-
Laporan Hasil
Evaluasi Daerah Otonom
Hasil Pemekaran (EDOHP)
2011
Disusun oleh: Dengan dukungan:
Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri
Decentralization Support Facility
67992Pu
blic
Disc
losu
re A
utho
rized
Publ
ic Di
sclo
sure
Aut
horiz
edPu
blic
Disc
losu
re A
utho
rized
Publ
ic Di
sclo
sure
Aut
horiz
ed
-
Semua foto yang ada di halaman sampul merupakan Hak Cipta Bank
Dunia, mohon untuk tidak
digunakan tanpa ijin.
Laporan ini dicetak pada Bulan November 2011
-
Laporan Hasil
Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP)
2011
Disusun oleh:
Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri
Dengan dukungan:
-
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Kementerian Dalam Negeri telah menyelesaikan
Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP).
yang panjang sejak awal tahun 2010, melalui rangkaian kegiatan
persiapan, penyusunan instrumen, pengumpulan
data, analisis dan penulisan laporan. Hasil evaluasi ini sudah
disampaikan secara resmi
Pemerintah Daerah dan masyarakat pada acara Peringatan Hari
Otonomi Daerah Tahun 2011 tanggal 25 April
2011 di Istana Bogor. Selanjutnya, hasil EDOHP ini juga sudah
ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri
No. 120 277 Tahun 2011 tentang Penetapan Peringkat
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom Hasil
Pemekaran Tahun 1999 sampai dengan 2009.
Latar belakang dilaksanakannya EDOHP adalah untuk melengkapi
instrumen evaluasi terhadap pemerintahan
daerah yang telah diatur sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah
No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Melalui
ditetapkanlah mekanisme pelaksanaan EDOHP. Tujuan utama EDOHP
adalah untuk mengevaluasi dan memetakan
kinerja seluruh daerah otonom hasil peme
Hasil evaluasi ini merupakan sumber informasi yang sangat
bernilai bagi Pemerintah khususnya Keme
Dalam Negeri dalam menyempurnakan kebijakan mengenai
pemerintahan daerah terutama yang berkenaan
dengan mekanisme pembentukan daerah otonom baru. Selain itu,
hasil evaluas
pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dan program pembinaan
dan pengawasan yang lebih optimal bagi
seluruh daerah otonom sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhan
Untuk itu kami mengucapkan selamat dan terima kasih kepada
bersedia menjadi Tim Evaluator EDOHP
juga kepada pimpinan dan staf Direktorat
Direktorat Jenderal Otonomi Daerah yang telah bekerja keras
menyelesaikan kegiatan ini
Support Facility (DSF), kami juga mengucapkan terima kasih
atas
kerjasama yang baik yang telah terjalin selama ini.
Akhirnya kami berharap agar Laporan EDOHP ini
kebijakan otonomi daerah yang lebih
khususnya cita-cita otonomi daerah, terutama terwujudnya
masyarakat Indonesia yang lebih sejahtera, melalui
pemberian pelayanan publik yang lebih baik, dan meningkatnya
daya saing daerah
KEMENTERIAN DALAM NEGERI
REPUBLIK INDONESIA
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Kementerian Dalam Negeri telah menyelesaikan
Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP). Laporan evaluasi
ini dihasilkan dari sebuah proses evaluasi
melalui rangkaian kegiatan persiapan, penyusunan instrumen,
pengumpulan
data, analisis dan penulisan laporan. Hasil evaluasi ini sudah
disampaikan secara resmi kepada Pemerintah,
aerah dan masyarakat pada acara Peringatan Hari Otonomi Daerah
Tahun 2011 tanggal 25 April
2011 di Istana Bogor. Selanjutnya, hasil EDOHP ini juga sudah
ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri
1 tentang Penetapan Peringkat Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Otonom Hasil
engan 2009.
Latar belakang dilaksanakannya EDOHP adalah untuk melengkapi
instrumen evaluasi terhadap pemerintahan
daerah yang telah diatur sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah
No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Melalui Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 21
ditetapkanlah mekanisme pelaksanaan EDOHP. Tujuan utama EDOHP
adalah untuk mengevaluasi dan memetakan
eluruh daerah otonom hasil pemekaran sejak tahun 1999 sampai
dengan tahun 2009.
erupakan sumber informasi yang sangat bernilai bagi Pemerintah
khususnya Keme
Dalam Negeri dalam menyempurnakan kebijakan mengenai
pemerintahan daerah terutama yang berkenaan
dengan mekanisme pembentukan daerah otonom baru. Selain itu,
hasil evaluasi ini juga akan menjadi dasar
rtimbangan dalam merumuskan kebijakan dan program pembinaan dan
pengawasan yang lebih optimal bagi
seluruh daerah otonom sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhannya masing-masing.
Untuk itu kami mengucapkan selamat dan terima kasih kepada para
pakar/akademisi/pengamat yang telah
dia menjadi Tim Evaluator EDOHP. Penghargaan dan ucapan terima
kasih yang mendalam kami sampaikan
Direktorat Peningkatan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah
(PKEKD)
yang telah bekerja keras menyelesaikan kegiatan ini. Kepada
Support Facility (DSF), kami juga mengucapkan terima kasih atas
sumbangan pemikiran, dukung
kerjasama yang baik yang telah terjalin selama ini.
aporan EDOHP ini bisa memberikan sumbangan positif terhadap
yang lebih baik, demi tercapainya cita-cita bangsa dan Negara
Republik Indonesia,
cita otonomi daerah, terutama terwujudnya masyarakat Indonesia
yang lebih sejahtera, melalui
pemberian pelayanan publik yang lebih baik, dan meningkatnya
daya saing daerah.
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Kementerian Dalam Negeri telah menyelesaikan
Laporan evaluasi ini dihasilkan dari sebuah proses evaluasi
melalui rangkaian kegiatan persiapan, penyusunan instrumen,
pengumpulan
kepada Pemerintah,
aerah dan masyarakat pada acara Peringatan Hari Otonomi Daerah
Tahun 2011 tanggal 25 April
2011 di Istana Bogor. Selanjutnya, hasil EDOHP ini juga sudah
ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri
1 tentang Penetapan Peringkat Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Otonom Hasil
Latar belakang dilaksanakannya EDOHP adalah untuk melengkapi
instrumen evaluasi terhadap pemerintahan
daerah yang telah diatur sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah
No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
No. 21 Tahun 2010
ditetapkanlah mekanisme pelaksanaan EDOHP. Tujuan utama EDOHP
adalah untuk mengevaluasi dan memetakan
erupakan sumber informasi yang sangat bernilai bagi Pemerintah
khususnya Kementerian
Dalam Negeri dalam menyempurnakan kebijakan mengenai
pemerintahan daerah terutama yang berkenaan
i ini juga akan menjadi dasar
rtimbangan dalam merumuskan kebijakan dan program pembinaan dan
pengawasan yang lebih optimal bagi
para pakar/akademisi/pengamat yang telah
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang mendalam kami
sampaikan
Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah (PKEKD) pada
. Kepada Decentralization
dukungan pendanaan dan
memberikan sumbangan positif terhadap penyusunan
cita bangsa dan Negara Republik Indonesia,
cita otonomi daerah, terutama terwujudnya masyarakat Indonesia
yang lebih sejahtera, melalui
-
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
...............................................................................................................................................................
i
Daftar Isi
........................................................................................................................................................................
ii
Daftar Istilah
..................................................................................................................................................................
v
Summary
.......................................................................................................................................................................
vi
Ringkasan
.....................................................................................................................................................................
vii
Bab I Pendahuluan
.........................................................................................................................................................
1
Bab II Kerangka Pemikiran
.............................................................................................................................................
4
2.1 Tinjauan Teoritik dari Konsep Desentralisasi dan Pemekaran
Wilayah
..............................................................
4
2.2 Isu-isu Pokok Berkenaan Dengan Pembentukan Daerah Otonom
Baru .............................................................
8
Bab III Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran
......................................................................................................
10
3.1 EDOHP Untuk memetakan Kinerja DOHP
.........................................................................................................
10
3.2 Metode Evaluasi
................................................................................................................................................
10
3.3 Pelaksanaan EDOHP
..........................................................................................................................................
16
Bab IV Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil
Pemekaran Kabupaten/Kota ..........................................
17
4.1 Beberapa Kondisi/Karakteristik DOHP Kabupaten/Kota
...................................................................................
17
4.2 Indeks Total DOHP Kabupaten/Kota
.................................................................................................................
19
4.3 Faktor Kesejahteraan Masyarakat
.....................................................................................................................
21
4.4 Faktor Tata Pemerintahan yang Baik
................................................................................................................
24
4.5 Faktor Pelayanan Publik
....................................................................................................................................
27
4.6 Faktor Daya Saing
..............................................................................................................................................
29
4.7 Perbandingan Hasil EDOHP dengan Evaluasi Sejenis
........................................................................................
31
4.8 Peta Kinerja DOHP Kabupaten/Kota
.................................................................................................................
34
Bab V Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil
Pemekaran Provinsi
........................................................ 37
5.1 Kondisi/Karakteristik DOHP Provinsi
.................................................................................................................
37
5.2 Indeks Total
.......................................................................................................................................................
37
5.3 Indeks Faktor-faktor
..........................................................................................................................................
37
5.4 Perbandingan dengan Evaluasi Lain
..................................................................................................................
38
Bab VI Kesimpulan Dan Rekomendasi
.........................................................................................................................
40
6.1 Kondisi Umum
...................................................................................................................................................
40
6.2 Indikator Evaluasi yang Relatif Mudah dan Sulit dipenuhi
DOHP
.....................................................................
41
6.3 Implikasi Kebijakan
............................................................................................................................................
47
6.4 Penutup
.............................................................................................................................................................
53
Lampiran
......................................................................................................................................................................
55
Lampiran 1: Definisi Indikator EDOHP
.....................................................................................................................
55
Lampiran 2: Penggunaan Data Kuesioner
...............................................................................................................
70
Lampiran 3: Penghitungan Data Set
........................................................................................................................
75
Lampiran 4: Kinerja 198 DOHP Kabupaten/Kota
.....................................................................................................
78
Lampiran 5: Diagram Jaring Laba-laba Setiap Daerah Otonomi Hasil
Pemekaran per Provinsi .............................. 86
-
iii
Daftar Gambar
Gambar 3.1: Metode Pengukuran Indeks Evaluasi Daerah Otonomi
Hasil Pemekaran Baru ...................................... 11
Gambar 3.2: 4 Faktor, 14 Aspek dan Indikator dalam Penyusunan
Indeks EDOHP .....................................................
12
Gambar 3.3: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor
Kesejahteraan Masyarakat
..................................................... 15
Gambar 3.4: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor Tata
Pemerintahan yang Baik
................................................ 15
Gambar 3.5: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor Pelayanan
Publik
....................................................................
15
Gambar 3.6: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor Daya Saing
..............................................................................
15
Gambar 4.1: Proporsi DOHP berdasarkan Kepulauan dan Proses
Pemekaran............................................................
17
Gambar 4.2: Proporsi DOHP berdasarkan Wilayah dan Proses
Pemekaran
................................................................
17
Gambar 4.3: Proporsi DOHP Kabupaten dan Kota berdasarkan Usia
..........................................................................
17
Gambar 4.4: Proporsi DOHP Kabupaten dan Kota berdasarkan Proses
Pemekaran ...................................................
17
Gambar 4.5: Skor Total Kabupaten dan Kota
..............................................................................................................
19
Gambar 4.6: Skor Total berdasarkan Pulau/Kepulauan
..............................................................................................
19
Gambar 4.7: Skor Total berdasarkan Usia DOHP
.........................................................................................................
19
Gambar 4.8 Skor Total berdasarkan Proses Pemekaran
.............................................................................................
19
Gambar 4.9: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan
Kabupaten dan Kota ...........................................
22
Gambar 4.10: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan
Pulau/Kepulauan...............................................
22
Gambar 4.11: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan
Usia DOHP .........................................................
22
Gambar 4.12: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan
Proses Pemekaran ............................................
22
Gambar 4.13: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan
Kabupaten dan Kota ..................................... 25
Gambar 4.14: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan
Pulau/Kepulauan .......................................... 25
Gambar 4.15: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan
Usia DOHP .....................................................
25
Gambar 4.16: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan
Proses Pemekaran ........................................ 25
Gambar 4.17: Skor Faktor Pelayanan Publik berdasarkan Kabupaten
dan Kota .........................................................
27
Gambar 4.18: Skor Faktor Pelayanan Publik berdasarkan
Pulau/Kepulauan
..............................................................
27
Gambar 4.19: Skor Faktor Pelayanan Publik berdasarkan Usia DOHP
........................................................................
27
Gambar 4.20: Skor Pelayanan Publik berdasarkan Proses Pemekaran
.......................................................................
27
Gambar 4.21: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Kabupaten dan
Kota
...................................................................
30
Gambar 4.22: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Pulau/Kepulauan
........................................................................
30
Gambar 4.23: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Usia DOHP
..................................................................................
30
Gambar 4.24: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Proses Pemekaran
......................................................................
30
Gambar 5.1: Skor Total DOHP Provinsi
........................................................................................................................
37
Gambar 5.2: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat
..................................................................................................
38
Gambar 5.3: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik
..............................................................................................
38
Gambar 5.4: Skor Faktor Pelayanan
Publik..................................................................................................................
38
Gambar 5.5: Skor Faktor Daya Saing
...........................................................................................................................
38
-
iv
Daftar Tabel
Tabel 1.1: Penambahan Jumlah DOHP 1999-2009
........................................................................................................
1
Tabel 3.1: Daftar Nama Tim Evaluator EDOHP
............................................................................................................
16
Tabel 4.1: DOHP berdasarkan Usia dan Proses Pemekaran
........................................................................................
18
Tabel 4.2: DOHP berdasarkan Kepulauan dan Bentuk Administrasi
...........................................................................
18
Tabel 4.3: DOHP Kabupaten dengan Skor Total Tertinggi
...........................................................................................
20
Tabel 4.4: 10 Kota dengan Skor Total Tertinggi
...........................................................................................................
21
Tabel 4.5: 10 Kabupaten dengan Skor Tertinggi pada Faktor
Kesejahteraan Masyarakat .........................................
23
Tabel 4.6: 10 Kota dengan Skor Tertinggi pada Faktor
Kesejahteraan Masyarakat
................................................... 24
Tabel 4.7: 10 Kabupaten dengan Skor Tertinggi pada Faktor Tata
Pemerintahan ......................................................
25
Tabel 4.8: 10 Kota dengan Skor Tertinggi pada Faktor Tata
Pemerintahan yang Baik
............................................... 26
Tabel 4.9: 10 Kabupaten dengan Skor Faktor Pelayanan Publik
Tertinggi
..................................................................
28
Tabel 4.10: 10 Kota dengan Skor Faktor Pelayanan Publik
Tertinggi
..........................................................................
29
Tabel 4.11: 10 Kabupaten dengan Skor Faktor Daya Saing Tertinggi
..........................................................................
30
Tabel 4.12: 10 Kota dengan Skor Faktor Daya Saing Tertinggi
....................................................................................
31
Tabel 4.13: Perbandingan 10 Kabupaten Peringkat Teratas EDOHP
dan EKPPD .........................................................
32
Tabel 4.14: Perbandingan 10 Besar Kabupaten DOHP Hasil EDOHP dan
EKPPD untuk Kabupaten yang Berusia di
atas 3 Tahun
................................................................................................................................................................
33
Tabel 4.15: Perbandingan 10 Besar Kota Hasil EDOHP dan EKPPD
.............................................................................
33
Tabel 4.16: Estimasi Regresi Sederhana Skor Total
.....................................................................................................
34
Tabel 5.1: Perbandingan Peringkat Provinsi DOHP Hasil EDOHP dan
EKPPD
..............................................................
39
Tabel 6.1: Jumlah Kabupaten dan Kota yang Memiliki Skor di Atas
dan di Bawah Rata-rata ..................................... 47
-
v
DAFTAR ISTILAH
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
DAK : Dana Alokasi Khusus
DAU : Dana Alokasi Umum
DOHP : Daerah Otonom Hasil Pemekaran
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DSF : Decentralization Support Facility
EDOB : Evaluasi Daerah Otonom Baru
EDOHP : Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran
EKKPD : Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
EKPOD : Evaluasi Kemampuan Penyelengaraan Otonomi Daerah
EPDOP : Evaluasi Perkembangan Daerah Otonom Baru
GDS : Governance and Decentralization Survey
LPPD : Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
NGO : Non Government Organization
NPM : New Public Management
PDRB : Produk Domestik Regional Bruto
Permendagri : Peraturan Menteri Dalam Negeri
PP : Peraturan Pemerintah
UMKM : Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
UU : Undang-undang
WB : World Bank
-
vi
vi Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
SUMMARY
Since the enactment of Law 22/1999 on Regional Governance, there
has been a massive regional
proliferation phenomenon in Indonesia. Within the span of ten
years (1999-2009) as many as 7 new
provinces, 164 new kabupaten and 34 new kota have been created,
in total 205 proliferated regions
were established. Despite that rapid development there is still
no comprehensive evaluation to monitor
the progress and development of the new proliferated regions or
Daerah Otonom Hasil Pemekaran
(DOHP). Evaluation of Proliferated Autonomous Regions (EDOHP) is
required to complement other
existing regional government evaluations.
The evaluation measures 4 (four) factors namely public welfare,
public service, regional
competitiveness, and good governance, those factors then derived
into 14 variables/aspects and 31
indicators. The result of the evaluation shows the enormous
challenge faced by DOHP to conduct a good
performance in order to accomplish the objectives of regional
autonomy. A number of particular
indicators are in general easily met by the DOHP; however,
apparently there are more indicators that
seem to be difficult to meet by the DOHP. Thus, general
conclusion that can be drawn is that most DOHP
still have not accomplished the expected performance, a
condition which might be strongly related to
the establishment process as well as advancement and capacity
development provided for the DOHP.
This evaluation recommends the need for policy refinement and
better policy imposement regarding
procedure, method and process for proliferating new regions.
Furthermore, improvement of facilitation
and capacity development for DOHP also need to be done
intensively, by taking into account particular
needs of each DOHP. The age or maturity of the region become the
criteria in functional assignment,
regional capacity development, and in conducting advancement and
monitoring of the DOHP.
In order to improve the quality of democracy in the regions, the
government needs to encourage the
availability and enforcement of policies on government
transparency and accountability as well as
citizen participation both in central and regional level.
Moreover, to improve public welfare, the
government needs to encourage the regions to be able to
formulate a pro poor development program.
In this case the government needs to press on efficiency of
regional budget utilization as well as to
refine regional budget transfer policy. Whereas to improve
regional competitivenes of the DOHP, the
government needs to push DOHP to formulate program and strategy
to improve a condusive business
climate in the DOHP.
-
vii
PAGE \*
MERGEFORRingkasan
RINGKASAN
Sejak disahkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, telah terjadi
fenomena pemekaran daerah yang sangat massif di Indonesia. Dalam
satu dekade saja (1999-2009)
telah terbentuk daerah otonom baru sebanyak 7 provinsi, 164
kabupaten dan 34 kota, sehingga total
bertambah 205 daerah otonom baru. Dalam kurun waktu 10 tahun
tersebut belum dilakukan evaluasi
yang cukup komprehensif terhadap seluruh daerah otonom hasil
pemekaran (DOHP) tersebut. Evaluasi
Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP) dilaksanakan untuk
melengkapi evaluasi-evaluasi
pemerintahan daerah yang sudah ada sebelumnya
Evaluasi dilakukan dengan mengukur empat faktor yaitu
kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik,
daya saing daerah, dan tata pemerintahan yang baik, yang
kemudian diturunkan dalam 14
variabel/aspek dan 31 indikator penilaian. Hasil evaluasi
menunjukkan besarnya tantangan yang
dihadapi oleh DOHP untuk dapat menunjukkan kinerja daerah yang
baik sehingga dapat mencapai
tujuan otonomi daerah, yang secara normatif menjadi alasan
dilakukannya pemekaran daerah-daerah
tersebut. Pada sejumlah indikator tertentu secara umum DOHP
terlihat mudah untuk melaksanakan,
namun ternyata ada lebih banyak indikator dimana DOHP terlihat
kesulitan untuk dapat
melaksanakannya. Kesimpulan umum yang dapat disampaikan adalah
bahwa sebagian besar DOHP
masih belum menunjukkan kinerja yang diharapkan, dimana hal
tersebut kemungkinan berkaitan
dengan proses pembentukannya maupun pembinaan yang diberikan
kepada DOHP tersebut.
Evaluasi ini merekomendasikan perlunya penyempurnaan kebijakan
dan ketegasan pelaksanaan
kebijakan mengenai cara dan proses pembentukan daerah otonom
baru. Peningkatan fasilitasi dan
pengembangan kapasitas DOHP juga perlu dilakukan dengan
sungguh-sungguh, dengan
mempertimbangkan kebutuhan khusus tiap DOHP, faktor usia atau
kematangan daerah menjadi kriteria
dalam pembagian urusan, pengembangan kapasitas daerah, dan dalam
melakukan pembinaan dan
pengawasan pada DOHP.
Untuk dapat meningkatkan kualitas demokrasi di daerah,
pemerintah perlu mendorong ada dan
berfungsinya kebijakan mengenai transparansi dan akuntabilitas
pemerintahan serta partisipasi
masyarakat baik di pusat maupun daerah. Untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pemerintah
perlu mendorong daerah mampu mengembangkan program pembangunan
yang pro poor. Dalam hal ini
pemerintah juga perlu mendorong peningkatan efisiensi penggunaan
anggaran daerah dan
menyempurnakan kebijakan transfer anggaran daerah. Sementara
untuk meningkatkan daya saing
DOHP, pemerintah perlu mendorong DOHP menyusun strategi dan
program yang dapat meningkatkan
iklim usaha yang kondusif di DOHP.
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
Tarik Ulur Pemekaran dan Moratorium Pemekaran Daerah. Sejak
disahkannya UU No. 22 Tahun 1999
mengenai Pemerintahan Daerah yang membuka keran bagi pembentukan
daerah otonom baru, telah
terjadi penambahan jumlah daerah secara signifikan di Indonesia
(lihat Tabel 1.1). Lonjakan drastis
jumlah daerah otonom baru ditambah dengan masih banyaknya usulan
pembentukan daerah otonom
baru yang masuk ke pemerintah dan DPR memunculkan sejumlah
pertanyaan mendasar mengenai
urgensi dan manfaat dari pemekaran daerah tersebut. Pemerintah
telah melakukan beberapa upaya
pengendalian atas tingginya tuntutan pemekaran yang cenderung
kurang memperhitungkan prasyarat
kelayakan dan kesiapan daerah untuk dimekarkan. Upaya tersebut,
diantaranya melalui moratorium
atau penghentian sementara proses pembentukan daerah otonom
baru, serta penyempurnaan
peraturan perundang-undangan tentang persyaratan dan tatacara
pembentukan daerah otonom.
Arah kebijakan pemekaran daerah
dan pembentukan daerah otonom
baru masih menjadi polemik. Pro
dan kontra pembentukan daerah
otonom baru tidak hanya
melibatkan masyarakat di daerah
tetapi juga aktor-aktor dari
lembaga penyelenggara negara
yang berbeda, yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden,
dan pejabat pemerintah.
Ketidaktersediaan informasi
tentang kinerja daerah otonom
hasil pemekaran membuat
pemerintah menjadi terlihat
gamang ketika dihadapkan pada
keinginan warga dan berbagai
kelompok kepentingan di daerah untuk membentuk daerah otonom
baru. Sementara aspirasi warga dan
kelompok kepentingan untuk membentuk daerah otonom baru terus
mengalir bukan hanya ke DPR
tetapi juga ke Kementerian Dalam Negeri. Sejak 1999 sampai
dengan bulan April 2011 sudah ada sekitar
153 usulan pembentukan daerah otonom baru, sekitar dua puluhan
diantaranya sudah ada di DPR, yang
harus segera direspon oleh pemerintah.
Untuk mengisi kekosongan informasi tersebut pemerintah telah
melakukan serangkaian evaluasi
terhadap daerah seperti evaluasi kinerja penyelenggaraan
pemerintahan daerah (EKPPD) dan evaluasi
daerah otonom baru (EDOB), yang diatur dalam PP No. 6 Tahun 2008
tentang Pedoman Evaluasi
Tabel 1.1: Penambahan Jumlah DOHP 1999-2009
Tahun Provinsi Kabupaten Kota Total
Sebelum Tahun 1999 26 234 59 319
1999 2 34 9 45
2000 3 - 3
2001 - - 12 12
2002 1 33 4 38
2003 - 47 2 49
2004 1 - - 1
2005 - - - -
2006 - - - -
2007 - 21 4 25
2008 - 27 3 30
2009 - 2 - 2
DOHP Pasca UU No. 22/1999 7 164 34 205
Total Pemda (2009) 33 398 93 524
Sumber: Permendagri No. 21 Tahun 2010.
-
2
2 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.1 EKPPD yang diselenggarakan
setiap tahun dan melibatkan
semua daerah, mestinya dapat menjadi instrumen untuk
mengevaluasi kinerja daerah otonom baru
sekaligus membandingkannya dengan kinerja daerah lainnya,
termasuk kinerja daerah induk. Namun
sejauh ini EKPPD tidak dirancang untuk mengevaluasi kinerja
daerah dalam mencapai tujuan
pembentukan daerah, melainkan untuk mengevaluasi kinerja daerah
secara umum sehingga kurang
mampu secara tegas menjawab apakah pembentukan daerah otonom
tersebut benar-benar mampu
menghasilkan perubahan sebagaimana dulu dijanjikannya ketika
pembentukan daerah.
Untuk evaluasi DOB, pemerintah melakukan Evaluasi
Penyelenggaraan Daerah Otonom Baru
(EPDOB),2 yang secara khusus dirancang untuk mengevaluasi
kesiapan DOB, yaitu daerah otonom
hasil pemekaran yang usianya 3 tahun dan yang kurang dari 3
tahun. EPDOB memusatkan
perhatiannya pada evaluasi kesiapan DOB dalam menyiapkan
kelembagaan daerah seperti DPRD dan
satuan kinerja pemerintah daerah (SKPD), pengisian jabatan pada
SKPD, dan rekrutmen pegawai, dsb.
Karena EPDOB hanya memusatkan pada penilaian tentang kesiapan
infrastruktur pemerintahan daerah
maka informasi yang dihasilkannya menjadi kurang memadai untuk
menilai kinerja secara umum dari
pemerintah DOHP. Untuk dapat menilai kapasitas dan kinerja DOHP
dalam mencapai tujuan
pembentukannya maka kajian tentang kapasitas dan kinerja DOHP
perlu dirancang secara spesifik dan
dilakukan.
Disamping evaluasi yang telah dilakukan oleh pemerintah,
beberapa penelitian tentang efek dari
pemekaran daerah telah dilakukan oleh berbagai pihak, seperti:
lembaga donor, NGO, dan perguruan
tinggi. Penelitian tersebut umumnya mengkaji efek dari
fragmentasi atau pemekaran daerah terhadap
pelayanan publik, efisiensi, dan stabilitas politik di daerah.
Berbagai penelitian tersebut umumnya
mengungkapkan akibat dan efek negatif dari pemekaran daerah.
Bahkan, analisis yang secara spefisifk
dirangcang untuk menilai manfaat dan kerugian dari pembentukan
daerah juga telah dilakukan.3
Namun, karena kajian-kajian itu tidak secara menyeluruh
mengevaluasi kapasitas daerah otonom baru
tersebut dalam mewujudkan nilai-nilai yang dulu mendasari
pembentukannya, informasi yang dihasilkan
dinilai belum memadai untuk menata kembali pengaturan kembali
tentang pembentukan daerah
otonom.
1 Kebijakan mengenai evaluasi penyelenggaraaan pemerintahan
daerah terbilang terlambat. Meskipun UU tentang
pemerintahan daerah sudah mulai efektif berlaku tahun 2001,
namun baru pada tahun 2008 pemerintah dapat menyusun
kebijakan evaluasinya, yaitu dengan diterbitkannya Peraturan
Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2008. 2 Sebagai implementasi dari
ketentuan mengenai EDOB, Kemendagri mengeluarkan Permendagri No. 23
Tahun 2010 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Perkembangan Daerah Otonom Baru
(EPDOB). EPDOB merupakan penilaian perkembangan
penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan data/informasi hasil
monitoring daerah otonom baru. Penilaian tersebut
dilakukan pada 2 tahap, yaitu perkembangan awal DOB usia dibawah
3 tahun dan perkembangan lanjutan DOB usia 4-5 tahun. 3 Penelitian
yang dilakukan oleh DSF (2007) menyimpulkan kerugian dari pemekaran
daerah jauh lebih besar dari manfaatnya.
Penelitian ini merekemondasikan pemerintah untuk meninjau
kembali kebijakan tentang pembentukan daerah dengan
menghilangkan insentif yang dimiliki membentuk daerah otonom
baru utamanya dalam alokasi DAU dan memperketat
prosedur pembentukan daerah baru. Namun, kajian dari analisis
ini terbatas pada efek dari pembentukan daerah baru dan
tidak secara menyeluruh mengkaji efek terbentuknya daerah baru
dan implikasinya terhadap pencapaian tujuan pembentukan
daerah.
-
3
3 Pendahuluan
Pembentukan daerah otonom baru dilakukan umumnya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat,
memperbaiki pelayanan publik, meningkatkan daya saing daerah,
dan mewujudkan tata
pemerintahan yang baik. Keempat hal tersebut menjadi argumentasi
yang sering diucapkan oleh para
penggagas pembentukan daerah. Pembentukan daerah yang marak
selama satu dekade terakhir ini,
telah menimbulkan pertanyaan tentang apakah pembentukan daerah
otonom baru benar-benar
membawa daerah kepada pencapaian tujuan tersebut. Untuk
melengkapi EPDOB yang hanya
mengevaluasi daerah otonom baru yang berusia 0-5 tahun,
dipandang perlu dilakukan evaluasi
terhadap seluruh daerah otonom baru yang telah terbentuk sejak
tahun 1999, yang kemudian disebut
sebagai Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP). Kementerian Dalam
Negeri melalui Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 21/2010 menetapkan perlunya dilakukan
Evaluasi Daerah Otonom Hasil
Pemekaran (EDOHP). Evaluasi ini pada dasarnya ingin mencari
jawaban atas pertanyaan: Dari empat
tujuan otonomi darah, tujuan mana yang telah berhasil
diwujudkan? Tujuan yang mana yang belum
berhasil diwujudkan? Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah
untuk meningkatkan kapasitas daerah
dalam mewujudkan berbagai tujuan tersebut di atas? Untuk
menjawab tujuan tersebut di atas maka
evaluasi DOHP dilakukan.
Sementara, untuk menanggapi usulan pembentukan DOHP baru,
pemerintah dan DPR membutuhkan
informasi yang akurat dan solid tentang kapasitas dan kinerja
daerah otonom baru yang selama ini
telah terbentuk. Informasi tersebut diperlukan untuk mengetahui
apakah pembentukan DOHP berhasil
mencapai tujuannya, yaitu: meningkatnya kesejahteraan
masyarakat, terwujudnya pelayanan publik,
meningkatnya kualitas governance, dan meningkatnya daya saing.
Informasi ini penting untuk
mengetahui apakah proses pembentukan daerah yang selama ini
dilakukan telah benar-benar mampu
membuat DOHP tersebut berhasil memenuhi janjinya. Apakah proses
yang selama ini terjadi justru
menghasilkan DOHP yang kurang mampu mewujudkan janji dan tujuan
pembentukannya? Apa yang
harus dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin agar pembentukan
DOHP benar-benar mampu
memenuhi janjinya memperbaiki kesejahteraan masyarakat,
pelayanan publik, kualitas
ketatapemerintahan, dan daya saing daerah?
-
4
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Teoritik dari Konsep Desentralisasi dan Pemekaran
Wilayah
Penataan daerah menjadi isu penting dalam kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah di
Indonesia. Fragmentasi spasial yang semakin tinggi terkait
dengan semakin intensnya penambahan
jumlah daerah otonom di Indonesia selama dekade terakhir ini
telah menimbulkan berbagai pertanyaan
tentang apakah pembentukan daerah otonom baru itu benar-benar
memberi manfaat bagi daerah,
negara, dan warganya. Sejak PP 129 tahun 2000 membuka keran bagi
daerah untuk mengusulkan
pembentukan daerah baru, sampai dengan tahun 2009 telah
terbentuk 205 DOHP, yang terdiri dari 7
provinsi, 163 kabupaten, dan 34 kota.4 Berbagai studi telah
dilakukan untuk mengevaluasi pembentukan
DOHP, namun sejauh ini belum ada evaluasi yang menyeluruh baik
dilihat dari cakupan jumlah DOHP
ataupun aspek yang dinilai.
Pembentukan DOHP yang relatif masif dalam dekade terakhir ini
dan banyaknya usulan untuk
pembentukan DOHP baru telah menimbulkan kontroversi di kalangan
akademisi, praktisi, dan para
politisi. Pro dan kontra tentang fragmentasi daerah melalui
pembentukan daerah otonom baru dan
pemecahan satu daerah kedalam dua atau lebih DOB menjadi
keniscayaan. Masing-masing pihak
memiliki argumentasinya sendiri untuk mendukung posisinya
terhadap pembentukan DOHP. Kajian yang
lebih menyeluruh diperlukan untuk mengklarifikasi argumen dari
masing-masing pihak dan
mengumpulkan fakta-fakta untuk memperjelas klaim dari
pembentukan DOHP selama ini, terutama
terkait dengan implikasinya terhadap kesejahteraan rakyat,
perbaikan kualitas governance, perbaikan
pelayanan publik, dan peningkatan daya saing daerah.
Kontroversi tentang fragmentasi dan konsolidasi daerah telah
lama berkembang dalam kajian
pemerintahan dan administrasi publik. Para pengikut teori public
choice menganggap fragmentasi
daerah, misalnya melalui pembentukan daerah baru, sebagai
sesuatu yang positif karena semakin
banyak daerah akan membuat kompetisi daerah dalam menawarkan
pelayanan, pajak, dan fasilitas
investasi menjadi semakin tinggi. Jika mobilitas warga dan
kapital tidak memiliki kendala, semakin
banyak daerah akan memberi semakin banyak pilihan untuk
berinvestasi. Daerah akan terdorong untuk
menawarkan fasilitas, kemudahan, dan pelayanan kepada warga
untuk menarik investasi masuk ke
daerahnya. Fragmentasi daerah karenanya dapat menciptakan
tekanan pada daerah lainnya untuk
memperbaiki daya saingnya dalam memperebutkan investasi yang
terbatas.
Dari perspektif ilmu politik dan pemerintahan, pembentukan DOHP
seringkali didasarkan pada
argumentasi untuk membuat jarak fisik dan kejiwaan antara warga
dengan pemerintahnya menjadi
4 PP 129 Tahun 2000 kemudian direvisi dengan PP 78 Tahun 2007.
Revisi dilakukan untuk memperketat proses pembentukan
daerah otonom baru dengan menambah persyaratan dan proses
pengusulan pembentukan daerah otonom baru.
-
5
5 Kerangka Pemikiran
semakin dekat (reciproxity).5 Ketika jarak fisik antara warga
dengan pemerintah dan para pejabatnya
menjadi semakin dekat maka warga akan menjadi semakin mudah
berpartisipasi dalam kegiatan
pemerintahan. Aspirasi dan kepentingan warga menjadi semakin
mudah tersalurkan dalam proses
kebijakan daerah. Representasi warga dalam proses pembuatan
kebijakan publik di daerah juga akan
menjadi semakin tinggi. Jika hal tersebut terjadi maka kebijakan
pemerintah daerah akan menjadi
semakin responsif terhadap kebutuhan warganya dan rasa
kepemilikan warga terhadap kebijakan
daerah juga menjadi semakin kuat. Kedekatan jarak fisik juga
membuat warga semakin mudah
mengontrol jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah. Karena
itu fragmentasi daerah bukan
hanya akan membuat pemerintah menjadi semakin partisipatif
tetapi juga dapat memperbaiki
akuntabilitas pemerintahan.
Dari sisi kejiwaan, kedekatan warga dengan pemerintah dan para
pejabatnya akan membuat
hubungan emosional antara pemerintah dengan warganya akan
menjadi semakin mudah dibangun.
Ketika hubungan emosional warga dengan pemerintah dan para
pejabatnya menjadi semakin kuat maka
afeksi warga terhadap terhadap pemerintah menjadi semakin kuat
pula. Karena itu tidak mengherankan
kalau beberapa pihak sering mengklaim fragmentasi daerah dapat
membuat meningkatkan kepercayaan
publik terhadap pemerintahnya.6 Fragmentasi daerah dapat membuat
jarak kejiwaan antara pemerintah
dengan warganya menjadi semakin dekat dan warga menjadi semakin
mudah menilai apakah
pemerintah peduli kepada kepentingan, dapat dipercaya, dan mampu
memenuhi kebutuhannya.
Fragmentasi daerah sering juga dijadikan alasan untuk
memperbaiki akses warga terhadap
pelayanan publik. Beberapa pengalaman pembentukan dan pemekaran
daerah di beberapa negara
lainnya seperti Polandia menunjukan bagaimana fragmentasi daerah
dijadikan sebagai argumentasi
untuk meningkatkan akses warga terhadap pelayanan publik.7
Ketika daerah baru dibentuk, atau
dipecah menjadi beberapa daerah baru, maka pusat kegiatan
pemerintahan dan pelayanan publik akan
menjadi semakin dekat dengan tempat tinggal warga. Ketika lokasi
penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan dan pelayanan publik menjadi semakin dekat maka
tentu warga akan menjadi semakin
mudah mengakses pelayanan publik dan karenanya pelayanan publik
akan menjadi semakin efisien pula.
5 Meluasnya pengaruh New Public Management (NPM) di banyak
negara maju di Barat yang kemudian diikuti oleh banyak
negara-negara sedang berkembang ikut memperkuat argumentasi
perlunya fragmentasi daerah. Fragmentasi daerah dinilai
dapat mempermudah terwujudnya desentralisasi, partisipasi,
kewirausahaan, dan inovasi dalam pelayanan publik dan
penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tesis utama dari
gerakan NPM. Penyebaran kekuasaan kepada daerah akan
membuat proses pemerintahan dan pelayanan publik dapat
memperkuat tata-pemerintahan yang partisipatif, inovatif, dan
akuntabel. 6 Hasil Governance and Decentralization Survey (GDS)
2006 menunjukan bahwa semakin rendah tingkat pemerintahan
semakin
tinggi tingkat kepercayaan publik. Para pemangku kepentingan di
daerah cenderung memiliki kepercayaan yang lebih tinggi
kepada pemerintahan desa dibandingkan dengan pemerintah
kabupaten/kota, provinsi, dan pusat. Pemerintah kabupaten/kota
menikmati kepercayaan publik yang lebih tinggi daripada
pemerintah provinsi, dst. Salah satu penyebabnya karena jarak
fisik
dan kejiwaan semakin rendah untuk tingkat pemeirntahan yang
lebih rendah. Diskusi tentang hal ini dapat dibaca dalam
Dwiyanto, Agus, 2007. Kinerja Tata Pemerintahan Daerah, Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM: Yogyakarta. 7 Swianiewicz,
Pawel and Mikolaj Herbst, Economies and Diseconomies of Scale in
Polish Local Governments on Pawel
Swianiewicz, Consolidation or Fragmentation?: The Size of Local
Governments in Central and Eastern Europe. Open Society
Institute. Budapest. 2002:225.
-
6
6 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Pembentukan daerah baru sering juga didorong oleh pertimbangan
keadilan sosial. Ketika
sekelompok warga merasa bahwa keberadaannya kurang diperhatikan
oleh pemerintah dan
diperlakukan secara tidak adil oleh kelompok mayoritas yang
mengusai pemerintah daerah maka
keinginan untuk membentuk daerah sendiri menjadi mengemuka.
Apalagi ketika kelompok tersebut
memiliki ciri-ciri sosial yang sama seperti etnisitas, agama,
kesejarahan dan tingkat kohesivitas yang
tinggi maka kecenderungan untuk menuntut pembentukan
pemerintahan daerah sendiri cenderung
amat tinggi. Kelompok warga tersebut beranggapan bahwa ketika
mereka memiliki pemerintahan
daerah sendiri maka mereka akan mengelola kepentingan mereka
menjadi lebih efektif dan responsive
sehingga kemakmuran warganya juga akan menjadi semakin baik.
Pembentukan daerah baru dianggap
dapat menjadi solusi terhadap ketidakadilan dalam hubungan antar
kelompok tetapi juga dapat
memperkuat indentitas kelompok dan daerah.
Dalam aras yang berbeda, muncul beberapa pemikiran yang
mendorong terjadinya integrasi wilayah,
seperti yang terkandung dalam teori-teori new regionalism, new
functionalism, hak properti (property
right), dan biaya transaksi.8 Semua teori tersebut dengan
argumentasinya masing-masing menjelaskan
pentingnya integrasi wilayah dilakukan karena hal tersebut dapat
memberi manfaat yang tidak dapat
diperoleh ketika satu daerah atau wilayah berdiri sendiri.
Teori-teori tersebut dapat menjelaskan
mengapa beberapa negara seperti Jepang, Kanada, Amerika Serikat,
Australia, Denmark, dan Afrika
Selatan melakukan konsolidasi daerah dengan mendorong integrasi
dua atau lebih satuan pemerintahan
menjadi satuan yang lebih luas.9 Penggabungan daerah umumnya
dilakukan pada tingkat
kabupaten/kota (municipalities).10
Perspektif new regionalism menjelaskan bagaimana integrasi
wilayah dapat memperkuat identitas
wilayah, mendorong mereka untuk fokus pada masalah bersama, dan
mengatasi berbagai masalah
yang muncul karena saling ketergantungan yang terjadi pada
wilayah itu.11
Walaupun perspektif ini
banyak digunakan untuk menjelaskan integrasi wilayah
antarnegara, seperti yang terjadi di dalam Uni
Eropa, namun perspektif ini banyak juga digunakan untuk
menjelaskan pentingnya integrasi wilayah
dalam suatu negara. Integrasi wilayah dapat memperbesar skala
ekonomi dan membuat produksi
barang dan jasa menjadi lebih murah.
Sebagaimana new regionalism, teori-teori new functionalism12
juga menjelaskan bahwa dalam
masyarakat industrial ketergantungan antar sektor akan menjadi
semakin kuat dan integrasi sektoral
8 Diskusi tentang bagaimana perspektif new regionalism digunakan
untuk menjelaskan pengalaman Negara-Negara Eropa dan
Amerika Latin dalam mereformasi kelembagaan seperti: pelembagaan
perencanaan wilayah, perluasan ruang politik bagi
wilayah dalam pembentukan struktur governance pada tingkat meso,
dan konsolidasi daerah pada tingkat wilayah dapat dibaca
dalam Scot, James W., 2009. De-Coding New Regionalism: Shifting
Social-Political Contexts In Central Europe and Latin America,
Farnham, Surrey: Asghate Publishing Limited 9 Gabe Ferrazi,
2007. International Experience in Territorial Reform, Implications
for Indonesia, USAID DRSP for the Management
Group on Territorial Reform 10
Di Amerika Serikat konsolidasi dilakukan pada tingkat school
board, selama tahun 1952-1982 pemerintah Amerika Serikat
berhasil menggabungkan 64,355 menjadi 18, 851, Ferazi, ibid
11
Mattli, Walter, 2003. The Logic of Regional Integration, New
York: Cambridge University Press 12
ibid
-
7
7 Kerangka Pemikiran
tidak dapat dilakukan dengan mudah ketika terjadi fragmentasi
wilayah. Integrasi wilayah tidak
secara otomatis terjadi, tetapi melalui sebuah proses sosial dan
politik yang melibatkan kepentingan
para aktor dan pergeseran nilai-nilai yang terjadi dalam
masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut.
Integrasi wilayah akan dapat dengan mudah dilakukan ketika
masing-masing daerah mengalami
kesulitan untuk menyelesaikan masalahnya sendirian. Kebutuhan
untuk menyelesaikan masalah
bersama tersebut sering menjadi faktor pendorong terjadinya
integrasi wilayah. Integrasi wilayah dapat
membuat mereka dapat memaksimalkan pencapaian kesejahteraan.
Kedua perspektif ini, new
regionalism dan new functionalism, menjelaskan bahwa integrasi
wilayah menjadi kebutuhan yang tak
terhindarkan karena adanya saling ketergantungan antarwilayah
dan antarsektor yang tidak mungkin
diselesaikan oleh satu daerah sendirian dan adanya kebutuhan
untuk memaksimalkan kemampuan
mereka dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Teori hak properti menjelaskan bahwa kebutuhan untuk adanya
pengaturan kelembagaan baru
diperlukan karena adanya eksternalitas. Ketika manfaat/kerugian
dari satu kegiatan melewati batas-
batas jurisdiksi satu daerah maka para pihak yang ingin
melakukan internalisasi pasar akan menuntut
perubahan kelembagaan, ketika mereka menilai manfaat dari
internalisasi itu akan melebihi dari
biayanya. Walaupun teori ini dikembangkan untuk menjelaskan
perubahan kelembagaan dalam pasar
namun sebenarnya penerapannya juga dapat digunakan untuk
menjelaskan munculnya kebutuhan
integrasi kelembagaan dan wilayah. Ketika muncul kebutuhan untuk
menginternalisasikan kegiatan
ekonomi, pembangunan, dan pelayanan publik yang seringkali
melewati batas-batas administratif satu
daerah maka integrasi wilayah menjadi salah satu pilihan yang
dapat dilakukan. Teori ini berpendapat
bahwa sebenarnya kebutuhan untuk melakukan integrasi wilayah
dapat muncul dari bawah, yaitu ketika
para aktor di daerah ingin menginternalisasikan manfaat dari
kegiatan ekonomi dan pelayanan publik.
Sedangkan teori biaya transaksi, yang banyak dikembangkan dalam
ekonomi kelembagaan,
berargumentasi bahwa fragmentasi daerah akan membuat biaya untuk
menangkap keuntungan dari
pertukaran dalam pasar menjadi lebih tinggi. Perbedaan struktur
governance antar daerah, termasuk
peraturan dan prosedur, yang harus direspon oleh para pelaku
pasar membuat biaya transaksi menjadi
lebih mahal. Biaya transaksi disini mencakup semua biaya yang
diperlukan merumuskan,
menegosiasikan, memonitor, dan memaksakan kepatuhan terhadap
kontrak. Ketika fragmentasi daerah
menjadi semakin tinggi maka biaya yang harus dibayar untuk
memastikan daerah memiliki kinerja yang
baik dalam mengelola kegiatan ekonomi dan pelayanan publik di
daerah juga menjadi semakin mahal.
Kegiatan monitoring dan koordinasi antar susunan pemerintahan
dan para pejabatnya menjadi semakin
mahal. Semakin tinggi fragmentasi daerah semakin besar biaya
transaksi yang harus dibayar oleh negara
dan warganya. Keinginan untuk memperkecil biaya transaksi
menjadi salah satu faktor yang mendorong
adanya kebutuhan untuk melakukan konsolidasi dan integrasi
daerah.
Berbagai teori di atas menjelaskan mengapa banyak negara dalam
beberapa dekade terakhir ini
berusaha melakukan konsolidasi dan integrasi daerah. Integrasi
menawarkan banyak kesempatan dan
manfaat yang tidak mungkin diperoleh oleh daerah, para pelaku
ekonomi, dan warga pada umumnya,
ketika mereka memiliki wilayah yang terfragmentasi kedalam
wilayah yang sempit. Namun, kebutuhan
untuk melakukan integrasi sering tidak dapat diwujudkan karena
banyak sekali kendala yang dihadapi
oleh daerah dan negara dalam mewujudkan integrasi wilayah. Ada
banyak kendala dalam supply untuk
-
8
8 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
integrasi wilayah, terutama kemauan elit politik di daerah. Jika
elit politik di daerah menilai otonomi
politik lebih penting dari berbagai manfaat yang dijanjikan oleh
integrasi wilayah maka mereka tentu
tidak tertarik untuk melakukan integrasi wilayah. Begitu pula
dengan elit birokrasi yang mungkin
khawatir akan kehilangan peran jika integrasi dilakukan, mereka
akan melakukan berbagai cara untuk
menghambat terjadinya integrasi wilayah.
2.2 Isu-isu Pokok Berkenaan Dengan Pembentukan Daerah Otonom
Baru
Dengan mengkaji teori dan pemikiran yang mendasari fragmentasi
dan integrasi daerah maka beberapa
isu yang terkait dengan pembentukan daerah otonom baru dapat
dirumuskan:
Pertama, isu tentang kesejahteraan ekonomi. Para penggagas teori
pro pada fragmentasi dan pro pada
integrasi sama-sama mengklaim bahwa, dengan argumentasi yang
berbeda, pilihannya akan dapat
memperbaiki kesejahteraan warganya. Menurut pihak yang mendukung
fragmentasi, kesejahteraan
akan dapat diperoleh ketika kompetisi antar daerah menjadi
semakin ketat, daerah akan menawarkan
fasilitas yang menarik agar orang mau tinggal di daerah. Mereka
juga akan menawarkan besaran pajak
yang kompetitif untuk menarik investasi masuk ke daerahnya.
Sebaliknya, mereka yang mendukung
integrasi juga mengklaim peningkatan kesejahteraan melalui
besaran skala ekonomi yang membuat
produksi barang dan jasa menjadi lebih efisien. Produksi barang
dan jasa juga menjadi lebih efisien
ketika biaya transaksi menjadi lebih kecil dan internalisasi
dapat dilakukan secara murah. Hal itu semua
dapat dilakukan jika integrasi wilayah dilakukan.
Kedua, isu tentang kualitas governance. Para pendukung
fragmentasi daerah mengklaim bahwa
fragmentasi daerah akan membuat kualitas governance menjadi
lebih baik karena hal itu akan
mendekatkan institusi pemerintah, proses pembuatan kebijakan,
dan para penjabatnya menjadi lebih
dekat dengan warganya. Fragmentasi membuat proses pemerintahan
dan pelayanan publik menjadi
lebih dekat dengan warganya. Dalam situasi seperti itu, maka
warga akan menjadi lebih mudah untuk
berpartisipasi dalam proses kebijakan daerah. Mereka juga akan
menjadi semakin mudah dalam
mengendalikan proses pengambilan keputusan dan perencanaan agar
kegiatan pemerintahan dan
pelayanan publik mampu menjawab kebutuhan daerah. Pemerintah,
kebijakan, dan pejabatnya menjadi
semakin akuntabel pada warganya. Sebaliknya, para penggagas
integrasi wilayah menyatakan bahwa
integrasi wilayah akan dapat memperbaiki efisiensi dan
efektivitas dari penyelenggaraan pemerintahan,
melalui banyak mekanisme seperti semakin rendahnya biaya
transaksi, biaya internalisasi, dan
koordinasi. Integrasi horizontal dan vertikal akan membuat
penyelenggaraan pemerintahan menjadi
semakin mudah dan kualitas governance juga akan meningkat dengan
sendirinya.
Ketiga, isu yang menjadi rasionalitas dari fragmentasi dan
integrasi adalah perbaikan pelayanan
publik. Jarak yang jauh antara kegiatan pemerintahan dan
pelayanan publik dengan warganya sering
membuat akses terhadap pelayanan menjadi terbatas. Fragmentasi
diharapkan dapat memperbaiki
akses terhadap pelayanan publik. Sebaliknya, mereka yang
mendukung integrasi juga berargumentasi
bahwa konsolidasi daerah akan membuat daerah dapat memperbaiki
efisiensi dan pemerataan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Ketika konsolidasi dilakukan
dengan menggabung dua atau lebih
daerah menjadi satu daerah maka skala pelayanan publik di daerah
menjadi semakin besar dan dengan
-
9
9 Kerangka Pemikiran
skala pelayanan yang lebih besar maka pelayanan publik akan
menjadi lebih efisien. Skala pelayanan
yang lebih besar akan selalu diikuti oleh efisiensi yang lebih
tinggi. Integrasi wilayah juga dapat
membuat penerapan standar pelayanan yang sama diterapkan pada
wilayah yang lebih luas sehingga
akses terhadap kualitas pelayanan dapat diwujudkan.
Keempat, isu yang seringkali diperdebatkan antara fragmentasi
versus integrasi daerah adalah
mengenai daya saing daerah. Para penggagas fragmentasi
menyatakan bahwa fragmentasi akan dapat
menciptakan iklim persaingan antar daerah. Daerah akan
dihadapkan pada situasi untuk memperbaiki
infrastruktur daerah, membuat kebijakan yang pro-investasi, dan
meningkatkan kualitas sumber daya
manusianya karena dihadapkan pada penawaran investasi yang
terbatas. Semakin banyak daerah
membuat tekanan untuk melakukan perbaikan daya saing daerah
menjadi semakin besar. Sementara
para pendukung integrasi wilayah berargumentasi bahwa daya saing
daerah justru akan semakin baik
ketika skala ekonomi daerah menjadi semakin besar, biaya
transaksi menjadi semakin tinggi, dan biaya
internalisasi pasar juga semakin murah. Hal itu hanya dapat
diwujudkan ketika integrasi wilayah dapat
dilakukan.
-
10
BAB III
EVALUASI DAERAH OTONOM HASIL PEMEKARAN
3.1 EDOHP Untuk memetakan Kinerja DOHP
EDOHP terkait dengan kebijakan evaluasi pemerintahan daerah dan
kebijakan
penghapusan/penggabungan daerah. Dasar hukum EDOHP adalah
Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 21/2010 sebagai dasar hukum kegiatan EDOHP tahun 2010, yang
merujuk pada kebijakan di atasnya
yaitu PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Selain PP
No. 6 Tahun 2008, EDOHP juga merujuk pada PP No. 39 tahun 2006
tentang Tata Cara Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, dan PP No. 78 Tahun
2007 tentang Tata Cara
Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
EDOHP ditujukan untuk memetakan kinerja DOHP. EDOHP dilaksanakan
dengan tujuan untuk: (a)
memetakan kinerja pemerintahan daerah di DOHP; (b) mengembangkan
program dan strategi yang
tepat untuk pembinaan dan perbaikan kinerja daerah otonom baru;
dan (c) menjadi bahan masukan
bagi revisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
dan kebijakan pemerintah lainnya yang
berkaitan dengan pemerintahan daerah. Maksud dari
dilaksanakannya EDOHP adalah untuk: (a)
memetakan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan daerah; (b)
mengukur kinerja DOHP; (c)
merekomendasikan kebijakan tentang pengaturan pembentukan DOHP
agar pembentukan daerah di
masa mendatang benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah yang
bersangkutan. Evaluasi juga dilakukan untuk mengidentifikasi
isu-isu strategis dalam perumusan
kebijakan untuk meningkatkan kinerja DOHP. Cakupan kegiatan
EDOHP ini akan meliputi 205 daerah
otonom hasil pemekaran (DOHP), yang terdiri dari 7 provinsi, 164
kabupaten dan 34 kota. Pada awalnya
direncanakan untuk juga mengevaluasi 127 pemerintah daerah induk
sebelum dilakukan pemekaran
daerah sebagai pembanding. Namun atas sejumlah pertimbangan
teknis evaluasi terhadap daerah induk
tersebut tidak jadi dilaksanakan.
Keluaran dari kegiatan ini adalah adanya hasil evaluasi yang
dapat memberikan informasi yang
memadai tentang kinerja DOHP, unsur-unsur yang membentuk kinerja
DOHP, dan klasifikasi daerah
menurut kinerjanya. Hasil evaluasi tersebut dapat digunakan
untuk merumuskan kebijakan dalam
rangka pengaturan kembali persyaratan dan mekanisme pembentukan
daerah, peningkatan kinerja
daerah, dan penataan kembali daerah otonom. Evaluasi terhadap
daerah induk dilakukan untuk melihat
efek dari pemekaran terhadap daerah induk. Hasilnya diharapkan
dapat memberikan informasi tentang
dinamika yang terjadi di daerah sebagai akibat dari terpecahnya
daerah tersebut ke dalam dua atau
lebih daerah otonom.
3.2 Metode Evaluasi
Metode yang digunakan dalam melakukan penilaian kinerja daerah
otonom hasil pemekaran ini adalah
dengan menggunakan pengukuran indeks. Perhitungan angka indeks
merupakan salah satu metode
yang digunakan untuk mendapatkan skor akhir penilaian kinerja.
Dengan membuat peringkat indeks
-
11
11 Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran
Penyusunan
Desain Studi
Pengumpulan
Data
Data
Entry
Data
Processing
Hasil
DOHP
diharapkan dapat menggambarkan kinerja daerah dalam mencapai
tujuan otonomi daerah. Berikut
tujuan pengembangan studi menggunakan perhitungan angka indeks:
(a) Membangun penilaian dan
peringkat keberhasilan DOHP dalam mencapai tujuan DOHP; (b)
Menguji tingkat signifikansi hubungan
antara faktor-faktor terkait dengan profil daerah (usia, proses
pembentukan, tipe daerah otonomi).
Gambar 3.1: Metode Pengukuran Indeks Evaluasi Daerah Otonomi
Hasil Pemekaran Baru
3.2.1 Pengembangan Faktor, Aspek dan Indikator
Instrumen pengukuran didasarkan pada tujuan otonomi daerah.
Dasar perumusan faktor dalam
evaluasi DOHP adalah Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah yang menyatakan bahwa tujuan otonomi daerah adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan publik, dan daya saing daerah. Selain itu,
ditambahkan faktor Tata Pemerintahan
yang Baik (Good Governance) sebagai wujud rasa kepedulian
terhadap upaya pembenahan tata kelola
pemerintahan daerah dengan mencermati dinamika yang berkembang
sejak reformasi didengungkan
tahun 1998.
Indikator pengukuran berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 21 Tahun 2010. Untuk
mencapai tujuan otonomi daerah (faktor evaluasi DOHP), perlu
diketahui penilaian variabel yang
menggambarkan kinerja daerah dalam mencapai tujuan otonomi
daerah. Selanjutnya untuk mengukur
sejauh mana kemampuan daerah dalam memenuhi tingkat variabel
yang ditetapkan untuk mencapai
tujuan otonomi daerah, maka digunakan indikator sebagai
ukurannya. Pada Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 21 Tahun 2010, terdapat 33 indikator yang menjadi
bagian dari 14 variabel. Dalam proses
evaluasi ini istilah variabel kemudian diubah menjadi aspek
karena yang menjadi ukuran variabel
dalam penelitian ini adalah indikator itu sendiri. Penetapan
indikator tersebut memperhatikan 7 (tujuh)
persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh suatu indikator,
yaitu: (a) Ketersediaan data; (b)
Kemudahan dalam memperoleh data; (c) Kemudahan dalam proses
penghitungan data; (d) Relevan; (e)
Terukur; (f) Akurat dan valid; dan (g) Reliabel.
Tujuan EDOHP.
Kerangka
penyusunan
instrument
evaluasi.
Ujicoba
instrumen.
Sosialisasi.
Pengumpulan
kuesioner.
Input data.
Verifikasi/
validasi.
Data cleaning.
Menstandarisasi
data dengan Z-
score (untuk
indeks).
Analisis regresi.
Analisis DOHP
berdasar bentuk
daerah, usia, proses
pembentukan,
wilayah.
-
12
12 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Gambar 3.2: 4 Faktor, 14 Aspek dan Indikator dalam Penyusunan
Indeks EDOHP
Faktor 1: Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Aspek 1: Aspek
Kemakmuran Masyarakat Indikator:
1. Laju pertumbuhan PDRB per kapita. 2. Penurunan tingkat
kemiskinan. 3. Komitmen pemerintah pada peningkatan kemakmuran
rakyat
yang dilihat dari bentuk hukum, relevansi dan dampak kebijakan.
Aspek 2: Berkurangnya Ketimpangan Gender Indikator:
1. Komitmen pemerintah pada kesetaraan gender dan/atau
pemberdayaan perempuan yang dilihat dari bentuk hukum, relevansi
dan dampak kebijakan.
2. Tingkat kelembagaan yang menangani kesetaraan gender dan/atau
pemberdayaan perempuan.
Faktor 2: Tata Pemerintahan yang Baik Aspek 1: Aspek Efektivitas
Indikator:
1. Ketepatan waktu Daerah Menetapkan APBD. 2. Daya serap
anggaran (APBD) Per Tahun.
Aspek 2: Aspek Transparansi Indikator:
1. Komitmen pemerintah pada azas transparansi yang dilihat dari
bentuk hukum, relevansi dan dampak kebijakan terhadap
transparansi.
2. Publikasi APBD dan pengadaan barang/jasa (procurement). Aspek
3: Aspek Akuntabilitas Indikator:
1. Sarana yang disediakan pemerintah untuk penanganan pengaduan
masyarakat.
2. Komitmen penyelenggara negara/pejabat pada azas integritas.
3. Publikasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. 4. Tingkat
komitmen pemerintah pada kepentingan publik.
Aspek 4: Aspek Partisipasi Indikator:
1. Keterbukaan pemerintah terhadap partisipasi dan konsultasi
publik dalam penyusunan kebijakan.
2. Jumlah Peraturan Daerah dari inisiatif DPRD.
Faktor 4: Peningkatan Daya Saing Daerah Aspek 1: Aspek Kebijakan
Daerah Indikator:
1. Kepastian peruntukan lahan untuk usaha. 2. Komitmen
pemerintah daerah pada perlindungan lingkungan
hidup. Aspek 2: Aspek Kelembagaan Daerah Indikator:
1. Komitmen pemerintah untuk memudahkan perizinan usaha 2. Upaya
pemerintah daerah untuk mempromosi potensi ekonomi
daerah Aspek 3: Aspek Fasilitasi Investasi Indikator:
1. Komitmen pemerintah pada pengembangan usaha untuk UMKM 2.
Kerjasama pemerintah daerah dengan pelaku usaha dalam
peningkatan investasi Aspek 4: Realisasi Investasi
Indikator:
1. Nilai realisasi investasi
Faktor 3: Ketersediaan Pelayanan Publik Aspek 1: Pendidikan
Indikator:
1. Tingkat komitmen pemerintah pada pelayanan pendidikan 2.
Tingkat Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan SD/Sederajat,
SMP/Sederajat, dan SMA/Sederajat Aspek 2: Aspek Kesehatan
Indikator:
1. Tingkat komitmen pemerintah pada pelayanan kesehatan 2.
Persentase Balita Gizi Buruk
Aspek 3: Aspek Penyediaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Umum
Indikator:
1. Komitmen pemerintah pada penyediaan sarana air bersih dan
sanitasi
2. Laju pertumbuhan sarana jalan 3. Inisiatif Pemda dalam
penanganan krisis listrik
Aspek 4: Aspek Pelayanan Tata Kelola Administrasi Kependudukan
Indikator:
1. Ketertiban pemerintah dalam pendataan penduduk 2. Ketertiban
pemerintah dalam mencatat kelahiran anak
Penyesuaian indikator. Dari 33 indikator, 2 indikator tidak
memenuhi syarat penetapan indikator.
Indikator Produk Hukum Daerah yang Memberikan Intensif dan/atau
Kemudahan Kepada Investor
untuk Keringanan/Penghapusan Biaya Pajak dan Retribusi Daerah
dihilangkan karena ketersediaan data
yang kurang memadai. Sedangkan indikator Jumlah Realisasi
Investasi dihilangkan karena standar
ukuran investasi yang pantas untuk dihitung tidak jelas
disebutkan sehingga ukuran investasi suatu
daerah tidak dapat diukur dengan jelas. Daerah yang memiliki
jumlah investasi yang banyak belum tentu
Indeks
EDOHP
-
13
13 Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran
memiliki ukuran investasi yang lebih besar. Karena bisa saja
daerah dengan investasi yang sedikit
memiliki skala investasi besar, sedangkan yang memiliki banyak
investasi terdiri dari investasi dengan
skala kecil. Dengan pengurangan 2 indikator, terdapat 31
indikator yang menjadi indikasi keberhasilan
suatu daerah dalam mencapai tujuan otonomi daerah (Gambar
3.2).
3.2.2 Pengumpulan Data
Data diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh pemerintah daerah
dan data sekunder lainnya. Sebelum
dilakukan pengisian kuesioner untuk mengumpulkan data kebutuhan
EDOHP diselenggarakan Sosialisasi
dan Rapat Teknis dengan seluruh pemerintah daerah hasil
pemekaran pada tanggal 24 April 2010.
Peserta dari pemerintahan daerah menghadiri Rapat Teknis dengan
membawa kuesioner yang sudah
diisi, profil daerah, rekap APBD selama 10 tahun, serta data
pendukung lain yang diangggap perlu.
Pengumpulan data juga ada yang dilakukan melalui pengiriman
langsung melaui Pos atau email yang
sudah ditetapkan.
3.2.3 Verifikasi dan Validasi Data
Verifikasi data dan kunjungan lapangan. Verifikasi dan validasi
terhadap data dilakukan untuk
mengecek kelengkapan dan keakuratan data. Terhadap data yang
meragukan, dilakukan konfirmasi
kepada pemerintah daerah yang bersangkutan untuk segera
melengkapinya, agar tidak menyebabkan
distorsi atau kesalahan pada saat pengolahan data maupun
analisis data. Selain itu, dilakukan
pengecekan lapangan terhadap data yang tidak terkumpul, meskipun
jumlah daerah yang dapat
dikunjungi sangat terbatas. Hal ini dimaksudkan untuk melengkapi
kekurangan data serta untuk melihat
kondisi obyektif di daerah yang bersangkutan.
Banyak kuesioner/data dari daerah yang tidak lengkap. Kendala
yang ditemui dalam kegiatan ini
adalah adanya cukup banyak kuesioner yang pengisiannya kurang
sesuai dengan yang dibutuhkan,
seperti: pemerintah daerah tidak secara lengkap mengirimkan data
sesuai dengan usianya untuk
beberapa data yang bersifat time series; pengisian data yang
tidak komparabel antar daerah karena
kesalahan pengertian pengisian kuesioner; dan daerah tidak
menjawab seluruh pertanyaan kuesioner
sehingga data menjadi missing. Prosedur yang dilakukan untuk
mengatasi hal tersebut adalah meminta
daerah untuk mengirimkan data sampai batas waktu tertentu,
sementara untuk beberapa daerah
dilakukan penjemputan data oleh staf Kemendagri. Untuk pengisian
data yang tidak dapat
diperbandingkan karena kesalahan dalam memahami isi kuesioner
(PDRB, PDRB per kapita, Angka
Kemiskinan, Jumlah Penduduk) dilakukan re-entry data dengan
menggunakan data BPS. Untuk data di
mana sebagian besar daerah tidak dapat mengisikan kuesioner
(Jumlah Balita Gizi Buruk, Sanitasi di
kluster provinsi) dilakukan reentry dengan menggunakan proksi
dari data Kementerian Keseharan RI
tahun 2008. Digunakannya proksi data 1 tahun tersebut karena Tim
hanya dapat menemukan dataset
yang comperhensive dan memadai dalam 1 tahun untuk indikator
tersebut. Namun demikian dengan
upaya tersebut, masih terdapat beberapa daerah yang memiliki
missing values.
-
14
14 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
3.2.4 Prosedur Pengolahan Data
Teknik Perhitungan Indeks. Perhitungan indeks dilakukan untuk
membandingkan kinerja pemerintah
daerah dari setiap 205 Daerah Otonomi Hasil Pemekaran (DOHP)
yang terdiri dari 7 provinsi, 164
kabupaten dan 34 kota. Berikut tahap proses pengolahan dan
analisis data.
Tahap Awal (Pembagian Kluster). Output dari pengolahan dan
analisa data adalah untuk menghasilkan
tabel peringkat keberhasilan DOHP. Untuk menghasilkan output
tersebut data set distandardisasi
kemudian dikompositkan menggunakan bobot. Pada tahap awal,
daerah otonomi baru dikelompokkan
menjadi 2 kluster yaitu kluster provinsi dan kabupaten/kota
Perlakuan Atas Data Ekstrim. Setelah dilakukan pembagian
kluster, tahap selanjutnya yaitu mengganti
data ekstrim dengan proses sebagai berikut: (a) Menghitung
trimmed rata-rata dan trimmed standar
deviasi setiap indikator. Standar deviasi dan rata-rata dihitung
pada 95% dari pusat distribusi (untuk
2,5% batas atas dan bawah tidak dihitung untuk menentukan
rata-rata dan standar deviasi); (b) Setiap
observasi pada indikator yang terletak di atas 2,5 diganti
dengan (rata-rata + 2,6 X trimmed standar
deviasi) jika berada pada ekor kanan, dan jika berada pada ekor
kiri diganti dengan (rata-rata - 2,6 X
trimmed standar deviasi).
Prosedur Standardisasi. Dari setiap item indikator
distandardisasi, sehingga diperoleh skor
standardisasi. Asumsi dari penggunaan pendekatan ini adalah
sebaran skor yang diperoleh secara
statistik terdistribusi secara normal. Standardisasi atau
normalisasi skor diterapkan terhadap seluruh
indikator untuk menghilangkan satuan skor masing-masing
indikator yang memiliki ukuran berbeda
dengan skala nominal, skala ordinal, dan rasio. Dengan asumsi
bahwa semua indikator dinilai dengan
skala 0 sampai dengan 100, di mana skor 0 adalah skor terjelek
suatu daerah untuk masing-masing
indikator yang dimaksud, sedangkan skor 100 adalah skor terbaik
suatu daerah untuk masing-masing
indikator yang dimaksud; maka normalisasi dapat dilakukan dengan
menggunakan rumus:
3.2.5 Masalah Missing Data dalam Penulisan Laporan
Terdapat sejumlah DOHP yang hanya memperoleh skor total sebesar
nol (atau missing data), yaitu: tiga
DOHP pada faktor kesejahteraan masyarakat,13 dua daerah pada
faktor ketatapemerintahan yang baik,14
dan 27 DOHP pada faktor daya saing.15 Dua DOHP, yaitu Kabupaten
Paniai dan Puncak Jaya, memiliki
13 Ketiga DOHP tersebut adalah Kabupaten Paniai, Puncak Jaya dan
Deiyai.
14 Kedua DOHP yaitu Kabupaten Paniai dan Puncak Jaya.
Skor Standardisasi xi = 100 (i min)
(max min)
-
15
15 Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran
y = 0,6578x + 4,0317
R = 0,7751
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
To
tal
Kesejahteraan Masyarakat
y = 0,6408x + 13,377
R = 0,6799
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
To
tal
Good Governance
y = 0,7096x + 12,11
R = 0,6415
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
To
tal
Pelayanan Publik
y = 0,7018x + 22,661
R = 0,5563
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
To
tal
Daya Saing
skor indeks kesejahteraan masyarakat, ketatapemerintahan yang
baik, dan daya saing yang sama, yaitu
nol. Untuk mengujinya, dilakukan analisis regresi sederhana
antara skor total dan skor masing-masing
faktor.
15 Ke 27 DOHP tersebut, yaitu: Gorontalo Utara, Murung Raya,
Natuna, Mesuji, Tulang Bawang Barat, Maluku Barat Daya, Buru
Selatan, Kepulauan Aru, Morotai, Kota Subulussalam, Sabu Raijua,
Yalimo, Puncak, Paniai, Memberamo Tengah, Nduga, Mappi,
Dogiyai, Puncak Jaya, Tambraw, Maybrat, Kepulauan Meranti,
Toraja Utara, Sigi, Kepulauan Sitaro, Nias Utara dan Kota
Gunung
Sitoli.
Gambar 3.3: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor
Kesejahteraan Masyarakat
Gambar 3.4: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor
Tata Pemerintahan yang Baik
Gambar 3.5: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor Pelayanan
Publik
Gambar 3.6: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor Daya
Saing
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
-
16
16 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Skor R2, yang memberikan onformasi mengenai goodness of fit
antara skor total dan skor masing-
masing faktor, terbesar terdapat pada faktor kesejahteraan
masyarakat, sedangkan yang terkecil pada
faktor daya saing (Gambar 3.3 dan 3.6). Hal ini disebabkan
karena faktor kesejahteraan masyarakat
memiliki bobot terbesar (yaitu 30 persen) terhadap skor total,
sementara faktor daya saing memiliki
bobot terkecil (20 persen). Selain itu, kondisi missing data
yang cukup serius pada faktor daya saing--
yang terlihat dari bayaknya titik pada sumbu vertikal-- juga
menyebabkan rendahnya skor R2 tersebut.
Oleh karenanya hasil dari evaluasi ini perlu disikapi dengan
hati-hati untuk DOHP yang terletak pada
urutan yang relatif bawah karena adanya masalah missing data
tadi. Selain itu, secara keseluruhan
terdapat 28 DOHP yang paling tidak memperoleh skor nol pada
salah satu indikator evaluasi.
Karenanya, dalam laporan ini tidak akan disajikan peringkat
daerah dengan kinerja terendah.
3.3 Pelaksanaan EDOHP
Pelaksana. Pelaksana kegiatan EDOHP adalah Direktorat
Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja
Daerah (PKEKD), Direktorat Jenderal Otonomi Daerah di
Kementerian Dalam Negeri. Pelaksanaan teknis
evaluasi dilakukan oleh sebuah tim evaluator independen yang
berasal dari kalangan akademisi,
perwakilan dunia usaha, organisasi kemasyarakatan/peneliti dan
media massa. Tim ini dibentuk
berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 188.205 39 Tahun
2010 Tentang Tim Evaluasi
Daerah Otonom Hasil Pemekaran Setelah Berlakunya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah (lihat Tabel 3.1).
Pelaksanaan. Pelaksanaan evaluasi diawali dengan kegiatan
diseminasi desain dan instrumen
pengumpulan data EDOHP dengan mengundang pimpinan/perwakilan
pemerintah daerah dari 7
Provinsi dan 164 Kabupaten/Kota hasil pemekaran. Kegiatan ini
dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 24
Februari 2010 yang dibuka oleh Menteri Dalam Negeri.
Tabel 3.1: Daftar Nama Tim Evaluator EDOHP
Nama Institusi Posisi
Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MA.
Prof. Dr. Muchlis Hamdi, MPA.
Prof. Dr. Syamsuddin Haris, M.Si.
Dr. Alberto D. Hanani
Dr. Tri Ratnawati
Dr. Alit Merthayasa
P. Agung Pambudhi, MM.
Natalia Soebagjo, MA.
Dadan S. Suharmawijaya
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Kamar Dagang Indonesia (KADIN)
Peneliti Utama LIPI Bidang Politik
Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD)
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)
Center for the Study of Governance, Universitas Indonesia
The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP)
Ketua
Wakil Ketua
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Sumber: Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 188.205 39 Tahun
2010.
Diseminasi Hasil EDOHP. Hasil-hasil utama laporan diseminasikan
oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi pada Hari Otonomi Daerah tanggal 25 April 2011 di Kota
Bogor. Selanjutnya Direktur Jenderal
Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri yang didampingi Tim
Evaluator EDOHP menyampaikan
hasil EDOHP tersebut kepada publik melalui konferensi pers di
kantor Kementerian Dalam Negeri di
Jakarta pada tanggal 28 April 2011.
-
17
17 Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran
BAB IV
HASIL EVALUASI KINERJA RELATIF
DAERAH OTONOMI HASIL PEMEKARAN KABUPATEN/KOTA
4.1 Beberapa Kondisi/Karakteristik DOHP Kabupaten/Kota
Sebagian besar DOHP dibentuk berdasarkan inisiatif pemerintah
dan DPR. Kecuali di Jawa, sebagian
besar DOHP dibentuk atas inisiatif pemerintah dan DPR. Ada 198
DOHP kabupaten/kota baru di
sepanjang kurun waktu 1999-2009. Pemekaran paling banyak terjadi
di pulau Sumatera dan di wilayah
Indonesia Bagian Barat (Gambar 4.1 dan 4.2). Dalam hal ini,
proses pemekaran daerah di Indonesia
umumnya melalui tiga jalan, yaitu: (a) Melalui prosedur
inisiatif pemerintah pusat; (b) Melalui prosedur
hak inisiatif DPR; (c) Melalui proses tranformasi menjadi daerah
otonom.16
Gambar 4.1: Proporsi DOHP berdasarkan Kepulauan dan Proses
Pemekaran
Gambar 4.2: Proporsi DOHP berdasarkan Wilayah dan Proses
Pemekaran
Gambar 4.3: Proporsi DOHP Kabupaten dan Kota berdasarkan
Usia
Gambar 4.4: Proporsi DOHP Kabupaten dan Kota berdasarkan Proses
Pemekaran
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
16 Sebelum menjadi DOHP penuh, sebuah daerah terlebih dulu
melalui proses menjadi kota atau kabupaten administratif
terlebih dahulu selama beberapa tahun sampai dianggap cukup siap
untuk pisahkan dari daerah induk mendai kota atau
kabupaten tersendiri. Contohnya adalah Kota Administratif Depok
yang awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Bogor
kemudian dimekarkan menjadi Kota Depok. Contoh dari Kabupaten
Administratif adalah Kabupaten Kepulauan Seribu di
Provinsi DKI Jakarta. Sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999
tidak ada lagi kabupaten dan kota administratif, sehingga
pemekaran daerah dapat langsung dilakukan secara otomatis begitu
UU pembentukan daerah baru tersebut disahkan.
40%
36%
80%
36%
0%
51%
53%
58%
12%
55%
44%
37%
7%
6%
8%
9%
56%
12%
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Maluku & Papua = 45
Sulawesi = 33 DOHP
Kalimantan = 25 DOHP
Nusa Tenggara = 11
Jawa = 9 DOHP
Sumatera = 75 DOHP
Inisiatif pemerintah pusat Inisiatif DPR Transformasi menjadi
daerah otonom
40%
44%
51%
53%
48%
34%
7%
7%
15%
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Indonesia Bagian Timur = 45 DOHP
Indonesia Bagian Tengah = 54 DOHP
Indonesia Bagian Barat = 99 DOHP
Inisiatif pemerintah pusat Inisiatif DPR Transformasi menjadi
daerah otonom
21%
30%
79%
70%
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Kota = 34 DOHP
Kabupaten = 164 DOHP
0-3 Tahun > 3 Tahun
21%
52%
26%
46%
53%
2%
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Kota = 34 DOHP
Kabupaten = 164 DOHP
Inisiatif pemerintah Inisiatif DPR Transformasi
-
18
18 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Data yang ada menunjukkan kecenderungan
proses pemekaran berbeda di tiap pulau dan
wilayah. Di Kalimantan peran pemerintah dalam
mengusulkan pembentukan DOHP terlihat sangat
dominan (80 persen). Sementara di Jawa, sebagian
besar proses pemekaran melalui proses
transformasi menjadi daerah otonom (56 persen),
dan tidak ada DOHP yang dibentuk atas inisiatif
pemerintah (lihat Gambar 4.1). Jika dilihat berdasar
proporsi pembentukan DOHP per daerah, di
Indonesia Bagian Barat proses pembentukan DOHP
atas inisiatif pemerintah dan transformasi daerah
proporsinya terlihat lebih tinggi dibandingkan pada
daerah lain. Sementara di Indonesia Bagian Timur,
peran DPR tampak lebih aktif dalam mengusulkan
pemekaran tersebut (Gambar 4.2).
Dalam tahun-tahun terakhir, DPR lebih
berperan dalam mengusulkan pembentukan
DOHP. Jika dilihat berdasarkan usia daerah,
terlihat ada perbedaan kecenderungan peran
pemerintah dan DPR dalam mengusulkan
pemekaran. Pada DOHP yang berusia 0-3 tahun,
peran DPR terlihat sangat dominan lebih dari 90
persen. Sebaliknya pada DOHP berusia lebih
dari tiga tahun, pemerintah terlihat lebih aktif
mengusung usulan pemekaran daerah (lihat
Tabel 4.1).
Sekitar 70-80 persen kabupaten/kota berusia
di atas tiga tahun (Gambar 4.3).17 Secara
keseluruhan, dari 198 kabupaten/kota sebagian
besar berusia di atas 3 tahun, yaitu 141 daerah atau 71 persen.
Dalam tiga tahun terakhir terlihat
adanya kecenderungan pembentukan kabupaten baru yang cukup
banyak di Sumatera, Maluku-Papua
dan Sulawesi (Tabel 4.2).
17 Tiga tahun dijadikan ukuran karena dikaitkan dengan waktu
pelaksanaan evaluasi suatu daerah yang baru terbentuk yang
diatur dalam PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Selain itu, hal tersebut
juga dikaitkan dengan pembagian usia daerah dalam EPDOB, yaitu
0-3 tahun dan 4-5 tahun. Diharapkan dengan kesamaan
satuan tersebut dapam membantu jika dibutuhkan untuk
perbandingan kinerja daerah dari beberapa evaluasi berbeda.
Tabel 4.1: DOHP berdasarkan Usia dan Proses Pemekaran
Usia dan Proses Pembentukan DOHP
Frekuensi Persentase
Usia 0-3 tahun
Inisiatif DPR 52 91.23
Inisiatif Pemerintah Pusat 5 8.77 Transformasi menjadi
daerah
otonom 0 0
Jumlah 57 100
Usia > 3 tahun
Inisiatif DPR 32 22.7
Inisiatif Pemerintah Pusat 87 61.7 Transformasi menjadi
daerah
otonom 22 15.6
Jumlah 141 100
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
Tabel 4.2: DOHP berdasarkan Kepulauan dan Bentuk
Administrasi
Pulau Kab/Kota Usia DOHP (Tahun) Jumlah 0-3 > 3
Sumatera Kota 2 11 13
Kabupaten 17 45 62
Jawa Kota 2 6 8
Kabupaten 1 0 1
Kalimantan Kota 0 3 3
Kabupaten 3 19 22
Sulawesi Kota 1 3 4
Kabupaten 10 19 29
Nusa Tenggara
Kota 0 1 1
Kabupaten 6 4 10
Maluku-Papua Kota 1 3 4
Kabupaten 14 27 41
Total 57 141 198
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
-
19
19 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran
Kabupaten/Kota
47.17
34.4847.13
39.48
31.1518.94
0
10
20
30
40
50Inisiatif Pemerintah
Inisiatif DPRTransformasi
Kota Kabupaten
4.2 Indeks Total DOHP Kabupaten/Kota
Secara umum kinerja kota lebih baik dari kabupaten. Hasil
analisis menunjukkan bahwa skor total kota
lebih tinggi dari kabupaten. Skor total gabungan kabupaten dan
kota sebesar 36,65 yang diperoleh dari
skor total kabupaten sebesar 35,17 dan skor total kota sebesar
43,78 (Gambar 4.5).
Kinerja DOHP Kabupaten/Kota di Jawa paling tinggi dibanding
pulau/kepulauan lainnya. Jika
dibandingkan berdasar pembagian lima pulau/kepulauan di
Indonesia, kinerja DOHP Kabupaten/Kota di
Jawa memiliki skor total tertinggi, diikuti DOHP di Kalimantan,
Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara dan
Maluku-Papua (Gambar 4.6). Perbedaan skor total antara Jawa
dengan Maluku-Papua terlihat cukup
tinggi, yaitu 45,51 berbanding 26,79.
Gambar 4.5: Skor Total Kabupaten dan Kota Gambar 4.6: Skor Total
berdasarkan Pulau/Kepulauan
Gambar 4.7: Skor Total berdasarkan Usia DOHP Gambar 4.8 Skor
Total berdasarkan Proses Pemekaran
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
Faktor usia DOHP Kabupaten/Kota cenderung berbanding lurus
dengan kinerjanya. Pada Gambar 4.7
terlhat bahwa baik di kabupaten maupun kota, DOHP berusia lebih
dari 3 tahun menunjukkan skor total
yang lebih tinggi dibandingkan DOHP Kabupaten/Kota berusia
dibawah 3 tahun.
Ada perbedaan kinerja daerah dilihat dari proses pembentukannya.
Gambar 4.8 menunjukkan
perbedaan kinerja DOHP Kabupaten dan Kota berdasarkan proses
pembentukannya. Pada DOHP Kota,
capaian skor total pada kota yang dibentuk melalui proses
inisiatif pemerintah dan transformasi menjadi
daerah otonom dapat dikatakan sama