Top Banner
LAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG PERTANIAN UNTUK MEMPERCEPAT TERWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN (Buku I) Oleh: Tahlim Sudaryanto I Wayan Rusastra Kurnia Suci Indraningsih Nyak Ilham Herlina Tarigan Sri Hery Susilowati Syahyuti Bambang Irawan Deri Hidayat PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2016
153

EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

May 02, 2019

Download

Documents

buingoc
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

LAPORAN HASIL PENELITIAN

EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

PERTANIAN UNTUK MEMPERCEPAT TERWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN

(Buku I)

Oleh:

Tahlim Sudaryanto

I Wayan Rusastra Kurnia Suci Indraningsih

Nyak Ilham Herlina Tarigan

Sri Hery Susilowati Syahyuti

Bambang Irawan

Deri Hidayat

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN

2016

Page 2: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

i

RINGKASAN EKSEKUTIF

A. Pendahuluan

1. Arah kebijakan dan strategi untuk mewujudkan kedaulatan pangan dalam

Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019 menekankan perlunya mengatur urusan pangan secara mandiri, yang didukung oleh: (a) ketahanan

pangan, terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri; (b) kebijakan pangan yang dirumuskan dan ditentukan oleh bangsa sendiri; dan (c) melindungi dan mensejahterakan pelaku utama sistem

pangan, terutama petani dan nelayan.

2. Arah kebijakan umum kedaulatan pangan dalam RPJMN 2015-2019 adalah:

pemantapan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan dengan peningkatan produksi pangan pokok, stabilisasi harga bahan pangan, terjaminnya bahan pangan yang aman, berkualitas dan bergizi, serta

meningkatnya kesejahteraan pelaku usaha pangan.

3. Dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan, selain menetapkan strategi

dan kebijakan yang tercantum dalam RPJMN dan Renstra, pemerintah juga telah merumuskan berbagai undang-undang yang selayaknya menjadi acuan

dalam perumusan kebijakan dan program. Ada 5 undang-undang terkait sub-sektor dan 6 undang-undang lintas sub-sektor maupun lintas sektor yang secara langsung atau tidak langsung terkait sektor pertanian.

4. Berdasarkan pertimbangan di atas, dilakukan kajian dengan tujuan: (a) mensintesis arah kebijakan dari setiap undang-undang lingkup pertanian; (b)

menganalisis keterkaitan antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya; (c) menganalisis keterkaitan undang-undang dengan kebijakan dan

program pembangunan pertanian; dan (d) merumuskan arah program pembangunan pertanian yang sesuai amanat undang-undang; dan (e) merumuskan arah penyempurnaan undang-undang untuk menjadi acuan dari

program pembangunan pertanian prioritas.

B. Arah kebijakan dalam undang-undang pertanian

UU No.18/2012 tentang Pangan

5. Undang-undang ini memberikan amanat tentang penyelenggaraan urusan pangan secara komprehensif, yang meliputi aspek-aspek ketersediaan, keterjangkauan, konsumsi pangan dan gizi, serta keamanan pangan.

Ketersediaan pangan menekankan produksi pangan dalam negeri, yang bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal, namun tetap

diupayakan secara efisien. Sistem produksi pangan juga perlu dilakukan dalam seluruh segmen rantai nilai baik sisi produksi, paska panen maupun pengolahan.

6. Untuk mendorong produksi pangan dalam negeri pemerintah perlu: (a) membangun dan merehabilitasi sarana dan prasarana; (b) memfasilitasi

penerapan teknologi baru; (c) melindungi dan memberdayakan petani dan

Page 3: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

ii

pelaku usaha pangan; (d) mengatur, mengembangkan dan mengalokasikan lahan pertanian dan sumberdaya air; (e) memberikan penyuluhan dan

pendampingan; (f) menghilangkan berbagai kebijakan yang berdampak pada penurunan daya saing; dan (g) mengantisipasi dan menanggulangi ancaman

produksi pangan. Selain itu produksi pangan juga perlu memenuhi standar keamanan pangan untuk menjaga pangan tetap aman, higienis, bermutu,

bergizi, serta mencegah kemungkinan terjadinya cemaran pangan.

7. Pemerintah berkewajiban mengatur perdagangan pangan, dengan tujuan: (a) stabilisasi pasokan dan harga pangan; (b) manajemen cadangan pangan; dan

(c) penciptaan iklim usaha pangan yang sehat. Perdagangan pangan ditekankan sebagai berikut: (a) ekspor pangan pokok hanya dapat dilakukan

setelah terpenuhinya kebutuhan konsumsi pangan pokok dan cadangan pangan nasional; (b) impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di

dalam negeri.

UU No.12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (SBT)

8. Undang-undang ini memuat berbagai aspek berkaitan dengan budidaya

tanaman yang mencakup cara-cara pertanian yang sesuai dengan sistem budidaya tanaman berkelanjutan. Sasaran yang ingin diwujudkan adalah sistem pertanian yang maju, efisien, dan tangguh, menghadapi liberalisasi

dan globalisasi, serta melindungi tanaman dari segala upaya yang menyebabkan kerugian pada budidaya tanaman.

9. Beberapa hal pokok yang ditekankan adalah: (a) kegiatan penanaman ditujukan untuk memperoleh tanaman dengan pertumbuhan optimal guna

mencapai produktivitas tinggi; (b) penanaman harus dilakukan dengan tepat pola tanam, tepat benih, tepat cara, tepat sarana, dan tepat waktu; (c) terkait aspek perbenihan, varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri

sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah kecuali hasil pemuliaan oleh perorangan petani kecil dalam negeri.

UU No.13/2010 tentang Hortikultura

10. Undang-undang ini mengatur tentang pemanfaatan dan pengembangan sumber daya, pengembangan hortikultura, distribusi, perdagangan, pemasaran, konsumsi, pembiayaan, penjaminan, penanaman modal,

penelitian&pengembangan, pemberdayaan dan kelembagaan. Pengembangan hortikultura harus memperhatikan aspek-aspek: (a) pendekatan kawasan; (b)

meliputi seluruh segmen rantai nilai; (c) memperhatikan aspek-aspek: permintaan pasar; budidaya yang baik, efisiensi dan daya saing, fungsi lingkungan, dan kearifan lokal; (d) memprioritaskan penanaman modal dalam

negeri, sedangkan penanaman modal asing dibatasi maksimal 30%.

11. Pemerintah perlu melaksanakan pemberdayaan usaha hortikultura yang

meliputi: (a) penguatan kelembagaan dan SDM; (b) bantuan teknis penerapan teknologi dan pengembangan usaha; (c) fasilitasi akses terhadap

Page 4: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

iii

lembaga pembiayaan/permodalan; (d) fasilitasi promosi dan pemasaran; (e) bantuan sarana dan prasarana; (f) sertifikasi kompetensi dalam keahlian

usaha hortikultura; (g) pengembangan kemitraan; dan (h) penyediaan data dan informasi.

UU No.39/2014 tentang Perkebunan

12. Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk mendorong penyelenggaraan perkebunan yang mampu meningkatkan produksi, produktivitas dan daya saing, meningkatkan devisa negara serta kesejahteraan rakyat. Fokus utama

dari undang-undang ini adalah pengaturan penyelenggaraan perkebunan pada era yang dinamik, menangani sengketa lahan perkebunan, pembatasan

penanaman modal asing, kewajiban membangun dan menyiapkan sarana dan prasarana serta perijinan usaha.

13. Beberapa hal penting dari undang-undang ini adalah: (a) pengaturan tentang

pemanfaatan lahan untuk perkebunan melemahkan posisi komunitas adat dalam mempertahankan hak ulayat; (b) mengatur perlindungan tanaman

dari OPT, tapi sama sekali tidak mengatur perlindungan tanaman dari gangguan lain yang berdampak signifikan terhadap penurunan produksi

(perubahan iklim, kebakaran dan bencana alam lain); (c) budi daya tanaman perkebunan secara terintegrasi dengan unit pengolahan hasil, dengan budi daya ternak, agrowisata dan usaha lainnya; (d) pengaturan usaha

pengolahan hasil yang mengharuskan pengusaha memenuhi sekurang-kurangnya 20% bahan baku dari kebun sendiri perlu ditinjau ulang, karena

mengurangi kesempatan pengusaha pengolahan yang tidak memiliki kebun; (e) melindungi, memperkaya dan mengembangkan sumber daya genetik

dalam negeri namun kurang membahas terkaitannya dengan aspek karantina pertanian.

UU No.18/2009 dan UU No.41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH)

14. Undang-undang ini mengatur penyelenggaraan urusan peternakan dan kesehatan hewan secara komprehensif yang meliputi: sumberdaya, budidaya

ternak, panen, pasca panen, pemasaran, kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner, dan pemberdayaan peternak. Hal-hal pokok yang diamanatkan adalah: (a) penyediaan dan pengembangan benih, bibit,

dan/atau bakalan dilakukan dengan mengutamakan produksi dalam negeri; (b) usaha peternakan dikembangkan secara terintegrasi dengan tanaman

pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan kehutanan; (c) pengeluaran hewan atau ternak dan produk hewan ke luar negeri dapat dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi; (d)

pemasukan ternak dan produk hewan dari luar negeri dapat dilakukan apabila produksi dan pasokan ternak dan produk hewan di dalam negeri belum

mencukupi; (e) dalam rangka menjamin produk hewan asal dalam dan luar negeri yang aman, sehat, utuh, dan halal Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Page 5: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

iv

berkewajiban melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan.

15. Pemberdayaan peternak dilakukan dengan memberikan kemudahan bagi kemajuan usaha peternakan dan kesehatan hewan serta peningkatan daya

saing, meliputi: meningkatkan akses pembiayaan, permodalan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta informasi; pelayanan peternakan,

kesehatan hewan, dan bantuan teknik; menghindari ekonomi biaya tinggi; pembinaan kemitraan; penciptaan iklim usaha yang kondusif; pemanfaatan sumber daya peternakan dan kesehatan hewan dalam negeri; fasilitasi

pembentukan kawasan peternakan; fasilitasi promosi dan pemasaran; dan perlindungan harga dan produk hewan dari luar negeri.

C. Keterkaitan antar undang-undang

16. Arah kebijakan pertanian seperti diamanatkan dalam berbagai undang-

undang lingkup pertanian secara umum konsisten dan saling mendukung satu sama lain. Beberapa aspek bahkan sejalan dengan amanat yang terkandung

dalam undang-undang lintas sektor, khususnya UU No.7/2014 tentang Perdagangan.

17. Beberapa aspek yang secara konsisten tercantum dalam beberapa undang-undang diantaranya adalah:

(a) Pengembangan budidaya tanaman maupun ternak dilakukan secara

komprehensif meliputi semua segmen rantai nilai [UU No.18/2012 (Pangan), No.12/1992 (SBT), No.13/2010 (Hortikultura), No.39/2014

(Perkebunan), dan No.18/2009&No.41/2014 (PKH)].

(b) Pengembangan budidaya diarahkan untuk mewujudkan usaha yang

memiliki produktivitas tinggi, efisien, berdaya saing, dan mampu mensejahterakan para pelakunya [UU No.18/2012 (Pangan), No.12/1992 (SBT), No.13/2010 (Hortikultura), No.39/2014 (Perkebunan), dan

No.18/2009&No.41/2014 (PKH)].

(c) Perlunya pemberdayaan dan perlindungan para pelaku usaha dalam

negeri, terutama petani/peternak [UU No.18/2012 (Pangan), No.13/2010 (Hortikultura), No.39/2014 (Perkebunan), No.18/2009&No.41/2014 (PKH),

No.19/2013 (PPP) dan No.7/2014 (Perdagangan)].

(d) Perlunya memprioritaskan penggunaan produk dalam negeri, termasuk benih/bibit dan sarana produksi [UU No.18/2012 (Pangan), No.12/1992

(SBT), No.13/2010 (Hortikultura), No.39/2014 (Perkebunan), No.18/2009& No.41/2014 (PKH), dan No.7/2014 (Perdagangan)].

(e) Ekspor benih/bibit dan produk pertanian, terutama pangan pokok, hanya dapat dilakukan setelah terpenuhinya kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan nasional [UU No.18/2012 (Pangan), No.12/1992 (SBT),

No.13/2010 (Hortikultura), No.39/2014 (Perkebunan), No.18/2009&No.41/ 2014 (PKH), dan No.7/2014 (Perdagangan)].

Page 6: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

v

(f) Impor produk-produk tersebut hanya dapat dilakukan apabila produksi dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam

negeri [UU No.18/2012 (Pangan), No.12/1992 (SBT), No.13/2010 (Hortikultura), No.39/2014 (Perkebunan), No.18/2009& No.41/2014

(PKH), No.19/2013 (PPP) dan No.7/2014 (Perdagangan)].

18. Pengaturan tentang impor seperti tercantum pada UU No.18/2012 (Pangan),

No.12/1992 (SBT), No.13/2010 (Hortikultura), No.39/2014 (Perkebunan), No.18/2009& No.41/2014 (PKH), No.19/2013 (PPP) dan No.7/2014 (Perdagangan)] tidak sejalan dengan amanat Pasal 4 UU No.7/1994 tentang

Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menekankan pentingnya membuka akses pasar bagi semua negara sehingga

negara-negara anggota diharapkan tidak menerapkan aturan-aturan yang menghambat akses pasar tersebut.

D. Keterkaitan antara undang-undang dengan Renstra dan Program Kementan

19. Tujuan, sasaran dan strategi pembangunan pertanian seperti tercantum dalam Renstra Kementan 2015-2019 telah menjawab beberapa arah

kebijakan yang diamanatkan oleh beberapa undang-undang lingkup pertanian. Demikian juga semua program dan kegiatan Kementan yang tercantum dalam Rencana Kerja (Renja) tahun 2016 secara umum konsisten

dengan amanat yang tercantum dalam beberapa pasal dari beberapa undang-undang lingkup pertanian. Program dan kegiatan Kementan yang dikemas

menurut unit kerja Eselon I dan II menjawab amanat undang-undang terkait dengan: (a) ketersediaan produk pangan dan pertanian dari hasil produksi

dalam negeri; (b) penyediaan benih/bibit dan sarana produksi lain; (b) penyediaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan, air dan prasarana pertanain; (c) perlindungan tanaman dan ternak dari gangguan OPT, penyakit

hewan/ternak dan bencana alam; (d) fasilitasi pengolahan dan pemasaran hasil untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing.

20. Program Kementan yang menjadi kontroversi terutama adalah berkaitan dengan fasilitasi pemasaran. Dari sisi landasan yuridis, program tersebut

dipayungi oleh semua undang-undang lingkup pertanian dan UU No.7/2014 (Perdagangan). Namun demikian, pelaksanaan program tersebut bukan merupakan kewenangan dan tupoksi pokok dari Kementan.

21. Beberapa aspek program Kementan yang masih memerlukan penyempurnaan sesuai amanat UU adalah: (a) dalam rangka melindungi petani/peternak dari

gangguan OPT/penyakit hewan, bencana alam dan krisis ekonomi dan konflik sosial-politik perlu dirancang program yang lebih mendasar dan sistematis untuk mewujudkan daya tahan (resilient) petani dan peternak; (b) sesuai

amanat undang-undang, pengembangan budidaya ternak perlu dilakukan secara terintegrasi dengan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan

kehutanan; (c) untuk mendorong pelaku usaha pengolahan perkebunan yang tidak memiliki kebun, maka persyaratan pasokan bahan baku minimal 20%

dari kebun sendiri perlu ditinjau ulang; (d) perlu pengarusutamaan aspek

Page 7: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

vi

keberlanjutan dalam pengembangan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan.

E. Rekomendasi kebijakan

22. Pengembangan komoditas pertanian diarahkan untuk mewujudkan sistem produksi yang memiliki karakteristik: efisien, berdaya tahan (resilient), inklusif, responsif terhadap kebutuhan konsumen dan sensitif terhadap lingkungan.

23. Fokus pengembangan tidak hanya terbatas pada sisi produksi tetapi meliputi

seluruh segmen dari rantai nilai. Selain mewujudkan koordinasi secara vertikal antar segmen, kebijakan ini juga memperluas cakupan potensi peningkatan

pendapatan dari kegiatan off-farm.

24. Dalam rangka mendorong konsumsi pangan dan gizi sesuai standar, meningkatkan pendapatan petani, serta merespon peluang pasar (domestik

dan internasional), maka pengembangan komoditas bernilai gizi tinggi dan bernilai ekonomi tinggi (sayuran, buah-buahan, dan produk ternak) perlu

mendapat prioritas lebih tinggi.

25. Arah kebijakan tentang pengaturan impor komoditas pertanian, walaupun

ditekankan oleh beberapa undang-undang lingkup pertanian dan UU No.7/2014 tentang Perdagangan, dalam impletantasinya perlu memperhatikan pula UU No.7/1994 tentang Persetujuan Pembentukan

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terutama Pasal 4 tentang akses pasar. Amanat UU No.7/1994 juga diperkuat dengan hasil kesepakatan dalam

berbagai forum pertemuan multilateral (ASEAN, G-20, APEC, OECD, dll) yang menekankan perlunya mendorong perdagangan dunia yang terbuka,

transparan dan tidak diskriminatif.

26. Untuk mewujudkan konsistensi antar undang-undang dengan tetap memperhatikan kekhasan masing-masing, perlu penyelarasan tentang ruang

lingkup pengaturan terutama untuk No.12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, UU No.13/2010 tentang Hortikultura, UU No.39/2014 tentang

Perkebunan, dan UU No.41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. UU No.18/2012 tentang Pangan yang dinilai cukup komprehensif dapat

dijadikan sebagai acuan

Page 8: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

vii

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................ i

DAFTAR ISI............................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii

I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1

1.2. Dasar Pertimbangan ................................................................... 2 1.3. Tujuan ....................................................................................... 3

1.4. Keluaran yang Diharapkan .......................................................... 4 1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak ................................................... 4

II. METODOLOGI .................................................................................... 6

2.1. Kerangka Pemikiran .................................................................... 6

2.2. Data dan Metode Analisis ............................................................ 7

III. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN .................................................. 9

3.1. Undang-Undang No. 18/2012 Tentang Pangan ............................. 9 3.1.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ................................ 9

3.1.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain ............................ 12 3.1.3. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan .......... 21

3.2. Undang-Undang No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman . 30 3.2.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ................................ 30

3.2.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain ............................ 36 3.2.3. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan .......... 44

3.3. Undang-Undang No. 13/2010 tentang Hortikultura ....................... 50

3.3.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ................................ 50 3.3.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain ............................ 56

3.3.3. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan .......... 58

3.4. Undang-Undang No. 18/2004 Tentang Perkebunan ........................... 61

3.4.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ................................ 61 3.4.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain ............................ 64 3.4.3. Keterkaitandengan Renstra dan Program Kementan ........... 69

3.5. Undang-Undang UU N0.18/2009 dan UU No. 41/2014 Tentang

Peternakan dan Kesehatan Hewan ...................................................... 75 3.5.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ................................ 75 3.5.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain ............................ 79 3.5.3. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan .......... 82

Page 9: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

viii

3.6. Undang-Undang No. 41/2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan .................................................. 93

3.6.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ................................ 93 3.6.2. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan .......... 101

3.7. Undang-Undang N0.16/2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan .......................................... 104

3.7.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ................................ 104 3.7.2. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan .......... 108

3.8. Undang-Undang No. 19/2013 Tentang Perlindungan dan

Pemberdayaan Petani ................................................................. 112 3.8.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ................................ 112

3.8.2. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan .......... 126

3.9. Undang-Undang No. 7/2014 Tentang Perdagangan ...................... 136 3.9.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ............................... 136

3.10.Undang-Undang No. 14/1994 Tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ......................................... 138

3.10.1. Pokok-pokok amanat undang-undang ............................. 138

IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ........................................... 141

4.1. Kesimpulan ................................................................................ 141 4.2. Rekomendasi Kebijakan .............................................................. 142

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 144

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pikir Evaluasi dan Penyesuaian Arah Kebijakan dalam UU Pertanian untuk Mempercepat Terwujudkan Kedaulatan Pangan ........... 7

Page 10: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor pertanian mempunyai peran penting dan strategis dalam penyediaan

pangan nasional, mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, dan peningkatan

kesejahteraan petani. Nawa Cita menawarkan jalan perubahan untuk Indonesia

yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Jalan perubahan kemandirian yang

mensejahterakan salah satunya dibangun melalui daulat pangan berbasis

agribisnis kerakyatan. Agenda Nawa Cita lima tahun ke depan (2015-2019) yang

relevan dengan pembangunan pertanian adalah butir (5) Meningkatkan kualitas

hidup manusia Indonesia, butir (6) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya

saing di pasar internasional, dan butir (7) Mewujudkan kemandirian ekonomi

dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Berdasarkan

rincian tersebut, maka agenda prioritas di bidang pertanian terdiri dari dua hal,

yaitu (1) Peningkatan Agroindustri, dan (2) Peningkatan Kedaulatan Pangan.

Arah kebijakan dan strategi kedaulatan pangan pada Rencana Strategis

Kementerian Pertanian 2015-2019 dicerminkan pada kekuatan untuk mengatur

masalah pangan secara mandiri, yang perlu didukung dengan: (i) ketahanan

pangan, terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri; (ii)

pengaturan kebijakan pangan yang dirumuskan dan ditentukan oleh bangsa

sendiri; dan (iii) mampu melindungi dan mensejahterakan pelaku utama pangan,

terutama petani dan nelayan. Selanjutnya, dalam rangka kedaulatan pangan,

ketersediaan air merupakan faktor utama untuk meningkatkan dan memperkuat

kapasitas produksi. Arah kebijakan umum kedaulatan pangan dalam RPJMN

2015-2019 adalah: pemantapan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan

dengan peningkatan produksi pangan pokok, stabilisasi harga bahan pangan,

terjaminnya bahan pangan yang aman dan berkualitas dengan nilai gizi yang

meningkat, serta meningkatnya kesejahteraan pelaku usaha pangan.

Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran, maka Kementerian Pertanian

menyusun dan melaksanakan Tujuh Strategi Utama Penguatan Pembangunan

Pertanian untuk Kedaulatan Pangan (P3KP)sebagai berikut: (1) Peningkatan

ketersediaan dan pemanfaatan lahan; (2) Peningkatan infrastruktur dan sarana

Page 11: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

2

pertanian; (3) Pengembangan dan perluasan logistik benih/bibit; (4) Penguatan

kelembagaan petani; (5) Pengembangan dan penguatan pembiayaan pertanian;

(6) Pengembangan dan penguatan bioindustri dan bioenergi; serta (7) Penguatan

jaringan pasar produk pertanian (Kementerian Pertanian, 2015).

Berbagai Undang-Undang yang terkait dengan pembangunan sektor

pertanian telah dikeluarkan Pemerintah, yang kesemuanya ditujukan untuk

mempercepat terwujudnya kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani. Dalam

implementasinya terdapat dua kemungkinan: (1) arah kebijakan yang terdapat

pada salah satu UU tersebut mampu secara baik bersinergi dengan arah kebijakan

pada UU lainnya dan (2) tidak sinkron atau malah saling berlawanan dengan UU

lainnya.

Kebijakan Kementerian Pertanian yang tertuang dalam Rencana Strategis

mencerminkan amanat berbagai UU yang ada. Secara yuridis, kebijakan yang

dirumuskan seharusnya menerjemahkan arah kebijakan yang terkandung dalam

berbagai UU, seperti UU Sistem Budi daya Tanaman,UU Hortikultura, UU

Perkebunan, UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU Karantina, dan lain-lain.

UU dan naskah akademik dari masing-masing subsektor merupakan arah

kebijakan yang mengikat. Oleh karena itu harmonisasi (evaluasi dan

penyesuaian) arah kebijakan dari UU subsektor pertanian dinilai strategis dikaitkan

dengan program pembangunan pertanian dalam rangka akselerasi terwujudnya

kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani.

1.2. Dasar Pertimbangan

Dari kerangka kebijakan pertanian yang ada, terdapat modifikasi pada arah

kebijakan yang baru: (1) Ada program/kegiatan yang mungkin belum terpayungi

oleh UU; (2) Terdapat elemen-elemen dari UU tertentu yang tidak sinkron bahkan

konflik dengan UU lain, misal UU Pangan dan UU Hortikultura dengan UU tentang

ratifikasi WTO. Ada beberapa elemen yang bertentangan, seperti ketersediaan

pangan pokok yang mengutamakan sumber pengadaan dalam negeri, demikian

juga hortikultura yang terkait dengan investasi, sehingga perlu dicermati

sinkronisasi antar UU tersebut; (3) Beberapa aspek dari UU mungkin juga ada

yang sudah tidak relevan dengan konteks kebijakan saat ini; (4) Ada juga

Page 12: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

3

beberapa kebijakan strategis ke depan, tetapi belum ada rujukan UU, misal: aging

farmer, belum ada UU yang mengatur ataupun mendorong tenaga kerja muda

untuk bekerja di sektor pertanian, termasuk insentifnya. Beberapa negara lain

telah memiliki kerangka kebijakan tentang tentang program pensiun untuk para

petani. Mestinya Indonesia juga mulai merancang kebijakan tentang aspek

tersebut dan dipayungi oleh produk UU.

Undang-Undang yang tertua adalah UU Budi Daya Tanaman, kemudian

disusul oleh UU terkait sub-sektor lainnya, seperti UU Hortikultura, UU Perkebunan

UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Selain itu ada UU yang bersifat lintas sub-

sektor yaitu UU Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan, UU Penyuluhan, UU

Karantina, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Selain UU yang spesifik lingkup pertanian, ada juga beberapa UU lain yang

terkait dengan pertanian, seperti UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal

Asing, UU Perdagangan, dan UU tentang Ratifikasi perjanjian WTO. Untuk itu

perlu dicermati UU lain yang mendukung atau sejalan dan UU yang mungkin tidak

sejalan dengan UU Pertanian. Beberapa elemen dari UU lingkup pertanian

mungkin juga sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini sehingga perlu

diperbaiki. Selain itu mungkin juga ada ruang kosong dimana beberapa kebijakan

strategis belum terpayungi oleh UU.Misalnya UU Budi Daya Tanaman apakah

sinkron/mendukung UU Karantina atau malah bertentangan. Selanjutnya

beberapa program prioritas yang sedang berjalan, apakah sinkron atau tidak

dengan arah kebijakan dalam UU? Apabila tidak sinkron, apakah perlu dilakukan

revisi terhadap UU tersebut? Untuk itu diperlukan suatu kajian yang dapat

menganalisis secara kritis dari masing-masing UU tersebut.

1.3. Tujuan

Tujuan umum kajian ini adalah menghasilkan rekomendasi kebijakan tentang

penyesuaian arah kebijakan dalam UU Pertanian untuk mempercepat terwujudnya

kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani.

Secara khusus, kajian ini bertujuan:

1. Mengevaluasi arah kebijakan yang terkandung dalam UU lingkup pertanian;

2. Mengevaluasi keterkaitan antara arah kebijakan yang terkandung dalam suatu

UU dengan UU lainnya;

Page 13: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

4

3. Mengevaluasi relevansi arah kebijakan dalam UU Pertanian dengan program

pembangunan pertanian yang sedang berjalan;

4. Merumuskan arah kebijakan baru yang perlu dimasukkan dalam UU lingkup

pertanian;

5. Merumuskan kebijakan/program pembangunan pertanian sesuai amanat UU

lingkup pertanian.

1.4. Keluaran yang Diharapkan

Keluaran Umum

Secara umum keluaran kajian ini adalah rumusan konsepsi penyesuaian arah

kebijakan dalam UU Pertanian untuk mempercepat terwujudnya kedaulatan

pangandan kesejahteraan petani.

Keluaran Khusus

Keluaran khusus kajian ini adalah:

1. Hasil evaluasi tentang arah kebijakan yang terdapat pada UU lingkup

pertanian (UU subsektor, sektor, dan pendukungnya);

2. Hasil evaluasi tentang kaitan antara arah kebijakan yang ada dalam suatu UU

dengan UU lainnya(saling menunjang atau bertentangan);

3. Harmonisasi arah kebijakan dalam UU lingkup pertanian dengan program

pembangunan pertanian;

4. Rumusan arah kebijakan baru yang perlu dimasukkan dalam UU lingkup

pertanian;

5. Rumusan kebijakan/program pembangunan pertanian sesuai amanat UU

lingkup pertanian.

1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak

Manfaat dari hasil analisis atau hasil evaluasi dari kajian ini dapat diperoleh

informasi mengenai sinkronisasi peraturan perundangan pertaniandengan UU

lainnya untuk penyesuaian arah kebijakan pembangunan pertanian dalam rangka

mempercepat terwujudnya kedaulatan pangandan kesejahteraan petani.

Hasil analisis atau hasil evaluasi memberikan kontribusi terhadap

pengambilan keputusan mengenai arah kebijakan pembangunan pertanian, mana

Page 14: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

5

yang telah atau belum merujuk pada peraturan perundang-undangan, sehingga

kebijakan yang ada dapat diperbaiki dan berperan sesuai fungsi dan

peruntukkannya, terutama dalam mendorong terwujudnya kedaulatan pangandan

kesejahteraan petani.

Page 15: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

6

II. METODOLOGI

2.1. Kerangka Pemikiran

Berbagai program pembangunan pertanian telah banyak dirumuskan

pemerintah, namun sejauh ini dinilai belum mencapai sasaran yang ditargetkan,

yakni meningkatkan kesejahteraan petani. Kelemahan dalam pembangunan

pertanian perlu dicermati oleh para pengambil kebijakan, sehingga ke depan

dapat dilakukan upaya perbaikan yang signifikan. Kelemahan yang diduga

fundamental adalah pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

sumber daya alam untuk pertanian, aspek keuangan, organisasi petani,

perlindungan produk pertanian dari impor, dan keberpihakkan pada kemandirian

petani, serta kedaulatan pertanian pedesaan.

Faktor peraturan perundang-undangan menjadi salah satu titik lemah serius

yang menyebabkan pertanian di Indonesia tidak berkembang sebagaimana yang

terjadi di negara-negara lain. Di tingkat Undang-Undang yang bersifat subsektor

pertanian, seperti UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, UU No. 12

tahun 1992 tentang Budi Daya Tanaman, UU No. 41 tahun 2009 tentang

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU No. 16 tahun 2006

tentang Sistem Penyuluhan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan,

masih mengandung beberapa masalah baik dari segi substansi maupun

konsistensi dalam implementasi (Indraningsih et al. 2012).

UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, menggantikan UU No. 7 Tahun

1996 yang telah berusia 16 tahun. Dalam Undang-undangbaru ini, persoalan

pangan ditujukan untuk mencapai tiga hal sekaligus yaitu kedaulatan pangan,

kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Diadopsinya kedaulatan pangan

sebagai salah satu tujuan pembangunan pertanian nasional membutuhkan

penyusunan rencana dan pendekatan pembangunan yang berbeda. Salah satu

perbedaan pendekatan kedaulatan pangan adalah pada pengakuan posisi politik

petani. Hal ini sejalan dengan berbagai kebijakan baru tentang petani Indonesia

yang lebih memberikan otoritasyang kuat kepada posisi politik petani. Dengan

Undang-Undang Pangan yang baru berarti adaketegasan tentang hak dan

Page 16: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

7

kewajiban, baik daridan oleh negara, maupun daridan oleh warga negara

(Sunarsih et al. 2015).

Selain UU subsektor, terdapat juga UU lintas sektor seperti UU

Perdagangan, UU Sumber Daya Air, UU tentang Ratifikasi WTO, dan UU

Penanaman Modal yang perlu dievaluasi keterkaitan antara UU tersebut, apakah

saling mendukung/sinkron atau bahkan menimbulkan konflik, karena tidak sejalan.

Kerangka pemikiran kajian ini ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pikir Evaluasi dan Penyesuaian Arah Kebijakan dalam UU Pertanian untuk Mempercepat Terwujudkan Kedaulatan Pangan

2.2. Data dan Metode Analisis

Jenis dan Sumber Data

Kajian ini menggunakan data dan informasi sekunder. Data sekunder

dikumpulkan melalui berbagai dokumen dari instansi terkait baik dikumpulkan

UU Bidang/Masalah Pertanian

UU Sub-sektor

Utama Pertanian

UU Lintas Sektor

Renstra Kementan/Program Subsektor Pertanian

Reorientasi UU dan Kebijakan Kedaulatan Pangan

Sinkronisasi UU Harmonisasi UU

Penguatan UU

UU No. 18/2012

tentang Pangan

Page 17: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

8

secara langsung maupun melalui media elektronik (jaringan internet). Dilakukan

pula diskusi dengan nara sumber yang terlibat dalam penyusunan UU terkait.

Metode Analisis

Analisis data dan informasi dilakukan dengan pendekatan deskriptif dengan

cara verifikasi dokumen dan mengkomparasi antara legislasi (UU).

Page 18: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

9

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Undang-Undang No. 18/2012 Tentang Pangan

3.1.1. Pokok-pokok amanat undang-undang

1. Dari 12 lingkup pengaturan penyelenggaraan pangan dalam konteks analisis

kebijakan undang-undang pertanian yang dinilai strategis adalah empat aspek

yaitu: ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, konsumsi pangan dan

gizi, dan keamanan pangan.

2. Ketersediaan pangan mencakup empat dimensi utama yaitu produksi pangan

dalam negeri, cadangan pangan, ekspor dan impor pangan, dan

penganekaragaman pangan:

a. Pengembangan produksi pangan dalam negeri mengedepankan

pemanfaatan sumber daya pertanian domestik, perlindungan dan

pemberdayaan petani, penyuluhan dan pendampingan, pemantapan daya

saing, dan penanggulangan ancaman produksi pangan melalui bantuan

teknologi dan regulasi;

b. Pengembangan cadangan pangan nasional (pemerintah dan masyarakat)

diutamakan pada pangan pokok dengan sasaran mengantisipasi gejolak

harga pangan yang dilakukan melalui pengembangan kemitraan, pembelian

produksi dalam negeri (terutama pada saat panen raya) dan dalam

distribusinya tidak merugikan konsumen dan produsen;

c. Kebijakan perdagangan pangan pokok (ekspor dan impor) harus

mempertimbangkan kebutuhan dan cadangan pangan, eksistensi defisit

pangan, memenuhi persyaratan (keamanan, mutu, gizi, dan halal),dan

tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan uasahatani dan pelaku

usaha pangan mikro dan kecil;

d. Penganekaragaman pangan diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan

pangan berbasis sumber daya lokal, melalui pengembangan teknologi dan

sistem insentif, diversifikasi usahatani, optimalisasi pemanfaatan lahan, dan

pengembangan industri pangan berbasis pangan lokal.

3. Keterjangkauan pangan mencakup lima dimensi utama yaitu distribusi pangan,

pemasaran pangan, perdagangan pangan, stabilitas pasokan dan harga

pangan pokok, dan bantuan pangan:

Page 19: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

10

a. Distribusi pangan diarahkan untuk memenuhi pemerataan ketersediaan

pangan (khususnya pangan pokok) melalui pengembangan distribusi

pangan secara efektif dan efisien dengan mengutamakan pelayaanan

trasportasi, bongkar muat, penyediaan sarana prasarana, dan

pengembangan lembaga distribusi pangan masyarakat;

b. Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan pemasaran pangan terkait

dengan tatacara pemasaran pangan, promosi penggunaan produk pangan

lokal, dan promosi ekspor produk pangan;

c. Pemerintah berkewajiban mengatur perdagangan pangan dengan nsasaran

utama stabilisasi pasokan dan harga pangan (terutama pangan pokok)

melalui penetapan mekanisme, tatacara, dan jumlah maksimal

penyimpanan pangan pokok oleh pelaku usaha pangan;

d. Pemerintah berkewajiban melakukan stabilisasi pasokan dan harga pangan

pokok di tingkat produsen dan konsumen dengan sasaran melindungi

pendapatan petani dan daya beli konsumen, diantaranya melalui penetapan

HPP, pengelolaan cadangan pangan, pengaturan kelancaran distribusi

antar wilayah, dan pangaturan ekspor/impor pangan;

e. Pemerintah bertanggungjawab dalam penyediaan dan penyaluran pangan

(khususnya pangan pokok) bagi masyarakat miskin, rawan pangan, dan

keadaan darurat dengan mengutamakan produksi dalam negeri dan

kearifan lokal.

4. Konsumsi pangan dan gizi mencakup tiga dimensi uatama yaitu konsumsi

pangan, penganekaragamnan pangan dan gizi, dan perbaikan gizi:

a. Pemerintah berkewajiban meningkatkan pemenuhan kuantitas dan kualitas

konsumsi pangan masyrakat melalui penetapan target pencapaian angka

konsumsi pangan, penyediaan pangan (beragam, bergizi, aman, dan halal),

serta pengembangan pengetahuan dan kemampuan masyarakat terkait

pola konsumsi pangan;

b. Pemrintah berkewajiban mewujudkan penganekaragaman konsumsi

pangan dengan sasaran peningkatan kesadaran masyarakat dan

membudayakan pola konsumsi pangan sesuai dengan potensi dan kearifan

Page 20: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

11

lokal, melalui kegiatan promosi, edukasi, pengembangan industri dan

teknologi tepat guna pengolahan pangan lokal;

c. Pemerintah menetapkan kebijakan di bidang gizi untuk perbaikan status

gizi masyarakat melalui penetapan persyaratan perbaikan/pengayaan gizi

pangan, komposisi pangan olahan, pemenuhan kebutuhan gizi kelompok

masyarakat tertentu (ibu hamil, balita, kelompok rawan gizi, dll),

peningkatan konsumsi pangan hewani/ikani, sayuran, buah-buahan, dan

umbi-umbian lokal, serta kebijakan perbaikan gizi masyarakat lainnya.

5. Keamanan pangan mencakup enam dimensi utama yaitu sanitasi pangan,

pengaturan bahan tambahan pangan, produk rekayasa genetik, iradiasi

pangan, standar kemasan pangan, jaminan keamanan dan mutu pangan:

a. Kebijakan sanitasi pangan (dalam proses produksi, penyimpanan,

pengangkutan, dan/atau peredaran pangan) dilakukan dengan sasaran

agar pangan aman untuk dikonsumsi, pengendalian risiko bahaya sehingga

keamanan pangan terjamin, dan sebagai acuan bagi penyelenggara

kegiatan terkait pangan;

b. Bahan tambahan pangan merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam

pangan untuk mempengaruhi sifat dan/atau bentuk pangan, dimana

pemerintah berkewajiban memeriksa keamanan bahan yang akan

digunakan, dengan tujuan untuk mendapatkan izin peredaran;

c. Produk pangan rekayasa genetik dan proses produksi pangan yang

menggunakan bahan rekayasa genetik dilarang diproduksi dan diedarkan

sebelum mendapatkan persetujuan dan persyaratan keamanan pangan;

d. Iradiasi pangan dapat dilakukan dengan menggunakan zat radioaktif

maupun akselerator untuk mecegah terjadinya pembusukan dan kerusakan

pangan, dan izin iradiasi pangan akan diberikan setelah memenuhi

persyaratan yang ditetapkan pemerintah;

e. Produksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan kemasan

pangan yang membahayakan, dapat menyebabkan kerusakan dan/atau

pencemaran, dan dilarang membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas

kembali dan diperdagangkan;

Page 21: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

12

f. Pemerintah dan/atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi dapat

memberikan sertifikasi jaminan KP/MP (keamanan pangan dan mutu

pangan), dan petani/pelaku usaha pangan segar secara bertahap dan

melalui pembinaan serta fasilitasi pemerintah ditargetkam mampu

memenuhi persayatan teknis minimal KP/M.

3.1.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain

Keterkaitan antara UU No. 18/2012 tentang Pangan dengan UU No.

41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan

1. Perencanaan pangan dilakukan untuk merancang penyelenggaraan pangan ke

arah kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan pada

Pasal 6 UU No. 18/2012 tentang Pangan sejalan dengan tujuan UU

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Pasal 3, yang bertujuan

untuk mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan.

Perencanaan pangan pada Pasal 7 harus memperhatikan rencana tata ruang

wilayah, dan rencana pembangunan nasional dan daerah. Hal ini juga sejalan

dengan UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan,

dimana Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nasional/

Provinsi/kabupaten diatur dalam Peraturan Pemerintah/Pemda mengenai

Rencana Tata Ruang Wilayah. (Pasal 23/ayat 1,2,3,4).

2. Pada aspek Ketersediaan Pangan, untuk mewujudkan ketersediaan pangan

melalui produksi pangan dalam negeri dilakukan diantaranya dengan

membangun kawasan sentra produksi pangan (Pasal 12/ayat 5). Hal ini

didukung oleh UU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan tentang

Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nasional/Provinsi/

kabupaten pada Pasal 24/ayat 1,2 dengan mempertimbangkan diantaranya

produktivitas kawasan pertanian pangan; potensi teknis lahan; keandalan

infrastruktur; dan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian.

3. Masih pada aspek Ketersediaan Pangan, Pemerintah berkewajiban melindungi

dan memberdayakan petani dan pelaku usaha pangan sebagai produsen

pangan (Pasal 17). Hal ini sejalan dengan Pasal 61 pada UU Perlindungan

lahan Pertanian Berkelanjutan, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib

Page 22: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

13

melindungi dan memberdayakan petani, kelompok petani, koperasi petani,

serta asosiasi petani. Demikian pula Pemerintah berkewjiban mengatur dan

menjamin tersedianya lahan pertanian pangan Hal ini disebutkan pada UU

Pangan (Pasal 18) dan didukung pula melalui Pasal 3 UU Lahan pertanian

Pangan Berkelanjutan.

4. Masalah alih fungsi lahan disebutkan pada Pasal (Pasal 22/ayat 1 UU Pangan,

bahwa pemerintah berkewajiban mengantisipasi dan menanggulangi ancaman

produksi pangan karena alih fungsi lahan. Hal ini didukung oleh UU

Perlindungan lahan pertanian berkelanjutan (Pasal 44/ayat 1) bahwa Lahan

yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.

5. Kerjasama melalui kemitraan dengan pelaku usaha dapat dilakukan baik untuk

pengembangan cadangan pangan (Pasal 26) pada UU Pangan dan

Pengembangan terhadap Kawasan dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

yang meliputi intensifikasi dan ekstensifikasi lahan (Pasal 27/ayat 1, 2, 3).

6. Peran Pemerintah (pusat dan daerah) dalam menjamin terwujudnya

penyelenggaraan keamanan pangan (Pasal 68/ayat 1) konsisten dengan UU

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dimana Perlindungan Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan dilakukan dengan dukungan oleh Pemerintah,

pemerintah daerah, (Lembaga penelitian dan/atau perguruan tinggi) melalui

penelitian (Pasal 30/ayat 1,2,3,4).

Keterkaitan antara UU No. 18/2012 tentang Pangan dengan UU No

16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tanaman

1. Sebagian besar pasal-pasal pada UU No. 12/2012 tentang pangan tidak terkait

dengan UU No. 16/1992 tentang karantina, namun secara tidak langsung UU

Karantina berkait dalam hal perlindungan sumber daya penghasil bahan

pangan.

2. Asas UU No. 16/1992 tentang karantina (Pasal 2 dan 3) sejalan dan

mendukung dengan perencanaan pangan pada UU No. 18/2012 tentang

pangan (pasal 6). Melalui tindakan karantina untuk mencegah masuknya hama

dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, dan

Page 23: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

14

organisme pengganggu tumbuhan karantina dari luar negeri ke dalam wilayah

negara Republik Indonesia sehingga dapat menjaga kelestarian sumber daya

hayati termasuk yang menghasilkan bahan pangan agar kemandirian pangan

terjaga.

3. Agar perencanaan pangan memperhatikan antara lain (UU No.12/2012 Pasal

7): (a) pertumbuhan dan sebaran penduduk, (b) kebutuhan konsumsi pangan

dan gizi, (c) daya dukung sumber daya alam, teknologi, dan kelestarian

lingkungan, (d) potensi pangan dan budaya lokal, maka penyelenggaraan

karantina hewan, ikan dan tumbuhan tersebar pada berbagai daerah pada

tempat pemasukan dan tempat pengeluaran mencakup pelabuhan laut,

pelabuhan sungai, pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, pos

perbatasan dengan negara lain, dan tempat-tempat lain yang dianggap perlu

(UU No. 12/1992 Pasal 1, butir 12).

4. Kegiatan impor pangan yang dipersyaratkan UU Pangan Pasal 37 (1) yaitu

harus memenuhi: keamanan pangan, mutu, gizi, dan tidak bertentangan

dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat. Pada UU Karantina belum

memasukkan aspek yang tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan

budaya masyarakat dan tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan

usahatani skala kecil. Sebaiknya hal itu dimasukkan juga dalam UU Karantina,

sehingga sejalan dengan UU Pangan.

5. Kelancaran distribusi pangan yang diamanahkan UU Pangan Pasal 49: (i)

pelayanan transportasi yang efektif dan efisien dan (ii) memberikan prioritas

untuk kelancaran bongkar muat produk pangan, maka sebaiknya

diharmoniskan dengan UU Karantina Pasal 11 dan 12, sehingga tindakan

pemeriksaan karantina yang dilakukan dapat dilakukan secara efektif agar

tidak menghambat kegiatan distribusi pangan termasuk pakan ternak.

6. Pembinaan yang dilakukan pemerintah kepada pihak yang melakukan

pemasaran pangan mencakup aspek karantina, sehingga pelaku pemasaran

turut aktif menjaga kelestarian sumber daya pangan nasional.

Page 24: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

15

Keterkaitan antara UU No. 18/2012 tentang Pangan dengan UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan UU No. 41/2014 tentang Perubahan atas UU No. 18/2009

1. Perencanaan pangan sejalan dengan penyelenggaraan peternakan dan

kesehatan hewan, yaitu berasaskan pada kemandirian dan keberlanjutan

dengan memperhatikan: keamanan dan kesehatan, kerakyatan dan keadilan,

pertumbuhan dan sebaran penduduk, potensi pangan dan budaya lokal,

kemitraan dan keprofesionalan, serta daya dukung sumber daya alam.

2. Pasal 12 (5) UU Pangan menyatakan bahwa: “untuk mewujudkan

ketersediaan pangan melalui produksi pangan dalam negeri antara lain

dilakukan melalui: (i) mengembangkan produksi pangan yang bertumpu pada

sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, (ii) mengembangkan efisiensi

sistem usaha pangan, (iii) mempertahankan dan mengembangkan lahan

produktif, dan (iv) membangun kawasan sentra produksi pangan”. Salah satu

bentuk yang perlu dikembangkan adalah usaha integrasi ternak pada lahan-

lahan perkebunan dan peternakan, sehingga terbentuk kawasan perkebunan

yang terintegrasi dengan usaha peternak untuk mencapai efisiensi usaha dan

keberlanjutan usaha dengan memanfaatkan pupuk kandang untuk tanaman

dan produk samping tanaman untuk pakan ternak. Hal ini sesuai dengan UU

No. 18/209 Pasal (4): “Pemerintah kabupaten/kota membina bentuk kerja

sama antara pengusahaan peternakan dan pengusahaan tanaman pangan,

hortikultura, perikanan, perkebunan, dan kehutanan serta bidang lainnya

dalam memanfaatkan lahan di kawasan tersebut sebagai sumber pakan

ternak murah”.

3. Pada UU No. 18/2012 sudah dibahas hal-hal yang terkait dengan cadangan

pangan. Faktanya, sampai saat ini cadangan pangan yang dilakukan

pemerintah terbatas pada pangan pokok berupa beras. Pada UU No. 18/2009

sama sekali belum dibahas cadangan pangan asal ternak, seperti telur ayam,

daging ayam dan daging sapi/kerbau. Padahal ketiga produk tersebut saat

hari-hari besar keagamaan permintaannya melonjak tajam, sehingga

harganya meningkat tajam. Sebaiknya, berdasarkan fakta ini pemerintah juga

Page 25: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

16

melakukan cadangan pangan untuk mengantisipasi kenaikan harga yang

melonjak.

4. Penetapan sentra produksi pangan lokal sesuai dengan usulan pemerintah

daerah (UU No. 18/2012, Pasal 12 (6). Pada UU No. 18/2009 untuk kasus

pangan asal hewani, Pasal 27: “Penetapan suatu kawasan budi daya diatur

berdasarkan Peraturan Menteri dengan berpedoman pada peraturan

perundang-undangan di bidang penataan ruang”. Pasal 14 menyatakan

bahwa: “Pemerintah membina pembentukan wilayah sumber bibit pada

wilayah yang berpotensi menghasilkan suatu rumpun ternak yang telah

ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan jenis dan rumpun ternak,

agroklimat, kepadatan penduduk, sosial ekonomi, budaya, serta ilmu

pengetahuan dan teknologi”, dimana usulannya dilakukan oleh pemerintah

daerah.

5. Pemerintah berkewajiban melindungi dan memberdayakan petani dan pelaku

usaha pangan sebagai produsen pangan (UU No. 18/2012, Pasal 17). Pada

petani peternak perlindungan tersebut dengan mengutamakan sumber daya

dalam negeri, melindungi harga dan produk hewan dari luar negeri guna

meningkatkan kesejahteraan peternak dan mewujudkan ketahanan pangan.

6. Dalam memenuhi kebutuhan pangan pemerintah berkewajiban: mengatur,

mengembangkan dan mengalokasikan lahan pertanian dan sumber daya air

(UU No. 18/2012 Pasal 18 dan UU No. 18/2009, Pasal 4, 5, 6, 7).

7. Pemerintah berkewajiban mengantisipasi dan menanggulangi ancaman

produksi pangan antara lain karena perubahan iklim; pemotongan sapi betina

produktif; penanggulangan OPT dan penyakit hewan zoonosis; pencemaran

lingkungan; keamanan, kesehatan, keutuhan dan kehalalan produk hewan;

degradasi dan alih fungsi lahan; dan disinsentif ekonomi melalui bantuan

teknologi dan regulasi (UU 18/2012 Pasal 22 (1), (2); UU No 18/2009 Pasal 56

dan UU No. 41/2014 Pasal 18 (3).

8. Ekspor pangan hanya dapat dilakukan setelah terpenuhinya kebutuhan

konsumsi pangan pokok dan cadangan pangan nasional (UU No. 18/2012 (1),

(2); UU No. 41/2014 Pasal 36A).

Page 26: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

17

9. Impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri

dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi (UU No. 18/2012, Pasal 36

(1), (2): UU No. 41/2014, Pasal 36B).

10. Impor pangan wajib memenuhi persyaratan keamanan, mutu, gizi, dan tidak

bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat (UU No.

18/2012 Pasal 37 (1) dan UU No. 18/2009 Pasal 6 (1).

11. Kebijakan impor pangan yang dilakukan pemerintah tidak berdampak negatif

terhadap keberlanjutan usahatani, peningkatan produksi, kesejahteraan

petani dan pelaku usaha pangan mikro dan kecil (UU No. 18/2012 Pasal 39

dan UU No. 18/2009 Pasal 29 (1)).

12. Pemerintah (pusat dan daerah) bertangguang jawab dalam mewujudkan

keterjangkauan pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan

dengan melaksanakan kebijakan di bidang distribusi, pemasaran,

perdagangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok, serta bantuan

pangan (UU No. 18/2012 Pasal 46; UU No. 41/2014 Pasal 36 (1) disebutkan:

Pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan

pemasaran Hewan atau Ternak dan Produk Hewan di dalam negeri maupun

ke luar negeri.

13. Peran serta pemerintah terkait dengan distribusi dan stabilisasi pasokan dan

harga pangan bertujuan: untuk memenuhi pemerataan ketersediaan pangan

ke seluruh wilayah NKRI secara berkelanjutan (UU No. 18/2012 Pasal (1);

untuk membina peningkatan produksi dan konsumsi protein hewani dalam

mewujudkan ketersediaan pangan bergizi seimbang bagi masyarakat dengan

tetap meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha Peternakan (UU No. 41/2014

Pasal 36 (2)).

14. Pemerintah berkewajiban melakukan stabilisasi pasokan dan harga pangan

pokok di tingkat produsen dan konsumen dengan tujuan melindungi

pendapatan dan daya beli petani dan keterjangkauan harga bagi konsumen

(UU No. 18/2012 Pasal 55 (1) (2)). Ketentuan ini belum diatur secara eksplisit

dalam UU No. 18/2009 dan UU No. 41/2014), namun dalam praktek sebagian

sudah dilakukan dalam bentuk kegiatan operasi pasar, dll dan masih bisa

dibenarkan dengan merujuk pada UU 18/2012 tentang pangan.

Page 27: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

18

15. Demikian pula hal-hal yang terkait dengan bantuan pangan pokok untuk

masyarakat miskin, rawan pangan dan gizi, maupun dalam keadaan darurat

yang sudah diatur dalam UU Pangan belum diatur dalam UU PKH. Hal itu

kemungkinan produk peternakan belum masuk kategori pangan pokok.

Adanya klausul pangan lainnya pada UU No. 18/2012 Pasal 58,

memungkinkan untuk produk peternakan seperti telur dan susu ditujukan

untuk mengatasi masalah kerawanan pangan dan gizi.

16. Beberapa peraturan terkait konsumsi pangan dan gizi lebih banyak diatur

dalam UU No. 18/2012. Namun perihal penganekaragaman pangan,

selayaknya didukung kebijakan dalam subsektor peternakan yang saat ini

masih dirasakan kurang seimbang. Swasembada produk peternakan masih

difokuskan pada daging sapi. Padahal masih banyak produk peternakan lain

yang perlu dikembangkan agar tidak terjadi senjang seperti kerbau, kambing,

domba, ayam kampung dan itik, dan kelinci.

17. Landasan hukum baik UU No. 18/2012 dan UU No. 18/2009 dan UU No.

41/2014 yang mengatur keamanan pangan mencakup aspek sanitasi dan

higienis, bermutu, bergizi, bebas cemaran, dan kehalalan sudah sangat jelas.

Namun dalam prakteknya masih banyak dijumpai pelanggaran dalam hal itu.

Ini mengindikasikan masih lemahnya penerapan hukum terkait hal itu yang

seharusnya perlu dicari solusi, antara lain dengan meningkatkan peran PPNS

dan fasilitas laboratorium serta pembinaan terhadap petugas dan pelaku

usaha terkait.

18. Terkait dengan kehalalan produk peternakan dan proses panen dan pasca

panen, pemerintah dan pemerintah daerah beserta lembaga terkait seperti

BPOM dan Kemenag hendaknya memperhatikan dan memantau secara

reguler proses pemotongan ternak dan pengolahan produk peternakan.

Keterkaitan antara UU No. 18/2012 tentang Pangan dengan UU No 39/2014 tentang Perkebunan

1. Pasal 6 UU No. 18/2012 mengamanatkan bahwa perencanaan pangan

dilakukan untuk merancang penyelenggaraan pangan ke arah kedaulatan

pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan sejalan dengan Pasal 2

Page 28: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

19

UU No. 39/2014 yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan perkebunan

harus berasaskan kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan,

keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, efisiensi-berkeadilan, kearifan lokal

dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

2. UU No. 18/2012 dalam pasalnya yang ke-7 mengatur bahwa perencanaan

pangan harus memperhatikan pertumbuhan dan sebaran penduduk,

kebutuhan konsumsi pangan dan gizi, daya dukung sumber daya alam,

teknologi, dan kelestarian lingkungan, pengembangan sumber daya manusia,

kebutuhan sarana dan prasarana, potensi pangan dan budaya lokal, rencana

tata ruang wilayah, dan rencana pembangunan nasional dan daerah.

Pengaturan ini sangat sejalan dengan perencanaan perkebunan yang

diharuskan untuk memperhatikan wilayah, jenis tanaman, sumber daya

manusia, kelembagaan, kawasan perkebunan,sarana dan prasarana,

pembiayaan dan penanaman modal yang tertuang dalam UU No. 39/2014

Pasal ke-6.

3. Pemerintah dalam menetapkan sentra produksi pangan lokal harus sesuai

dengan usulan pemerintah daerah sesuai UU No. 18/2012 Pasal 12 yang

sinergis dengan amanat UU No. 39/2014 Pasal 50 yang menyebutkan bahwa

menteri, gubernur, dan bupati/wali kota yang berwenang menerbitkan izin

Usaha Perkebunan harus tidak sesuai peruntukkan dan syarat serta ketentuan

peraturan perundang-undangan.

4. Dalam rangka perlindungan pangan, UU No. 18/2012 Pasal 22

mengamanatkan pemerintah untuk mengantisipasi dan menanggulangi

ancaman produksi pangan yang disebabkan karena perubahan iklim, serangan

OPT, pencemaran lingkungan, degradasi dan alih fungsi lahan, maupun

disinsentif ekonomi melalui bantuan teknologi dan regulasi. Amanat ini sejalan

dengan Pasal 34 dan Pasal 37 UU No. 39/2014 yang menyebutkan agar setiap

pelaku usaha perkebunan yang memiliki atau menguasai tanaman perkebunan

harus melaporkan adanya serangan organisme pengganggu tumbuhan pada

tanamannya kepada pejabat yang berwenang dan yang bersangkutan harus

mengendalikannya. Jika diperlukan pemerintah pusat atau daerah dapat

Page 29: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

20

melakukan atau memerintahkan dilakukannya eradikasi terhadap tanaman

yang menyebabkan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan.

5. Pengembangan cadangan pangan nasional dianjurkan melakukan kemitraan

antar pelaku usaha pangan, perguruan tinggi, maupun masyarakat. Amanat

UU No. 18/2012 Pasal 26 ini sinkron dengan UU No. 39/2014 yang

mengamanatkan pemberdayaan usaha perkebunan dilakukan melalui

kemitraan usaha perkebunan yang saling menguntungkan, saling menghargai,

saling bertanggung jawab, serta saling memperkuat dan saling

ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar

perkebunan.

6. Arahan UU No. 18/2012 Pasal 34 bahwa ekspor pangan pokok hanya dapat

dilakukan setelah terpenuhinya kebutuhan konsumsi pangan pokok dan

cadangan pangan nasional terkait erat dengan Pasal 51 UU No. 39/2014 yang

menekankan pemberdayaan usaha perkebunan diantaranya memfasilitasi

pelaksanaan ekspor hasil perkebunan dengan mengutamakan kebutuhan

konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri.

7. UU No. 18/2012 Pasal 51 mewajibkan pemerintah untuk mengatur

perdagangan pangan, dengan tujuan stabilisasi pasokan dan harga pangan,

manajemen cadangan pangan, dan penciptaan iklim usaha pangan yang sehat.

Kewajiban ini sejalan dengan Pasal 71 UU No. 39/2014 yang menyebutkan

bahwa pemerintah pusat berkewajiban menciptakan kondisi yang

menghasilkan harga komoditas menguntungkan dengan penetapan harga,

penetapan kebijakan pajak dan/atau tarif,pengaturan kelancaran distribusi dan

penyebarluasan informasi perkembangan harga.

Keterkaitan UU No 18 tahun 2012 tentang pangan dengan UU No 11 tahun 1974 tentang Pengairan

1. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan, Pasal 18 UU No. 18/2012

mewajibkan pemerintah : (i) mengatur, mengembangkan dan mengalokasikan

lahan pertanian dan sumber daya air, (ii) memberikan penyuluhan dan

pendampingan, (iii) menghilangkan berbagai kebijakan yang berdampak pada

penurunan daya saing, dan (iv) melakukan pengalokasian anggaran.

Page 30: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

21

2. Amanat ini sejalan dengan UU No. 11/1974 Pasal 10 tentang pengairan yang

memberi wewenang kepada pemerintah untuk menetapkan tata cara

pembinaan dalam rangka kegiatan pengairan menurut bidangnya masing-

masing sesuai dengan fungsi-fungsi dan peranannya.

3. Wewenang tersebut meliputi:

a. Menetapkan syarat-syarat dan mengatur perencanaan, perencanaan teknis,

penggunaan, pengusahaan, pengawasan dan perizinan pemanfaatan air

dan atau sumber-sumber air;

b. Mengatur dan melaksanakan pengelolaan serta pengembangan sumber-

sumber air dan jaringan-jaringan pengairan (saluran-saluran beserta

bangunan-bangunannya) secara lestari untuk mencapai daya guna

sebesar-besarnya;

c. Melakukan pencegahan terhadap terjadinya pengotoran air yang dapat

merugikan penggunaannya serta lingkungannya;

d. Melakukan pengamanan dan atau pengendalian daya rusak air terhadap

daerah-daerah sekitarnya;

e. Menyelenggarakan penelitian dan penyelidikan sumber-sumber air;

f. Mengatur serta menyelenggarakan penyuluhan dan pendidikan khusus

dalam bidang pengairan.

3.1.3. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan

Keterkaitan UU No. 18/2012 Tentang Pangan dengan Renstra Kementan dan Program Eselon I Kementan

A. Keterkaitan UU Pangan dengan Renstra Kementan

1. Aspek ketersediaan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 4 dimensi

utama (produksi dalam negeri, cadangan pangan, ekspor dan impor

pangan, dan penganekaragaman pangan), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan (langsung dan/atau tidak langsung) dalam mendukung

tujuan renstra kementan, tujuan (a) - (d), kecuali tujuan (e) terkait

dengan meningkatkan kualitas kinerja aparatur pemerintah yang

amanah dan profesional (tidak diatur);

Page 31: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

22

b. Keterkaitan (langsung dan/atau tidak langsung) dalam mendukung

sasaran startegis renstra kementan, sasaran strategis (a) – (e), kecuali

sasaran strategis (g) terkait akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah

yang baik;

c. Keterkaitan tidak langsung dalam mendukung strategi utama renstra

kementan, startegi utama (a) - (g), khususnya melalui penciptaan dan

pengembangan teknologi, optimalisasi pemanfaatan lahan,

pengembangan industri pangan, sistem insentif, dan regulasi dalam

memantapkan pencapaian ketersediaan pangan;

d. Keterkaitan tidak langsung dalam mendukung strategi penunjang

renstra kementan (kecuali terkait dengan perkarantinaan, perencanaan,

penataan dan penguatan organisasi, dan pengelolaan sistem

pengawasan), khususnya melalui penciptaan dan pengembangan

informasi dan teknologi, serta dukungan sistem insentif dan regulasi

dalam pencapaian ketersediaan pangan.

2. Aspek keterjangkauan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 5 dimensi

utama (distribusi pangan, pemasaran pangan, stabilitas pasokan dan harga

pangan pokok, dan bantuan pangan), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan (langsung dan/atau tidak langsung) dalam mendukung

tujuan renstra kementan, tujuan (a) - (d), kecuali tujuan (e) terkait

dengan meningkatkan kualitas kinerja aparatur pemerintah yang

amanah dan profesional (tidak diatur);

b. Keterkaitan (langsung dan/atau tidak langsung) dalam mendukung

sasaran startegis renstra kementan, sasaran strategis (a) – (e), kecuali

sasaran strategis (f) terkait akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah

yang baik;

c. Keterkaitan tidak langsung dalam mendukung strategi utama renstra

kementan, khususnya terkait dengan strategi utama item (b)

peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian, (d) penguatan

kelembagaan petani, (e) pengembangan dan penguatan pembiayaan

pertanian, dan (g) penguatan jaringan pasar produk pertanian, dalam

Page 32: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

23

rangka pemantapan pencapaian keterjangkauan pangan di tingkat

nasional, wilayah, da rumahtangga;

d. Keterkaitan tidak langsung dalam mendukung strategi penunjang

renstra kementan (kecuali terkait dengan perkarantinaan, perencanaan,

penataan dan penguatan organisasi, dan pengelolaan sistem

pengawasan), khususnya melalui penciptaan dan pengembangan

informasi dan teknologi, pengembangan kelembagaan, serta dukungan

promosi pemasaran, pengelolaan cadangan pangan, sistem insentif dan

regulasi dalam memantapkan pencapaian keterjangkauan pangan.

3. Aspek konsumsi pangan dan gizi dalam UU Pangan yang mencakup 3

dimensi utama (konsumsi pangan, penganekaragaman pangan dan gizi,

dan perbaikan gizi), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan (langsung dan/atau tidak langsung) dalam mendukung

tujuan renstra kementan, tujuan (a) – (d), kecuali tujuan (e) terkait

dengan meningkatkan kualitas kinerja aparatur pemerintah yang

amanah dan profesional (tidak diatur);

b. Keterkaitan (langsung dan/atau tidak langsung) dalam mendukung

sasaran strategis renstra kementan, sasaran strategis (a) – (e), kecuali

sasaran strategis (f) terkait akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah

yang baik;

c. Keterkaitan (langsung dan/atau tidak langsung) dalam mendukung

strategi utama renstra kementan, khususnya terkait dengan strategi

utama item (a) peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan lahan untuk

komoditas bernilai ekonomi dan gizi tinggi, dan (f) pengembangan dan

penguatan industri pengolahan pangan lokal dalam rangka pemantapan

pencapaian konsumsi pangan dan gizi;

d. Keterkaitan tidak langsung dalam mendukung strategi penunjang

renstra kementan (kecuali terkait dengan perkarantinaan, perencanaan,

penataan dan penguatan organisasi, dan pengelolaan sistem

pengawasan), khususnya melalui penciptaan dan pengembangan

teknologi, kegiatan promosi, edukasi, dan pengembangan industri

pengolahan pangan, pengembangan diversifikasi konsumsi, serta

Page 33: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

24

regulasi regulasi dalam memantapkan pencapaian konsumsi pangan dan

gizi.

4. Aspek keamanan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 6 dimensi

utama (sanitasi pangan, pengaturan bahan tambahan pangan, produk

rekayasa genetik, iradiasi pangan, standar kemasan pangan, dan jaminan

keamanan pangan dan mutu pangan), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan tidak langsung dalam mendukung tujuan renstra pertanian,

khususnya terkait dengan tujuan (b) meningkatkan nilai tambah dan

daya saing produk pangan dan pertanian, dan (d) meningkatkan

pendapatan dan kesejahteraan petani dan/atau pelaku usaha pangan,

sementara itu terkait dengan tujuan lainnya tidak diatur secara eksplisit;

b. Keterkaitan tidak langsung dalam mendukung sasaran strategis renstra

kementan, khususnya terkait dengan item (b) peningkatan diversifikasi

pangan olahan, (c) nilai tambah dan daya saing, dan (e) peningkatan

pendapatan petani dan/atau pelaku usaha pangan, sementara sasaran

strategis lainnya tidak diatur secara eksplisit;

c. Keterkaitan tidak langsung dengan sebagian besar strategi utama

renstra kementan, kecuali dengan item (a) peningkatan ketersediaan

dan pemanfaatan lahan, dan (c) pengembangan dan perluasan logistik

benih/bibit, dalam rangka pemantpan pencapaian keamanan pangan;

d. Keterkaitan tidak langsung dalam mendukung strategi penunjang

renstra kementan (kecuali terkait dengan perkarantinaan, perencanaan,

penataan dan penguatan organisasi, dan pengelolaan sistem

pengawasan), khususnya melalui penciptaan dan pengembangan

teknologi, sosialisasi dan advokasi, pengembangan industri pengolahan

pangan, serta regulasi dalam memantapkan pencapaian aspek

keamanan pangan.

Page 34: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

25

B. Keterkaitan UU Pangan dengan Program/Sasaran Kegiatan Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Hasil Tanaman

Pangan

1. Aspek ketersediaan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 4 dimensi

utama (produksi dalam negeri, cadangan pangan, ekspor dan impor

pangan, dan penganekaragaman pangan), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan dengan program (a) dan (b) khususnya dalam pemantapan

produksi pangan dalam negeri dan penganekaragaman panganmelalui

pemanfaatan sumber daya pertanian domestik, serta perlindungan dan

pemberdayaan petani ;

b. Keterkaitan dengan program (d), melalui penanggulangan ancaman

produksi pangan melalui bantuan teknologi dan regulasi.

2. Aspek keterjangkauan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 5 dimensi

utama (distribusi pangan, pemasaran pangan, stabilitas pasokan dan harga

pangan pokok, dan bantuan pangan), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan dengan program (h), khususnya dalam pemantapan aspek

distribusi pangan dan pemasaran pangan melalui penyediaan sarana

dan prasarana, serta pembinaan pemasaran pangan;

3. Aspek konsumsi pangan dan gizi dalam UU Pangan yang mencakup 3

dimensi utama (konsumsi pangan, penganekaragaman pangan dan gizi,

dan perbaikan gizi), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan dengan program (a) dan (b) khususnya dalam pemantapan

aspek konsumsi pangan dan perbaikan gizi, melalui penyediaan pangan

yang beragam dan peningkatan penyediaan/konsumsi umbi-umbian

lokal;

b. Keterkaitan dengan program (h), khususnya dalam pemantapan aspek

penganekaragaman pangan dan gizi melalui pengembangan industri

dan teknologi tepat guna pengolahan pangan lokal.

4. Aspek keamanan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 6 dimensi

utama (sanitasi pangan, pengaturan bahan tambahan pangan, produk

rekayasa genetik, iradiasi pangan, standar kemasan pangan, dan jaminan

keamanan pangan dan mutu pangan), memiliki/bersifat:

Page 35: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

26

a. Keterkaitan tidak langsung dengan program (c), khususnya terkait

dengan pelarangan proses produksi yang menggunakan bahan rekayasa

genetik, melalui pengawasan sertifikasi benih dan ketersediaan benih

bersertifikat;

b. Keterkaitan dengan program (h), khususnya terkait dengan sanitasi

pangan serta jaminan keamanan dan mutu pangan dalam proses

pengolahan pangan dan peredarannya.

C. Keterkaitan UU Pangan dengan Program/Sasaran Kegiatan Peningkatan Produksi dan Nilai Tambah Hortikultura

1. Aspek ketersediaan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 4 dimensi

utama (produksi dalam negeri, cadangan pangan, ekspor dan impor

pangan, dan penganekaragaman pangan), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan dengan program (a), (e), (g) khususnya dalam pemantapan

produksi pangan dalam negeri dan penganekaragaman pangan melalui

pemanfaatan sumber daya pertanian domestik, serta perlindungan dan

pemberdayaan petani;

b. Keterkaitan dengan program (c), melalui penanggulangan ancaman

produksi pangan melalui bantuan teknologi dan regulasi dengan sasaran

keamanan pangan untuk konsumsi domestik dan ekspor;

2. Aspek keterjangkauan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 5 dimensi

utama (distribusi pangan, pemasaran pangan, stabilitas pasokan dan harga

pangan pokok, dan bantuan pangan), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan dengan program (f), khususnya dalam pemantapan aspek

distribusi pangan dan pemasaran pangan dengan sasaran terpenuhinya

standar mutu, peningkatan nilai tambah, dan daya saing hortikultura;

3. Aspek konsumsi pangan dan gizi dalam UU Pangan yang mencakup 3

dimensi utama (konsumsi pangan, penganekaragaman pangan dan gizi,

dan perbaikan gizi), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan dengan program (a), (e), dan (g) khususnya dalam

pemantapan aspek konsumsi pangan dan perbaikan gizi, melalui

Page 36: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

27

penyediaan pangan yang beragam dan peningkatan penyediaan/

konsumsi sayuran dan buah;

b. Keterkaitan dengan program (f), khususnya dalam pemantapan aspek

penganekaragaman pangan dan gizi melalui pengembangan industri

dan teknologi tepat guna pengolahan hortikultura lokal.

4. Aspek keamanan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 6 dimensi

utama (sanitasi pangan, pengaturan bahan tambahan pangan, produk

rekayasa genetik, iradiasi pangan, standar kemasan pangan, dan jaminan

keamanan pangan dan mutu pangan), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan tidak langsung dengan program (b), khususnya terkait

dengan pelarangan proses produksi yang menggunakan bahan rekayasa

genetik, melalui pengawasan sertifikasi benih dan ketersediaan benih

hortikultura bersertifikat;

b. Keterkaitan dengan program (f), khususnya terkait dengan sanitasi

pangan serta jaminan keamanan dan mutu pangan dalam proses

pengolahan hortikultura dan peredarannya.

D. Keterkaitan UU Pangan dengan Program/Sasaran Kegiatan Peningkatan Produksi Komoditas Perkebunan

1. Aspek ketersediaan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 4 dimensi

utama (produksi dalam negeri, cadangan pangan, ekspor dan impor

pangan, dan penganekaragaman pangan), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan dengan program (a) dan (e) khususnya dalam pemantapan

produksi pangan dalam negeri dan penganekaragaman pangan melalui

pemanfaatan sumber daya pertanian domestik, serta perlindungan dan

pemberdayaan petani;

b. Keterkaitan dengan program (b), melalui penanggulangan ancaman

produksi pangan melalui bantuan teknologi dan regulasi dengan sasaran

mencegah penurunan luas areal perkebunan yang terserang organisme

pengganggu tanaman (OPT);

Page 37: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

28

2. Aspek keterjangkauan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 5 dimensi

utama (distribusi pangan, pemasaran pangan, stabilitas pasokan dan harga

pangan pokok, dan bantuan pangan), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan dengan program (f), khususnya dalam pemantapan aspek

distribusi pangan dan pemasaran pangan dengan sasaran terpenuhinya

standar mutu, peningkatan nilai tambah, dan daya saing komoditas dan

produk perkebunan;

3. Aspek konsumsi pangan dan gizi dalam UU Pangan yang mencakup 3

dimensi utama (konsumsi pangan, penganekaragaman pangan dan gizi,

dan perbaikan gizi), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan dengan program (a) dan (e)khususnya dalam pemantapan

aspek konsumsi pangan dan perbaikan gizi, melalui penyediaan/akses

pangan yang beragam dan peningkatan penyediaan/ akses konsumsi

pangan, dengan keberhasilan pengembangan komoditas perkebunan

berkelanjutan;

b. Keterkaitan dengan program (f), khususnya dalam pemantapan aspek

penganekaragaman pangan dan gizi melalui pengembangan industri

dan teknologi tepat guna pengolahan komoditas perkebunan.

4. Aspek keamanan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 6 dimensi

utama (sanitasi pangan, pengaturan bahan tambahan pangan, produk

rekayasa genetik, iradiasi pangan, standar kemasan pangan, dan jaminan

keamanan pangan dan mutu pangan), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan tidak langsung dengan program (d) dan (g), khususnya

terkait dengan pelarangan proses produksi yang menggunakan bahan

rekayasa genetik, melalui pengawasan dan pengujian benih dan

teknologi perkebunan, serta ketersediaan benih unggul tanaman

perkebunan;

b. Keterkaitan dengan program (f), khususnya terkait dengan sanitasi

pangan serta jaminan keamanan dan mutu pangan dalam proses

pengolahan komoditas perkebunan dan peredarannya.

Page 38: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

29

E. Keterkaitan UU Pangan dengan Program/Sasaran Kegiatan Pemenuhan Pangan Asal Ternak dan Agribisnis Peternakan Rakyat

1. Aspek ketersediaan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 4 dimensi

utama (produksi dalam negeri, cadangan pangan, ekspor dan impor

pangan, dan penganekaragaman pangan), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan dengan program (a) dan (c) khususnya dalam pemantapan

produksi pangan dalam negeri dan penganekaragaman pangan melalui

pemanfaatan sumber daya pertanian domestik, serta perlindungan dan

pemberdayaan petani;

b. Keterkaitan dengan program (b), melalui penanggulangan ancaman

produksi pangan melalui bantuan teknologi dan regulasi dengan sasaran

meningkatkan status kesehatan hewan;

2. Aspek keterjangkauan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 5 dimensi

utama (distribusi pangan, pemasaran pangan, stabilitas pasokan dan harga

pangan pokok, dan bantuan pangan), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan dengan program (f), khususnya dalam pemantapan aspek

distribusi pangan dan pemasaran pangan dengan sasaran terpenuhinya

standar mutu, peningkatan nilai tambah, dan daya saing komoditas dan

agribisnis peternakan;

3. Aspek konsumsi pangan dan gizi dalam UU Pangan yang mencakup 3

dimensi utama (konsumsi pangan, penganekaragaman pangan dan gizi,

dan perbaikan gizi), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan dengan program (a), (b), dan (c)khususnya dalam

pemantapan aspek konsumsi pangan dan perbaikan gizi, melalui

penyediaan pangan yang beragam dan peningkatan penyediaan/

konsumsi komoditas dan produk pangan ternak;

b. Keterkaitan dengan program (f), khususnya dalam pemantapan aspek

penganekaragaman pangan dan gizi melalui pengembangan industri

dan teknologi tepat guna pengolahan komoditas peternakan.

4. Aspek keamanan pangan dalam UU Pangan yang mencakup 6 dimensi

utama (sanitasi pangan, pengaturan bahan tambahan pangan, produk

Page 39: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

30

rekayasa genetik, iradiasi pangan, standar kemasan pangan, dan jaminan

keamanan pangan dan mutu pangan), memiliki/bersifat:

a. Keterkaitan dengan program (a), (b), dan (c) khususnya terkait dengan

pelarangan proses produksi yang menggunakan bahan rekayasa

genetik, melalui pengawasan dan pengujian benih/bibit, pakan, dan

teknik pengendalian serta penggulangan penyakit hewan;

b. Keterkaitan dengan program (f), khususnya terkait dengan sanitasi

pangan serta jaminan keamanan dan mutu pangan dalam proses

pengolahan komoditas peternakan dan peredarannya.

3.2. Undang-Undang No. 12/1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman

3.2.1. Pokok-pokok amanat undang-undang

Struktur dan Materi UU

Tujuan utama UU No. 12/1992 tentang Sistem Budi daya Tanaman adalah

untuk meningkatkan hasil dan mutu produksi, meningkatkan pendapatan dan

taraf hidup petani, peternak, dan pembangunan industri serta meningkatkan

ekspor, mendukung pembangunan daerah, dan mengintensifkan kegiatan

transmigrasi. Sementara sasaran yang ingin diwujudkan adalah sistem pertanian

yang maju, efisien, dan tangguh, menghadapi liberalisasi dan globalisasi di bidang

pertanian, serta untuk melindungi tanaman dari segala upaya yang menyebabkan

kerugian pada budi daya tanaman, sehingga kebutuhan perbenihan dalam negeri

dan ekspor pertanian dapat ditingkatkan.

Jangkauan pengaturan UU No. 12/1992 ini selain memberikan batasan dan

penjelasan tentang budi daya tanaman adalah mengatur mengenai koordinasi

antara instansi yang terkait sistem budi daya tanaman, memberikan pengaturan

mengenai pengembangan benih, dan sinkronisasi dengan peraturan perundang-

undang lain yang terkait sistem budi daya tanaman. Ruang lingkup sistem budi

daya tanaman meliputi proses kegiatan produksi sampai dengan pascapanen.

Dasar pembentukannya adalah Pasal 28 H ayat (1) mengenai setiap orang berhak

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat dan Pasal 33 UUD NRI Tahun

1945 mengenai cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.

Page 40: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

31

UU No. 12/1992 ini memuat tentang segala sesuatu hal yang berkaitan

dengan budi daya tanaman yang mencakup cara-cara pertanian yang sesuai

dengan sistem budi daya tanaman yang berkelanjutan, bahwa pertanian yang

berkelanjutan mempunyai peranan yang penting dalam pencapaian tujuan

pembangunan nasional. Oleh karena itu, diperlukan sumber daya manusia yang

berkualitas dan bermanfaat, untuk terlaksananya pertanian yang berkelanjutan.

UU No. 12 tahun 1992 ini terdiri atas 12 Bab dan 66 Pasal. Bab I memuat tentang

ketentuan umum dan penggunaan istilah, Bab II tentang Perencanaan Budi daya

Tanaman, Bab III tentang Penyelenggaraan Budi daya Tanaman, Bab IV sarana

produksi, Bab V Tata Ruang dan Tata Guna Tanah, Bab VI Pengusahaan, dan Bab

VII tentang Pembinaan dan Peran Serta Masyarakat. Selanjutnya pada Bab VIII

disampaikan Penyerahan dan Tugas Pembantuan, sedangkan Bab IX memuat

tentang Penyidikan. Lalu pada bagian akhir (bab X, XI, dan XII) dijelaskan tentang

berbagai ketentuan mencakup aspek pidana dan sanksi-sanksi. Bab III merupakan

bagian yang cukup penting, dimana di sini menjelaskan tentang teknis budi daya

itu sendiri, mencakup pembukaan dan pengolahan lahan, pengggunaan media

tumbuh, pembenihan, pengeluaran dan pemasukan tumbuhan dan benih

tanaman, penanaman, pemanfaatan air, perlindungan tanaman, pengendalian

organisme penggagu tumbuhan, eradikasi organisme pengganggu tumbuhan, lalu

pemeliharaan, dan diakhir kegiatan pemanenan hingga pasca panen.

Perbenihan

Satu isu penting dalam UU No. 12/1992 berkenaan dengan perbenihan.

Disebutkan bahwa untuk pengembangan budi daya tanaman, perolehan benih

dapat dilakukan dengan kegiatan penemuan varietas unggul, atau benih yang

berasal dari luar negeri. UU No. 12/1992 juga mengatur bahwa benih yang akan

diedarkan harus melalui sertifikasi dan memenuhi standar mutu yang telah

ditetapkan oleh pemerintah. Benih yang telah lulus sertifikasi juga harus diberi

label. Ketentuan-ketentuan mengenai benih diatas bertujuan untuk

mengembangkan sektor pertanian yang tangguh dan juga untuk mengembangkan

industri perbenihan.

Page 41: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

32

UU No. 12/1992 juga menegaskan bahwa Pemerintah berhak menetapkan

jenis tumbuhan yang dibawa masuk dan keluar dari wilayah Indonesia

serta dapat melarang pengadaan, peredaran, dan penanaman benih tanaman

tertentu yang merugikan masyarakat, budi daya tanaman, sumber daya alam

lainnya, dan/atau lingkungan hidup. Setiap orang atau badan usaha yang berniat

mengimpor atau mengekspor benih harus mendapat izinPemerintah. Ketentuan

perbenihan diatur dalam beberapa pasal, dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 41

tahun 1995 mengenai Perbenihan Tanaman, dan juga dengan Permentan No. 37

tahun 2006 mengenai Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varietas.

Perolehan benih bermutu untuk pengembangan budi daya tanaman

dilakukan melalui kegiatan penemuan varietas unggul dan/atau introduksi dari

luar negeri (Pasal 8). Penemuan varietas unggul dilakukan melalui kegiatan

pemuliaan tanaman. Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri

sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah dalam hal ini

pelepasan varietas baru dilakukan melalui keputusan menteri pertanian. Varietas

yang dilepas, dan diedarkan merupakan benih unggul, yang telah melewati uji

sertifikasi dan memenuhi standar mutu oleh pemerintah. Benih yang telah lulus

sertifikasi juga harus dilabel. Namun, UU No. 12/1992 dinilai kurang

mempertimbangkan atau menegasikan adanya benih yang dikembangkan secara

konvensional oleh petani. Aturan ini menutup kemungkinan bagi petani untuk bisa

menggunakan benih yang dikembangkan sendiri. Selanjutnya, sistem ini juga

menutup kemungkinan bagi petani yang biasanya menjual, mengedarkan, atau

membagi benihnya kepada teman sesama petani, karena harus memenuhi

persyaratan yang sangat susah dipenuhi oleh petani.

Pertanian Keberlanjutan

UU No. 12/1992 Pasal 2menyebutkan “berkelanjutan” sebagai salah satu

asas pertanian. Asas yang lain ialah “manfaat” dan “lestari”. Hal ini berarti bahwa

“berkelanjutan” juga menjadi asas sistem budi daya tanaman. Akan tetapi asas

ini, juga kedua asas yang lain, tidak dikonsepsikan dalam UU No. 12/1992,

padahal asas adalah landasan pokok yang memandu pernyataan-pernyataan

dalam semua pasal. Ketiadaan konsep menyebabkan seluruh UU No. 12/1992

Page 42: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

33

tidak dapat diuji seberapa kuat itikadnya menganut asas-asas itu. Kemudian tidak

ada satu pasal pun yang menegaskan asas keberlanjutan. Ada beberapa pasal

yang tersirat mengajukan gagasan tentang keterlanjutan. Dengan ungkapan

semacam itu pasal-pasal tadi tidak mungkin dijadikan rujukan tegas untuk

memberikan kepada UU No. 12/1992 ini kekuatan hukum nyata berkenaan

dengan asas keterlanjutan. Bahkan kesamaran ungkapan justru dapat menjadi

sumber kerancuan dan kontroversi berkepanjangan.

Pasal-pasal yang dinilai juga lemah dalam hal pengajuannya yang tidak

mengarah ke pewujudan sistem budi daya tanaman yang berasas keberlanjutan.

Dengan kata lain, pasal-pasal tersebut tidak berada dalam bingkai konsep

keberlanjutan. Malah ada beberapa pasal yang dapat mendorong orang berbuat

menjauhi hakekat keberlanjutan.

Perkembangan budi daya tanaman diarahkan secara bijaksana, dengan

memperhatikan kemampun dan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan

hidup serta menggunakan teknologi tepat dengan tujuan untuk meningkatkan dan

memperluas penganekaragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan

pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negri, dan memperbesar

ekspor. Untuk mencapai tujuan tersebut Pemerintah menyusun rencana

pengembangan budi daya tanaman yang disesuaikan dengan tahapan rencana

pembangunan nasional, menetapkan wilayah pengembangan budi daya tanaman,

mengatur produksi budi daya tanaman tertentu berdasarkan kepentingan

nasional, dan menciptakan kondisi yang menunjang peranserta masyarakat,

dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat.

UU No. 12/1992 ini tidak mengatur sistem budi daya tanaman semacam

apa yang hendak dikembangkan sehubungan dengan asas keberlanjutan. Pasal 1

ayat 1 menyatakan bahwa Sistem budi daya tanaman adalah sistem

pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alam nabati melalui upaya

manusia yang dengan modal, teknologi, dan sumber daya. Pernyataan tersebut

dapat berimplikasi bahwa hanya ada satu ragam sistem budi daya tanaman yang

dapat ditafsirkan tuntas dengan pernyataan semacam itu, dan sistem budi daya

tanaman adalah sistem mekanistik yang tidak bersangkut paut dengan budi daya

dan gaya hidup (pertanian rakyat) atau dengan pencarian nafkah bagi pekerjanya

Page 43: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

34

dan aspirasi ekonomi bagi pengusahanya (pertanian perusahaan). Dengan kata

lain, UU No. 12/1992 ini tidak memberikan arahan hukum yang tegas mengenai

“keberlanjutan” dan “sistem budi daya tanaman”, padahal kedua perkara tersebut

menjadi inti undang-undang bersangkutan. Keberlanjutan merupakan watak dan

perilaku sistem. Budi daya tanaman merupakan satu sistem. Pasal-pasal

dirumuskan untuk mengatur komponen sistem, yang seharusnya dirumuskan

untuk mengatur sistem. Oleh karena budi daya tanaman tidak diatur sebagai

sistem, akan tetapi diatur sebagai sekedar kumpulan komponen, maka asas

keberlanjutan ini terunut sepanjang batang tubuhnya.

Mukadimah UU No. 12/1992 yang seharusnya menjadi sumber asumsi bagi

semua pasal menjadi tidak berfungsi karena tidak terimplikasikan oleh rumusan

pasal. Pasal 2 berdiri terpencil, yang seharusnya berfungsi sebagai penggandeng

mukadimah dengan batang tubuh undang-undang. Disamping itu terlalu banyak

pengaturan yang dilimpahkan ke produk hukum yang berkedudukan lebih rendah

daripada undang-undang, keputusan menteri (Kepmen), atau peraturan menteri

(Permen). Ada 23 buah pasal atau ayatnya yang berbunyi “diatur lebih lanjut”.

Timbul persoalan kapan dan bagaimana mengaturnya. Dengan demikian UU No.

12/1992 ini sebagaimana keadaanya sekarang tanpa dilengkapi dengan peraturan

perundangan penjabarannya, belum dapat mengatur dan mengendalikan sistem

budi daya tanaman menuju ke pematuhan asas lestari dan berkelanjutan.

Peranserta Masyarakat dan Otonomi Daerah

Jika dicermati lebih dalam, terdapat sedikit kontradiksi antara dengan Pasal

5 huruf d dengan Pasal 12, 13, 14, dan 61 yang mengatur bahwa sebelum

diedarkan varietas baru hasil pemulihan tanaman maupun introduksi dari luar

negeri perlu dilakukan pengujian dan kemudian dilepas oleh Pemerintah. Hal ini

kontradiksi dengan ketentuan Pasal 5 huruf d yang menyatakan bahwa

pemerintah perlu memberikan peluang dan kemudahan tertentu yang dapat

mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam pengembangan budi daya

tanaman. Dengan lahirnya beberapa undang-undang yang mengharuskan

dibentuknya otonomi daerah, secara fundamental perlu disusun ulang bentuk

hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, misalnya Balai

Page 44: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

35

Pengawasan dan Sertifikasi Perbenihan (BPSB), dan otoritas lokal dalam semua

sektor, termasuk sektor budi daya tanaman.

UU Budi daya Tanaman disahkan tahun 1992, dua tahun sebelum

dibentuknya organisasi perdagangan dunia. UU No. 12/1992 ini dibuat tidak dalam

kerangka melindungi hak mereka yang melakukan budi daya tanaman

sebagaimana UU PVT dan Paten, tetapi dibuat dengan semangat untuk

mengembangkan sistem pertanian yang maju, efisien dan tangguh, dan untuk

melindungi tanaman dari segala upaya yang menyebabkan kerugian pada budi

daya tanaman. Dengan demikian, maka kebutuhan pangan, sandang, papan,

kesehatan, industri dalam negeri dan eksport pertanian dapat ditingkatkan.

Namun kelihatannya, UU No. 12/1992 ini juga dipersiapkan untuk menghadapi

liberalisasi dan globalisasi di bidang pertanian.

Peran pemerintah besar dalam UU No. 12/1992 ini. Sektor pertanian

dibebani kepentingan nasional yang berat, sehingga perencanaan budi daya

tanaman ditentukan oleh pemerintah, termasuk penetapan wilayah

pengembangan, pengaturan produksi berdasarkan kepentingan nasional, dan lain-

lain. Peran serta atau kontrol pemerintah yang cukup besar termasuk

pengontrolan pada cara dan pola tanam mengakibatkan hak-hak yang dimiliki oleh

pemangku kepentingan atas tanahnya, seperti petani, menjadi terpinggirkan.

Satu hal penting dalam UU No. 12/1992 ini adalah bahwa petani memiliki

kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi dayaannya.

Namun, kekebasan ini memiliki syarat, yakni harus diikuti dengan kewajiban

petani untuk berperan serta dalam mendukung pelaksanaan program pemerintah.

Sebagai penyeimbangnya, kewajiban untuk petani tersebut diimbangi dengan

kewajiban pemerintah agar petani tersebut mendapatkan jaminan penghasilan

tertentu. Hal ini ada yang mengartikan bahwa pada hakekatnya, hak-hak petani

untuk menentukan jenis tanaman yang akan ditaman di tanahnya sendiri

sesungguhnya tetap dibatasi.

Page 45: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

36

3.2.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain

Keterkaitan UU Budi Daya dengan UU Pangan

Kedua UU ini mengatur hal yang berbeda. Dapat dimaknai, kedua UU

berurutan dalam alur proses agribisnis, dimana UU budi daya mengatur pada

subsektor hulu, lalu dilanjutkan UU Pangan pada bagian hilirnya. Dengan kata

lain, kedua UU ini saling melengkapi satu sama lain, sehingga menjadi utuh untuk

satu sistem agribisnis. Kebersinggungan antara kedua UU ini relatif lemah. Kata

“pangan” hanya muncul satu kali dalam UU Budi daya, yakni di Pasal 3: Sistem

budi daya tanaman bertujuan: (a) meningkatkan dan memperluas

penganekaragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang,

papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor;

(b)meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani; (c) mendorong perluasan

dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Pada bagian

Penjelasan Pasal 3 Huruf a: Dalam pengertian pangan termasuk bahan makanan

ternak dan ikan, sedangkan dalam pengertian kesehatan termasuk gizi.

Sebaliknya kata “budi daya” tidak muncul sama sekali dalam UU Pangan, kecuali

untuk istilah “pembudi daya ikan” dan “pembudi daya pangan”, yang merujuk

kepada orang, bukan suatu aktivitas.

Keterkaitan di antara kedua UU ini karena mengatur hal yang sama dalam

hal prinsip, pedoman, pembatasan, dan lain-lain. Misalnya dalam hal Perencanaan

Pangan, pasal 7 UU Pangan menyebutkan bahwa perencanaan pangan harus

memperhatikan: (a) pertumbuhan dan sebaran penduduk, (b) kebutuhan

konsumsi pangan dan gizi, (c) daya dukung sumber daya alam, teknologi, dan

kelestarian lingkungan, (d) pengembangan sumber daya manusia, (e) kebutuhan

sarana dan prasarana, (f) potensi pangan dan budaya lokal, (g) rencana tata

ruang wilayah, dan (h) rencana pembangunan nasional dan daerah.Sementara

Pasal 5 UU Budi daya menyebutkan bahwa Pemerintah harus menyusun rencana

pengembangan budi daya tanaman sesuai dengan tahapan rencana

pembangunan nasional.

Dalam hal pewilayah pembangunan, Pasal 12 ayat 6 UU Pangan

menyatakan bahwa Pemerintah menetapkan sentra produksi pangan lokal sesuai

dengan usulan pemerintah daerah. Hal ini didukung oleh Pasal 5 ayat 1 butir b UU

Page 46: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

37

Budi daya dimana:Pemerintah menetapkan wilayah pengembangan budi daya

tanaman. Kedua UU ini sama-sama mengembangkan sumber daya manusia,

petani. Hal ini dinyatakan pada UU Pangan di Pasal 16, bahwa Pemerintah dan

masyarakat dalam pengembangan potensi produksi pangan dilakukan dengan

memanfaatkan sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber pendanaan,

ilmu pengetahuan dan teknologi, sarana dan prasarana pangan, dan kelembagaan

pangan, serta Pasal 17: Pemerintah berkewajiban melindungi dan

memberdayakan petani dan pelaku usaha pangan sebagai produsen pangan.

Sementara Pasal 56 UU Budi daya menyatakan: Pemerintah menyelenggarakan

pengembangan sumber daya manusia di bidang budi daya tanaman melalui

kegiatan pendidikan dan pelatihan serta mendorong dan membina

masyarakatuntuk melakukan kegiatan tersebut. Hal ini ditujukan untuk memenuhi

kebutuhan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Kesejajaran lain ditemukan dalam konteks lingkungan, dimana Pasal 22 UU

Pangan menyatakan: Pemerintah berkewajiban mengantisipasi dan

menanggulangi ancaman produksi pangan (karena perubahan iklim, serangan

OPT, pencemaran lingkungan, degradasi dan alih fungsi lahan, disinsentif

ekonomi, dan lain-lain) melalui bantuan teknologi dan regulasi.Pasal 7 UU Budi

daya menyebutkan: Setiap orang atau badan hukum yang membuka dan

mengolah lahan dalam luasan tertentu untuk keperluan budi daya tanaman wajib

mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup.

Kedua UU juga sama-sama memperhatikan pengembangan pangan lokal. Pasal 42

UU Pangan menyebutkan bahwa penganekaragaman pangan dilakukan dengan

pengoptimalan pangan lokal. Hal ini didukung oleh UU Budi daya khususnya pada

bagian Penjelasan pasal 9 ayat 1: Seleksi adalah kegiatan pemilihan dari suatu

populasi jenis tanaman untuk mendapatkan varietas unggul. Seleksi dimulai dari

tahapan eksplorasi yang merupakan suatu kegiatan pencarian dan pendataan dari

populasi jenis tanaman lokal atau untuk mendapatkan varietas unggul lokal

dan/atau sebagai bahan baku persilangan.

Dalam hal Konsumsi Pangan dan Gizi, disebutkan bahwa terdiri atas tiga

dimensi utama yaitu: (i) Konsumsi pangan, (ii) Penganekaragaman pangan dan

gizi, dan (iii) Perbaikan gizi (Pasal 59). Sementara Pasal 3 UU Budi daya

Page 47: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

38

menyebutkan Sistem budi daya tanaman bertujuan: meningkatkan dan

memperluas penganekaragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan

pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar

ekspor. Hal ini dilengkapi pada bagian Penjelasan: Pengembangan budi daya

tanaman diarahkan secara bijaksana, denganmemperhatikan kemampuan dan

kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup serta menggunakan teknologi

tepat dengan tujuan untuk meningkatkan dan memperluas penganekaragaman

hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan,

industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor.

Keterkaitan UU Budi Daya dengan UUPerlindungan Varietas Tanaman

Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas

Tanaman (PVT) disusun sebagai upaya pemenuhan kewajiban internasional

Indonesia, dan bertujuan untuk menciptakan serta meningkatkan minat

perorangan maupun badan hukum untuk melakukan kegiatan pemuliaan tanaman

dalam rangka menghasilkan varietas unggul baru. Namun, hingga saat ini masih

terdapat beberapa ketentuan yang tidak diatur dalam Undang-Undang No. 29

Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Hal ini menciptakan peluang

terjadinya multitafsir dan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya.

Persoalan benih utamanya berkaitan dengan perihal paten. Sama halnya

dengan UU PVT, UU Paten di Indonesia juga dikembangkan dengan semangat

perjanjian TRIPs (Trade Related aspects of Intellectual Property Rights) untuk

memfasilitasi liberalisasi perdagangan dunia dan untuk melindungi pemegang hak

paten. Untuk kepentingan tersebut, Indonesia telah mengubah beberapa kali

undang-undang paten. Perubahan yang terakhir padatahun 2001, ketika muncul

masalah masalah yang berkaitan dengan sumber daya genetika dan pengetahuan

tradisional. Namun sayangnya, UU paten yang terakhir pun belum menjawab

permasalahan tersebut. Dikaitkan dengan PVT, memang paten, sebagaimana

dijelaskan diatas tidak memberikan perlindunganterhadap produk dalam hal ini

varietas yang berupa benih/bibit. Namun, paten memberikanperlindungan

terhadap proses untuk mengembangan varietas tersebut. Hal ini bertergantung

kepada klaimnya. Jika klaimnya, dalam artian yang ingin dilindungi adalah proses,

Page 48: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

39

maka bisa didaftarkan untukmendapatkan paten, tetapi jika yang ingin dilindungi

adalah hasil dari proses itu yang berupa varietas(benih) maka bisa didaftarkan

untuk mendapatkan PVT.

Subyek perlindungan paten di Indonesia adalah sama atau bahkan lebih

liberal jika di bandingkan dengan subyek perlindungan paten di negara-negara

maju, seperti Eropa. Meskipun makhluk hidup tidak dapat dipatenkan menurut UU

paten Indonesia, tetapi mikroorganismeatau jasad renik bisa dipatenkan. Paten

mikroorganismeini mengundang kontraversi karena proses memisahkan jasad

renik dari alam, atau proses mengisolasikannya bisa dianggap sebagai sesuatu

yang baru dan mengandung langkah inventif. Jika semua proses yang seperti itu

dilindungi dalam UU paten, maka itu berarti UU Paten telah menerapkan standart

patenyang sangat rendah, dimana perbedaan antara apa yang disebut dengan

discovery dengan apa yang dikenal dalam UU Paten sebagai suatu Invention

menjadi sangat kabur. Kekaburan seperti ini mempunyai potensi bahwa apa yang

sesungguhnya mesti berada dalam ranahpublik domain, menjadi bagian yang bisa

diprivatisasikan.

Mengenai kepentingan petani, berbeda dengan PVT yang masih

memberikan sedikit kesempatan bagi petani untuk menggunakan benih dari

varietas yang lindungi sepanjang tidak untukkomersial, UU Paten tidak

memberikan sedikitpun ruang bagi proses yang telah dikembangkan oleh petani

untuk dilindungi paten. UU ini pun tidak memberikan kesempatan kepada petani

untuk menggunakan proses yang sudah dipatenkan meskipun untuk kepentingan

yang tidak komersial. Dankarena proses biologi yang esensial dan konvensional

yang dilakukan dan dikembangkan oleh petani tidak dapat dilindungi oleh paten,

tidak hanya karena tidak memenuhi syarat-syarat patentabilitas seperti kebaruan,

dan mengandung langkah inventif, tetapi karena berdasarkan UU, proses tersebut

dikecualikan dari perlindungan paten. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya UU

Paten, sepertihalnya UU PVT tidak dibuat untuk mengakomodasi kepentingan

petani, tetapi kepentingan industri. Namun, ketentuan diatas tidak berarti bahwa

proses untuk pengembangan varietas secara konvensional yang dilakukan oleh

petani tidak bisa dikembangkan lagi. Petani masih punya hak, sebagaimana

sebelum adanya UU ini untuk menggunakan proses yang biasa digunakan untuk

Page 49: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

40

pengembangan varietas. Namun, petani tidak boleh melanggar hak paten atau

meniru proses pembuatan tanaman dan hewan yang dimiliki oleh industri

perbenihan yang telah mendapatkan hak paten atas proses tersebut.

Keterkaitan UU Budi Daya dengan UU Penyuluhan

Dalam hal perencanaan disebutkan prinsip partisipatif. Pasal 5 ayat (1) UU

No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi daya Tanaman ditegaskan bahwa untuk

meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman, guna

memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri,

dan memperbesar ekspor, Pemerintah antara lain menciptakan kondisi yang

menunjang peranserta masyarakat; ayat (2) Dalam melaksanakan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah memperhatikan kepentingan

masyarakat. Hal ini terkait dengan UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan

Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan pada Pasal 26 ayat (3) bahwa penyuluhan

dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif melalui mekanisme kerja

dan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan

pelaku usaha. Selanjutnya bahwa materi penyuluhan dibuat berdasarkan

kebutuhan dan kepentingan pelaku utama dan pelaku usaha dengan

memperhatikan kemanfaatan dan kelestarian sumber daya pertanian, perikanan,

dan kehutanan (Pasal 27 ayat 1).

Keterkaitan UU Budi Daya dengan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

Kesejajaran materi dalam kedua UU ini tergolong rendah. Tujuan UU Budi

daya adalah untuk meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil

tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan. Sementara UU P3 bertujuan pada

Pemberdayaan Petani sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan Petani

untuk melaksanakan Usaha Tani yang lebih baik. Dengan kata lain, yang satu

membicarakan tanamannya dan satunya tentang orang atau petaninya. Namun

demikian, berikut adalah beberapa bagian yang memiliki kesejajaran.

UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi daya Tanaman Pasal 6 ayat (3)

Pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan

Page 50: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

41

memperoleh jaminan penghasilan tententu. Hal ini dipertegas UU No. 19 Tahun

2013 Pasal 7 ayat (2) bahwa Strategi Perlindungan Petani dilakukan antara lain

melalui: a. ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa; b. sistem peringatan

dini dan penanganan dampak perubahan iklim; dan c. Asuransi Pertanian. Pasal 8

UU No. 12 Tahun 1992 dinyatakan bahwa Perolehan benih bermutu untuk

pengembangan budi daya tanaman dilakukan melalui kegiatan penemuan varietas

unggul dan/atau introduksi dari luar negeri; terkait dengan Pasal 46 ayat (6) UU

No. 19 Tahun 2013 bahwa Penyuluhan dan pendampingan dilakukan antara lain

agar Petani dapat melakukan: a. tata cara budi daya, pascapanen, pengolahan,

dan pemasaran yang baik; b. analisis kelayakan usaha; dan c. kemitraan dengan

Pelaku Usaha. Tentang areal pewilayahan, disebutkan dalam UU No. 12 Tahun

1992 Pasal 45: Perubahan rencana tata ruang yang mengakibatkan perubahan

peruntukan budi daya tanaman guna keperluan lain dilakukan dengan

memperhatikan rencana produksi budi daya tanaman secara nasional. Pada UU

Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, petani dilarang mengalihfungsikan lahan

pertanian yang diperoleh menjadi lahan nonpertanian (Pasal 63 ayat 1). Petani

dilarang mengalihkan lahan Pertanian kepada pihak lain secara keseluruhan atau

sebagian, kecuali mendapat izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah (Pasal

63 ayat 2).

Keterkaitan UU Budi Daya dengan UU Lahan Pangan Berkelanjutan

Dalam penerapannya, Undang-Undang tentang Sistem Budi daya Tanaman

banyak menimbulkan kendala, antara lain dalam Pasal 45 yang masih memberikan

peluang terjadinya perubahan peruntukkan atau konversi lahan budi daya

tanaman menjadi lahan untuk keperluan bukan budi daya tanaman. Dengan

adanya UU Lahan Pangan Berkelanjutan (LPB), maka kekurangan ini menjadi

tertutupi. Kesamaan obyek yang diatur antar kedua UU ini relatif sedikit. Satu

objek utama dalam UU Budi daya Tanaman yang menonjol adalah perihal

kebebasan petani dalam berusaha. Dalam Pasal 6 ayat 1 disebutkan: Petani

memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi

dayaannya.Pada UU Lahan Pangan Berkelanjutan, kebebasan ini dibatasi dengan

kewajiban. Pasal 34 ayat 1 menyebutkan: Setiap orang yang memiliki hak atas

Page 51: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

42

tanah yang ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

berkewajiban memanfaatkan tanah sesuai peruntukan dan mencegah kerusakan

lahan dan irigasi.

Selanjutnya berkenaan dengan tata ruang dan tata guna tanah, Pasal 44

menyebutkan bahwa pemanfaatan lahan disesuaikan dengan ketentuan tata

ruang dan tata guna tanah, dengan memperhatikan kesesuaian dan kemampuan

lahan maupun pelestarian lingkungan hidup khususnya konservasi tanah. Hal ini

difokuskan melalui UU Lahan Berkelanjutan Pasal 9 ayat (2) yakni tentang adanya

Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Lahan Pertanian Pangan dan Lahan

Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang berada di dalam atau di luar

kawasan pertanian pangan. Penetapan ini didasarkan atas kriteria kesesuaian

lahan, ketersediaan infrastruktur, penggunaan lahan, potensi teknis lahan,

dan/atau luasan kesatuan hamparan lahan.

Dalam hal pengusahaan, Pasal 47 UU Budi daya membatasi bahwa usaha

budi daya tanaman hanya dapat dilakukan oleh perorangan warga negara

Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum berupa Koperasi,

Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan swasta. Pada Pasal 27

UU Lahan menegaskan bahwa pengembangan terhadap Kawasan Pertanian

Pangan Berkelanjutan dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan meliputi

intensifikasi dan ekstensifikasi lahan, dapat dilakukan oleh Pemerintah,

pemerintah daerah dan korporasi yang berbentuk koperasi dan/atau perusahaan

inti plasma dengan mayoritas sahamnya dikuasai oleh warga negara Indonesia.

Keterkaitan UU Budi Daya dengan UU Pengairan

Keterkaitan antara kedua UU yang menyangkut pemanfaat air dan

peranserta masyarakat. Pada UU No. 12 Tahun 1992 pemanfaatan air tercantum

pada Pasal 19:

1. Pemerintah mengatur dan membina pemanfaatan air untuk budi daya

tanaman.

2. Pemanfaatan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Page 52: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

43

Hal tersebut sejalan dengan UU No. 11 Tahun 1974 Pasal 3: Hak menguasai

sumber daya air oleh negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk

mengelola serta mengembangkan kemanfaatan air dan atau sumber-sumber air

menyusun dan mengesahkan atau memberi izin peruntukan, penggunaan,

penyediaan, pengusahaan air, dan atau sumber-sumber air berdasarkan

perencanaan dan perencanaan teknis tata pengaturan air dan tata pengairan.

Pada kekuasaan itu lekat pula wewenang menentukan dan mengatur perbuatan-

perbuatan hukum dan hubungan-hubungan hukum antara orang dan atau badan

hukum dalam persoalan air dan atau sumber-sumber air. Sementara pada UU No.

12 Tahun 1992 yang terkait dengan peranserta masyarakat tertuang dalam Pasal

57, dinyatakan bahwa:

1. Pemerintah menyelenggarakan penyuluhan budi daya tanaman serta

endorong dan membina peranserta masyarakat untuk melakukan kegiatan

penyuluhan dimaksud.

2. Pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan informasi yang mendukung

pengembangan budi daya tanaman serta mendorong dan membina

peranserta masyarakat dalam pemberian pelayanan tersebut.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diatur lebih lanjut

oleh Pemerintah.

UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan pada Pasal 12 mengatur

partisipasi masyarakat dalam upaya menjaga kelestarian fungsi dari bangunan-

bangunan pengairan (irigasi) yang ada dengan melakukan kegiatan-kegiatan

eksploitasi dan pemeliharaan serta perbaikan-perbaikan bangunan- bangunan

pengairan supaya lestari. Pasal ini menyebutkan bahwa bangunan-bangunan

pengairan yang ditujukan untuk memberikan manfaat langsung kepada suatu

kelompok masyarakat dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat, baik yang

berbentuk Badan Hukum, Badan Sosial maupun perorangan yang memperoleh

manfaat langsung dari adanya bangunan-bangunan tersebut. Partisipasi dilakukan

dalam bentuk pengikutsertaan dalam menanggung pembiayaan dalam bentuk

iuran yang diberikan kepada pemerintah sebagai pengganti jasa pengelolaan

(Pasal 14).

Page 53: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

44

Keterkaitan UU Budi Daya dengan UU Karantina

Keterkaitan antara kedua UU ini hampir tidak ada secara langsung, kecuali

hanya untuk aspek Pengeluaran dan Pemasukan Tumbuhan dan Benih Tanaman

yakni di Pasal 17 UU Budi daya, yaitu: (1) Pemerintah menetapkan jenis

tumbuhan yang pengeluaran dari dan/atau pemasukannya ke dalam wilayah

Negara Republik Indonesia memerlukan izin, (2) Pengeluaran benih dari atau

pemasukannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib mendapatkan

izin, dan (3) Pemasukan benih dari luar negeri harus memenuhi standar mutu

benih bina. Pada Pasal 5 UU Karantina disebutkan bahwa setiap media pembawa

hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau

organisme pengganggu tumbuhan karantina yang dimasukkan ke dalam wilayah

negara Republik Indonesia wajib: (a) dilengkapi sertifikat kesehatan dari negara

asal dan negara transit bagi hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan,

ikan, tumbuhan dan bagian-bagian tumbuhan, kecuali media pembawa yang

tergolong benda lain; (b) melalui tempat-tempat pemasukan yang telah

ditetapkan; dan (c) dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di

tempat-tempat pemasukan untuk keperluan tindakan karantina. Hal yang sama

berlaku juga untuk yang dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di dalam

wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 6). Demikian juga untuk yang akan

dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 7).

3.2.3. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan

Keterkaitan UU No. 12/1992 dengan Renstra Kementan 2015-2019

UU No. 12/1992 tentang Sistem Budi daya Tanaman Pasal 1 ayat 1: Sistem

budi daya tanaman adalah sistem pengembangan dan pemanfaatan sumber daya

alam nabati melalui upaya manusia yang dengan modal, teknologi, dan sumber

daya lainnya menghasilkan barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara

lebih baik; mendukung tujuan Renstra Kementan 2015-2019 yang terkait dengan

meningkatkan ketersediaan dan diversifikasi untuk mewujudkan kedaulatan

pangan. Sementara tujuan Renstra dalam upaya meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraan petani, dan sasaran strategi berupa peningkatan pendapatan

keluarga petani; secara jelas telah tercantum pada UU No. 12/1992 Pasal 3,

Page 54: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

45

bahwa Sistem budi daya tanaman bertujuan: a.meningkatkan dan memperluas

penganeka ragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang,

papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor; b.

meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani; c.mendorong perluasan dan

pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.

Strategi utama Renstra peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan lahan

sejalan dengan UU Budi daya mengenai Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Budi

daya Tanaman, tercantum pada Pasal 44:

1. Pemanfaatan lahan untuk keperluan budi daya tanaman disesuaikan dengan

ketentuan tata ruang dan tata guna tanah berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

2. Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan

dengan memperhatikan kesesuaian dan kemampuan lahan maupun

pelestarian lingkungan hidup khususnya konservasi tanah.

Selanjutnya pada Pasal 45, dinyatakan bahwa Perubahan rencana tata ruang yang

mengakibatkan perubahan peruntukan budi daya tanaman guna keperluan lain

dilakukan dengan memperhatikan rencana produksi budi daya tanaman secara

nasional. Ketentuan lain yang masih terkait penggunaan lahan pada Pasal 46:

1. Pemerintah menetapkan luas maksimum lahan untuk unit usaha budi daya

tanaman yang dilakukan di atas tanah yang dikuasai oleh Negara.

2. Setiap perubahan jenis tanaman pada unit usaha budi daya tanaman di atas

tanah yang dikuasai oleh negara harus memperoleh persetujuan Pemerintah.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), diatur lebih

lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian merupakan strategi utama

Renstra lainnya terkait dengan UU Budi daya yang menekankan pada aspek

sarana produksi, seperti pupuk tercantum pada Pasal 37:

1. Pupuk yang beredar di dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib

memenuhi standar mutu dan terjamin efektivitasnya serta diberi label.

2. Pemerintah menetapkan standar mutu pupuk serta jenis pupuk yang boleh

diimpor.

3. Pemerintah mengawasi pengadaan dan peredaran pupuk.

Page 55: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

46

4. Ketentuan mengenai tata cara pengawasan, pengadaan dan peredaran pupuk

sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Pemerintah.

Saran produksi yang lainnya seperti pestisida tertera pada Pasal 38:

1. Pestisida yang akan diedarkan di dalam wilayah negara Republik Indonesia

wajib terdaftar, memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya, amanbagi

manusia dan lingkungan hidup, serta diberi label.

2. Pemerintah menetapkan standar mutu pestisida sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1), dan jenis pestisida yang boleh diimpor.

Strategi utama Renstra mengenai pengembangan dan perluasan logistik

benih/bibit didukung oleh UU No. 12/1992pada aspek Perbenihan, yang tertera

pada Pasal 8: Perolehan benih bermutu untuk pengembangan budi daya tanaman

dilakukan melalui kegiatan penemuan varietas unggul dan/atau introduksi dari

luarnegeri.Sementara strategi penunjang Renstra yang terkait pengelolaan

regulasi, telah sejalan dengan UU No. 12/1992Pasal 16: Pemerintah dapat

melarang pengadaan, peredaran, dan penanaman benih tanaman tertentu yang

merugikan masyarakat, budi daya tanaman, sumber daya alam lainnya, dan/atau

lingkungan hidup. UU Budi daya Tanaman yang menekankan pada aspek

Pengeluaran dan Pemasukan Tumbuhan dan Benih Tanaman tercantum pada

Pasal 17:

1. Pemerintah menetapkan jenis tumbuhan yang pengeluaran dari dan/atau

pemasukannya ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia memerlukan izin.

2. Pengeluaran benih dari atau pemasukannya ke dalam wilayah negara Republik

Indonesia wajib mendapatkan izin.

3. Pemasukan benih dari luar negeri harus memenuhi standar mutu benih bina.

Keterkaitan UU No. 12/1992 dengan Program Kementan

Pada hakekatnya, program pembangunan yang disusun dan dijalankan

Kementan merupakan perwujudan dari amanah berbagai undang-undang,

termasuk undang-undang tentang Sistem Budi daya Tanaman. Sebagian besar

program merupakan gabungan dari semangat dan ketentuan dari beberapa UU

sekaligus. Pada program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Hasil

Page 56: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

47

Tanaman Pangan dengan sasaran kegiatan Peningkatan Produksi Kedelai;

Ubikayu; Ubijalar; Kacang Tanah; dan Kacang hijau, telah didukung oleh UU No.

12/1992 Pasal 3: Sistem budi daya tanaman bertujuan: a.meningkatkan dan

memperluas penganeka-ragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan

pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar

ekspor; b.meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani; c.mendorong

perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.

Program Pengelolaan Sistem Penyediaan Benih Tanaman Pangan,

Hortikultura, Perkebunan terkait dengan UU No. 12/1992 Pasal 8: Perolehan benih

bermutu untuk pengembangan budi daya tanaman dilakukan melalui kegiatan

penemuan varietas unggul dan/atau introduksi dari luar negeri. Pasal lain yang

terkait adalah Pasal: 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, dan 16.

Aspek Perlindungan Tanaman yang terkandung pada UU Budi daya

Tanaman Pasal 20:

1. Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama

terpadu.

2. Pelaksanaan perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

menjadi tanggung jawab masyarakat dan Pemerintah

Didukung Pasal: 21, 22, 23, 24, 25, 26, dan 27, terkait dengan program

Penguatan Perlindungan Tanaman Pangan dan Perkebunan dari Gangguan OPT

dan DPI.

Ketentuan pascapanen pada UU No. 12/1992 tercantum pada Pasal 31:

1. Pascapanen meliputi kegiatan pembersihan, pengupasan, sortasi, pengawetan,

pengemasan, penyimpanan, standardisasi mutu, dan transportasi hasil

produksi budi daya tanaman.

2. Kegiatan pascapanen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditujukan untuk

meningkatkan mutu, menekan tingkat kehilangan dan/atau kerusakan,

memperpanjang daya simpan, dan meningkatkan daya guna serta nilai tambah

hasil budi daya tanaman.

Pasal lain yang terkait pascapanen adalah Pasal: 32, 33, dan 34. Keseluruhan

ketentuan tersebut sejalan dengan program Pengolahan dan Pemasaran Hasil

Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan.

Page 57: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

48

Pengaturan pemanfaatan Air tercantum dalam UU No. 12/1992 Pasal 19:

1. Pemerintah mengatur dan membina pemanfaatan air untuk budi daya

tanaman.

2. Pemanfaatan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hal ini mendukung program Pengelolaan Air Irigasi Untuk Pertanian dengan

sasaran kegiatan berupa meningkatnya ketersediaan air irigasi dalam mendukung

produksi pertanian.

Program Perluasan dan Perlindungan Lahan Pertanian dengan sasaran

kegiatan berupa meningkatnya luasan areal pertanian, pengoptimalan lahan, dan

mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian serta mendorong

peningkatan status kepemilikan lahan petani dan mengevaluasi pemanfaatan

sertifikat tanah petani, diperkuat dengan UU No. 12/1992 pada aspek Tata Ruang

dan Tata Guna Tanah Budi daya Tanaman, yang tercantum pada Pasal 44:

1. Pemanfaatan lahan untuk keperluan budi daya tanaman disesuaikan dengan

ketentuan tata ruang dan tata guna tanah berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

2. Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan

dengan memperhatikan kesesuaian dan kemampuan lahan maupun pelestarian

lingkungan hidup khususnya konservasi tanah.

Pasal lain yang terkait adalah Pasal: 45 dan 46

Pengaturan Alat dan Mesin yang tertera pada UU No. 12/1992 Pasal 43:

1. Pemerintah menetapkan jenis dan standar alat dan mesin budi daya tanaman

yang produksi serta peredarannya perlu diawasi.

2. Alat dan mesin budi daya tanaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

diuji terlebih dahulu sebelum diedarkan.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih

lanjut dengan Peraturan Pemerintah

Hal tersebut sebagai pendukung program Pengelolaan Sistem Penyediaan dan

Pengawasan Alat Mesin Pertanian dengan sasaran kegiatan berupa meningkatnya

pemanfaatan alat dan mesin pertanian.

Page 58: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

49

Program Fasilitasi Pupuk dan Pestisida dengan sasaran kegiatan tersalurnya

pupuk bersubsidi dan dioptimalkanya rumah kompos di daerah sentra produksi

tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan sentra peternakan, sejalan

dengan UU No. 12/1992 Pasal: 37, 38, 39, 40, 41, 42. Lebih lanjut program

tentang Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik

Pertanian didukung oleh UU No. 12/1992:

Pasal 54

1. Pemerintah menyelenggarakan penelitian di bidang budi daya tanaman yang

diarahkan bagi kepentingan masyarakat.

2. Pemerintah membina dan mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan

penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 55

1. Kepada penemu teknologi tepat serta penemu teori dan metode ilmiah baru di

bidang budi daya tanaman dapat diberikan penghargaan oleh Pemerintah.

2. Kepada penemu jenis baru dan/atau varietas unggul, dapat diberikan

penghargaan oleh Pemerintah serta mempunyai hak memberi nama pada

temuannya.

3. Setiap orang atau badan hukum yang tanamannya memiliki keunggulan

tertentu dapat diberikan penghargaan oleh Pemerintah.

4. Ketentuan mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.

Program Revitalisasi Pendidikan Pertanian dengan sasaran kegiatan

tercapainya revitalisasi pendidikan pertanian dalam meningkatkan kapasitas

aparatur pertanian dan nonaparatur pertanian; daya tarik pertanian bagi tenaga

kerja muda, telah dipayungi UU No. 12/1992 Pasal 56:

1. Pemerintah menyelenggarakan pengembangan sumber daya manusia di

bidang budi daya tanaman melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan serta

mendorong dan membina masyarakat untuk melakukan kegiatan tersebut.

2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditujukan untuk memenuhi

kebutuhan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), diatur lebih

lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Page 59: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

50

Program Pemantapan Sistem Penyuluhan Pertanian dengan sasaran

kegiatan mantapnya sistem penyuluhan pertanian dalam meningkatkan

kemampuan petani; kemandirian kelembagaan petani dan pola hubungan

pemerintah, telah didukung oleh UU No. 12/1992 Pasal 57:

1. Pemerintah menyelenggarakan penyuluhan budi daya tanaman serta

mendorong dan membina peranserta masyarakat untuk melakukan kegiatan

penyuluhan dimaksud

2. Pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan informasi yang mendukung

pengembangan budi daya tanaman serta mendorong dan membina peranserta

masyarakat dalam pemberian pelayanan tersebut

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diatur lebih lanjut

oleh Pemerintah.

3.3. Undang-Undang No. 13/2010 tentang Hortikultura

3.3.1. Pokok-pokok amanat undang-undang

Tujuan

Undang-Undang No. 13/2010 tentang Hortikultura menegaskan bahwa

Penyelenggaraan hortikultura memiliki 8 tujuan yaitu :

a. mengelola dan mengembangkan sumber daya hortikultura secara optimal,

bertanggung jawab, dan lestari;

b. memenuhi kebutuhan, keinginan, selera, estetika, dan budaya masyarakat

terhadap produk dan jasa hortikultura;

c. meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing,

dan pangsa pasar;

d. meningkatkan konsumsi produk dan pemanfaatan jasa hortikultura;

e. menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha;

f. memberikan perlindungan kepada petani, pelaku usaha, dan konsumen

hortikultura nasional;

g. meningkatkan sumber devisa negara; dan

h. meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan kemakmuran rakyat.

Page 60: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

51

Lingkup Pengaturan Hortikultura

Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut maka pada UU Hortikultura

secara keseluruhan terdapat 18 bab yang mengatur penyelenggaraan hotikultura,

mulai dari Ketentuan Umum (Bab 1) hingga Ketentuan Peralihan (Bab 17) dan

Penutup (Bab 18). Namun dari seluruh bab tersebut hanya 5 bab yang mengatur

penyelenggaraan hortikultura secara substantif dan terkait dengan 5 aspek yaitu :

(a) perencanaan; (b) pemanfaatan dan pengembangan sumber daya; (c)

pengembangan hortikultura; (d) distribusi, perdagangan, pemasaran, dan

konsumsi; dan (e) pembiayaan, penjaminan, dan penanaman modal. Secara

ringkas arah kebijakan pada kelima aspek tersebut dapat diuraikan sebagai

berikut.

Perencanaan Hortikultura

1. Perencanaan hortikultura harus memperhatikan: (a) pertumbuhan penduduk

dan kebutuhan konsumsi; (b) daya dukung sumber daya alam dan

lingkungan; (c) rencana pembangunan nasional dan daerah; (d) rencana tata

ruang wilayah; (e) pertumbuhan ekonomi dan produktivitas; (f) kebutuhan

prasarana dan sarana hortikultura; (g) kebutuhan teknis, ekonomis, dan

kelembagaan; dan (h) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Perencanaan hortikultura mencakup aspek: (a) sumber daya manusia; (b)

sumber daya alam; (c) sumber daya buatan; (d) sasaran produksi dan

konsumsi; (e) kawasan hortikultura; (f) pembiayaan, penjaminan, dan

penanaman modal; dan (g) penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi.

Pemanfaatan dan Pengembangan Sumber Daya

1. Sumber daya hortikultura terdiri dari: (a). sumber daya manusia; (b). sumber

daya alam; dan (c). sumber daya buatan. Sumber daya alam dan sumber

daya buatan dimanfaatkan secara efisien, ramah lingkungan, dan

berkelanjutan. Pemanfaatan sumber daya buatan mengutamakan yang

mengandung komponen hasil produksi dalam negeri.

2. Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban meningkatkan keahlian dan

Page 61: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

52

keterampilan sumber daya manusia hortikultura untuk memenuhi standar

kompetensi. Untuk memenuhi standar kompetensi tersebut dapat melalui

sertifikasi kompetensi.

3. Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban menyelenggarakan

penyuluhan hortikultura. Penyuluhan hortikultura dilakukan oleh penyuluh

bersertifikat. Pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penyuluhan

hortikultura berkewajiban menyediakan paling sedikit satu orang penyuluh

pegawai negeri sipil atau paling sedikit satu orang penyuluh swasta dan/atau

swadaya di setiap desa yang termasuk di dalam kawasan hortikultura.

4. Pelaku usaha wajib mengutamakan pemanfaatan sumber daya manusia dalam

negeri.

5. Lahan budi daya hortikultura wajib dilindungi, dipelihara, dipulihkan, serta

ditingkatkan fungsinya oleh pelaku usaha. Penggunaan lahan budi daya

hortikultura wajib mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

6. Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memantau, mengevaluasi,

memprakirakan, mendokumentasikan, dan memetakan pola iklim untuk

pengembangan usaha hortikultura. Hasil pemantauan, evaluasi, prakiraan,

dokumentasi, dan pemetaan pola iklim menjadi acuan perencanaan

hortikultura dan pengembangan usaha hortikultura. Pemerintah dan/atau

pemerintah daerah menyediakan bantuan kepada pelaku usaha mikro dan

kecil yang mengalami gagal panen akibat bencana yang disebabkan oleh

perubahan pola iklim.

7. Air untuk usaha hortikultura harus memenuhi persyaratan baku mutu air

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah dan

pemerintah daerah bertanggung jawab: (a) memberikan jaminan akan

ketersediaan air untuk usaha hortikultura; dan (b) menetapkan rencana

alokasi dan memberikan hak guna pakai air untuk usaha hortikultura.

8. Sumber daya genetik hortikultura wajib dilindungi, dilestarikan, diperkaya,

dimanfaatkan, dan dikembangkan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Pemasukan dan pengeluaran sumber daya genetik

hortikultura ke dan dari dalam negara Republik Indonesia dilaksanakan sesuai

Page 62: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

53

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang dilarang: (a)

memperjualbelikan bahan perbanyakan sumber daya genetik hortikultura

yang terancam punah; dan/atau (b) menebang pohon induk yang

mengandung bahan perbanyakan sumber daya genetik hortikultura yang

terancam punah.

9. Usaha hortikultura dilaksanakan dengan mengutamakan penggunaan sarana

hortikultura dalam negeri. Sarana hortikultura yang diedarkan wajib

memenuhi standar mutu dan terdaftar. Dalam hal sarana hortikultura

merupakan atau mengandung hasil rekayasa genetik, selain memenuhi

ketentuan tersebut, peredarannya wajib mengikuti ketentuan peraturan

perundang-undangan di bidang keamanan hayati. Setiap orang yang

melakukan pengadaan, pengedaran, dan penggunaan sarana hortikultura

wajib memperhatikan keselamatan dan sosial budaya masyarakat, sistem budi

daya tanaman, sumber daya alam, dan/atau fungsi lingkungan.

Pengembangan Hortikultura

1. Penyelenggaraan hortikultura wajib memperhatikan rencana tata ruang

wilayah. Penyelenggaraan hortikultura dilakukan di luar zona inti kawasan

konservasi. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah merencanakan dan

menetapkan kawasan hortikultura. Kawasan hortikultura tersebut terdiri atas:

(a). kawasan hortikultura nasional; (b). kawasan hortikultura provinsi; dan (c).

kawasan hortikultura kabupaten/kota. Kawasan hortikultura nasional

ditetapkan oleh Pemerintah, kawasan hortikultura provinsi ditetapkan oleh

pemerintah provinsi, dan kawasan hortikultura kabupaten/kota ditetapkan

oleh pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah

menetapkan produk unggulan yang akan dikembangkan di dalam kawasan

hortikultura.

2. Pelaku usaha dalam melaksanakan usaha hortikultura wajib memenuhi

standar proses atau persyaratan teknis minimal. Pelaku usaha dalam

memproduksi produk hortikultura wajib memenuhi standar mutu dan

keamanan pangan produk hortikultura. Usaha hortikultura besar dapat

diselenggarakan oleh pelaku usaha dalam negeri, baik sendiri maupun

Page 63: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

54

berpatungan dengan pelaku usaha luar negeri dengan membentuk badan

hukum Indonesia menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

3. Usaha perbenihan hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki

sertifikat kompetensi atau badan usaha yang bersertifikat dalam bidang

perbenihan dengan wajib menerapkan jaminan mutu benih melalui penerapan

sertifikasi. Pemasukan benih ke dalam wilayah negara Republik Indonesia

untuk kepentingan komersial harus memenuhi persyaratan mutu yang

ditetapkan. Pemasukan benih ke dalam wilayah negara Republik Indonesia

untuk kepentingan komersial hanya diperbolehkan bila tidak dapat diproduksi

dalam negeri atau kebutuhan dalam negeri belum tercukupi.

4. Usaha budi daya hortikultura dilakukan dengan memperhatikan: (a).

permintaan pasar; (b). budi daya yang baik ; (c). efisiensi dan daya saing;

(d). fungsi lingkungan; dan (e). kearifan lokal. Usaha pengolahan produk

hortikultura wajib memenuhi standar mutu sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Dalam hal penyaluran, pembagian, dan

pengiriman produk hortikultura pelaku usaha distribusi wajib menggunakan

sistem logistik untuk menjaga kesegaran, mutu, keamanan pangan, dan

kesesuaian jumlah dan waktu pasokan produk hortikultura.

5. Pelaku usaha perdagangan produk hortikultura harus menerapkan sistem

pengkelasan produk berdasarkan standar mutu dan standar harga secara

transparan.Pelaku usaha pemasaran hortikultura wajib mengutamakan

pemasaran produk dan jasa hortikultura dalam negeri.

6. Usaha penelitian hortikultura dapat dilakukan pada usaha perbenihan, usaha

budi daya, usaha panen dan pascapanen, usaha pengolahan, dan usaha

distribusi, perdagangan, pemasaran, serta usaha wisata agro.

7. Kawasan dan/atau unit usaha budi daya hortikultura dapat digunakan dan

dikembangkan untuk usaha wisata agro. Pemerintah menetapkan norma,

standar, pedoman, dan kriteria usaha wisata agro.Pemerintah dan/atau

pemerintah daerah menetapkan kawasan dan/atau unit usaha budi daya

hortikultura yang dijadikan usaha wisata agro.

Page 64: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

55

Distribusi, Perdagangan, Pamasaran, dan Konsumsi

1. Pemerintah membangun sistem distribusi, perdagangan, pemasaran, dan

konsumsi produk hortikultura yang menjamin perlindungan terhadap pelaku

usaha, konsumen, dan produk dalam negeri. Distribusi dilakukan untuk

menjamin pengiriman produk hortikultura guna menjaga keamanan pangan

serta ketepatan jumlah, mutu, dan waktu pasokan dari produsen sampai ke

pasar dan/atau konsumen.

2. Ekspor produk hortikultura dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan

konsumsi nasional. Ekspor produk hortikultura harus memenuhi persyaratan

dan standar mutu dan/atau keamanan pangan.

3. Impor produk hortikultura wajib memperhatikan aspek: (a). keamanan

pangan produk hortikultura; (b). ketersediaan produk hortikultura dalam

negeri; (c). penetapan sasaran produksi dan konsumsi produk hortikultura;

(d). persyaratan kemasan dan pelabelan; (e). standar mutu; dan (f).

ketentuan keamanan dan perlindungan terhadap kesehatan manusia, hewan,

tumbuhan, dan lingkungan.Impor produk hortikultura dapat dilakukan setelah

mendapat izin dari menteri yang bertanggungjawab di bidang perdagangan

setelah mendapat rekomendasi dari Menteri. Impor produk hortikultura

dilakukan melalui pintu masuk yang ditetapkan. Setiap orang dilarang

mengedarkan produk segar hortikultura impor tertentu yang tidak memenuhi

standar mutu dan/atau keamanan pangan.

4. Pemerintah dan pemerintah daerah bertugas meningkatkan konsumsi

hortikultura masyarakat melalui: (a) penetapan dan sosialisasi buah dan

sayuran sebagai produk pangan pokok; (b) penetapan target pencapaian

angka konsumsi buah dan sayuran per kapita per tahun sesuai dengan

standar kesehatan; dan (c) pemuatan materi hortikultura ke dalam kurikulum

pendidikan nasional atau daerah.

Pembiayaan, penjaminan, dan penanaman modal

1. Untuk pengembangan usaha hortikultura: (a) Pemerintah menetapkan

persentase portofolio kredit bersubsidi dari alokasi kredit untuk sektor

pertanian, dan (b) menggunakan anggaran pembangunan untuk subsidi

Page 65: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

56

bunga dan/atau asuransi kredit. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah

memfasilitasi usaha mikro dan kecil hortikultura untuk memperoleh fasilitas

dan pinjaman tanpa agunan dari lembaga keuangan berdasarkan kelayakan

usaha.

2. Pelaku usaha hortikultura yang menyimpan produknya di pergudangan dapat

memperoleh dan memanfaatkan resi gudang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

3. Pemerintah mendorong penanaman modal dengan mengutamakan

penanaman modal dalam negeri. Penanaman modal asing hanya dapat

dilakukan dalam usaha besar hortikultura. Besarnya penanaman modal asing

dibatasi paling banyak 30% (tiga puluh persen). Penanam modal asing

dilarang menggunakan kredit dari bank atau lembaga keuangan milik

Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

3.3.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain

Keterkaitan UU Hortikultura dan UU Pangan

Dari 12 lingkup pengaturan penyelenggaraan pangan dalam konteks

analisis kebijakan undang-undang pertanian yang dinilai strategis adalah empat

aspek yaitu: ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, konsumsi pangan dan

gizi, dan keamanan pangan sebagai berikut :

1. Ketersediaan pangan mencakup empat dimensi utama yaitu produksi pangan

dalam negeri, cadangan pangan, ekspor dan impor pangan, dan

penganekaragaman pangan.

2. Keterjangkauan pangan mencakup lima dimensi utama yaitu distribusi

pangan, pemasaran pangan, perdagangan pangan, stabilitas pasokan dan

harga pangan pokok, dan bantuan pangan.

3. Konsumsi pangan dan gizi mencakup tiga dimensi uatama yaitu konsumsi

pangan, penganekaragamnan pangan dan gizi, dan perbaikan gizi.

4. Keamanan pangan mencakup enam dimensi utama yaitu sanitasi pangan,

pengaturan bahan tambahan pangan, produk rekayasa genetik, iradiasi

pangan, standar kemasan pangan, jaminan keamanan dan mutu pangan.

Page 66: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

57

Pada UU Hortikultura aspek ketersediaan pangan tercerminkan pada tujuan

ke 3 yaitu : meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya

saing, dan pangsa pasar. Masalah ekspor dan impor pangan yang berasal dari

produk hortikultura juga diatur pada Bab VI tentang Distribusi, Perdagangan,

Pamasaran, dan Konsumsi produk hortikultura. Pengaturan ekspor ditegaskan

pada pasal yang menyatakan bahwa “Ekspor produk hortikultura dilakukan

dengan mempertimbangkan kebutuhan konsumsi nasional dan ekspor produk

hortikultura harus memenuhi persyaratan dan standar mutu dan/atau keamanan

pangan”. Adapun pengaturan impor ditegaskan pada pasal yang menyatakan

bahwa impor produk hortikultura wajib memperhatikan aspek-aspek tertentu dan

dapat dilakukan setelah mendapat izin dari menteri yang bertanggungjawab di

bidang perdagangan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri. Impor produk

hortikultura dilakukan melalui pintu masuk yang ditetapkan dan setiap orang

dilarang mengedarkan produk segar hortikultura impor tertentu yang tidak

memenuhi standar mutu dan/atau keamanan pangan.

Aspek keterjangkauan dan konsumsi pangan juga tercerminkan pada Bab

VI yang mengatur tentang Distribusi, Perdagangan, Pamasaran, dan Konsumsi

produk hortikultura. Pada Bab VI tersebut ditegaskan bahwa Pemerintah

membangun sistem distribusi, perdagangan, pemasaran, dan konsumsi produk

hortikultura yang menjamin perlindungan terhadap pelaku usaha, konsumen, dan

produk dalam negeri. Distribusi dilakukan untuk menjamin pengiriman produk

hortikultura guna menjaga keamanan pangan serta ketepatan jumlah, mutu, dan

waktu pasokan dari produsen sampai ke pasar dan/atau konsumen.

Aspek konsumsi pangan dan gizi juga tercerminkan pada Bab VI yang

mengatur tentang Distribusi, Perdagangan, Pamasaran, dan Konsumsi produk

hortikultura. Dalam rangka perbaikan gizi masyarakat pada Bab VI tersebut

ditegaskan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah bertugas meningkatkan

konsumsi hortikultura masyarakat melalui: (a) penetapan dan sosialisasi buah dan

sayuran sebagai produk pangan pokok; (b) penetapan target pencapaian angka

konsumsi buah dan sayuran per kapita per tahun sesuai dengan standar

kesehatan; dan (c) pemuatan materi hortikultura ke dalam kurikulum pendidikan

nasional atau daerah.

Page 67: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

58

Aspek keamanan pangan juga tercerminkan pada Bab VI yang mengatur

tentang Distribusi, Perdagangan, Pamasaran, dan Konsumsi produk hortikultura

disamping Bab IV tentang Pemanfaatan dan Pengembangan Sumber daya. Pada

Bab VI ditegaskan bahwa distribusi dilakukan untuk menjamin pengiriman produk

hortikultura guna menjaga keamanan pangan dan Impor produk hortikultura wajib

memperhatikan aspek keamanan pangan produk hortikultura, disamping aspek-

aspek lainnya. Adapun pada Bab IV tentang Pemanfaatan dan Pengembangan

Sumber daya ditegaskan bahwa sarana hortikultura yang diedarkan wajib

memenuhi standar mutu dan terdaftar dan dalam hal sarana hortikultura

merupakan atau mengandung hasil rekayasa genetik, selain memenuhi ketentuan

tersebut, peredarannya wajib mengikuti ketentuan peraturan perundang-

undangan di bidang keamanan hayati.

3.3.3. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan

Keterkaitan UU Hortikultura dan Renstra Kementan 2015-2019

Pada Renstra Kementan 2015-2019 ditegaskan bahwa tujuan

pembangungan pertanian meliputi: (a) meningkatkan ketersediaan dan

diversifikasi untuk mewujudkan kedaulatan pangan; (b) meningkatkan nilai

tambah dan daya saing produk pangan dan pertanian, (c) meningkatkan

ketersediaan bahan baku bioindustri dan bioenergi, (d) meningkatkan pendapatan

dan kesejah-teraan petani, dan (e) meningkatkan kualitas kinerja aparatur

pemerintah yang amanah dan profesional.

Pada UU Hortikultura tujuan (a) tercerminkan pada Pasal 3c yang

menyatakan bahwa Penyelenggaraan hortikultura bertujuan untuk Meningkatkan

produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing, dan pangsa pasar.

Tujuan (b) juga tercerminkan pada pasal tersebut sementara tujuan (d)

tercerminkan pada Pasal 3h yang menyatakan bahwa Penyelenggaraan

hortikultura bertujuan untuk meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan

kemakmuran rakyat.

Pada Renstra Kementan 2015-2019 ditegaskan bahwa terdapat beberapa

strategi utama yaitu : (a) peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan lahan, (b)

peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian, (c) pengembangan dan perluasan

Page 68: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

59

logistik benih/bibit, (d) penguatan kelembagaan petani, (e) pengembangan dan

penguatan pembiayaan pertanian, (f) pengembangan dan penguatan bioindustri

dan bioenergi, dan (g) penguatan jaringan pasar produk pertanian.

Pada UU Hortikultura strategi (a) tercerminkan pada Pasal 16 ayat 1 yang

menyatakan bahwa Lahan budi daya hortikultura wajib dilindungi, dipelihara,

dipulihkan, serta ditingkatkan fungsinya oleh pelaku usaha. Strategi (b)

tercerminkan pada Pasal 32 ayat 2 yang menyatakan bahwa usaha hortikultura

dilaksanakan dengan mengutamakan penggunaan sarana hortikultura dalam

negeri. Strategi (c) tercerminkan pada Pasal 32 ayat 1 dan 2 yaitu : Sarana

hortikultura terdiri atas: benih bermutu dari varietas unggul; pupuk yang tepat

dan ramah lingkungan….dst dan usaha hortikultura dilaksanakan dengan

mengutamakan penggunaan sarana hortikultura dalam negeri. Strategi (d) terkait

dengan Pasal 112 a (Pemberdayaan usaha hortikultura meliputi: (a) penguatan

kelembagaan pelaku usaha dan peningkatan kualitas sumber daya manusia,

……dst) dan Pasal 114 ayat 1 (Pemerintah dan/atau pemerintah daerah

memfasilitasi pembentukan lembaga pengembangan hortikultura).

Strategi (e) terkait dengan Pasal 96 ayat 1 (Pembiayaan penyelenggaraan

hortikultura yang dilakukan oleh Pemerintah bersumber dari anggaran pendapatan

dan belanja negara) dan Pasal 97 ayat 2 (Pemerintah dan/atau pemerintah

daerah mendorong terbentuknya lembaga keuangan guna pembiayaan usaha

hortikultura sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan).

Sementara strategi (g) terkait dengan Pasal 89 ayat 1 yaitu : Pemerintah dan/atau

pemerintah daerah berkewajiban menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan

pemasaran produk hortikultura, di dalam ataupun ke luar negeri.

Disamping strategi utama pada Renstra Kementan 2015-2019 juga

terdapat 8 strategi penunjang yaitu : (a) penguatan dan peningkatan kapasitas

SDM pertanian, (b) peningkatan dukungan perkarantinaan, (c) peningkatan

dukungan inovasi dan teknologi, (d) pelayanan informasi publik, (e) pengelolaan

regulasi, (f) pengelolaan teknologi informasi dan komunikasi, (g) penataan dan

penguatan organisasi, dan (h) pengelolaan sistem pengawasan.

Dari seluruh strategi penunjang tersebut terdapat 3 strategi yang tidak

tercerminkan pada UU Hortikultura yaitu strategi (b), (e) dan (g). Adapun strategi

Page 69: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

60

penunjang lainnya secara eksplisit ditegaskan dalam UU Hortikultura. Misalnya,

strategi penunjang (a) tercerminkan pada Pasal 13 ayat 1 yaitu : Pemerintah dan

pemerintah daerah berkewajiban meningkatkan keahlian dan keterampilan

sumber daya manusia hortikultura untuk memenuhi standar kompetensi. Strategi

(c) tercerminkan pada Pasal 43 ayat 3d yang menegaskan bahwa : Terhadap

produk unggulan hortikultura yang telah ditetapkan, Pemerintah dan/atau

pemerintah daerah berkewajiban menjamin ketersediaan: penelitian dan

pengembangan teknologi.

Keterkaitan UU Hortikultura dan Program Hortikultura 2016

Pada tahun 2016 terdapat 6 program hortikultura yaitu : (a) Peningkatan

Produksi Sayuran dan Tanaman Obat, (b) Pengembangan Sistem Perbenihan

Hortikultura, (c) Pengembangan Sistem Perlindungan Hortikultura, (d)

Peningkatan Usaha Dukungan Manajemen dan Teknis Lainnya pada Ditjen

Hortikultura, (e) Peningkatan Produksi Buah dan Florikultura, dan (f) Pengolahan

dan Pemasaran Hasil Hortikultura.

Dalam konteks UU Hortikultura program (a) dan (e) terkait dengan Pasal 3c

yang menyatakan bahwa Penyelenggaraan hortikultura bertujuan untuk

meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing, dan

pangsa pasar. Pelaksanaan program tersebut juga tidak terlepas dengan pasal-

pasal yang terdapat pada Bab IV tentang Pemanfaatan dan Pengembangan

Sumber daya mengingat upaya peningkatan produksi hortikultura tidak terlepas

dari pemanfaatan sumber daya hortikultura baik yang berupa sumber daya

manusia, sumber daya alam maupun sumber daya buatan.

Program (b) tentang pengembangan sistem perbenihan hortikultura terkait

dengan Paragraf 2 tentang usaha perbenihan hortikultura. Program (c) tentang

Pengembangan Sistem Perlindungan Hortikultura terkait dengan Pasal 78 yang

menegaskan bahwa Pemerintah membangun sistem distribusi, perdagangan,

pemasaran, dan konsumsi produk hortikultura yang menjamin perlindungan

terhadap pelaku usaha, konsumen, dan produk dalam negeri. Program (c)

tersebut juga terkait dengan Pasal 88 ayat 1 yang menegaskan bahwa impor

produk hortikultura harus memperhatikan aspek keamanan produk.

Page 70: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

61

Program (f) tentang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura terkait

dengan Pasal 87 ayat 2 tentang persyaratan eskpor produk hortikultura yang

harus memenuhi persyaratan dan standar mutu. Adapun program (d) tentang

Peningkatan Usaha Dukungan Manajemen dan Teknis Lainnya pada Ditjen

Hortikultura tidak ditegaskan secara eksplisit didalam UU Hortikultura.

3.4. Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan

3.4.1. Pokok-pokok amanat undang-undang

1. Secara substansial, UU No. 39 Tahun 2014 cukup detail dan komprehensif

memuat pengaturan legal meliputi perencanaan, penggunaan lahan, budi

daya tanaman perkebunan dari hulu hingga hilir, termasuk sub sistem

pendukung dalam pengembangan usaha perkebunan.Fokus utama UU ini

adalah pengaturan penyelenggaraan perkebunan pada era paradigma yang

dinamik, menangani konflik atau sengketa lahan perkebunan, pembatasan

penanaman modal asing, kewajiban membangun dan menyiapkan sarana dan

prasarana perkebunan serta perijinan usaha perkebunan.Tujuannya agar

penyelenggaraan perkebunan mampu meningkatkan produksi, produktivitas

dan daya saing, meningkatkan sumber devisa negara serta kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat. Produksi perkebunan diarahkan dalam rangka memenuhi

kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri dalamnegeri.

2. Perijinan dan pengaturan pemanfaatan lahan untuk perkebunan, termasuk

lahan milik ulayat masyarakat lokal dalam rangka mencegah tumpang tindih

penggunaan dan sengketa lahan, penertiban tata ruang wilayah untuk

perkebunan dan mengatasi maraknya lahan terlantar di era pesatnya

pengembangan perkebunan oleh pekebun rakyat maupun investor dalam

negeri dan asing. Meski demikian, ditingkat lapangan, penerapan UU Pasal 12

ayat 1 masih sering menimbulkan masalah karena dinilai melemahkan posisi

komunitas adat dalam mempertahankan tanah ulayatnya. Konflik lahan

perkebunan dan teknik budi daya seringkali menjadi salah satu hambatan

dalam perdagangan komoditas perkebunan yang berorientasi ekspor.

3. UU Perkebunan bersifat melindungi, memperkaya dan mengembangkan

sumber daya genetik dalam negeri namun kurang membahas terkaitannya

Page 71: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

62

dengan karantina. Pasal 24 memcoba mengatur tentang jenis tanaman

perkebunanyang masuk ke Indonesia namun kurang mengkaitkannya dengan

proses karantinan. Hal itu kemungkinan disebabkan produk perkebunan secara

umum berorientasi ekspor dengan basis pembibitan dan sumber daya genetik

lokal. Ke depan disarankan untuk memperhatikan hal itu, agar bila ada pelaku

perkebunanbermaksud memasukkan bibit atau produk mentah perkebunan

dari luar negeri atau membawanya antar daerah lebih terawasi dari

kemungkinan membawa penyakit yang bisa membahayakan populasi

perkebunan di dalam negeri atau suatu daerah. Perkembangan organism

penggangu di dalam negeri seperti kasus kakao yang cepat menyebar antar

daerah, kemungkinan akibat lemahnya pengaturan distribusi dan lalu lintas

bibit di dalam negeri.

4. UU No. 39 tahun 2014 memberi peluang perolehan benih bermutu untuk

pengembangan budi daya melalui kegiatan penemuan varietas unggul dan

introduksi dari luar negeri atas ijin pemerintah. Orientasi produksi perkebunan

sebagian besar untuk ekspor sehingga pengaturan lalu lintas benih dan atau

tanaman lebih dominan dan ketat pada masuk dan tidak mengatur keluar.

Pengaturan pada pasal 26 sampai pasal 30 memberi ruang penting dalam

perbenihan dalam rangka mendukung pengembangan budi daya perkebunan.

5. Persoalan yang cukup serius saat ini dalam perkebunan Indonesia khususnya

kelapa sawit adalah masalah replanting. Sekalipun tersedia bibit yang baik

dari hasil penelitian dan pemuliaan yang diinisiasi pemerintah, namun kurang

didukung oleh pembiayaan perkebunan, sehingga pekebun rakyat cenderung

membiarkan tanaman tuanya tetap berproduksi karena tidak mampu membeli

dan membiayai proses

6. UU No. 39 tahun 2014 mengatur perlindungan tanaman khususnya dari

organisme pengganggu tanaman, tapi sama sekali tidak mengatur

perlindungan tanaman dari penyebab lain yang relatif banyak terjadi dan

signifikan dalam penurunan produksi maupun luas lahan seperti dampak

perubahan iklim, koflik perkebunan maupun bencana kebakaran dan bencana

alam lain.

Page 72: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

63

7. Sektor perkebunan sangat menarik sebagai ladang investasi. Ada upaya

konstitusi untuk mendahulukan investor domestik dan perkebunan rakyat

dengan membatasi investor asing melalui pengaturan sistem kerjasama dan

persyaratan lain yang lebih tegas (Pasal 39 dan Pasal 40).

8. Guna meningkatkan nilai tambah dan menekan rantai pasar, UU membuka

peluang pelaksanaan usaha budi daya tanaman perkebunan secara terintegrasi

dengan unit pengolahan hasil atau budi daya ternak dan dilaksanakan

diversifikasi berupa agrowisata dan usaha lainnya sebagai usaha pokok.

Pengaturan usaha pengolahan hasil perkebunan yang mengharuskan

pekebun/pengusaha memenuhi sekurang-kurangnya 20% bahan baku dari

kebun sendiri perlu dipertimbangkan, mengingat perkebunan di Indonesia

masih didominasi perkebunan rakyat (Pasal 58). Dari sisi pekebun,

penghapusan keharusan 20% di atas dinilai bisa membuka kesempatan bagi

investor pengolahan yang tidak memiliki kebun, meningkatkan peluang pasar

produksi perkebunan rakyat, merangsang gairah peningkatan sistem produksi

perkebunan karena keterjaminan pasar pengolahan serta peluang membangun

kemitraan. Kondisi ini berpotensi menciptakan sistem kemitraan karena adanya

saling ketergantungan antara pelaku produksi dengan pengolahan, serta

kondusif untuk menciptakan harga produksi bahan mentah yang lebih

kompetitif.

9. UU membagi berbagai kewenangan dan kewajiban bagi pemerintah dan

pelaku perkebunan. Beberapa kewajiban perusahaan perkebunan yang penting

sebagai aturan standar usaha perkebunan meliputi: (1) Penetapan batasan

luas dan waktu serta prosentase pengusahaan lahan perkebunan (pasal 14-

16); (2) Peraturan tentang penggunaan tanah ulayat untuk usaha perkebunan

(pasal 17); (3) Bekerjasama dengan pemerintah dalam pengembangan

perbenihan (pasal 20); (4) Tertib tata cara pengolahan lahan dan sistem budi

daya yang ramah lingkungan (pasal 32) serta melakukan perlindungan

tanaman (pasal 33-35); (5) Persyaratan perizinan melakukan pengolahan

(pasal 42, 43 dan 45); (6) Keharusan mengembangkan perkebunan dengan

memperhatikan aspek ekonomi, sosial budaya dan ekologi agar tercipta

penyelenggaraan yang berkelanjutan (pasal 62); (7) Kewajiban untuk

Page 73: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

64

membangun sarana dan prasarana dalam kawasan perkebunan (pasal 69);dan

(7) Pembatasan penanaman moal asing (pasal 95);

3.4.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain

Keterkaitan antara UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dengan

UU No. 41 tahun 2009 tentang lahan

1. Perencanaan pembangunan perkebunan harus disusun berdasarkan rencana

tata ruang wilayah, kesesuaian serta ketersediaan lahan untuk perkebunan

sesuai Pasal 6 UU No. 39 tahun 2014. Kebijakan ini sinergi dengan Pasal 23

UU No. 41 tahun 2009 yang menekankan bahwa penetapan kawasan

pertanian pangan berkelanjutan tingkat nasional/provinsi/kabupaten diatur

dalam peraturan pemerintah dan peraturan daerah mengenai rencana tata

ruang wilayah.

2. Pasal 7 UU No. 39 tahun 2014 menyebutkan bahwa perencanaan perkebunan

harus merupakan bagian integral dari perencanaan pembangunan nasional,

perencanaan pembangunan daerah, dan perencanaan pembangunan sektoral.

Demikian halnya dengan perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

yang diatur dalam UU No. 41 tahun 2009 Pasal 23 harus disusun di tingkat

nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota ha yang terdiri dari perencanaan

jangka panjang, perencanaan jangka menengah, dan perencanaan tahunan.

3. UU No. 39 tahun 2014 Pasal 14 mengamanatkan bahwa pemerintah pusat

harus menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan

lahan untuk usaha perkebunan dengan mempertimbangkan jenis tanaman,

ketersediaan lahan yang sesuai secara agroklimat, modal, kapasitas pabrik,

tingkat kepadatan penduduk, pola pengembangan usaha, kondisi geografis,

perkembangan teknologi, dan pemanfaatan lahan berdasarkan fungsi ruang.

Meski tidak terkait secara langsung, pengaturan ini berperan mendukung

kebijakan terkait pangan yang diatur pada pasal 5 UU No. 41 tahun 2009 yang

menyebutkan bahwa lahan pertanian pangan yang ditetapkan sebagai Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat berupa lahan beririgasi, lahan reklamasi

rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak), dan/atau lahan tidak

beririgasi.

Page 74: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

65

4. Perusahaan perkebunan wajib mengusahakan 30 persen lahan perkebunan

paling lambat 3 (tiga) tahun setelah pemberian status hak atas tanah dan

paling lambat 6 (enam) tahun wajib mengusahakan seluruh luas hak atas

tanah. Pasal 16 UU No. 39 tahun 2014 menekankan bahwa jika lahan

perkebunan tidak diusahakan sesuai dengan ketentuan maka bidang tanah

yang belum diusahakan diambil alih oleh negara. Pengaturan yang sinergi

dengan Pasal 29 UU No. 41 tahun 2009 tentang pengalihan fungsi lahan

nonpertanian pangan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terutama

dilakukan terhadap Tanah Telantar dan tanah bekas kawasan hutan yang tidak

diusahakan, tidak dipergunakan, dan tidak dimanfaatkan sesuai dengan sifat

dan tujuan pemberian hak.

5. Pemberdayaan usaha perkebunan melalui diklat dan fasilitasi produksi serta

pemasaran lainnya yang dituangkan pada Pasal 51 UU No. 39 tahun 2014

sejalan dengan Pasal 63 UU No. 41 tahun 2009 yang menekankan perlunya

pemberdayaan petani meliputi penguatan kelembagaan, penyuluhan dan

pelatihan serta fasilitasi pembiayaan, pendidikan dan aksesibilitas lain.

Keterkaitan antara UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dengan UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan

1. UU No. 39 tahun 2014 Pasal 12 mengamanatkan penggunaan Tanah Hak

Ulayat Masyarakat Hukum Adat untuk usaha perkebunan, pelaku usaha

perkebunan harus melakukan musyawarah untuk memperoleh persetujuan

mengenai penyerahan tanah dan imbalannya mempunyai keterkaitan yang

kuat dengan Pasal 3 UU No. 11 tahun 1974 yang memberi kuasa kepada

negara untuk mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin peruntukan

dan/atau pengusahaan air dan sumber-sumber air dengan tetap menghormati

hak yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat, sepanjang tidak

bertentangan dengan kepentingan Nasional

2. Kewajiban pemerintah melaksanakan, mendorong, memfasilitasi penelitian dan

pengembangan perkebunan untuk menghasilkan iptek pengembangan nilai

tambah, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan yang dimuat pada Pasal

82, 83 dan 85 UU No. 39 tahun 2014 konsisten dengan Pasal 10 UU No. 11

Page 75: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

66

tahun 1974 yang memberi wewenang pada pemerintah melakukan pembinaan

pengairan menurut bidangnya masing-masing sesuai dengan fungsi dan

peranannya, termasuk menyelenggarakan penelitian dan penyelidikan sumber-

sumber air.

3. Pengembangan sumber daya manusia perkebunan yang dilaksanakan melalui

diklat, penyuluhan, dan/atau metode pengembangan lainnya yang bertujuan

meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalisme, kemandirian, dan

dedikasi yang diatur pada Pasal 88 UU No. 39 tahun 2014 sinkron dengan UU

No. 11 tahun 1974 Pasal 10 yang memberi wewenang kepada pemerintah

membina dalam rangka kegiatan pengairan dengan menyelenggarakan

penyuluhan dan pendidikan khusus.

4. UU No. 39 tahun 2014 Pasal 100 yang mengatur penyelenggaraan

perkebunan agar melibatkan peran serta masyarakat dalam hal penyusunan

pengembangan usaha perkebunan amanat UU No. 11 tahun 1974 pasal 12

yang wajib mengikutsertakan masyarakat dalam menjaga, memelihara dan

memanfaatkan air, tata pengairan, dan bangunan-bangunan pengairan yang

dilakukan pemerintah.

Keterkaitan antara UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dengan UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan

1. Pasal 2 UU No. 39 tahun 2014 mengamanatkan penyelenggaraan perkebunan

berdasarkan asas: kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan,

keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, efisiensi-berkeadilan, kearifan lokal,

dan kelestarian fungsi lingkungan hidup secara prinsip sejalan dengan adanya

kewajiban penyelenggaraan penyuluhan berasaskan demokrasi, manfaat,

kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerja sama, partisipatif,

kemitraan, berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung jawab

yang dimuat dalam UU No. 16 tahun 2006 Pasal 2.

2. Pengembangan sumber daya manusia perkebunan dilaksanakan melalui

pendidikan dan pelatihan, penyuluhan, dan/atau metode pengembangan

lainnya dengan tujuan meningkatkan pengetahuan, keterampilan,

Page 76: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

67

profesionalisme, kemandirian, dan dedikasi dalam Pasal 88 UU No. 39 tahun

2014 sinkron dengan Pasal 5 dan Pasal 27 UU No 16 tahun 2006 yang

mengarahkan pentingnya pengembangan sumber daya manusia melalui

penyuluhan dengan materi yang disesuaikan dengan sasaran utama dan

beragam aspek yang lengkap.

3. Penyelenggaraan perkebunan dilaksanakan dengan melibatkan peran serta

masyarakat khususnya pelaku usaha perkebunan yang diatur dalam UU No.

39 tahun 2013 Pasal 100 sinergis dengan Pasal 6 dan Pasal 26 UU No. 16

tahun 2006 yang menetapkan bahwa kebijakan penyuluhan dapat

dilaksanakan oleh pelaku utama dan/atau warga masyarakat sebagai mitra

pemerintah dengan menggunakan pendekatan.

Keterkaitan antara UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dengan UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

1. Penyelenggaraan perkebunan berdasarkan asas kedaulatan, kemandirian,

kebermanfaatan, keberlanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan,

efisiensi-berkeadilan, kearifan lokal, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup

yang ditekankan pada Pasal 2 UU No. 39 tahun 2014 sinkron dengan Pasal 2

UU No. 19 tahun 2013 yang menekankan bahwa perlindungan dan

pemberdayaan petani harus berasaskan pada kedaulatan, kemandirian,

kebermanfaatan, kebersamaan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi-

berkeadilan, dan keberlanjutan.

2. Pasal 6 UU No. 39 tahun 2014 yang mengharuskan perencanaan perkebunan

berdasarkan rencana tata ruang wilayah, daya dukung dan daya tampung

lingkungan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kondisi

ekonomi dan sosial budaya masyarakat sinkron dengan Pasal 5 UU No. 19

tahun 2013 yang mengharuskan perencanaan perlindungan dan

pemberdayaam petani juga dilakukan berdasarkan daya dukung sumber daya

alam dan lingkungan, rencana tata ruang wilayah, perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta kelembagaan dan budaya setempat.

3. Penetapan perencanaan perkebunan sebagai bagian integral dari perencanaan

pembangunan nasional, perencanaan pembangunan daerah, dan perencanaan

Page 77: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

68

pembangunan sektoral seperti dimuat pada Pasal 7 UU No. 39 tahun 2014

sinkron dengan Pasal 5 UU No. 19 tahun 2013 yang menyebutkan bahwa

perencanaan perlindungan dan pemberdayaan petani juha harus merupakan

bagian yang integral dari rencana pembangunan nasional, rencana

pembangunan daerah, rencana pembangunan pertanian, rencana anggaran

pendapatan dan belanja negara, dan rencana anggaran pendapatan dan

belanja daerah.

4. Pasal 14 UU No. 39 tahun 2014 memberi wewenang pemerintah pusat untuk

menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan

untuk usaha perkebunan dengan berbagai pertimbangan diantaranya

ketersediaan lahan yang sesuai secara agroklimat dan pemanfaatan lahan

berdasarkan fungsi ruang. Amanat di atas bersifat sinergi dengan Pasal 14 UU

No. 19 tahun 2013 Pasal 14 dan Pasal 55 yang memberi kewenangan kepada

pemerintah mengatur konsolidasi lahan dan memberikan jaminan ketersediaan

lahan Pertanian.

5. Pembatasan luasan dan waktu pengusahaan luas hak dan tanah perkebunan

yang ditetapkan pada Pasal 16 UU No. 39 tahun 2014 bersifat mendukung UU

No. 19 tahun 2013 Pasal 55 dan Pasal 56 yang mengatur konsolidasi lahan

berupa penataan kembali penggunaan dan pemanfaatan lahan, menjamin

luasan lahan pertanian bagi agar mencapai tingkat kehidupan yang layak,

pengendalian alih fungsi lahan pertanian dan pemanfaatan lahan terlantar

6. Pengaturan kewajiban pelaku usaha perkebuan untuk melaporkan adanya

serangan organisme pengganggu tumbuhan pada tanamannya kepada pejabat

berwenang seperti yang diamanatkan pada Pasal 34 UU No. 39 tahun 2014

berkaitan tidak langsung dengan kewajiban pemerintah memberikan bantuan

kepada petani sebagai ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa seperti

disebutkan pada Pasal 7 UU No. 19 tahun 2013.

7. Kebijakan tentang integrasi budi daya perkebunan dengan pengolahan hasil

atau budi daya ternak dan/atau dilaksanakan diversifikasi berupa agrowisata

dan/atau usaha lainnya sebagai usaha pokok yang diatur pada Pasal 44 UU

No. 39 tahun 2014 sejalan dengan kebijakan petani melakukan kemitraan

Page 78: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

69

usaha dengan pelaku usaha dalam pemasaran hasil Pertanian seperti yang

dimuat dalam UU No. 19 tahun 2013 pasal 49.

8. Pentingnya pemberdayaan petani dengan berbagai fasilitasi dan metoda yang

ditekankan pada UU No. 39 tahun 2014 Pasal 51 sejalan dengan UU No. 19

tahun 2013 Pasal 7 yang menetapkan bahwa strategi pemberdayaan petani

melalui diklat, penyuluhan dan fasilitasi dan pendampinga. Pemberdayaan

seperti dimaksud bersifat mendukung pelaksanaan kemitraan seperti yang

ditetapkan pada Pasal 59.

9. UU No. 39 tahun 2014 Pasal 71 mengamanatkan bahwa pemerintah wajib

menciptakan kondisi yang menghasilkan harga komoditas yang

menguntungkan petani dan pelaku usaha. Amanat ini sejalan dengan UU No.

19 tahun 2013 Pasal 25 yang juga mewajibkan pemerintah untuk menciptakan

kondisi yang menghasilkan harga komoditas pertanian yang menguntungkan

bagi petani.

10. Fungsi pemerintah dalam hal pemasaran diantaranya memfasilitasi kerja sama

antar asosiasi dan menyelenggarakan informasi pasar dan promosiyang

diamanatkan dalam Pasal 74 UU No. 39 tahun 2014 sinkron dengan UU No. 19

tahun 2013 Pasal 54 yang menugaskan pemerintah menyelenggarakan

promosi dan sosialisasi pentingnya mengonsumsi Komoditas Pertanian dalam

negeri.

11. Pengembangan sumber daya manusia perkebunan melalui diklat,penyuluhan,

dan/atau metode pengembangan lainnya sesuai dengan Pasal 88 UU No. 39

tahun 2014 sinergi dengan Pasal 42 dan 43 UU No. 19 tahun 2013 yang

mewajibkan pemerintah meningkatkan keahlian dan keterampilan petani

melalui diklat berkelanjutan yang memuat materi yang sesuai (Pasal 46 dan

47).

3.4.3. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan

Keterkaitan UU Perkebunan dengan Renstra

1. Secara keseluruhan tujuan, strategi dan strategi utama rencana strategi

Kementan memiliki landasan hukum yang kuat pada UU No. 39/2014 terkait

Perkebunan, kecuali akuntabilitas kinerja aparatur negara yang baik. Tujuan ini

Page 79: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

70

tidak tertuang secara eksplisit dalam UU dimaksud. Keterkaitan ini

menunjukkan bahwa penyusunan program pembangunan subsektor

Perkebunan yang mengacu pada rencana strategis Kementan seharusnya

sudah merepresentasikan dasar pelaksanaan program terhadap UU yang ada.

2. Pembangunan Perkebunan bertujuan: (1) Meningkatkan ketersediaan dan

diversifikasi untuk mewujudkan kedaulatan pangan; (2) Meningkatkan nilai

tambah dan daya saing produk pangan dan pertanian; (3) Meningkatkan

ketersediaan bahan baku bioindustri dan bio energi;dan (4) Meningkatkan

pendapatan dan kesejahteraan petani, sinkron dengan UU No 39/2014 yang

mengamanatkan penyelenggaraan Perkebunan harus berasaskan kedaulatan,

kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan, keterpaduan, kebersamaan,

keterbukaan, efisiensi-berkeadilan, kearifan lokal, dan kelestarian fungsi

lingkungan hidup (Pasal 2), penekanan pentingnya pentingnya penanganan

panen dan pasca panen yang didukung litbang Perkebunan dalam rangka

menghasilkan iptek untuk pengembangan usaha perkebunan agar memberi

nilai tambah, daya saing dan peduli lingkungan (Pasal 72 dan 81),

pemberdayaan usaha perkebunan yang produksinya mengutamakan

pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan bahan baku industri (Pasal 51).

Tujuan penyelenggaraan Perkebunan pada akhirnya untuk meningkatkan

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat (Pasal 3).

3. Sasaran strategi pembangunan pertanian dalam Renstra meliputi: (a)

Pencapaian swasembada padi, jagung dan kedelai serta peningkatan produksi

daging dan gula; (b) Peningkatan diversifikasi pangan; (c) Peningkatan

komoditas bernilai tambah dan berdaya saing untuk memenuhi pasar ekspor

dan subsidi impor, (d) Penyediaan bahan baku bioindustri dan bioenergi; (e)

Peningkatan pendapatan keluarga petani, serta (f) Akuntabilitas kinerja

aparatur pemerintah yang baik mempunyai keterkaitan langsung dengan

amanat UU No. 39/2014 yang terkandung pada Pasal 51 khususnya

pemberdayaan usaha perkebunan yang mengutamakan pemanfaatan hasil

untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri,

pentingnya litbang untuk meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan usaha

ramah lingkungan (Pasal 82), tujuan perkebunan untuk meningkatkan dan

Page 80: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

71

memenuhi kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri dalam negeri (Pasal

3), termasuk tujuan penyelenggaraan perkebunan dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, penyediaan lapangan kerja dan produksi,

produktivitas, nilai tambah, daya saing dan pangsa pasar.

4. Strategi utama pencapaian tujuan pembangunan pertanian yang dituangkan

dalam Renstra meliputi: (a) Peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan lahan;

(b) Peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian; (c) Pengembangan dan

perluasan logistik benih/bibit; (d) Penguatan kelembagaan; (e) Pengembangan

dan penguatan pembiayaan; (f) pengembangan dan penguatan bioindustri dan

bioenergi serta (g) penguatan jaringan pasar terkait langsung dengan UU No.

30/2014 khususnya Pasal 11 terkait pengaturan perubahan status kawasan

hutan negara atau tanah terlantar, Pasal 69 mengenai kewajiban Perusahaan

Perkebunan membangun sarana prasarana yang memenuhi standar di

kawasan perkebunan, Pasal 22 yang mengamanatkan pemerintah untuk

memfasilitasi pengayaan sumber daya genetik serta kemudahan dalam

perizinan dan penggunaan fasilitas milik pemerintah maupun Pasal 26 yang

menekankan perolehan benih bermutu melalui penemuan varietas unggul dan

introduksidari luar negeri, serta pemberdayaan usaha perkebunan dengan

memfasilitasi akses penyebaran informasi penggunaan benih unggul.

Penguatan kelembagaan berlandaskan Pasal 51 sekaligus memfasilitasi

jaringan kemitraan antar pelaku usaha perkebunan dan sumber pembiayaan,

pengutamaan produksi untuk kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri

dalam negeri. Sementara itu UU ini juga mengamanatkan kepada pemerintah

untuk memfasilitasi jaringan kemitraan (Pasal 51) maupun fasilitasi kerjasama

pelaku usaha perkebunan, assosiasi pemasaran serta menyelenggarakan

informasi pasar, promosi, dan menumbuhkembangkan pusat pemasaran baik

di dalam maupun di luar negeri (Pasal 76).

5. Strategi penunjang pencapaian tujuan Renstra Pertanian yang menekankan

pentingnya penguatan dan peningkatan kapasitas SDM pertanian serta

peningkatan dukungan perkarantinanaan merupakan ejawantah dari isi UU No.

39/2014 terutama pada Pasal 51 mengenai kewenangan pemerintah untuk

menyelenggarakan pemberdayaan usaha perkebunan melalui diklat SDM

Page 81: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

72

Perkebunan dan Pasal 24 yang mengamanatkan kewenangan pemerintah

menetapkan izin bagi tanaman perkebunan yang keluar maupun masuk

wilayah NKRI serta menetapkan standar mutu atau persyaratan teknis

minimal. Keterkaitan UU No. 39/2014 dengan Renstra dapat dilihat pada Tabel

4.4.1a (Lampiran).

UU Perkebunan dengan Program Kementan

1. UU No. 39/2014 Pasal 26 dan Pasal 27 mengamanatkan pentingnya perolehan

varietas unggul dan benih bermutu untuk pengembangan budi daya tanaman

perkebunan. Perolehan varietas unggul dapat dilakukan melalui pemuliaan

tanaman atau introduksi dari luar negeri. Kedua pasal ini merupakan landasan

yang kuat dalam rangka pengembangan tanaman perkebunan yang dirancang

Kementan melalui program pengembangan tanaman tahunan dan penyegar,

maupun tanaman semusim dan rempah.

2. 4dengan isi UU No. 39/2014 Pasal 39 yang menyebutkan bahwa usaha

perkebunan dapat dilakukan di seluruh NKRI oleh pelaku isaha dalam negeri

atau penanam modal asing yang bekerjasama dengan pelaku usaha

perkebunan dalam negeri dengan membentuk badan hukum Indonesia.

Program pengembangan tanaman perkebunan melalui perluasan areal

memerlukan dukungan kemudahan dan keamanan berinvestasi.

3. Undang-undang Perkebunan melakukan pembatasan luas lahan minimum

untuk perkebunan dengan alasan efisiensi usaha. Oleh karena itu umumnya

perkebunan terdapat dalam satu hamparan lahan yang relatif luas. Serangan

organisme pengganggu, bencana alam, kebakaran, maupun ekses konflik yang

terjadi pada satu areal perkebunan rentan menyebar ke areal lain sebagai

penyebab turunnya luas areal. Pasal 34 dan 37 UU No. 39/2014 mengatur

perlindungan perkebunan: (1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang memiliki

atau menguasai Tanaman Perkebunan harus melaporkan adanya serangan

organisme pengganggu tumbuhan pada tanamannya kepada pejabat yang

berwenang dan yang bersangkutan harus mengendalikannya; (2) Pemerintah

Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat

melakukan atau memerintahkan dilakukannya eradikasi terhadap tanaman

Page 82: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

73

dan/atau benda lain yang menyebabkan tersebarnya organisme penggangu

tumbuhan. Meski demikian UU ini tidak mengatur pengawasan perlindungan

tanaman secara spesifik. Pekebun atau perusahaan perkebunan diharapkan

kesadarannya untuk melaporkan apabila terjadi serangan, kebakaran, atau

bencana lain tanpa mengatur sanksi yang diberlakukan apabila tidak

dilaporkan kasus tersebut kepada pejabat yang berwenang.

4. Kecuali perlindungan tanaman perkebunan dari serangan organisme

pengganggu, program perlindungan tanaman dari kebakaran, bencana alam,

dampak perubahan iklim maupun konflik perkebunan tidak ditemukan

pendukung dari undang-undang yang ada. Mengingat banyaknya kasus

kebakaran, konflik, maupun bencana alam yang menyebabkan penurunan luas

lahan perkebunan dan kerawanan sosial lain, perlu menambahkan pengaturan

tentang hal ini dalam undang-undang,

5. Peningkatan produksi dan produktivitas tanaman perkebunan sangat

ditentukan oleh mutu benih yang digunakan. UU No. 39/2014 mengatur

dengan tegas pentingnya pengujian dan pengawasan mutu benih. Pasal 31

menyebutkan: Varietas yang telah dilepas atau diluncurkan dapat diproduksi

dan diedarkan, namun sebelum diedarkan harus dilakukan sertifikasi dan diberi

label. Di tingkat operasional, program dukungan pengujian dan pengawasan

benih termasuk penelitian dan pemuliaannya mendapat support yang tinggi

dari pemerintah, namun untuk beberapa komoditas sulit diakses oleh

konsumen/petani perkebunan rakyat karena dianggap mahal sehingga masih

banyak pekebun yang menanam tanaman perkebunan menggunakan bibit

yang tidak disertifikasi.

6. Persoalan yang cukup serius saat ini dalam perkebunan Indonesia khususnya

kelapa sawit adalah masalah replanting. Sekalipun tersedia bibit yang baik dari

hasil penelitian dan pemuliaan yang diinisiasi pemerintah, namun kurang

didukung oleh pembiayaan perkebunan, sehingga pekebun rakyat cenderung

membiarkan tanaman tuanya tetap berproduksi karena tidak mampu membeli

dan membiayai proses produksi.

7. UU No. 39/2014 sama sekali tidak ada mengatur tentang penyiapan teknologi

proteksi tanaman perkebunan, namun Kementan memandang hal ini perlu

Page 83: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

74

diprogramkan Dengan kata lain program penyiapan teknologi proteksi yang

dirancang dalam program Kementan tidak didukung dengan legalitas undang-

undang yang jelas.

8. Menurut UU No. 39/2014, pengolahan dan pemasaran hasil tanaman

perkebunan perlu dilakukan secara terpadu dengan proses usaha budi daya

(Pasal 73) karena ada keterkaitan yang kuat dan saling mempengaruhi dalam

menentukan kontinuitas dan kualitas produksi. Oleh karena itu Pasal 45

tentang usaha perkebunan mengatur persyaratan ijin usaha budi daya dan

usaha pengolahan sekaligus. Usaha pengolahan hasil perkebunan harus

memenuhi sekurang-kurangnya 20% dari keseluruhan bahan baku yang

dibutuhkan berasal dari kebun yang diusahakan sendiri. Pengaturan

pengolahan dan pemasaran yang diatur memuat unsur-unsur pentingnya

kemitraan agar pengembangan perkebunan bisa memberi nilai tambah bagi

produsen maupun pengolah tanaman perkebunan.

9. Program dukungan perbenihan tanaman perkebunan yang dirancang

Kementan dalam rangka penyediaan benih yang memadai secara kualitas

maupun kuantitas merupakan program yang dilandasi pada UU No. 39 secara

komprehensip di beberapa pasal yaitu Pasal 22, Pasal 26 maupun 27 yang

menyebutkan: (1) Pemerintah pusat memfasilitasi pengayaan sumber daya

genetik tanaman perkebunan melaui berbagai metode dan introduksi,

kemudahan perizinan dan penggunaan fasilitas penelitian; (2) Perolehan benih

bermutu untuk pengembangan budi daya dilakukan melalui kegiatan

penemuan varietas unggul dan atau introduksi dari luar negeri; dan (3)

Penemuan varietas unggul dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman.

Secara detail keterkaitan UU No. 39/201 dengan Renstra dan Program

Kementan dapat dilihat pada Tabel 4.4.1b (Lampiran)

Page 84: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

75

3.5. Undang-Undang No. 18/2009 dan Undang-Undang No. 41/2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan

3.5.1. Pokok-pokok amanat undang-undang

Pesan utama UU ini adalah:

1. Karena pakan merupakan biaya produksi terbesar pada usaha peternakan,

sementara usaha peternakan umumnya bersifat land base, sedangkan

ketersediaan padang penggembalaan umum status hukumnya tidak jelas dan

keberadaannya semakin berkurang, maka usaha peternakan dikembangkan

dengan pola integrasi dengan budi daya tanaman pangan, hortikultura,

perkebunan, perikanan, kehutanan, atau bidang lainnya yang terkait.

2. Penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan berasaskan kerakyatan

dan keadilan, keterbukaan dan keterpaduan, kemandirian, kemitraan, dan

keprofesionalan, serta berkelanjutan untuk kesejahteraan peternak dan

masyarakat.

3. Penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan melibatkan negara

dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, atau

pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Sumber Daya

4. Budi daya peternakan membutuhkan penyediaan lahan dan dimasukkan ke

dalam tata ruang wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Selain dilakukan secara terintegrasi, kawasan penggembalaan

umum yang ada harus dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara

berkelanjutan.Pemerintah daerah kabupaten/kota yang di daerahnya

mempunyai persediaan lahan yang memungkinkan dan memprioritaskan budi

daya ternak skala kecil diwajibkan menetapkan lahan sebagai kawasan

penggembalaan umum.

5. Air yang dipergunakan untuk kepentingan peternakan dan kesehatan hewan

harus memenuhi persyaratan baku mutu air sesuai dengan peruntukannya.

Apabila ketersediaan air terbatas pada suatu waktu dan kawasan, kebutuhan

air untuk hewan perlu diprioritaskan setelah kebutuhan masyarakat terpenuhi.

Page 85: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

76

6. Penyediaan dan pengembangan benih, bibit, dan/atau bakalan dilakukan

dengan mengutamakan produksi dalam negeri dan kemampuan ekonomi

kerakyatan. Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan oleh

masyarakat belum berkembang, Pemerintah membentuk unit pembenihan

dan/atau pembibitan.

7. Dalam keadaan tertentu pemasukan benih dan/atau bibit dari luar negeri

dapat dilakukan. Setiap orang yang melakukan pemasukan benih wajib

memperoleh izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan perdagangan

setelah mendapat rekomendasi dari Menteri.

8. Aplikasi bioteknologi modern dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan

dengan kaidah agama dan tidak merugikan keanekaragaman hayati;

kesehatan manusia, lingkungan, dan masyarakat; serta kesejahteraan hewan.

9. Pengadaan dan penggunaan pakan dan/atau bahan pakan yang berasal dari

organism transgenik harus memenuhi persyaratan keamanan hayati.

Budi Daya

10. Pengembangan budi daya dapat dilakukan dalam suatu kawasan budi daya

sesuai dengan ketentuan tata ruang.

11. Pemerintah dan pemerintah daerahmembina, memfasilitasi, dan

mengupayakan agar sebanyak mungkin warga masyarakat menyelenggarakan

budi daya ternak.

12. Peternak dapat melakukan kemitraan usaha di bidang budi daya ternak

berdasarkan perjanjian yang saling memerlukan, memperkuat, dan

menguntungkan serta berkeadilan.

Panen, Pascapanen, dan Pemasaran

13. Pelaksanaan panen hasil budi daya harus mengikuti syarat kesehatan hewan,

keamanan hayati, dan kaidah agama, etika, serta estetika.

14. Pengeluaran Hewan atau Ternak dan Produk Hewan dari wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan apabila produksi

dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi

masyarakat.

Page 86: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

77

15. Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan apabila produksi dan pasokan

Ternak dan Produk Hewan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan

konsumsi masyarakat.

Kesehatan Hewan

16. Urusan kesehatan hewan dilakukan dengan pendekatan pemeliharaan,

peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),

penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang

dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.

17. Pencegahan Penyakit Hewan bertujuan untukmelindungi wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman masuknya penyakit Hewan dari

luar negeri; menyebarnya penyakit Hewan dari luar negeri, dari satu pulau ke

pulau lain, dan antardaerah dalam satu pulau di dalam wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia; dan melindungi Hewan dari ancaman muncul,

berjangkit, dan menyebarnya penyakit Hewan; dan

Kesehatan Masyarakat Veteriner

18. Dalam rangka menjamin produk Hewan asal dalam dan luar negeri yang

aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang dipersyiratkan, Pemerintah dan

Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban

melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi,

dan registrasi produk Hewan.

19. Pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus dilakukan di rumah

potong; dan mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah agama dan

unsur kepercayaan yang dianut masyarakat, kaidah kesehatan masyarakat

veteriner dan kesejahteraan hewan, kecualikan bagi pemotongan untuk

kepentingan hari besar keagamaan, upacara adat, dan pemotongan darurat.

20. Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib

menyelenggarakan penjaminan higiene dan sanitasi dengan melakukan:

pengawasan, inspeksi, dan audit terhadap tempat produksi, rumah

pemotongan hewan, tempat pemerahan, tempat penyimpanan, tempat

Page 87: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

78

pengolahan, dan tempat penjualan atau penjajaan serta alat dan mesin produk

hewan; surveilans terhadap residu obat hewan, cemaran mikroba, dan/atau

cemaran kimia; dan pembinaan terhadap orang yang terlibat secara langsung

dengan aktivitas tersebut.

Kesejahteraan Hewan

21. Penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan tetap memperhatikan

kesejahteraan hewan sejak dari tindakan yang berkaitan dengan penangkapan

dan penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan

perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan

dan pengayoman yang wajar terhadap hewan.

Pemberdayaan Peternak

22. Pemberdayaan peternak dilakukan dengan memberikan kemudahan bagi

kemajuan usaha di bidang peternakan dan kesehatan hewan serta

peningkatan daya saing, meliputi: pengaksesan sumber pembiayaan,

permodalan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta informasi; pelayanan

peternakan, pelayanan kesehatan hewan, dan bantuan teknik; penghindaran

pengenaan biaya yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi; pembinaan

kemitraan dalam meningkatkan sinergi antarpelaku usaha; penciptaan iklim

usaha yang kondusif dan/atau meningkatan kewirausahaan; pengutamaan

pemanfaatan sumber daya peternakan dan kesehatan hewan dalam negeri;

pemfasilitasan terbentuknya kawasan pengembangan usaha peternakan;

pemfasilitasan pelaksanaan promosi dan pemasaran; dan/atau perlindungan

harga dan produk hewan dari luar negeri.

Pengembangan SDM

23. Sumber daya manusia di bidang peternakan dan kesehatan hewan meliputi

aparat Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku usaha, dan semua pihak yang

terkait dengan bidang peternakan dan kesehatan hewan. Sumber daya

manusia dimaksud perlu ditingkatkan dan dikembangkan kualitasnya untuk

Page 88: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

79

lebih meningkatkan keterampilan, keprofesionalan, kemandirian, dedikasi, dan

akhlak mulia.

Penelitian dan Pengembangan

24. Penelitian dan pengembangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan

dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, institusi pendidikan,

perorangan, lembaga swadaya masyarakat, atau dunia usaha, baik secara

sendiri-sendiri maupun bekerja sama.

25. Perorangan warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang melakukan

penelitian dan pengembangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan

wajib mendapatkan izin terlebih dahulu dari instansi pemerintah yang

berwenang di bidang penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu

pengetahuan dan teknologi, serta harus bekerja sama dengan peneliti atau

lembaga penelitian dalam negeri.

3.5.2. Keterkaitan dengan undang-undang lain

Keterkaitan antara UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan UU No. 41/2014 dengan UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan

1. Keterkaitan antara UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan

dan UU No. 41/2014 dengan UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan

Pertanian Berkelanjutan hanya pada aspek Penetapan Kawasan,

Pengembangan dan Pemberdayaan. Pada Aspek Penetapan Kawasan, Pasal 4

UU PKH menyebutkan bahwa Pemerintah daerah kabupaten/kota yang di

daerahnya mempunyai persediaan lahan yang memungkinkan dan

memprioritaskan budi daya ternak skala kecil diwajibkan menetapkan lahan

sebagai kawasan penggembalaan umum. Hal ini sejelan dengan UU

Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan Pasal 23/ayat 1,2,3,4. Penetapan

Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nasional/Provinsi/kabupaten diatur

dalam Peraturan Pemerintah/Pemda mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah.

2. Pada aspek Budi daya Pasal 30 disebutkan Budi daya hanya dapat

diselenggarakan oleh perorangan warga negara Indonesia atau korporasi, baik

yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum Indonesia, dan

Page 89: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

80

Warga negara atau badan hukum Indonesia dapat melakukan kerja sama

dengan pihak asing sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang

penanaman modal dan yang terkait lainnya. Hal ini sejalan dengan UU Lahan

Pertanian Berkelanjutan pada Aspek Pengembangan Pasal 27/ayat 1, 2, 3.

Pengembangan terhadap Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan meliputi intensifikasi dan ekstensifikasi lahan,

dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan korporasi yang

berbentuk koperasi dan/atau perusahaan inti plasma dengan mayoritas

sahamnya dikuasai oleh warga negara Indonesia.

3. Pada Aspek pemberdayaan, Pasal 76 menyebutkan Pemberdayaan peternak,

usaha di bidang peternakan, dan usaha di bidang kesehatan hewan dilakukan

dengan memberikan kemudahan bagi kemajuan usaha di bidang peternakan

dan kesehatan hewan serta peningkatan daya saing. Kemudahan dimaksud

meliputi: a. pengaksesan sumber pembiayaan, permodalan, ilmu pengetahuan

dan teknologi, serta informasi;b. pelayanan peternakan, pelayanan keswan,

dan bantuan teknik; c. penghindaran pengenaan biaya yang menimbulkan

ekonomi biaya tinggi; d. pembinaan kemitraan dalam meningkatkan sinergi

antarpelaku usaha; e. penciptaan iklim usaha yang kondusif dan/atau

meningkatan kewirausahaan; f. pengutamaan pemanfaatan sumber daya

peternakan dan kesehatan hewan dalam negeri; g. pemfasilitasan

terbentuknya kawasan pengembangan usaha peternakan; h. pemfasilitasan

pelaksanaan promosi dan pemasaran; dan/atau i. perlindungan harga dan

produk hewan dari luar negeri. Pemerintah dan pemerintah daerah bersama

pemangku kepentingan di bidang peternakan dan kesehatan hewan melakukan

pemberdayaan peternak guna meningkatkan kesejahteraan peternak. Hal ini

sejalan dengan UU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan Pasal 63.

Pemberdayaan petani meliputi: (a) penguatan kelembagaan petani; (b)

penyuluhan dan pelatihan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia;

(c) pemberian fasilitas sumber pembiayaan/permodalan; (d) pemberian

bantuan kredit kepemilikan lahan pertanian; (e) pembentukan Bank Bagi

Petani; (f) pemberian fasilitas pendidikan dan kesehatan rumah tangga petani;

Page 90: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

81

dan/atau (g) pemberian fasilitas untuk mengakses ilmu pengetahuan,

teknologi, dan informasi

4. Pada Aspek Perlindungan, Pasal 77 menyebutkan Pemerintah dan pemerintah

daerah melindungi peternak dari perbuatan yang mengandung unsur

pemerasan oleh pihak lain untuk memperoleh pendapatan yang layak.

Pemerintah dan pemerintah daerah mencegah penyalahgunaan kebijakan di

bidang permodalan dan/atau fiskal yang ditujukan untuk pemberdayaan

peternak, perusahaan peternakan,dan usaha kesehatan hewan. Pemerintah

dan pemerintah daerah mencegah penyelenggaraan kemitraan usaha di

bidang peternakan dan kesehatan hewan yang menyebabkan terjadinya

eksploitasi yang merugikan peternak dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan

UU Perindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan Pasal Pasal 61. Perlindungan

petani berupa pemberian jaminan: (a) harga komoditas pangan pokok yang

menguntungkan; (b) memperoleh sarana produksi dan prasarana pertanian;

(c) pemasaran hasil pertanian pangan pokok; (d) pengutamaan hasil pertanian

pangan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional; dan/atau

(e) ganti rugi akibat gagal panen (Pasal 62/ayat 1). Perlindungan sosial bagi

petani kecil merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem jaminan

sosial nasional yang diatur dalam peraturan perundangundangan (Pasal

62/ayat 2).

Keterkaitan UU No. 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan

1. Secara umum UU No. 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan

lebih bersifat melindungi sumber daya lokal dari kepunahan akibat gangguan

penyakit tanaman dan hewan baik yang berasal dari luar negeri, maupun antar

daerah di dalam negeri.

2. UU Komoditas tidak banyak mengatur tentang karantina, semuanya sudah

diatur dalam UU Karantina baik untuk tanaman maupun hewan. Hanya pada

UU Peternakan dan Kesehatan Hewan yang masih menjelaskan hal-hal yang

terkait dengan karantina.

Page 91: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

82

3. Sebaiknya pengetahuan tentang karantina tidak hanya diketahui oleh petugas,

tetapi lebih disosialisasikan kepada pedagang pengimpor, pengekspor, antar

pulau, bahkan hingga ke produsen termasuk petani. Sesuai amanan UU No.

16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, Pasal 28:

Pemerintah bertanggung jawab membina kesadaran masyarakat dalam

perkarantinaan hewan dan tumbuhan.

4. Negara Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan sangat berisiko

kemasukan media baik yang melalui jalur legal dan illegal yang dapat

memasukkan penyakit dan organism pengganggu. Di samping itu, liberalisai

perdagangan yang semakin meningkat tanpa pengendalian dapat

memperbesar peluang masuknya penyakit hewan dan ternak dan organisme

pengganggu tanaman. Oleh karena itu, unsur kekarantinaan perlu ditingkatkan

baik dari jumlah personil. Pos penjagaan dan Balai serta fasilitas dan perlatan

dan manajemen karantina yang baik.

5. Pada UU No. 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, Pasal

14: Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan

penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina

dilakukan penahanan apabila setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 11, ternyata persyaratan karantina atau pemasukan ke

dalam atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik

Indonesia belum seluruhnya dipenuhi. Pemerintah menetapkan batas waktu

pemenuhan persyaratan. Kegiatan pada Pasal 14 ini berlaku untuk antar

wilayah dan antar negara. Diperlukan teknologi dengan analisis risiko untuk

antar wilayah sehingga waktu karantina tidak terlalu lama yang menyebabkan

naiknya biaya sehingga mempengaruhi harga dan daya saing media pembawa

hama dan penyakit di daerah tujuan.

3.5.3. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan

Keterkaitan UU No. 16/1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan kaitannya dengan Rencana Kerja Kementan Tahun 2016

1. Program Pemenuhan Pangan Asal Ternak dan Agribisnis Peternakan Rakyat,

salah satu kegiatannya adalah Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit

Page 92: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

83

Hewan. Hal ini sejalan dengan Pasal 3 UU No. 16/1992, tentang Karantina,

yaitu: karantina hewan, ikan dan tumbuhan bertujuan mencegah masuknya

hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, dan

organisme pengganggu tumbuhan karantina dari: (a) luar negeri ke dalam

wilayah negara RI; (b) dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara

RI; (c) ke luar wilayah negara RI. Pada UU Perkebunan, Hortikultura dan

Pangan, masalah ini tidak dibahas secara eksplisit. Hal ini mungkin saja sub

sektor lain beranggapan semua hal tersebut sudah diatur dalam UU Karantina.

2. Program Penyediaan dan Pengembangan Prasarana dan Sarana Pertanian,

salah satu program dan kegiatannya adalah Fasilitasi Pupuk dan Pestisida,

termasuk pupuk organik. Distribusi pupuk organik tanpa melalui proses

fermentasi masih terdapat mikroba-mikroba yang dapat menurlakan penyakit

zoonosis, seperti saat terjadi Kasus Luar Biasa Flu Burung. Oleh karena itu

perlu pengaturan distribusi pupuk organik sehingga tidak menjadi media

penyebaran penyakit hewan/ternak.

3. Pasal 30 UU Karantina menyatakan: “Penyidik pejabat pegawai negeri sipil

lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan karantina hewan,

ikan, dan tumbuhan, dapat pula diberi wewenang khusus sebagai penyidik”.

Pelatihan dasar kegiatan tersebut dapat dilakukan di lingkup Kementan dan

bekerja sama dengan penegak hukum terkait.

4. Pasal 28 menyebutkan bahwa Pemerintah bertanggung jawab membina

kesadaran masyarakat dalam perkarantinaan hewan, ikan, dan tumbuhan.

Pembinaan tersebut dapat dilakukan oleh tenaga penyuluh, tapi dalam

prakteknya substansi karantina belum masuk materi penyuluhan. Padahal

untuk kasus perdagangan ternak/hewan antar pulau di dalam wilayah negara

RI, diperlukan pengetahuan peternak dan masyarakat tentang pentingnya

kegiatan karantina, terutama untuk menghindari penyakit yang sifatnya

zoonosis.

5. Pasal 23, Dalam hal ditemukan atau terdapat petunjuk terjadinya serangan

suatu hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina,

atau organisme pengganggu tumbuhan karantina di suatu kawasan yang

semula diketahui bebas dari hama dan penyakit hewan karantina, hama dan

Page 93: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

84

penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina,

Pemerintah dapat menetapkan kawasan yang bersangkutan untuk sementara

waktu sebagai kawasan karantina. Keputusan ini diambil dalam waktu singkat

sesuai hasil observasi, sehingga penyakit tersebut tidak segera menyebar ke

banyak wilayah. Disini perlu kemampuan deteksi dini dan deteksi risiko yang

baik. Untuk itu, pihak karantina perlu dukungan fasilitas laboratorium yang

mutakhir.

6. Pasal 26 menyebutkan “Pemerintah menetapkan tempat-tempat pemasukan

dan pengeluaran media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama

dan penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan

karantina”. Penetapan tersebut sebaiknya dipublikasi sehingga diketahui oleh

berbagai instansi dan masyarakat luas untuk memudahkan melakukan

pencegahan penyebaran penyakit menjadi lebih luas dan jika pelanggaran

oleh pihak tertentu dapat diketahui oleh masyarakat. Disamping itu, dengan

telah ditetapkannya tempat pemasukan dan pengeluaran hewan, ikan,

tumbuhan karantina maka pihak-pihak terkait yang melakukan perdagangan

antar wilayah dalam/luar negeri mengetahui kondisi wilayah asal, terutama

terkait aspek penyakit dan OPT. Kasus ditahannya jagung dari Argentina di

pelabuhan impor Indonesia akibat masalah karantina, disebabkan tidak

terbukanya informasi antar negara sehingga menimbulkan kerugian ekonomi

yang besar jika barang yang diperdagangkan harus dimusnahkan atau

direekspor.

7. Untuk mendukung manajemen dan teknis lainnya pada Barantan, Pasal 30 UU

16/1992 tentang Karantina, diamanahkan bahwa pejabat pegawai negeri sipil

tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung

jawabnya meliputi pembinaan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan, dapat

pula diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan

tindak pidana di bidang karantina. Amanah tersebut dimaksudkan untuk

menyediakan SDM aparatur karantina yang kompeten dan professional,

terkelolanya anggaran secara optimal (WTP) dan terwujudnya good

governance dan clean government.

Page 94: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

85

8. Untuk menjalankan tugasnya, sesuai amanah UU No. 16/1992 tentang

Karantina, pada Pasal 10 dan Pasal 12 yang terkait dengan kegiatan

pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakukan, dan penahan terkait

dengan upaya mendeteksi segala jenis penyakit dan organisme pengganggu

yang membahayakan diperlukan program dan kegiatan peningkatan kualitas

penyelenggaraan laboratorium, uji standar dan uji terap teknik dan metode

karantina pertanian yang didukung fasilitas yang mutahir.

9. Untuk mencapai tujuan karantina sesuai Pasal 3 UU No. 16/1992 tentang

karantina, Barantan memerlukan kekuatan kelembagaan yang didukung

aparat yang professional untuk menjaga kawasan karantina pada segala pintu

masuk di wilayah negara RI yang cukup luas dan terdiri dari 17 ribu pulau.

10. Pasal 5, 6 dan 7 mewajibkan setiap media pembawa hama dan penyakit

hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme

pengganggu tumbuhan karantina yang dimasukkan ke dalam wilayah negara

Republik Indonesia, yang dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di

dalam wilayah negara Republik Indonesia, atau yang akan dikeluarkan dari

wilayah negara Republik Indonesia wajib melalui tempat-tempat pemasukan

dan pengeluaran yang telah ditetapkan serta dilaporkan dan diserahkan

kepada petugas karantina untuk keperluan tindakan karantina. Untuk itu,

Pasal 20 mengamanahkan tindakan karantina yang dilakukan oleh petugas

karantina dapat dilakukan di tempat pemasukan dan/atau pengeluaran, baik

di dalam maupun di luar instalasi karantina. Dalam kasus tertentu, tindakan

karantina dapat dilakukan di luar tempat pemasukan dan/atau pengeluaran,

baik di dalam maupun di luar instalasi karantina. Kasus di lapangan, terjadi

konflik terkait wilayah kerja di luar tempat pemasukan dan pengeluaran

antara petugas karantina dan oknum tertentu dengan alasan bukan lagi

wilayah kerja karantina. Kondisi ini sebaiknya ditinjau ulang kembali agar

kerja karantina pertanian menjadi efektif.

Page 95: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

86

Keterkaitan UU No. 18/2009 diubah menjandi UU No. 41/2014 Tentang PKH dan Renja Kementan 2016

1. Pasal 2 UU No. 18/2009 sudah menjelaskan bahwa usaha peternakan dapat

diintegrasikan dengan budi daya komoditas pangan, hortikultura dan

perkebunan yang merupakan potensi untuk peningkatan populasi dan

produksi ternak dan daging di dalam negeri. Seharusnya hal ini disinergiskan

dengan subsektor lain termasuk sektor lain seperti BUMN yang mengurusi

usaha perkebunan negara (PTPN).

2. Komitmen pemerintah untuk mengembangkan program integrasi yang sudah

ada, misal sawit-sapi pergerakannya kurang perlu dilakukan sepenuh hati oleh

pemerintah baik lingkup Kementan, Kemndegari dan Kemen BUMN. Komitmen

ini sangat dinantikan oleh Pemda provinsi dan kabupaten/kota guna

meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah dan meningkatkan

produksi pangan untuk mendukung ketahanan pangan. Oleh karena itu upaya

ini perlu terus dipertahankan, diintensifkan dan diekstensifkan.

3. Pengembangan pakan complete yang dikembangkan oleh Lolit Sapo Grati

Badan Litbang Pertanian, disarankan untuk dikembangkan pihak Dit Pakan

PKH. Pada tahap awal pengembangan industri pakan ini diberlakukan sebagai

infant industry, sehingga perlu terus didampingi hingga mencapai standar

mutu dan skala ekonomi baru kemudian diawasi sesuai aturan.

4. Upaya pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan dalam UU No.

18/2009 sudah dilakukan dengan baik dalam berbagai bentuk, dan

pelaksanaannya dilakukan bertahap, berjenjang antara pusat, provinsi dan

kabupaten/kota dengan tujuan: (a) melindungi wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia dari ancaman masuknya penyakit Hewan dari luar negeri;

(b) menyebarnya penyakit Hewan dari luar negeri, dari satu pulau ke pulau

lain, dan antardaerah dalam satu pulau di dalam wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia; dan (c) menyebarnya penyakit Hewan dari luar negeri,

dari satu pulau ke pulau lain, dan antardaerah dalam satu pulau di dalam

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya ini merupakan prosedur

yang harus dipertahankan.

Page 96: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

87

5. Untuk meningkatkan populasi ternak dam produksi daging diperlukan basis

utama yaitu kemampuan memproduksi benih dengan harga relative murah.

Selama ini Indonesia masih kekurangan benih unggas dan sapi sehingga

harus impor. Padahal pemerintah dalam UU No. 18/2009, pada Pasal 13, 14,

15, 16 dan 18 mengamanahkan hal itu, sbb:

a. Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengembangan usaha

pembenihan dan/atau pembibitan dengan melibatkan peran serta

masyarakat untuk menjamin ketersediaan benih, bibit, dan/atau bakalan.

b. Pemerintah menetapkan kebijakan perbibitan nasional untuk mendorong

ketersediaan benih dan/atau bibit yang bersertifikat dan melakukan

pengawasan dalam pengadaan dan peredarannya secara berkelanjutan.

Pemerintah membina pembentukan wilayah sumber bibit pada wilayah

yang berpotensi menghasilkan suatu rumpun ternak dengan mutu dan

keragaman jenis yang tinggi untuk sifat produksi dan/atau reproduksi.

c. Dalam keadaan tertentu pemasukan benih dan/atau bibit dari luar negeri

dapat dilakukan untuk: meningkatkan mutu dan keragaman genetik;

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; mengatasi kekurangan

benih atau bibit di dalam negeri; dan/atau memenuhi keperluan penelitian

dan pengembangan.

6. Walaupun program dan kegiatan ASUH pada Renja Kementan 2016 dan UU

No. 18/2009 sudah diamanahkan, namun dalam prakteknya masih sering

terjadi produk peternakan yang tidak ASUH, seperti ada campuran daging

celeng dan sapi, ada ayam formalin, ada ayam tiren (bangkai-mati kemarin),

daging yang sudah kadaluarsa, daging yang mengandung mikroba di atas

ambang batas dan tercemar residu lainnya. Untuk itu aspek ASUH ini perlu

ditingkatkan lagi bekerja sama dengan Kemendag dan Kemenperin serta

penegak hukum serta mengaktifkan PPNS pada berbagai lini.

7. Upaya di atas membutuhkan dana, pemikiran dan waktu, namun masih

dijumpai ketidaktuntasan di lapang. Pada kasus wilayah sumber bibit sapi di

Kebumen, Gunung Kidul dan Lombok Tengah yang sudah mampu

menghasilkan sapi bibit terpilih, tidak mampu dijaring pemerintah karena

belum tersedia pola penjaringan yang baik. Sebagian sapi terpilih tersebut

Page 97: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

88

dijual ke pedagang oleh peternak dengan alasan kebutuhan uang untuk

rumah tangga. Pada sisi lain pemerintah belum mampu penjaringnya, karena

sapi sudah dijual saat pedet umur 4-6 bulan. Hal ini perlu difikirkan agar kerja

selama ini tidak sia-sia.

8. Pada proses pemotongan hewan masih banyak dijumpai pemotongan di luar

RPH resmi yang diawasi yang perlu diselesaikan sehingga produk yang

dihasilkan dijamin ASUH. Pada RPH resmi juga ada kecenderungan

pemotongan melanggar kaidah agama sehingga tidak menentramkan batin

masyarakat. Penggunaan stuning gun harus diperjelas apakah diboleh

menurut syariat Islam. Cara penyembelihan yang terburu-buru dengan alasan

efisiensi mengabaikan syariah sebaiknya dihindari. Diperlukan evaluasi

menyeluruh tentang hal ini dan tindak lanjut penyempurnaannya melalui

program dan kegiatan pada Ditjen PKH dan satker di daerah dengan

melibatkan MUI.

9. Pada RenjaKementan 2016, khususnya di Ditjen PKH ada program dan

kegiatan “dukungan manajemen dan dukungan teknis lainnya”. Kelihatannya

kegiatan ini hanya memperhatikan unsur manajemen di tingkat pusat yaitu

Ditjen PKH. Padahal untuk mengoperasionalkan tugas dan fungsi Ditjen PKH

di daerah memerlukan kelembagaan yang membidangi fungsi peternakan.

Situasi saat ini ada kegiatan untuk menyatukan berbagai satker pertanian di

provinsi dan kabupaten/kota. Masalahnya adalah penyatuan tersebut lebih

bersifat generik, tanpa memperhatikan sumber daya dan karakteristik daerah.

Artinya pada provinsi dan kabupaten/kota yang memang potensial

peternakan, maka sebaiknya kelembagaan dinas peternakan kesehatan hewan

harus dipertahankan keberadaannya. Sebaliknya pada daerah lain yang

sumber daya perkebunan rakyatnya lebih banyak maka dinas perkebunan

dipertahankan keberadaannya. Jika tidak maka perhatian terhadap aspek

peternakan dan perkebunan cenderung dikurangi. Padahal untuk bidang

peternakan, selain peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan,

pengendalian penyakit hewan menular strategis dan zoonosis sangat perlu

diperhatikan karena terkait langsung dengan ekonomi regional dan kesehatan

masyarakat.

Page 98: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

89

10. Kegiatan pengembangan pengolahan dan pemasaran hasil ternak yang

disampaikan dalam Renja Kementan 2016 masih sangat sederhana

dibandingkan dengan amanah UU No. 18/2009 Pasal 34 dimana persyaratan

sesuai kaidah agama belum dieksplisitkan. Kasus pada beberapa tempat

pemotongan unggas dan ternak ruminansia saat ini perlu ditingkatkan aspek

kehalalannya. Jika tidak akan menjadi kebiasaan dan sulit diluruskan kembali

dengan alasan efisiensi usaha.

11. Pada UU No. 41/2014 Pasal 36, 36A. dan 36 B: diamanahkan bahwa

pemasukan ternak dan produk olahannya, sapi bakalan, sapi indukan untuk

memenuhi kekurangan konsumsi dalam negeri dan harus memenuhi syarat:

(a) teknis kesehatan hewan, bebas penyakit menular yang dipersyaratkan dan

sesuai dengan peraturanperundangan karantina.

12. Pada UU No. 41/2014, Pasal 36 C: Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke

dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu

negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan

dan tata cara pemasukannya. UU No. 41/2014 Pasal 36E: Dalam hal tertentu,

dengan tetap memerhatikan kepentingan nasional, dapat dilakukan

pemasukan ternak dan/atau produk hewan dari suatu negara atau zona dalam

suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan

Ternak dan/atau produk hewan. Padahal sebelumnya hal ini dilarang. Untuk

itu harus mendapat perhatian agar konsistensi pemenuhan syarat yang

diminta tetap dipertahankan. Berdasarkan informasi terakhir, dengan

kebijakan ini, Badan Kesehatan Hewan Dunia (WHO/OIE) sudah meragukan

kalau Indonesia bebas PMK.

13. Pada program penyediaan dan pengembangan prasarana dan sarana

pertanian ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebagai berikut:

a. Air untuk ternak merupakan prioritas kedua setelah kebutuhan untuk

masyarakat terpenuhi. Hal ini menunjukkan amanah UU No. 18/2009

sudah memperhatikan kesejahteraan hewan. Untuk itu sebaiknya sarana

dan prasarana air untuk ternak menjadi kegiatan yang harus dilakukan.

b. Untuk kegiatan fasilitas pupuk dan pestisida belum menjelaskan secara

eksplisit terkait pemanfaatan pupuk organik yang dihasilkan kelompok tani

Page 99: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

90

ternak. Sebaiknya penggunaan pupuk organik pada program tanaman

pangan, hotikultura, perkebunan dan hijauan makan mengutamakan

penggunaan pupuk organik yang dihasilkan kelompok tani ternak,

sehingga program yang dilakukan Ditjen PKH untuk meningkatkan

kesejahteraan peternak dan perbaikan kualitas lahan tidak menjadi sia-

sia.

c. Kegiatan perluasan dan perlindungan lahan pertanian secara eksplisit

belum dikaitkan untuk lahan peternakan. Padahal pada Pasal 4 UU No.

18/2009 jelas mengamanahkan bahawa: (a) Untuk menjamin kepastian

terselenggaranya peternakan dan kesehatan hewan diperlukan

penyediaan lahan yang memenuhi persyaratan teknis peternakan dan

kesehatan hewan (Pasal 4); (b) Penyediaan lahan peternakan dan

kesehatan hewan dimasukkan ke dalam tata ruang wilayah sesuai dengan

ketentuan peraturan perundangundangan (Pasal 5); (c) lahan yang telah

ditetapkan sebagai kawasan penggembalaan umum harus dipertahankan

secara berkelanjutan, pemerintah daerah kabupaten/kota yang

mempunyai persediaan lahan yang memungkinkan dan memprioritaskan

budi daya ternak skala kecil diwajibkan menetapkan lahan sebagai

kawasan penggembalaan umum, dan pemerintah daerah kabupaten/kota

membina bentuk kerja sama antara pengusahaan peternakan dan

pengusahaan tanaman pangan,hortikultura, perikanan, perkebunan, dan

kehutanan serta bidang lainnya dalam memanfaatkan lahan di kawasan

tersebut sebagai sumber pakan ternak murah (Pasal 6).

d. Fasilitas pembiayaan pertanian dalam program Ditjen PKH merupakan

amanah pasal 76 UU No. 18/2009, dimana Pemberdayaan peternak,

usaha di bidang peternakan, dan usaha di bidang kesehatan hewan

dilakukan dengan memberikan kemudahan berupa pengaksesan sumber

pembiayaan, permodalan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta

informasi sehingga mampu meningkatkan daya saing usaha. Masalahnya

skim kredit KUPS dan KKPE yang selama ini ada diubah menjadi Skim KUR

dengan tingkat bunga yang lebih tinggi dan grace period yang lebih

Page 100: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

91

singkat. Diharapkan skim KUR sektoral lebih meringankan peternak

dibandingkan skim sebelumnya KUPS dan KKPE.

14. Penelitian SDG ternak selama ini tidak seintensif pada tanaman. Cukup

tersedianya SDK hewan/ternak asli/lokal di Indonesia merupakan suatu

kekayaan yang tak ternilai perlu dimanfaatkan secara ekonomi dengan

meningkatkan intensitas penelitian di bidang SDG hewan/ternak.

15. Adanya usaha integrasi ternak tanaman, sebagai contoh sawit-sapi

membutuhkan penelitian secara terintegrasi dengan pendekatan transdisiplin.

Hl itu dibutuhkan agar kerugian dan keuntungan usaa integrasi dapat

dibuktikan secara ilmiah untuk diambil manfaatnya demi kesejahteraan

masyarakat.

16. Kegiatan penelitian dan pengembangan peternakan yang dimanahkan pada

UU No. 18/2009 tentang PKH sudah dimasukkan dalam Renja Kementan

2016.

17. Pemerintah sudah baik melaksanakan amanah pasal 78 UU No. 18/2009

tentang PKH, yaitu dalam pengembangan kualitas SDM. Namun selama ini

targetnya masih terbatas pada anggota kelompok tani ternak. Sebaiknya

target upaya itu dilakukan juga pada generasi muda yang potensial untuk

bergerak dalam usaha peternakan, walaupun belum atau bukan merupakan

anggota kelompok tani ternak. Misal eks TKI yang tidak berencana kembali

kerja ke luar negeri dan membawa modal usaha dari hasil kerja selama ini di

luar negeri. Penjaringan calon pengusaha peternakan tersebut dapat

dilakukan melalui Kementerian Tenaga Kerja.

18. Penyelenggaraan penyuluhan peternakan dan kesehatan hewan sudah

dilakukan sebagaimana untuk komoditas lain. Materi penyuluhan umumnya

pada subsistem budi daya. Materi penyuluhan sebaiknya ditingkatkan pada

sisi konsumen baik terkait kualitas gizi juga produk hewan yang aman, sehat,

utuh dan halal.

19. Salah satu program diversifikasi dan ketahanan pangan masyarakat adalah

pengembangan penganekaragaman konsumsi san keamanan pangan. Selama

ini, pengembangan produk pangan asal ternak yang dilakukan pemerintah

terfokus pada daging sapi dan unggas. Padahal Indonesia masih memiliki

Page 101: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

92

kambing, domba, itik, kerbau, dan kelinci. Sebaiknya komditas ternak ini juga

dikembangkan sebelum sukberdaya ternak dan peternak menjadi berkurang

menjadi akan sangat sulit untuk membangkitkan kembali.

20. Dalam aspek budi daya ternak pada UU No. 18/2009 jelas dituangkan dalam

Pasal 27, 29 dan 31. Namun dalam Renja Kementan belum disinggung sama

sekali. Padahal program utama Ditjen PKH 2014-2019 adalah peninkatan

produksi daging. Sementara itu, dalam Renja Kementan hal-hal yang terkait

dengan peningkatan produksi belum dibahas secara eksplisit.

21. UU No. 18/2009, Pasal 27 menyatakan: Pengembangan budi daya dapat

dilakukan dalam suatu kawasan budi daya sesuai dengan ketentuan tata

ruang. Pada awalnya lokasi peternakan cenderung jauh dari pemukiman,

namun dengan semakin meningkatnya penggunaan lahan, akhirnya kawasan

pemukiman mendekat ke lokasi usaha peternakan dan memungkinkan untuk

menimbulkan konflik akibat kenyamanan pemukim terganggu karena bau,

kontaminasi air dan populasi lalat meningkat akibat peternakan, sehingga

usaha peternakan harus direlokasi.

22. Pada kawasan peternakan dimana penduduknya dominan peternak, maka

cenderung tidak terjadi konflik, namun dari aspek kesehatan berpotensi

menimbulkan masalah. Oleh karena itu harus jelas posisi tata ruang lokasi

peternakan. Kalaupun sudah berada pada lokasi pemukiman, maka

manajemen lingkungan harus dikendalikan sehingga dapat meminimumkan

dampak lingkungan atau penggunaan herbal untuk mencegah bau. Pada

pengembangan kawasan baru, sebaiknya dibentuk satu kawasan termasuk

menyediakan pemukiman peternak beserta fasilitas pendukung yang

memadai.

23. Pada UU No. 18/2009 Pasal 29: “Budi daya ternak hanya dapat dilakukan oleh

peternak, perusahaan peternakan, serta pihak tertentu untuk kepentingan

khusus. Khusus usaha pembibitan, umumnya membutuhkan modal besar,

pengembalian modal lama dan keuntungan relative kecil. Oleh karena itu

diperlukan peran BUMN/BUMD.

24. Terkait perizinan usaha, selama ini lingkupnya dalam satu jenis usaha. Jika

usaha dilakukan secara terintegrasi, seperti sawit dan sapi sering menghadapi

Page 102: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

93

kendala untuk memperoleh perizinan. Oleh karena itu, perlu diserasikan

antara Pemerintah dan Pemda, antar kementerian. Perlu dilakukan

pencerahan kepada pelaku dan calon pelaku usaha terkait hal ini.

25. Terkait aspek kemitraan pada Pasal 31: “Peternak dapat melakukan kemitraan

usaha di bidang budi daya ternak berdasarkan perjanjian yang saling

memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan serta berkeadilan”. Pada

parkteknya hal itu sulit dilakukan, peternak hanya bersifat menerima,

sedangkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah lemah untuk melakukan

pembinaan kemitraan.

26. Aspek Kesejahteraan Hewan masih belum dimasukkan dalam Renja

Kementan. Pasal 66 UU No. 18/2009 mengamanahkan: Untuk kepentingan

kesejahteraan hewan (bertulang belakang dan sebagian dari hewan yang

tidak bertulang belakang yang dapat merasa sakit) dilakukan tindakan yang

berkaitan dengan penangkapan dan penanganan; penempatan dan

pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan; pemotongan

dan pembunuhan; serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap

hewan”. Pengabaian kesrawan menyebabkan kerugian ekonomi berupa

turunnya kuantitas dan kualitas ternak.

27. Pemerintah dalam hal ini Ditjen PKH telah memfasilitasan pelaksanaan

promosi dan pemasaran dengan menyediaakan timbangan ternak, informasi

harga, namun masih belum semua melakukannya. Upaya ini perlu

ditingkatkan terus melalui keterlibatan berbagai unsur terkait di daerah.

28. Perlindungan harga dan produk hewan dari luar negeri masih perlu

ditingkatkan dengan membuat segmentasi harga produk lokal dan asal impor.

3.6. Undang-Undang RI No. 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

3.6.1. Pokok-pokok amanat undang-undang

1. Ketentuan Umum (Bab I Pasal 1)

a. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang

ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna

Page 103: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

94

menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan

pangan nasional.

b. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah lahan potensial

yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya

tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan pada masa yang akan datang.

c. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah sistem dan

proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan,

memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan

pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan.

2. Azas, Tujuan dan Lingkup (Bab II)

a. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan bertujuan untuk: (a)

melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, (b)

menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, (c)

mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan, (d)

melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani, (e)

meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat, (f)

meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani, (g) meningkatkan

penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak, (h)

mempertahankan keseimbangan ekologis, dan (i) mewujudkan revitalisasi

pertanian. Pasal 3.

b. Ruang lingkup Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

meliputi: (a) perencanaan dan penetapan, (b) pengembangan, (c)

penelitian, (d) pemanfaatan, (e) pembinaan, (f) pengendalian, (g)

pengawasan, (h) sistem informasi, (i) perlindungan dan pemberdayaan

petani, (pembiayaan), dan (k) peran serta masyarakat. Pasal 4.

c. Lahan Pertanian Pangan yang ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan dapat berupa lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang

surut dan nonpasang surut (lebak), dan/atau lahan tidak beririgasi.

Pasal5

3. Perencanaan dan Penetapan (Bab III)

Page 104: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

95

a. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan terhadap

Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Lahan Pertanian Pangan dan

Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang berada di dalam

atau di luar kawasan pertanian pangan. Pasal 9/ayat 2

b. Lahan Pertanian Pangan dan Lahan Cadangan didasarkan atas kriteria

kesesuaian lahan, ketersediaan infrastruktur, penggunaan lahan, potensi

teknis lahan, dan/atau luasan kesatuan hamparan lahan. Pasal 9/ayat 5.

c. Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan disusun di tingkat

nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota, yang terdiri perencanaan

jangka panjang, perencanaan jangka menengah, dan perencanaan

tahunan. Pasal 11/ayat 1,2. Usulan perencanaan tersebut disosialisasikan

kepada masyarakat untuk mendapat tanggapan dan masukan. Pasal

15/ayat 1

d. Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nasional/Provinsi/

Kabupaten diatur dalam Peraturan Pemerintah/Pemda mengenai Rencana

Tata Ruang Wilayah. Pasal 23/ayat 1, 2, 3, 4.

e. Dalam hal suatu Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan tertentu

memerlukan perlindungan khusus, kawasan tersebut dapat ditetapkan

sebagai kawasan strategis nasional, dengan mempertimbangkan luas

kawasan pertanian pangan; produktivitas kawasan pertanian pangan;

potensi teknis lahan; keandalan infrastruktur; dan ketersediaan sarana

dan prasarana pertanian Pasal 24/ayat 1,2.

4. Pengembangan (Bab IV)

a. Pengembangan terhadap Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan meliputi intensifikasi dan

ekstensifikasi lahan, dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah

dan korporasi yang berbentuk koperasi dan/atau perusahaan inti plasma

dengan mayoritas sahamnya dikuasai oleh warga negara Indonesia. Pasal

27/ayat 1, 2, 3.

b. Ekstensifikasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dilakukan melalui

Page 105: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

96

pencetakan lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; penetapan lahan

pertanian pangan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;

dan/atau pengalihan fungsi lahan nonpertanian pangan menjadi Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pasal 29/ayat 1.

c. Pengalihan fungsi lahan nonpertanian pangan menjadi Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan terutama dilakukan terhadap Tanah Telantar dan

tanah bekas kawasan hutan yang belum diberikan hak atas tanah sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 29/ayat 3.

d. Tanah Telantar dan Tanah bekas kawasan hutan dapat dialihfungsikan

menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana apabila: (a)

tanah tersebut telah diberikan hak atas tanahnya, tetapi sebagian atau

seluruhnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan tidak dimanfaatkan

sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak; atau (b) tanah tersebut

selama 3 (tiga) tahun atau lebih, untuk tanah terlantar, atau selama 1

tahun atau lebih, untuk tanah bekas kawasan hutan, tidak dimanfaatkan

sejak tanggal pemberian hak diterbitkan. Pasal 29/ayat 4, 5.

5. Penelitian (Bab V)

a. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan dengan

dukungan penelitian oleh Pemerintah, pemerintah daerah, Lembaga

penelitian dan/atau perguruan tinggi. Aspek penelitian meliputi sekurang-

kurangnya: pengembangan penganekaragaman pangan; identifikasi dan

pemetaan kesesuaian lahan; pemetaan zonasi Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan; inovasi pertanian; fungsi agroklimatologi dan hidrologi;

fungsi ekosistem; dan sosial budaya dan kearifan lokal. Pasal 30/ayat 1, 2,

3, 4.

6. Pemanfaatan (Bab VI)

a. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap

pelaksanaan konservasi tanah dan air. Pasal 33/ayat 1. Setiap orang yang

memiliki hak atas tanah yang ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan berkewajiban memanfaatkan tanah sesuai peruntukan dan

mencegah kerusakan lahan dan irigasi. Pasal 34/ayat 1.

Page 106: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

97

b. Setiap orang yang memiliki hak atas tanah yang ditetapkan sebagai Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang tidak melaksanakan kewajibannya

dan menimbulkan akibat rusaknya lahan pertanian, wajib untuk

memperbaiki kerusakan tersebut.

7. Pembinaan (Bab VII)

a. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pembinaan terhadap

setiap orang yang terikat dengan pemanfaatan Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan danperlindungan terhadap Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan. Pasal 35/ayat 1.

8. Pengendalian (Bab VIII)

a. Pemerintah menunjuk Menteri untuk melakukan koordinasi pengendalian

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pasal 36. Pengendalian dilakukan

oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui pemberian: insentif;

disinsentif; mekanisme perizinan; proteksi; dan penyuluhan. Pasal 37.

b. Insentif yang berikan kepada petani berupa: (a) keringanan Pajak Bumi

dan Bangunan; (b) pengembangan infrastruktur pertanian; (c) pembiayaan

penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul; (d) kemudahan

dalam mengakses informasi dan teknologi, (e) penyediaan sarana dan

prasarana produksi pertanian; (f) jaminan penerbitan sertifikat bidang

tanah pertanian pangan melalui pendaftaran tanah secara sporadik dan

sistematik; dan/atau (g) penghargaan bagi petani berprestasi tinggi (Pasal

38). Dalam hal ini pemerintah dapat memberikan insentif dalam bentuk

pengalokasian anggaran secara khusus atau bentuk lainnya kepada

pemerintah daerah dan pemerintah daerah dapat dapat membrikan insentif

dalam bentuk pengalokasian anggaran secara khusus (Pasal 39).

c. Pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a dan

Pasal 38 diberikan dengan mempertimbangkan: jenis Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan; kesuburan tanah; luas tanam; irigasi; tingkat

fragmentasi lahan; produktivitas usaha tani; lokasi; kolektivitas usaha

pertanian; dan/atau praktik usaha tani ramah lingkungan (Pasal 40).

Page 107: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

98

d. Disinsentif berupa pencabutan insentif dikenakan kepada petani yang tidak

memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. (Pasal

42).

9. Alih Fungsi

a. Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan (Pasal 44/ayat 1).

Dalam hal untuk kepentingan umum, Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan dapat dialihfungsikan (Pasal 44/ayat 2). Pengalihfungsian

Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan dengan

syarat: (a) dilakukan kajian kelayakan strategis; (b) disusun rencana alih

fungsi lahan; (c) dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; (d)

disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan yang dialihfungsikan. Dalam hal terjadi bencana sehingga

pengalihan fungsi lahan untuk infrastruktur tidak dapat ditunda,

persyaratan (a) dan (b) tidak diberlakukan. (Pasal 44/ayat 3,4).

Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan yang dialihfungsikan untuk infrastruktur akibat bencana

dilakukan paling lama 24 bulan setelah alih fungsi dilakukan. (Pasal 44/ayat

5). Pembebasan kepemilikan hak atas tanah yang dialihfungsikan dilakukan

dengan pemberian ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. (Pasal 44/ayat 6).

b. Selain ganti rugi kepada pemilik, pihak yang mengalihfungsikan wajib

mengganti nilai investasi infrastruktur. Pasal 45.

c. Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan yang dialihfungsikan dilakukan atas dasar kesesuaian lahan,

dengan ketentuan: (a) paling sedikit tiga kali luas lahan dalam hal yang

dialihfungsikan lahan beririgasi; (b) paling sedikit dua kali luas lahan

dalam hal yang dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan

nonpasang surut (lebak); dan (c) paling sedikit satu kali luas lahan dalam

hal yang dialihfungsikan lahan tidak beririgasi. Pasal 46.

Page 108: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

99

d. Penyediaan lahan pertanian pangan sebagai lahan dapat dilakukan dengan:

(a) pembukaan lahan baru pada Lahan Cadangan Pertanian Pangan

Berkelanjutan; (b) pengalihfungsian lahan dari nonpertanian ke pertanian

sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, terutama dari tanah

telantar dan tanah bekas kawasan hutan, atau (c) penetapan lahan

pertanian sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. (Pasal 46/ayat

3). Segala kewajiban yang harus dilakukan dalam proses penggantian,

menjadi tanggung jawab pihak yang melakukan pengalihfungsian Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pasal 47.

e. Dalam hal terjadi keadaan memaksa yang mengakibatkan musnahnya

dan/atau rusaknya Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan secara

permanen, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah melakukan

penggantian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sesuai kebutuhan.

Pasal. 48.

f. Segala bentuk perizinan yang mengakibatkan alih fungsi Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan batal demi hukum, kecuali untuk kepentingan umum.

Pasal 50/ayat 1. Setiap orang yang melakukan alih fungsi tanah Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan wajib mengembalikan keadaan tanah

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ke keadaan semula. Pasal 50/ayat

2.

g. Setiap orang yang memiliki Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat

mengalihkan kepemilikan lahannya kepada pihak lain dengan tidak

mengubah fungsi lahan tersebut sebagai Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan. Pasal 50/ayat 3.

10. Pengawasan (Bab IX)

a. Untuk menjamin tercapainya Perlindungan Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan dilakukan pengawasan terhadap kinerja: (a) perencanaan

dan penetapan; (b) pengembangan; (c) pemanfaatan; (d) pembinaan;

dan (e) pengendalian. Pasal 54/1. Pengawasan dilaksanakan secara

berjenjang oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah

daerah kabupaten/kota sesuai kewenangannya. Pasal 54/2.

Page 109: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

100

b. Apabila hasil pemantauan dan evaluasi terbukti terjadi penyimpangan,

Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota wajib mengambil langkah

penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57/ayat 2.

11. Sistem Informasi (Bab X)

a. Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah

kabupaten/kota menyelenggarakan Sistem Informasi Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan yang dapat diakses oleh masyarakat. Pasal 58/ayat

1. Sistem informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sekurang-

kurangnya memuat data lahan tentang: (a) Kawasan Pertanian Pangan

Berkelanjutan; b. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; (c) Lahan

Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan (d) Tanah Telantar dan

subyek haknya. Pasal 58/ayat 3.

12. Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Bab XI)

a. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melindungi dan memberdayakan

petani, kelompok petani, koperasi petani, serta asosiasi petani. Pasal 61.

Perlindungan petani berupa pemberian jaminan: (a) harga komoditas

pangan pokok yang menguntungkan; (b) memperoleh sarana produksi dan

prasarana pertanian; (c) pemasaran hasil pertanian pangan pokok; (d)

pengutamaan hasil pertanian pangan dalam negeri untuk memenuhi

kebutuhan pangan nasional; dan/atau (e) ganti rugi akibat gagal panen.

Pasal 62/ayat 1. Perlindungan sosial bagi petani kecil merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari sistem jaminan sosial nasional yang diatur

dalam peraturan perundangundangan. Pasal 62/ayat 2.

b. Pemberdayaan petani meliputi: (a) penguatan kelembagaan petani; (b)

penyuluhan dan pelatihan untuk peningkatan kualitas sumber daya

manusia; (c) pemberian fasilitas sumber pembiayaan/permodalan; (d)

pemberian bantuan kredit kepemilikan lahan pertanian; (e) pembentukan

Bank Bagi Petani; (f) pemberian fasilitas pendidikan dan kesehatan rumah

tangga petani; dan/atau (g) pemberian fasilitas untuk mengakses ilmu

pengetahuan, teknologi, dan informasi. Pasal 63.

Page 110: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

101

13. Pembiayaan (Bab XII)

a. Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi, Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah kabupaten/kota, serta dari dana tanggung jawab sosial dan

lingkungan dari badan usaha. (Pasal 66/ayat 1, 2).

14. Peran serta masyarakat (Bab XIII)

a. Masyarakat berperan serta dalam perlindungan Kawasan dan Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan. Peran serta masyarakat dapat dilakukan

secara perorangan dan/atau berkelompok. Pasal 67/ayat 1, 2.

b. Dalam hal perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,

masyarakat berhak: (a) mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang

terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan di wilayahnya; dan (b) mengajukan tuntutan

pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan

rencana Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

15. Sanksi Administratif (Bab IV)

a. Setiap orang yang melanggar kewajiban atau larangan dikenai sanksi

administratif. Sanksi administratif dapat berupa: (a) peringatan tertulis;

(b) penghentian sementara kegiatan; (c) penghentian sementara

pelayanan umum; (d) penutupan lokasi; (e) pencabutan izin; (f)

pembatalan izin; (g) pembongkaran bangunan; (h) pemulihan fungsi lahan;

(i) pencabutan insentif; dan/atau (j) denda administratif. Pasal 70/ayat 1,

2.

3.6.2. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan

Keterkaitan antara UU No. 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dengan Rencana Kerja Kementan 2016

1. Ada keterkaitan langsung antara tujuan UU Perlindungan Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan yaitu: (a) melindungi kawasan dan lahan pertanian

pangan secara berkelanjutan, (b) menjamin tersedianya lahan pertanian

pangan secara berkelanjutan, (c) mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan

Page 111: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

102

kedaulatan pangan, (d) melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik

petani, (e) meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan

masyarakat, (f) meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani dengan

Program Penyediaan dan Pengembangan Prasarana dan Sarana Pertanian,

melalui kegiatan Perluasan dan Perlindungan Lahan Pertanian. Tujuan tersebut

juga terkait langsung dengan Sasaran Program yaitu: Meningkatnya Luasan

Areal Pertanian, Pengoptimalan Lahan, dan Mengendalikan Laju Alih Fungsi

Lahan Pertanian Ke Non Pertanian Serta terkait tidak langsung dengan sasaran

Mendorong Peningkatan Status Kepemilikan Lahan Petani sasaran

Mengevaluasi Pemanfaatan Sertifikat Tanah Petani. Demikian pula Pasal

44/ayat 1 yang menyebutkan Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan, terkait

langsung dengan Program dan Sasaran yang telah disebutkan.

2. Pada aspek Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Bab XI) yang meliputi :

(a) penguatan kelembagaan petani; (b)…. (c) pemberian fasilitas sumber

pembiayaan/permodalan; (d) pemberian bantuan kredit kepemilikan lahan

pertanian; (e) pembentukan Bank Bagi Petani terkait langsung dengan

Program Penyediaan dan Pengembangan Prasarana dan Sarana Pertanian

pada kegiatan Fasilitasi Pembiayaan Pertanian dengan sasaran Meningkatnya

Fasilitasi Pembiayaan, Pemberdayaan Kelembagaan, dan Permodalan

Pertanian, Serta Peningkatan Perlindungan Terhadap Resiko Gagal Panen

Melalui Asuransi Pertanian.

3. Pada aspek Penelitian (Bab V) Pasal 30/ayat 1, 2, 3, 4 Perlindungan Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan dengan dukungan penelitian oleh

Pemerintah, pemerintah daerah, Lembaga penelitian dan/atau perguruan

tinggi. Aspek penelitian meliputi sekurang-kurangnya: pengembangan

penganekaragaman pangan; identifikasi dan pemetaan kesesuaian lahan;

pemetaan zonasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; inovasi pertanian;

fungsi agroklimatologi dan hidrologi; fungsi ekosistem; dan sosial budaya dan

kearifan local. Aspek ini dijabarkan melalui Program Penciptaan Teknologi dan

Inovasi Pertanian Bio-Industri Berkelanjutan dengan melalui kegiatan

Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik

Page 112: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

103

Pertanian, Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian, Penelitian

dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, Pengkajian dan

Percepatan Diseminasi Inovasi Teknologi Pertanian, Penelitian/Perekayasaan

dan Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Penelitian/Analisis Sosial Ekonomi

dan Kebijakan Pertanian, Penelitian dan Pengembangan Tanaman Hortikultura,

Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan, Penelitian dan

Pengembangan Peternakan, Penelitian dan Pengembangan TanamanPangan.

4. Pada aspek Pemberdayaan Pasal 63 yang meliputi: (a) penguatan

kelembagaan petani; (b) penyuluhan dan pelatihan untuk peningkatan kualitas

sumber daya manusia; (c) …(e)….f) pemberian fasilitas pendidikan dan

kesehatan rumah tangga petani; dan/atau (g) pemberian fasilitas untuk

mengakses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi, hal ini terkait

langsung dengan Program Peningkatan Penyuluhan, Pendidikan dan Pelatihan

Pertanian dengan kegiatan-kegiatan (a)Pemantapan Sistem Pelatihan

Pertanian, (b) Revitalisasi Pendidikan Pertanian, (c) Pemantapan Sistem

Penyuluhan Pertanian, (d) Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis

lainnya Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sdm Pertanian

5. Pada aspek Perlindungan petani (Pasal 61), Pemerintah dan pemerintah

daerah wajib melindungi dan memberdayakan petani, kelompok petani,

berupa pemberian jaminan Pasal 62/ayat 1: (a) harga komoditas pangan

pokok yang menguntungkan; (b) memperoleh sarana produksi dan prasarana

pertanian; (c) pemasaran hasil pertanian pangan pokok; (d) pengutamaan

hasil pertanian pangan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan

nasional; dan/atau (e) ganti rugi akibat gagal panen. Hal ini terkait langsung

dengan program Kementan yaitu Program Peningkatan Diversifikasi dan

Ketahanan Pangan Masyarakat melalui kegiatan (a) Pengembangan Sistem

Distribusi dan Stabilitas Harga Pangan, (b) Pengembangan Ketersediaan dan

Penanganan Rawan Pangan, (c) Pengembangan Penganekaragaman Konsumsi

dan Keamanan Pangan, dan (d) Dukungan Manajemen dan Teknis Lainnya

Badan Ketahanan Pangan.

Page 113: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

104

3.7. Undang-Undang No. 16/2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan

3.7.1. Pokok-pokok amanat undang-undang

Ketentuan Umum (Bab I)

Penyuluhan pertanian, perikanan, kehutanan yang selanjutnya disebut

penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha

agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam

mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya,

sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan,

dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi

lingkungan hidup (Pasal 1 ayat 1).

Pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan

peternakan yang selanjutnya disebut pertanian adalah seluruh kegiatan yang

meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang

pengelolaan sumber daya alam hayati dalam agroekosistem yang sesuai dan

berkelanjutan, dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen

untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat

(Pasal 1 ayat 3).

Asas, Tujuan, dan Fungsi (Bab II)

Penyuluhan diselenggarakan berasaskan demokrasi, manfaat, kesetaraan,

keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerja sama, partisipatif, kemitraan,

berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat (Pasal 2).

Tujuan pengaturan sistem penyuluhan meliputi pengembangan sumber daya

manusia dan peningkatan modal sosial, yaitu: memberdayakan pelaku utama dan

pelaku usaha dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha

yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian

peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi (Pasal 3 butir

b)

Fungsi sistem penyuluhan meliputi (Pasal 4):

a. memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha;

b. mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber

Page 114: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

105

informasi, teknologi, dan sumber daya lainnya agar mereka dapat

mengembangkan usahanya;

c. meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan

pelaku utama dan pelaku usaha.

Sasaran Penyuluhan (Bab III)

Sasaran utama penyuluhan yaitu pelaku utama dan pelaku usaha (Pasal 5

ayat 2). Sasaran antara penyuluhan yaitu pemangku kepentingan lainnya yang

meliputi kelompok atau lembaga pemerhati pertanian, perikanan, dan kehutanan

serta generasi muda dan tokoh masyarakat (Pasal 5 ayat 3).

Kebijakan dan Strategi (Bab IV)

Kebijakan penyuluhan ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah

sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan asas dan tujuan sistem

penyuluhan (Pasal 6 ayat 1). Dalam menetapkan kebijakan penyuluhan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah

memperhatikan ketentuan sebagai berikut: penyelenggaraan penyuluhan dapat

dilaksanakan oleh pelaku utama dan/atau warga masyarakat lainnya sebagai mitra

Pemerintah dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja

sama, yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan programa pada tiap-tiap

tingkat administrasi pemerintahan (Pasal 6 ayat 2b).

Strategi penyuluhan disusun dan ditetapkan Pemerintah dan pemerintah

daerah sesuai dengan kewenangannya yang meliputi metode pendidikan orang

dewasa; penyuluhan sebagai gerakan masyarakat; penumbuh-kembangan

dinamika organisasi dan kepemimpinan; keadilan dan kesetaraan gender; dan

peningkatan kapasitas pelaku utama yang profesional (Pasal 7 ayat 1).

Kelembagaan (Bab V)

Kelembagaan penyuluhan terdiri atas:

a. kelembagaan penyuluhan pemerintah;

b. kelembagaan penyuluhan swasta; dan

c. kelembagaan penyuluhan swadaya (Pasal 8 ayat 1)

Page 115: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

106

Kelembagaan penyuluhan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a:

a. pada tingkat pusat berbentuk badan yang menangani penyuluhan;

b. pada tingkat provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan;

c. pada tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan; dan

d. pada tingkat kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan (Pasal 8 ayat 2).

Kelembagaan pelaku utama beranggotakan petani, pekebun, peternak,

nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, serta masyarakat di dalam dan di

sekitar hutan yang dibentuk oleh pelaku utama, baik formal maupun nonformal

(Pasal 19 ayat 1). Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai

fungsi sebagai wadah proses pembelajaran, wahana kerja sama, unit penyedia

sarana dan prasarana produksi, unit produksi, unit pengolahan dan pemasaran,

serta unit jasa penunjang (Pasal 19 ayat 2). Kelembagaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat berbentuk kelompok, gabungan kelompok, asosiasi, atau

korporasi (Pasal 19 ayat 3).

Tenaga Penyuluh (Bab VI)

Penyuluhan dilakukan oleh penyuluh PNS, penyuluh swasta, dan/atau

penyuluh swadaya (Pasal 20 ayat 1). Pemerintah dan pemerintah daerah

meningkatkan kompetensi penyuluh PNS melalui pendidikan dan pelatihan (Pasal

21 ayat 1). Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pelaksanaan

pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh swasta dan penyuluh swadaya (Pasal 21

ayat 2). Peningkatan kompetensi penyuluh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2) berpedoman pada standar, akreditasi, serta pola pendidikan dan

pelatihan penyuluh yang diatur dengan peraturan menteri (Pasal 21 ayat 3).

Penyelenggaraan

Programa penyuluhan dimaksudkan untuk memberikan arah, pedoman,

dan alat pengendali pencapaian tujuan penyelenggaraan penyuluhan (Pasal 23

ayat 1). Programa penyuluhan terdiri atas programa penyuluhan desa/kelurahan

atau unit kerja lapangan, programa penyuluhan kecamatan, programa penyuluhan

kabupaten/kota, programa penyuluhan provinsi, dan programa penyuluhan

Page 116: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

107

nasional (Pasal 23 ayat 2). Penyuluhan dilakukan dengan menggunakan

pendekatan partisipatif melalui mekanisme kerja dan metode yang disesuaikan

dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan pelaku usaha (Pasal 26 ayat

3). Materi penyuluhan dibuat berdasarkan kebutuhan dan kepentingan pelaku

utama dan pelaku usaha dengan memperhatikan kemanfaatan dan kelestarian

sumber daya pertanian, perikanan, dan kehutanan (Pasal 27 ayat 1).

Materi penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi unsur

pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial serta unsur

ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan

pelestarian lingkungan (Pasal 27 ayat 2). Materi penyuluhan dalam bentuk

teknologi tertentu yang akan disampaikan kepada pelaku utama dan pelaku usaha

harus mendapat rekomendasi dari lembaga pemerintah, kecuali teknologi yang

bersumber dari pengetahuan tradisional (Pasal 28 ayat 1). Pemerintah dan

pemerintah daerah memfasilitasi dan mendorong peran serta pelaku utama dan

pelaku usaha dalam pelaksanaan penyuluhan (Pasal 29).

Sarana dan Prasarana (Bab VIII)

Untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan penyuluhan dan kinerja

penyuluh, diperlukan sarana dan prasarana yang memadai agar penyuluhan dapat

diselenggarakan dengan efektif dan efisien (Pasal 31 ayat 1). Pemerintah,

pemerintah daerah, kelembagaan penyuluhan swasta, dan kelembagaan

penyuluhan swadaya menyediakan sarana dan prasarana penyuluhan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (Pasal 31 ayat 2).

Pembiayaan (Bab IX)

Sumber pembiayaan untuk penyuluhan disediakan melalui APBN, APBD baik

provinsi maupun kabupaten/kota, baik secara sektoral maupun lintas sektoral,

maupun sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat (Pasal 32 ayat 2).

Pembinaan dan Pengawasan (Bab X)

Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyuluhan

yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah daerah maupun swasta atau swadaya

(Pasal 34 ayat 1). Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat

Page 117: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

108

(1) dilakukan terhadap kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana dan

prasarana, serta pembiayaan penyuluhan (Pasal 34 ayat 2).

3.7.2. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan

Keterkaitan UU No. 16/2006dengan Renstra Kementan 2015-2019

Keterkaitan UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,

Perikanan, dan Kehutanan dengan Renstra Kementan 2015-2019 tercantum

padaPasal 1 ayat 1: Penyuluhan pertanian, perikanan, kehutanan yang

selanjutnya disebut penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama

serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan

mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi,

permodalan, dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan

produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta

meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup; direfleksikan

dengan tujuan Renstra yang terkait dengan meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraan petani.

Pasal lain yang menekankan pada kesejahteraan petani tertera pada Pasal

1 ayat 3: Pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,

dan peternakan yang selanjutnya disebut pertanian adalah seluruh kegiatan yang

meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang

pengelolaan sumber daya alam hayati dalam agroekosistem yang sesuai dan

berkelanjutan, dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen

untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.

Pada Pasal 5 ayat 3: Sasaran antara penyuluhan yaitu pemangku kepentingan

lainnya yang meliputi kelompok atau lembaga pemerhati pertanian, perikanan,

dan kehutanan serta generasi muda dan tokoh masyarakat; didukung dengan

tujuan Renstra dalam upaya meningkatkan kualitas kinerja aparatur pemerintah

yang amanah dan profesional.

Pada Pasal 21 ayat 1 dinyatakan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah

meningkatkan kompetensi penyuluh PNS melalui pendidikan dan pelatihan. Hal ini

sejalan dengan sasaran strategi Renstra Kementan tentang akuntabilitas kinerja

aparatur pemerintah yang baik. Aspek yang memuat tentang kelembagaan petani

Page 118: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

109

tercantum pada Pasal 19 ayat 1: Kelembagaan pelaku utama beranggotakan

petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, serta

masyarakat di dalam dan di sekitar hutan yang dibentuk oleh pelaku utama, baik

formal maupun nonformal. Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mempunyai fungsi sebagai wadah proses pembelajaran, wahana kerja sama, unit

penyedia sarana dan prasarana produksi, unit produksi, unit pengolahan dan

pemasaran, serta unit jasa penunjang (Pasal 19 ayat 2). Kelembagaan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk kelompok, gabungan

kelompok, asosiasi, atau korporasi (Pasal 19 ayat 3). Hal ini diwujudkan dalam

strategi utama Renstra Kementan berupa penguatan kelembagaan petani.

Sumber pembiayaan untuk penyuluhan disediakan melalui APBN, APBD baik

provinsi maupun kabupaten/kota, baik secara sektoral maupun lintas sektoral,

maupun sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat (Pasal 32 ayat 2) telah

diupayakan dalam strategi utama Renstra Kementan berupa pengembangan dan

penguatan pembiayaan pertanian. Sementara dalam strategi penunjang Renstra

Kementan yang menekankan pada penguatan dan peningkatan kapasitas SDM

pertanian; sebagai langkah mendukung UU No. 16/2006 Pasal 21 ayat 1:

Pemerintah dan pemerintah daerah meningkatkan kompetensi penyuluh PNS

melalui pendidikan dan pelatihan; Pasal 21 ayat 2: Pemerintah dan pemerintah

daerah memfasilitasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh swasta

dan penyuluh swadaya; Pasal 21 ayat 3: Peningkatan kompetensi penyuluh

sebagai-mana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman pada standar,

akreditasi, serta pola pendidikan dan pelatihan penyuluh yang diatur dengan

peraturan menteri.

Strategi penunjang lainnya dalam Renstra Kementan berupa peningkatan

dukungan inovasi dan teknologi telah sejalan dengan UU No. 16/2006 Pasal 4:

Fungsi sistem penyuluhan meliputi:

a. memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha;

b. mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber

informasi, teknologi, dan sumber daya lainnya agar mereka dapat

mengembangkan usahanya;

Page 119: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

110

c. meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan

pelaku utama dan pelaku usaha.

Penataan dan penguatan organisasi yang merupakan salah satu butir

strategi penunjang Renstra Kementan, diperkuat oleh UU No. 16/2006 Pasal 19

ayat 1: Kelembagaan pelaku utama beranggotakan petani, pekebun, peternak,

nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, serta masyarakat di dalam dan di

sekitar hutan yang dibentuk oleh pelaku utama, baik formal maupun nonformal;

Pasal 19 ayat 2: Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai

fungsi sebagai wadah proses pembelajaran, wahana kerja sama, unit penyedia

sarana dan prasarana produksi, unit produksi, unit pengolahan dan pemasaran,

serta unit jasa penunjang; Pasal 19 ayat 3: Kelembagaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat berbentuk kelompok, gabungan kelompok, asosiasi, atau

korporasi.

UU No. 16/2006 Pasal 34 ayat 1: Pemerintah melakukan pembinaan dan

pengawasan terhadap penyuluhan yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah

daerah maupun swasta atau swadaya; Pasal 34 ayat 2: Pembinaan dan

pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap

kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana dan prasarana, serta

pembiayaan penyuluhan (Pasal 34 ayat 2); diwujudkan dalam strategi penunjang

Renstra Kementan berupa pengelolaan sistem pengawasan.

Keterkaitan UU No. 16/2006dengan Program Kementan

Pengertian pertanian dalam makna yang luas di UU No. 16/2006tercantum

pada Pasal 1 ayat 3: Pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura,

perkebunan, dan peternakan yang selanjutnya disebut pertanian adalah seluruh

kegiatan yang meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri, pemasaran, dan jasa

penunjang pengelolaan sumber daya alam hayati dalam agroekosistem yang

sesuai dan berkelanjutan, dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan

manajemen untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan

masyarakat. Hal ini terkait dengan Program Peningkatan Produksi, Produktivitas

dan Mutu Hasil Tanaman Pangan, Program Peningkatan Produksi dan Nilai

Tambah Hortikultura, Program Peningkatan Produksi Komoditas Perkebunan

Page 120: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

111

Berkelanjutan, dan Program Pemenuhan Pangan Asal Ternak dan Agribisnis

Peternakan Rakyat.

UU No. 16/2006 Pasal 27 ayat 2: Materi penyuluhan berisi unsur

pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial serta unsur

ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan

pelestarian lingkungan; terkait dengan Program Pengkajian dan Percepatan

Diseminasi Inovasi Teknologi Pertanian, dengan sasaran kegiatan: (i) Penyediaan

dan Penyebarluasan Inovasi Spesifik Lokasi Mendukung Program Strategis

Pembangunan Pertanian Nasional dan Daerah; (ii) Pembangunan 100 techno park

dan 34 science park di 34 provinsi.

Strategi penyuluhan disusun dan ditetapkan oleh Pemerintah dan

pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya yang meliputi metode

pendidikan orang dewasa; penyuluhan sebagai gerakan masyarakat; penumbuh-

kembangan dinamika organisasi dan kepemimpinan; keadilan dan kesetaraan

gender; dan peningkatan kapasitas pelaku utama yang profesional (Pasal 7 ayat

1) diwujudkan dalam Program Pemantapan Sistem Pelatihan Pertanian, dengan

sasaran kegiatan: Mantapnya Sistem Pelatihan Pertanian dalam Meningkatkan

Kompetensi Aparatur Pertanian dan Nonaparatur Pertanian; Daya Tarik Pertanian

Bagi Tenaga Kerja Muda; Pelibatan Perempuan Petani/Pekerja dan Inkubator

Agribisnis Mendukung Agro Techno Park.

Penyuluhan pertanian, perikanan, kehutanan yang selanjutnya disebut

penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha

agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam

mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya,

sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan,

dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi

lingkungan hidup (Pasal 1 ayat 1) didukung oleh Program Pemantapan Sistem

Penyuluhan Pertanian, dengan sasaran kegiatan: Mantapnya Sistem Penyuluhan

Pertanian dalam Meningkatkan Kemampuan Petani; Kemandirian Kelembagaan

Petani dan Pola Hubungan Pemerintah.

Untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan penyuluhan dan kinerja

penyuluh, diperlukan sarana dan prasarana yang memadai agar penyuluhan dapat

Page 121: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

112

diselenggarakan dengan efektif dan efisien (Pasal 31 ayat 1); Pemerintah,

pemerintah daerah, kelembagaan penyuluhan swasta, dan kelembagaan

penyuluhan swadaya menyediakan sarana dan prasarana penyuluhan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (Pasal 31 ayat 2); terkait dengan Program

Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Badan Penyuluhan dan

Pengembangan SDM Pertanian, dengan sasaran kegiatan: Meningkatnya

Efektivitas dan Efisiensi Sistem Administrasi dan Manajemen dari Aspek

Perencanaan, Perundang-Undangan, Kepegawaian, Keuangan dan Perlengkapan,

Data dan Evaluasi, serta Pelaporan.

3.8. Undang-Undang No. 19/2013 Tentang Perlindungan dan

Pemberdayaan Petani

3.8.1. Pokok-pokok amanat undang-undang

Ketentuan Umum (Bab I)

Perlindungan Petani adalah segala upaya untuk membantu Petani dalam

menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana

produksi, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya

tinggi, dan perubahan iklim (Pasal 1 ayat 1). Pemberdayaan Petani adalah segala

upaya untuk meningkatkan kemampuan Petani untuk melaksanakan Usaha Tani

yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan

pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian,

konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses ilmu

pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan Kelembagaan Petani

(Pasal 1 ayat 2).

Pertanian adalah kegiatan mengelola sumber daya alam hayati dengan

bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk menghasilkan

Komoditas Pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,

dan/atau peternakan dalam suatu agroekosistem (Pasal 1 ayat 4). Asuransi

Pertanian adalah perjanjian antara Petani dan pihak perusahaan asuransi untuk

mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko Usaha Tani (Pasal 1 ayat 13).

Page 122: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

113

Asas, Tujuan, dan Lingkup Pengaturan (Bab II)

Perlindungan dan Pemberdayaan Petani berasaskan pada: a. kedaulatan; b.

kemandirian; c. kebermanfaatan; d. kebersamaan; e. keterpaduan; f. keterbu-

kaan; g. efisiensi-berkeadilan; dan h. Keberlanjutan (Pasal 2). Perlindungan dan

Pemberdayaan Petani bertujuan untuk: a. mewujudkan kedaulatan dan

kemandirian Petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan

kehidupan yang lebih baik; b. menyediakan prasarana dan sarana Pertanian yang

dibutuhkan dalam mengembangkan Usaha Tani; c. memberikan kepastian Usaha

Tani; d. melindungi Petani dari fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan

gagal panen; e. meningkatkan kemampuan dan kapasitas Petani serta

Kelembagaan Petani dalam menjalankan Usaha Tani yang produktif, maju,

modern dan berkelanjutan; dan f. menumbuhkembangkan kelembagaan

pembiayaan Pertanian yang melayani kepentingan Usaha Tani (Pasal 3).

Perencanaan (Bab III)

Perencanaan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dilakukan secara

sistematis, terpadu, terarah, menyeluruh, transparan, dan akuntabel (Pasal 5 ayat

1). Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan

berdasarkan pada: a. daya dukung sumber daya alam dan lingkungan; b. rencana

tata ruang wilayah; c. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; d. tingkat

pertumbuhan ekonomi; e. jumlah Petani; f. kebutuhan prasarana dan sarana; dan

g. kelayakan teknis dan ekonomis serta kesesuaian dengan kelembagaan dan

budaya setempat (Pasal 5 ayat 2).

Strategi Perlindungan dan Pemberdayaan Petani sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya berdasarkan pada kebijakan Perlindungan dan Pemberdayaan

Petani (Pasal 7 ayat 1). Strategi Perlindungan Petani dilakukan melalui: a.

prasarana dan sarana produksi Pertanian; b. kepastian usaha; c. harga Komoditas

Pertanian; d. penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi; e. ganti rugi gagal

panen akibat kejadian luar biasa; f. sistem peringatan dini dan penanganan

dampak perubahan iklim; dan g. Asuransi Pertanian (Pasal 7 ayat 2). Strategi

Pemberdayaan Petani dilakukan melalui: a. pendidikan dan pelatihan; b.

Page 123: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

114

penyuluhan dan pendampingan; c. pengembangan sistem dan sarana pemasaran

hasil Pertanian; d. konsolidasi dan jaminan luasan lahan Pertanian; e. penyediaan

fasilitas pembiayaan dan permodalan; f. kemudahan akses ilmu pengetahuan,

teknologi, dan informasi; dan g. penguatan Kelembagaan Petani (Pasal 7 ayat 3).

Perlindungan Petani (Bab IV)

Perlindungan Petani dilakukan melalui strategi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (2) (Pasal 12 ayat 1). Perlindungan Petani sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf g

diberikan kepada: a. Petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki lahan

Usaha Tani dan menggarap paling luas 2 (dua) hektare; b. Petani yang memiliki

lahan dan melakukan usaha budi daya tanaman pangan pada lahan paling luas 2

(dua) hektare; dan/atau c. Petani hortikultura, pekebun, atau peternak skala

usaha kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 12

ayat 2).

Pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi Pertanian dalam negeri

untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional (Pasal 15 ayat 1). Kewajiban

mengutamakan produksi Pertanian dalam negeri sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan melalui pengaturan impor Komoditas Pertanian sesuai dengan

musim panen dan/atau kebutuhan konsumsi dalam negeri (Pasal 15 ayat 2).

Dalam hal impor Komoditas Pertanian, menteri terkait harus melakukan

koordinasi dengan Menteri (Pasal 15 ayat 3).

Prasarana Pertanian dan Sarana Produksi Pertanian

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

bertanggung jawab menyediakan dan/atau mengelola prasarana Pertanian

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a (Pasal 16 ayat 1).

Prasarana Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi: a.

jalan Usaha Tani, jalan produksi, dan jalan desa; b. bendungan, dam, jaringan

irigasi, dan embung; dan c. jaringan listrik, pergudangan, pelabuhan, dan pasar

(Pasal 16 ayat 2). Selain Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Pelaku Usaha dapat

menyediakan dan/atau mengelola prasarana Pertanian sebagaimana dimaksud

Page 124: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

115

dalam Pasal 16 yang dibutuhkan Petani (Pasal 17). Petani berkewajiban

memelihara prasarana Pertanian yang telah ada sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 16 dan Pasal 17 (Pasal 18).

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

bertanggung jawab menyediakan sarana produksi Pertanian sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a secara tepat waktu dan tepat mutu serta

harga terjangkau bagi Petani (Pasal 19 ayat 1). Sarana produksi Pertanian

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. benih, bibit,

bakalan ternak, pupuk, pestisida, pakan, dan obat hewan sesuai dengan standar

mutu; dan b. alat dan mesin Pertanian sesuai standar mutu dan kondisi spesifik

lokasi (Pasal 19 ayat 2). Penyediaan sarana produksi Pertanian diutamakan

berasal dari produksi dalam negeri (Pasal 19 ayat 3). Pemerintah dan Pemerintah

Daerah sesuai dengan kewenangannya membina Petani, Kelompok Tani, dan

Gabungan Kelompok Tani dalam menghasilkan sarana produksi Pertanian yang

berkualitas (Pasal 19 ayat 4).

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat

memberikan subsidi benih atau bibit tanaman, bibit atau bakalan ternak, pupuk,

dan/atau alat dan mesin Pertanian sesuai dengan kebutuhan (Pasal 21 ayat 1).

Pemberian subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tepat guna, tepat

sasaran, tepat waktu, tepat lokasi, tepat jenis, tepat mutu, dan tepat jumlah

(Pasal 21 ayat 2).

Kepastian Usaha

Untuk menjamin kepastian usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

ayat (2) huruf b, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya berkewajiban: a. menetapkan kawasan Usaha Tani berdasarkan

kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya

buatan; b. memberikan jaminan pemasaran hasil Pertanian kepada Petani yang

melaksanakan Usaha Tani sebagai program Pemerintah; c. memberikan

keringanan Pajak Bumi dan Bangunan bagi lahan Pertanian produktif yang

diusahakan secara berkelanjutan; dan d. mewujudkan fasilitas pendukung pasar

hasil Pertanian (Pasal 22). Jaminan pemasaran sebagaimana dimaksud dalam

Page 125: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

116

Pasal 22 huruf b merupakan hak Petani untuk mendapatkan penghasilan yang

menguntungkan (Pasal 23 ayat 1). Jaminan pemasaran sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. pembelian secara langsung; b.

penampungan hasil Usaha Tani; dan/atau c. pemberian fasilitas akses pasar

(Pasal 23 ayat 2).

Harga Komoditas Pertanian

Pemerintah berkewajiban menciptakan kondisi yang menghasilkan harga

Komoditas Pertanian yang menguntungkan bagi Petani sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c (Pasal 25 ayat 1). Kewajiban Pemerintah

menciptakan kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan

dengan menetapkan: a. tarif bea masuk Komoditas Pertanian; b. tempat

pemasukan Komoditas Pertanian dari luar negeri dalam kawasan pabean; c.

persyaratan administratif dan standar mutu; d. struktur pasar produk Pertanian

yang berimbang; dan e. kebijakan stabilisasi harga pangan (Pasal 25 ayat 2).

Tarif Bea Masuk Komoditas Pertanian

Pemerintah menetapkan jenis Komoditas Pertanian yang dikenakan tarif

bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a (Pasal 26 ayat

1). Besaran tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

oleh Pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 26

ayat 2). Penetapan besaran tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) paling sedikit didasarkan pada: a. harga pasar internasional; b. harga pasar

domestik; c. jenis Komoditas Pertanian tertentu nasional dan lokal; dan d.

produksi dan kebutuhan nasional (Pasal 26 ayat 3).

Pemerintah menetapkan jenis Komoditas Pertanian tertentu nasional dan

lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) huruf c (Pasal 27 ayat 1).

Penetapan jenis Komoditas Pertanian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), dilakukan berdasarkan: a. pengaruh Komoditas Pertanian terhadap stabilitas

ekonomi nasional; dan/atau b. kepentingan hajat hidup orang banyak (Pasal 27

ayat 2). Ketentuan mengenai penetapan jenis Komoditas Pertanian tertentu

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Pemerintah (Pasal

27 ayat 3).

Page 126: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

117

Tempat Pemasukan Komoditas Pertanian

Penetapan tempat pemasukan Komoditas Pertanian dalam kawasan pabean

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b harus

mempertimbangkan: a. daerah sentra produksi Komoditas Pertanian dalam

negeri; dan b. kelengkapan instalasi karantina sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan (Pasal 28). Setiap Orang yang mengimpor Komoditas

Pertanian wajib melalui tempat pemasukan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah

(Pasal 29). Setiap Orang dilarang mengimpor Komoditas Pertanian pada saat

ketersediaan Komoditas Pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan

konsumsi dan/atau cadangan pangan Pemerintah (Pasal 30 ayat 1). Kecukupan

kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri (Pasal 30 ayat 2).

Persyaratan Administratif dan Standar Mutu

Setiap Komoditas Pertanian yang diimpor harus memenuhi persyaratan

administratif dan standar mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2)

huruf c (Pasal 31 ayat 1). Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) paling sedikit meliputi: a. surat izin impor; b. tanggal panen dan tanggal

kedaluwarsa; dan c. surat keterangan asal negara penghasil dan negara

pengekspor (Pasal 31 ayat 2). Setiap Orang yang mengimpor Komoditas

Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan

administratif (Pasal 31 ayat 3).

Selain persyaratan administratif dan standar mutu sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2), komoditas pangan harus memenuhi keamanan

pangan (Pasal 31 ayat 4). Ketentuan mengenai persyaratan administratif, standar

mutu, dan keamanan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan

ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah (Pasal 31 ayat 5).

Ganti Rugi Gagal Panen Akibat Kejadian Luar Biasa

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat

memberikan bantuan ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e sesuai dengan kemampuan

keuangan negara (Pasal 33 ayat 1). Untuk menghitung bantuan ganti rugi gagal

Page 127: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

118

panen akibat kejadian luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah

dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban: a.

menentukan jenis tanaman dan menghitung luas tanam yang rusak; b.

menentukan jenis dan menghitung ternak yang mati; dan c. menetapkan besaran

ganti rugi tanaman dan/atau ternak (Pasal 33 ayat 2).

Sistem Peringatan Dini dan Dampak Perubahan Iklim

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

membangun sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf f untuk mengantisipasi gagal

panen akibat bencana alam (Pasal 34). Pemerintah wajib melakukan prakiraan

iklim untuk mengantisipasi terjadinya gagal panen (Pasal 35 ayat 1). Pemerintah

dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib mengantisipasi

terjadinya gagal panen dengan melakukan: a. peramalan serangan organisme

pengganggu tumbuhan, serangan hama, dan/atau wabah penyakit hewan

menular; dan b. upaya penanganan terhadap hasil prakiraan iklim dan peramalan

serangan organisme pengganggu tumbuhan, serangan hama, dan/atau wabah

penyakit hewan menular (Pasal 35 ayat 2). Ketentuan lebih lanjut mengenai

sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim diatur dengan

Peraturan Menteri (Pasal 36).

Asuransi Pertanian

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

berkewajiban melindungi Usaha Tani yang dilakukan oleh Petani sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dalam bentuk Asuransi Pertanian (Pasal 37 ayat

1). Asuransi Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk

melindungi Petani dari kerugian gagal panen akibat: a. bencana alam; b. serangan

organisme pengganggu tumbuhan; c. wabah penyakit hewan menular; d. dampak

perubahan iklim; dan/atau e. jenis risiko-risiko lain diatur dengan Peraturan

Menteri (Pasal 37 ayat 2).

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

menugaskan badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah di

Page 128: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

119

bidang asuransi untuk melaksanakan Asuransi Pertanian (Pasal 38 ayat 1).

Pelaksanaan Asuransi Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 38

ayat 2). Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

memfasilitasi setiap Petani menjadi peserta Asuransi Pertanian (Pasal 39 ayat 1).

Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kemudahan

pendaftaran untuk menjadi peserta; b. kemudahan akses terhadap perusahaan

asuransi; c. sosialisasi program asuransi terhadap Petani dan perusahaan

asuransi; dan/atau d. bantuan pembayaran premi (Pasal 39 ayat 2).

Pemberdayaan Petani (Bab V)

Pemberdayaan Petani dilakukan untuk memajukan dan mengembangkan

pola pikir dan pola kerja Petani, meningkatkan Usaha Tani, serta menumbuhkan

dan menguatkan Kelembagaan Petani agar mampu mandiri dan berdaya saing

tinggi (Pasal 40).

Pendidikan dan Pelatihan

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

berkewajiban menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kepada Petani (Pasal

42 ayat 1). Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

antara lain berupa: a. pengembangan program pelatihan dan pemagangan; b.

pemberian beasiswa bagi Petani untuk mendapatkan pendidikan di bidang

Pertanian; atau c. pengembangan pelatihan kewirausahaan di bidang agribisnis

(Pasal 42 ayat 2). Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) yang

sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan serta memenuhi kriteria berhak

memperoleh bantuan modal dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah (Pasal

42 ayat 3).

Persyaratan Petani yang berhak memperoleh bantuan modal dari

Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Menteri (Pasal

42 ayat 4). Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

berkewajiban meningkatkan keahlian dan keterampilan Petani melalui pendidikan

dan pelatihan secara berkelanjutan (Pasal 43 ayat 1). Selain Pemerintah dan

Page 129: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

120

Pemerintah Daerah, badan dan/atau lembaga yang terakreditasi dapat

melaksanakan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 43 ayat 2).

Untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan Petani sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat dilakukan melalui sertifikasi kompetensi (Pasal 43 ayat 3).

Petani yang telah ditingkatkan kompetensinya melalui pendidikan dan pelatihan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 wajib menerapkan tata cara budi daya,

pascapanen, pengolahan, dan pemasaran yang baik untuk meningkatkan kualitas

dan daya saing secara berkelanjutan sesuai dengan Peraturan Menteri (Pasal 44).

Penyuluhan dan Pendampingan

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

memberi fasilitas penyuluhan dan pendampingan kepada Petani (Pasal 46 ayat 1).

Pemberian fasilitas penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa

pembentukan lembaga penyuluhan dan penyediaan penyuluh (Pasal 46 ayat 2).

Lembaga penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk oleh

Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pasal 46 ayat 3). Penyuluhan dan

pendampingan dilakukan antara lain agar Petani dapat melakukan: a. tata cara

budi daya, pascapanen, pengolahan, dan pemasaran yang baik; b. analisis

kelayakan usaha; dan c. kemitraan dengan Pelaku Usaha (Pasal 46 ayat 6).

Setiap Orang dilarang melakukan penyuluhan yang tidak sesuai dengan materi

penyuluhan dalam bentuk teknologi tertentu yang telah ditetapkan oleh

Pemerintah atau Pemerintah Daerah, kecuali yang bersumber dari pengetahuan

tradisional (Pasal 47).

Sistem dan Sarana Pemasaran Hasil Pertanian

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

melakukan Pemberdayaan Petani melalui pengembangan sistem dan sarana

pemasaran hasil Pertanian (Pasal 48 ayat 1). Pengembangan sistem dan sarana

pemasaran hasil Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan

dengan: a. mewujudkan pasar hasil Pertanian yang memenuhi standar keamanan

pangan, sanitasi, serta memperhatikan ketertiban umum; b. mewujudkan terminal

Page 130: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

121

agribisnis dan subterminal agribisnis untuk pemasaran hasil Pertanian; c.

mewujudkan fasilitas pendukung pasar hasil Pertanian; d. memfasilitasi

pengembangan pasar hasil Pertanian yang dimiliki dan/atau dikelola oleh

Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, koperasi, dan/atau kelembagaan

ekonomi Petani lainnya di daerah produksi Komoditas Pertanian; e. membatasi

pasar modern yang bukan dimiliki dan/atau tidak bekerja sama dengan Kelompok

Tani, Gabungan Kelompok Tani, koperasi, dan/atau kelembagaan ekonomi

Petani lainnya di daerah produksi Komoditas Pertanian; f. mengembangkan pola

kemitraan Usaha Tani yang saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan

menguntungkan; g. mengembangkan sistem pemasaran dan promosi hasil

Pertanian; h. mengembangkan pasar lelang; i. menyediakan informasi pasar; dan

g. mengembangkan lindung nilai (Pasal 48 ayat 2).

Petani dapat melakukan kemitraan usaha dengan Pelaku Usaha dalam

pemasarkan hasil Pertanian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan (Pasal 49). Setiap Orang yang mengelola pasar modern berkewajiban

mengutamakan penjualan Komoditas Pertanian dalam negeri (Pasal 50).

Transaksi jual beli Komoditas Pertanian di pasar induk, terminal agribisnis, dan

subterminal agribisnis dapat dilakukan melalui mekanisme pelelangan (Pasal 51

ayat 1).

Komoditas Pertanian yang dipasarkan harus memenuhi standar mutu (Pasal

52 ayat 1). Pemerintah menetapkan standar mutu untuk setiap jenis Komoditas

Pertanian (Pasal 52 ayat 2). Setiap Petani yang memproduksi Komoditas

Pertanian wajib memenuhi standar mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52

ayat (1) (Pasal 53 ayat 1). Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya membina Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2)

untuk memenuhi standar mutu Komoditas Pertanian (Pasal 53 ayat 2).

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

menyelenggarakan promosi dan sosialisasi pentingnya mengonsumsi Komoditas

Pertanian dalam negeri (Pasal 54). Konsolidasi dan Jaminan Luasan Lahan

Pertanian Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

berkewajiban memberikan jaminan ketersediaan lahan Pertanian (Pasal 55 ayat

1). Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a.

Page 131: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

122

konsolidasi lahan Pertanian; dan b. jaminan luasan lahan Pertanian (Pasal 55

ayat 2).

Konsolidasi Lahan Pertanian

Konsolidasi lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2)

huruf a merupakan penataan kembali penggunaan dan pemanfaatan lahan sesuai

dengan potensi dan rencana tata ruang wilayah untuk kepentingan lahan

Pertanian (Pasal 56 ayat 1). Konsolidasi lahan Pertanian diutamakan untuk

menjamin luasan lahan Pertanian bagi Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal

12 ayat (2) agar mencapai tingkat kehidupan yang layak (Pasal 56 ayat 2).

Konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a.

pengendalian alih fungsi lahan Pertanian; dan b. pemanfaatan lahan Pertanian

yang terlantar (Pasal 56 ayat 3).

Selain konsolidasi lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56,

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat

melakukan perluasan lahan Pertanian melalui penetapan lahan terlantar yang

potensial sebagai lahan Pertanian (Pasal 57 ayat 1). Perluasan lahan Pertanian

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan (Pasal 57ayat 2).

Jaminan Luasan Lahan Pertanian

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

berkewajiban memberikan jaminan luasan lahan Pertanian sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b bagi Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal

12 ayat (2) (Pasal 58 ayat 1). Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan dengan memberikan kemudahan untuk memperoleh tanah negara

bebas yang diperuntukan atau ditetapkan sebagai kawasan Pertanian (Pasal 58

ayat 2). Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. pemberian

paling luas 2 hektare tanah negara bebas yang telah ditetapkan sebagai kawasan

Pertanian kepada Petani, yang telah melakukan Usaha Tani paling sedikit 5 (lima)

tahun berturut-turut; b. pemberian lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 57 ayat (1) (Pasal 58 ayat 3). Selain kemudahan sebagaimana dimaksud

Page 132: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

123

pada ayat (3), Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

memfasilitasi pinjaman modal bagi Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12

ayat (2) untuk memiliki dan/atau memperluas kepemilikan lahan Pertanian (Pasal

58 ayat 4).

Kemudahanbagi petani untuk memperoleh lahan Pertanian sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf a diberikan dalam bentuk hak sewa, izin

pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan (Pasal 59). Pemberian

lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf b

diutamakan kepada Petani setempat yang: a. tidak memiliki lahan dan telah

mengusahakan lahan Pertanian di lahan yang diperuntukkan sebagai kawasan

Pertanian selama 5 (lima) tahun berturut-turut; atau b. memiliki lahan Pertanian

kurang dari 2 (dua) hektare (Pasal 60). Petani dilarang mengalihfungsikan lahan

Pertanian yang diperoleh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) menjadi

lahan non-Pertanian (Pasal 63 ayat 1). Petani dilarang mengalihkan lahan

Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) kepada pihak lain

secara keseluruhan atau sebagian, kecuali mendapat izin dari Pemerintah atau

pemerintah daerah (Pasal 63 ayat 2).

Fasilitas Pembiayaan dan Permodalan

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

berkewajiban memfasilitasi pembiayaan dan permodalan Usaha Tani (Pasal 66

ayat 1). Pemberian fasilitas pembiayaan dan permodalan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan dengan: a. pinjaman modal untuk memiliki dan/atau

memperluas kepemilikan lahan Pertanian; b. pemberian bantuan penguatan

modal bagi Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2); c. pemberian

subsidi bunga kredit program dan/atau imbal jasa penjaminan; dan/atau d.

pemanfaatan dana tanggung jawab sosial serta dana program kemitraan dan bina

lingkungan dari badan usaha (Pasal 66 ayat 2).

Akses Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Informasi

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

berkewajiban memberikan kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan

informasi untuk mencapai standar mutu Komoditas Pertanian (Pasal 67 ayat 1).

Page 133: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

124

Kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.

penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. kerja sama alih teknologi;

dan c. penyediaan fasilitas bagi Petani untuk mengakses ilmu pengetahuan,

teknologi, dan informasi (Pasal 67 ayat 2).

Penyediaan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf

c paling sedikit berupa: a. sarana produksi Pertanian; b. harga Komoditas

Pertanian; c. peluang dan tantangan pasar; d. prakiraan iklim, dan ledakan

organisme pengganggu tumbuhan dan/atau wabah penyakit hewan menular; e.

pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan; f. pemberian subsidi dan bantuan modal;

dan g. ketersediaan lahan Pertanian (Pasal 68 ayat 1). Informasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) harus akurat, tepat waktu, dan dapat diakses dengan

mudah dan cepat oleh Petani, Pelaku Usaha, dan/atau masyarakat (Pasal 68

ayat 2).

Penguatan Kelembagaan

Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)

terdiri atas: a. Kelompok Tani; b. Gabungan Kelompok Tani; c. Asosiasi Komoditas

Pertanian; dan d. Dewan Komoditas Pertanian Nasional (Pasal 70 ayat 1).

Kelembagaan Ekonomi Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)

berupa badan usaha milik Petani (Pasal 70 ayat 2). Asosiasi Komoditas Pertanian

bertugas: a. menampung dan menyalurkan aspirasi Petani; b. mengadvokasi dan

mengawasi pelaksanaan kemitraaan Usaha Tani; c. memberikan masukan kepada

Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan

Perlindungan dan Pemberdayaan Petani; d. mempromosikan Komoditas Pertanian

yang dihasilkan anggota, di dalam negeri dan di luar negeri; e. mendorong

persaingan Usaha Tani yang adil; f. memfasilitasi anggota dalam mengakses

sarana produksi dan teknologi; dan g. membantu menyelesaikan permasalahan

dalam ber-Usaha Tani (Pasal 78).

Kelembagaan Ekonomi Petani

Badan usaha milik Petani dibentuk oleh, dari, dan untuk Petani melalui

Gabungan Kelompok Tani dengan penyertaan modal yang seluruhnya dimiliki oleh

Gabungan Kelompok Tani (Pasal 80 ayat 1). Badan usaha milik Petani

Page 134: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

125

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk koperasi atau badan usaha

lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 80 ayat

2). Badan usaha milik Petani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi

untuk meningkatkan skala ekonomi, daya saing, wadah investasi, dan

mengembangkan jiwa kewirausahaan Petani (Pasal 80 ayat 3).

Pembiayaan dan Pendanaan (Bab VI)

PembiayaandanpendanaandalamkegiatanPerlindungan dan Pemberdayaan

Petani dilakukan untuk mengembangkan Usaha Tani melalui: a. lembaga

perbankan; dan/atau b. Lembaga Pembiayaan (Pasal 83).

Lembaga Perbankan

Dalam melaksanakan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Pemerintah

menugasi Badan Usaha Milik Negara bidang perbankan dan Pemerintah Daerah

menugasi Badan Usaha Milik Daerah bidang perbankan untuk melayani kebutuhan

pembiayaan Usaha Tani dan badan usaha milik Petani sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan (Pasal 84 ayat 1). Untuk melaksanakan

penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Usaha Milik Negara

bidang perbankan dan Badan Usaha Milik Daerah bidang perbankan membentuk

unit khusus pertanian (Pasal 84 ayat 2). Untuk melaksanakan penyaluran kredit

dan/atau pembiayaan Usaha Tani, pihak bank berperan aktif membantu Petani

agar memenuhi persyaratan memperoleh kredit dan/atau pembiayaan (Pasal 86

ayat 1).

Lembaga Pembiayaan Petani

Dalam melaksanakan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Pemerintah

dan Pemerintah Daerah berkewajiban menugasi Lembaga Pembiayaan Pemerintah

atau Pemerintah Daerah untuk melayani Petani dan/atau badan usaha milik Petani

memperoleh pembiayaan Usaha Tani sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangaan (Pasal 88).

Page 135: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

126

Pengawasan (Bab VII)

Untuk menjamin tercapainya tujuan Perlindungan dan Pemberdayaan

Petani, dilakukan pengawasan terhadap kinerja perencanaan dan pelaksanaan

(Pasal 92 ayat 1). Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

pemantauan, pelaporan, dan evaluasi (Pasal 92 ayat 2). Pengawasan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah

dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya (Pasal 92 ayat 3). Dalam

melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemerintah dan

Pemerintah Daerah dapat melibatkan masyarakat dalam pemantauan dan

pelaporan dengan memberdayakan potensi yang ada (Pasal 92 ayat 4).

Peran Serta Masyarakat (Bab VIII)

Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dapat

dilakukan secara perseorangan dan/atau berkelompok (Pasal 96 ayat 1). Peran

serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan

terhadap: a. penyusunan perencanaan; b. Perlindungan Petani; c. Pemberdayaan

Petani; d. pembiayaan dan pendanaan; dan e. Pengawasan (Pasal 96 ayat 2).

Masyarakat dalam Perlindungan Petani dapat berperan serta dalam: a.

memelihara dan menyediakan prasarana Pertanian; b. mengutamakan konsumsi

hasil Pertanian dalam negeri; c. menyediakan bantuan sosial bagi Petani yang

mengalami bencana; dan d. melaporkan adanya pungutan yang tidak sesuai

dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 97). Masyarakat dalam

Pemberdayaan Petani dapat berperan serta dalam menyelenggarakan: a.

pendidikan nonformal; b. pelatihan dan pemagangan; c. penyuluhan; d.

pencegahan alih fungsi lahan Pertanian; e. penguatan Kelembagaan Petani dan

Kelembagaan Ekonomi Petani; f. pemberian fasilitas sumber pembiayaan atau

permodalan; dan/atau g. pemberian fasilitas akses terhadap informasi (Pasal 98).

3.8.2. Keterkaitan dengan Renstra dan Program Kementan

Keterkaitan UU No. 19/2013 dengan Renstra Kementan 2015-2019

Keterkaitan UU No. 19/2013tentang Perlindungan dan Pemberdayaan

Petanidengan Renstra Kementan 2015-2019 tercantum pada Pasal 30 ayat 1:

Page 136: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

127

Setiap Orang dilarang mengimpor Komoditas Pertanian pada saat ketersediaan

Komoditas Pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi

dan/atau cadangan pangan Pemerintah; Pasal 30 ayat 2: Kecukupan kebutuhan

konsumsi dan cadangan pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan oleh Menteri. Hal ini terkait dengan salah satu tujuan Renstra, yakni

meningkatkan ketersediaan dan diversifikasi untuk mewujudkan kedaulatan

pangan.

Pasal lain yang terkait dengan tujuan Renstra Kementan 2015-2019 berupa

upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, tertuang pada UU No.

19/2013 Pasal 3: Perlindungan dan Pemberdayaan Petani bertujuan untuk: a.

mewujudkan kedaulatan dan kemandirian Petani dalam rangka meningkatkan

taraf kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan yang lebih baik; b. menyediakan

prasarana dan sarana Pertanian yang dibutuhkan dalam mengembangkan Usaha

Tani; c. memberikan kepastian Usaha Tani; d. melindungi Petani dari fluktuasi

harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan gagal panen; e. meningkatkan

kemampuan dan kapasitas Petani serta Kelembagaan Petani dalam menjalankan

Usaha Tani yang produktif, maju, modern dan berkelanjutan; dan f.

menumbuhkembangkan kelembagaan pembiayaan Pertanian yang melayani

kepentingan Usaha Tani.

Strategi utama Renstra Kementan tentang peningkatan ketersediaan dan

pemanfaatan lahan didukung beberapa Pasal dalam UU No. 19/2013. Konsolidasi

dan Jaminan Luasan Lahan Pertanian Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai

dengan kewenangannya berkewajiban memberikan jaminan ketersediaan lahan

Pertanian, dilakukan melalui: a. konsolidasi lahan Pertanian; dan b. jaminan

luasan lahan Pertanian (Pasal 55). Jaminan dilakukan dengan memberikan

kemudahan untuk memperoleh tanah negara bebas yang diperuntukan atau

ditetapkan sebagai kawasan Pertanian, berupa: a. pemberian paling luas 2

hektare tanah negara bebas yang telah ditetapkan sebagai kawasan Pertanian

kepada Petani, yang telah melakukan Usaha Tani paling sedikit 5 (lima) tahun

berturut-turut.

Selain itu, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya memfasilitasi pinjaman modal bagi Petani untuk memiliki

Page 137: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

128

dan/atau memperluas kepemilikan lahan Pertanian (Pasal 58). Kemudahan bagi

Petani untuk memperoleh lahan Pertanian diberikan dalam bentuk hak sewa, izin

pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan (Pasal 59). Pemberian

lahan Pertanian sebagaimana diutamakan kepada Petani setempat yang: a. tidak

memiliki lahan dan telah mengusahakan lahan Pertanian di lahan yang

diperuntukkan sebagai kawasan Pertanian selama 5 (lima) tahun berturut-turut;

atau b. memiliki lahan Pertanian kurang dari 2 (dua) hektare (Pasal 60).

Peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian juga merupakan strategi

utama Renstra Kementan yang diperkuat Pasal 16; 17; 18; 19; dan 21 UU No.

19/2013, bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, juga Pelaku Usaha dapat

menyediakan dan/atau mengelola prasarana Pertanian antara lain meliputi: a.

jalan usaha tani, jalan produksi, dan jalan desa; b. bendungan, dam, jaringan

irigasi, dan embung; dan c. jaringan listrik, pergudangan, pelabuhan, dan pasar.

Petani berkewajiban memelihara prasarana Pertanian yang telah ada. Pemerintah

dan Pemerintah Daerah menyediakan sarana produksi Pertanian secara tepat

waktu dan tepat mutu serta harga terjangkau bagi Petani.

Sarana produksi Pertanian meliputi: a. benih, bibit, bakalan ternak, pupuk,

pestisida, pakan, dan obat hewan sesuai dengan standar mutu; dan b. alat dan

mesin Pertanian sesuai standar mutu dan kondisi spesifik lokasi. Penyediaan

sarana produksi Pertanian diutamakan berasal dari produksi dalam negeri.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah membina Petani, Kelompok Tani, dan

Gabungan Kelompok Tani dalam menghasilkan sarana produksi Pertanian yang

berkualitas, dan memberikan subsidi benih atau bibit tanaman, bibit atau bakalan

ternak, pupuk, dan/atau alat dan mesin Pertanian sesuai dengan kebutuhan, serta

harus tepat guna, tepat sasaran, tepat waktu, tepat lokasi, tepat jenis, tepat

mutu, dan tepat jumlah. Keseluruhan persyaratan tersebut tercakup dalam

strategi utama Renstra Kementan dalam pengembangan dan perluasan logistik

benih/bibit.

Penguatan kelembagaan petani yang juga merupakan bagian dari strategi

utama Renstra Kementan sejalan dengan UU No. 19/2013 Pasal 70 dan 78,

bahwaKelembagaan Petani terdiri atas: a. Kelompok Tani; b. Gabungan

Kelompok Tani; c. Asosiasi Komoditas Pertanian; dan d. Dewan Komoditas

Page 138: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

129

Pertanian Nasional. Kelembagaan Ekonomi Petani tersebut berupa badan usaha

milik Petani. Asosiasi Komoditas Pertanian bertugas: a. menampung dan

menyalurkan aspirasi Petani; b. mengadvokasi dan mengawasi pelaksanaan

kemitraaan Usaha Tani; c. memberikan masukan kepada Pemerintah dan/atau

Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan Perlindungan dan Pemberdayaan

Petani; d. mempromosikan Komoditas Pertanian yang dihasilkan anggota, di

dalam negeri dan di luar negeri; e. mendorong persaingan Usaha Tani yang adil;

f. memfasilitasi anggota dalam mengakses sarana produksi dan teknologi; dan g.

membantu menyelesaikan permasalahan dalam ber-Usaha Tani.

UU No. 19/2013 Pasal 83: Pembiayaan dan pendanaan dalam kegiatan

Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dilakukan untuk mengembangkan Usaha

Tani melalui: a. lembaga perbankan; dan/atau b. Lembaga Pembiayaan; terkait

dengan strategi utama Renstra Kementan mengenai pengembangan dan

penguatan pembiayaan pertanian. Strategi utama lainnya berupa penguatan

jaringan pasar produk pertanian diperkuat oleh UU No. 19/2013 Pasal 22 dan 23.

Untuk menjamin kepastian usaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah

berkewajiban: a. menetapkan kawasan Usaha Tani berdasarkan kondisi dan

potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan; b.

memberikan jaminan pemasaran hasil Pertanian kepada Petani yang

melaksanakan Usaha Tani sebagai program Pemerintah; c. memberikan

keringanan Pajak Bumi dan Bangunan bagi lahan Pertanian produktif yang

diusahakan secara berkelanjutan; dan d. mewujudkan fasilitas pendukung pasar

hasil Pertanian. Jaminan pemasaran merupakan hak Petani untuk mendapatkan

penghasilan yang menguntungkan dan dapat dilakukan melalui: a. pembelian

secara langsung; b. penampungan hasil Usaha Tani; dan/atau c. pemberian

fasilitas akses pasar.

Strategi penunjang Renstra Kementan berupa penguatan dan peningkatan

kapasitas SDM pertanian didukung UU No. 19/2013 Pasal 40: Pemberdayaan

Petani dilakukan untuk memajukan dan mengembangkan pola pikir dan pola kerja

Petani, meningkatkan Usaha Tani, serta menumbuhkan dan menguatkan

Kelembagaan Petani agar mampu mandiri dan berdaya saing tinggi; Pasal 46

ayat 6: Penyuluhan dan pendampingan dilakukan antara lain agar Petani dapat

Page 139: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

130

melakukan: a. tata cara budi daya, pascapanen, pengolahan, dan pemasaran

yang baik; b. analisis kelayakan usaha; dan c. kemitraan dengan Pelaku Usaha.

Ketentuan UU No. 19/2013 Pasal 67 dan 68 dijabarkan lebih lanjut pada

strategi penunjang Renstra Kementan berupa pelayanan informasi publik.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan kemudahan akses ilmu

pengetahuan, teknologi, dan informasi untuk mencapai standar mutu Komoditas

Pertanian. Kemudahan akses meliputi: a. penyebarluasan ilmu pengetahuan dan

teknologi; b. kerja sama alih teknologi; dan c. penyediaan fasilitas bagi Petani

untuk mengakses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi. Penyediaan

informasi paling sedikit berupa: a. sarana produksi Pertanian; b. harga Komoditas

Pertanian; c. peluang dan tantangan pasar; d. prakiraan iklim, dan ledakan

organisme pengganggu tumbuhan dan/atau wabah penyakit hewan menular; e.

pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan; f. pemberian subsidi dan bantuan modal;

dan g. ketersediaan lahan Pertanian. Informasi tersebut harus akurat, tepat

waktu, dan dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh Petani, Pelaku Usaha,

dan/atau masyarakat.

Pengelolaan teknologi informasi dan komunikasi yang merupakan strategi

penunjang Renstra Kementan, terkait dengan UU No. 19/2013 Pasal 1 ayat 2:

Pemberdayaan Petani adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan

Petani untuk melaksanakan Usaha Tani yang lebih baik melalui pendidikan dan

pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengem-bangan sistem dan sarana

pemasaran hasil Pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian,

kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan

Kelembagaan Petani.

Aspek penataan dan penguatan organisasi sebagai strategi penunjang

Renstra Kementan, terkait dengan UU No. 19/2013 Pasal 80, bahwa Badan usaha

milik Petani dibentuk oleh, dari, dan untuk Petani melalui Gabungan Kelompok

Tani dengan penyertaan modal yang seluruhnya dimiliki oleh Gabungan Kelompok

Tani. Badan usaha milik Petani berbentuk koperasi atau badan usaha lainnya

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan berfungsi untuk

meningkatkan skala ekonomi, daya saing, wadah investasi, dan mengembangkan

jiwa kewirausahaan Petani.

Page 140: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

131

UU No. 19/2013 Pasal 92 dinyatakan bahwa untuk menjamin tercapainya

tujuan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dilakukan pengawasan terhadap

kinerja perencanaan dan pelaksanaan. Pengawasan tersebut meliputi

pemantauan, pelaporan, dan evaluasi, serta dilaksanakan oleh Pemerintah dan

Pemerintah Daerah. Dalam melaksanakan pengawasan Pemerintah dan

Pemerintah Daerah dapat melibatkan masyarakat dalam pemantauan dan

pelaporan dengan memberdayakan potensi yang ada. Hal ini ditegaskan dalam

strategi penunjang Renstra Kementan berupa pengelolaan sistem pengawasan.

Keterkaitan UU No. 19/2013 dengan Program Kementan

Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Hasil Tanaman

Pangan dengan kegiatan berupa Pengelolaan Produksi Tanaman Aneka Kacang

dan Umbi, serta sasaran kegiatan Peningkatan Produksi Kedelai, Ubikayu, Ubijalar,

Kacang Tanah, dan Kacang Hijau; terkait dengan UU No. 19/2013 Pasal 1 ayat 4

yang memuat pengertian pertanian secara luas, termasuk tanaman pangan,

hortikultura, dan perkebunan. Program Pengelolaan Sistem Penyediaan

Benih/Bibit Tanaman Pangan, Perkebunan, dan Peternakan, juga Program

Fasilitasi Pupuk dan Pestisida; telah sejalan dengan UU No. 19/2013 Pasal 19:

Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan sarana produksi Pertanian

secara tepat waktu dan tepat mutu serta harga terjangkau bagi Petani. Sarana

produksi Pertanian paling sedikit meliputi: a. benih, bibit, bakalan ternak, pupuk,

pestisida, pakan, dan obat hewan sesuai dengan standar mutu; dan b. alat dan

mesin Pertanian sesuai standar mutu dan kondisi spesifik lokasi.

Program Penguatan Perlindungan Tanaman Pangan dari Gangguan OPT

dan DPI, didukung oleh UU No. 19/2013 Pasal 34: Pemerintah dan Pemerintah

Daerah membangun sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan

iklim untuk mengantisipasi gagal panen akibat bencana alam. Program

Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan,

dan Peternakan diperkuat oleh UU No. 19/2013 Pasal 22 dan 23: Untuk menjamin

kepastian usaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban: a.

menetapkan kawasan Usaha Tani berdasarkan kondisi dan potensi sumber daya

alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan; b. memberikan jaminan

Page 141: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

132

pemasaran hasil Pertanian kepada Petani yang melaksanakan Usaha Tani sebagai

program Pemerintah; c. memberikan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan bagi

lahan Pertanian produktif yang diusahakan secara berkelanjutan; dan d.

mewujudkan fasilitas pendukung pasar hasil Pertanian. Jaminan pemasaran

merupakan hak Petani untuk mendapatkan penghasilan yang menguntungkan.

Jaminan pemasaran dapat dilakukan melalui: a. pembelian secara langsung; b.

penampungan hasil Usaha Tani; dan/atau c. pemberian fasilitas akses pasar.

UU No. 19/2013 Pasal 35 ayat 2: Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib

mengantisipasi terjadinya gagal panen dengan melakukan: a. peramalan serangan

organisme pengganggu tumbuhan, serangan hama, dan/atau wabah penyakit

hewan menular; dan b. upaya penanganan terhadap hasil prakiraan iklim dan

peramalan serangan organisme pengganggu tumbuhan, serangan hama, dan/atau

wabah penyakit hewan menular; terkait dengan Program Dukungan Perlindungan

Perkebunan. Ketentuan mengenai standar mutu yang tercantum pada Pasal 52

dan 53: Komoditas Pertanian yang dipasarkan harus memenuhi standar mutu,

Pemerintah menetapkan standar mutu untuk setiap jenis Komoditas Pertanian.

Setiap Petani yang memproduksi Komoditas Pertanian wajib memenuhi standar

mutu Pemerintah dan Pemerintah Daerah membina Petani untuk memenuhi

standar mutu Komoditas Pertanian; mendukung Program Dukungan Pengujian

dan Pengawasan Mutu Benih Serta Penyiapan Teknologi Proteksi Tanaman

Perkebunan; juga Program Penjaminan Produk Hewan yang ASUH (Aman, Sehat,

Utuh, dan Halal).

Program Pengelolaan Air Irigasi untuk Pertanian diperkuat dengan UU No.

19/2013 Pasal 16: Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dan/atau

mengelola prasarana Pertanian. Prasarana Pertanian antara lain meliputi: a. jalan

Usaha Tani, jalan produksi, dan jalan desa; b. bendungan, dam, jaringan irigasi,

dan embung; dan c. jaringan listrik, pergudangan, pelabuhan, dan pasar. Program

Perluasan dan Perlindungan Lahan Pertanian didukung UU No. 19/2013 Pasal 58:

Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan jaminan luasan lahan Pertanian

bagi Petani. Jaminan dilakukan dengan memberikan kemudahan untuk

memperoleh tanah negara bebas yang diperuntukan atau ditetapkan sebagai

kawasan Pertanian. Kemudahan tersebut berupa: a. pemberian paling luas 2

Page 142: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

133

hektare tanah negara bebas yang telah ditetapkan sebagai kawasan Pertanian

kepada Petani, yang telah melakukan Usaha Tani paling sedikit 5 (lima) tahun

berturut-turut; b. pemberian lahan Pertanian.

Program Fasilitasi Pembiayaan Pertanian terkait dengan UU No. 19/2013

Pasal 33: Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

dapat memberikan bantuan ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa

sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Untuk menghitung bantuan ganti

rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa Pemerintah dan Pemerintah Daerah

berkewajiban: a. menentukan jenis tanaman dan menghitung luas tanam yang

rusak; b. menentukan jenis dan menghitung ternak yang mati; dan c. menetapkan

besaran ganti rugi tanaman dan/atau ternak; Pasal 37: Pemerintah dan

Pemerintah Daerah berkewajiban melindungi Usaha Tani yang dilakukan oleh

Petani dalam bentuk Asuransi Pertanian. Asuransi Pertanian dilakukan untuk

melindungi Petani dari kerugian gagal panen akibat: a. bencana alam; b. serangan

organisme pengganggu tumbuhan; c. wabah penyakit hewan menular; d. dampak

perubahan iklim; dan/atau e. jenis risiko-risiko lain diatur dengan Peraturan

Menteri. Pasal 58 ayat 4: Selain kemudahan tersebut, Pemerintah dan Pemerintah

Daerah memfasilitasi pinjaman modal bagi Petani untuk memiliki dan/atau

memperluas kepemilikan lahan Pertanian.

UU No. 19/2013 Pasal 67 dan 68 memperkuat Program Pengkajian dan

Percepatan Diseminasi Inovasi Teknologi Pertanian. Pemerintah dan Pemerintah

Daerah berkewajiban memberikan kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi,

dan informasi untuk mencapai standar mutu Komoditas Pertanian. Kemudahan

akses meliputi: a. penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. kerja sama

alih teknologi; dan c. penyediaan fasilitas bagi Petani untuk mengakses ilmu

pengetahuan, teknologi, dan informasi. Penyediaan informasi paling sedikit

berupa: a. sarana produksi Pertanian; b. harga Komoditas Pertanian; c. peluang

dan tantangan pasar; d. prakiraan iklim, dan ledakan organisme pengganggu

tumbuhan dan/atau wabah penyakit hewan menular; e. pendidikan, pelatihan,

dan penyuluhan; f. pemberian subsidi dan bantuan modal; dan g. ketersediaan

lahan Pertanian. Informasi harus akurat, tepat waktu, dan dapat diakses dengan

mudah dan cepat oleh Petani, Pelaku Usaha, dan/atau masyarakat.

Page 143: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

134

Program Pemantapan Sistem Pelatihan Pertanian terkait dengan UU No.

19/2013 Pasal 1 ayat 2: Pemberdayaan Petani adalah segala upaya untuk

meningkatkan kemampuan Petani untuk melaksanakan Usaha Tani yang lebih

baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan,

pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian, konsolidasi dan

jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi

dan informasi, serta penguatan Kelembagaan Petani.

Program Revitalisasi Pendidikan Pertanian telah didukung oleh UU No.

19/2013 Pasal 42 dan 44: Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya berkewajiban menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan

kepada Petani. Pendidikan dan pelatihan antara lain berupa: a. pengembangan

program pelatihan dan pemagangan; b. pemberian beasiswa bagi Petani untuk

mendapatkan pendidikan di bidang Pertanian; atau c. pengembangan pelatihan

kewirausahaan di bidang agribisnis. Petani yang sudah mendapatkan pendidikan

dan pelatihan serta memenuhi kriteria berhak memperoleh bantuan modal dari

Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

Persyaratan Petani yang berhak memperoleh bantuan modal dari

Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Menteri.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban meningkatkan keahlian dan

keterampilan Petani melalui pendidikan dan pelatihan secara berkelanjutan. Selain

Pemerintah dan Pemerintah Daerah, badan dan/atau lembaga yang terakreditasi

dapat melaksanakan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan Petani

dapat dilakukan melalui sertifikasi kompetensi. Petani yang telah ditingkatkan

kompetensinya melalui pendidikan dan pelatihan wajib menerapkan tata cara budi

daya, pascapanen, pengolahan, dan pemasaran yang baik untuk meningkatkan

kualitas dan daya saing secara berkelanjutan sesuai dengan Peraturan Menteri.

UU No. 19/2013 Pasal 7 ayat 3: Strategi Pemberdayaan Petani dilakukan

melalui: a. pendidikan dan pelatihan; b. penyuluhan dan pendampingan; c.

pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian; d. konsolidasi dan

jaminan luasan lahan Pertanian; e. penyediaan fasilitas pembiayaan dan

permodalan; f. Kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan infor-masi;

Page 144: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

135

dan g. penguatan Kelembagaan Petani; telah sejalan dengan Program

Pemantapan Sistem Penyuluhan Pertanian. Demikian pula dengan Pasal 46 dan

47: Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberi fasilitas penyuluhan dan

pendampingan kepada Petani. Pemberian fasilitas penyuluhan, berupa

pembentukan lembaga penyuluhan dan penyediaan penyuluh. Lembaga

penyuluhan dibentuk oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Penyuluhan dan

pendampingan dilakukan antara lain agar Petani dapat melakukan: a. tata cara

budi daya, pascapanen, pengolahan, dan pemasaran yang baik; b. analisis

kelayakan usaha; dan c. kemitraan dengan Pelaku Usaha. Setiap Orang dilarang

melakukan penyuluhan yang tidak sesuai dengan materi penyuluhan dalam

bentuk teknologi tertentu yang telah ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah

Daerah, kecuali yang bersumber dari pengetahuan tradisional.

Program Pengembangan Sistem Distribusi dan Stabilitas Harga Pangan

diperkuat dengan UU No. 19/2013 Pasal 30, bahwa Setiap Orang dilarang

mengimpor Komoditas Pertanian pada saat ketersediaan Komoditas Pertanian

dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan

Pemerintah. Kecukupan kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan Pemerintah

ditetapkan oleh Menteri. Demikian halnya dengan Program Pengembangan

Ketersediaan dan Penanganan Rawan Pangan telah didukung oleh UU No.

19/2013 Pasal 15, bahwa Pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi

Pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Kewajiban

mengutamakan produksi Pertanian dalam negeri dilakukan melalui pengaturan

impor Komoditas Pertanian sesuai dengan musim panen dan/atau kebutuhan

konsumsi dalam negeri. Dalam hal impor Komoditas Pertanian, menteri terkait

harus melakukan koordinasi dengan Menteri.

Program Peningkatan Kepatuhan, Kerja Sama dan Pengembangan Sistem

Informasi Perkarantinaan, terkait dengan UU No. 19/2013 Pasal 28, bahwa

Penetapan tempat pemasukan Komoditas Pertanian dalam kawasan pabean harus

mempertimbangkan: a. daerah sentra produksi Komoditas Pertanian dalam

negeri; dan b. kelengkapan instalasi karantina sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Page 145: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

136

3.9. Undang-Undang No. 7/2014 Tentang Perdagangan

3.9.1. Pokok-pokok amanat undang-undang

1. Isi UU No.7/2014 tentang Perdagangan yang relevan dalam keterkaitannya

dengan beberapa undang-undang lingkup pertanian adalah: (a) perdagangan

dalam negeri; (b) perdagangan luar negeri; (c) perlindungan dan

pengamanan perdagangan; dan (d) standarisasi.

Perdagangan dalam negeri

2. Pemerintah mengatur kegiatan perdagangan dalam negeri melalui kebijakan

dan pengendalian yang diarahkan pada: (a) peningkatan efisiensi dan

efektivitas distribusi; (b) peningkatan iklim usaha dan kepastian berusaha; (c)

pengintegrasian dan perluasan pasar dalam negeri; (d) peningkatan akses

pasar bagi produk dalam negeri; dan (e) perlindungan konsumen (Pasal 5:

ayat 1-2).

3. Dalam rangka pengembangan, pemberdayaan, dan penguatan Perdagangan

dalam negeri, pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau pemangku

kepentingan lainnya secara sendiri-sendiri atau bersama-sama mengupayakan

peningkatan penggunaan produk dalam negeri (Pasal 22).

4. Pemerintah dan pemerintah daerah mengendalikan ketersediaan barang

kebutuhan pokok dan/atau Barang penting di seluruh wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik,

dan harga yang terjangkau (Pasal 25). Dalam kondisi tertentu yang dapat

mengganggu kegiatan perdagangan nasional, pemerintah berkewajiban

menjamin pasokan dan stabilisasi harga barang kebutuhan pokok dan barang

penting (Pasal 26:1). Jaminan pasokan dan stabilisasi harga barang

kebutuhan pokok dan barang penting dilakukan untuk menjaga

keterjangkauan harga di tingkat konsumen dan melindungi pendapatan

produsen (Pasal 26:2).

Perdagangan Luar Negeri

5. Kebijakan dan pengendalian perdagangan luar negeri diarahkan untuk: (a)

peningkatan daya saing produk ekspor Indonesia; (b) peningkatan dan

perluasan akses pasar di luar negeri; dan (c) peningkatan kemampuan

Page 146: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

137

eksportir dan importir sehingga menjadi pelaku usaha yang andal (Pasal

38:2). Dalam rangka peningkatan daya saing nasional Menteri dapat

mengusulkan keringanan atau penambahan pembebanan bea masuk terhadap

barang impor sementara (Pasal 49:4).

6. Pemerintah dapat membatasi ekspor barang dengan alasan: (a) menjamin

terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; (b) menjamin ketersediaan bahan

baku yang dibutuhkan oleh industri pengolahan di dalam negeri; (c)

melindungi kelestarian sumber daya alam; (d) meningkatkan nilai tambah

ekonomi bahan mentah dan/atau sumber daya alam; (e) mengantisipasi

kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditas ekspor tertentu di pasaran

internasional; (f) menjaga stabilitas harga komoditas tertentu di dalam negeri

(Pasal 54:2). Pemerintah dapat membatasi impor barang dengan alasan: (a)

untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam

negeri; (b) untuk menjaga neraca pembayaran dan/atau neraca perdagangan

(Pasal 54:3).

Standardisasi

7. Barang yang diperdagangkan di dalam negeri harus memenuhi: (a) SNI yang

telah diberlakukan secara wajib; (b) persyaratan teknis yang telah

diberlakukan secara wajib (Pasal 57:1). Pelaku usaha dilarang

memperdagangkan barang di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang

telah diberlakukan secara wajib atau persyaratan teknis yang telah

diberlakukan secara wajib (Pasal 57:2).

Pelindungan dan pengamanan perdagangan

8. Dalam hal terjadi lonjakan jumlah barang impor yang menyebabkan produsen

dalam negeri dari barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing

dengan yang diimpor menderita kerugian serius atau ancaman kerugian

serius, pemerintah berkewajiban mengambil tindakan pengamanan

perdagangan untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian serius atau

ancaman kerugian serius dimaksud (Pasal 69:1). Tindakan pengamanan

perdagangan berupa pengenaan bea masuk tindakan pengamanan dan/atau

kuota (Pasal 69:2).

Page 147: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

138

3.10. Undang-Undang No. 14/1994 Tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)

3.10.1. Pokok-pokok amanat undang-undang

Kesepakatan Bidang Pertanian

Kesepakatan bidang pertanian meliputi tiga pilar, yaitu: (1) Akses pasar;

(2) Bantuan domestik; dan (3) Kompetisi ekspor.

Akses Pasar

(1) Konsesi akses pasar berkaitan dengan penurunan tariff dan komitmen

terkait lainnya; (2) Negara-negara anggota diharapkan tidak mempertahankan,

atau memerapkan kembali perlakuan-perlakuan serupa yang telah diamanatkan

untuk dikonversi menjadi tariff bea masuk, kecuali yang telah disepakati.

Pemberian Perlindungan Khusus

Langkah-langkah perlindungan terhadap produk pertanian dapat dilakukan

bila: (a) volume impor produk tersebut yang memasuki wilayah pabean negara

yang memperoleh konsesi telah melampaui tingkat yang telah ditetapkan; (b)

harga produk dimaksud telah turun dibawah harga “trigger” yang telah

ditetapkan.

Tingkat “trigger” ditentukan berdasarkan prinsip sbb: (a) bila akses pasar

bagi produk tersebut kurang/sama dengan 10%, maka “trigger” ditetapkan

sebesar 125%; (b) bila akses pasar produk tersebut lebih tinggi dari 10% tetapi

kurang dari 30%, maka “trigger” ditetapkan sebesar 110%; dan (c) bila akses

pasar produk tersebut lebih tinggi dari 30%, maka “trigger” ditetapkan sebesar

105%.

Tambahan bea masuk ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip sbb: (a) bila

perbedaan harga impor dengan harga “trigger” dari produk impor tersebut kurang

atau sama dengan 10% maka, maka tidak diperkenankan ada tambahan bea

masuk; (b) bila perbedaan harga impor dengan harga “trigger” dari produk impor

tersebut lebih dari 10% tapi kurang dari 40% , maka tambahan bea masuk

ditetapkan sebesar 30%; (c) bila perbedaan harga impor dengan harga “trigger”

dari produk impor tersebut lebih 40% tapi kurang dari 60% , maka tambahan bea

masuk ditetapkan sebesar 40%; (d) bila perbedaan harga impor dengan harga

Page 148: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

139

“trigger” dari produk impor tersebut lebih dari 60% tapi kurang dari 75% , maka

tambahan bea masuk ditetapkan sebesar 70%; (e) bila perbedaan harga impor

dengan harga “trigger” dari produk impor tersebut lebih dari 75%, maka

tambahan bea masuk ditetapkan sebesar 90%.

Komitmen Bantuan Domestik

(1) Penurunan bantuan domestik berlaku bagi seluruh perlakukan dukungan

domestik yang ditujukan kepada produsen komoditas pertanian dengan

pengecualian dukungan domestik yang tidak terkena penurunan seperti diatur

dalam lampiran 2. Komitmen tersebut dinyatakan dalam “Agregate Measure of

Support (AMS)”.

(2) Perlakuan pemerintah secara langsung atau tidak langsung ditujukan

untuk mendorong pembangunan pertanian dan pedesaan adalah bagian integral

dari program pembangunan negara-negara berkembang, dan subsidi input yang

ditujukan bagi keluarga berpendapatan rendah atau petani miskin sumber daya di

negara-negara berkembang dikecualikan dari komitmen penurunan bantuan

domestik tersebut.

(3) (a) Negara-negara anggota tidak diharuskan untuk memasukan dalam

AMS dan tidak diharuskan untuk mengurangi: (i) bantuan domestik spesifik

komoditas yang nilainya kurang dari 5% dari total nilai produksi pertanian; (ii)

bantuan domestik yang tidak spesifik komoditas dan nilainya kurang dari 5% dari

total nilai produksi pertanian; (b) Untuk negara-negara berkembang, persentase

de minimis sebesar 10% dari total nilai produksi pertanian.

Komitmen Kompetisi Ekspor

Setiap negara anggota dilarang menerapkan subsidi ekspor.

Komitmen Subsidi Ekspor

(1) Subsidi ekspor berikut terkena keharusan pengurangan: (a) pemberian

oleh pemerintah atau lembaga yang ditunjuk secara langsung, termasuk

pemberian secara natura, kepada perusahaan, industri, produsen produk

pertanian, koperasi, asosiasi produsen, atau badan pemasaran, yang berdampak

pada kinerja ekspor; (b) penjualan atau penyaluran untuk ekspor oleh pemerintah

atau lembaga yang ditunjuk tentang stok produk pertanian non-komersial pada

Page 149: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

140

harga lebih rendah dari harga produk serupa yang dikenakan pada pembeli di

pasar domestik; (c) pembayaran ekspor produk pertanian yang dibiayai

pemerintah, terlepas ada tidaknya melibatkan rekening milik publik, termasuk

pembayaran yang dibiayai dari sumber levy komoditas tersebut atau dari produk

pertanian sumber ekspor; (d) pemberian subsidi untuk mengurangi biaya

pemasaran ekspor (diluar pelayanan promosi dan pendampingan yang bersifat

umum), termasuk penanganan, biaya peningkatan produk dan pengolahan, dan

biaya transpor dan freight internasional; (e) biaya transpor dan freight domestik

untuk pengangkutan ekspor diberikan yang diberikan oleh pemerintah melebihi

yang diberikan untuk pemasaran domestik; (f) subsidi terhadap produk pertanian

yang terkandung dalam produk ekspor.

Perlakuan Khusus dan Berbeda (Special and Differential Treatment)

(1) Dalam rangka pengakuan bahwa perlakuan berbeda dan berpihak untuk

anggota-anggota negara berkembang sebagai bagian integral dari negosiasi,

perlakuan khusus dan berbeda perlu diberikan pada aspek-aspek yang relevan;

(2) Negara-negara berkembang perlu memiliki fleksibilitas untuk melaksanakan

komitmen penurunan dalam periode sampai 10 tahun. Negara-negara terbelakang

tidak diharuskan untuk melaksanakan komitmen penurunan.

Page 150: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

141

IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

4.1. Kesimpulan

1. Arah kebijakan pertanian seperti diamanatkan dalam berbagai undang-undang

lingkup pertanian secara umum konsisten dan saling mendukung satu sama

lain. Beberapa aspek bahkan sejalan dengan amanat yang terkandung dalam

undang-undang lintas sektor, khususnya UU No. 7/2014 tentang Perdagangan.

2. Beberapa aspek yang secara konsisten tercantum dalam beberapa undang-

undang diantaranya adalah: (a) pengembangan budi daya tanaman maupun

ternak dilakukan secara komprehensif meliputi semua segmen rantai nilai; (b)

pengembangan budi daya diarahkan untuk mewujudkan usaha yang memiliki

produktivitas tinggi, efisien, berdaya saing, dan mampu mensejahterakan para

pelakunya; (c)perlunya pemberdayaan dan perlindungan para pelaku usaha

dalam negeri, terutama petani/peternak; (d) perlunya memprioritaskan

penggunaan produk dalam negeri, termasuk benih/bibit dan sarana produksi;

(e) ekspor benih/bibit dan produk pertanian, terutama pangan pokok, hanya

dapat dilakukan setelah terpenuhinya kebutuhan konsumsi dan cadangan

pangan nasional; (f) impor produk-produk tersebut hanya dapat dilakukan

apabila produksi dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat

diproduksi di dalam negeri

3. Pengaturan tentang impor seperti tercantum pada beberapaUU pertanian dan

UU No. 7/2014 tentang Perdagangantidak sejalan dengan amanat Pasal 4 UU

No. 7/1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia

(WTO) yang menekankan pentingnya membuka akses pasar bagi semua

negara sehingga negara-negara anggota diharapkan tidak menerapkan aturan-

aturan yang menghambat akses pasar tersebut.

4. Tujuan, sasaran dan strategi pembangunan pertanian seperti tercantum dalam

Renstra Kementan 2015-2019 telah menjawab beberapa arah kebijakan yang

diamanatkan oleh beberapa undang-undang lingkup pertanian. Demikian juga

semua program dan kegiatan Kementan yang tercantum dalam Rencana Kerja

Page 151: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

142

(Renja) tahun 2016 secara umum konsisten dengan amanat yang tercantum

dalam beberapa pasal dari beberapa undang-undang lingkup pertanian.

5. Program dan kegiatan Kementan yang dikemas menurut unit kerja Eselon I

dan II menjawab amanat undang-undang terkait dengan: (a) ketersediaan

produk pangan dan pertanian dari hasil produksi dalam negeri; (b) penyediaan

benih/bibit dan sarana produksi lain; (b) penyediaan dan pemanfaatan sumber

daya lahan, air dan prasarana pertanain; (c) perlindungan tanaman dan ternak

dari gangguan OPT, penyakit hewan/ternak dan bencana alam; (d) fasilitasi

pengolahan dan pemasaran hasil untuk meningkatkan nilai tambah dan daya

saing.

4.2. Rekomendasi Kebijakan

1. Pengembangan komoditas pertanian diarahkan untuk mewujudkan sistem

produksi yang memiliki karakteristik: efisien, berdaya tahan (resilient), inklusif,

responsif terhadap kebutuhan konsumen dan sensitif terhadap lingkungan.

2. Fokus pengembangan tidak hanya terbatas pada sisi produksi tetapi meliputi

seluruh segmen dari rantai nilai. Selain mewujudkan koordinasi secara vertikal

antar segmen, kebijakan ini juga memperluas cakupan potensi peningkatan

pendapatan dari kegiatan off-farm.

3. Dalam rangka mendorong konsumsi pangan dan gizi sesuai standar,

meningkatkan pendapatan petani, serta merespon peluang pasar (domestik

dan internasional), maka pengembangan komoditas bernilai gizi tinggi dan

bernilai ekonomi tinggi (sayuran, buah-buahan, dan produk ternak) perlu

mendapat prioritas lebih tinggi.

4. Arah kebijakan tentang pengaturan impor komoditas pertanian, walaupun

ditekankan oleh beberapa undang-undang lingkup pertanian dan UU No.

7/2014 tentang Perdagangan, dalam impletantasinya perlu memperhatikan

pula UU No. 7/1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi

Perdagangan Dunia (WTO) terutama Pasal 4 tentang akses pasar. Amanat UU

No. 7/1994 juga diperkuat dengan hasil kesepakatan dalam berbagai forum

pertemuan multilateral (ASEAN, G-20, APEC, OECD, dll) yang menekankan

Page 152: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

143

perlunya mendorong perdagangan dunia yang terbuka, transparan dan tidak

diskriminatif.

5. Untuk mewujudkan konsistensi antar undang-undang dengan tetap

memperhatikan kekhasan masing-masing, perlu penyelarasan tentang ruang

lingkup pengaturan terutama untuk No. 12/1992 tentang Sistem Budi daya

Tanaman, UU No. 13/2010 tentang Hortikultura, UU No. 39/2014 tentang

Perkebunan, dan UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

UU No. 18/2012 tentang Pangan yang dinilai cukup komprehensif dapat

dijadikan sebagai acuan

Page 153: EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_14.pdfLAPORAN HASIL PENELITIAN EVALUASI DAN PENYESUAIAN ARAH KEBIJAKAN DALAM UNDANG-UNDANG

144

DAFTAR PUSTAKA

Indraningsih, K.S., Y. Supriyatna, W. Nahraeni, dan K. Suradisatra. 2012. Kajian

Legislasi Penyuluhan Pertanian mendukung Swasembada Pangan. Laporan Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Kementerian Pertanian. 2015. Rencana Strategis 2015-2019. Jakarta.

Sunarsih, Syahyuti, WK. Sejati, S. Wahyuni, dan M. Azis. 2015. Studi Penyusunan Strategi Pemberdayaan Petani Memperkuat Kedaulatan Pangan sebagai

Implementasi UUNo. 18 Tahun 2012. Laporan Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Sekretariat Negara RI. 1992. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12

Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman. Jakarta.

Sekretariat Negara RI. 1992. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun

1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. Jakarta.

Sekretariat Negara RI. 1994. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7

Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Jakarta.

Sekretariat Negara RI. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Jakarta.

Sekretariat Negara RI. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.

Sekretariat Negara RI. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Jakarta.

Sekretariat Negara RI. 2010. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura. Jakarta.

Sekretariat Negara RI. 2010. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.

Jakarta.

Sekretariat Negara RI. 2012. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun

2012 Tentang Pangan. Jakarta.

Sekretariat Negara RI. 2013. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Jakarta.

Sekretariat Negara RI. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan. Jakarta.

Sekretariat Negara RI. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41

Tahun 2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.