanaman untuk pakan ternak. Hal ini sesuai dengan UU
No. 18/209 Pasal (4): “Pemerintah kabupaten/kota membina bentuk kerja
sama antara pengusahaan peternakan dan pengusahaan tanaman pangan,
hortikultura, perikanan, perkebunan, dan kehutanan serta bidang lainnya
dalam memanfaatkan lahan di kawasan tersebut sebagai sumber pakan
ternak murah”.
3. Pada UU No. 18/2012 sudah dibahas hal-hal yang terkait dengan cadangan
pangan. Faktanya, sampai saat ini cadangan pangan yang dilakukan
pemerintah terbatas pada pangan pokok berupa beras. Pada UU No. 18/2009
sama sekali belum dibahas cadangan pangan asal ternak, seperti telur ayam,
daging ayam dan daging sapi/kerbau. Padahal ketiga produk tersebut saat
hari-hari besar keagamaan permintaannya melonjak tajam, sehingga
harganya meningkat tajam. Sebaiknya, berdasarkan fakta ini pemerintah juga
Page 25
16
melakukan cadangan pangan untuk mengantisipasi kenaikan harga yang
melonjak.
4. Penetapan sentra produksi pangan lokal sesuai dengan usulan pemerintah
daerah (UU No. 18/2012, Pasal 12 (6). Pada UU No. 18/2009 untuk kasus
pangan asal hewani, Pasal 27: “Penetapan suatu kawasan budi daya diatur
berdasarkan Peraturan Menteri dengan berpedoman pada peraturan
perundang-undangan di bidang penataan ruang”. Pasal 14 menyatakan
bahwa: “Pemerintah membina pembentukan wilayah sumber bibit pada
wilayah yang berpotensi menghasilkan suatu rumpun ternak yang telah
ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan jenis dan rumpun ternak,
agroklimat, kepadatan penduduk, sosial ekonomi, budaya, serta ilmu
pengetahuan dan teknologi”, dimana usulannya dilakukan oleh pemerintah
daerah.
5. Pemerintah berkewajiban melindungi dan memberdayakan petani dan pelaku
usaha pangan sebagai produsen pangan (UU No. 18/2012, Pasal 17). Pada
petani peternak perlindungan tersebut dengan mengutamakan sumber daya
dalam negeri, melindungi harga dan produk hewan dari luar negeri guna
meningkatkan kesejahteraan peternak dan mewujudkan ketahanan pangan.
6. Dalam memenuhi kebutuhan pangan pemerintah berkewajiban: mengatur,
mengembangkan dan mengalokasikan lahan pertanian dan sumber daya air
(UU No. 18/2012 Pasal 18 dan UU No. 18/2009, Pasal 4, 5, 6, 7).
7. Pemerintah berkewajiban mengantisipasi dan menanggulangi ancaman
produksi pangan antara lain karena perubahan iklim; pemotongan sapi betina
produktif; penanggulangan OPT dan penyakit hewan zoonosis; pencemaran
lingkungan; keamanan, kesehatan, keutuhan dan kehalalan produk hewan;
degradasi dan alih fungsi lahan; dan disinsentif ekonomi melalui bantuan
teknologi dan regulasi (UU 18/2012 Pasal 22 (1), (2); UU No 18/2009 Pasal 56
dan UU No. 41/2014 Pasal 18 (3).
8. Ekspor pangan hanya dapat dilakukan setelah terpenuhinya kebutuhan
konsumsi pangan pokok dan cadangan pangan nasional (UU No. 18/2012 (1),
(2); UU No. 41/2014 Pasal 36A).
Page 26
17
9. Impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri
dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi (UU No. 18/2012, Pasal 36
(1), (2): UU No. 41/2014, Pasal 36B).
10. Impor pangan wajib memenuhi persyaratan keamanan, mutu, gizi, dan tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat (UU No.
18/2012 Pasal 37 (1) dan UU No. 18/2009 Pasal 6 (1).
11. Kebijakan impor pangan yang dilakukan pemerintah tidak berdampak negatif
terhadap keberlanjutan usahatani, peningkatan produksi, kesejahteraan
petani dan pelaku usaha pangan mikro dan kecil (UU No. 18/2012 Pasal 39
dan UU No. 18/2009 Pasal 29 (1)).
12. Pemerintah (pusat dan daerah) bertangguang jawab dalam mewujudkan
keterjangkauan pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan
dengan melaksanakan kebijakan di bidang distribusi, pemasaran,
perdagangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok, serta bantuan
pangan (UU No. 18/2012 Pasal 46; UU No. 41/2014 Pasal 36 (1) disebutkan:
Pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan
pemasaran Hewan atau Ternak dan Produk Hewan di dalam negeri maupun
ke luar negeri.
13. Peran serta pemerintah terkait dengan distribusi dan stabilisasi pasokan dan
harga pangan bertujuan: untuk memenuhi pemerataan ketersediaan pangan
ke seluruh wilayah NKRI secara berkelanjutan (UU No. 18/2012 Pasal (1);
untuk membina peningkatan produksi dan konsumsi protein hewani dalam
mewujudkan ketersediaan pangan bergizi seimbang bagi masyarakat dengan
tetap meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha Peternakan (UU No. 41/2014
Pasal 36 (2)).
14. Pemerintah berkewajiban melakukan stabilisasi pasokan dan harga pangan
pokok di tingkat produsen dan konsumen dengan tujuan melindungi
pendapatan dan daya beli petani dan keterjangkauan harga bagi konsumen
(UU No. 18/2012 Pasal 55 (1) (2)). Ketentuan ini belum diatur secara eksplisit
dalam UU No. 18/2009 dan UU No. 41/2014), namun dalam praktek sebagian
sudah dilakukan dalam bentuk kegiatan operasi pasar, dll dan masih bisa
dibenarkan dengan merujuk pada UU 18/2012 tentang pangan.
Page 27
18
15. Demikian pula hal-hal yang terkait dengan bantuan pangan pokok untuk
masyarakat miskin, rawan pangan dan gizi, maupun dalam keadaan darurat
yang sudah diatur dalam UU Pangan belum diatur dalam UU PKH. Hal itu
kemungkinan produk peternakan belum masuk kategori pangan pokok.
Adanya klausul pangan lainnya pada UU No. 18/2012 Pasal 58,
memungkinkan untuk produk peternakan seperti telur dan susu ditujukan
untuk mengatasi masalah kerawanan pangan dan gizi.
16. Beberapa peraturan terkait konsumsi pangan dan gizi lebih banyak diatur
dalam UU No. 18/2012. Namun perihal penganekaragaman pangan,
selayaknya didukung kebijakan dalam subsektor peternakan yang saat ini
masih dirasakan kurang seimbang. Swasembada produk peternakan masih
difokuskan pada daging sapi. Padahal masih banyak produk peternakan lain
yang perlu dikembangkan agar tidak terjadi senjang seperti kerbau, kambing,
domba, ayam kampung dan itik, dan kelinci.
17. Landasan hukum baik UU No. 18/2012 dan UU No. 18/2009 dan UU No.
41/2014 yang mengatur keamanan pangan mencakup aspek sanitasi dan
higienis, bermutu, bergizi, bebas cemaran, dan kehalalan sudah sangat jelas.
Namun dalam prakteknya masih banyak dijumpai pelanggaran dalam hal itu.
Ini mengindikasikan masih lemahnya penerapan hukum terkait hal itu yang
seharusnya perlu dicari solusi, antara lain dengan meningkatkan peran PPNS
dan fasilitas laboratorium serta pembinaan terhadap petugas dan pelaku
usaha terkait.
18. Terkait dengan kehalalan produk peternakan dan proses panen dan pasca
panen, pemerintah dan pemerintah daerah beserta lembaga terkait seperti
BPOM dan Kemenag hendaknya memperhatikan dan memantau secara
reguler proses pemotongan ternak dan pengolahan produk peternakan.
Keterkaitan antara UU No. 18/2012 tentang Pangan dengan UU No 39/2014 tentang Perkebunan
1. Pasal 6 UU No. 18/2012 mengamanatkan bahwa perencanaan pangan
dilakukan untuk merancang penyelenggaraan pangan ke arah kedaulatan
pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan sejalan dengan Pasal 2
Page 28
19
UU No. 39/2014 yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan perkebunan
harus berasaskan kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan,
keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, efisiensi-berkeadilan, kearifan lokal
dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
2. UU No. 18/2012 dalam pasalnya yang ke-7 mengatur bahwa perencanaan
pangan harus memperhatikan pertumbuhan dan sebaran penduduk,
kebutuhan konsumsi pangan dan gizi, daya dukung sumber daya alam,
teknologi, dan kelestarian lingkungan, pengembangan sumber daya manusia,
kebutuhan sarana dan prasarana, potensi pangan dan budaya lokal, rencana
tata ruang wilayah, dan rencana pembangunan nasional dan daerah.
Pengaturan ini sangat sejalan dengan perencanaan perkebunan yang
diharuskan untuk memperhatikan wilayah, jenis tanaman, sumber daya
manusia, kelembagaan, kawasan perkebunan,sarana dan prasarana,
pembiayaan dan penanaman modal yang tertuang dalam UU No. 39/2014
Pasal ke-6.
3. Pemerintah dalam menetapkan sentra produksi pangan lokal harus sesuai
dengan usulan pemerintah daerah sesuai UU No. 18/2012 Pasal 12 yang
sinergis dengan amanat UU No. 39/2014 Pasal 50 yang menyebutkan bahwa
menteri, gubernur, dan bupati/wali kota yang berwenang menerbitkan izin
Usaha Perkebunan harus tidak sesuai peruntukkan dan syarat serta ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4. Dalam rangka perlindungan pangan, UU No. 18/2012 Pasal 22
mengamanatkan pemerintah untuk mengantisipasi dan menanggulangi
ancaman produksi pangan yang disebabkan karena perubahan iklim, serangan
OPT, pencemaran lingkungan, degradasi dan alih fungsi lahan, maupun
disinsentif ekonomi melalui bantuan teknologi dan regulasi. Amanat ini sejalan
dengan Pasal 34 dan Pasal 37 UU No. 39/2014 yang menyebutkan agar setiap
pelaku usaha perkebunan yang memiliki atau menguasai tanaman perkebunan
harus melaporkan adanya serangan organisme pengganggu tumbuhan pada
tanamannya kepada pejabat yang berwenang dan yang bersangkutan harus
mengendalikannya. Jika diperlukan pemerintah pusat atau daerah dapat
Page 29
20
melakukan atau memerintahkan dilakukannya eradikasi terhadap tanaman
yang menyebabkan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan.
5. Pengembangan cadangan pangan nasional dianjurkan melakukan kemitraan
antar pelaku usaha pangan, perguruan tinggi, maupun masyarakat. Amanat
UU No. 18/2012 Pasal 26 ini sinkron dengan UU No. 39/2014 yang
mengamanatkan pemberdayaan usaha perkebunan dilakukan melalui
kemitraan usaha perkebunan yang saling menguntungkan, saling menghargai,
saling bertanggung jawab, serta saling memperkuat dan saling
ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar
perkebunan.
6. Arahan UU No. 18/2012 Pasal 34 bahwa ekspor pangan pokok hanya dapat
dilakukan setelah terpenuhinya kebutuhan konsumsi pangan pokok dan
cadangan pangan nasional terkait erat dengan Pasal 51 UU No. 39/2014 yang
menekankan pemberdayaan usaha perkebunan diantaranya memfasilitasi
pelaksanaan ekspor hasil perkebunan dengan mengutamakan kebutuhan
konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri.
7. UU No. 18/2012 Pasal 51 mewajibkan pemerintah untuk mengatur
perdagangan pangan, dengan tujuan stabilisasi pasokan dan harga pangan,
manajemen cadangan pangan, dan penciptaan iklim usaha pangan yang sehat.
Kewajiban ini sejalan dengan Pasal 71 UU No. 39/2014 yang menyebutkan
bahwa pemerintah pusat berkewajiban menciptakan kondisi yang
menghasilkan harga komoditas menguntungkan dengan penetapan harga,
penetapan kebijakan pajak dan/atau tarif,pengaturan kelancaran distribusi dan
penyebarluasan informasi perkembangan harga.
Keterkaitan UU No 18 tahun 2012 tentang pangan dengan UU No 11 tahun 1974 tentang Pengairan
1. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan, Pasal 18 UU No. 18/2012
mewajibkan pemerintah : (i) mengatur, mengembangkan dan mengalokasikan
lahan pertanian dan sumber daya air, (ii) memberikan penyuluhan dan
pendampingan, (iii) menghilangkan berbagai kebijakan yang berdampak pada
penurunan daya saing, dan (iv) melakukan pengalokasian anggaran.
Page 30
21
2. Amanat ini sejalan dengan UU No. 11/1974 Pasal 10 tentang pengairan yang
memberi wewenang kepada pemerintah untuk menetapkan tata cara
pembinaan dalam rangka kegiatan pengairan menurut bidangnya masing-
masing sesuai dengan fungsi-fungsi dan peranannya.
3. Wewenang tersebut meliputi:
a. Menetapkan syarat-syarat dan mengatur perencanaan, perencanaan teknis,
penggunaan, pengusahaan, pengawasan dan perizinan pemanfaatan air
dan atau sumber-sumber air;
b. Mengatur dan melaksanakan pengelolaan serta pengembangan sumber-
sumber air dan jaringan-jaringan pengairan (saluran-saluran beserta
bangunan-bangunannya) secara lestari untuk mencapai daya guna
sebesar-besarnya;
c. Melakukan pencegahan terhadap terjadinya pengotoran air yang dapat
merugikan penggunaannya serta lingkungannya;
d. Melakukan pengamanan dan atau pengendalian daya rusak air terhadap
daerah-daerah sekitarnya;
e. Menyelenggarakan penelitian dan penyelidikan sumber-sumber air;
f. Mengatur serta menyelenggarakan penyuluhan dan pendidikan khusus
dalam bidang pengairan.
3.1.3. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan
Keterkaitan UU No. 18/2012 Tentang Pangan dengan Renstra Kementan dan Program Eselon I Kementan
A. Keterkaitan UU Pangan dengan Renstra Kementan
1. Aspek ketersediaan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 4 dimensi
utama (produksi dalam negeri, cadangan pangan, ekspor dan impor
pangan, dan penganekaragaman pangan), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan (langsung dan/atau tidak langsung) dalam mendukung
tujuan renstra kementan, tujuan (a) - (d), kecuali tujuan (e) terkait
dengan meningkatkan kualitas kinerja aparatur pemerintah yang
amanah dan profesional (tidak diatur);
Page 31
22
b. Keterkaitan (langsung dan/atau tidak langsung) dalam mendukung
sasaran startegis renstra kementan, sasaran strategis (a) – (e), kecuali
sasaran strategis (g) terkait akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah
yang baik;
c. Keterkaitan tidak langsung dalam mendukung strategi utama renstra
kementan, startegi utama (a) - (g), khususnya melalui penciptaan dan
pengembangan teknologi, optimalisasi pemanfaatan lahan,
pengembangan industri pangan, sistem insentif, dan regulasi dalam
memantapkan pencapaian ketersediaan pangan;
d. Keterkaitan tidak langsung dalam mendukung strategi penunjang
renstra kementan (kecuali terkait dengan perkarantinaan, perencanaan,
penataan dan penguatan organisasi, dan pengelolaan sistem
pengawasan), khususnya melalui penciptaan dan pengembangan
informasi dan teknologi, serta dukungan sistem insentif dan regulasi
dalam pencapaian ketersediaan pangan.
2. Aspek keterjangkauan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 5 dimensi
utama (distribusi pangan, pemasaran pangan, stabilitas pasokan dan harga
pangan pokok, dan bantuan pangan), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan (langsung dan/atau tidak langsung) dalam mendukung
tujuan renstra kementan, tujuan (a) - (d), kecuali tujuan (e) terkait
dengan meningkatkan kualitas kinerja aparatur pemerintah yang
amanah dan profesional (tidak diatur);
b. Keterkaitan (langsung dan/atau tidak langsung) dalam mendukung
sasaran startegis renstra kementan, sasaran strategis (a) – (e), kecuali
sasaran strategis (f) terkait akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah
yang baik;
c. Keterkaitan tidak langsung dalam mendukung strategi utama renstra
kementan, khususnya terkait dengan strategi utama item (b)
peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian, (d) penguatan
kelembagaan petani, (e) pengembangan dan penguatan pembiayaan
pertanian, dan (g) penguatan jaringan pasar produk pertanian, dalam
Page 32
23
rangka pemantapan pencapaian keterjangkauan pangan di tingkat
nasional, wilayah, da rumahtangga;
d. Keterkaitan tidak langsung dalam mendukung strategi penunjang
renstra kementan (kecuali terkait dengan perkarantinaan, perencanaan,
penataan dan penguatan organisasi, dan pengelolaan sistem
pengawasan), khususnya melalui penciptaan dan pengembangan
informasi dan teknologi, pengembangan kelembagaan, serta dukungan
promosi pemasaran, pengelolaan cadangan pangan, sistem insentif dan
regulasi dalam memantapkan pencapaian keterjangkauan pangan.
3. Aspek konsumsi pangan dan gizi dalam UU Pangan yang mencakup 3
dimensi utama (konsumsi pangan, penganekaragaman pangan dan gizi,
dan perbaikan gizi), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan (langsung dan/atau tidak langsung) dalam mendukung
tujuan renstra kementan, tujuan (a) – (d), kecuali tujuan (e) terkait
dengan meningkatkan kualitas kinerja aparatur pemerintah yang
amanah dan profesional (tidak diatur);
b. Keterkaitan (langsung dan/atau tidak langsung) dalam mendukung
sasaran strategis renstra kementan, sasaran strategis (a) – (e), kecuali
sasaran strategis (f) terkait akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah
yang baik;
c. Keterkaitan (langsung dan/atau tidak langsung) dalam mendukung
strategi utama renstra kementan, khususnya terkait dengan strategi
utama item (a) peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan lahan untuk
komoditas bernilai ekonomi dan gizi tinggi, dan (f) pengembangan dan
penguatan industri pengolahan pangan lokal dalam rangka pemantapan
pencapaian konsumsi pangan dan gizi;
d. Keterkaitan tidak langsung dalam mendukung strategi penunjang
renstra kementan (kecuali terkait dengan perkarantinaan, perencanaan,
penataan dan penguatan organisasi, dan pengelolaan sistem
pengawasan), khususnya melalui penciptaan dan pengembangan
teknologi, kegiatan promosi, edukasi, dan pengembangan industri
pengolahan pangan, pengembangan diversifikasi konsumsi, serta
Page 33
24
regulasi regulasi dalam memantapkan pencapaian konsumsi pangan dan
gizi.
4. Aspek keamanan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 6 dimensi
utama (sanitasi pangan, pengaturan bahan tambahan pangan, produk
rekayasa genetik, iradiasi pangan, standar kemasan pangan, dan jaminan
keamanan pangan dan mutu pangan), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan tidak langsung dalam mendukung tujuan renstra pertanian,
khususnya terkait dengan tujuan (b) meningkatkan nilai tambah dan
daya saing produk pangan dan pertanian, dan (d) meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan petani dan/atau pelaku usaha pangan,
sementara itu terkait dengan tujuan lainnya tidak diatur secara eksplisit;
b. Keterkaitan tidak langsung dalam mendukung sasaran strategis renstra
kementan, khususnya terkait dengan item (b) peningkatan diversifikasi
pangan olahan, (c) nilai tambah dan daya saing, dan (e) peningkatan
pendapatan petani dan/atau pelaku usaha pangan, sementara sasaran
strategis lainnya tidak diatur secara eksplisit;
c. Keterkaitan tidak langsung dengan sebagian besar strategi utama
renstra kementan, kecuali dengan item (a) peningkatan ketersediaan
dan pemanfaatan lahan, dan (c) pengembangan dan perluasan logistik
benih/bibit, dalam rangka pemantpan pencapaian keamanan pangan;
d. Keterkaitan tidak langsung dalam mendukung strategi penunjang
renstra kementan (kecuali terkait dengan perkarantinaan, perencanaan,
penataan dan penguatan organisasi, dan pengelolaan sistem
pengawasan), khususnya melalui penciptaan dan pengembangan
teknologi, sosialisasi dan advokasi, pengembangan industri pengolahan
pangan, serta regulasi dalam memantapkan pencapaian aspek
keamanan pangan.
Page 34
25
B. Keterkaitan UU Pangan dengan Program/Sasaran Kegiatan Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Hasil Tanaman
Pangan
1. Aspek ketersediaan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 4 dimensi
utama (produksi dalam negeri, cadangan pangan, ekspor dan impor
pangan, dan penganekaragaman pangan), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan dengan program (a) dan (b) khususnya dalam pemantapan
produksi pangan dalam negeri dan penganekaragaman panganmelalui
pemanfaatan sumber daya pertanian domestik, serta perlindungan dan
pemberdayaan petani ;
b. Keterkaitan dengan program (d), melalui penanggulangan ancaman
produksi pangan melalui bantuan teknologi dan regulasi.
2. Aspek keterjangkauan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 5 dimensi
utama (distribusi pangan, pemasaran pangan, stabilitas pasokan dan harga
pangan pokok, dan bantuan pangan), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan dengan program (h), khususnya dalam pemantapan aspek
distribusi pangan dan pemasaran pangan melalui penyediaan sarana
dan prasarana, serta pembinaan pemasaran pangan;
3. Aspek konsumsi pangan dan gizi dalam UU Pangan yang mencakup 3
dimensi utama (konsumsi pangan, penganekaragaman pangan dan gizi,
dan perbaikan gizi), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan dengan program (a) dan (b) khususnya dalam pemantapan
aspek konsumsi pangan dan perbaikan gizi, melalui penyediaan pangan
yang beragam dan peningkatan penyediaan/konsumsi umbi-umbian
lokal;
b. Keterkaitan dengan program (h), khususnya dalam pemantapan aspek
penganekaragaman pangan dan gizi melalui pengembangan industri
dan teknologi tepat guna pengolahan pangan lokal.
4. Aspek keamanan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 6 dimensi
utama (sanitasi pangan, pengaturan bahan tambahan pangan, produk
rekayasa genetik, iradiasi pangan, standar kemasan pangan, dan jaminan
keamanan pangan dan mutu pangan), memiliki/bersifat:
Page 35
26
a. Keterkaitan tidak langsung dengan program (c), khususnya terkait
dengan pelarangan proses produksi yang menggunakan bahan rekayasa
genetik, melalui pengawasan sertifikasi benih dan ketersediaan benih
bersertifikat;
b. Keterkaitan dengan program (h), khususnya terkait dengan sanitasi
pangan serta jaminan keamanan dan mutu pangan dalam proses
pengolahan pangan dan peredarannya.
C. Keterkaitan UU Pangan dengan Program/Sasaran Kegiatan Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Hortikultura
1. Aspek ketersediaan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 4 dimensi
utama (produksi dalam negeri, cadangan pangan, ekspor dan impor
pangan, dan penganekaragaman pangan), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan dengan program (a), (e), (g) khususnya dalam pemantapan
produksi pangan dalam negeri dan penganekaragaman pangan melalui
pemanfaatan sumber daya pertanian domestik, serta perlindungan dan
pemberdayaan petani;
b. Keterkaitan dengan program (c), melalui penanggulangan ancaman
produksi pangan melalui bantuan teknologi dan regulasi dengan sasaran
keamanan pangan untuk konsumsi domestik dan ekspor;
2. Aspek keterjangkauan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 5 dimensi
utama (distribusi pangan, pemasaran pangan, stabilitas pasokan dan harga
pangan pokok, dan bantuan pangan), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan dengan program (f), khususnya dalam pemantapan aspek
distribusi pangan dan pemasaran pangan dengan sasaran terpenuhinya
standar mutu, peningkatan nilai tambah, dan daya saing hortikultura;
3. Aspek konsumsi pangan dan gizi dalam UU Pangan yang mencakup 3
dimensi utama (konsumsi pangan, penganekaragaman pangan dan gizi,
dan perbaikan gizi), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan dengan program (a), (e), dan (g) khususnya dalam
pemantapan aspek konsumsi pangan dan perbaikan gizi, melalui
Page 36
27
penyediaan pangan yang beragam dan peningkatan penyediaan/
konsumsi sayuran dan buah;
b. Keterkaitan dengan program (f), khususnya dalam pemantapan aspek
penganekaragaman pangan dan gizi melalui pengembangan industri
dan teknologi tepat guna pengolahan hortikultura lokal.
4. Aspek keamanan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 6 dimensi
utama (sanitasi pangan, pengaturan bahan tambahan pangan, produk
rekayasa genetik, iradiasi pangan, standar kemasan pangan, dan jaminan
keamanan pangan dan mutu pangan), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan tidak langsung dengan program (b), khususnya terkait
dengan pelarangan proses produksi yang menggunakan bahan rekayasa
genetik, melalui pengawasan sertifikasi benih dan ketersediaan benih
hortikultura bersertifikat;
b. Keterkaitan dengan program (f), khususnya terkait dengan sanitasi
pangan serta jaminan keamanan dan mutu pangan dalam proses
pengolahan hortikultura dan peredarannya.
D. Keterkaitan UU Pangan dengan Program/Sasaran Kegiatan Peningkatan Produksi Komoditas Perkebunan
1. Aspek ketersediaan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 4 dimensi
utama (produksi dalam negeri, cadangan pangan, ekspor dan impor
pangan, dan penganekaragaman pangan), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan dengan program (a) dan (e) khususnya dalam pemantapan
produksi pangan dalam negeri dan penganekaragaman pangan melalui
pemanfaatan sumber daya pertanian domestik, serta perlindungan dan
pemberdayaan petani;
b. Keterkaitan dengan program (b), melalui penanggulangan ancaman
produksi pangan melalui bantuan teknologi dan regulasi dengan sasaran
mencegah penurunan luas areal perkebunan yang terserang organisme
pengganggu tanaman (OPT);
Page 37
28
2. Aspek keterjangkauan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 5 dimensi
utama (distribusi pangan, pemasaran pangan, stabilitas pasokan dan harga
pangan pokok, dan bantuan pangan), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan dengan program (f), khususnya dalam pemantapan aspek
distribusi pangan dan pemasaran pangan dengan sasaran terpenuhinya
standar mutu, peningkatan nilai tambah, dan daya saing komoditas dan
produk perkebunan;
3. Aspek konsumsi pangan dan gizi dalam UU Pangan yang mencakup 3
dimensi utama (konsumsi pangan, penganekaragaman pangan dan gizi,
dan perbaikan gizi), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan dengan program (a) dan (e)khususnya dalam pemantapan
aspek konsumsi pangan dan perbaikan gizi, melalui penyediaan/akses
pangan yang beragam dan peningkatan penyediaan/ akses konsumsi
pangan, dengan keberhasilan pengembangan komoditas perkebunan
berkelanjutan;
b. Keterkaitan dengan program (f), khususnya dalam pemantapan aspek
penganekaragaman pangan dan gizi melalui pengembangan industri
dan teknologi tepat guna pengolahan komoditas perkebunan.
4. Aspek keamanan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 6 dimensi
utama (sanitasi pangan, pengaturan bahan tambahan pangan, produk
rekayasa genetik, iradiasi pangan, standar kemasan pangan, dan jaminan
keamanan pangan dan mutu pangan), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan tidak langsung dengan program (d) dan (g), khususnya
terkait dengan pelarangan proses produksi yang menggunakan bahan
rekayasa genetik, melalui pengawasan dan pengujian benih dan
teknologi perkebunan, serta ketersediaan benih unggul tanaman
perkebunan;
b. Keterkaitan dengan program (f), khususnya terkait dengan sanitasi
pangan serta jaminan keamanan dan mutu pangan dalam proses
pengolahan komoditas perkebunan dan peredarannya.
Page 38
29
E. Keterkaitan UU Pangan dengan Program/Sasaran Kegiatan Pemenuhan Pangan Asal Ternak dan Agribisnis Peternakan Rakyat
1. Aspek ketersediaan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 4 dimensi
utama (produksi dalam negeri, cadangan pangan, ekspor dan impor
pangan, dan penganekaragaman pangan), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan dengan program (a) dan (c) khususnya dalam pemantapan
produksi pangan dalam negeri dan penganekaragaman pangan melalui
pemanfaatan sumber daya pertanian domestik, serta perlindungan dan
pemberdayaan petani;
b. Keterkaitan dengan program (b), melalui penanggulangan ancaman
produksi pangan melalui bantuan teknologi dan regulasi dengan sasaran
meningkatkan status kesehatan hewan;
2. Aspek keterjangkauan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 5 dimensi
utama (distribusi pangan, pemasaran pangan, stabilitas pasokan dan harga
pangan pokok, dan bantuan pangan), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan dengan program (f), khususnya dalam pemantapan aspek
distribusi pangan dan pemasaran pangan dengan sasaran terpenuhinya
standar mutu, peningkatan nilai tambah, dan daya saing komoditas dan
agribisnis peternakan;
3. Aspek konsumsi pangan dan gizi dalam UU Pangan yang mencakup 3
dimensi utama (konsumsi pangan, penganekaragaman pangan dan gizi,
dan perbaikan gizi), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan dengan program (a), (b), dan (c)khususnya dalam
pemantapan aspek konsumsi pangan dan perbaikan gizi, melalui
penyediaan pangan yang beragam dan peningkatan penyediaan/
konsumsi komoditas dan produk pangan ternak;
b. Keterkaitan dengan program (f), khususnya dalam pemantapan aspek
penganekaragaman pangan dan gizi melalui pengembangan industri
dan teknologi tepat guna pengolahan komoditas peternakan.
4. Aspek keamanan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 6 dimensi
utama (sanitasi pangan, pengaturan bahan tambahan pangan, produk
Page 39
30
rekayasa genetik, iradiasi pangan, standar kemasan pangan, dan jaminan
keamanan pangan dan mutu pangan), memiliki/bersifat:
a. Keterkaitan dengan program (a), (b), dan (c) khususnya terkait dengan
pelarangan proses produksi yang menggunakan bahan rekayasa
genetik, melalui pengawasan dan pengujian benih/bibit, pakan, dan
teknik pengendalian serta penggulangan penyakit hewan;
b. Keterkaitan dengan program (f), khususnya terkait dengan sanitasi
pangan serta jaminan keamanan dan mutu pangan dalam proses
pengolahan komoditas peternakan dan peredarannya.
3.2. Undang-Undang No. 12/1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman
3.2.1. Pokok-pokok amanat undang-undang
Struktur dan Materi UU
Tujuan utama UU No. 12/1992 tentang Sistem Budi daya Tanaman adalah
untuk meningkatkan hasil dan mutu produksi, meningkatkan pendapatan dan
taraf hidup petani, peternak, dan pembangunan industri serta meningkatkan
ekspor, mendukung pembangunan daerah, dan mengintensifkan kegiatan
transmigrasi. Sementara sasaran yang ingin diwujudkan adalah sistem pertanian
yang maju, efisien, dan tangguh, menghadapi liberalisasi dan globalisasi di bidang
pertanian, serta untuk melindungi tanaman dari segala upaya yang menyebabkan
kerugian pada budi daya tanaman, sehingga kebutuhan perbenihan dalam negeri
dan ekspor pertanian dapat ditingkatkan.
Jangkauan pengaturan UU No. 12/1992 ini selain memberikan batasan dan
penjelasan tentang budi daya tanaman adalah mengatur mengenai koordinasi
antara instansi yang terkait sistem budi daya tanaman, memberikan pengaturan
mengenai pengembangan benih, dan sinkronisasi dengan peraturan perundang-
undang lain yang terkait sistem budi daya tanaman. Ruang lingkup sistem budi
daya tanaman meliputi proses kegiatan produksi sampai dengan pascapanen.
Dasar pembentukannya adalah Pasal 28 H ayat (1) mengenai setiap orang berhak
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat dan Pasal 33 UUD NRI Tahun
1945 mengenai cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
Page 40
31
UU No. 12/1992 ini memuat tentang segala sesuatu hal yang berkaitan
dengan budi daya tanaman yang mencakup cara-cara pertanian yang sesuai
dengan sistem budi daya tanaman yang berkelanjutan, bahwa pertanian yang
berkelanjutan mempunyai peranan yang penting dalam pencapaian tujuan
pembangunan nasional. Oleh karena itu, diperlukan sumber daya manusia yang
berkualitas dan bermanfaat, untuk terlaksananya pertanian yang berkelanjutan.
UU No. 12 tahun 1992 ini terdiri atas 12 Bab dan 66 Pasal. Bab I memuat tentang
ketentuan umum dan penggunaan istilah, Bab II tentang Perencanaan Budi daya
Tanaman, Bab III tentang Penyelenggaraan Budi daya Tanaman, Bab IV sarana
produksi, Bab V Tata Ruang dan Tata Guna Tanah, Bab VI Pengusahaan, dan Bab
VII tentang Pembinaan dan Peran Serta Masyarakat. Selanjutnya pada Bab VIII
disampaikan Penyerahan dan Tugas Pembantuan, sedangkan Bab IX memuat
tentang Penyidikan. Lalu pada bagian akhir (bab X, XI, dan XII) dijelaskan tentang
berbagai ketentuan mencakup aspek pidana dan sanksi-sanksi. Bab III merupakan
bagian yang cukup penting, dimana di sini menjelaskan tentang teknis budi daya
itu sendiri, mencakup pembukaan dan pengolahan lahan, pengggunaan media
tumbuh, pembenihan, pengeluaran dan pemasukan tumbuhan dan benih
tanaman, penanaman, pemanfaatan air, perlindungan tanaman, pengendalian
organisme penggagu tumbuhan, eradikasi organisme pengganggu tumbuhan, lalu
pemeliharaan, dan diakhir kegiatan pemanenan hingga pasca panen.
Perbenihan
Satu isu penting dalam UU No. 12/1992 berkenaan dengan perbenihan.
Disebutkan bahwa untuk pengembangan budi daya tanaman, perolehan benih
dapat dilakukan dengan kegiatan penemuan varietas unggul, atau benih yang
berasal dari luar negeri. UU No. 12/1992 juga mengatur bahwa benih yang akan
diedarkan harus melalui sertifikasi dan memenuhi standar mutu yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Benih yang telah lulus sertifikasi juga harus diberi
label. Ketentuan-ketentuan mengenai benih diatas bertujuan untuk
mengembangkan sektor pertanian yang tangguh dan juga untuk mengembangkan
industri perbenihan.
Page 41
32
UU No. 12/1992 juga menegaskan bahwa Pemerintah berhak menetapkan
jenis tumbuhan yang dibawa masuk dan keluar dari wilayah Indonesia
serta dapat melarang pengadaan, peredaran, dan penanaman benih tanaman
tertentu yang merugikan masyarakat, budi daya tanaman, sumber daya alam
lainnya, dan/atau lingkungan hidup. Setiap orang atau badan usaha yang berniat
mengimpor atau mengekspor benih harus mendapat izinPemerintah. Ketentuan
perbenihan diatur dalam beberapa pasal, dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 41
tahun 1995 mengenai Perbenihan Tanaman, dan juga dengan Permentan No. 37
tahun 2006 mengenai Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varietas.
Perolehan benih bermutu untuk pengembangan budi daya tanaman
dilakukan melalui kegiatan penemuan varietas unggul dan/atau introduksi dari
luar negeri (Pasal 8). Penemuan varietas unggul dilakukan melalui kegiatan
pemuliaan tanaman. Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri
sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah dalam hal ini
pelepasan varietas baru dilakukan melalui keputusan menteri pertanian. Varietas
yang dilepas, dan diedarkan merupakan benih unggul, yang telah melewati uji
sertifikasi dan memenuhi standar mutu oleh pemerintah. Benih yang telah lulus
sertifikasi juga harus dilabel. Namun, UU No. 12/1992 dinilai kurang
mempertimbangkan atau menegasikan adanya benih yang dikembangkan secara
konvensional oleh petani. Aturan ini menutup kemungkinan bagi petani untuk bisa
menggunakan benih yang dikembangkan sendiri. Selanjutnya, sistem ini juga
menutup kemungkinan bagi petani yang biasanya menjual, mengedarkan, atau
membagi benihnya kepada teman sesama petani, karena harus memenuhi
persyaratan yang sangat susah dipenuhi oleh petani.
Pertanian Keberlanjutan
UU No. 12/1992 Pasal 2menyebutkan “berkelanjutan” sebagai salah satu
asas pertanian. Asas yang lain ialah “manfaat” dan “lestari”. Hal ini berarti bahwa
“berkelanjutan” juga menjadi asas sistem budi daya tanaman. Akan tetapi asas
ini, juga kedua asas yang lain, tidak dikonsepsikan dalam UU No. 12/1992,
padahal asas adalah landasan pokok yang memandu pernyataan-pernyataan
dalam semua pasal. Ketiadaan konsep menyebabkan seluruh UU No. 12/1992
Page 42
33
tidak dapat diuji seberapa kuat itikadnya menganut asas-asas itu. Kemudian tidak
ada satu pasal pun yang menegaskan asas keberlanjutan. Ada beberapa pasal
yang tersirat mengajukan gagasan tentang keterlanjutan. Dengan ungkapan
semacam itu pasal-pasal tadi tidak mungkin dijadikan rujukan tegas untuk
memberikan kepada UU No. 12/1992 ini kekuatan hukum nyata berkenaan
dengan asas keterlanjutan. Bahkan kesamaran ungkapan justru dapat menjadi
sumber kerancuan dan kontroversi berkepanjangan.
Pasal-pasal yang dinilai juga lemah dalam hal pengajuannya yang tidak
mengarah ke pewujudan sistem budi daya tanaman yang berasas keberlanjutan.
Dengan kata lain, pasal-pasal tersebut tidak berada dalam bingkai konsep
keberlanjutan. Malah ada beberapa pasal yang dapat mendorong orang berbuat
menjauhi hakekat keberlanjutan.
Perkembangan budi daya tanaman diarahkan secara bijaksana, dengan
memperhatikan kemampun dan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan
hidup serta menggunakan teknologi tepat dengan tujuan untuk meningkatkan dan
memperluas penganekaragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan
pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negri, dan memperbesar
ekspor. Untuk mencapai tujuan tersebut Pemerintah menyusun rencana
pengembangan budi daya tanaman yang disesuaikan dengan tahapan rencana
pembangunan nasional, menetapkan wilayah pengembangan budi daya tanaman,
mengatur produksi budi daya tanaman tertentu berdasarkan kepentingan
nasional, dan menciptakan kondisi yang menunjang peranserta masyarakat,
dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat.
UU No. 12/1992 ini tidak mengatur sistem budi daya tanaman semacam
apa yang hendak dikembangkan sehubungan dengan asas keberlanjutan. Pasal 1
ayat 1 menyatakan bahwa Sistem budi daya tanaman adalah sistem
pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alam nabati melalui upaya
manusia yang dengan modal, teknologi, dan sumber daya. Pernyataan tersebut
dapat berimplikasi bahwa hanya ada satu ragam sistem budi daya tanaman yang
dapat ditafsirkan tuntas dengan pernyataan semacam itu, dan sistem budi daya
tanaman adalah sistem mekanistik yang tidak bersangkut paut dengan budi daya
dan gaya hidup (pertanian rakyat) atau dengan pencarian nafkah bagi pekerjanya
Page 43
34
dan aspirasi ekonomi bagi pengusahanya (pertanian perusahaan). Dengan kata
lain, UU No. 12/1992 ini tidak memberikan arahan hukum yang tegas mengenai
“keberlanjutan” dan “sistem budi daya tanaman”, padahal kedua perkara tersebut
menjadi inti undang-undang bersangkutan. Keberlanjutan merupakan watak dan
perilaku sistem. Budi daya tanaman merupakan satu sistem. Pasal-pasal
dirumuskan untuk mengatur komponen sistem, yang seharusnya dirumuskan
untuk mengatur sistem. Oleh karena budi daya tanaman tidak diatur sebagai
sistem, akan tetapi diatur sebagai sekedar kumpulan komponen, maka asas
keberlanjutan ini terunut sepanjang batang tubuhnya.
Mukadimah UU No. 12/1992 yang seharusnya menjadi sumber asumsi bagi
semua pasal menjadi tidak berfungsi karena tidak terimplikasikan oleh rumusan
pasal. Pasal 2 berdiri terpencil, yang seharusnya berfungsi sebagai penggandeng
mukadimah dengan batang tubuh undang-undang. Disamping itu terlalu banyak
pengaturan yang dilimpahkan ke produk hukum yang berkedudukan lebih rendah
daripada undang-undang, keputusan menteri (Kepmen), atau peraturan menteri
(Permen). Ada 23 buah pasal atau ayatnya yang berbunyi “diatur lebih lanjut”.
Timbul persoalan kapan dan bagaimana mengaturnya. Dengan demikian UU No.
12/1992 ini sebagaimana keadaanya sekarang tanpa dilengkapi dengan peraturan
perundangan penjabarannya, belum dapat mengatur dan mengendalikan sistem
budi daya tanaman menuju ke pematuhan asas lestari dan berkelanjutan.
Peranserta Masyarakat dan Otonomi Daerah
Jika dicermati lebih dalam, terdapat sedikit kontradiksi antara dengan Pasal
5 huruf d dengan Pasal 12, 13, 14, dan 61 yang mengatur bahwa sebelum
diedarkan varietas baru hasil pemulihan tanaman maupun introduksi dari luar
negeri perlu dilakukan pengujian dan kemudian dilepas oleh Pemerintah. Hal ini
kontradiksi dengan ketentuan Pasal 5 huruf d yang menyatakan bahwa
pemerintah perlu memberikan peluang dan kemudahan tertentu yang dapat
mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam pengembangan budi daya
tanaman. Dengan lahirnya beberapa undang-undang yang mengharuskan
dibentuknya otonomi daerah, secara fundamental perlu disusun ulang bentuk
hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, misalnya Balai
Page 44
35
Pengawasan dan Sertifikasi Perbenihan (BPSB), dan otoritas lokal dalam semua
sektor, termasuk sektor budi daya tanaman.
UU Budi daya Tanaman disahkan tahun 1992, dua tahun sebelum
dibentuknya organisasi perdagangan dunia. UU No. 12/1992 ini dibuat tidak dalam
kerangka melindungi hak mereka yang melakukan budi daya tanaman
sebagaimana UU PVT dan Paten, tetapi dibuat dengan semangat untuk
mengembangkan sistem pertanian yang maju, efisien dan tangguh, dan untuk
melindungi tanaman dari segala upaya yang menyebabkan kerugian pada budi
daya tanaman. Dengan demikian, maka kebutuhan pangan, sandang, papan,
kesehatan, industri dalam negeri dan eksport pertanian dapat ditingkatkan.
Namun kelihatannya, UU No. 12/1992 ini juga dipersiapkan untuk menghadapi
liberalisasi dan globalisasi di bidang pertanian.
Peran pemerintah besar dalam UU No. 12/1992 ini. Sektor pertanian
dibebani kepentingan nasional yang berat, sehingga perencanaan budi daya
tanaman ditentukan oleh pemerintah, termasuk penetapan wilayah
pengembangan, pengaturan produksi berdasarkan kepentingan nasional, dan lain-
lain. Peran serta atau kontrol pemerintah yang cukup besar termasuk
pengontrolan pada cara dan pola tanam mengakibatkan hak-hak yang dimiliki oleh
pemangku kepentingan atas tanahnya, seperti petani, menjadi terpinggirkan.
Satu hal penting dalam UU No. 12/1992 ini adalah bahwa petani memiliki
kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi dayaannya.
Namun, kekebasan ini memiliki syarat, yakni harus diikuti dengan kewajiban
petani untuk berperan serta dalam mendukung pelaksanaan program pemerintah.
Sebagai penyeimbangnya, kewajiban untuk petani tersebut diimbangi dengan
kewajiban pemerintah agar petani tersebut mendapatkan jaminan penghasilan
tertentu. Hal ini ada yang mengartikan bahwa pada hakekatnya, hak-hak petani
untuk menentukan jenis tanaman yang akan ditaman di tanahnya sendiri
sesungguhnya tetap dibatasi.
Page 45
36
3.2.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain
Keterkaitan UU Budi Daya dengan UU Pangan
Kedua UU ini mengatur hal yang berbeda. Dapat dimaknai, kedua UU
berurutan dalam alur proses agribisnis, dimana UU budi daya mengatur pada
subsektor hulu, lalu dilanjutkan UU Pangan pada bagian hilirnya. Dengan kata
lain, kedua UU ini saling melengkapi satu sama lain, sehingga menjadi utuh untuk
satu sistem agribisnis. Kebersinggungan antara kedua UU ini relatif lemah. Kata
“pangan” hanya muncul satu kali dalam UU Budi daya, yakni di Pasal 3: Sistem
budi daya tanaman bertujuan: (a) meningkatkan dan memperluas
penganekaragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang,
papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor;
(b)meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani; (c) mendorong perluasan
dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Pada bagian
Penjelasan Pasal 3 Huruf a: Dalam pengertian pangan termasuk bahan makanan
ternak dan ikan, sedangkan dalam pengertian kesehatan termasuk gizi.
Sebaliknya kata “budi daya” tidak muncul sama sekali dalam UU Pangan, kecuali
untuk istilah “pembudi daya ikan” dan “pembudi daya pangan”, yang merujuk
kepada orang, bukan suatu aktivitas.
Keterkaitan di antara kedua UU ini karena mengatur hal yang sama dalam
hal prinsip, pedoman, pembatasan, dan lain-lain. Misalnya dalam hal Perencanaan
Pangan, pasal 7 UU Pangan menyebutkan bahwa perencanaan pangan harus
memperhatikan: (a) pertumbuhan dan sebaran penduduk, (b) kebutuhan
konsumsi pangan dan gizi, (c) daya dukung sumber daya alam, teknologi, dan
kelestarian lingkungan, (d) pengembangan sumber daya manusia, (e) kebutuhan
sarana dan prasarana, (f) potensi pangan dan budaya lokal, (g) rencana tata
ruang wilayah, dan (h) rencana pembangunan nasional dan daerah.Sementara
Pasal 5 UU Budi daya menyebutkan bahwa Pemerintah harus menyusun rencana
pengembangan budi daya tanaman sesuai dengan tahapan rencana
pembangunan nasional.
Dalam hal pewilayah pembangunan, Pasal 12 ayat 6 UU Pangan
menyatakan bahwa Pemerintah menetapkan sentra produksi pangan lokal sesuai
dengan usulan pemerintah daerah. Hal ini didukung oleh Pasal 5 ayat 1 butir b UU
Page 46
37
Budi daya dimana:Pemerintah menetapkan wilayah pengembangan budi daya
tanaman. Kedua UU ini sama-sama mengembangkan sumber daya manusia,
petani. Hal ini dinyatakan pada UU Pangan di Pasal 16, bahwa Pemerintah dan
masyarakat dalam pengembangan potensi produksi pangan dilakukan dengan
memanfaatkan sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber pendanaan,
ilmu pengetahuan dan teknologi, sarana dan prasarana pangan, dan kelembagaan
pangan, serta Pasal 17: Pemerintah berkewajiban melindungi dan
memberdayakan petani dan pelaku usaha pangan sebagai produsen pangan.
Sementara Pasal 56 UU Budi daya menyatakan: Pemerintah menyelenggarakan
pengembangan sumber daya manusia di bidang budi daya tanaman melalui
kegiatan pendidikan dan pelatihan serta mendorong dan membina
masyarakatuntuk melakukan kegiatan tersebut. Hal ini ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Kesejajaran lain ditemukan dalam konteks lingkungan, dimana Pasal 22 UU
Pangan menyatakan: Pemerintah berkewajiban mengantisipasi dan
menanggulangi ancaman produksi pangan (karena perubahan iklim, serangan
OPT, pencemaran lingkungan, degradasi dan alih fungsi lahan, disinsentif
ekonomi, dan lain-lain) melalui bantuan teknologi dan regulasi.Pasal 7 UU Budi
daya menyebutkan: Setiap orang atau badan hukum yang membuka dan
mengolah lahan dalam luasan tertentu untuk keperluan budi daya tanaman wajib
mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup.
Kedua UU juga sama-sama memperhatikan pengembangan pangan lokal. Pasal 42
UU Pangan menyebutkan bahwa penganekaragaman pangan dilakukan dengan
pengoptimalan pangan lokal. Hal ini didukung oleh UU Budi daya khususnya pada
bagian Penjelasan pasal 9 ayat 1: Seleksi adalah kegiatan pemilihan dari suatu
populasi jenis tanaman untuk mendapatkan varietas unggul. Seleksi dimulai dari
tahapan eksplorasi yang merupakan suatu kegiatan pencarian dan pendataan dari
populasi jenis tanaman lokal atau untuk mendapatkan varietas unggul lokal
dan/atau sebagai bahan baku persilangan.
Dalam hal Konsumsi Pangan dan Gizi, disebutkan bahwa terdiri atas tiga
dimensi utama yaitu: (i) Konsumsi pangan, (ii) Penganekaragaman pangan dan
gizi, dan (iii) Perbaikan gizi (Pasal 59). Sementara Pasal 3 UU Budi daya
Page 47
38
menyebutkan Sistem budi daya tanaman bertujuan: meningkatkan dan
memperluas penganekaragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan
pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar
ekspor. Hal ini dilengkapi pada bagian Penjelasan: Pengembangan budi daya
tanaman diarahkan secara bijaksana, denganmemperhatikan kemampuan dan
kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup serta menggunakan teknologi
tepat dengan tujuan untuk meningkatkan dan memperluas penganekaragaman
hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan,
industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor.
Keterkaitan UU Budi Daya dengan UUPerlindungan Varietas Tanaman
Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman (PVT) disusun sebagai upaya pemenuhan kewajiban internasional
Indonesia, dan bertujuan untuk menciptakan serta meningkatkan minat
perorangan maupun badan hukum untuk melakukan kegiatan pemuliaan tanaman
dalam rangka menghasilkan varietas unggul baru. Namun, hingga saat ini masih
terdapat beberapa ketentuan yang tidak diatur dalam Undang-Undang No. 29
Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Hal ini menciptakan peluang
terjadinya multitafsir dan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya.
Persoalan benih utamanya berkaitan dengan perihal paten. Sama halnya
dengan UU PVT, UU Paten di Indonesia juga dikembangkan dengan semangat
perjanjian TRIPs (Trade Related aspects of Intellectual Property Rights) untuk
memfasilitasi liberalisasi perdagangan dunia dan untuk melindungi pemegang hak
paten. Untuk kepentingan tersebut, Indonesia telah mengubah beberapa kali
undang-undang paten. Perubahan yang terakhir padatahun 2001, ketika muncul
masalah masalah yang berkaitan dengan sumber daya genetika dan pengetahuan
tradisional. Namun sayangnya, UU paten yang terakhir pun belum menjawab
permasalahan tersebut. Dikaitkan dengan PVT, memang paten, sebagaimana
dijelaskan diatas tidak memberikan perlindunganterhadap produk dalam hal ini
varietas yang berupa benih/bibit. Namun, paten memberikanperlindungan
terhadap proses untuk mengembangan varietas tersebut. Hal ini bertergantung
kepada klaimnya. Jika klaimnya, dalam artian yang ingin dilindungi adalah proses,
Page 48
39
maka bisa didaftarkan untukmendapatkan paten, tetapi jika yang ingin dilindungi
adalah hasil dari proses itu yang berupa varietas(benih) maka bisa didaftarkan
untuk mendapatkan PVT.
Subyek perlindungan paten di Indonesia adalah sama atau bahkan lebih
liberal jika di bandingkan dengan subyek perlindungan paten di negara-negara
maju, seperti Eropa. Meskipun makhluk hidup tidak dapat dipatenkan menurut UU
paten Indonesia, tetapi mikroorganismeatau jasad renik bisa dipatenkan. Paten
mikroorganismeini mengundang kontraversi karena proses memisahkan jasad
renik dari alam, atau proses mengisolasikannya bisa dianggap sebagai sesuatu
yang baru dan mengandung langkah inventif. Jika semua proses yang seperti itu
dilindungi dalam UU paten, maka itu berarti UU Paten telah menerapkan standart
patenyang sangat rendah, dimana perbedaan antara apa yang disebut dengan
discovery dengan apa yang dikenal dalam UU Paten sebagai suatu Invention
menjadi sangat kabur. Kekaburan seperti ini mempunyai potensi bahwa apa yang
sesungguhnya mesti berada dalam ranahpublik domain, menjadi bagian yang bisa
diprivatisasikan.
Mengenai kepentingan petani, berbeda dengan PVT yang masih
memberikan sedikit kesempatan bagi petani untuk menggunakan benih dari
varietas yang lindungi sepanjang tidak untukkomersial, UU Paten tidak
memberikan sedikitpun ruang bagi proses yang telah dikembangkan oleh petani
untuk dilindungi paten. UU ini pun tidak memberikan kesempatan kepada petani
untuk menggunakan proses yang sudah dipatenkan meskipun untuk kepentingan
yang tidak komersial. Dankarena proses biologi yang esensial dan konvensional
yang dilakukan dan dikembangkan oleh petani tidak dapat dilindungi oleh paten,
tidak hanya karena tidak memenuhi syarat-syarat patentabilitas seperti kebaruan,
dan mengandung langkah inventif, tetapi karena berdasarkan UU, proses tersebut
dikecualikan dari perlindungan paten. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya UU
Paten, sepertihalnya UU PVT tidak dibuat untuk mengakomodasi kepentingan
petani, tetapi kepentingan industri. Namun, ketentuan diatas tidak berarti bahwa
proses untuk pengembangan varietas secara konvensional yang dilakukan oleh
petani tidak bisa dikembangkan lagi. Petani masih punya hak, sebagaimana
sebelum adanya UU ini untuk menggunakan proses yang biasa digunakan untuk
Page 49
40
pengembangan varietas. Namun, petani tidak boleh melanggar hak paten atau
meniru proses pembuatan tanaman dan hewan yang dimiliki oleh industri
perbenihan yang telah mendapatkan hak paten atas proses tersebut.
Keterkaitan UU Budi Daya dengan UU Penyuluhan
Dalam hal perencanaan disebutkan prinsip partisipatif. Pasal 5 ayat (1) UU
No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi daya Tanaman ditegaskan bahwa untuk
meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman, guna
memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri,
dan memperbesar ekspor, Pemerintah antara lain menciptakan kondisi yang
menunjang peranserta masyarakat; ayat (2) Dalam melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah memperhatikan kepentingan
masyarakat. Hal ini terkait dengan UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan pada Pasal 26 ayat (3) bahwa penyuluhan
dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif melalui mekanisme kerja
dan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan
pelaku usaha. Selanjutnya bahwa materi penyuluhan dibuat berdasarkan
kebutuhan dan kepentingan pelaku utama dan pelaku usaha dengan
memperhatikan kemanfaatan dan kelestarian sumber daya pertanian, perikanan,
dan kehutanan (Pasal 27 ayat 1).
Keterkaitan UU Budi Daya dengan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
Kesejajaran materi dalam kedua UU ini tergolong rendah. Tujuan UU Budi
daya adalah untuk meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil
tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan. Sementara UU P3 bertujuan pada
Pemberdayaan Petani sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan Petani
untuk melaksanakan Usaha Tani yang lebih baik. Dengan kata lain, yang satu
membicarakan tanamannya dan satunya tentang orang atau petaninya. Namun
demikian, berikut adalah beberapa bagian yang memiliki kesejajaran.
UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi daya Tanaman Pasal 6 ayat (3)
Pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan
Page 50
41
memperoleh jaminan penghasilan tententu. Hal ini dipertegas UU No. 19 Tahun
2013 Pasal 7 ayat (2) bahwa Strategi Perlindungan Petani dilakukan antara lain
melalui: a. ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa; b. sistem peringatan
dini dan penanganan dampak perubahan iklim; dan c. Asuransi Pertanian. Pasal 8
UU No. 12 Tahun 1992 dinyatakan bahwa Perolehan benih bermutu untuk
pengembangan budi daya tanaman dilakukan melalui kegiatan penemuan varietas
unggul dan/atau introduksi dari luar negeri; terkait dengan Pasal 46 ayat (6) UU
No. 19 Tahun 2013 bahwa Penyuluhan dan pendampingan dilakukan antara lain
agar Petani dapat melakukan: a. tata cara budi daya, pascapanen, pengolahan,
dan pemasaran yang baik; b. analisis kelayakan usaha; dan c. kemitraan dengan
Pelaku Usaha. Tentang areal pewilayahan, disebutkan dalam UU No. 12 Tahun
1992 Pasal 45: Perubahan rencana tata ruang yang mengakibatkan perubahan
peruntukan budi daya tanaman guna keperluan lain dilakukan dengan
memperhatikan rencana produksi budi daya tanaman secara nasional. Pada UU
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, petani dilarang mengalihfungsikan lahan
pertanian yang diperoleh menjadi lahan nonpertanian (Pasal 63 ayat 1). Petani
dilarang mengalihkan lahan Pertanian kepada pihak lain secara keseluruhan atau
sebagian, kecuali mendapat izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah (Pasal
63 ayat 2).
Keterkaitan UU Budi Daya dengan UU Lahan Pangan Berkelanjutan
Dalam penerapannya, Undang-Undang tentang Sistem Budi daya Tanaman
banyak menimbulkan kendala, antara lain dalam Pasal 45 yang masih memberikan
peluang terjadinya perubahan peruntukkan atau konversi lahan budi daya
tanaman menjadi lahan untuk keperluan bukan budi daya tanaman. Dengan
adanya UU Lahan Pangan Berkelanjutan (LPB), maka kekurangan ini menjadi
tertutupi. Kesamaan obyek yang diatur antar kedua UU ini relatif sedikit. Satu
objek utama dalam UU Budi daya Tanaman yang menonjol adalah perihal
kebebasan petani dalam berusaha. Dalam Pasal 6 ayat 1 disebutkan: Petani
memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi
dayaannya.Pada UU Lahan Pangan Berkelanjutan, kebebasan ini dibatasi dengan
kewajiban. Pasal 34 ayat 1 menyebutkan: Setiap orang yang memiliki hak atas
Page 51
42
tanah yang ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
berkewajiban memanfaatkan tanah sesuai peruntukan dan mencegah kerusakan
lahan dan irigasi.
Selanjutnya berkenaan dengan tata ruang dan tata guna tanah, Pasal 44
menyebutkan bahwa pemanfaatan lahan disesuaikan dengan ketentuan tata
ruang dan tata guna tanah, dengan memperhatikan kesesuaian dan kemampuan
lahan maupun pelestarian lingkungan hidup khususnya konservasi tanah. Hal ini
difokuskan melalui UU Lahan Berkelanjutan Pasal 9 ayat (2) yakni tentang adanya
Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Lahan Pertanian Pangan dan Lahan
Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang berada di dalam atau di luar
kawasan pertanian pangan. Penetapan ini didasarkan atas kriteria kesesuaian
lahan, ketersediaan infrastruktur, penggunaan lahan, potensi teknis lahan,
dan/atau luasan kesatuan hamparan lahan.
Dalam hal pengusahaan, Pasal 47 UU Budi daya membatasi bahwa usaha
budi daya tanaman hanya dapat dilakukan oleh perorangan warga negara
Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum berupa Koperasi,
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan swasta. Pada Pasal 27
UU Lahan menegaskan bahwa pengembangan terhadap Kawasan Pertanian
Pangan Berkelanjutan dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan meliputi
intensifikasi dan ekstensifikasi lahan, dapat dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah dan korporasi yang berbentuk koperasi dan/atau perusahaan
inti plasma dengan mayoritas sahamnya dikuasai oleh warga negara Indonesia.
Keterkaitan UU Budi Daya dengan UU Pengairan
Keterkaitan antara kedua UU yang menyangkut pemanfaat air dan
peranserta masyarakat. Pada UU No. 12 Tahun 1992 pemanfaatan air tercantum
pada Pasal 19:
1. Pemerintah mengatur dan membina pemanfaatan air untuk budi daya
tanaman.
2. Pemanfaatan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Page 52
43
Hal tersebut sejalan dengan UU No. 11 Tahun 1974 Pasal 3: Hak menguasai
sumber daya air oleh negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk
mengelola serta mengembangkan kemanfaatan air dan atau sumber-sumber air
menyusun dan mengesahkan atau memberi izin peruntukan, penggunaan,
penyediaan, pengusahaan air, dan atau sumber-sumber air berdasarkan
perencanaan dan perencanaan teknis tata pengaturan air dan tata pengairan.
Pada kekuasaan itu lekat pula wewenang menentukan dan mengatur perbuatan-
perbuatan hukum dan hubungan-hubungan hukum antara orang dan atau badan
hukum dalam persoalan air dan atau sumber-sumber air. Sementara pada UU No.
12 Tahun 1992 yang terkait dengan peranserta masyarakat tertuang dalam Pasal
57, dinyatakan bahwa:
1. Pemerintah menyelenggarakan penyuluhan budi daya tanaman serta
endorong dan membina peranserta masyarakat untuk melakukan kegiatan
penyuluhan dimaksud.
2. Pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan informasi yang mendukung
pengembangan budi daya tanaman serta mendorong dan membina
peranserta masyarakat dalam pemberian pelayanan tersebut.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diatur lebih lanjut
oleh Pemerintah.
UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan pada Pasal 12 mengatur
partisipasi masyarakat dalam upaya menjaga kelestarian fungsi dari bangunan-
bangunan pengairan (irigasi) yang ada dengan melakukan kegiatan-kegiatan
eksploitasi dan pemeliharaan serta perbaikan-perbaikan bangunan- bangunan
pengairan supaya lestari. Pasal ini menyebutkan bahwa bangunan-bangunan
pengairan yang ditujukan untuk memberikan manfaat langsung kepada suatu
kelompok masyarakat dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat, baik yang
berbentuk Badan Hukum, Badan Sosial maupun perorangan yang memperoleh
manfaat langsung dari adanya bangunan-bangunan tersebut. Partisipasi dilakukan
dalam bentuk pengikutsertaan dalam menanggung pembiayaan dalam bentuk
iuran yang diberikan kepada pemerintah sebagai pengganti jasa pengelolaan
(Pasal 14).
Page 53
44
Keterkaitan UU Budi Daya dengan UU Karantina
Keterkaitan antara kedua UU ini hampir tidak ada secara langsung, kecuali
hanya untuk aspek Pengeluaran dan Pemasukan Tumbuhan dan Benih Tanaman
yakni di Pasal 17 UU Budi daya, yaitu: (1) Pemerintah menetapkan jenis
tumbuhan yang pengeluaran dari dan/atau pemasukannya ke dalam wilayah
Negara Republik Indonesia memerlukan izin, (2) Pengeluaran benih dari atau
pemasukannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib mendapatkan
izin, dan (3) Pemasukan benih dari luar negeri harus memenuhi standar mutu
benih bina. Pada Pasal 5 UU Karantina disebutkan bahwa setiap media pembawa
hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina yang dimasukkan ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia wajib: (a) dilengkapi sertifikat kesehatan dari negara
asal dan negara transit bagi hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan,
ikan, tumbuhan dan bagian-bagian tumbuhan, kecuali media pembawa yang
tergolong benda lain; (b) melalui tempat-tempat pemasukan yang telah
ditetapkan; dan (c) dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di
tempat-tempat pemasukan untuk keperluan tindakan karantina. Hal yang sama
berlaku juga untuk yang dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di dalam
wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 6). Demikian juga untuk yang akan
dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 7).
3.2.3. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan
Keterkaitan UU No. 12/1992 dengan Renstra Kementan 2015-2019
UU No. 12/1992 tentang Sistem Budi daya Tanaman Pasal 1 ayat 1: Sistem
budi daya tanaman adalah sistem pengembangan dan pemanfaatan sumber daya
alam nabati melalui upaya manusia yang dengan modal, teknologi, dan sumber
daya lainnya menghasilkan barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara
lebih baik; mendukung tujuan Renstra Kementan 2015-2019 yang terkait dengan
meningkatkan ketersediaan dan diversifikasi untuk mewujudkan kedaulatan
pangan. Sementara tujuan Renstra dalam upaya meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani, dan sasaran strategi berupa peningkatan pendapatan
keluarga petani; secara jelas telah tercantum pada UU No. 12/1992 Pasal 3,
Page 54
45
bahwa Sistem budi daya tanaman bertujuan: a.meningkatkan dan memperluas
penganeka ragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang,
papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor; b.
meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani; c.mendorong perluasan dan
pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.
Strategi utama Renstra peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan lahan
sejalan dengan UU Budi daya mengenai Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Budi
daya Tanaman, tercantum pada Pasal 44:
1. Pemanfaatan lahan untuk keperluan budi daya tanaman disesuaikan dengan
ketentuan tata ruang dan tata guna tanah berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2. Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan
dengan memperhatikan kesesuaian dan kemampuan lahan maupun
pelestarian lingkungan hidup khususnya konservasi tanah.
Selanjutnya pada Pasal 45, dinyatakan bahwa Perubahan rencana tata ruang yang
mengakibatkan perubahan peruntukan budi daya tanaman guna keperluan lain
dilakukan dengan memperhatikan rencana produksi budi daya tanaman secara
nasional. Ketentuan lain yang masih terkait penggunaan lahan pada Pasal 46:
1. Pemerintah menetapkan luas maksimum lahan untuk unit usaha budi daya
tanaman yang dilakukan di atas tanah yang dikuasai oleh Negara.
2. Setiap perubahan jenis tanaman pada unit usaha budi daya tanaman di atas
tanah yang dikuasai oleh negara harus memperoleh persetujuan Pemerintah.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian merupakan strategi utama
Renstra lainnya terkait dengan UU Budi daya yang menekankan pada aspek
sarana produksi, seperti pupuk tercantum pada Pasal 37:
1. Pupuk yang beredar di dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib
memenuhi standar mutu dan terjamin efektivitasnya serta diberi label.
2. Pemerintah menetapkan standar mutu pupuk serta jenis pupuk yang boleh
diimpor.
3. Pemerintah mengawasi pengadaan dan peredaran pupuk.
Page 55
46
4. Ketentuan mengenai tata cara pengawasan, pengadaan dan peredaran pupuk
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Saran produksi yang lainnya seperti pestisida tertera pada Pasal 38:
1. Pestisida yang akan diedarkan di dalam wilayah negara Republik Indonesia
wajib terdaftar, memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya, amanbagi
manusia dan lingkungan hidup, serta diberi label.
2. Pemerintah menetapkan standar mutu pestisida sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dan jenis pestisida yang boleh diimpor.
Strategi utama Renstra mengenai pengembangan dan perluasan logistik
benih/bibit didukung oleh UU No. 12/1992pada aspek Perbenihan, yang tertera
pada Pasal 8: Perolehan benih bermutu untuk pengembangan budi daya tanaman
dilakukan melalui kegiatan penemuan varietas unggul dan/atau introduksi dari
luarnegeri.Sementara strategi penunjang Renstra yang terkait pengelolaan
regulasi, telah sejalan dengan UU No. 12/1992Pasal 16: Pemerintah dapat
melarang pengadaan, peredaran, dan penanaman benih tanaman tertentu yang
merugikan masyarakat, budi daya tanaman, sumber daya alam lainnya, dan/atau
lingkungan hidup. UU Budi daya Tanaman yang menekankan pada aspek
Pengeluaran dan Pemasukan Tumbuhan dan Benih Tanaman tercantum pada
Pasal 17:
1. Pemerintah menetapkan jenis tumbuhan yang pengeluaran dari dan/atau
pemasukannya ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia memerlukan izin.
2. Pengeluaran benih dari atau pemasukannya ke dalam wilayah negara Republik
Indonesia wajib mendapatkan izin.
3. Pemasukan benih dari luar negeri harus memenuhi standar mutu benih bina.
Keterkaitan UU No. 12/1992 dengan Program Kementan
Pada hakekatnya, program pembangunan yang disusun dan dijalankan
Kementan merupakan perwujudan dari amanah berbagai undang-undang,
termasuk undang-undang tentang Sistem Budi daya Tanaman. Sebagian besar
program merupakan gabungan dari semangat dan ketentuan dari beberapa UU
sekaligus. Pada program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Hasil
Page 56
47
Tanaman Pangan dengan sasaran kegiatan Peningkatan Produksi Kedelai;
Ubikayu; Ubijalar; Kacang Tanah; dan Kacang hijau, telah didukung oleh UU No.
12/1992 Pasal 3: Sistem budi daya tanaman bertujuan: a.meningkatkan dan
memperluas penganeka-ragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan
pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar
ekspor; b.meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani; c.mendorong
perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.
Program Pengelolaan Sistem Penyediaan Benih Tanaman Pangan,
Hortikultura, Perkebunan terkait dengan UU No. 12/1992 Pasal 8: Perolehan benih
bermutu untuk pengembangan budi daya tanaman dilakukan melalui kegiatan
penemuan varietas unggul dan/atau introduksi dari luar negeri. Pasal lain yang
terkait adalah Pasal: 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, dan 16.
Aspek Perlindungan Tanaman yang terkandung pada UU Budi daya
Tanaman Pasal 20:
1. Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama
terpadu.
2. Pelaksanaan perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
menjadi tanggung jawab masyarakat dan Pemerintah
Didukung Pasal: 21, 22, 23, 24, 25, 26, dan 27, terkait dengan program
Penguatan Perlindungan Tanaman Pangan dan Perkebunan dari Gangguan OPT
dan DPI.
Ketentuan pascapanen pada UU No. 12/1992 tercantum pada Pasal 31:
1. Pascapanen meliputi kegiatan pembersihan, pengupasan, sortasi, pengawetan,
pengemasan, penyimpanan, standardisasi mutu, dan transportasi hasil
produksi budi daya tanaman.
2. Kegiatan pascapanen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditujukan untuk
meningkatkan mutu, menekan tingkat kehilangan dan/atau kerusakan,
memperpanjang daya simpan, dan meningkatkan daya guna serta nilai tambah
hasil budi daya tanaman.
Pasal lain yang terkait pascapanen adalah Pasal: 32, 33, dan 34. Keseluruhan
ketentuan tersebut sejalan dengan program Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan.
Page 57
48
Pengaturan pemanfaatan Air tercantum dalam UU No. 12/1992 Pasal 19:
1. Pemerintah mengatur dan membina pemanfaatan air untuk budi daya
tanaman.
2. Pemanfaatan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini mendukung program Pengelolaan Air Irigasi Untuk Pertanian dengan
sasaran kegiatan berupa meningkatnya ketersediaan air irigasi dalam mendukung
produksi pertanian.
Program Perluasan dan Perlindungan Lahan Pertanian dengan sasaran
kegiatan berupa meningkatnya luasan areal pertanian, pengoptimalan lahan, dan
mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian serta mendorong
peningkatan status kepemilikan lahan petani dan mengevaluasi pemanfaatan
sertifikat tanah petani, diperkuat dengan UU No. 12/1992 pada aspek Tata Ruang
dan Tata Guna Tanah Budi daya Tanaman, yang tercantum pada Pasal 44:
1. Pemanfaatan lahan untuk keperluan budi daya tanaman disesuaikan dengan
ketentuan tata ruang dan tata guna tanah berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2. Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan
dengan memperhatikan kesesuaian dan kemampuan lahan maupun pelestarian
lingkungan hidup khususnya konservasi tanah.
Pasal lain yang terkait adalah Pasal: 45 dan 46
Pengaturan Alat dan Mesin yang tertera pada UU No. 12/1992 Pasal 43:
1. Pemerintah menetapkan jenis dan standar alat dan mesin budi daya tanaman
yang produksi serta peredarannya perlu diawasi.
2. Alat dan mesin budi daya tanaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
diuji terlebih dahulu sebelum diedarkan.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Hal tersebut sebagai pendukung program Pengelolaan Sistem Penyediaan dan
Pengawasan Alat Mesin Pertanian dengan sasaran kegiatan berupa meningkatnya
pemanfaatan alat dan mesin pertanian.
Page 58
49
Program Fasilitasi Pupuk dan Pestisida dengan sasaran kegiatan tersalurnya
pupuk bersubsidi dan dioptimalkanya rumah kompos di daerah sentra produksi
tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan sentra peternakan, sejalan
dengan UU No. 12/1992 Pasal: 37, 38, 39, 40, 41, 42. Lebih lanjut program
tentang Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik
Pertanian didukung oleh UU No. 12/1992:
Pasal 54
1. Pemerintah menyelenggarakan penelitian di bidang budi daya tanaman yang
diarahkan bagi kepentingan masyarakat.
2. Pemerintah membina dan mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan
penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 55
1. Kepada penemu teknologi tepat serta penemu teori dan metode ilmiah baru di
bidang budi daya tanaman dapat diberikan penghargaan oleh Pemerintah.
2. Kepada penemu jenis baru dan/atau varietas unggul, dapat diberikan
penghargaan oleh Pemerintah serta mempunyai hak memberi nama pada
temuannya.
3. Setiap orang atau badan hukum yang tanamannya memiliki keunggulan
tertentu dapat diberikan penghargaan oleh Pemerintah.
4. Ketentuan mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Program Revitalisasi Pendidikan Pertanian dengan sasaran kegiatan
tercapainya revitalisasi pendidikan pertanian dalam meningkatkan kapasitas
aparatur pertanian dan nonaparatur pertanian; daya tarik pertanian bagi tenaga
kerja muda, telah dipayungi UU No. 12/1992 Pasal 56:
1. Pemerintah menyelenggarakan pengembangan sumber daya manusia di
bidang budi daya tanaman melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan serta
mendorong dan membina masyarakat untuk melakukan kegiatan tersebut.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Page 59
50
Program Pemantapan Sistem Penyuluhan Pertanian dengan sasaran
kegiatan mantapnya sistem penyuluhan pertanian dalam meningkatkan
kemampuan petani; kemandirian kelembagaan petani dan pola hubungan
pemerintah, telah didukung oleh UU No. 12/1992 Pasal 57:
1. Pemerintah menyelenggarakan penyuluhan budi daya tanaman serta
mendorong dan membina peranserta masyarakat untuk melakukan kegiatan
penyuluhan dimaksud
2. Pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan informasi yang mendukung
pengembangan budi daya tanaman serta mendorong dan membina peranserta
masyarakat dalam pemberian pelayanan tersebut
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diatur lebih lanjut
oleh Pemerintah.
3.3. Undang-Undang No. 13/2010 tentang Hortikultura
3.3.1. Pokok-pokok amanat undang-undang
Tujuan
Undang-Undang No. 13/2010 tentang Hortikultura menegaskan bahwa
Penyelenggaraan hortikultura memiliki 8 tujuan yaitu :
a. mengelola dan mengembangkan sumber daya hortikultura secara optimal,
bertanggung jawab, dan lestari;
b. memenuhi kebutuhan, keinginan, selera, estetika, dan budaya masyarakat
terhadap produk dan jasa hortikultura;
c. meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing,
dan pangsa pasar;
d. meningkatkan konsumsi produk dan pemanfaatan jasa hortikultura;
e. menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha;
f. memberikan perlindungan kepada petani, pelaku usaha, dan konsumen
hortikultura nasional;
g. meningkatkan sumber devisa negara; dan
h. meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan kemakmuran rakyat.
Page 60
51
Lingkup Pengaturan Hortikultura
Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut maka pada UU Hortikultura
secara keseluruhan terdapat 18 bab yang mengatur penyelenggaraan hotikultura,
mulai dari Ketentuan Umum (Bab 1) hingga Ketentuan Peralihan (Bab 17) dan
Penutup (Bab 18). Namun dari seluruh bab tersebut hanya 5 bab yang mengatur
penyelenggaraan hortikultura secara substantif dan terkait dengan 5 aspek yaitu :
(a) perencanaan; (b) pemanfaatan dan pengembangan sumber daya; (c)
pengembangan hortikultura; (d) distribusi, perdagangan, pemasaran, dan
konsumsi; dan (e) pembiayaan, penjaminan, dan penanaman modal. Secara
ringkas arah kebijakan pada kelima aspek tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut.
Perencanaan Hortikultura
1. Perencanaan hortikultura harus memperhatikan: (a) pertumbuhan penduduk
dan kebutuhan konsumsi; (b) daya dukung sumber daya alam dan
lingkungan; (c) rencana pembangunan nasional dan daerah; (d) rencana tata
ruang wilayah; (e) pertumbuhan ekonomi dan produktivitas; (f) kebutuhan
prasarana dan sarana hortikultura; (g) kebutuhan teknis, ekonomis, dan
kelembagaan; dan (h) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Perencanaan hortikultura mencakup aspek: (a) sumber daya manusia; (b)
sumber daya alam; (c) sumber daya buatan; (d) sasaran produksi dan
konsumsi; (e) kawasan hortikultura; (f) pembiayaan, penjaminan, dan
penanaman modal; dan (g) penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Pemanfaatan dan Pengembangan Sumber Daya
1. Sumber daya hortikultura terdiri dari: (a). sumber daya manusia; (b). sumber
daya alam; dan (c). sumber daya buatan. Sumber daya alam dan sumber
daya buatan dimanfaatkan secara efisien, ramah lingkungan, dan
berkelanjutan. Pemanfaatan sumber daya buatan mengutamakan yang
mengandung komponen hasil produksi dalam negeri.
2. Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban meningkatkan keahlian dan
Page 61
52
keterampilan sumber daya manusia hortikultura untuk memenuhi standar
kompetensi. Untuk memenuhi standar kompetensi tersebut dapat melalui
sertifikasi kompetensi.
3. Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban menyelenggarakan
penyuluhan hortikultura. Penyuluhan hortikultura dilakukan oleh penyuluh
bersertifikat. Pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penyuluhan
hortikultura berkewajiban menyediakan paling sedikit satu orang penyuluh
pegawai negeri sipil atau paling sedikit satu orang penyuluh swasta dan/atau
swadaya di setiap desa yang termasuk di dalam kawasan hortikultura.
4. Pelaku usaha wajib mengutamakan pemanfaatan sumber daya manusia dalam
negeri.
5. Lahan budi daya hortikultura wajib dilindungi, dipelihara, dipulihkan, serta
ditingkatkan fungsinya oleh pelaku usaha. Penggunaan lahan budi daya
hortikultura wajib mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memantau, mengevaluasi,
memprakirakan, mendokumentasikan, dan memetakan pola iklim untuk
pengembangan usaha hortikultura. Hasil pemantauan, evaluasi, prakiraan,
dokumentasi, dan pemetaan pola iklim menjadi acuan perencanaan
hortikultura dan pengembangan usaha hortikultura. Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah menyediakan bantuan kepada pelaku usaha mikro dan
kecil yang mengalami gagal panen akibat bencana yang disebabkan oleh
perubahan pola iklim.
7. Air untuk usaha hortikultura harus memenuhi persyaratan baku mutu air
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah dan
pemerintah daerah bertanggung jawab: (a) memberikan jaminan akan
ketersediaan air untuk usaha hortikultura; dan (b) menetapkan rencana
alokasi dan memberikan hak guna pakai air untuk usaha hortikultura.
8. Sumber daya genetik hortikultura wajib dilindungi, dilestarikan, diperkaya,
dimanfaatkan, dan dikembangkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pemasukan dan pengeluaran sumber daya genetik
hortikultura ke dan dari dalam negara Republik Indonesia dilaksanakan sesuai
Page 62
53
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang dilarang: (a)
memperjualbelikan bahan perbanyakan sumber daya genetik hortikultura
yang terancam punah; dan/atau (b) menebang pohon induk yang
mengandung bahan perbanyakan sumber daya genetik hortikultura yang
terancam punah.
9. Usaha hortikultura dilaksanakan dengan mengutamakan penggunaan sarana
hortikultura dalam negeri. Sarana hortikultura yang diedarkan wajib
memenuhi standar mutu dan terdaftar. Dalam hal sarana hortikultura
merupakan atau mengandung hasil rekayasa genetik, selain memenuhi
ketentuan tersebut, peredarannya wajib mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang keamanan hayati. Setiap orang yang
melakukan pengadaan, pengedaran, dan penggunaan sarana hortikultura
wajib memperhatikan keselamatan dan sosial budaya masyarakat, sistem budi
daya tanaman, sumber daya alam, dan/atau fungsi lingkungan.
Pengembangan Hortikultura
1. Penyelenggaraan hortikultura wajib memperhatikan rencana tata ruang
wilayah. Penyelenggaraan hortikultura dilakukan di luar zona inti kawasan
konservasi. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah merencanakan dan
menetapkan kawasan hortikultura. Kawasan hortikultura tersebut terdiri atas:
(a). kawasan hortikultura nasional; (b). kawasan hortikultura provinsi; dan (c).
kawasan hortikultura kabupaten/kota. Kawasan hortikultura nasional
ditetapkan oleh Pemerintah, kawasan hortikultura provinsi ditetapkan oleh
pemerintah provinsi, dan kawasan hortikultura kabupaten/kota ditetapkan
oleh pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
menetapkan produk unggulan yang akan dikembangkan di dalam kawasan
hortikultura.
2. Pelaku usaha dalam melaksanakan usaha hortikultura wajib memenuhi
standar proses atau persyaratan teknis minimal. Pelaku usaha dalam
memproduksi produk hortikultura wajib memenuhi standar mutu dan
keamanan pangan produk hortikultura. Usaha hortikultura besar dapat
diselenggarakan oleh pelaku usaha dalam negeri, baik sendiri maupun
Page 63
54
berpatungan dengan pelaku usaha luar negeri dengan membentuk badan
hukum Indonesia menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
3. Usaha perbenihan hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki
sertifikat kompetensi atau badan usaha yang bersertifikat dalam bidang
perbenihan dengan wajib menerapkan jaminan mutu benih melalui penerapan
sertifikasi. Pemasukan benih ke dalam wilayah negara Republik Indonesia
untuk kepentingan komersial harus memenuhi persyaratan mutu yang
ditetapkan. Pemasukan benih ke dalam wilayah negara Republik Indonesia
untuk kepentingan komersial hanya diperbolehkan bila tidak dapat diproduksi
dalam negeri atau kebutuhan dalam negeri belum tercukupi.
4. Usaha budi daya hortikultura dilakukan dengan memperhatikan: (a).
permintaan pasar; (b). budi daya yang baik ; (c). efisiensi dan daya saing;
(d). fungsi lingkungan; dan (e). kearifan lokal. Usaha pengolahan produk
hortikultura wajib memenuhi standar mutu sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dalam hal penyaluran, pembagian, dan
pengiriman produk hortikultura pelaku usaha distribusi wajib menggunakan
sistem logistik untuk menjaga kesegaran, mutu, keamanan pangan, dan
kesesuaian jumlah dan waktu pasokan produk hortikultura.
5. Pelaku usaha perdagangan produk hortikultura harus menerapkan sistem
pengkelasan produk berdasarkan standar mutu dan standar harga secara
transparan.Pelaku usaha pemasaran hortikultura wajib mengutamakan
pemasaran produk dan jasa hortikultura dalam negeri.
6. Usaha penelitian hortikultura dapat dilakukan pada usaha perbenihan, usaha
budi daya, usaha panen dan pascapanen, usaha pengolahan, dan usaha
distribusi, perdagangan, pemasaran, serta usaha wisata agro.
7. Kawasan dan/atau unit usaha budi daya hortikultura dapat digunakan dan
dikembangkan untuk usaha wisata agro. Pemerintah menetapkan norma,
standar, pedoman, dan kriteria usaha wisata agro.Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah menetapkan kawasan dan/atau unit usaha budi daya
hortikultura yang dijadikan usaha wisata agro.
Page 64
55
Distribusi, Perdagangan, Pamasaran, dan Konsumsi
1. Pemerintah membangun sistem distribusi, perdagangan, pemasaran, dan
konsumsi produk hortikultura yang menjamin perlindungan terhadap pelaku
usaha, konsumen, dan produk dalam negeri. Distribusi dilakukan untuk
menjamin pengiriman produk hortikultura guna menjaga keamanan pangan
serta ketepatan jumlah, mutu, dan waktu pasokan dari produsen sampai ke
pasar dan/atau konsumen.
2. Ekspor produk hortikultura dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan
konsumsi nasional. Ekspor produk hortikultura harus memenuhi persyaratan
dan standar mutu dan/atau keamanan pangan.
3. Impor produk hortikultura wajib memperhatikan aspek: (a). keamanan
pangan produk hortikultura; (b). ketersediaan produk hortikultura dalam
negeri; (c). penetapan sasaran produksi dan konsumsi produk hortikultura;
(d). persyaratan kemasan dan pelabelan; (e). standar mutu; dan (f).
ketentuan keamanan dan perlindungan terhadap kesehatan manusia, hewan,
tumbuhan, dan lingkungan.Impor produk hortikultura dapat dilakukan setelah
mendapat izin dari menteri yang bertanggungjawab di bidang perdagangan
setelah mendapat rekomendasi dari Menteri. Impor produk hortikultura
dilakukan melalui pintu masuk yang ditetapkan. Setiap orang dilarang
mengedarkan produk segar hortikultura impor tertentu yang tidak memenuhi
standar mutu dan/atau keamanan pangan.
4. Pemerintah dan pemerintah daerah bertugas meningkatkan konsumsi
hortikultura masyarakat melalui: (a) penetapan dan sosialisasi buah dan
sayuran sebagai produk pangan pokok; (b) penetapan target pencapaian
angka konsumsi buah dan sayuran per kapita per tahun sesuai dengan
standar kesehatan; dan (c) pemuatan materi hortikultura ke dalam kurikulum
pendidikan nasional atau daerah.
Pembiayaan, penjaminan, dan penanaman modal
1. Untuk pengembangan usaha hortikultura: (a) Pemerintah menetapkan
persentase portofolio kredit bersubsidi dari alokasi kredit untuk sektor
pertanian, dan (b) menggunakan anggaran pembangunan untuk subsidi
Page 65
56
bunga dan/atau asuransi kredit. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
memfasilitasi usaha mikro dan kecil hortikultura untuk memperoleh fasilitas
dan pinjaman tanpa agunan dari lembaga keuangan berdasarkan kelayakan
usaha.
2. Pelaku usaha hortikultura yang menyimpan produknya di pergudangan dapat
memperoleh dan memanfaatkan resi gudang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3. Pemerintah mendorong penanaman modal dengan mengutamakan
penanaman modal dalam negeri. Penanaman modal asing hanya dapat
dilakukan dalam usaha besar hortikultura. Besarnya penanaman modal asing
dibatasi paling banyak 30% (tiga puluh persen). Penanam modal asing
dilarang menggunakan kredit dari bank atau lembaga keuangan milik
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
3.3.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain
Keterkaitan UU Hortikultura dan UU Pangan
Dari 12 lingkup pengaturan penyelenggaraan pangan dalam konteks
analisis kebijakan undang-undang pertanian yang dinilai strategis adalah empat
aspek yaitu: ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, konsumsi pangan dan
gizi, dan keamanan pangan sebagai berikut :
1. Ketersediaan pangan mencakup empat dimensi utama yaitu produksi pangan
dalam negeri, cadangan pangan, ekspor dan impor pangan, dan
penganekaragaman pangan.
2. Keterjangkauan pangan mencakup lima dimensi utama yaitu distribusi
pangan, pemasaran pangan, perdagangan pangan, stabilitas pasokan dan
harga pangan pokok, dan bantuan pangan.
3. Konsumsi pangan dan gizi mencakup tiga dimensi uatama yaitu konsumsi
pangan, penganekaragamnan pangan dan gizi, dan perbaikan gizi.
4. Keamanan pangan mencakup enam dimensi utama yaitu sanitasi pangan,
pengaturan bahan tambahan pangan, produk rekayasa genetik, iradiasi
pangan, standar kemasan pangan, jaminan keamanan dan mutu pangan.
Page 66
57
Pada UU Hortikultura aspek ketersediaan pangan tercerminkan pada tujuan
ke 3 yaitu : meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya
saing, dan pangsa pasar. Masalah ekspor dan impor pangan yang berasal dari
produk hortikultura juga diatur pada Bab VI tentang Distribusi, Perdagangan,
Pamasaran, dan Konsumsi produk hortikultura. Pengaturan ekspor ditegaskan
pada pasal yang menyatakan bahwa “Ekspor produk hortikultura dilakukan
dengan mempertimbangkan kebutuhan konsumsi nasional dan ekspor produk
hortikultura harus memenuhi persyaratan dan standar mutu dan/atau keamanan
pangan”. Adapun pengaturan impor ditegaskan pada pasal yang menyatakan
bahwa impor produk hortikultura wajib memperhatikan aspek-aspek tertentu dan
dapat dilakukan setelah mendapat izin dari menteri yang bertanggungjawab di
bidang perdagangan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri. Impor produk
hortikultura dilakukan melalui pintu masuk yang ditetapkan dan setiap orang
dilarang mengedarkan produk segar hortikultura impor tertentu yang tidak
memenuhi standar mutu dan/atau keamanan pangan.
Aspek keterjangkauan dan konsumsi pangan juga tercerminkan pada Bab
VI yang mengatur tentang Distribusi, Perdagangan, Pamasaran, dan Konsumsi
produk hortikultura. Pada Bab VI tersebut ditegaskan bahwa Pemerintah
membangun sistem distribusi, perdagangan, pemasaran, dan konsumsi produk
hortikultura yang menjamin perlindungan terhadap pelaku usaha, konsumen, dan
produk dalam negeri. Distribusi dilakukan untuk menjamin pengiriman produk
hortikultura guna menjaga keamanan pangan serta ketepatan jumlah, mutu, dan
waktu pasokan dari produsen sampai ke pasar dan/atau konsumen.
Aspek konsumsi pangan dan gizi juga tercerminkan pada Bab VI yang
mengatur tentang Distribusi, Perdagangan, Pamasaran, dan Konsumsi produk
hortikultura. Dalam rangka perbaikan gizi masyarakat pada Bab VI tersebut
ditegaskan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah bertugas meningkatkan
konsumsi hortikultura masyarakat melalui: (a) penetapan dan sosialisasi buah dan
sayuran sebagai produk pangan pokok; (b) penetapan target pencapaian angka
konsumsi buah dan sayuran per kapita per tahun sesuai dengan standar
kesehatan; dan (c) pemuatan materi hortikultura ke dalam kurikulum pendidikan
nasional atau daerah.
Page 67
58
Aspek keamanan pangan juga tercerminkan pada Bab VI yang mengatur
tentang Distribusi, Perdagangan, Pamasaran, dan Konsumsi produk hortikultura
disamping Bab IV tentang Pemanfaatan dan Pengembangan Sumber daya. Pada
Bab VI ditegaskan bahwa distribusi dilakukan untuk menjamin pengiriman produk
hortikultura guna menjaga keamanan pangan dan Impor produk hortikultura wajib
memperhatikan aspek keamanan pangan produk hortikultura, disamping aspek-
aspek lainnya. Adapun pada Bab IV tentang Pemanfaatan dan Pengembangan
Sumber daya ditegaskan bahwa sarana hortikultura yang diedarkan wajib
memenuhi standar mutu dan terdaftar dan dalam hal sarana hortikultura
merupakan atau mengandung hasil rekayasa genetik, selain memenuhi ketentuan
tersebut, peredarannya wajib mengikuti ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang keamanan hayati.
3.3.3. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan
Keterkaitan UU Hortikultura dan Renstra Kementan 2015-2019
Pada Renstra Kementan 2015-2019 ditegaskan bahwa tujuan
pembangungan pertanian meliputi: (a) meningkatkan ketersediaan dan
diversifikasi untuk mewujudkan kedaulatan pangan; (b) meningkatkan nilai
tambah dan daya saing produk pangan dan pertanian, (c) meningkatkan
ketersediaan bahan baku bioindustri dan bioenergi, (d) meningkatkan pendapatan
dan kesejah-teraan petani, dan (e) meningkatkan kualitas kinerja aparatur
pemerintah yang amanah dan profesional.
Pada UU Hortikultura tujuan (a) tercerminkan pada Pasal 3c yang
menyatakan bahwa Penyelenggaraan hortikultura bertujuan untuk Meningkatkan
produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing, dan pangsa pasar.
Tujuan (b) juga tercerminkan pada pasal tersebut sementara tujuan (d)
tercerminkan pada Pasal 3h yang menyatakan bahwa Penyelenggaraan
hortikultura bertujuan untuk meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan
kemakmuran rakyat.
Pada Renstra Kementan 2015-2019 ditegaskan bahwa terdapat beberapa
strategi utama yaitu : (a) peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan lahan, (b)
peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian, (c) pengembangan dan perluasan
Page 68
59
logistik benih/bibit, (d) penguatan kelembagaan petani, (e) pengembangan dan
penguatan pembiayaan pertanian, (f) pengembangan dan penguatan bioindustri
dan bioenergi, dan (g) penguatan jaringan pasar produk pertanian.
Pada UU Hortikultura strategi (a) tercerminkan pada Pasal 16 ayat 1 yang
menyatakan bahwa Lahan budi daya hortikultura wajib dilindungi, dipelihara,
dipulihkan, serta ditingkatkan fungsinya oleh pelaku usaha. Strategi (b)
tercerminkan pada Pasal 32 ayat 2 yang menyatakan bahwa usaha hortikultura
dilaksanakan dengan mengutamakan penggunaan sarana hortikultura dalam
negeri. Strategi (c) tercerminkan pada Pasal 32 ayat 1 dan 2 yaitu : Sarana
hortikultura terdiri atas: benih bermutu dari varietas unggul; pupuk yang tepat
dan ramah lingkungan….dst dan usaha hortikultura dilaksanakan dengan
mengutamakan penggunaan sarana hortikultura dalam negeri. Strategi (d) terkait
dengan Pasal 112 a (Pemberdayaan usaha hortikultura meliputi: (a) penguatan
kelembagaan pelaku usaha dan peningkatan kualitas sumber daya manusia,
……dst) dan Pasal 114 ayat 1 (Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
memfasilitasi pembentukan lembaga pengembangan hortikultura).
Strategi (e) terkait dengan Pasal 96 ayat 1 (Pembiayaan penyelenggaraan
hortikultura yang dilakukan oleh Pemerintah bersumber dari anggaran pendapatan
dan belanja negara) dan Pasal 97 ayat 2 (Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah mendorong terbentuknya lembaga keuangan guna pembiayaan usaha
hortikultura sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan).
Sementara strategi (g) terkait dengan Pasal 89 ayat 1 yaitu : Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah berkewajiban menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan
pemasaran produk hortikultura, di dalam ataupun ke luar negeri.
Disamping strategi utama pada Renstra Kementan 2015-2019 juga
terdapat 8 strategi penunjang yaitu : (a) penguatan dan peningkatan kapasitas
SDM pertanian, (b) peningkatan dukungan perkarantinaan, (c) peningkatan
dukungan inovasi dan teknologi, (d) pelayanan informasi publik, (e) pengelolaan
regulasi, (f) pengelolaan teknologi informasi dan komunikasi, (g) penataan dan
penguatan organisasi, dan (h) pengelolaan sistem pengawasan.
Dari seluruh strategi penunjang tersebut terdapat 3 strategi yang tidak
tercerminkan pada UU Hortikultura yaitu strategi (b), (e) dan (g). Adapun strategi
Page 69
60
penunjang lainnya secara eksplisit ditegaskan dalam UU Hortikultura. Misalnya,
strategi penunjang (a) tercerminkan pada Pasal 13 ayat 1 yaitu : Pemerintah dan
pemerintah daerah berkewajiban meningkatkan keahlian dan keterampilan
sumber daya manusia hortikultura untuk memenuhi standar kompetensi. Strategi
(c) tercerminkan pada Pasal 43 ayat 3d yang menegaskan bahwa : Terhadap
produk unggulan hortikultura yang telah ditetapkan, Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah berkewajiban menjamin ketersediaan: penelitian dan
pengembangan teknologi.
Keterkaitan UU Hortikultura dan Program Hortikultura 2016
Pada tahun 2016 terdapat 6 program hortikultura yaitu : (a) Peningkatan
Produksi Sayuran dan Tanaman Obat, (b) Pengembangan Sistem Perbenihan
Hortikultura, (c) Pengembangan Sistem Perlindungan Hortikultura, (d)
Peningkatan Usaha Dukungan Manajemen dan Teknis Lainnya pada Ditjen
Hortikultura, (e) Peningkatan Produksi Buah dan Florikultura, dan (f) Pengolahan
dan Pemasaran Hasil Hortikultura.
Dalam konteks UU Hortikultura program (a) dan (e) terkait dengan Pasal 3c
yang menyatakan bahwa Penyelenggaraan hortikultura bertujuan untuk
meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing, dan
pangsa pasar. Pelaksanaan program tersebut juga tidak terlepas dengan pasal-
pasal yang terdapat pada Bab IV tentang Pemanfaatan dan Pengembangan
Sumber daya mengingat upaya peningkatan produksi hortikultura tidak terlepas
dari pemanfaatan sumber daya hortikultura baik yang berupa sumber daya
manusia, sumber daya alam maupun sumber daya buatan.
Program (b) tentang pengembangan sistem perbenihan hortikultura terkait
dengan Paragraf 2 tentang usaha perbenihan hortikultura. Program (c) tentang
Pengembangan Sistem Perlindungan Hortikultura terkait dengan Pasal 78 yang
menegaskan bahwa Pemerintah membangun sistem distribusi, perdagangan,
pemasaran, dan konsumsi produk hortikultura yang menjamin perlindungan
terhadap pelaku usaha, konsumen, dan produk dalam negeri. Program (c)
tersebut juga terkait dengan Pasal 88 ayat 1 yang menegaskan bahwa impor
produk hortikultura harus memperhatikan aspek keamanan produk.
Page 70
61
Program (f) tentang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura terkait
dengan Pasal 87 ayat 2 tentang persyaratan eskpor produk hortikultura yang
harus memenuhi persyaratan dan standar mutu. Adapun program (d) tentang
Peningkatan Usaha Dukungan Manajemen dan Teknis Lainnya pada Ditjen
Hortikultura tidak ditegaskan secara eksplisit didalam UU Hortikultura.
3.4. Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan
3.4.1. Pokok-pokok amanat undang-undang
1. Secara substansial, UU No. 39 Tahun 2014 cukup detail dan komprehensif
memuat pengaturan legal meliputi perencanaan, penggunaan lahan, budi
daya tanaman perkebunan dari hulu hingga hilir, termasuk sub sistem
pendukung dalam pengembangan usaha perkebunan.Fokus utama UU ini
adalah pengaturan penyelenggaraan perkebunan pada era paradigma yang
dinamik, menangani konflik atau sengketa lahan perkebunan, pembatasan
penanaman modal asing, kewajiban membangun dan menyiapkan sarana dan
prasarana perkebunan serta perijinan usaha perkebunan.Tujuannya agar
penyelenggaraan perkebunan mampu meningkatkan produksi, produktivitas
dan daya saing, meningkatkan sumber devisa negara serta kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Produksi perkebunan diarahkan dalam rangka memenuhi
kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri dalamnegeri.
2. Perijinan dan pengaturan pemanfaatan lahan untuk perkebunan, termasuk
lahan milik ulayat masyarakat lokal dalam rangka mencegah tumpang tindih
penggunaan dan sengketa lahan, penertiban tata ruang wilayah untuk
perkebunan dan mengatasi maraknya lahan terlantar di era pesatnya
pengembangan perkebunan oleh pekebun rakyat maupun investor dalam
negeri dan asing. Meski demikian, ditingkat lapangan, penerapan UU Pasal 12
ayat 1 masih sering menimbulkan masalah karena dinilai melemahkan posisi
komunitas adat dalam mempertahankan tanah ulayatnya. Konflik lahan
perkebunan dan teknik budi daya seringkali menjadi salah satu hambatan
dalam perdagangan komoditas perkebunan yang berorientasi ekspor.
3. UU Perkebunan bersifat melindungi, memperkaya dan mengembangkan
sumber daya genetik dalam negeri namun kurang membahas terkaitannya
Page 71
62
dengan karantina. Pasal 24 memcoba mengatur tentang jenis tanaman
perkebunanyang masuk ke Indonesia namun kurang mengkaitkannya dengan
proses karantinan. Hal itu kemungkinan disebabkan produk perkebunan secara
umum berorientasi ekspor dengan basis pembibitan dan sumber daya genetik
lokal. Ke depan disarankan untuk memperhatikan hal itu, agar bila ada pelaku
perkebunanbermaksud memasukkan bibit atau produk mentah perkebunan
dari luar negeri atau membawanya antar daerah lebih terawasi dari
kemungkinan membawa penyakit yang bisa membahayakan populasi
perkebunan di dalam negeri atau suatu daerah. Perkembangan organism
penggangu di dalam negeri seperti kasus kakao yang cepat menyebar antar
daerah, kemungkinan akibat lemahnya pengaturan distribusi dan lalu lintas
bibit di dalam negeri.
4. UU No. 39 tahun 2014 memberi peluang perolehan benih bermutu untuk
pengembangan budi daya melalui kegiatan penemuan varietas unggul dan
introduksi dari luar negeri atas ijin pemerintah. Orientasi produksi perkebunan
sebagian besar untuk ekspor sehingga pengaturan lalu lintas benih dan atau
tanaman lebih dominan dan ketat pada masuk dan tidak mengatur keluar.
Pengaturan pada pasal 26 sampai pasal 30 memberi ruang penting dalam
perbenihan dalam rangka mendukung pengembangan budi daya perkebunan.
5. Persoalan yang cukup serius saat ini dalam perkebunan Indonesia khususnya
kelapa sawit adalah masalah replanting. Sekalipun tersedia bibit yang baik
dari hasil penelitian dan pemuliaan yang diinisiasi pemerintah, namun kurang
didukung oleh pembiayaan perkebunan, sehingga pekebun rakyat cenderung
membiarkan tanaman tuanya tetap berproduksi karena tidak mampu membeli
dan membiayai proses
6. UU No. 39 tahun 2014 mengatur perlindungan tanaman khususnya dari
organisme pengganggu tanaman, tapi sama sekali tidak mengatur
perlindungan tanaman dari penyebab lain yang relatif banyak terjadi dan
signifikan dalam penurunan produksi maupun luas lahan seperti dampak
perubahan iklim, koflik perkebunan maupun bencana kebakaran dan bencana
alam lain.
Page 72
63
7. Sektor perkebunan sangat menarik sebagai ladang investasi. Ada upaya
konstitusi untuk mendahulukan investor domestik dan perkebunan rakyat
dengan membatasi investor asing melalui pengaturan sistem kerjasama dan
persyaratan lain yang lebih tegas (Pasal 39 dan Pasal 40).
8. Guna meningkatkan nilai tambah dan menekan rantai pasar, UU membuka
peluang pelaksanaan usaha budi daya tanaman perkebunan secara terintegrasi
dengan unit pengolahan hasil atau budi daya ternak dan dilaksanakan
diversifikasi berupa agrowisata dan usaha lainnya sebagai usaha pokok.
Pengaturan usaha pengolahan hasil perkebunan yang mengharuskan
pekebun/pengusaha memenuhi sekurang-kurangnya 20% bahan baku dari
kebun sendiri perlu dipertimbangkan, mengingat perkebunan di Indonesia
masih didominasi perkebunan rakyat (Pasal 58). Dari sisi pekebun,
penghapusan keharusan 20% di atas dinilai bisa membuka kesempatan bagi
investor pengolahan yang tidak memiliki kebun, meningkatkan peluang pasar
produksi perkebunan rakyat, merangsang gairah peningkatan sistem produksi
perkebunan karena keterjaminan pasar pengolahan serta peluang membangun
kemitraan. Kondisi ini berpotensi menciptakan sistem kemitraan karena adanya
saling ketergantungan antara pelaku produksi dengan pengolahan, serta
kondusif untuk menciptakan harga produksi bahan mentah yang lebih
kompetitif.
9. UU membagi berbagai kewenangan dan kewajiban bagi pemerintah dan
pelaku perkebunan. Beberapa kewajiban perusahaan perkebunan yang penting
sebagai aturan standar usaha perkebunan meliputi: (1) Penetapan batasan
luas dan waktu serta prosentase pengusahaan lahan perkebunan (pasal 14-
16); (2) Peraturan tentang penggunaan tanah ulayat untuk usaha perkebunan
(pasal 17); (3) Bekerjasama dengan pemerintah dalam pengembangan
perbenihan (pasal 20); (4) Tertib tata cara pengolahan lahan dan sistem budi
daya yang ramah lingkungan (pasal 32) serta melakukan perlindungan
tanaman (pasal 33-35); (5) Persyaratan perizinan melakukan pengolahan
(pasal 42, 43 dan 45); (6) Keharusan mengembangkan perkebunan dengan
memperhatikan aspek ekonomi, sosial budaya dan ekologi agar tercipta
penyelenggaraan yang berkelanjutan (pasal 62); (7) Kewajiban untuk
Page 73
64
membangun sarana dan prasarana dalam kawasan perkebunan (pasal 69);dan
(7) Pembatasan penanaman moal asing (pasal 95);
3.4.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain
Keterkaitan antara UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dengan
UU No. 41 tahun 2009 tentang lahan
1. Perencanaan pembangunan perkebunan harus disusun berdasarkan rencana
tata ruang wilayah, kesesuaian serta ketersediaan lahan untuk perkebunan
sesuai Pasal 6 UU No. 39 tahun 2014. Kebijakan ini sinergi dengan Pasal 23
UU No. 41 tahun 2009 yang menekankan bahwa penetapan kawasan
pertanian pangan berkelanjutan tingkat nasional/provinsi/kabupaten diatur
dalam peraturan pemerintah dan peraturan daerah mengenai rencana tata
ruang wilayah.
2. Pasal 7 UU No. 39 tahun 2014 menyebutkan bahwa perencanaan perkebunan
harus merupakan bagian integral dari perencanaan pembangunan nasional,
perencanaan pembangunan daerah, dan perencanaan pembangunan sektoral.
Demikian halnya dengan perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
yang diatur dalam UU No. 41 tahun 2009 Pasal 23 harus disusun di tingkat
nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota ha yang terdiri dari perencanaan
jangka panjang, perencanaan jangka menengah, dan perencanaan tahunan.
3. UU No. 39 tahun 2014 Pasal 14 mengamanatkan bahwa pemerintah pusat
harus menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan
lahan untuk usaha perkebunan dengan mempertimbangkan jenis tanaman,
ketersediaan lahan yang sesuai secara agroklimat, modal, kapasitas pabrik,
tingkat kepadatan penduduk, pola pengembangan usaha, kondisi geografis,
perkembangan teknologi, dan pemanfaatan lahan berdasarkan fungsi ruang.
Meski tidak terkait secara langsung, pengaturan ini berperan mendukung
kebijakan terkait pangan yang diatur pada pasal 5 UU No. 41 tahun 2009 yang
menyebutkan bahwa lahan pertanian pangan yang ditetapkan sebagai Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat berupa lahan beririgasi, lahan reklamasi
rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak), dan/atau lahan tidak
beririgasi.
Page 74
65
4. Perusahaan perkebunan wajib mengusahakan 30 persen lahan perkebunan
paling lambat 3 (tiga) tahun setelah pemberian status hak atas tanah dan
paling lambat 6 (enam) tahun wajib mengusahakan seluruh luas hak atas
tanah. Pasal 16 UU No. 39 tahun 2014 menekankan bahwa jika lahan
perkebunan tidak diusahakan sesuai dengan ketentuan maka bidang tanah
yang belum diusahakan diambil alih oleh negara. Pengaturan yang sinergi
dengan Pasal 29 UU No. 41 tahun 2009 tentang pengalihan fungsi lahan
nonpertanian pangan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terutama
dilakukan terhadap Tanah Telantar dan tanah bekas kawasan hutan yang tidak
diusahakan, tidak dipergunakan, dan tidak dimanfaatkan sesuai dengan sifat
dan tujuan pemberian hak.
5. Pemberdayaan usaha perkebunan melalui diklat dan fasilitasi produksi serta
pemasaran lainnya yang dituangkan pada Pasal 51 UU No. 39 tahun 2014
sejalan dengan Pasal 63 UU No. 41 tahun 2009 yang menekankan perlunya
pemberdayaan petani meliputi penguatan kelembagaan, penyuluhan dan
pelatihan serta fasilitasi pembiayaan, pendidikan dan aksesibilitas lain.
Keterkaitan antara UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dengan UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan
1. UU No. 39 tahun 2014 Pasal 12 mengamanatkan penggunaan Tanah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat untuk usaha perkebunan, pelaku usaha
perkebunan harus melakukan musyawarah untuk memperoleh persetujuan
mengenai penyerahan tanah dan imbalannya mempunyai keterkaitan yang
kuat dengan Pasal 3 UU No. 11 tahun 1974 yang memberi kuasa kepada
negara untuk mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin peruntukan
dan/atau pengusahaan air dan sumber-sumber air dengan tetap menghormati
hak yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan Nasional
2. Kewajiban pemerintah melaksanakan, mendorong, memfasilitasi penelitian dan
pengembangan perkebunan untuk menghasilkan iptek pengembangan nilai
tambah, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan yang dimuat pada Pasal
82, 83 dan 85 UU No. 39 tahun 2014 konsisten dengan Pasal 10 UU No. 11
Page 75
66
tahun 1974 yang memberi wewenang pada pemerintah melakukan pembinaan
pengairan menurut bidangnya masing-masing sesuai dengan fungsi dan
peranannya, termasuk menyelenggarakan penelitian dan penyelidikan sumber-
sumber air.
3. Pengembangan sumber daya manusia perkebunan yang dilaksanakan melalui
diklat, penyuluhan, dan/atau metode pengembangan lainnya yang bertujuan
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalisme, kemandirian, dan
dedikasi yang diatur pada Pasal 88 UU No. 39 tahun 2014 sinkron dengan UU
No. 11 tahun 1974 Pasal 10 yang memberi wewenang kepada pemerintah
membina dalam rangka kegiatan pengairan dengan menyelenggarakan
penyuluhan dan pendidikan khusus.
4. UU No. 39 tahun 2014 Pasal 100 yang mengatur penyelenggaraan
perkebunan agar melibatkan peran serta masyarakat dalam hal penyusunan
pengembangan usaha perkebunan amanat UU No. 11 tahun 1974 pasal 12
yang wajib mengikutsertakan masyarakat dalam menjaga, memelihara dan
memanfaatkan air, tata pengairan, dan bangunan-bangunan pengairan yang
dilakukan pemerintah.
Keterkaitan antara UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dengan UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
1. Pasal 2 UU No. 39 tahun 2014 mengamanatkan penyelenggaraan perkebunan
berdasarkan asas: kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan,
keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, efisiensi-berkeadilan, kearifan lokal,
dan kelestarian fungsi lingkungan hidup secara prinsip sejalan dengan adanya
kewajiban penyelenggaraan penyuluhan berasaskan demokrasi, manfaat,
kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerja sama, partisipatif,
kemitraan, berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung jawab
yang dimuat dalam UU No. 16 tahun 2006 Pasal 2.
2. Pengembangan sumber daya manusia perkebunan dilaksanakan melalui
pendidikan dan pelatihan, penyuluhan, dan/atau metode pengembangan
lainnya dengan tujuan meningkatkan pengetahuan, keterampilan,
Page 76
67
profesionalisme, kemandirian, dan dedikasi dalam Pasal 88 UU No. 39 tahun
2014 sinkron dengan Pasal 5 dan Pasal 27 UU No 16 tahun 2006 yang
mengarahkan pentingnya pengembangan sumber daya manusia melalui
penyuluhan dengan materi yang disesuaikan dengan sasaran utama dan
beragam aspek yang lengkap.
3. Penyelenggaraan perkebunan dilaksanakan dengan melibatkan peran serta
masyarakat khususnya pelaku usaha perkebunan yang diatur dalam UU No.
39 tahun 2013 Pasal 100 sinergis dengan Pasal 6 dan Pasal 26 UU No. 16
tahun 2006 yang menetapkan bahwa kebijakan penyuluhan dapat
dilaksanakan oleh pelaku utama dan/atau warga masyarakat sebagai mitra
pemerintah dengan menggunakan pendekatan.
Keterkaitan antara UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dengan UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
1. Penyelenggaraan perkebunan berdasarkan asas kedaulatan, kemandirian,
kebermanfaatan, keberlanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan,
efisiensi-berkeadilan, kearifan lokal, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup
yang ditekankan pada Pasal 2 UU No. 39 tahun 2014 sinkron dengan Pasal 2
UU No. 19 tahun 2013 yang menekankan bahwa perlindungan dan
pemberdayaan petani harus berasaskan pada kedaulatan, kemandirian,
kebermanfaatan, kebersamaan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi-
berkeadilan, dan keberlanjutan.
2. Pasal 6 UU No. 39 tahun 2014 yang mengharuskan perencanaan perkebunan
berdasarkan rencana tata ruang wilayah, daya dukung dan daya tampung
lingkungan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kondisi
ekonomi dan sosial budaya masyarakat sinkron dengan Pasal 5 UU No. 19
tahun 2013 yang mengharuskan perencanaan perlindungan dan
pemberdayaam petani juga dilakukan berdasarkan daya dukung sumber daya
alam dan lingkungan, rencana tata ruang wilayah, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kelembagaan dan budaya setempat.
3. Penetapan perencanaan perkebunan sebagai bagian integral dari perencanaan
pembangunan nasional, perencanaan pembangunan daerah, dan perencanaan
Page 77
68
pembangunan sektoral seperti dimuat pada Pasal 7 UU No. 39 tahun 2014
sinkron dengan Pasal 5 UU No. 19 tahun 2013 yang menyebutkan bahwa
perencanaan perlindungan dan pemberdayaan petani juha harus merupakan
bagian yang integral dari rencana pembangunan nasional, rencana
pembangunan daerah, rencana pembangunan pertanian, rencana anggaran
pendapatan dan belanja negara, dan rencana anggaran pendapatan dan
belanja daerah.
4. Pasal 14 UU No. 39 tahun 2014 memberi wewenang pemerintah pusat untuk
menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan
untuk usaha perkebunan dengan berbagai pertimbangan diantaranya
ketersediaan lahan yang sesuai secara agroklimat dan pemanfaatan lahan
berdasarkan fungsi ruang. Amanat di atas bersifat sinergi dengan Pasal 14 UU
No. 19 tahun 2013 Pasal 14 dan Pasal 55 yang memberi kewenangan kepada
pemerintah mengatur konsolidasi lahan dan memberikan jaminan ketersediaan
lahan Pertanian.
5. Pembatasan luasan dan waktu pengusahaan luas hak dan tanah perkebunan
yang ditetapkan pada Pasal 16 UU No. 39 tahun 2014 bersifat mendukung UU
No. 19 tahun 2013 Pasal 55 dan Pasal 56 yang mengatur konsolidasi lahan
berupa penataan kembali penggunaan dan pemanfaatan lahan, menjamin
luasan lahan pertanian bagi agar mencapai tingkat kehidupan yang layak,
pengendalian alih fungsi lahan pertanian dan pemanfaatan lahan terlantar
6. Pengaturan kewajiban pelaku usaha perkebuan untuk melaporkan adanya
serangan organisme pengganggu tumbuhan pada tanamannya kepada pejabat
berwenang seperti yang diamanatkan pada Pasal 34 UU No. 39 tahun 2014
berkaitan tidak langsung dengan kewajiban pemerintah memberikan bantuan
kepada petani sebagai ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa seperti
disebutkan pada Pasal 7 UU No. 19 tahun 2013.
7. Kebijakan tentang integrasi budi daya perkebunan dengan pengolahan hasil
atau budi daya ternak dan/atau dilaksanakan diversifikasi berupa agrowisata
dan/atau usaha lainnya sebagai usaha pokok yang diatur pada Pasal 44 UU
No. 39 tahun 2014 sejalan dengan kebijakan petani melakukan kemitraan
Page 78
69
usaha dengan pelaku usaha dalam pemasaran hasil Pertanian seperti yang
dimuat dalam UU No. 19 tahun 2013 pasal 49.
8. Pentingnya pemberdayaan petani dengan berbagai fasilitasi dan metoda yang
ditekankan pada UU No. 39 tahun 2014 Pasal 51 sejalan dengan UU No. 19
tahun 2013 Pasal 7 yang menetapkan bahwa strategi pemberdayaan petani
melalui diklat, penyuluhan dan fasilitasi dan pendampinga. Pemberdayaan
seperti dimaksud bersifat mendukung pelaksanaan kemitraan seperti yang
ditetapkan pada Pasal 59.
9. UU No. 39 tahun 2014 Pasal 71 mengamanatkan bahwa pemerintah wajib
menciptakan kondisi yang menghasilkan harga komoditas yang
menguntungkan petani dan pelaku usaha. Amanat ini sejalan dengan UU No.
19 tahun 2013 Pasal 25 yang juga mewajibkan pemerintah untuk menciptakan
kondisi yang menghasilkan harga komoditas pertanian yang menguntungkan
bagi petani.
10. Fungsi pemerintah dalam hal pemasaran diantaranya memfasilitasi kerja sama
antar asosiasi dan menyelenggarakan informasi pasar dan promosiyang
diamanatkan dalam Pasal 74 UU No. 39 tahun 2014 sinkron dengan UU No. 19
tahun 2013 Pasal 54 yang menugaskan pemerintah menyelenggarakan
promosi dan sosialisasi pentingnya mengonsumsi Komoditas Pertanian dalam
negeri.
11. Pengembangan sumber daya manusia perkebunan melalui diklat,penyuluhan,
dan/atau metode pengembangan lainnya sesuai dengan Pasal 88 UU No. 39
tahun 2014 sinergi dengan Pasal 42 dan 43 UU No. 19 tahun 2013 yang
mewajibkan pemerintah meningkatkan keahlian dan keterampilan petani
melalui diklat berkelanjutan yang memuat materi yang sesuai (Pasal 46 dan
47).
3.4.3. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan
Keterkaitan UU Perkebunan dengan Renstra
1. Secara keseluruhan tujuan, strategi dan strategi utama rencana strategi
Kementan memiliki landasan hukum yang kuat pada UU No. 39/2014 terkait
Perkebunan, kecuali akuntabilitas kinerja aparatur negara yang baik. Tujuan ini
Page 79
70
tidak tertuang secara eksplisit dalam UU dimaksud. Keterkaitan ini
menunjukkan bahwa penyusunan program pembangunan subsektor
Perkebunan yang mengacu pada rencana strategis Kementan seharusnya
sudah merepresentasikan dasar pelaksanaan program terhadap UU yang ada.
2. Pembangunan Perkebunan bertujuan: (1) Meningkatkan ketersediaan dan
diversifikasi untuk mewujudkan kedaulatan pangan; (2) Meningkatkan nilai
tambah dan daya saing produk pangan dan pertanian; (3) Meningkatkan
ketersediaan bahan baku bioindustri dan bio energi;dan (4) Meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan petani, sinkron dengan UU No 39/2014 yang
mengamanatkan penyelenggaraan Perkebunan harus berasaskan kedaulatan,
kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan, keterpaduan, kebersamaan,
keterbukaan, efisiensi-berkeadilan, kearifan lokal, dan kelestarian fungsi
lingkungan hidup (Pasal 2), penekanan pentingnya pentingnya penanganan
panen dan pasca panen yang didukung litbang Perkebunan dalam rangka
menghasilkan iptek untuk pengembangan usaha perkebunan agar memberi
nilai tambah, daya saing dan peduli lingkungan (Pasal 72 dan 81),
pemberdayaan usaha perkebunan yang produksinya mengutamakan
pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan bahan baku industri (Pasal 51).
Tujuan penyelenggaraan Perkebunan pada akhirnya untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat (Pasal 3).
3. Sasaran strategi pembangunan pertanian dalam Renstra meliputi: (a)
Pencapaian swasembada padi, jagung dan kedelai serta peningkatan produksi
daging dan gula; (b) Peningkatan diversifikasi pangan; (c) Peningkatan
komoditas bernilai tambah dan berdaya saing untuk memenuhi pasar ekspor
dan subsidi impor, (d) Penyediaan bahan baku bioindustri dan bioenergi; (e)
Peningkatan pendapatan keluarga petani, serta (f) Akuntabilitas kinerja
aparatur pemerintah yang baik mempunyai keterkaitan langsung dengan
amanat UU No. 39/2014 yang terkandung pada Pasal 51 khususnya
pemberdayaan usaha perkebunan yang mengutamakan pemanfaatan hasil
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri,
pentingnya litbang untuk meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan usaha
ramah lingkungan (Pasal 82), tujuan perkebunan untuk meningkatkan dan
Page 80
71
memenuhi kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri dalam negeri (Pasal
3), termasuk tujuan penyelenggaraan perkebunan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, penyediaan lapangan kerja dan produksi,
produktivitas, nilai tambah, daya saing dan pangsa pasar.
4. Strategi utama pencapaian tujuan pembangunan pertanian yang dituangkan
dalam Renstra meliputi: (a) Peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan lahan;
(b) Peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian; (c) Pengembangan dan
perluasan logistik benih/bibit; (d) Penguatan kelembagaan; (e) Pengembangan
dan penguatan pembiayaan; (f) pengembangan dan penguatan bioindustri dan
bioenergi serta (g) penguatan jaringan pasar terkait langsung dengan UU No.
30/2014 khususnya Pasal 11 terkait pengaturan perubahan status kawasan
hutan negara atau tanah terlantar, Pasal 69 mengenai kewajiban Perusahaan
Perkebunan membangun sarana prasarana yang memenuhi standar di
kawasan perkebunan, Pasal 22 yang mengamanatkan pemerintah untuk
memfasilitasi pengayaan sumber daya genetik serta kemudahan dalam
perizinan dan penggunaan fasilitas milik pemerintah maupun Pasal 26 yang
menekankan perolehan benih bermutu melalui penemuan varietas unggul dan
introduksidari luar negeri, serta pemberdayaan usaha perkebunan dengan
memfasilitasi akses penyebaran informasi penggunaan benih unggul.
Penguatan kelembagaan berlandaskan Pasal 51 sekaligus memfasilitasi
jaringan kemitraan antar pelaku usaha perkebunan dan sumber pembiayaan,
pengutamaan produksi untuk kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri
dalam negeri. Sementara itu UU ini juga mengamanatkan kepada pemerintah
untuk memfasilitasi jaringan kemitraan (Pasal 51) maupun fasilitasi kerjasama
pelaku usaha perkebunan, assosiasi pemasaran serta menyelenggarakan
informasi pasar, promosi, dan menumbuhkembangkan pusat pemasaran baik
di dalam maupun di luar negeri (Pasal 76).
5. Strategi penunjang pencapaian tujuan Renstra Pertanian yang menekankan
pentingnya penguatan dan peningkatan kapasitas SDM pertanian serta
peningkatan dukungan perkarantinanaan merupakan ejawantah dari isi UU No.
39/2014 terutama pada Pasal 51 mengenai kewenangan pemerintah untuk
menyelenggarakan pemberdayaan usaha perkebunan melalui diklat SDM
Page 81
72
Perkebunan dan Pasal 24 yang mengamanatkan kewenangan pemerintah
menetapkan izin bagi tanaman perkebunan yang keluar maupun masuk
wilayah NKRI serta menetapkan standar mutu atau persyaratan teknis
minimal. Keterkaitan UU No. 39/2014 dengan Renstra dapat dilihat pada Tabel
4.4.1a (Lampiran).
UU Perkebunan dengan Program Kementan
1. UU No. 39/2014 Pasal 26 dan Pasal 27 mengamanatkan pentingnya perolehan
varietas unggul dan benih bermutu untuk pengembangan budi daya tanaman
perkebunan. Perolehan varietas unggul dapat dilakukan melalui pemuliaan
tanaman atau introduksi dari luar negeri. Kedua pasal ini merupakan landasan
yang kuat dalam rangka pengembangan tanaman perkebunan yang dirancang
Kementan melalui program pengembangan tanaman tahunan dan penyegar,
maupun tanaman semusim dan rempah.
2. 4dengan isi UU No. 39/2014 Pasal 39 yang menyebutkan bahwa usaha
perkebunan dapat dilakukan di seluruh NKRI oleh pelaku isaha dalam negeri
atau penanam modal asing yang bekerjasama dengan pelaku usaha
perkebunan dalam negeri dengan membentuk badan hukum Indonesia.
Program pengembangan tanaman perkebunan melalui perluasan areal
memerlukan dukungan kemudahan dan keamanan berinvestasi.
3. Undang-undang Perkebunan melakukan pembatasan luas lahan minimum
untuk perkebunan dengan alasan efisiensi usaha. Oleh karena itu umumnya
perkebunan terdapat dalam satu hamparan lahan yang relatif luas. Serangan
organisme pengganggu, bencana alam, kebakaran, maupun ekses konflik yang
terjadi pada satu areal perkebunan rentan menyebar ke areal lain sebagai
penyebab turunnya luas areal. Pasal 34 dan 37 UU No. 39/2014 mengatur
perlindungan perkebunan: (1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang memiliki
atau menguasai Tanaman Perkebunan harus melaporkan adanya serangan
organisme pengganggu tumbuhan pada tanamannya kepada pejabat yang
berwenang dan yang bersangkutan harus mengendalikannya; (2) Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat
melakukan atau memerintahkan dilakukannya eradikasi terhadap tanaman
Page 82
73
dan/atau benda lain yang menyebabkan tersebarnya organisme penggangu
tumbuhan. Meski demikian UU ini tidak mengatur pengawasan perlindungan
tanaman secara spesifik. Pekebun atau perusahaan perkebunan diharapkan
kesadarannya untuk melaporkan apabila terjadi serangan, kebakaran, atau
bencana lain tanpa mengatur sanksi yang diberlakukan apabila tidak
dilaporkan kasus tersebut kepada pejabat yang berwenang.
4. Kecuali perlindungan tanaman perkebunan dari serangan organisme
pengganggu, program perlindungan tanaman dari kebakaran, bencana alam,
dampak perubahan iklim maupun konflik perkebunan tidak ditemukan
pendukung dari undang-undang yang ada. Mengingat banyaknya kasus
kebakaran, konflik, maupun bencana alam yang menyebabkan penurunan luas
lahan perkebunan dan kerawanan sosial lain, perlu menambahkan pengaturan
tentang hal ini dalam undang-undang,
5. Peningkatan produksi dan produktivitas tanaman perkebunan sangat
ditentukan oleh mutu benih yang digunakan. UU No. 39/2014 mengatur
dengan tegas pentingnya pengujian dan pengawasan mutu benih. Pasal 31
menyebutkan: Varietas yang telah dilepas atau diluncurkan dapat diproduksi
dan diedarkan, namun sebelum diedarkan harus dilakukan sertifikasi dan diberi
label. Di tingkat operasional, program dukungan pengujian dan pengawasan
benih termasuk penelitian dan pemuliaannya mendapat support yang tinggi
dari pemerintah, namun untuk beberapa komoditas sulit diakses oleh
konsumen/petani perkebunan rakyat karena dianggap mahal sehingga masih
banyak pekebun yang menanam tanaman perkebunan menggunakan bibit
yang tidak disertifikasi.
6. Persoalan yang cukup serius saat ini dalam perkebunan Indonesia khususnya
kelapa sawit adalah masalah replanting. Sekalipun tersedia bibit yang baik dari
hasil penelitian dan pemuliaan yang diinisiasi pemerintah, namun kurang
didukung oleh pembiayaan perkebunan, sehingga pekebun rakyat cenderung
membiarkan tanaman tuanya tetap berproduksi karena tidak mampu membeli
dan membiayai proses produksi.
7. UU No. 39/2014 sama sekali tidak ada mengatur tentang penyiapan teknologi
proteksi tanaman perkebunan, namun Kementan memandang hal ini perlu
Page 83
74
diprogramkan Dengan kata lain program penyiapan teknologi proteksi yang
dirancang dalam program Kementan tidak didukung dengan legalitas undang-
undang yang jelas.
8. Menurut UU No. 39/2014, pengolahan dan pemasaran hasil tanaman
perkebunan perlu dilakukan secara terpadu dengan proses usaha budi daya
(Pasal 73) karena ada keterkaitan yang kuat dan saling mempengaruhi dalam
menentukan kontinuitas dan kualitas produksi. Oleh karena itu Pasal 45
tentang usaha perkebunan mengatur persyaratan ijin usaha budi daya dan
usaha pengolahan sekaligus. Usaha pengolahan hasil perkebunan harus
memenuhi sekurang-kurangnya 20% dari keseluruhan bahan baku yang
dibutuhkan berasal dari kebun yang diusahakan sendiri. Pengaturan
pengolahan dan pemasaran yang diatur memuat unsur-unsur pentingnya
kemitraan agar pengembangan perkebunan bisa memberi nilai tambah bagi
produsen maupun pengolah tanaman perkebunan.
9. Program dukungan perbenihan tanaman perkebunan yang dirancang
Kementan dalam rangka penyediaan benih yang memadai secara kualitas
maupun kuantitas merupakan program yang dilandasi pada UU No. 39 secara
komprehensip di beberapa pasal yaitu Pasal 22, Pasal 26 maupun 27 yang
menyebutkan: (1) Pemerintah pusat memfasilitasi pengayaan sumber daya
genetik tanaman perkebunan melaui berbagai metode dan introduksi,
kemudahan perizinan dan penggunaan fasilitas penelitian; (2) Perolehan benih
bermutu untuk pengembangan budi daya dilakukan melalui kegiatan
penemuan varietas unggul dan atau introduksi dari luar negeri; dan (3)
Penemuan varietas unggul dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman.
Secara detail keterkaitan UU No. 39/201 dengan Renstra dan Program
Kementan dapat dilihat pada Tabel 4.4.1b (Lampiran)
Page 84
75
3.5. Undang-Undang No. 18/2009 dan Undang-Undang No. 41/2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
3.5.1. Pokok-pokok amanat undang-undang
Pesan utama UU ini adalah:
1. Karena pakan merupakan biaya produksi terbesar pada usaha peternakan,
sementara usaha peternakan umumnya bersifat land base, sedangkan
ketersediaan padang penggembalaan umum status hukumnya tidak jelas dan
keberadaannya semakin berkurang, maka usaha peternakan dikembangkan
dengan pola integrasi dengan budi daya tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, perikanan, kehutanan, atau bidang lainnya yang terkait.
2. Penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan berasaskan kerakyatan
dan keadilan, keterbukaan dan keterpaduan, kemandirian, kemitraan, dan
keprofesionalan, serta berkelanjutan untuk kesejahteraan peternak dan
masyarakat.
3. Penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan melibatkan negara
dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, atau
pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Sumber Daya
4. Budi daya peternakan membutuhkan penyediaan lahan dan dimasukkan ke
dalam tata ruang wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Selain dilakukan secara terintegrasi, kawasan penggembalaan
umum yang ada harus dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara
berkelanjutan.Pemerintah daerah kabupaten/kota yang di daerahnya
mempunyai persediaan lahan yang memungkinkan dan memprioritaskan budi
daya ternak skala kecil diwajibkan menetapkan lahan sebagai kawasan
penggembalaan umum.
5. Air yang dipergunakan untuk kepentingan peternakan dan kesehatan hewan
harus memenuhi persyaratan baku mutu air sesuai dengan peruntukannya.
Apabila ketersediaan air terbatas pada suatu waktu dan kawasan, kebutuhan
air untuk hewan perlu diprioritaskan setelah kebutuhan masyarakat terpenuhi.
Page 85
76
6. Penyediaan dan pengembangan benih, bibit, dan/atau bakalan dilakukan
dengan mengutamakan produksi dalam negeri dan kemampuan ekonomi
kerakyatan. Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan oleh
masyarakat belum berkembang, Pemerintah membentuk unit pembenihan
dan/atau pembibitan.
7. Dalam keadaan tertentu pemasukan benih dan/atau bibit dari luar negeri
dapat dilakukan. Setiap orang yang melakukan pemasukan benih wajib
memperoleh izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan perdagangan
setelah mendapat rekomendasi dari Menteri.
8. Aplikasi bioteknologi modern dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan
dengan kaidah agama dan tidak merugikan keanekaragaman hayati;
kesehatan manusia, lingkungan, dan masyarakat; serta kesejahteraan hewan.
9. Pengadaan dan penggunaan pakan dan/atau bahan pakan yang berasal dari
organism transgenik harus memenuhi persyaratan keamanan hayati.
Budi Daya
10. Pengembangan budi daya dapat dilakukan dalam suatu kawasan budi daya
sesuai dengan ketentuan tata ruang.
11. Pemerintah dan pemerintah daerahmembina, memfasilitasi, dan
mengupayakan agar sebanyak mungkin warga masyarakat menyelenggarakan
budi daya ternak.
12. Peternak dapat melakukan kemitraan usaha di bidang budi daya ternak
berdasarkan perjanjian yang saling memerlukan, memperkuat, dan
menguntungkan serta berkeadilan.
Panen, Pascapanen, dan Pemasaran
13. Pelaksanaan panen hasil budi daya harus mengikuti syarat kesehatan hewan,
keamanan hayati, dan kaidah agama, etika, serta estetika.
14. Pengeluaran Hewan atau Ternak dan Produk Hewan dari wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan apabila produksi
dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi
masyarakat.
Page 86
77
15. Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan apabila produksi dan pasokan
Ternak dan Produk Hewan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan
konsumsi masyarakat.
Kesehatan Hewan
16. Urusan kesehatan hewan dilakukan dengan pendekatan pemeliharaan,
peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang
dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
17. Pencegahan Penyakit Hewan bertujuan untukmelindungi wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman masuknya penyakit Hewan dari
luar negeri; menyebarnya penyakit Hewan dari luar negeri, dari satu pulau ke
pulau lain, dan antardaerah dalam satu pulau di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia; dan melindungi Hewan dari ancaman muncul,
berjangkit, dan menyebarnya penyakit Hewan; dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner
18. Dalam rangka menjamin produk Hewan asal dalam dan luar negeri yang
aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang dipersyiratkan, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban
melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi,
dan registrasi produk Hewan.
19. Pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus dilakukan di rumah
potong; dan mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah agama dan
unsur kepercayaan yang dianut masyarakat, kaidah kesehatan masyarakat
veteriner dan kesejahteraan hewan, kecualikan bagi pemotongan untuk
kepentingan hari besar keagamaan, upacara adat, dan pemotongan darurat.
20. Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib
menyelenggarakan penjaminan higiene dan sanitasi dengan melakukan:
pengawasan, inspeksi, dan audit terhadap tempat produksi, rumah
pemotongan hewan, tempat pemerahan, tempat penyimpanan, tempat
Page 87
78
pengolahan, dan tempat penjualan atau penjajaan serta alat dan mesin produk
hewan; surveilans terhadap residu obat hewan, cemaran mikroba, dan/atau
cemaran kimia; dan pembinaan terhadap orang yang terlibat secara langsung
dengan aktivitas tersebut.
Kesejahteraan Hewan
21. Penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan tetap memperhatikan
kesejahteraan hewan sejak dari tindakan yang berkaitan dengan penangkapan
dan penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan
perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan
dan pengayoman yang wajar terhadap hewan.
Pemberdayaan Peternak
22. Pemberdayaan peternak dilakukan dengan memberikan kemudahan bagi
kemajuan usaha di bidang peternakan dan kesehatan hewan serta
peningkatan daya saing, meliputi: pengaksesan sumber pembiayaan,
permodalan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta informasi; pelayanan
peternakan, pelayanan kesehatan hewan, dan bantuan teknik; penghindaran
pengenaan biaya yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi; pembinaan
kemitraan dalam meningkatkan sinergi antarpelaku usaha; penciptaan iklim
usaha yang kondusif dan/atau meningkatan kewirausahaan; pengutamaan
pemanfaatan sumber daya peternakan dan kesehatan hewan dalam negeri;
pemfasilitasan terbentuknya kawasan pengembangan usaha peternakan;
pemfasilitasan pelaksanaan promosi dan pemasaran; dan/atau perlindungan
harga dan produk hewan dari luar negeri.
Pengembangan SDM
23. Sumber daya manusia di bidang peternakan dan kesehatan hewan meliputi
aparat Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku usaha, dan semua pihak yang
terkait dengan bidang peternakan dan kesehatan hewan. Sumber daya
manusia dimaksud perlu ditingkatkan dan dikembangkan kualitasnya untuk
Page 88
79
lebih meningkatkan keterampilan, keprofesionalan, kemandirian, dedikasi, dan
akhlak mulia.
Penelitian dan Pengembangan
24. Penelitian dan pengembangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan
dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, institusi pendidikan,
perorangan, lembaga swadaya masyarakat, atau dunia usaha, baik secara
sendiri-sendiri maupun bekerja sama.
25. Perorangan warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang melakukan
penelitian dan pengembangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan
wajib mendapatkan izin terlebih dahulu dari instansi pemerintah yang
berwenang di bidang penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta harus bekerja sama dengan peneliti atau
lembaga penelitian dalam negeri.
3.5.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain
Keterkaitan antara UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan UU No. 41/2014 dengan UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan
1. Keterkaitan antara UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
dan UU No. 41/2014 dengan UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Berkelanjutan hanya pada aspek Penetapan Kawasan,
Pengembangan dan Pemberdayaan. Pada Aspek Penetapan Kawasan, Pasal 4
UU PKH menyebutkan bahwa Pemerintah daerah kabupaten/kota yang di
daerahnya mempunyai persediaan lahan yang memungkinkan dan
memprioritaskan budi daya ternak skala kecil diwajibkan menetapkan lahan
sebagai kawasan penggembalaan umum. Hal ini sejelan dengan UU
Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan Pasal 23/ayat 1,2,3,4. Penetapan
Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nasional/Provinsi/kabupaten diatur
dalam Peraturan Pemerintah/Pemda mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah.
2. Pada aspek Budi daya Pasal 30 disebutkan Budi daya hanya dapat
diselenggarakan oleh perorangan warga negara Indonesia atau korporasi, baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum Indonesia, dan
Page 89
80
Warga negara atau badan hukum Indonesia dapat melakukan kerja sama
dengan pihak asing sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang
penanaman modal dan yang terkait lainnya. Hal ini sejalan dengan UU Lahan
Pertanian Berkelanjutan pada Aspek Pengembangan Pasal 27/ayat 1, 2, 3.
Pengembangan terhadap Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan meliputi intensifikasi dan ekstensifikasi lahan,
dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan korporasi yang
berbentuk koperasi dan/atau perusahaan inti plasma dengan mayoritas
sahamnya dikuasai oleh warga negara Indonesia.
3. Pada Aspek pemberdayaan, Pasal 76 menyebutkan Pemberdayaan peternak,
usaha di bidang peternakan, dan usaha di bidang kesehatan hewan dilakukan
dengan memberikan kemudahan bagi kemajuan usaha di bidang peternakan
dan kesehatan hewan serta peningkatan daya saing. Kemudahan dimaksud
meliputi: a. pengaksesan sumber pembiayaan, permodalan, ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta informasi;b. pelayanan peternakan, pelayanan keswan,
dan bantuan teknik; c. penghindaran pengenaan biaya yang menimbulkan
ekonomi biaya tinggi; d. pembinaan kemitraan dalam meningkatkan sinergi
antarpelaku usaha; e. penciptaan iklim usaha yang kondusif dan/atau
meningkatan kewirausahaan; f. pengutamaan pemanfaatan sumber daya
peternakan dan kesehatan hewan dalam negeri; g. pemfasilitasan
terbentuknya kawasan pengembangan usaha peternakan; h. pemfasilitasan
pelaksanaan promosi dan pemasaran; dan/atau i. perlindungan harga dan
produk hewan dari luar negeri. Pemerintah dan pemerintah daerah bersama
pemangku kepentingan di bidang peternakan dan kesehatan hewan melakukan
pemberdayaan peternak guna meningkatkan kesejahteraan peternak. Hal ini
sejalan dengan UU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan Pasal 63.
Pemberdayaan petani meliputi: (a) penguatan kelembagaan petani; (b)
penyuluhan dan pelatihan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia;
(c) pemberian fasilitas sumber pembiayaan/permodalan; (d) pemberian
bantuan kredit kepemilikan lahan pertanian; (e) pembentukan Bank Bagi
Petani; (f) pemberian fasilitas pendidikan dan kesehatan rumah tangga petani;
Page 90
81
dan/atau (g) pemberian fasilitas untuk mengakses ilmu pengetahuan,
teknologi, dan informasi
4. Pada Aspek Perlindungan, Pasal 77 menyebutkan Pemerintah dan pemerintah
daerah melindungi peternak dari perbuatan yang mengandung unsur
pemerasan oleh pihak lain untuk memperoleh pendapatan yang layak.
Pemerintah dan pemerintah daerah mencegah penyalahgunaan kebijakan di
bidang permodalan dan/atau fiskal yang ditujukan untuk pemberdayaan
peternak, perusahaan peternakan,dan usaha kesehatan hewan. Pemerintah
dan pemerintah daerah mencegah penyelenggaraan kemitraan usaha di
bidang peternakan dan kesehatan hewan yang menyebabkan terjadinya
eksploitasi yang merugikan peternak dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan
UU Perindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan Pasal Pasal 61. Perlindungan
petani berupa pemberian jaminan: (a) harga komoditas pangan pokok yang
menguntungkan; (b) memperoleh sarana produksi dan prasarana pertanian;
(c) pemasaran hasil pertanian pangan pokok; (d) pengutamaan hasil pertanian
pangan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional; dan/atau
(e) ganti rugi akibat gagal panen (Pasal 62/ayat 1). Perlindungan sosial bagi
petani kecil merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem jaminan
sosial nasional yang diatur dalam peraturan perundangundangan (Pasal
62/ayat 2).
Keterkaitan UU No. 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan
1. Secara umum UU No. 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan
lebih bersifat melindungi sumber daya lokal dari kepunahan akibat gangguan
penyakit tanaman dan hewan baik yang berasal dari luar negeri, maupun antar
daerah di dalam negeri.
2. UU Komoditas tidak banyak mengatur tentang karantina, semuanya sudah
diatur dalam UU Karantina baik untuk tanaman maupun hewan. Hanya pada
UU Peternakan dan Kesehatan Hewan yang masih menjelaskan hal-hal yang
terkait dengan karantina.
Page 91
82
3. Sebaiknya pengetahuan tentang karantina tidak hanya diketahui oleh petugas,
tetapi lebih disosialisasikan kepada pedagang pengimpor, pengekspor, antar
pulau, bahkan hingga ke produsen termasuk petani. Sesuai amanan UU No.
16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, Pasal 28:
Pemerintah bertanggung jawab membina kesadaran masyarakat dalam
perkarantinaan hewan dan tumbuhan.
4. Negara Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan sangat berisiko
kemasukan media baik yang melalui jalur legal dan illegal yang dapat
memasukkan penyakit dan organism pengganggu. Di samping itu, liberalisai
perdagangan yang semakin meningkat tanpa pengendalian dapat
memperbesar peluang masuknya penyakit hewan dan ternak dan organisme
pengganggu tanaman. Oleh karena itu, unsur kekarantinaan perlu ditingkatkan
baik dari jumlah personil. Pos penjagaan dan Balai serta fasilitas dan perlatan
dan manajemen karantina yang baik.
5. Pada UU No. 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, Pasal
14: Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina
dilakukan penahanan apabila setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, ternyata persyaratan karantina atau pemasukan ke
dalam atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik
Indonesia belum seluruhnya dipenuhi. Pemerintah menetapkan batas waktu
pemenuhan persyaratan. Kegiatan pada Pasal 14 ini berlaku untuk antar
wilayah dan antar negara. Diperlukan teknologi dengan analisis risiko untuk
antar wilayah sehingga waktu karantina tidak terlalu lama yang menyebabkan
naiknya biaya sehingga mempengaruhi harga dan daya saing media pembawa
hama dan penyakit di daerah tujuan.
3.5.3. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan
Keterkaitan UU No. 16/1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan kaitannya dengan Rencana Kerja Kementan Tahun 2016
1. Program Pemenuhan Pangan Asal Ternak dan Agribisnis Peternakan Rakyat,
salah satu kegiatannya adalah Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit
Page 92
83
Hewan. Hal ini sejalan dengan Pasal 3 UU No. 16/1992, tentang Karantina,
yaitu: karantina hewan, ikan dan tumbuhan bertujuan mencegah masuknya
hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, dan
organisme pengganggu tumbuhan karantina dari: (a) luar negeri ke dalam
wilayah negara RI; (b) dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara
RI; (c) ke luar wilayah negara RI. Pada UU Perkebunan, Hortikultura dan
Pangan, masalah ini tidak dibahas secara eksplisit. Hal ini mungkin saja sub
sektor lain beranggapan semua hal tersebut sudah diatur dalam UU Karantina.
2. Program Penyediaan dan Pengembangan Prasarana dan Sarana Pertanian,
salah satu program dan kegiatannya adalah Fasilitasi Pupuk dan Pestisida,
termasuk pupuk organik. Distribusi pupuk organik tanpa melalui proses
fermentasi masih terdapat mikroba-mikroba yang dapat menurlakan penyakit
zoonosis, seperti saat terjadi Kasus Luar Biasa Flu Burung. Oleh karena itu
perlu pengaturan distribusi pupuk organik sehingga tidak menjadi media
penyebaran penyakit hewan/ternak.
3. Pasal 30 UU Karantina menyatakan: “Penyidik pejabat pegawai negeri sipil
lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan karantina hewan,
ikan, dan tumbuhan, dapat pula diberi wewenang khusus sebagai penyidik”.
Pelatihan dasar kegiatan tersebut dapat dilakukan di lingkup Kementan dan
bekerja sama dengan penegak hukum terkait.
4. Pasal 28 menyebutkan bahwa Pemerintah bertanggung jawab membina
kesadaran masyarakat dalam perkarantinaan hewan, ikan, dan tumbuhan.
Pembinaan tersebut dapat dilakukan oleh tenaga penyuluh, tapi dalam
prakteknya substansi karantina belum masuk materi penyuluhan. Padahal
untuk kasus perdagangan ternak/hewan antar pulau di dalam wilayah negara
RI, diperlukan pengetahuan peternak dan masyarakat tentang pentingnya
kegiatan karantina, terutama untuk menghindari penyakit yang sifatnya
zoonosis.
5. Pasal 23, Dalam hal ditemukan atau terdapat petunjuk terjadinya serangan
suatu hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina,
atau organisme pengganggu tumbuhan karantina di suatu kawasan yang
semula diketahui bebas dari hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
Page 93
84
penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina,
Pemerintah dapat menetapkan kawasan yang bersangkutan untuk sementara
waktu sebagai kawasan karantina. Keputusan ini diambil dalam waktu singkat
sesuai hasil observasi, sehingga penyakit tersebut tidak segera menyebar ke
banyak wilayah. Disini perlu kemampuan deteksi dini dan deteksi risiko yang
baik. Untuk itu, pihak karantina perlu dukungan fasilitas laboratorium yang
mutakhir.
6. Pasal 26 menyebutkan “Pemerintah menetapkan tempat-tempat pemasukan
dan pengeluaran media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama
dan penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan
karantina”. Penetapan tersebut sebaiknya dipublikasi sehingga diketahui oleh
berbagai instansi dan masyarakat luas untuk memudahkan melakukan
pencegahan penyebaran penyakit menjadi lebih luas dan jika pelanggaran
oleh pihak tertentu dapat diketahui oleh masyarakat. Disamping itu, dengan
telah ditetapkannya tempat pemasukan dan pengeluaran hewan, ikan,
tumbuhan karantina maka pihak-pihak terkait yang melakukan perdagangan
antar wilayah dalam/luar negeri mengetahui kondisi wilayah asal, terutama
terkait aspek penyakit dan OPT. Kasus ditahannya jagung dari Argentina di
pelabuhan impor Indonesia akibat masalah karantina, disebabkan tidak
terbukanya informasi antar negara sehingga menimbulkan kerugian ekonomi
yang besar jika barang yang diperdagangkan harus dimusnahkan atau
direekspor.
7. Untuk mendukung manajemen dan teknis lainnya pada Barantan, Pasal 30 UU
16/1992 tentang Karantina, diamanahkan bahwa pejabat pegawai negeri sipil
tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya meliputi pembinaan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan, dapat
pula diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di bidang karantina. Amanah tersebut dimaksudkan untuk
menyediakan SDM aparatur karantina yang kompeten dan professional,
terkelolanya anggaran secara optimal (WTP) dan terwujudnya good
governance dan clean government.
Page 94
85
8. Untuk menjalankan tugasnya, sesuai amanah UU No. 16/1992 tentang
Karantina, pada Pasal 10 dan Pasal 12 yang terkait dengan kegiatan
pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakukan, dan penahan terkait
dengan upaya mendeteksi segala jenis penyakit dan organisme pengganggu
yang membahayakan diperlukan program dan kegiatan peningkatan kualitas
penyelenggaraan laboratorium, uji standar dan uji terap teknik dan metode
karantina pertanian yang didukung fasilitas yang mutahir.
9. Untuk mencapai tujuan karantina sesuai Pasal 3 UU No. 16/1992 tentang
karantina, Barantan memerlukan kekuatan kelembagaan yang didukung
aparat yang professional untuk menjaga kawasan karantina pada segala pintu
masuk di wilayah negara RI yang cukup luas dan terdiri dari 17 ribu pulau.
10. Pasal 5, 6 dan 7 mewajibkan setiap media pembawa hama dan penyakit
hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina yang dimasukkan ke dalam wilayah negara
Republik Indonesia, yang dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di
dalam wilayah negara Republik Indonesia, atau yang akan dikeluarkan dari
wilayah negara Republik Indonesia wajib melalui tempat-tempat pemasukan
dan pengeluaran yang telah ditetapkan serta dilaporkan dan diserahkan
kepada petugas karantina untuk keperluan tindakan karantina. Untuk itu,
Pasal 20 mengamanahkan tindakan karantina yang dilakukan oleh petugas
karantina dapat dilakukan di tempat pemasukan dan/atau pengeluaran, baik
di dalam maupun di luar instalasi karantina. Dalam kasus tertentu, tindakan
karantina dapat dilakukan di luar tempat pemasukan dan/atau pengeluaran,
baik di dalam maupun di luar instalasi karantina. Kasus di lapangan, terjadi
konflik terkait wilayah kerja di luar tempat pemasukan dan pengeluaran
antara petugas karantina dan oknum tertentu dengan alasan bukan lagi
wilayah kerja karantina. Kondisi ini sebaiknya ditinjau ulang kembali agar
kerja karantina pertanian menjadi efektif.
Page 95
86
Keterkaitan UU No. 18/2009 diubah menjandi UU No. 41/2014 Tentang PKH dan Renja Kementan 2016
1. Pasal 2 UU No. 18/2009 sudah menjelaskan bahwa usaha peternakan dapat
diintegrasikan dengan budi daya komoditas pangan, hortikultura dan
perkebunan yang merupakan potensi untuk peningkatan populasi dan
produksi ternak dan daging di dalam negeri. Seharusnya hal ini disinergiskan
dengan subsektor lain termasuk sektor lain seperti BUMN yang mengurusi
usaha perkebunan negara (PTPN).
2. Komitmen pemerintah untuk mengembangkan program integrasi yang sudah
ada, misal sawit-sapi pergerakannya kurang perlu dilakukan sepenuh hati oleh
pemerintah baik lingkup Kementan, Kemndegari dan Kemen BUMN. Komitmen
ini sangat dinantikan oleh Pemda provinsi dan kabupaten/kota guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah dan meningkatkan
produksi pangan untuk mendukung ketahanan pangan. Oleh karena itu upaya
ini perlu terus dipertahankan, diintensifkan dan diekstensifkan.
3. Pengembangan pakan complete yang dikembangkan oleh Lolit Sapo Grati
Badan Litbang Pertanian, disarankan untuk dikembangkan pihak Dit Pakan
PKH. Pada tahap awal pengembangan industri pakan ini diberlakukan sebagai
infant industry, sehingga perlu terus didampingi hingga mencapai standar
mutu dan skala ekonomi baru kemudian diawasi sesuai aturan.
4. Upaya pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan dalam UU No.
18/2009 sudah dilakukan dengan baik dalam berbagai bentuk, dan
pelaksanaannya dilakukan bertahap, berjenjang antara pusat, provinsi dan
kabupaten/kota dengan tujuan: (a) melindungi wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dari ancaman masuknya penyakit Hewan dari luar negeri;
(b) menyebarnya penyakit Hewan dari luar negeri, dari satu pulau ke pulau
lain, dan antardaerah dalam satu pulau di dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia; dan (c) menyebarnya penyakit Hewan dari luar negeri,
dari satu pulau ke pulau lain, dan antardaerah dalam satu pulau di dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya ini merupakan prosedur
yang harus dipertahankan.
Page 96
87
5. Untuk meningkatkan populasi ternak dam produksi daging diperlukan basis
utama yaitu kemampuan memproduksi benih dengan harga relative murah.
Selama ini Indonesia masih kekurangan benih unggas dan sapi sehingga
harus impor. Padahal pemerintah dalam UU No. 18/2009, pada Pasal 13, 14,
15, 16 dan 18 mengamanahkan hal itu, sbb:
a. Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengembangan usaha
pembenihan dan/atau pembibitan dengan melibatkan peran serta
masyarakat untuk menjamin ketersediaan benih, bibit, dan/atau bakalan.
b. Pemerintah menetapkan kebijakan perbibitan nasional untuk mendorong
ketersediaan benih dan/atau bibit yang bersertifikat dan melakukan
pengawasan dalam pengadaan dan peredarannya secara berkelanjutan.
Pemerintah membina pembentukan wilayah sumber bibit pada wilayah
yang berpotensi menghasilkan suatu rumpun ternak dengan mutu dan
keragaman jenis yang tinggi untuk sifat produksi dan/atau reproduksi.
c. Dalam keadaan tertentu pemasukan benih dan/atau bibit dari luar negeri
dapat dilakukan untuk: meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; mengatasi kekurangan
benih atau bibit di dalam negeri; dan/atau memenuhi keperluan penelitian
dan pengembangan.
6. Walaupun program dan kegiatan ASUH pada Renja Kementan 2016 dan UU
No. 18/2009 sudah diamanahkan, namun dalam prakteknya masih sering
terjadi produk peternakan yang tidak ASUH, seperti ada campuran daging
celeng dan sapi, ada ayam formalin, ada ayam tiren (bangkai-mati kemarin),
daging yang sudah kadaluarsa, daging yang mengandung mikroba di atas
ambang batas dan tercemar residu lainnya. Untuk itu aspek ASUH ini perlu
ditingkatkan lagi bekerja sama dengan Kemendag dan Kemenperin serta
penegak hukum serta mengaktifkan PPNS pada berbagai lini.
7. Upaya di atas membutuhkan dana, pemikiran dan waktu, namun masih
dijumpai ketidaktuntasan di lapang. Pada kasus wilayah sumber bibit sapi di
Kebumen, Gunung Kidul dan Lombok Tengah yang sudah mampu
menghasilkan sapi bibit terpilih, tidak mampu dijaring pemerintah karena
belum tersedia pola penjaringan yang baik. Sebagian sapi terpilih tersebut
Page 97
88
dijual ke pedagang oleh peternak dengan alasan kebutuhan uang untuk
rumah tangga. Pada sisi lain pemerintah belum mampu penjaringnya, karena
sapi sudah dijual saat pedet umur 4-6 bulan. Hal ini perlu difikirkan agar kerja
selama ini tidak sia-sia.
8. Pada proses pemotongan hewan masih banyak dijumpai pemotongan di luar
RPH resmi yang diawasi yang perlu diselesaikan sehingga produk yang
dihasilkan dijamin ASUH. Pada RPH resmi juga ada kecenderungan
pemotongan melanggar kaidah agama sehingga tidak menentramkan batin
masyarakat. Penggunaan stuning gun harus diperjelas apakah diboleh
menurut syariat Islam. Cara penyembelihan yang terburu-buru dengan alasan
efisiensi mengabaikan syariah sebaiknya dihindari. Diperlukan evaluasi
menyeluruh tentang hal ini dan tindak lanjut penyempurnaannya melalui
program dan kegiatan pada Ditjen PKH dan satker di daerah dengan
melibatkan MUI.
9. Pada RenjaKementan 2016, khususnya di Ditjen PKH ada program dan
kegiatan “dukungan manajemen dan dukungan teknis lainnya”. Kelihatannya
kegiatan ini hanya memperhatikan unsur manajemen di tingkat pusat yaitu
Ditjen PKH. Padahal untuk mengoperasionalkan tugas dan fungsi Ditjen PKH
di daerah memerlukan kelembagaan yang membidangi fungsi peternakan.
Situasi saat ini ada kegiatan untuk menyatukan berbagai satker pertanian di
provinsi dan kabupaten/kota. Masalahnya adalah penyatuan tersebut lebih
bersifat generik, tanpa memperhatikan sumber daya dan karakteristik daerah.
Artinya pada provinsi dan kabupaten/kota yang memang potensial
peternakan, maka sebaiknya kelembagaan dinas peternakan kesehatan hewan
harus dipertahankan keberadaannya. Sebaliknya pada daerah lain yang
sumber daya perkebunan rakyatnya lebih banyak maka dinas perkebunan
dipertahankan keberadaannya. Jika tidak maka perhatian terhadap aspek
peternakan dan perkebunan cenderung dikurangi. Padahal untuk bidang
peternakan, selain peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan,
pengendalian penyakit hewan menular strategis dan zoonosis sangat perlu
diperhatikan karena terkait langsung dengan ekonomi regional dan kesehatan
masyarakat.
Page 98
89
10. Kegiatan pengembangan pengolahan dan pemasaran hasil ternak yang
disampaikan dalam Renja Kementan 2016 masih sangat sederhana
dibandingkan dengan amanah UU No. 18/2009 Pasal 34 dimana persyaratan
sesuai kaidah agama belum dieksplisitkan. Kasus pada beberapa tempat
pemotongan unggas dan ternak ruminansia saat ini perlu ditingkatkan aspek
kehalalannya. Jika tidak akan menjadi kebiasaan dan sulit diluruskan kembali
dengan alasan efisiensi usaha.
11. Pada UU No. 41/2014 Pasal 36, 36A. dan 36 B: diamanahkan bahwa
pemasukan ternak dan produk olahannya, sapi bakalan, sapi indukan untuk
memenuhi kekurangan konsumsi dalam negeri dan harus memenuhi syarat:
(a) teknis kesehatan hewan, bebas penyakit menular yang dipersyaratkan dan
sesuai dengan peraturanperundangan karantina.
12. Pada UU No. 41/2014, Pasal 36 C: Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu
negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan
dan tata cara pemasukannya. UU No. 41/2014 Pasal 36E: Dalam hal tertentu,
dengan tetap memerhatikan kepentingan nasional, dapat dilakukan
pemasukan ternak dan/atau produk hewan dari suatu negara atau zona dalam
suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan
Ternak dan/atau produk hewan. Padahal sebelumnya hal ini dilarang. Untuk
itu harus mendapat perhatian agar konsistensi pemenuhan syarat yang
diminta tetap dipertahankan. Berdasarkan informasi terakhir, dengan
kebijakan ini, Badan Kesehatan Hewan Dunia (WHO/OIE) sudah meragukan
kalau Indonesia bebas PMK.
13. Pada program penyediaan dan pengembangan prasarana dan sarana
pertanian ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebagai berikut:
a. Air untuk ternak merupakan prioritas kedua setelah kebutuhan untuk
masyarakat terpenuhi. Hal ini menunjukkan amanah UU No. 18/2009
sudah memperhatikan kesejahteraan hewan. Untuk itu sebaiknya sarana
dan prasarana air untuk ternak menjadi kegiatan yang harus dilakukan.
b. Untuk kegiatan fasilitas pupuk dan pestisida belum menjelaskan secara
eksplisit terkait pemanfaatan pupuk organik yang dihasilkan kelompok tani
Page 99
90
ternak. Sebaiknya penggunaan pupuk organik pada program tanaman
pangan, hotikultura, perkebunan dan hijauan makan mengutamakan
penggunaan pupuk organik yang dihasilkan kelompok tani ternak,
sehingga program yang dilakukan Ditjen PKH untuk meningkatkan
kesejahteraan peternak dan perbaikan kualitas lahan tidak menjadi sia-
sia.
c. Kegiatan perluasan dan perlindungan lahan pertanian secara eksplisit
belum dikaitkan untuk lahan peternakan. Padahal pada Pasal 4 UU No.
18/2009 jelas mengamanahkan bahawa: (a) Untuk menjamin kepastian
terselenggaranya peternakan dan kesehatan hewan diperlukan
penyediaan lahan yang memenuhi persyaratan teknis peternakan dan
kesehatan hewan (Pasal 4); (b) Penyediaan lahan peternakan dan
kesehatan hewan dimasukkan ke dalam tata ruang wilayah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan (Pasal 5); (c) lahan yang telah
ditetapkan sebagai kawasan penggembalaan umum harus dipertahankan
secara berkelanjutan, pemerintah daerah kabupaten/kota yang
mempunyai persediaan lahan yang memungkinkan dan memprioritaskan
budi daya ternak skala kecil diwajibkan menetapkan lahan sebagai
kawasan penggembalaan umum, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
membina bentuk kerja sama antara pengusahaan peternakan dan
pengusahaan tanaman pangan,hortikultura, perikanan, perkebunan, dan
kehutanan serta bidang lainnya dalam memanfaatkan lahan di kawasan
tersebut sebagai sumber pakan ternak murah (Pasal 6).
d. Fasilitas pembiayaan pertanian dalam program Ditjen PKH merupakan
amanah pasal 76 UU No. 18/2009, dimana Pemberdayaan peternak,
usaha di bidang peternakan, dan usaha di bidang kesehatan hewan
dilakukan dengan memberikan kemudahan berupa pengaksesan sumber
pembiayaan, permodalan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
informasi sehingga mampu meningkatkan daya saing usaha. Masalahnya
skim kredit KUPS dan KKPE yang selama ini ada diubah menjadi Skim KUR
dengan tingkat bunga yang lebih tinggi dan grace period yang lebih
Page 100
91
singkat. Diharapkan skim KUR sektoral lebih meringankan peternak
dibandingkan skim sebelumnya KUPS dan KKPE.
14. Penelitian SDG ternak selama ini tidak seintensif pada tanaman. Cukup
tersedianya SDK hewan/ternak asli/lokal di Indonesia merupakan suatu
kekayaan yang tak ternilai perlu dimanfaatkan secara ekonomi dengan
meningkatkan intensitas penelitian di bidang SDG hewan/ternak.
15. Adanya usaha integrasi ternak tanaman, sebagai contoh sawit-sapi
membutuhkan penelitian secara terintegrasi dengan pendekatan transdisiplin.
Hl itu dibutuhkan agar kerugian dan keuntungan usaa integrasi dapat
dibuktikan secara ilmiah untuk diambil manfaatnya demi kesejahteraan
masyarakat.
16. Kegiatan penelitian dan pengembangan peternakan yang dimanahkan pada
UU No. 18/2009 tentang PKH sudah dimasukkan dalam Renja Kementan
2016.
17. Pemerintah sudah baik melaksanakan amanah pasal 78 UU No. 18/2009
tentang PKH, yaitu dalam pengembangan kualitas SDM. Namun selama ini
targetnya masih terbatas pada anggota kelompok tani ternak. Sebaiknya
target upaya itu dilakukan juga pada generasi muda yang potensial untuk
bergerak dalam usaha peternakan, walaupun belum atau bukan merupakan
anggota kelompok tani ternak. Misal eks TKI yang tidak berencana kembali
kerja ke luar negeri dan membawa modal usaha dari hasil kerja selama ini di
luar negeri. Penjaringan calon pengusaha peternakan tersebut dapat
dilakukan melalui Kementerian Tenaga Kerja.
18. Penyelenggaraan penyuluhan peternakan dan kesehatan hewan sudah
dilakukan sebagaimana untuk komoditas lain. Materi penyuluhan umumnya
pada subsistem budi daya. Materi penyuluhan sebaiknya ditingkatkan pada
sisi konsumen baik terkait kualitas gizi juga produk hewan yang aman, sehat,
utuh dan halal.
19. Salah satu program diversifikasi dan ketahanan pangan masyarakat adalah
pengembangan penganekaragaman konsumsi san keamanan pangan. Selama
ini, pengembangan produk pangan asal ternak yang dilakukan pemerintah
terfokus pada daging sapi dan unggas. Padahal Indonesia masih memiliki
Page 101
92
kambing, domba, itik, kerbau, dan kelinci. Sebaiknya komditas ternak ini juga
dikembangkan sebelum sukberdaya ternak dan peternak menjadi berkurang
menjadi akan sangat sulit untuk membangkitkan kembali.
20. Dalam aspek budi daya ternak pada UU No. 18/2009 jelas dituangkan dalam
Pasal 27, 29 dan 31. Namun dalam Renja Kementan belum disinggung sama
sekali. Padahal program utama Ditjen PKH 2014-2019 adalah peninkatan
produksi daging. Sementara itu, dalam Renja Kementan hal-hal yang terkait
dengan peningkatan produksi belum dibahas secara eksplisit.
21. UU No. 18/2009, Pasal 27 menyatakan: Pengembangan budi daya dapat
dilakukan dalam suatu kawasan budi daya sesuai dengan ketentuan tata
ruang. Pada awalnya lokasi peternakan cenderung jauh dari pemukiman,
namun dengan semakin meningkatnya penggunaan lahan, akhirnya kawasan
pemukiman mendekat ke lokasi usaha peternakan dan memungkinkan untuk
menimbulkan konflik akibat kenyamanan pemukim terganggu karena bau,
kontaminasi air dan populasi lalat meningkat akibat peternakan, sehingga
usaha peternakan harus direlokasi.
22. Pada kawasan peternakan dimana penduduknya dominan peternak, maka
cenderung tidak terjadi konflik, namun dari aspek kesehatan berpotensi
menimbulkan masalah. Oleh karena itu harus jelas posisi tata ruang lokasi
peternakan. Kalaupun sudah berada pada lokasi pemukiman, maka
manajemen lingkungan harus dikendalikan sehingga dapat meminimumkan
dampak lingkungan atau penggunaan herbal untuk mencegah bau. Pada
pengembangan kawasan baru, sebaiknya dibentuk satu kawasan termasuk
menyediakan pemukiman peternak beserta fasilitas pendukung yang
memadai.
23. Pada UU No. 18/2009 Pasal 29: “Budi daya ternak hanya dapat dilakukan oleh
peternak, perusahaan peternakan, serta pihak tertentu untuk kepentingan
khusus. Khusus usaha pembibitan, umumnya membutuhkan modal besar,
pengembalian modal lama dan keuntungan relative kecil. Oleh karena itu
diperlukan peran BUMN/BUMD.
24. Terkait perizinan usaha, selama ini lingkupnya dalam satu jenis usaha. Jika
usaha dilakukan secara terintegrasi, seperti sawit dan sapi sering menghadapi
Page 102
93
kendala untuk memperoleh perizinan. Oleh karena itu, perlu diserasikan
antara Pemerintah dan Pemda, antar kementerian. Perlu dilakukan
pencerahan kepada pelaku dan calon pelaku usaha terkait hal ini.
25. Terkait aspek kemitraan pada Pasal 31: “Peternak dapat melakukan kemitraan
usaha di bidang budi daya ternak berdasarkan perjanjian yang saling
memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan serta berkeadilan”. Pada
parkteknya hal itu sulit dilakukan, peternak hanya bersifat menerima,
sedangkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah lemah untuk melakukan
pembinaan kemitraan.
26. Aspek Kesejahteraan Hewan masih belum dimasukkan dalam Renja
Kementan. Pasal 66 UU No. 18/2009 mengamanahkan: Untuk kepentingan
kesejahteraan hewan (bertulang belakang dan sebagian dari hewan yang
tidak bertulang belakang yang dapat merasa sakit) dilakukan tindakan yang
berkaitan dengan penangkapan dan penanganan; penempatan dan
pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan; pemotongan
dan pembunuhan; serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap
hewan”. Pengabaian kesrawan menyebabkan kerugian ekonomi berupa
turunnya kuantitas dan kualitas ternak.
27. Pemerintah dalam hal ini Ditjen PKH telah memfasilitasan pelaksanaan
promosi dan pemasaran dengan menyediaakan timbangan ternak, informasi
harga, namun masih belum semua melakukannya. Upaya ini perlu
ditingkatkan terus melalui keterlibatan berbagai unsur terkait di daerah.
28. Perlindungan harga dan produk hewan dari luar negeri masih perlu
ditingkatkan dengan membuat segmentasi harga produk lokal dan asal impor.
3.6. Undang-Undang RI No. 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
3.6.1. Pokok-pokok amanat undang-undang
1. Ketentuan Umum (Bab I Pasal 1)
a. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang
ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna
Page 103
94
menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan
pangan nasional.
b. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah lahan potensial
yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya
tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan pada masa yang akan datang.
c. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah sistem dan
proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan,
memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan
pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan.
2. Azas, Tujuan dan Lingkup (Bab II)
a. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan bertujuan untuk: (a)
melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, (b)
menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, (c)
mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan, (d)
melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani, (e)
meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat, (f)
meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani, (g) meningkatkan
penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak, (h)
mempertahankan keseimbangan ekologis, dan (i) mewujudkan revitalisasi
pertanian. Pasal 3.
b. Ruang lingkup Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
meliputi: (a) perencanaan dan penetapan, (b) pengembangan, (c)
penelitian, (d) pemanfaatan, (e) pembinaan, (f) pengendalian, (g)
pengawasan, (h) sistem informasi, (i) perlindungan dan pemberdayaan
petani, (pembiayaan), dan (k) peran serta masyarakat. Pasal 4.
c. Lahan Pertanian Pangan yang ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan dapat berupa lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang
surut dan nonpasang surut (lebak), dan/atau lahan tidak beririgasi.
Pasal5
3. Perencanaan dan Penetapan (Bab III)
Page 104
95
a. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan terhadap
Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Lahan Pertanian Pangan dan
Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang berada di dalam
atau di luar kawasan pertanian pangan. Pasal 9/ayat 2
b. Lahan Pertanian Pangan dan Lahan Cadangan didasarkan atas kriteria
kesesuaian lahan, ketersediaan infrastruktur, penggunaan lahan, potensi
teknis lahan, dan/atau luasan kesatuan hamparan lahan. Pasal 9/ayat 5.
c. Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan disusun di tingkat
nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota, yang terdiri perencanaan
jangka panjang, perencanaan jangka menengah, dan perencanaan
tahunan. Pasal 11/ayat 1,2. Usulan perencanaan tersebut disosialisasikan
kepada masyarakat untuk mendapat tanggapan dan masukan. Pasal
15/ayat 1
d. Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nasional/Provinsi/
Kabupaten diatur dalam Peraturan Pemerintah/Pemda mengenai Rencana
Tata Ruang Wilayah. Pasal 23/ayat 1, 2, 3, 4.
e. Dalam hal suatu Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan tertentu
memerlukan perlindungan khusus, kawasan tersebut dapat ditetapkan
sebagai kawasan strategis nasional, dengan mempertimbangkan luas
kawasan pertanian pangan; produktivitas kawasan pertanian pangan;
potensi teknis lahan; keandalan infrastruktur; dan ketersediaan sarana
dan prasarana pertanian Pasal 24/ayat 1,2.
4. Pengembangan (Bab IV)
a. Pengembangan terhadap Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan meliputi intensifikasi dan
ekstensifikasi lahan, dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah
dan korporasi yang berbentuk koperasi dan/atau perusahaan inti plasma
dengan mayoritas sahamnya dikuasai oleh warga negara Indonesia. Pasal
27/ayat 1, 2, 3.
b. Ekstensifikasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dilakukan melalui
Page 105
96
pencetakan lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; penetapan lahan
pertanian pangan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
dan/atau pengalihan fungsi lahan nonpertanian pangan menjadi Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pasal 29/ayat 1.
c. Pengalihan fungsi lahan nonpertanian pangan menjadi Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan terutama dilakukan terhadap Tanah Telantar dan
tanah bekas kawasan hutan yang belum diberikan hak atas tanah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 29/ayat 3.
d. Tanah Telantar dan Tanah bekas kawasan hutan dapat dialihfungsikan
menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana apabila: (a)
tanah tersebut telah diberikan hak atas tanahnya, tetapi sebagian atau
seluruhnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan tidak dimanfaatkan
sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak; atau (b) tanah tersebut
selama 3 (tiga) tahun atau lebih, untuk tanah terlantar, atau selama 1
tahun atau lebih, untuk tanah bekas kawasan hutan, tidak dimanfaatkan
sejak tanggal pemberian hak diterbitkan. Pasal 29/ayat 4, 5.
5. Penelitian (Bab V)
a. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan dengan
dukungan penelitian oleh Pemerintah, pemerintah daerah, Lembaga
penelitian dan/atau perguruan tinggi. Aspek penelitian meliputi sekurang-
kurangnya: pengembangan penganekaragaman pangan; identifikasi dan
pemetaan kesesuaian lahan; pemetaan zonasi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan; inovasi pertanian; fungsi agroklimatologi dan hidrologi;
fungsi ekosistem; dan sosial budaya dan kearifan lokal. Pasal 30/ayat 1, 2,
3, 4.
6. Pemanfaatan (Bab VI)
a. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan konservasi tanah dan air. Pasal 33/ayat 1. Setiap orang yang
memiliki hak atas tanah yang ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan berkewajiban memanfaatkan tanah sesuai peruntukan dan
mencegah kerusakan lahan dan irigasi. Pasal 34/ayat 1.
Page 106
97
b. Setiap orang yang memiliki hak atas tanah yang ditetapkan sebagai Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang tidak melaksanakan kewajibannya
dan menimbulkan akibat rusaknya lahan pertanian, wajib untuk
memperbaiki kerusakan tersebut.
7. Pembinaan (Bab VII)
a. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pembinaan terhadap
setiap orang yang terikat dengan pemanfaatan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan danperlindungan terhadap Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Pasal 35/ayat 1.
8. Pengendalian (Bab VIII)
a. Pemerintah menunjuk Menteri untuk melakukan koordinasi pengendalian
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pasal 36. Pengendalian dilakukan
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui pemberian: insentif;
disinsentif; mekanisme perizinan; proteksi; dan penyuluhan. Pasal 37.
b. Insentif yang berikan kepada petani berupa: (a) keringanan Pajak Bumi
dan Bangunan; (b) pengembangan infrastruktur pertanian; (c) pembiayaan
penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul; (d) kemudahan
dalam mengakses informasi dan teknologi, (e) penyediaan sarana dan
prasarana produksi pertanian; (f) jaminan penerbitan sertifikat bidang
tanah pertanian pangan melalui pendaftaran tanah secara sporadik dan
sistematik; dan/atau (g) penghargaan bagi petani berprestasi tinggi (Pasal
38). Dalam hal ini pemerintah dapat memberikan insentif dalam bentuk
pengalokasian anggaran secara khusus atau bentuk lainnya kepada
pemerintah daerah dan pemerintah daerah dapat dapat membrikan insentif
dalam bentuk pengalokasian anggaran secara khusus (Pasal 39).
c. Pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a dan
Pasal 38 diberikan dengan mempertimbangkan: jenis Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan; kesuburan tanah; luas tanam; irigasi; tingkat
fragmentasi lahan; produktivitas usaha tani; lokasi; kolektivitas usaha
pertanian; dan/atau praktik usaha tani ramah lingkungan (Pasal 40).
Page 107
98
d. Disinsentif berupa pencabutan insentif dikenakan kepada petani yang tidak
memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. (Pasal
42).
9. Alih Fungsi
a. Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan (Pasal 44/ayat 1).
Dalam hal untuk kepentingan umum, Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan dapat dialihfungsikan (Pasal 44/ayat 2). Pengalihfungsian
Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan dengan
syarat: (a) dilakukan kajian kelayakan strategis; (b) disusun rencana alih
fungsi lahan; (c) dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; (d)
disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan yang dialihfungsikan. Dalam hal terjadi bencana sehingga
pengalihan fungsi lahan untuk infrastruktur tidak dapat ditunda,
persyaratan (a) dan (b) tidak diberlakukan. (Pasal 44/ayat 3,4).
Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan yang dialihfungsikan untuk infrastruktur akibat bencana
dilakukan paling lama 24 bulan setelah alih fungsi dilakukan. (Pasal 44/ayat
5). Pembebasan kepemilikan hak atas tanah yang dialihfungsikan dilakukan
dengan pemberian ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. (Pasal 44/ayat 6).
b. Selain ganti rugi kepada pemilik, pihak yang mengalihfungsikan wajib
mengganti nilai investasi infrastruktur. Pasal 45.
c. Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan yang dialihfungsikan dilakukan atas dasar kesesuaian lahan,
dengan ketentuan: (a) paling sedikit tiga kali luas lahan dalam hal yang
dialihfungsikan lahan beririgasi; (b) paling sedikit dua kali luas lahan
dalam hal yang dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan
nonpasang surut (lebak); dan (c) paling sedikit satu kali luas lahan dalam
hal yang dialihfungsikan lahan tidak beririgasi. Pasal 46.
Page 108
99
d. Penyediaan lahan pertanian pangan sebagai lahan dapat dilakukan dengan:
(a) pembukaan lahan baru pada Lahan Cadangan Pertanian Pangan
Berkelanjutan; (b) pengalihfungsian lahan dari nonpertanian ke pertanian
sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, terutama dari tanah
telantar dan tanah bekas kawasan hutan, atau (c) penetapan lahan
pertanian sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. (Pasal 46/ayat
3). Segala kewajiban yang harus dilakukan dalam proses penggantian,
menjadi tanggung jawab pihak yang melakukan pengalihfungsian Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pasal 47.
e. Dalam hal terjadi keadaan memaksa yang mengakibatkan musnahnya
dan/atau rusaknya Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan secara
permanen, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah melakukan
penggantian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sesuai kebutuhan.
Pasal. 48.
f. Segala bentuk perizinan yang mengakibatkan alih fungsi Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan batal demi hukum, kecuali untuk kepentingan umum.
Pasal 50/ayat 1. Setiap orang yang melakukan alih fungsi tanah Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan wajib mengembalikan keadaan tanah
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ke keadaan semula. Pasal 50/ayat
2.
g. Setiap orang yang memiliki Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat
mengalihkan kepemilikan lahannya kepada pihak lain dengan tidak
mengubah fungsi lahan tersebut sebagai Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Pasal 50/ayat 3.
10. Pengawasan (Bab IX)
a. Untuk menjamin tercapainya Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan dilakukan pengawasan terhadap kinerja: (a) perencanaan
dan penetapan; (b) pengembangan; (c) pemanfaatan; (d) pembinaan;
dan (e) pengendalian. Pasal 54/1. Pengawasan dilaksanakan secara
berjenjang oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah kabupaten/kota sesuai kewenangannya. Pasal 54/2.
Page 109
100
b. Apabila hasil pemantauan dan evaluasi terbukti terjadi penyimpangan,
Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota wajib mengambil langkah
penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 57/ayat 2.
11. Sistem Informasi (Bab X)
a. Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota menyelenggarakan Sistem Informasi Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan yang dapat diakses oleh masyarakat. Pasal 58/ayat
1. Sistem informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sekurang-
kurangnya memuat data lahan tentang: (a) Kawasan Pertanian Pangan
Berkelanjutan; b. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; (c) Lahan
Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan (d) Tanah Telantar dan
subyek haknya. Pasal 58/ayat 3.
12. Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Bab XI)
a. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melindungi dan memberdayakan
petani, kelompok petani, koperasi petani, serta asosiasi petani. Pasal 61.
Perlindungan petani berupa pemberian jaminan: (a) harga komoditas
pangan pokok yang menguntungkan; (b) memperoleh sarana produksi dan
prasarana pertanian; (c) pemasaran hasil pertanian pangan pokok; (d)
pengutamaan hasil pertanian pangan dalam negeri untuk memenuhi
kebutuhan pangan nasional; dan/atau (e) ganti rugi akibat gagal panen.
Pasal 62/ayat 1. Perlindungan sosial bagi petani kecil merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari sistem jaminan sosial nasional yang diatur
dalam peraturan perundangundangan. Pasal 62/ayat 2.
b. Pemberdayaan petani meliputi: (a) penguatan kelembagaan petani; (b)
penyuluhan dan pelatihan untuk peningkatan kualitas sumber daya
manusia; (c) pemberian fasilitas sumber pembiayaan/permodalan; (d)
pemberian bantuan kredit kepemilikan lahan pertanian; (e) pembentukan
Bank Bagi Petani; (f) pemberian fasilitas pendidikan dan kesehatan rumah
tangga petani; dan/atau (g) pemberian fasilitas untuk mengakses ilmu
pengetahuan, teknologi, dan informasi. Pasal 63.
Page 110
101
13. Pembiayaan (Bab XII)
a. Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah kabupaten/kota, serta dari dana tanggung jawab sosial dan
lingkungan dari badan usaha. (Pasal 66/ayat 1, 2).
14. Peran serta masyarakat (Bab XIII)
a. Masyarakat berperan serta dalam perlindungan Kawasan dan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan. Peran serta masyarakat dapat dilakukan
secara perorangan dan/atau berkelompok. Pasal 67/ayat 1, 2.
b. Dalam hal perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,
masyarakat berhak: (a) mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang
terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan di wilayahnya; dan (b) mengajukan tuntutan
pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
15. Sanksi Administratif (Bab IV)
a. Setiap orang yang melanggar kewajiban atau larangan dikenai sanksi
administratif. Sanksi administratif dapat berupa: (a) peringatan tertulis;
(b) penghentian sementara kegiatan; (c) penghentian sementara
pelayanan umum; (d) penutupan lokasi; (e) pencabutan izin; (f)
pembatalan izin; (g) pembongkaran bangunan; (h) pemulihan fungsi lahan;
(i) pencabutan insentif; dan/atau (j) denda administratif. Pasal 70/ayat 1,
2.
3.6.2. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan
Keterkaitan antara UU No. 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dengan Rencana Kerja Kementan 2016
1. Ada keterkaitan langsung antara tujuan UU Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan yaitu: (a) melindungi kawasan dan lahan pertanian
pangan secara berkelanjutan, (b) menjamin tersedianya lahan pertanian
pangan secara berkelanjutan, (c) mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan
Page 111
102
kedaulatan pangan, (d) melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik
petani, (e) meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan
masyarakat, (f) meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani dengan
Program Penyediaan dan Pengembangan Prasarana dan Sarana Pertanian,
melalui kegiatan Perluasan dan Perlindungan Lahan Pertanian. Tujuan tersebut
juga terkait langsung dengan Sasaran Program yaitu: Meningkatnya Luasan
Areal Pertanian, Pengoptimalan Lahan, dan Mengendalikan Laju Alih Fungsi
Lahan Pertanian Ke Non Pertanian Serta terkait tidak langsung dengan sasaran
Mendorong Peningkatan Status Kepemilikan Lahan Petani sasaran
Mengevaluasi Pemanfaatan Sertifikat Tanah Petani. Demikian pula Pasal
44/ayat 1 yang menyebutkan Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan, terkait
langsung dengan Program dan Sasaran yang telah disebutkan.
2. Pada aspek Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Bab XI) yang meliputi :
(a) penguatan kelembagaan petani; (b)…. (c) pemberian fasilitas sumber
pembiayaan/permodalan; (d) pemberian bantuan kredit kepemilikan lahan
pertanian; (e) pembentukan Bank Bagi Petani terkait langsung dengan
Program Penyediaan dan Pengembangan Prasarana dan Sarana Pertanian
pada kegiatan Fasilitasi Pembiayaan Pertanian dengan sasaran Meningkatnya
Fasilitasi Pembiayaan, Pemberdayaan Kelembagaan, dan Permodalan
Pertanian, Serta Peningkatan Perlindungan Terhadap Resiko Gagal Panen
Melalui Asuransi Pertanian.
3. Pada aspek Penelitian (Bab V) Pasal 30/ayat 1, 2, 3, 4 Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan dengan dukungan penelitian oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, Lembaga penelitian dan/atau perguruan
tinggi. Aspek penelitian meliputi sekurang-kurangnya: pengembangan
penganekaragaman pangan; identifikasi dan pemetaan kesesuaian lahan;
pemetaan zonasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; inovasi pertanian;
fungsi agroklimatologi dan hidrologi; fungsi ekosistem; dan sosial budaya dan
kearifan local. Aspek ini dijabarkan melalui Program Penciptaan Teknologi dan
Inovasi Pertanian Bio-Industri Berkelanjutan dengan melalui kegiatan
Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik
Page 112
103
Pertanian, Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian, Penelitian
dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, Pengkajian dan
Percepatan Diseminasi Inovasi Teknologi Pertanian, Penelitian/Perekayasaan
dan Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Penelitian/Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian, Penelitian dan Pengembangan Tanaman Hortikultura,
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan, Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Penelitian dan Pengembangan TanamanPangan.
4. Pada aspek Pemberdayaan Pasal 63 yang meliputi: (a) penguatan
kelembagaan petani; (b) penyuluhan dan pelatihan untuk peningkatan kualitas
sumber daya manusia; (c) …(e)….f) pemberian fasilitas pendidikan dan
kesehatan rumah tangga petani; dan/atau (g) pemberian fasilitas untuk
mengakses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi, hal ini terkait
langsung dengan Program Peningkatan Penyuluhan, Pendidikan dan Pelatihan
Pertanian dengan kegiatan-kegiatan (a)Pemantapan Sistem Pelatihan
Pertanian, (b) Revitalisasi Pendidikan Pertanian, (c) Pemantapan Sistem
Penyuluhan Pertanian, (d) Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis
lainnya Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sdm Pertanian
5. Pada aspek Perlindungan petani (Pasal 61), Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib melindungi dan memberdayakan petani, kelompok petani,
berupa pemberian jaminan Pasal 62/ayat 1: (a) harga komoditas pangan
pokok yang menguntungkan; (b) memperoleh sarana produksi dan prasarana
pertanian; (c) pemasaran hasil pertanian pangan pokok; (d) pengutamaan
hasil pertanian pangan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan
nasional; dan/atau (e) ganti rugi akibat gagal panen. Hal ini terkait langsung
dengan program Kementan yaitu Program Peningkatan Diversifikasi dan
Ketahanan Pangan Masyarakat melalui kegiatan (a) Pengembangan Sistem
Distribusi dan Stabilitas Harga Pangan, (b) Pengembangan Ketersediaan dan
Penanganan Rawan Pangan, (c) Pengembangan Penganekaragaman Konsumsi
dan Keamanan Pangan, dan (d) Dukungan Manajemen dan Teknis Lainnya
Badan Ketahanan Pangan.
Page 113
104
3.7. Undang-Undang No. 16/2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
3.7.1. Pokok-pokok amanat undang-undang
Ketentuan Umum (Bab I)
Penyuluhan pertanian, perikanan, kehutanan yang selanjutnya disebut
penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha
agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam
mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya,
sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan,
dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi
lingkungan hidup (Pasal 1 ayat 1).
Pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan
peternakan yang selanjutnya disebut pertanian adalah seluruh kegiatan yang
meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang
pengelolaan sumber daya alam hayati dalam agroekosistem yang sesuai dan
berkelanjutan, dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen
untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat
(Pasal 1 ayat 3).
Asas, Tujuan, dan Fungsi (Bab II)
Penyuluhan diselenggarakan berasaskan demokrasi, manfaat, kesetaraan,
keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerja sama, partisipatif, kemitraan,
berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat (Pasal 2).
Tujuan pengaturan sistem penyuluhan meliputi pengembangan sumber daya
manusia dan peningkatan modal sosial, yaitu: memberdayakan pelaku utama dan
pelaku usaha dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha
yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian
peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi (Pasal 3 butir
b)
Fungsi sistem penyuluhan meliputi (Pasal 4):
a. memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha;
b. mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber
Page 114
105
informasi, teknologi, dan sumber daya lainnya agar mereka dapat
mengembangkan usahanya;
c. meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan
pelaku utama dan pelaku usaha.
Sasaran Penyuluhan (Bab III)
Sasaran utama penyuluhan yaitu pelaku utama dan pelaku usaha (Pasal 5
ayat 2). Sasaran antara penyuluhan yaitu pemangku kepentingan lainnya yang
meliputi kelompok atau lembaga pemerhati pertanian, perikanan, dan kehutanan
serta generasi muda dan tokoh masyarakat (Pasal 5 ayat 3).
Kebijakan dan Strategi (Bab IV)
Kebijakan penyuluhan ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan asas dan tujuan sistem
penyuluhan (Pasal 6 ayat 1). Dalam menetapkan kebijakan penyuluhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah
memperhatikan ketentuan sebagai berikut: penyelenggaraan penyuluhan dapat
dilaksanakan oleh pelaku utama dan/atau warga masyarakat lainnya sebagai mitra
Pemerintah dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja
sama, yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan programa pada tiap-tiap
tingkat administrasi pemerintahan (Pasal 6 ayat 2b).
Strategi penyuluhan disusun dan ditetapkan Pemerintah dan pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya yang meliputi metode pendidikan orang
dewasa; penyuluhan sebagai gerakan masyarakat; penumbuh-kembangan
dinamika organisasi dan kepemimpinan; keadilan dan kesetaraan gender; dan
peningkatan kapasitas pelaku utama yang profesional (Pasal 7 ayat 1).
Kelembagaan (Bab V)
Kelembagaan penyuluhan terdiri atas:
a. kelembagaan penyuluhan pemerintah;
b. kelembagaan penyuluhan swasta; dan
c. kelembagaan penyuluhan swadaya (Pasal 8 ayat 1)
Page 115
106
Kelembagaan penyuluhan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a:
a. pada tingkat pusat berbentuk badan yang menangani penyuluhan;
b. pada tingkat provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan;
c. pada tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan; dan
d. pada tingkat kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan (Pasal 8 ayat 2).
Kelembagaan pelaku utama beranggotakan petani, pekebun, peternak,
nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, serta masyarakat di dalam dan di
sekitar hutan yang dibentuk oleh pelaku utama, baik formal maupun nonformal
(Pasal 19 ayat 1). Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
fungsi sebagai wadah proses pembelajaran, wahana kerja sama, unit penyedia
sarana dan prasarana produksi, unit produksi, unit pengolahan dan pemasaran,
serta unit jasa penunjang (Pasal 19 ayat 2). Kelembagaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berbentuk kelompok, gabungan kelompok, asosiasi, atau
korporasi (Pasal 19 ayat 3).
Tenaga Penyuluh (Bab VI)
Penyuluhan dilakukan oleh penyuluh PNS, penyuluh swasta, dan/atau
penyuluh swadaya (Pasal 20 ayat 1). Pemerintah dan pemerintah daerah
meningkatkan kompetensi penyuluh PNS melalui pendidikan dan pelatihan (Pasal
21 ayat 1). Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh swasta dan penyuluh swadaya (Pasal 21
ayat 2). Peningkatan kompetensi penyuluh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) berpedoman pada standar, akreditasi, serta pola pendidikan dan
pelatihan penyuluh yang diatur dengan peraturan menteri (Pasal 21 ayat 3).
Penyelenggaraan
Programa penyuluhan dimaksudkan untuk memberikan arah, pedoman,
dan alat pengendali pencapaian tujuan penyelenggaraan penyuluhan (Pasal 23
ayat 1). Programa penyuluhan terdiri atas programa penyuluhan desa/kelurahan
atau unit kerja lapangan, programa penyuluhan kecamatan, programa penyuluhan
kabupaten/kota, programa penyuluhan provinsi, dan programa penyuluhan
Page 116
107
nasional (Pasal 23 ayat 2). Penyuluhan dilakukan dengan menggunakan
pendekatan partisipatif melalui mekanisme kerja dan metode yang disesuaikan
dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan pelaku usaha (Pasal 26 ayat
3). Materi penyuluhan dibuat berdasarkan kebutuhan dan kepentingan pelaku
utama dan pelaku usaha dengan memperhatikan kemanfaatan dan kelestarian
sumber daya pertanian, perikanan, dan kehutanan (Pasal 27 ayat 1).
Materi penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi unsur
pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial serta unsur
ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan
pelestarian lingkungan (Pasal 27 ayat 2). Materi penyuluhan dalam bentuk
teknologi tertentu yang akan disampaikan kepada pelaku utama dan pelaku usaha
harus mendapat rekomendasi dari lembaga pemerintah, kecuali teknologi yang
bersumber dari pengetahuan tradisional (Pasal 28 ayat 1). Pemerintah dan
pemerintah daerah memfasilitasi dan mendorong peran serta pelaku utama dan
pelaku usaha dalam pelaksanaan penyuluhan (Pasal 29).
Sarana dan Prasarana (Bab VIII)
Untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan penyuluhan dan kinerja
penyuluh, diperlukan sarana dan prasarana yang memadai agar penyuluhan dapat
diselenggarakan dengan efektif dan efisien (Pasal 31 ayat 1). Pemerintah,
pemerintah daerah, kelembagaan penyuluhan swasta, dan kelembagaan
penyuluhan swadaya menyediakan sarana dan prasarana penyuluhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (Pasal 31 ayat 2).
Pembiayaan (Bab IX)
Sumber pembiayaan untuk penyuluhan disediakan melalui APBN, APBD baik
provinsi maupun kabupaten/kota, baik secara sektoral maupun lintas sektoral,
maupun sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat (Pasal 32 ayat 2).
Pembinaan dan Pengawasan (Bab X)
Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyuluhan
yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah daerah maupun swasta atau swadaya
(Pasal 34 ayat 1). Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
Page 117
108
(1) dilakukan terhadap kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana dan
prasarana, serta pembiayaan penyuluhan (Pasal 34 ayat 2).
3.7.2. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan
Keterkaitan UU No. 16/2006dengan Renstra Kementan 2015-2019
Keterkaitan UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan, dan Kehutanan dengan Renstra Kementan 2015-2019 tercantum
padaPasal 1 ayat 1: Penyuluhan pertanian, perikanan, kehutanan yang
selanjutnya disebut penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama
serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan
mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi,
permodalan, dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta
meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup; direfleksikan
dengan tujuan Renstra yang terkait dengan meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani.
Pasal lain yang menekankan pada kesejahteraan petani tertera pada Pasal
1 ayat 3: Pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
dan peternakan yang selanjutnya disebut pertanian adalah seluruh kegiatan yang
meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang
pengelolaan sumber daya alam hayati dalam agroekosistem yang sesuai dan
berkelanjutan, dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen
untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.
Pada Pasal 5 ayat 3: Sasaran antara penyuluhan yaitu pemangku kepentingan
lainnya yang meliputi kelompok atau lembaga pemerhati pertanian, perikanan,
dan kehutanan serta generasi muda dan tokoh masyarakat; didukung dengan
tujuan Renstra dalam upaya meningkatkan kualitas kinerja aparatur pemerintah
yang amanah dan profesional.
Pada Pasal 21 ayat 1 dinyatakan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah
meningkatkan kompetensi penyuluh PNS melalui pendidikan dan pelatihan. Hal ini
sejalan dengan sasaran strategi Renstra Kementan tentang akuntabilitas kinerja
aparatur pemerintah yang baik. Aspek yang memuat tentang kelembagaan petani
Page 118
109
tercantum pada Pasal 19 ayat 1: Kelembagaan pelaku utama beranggotakan
petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, serta
masyarakat di dalam dan di sekitar hutan yang dibentuk oleh pelaku utama, baik
formal maupun nonformal. Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai fungsi sebagai wadah proses pembelajaran, wahana kerja sama, unit
penyedia sarana dan prasarana produksi, unit produksi, unit pengolahan dan
pemasaran, serta unit jasa penunjang (Pasal 19 ayat 2). Kelembagaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk kelompok, gabungan
kelompok, asosiasi, atau korporasi (Pasal 19 ayat 3). Hal ini diwujudkan dalam
strategi utama Renstra Kementan berupa penguatan kelembagaan petani.
Sumber pembiayaan untuk penyuluhan disediakan melalui APBN, APBD baik
provinsi maupun kabupaten/kota, baik secara sektoral maupun lintas sektoral,
maupun sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat (Pasal 32 ayat 2) telah
diupayakan dalam strategi utama Renstra Kementan berupa pengembangan dan
penguatan pembiayaan pertanian. Sementara dalam strategi penunjang Renstra
Kementan yang menekankan pada penguatan dan peningkatan kapasitas SDM
pertanian; sebagai langkah mendukung UU No. 16/2006 Pasal 21 ayat 1:
Pemerintah dan pemerintah daerah meningkatkan kompetensi penyuluh PNS
melalui pendidikan dan pelatihan; Pasal 21 ayat 2: Pemerintah dan pemerintah
daerah memfasilitasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh swasta
dan penyuluh swadaya; Pasal 21 ayat 3: Peningkatan kompetensi penyuluh
sebagai-mana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman pada standar,
akreditasi, serta pola pendidikan dan pelatihan penyuluh yang diatur dengan
peraturan menteri.
Strategi penunjang lainnya dalam Renstra Kementan berupa peningkatan
dukungan inovasi dan teknologi telah sejalan dengan UU No. 16/2006 Pasal 4:
Fungsi sistem penyuluhan meliputi:
a. memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha;
b. mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber
informasi, teknologi, dan sumber daya lainnya agar mereka dapat
mengembangkan usahanya;
Page 119
110
c. meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan
pelaku utama dan pelaku usaha.
Penataan dan penguatan organisasi yang merupakan salah satu butir
strategi penunjang Renstra Kementan, diperkuat oleh UU No. 16/2006 Pasal 19
ayat 1: Kelembagaan pelaku utama beranggotakan petani, pekebun, peternak,
nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, serta masyarakat di dalam dan di
sekitar hutan yang dibentuk oleh pelaku utama, baik formal maupun nonformal;
Pasal 19 ayat 2: Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
fungsi sebagai wadah proses pembelajaran, wahana kerja sama, unit penyedia
sarana dan prasarana produksi, unit produksi, unit pengolahan dan pemasaran,
serta unit jasa penunjang; Pasal 19 ayat 3: Kelembagaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berbentuk kelompok, gabungan kelompok, asosiasi, atau
korporasi.
UU No. 16/2006 Pasal 34 ayat 1: Pemerintah melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyuluhan yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah
daerah maupun swasta atau swadaya; Pasal 34 ayat 2: Pembinaan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap
kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana dan prasarana, serta
pembiayaan penyuluhan (Pasal 34 ayat 2); diwujudkan dalam strategi penunjang
Renstra Kementan berupa pengelolaan sistem pengawasan.
Keterkaitan UU No. 16/2006dengan Program Kementan
Pengertian pertanian dalam makna yang luas di UU No. 16/2006tercantum
pada Pasal 1 ayat 3: Pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, dan peternakan yang selanjutnya disebut pertanian adalah seluruh
kegiatan yang meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri, pemasaran, dan jasa
penunjang pengelolaan sumber daya alam hayati dalam agroekosistem yang
sesuai dan berkelanjutan, dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan
manajemen untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
masyarakat. Hal ini terkait dengan Program Peningkatan Produksi, Produktivitas
dan Mutu Hasil Tanaman Pangan, Program Peningkatan Produksi dan Nilai
Tambah Hortikultura, Program Peningkatan Produksi Komoditas Perkebunan
Page 120
111
Berkelanjutan, dan Program Pemenuhan Pangan Asal Ternak dan Agribisnis
Peternakan Rakyat.
UU No. 16/2006 Pasal 27 ayat 2: Materi penyuluhan berisi unsur
pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial serta unsur
ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan
pelestarian lingkungan; terkait dengan Program Pengkajian dan Percepatan
Diseminasi Inovasi Teknologi Pertanian, dengan sasaran kegiatan: (i) Penyediaan
dan Penyebarluasan Inovasi Spesifik Lokasi Mendukung Program Strategis
Pembangunan Pertanian Nasional dan Daerah; (ii) Pembangunan 100 techno park
dan 34 science park di 34 provinsi.
Strategi penyuluhan disusun dan ditetapkan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya yang meliputi metode
pendidikan orang dewasa; penyuluhan sebagai gerakan masyarakat; penumbuh-
kembangan dinamika organisasi dan kepemimpinan; keadilan dan kesetaraan
gender; dan peningkatan kapasitas pelaku utama yang profesional (Pasal 7 ayat
1) diwujudkan dalam Program Pemantapan Sistem Pelatihan Pertanian, dengan
sasaran kegiatan: Mantapnya Sistem Pelatihan Pertanian dalam Meningkatkan
Kompetensi Aparatur Pertanian dan Nonaparatur Pertanian; Daya Tarik Pertanian
Bagi Tenaga Kerja Muda; Pelibatan Perempuan Petani/Pekerja dan Inkubator
Agribisnis Mendukung Agro Techno Park.
Penyuluhan pertanian, perikanan, kehutanan yang selanjutnya disebut
penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha
agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam
mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya,
sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan,
dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi
lingkungan hidup (Pasal 1 ayat 1) didukung oleh Program Pemantapan Sistem
Penyuluhan Pertanian, dengan sasaran kegiatan: Mantapnya Sistem Penyuluhan
Pertanian dalam Meningkatkan Kemampuan Petani; Kemandirian Kelembagaan
Petani dan Pola Hubungan Pemerintah.
Untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan penyuluhan dan kinerja
penyuluh, diperlukan sarana dan prasarana yang memadai agar penyuluhan dapat
Page 121
112
diselenggarakan dengan efektif dan efisien (Pasal 31 ayat 1); Pemerintah,
pemerintah daerah, kelembagaan penyuluhan swasta, dan kelembagaan
penyuluhan swadaya menyediakan sarana dan prasarana penyuluhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (Pasal 31 ayat 2); terkait dengan Program
Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Badan Penyuluhan dan
Pengembangan SDM Pertanian, dengan sasaran kegiatan: Meningkatnya
Efektivitas dan Efisiensi Sistem Administrasi dan Manajemen dari Aspek
Perencanaan, Perundang-Undangan, Kepegawaian, Keuangan dan Perlengkapan,
Data dan Evaluasi, serta Pelaporan.
3.8. Undang-Undang No. 19/2013 Tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani
3.8.1. Pokok-pokok amanat undang-undang
Ketentuan Umum (Bab I)
Perlindungan Petani adalah segala upaya untuk membantu Petani dalam
menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana
produksi, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya
tinggi, dan perubahan iklim (Pasal 1 ayat 1). Pemberdayaan Petani adalah segala
upaya untuk meningkatkan kemampuan Petani untuk melaksanakan Usaha Tani
yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan
pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian,
konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses ilmu
pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan Kelembagaan Petani
(Pasal 1 ayat 2).
Pertanian adalah kegiatan mengelola sumber daya alam hayati dengan
bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk menghasilkan
Komoditas Pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
dan/atau peternakan dalam suatu agroekosistem (Pasal 1 ayat 4). Asuransi
Pertanian adalah perjanjian antara Petani dan pihak perusahaan asuransi untuk
mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko Usaha Tani (Pasal 1 ayat 13).
Page 122
113
Asas, Tujuan, dan Lingkup Pengaturan (Bab II)
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani berasaskan pada: a. kedaulatan; b.
kemandirian; c. kebermanfaatan; d. kebersamaan; e. keterpaduan; f. keterbu-
kaan; g. efisiensi-berkeadilan; dan h. Keberlanjutan (Pasal 2). Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani bertujuan untuk: a. mewujudkan kedaulatan dan
kemandirian Petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan
kehidupan yang lebih baik; b. menyediakan prasarana dan sarana Pertanian yang
dibutuhkan dalam mengembangkan Usaha Tani; c. memberikan kepastian Usaha
Tani; d. melindungi Petani dari fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan
gagal panen; e. meningkatkan kemampuan dan kapasitas Petani serta
Kelembagaan Petani dalam menjalankan Usaha Tani yang produktif, maju,
modern dan berkelanjutan; dan f. menumbuhkembangkan kelembagaan
pembiayaan Pertanian yang melayani kepentingan Usaha Tani (Pasal 3).
Perencanaan (Bab III)
Perencanaan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dilakukan secara
sistematis, terpadu, terarah, menyeluruh, transparan, dan akuntabel (Pasal 5 ayat
1). Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan
berdasarkan pada: a. daya dukung sumber daya alam dan lingkungan; b. rencana
tata ruang wilayah; c. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; d. tingkat
pertumbuhan ekonomi; e. jumlah Petani; f. kebutuhan prasarana dan sarana; dan
g. kelayakan teknis dan ekonomis serta kesesuaian dengan kelembagaan dan
budaya setempat (Pasal 5 ayat 2).
Strategi Perlindungan dan Pemberdayaan Petani sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan pada kebijakan Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani (Pasal 7 ayat 1). Strategi Perlindungan Petani dilakukan melalui: a.
prasarana dan sarana produksi Pertanian; b. kepastian usaha; c. harga Komoditas
Pertanian; d. penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi; e. ganti rugi gagal
panen akibat kejadian luar biasa; f. sistem peringatan dini dan penanganan
dampak perubahan iklim; dan g. Asuransi Pertanian (Pasal 7 ayat 2). Strategi
Pemberdayaan Petani dilakukan melalui: a. pendidikan dan pelatihan; b.
Page 123
114
penyuluhan dan pendampingan; c. pengembangan sistem dan sarana pemasaran
hasil Pertanian; d. konsolidasi dan jaminan luasan lahan Pertanian; e. penyediaan
fasilitas pembiayaan dan permodalan; f. kemudahan akses ilmu pengetahuan,
teknologi, dan informasi; dan g. penguatan Kelembagaan Petani (Pasal 7 ayat 3).
Perlindungan Petani (Bab IV)
Perlindungan Petani dilakukan melalui strategi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) (Pasal 12 ayat 1). Perlindungan Petani sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf g
diberikan kepada: a. Petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki lahan
Usaha Tani dan menggarap paling luas 2 (dua) hektare; b. Petani yang memiliki
lahan dan melakukan usaha budi daya tanaman pangan pada lahan paling luas 2
(dua) hektare; dan/atau c. Petani hortikultura, pekebun, atau peternak skala
usaha kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 12
ayat 2).
Pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi Pertanian dalam negeri
untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional (Pasal 15 ayat 1). Kewajiban
mengutamakan produksi Pertanian dalam negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui pengaturan impor Komoditas Pertanian sesuai dengan
musim panen dan/atau kebutuhan konsumsi dalam negeri (Pasal 15 ayat 2).
Dalam hal impor Komoditas Pertanian, menteri terkait harus melakukan
koordinasi dengan Menteri (Pasal 15 ayat 3).
Prasarana Pertanian dan Sarana Produksi Pertanian
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
bertanggung jawab menyediakan dan/atau mengelola prasarana Pertanian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a (Pasal 16 ayat 1).
Prasarana Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi: a.
jalan Usaha Tani, jalan produksi, dan jalan desa; b. bendungan, dam, jaringan
irigasi, dan embung; dan c. jaringan listrik, pergudangan, pelabuhan, dan pasar
(Pasal 16 ayat 2). Selain Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Pelaku Usaha dapat
menyediakan dan/atau mengelola prasarana Pertanian sebagaimana dimaksud
Page 124
115
dalam Pasal 16 yang dibutuhkan Petani (Pasal 17). Petani berkewajiban
memelihara prasarana Pertanian yang telah ada sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 dan Pasal 17 (Pasal 18).
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
bertanggung jawab menyediakan sarana produksi Pertanian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a secara tepat waktu dan tepat mutu serta
harga terjangkau bagi Petani (Pasal 19 ayat 1). Sarana produksi Pertanian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. benih, bibit,
bakalan ternak, pupuk, pestisida, pakan, dan obat hewan sesuai dengan standar
mutu; dan b. alat dan mesin Pertanian sesuai standar mutu dan kondisi spesifik
lokasi (Pasal 19 ayat 2). Penyediaan sarana produksi Pertanian diutamakan
berasal dari produksi dalam negeri (Pasal 19 ayat 3). Pemerintah dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya membina Petani, Kelompok Tani, dan
Gabungan Kelompok Tani dalam menghasilkan sarana produksi Pertanian yang
berkualitas (Pasal 19 ayat 4).
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat
memberikan subsidi benih atau bibit tanaman, bibit atau bakalan ternak, pupuk,
dan/atau alat dan mesin Pertanian sesuai dengan kebutuhan (Pasal 21 ayat 1).
Pemberian subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tepat guna, tepat
sasaran, tepat waktu, tepat lokasi, tepat jenis, tepat mutu, dan tepat jumlah
(Pasal 21 ayat 2).
Kepastian Usaha
Untuk menjamin kepastian usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2) huruf b, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berkewajiban: a. menetapkan kawasan Usaha Tani berdasarkan
kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya
buatan; b. memberikan jaminan pemasaran hasil Pertanian kepada Petani yang
melaksanakan Usaha Tani sebagai program Pemerintah; c. memberikan
keringanan Pajak Bumi dan Bangunan bagi lahan Pertanian produktif yang
diusahakan secara berkelanjutan; dan d. mewujudkan fasilitas pendukung pasar
hasil Pertanian (Pasal 22). Jaminan pemasaran sebagaimana dimaksud dalam
Page 125
116
Pasal 22 huruf b merupakan hak Petani untuk mendapatkan penghasilan yang
menguntungkan (Pasal 23 ayat 1). Jaminan pemasaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. pembelian secara langsung; b.
penampungan hasil Usaha Tani; dan/atau c. pemberian fasilitas akses pasar
(Pasal 23 ayat 2).
Harga Komoditas Pertanian
Pemerintah berkewajiban menciptakan kondisi yang menghasilkan harga
Komoditas Pertanian yang menguntungkan bagi Petani sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c (Pasal 25 ayat 1). Kewajiban Pemerintah
menciptakan kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
dengan menetapkan: a. tarif bea masuk Komoditas Pertanian; b. tempat
pemasukan Komoditas Pertanian dari luar negeri dalam kawasan pabean; c.
persyaratan administratif dan standar mutu; d. struktur pasar produk Pertanian
yang berimbang; dan e. kebijakan stabilisasi harga pangan (Pasal 25 ayat 2).
Tarif Bea Masuk Komoditas Pertanian
Pemerintah menetapkan jenis Komoditas Pertanian yang dikenakan tarif
bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a (Pasal 26 ayat
1). Besaran tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 26
ayat 2). Penetapan besaran tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling sedikit didasarkan pada: a. harga pasar internasional; b. harga pasar
domestik; c. jenis Komoditas Pertanian tertentu nasional dan lokal; dan d.
produksi dan kebutuhan nasional (Pasal 26 ayat 3).
Pemerintah menetapkan jenis Komoditas Pertanian tertentu nasional dan
lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) huruf c (Pasal 27 ayat 1).
Penetapan jenis Komoditas Pertanian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan berdasarkan: a. pengaruh Komoditas Pertanian terhadap stabilitas
ekonomi nasional; dan/atau b. kepentingan hajat hidup orang banyak (Pasal 27
ayat 2). Ketentuan mengenai penetapan jenis Komoditas Pertanian tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Pemerintah (Pasal
27 ayat 3).
Page 126
117
Tempat Pemasukan Komoditas Pertanian
Penetapan tempat pemasukan Komoditas Pertanian dalam kawasan pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b harus
mempertimbangkan: a. daerah sentra produksi Komoditas Pertanian dalam
negeri; dan b. kelengkapan instalasi karantina sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Pasal 28). Setiap Orang yang mengimpor Komoditas
Pertanian wajib melalui tempat pemasukan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah
(Pasal 29). Setiap Orang dilarang mengimpor Komoditas Pertanian pada saat
ketersediaan Komoditas Pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan
konsumsi dan/atau cadangan pangan Pemerintah (Pasal 30 ayat 1). Kecukupan
kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri (Pasal 30 ayat 2).
Persyaratan Administratif dan Standar Mutu
Setiap Komoditas Pertanian yang diimpor harus memenuhi persyaratan
administratif dan standar mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2)
huruf c (Pasal 31 ayat 1). Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit meliputi: a. surat izin impor; b. tanggal panen dan tanggal
kedaluwarsa; dan c. surat keterangan asal negara penghasil dan negara
pengekspor (Pasal 31 ayat 2). Setiap Orang yang mengimpor Komoditas
Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan
administratif (Pasal 31 ayat 3).
Selain persyaratan administratif dan standar mutu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), komoditas pangan harus memenuhi keamanan
pangan (Pasal 31 ayat 4). Ketentuan mengenai persyaratan administratif, standar
mutu, dan keamanan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah (Pasal 31 ayat 5).
Ganti Rugi Gagal Panen Akibat Kejadian Luar Biasa
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat
memberikan bantuan ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e sesuai dengan kemampuan
keuangan negara (Pasal 33 ayat 1). Untuk menghitung bantuan ganti rugi gagal
Page 127
118
panen akibat kejadian luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban: a.
menentukan jenis tanaman dan menghitung luas tanam yang rusak; b.
menentukan jenis dan menghitung ternak yang mati; dan c. menetapkan besaran
ganti rugi tanaman dan/atau ternak (Pasal 33 ayat 2).
Sistem Peringatan Dini dan Dampak Perubahan Iklim
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
membangun sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf f untuk mengantisipasi gagal
panen akibat bencana alam (Pasal 34). Pemerintah wajib melakukan prakiraan
iklim untuk mengantisipasi terjadinya gagal panen (Pasal 35 ayat 1). Pemerintah
dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib mengantisipasi
terjadinya gagal panen dengan melakukan: a. peramalan serangan organisme
pengganggu tumbuhan, serangan hama, dan/atau wabah penyakit hewan
menular; dan b. upaya penanganan terhadap hasil prakiraan iklim dan peramalan
serangan organisme pengganggu tumbuhan, serangan hama, dan/atau wabah
penyakit hewan menular (Pasal 35 ayat 2). Ketentuan lebih lanjut mengenai
sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim diatur dengan
Peraturan Menteri (Pasal 36).
Asuransi Pertanian
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban melindungi Usaha Tani yang dilakukan oleh Petani sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dalam bentuk Asuransi Pertanian (Pasal 37 ayat
1). Asuransi Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
melindungi Petani dari kerugian gagal panen akibat: a. bencana alam; b. serangan
organisme pengganggu tumbuhan; c. wabah penyakit hewan menular; d. dampak
perubahan iklim; dan/atau e. jenis risiko-risiko lain diatur dengan Peraturan
Menteri (Pasal 37 ayat 2).
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
menugaskan badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah di
Page 128
119
bidang asuransi untuk melaksanakan Asuransi Pertanian (Pasal 38 ayat 1).
Pelaksanaan Asuransi Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 38
ayat 2). Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
memfasilitasi setiap Petani menjadi peserta Asuransi Pertanian (Pasal 39 ayat 1).
Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kemudahan
pendaftaran untuk menjadi peserta; b. kemudahan akses terhadap perusahaan
asuransi; c. sosialisasi program asuransi terhadap Petani dan perusahaan
asuransi; dan/atau d. bantuan pembayaran premi (Pasal 39 ayat 2).
Pemberdayaan Petani (Bab V)
Pemberdayaan Petani dilakukan untuk memajukan dan mengembangkan
pola pikir dan pola kerja Petani, meningkatkan Usaha Tani, serta menumbuhkan
dan menguatkan Kelembagaan Petani agar mampu mandiri dan berdaya saing
tinggi (Pasal 40).
Pendidikan dan Pelatihan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kepada Petani (Pasal
42 ayat 1). Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
antara lain berupa: a. pengembangan program pelatihan dan pemagangan; b.
pemberian beasiswa bagi Petani untuk mendapatkan pendidikan di bidang
Pertanian; atau c. pengembangan pelatihan kewirausahaan di bidang agribisnis
(Pasal 42 ayat 2). Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) yang
sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan serta memenuhi kriteria berhak
memperoleh bantuan modal dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah (Pasal
42 ayat 3).
Persyaratan Petani yang berhak memperoleh bantuan modal dari
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Menteri (Pasal
42 ayat 4). Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban meningkatkan keahlian dan keterampilan Petani melalui pendidikan
dan pelatihan secara berkelanjutan (Pasal 43 ayat 1). Selain Pemerintah dan
Page 129
120
Pemerintah Daerah, badan dan/atau lembaga yang terakreditasi dapat
melaksanakan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 43 ayat 2).
Untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan Petani sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan melalui sertifikasi kompetensi (Pasal 43 ayat 3).
Petani yang telah ditingkatkan kompetensinya melalui pendidikan dan pelatihan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 wajib menerapkan tata cara budi daya,
pascapanen, pengolahan, dan pemasaran yang baik untuk meningkatkan kualitas
dan daya saing secara berkelanjutan sesuai dengan Peraturan Menteri (Pasal 44).
Penyuluhan dan Pendampingan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
memberi fasilitas penyuluhan dan pendampingan kepada Petani (Pasal 46 ayat 1).
Pemberian fasilitas penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa
pembentukan lembaga penyuluhan dan penyediaan penyuluh (Pasal 46 ayat 2).
Lembaga penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pasal 46 ayat 3). Penyuluhan dan
pendampingan dilakukan antara lain agar Petani dapat melakukan: a. tata cara
budi daya, pascapanen, pengolahan, dan pemasaran yang baik; b. analisis
kelayakan usaha; dan c. kemitraan dengan Pelaku Usaha (Pasal 46 ayat 6).
Setiap Orang dilarang melakukan penyuluhan yang tidak sesuai dengan materi
penyuluhan dalam bentuk teknologi tertentu yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah, kecuali yang bersumber dari pengetahuan
tradisional (Pasal 47).
Sistem dan Sarana Pemasaran Hasil Pertanian
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
melakukan Pemberdayaan Petani melalui pengembangan sistem dan sarana
pemasaran hasil Pertanian (Pasal 48 ayat 1). Pengembangan sistem dan sarana
pemasaran hasil Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
dengan: a. mewujudkan pasar hasil Pertanian yang memenuhi standar keamanan
pangan, sanitasi, serta memperhatikan ketertiban umum; b. mewujudkan terminal
Page 130
121
agribisnis dan subterminal agribisnis untuk pemasaran hasil Pertanian; c.
mewujudkan fasilitas pendukung pasar hasil Pertanian; d. memfasilitasi
pengembangan pasar hasil Pertanian yang dimiliki dan/atau dikelola oleh
Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, koperasi, dan/atau kelembagaan
ekonomi Petani lainnya di daerah produksi Komoditas Pertanian; e. membatasi
pasar modern yang bukan dimiliki dan/atau tidak bekerja sama dengan Kelompok
Tani, Gabungan Kelompok Tani, koperasi, dan/atau kelembagaan ekonomi
Petani lainnya di daerah produksi Komoditas Pertanian; f. mengembangkan pola
kemitraan Usaha Tani yang saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan
menguntungkan; g. mengembangkan sistem pemasaran dan promosi hasil
Pertanian; h. mengembangkan pasar lelang; i. menyediakan informasi pasar; dan
g. mengembangkan lindung nilai (Pasal 48 ayat 2).
Petani dapat melakukan kemitraan usaha dengan Pelaku Usaha dalam
pemasarkan hasil Pertanian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan (Pasal 49). Setiap Orang yang mengelola pasar modern berkewajiban
mengutamakan penjualan Komoditas Pertanian dalam negeri (Pasal 50).
Transaksi jual beli Komoditas Pertanian di pasar induk, terminal agribisnis, dan
subterminal agribisnis dapat dilakukan melalui mekanisme pelelangan (Pasal 51
ayat 1).
Komoditas Pertanian yang dipasarkan harus memenuhi standar mutu (Pasal
52 ayat 1). Pemerintah menetapkan standar mutu untuk setiap jenis Komoditas
Pertanian (Pasal 52 ayat 2). Setiap Petani yang memproduksi Komoditas
Pertanian wajib memenuhi standar mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
ayat (1) (Pasal 53 ayat 1). Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya membina Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2)
untuk memenuhi standar mutu Komoditas Pertanian (Pasal 53 ayat 2).
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
menyelenggarakan promosi dan sosialisasi pentingnya mengonsumsi Komoditas
Pertanian dalam negeri (Pasal 54). Konsolidasi dan Jaminan Luasan Lahan
Pertanian Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban memberikan jaminan ketersediaan lahan Pertanian (Pasal 55 ayat
1). Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a.
Page 131
122
konsolidasi lahan Pertanian; dan b. jaminan luasan lahan Pertanian (Pasal 55
ayat 2).
Konsolidasi Lahan Pertanian
Konsolidasi lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2)
huruf a merupakan penataan kembali penggunaan dan pemanfaatan lahan sesuai
dengan potensi dan rencana tata ruang wilayah untuk kepentingan lahan
Pertanian (Pasal 56 ayat 1). Konsolidasi lahan Pertanian diutamakan untuk
menjamin luasan lahan Pertanian bagi Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2) agar mencapai tingkat kehidupan yang layak (Pasal 56 ayat 2).
Konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a.
pengendalian alih fungsi lahan Pertanian; dan b. pemanfaatan lahan Pertanian
yang terlantar (Pasal 56 ayat 3).
Selain konsolidasi lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat
melakukan perluasan lahan Pertanian melalui penetapan lahan terlantar yang
potensial sebagai lahan Pertanian (Pasal 57 ayat 1). Perluasan lahan Pertanian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan (Pasal 57ayat 2).
Jaminan Luasan Lahan Pertanian
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban memberikan jaminan luasan lahan Pertanian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b bagi Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2) (Pasal 58 ayat 1). Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memberikan kemudahan untuk memperoleh tanah negara
bebas yang diperuntukan atau ditetapkan sebagai kawasan Pertanian (Pasal 58
ayat 2). Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. pemberian
paling luas 2 hektare tanah negara bebas yang telah ditetapkan sebagai kawasan
Pertanian kepada Petani, yang telah melakukan Usaha Tani paling sedikit 5 (lima)
tahun berturut-turut; b. pemberian lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 57 ayat (1) (Pasal 58 ayat 3). Selain kemudahan sebagaimana dimaksud
Page 132
123
pada ayat (3), Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
memfasilitasi pinjaman modal bagi Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (2) untuk memiliki dan/atau memperluas kepemilikan lahan Pertanian (Pasal
58 ayat 4).
Kemudahanbagi petani untuk memperoleh lahan Pertanian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf a diberikan dalam bentuk hak sewa, izin
pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan (Pasal 59). Pemberian
lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf b
diutamakan kepada Petani setempat yang: a. tidak memiliki lahan dan telah
mengusahakan lahan Pertanian di lahan yang diperuntukkan sebagai kawasan
Pertanian selama 5 (lima) tahun berturut-turut; atau b. memiliki lahan Pertanian
kurang dari 2 (dua) hektare (Pasal 60). Petani dilarang mengalihfungsikan lahan
Pertanian yang diperoleh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) menjadi
lahan non-Pertanian (Pasal 63 ayat 1). Petani dilarang mengalihkan lahan
Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) kepada pihak lain
secara keseluruhan atau sebagian, kecuali mendapat izin dari Pemerintah atau
pemerintah daerah (Pasal 63 ayat 2).
Fasilitas Pembiayaan dan Permodalan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban memfasilitasi pembiayaan dan permodalan Usaha Tani (Pasal 66
ayat 1). Pemberian fasilitas pembiayaan dan permodalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan: a. pinjaman modal untuk memiliki dan/atau
memperluas kepemilikan lahan Pertanian; b. pemberian bantuan penguatan
modal bagi Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2); c. pemberian
subsidi bunga kredit program dan/atau imbal jasa penjaminan; dan/atau d.
pemanfaatan dana tanggung jawab sosial serta dana program kemitraan dan bina
lingkungan dari badan usaha (Pasal 66 ayat 2).
Akses Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Informasi
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban memberikan kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan
informasi untuk mencapai standar mutu Komoditas Pertanian (Pasal 67 ayat 1).
Page 133
124
Kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. kerja sama alih teknologi;
dan c. penyediaan fasilitas bagi Petani untuk mengakses ilmu pengetahuan,
teknologi, dan informasi (Pasal 67 ayat 2).
Penyediaan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf
c paling sedikit berupa: a. sarana produksi Pertanian; b. harga Komoditas
Pertanian; c. peluang dan tantangan pasar; d. prakiraan iklim, dan ledakan
organisme pengganggu tumbuhan dan/atau wabah penyakit hewan menular; e.
pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan; f. pemberian subsidi dan bantuan modal;
dan g. ketersediaan lahan Pertanian (Pasal 68 ayat 1). Informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus akurat, tepat waktu, dan dapat diakses dengan
mudah dan cepat oleh Petani, Pelaku Usaha, dan/atau masyarakat (Pasal 68
ayat 2).
Penguatan Kelembagaan
Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
terdiri atas: a. Kelompok Tani; b. Gabungan Kelompok Tani; c. Asosiasi Komoditas
Pertanian; dan d. Dewan Komoditas Pertanian Nasional (Pasal 70 ayat 1).
Kelembagaan Ekonomi Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
berupa badan usaha milik Petani (Pasal 70 ayat 2). Asosiasi Komoditas Pertanian
bertugas: a. menampung dan menyalurkan aspirasi Petani; b. mengadvokasi dan
mengawasi pelaksanaan kemitraaan Usaha Tani; c. memberikan masukan kepada
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani; d. mempromosikan Komoditas Pertanian
yang dihasilkan anggota, di dalam negeri dan di luar negeri; e. mendorong
persaingan Usaha Tani yang adil; f. memfasilitasi anggota dalam mengakses
sarana produksi dan teknologi; dan g. membantu menyelesaikan permasalahan
dalam ber-Usaha Tani (Pasal 78).
Kelembagaan Ekonomi Petani
Badan usaha milik Petani dibentuk oleh, dari, dan untuk Petani melalui
Gabungan Kelompok Tani dengan penyertaan modal yang seluruhnya dimiliki oleh
Gabungan Kelompok Tani (Pasal 80 ayat 1). Badan usaha milik Petani
Page 134
125
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk koperasi atau badan usaha
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 80 ayat
2). Badan usaha milik Petani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
untuk meningkatkan skala ekonomi, daya saing, wadah investasi, dan
mengembangkan jiwa kewirausahaan Petani (Pasal 80 ayat 3).
Pembiayaan dan Pendanaan (Bab VI)
PembiayaandanpendanaandalamkegiatanPerlindungan dan Pemberdayaan
Petani dilakukan untuk mengembangkan Usaha Tani melalui: a. lembaga
perbankan; dan/atau b. Lembaga Pembiayaan (Pasal 83).
Lembaga Perbankan
Dalam melaksanakan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Pemerintah
menugasi Badan Usaha Milik Negara bidang perbankan dan Pemerintah Daerah
menugasi Badan Usaha Milik Daerah bidang perbankan untuk melayani kebutuhan
pembiayaan Usaha Tani dan badan usaha milik Petani sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan (Pasal 84 ayat 1). Untuk melaksanakan
penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Usaha Milik Negara
bidang perbankan dan Badan Usaha Milik Daerah bidang perbankan membentuk
unit khusus pertanian (Pasal 84 ayat 2). Untuk melaksanakan penyaluran kredit
dan/atau pembiayaan Usaha Tani, pihak bank berperan aktif membantu Petani
agar memenuhi persyaratan memperoleh kredit dan/atau pembiayaan (Pasal 86
ayat 1).
Lembaga Pembiayaan Petani
Dalam melaksanakan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Pemerintah
dan Pemerintah Daerah berkewajiban menugasi Lembaga Pembiayaan Pemerintah
atau Pemerintah Daerah untuk melayani Petani dan/atau badan usaha milik Petani
memperoleh pembiayaan Usaha Tani sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangaan (Pasal 88).
Page 135
126
Pengawasan (Bab VII)
Untuk menjamin tercapainya tujuan Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani, dilakukan pengawasan terhadap kinerja perencanaan dan pelaksanaan
(Pasal 92 ayat 1). Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pemantauan, pelaporan, dan evaluasi (Pasal 92 ayat 2). Pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah
dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya (Pasal 92 ayat 3). Dalam
melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dapat melibatkan masyarakat dalam pemantauan dan
pelaporan dengan memberdayakan potensi yang ada (Pasal 92 ayat 4).
Peran Serta Masyarakat (Bab VIII)
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dapat
dilakukan secara perseorangan dan/atau berkelompok (Pasal 96 ayat 1). Peran
serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan
terhadap: a. penyusunan perencanaan; b. Perlindungan Petani; c. Pemberdayaan
Petani; d. pembiayaan dan pendanaan; dan e. Pengawasan (Pasal 96 ayat 2).
Masyarakat dalam Perlindungan Petani dapat berperan serta dalam: a.
memelihara dan menyediakan prasarana Pertanian; b. mengutamakan konsumsi
hasil Pertanian dalam negeri; c. menyediakan bantuan sosial bagi Petani yang
mengalami bencana; dan d. melaporkan adanya pungutan yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 97). Masyarakat dalam
Pemberdayaan Petani dapat berperan serta dalam menyelenggarakan: a.
pendidikan nonformal; b. pelatihan dan pemagangan; c. penyuluhan; d.
pencegahan alih fungsi lahan Pertanian; e. penguatan Kelembagaan Petani dan
Kelembagaan Ekonomi Petani; f. pemberian fasilitas sumber pembiayaan atau
permodalan; dan/atau g. pemberian fasilitas akses terhadap informasi (Pasal 98).
3.8.2. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan
Keterkaitan UU No. 19/2013 dengan Renstra Kementan 2015-2019
Keterkaitan UU No. 19/2013tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
Petanidengan Renstra Kementan 2015-2019 tercantum pada Pasal 30 ayat 1:
Page 136
127
Setiap Orang dilarang mengimpor Komoditas Pertanian pada saat ketersediaan
Komoditas Pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi
dan/atau cadangan pangan Pemerintah; Pasal 30 ayat 2: Kecukupan kebutuhan
konsumsi dan cadangan pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri. Hal ini terkait dengan salah satu tujuan Renstra, yakni
meningkatkan ketersediaan dan diversifikasi untuk mewujudkan kedaulatan
pangan.
Pasal lain yang terkait dengan tujuan Renstra Kementan 2015-2019 berupa
upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, tertuang pada UU No.
19/2013 Pasal 3: Perlindungan dan Pemberdayaan Petani bertujuan untuk: a.
mewujudkan kedaulatan dan kemandirian Petani dalam rangka meningkatkan
taraf kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan yang lebih baik; b. menyediakan
prasarana dan sarana Pertanian yang dibutuhkan dalam mengembangkan Usaha
Tani; c. memberikan kepastian Usaha Tani; d. melindungi Petani dari fluktuasi
harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan gagal panen; e. meningkatkan
kemampuan dan kapasitas Petani serta Kelembagaan Petani dalam menjalankan
Usaha Tani yang produktif, maju, modern dan berkelanjutan; dan f.
menumbuhkembangkan kelembagaan pembiayaan Pertanian yang melayani
kepentingan Usaha Tani.
Strategi utama Renstra Kementan tentang peningkatan ketersediaan dan
pemanfaatan lahan didukung beberapa Pasal dalam UU No. 19/2013. Konsolidasi
dan Jaminan Luasan Lahan Pertanian Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya berkewajiban memberikan jaminan ketersediaan lahan
Pertanian, dilakukan melalui: a. konsolidasi lahan Pertanian; dan b. jaminan
luasan lahan Pertanian (Pasal 55). Jaminan dilakukan dengan memberikan
kemudahan untuk memperoleh tanah negara bebas yang diperuntukan atau
ditetapkan sebagai kawasan Pertanian, berupa: a. pemberian paling luas 2
hektare tanah negara bebas yang telah ditetapkan sebagai kawasan Pertanian
kepada Petani, yang telah melakukan Usaha Tani paling sedikit 5 (lima) tahun
berturut-turut.
Selain itu, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya memfasilitasi pinjaman modal bagi Petani untuk memiliki
Page 137
128
dan/atau memperluas kepemilikan lahan Pertanian (Pasal 58). Kemudahan bagi
Petani untuk memperoleh lahan Pertanian diberikan dalam bentuk hak sewa, izin
pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan (Pasal 59). Pemberian
lahan Pertanian sebagaimana diutamakan kepada Petani setempat yang: a. tidak
memiliki lahan dan telah mengusahakan lahan Pertanian di lahan yang
diperuntukkan sebagai kawasan Pertanian selama 5 (lima) tahun berturut-turut;
atau b. memiliki lahan Pertanian kurang dari 2 (dua) hektare (Pasal 60).
Peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian juga merupakan strategi
utama Renstra Kementan yang diperkuat Pasal 16; 17; 18; 19; dan 21 UU No.
19/2013, bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, juga Pelaku Usaha dapat
menyediakan dan/atau mengelola prasarana Pertanian antara lain meliputi: a.
jalan usaha tani, jalan produksi, dan jalan desa; b. bendungan, dam, jaringan
irigasi, dan embung; dan c. jaringan listrik, pergudangan, pelabuhan, dan pasar.
Petani berkewajiban memelihara prasarana Pertanian yang telah ada. Pemerintah
dan Pemerintah Daerah menyediakan sarana produksi Pertanian secara tepat
waktu dan tepat mutu serta harga terjangkau bagi Petani.
Sarana produksi Pertanian meliputi: a. benih, bibit, bakalan ternak, pupuk,
pestisida, pakan, dan obat hewan sesuai dengan standar mutu; dan b. alat dan
mesin Pertanian sesuai standar mutu dan kondisi spesifik lokasi. Penyediaan
sarana produksi Pertanian diutamakan berasal dari produksi dalam negeri.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah membina Petani, Kelompok Tani, dan
Gabungan Kelompok Tani dalam menghasilkan sarana produksi Pertanian yang
berkualitas, dan memberikan subsidi benih atau bibit tanaman, bibit atau bakalan
ternak, pupuk, dan/atau alat dan mesin Pertanian sesuai dengan kebutuhan, serta
harus tepat guna, tepat sasaran, tepat waktu, tepat lokasi, tepat jenis, tepat
mutu, dan tepat jumlah. Keseluruhan persyaratan tersebut tercakup dalam
strategi utama Renstra Kementan dalam pengembangan dan perluasan logistik
benih/bibit.
Penguatan kelembagaan petani yang juga merupakan bagian dari strategi
utama Renstra Kementan sejalan dengan UU No. 19/2013 Pasal 70 dan 78,
bahwaKelembagaan Petani terdiri atas: a. Kelompok Tani; b. Gabungan
Kelompok Tani; c. Asosiasi Komoditas Pertanian; dan d. Dewan Komoditas
Page 138
129
Pertanian Nasional. Kelembagaan Ekonomi Petani tersebut berupa badan usaha
milik Petani. Asosiasi Komoditas Pertanian bertugas: a. menampung dan
menyalurkan aspirasi Petani; b. mengadvokasi dan mengawasi pelaksanaan
kemitraaan Usaha Tani; c. memberikan masukan kepada Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani; d. mempromosikan Komoditas Pertanian yang dihasilkan anggota, di
dalam negeri dan di luar negeri; e. mendorong persaingan Usaha Tani yang adil;
f. memfasilitasi anggota dalam mengakses sarana produksi dan teknologi; dan g.
membantu menyelesaikan permasalahan dalam ber-Usaha Tani.
UU No. 19/2013 Pasal 83: Pembiayaan dan pendanaan dalam kegiatan
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dilakukan untuk mengembangkan Usaha
Tani melalui: a. lembaga perbankan; dan/atau b. Lembaga Pembiayaan; terkait
dengan strategi utama Renstra Kementan mengenai pengembangan dan
penguatan pembiayaan pertanian. Strategi utama lainnya berupa penguatan
jaringan pasar produk pertanian diperkuat oleh UU No. 19/2013 Pasal 22 dan 23.
Untuk menjamin kepastian usaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah
berkewajiban: a. menetapkan kawasan Usaha Tani berdasarkan kondisi dan
potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan; b.
memberikan jaminan pemasaran hasil Pertanian kepada Petani yang
melaksanakan Usaha Tani sebagai program Pemerintah; c. memberikan
keringanan Pajak Bumi dan Bangunan bagi lahan Pertanian produktif yang
diusahakan secara berkelanjutan; dan d. mewujudkan fasilitas pendukung pasar
hasil Pertanian. Jaminan pemasaran merupakan hak Petani untuk mendapatkan
penghasilan yang menguntungkan dan dapat dilakukan melalui: a. pembelian
secara langsung; b. penampungan hasil Usaha Tani; dan/atau c. pemberian
fasilitas akses pasar.
Strategi penunjang Renstra Kementan berupa penguatan dan peningkatan
kapasitas SDM pertanian didukung UU No. 19/2013 Pasal 40: Pemberdayaan
Petani dilakukan untuk memajukan dan mengembangkan pola pikir dan pola kerja
Petani, meningkatkan Usaha Tani, serta menumbuhkan dan menguatkan
Kelembagaan Petani agar mampu mandiri dan berdaya saing tinggi; Pasal 46
ayat 6: Penyuluhan dan pendampingan dilakukan antara lain agar Petani dapat
Page 139
130
melakukan: a. tata cara budi daya, pascapanen, pengolahan, dan pemasaran
yang baik; b. analisis kelayakan usaha; dan c. kemitraan dengan Pelaku Usaha.
Ketentuan UU No. 19/2013 Pasal 67 dan 68 dijabarkan lebih lanjut pada
strategi penunjang Renstra Kementan berupa pelayanan informasi publik.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan kemudahan akses ilmu
pengetahuan, teknologi, dan informasi untuk mencapai standar mutu Komoditas
Pertanian. Kemudahan akses meliputi: a. penyebarluasan ilmu pengetahuan dan
teknologi; b. kerja sama alih teknologi; dan c. penyediaan fasilitas bagi Petani
untuk mengakses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi. Penyediaan
informasi paling sedikit berupa: a. sarana produksi Pertanian; b. harga Komoditas
Pertanian; c. peluang dan tantangan pasar; d. prakiraan iklim, dan ledakan
organisme pengganggu tumbuhan dan/atau wabah penyakit hewan menular; e.
pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan; f. pemberian subsidi dan bantuan modal;
dan g. ketersediaan lahan Pertanian. Informasi tersebut harus akurat, tepat
waktu, dan dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh Petani, Pelaku Usaha,
dan/atau masyarakat.
Pengelolaan teknologi informasi dan komunikasi yang merupakan strategi
penunjang Renstra Kementan, terkait dengan UU No. 19/2013 Pasal 1 ayat 2:
Pemberdayaan Petani adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan
Petani untuk melaksanakan Usaha Tani yang lebih baik melalui pendidikan dan
pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengem-bangan sistem dan sarana
pemasaran hasil Pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian,
kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan
Kelembagaan Petani.
Aspek penataan dan penguatan organisasi sebagai strategi penunjang
Renstra Kementan, terkait dengan UU No. 19/2013 Pasal 80, bahwa Badan usaha
milik Petani dibentuk oleh, dari, dan untuk Petani melalui Gabungan Kelompok
Tani dengan penyertaan modal yang seluruhnya dimiliki oleh Gabungan Kelompok
Tani. Badan usaha milik Petani berbentuk koperasi atau badan usaha lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan berfungsi untuk
meningkatkan skala ekonomi, daya saing, wadah investasi, dan mengembangkan
jiwa kewirausahaan Petani.
Page 140
131
UU No. 19/2013 Pasal 92 dinyatakan bahwa untuk menjamin tercapainya
tujuan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dilakukan pengawasan terhadap
kinerja perencanaan dan pelaksanaan. Pengawasan tersebut meliputi
pemantauan, pelaporan, dan evaluasi, serta dilaksanakan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah. Dalam melaksanakan pengawasan Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dapat melibatkan masyarakat dalam pemantauan dan
pelaporan dengan memberdayakan potensi yang ada. Hal ini ditegaskan dalam
strategi penunjang Renstra Kementan berupa pengelolaan sistem pengawasan.
Keterkaitan UU No. 19/2013 dengan Program Kementan
Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Hasil Tanaman
Pangan dengan kegiatan berupa Pengelolaan Produksi Tanaman Aneka Kacang
dan Umbi, serta sasaran kegiatan Peningkatan Produksi Kedelai, Ubikayu, Ubijalar,
Kacang Tanah, dan Kacang Hijau; terkait dengan UU No. 19/2013 Pasal 1 ayat 4
yang memuat pengertian pertanian secara luas, termasuk tanaman pangan,
hortikultura, dan perkebunan. Program Pengelolaan Sistem Penyediaan
Benih/Bibit Tanaman Pangan, Perkebunan, dan Peternakan, juga Program
Fasilitasi Pupuk dan Pestisida; telah sejalan dengan UU No. 19/2013 Pasal 19:
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan sarana produksi Pertanian
secara tepat waktu dan tepat mutu serta harga terjangkau bagi Petani. Sarana
produksi Pertanian paling sedikit meliputi: a. benih, bibit, bakalan ternak, pupuk,
pestisida, pakan, dan obat hewan sesuai dengan standar mutu; dan b. alat dan
mesin Pertanian sesuai standar mutu dan kondisi spesifik lokasi.
Program Penguatan Perlindungan Tanaman Pangan dari Gangguan OPT
dan DPI, didukung oleh UU No. 19/2013 Pasal 34: Pemerintah dan Pemerintah
Daerah membangun sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan
iklim untuk mengantisipasi gagal panen akibat bencana alam. Program
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan,
dan Peternakan diperkuat oleh UU No. 19/2013 Pasal 22 dan 23: Untuk menjamin
kepastian usaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban: a.
menetapkan kawasan Usaha Tani berdasarkan kondisi dan potensi sumber daya
alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan; b. memberikan jaminan
Page 141
132
pemasaran hasil Pertanian kepada Petani yang melaksanakan Usaha Tani sebagai
program Pemerintah; c. memberikan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan bagi
lahan Pertanian produktif yang diusahakan secara berkelanjutan; dan d.
mewujudkan fasilitas pendukung pasar hasil Pertanian. Jaminan pemasaran
merupakan hak Petani untuk mendapatkan penghasilan yang menguntungkan.
Jaminan pemasaran dapat dilakukan melalui: a. pembelian secara langsung; b.
penampungan hasil Usaha Tani; dan/atau c. pemberian fasilitas akses pasar.
UU No. 19/2013 Pasal 35 ayat 2: Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
mengantisipasi terjadinya gagal panen dengan melakukan: a. peramalan serangan
organisme pengganggu tumbuhan, serangan hama, dan/atau wabah penyakit
hewan menular; dan b. upaya penanganan terhadap hasil prakiraan iklim dan
peramalan serangan organisme pengganggu tumbuhan, serangan hama, dan/atau
wabah penyakit hewan menular; terkait dengan Program Dukungan Perlindungan
Perkebunan. Ketentuan mengenai standar mutu yang tercantum pada Pasal 52
dan 53: Komoditas Pertanian yang dipasarkan harus memenuhi standar mutu,
Pemerintah menetapkan standar mutu untuk setiap jenis Komoditas Pertanian.
Setiap Petani yang memproduksi Komoditas Pertanian wajib memenuhi standar
mutu Pemerintah dan Pemerintah Daerah membina Petani untuk memenuhi
standar mutu Komoditas Pertanian; mendukung Program Dukungan Pengujian
dan Pengawasan Mutu Benih Serta Penyiapan Teknologi Proteksi Tanaman
Perkebunan; juga Program Penjaminan Produk Hewan yang ASUH (Aman, Sehat,
Utuh, dan Halal).
Program Pengelolaan Air Irigasi untuk Pertanian diperkuat dengan UU No.
19/2013 Pasal 16: Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dan/atau
mengelola prasarana Pertanian. Prasarana Pertanian antara lain meliputi: a. jalan
Usaha Tani, jalan produksi, dan jalan desa; b. bendungan, dam, jaringan irigasi,
dan embung; dan c. jaringan listrik, pergudangan, pelabuhan, dan pasar. Program
Perluasan dan Perlindungan Lahan Pertanian didukung UU No. 19/2013 Pasal 58:
Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan jaminan luasan lahan Pertanian
bagi Petani. Jaminan dilakukan dengan memberikan kemudahan untuk
memperoleh tanah negara bebas yang diperuntukan atau ditetapkan sebagai
kawasan Pertanian. Kemudahan tersebut berupa: a. pemberian paling luas 2
Page 142
133
hektare tanah negara bebas yang telah ditetapkan sebagai kawasan Pertanian
kepada Petani, yang telah melakukan Usaha Tani paling sedikit 5 (lima) tahun
berturut-turut; b. pemberian lahan Pertanian.
Program Fasilitasi Pembiayaan Pertanian terkait dengan UU No. 19/2013
Pasal 33: Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
dapat memberikan bantuan ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa
sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Untuk menghitung bantuan ganti
rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa Pemerintah dan Pemerintah Daerah
berkewajiban: a. menentukan jenis tanaman dan menghitung luas tanam yang
rusak; b. menentukan jenis dan menghitung ternak yang mati; dan c. menetapkan
besaran ganti rugi tanaman dan/atau ternak; Pasal 37: Pemerintah dan
Pemerintah Daerah berkewajiban melindungi Usaha Tani yang dilakukan oleh
Petani dalam bentuk Asuransi Pertanian. Asuransi Pertanian dilakukan untuk
melindungi Petani dari kerugian gagal panen akibat: a. bencana alam; b. serangan
organisme pengganggu tumbuhan; c. wabah penyakit hewan menular; d. dampak
perubahan iklim; dan/atau e. jenis risiko-risiko lain diatur dengan Peraturan
Menteri. Pasal 58 ayat 4: Selain kemudahan tersebut, Pemerintah dan Pemerintah
Daerah memfasilitasi pinjaman modal bagi Petani untuk memiliki dan/atau
memperluas kepemilikan lahan Pertanian.
UU No. 19/2013 Pasal 67 dan 68 memperkuat Program Pengkajian dan
Percepatan Diseminasi Inovasi Teknologi Pertanian. Pemerintah dan Pemerintah
Daerah berkewajiban memberikan kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi,
dan informasi untuk mencapai standar mutu Komoditas Pertanian. Kemudahan
akses meliputi: a. penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. kerja sama
alih teknologi; dan c. penyediaan fasilitas bagi Petani untuk mengakses ilmu
pengetahuan, teknologi, dan informasi. Penyediaan informasi paling sedikit
berupa: a. sarana produksi Pertanian; b. harga Komoditas Pertanian; c. peluang
dan tantangan pasar; d. prakiraan iklim, dan ledakan organisme pengganggu
tumbuhan dan/atau wabah penyakit hewan menular; e. pendidikan, pelatihan,
dan penyuluhan; f. pemberian subsidi dan bantuan modal; dan g. ketersediaan
lahan Pertanian. Informasi harus akurat, tepat waktu, dan dapat diakses dengan
mudah dan cepat oleh Petani, Pelaku Usaha, dan/atau masyarakat.
Page 143
134
Program Pemantapan Sistem Pelatihan Pertanian terkait dengan UU No.
19/2013 Pasal 1 ayat 2: Pemberdayaan Petani adalah segala upaya untuk
meningkatkan kemampuan Petani untuk melaksanakan Usaha Tani yang lebih
baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan,
pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian, konsolidasi dan
jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi
dan informasi, serta penguatan Kelembagaan Petani.
Program Revitalisasi Pendidikan Pertanian telah didukung oleh UU No.
19/2013 Pasal 42 dan 44: Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berkewajiban menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
kepada Petani. Pendidikan dan pelatihan antara lain berupa: a. pengembangan
program pelatihan dan pemagangan; b. pemberian beasiswa bagi Petani untuk
mendapatkan pendidikan di bidang Pertanian; atau c. pengembangan pelatihan
kewirausahaan di bidang agribisnis. Petani yang sudah mendapatkan pendidikan
dan pelatihan serta memenuhi kriteria berhak memperoleh bantuan modal dari
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Persyaratan Petani yang berhak memperoleh bantuan modal dari
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Menteri.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban meningkatkan keahlian dan
keterampilan Petani melalui pendidikan dan pelatihan secara berkelanjutan. Selain
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, badan dan/atau lembaga yang terakreditasi
dapat melaksanakan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan Petani
dapat dilakukan melalui sertifikasi kompetensi. Petani yang telah ditingkatkan
kompetensinya melalui pendidikan dan pelatihan wajib menerapkan tata cara budi
daya, pascapanen, pengolahan, dan pemasaran yang baik untuk meningkatkan
kualitas dan daya saing secara berkelanjutan sesuai dengan Peraturan Menteri.
UU No. 19/2013 Pasal 7 ayat 3: Strategi Pemberdayaan Petani dilakukan
melalui: a. pendidikan dan pelatihan; b. penyuluhan dan pendampingan; c.
pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian; d. konsolidasi dan
jaminan luasan lahan Pertanian; e. penyediaan fasilitas pembiayaan dan
permodalan; f. Kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan infor-masi;
Page 144
135
dan g. penguatan Kelembagaan Petani; telah sejalan dengan Program
Pemantapan Sistem Penyuluhan Pertanian. Demikian pula dengan Pasal 46 dan
47: Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberi fasilitas penyuluhan dan
pendampingan kepada Petani. Pemberian fasilitas penyuluhan, berupa
pembentukan lembaga penyuluhan dan penyediaan penyuluh. Lembaga
penyuluhan dibentuk oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Penyuluhan dan
pendampingan dilakukan antara lain agar Petani dapat melakukan: a. tata cara
budi daya, pascapanen, pengolahan, dan pemasaran yang baik; b. analisis
kelayakan usaha; dan c. kemitraan dengan Pelaku Usaha. Setiap Orang dilarang
melakukan penyuluhan yang tidak sesuai dengan materi penyuluhan dalam
bentuk teknologi tertentu yang telah ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah, kecuali yang bersumber dari pengetahuan tradisional.
Program Pengembangan Sistem Distribusi dan Stabilitas Harga Pangan
diperkuat dengan UU No. 19/2013 Pasal 30, bahwa Setiap Orang dilarang
mengimpor Komoditas Pertanian pada saat ketersediaan Komoditas Pertanian
dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan
Pemerintah. Kecukupan kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan Pemerintah
ditetapkan oleh Menteri. Demikian halnya dengan Program Pengembangan
Ketersediaan dan Penanganan Rawan Pangan telah didukung oleh UU No.
19/2013 Pasal 15, bahwa Pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi
Pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Kewajiban
mengutamakan produksi Pertanian dalam negeri dilakukan melalui pengaturan
impor Komoditas Pertanian sesuai dengan musim panen dan/atau kebutuhan
konsumsi dalam negeri. Dalam hal impor Komoditas Pertanian, menteri terkait
harus melakukan koordinasi dengan Menteri.
Program Peningkatan Kepatuhan, Kerja Sama dan Pengembangan Sistem
Informasi Perkarantinaan, terkait dengan UU No. 19/2013 Pasal 28, bahwa
Penetapan tempat pemasukan Komoditas Pertanian dalam kawasan pabean harus
mempertimbangkan: a. daerah sentra produksi Komoditas Pertanian dalam
negeri; dan b. kelengkapan instalasi karantina sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Page 145
136
3.9. Undang-Undang No. 7/2014 Tentang Perdagangan
3.9.1. Pokok-pokok amanat undang-undang
1. Isi UU No.7/2014 tentang Perdagangan yang relevan dalam keterkaitannya
dengan beberapa undang-undang lingkup pertanian adalah: (a) perdagangan
dalam negeri; (b) perdagangan luar negeri; (c) perlindungan dan
pengamanan perdagangan; dan (d) standarisasi.
Perdagangan dalam negeri
2. Pemerintah mengatur kegiatan perdagangan dalam negeri melalui kebijakan
dan pengendalian yang diarahkan pada: (a) peningkatan efisiensi dan
efektivitas distribusi; (b) peningkatan iklim usaha dan kepastian berusaha; (c)
pengintegrasian dan perluasan pasar dalam negeri; (d) peningkatan akses
pasar bagi produk dalam negeri; dan (e) perlindungan konsumen (Pasal 5:
ayat 1-2).
3. Dalam rangka pengembangan, pemberdayaan, dan penguatan Perdagangan
dalam negeri, pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau pemangku
kepentingan lainnya secara sendiri-sendiri atau bersama-sama mengupayakan
peningkatan penggunaan produk dalam negeri (Pasal 22).
4. Pemerintah dan pemerintah daerah mengendalikan ketersediaan barang
kebutuhan pokok dan/atau Barang penting di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik,
dan harga yang terjangkau (Pasal 25). Dalam kondisi tertentu yang dapat
mengganggu kegiatan perdagangan nasional, pemerintah berkewajiban
menjamin pasokan dan stabilisasi harga barang kebutuhan pokok dan barang
penting (Pasal 26:1). Jaminan pasokan dan stabilisasi harga barang
kebutuhan pokok dan barang penting dilakukan untuk menjaga
keterjangkauan harga di tingkat konsumen dan melindungi pendapatan
produsen (Pasal 26:2).
Perdagangan Luar Negeri
5. Kebijakan dan pengendalian perdagangan luar negeri diarahkan untuk: (a)
peningkatan daya saing produk ekspor Indonesia; (b) peningkatan dan
perluasan akses pasar di luar negeri; dan (c) peningkatan kemampuan
Page 146
137
eksportir dan importir sehingga menjadi pelaku usaha yang andal (Pasal
38:2). Dalam rangka peningkatan daya saing nasional Menteri dapat
mengusulkan keringanan atau penambahan pembebanan bea masuk terhadap
barang impor sementara (Pasal 49:4).
6. Pemerintah dapat membatasi ekspor barang dengan alasan: (a) menjamin
terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; (b) menjamin ketersediaan bahan
baku yang dibutuhkan oleh industri pengolahan di dalam negeri; (c)
melindungi kelestarian sumber daya alam; (d) meningkatkan nilai tambah
ekonomi bahan mentah dan/atau sumber daya alam; (e) mengantisipasi
kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditas ekspor tertentu di pasaran
internasional; (f) menjaga stabilitas harga komoditas tertentu di dalam negeri
(Pasal 54:2). Pemerintah dapat membatasi impor barang dengan alasan: (a)
untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam
negeri; (b) untuk menjaga neraca pembayaran dan/atau neraca perdagangan
(Pasal 54:3).
Standardisasi
7. Barang yang diperdagangkan di dalam negeri harus memenuhi: (a) SNI yang
telah diberlakukan secara wajib; (b) persyaratan teknis yang telah
diberlakukan secara wajib (Pasal 57:1). Pelaku usaha dilarang
memperdagangkan barang di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang
telah diberlakukan secara wajib atau persyaratan teknis yang telah
diberlakukan secara wajib (Pasal 57:2).
Pelindungan dan pengamanan perdagangan
8. Dalam hal terjadi lonjakan jumlah barang impor yang menyebabkan produsen
dalam negeri dari barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing
dengan yang diimpor menderita kerugian serius atau ancaman kerugian
serius, pemerintah berkewajiban mengambil tindakan pengamanan
perdagangan untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian serius atau
ancaman kerugian serius dimaksud (Pasal 69:1). Tindakan pengamanan
perdagangan berupa pengenaan bea masuk tindakan pengamanan dan/atau
kuota (Pasal 69:2).
Page 147
138
3.10. Undang-Undang No. 14/1994 Tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
3.10.1. Pokok-pokok amanat undang-undang
Kesepakatan Bidang Pertanian
Kesepakatan bidang pertanian meliputi tiga pilar, yaitu: (1) Akses pasar;
(2) Bantuan domestik; dan (3) Kompetisi ekspor.
Akses Pasar
(1) Konsesi akses pasar berkaitan dengan penurunan tariff dan komitmen
terkait lainnya; (2) Negara-negara anggota diharapkan tidak mempertahankan,
atau memerapkan kembali perlakuan-perlakuan serupa yang telah diamanatkan
untuk dikonversi menjadi tariff bea masuk, kecuali yang telah disepakati.
Pemberian Perlindungan Khusus
Langkah-langkah perlindungan terhadap produk pertanian dapat dilakukan
bila: (a) volume impor produk tersebut yang memasuki wilayah pabean negara
yang memperoleh konsesi telah melampaui tingkat yang telah ditetapkan; (b)
harga produk dimaksud telah turun dibawah harga “trigger” yang telah
ditetapkan.
Tingkat “trigger” ditentukan berdasarkan prinsip sbb: (a) bila akses pasar
bagi produk tersebut kurang/sama dengan 10%, maka “trigger” ditetapkan
sebesar 125%; (b) bila akses pasar produk tersebut lebih tinggi dari 10% tetapi
kurang dari 30%, maka “trigger” ditetapkan sebesar 110%; dan (c) bila akses
pasar produk tersebut lebih tinggi dari 30%, maka “trigger” ditetapkan sebesar
105%.
Tambahan bea masuk ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip sbb: (a) bila
perbedaan harga impor dengan harga “trigger” dari produk impor tersebut kurang
atau sama dengan 10% maka, maka tidak diperkenankan ada tambahan bea
masuk; (b) bila perbedaan harga impor dengan harga “trigger” dari produk impor
tersebut lebih dari 10% tapi kurang dari 40% , maka tambahan bea masuk
ditetapkan sebesar 30%; (c) bila perbedaan harga impor dengan harga “trigger”
dari produk impor tersebut lebih 40% tapi kurang dari 60% , maka tambahan bea
masuk ditetapkan sebesar 40%; (d) bila perbedaan harga impor dengan harga
Page 148
139
“trigger” dari produk impor tersebut lebih dari 60% tapi kurang dari 75% , maka
tambahan bea masuk ditetapkan sebesar 70%; (e) bila perbedaan harga impor
dengan harga “trigger” dari produk impor tersebut lebih dari 75%, maka
tambahan bea masuk ditetapkan sebesar 90%.
Komitmen Bantuan Domestik
(1) Penurunan bantuan domestik berlaku bagi seluruh perlakukan dukungan
domestik yang ditujukan kepada produsen komoditas pertanian dengan
pengecualian dukungan domestik yang tidak terkena penurunan seperti diatur
dalam lampiran 2. Komitmen tersebut dinyatakan dalam “Agregate Measure of
Support (AMS)”.
(2) Perlakuan pemerintah secara langsung atau tidak langsung ditujukan
untuk mendorong pembangunan pertanian dan pedesaan adalah bagian integral
dari program pembangunan negara-negara berkembang, dan subsidi input yang
ditujukan bagi keluarga berpendapatan rendah atau petani miskin sumber daya di
negara-negara berkembang dikecualikan dari komitmen penurunan bantuan
domestik tersebut.
(3) (a) Negara-negara anggota tidak diharuskan untuk memasukan dalam
AMS dan tidak diharuskan untuk mengurangi: (i) bantuan domestik spesifik
komoditas yang nilainya kurang dari 5% dari total nilai produksi pertanian; (ii)
bantuan domestik yang tidak spesifik komoditas dan nilainya kurang dari 5% dari
total nilai produksi pertanian; (b) Untuk negara-negara berkembang, persentase
de minimis sebesar 10% dari total nilai produksi pertanian.
Komitmen Kompetisi Ekspor
Setiap negara anggota dilarang menerapkan subsidi ekspor.
Komitmen Subsidi Ekspor
(1) Subsidi ekspor berikut terkena keharusan pengurangan: (a) pemberian
oleh pemerintah atau lembaga yang ditunjuk secara langsung, termasuk
pemberian secara natura, kepada perusahaan, industri, produsen produk
pertanian, koperasi, asosiasi produsen, atau badan pemasaran, yang berdampak
pada kinerja ekspor; (b) penjualan atau penyaluran untuk ekspor oleh pemerintah
atau lembaga yang ditunjuk tentang stok produk pertanian non-komersial pada
Page 149
140
harga lebih rendah dari harga produk serupa yang dikenakan pada pembeli di
pasar domestik; (c) pembayaran ekspor produk pertanian yang dibiayai
pemerintah, terlepas ada tidaknya melibatkan rekening milik publik, termasuk
pembayaran yang dibiayai dari sumber levy komoditas tersebut atau dari produk
pertanian sumber ekspor; (d) pemberian subsidi untuk mengurangi biaya
pemasaran ekspor (diluar pelayanan promosi dan pendampingan yang bersifat
umum), termasuk penanganan, biaya peningkatan produk dan pengolahan, dan
biaya transpor dan freight internasional; (e) biaya transpor dan freight domestik
untuk pengangkutan ekspor diberikan yang diberikan oleh pemerintah melebihi
yang diberikan untuk pemasaran domestik; (f) subsidi terhadap produk pertanian
yang terkandung dalam produk ekspor.
Perlakuan Khusus dan Berbeda (Special and Differential Treatment)
(1) Dalam rangka pengakuan bahwa perlakuan berbeda dan berpihak untuk
anggota-anggota negara berkembang sebagai bagian integral dari negosiasi,
perlakuan khusus dan berbeda perlu diberikan pada aspek-aspek yang relevan;
(2) Negara-negara berkembang perlu memiliki fleksibilitas untuk melaksanakan
komitmen penurunan dalam periode sampai 10 tahun. Negara-negara terbelakang
tidak diharuskan untuk melaksanakan komitmen penurunan.
Page 150
141
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
4.1. Kesimpulan
1. Arah kebijakan pertanian seperti diamanatkan dalam berbagai undang-undang
lingkup pertanian secara umum konsisten dan saling mendukung satu sama
lain. Beberapa aspek bahkan sejalan dengan amanat yang terkandung dalam
undang-undang lintas sektor, khususnya UU No. 7/2014 tentang Perdagangan.
2. Beberapa aspek yang secara konsisten tercantum dalam beberapa undang-
undang diantaranya adalah: (a) pengembangan budi daya tanaman maupun
ternak dilakukan secara komprehensif meliputi semua segmen rantai nilai; (b)
pengembangan budi daya diarahkan untuk mewujudkan usaha yang memiliki
produktivitas tinggi, efisien, berdaya saing, dan mampu mensejahterakan para
pelakunya; (c)perlunya pemberdayaan dan perlindungan para pelaku usaha
dalam negeri, terutama petani/peternak; (d) perlunya memprioritaskan
penggunaan produk dalam negeri, termasuk benih/bibit dan sarana produksi;
(e) ekspor benih/bibit dan produk pertanian, terutama pangan pokok, hanya
dapat dilakukan setelah terpenuhinya kebutuhan konsumsi dan cadangan
pangan nasional; (f) impor produk-produk tersebut hanya dapat dilakukan
apabila produksi dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat
diproduksi di dalam negeri
3. Pengaturan tentang impor seperti tercantum pada beberapaUU pertanian dan
UU No. 7/2014 tentang Perdagangantidak sejalan dengan amanat Pasal 4 UU
No. 7/1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO) yang menekankan pentingnya membuka akses pasar bagi semua
negara sehingga negara-negara anggota diharapkan tidak menerapkan aturan-
aturan yang menghambat akses pasar tersebut.
4. Tujuan, sasaran dan strategi pembangunan pertanian seperti tercantum dalam
Renstra Kementan 2015-2019 telah menjawab beberapa arah kebijakan yang
diamanatkan oleh beberapa undang-undang lingkup pertanian. Demikian juga
semua program dan kegiatan Kementan yang tercantum dalam Rencana Kerja
Page 151
142
(Renja) tahun 2016 secara umum konsisten dengan amanat yang tercantum
dalam beberapa pasal dari beberapa undang-undang lingkup pertanian.
5. Program dan kegiatan Kementan yang dikemas menurut unit kerja Eselon I
dan II menjawab amanat undang-undang terkait dengan: (a) ketersediaan
produk pangan dan pertanian dari hasil produksi dalam negeri; (b) penyediaan
benih/bibit dan sarana produksi lain; (b) penyediaan dan pemanfaatan sumber
daya lahan, air dan prasarana pertanain; (c) perlindungan tanaman dan ternak
dari gangguan OPT, penyakit hewan/ternak dan bencana alam; (d) fasilitasi
pengolahan dan pemasaran hasil untuk meningkatkan nilai tambah dan daya
saing.
4.2. Rekomendasi Kebijakan
1. Pengembangan komoditas pertanian diarahkan untuk mewujudkan sistem
produksi yang memiliki karakteristik: efisien, berdaya tahan (resilient), inklusif,
responsif terhadap kebutuhan konsumen dan sensitif terhadap lingkungan.
2. Fokus pengembangan tidak hanya terbatas pada sisi produksi tetapi meliputi
seluruh segmen dari rantai nilai. Selain mewujudkan koordinasi secara vertikal
antar segmen, kebijakan ini juga memperluas cakupan potensi peningkatan
pendapatan dari kegiatan off-farm.
3. Dalam rangka mendorong konsumsi pangan dan gizi sesuai standar,
meningkatkan pendapatan petani, serta merespon peluang pasar (domestik
dan internasional), maka pengembangan komoditas bernilai gizi tinggi dan
bernilai ekonomi tinggi (sayuran, buah-buahan, dan produk ternak) perlu
mendapat prioritas lebih tinggi.
4. Arah kebijakan tentang pengaturan impor komoditas pertanian, walaupun
ditekankan oleh beberapa undang-undang lingkup pertanian dan UU No.
7/2014 tentang Perdagangan, dalam impletantasinya perlu memperhatikan
pula UU No. 7/1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) terutama Pasal 4 tentang akses pasar. Amanat UU
No. 7/1994 juga diperkuat dengan hasil kesepakatan dalam berbagai forum
pertemuan multilateral (ASEAN, G-20, APEC, OECD, dll) yang menekankan
Page 152
143
perlunya mendorong perdagangan dunia yang terbuka, transparan dan tidak
diskriminatif.
5. Untuk mewujudkan konsistensi antar undang-undang dengan tetap
memperhatikan kekhasan masing-masing, perlu penyelarasan tentang ruang
lingkup pengaturan terutama untuk No. 12/1992 tentang Sistem Budi daya
Tanaman, UU No. 13/2010 tentang Hortikultura, UU No. 39/2014 tentang
Perkebunan, dan UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
UU No. 18/2012 tentang Pangan yang dinilai cukup komprehensif dapat
dijadikan sebagai acuan
Page 153
144
DAFTAR PUSTAKA
Indraningsih, K.S., Y. Supriyatna, W. Nahraeni, dan K. Suradisatra. 2012. Kajian
Legislasi Penyuluhan Pertanian mendukung Swasembada Pangan. Laporan Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Kementerian Pertanian. 2015. Rencana Strategis 2015-2019. Jakarta.
Sunarsih, Syahyuti, WK. Sejati, S. Wahyuni, dan M. Azis. 2015. Studi Penyusunan Strategi Pemberdayaan Petani Memperkuat Kedaulatan Pangan sebagai
Implementasi UUNo. 18 Tahun 2012. Laporan Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Sekretariat Negara RI. 1992. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman. Jakarta.
Sekretariat Negara RI. 1992. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. Jakarta.
Sekretariat Negara RI. 1994. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Jakarta.
Sekretariat Negara RI. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Jakarta.
Sekretariat Negara RI. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.
Sekretariat Negara RI. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Jakarta.
Sekretariat Negara RI. 2010. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura. Jakarta.
Sekretariat Negara RI. 2010. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.
Jakarta.
Sekretariat Negara RI. 2012. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2012 Tentang Pangan. Jakarta.
Sekretariat Negara RI. 2013. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Jakarta.
Sekretariat Negara RI. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan. Jakarta.
Sekretariat Negara RI. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.