342 Abstrak: Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Negara. Artikel ini bertujuan membangun konsep etika profetik dengan menggunakan ke- arifan lokal budaya Melayu. Prinsip ilmu sosial dan spirit profetik dija- dikan sebagai metode. Penelitian ini menemukan konsep etika profetik sebagai jalan ikhtiar untuk menginternalisasikan sifat Rasul. Etika ini berorientasi pada kesadaran tertinggi manusia, yaitu kesadaran ketu- hanan dan kenabian. Implikasinya, para pengambil kebijakan tidak ha- nya mengadopsi suatu standar universal yang berlaku umum. Kode etik juga seharusnya ditelaah lebih lanjut mengenai kesesuaian dengan nor- ma dan ajaran kebaikan yang telah disampaikan oleh Nabi atau Rasul terdahulu. Abstract: : Prophetic Ethics for State Financial Managers. This arti- cle aims to develop the concept of prophetic ethics by using local wisdom of Malay culture. The principles of social science and prophetic spirit are used as methods. This research found the concept of prophetic ethics as an en- deavor to internalize the nature of the Prophet. This ethic is oriented to the highest human consciousness, namely divine and prophetic awareness. The implication is that policymakers not only adopt a generally accept- ed universal standard. The code of ethics should also be explored further about conformity with norms and teachings of goodness that have been conveyed by previous Prophets or Apostles. “Kamu adalah umat terbaik yang dila- hirkan untuk manusia, menyuruh ke- pada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Al- lah” (QS. Ali-Imran: 110) Kutipan ayat di atas merupakan peman- tik semangat cendekiawan muslim tanah air Kuntowijoyo dalam membangun kon- sep ilmu sosial profetik. Dari ayat tersebut lahir landasan trilogi profetik yaitu huma- nisasi, liberasi, dan transendensi. Lahirnya landasan tersebut tidak lain dikarenakan kegelisahan beliau terhadap memudarnya eksistensi wahyu (lihat Kuntowijoyo, 1991). Hal ini senada dengan apa yang dirasakan oleh pemikir besar abad ke-20 Prancis, yaitu Roger Garaudy. Dalam tulisan yang fenome- nal terkait mitos dan politik Israel, Garaudy menekankan untuk mendobrak keterbeleng- guan nilai kemanusiaan di tengah-tengah masyarakat yang cenderung mendewakan rasio melalui filsafat kenabian dari Islam yang mengakui eksistensi wahyu. Biyan- Volume 10 Nomor 2 Halaman 342-364 Malang, Agustus 2019 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879 Mengutip ini sebagai: Briando, B., & Purnomo, A. S. (2019). Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne- gara. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 10(2), 342-364.https://doi.org/10.18202/jamal.2019.08.10020 ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA Bobby Briando, Agung Sulistyo Purnomo Politeknik Imigrasi Indonesia, Jl. Raya Gandul No. 4, Depok 16514 Tanggal Masuk: 09 Januari 2019 Tanggal Revisi: 09 Agustus 2019 Tanggal Diterima: 31 Agustus 2019 Surel: [email protected], theagungpurnomofi[email protected]Kata kunci: kenabian, kesadaran ketuhanan, kode etik Jurnal Akuntansi Mulparadigma, 2019, 10(2), 342-364
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
342
Abstrak: Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Negara. Artikel ini bertujuan membangun konsep etika profetik dengan menggunakan kearifan lokal budaya Melayu. Prinsip ilmu sosial dan spirit profetik dijadikan sebagai metode. Penelitian ini menemukan konsep etika profetik sebagai jalan ikhtiar untuk menginternalisasikan sifat Rasul. Etika ini berorientasi pada kesadaran tertinggi manusia, yaitu kesadaran ketuhanan dan kenabian. Implikasinya, para pengambil kebijakan tidak hanya mengadopsi suatu standar universal yang berlaku umum. Kode etik juga seharusnya ditelaah lebih lanjut mengenai kesesuaian dengan norma dan ajaran kebaikan yang telah disampaikan oleh Nabi atau Rasul terdahulu.
Abstract: : Prophetic Ethics for State Financial Managers. This arti-cle aims to develop the concept of prophetic ethics by using local wisdom of Malay culture. The principles of social science and prophetic spirit are used as methods. This research found the concept of prophetic ethics as an en-deavor to internalize the nature of the Prophet. This ethic is oriented to the highest human consciousness, namely divine and prophetic awareness. The implication is that policymakers not only adopt a generally accept-ed universal standard. The code of ethics should also be explored further about conformity with norms and teachings of goodness that have been conveyed by previous Prophets or Apostles.
“Kamu adalah umat terbaik yang dila-hirkan untuk manusia, menyuruh ke-pada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Al-
lah” (QS. Ali-Imran: 110)
Kutipan ayat di atas merupakan pemantik semangat cendekiawan muslim tanah air Kuntowijoyo dalam membangun konsep ilmu sosial profetik. Dari ayat tersebut lahir landasan trilogi profetik yaitu humanisasi, li berasi, dan transendensi. Lahir nya
landasan tersebut tidak lain dikarenakan kegelisahan beliau terhadap memudarnya eksistensi wah yu (lihat Kuntowijoyo, 1991). Hal ini sena da dengan apa yang dirasakan oleh pemikir besar abad ke20 Prancis, yaitu Roger Garaudy. Dalam tulisan yang fenomenal terkait mitos dan politik Israel, Garaudy menekankan untuk mendobrak keterbelengguan nilai kemanusiaan di tengahtengah masyarakat yang cenderung mendewakan rasio melalui filsafat kenabian dari Islam yang mengakui eksistensi wahyu. Biyan
Volume 10Nomor 2Halaman 342-364Malang, Agustus 2019ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879
Mengutip ini sebagai: Briando, B., & Purnomo, A. S. (2019). Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Negara. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 10(2), 342364.https://doi.org/10.18202/jamal.2019.08.10020
ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA
Bobby Briando, Agung Sulistyo Purnomo
Politeknik Imigrasi Indonesia, Jl. Raya Gandul No. 4, Depok 16514
Tanggal Masuk: 09 Januari 2019Tanggal Revisi: 09 Agustus 2019Tanggal Diterima: 31 Agustus 2019
to (2017) juga membahas hal terkait derajat spiritualis Nabi Muhamad yang mampu mewujudkan eksistensi wahyu menjadi kekuatan psikologis dalam melakukan reformasi sosiohumanitas di tengah masyarakat Arab jahiliyah di masa itu. Nahar & Yaacob (2011) memperkenalkan prinsip filosofis profetik dalam beretika yaitu humanis, emansipatoris, transendental, dan teleologikal. Profetik kemudian berkembang menjadi suatu metode sebagaimana yang dilakukan oleh AhimsaPutra (2016) dalam bukunya yang berjudul “Paradigma Profetik Islam: Epistemologi, Etos, dan Mode”.
Dengan melihat sejarah masa lalu sebenarnya para peneliti etika sebagian besar membangun nilainilai dan konsep berdasarkan “hukum moral” yang melatarbelakanginya. Immanel Kant salah satu nya, dalam memberikan pengertian terhadap “kewajiban”. Kant mengaitkannya dengan “ketentuan formal” (formal requirement), yaitu moral law. Moral law yang dikemukakan oleh Kant memiliki makna religious. Hal ini didasarkan bahwa Kant memang bera sal dari lingkungan Kristen Protestan. Jadi, tidak mengherankan bila “moral law” yang ia gunakan mendapat inspirasi dari etika Protestan (Nahar & Yaacob, 2011; Triyuwono, 2015). Kant mempercayai bahwa aga ma Kristen sebagai sumber yang mempunyai otoritas untuk mengetahui yang baik dan benar. Hal ini pula yang menjadi dasar kuat peneliti berikutnya dalam membangun “mo-ral law” dengan pendekatan lain, salah satunya pendekatan ilmu pengetahuan profetik atau kenabian.
AhimsaPutra (2016) dan Triyuwono (2011) berargumentasi bahwa ilmu pengetahuan profetik mengakui adanya sumber pengetahuan empiris dan tidak empiris. Dari ilmu tersebut kemudian dijadikan sebuah formulasi praktis dalam bentuk “prophetic law”, yang akhirnya disebut dengan nama “etika profetik”. Untuk menghasilkan ketentuan etika ini, diperlukan suatu perangkat, yaitu spirit dan prinsip filosofis profetik, yang menurut AlDaghistani (2016) dan Triyuwono (2015) masing-masing diklasifikasikan ke dalam empat unsur pembentuknya, yaitu kemanusiaan, keilmuan, kehambaan, dan kesemestaan untuk spirit profetik serta humanis, emansipatoris, transendental, dan teleologikal untuk prinsip filosofis profetik.
Diskursus etika dalam pelayanan publik jarang dibahas dan ditemui, terlebih me nyangkut masalah pengelolaan keuangan
negara. Sebenarnya hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa sebagian besar peneliti etika sering menyentuh aspek praktis dibandingkan filosofis. Maka, tidak mengeherankan banyak penelitian etika dikembangkan secara kuantitatif. Etika merupakan ajaran filsafat moral yang notabene mengatur tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak. Seringkali pengelola keuangan tidak mengetahui atau bahkan purapura tidak tahu terkait batasanbatasan mana saja yang boleh dilakukan atau tidak dalam mengelola keuangan negara. Hal ini yang pada akhirnya memunculkan perilaku tidak etis dalam mengelola keuangan, salah satunya korupsi (Briando, Triyuwono, & Irianto, 2017; Hooper, 2017).
Pada sisi lainnya, begitu banyak oknum aparatur (termasuk pengelola keuangan) yang telah menjadi hamba harta dan tahta dengan cara melacurkan dirinya kepada halhal yang bertentangan dengan perintah aga ma. Tontonan dan suguhan berita terkait maraknya korupsi seolah telah menjadi santapan seharihari di negeri ini. Hal ini bisa jadi dikarenakan miskonsepsi atas pembuat an standar etika dan kode etik. Penelitian yang dilakukan oleh Pasaribu & Briando (2019) menyatakan bahwa untuk menyusun standar etika dan kode etik Aparatur Pe ngawas Internal Pemerintah (APIP) Indonesia masih menjiplak standar etika yang berlaku universal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa standar etika yang berlaku universal belum tentu sesuai dengan falsafah negara yang berketuhanan seperti Indonesia (Setiawan, 2016; Sitorus, 2019; Suharto, 2019). Hilangnya nilai ketuhanan dalam standar dan kode etik akan berakibat semakin memudarnya eksistensi wahyu dan lunturnya kewajiban khalifa-tullah fil ardh serta Abdullah. Oleh karena itu, konsep etika profetik dihadirkan dalam rangka menumbuhkan kesadaran asali manusia sebagai pengemban amanah dan hamba Allah sesuai janji saat ruh ditiup dalam kandungan de ngan menyebut dua kalimat syahadat.
METODEPenelitian ini menggunakan cara pan
dang spiritualis. Paradigma ini lebih menekankan keutuhan sebuah konsep, yaitu ketuhanan, kenabian, dan kebudayaan. Persaksian iman atas dua kalimat syahadat serta budaya lokal menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Di sisi lain, penggu
Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 343
naan paradigma spiritualis dilakukan agar konsep etika yang dihasilkan bersifat holistik. Budaya Melayu yang digunakan dalam penelitian ini adalah pepatah dan syair lama. Dalam pepatah dan syair tersebut terkandung dimensi ketuhanan dan kemanusiaan, serta merupakan rekam jejak antara kekuatan eksistensial manusia dan dunia di luar dirinya. Keduanya merupakan sastra lama yang lebih menekankan aspekaspek terdalam dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama, serta lingkungan (Briando, Triyuwono, & Irianto, 2017; Umar, 2014).
Alasan utama menggunakan paradigma ini adalah agar konsep etika yang dihasilkan bersifat lebih utuh atau holistik jika dibandingkan dengan menggunakan paradigma lain. Paradigma ini lebih menekankan keutuhan realitas. Menurut paradigma ini, sebagaimana yang diutarakan oleh Triyuwono (2015) dan Umar (2014), realitas berada dalam satu kesatuan. Bahkan, realitas tersebut berada dalam satu kesatuan dengan Tuhan (Kholifatu, 2018; Santi, 2018). Alasan berikutnya adalah untuk memberikan nuansa yang berbeda dengan paradigma modernis yang melihat realitas secara terpisah de ngan realitas yang lain. Paradigma modernis pada umumnya tidak memberikan ruang sama sekali bagi Tuhan terlebih pada utusannya dalam menyampaikan wahyu. Oleh karena itu, teori yang berhasil dibangun bersifat sekuler dan jauh dari eksistensi wahyu (Briando, Triyuwono, & Irianto, 2017; Triyuwono, 2016). Selain itu, paradigma ini memberikan suatu pembelajaran bahwa berspiritual pun dapat dimulai dengan melakukan penelitian karena sesungguhnya belajar dan menuntut ilmu merupakan aktivitas spiritual seorang hamba kepada Tuhan sebagai jalan untuk kembali pada Tuhan dengan jiwa yang suci dan tenang.
Secara umum sebuah penelitian biasanya menggunakan desain penelitian (re-search design). Namun, dalam desain penelitian spiritualis menurut Triyuwono (2015) memang tidak lazim digunakan karena merupakan desain penelitian yang berdasarkan pada spontanitas spiritual. Spontanitas ini dapat dimiliki oleh setiap orang dengan kadar yang berbeda. Spontanitas ini pada dasarnya merupakan pengalaman keterhubungan spiritual seseorang dengan Tuhan dan sekitarnya. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah satu hal yang nyata kare
na segala sesuatu adalah bagian yang satu dengan Tuhan.
Analisis data adalah bagian penting dalam proses penelitian. Penelitian ini menganggap bahwa peneliti adalah alat utama untuk analisis data. Analisis data seperti ini sebelumnya pernah dilakukan oleh Triyuwono (2015) dalam membuat konsep kinerja klub sepakbola di Malang dan Briando, Triyuwono, & Irianto (2017) dalam membangun infrastruktur etika pengelolaan keuangan negara serta penelitian Umar (2014) dalam mendesain konsep prophetical law untuk membangun hukum berkeadilan dengan kedamaian. Hal yang patut dicermati bahwasannya posisi peneliti adalah sebagai alat utama. Sebagai alat utama menurut Triyuwono (2015), peneliti harus senantiasa berzikir, berdoa, bertafakur, serta berikhtiar guna mendapatkan intuisi sehingga dalam dirinya muncul sebuah alat untuk menganalisis data (Hidayat, 2015; Wijaya, 2010, Zein, 2015).
Pencerahan atau alat yang muncul kemudian dapat berupa logika teoritis atau logika spiritual. Logika teoritis diperoleh melalui aktivitas spiritual, tetapi inspirasi yang diperoleh mengarahkan peneliti untuk menggunakan teori yang telah ada serta pemikiran rasional sebelumnya (Triyuwono, 2015). Sementara itu, logika spiritual adalah logika yang muncul secara spontan melalui aktivitas spiritual yang dilakukan oleh peneliti. Kedua logika ini yang kemudian peneliti gunakan untuk menganalisis data yang dimilikinya (Briando, Triyuwono, & Irianto, 2017).
Peneliti melakukan prosedur spiritual yang dikembangkan oleh Triyuwono (2015) dengan beberapa modifikasi yang kemudian dinamakan holistic method untuk menentukan alat analisis yang tepat dalam penelitian ini. Prosedur pertama adalah berdoa kepada Tuhan. Kegiatan ini merupakan permohonan ampun atas segala kekhilafan peneliti dalam rangka memohon perkenan dari Sang Pemilik Ilmu untuk mencari alat dan metode yang sesuai dalam menganalisis data. Prosedur kedua adalah berzikir. Prosedur ini dilakukan setiap waktu, baik dalam aktivitas penelitian maupun tidak. Prosedur ketiga adalah berkontemplasi (tafakur). Kegiatan ini bertujuan melakukan telaah atas aspek yang dianalisis, dibahas, dan diargumentasikan. Prosedur ter akhir adalah ikhtiar. Ikhtiar merupakan suatu usaha atau aktivitas yang menunjang selama melakukan penelitian.
344 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364
Kegiatan ini bisa dilakukan dengan memperbanyak iqro’ (studi literatur), observasi ataupun wawancara. Adapun pejelasan lebih singkat dapat dilihat pada Gambar 1.
Berbagai uraian mengenai prosedur penelitian (lihat Gambar 1) memberikan jalan bagi peneliti memperoleh inspirasi berupa metafora Syafaat. Artinya, metafora Syafaat akan digunakan sebagai alat dalam menganalisis data. Dengan kata lain, alat analisis yang digunakan termasuk pada golongan logika teoritis. Melalui logika metafora ini, data dianalisis sedemikian rupa sehingga pada akhirnya dapat merumuskan konsep etika profetik. Metafora tersebut kemudian dimanifestasikan dalam sifatsifat kenabian SAFAATMU dan disertai dengan melakukan cross reference terhadap nilainilai budaya yang ada di masyarakat Melayu.
HASIL DAN PEMBAHASANDi sepertiga malam penghujung Ra
madhan yang penuh berkah, peneliti bersimpuh menghadap Ilahi seraya memanjatkan pujipujian dan doa agar diberikan kesadaran dan ampunan atas segala khilaf yang telah dilakukan:
“Ya Allah, ampunilah segala dosadosa hamba, ampunilah dosa kedua orang tua hamba, ampunilah seluruh dosa para pemimpin di negeri ini. Terimalah amal ibadah hamba selama Ramadhan ini. Berkahilah setiap langkah hamba, agar hamba menjadi manusia yang taat, yang selalu menjaga
perintahMu dan menjauhi atas segala laranganMu. Ya Allah, hamba rindu kekasihMu, curahkanlah rahmat untuknya beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga hamba menjadi hamba yang selalu berzikir kepadaMu dan bershalawat kepada kekasihMu, agar mendapat ridho dan syafaat kelak di yaumil akhir, aamiin alla-huma amin.”
“Syafaat”, itulah kata yang terbesit secara spontan di kala peneliti berdoa kepada Sang Pencipta. Doa tersebut dipanjatkan setelah peneliti melakukan prosedur spiritual berzikir kepada Ilahi Robbi. Spontanitas tersebut merupakan suatu logika spiritual yang peneliti dapatkan begitu saja setelah melakukan aktivitas zikir dan doa. Kemudian peneliti mencoba untuk berfikir (tafak-ur) atas apa yang akan diargumentasikan, dibahas, dan dianalisis (Triyuwono, 2015). Semuanya diracik menjadi satu dengan kepasrahan dan kesadaran mendalam kepada Tuhan agar mendapat petunjuk atau inspirasi (Briando, Triyuwono, & Irianto, 2017).
SAFAATMU sebagai sebuah interaksi. SAFAATMU, inilah inspirasi yang diperoleh setelah peneliti melakukan prosedur spiritual zikir, doa, dan tafakur. Prinsip ini merupakan manifestasi dari metafora syafaat yang akan digunakan untuk menghasilkan temuan dalam penelitian ini. Tahapan berikutnya adalah melakukan ikhtiar. Ikhtiar dilakukan dengan menambah pemahaman peneliti melalui Iqro’ atau kajian literatur.
Gambar 1 Metode Holistik
1. Pray2. Zikr3. Contemplation
Capturing local culture
1. Corroboration 2. Getting out true picture
1. Iqro' as a stock of knowledge2. Cross referencesLiterature
Review(endeavor I)
Theistic-Spiritualist Procedure
Interview(endeavor III)
Observation(endeavor II)
Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 345
Semuanya saling berinteraksi dengan kepasrahan dan kesadaran mendalam sehingga mendapatkan ilham atau petunjuk. Dalam perkataan lain, seluruh prosdur dan konsep yang dihasilkan merupakan anugerah yang diberikan oleh Sang Pemilik Ilmu, Tuhan Semesta Alam, Allah Azza wa Jalla.
Melalui proses tersebut peneliti memperoleh logika teoritis yang mengarahkan peneliti menggunakan teoriteori yang telah ada sebelumnya. Dalam hal ini logika teoritis untuk menganalisis data berdasarkan kajian literatur yang peneliti lakukan mengarah pada teori ilmu sosial profetik dan spirit profetik. Teori ilmu sosial profetik menurut Triyuwono (2011) terdiri dari empat prinsip yaitu: humanis, emansipatoris, transendental dan teleologikal. Sedangkan spirit profetik menurut AlDaghistani (2016) terdiri dari spirit kemanusiaan, keilmuan, kehambaan dan kesemestaan. Dengan menggunakan kedua logika teoritis diatas, maka perumusan prinsip etika profetik yang holistik dapat dibentuk. Inilah yang akan membedakan kajian etika yang peneliti angkat dengan kajian etika mainstream pada umumnya.
Output dari logika spiritual dan teoritis tersebut peneliti namakan main princi-ple etika profetik SAFAATMU. SAFAATMU merupakan singkatan dari Shiddiq, Akh-laqul Karimah, Fathonah, Adl, Amanah, Ta-bligh, Muthmainnah, dan Uswatun Hasanah. Melalui sifatsifat tersebut peneliti akan melakukan analisis secara tematik yang pembahasannya dikaitkan dengan karakteristik sifat yang harus dimiliki aparatur dalam pengelolaan keuangan Negara. Penelitian seperti ini pernah dilakukan sebelumnya oleh Triyuwono (2011) dengan konsep ANGELS dalam membangun sistem penilaian tingkat kesehatan bank syariah serta penelitian yang dilakukan oleh Briando, Triyuwono, & Irianto (2017) dalam merumuskan infrastruktur etika MARWAHKU.
Konsep SAFAATMU merupakan hasil interaksi yang dilakukan sedemikian rupa dengan kesadaran dan kepasrahan mendalam kepada Tuhan. Konsep ini kemudian diperkuat dengan nilainilai yang terdapat dalam budaya Melayu, semuanya merupakan bentuk spontanitas yang hadir begitu saja di benak peneliti, baik dalam bentuk logika spiritual maupun teoritis. Inilah yang menjadi ciri khas metode penelitian spiritual yang berbeda dengan penelitian mainstream pada umumnya. Dalam penelitian spiritual, peneliti tidak hanya mengedepankan pikiran
secara logis berdasarkan akal semata, tetapi lebih daripada itu untuk menciptakan kesadaran yang mendalam bahwa ilmu pengetahuan bersumber seutuhnya dari Sang Pemilik Ilmu, Tuhan Semesta Alam.
Spirit kemanusiaan dalam filosofi humanis. Spirit kemanusiaan pada intinya menyiratkan hakikat (tugas) seorang hamba yang diciptakan Tuhan untuk mengemban amanah. Manusia diciptakan sebagai khali-fah yang bertugas untuk mengelola dan memakmurkan bumi. Khalifah memiliki makna “wakil, pengelola, penguasa”. Jika disebut khalifatullah fil ardh memiliki makna wakil Tuhan di muka bumi (Darraz, 2012; Nahar & Yaacob, 2011). Hakikat khalifatullah tersebut kemudian dibingkai dengan filosofi humanis. Humanis sendiri memberi makna sebagai sifat manusiawi yaitu sifat yang sesuai dengan fitrah manusia pada umumnya. Praktiknya harus sesuai dengan kapabilitas dan kapasitas seseorang sebagai makhluk (Abdullah) yang acapkali berhubungan dengan sesama secara dinamis dalam setiap aktivitasnya (Triyuwono, 2015). Jika kedua pengertian tersebut dipadupadankan memiliki makna bahwa Tuhan memberi amanah kepada hambaNya sebagai khalifah untuk mengelola bumi sesuai dengan fitrahnya, serta selalu berinteraksi dengan sesama manusia secara dinamis.
Hal ini mengindikasikan bahwa etika profetik tidak bersifat ahistoris, tetapi bersifat historis, dibangun berdasarkan local wisdom (budaya) serta lebih membumi. Bagi orang Melayu kehidupan yang multikultural bukan menjadi sesuatu hal yang bersifat asin g atau ahistoris. Beragamnya suku bangsa dan agama merupakan suatu hal yang lumrah dijumpai dalam kehidupan masyarakat. Secara fundamental orang Melayu memiliki kecenderungan lebih mementingkan aspek horizontal (hubungan kepada Tuhan). Meskipun demikian, aspek vertikal (hubungan sesama manusia) tidak pula diabaikan. Tingkah laku yang selalu memandang penting kedua hubungan tersebut pada dasarnya mengacu kepada ajaran aga ma dan budaya yang mereka yakini yaitu Orang Melayu selalu berpegang pada konsep pandangan hidup Hablun Minallah, Minan-nas, dan Minal alam (Esram, 2010; Hassan, 2016; Husin, 2017).
Secara umum budaya Melayu lebih memvisualisasikan hubungan manusia yang bersifat kolateral, demokratis, dan membumi. Sikap yang dipelihara dan dijaga hing
346 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364
ga saat ini lebih mengutamakan kekeluargaan serta persaudaraan. Rasa senasib dan sepenanggungan yang tumbuh dan terbina dengan baik dikarenakan masingmasing pihak masih patuh menuruti norma atau adat pergaulan yang dilazimkan. Sikap menghargai tamu merupakan contoh kongkret orang Melayu dalam membina hubungan antarsesama (hablun minannas). Dalam adat Melayu jika seorang tamu berkunjung ke rumah, tuan rumah harus memperlakukannya de ngan baik dan penuh rasa hormat, tanpa memandang apakah tamu itu pembesar atau bukan, semua dijamu dan diperlakukan secara layak. Tuan rumah senantiasa dengan senang hati meluangkan waktunya sampai sang tamu pamit dan mohon diri. Sikap se perti inilah yang masih peneliti rasakan hingga saat ini.
Dalam menjamu tamu sangat ditekankan sopan santun dan sikap merendah diri. Untuk sikap merendah diri dikenal ungkapan berikut: “mandi berhilir-hilir, berkata ber-bawah-bawah”. Pada masyarakat Melayu sering terlihat sikap merendahrendah (Esram, 2010; Hassan, 2016). Peneliti masih sering mendengar ucapan “singgahlah ke pondok kami ini”. Padahal yang dikatakan pondok itu adalah sebuah rumah yang megah. Ini menggambarkan bahwa orang Melayu memiliki sikap selalu merendahkan diri serta tidak suka memamerkan apa yang dimiliki. Masih sering terdengar di telinga peneliti ungkapan yang diutarakan oleh orangorang tua dahulu: “tak mas bungkal diasah, tak kayu jenjang dikeping”. Artinya, untuk menyenangkan tamu, segala yang ia miliki akan dihidangkan. Orang Melayu memiliki anggapan bahwa memuliakan tamu adalah salah satu ajaran mulia yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Dari apa yang telah diutarakan tersebut, dapat ditarik suatu simpulan bahwa masyarakat Melayu memiliki kehidupan yang humanis dan manusiawi. Orang Melayu selalu menjalin hubungan yang baik antarsesama. Interaksi yang dilakukan pun sesuai dengan fitrah manusia, yakni senantiasa memberi rahmat untuk sesama. Orang Melayu memiliki anggapan bahwa hidup tidak dapat berjalan dengan sendirisendiri. Kehidupan harus dijalankan dengan saling bersilaturahim serta tolongmenolong antara satu dengan lainnya sebagaimana ungkapan yang sering dikatakan oleh Orang Melayu, “tak berganjak, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Hal ini bermakna
mulia, spirit tertinggi, dan kebesaran jiwa melalui kebersamaan serta kegotong royongan. Orang Melayu selain menjunjung tinggi semangat kegotong royongan, juga menjunjung nilainilai kebenaran dalam bertutur kepada sesama. Hal ini terlihat dalam ungkapan: “jujur bertutur, bijak bertindak”. Makna yang terkandung adalah setiap ucapan yang dili sankan harus dilandasi kejujuran, dan sikap yang diambil harus senantiasa arif dan bijak.
Dari apa yang telah diutarakan sesungguhnya jika orang Melayu mendapat amanah mengelola keuangan negara, maka sikap jujur ini haruslah menjadi panutan dalam menjalankan setiap tugas dan fungsinya. Namun, dalam praktiknya, berdasarkan fakta sebagaimana berita daring dari liputan6.com per tanggal 13 Juli 2019, terdapat delapan kepala daerah di Riau yang terjerat korupsi. Mayoritas dari kedelapan orang tersebut merupakan orang Melayu. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan ajaran dan petuah orang Melayu.
Shiddiq. Nabi Muhammad SAW mempunyai sifat dan kepribadian yang mulia sehingga membuat dirinya disenangi oleh berbagai kalangan dalam berkomunikasi dan berhubungan dengannya. Pribadi beliau yang begitu mulia dan sempurna menjadi nilai tambah sendiri oleh para pengikutnya (Patmawati, 2014). Di masa mudanya suku Quraisy menjuluki beliau “shiddiq” dan “al-amin”. Beliau selalu dihormati dan dihargai oleh berbagai golongan termasuk kalangan petinggi di Mekkah. Rasulullah mempunyai kepribadian luhur dalam bertutur kata dan bertindak serta santun terhadap sesama sehingga siapa pun yang pergi menemui beliau untuk mendapat wasilah dan risalah pasti akan kembali dengan keteguhan hati dan keyakinan yang mantap (Prajawati, 2016). Rasulullah Muhammad SAW hanya bersabda atas apa yang diwahyukan. Hal ini memberikan konsekuensi bahwa semua anjuran dan larangan yang disabdakan pasti benar adanya karena merupakan perwujudan kebenaran yang berasal dari Tuhan Semesta Alam, Allah Allah Azza wa Jalla (Sakdiah, 2016).
Rasulullah Muhammad SAW selalu berlaku adil dan tidak zholim. Beliau tidak hanya bertutur secara verbal, tetapi selalu ditunjukkan dengan keteladanan serta sikap yang terpuji. Sabda dan titah beliau selalu sejalan dengan perbuatan, tidak terdapat perbedaan antara keduanya. Baik tutur kata
Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 347
maupun sikap dibangun melalui tindakan yang juga benar adanya. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Triyuwono (2016) bahwa siddiq melambangkan kebenaran akan perkataan dan perbuatan seseorang, yang berarti menjauhi perbuatan dusta dan kesesuaian perilaku terhadap norma kebenaran sesuai ajaran Islam. Kebenaran di sini memiliki dua makna, pertama, adalah kebenaran melalui hidayah langsung dari Allah dan yang kedua adalah kebenaran yang tampak dari keselarasan antara perkataan dan perbuatan (yang benar) sehingga tidak ada inkonsistensi di antara keduanya dalam membangun sebuah realitas.
Merujuk pada kejujuran tentunya harus ada suatu dasar yang fundamental dalam menjelaskan sabda kepada pengikutnya agar bertindak jujur dalam setiap situasi, kapan pun dan di mana pun itu. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah tentang penting nya berbuat jujur dan menjadi orang yang jujur di sisi Allah, yang pada intinya menegaskan bahwa kejujuran akan selalu membawa kita kepada kebaikan dan rahmat, demikian pula sebaliknya (Jabbar, 2012; Said, Alam, Karim, & Johari, 2018).
Berdasarkan hadis di atas jika seseorang telah mendapat suatu amanah pekerjaan, katakanlah pengelola keuangan, maka ia sudah semestinya melakukan upayaupaya untuk mencapai pengelolaan yang baik seperti transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, dan integritas atas aktivitas pekerjaan yang dilakukannya. Hal tersebut merupakan salah satu upaya untuk memelihara kejujuran guna mencapai good governance dalam tata kelola keuangan negara. Hal ini rupanya resisten dengan laporan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) per tanggal 30 Juni 2019. Tindak Pidana Korupsi terkait pengelolaan keuangan negara berdasarkan Instansi menurut data telah berjumlah 950 kasus. Kementerian/lembaga menduduki posisi paling atas dengan 347 kasus, disusul kemudian oleh Pemkab/Pemkot dengan 324 kasus Pemerintah Provinsi 128 kasus, DPR dan DPRD 70 kasus, BUMN/BUMD 61 kasus serta Komisi 20 kasus.
Seorang aparatur pengelola keuangan yang telah berikrar dalam sumpah jabatan saat pertama kali dilantik wajib untuk menepati dan melaksanakan janji yang telah diucapkan tersebut, karena yang menjadi saksi atas ikrar sumpah tersebut tidak hanya manusia, tetapi langsung disaksikan Tuhan Yang Mahakuasa. Setelah dipercaya untuk
mengemban amanah mengelola uang rakyat, tunaikanlah amanah tersebut de ngan sebaikbaiknya, buanglah segala bentuk khianat dalam menjalaninya, sampaikanlah kebenaran meskipun itu merupakan hal yang pahit. Terakhir, merupakan sesuatu yang sangat krusial adalah menjaga niat, tutur kata, fikiran dan gerak langkah dari segala yang diharamkan untuk dilakukan, seperti perilaku fraud dan gratification (Kusdewanti & Hatimah, 2016; Sitorus, 2019).
Shiddiq, dalam hal ini sikap jujur, dapat menjauhkan aparatur dari kecurigaan, prasangka, tanpa memiliki beban baik di awal maupun di akhir. Kuncinya sederhana, “Jujur akan mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan mengantar kepada syafaat untuk menuju Tuhan” (Sakdiah, 2016). Jujur dalam konteks bertutur dan bertindak benar terhadap Tuhan, sesama manusia, alam semesta, dan diri pribadi. Dengan kejujuran serta sikap istiqomah seorang aparatur akan dapat melewati halangan dan rintangan yang menghadang di setiap langkahnya termasuk perilaku koruptif, untuk kemudian mendapat syafaat kebaikan nabiullah yang akan mengantarkannya kepada falah (kemenangan). Falah yang paling hakiki adalah dapat bertatap langsung dengan Tuhan Semesta Alam, Allah Azza wa Jalla.
Akhlaqul karimah. Nabi Muhammad SAW sesungguhnya diutus ke dunia sebagai penyampai wahyu dalam rangka penyempurnaan dan pembentukan akhlak manusia (H.R. Ahmad). Hal ini sebagaimana sabdanya yang berbunyi: “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Akhlak dalam definisi yang disampaikan Al Ghazali (1053SM-222M) seorang filsuf besar dalam kitabnya yang fenomenal Ihya’ Ulu-middin memiliki makna sifat dan perilaku yang merasuk kedalam jiwa secara konstan, darinya muncul perilaku yang wajar dan penuh dengan kasih sayang. Konstan dalam artian dilakukan secara simultan dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi sebuah habit, tentunya sesuai AlQur’an dan Sunah (Khoirudin, 2014; Zulhelmi, 2019).
Khoirudin (2014) dalam artikel ilmiahnya mengenai metafisika akhlak menyatakan bahwa akhlak dalam perspektif Islam tidak terbatas pada pola hubungan vertikal manusia dengan Tuhannya, melainkan disejalankan dengan terbentuknya etika (code of conduct) vertikal dan horizontal antarse sama makhluk serta alam semesta: Tu
348 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364
hanmanusia, manusiaTuhan, sesama manusia serta dengan alam. Akhlak harus pula diyakini sebagai wujud kesemestaan dan totalitas melingkupi tatanan kehidupan secara holistik baik sikap dan amal perbuatan (action). Persoalan akhlak dalam AlQur’an menjadi prioritas utama dalam kehidupan manusia (Sirajudin, 2013).
AlQur’an membahas persoalan terkait akhlak, lebih banyak daripada ayatayat yang berkaitan dengan peristiwa lainnya, baik secara praktis maupun teoritis. Untuk hal praktis disinggung lebih kurang 1500 ayat (Khoirudin, 2014). Akhlak bukan me rupakan “ma’rifah” (mengetahui secara mendalam), bukan “kekuatan” dan juga bukan “perbuatan”. Yang lebih setara dengan akhlak adalah “hal” keadaan atau kondisi dimana jiwa atau ruh memiliki potensi yang dapat membangkitkan kesadaraan iman seseorang kepada Allah SWT (Rohayati, 2011). Akhlak tidak mengenal dimensi ruang dan waktu, tetapi mencakup realitas yang lintas batas (transendental). Membentuk akhlaqul karimah memerlukan upaya spiritual yang tinggi serta tekad yang bulat karena akan selalu terjadi kontradiksi dengan sifatsifat mengutamakan diri sendiri (self interest) (Okura, 2013).
Tingkah laku dalam lingkup akhlak tidak sekedar membahas perihal perilaku individu per individu dalam mewujudkan keinginannya, tetapi bagaimana individu mengenal diri dan alam sekitarnya. Ruang lingkup akhlaqul karimah terdiri atas bebe rapa aspek, dimulai dari akhlaqul karimah terhadap Allah, sesama manusia, semesta alam, dan diri pribadi (Khoirudin, 2014; Rohayati, 2011). Pertama, Akhlaqul karimah terhadap Allah SWT Akhlaqul karimah terhadap Allah dapat dilakukan dengan menauhidkan Allah SWT. Tauhid merupakan kesaksian bahwa Allah SWT adalah satusatunya yang memiliki sifat rububiyah, uluhiyah, dan asma’ si-fatiyyah. Tauhid rububiyah memiliki makna bahwa Allah merupakan Tuhan yang Ahad dalam menciptakan alam semesta ini, yang meng atur perjalanannya, yang memilikinya, yang mematikan dan menghidupkan, serta yang berkuasa penuh dalam mendatangkan manfaat dan menimpakan mudarat (Zuhelmi, 2014). Tauhid uluhiyah memiliki makna bahwa kewajiban beriman kepada Allah SWT sebagai satusatunya yang patut disembah (Al-Ma’bud). Tauhid asma’ sifatiyyah yaitu mengimani Allah SWT dengan segala atribut
atau sifat yang melekat padaNya. Misalnya, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Pencipta).
Kedua, Akhlaqul karimah terhadap sesama manusia. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperlakukan sesama secara humanis. Ini terbagi atas akhlaq terhadap keluarga, misal dengan berbudi kepada orang tua, bersikap baik kepada sanak saudara, dan akhlaq terhadap masyarakat dengan cara suka memberikan pertolongan pada orang lain di sekitar. Dengan demikian, akan terbentuk keselarasan dan keharmonisan dalam hubungan antarsesama. Hal ini tentu saja akan menstimulasi kerukunan hidup berbangsa dan bernegara, terlebih kehidupan masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural.
Ketiga, Akhlaqul karimah terhadap semesta. Hal ini dapat dilaksanakan dengan memperlakukan lingkungan dengan baik. Manusia sebagai khalifah bertugas untuk menjaga dan melestarikan alam. Dalam perspektif akhlak Islam, seorang hamba dilarang untuk merusak lingkungan. Segala bentuk perusakan yang terjadi pada lingkungan wajib disikapi sebagai perusakan pada dirinya sendiri. Semua makhluk hidup bernyawa dan bendabenda tidak bernyawa merupakan ciptaan Allah SWT dan menjadi milikNya. Kesemuanya itu memiliki manfaatnya tersendiri serta kebergantungan padaNya. Kesadaran ini yang akan membuka mata dan hati seseorang bahwa setiap manusia hakikatnya merupakan “umat” Tuhan sehingga harus diperlakukan tidak semenamena (Khoirudin, 2014; Umar, 2014).
Keempat, Akhlaqul karimah terhadap diri pribadi. Akhlaqul karimah terhadap diri pribadi dapat dilakukan dengan membentuk pribadi yang memiliki sifat–sifat yang terpuji, seperti syukur, sabar, menjaga amanah, berkata benar atau jujur, menepati janji bila berjanji, serta memelihara kesucian diri. Diskursus akhlak dalam kajian tertentu tidak menguraikan secara gamblang antara (kehidupan) individu atau pribadi dengan kelompok sosial (masyarakat). Hal ini dikarenakan ranah sosial kemasyarakatan termasuk pengelolaan keuangan di dalamnya merupakan satu bagian dari persoalan mendasar konsep kepribadian dan kedirian (self) (Zuhelmi, 2019). Kesemuanya dilakukan dalam rangka membentuk diri menjadi pribadi yang etis karena sesungguhnya Islam mengakui bahwa konsep kepribadian
Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 349
atau kedirian merupakan subjek langsung dari akhlak itu sendiri (Ruslan & Alimuddin, 2012).
Pada akhirnya integralistik akhlak merupakan landasan bagi perbuatan seseorang dalam upaya membentuk insan kamil yang memiliki watak humanis (Malsch & GuéninParacini, 2013; Stevens & Thevaranjan, 2010). Sesungguhnya, setiap tahapan dan rangkaian dalam membentuk akhlaqul karimah, baik dalam bentuk anjuran (sunah) maupun perintah dalam mengerjakan sesuatu atau untuk meninggalkan suatu perbuatan yang dilarang. Pada hakikatnya dua hal tersebut merupakan sebuah upa ya untuk meluhurkan dan menyempurnakan akhlak manusia sebagai khalifatullah fil ardh. Budi pekerti berkait an dengan perilaku kehidupan, perilaku atau akhlaq sebagai cerminan diri sese orang, jika baik perangainya maka akan baik budi pekertinya. Akhlaq tersebut yang akan menuntun seseorang, dalam hal ini pengelola keuangan, untuk melakukan atau bertindak sesuai dengan norma yang berlaku. Dengan memiliki akh-laqul karimah menjadikan pengelola keuangan tidak akan mudah terombangambing mengikuti ke mana arah angin. Pengelola keuangan yang telah mantap dalam akh-laqnya ibarat “pondasi menara” yang kuat tertanam, sehingga dapat mengantarkannya menjulang tinggi laksana “menara” itu untuk semakin dekat dengan Sang Pencipta nya. Sebuah menara tidak akan berdiri tegak jika tidak memiliki pondasi yang kokoh. Akhlaq yang akan menjadikan pengelola keuangan memiliki pondasi yang kuat dan kokoh dalam mengelola keuangan negara.
Spirit keilmuan dalam filosofi eman-sipatoris. Spirit keilmuan merupakan suatu bentuk kesadaran akan esensi ilmu pengetahuan. Spirit ini menyadari sepenuhnya bahwa pemilik ilmu hakiki serta sumbernya adalah Allah SWT. Setiap ilmu yang bersumber dari Allah adalah mutlak kebenarannya. Ilmu tersebut diabadikan berdasar tuntunanNya serta didedikasikan untukNya, sesama manusia, semesta alam, serta diri pribadi. Inilah hakikat sejati spirit keilmuan (Darraz, 2012; Triyuwono, 2015). Spirit keilmuan tersebut kemudian dibingkai dengan filosofi emansipatoris. Emansipatoris merupakan sebuah ekspresi kemerdekaan manusia dari segala bentuk penindasan ataupun eksploitasi baik berbentuk aksi maupun ideologi. Tujuan emansipatoris sendiri adalah untuk mengubah mindset atas pemikiran dan aksi
seseorang, yaitu dari pandangan yang tertutup menuju pandangan utuh, sehingga akan menciptakan suatu aksi yang “merdeka”, tidak terbelenggu atau “terjajah” oleh jaring kuasa semu (Nahar & Yaacob, 2011).
Dalam konteks ini berarti etika profetik akan membebaskan diri dari segala bentuk penindasan atas kuasa yang sewenangwenang serta bersifat independent. Hal ini tida lepas dari basis epistemologis utama etika profetik berdasarkan kajian AhimsaPutra (2016) terdiri dari Tauhid (faith), nabi (prophet), dan ilmu (knowledge). Ini memberikan makna bahwa etika profetik sebagai pengetahuan (knowledge) dapat digunakan untuk mengarahkan praktik etika (action). Praktik etika profetik menggunakan bingkai keimanan atau tauhid (faith) serta kenabian (prophet). Keduanya ibarat dua sisi koin yang tidak terpisah antara satu dengan lainnya, sebagaimana ikrar persaksian iman dalam dua kalimat syahadat. Dalam persaksian iman sebagaimana dijelaskan, secara filosofis etika profetik (sebagai ilmu dan spirit) mempunyai prinsip antara lain spirit kemanusiaan dalam filosofi humanis, spirit keilmuan dalam filosofi emansipatoris, spi-rit kehambaan dalam filosofi transendental, serta spirit kesemestaan dalam filosofi teleo-logikal.
Dalam ajaran Melayu dikenal istilah Lemu (ilmu), yaitu semacam penafsiran terhadap ayat AlQur’an dan Sunnah Nabi, berimplikasi kepada pembukaan intuisi dan inspirasi untuk memperoleh kekuatan spiritual yang dapat menunjang aktivitas mental (Burhanudin, 2018; Hassan, 2016). Dalam tradisi Melayu pengetahuan pertama yang diajarkan adalah pengetahuan tentang gejala alam. Ini dalam budaya Melayu disebut sebagai “lemu ilahiat” yaitu ilmu yang mentadabburi ayatayat kauniah Tuhan. Bagi orang Melayu pengetahuan mengenai gejala alam merupakan hal mutlak yang harus dimiliki. Menurut mereka alam adalah sumber serta “fakultas” untuk mempelajari ilmu Tuhan (Esram, 2010; Husin, 2017).
Orang Melayu memiliki pemahaman yang begitu mendalam mengenai gejala alam. Peneliti dapat melihat dari pemahaman me reka tentang adanya musim yang berhubung an dengan kegiatan pertanian dan penangkapan ikan. Pengetahuan tentang bintang (astrologi) dalam hal ini wawasan tentang rasi bintang sebagai petunjuk arah dalam berlayar, serta ilmu yang memprediksi atas gerakgerik benda langit (astronomi)
350 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364
dan gejala alam mengenai musim untuk bercocok tanam telah dikuasai de ngan baik oleh orang Melayu (Esram, 2010). Orang Melayu menggunakan pengetahuan tentang gejala alam tersebut sebagai pemandu dalam melaut dan bercocok tanam. Tampak pada aktivitas mereka yang selalu berlayar pada malam hari dengan memanfaatkan angin darat untuk mendorong perahu, serta menggunakan petunjuk navigasi alami melalui rasi bintang sebagai petunjuk arah berlayar ke laut. Hal tersebut merupakan aksi nyata bahwa orang Melayu memiliki pengetahuan dengan belajar pada alam.
Dengan memanfaatkan alam secara arif dan bijaksana serta mengambil hikmah dan pelajaran darinya (tadabur ayat kauni-yah Tuhan), maka terbukalah pintu rezeki dari segala penjuru, baik di darat maupun di laut, dengan terbukanya pintu rezeki, maka tercukupilah segala kebutuhan. Untuk itulah orang Melayu sangat menghormati alam dan menjadikan alam sebagai sumber ilmu untuk kemudian dari ilmu itu diperoleh teknik atau cara mengolah alam, sehingga mereka dapat berikhtiar atau berkerja dalam memenuhi kebutuhan hidup (Burhanudin, 2018). Bagi masyarakat Melayu berkerja adalah fitrah manusia dalam berikhtiar kepada Sang Pencipta. Dengan bekerja, kebutuhan hidup akan terpenuhi, yang pada akhirnya akan membebaskan manusia dari keterpurukan serta dapat hidup secara layak (misi emansipatoris) (Esram, 2010; Husin, 2017). Fitrah ini yang kemudian harus menjadi landasan dalam berpijak seorang aparatur pengelola keuangan dalam menjalankan tugas dan fungsi mengelola keuangan Negara.
Fathonah. Kesuksesan baginda Nabi sebagai seorang khalifatullah tidak terlepas dari kecerdasan yang mumpuni melalui karunia Tuhan Semesta Alam. Kecerdasan tersebut tidak saja digunakan untuk menjelaskan dan memahami wahyu yang disampaikan Allah SWT, tetapi juga sebagai bekal bagi baginda Nabi mendapat amanah dari Allah untuk memimpin umat. Islam sejatinya merupakan rahmatan lil alamin. Oleh karenanya, diperlukan pemimpin yang memiliki pengetahuan untuk dapat memberikan pandangan, bimbingan, nasihat, dan petunjuk bagi umatnya dalam memahami wahyu yang disampaikan oleh Tuhan Semesta Alam (Sakdiah, 2016). Sesuai dengan buktibukti otentik dan kesaksian sejarah dalam kitab suci serta berbagai petunjuk dalam peradaban Islam, baginda nabi ialah seorang yang
ummi, yang tidak memiliki kemampuan dalam membaca dan menulis. Maka, dapat disimpulkan bahwa ilmu Rasulullah SAW merupakan pengetahuan yang tidak pernah tersentuh oleh ajaran manusia serta diajarkan langsung oleh Allah SWT (Sakdiah, 2016). Beliau laksana “bunga” yang diberi pupuk langsung oleh yang menciptakan bunga itu, yaitu Allah SWT.
Kecerdasan Rasulullah SAW melihat celah untuk menyampaikan dakwah terlihat dari kepribadian beliau dalam melaksanakan dakwahnya. Dakwah pertama dilakukan secara tertutup kepada kerabat dekat dan orangorang yang tinggal bersamanya. Setelah itu berulah secara terangterangan Rasulullah berdakwah kepada khalayak ramai, yaitu masyarakat Mekah dan kaum Quraisy (Rohayati, 2011; Sakdiah, 2016). Dalam pola kepemimpinan yang beliau kembangkan bersifat friendship system, yaitu sistem kapabilitas dan sistem persahabatan. Peristiwa ini dapat dijumpai dalam prosesi menunjuk para sahabat untuk menduduki jabatan strategis tertentu dengan melihat kompetensi masingmasing. Ini merupakan kecerdasan manajerial yang dimiliki oleh baginda Nabi agar proses pemilihan dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Fathonah merupakan salah satu sifat mulia Rasulullah, yaitu pemilik akal yang cerdas sebagai seorang khalifah. Suatu negara akan mencapai taraf adil dan makmur jika pemimpinnya memiliki sikap yang bijaksana, wawasan yang luas, serta mengetahui mana yang benar dan salah sesuai dengan apa yang diperintahkan Tuhan. Kemampuan baginda Nabi dalam menyampaikan dakwah merupakan bukti kongkrit bahwa beliau adalah seorang pemimpin yang cerdas lagi bijaksana. Hal ini senada dengan pernyataan Triyuwono (2015) bahwa Fatho-nah adalah suatu bentuk kebijaksanaan yang direpresentasikan oleh intuisi, pengetahuan terhadap apa yang benar dan salah, dan kapasitas untuk berbuat adil. Maka dari itu, kedewasaan dan pengalaman hidup di dalam masyarakat yang majemuk akan menguatkan kualitas kebijakasanaan itu sendiri.
Sifat utama pemimpin mestilah cerdas dan lugas sehingga mengetahui secara le bih holistik atas apa yang menjadi masalah serta memahami secara tepat atas apa yang diperbuat untuk menyelesaikan permasalahan itu. Hal ini juga semestinya tidak hanya diamalkan oleh pimpinan, tetapi juga untuk
Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 351
segala sumber daya yang terdapat dalam organisasi, termasuk dalam hal ini organisasi sektor publik umumnya dan pengelola keuangan khususnya. Seorang pemimpin harus memahami dan menguasai apa saja bagianbagian serta tugas dan fungsi dalam suatu sistem organisasi (berilmu), kemudian menyelaraskan ilmu tersebut agar sesuai dengan visi dan misi yang telah ditentukan.
Dalam mengelola uang negara, pengelola keuangan harus mengetahui jenis dan sifat pekerjaan atau tugas yang diembannya, serta dengan segala kapabilitas dan kapasitas yang dimiliki harus mampu memberikan keputusan secara tepat, benar, dan adil. Oleh karena itu, dapat memberikan petunjuk yang baik serta terbebas dari belenggu ketidaktahuan terhadap staf pengelola keuangan di bawahnya. Hal ini dapat dilakukan dengan mencontoh sikap fatho-nah yang diamalkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, sebagaimana yang dikatakan juga oleh Saprin (2017) dan Mulawarman & Kamayanti (2018) bahwa kesuksesan Rasulullah menjadi rahmat bagi semesta alam adalah terbebasnya manusia dari kejahiliahan serta kebodohan melalui landasan keimanan, kasih sayang serta niat yang tulus. Dakwah Rasul bukan hanya untuk menguasai tampuk pemerintahan, melainkan lebih pada mengajak kepada sesuatu yang benar, baik, serta terbebas dari belenggu kebodohan (misi emansipatoris).
‘Adl. Sikap adil Rasulullah Muhammad SAW tercermin dalam kisah peletakan kembali Hajar Aswad setelah renovasi bangunan Kabah selesai. Pada waktu itu terjadi perbedaan pendapat yang krusial di antara orangorang Quraisy sehingga hampir menimbulkan permusuhan (Cahyadi, 2014). Perselisihan pendapat tersebut berkaitan dengan siapakah yang pantas dan layak meletakkan batu tersebut. Pada situasi yang genting itu Abu Umayyah Al Makhzumi seorang tokoh yang paling dituakan dan disegani oleh kaum Quraisyi tampil ke depan untuk meredamkan gejolak perselihan tersebut. Abu Umayyah kemudian berkata, “barang siapa yang pertama kali masuk masjid melalui pintu Bani Syaibah, maka tugas mulia itu akan diserahkan kepada orang tersebut” (Saifullah, 201).
Atas ketetapan Allah ternyata Nabi Muhammadlah yang pertama kali masuk masjid melalui pintu itu. Ketika Rasulullah diberi tahu mengenai kabar tersebut, dengan kemantapan hati segera beliau mem
bentangkan surbannya dan meletakkan Hajar Aswad di tengahnya. Dengan sikap adil yang tertanam dalam dirinya, beliau meminta kepada setiap kepala suku agar masingmasing memegang tiap ujung surban dan mengangkatnya secara bersamasama. Ketika telah sampai di tempatnya, beliau mengambil batu tersebut dengan tangannya sendiri. kemudian rasul meletakkan di tempat yang semestinya. Senang dan puaslah semua orang Quraisy atas sikap yang dilakukan baginda rasul pada waktu itu (Cahyadi, 2014; Saifullah, 2011).
Dalam bidang muamalah pun Rasululla h selalu berlaku adli, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi yang pada intinya nabi melarang adanya pemalsuan, termasuk di dalamnya mengurangi timbangan. Jika nilainilai ini tertanam dalam diri pengelola keuangan negara, segala bentuk ketidakadilan dan kecurangan akan semakin terminimalisasi. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Boyce (2014) bahwa sikap dapat mempengaruhi seseorang dalam berlaku dan bertindak. Jika seseorang, katakanlah pengelola keuangan, memiliki sikap yang terpuji dan adil, segala tindakan dan sikapnya dalam bekerja juga akan mencerminkan sikap itu.
Kata adil sendiri berasal dari bahasa Arab ‘Adl yang memiliki makna sama. Seseorang dapat dikatakan adil apabila seimbang dalam menilai sesuatu, tidak berat sebelah kepada salah satu pihak, kecuali keberpihakannya kepada kebenaran sehingga tidak akan berlaku zalim. Adil merupakan salah satu tema yang menjadi concern para ulama. Adapun makna keadilan dalam perspektif lain sering dianalogikan sebagai sikap yang identik dengan suatu “ukuran” yang sama, bukan ganda (Mursal & Suhadi, 2015). Lebih lanjut Shihab (2009) menyatakan adil merupakan suatu upaya dalam memperlakukan orang lain setara atau sama dengan perlakuan terhadap diri sendiri di mana seseorang tersebut memiliki hak untuk mengambil semua yang menjadi haknya, dan memberi semua yang menjadi hak orang lain tanpa zalim.
Shihab (2009) dalam bukunya mengenai wawasan AlQur’an membahas perintah dalam berlaku adil mengutip tiga kata yang terdapat dalam AlQur’an yakni, al-Adl, al-Qisth, dan al-Mizan. Kata al-‘Adl merujuk kepada makna berimbang, yang mengindikasikan adanya beberapa pihak. Kata al-Qisth merujuk kepada sesuatu hal yang pa
352 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364
tut dan wajar. Sementara itu, kata al-Mizan merujuk kepada makna alat untuk menimbang sesuatu. Ketiganya, sekalipun berbeda konteks memiliki indikasi yang sama yaitu perintah untuk berlaku adil. Penjelasan kata al-‘Adl, al-Qisth dan al-Mizan terdapat dalam surat ArRahman ayat 79 yang menyatakan bahwa Allah telah meninggikan langit dan meletakkan neraca keseimbangan (keadilan) serta mewajibkan penegakan keadilan dan larangan untuk merusak keseimbangan itu (Biyanto, 2017).
Keseimbangan alam diatur dan ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, pemilik alam semesta ini. Keseimbangan tercipta agar bumi dapat berputar pada porosnya, pergantian siang dan malam untuk keberlangsungan hidup, ada matahari dan bulan sebagai penyeimbang gravitasi dan penyubur kehidupan. Keseimbangan (equilibrium) memiliki fungsi dan peran yang sangat menentukan kehidupan umat manusia dalam memperoleh kemenangan (Falah) (Soysa, 2019). Falah hanya dapat dicapai jika terjadi keseimbangan dalam hidup. Sebab, keseimbangan adalah sunatullah (Triyuwono, 2016).
Kehidupan yang seimbang merupakan bagian dari ajaran Tauhid. Islam kerap disebut sebagai umat pertengahan (Ummatan Wasathan) (Soysa, 2019). Adil memiliki tujuan agar tercipta kehidupan yang harmonis dan seimbang, mencakup secara keseluruhan antara lain keseimbangan mental dengan fisik, spiritual dengan material, sosial de-ngan individu, serta dunia dengan akhirat. Keseimbangan mental dengan fisik, spiritual, dan material akan menciptakan kesejahteraan yang holistik bagi manusia. Seseorang yang mengabaikan aspek spiritual dan berlebihan dalam mementingkan aspek material, hanya akan melahirkan suatu kebahagiaan semu belaka, bahkan justru dapat mengakibatkan malapetaka dalam dirinya (Malloch, 2010).
Adil sering dikontradiktifkan dengan makna zulm (zalim) dan itsm (dosa). Keadilan ataupun kezaliman bisa dilakukan baik oleh seseorang terhadap Tuhan, diri sendiri, maupun orang lain, serta terhadap alam. Contoh orang yang zalim terhadap Tuhan adalah dengan melanggar segala perintahNya serta melakukan atas apa yang telah dilarang olehNya, zalim terhadap diri sendiri adalah orang yang hanya mengejar dunia dan lupa akhirat. Sibuk mengejar kebutuhan fisik
tetapi lupa kebutuhan rohani. Sementara itu, zalim terhadap alam adalah dengan merusak alam serta tidak menjaganya, seperti perilaku illegal loging dan hyper exploitation terhadap sumber daya alam.
Adil juga dapat diartikan sebagai bentuk pembebasan. Sebagaimana diketahui bahwa etika pengelola keuangan negara yang selama ini fokus pada aspek uitilitas dan materi menimbulkan efek pada terpinggirkannya (atau tertindasnya) aspekaspek nonmateri. Aspek yang tertindas atau tersingkir ini diangkat dan dibebaskan untuk kemudian didudukkan dalam posisi yang adil sebagaimana memosisikan aspek materi. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan bisa saja dengan mengusulkan akun khusus dalam postur anggaran yang mendukung kegiatankegiatan pembinaan spiritual. Membuat perencanaan dan usulan terkait mata anggaran “revolusi spiritual aparatur” dapat menjadi salah satu solusi dalam memfasilitasi kegiatankegiatan, seperti biaya pelaksanaan zikir mingguan, biaya binroh (bina rohani), dan biaya pengajian rutin aparatur (Program Emansipasi).
Spirit kehambaan dalam filosofi tran-sendental. Spirit kehambaan, hakikat tugas kehambaan manusia kepada Robbnya adalah menjadi rahmat bagi semesta alam (AlDaghistani, 2016; Darraz, 2012). Amanat tersebut disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW sebagaimana firman Allah SWT dalam Alqur’an Surat AlAnbiya ayat 107 yang berbunyi: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Spirit kehambaan tersebut kemudian dibingkai dengan filosofi transendental. Transendental berarti beriman kepada Tuhan Semesta Alam. Tujuannya sendiri adalah menambahkan dimensi transendental di mana dalam dimensi ini nilai memiliki orientasi pada duniawi ataupun ukhrowi (Nahar & Yaacob, 2015).
Dalam konteks ini berarti etika profetik tidak sekedar memberikan petunjuk tentang baik dan buruk, tetapi lebih pada bentuk tanggung jawab seorang hamba terhadap Tuhannya, sesama manusia, diri sendiri, serta alam sekitar. Prinsip ini yang akan mengantarkan manusia kepada derajat tertinggi, mengantarkan manusia kepada tujuan sejati, yaitu kemenangan (falah) dalam bentuk kesuksesan seorang hamba kembali pada Sang Pencipta dengan jiwa yang suci dan tenang.
Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 353
Di seluruh alam Melayu yang luas, orang Melayu senantiasa menempatkan hubungan vertikal (hablun minallah) sebagai bagian utama dalam menjalani hidup dan kehidupan (Esram, 2010; Husin, 2017). Hal tersebut merupakan manifestasi dari kepercayaan mereka terhadap suatu Dzat yang Maha Segalanya, yaitu Dzat Tuhan Yang Mahabesar dan Mahamulia. Dialah yang wajib al-wujud yaitu wajib adanya, mustahil tiadanya yakni Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. Dengan demikian, orang Melayu selalu melakukan segala sesuatunya dengan niat hanya sematamata kepada Allah sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri sebagai makhluk ciptaanNya.
Kehidupan spiritual masyarakat Melayu dapat dikatakan masih sangat kuat. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti bahwa segala sesuatu pekerjaan yang boleh dikatakan besar selalu didahului dengan memohon kepada Tuhan untuk memberkahi pekerjaan yang akan dilakukan tersebut yang biasa disebut dengan “doa selamat” (praktik transendental). Doa selamat dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan. Peneliti juga masih menemukan adanya praktikpraktik yang mempercayai adanya kekuatan lain yang bersifat supranatural. Seperti saat akan membuang “hajat” (buang air besar atau air kecil) di tempat umum, misal di belakang pohon besar, maka sebelum menuntaskan “hajat” tersebut, orang Melayu selalu menyebut: “permisi atuk, permisi nenek, anak cucu numpang kencing”. Hal ini semakin menguatkan bahwa Melayu memiliki prinsip transendental, yaitu prinsip yang melintas batas materi dan cenderung bernuansa spiritual (Esram, 2010; Hassan, 2016).
Amanah. Jauh sebelum menjadi Rasul Nabi Muhammad SAW telah lama mendapat gelar al-Amin (yang dapat dipercaya) oleh kaumnya. Gelar tersebutlah yang kemudian meninggikan derajat baginda Rasul di atas nabinabi dan pemimpin umat terdahulu. Dengan gelar ini pula, Rasulullah bertransformasi menjadi pemimpin yang amanah, yakni pemimpin yang bersungguhsungguh dalam memikul tanggung jawab atas kepercayaan, tugas, dan amanah yang telah diberikan Allah SWT tidak terkecuali sekecil atau seringan dan sebesar atau seberat apa pun amanah itu. Amanah dalam konteks ini adalah segala sesuatu yang dipercayakan kepada baginda rasul, meliputi segala aspek
dalam kehidupan, baik agama, ekonomi, sosial, pemerintahan, maupun politik.
Sifat amanah Nabi Muhammad SAW merupakan contoh kongkret bahwa beliau merupakan seorang hamba yang dapat dipercaya. Kepercayaan tercipta dengan cara menyampaikan sesuatu dengan apa adanya, tanpa ditambah dan dikurang sedikit pun dari wahyu yang telah diperoleh. Sesuatu yang harus disampaikan kepada umat, disampaikan apa adanya, tidak ditambah ataupun diubah sedikit pun sesuai wahyu yang didapat. Demikianlah fakta yang sebenarnya bahwa setiap firman akan senantiasa disampaikan oleh Rasul tidak kurang dan tidak lebih sebagaimana firman yang disampaikan oleh Tuhan kepadanya. Bahkan, dalam peperangan sekali pun baginda rasul tidak pernah mengambil harta dari rampasan perang untuk kepentingan dan keuntungan pribadinya. Beliau juga tidak pernah menyebar luaskan aib atau kekurangan seseorang yang datang meminta wasilah atau risalah dalam menyelesaikan suatu perkara dan hal lainnya.
Sebagai khalifah Nabi Muhammad SAW senantiasa memperhatikan kebutuhan umat nya, mendengar keluh kesah dan harap an, serta melihat kemampuan yang ada pada umatnya, mulai dari potensi diri pribadi, potensi manusiawinya, serta potensi alam sekitar. Pada akhirnya, fokus utama hanya pada aktivitas dakwah yang dilakukan. Keimanan dan ketakwaan menjadi agenda utama dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang unggul pada waktu itu. Sebagai khalifah atau pemim pin Nabi Muhammad SAW berikhtiar untuk selalu berkorban dan melakukan yang terbaik demi kebaikan umatnya, bahkan sampai hembusan nafas terakhir pada akhir hayatnya masih memikirkan umatnya. Inilah bukti cinta dan kasih baginda Nabi kepada umatnya. Pemimpin sejati selalu mengutamakan umat atau rakyatnya dibandingkan dirinya sendiri. Hal ini menjadikan beliau sangat dicintai dan dirindukan oleh umatnya (Saifullah, 2011; Sakdiah, 2016).
Amanah menurut Nahar & Yaacob (2011) merupakan sesuatu yang dipercayakan kepada orang lain untuk dilaksanakan atau digunakan sebagaimana keinginan orang yang mengamanahkan. Hal ini mengindikasikan bahwa pihak yang menerima amanah tidak memiliki hak mutlak atas apa yang diamanahkan tersebut. Pihak yang
354 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364
diberi amanah sejatinya hanya berkewajiban memelihara dan melaksanakan amanah dengan sebaikbaiknya atas apa yang telah diamanahkan oleh pemberi amanah. Dalam hal ini Allah SWT, Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta adalah sebagai pemberi mandat mutlak yang berkuasa penuh atas amanah yang dibebankan kepada manusia. Tidak ada satu pun yang dapat membantah realitas ini (Triyuwono, 2016).
Secara garis besar Triyuwono (2015) menyatakan bahwa ada tiga bagian utama dalam struktur amanah, yaitu pemberi amanah (Allah SWT), penerima amanah (Manusia), dan amanah itu sendiri. Tugas manusia sebagai khalifah yang mendapat amanah dari Allah berkewajiban menyebarkan rahmat bagi seluruh alam. Amanah merupakan kewajiban umum (universal) bagi seorang hamba Allah tanpa ada batas ruang dan waktu. Tugas tersebut harus dilandasi oleh hal yang fundamental yakni bahwa semua tindak an untuk menyelesaikan amanah tersebut harus dilakukan dalam rangka sematamata beribadah pada Allah (Triyuwono, 2016). Hal ini pulalah yang sebaiknya dilakukan juga oleh aparatur pengelola keuangan negara. Amanah yang telah diberikan sebagai pengelola uang rakyat harus dilakukan dalam kerangka penyembahan dan pengabdian kepada Tuhan. Inilah hakikat aparatur sebagai seorang hamba Tuhan.
Konsekuensi manusia sebagai penerima amanah adalah kesadaran untuk patuh, tunduk, dan pasrah secara ikhlas kepada Sang Pemberi Amanah (Allah SWT). Oleh karena itu, penerima amanah berkewajiban menjalankan amanah yang dibebankan dengan sebaikbaiknya, baik menyangkut hakhak Allah, hakhak sesama manusia, hakhak pribadi, maupun hakhak terhadap alam. Amanah mengacu pada sesuatu yang layak dipercaya. Ini adalah sifat di mana seseorang mendapat kepercayaan oleh orang lain karena ia dipercaya mampu mengemban amanah yang telah diberikan. Triyuwono (2016) menyatakan bahwa sifat dapat dipercaya adalah suatu kondisi di mana seseorang telah mendapat kepercayaan dari orang lain karena kompetensi, kapasitas, dan kejujurannya.
Jika pengelola keuangan melakukan hal yang sama, akan tumbuh suatu kesadaran bahwa dalam mengemban amanah, amanah sejatinya memiliki konsekuensi terhadap pemenuhan kebutuhan dan hakhak orang lain termasuk dalam konteks ini
hakhak Tuhan, hakhak pribadi serta hakhak semesta alam. Ini akan menghilangkan suatu sikap egosentrisme, yaitu sifat yang selalu menjadikan diri sendiri sebagai pusat dari segala hal. Sifat seperti ini akan menciptakan aparaturaparatur yang apatis dan egois tanpa memperdulikan kepentingan dan hakhak yang lain (khianah). Amanah sejatinya yang akan menjadi filter sifat-sifat seperti itu.
Tabligh. Panggilan menjadi utusan Allah bagi Nabi Muhammad SAW adalah ketika usia beliau menginjak 40 tahun. Bertemunya baginda Nabi dengan Malaikat Jibril di gua Hira yang memerintahkan beliau membaca wahyu dari Allah SWT untuk pertama kalinya, merupakan suatu bentuk pemberitahuan dan penegasan pengangkatan Nabi Muhammad menjadi seorang Rasul Allah (Sakdiah, 2016). Hanya ayat yang terdapat dalam kitab suci menjadi saksi nyata buat umatnya sebagai pengganti nihilnya simbol status atau Surat Keputusan (SK) yang dapat dijadikan bukti kerasulannya. Surat AlAlaq ayat 15 menjadi wahyu pertama yang diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan adalah salah satu buktinya. Inilah bukti baginda Nabi menjadi utusan Allah SWT. Tugas itu bermakna beliau memiliki kewajiban berdakwah sekaligus memimpin manusia menuju ke jalan yang lurus (Patmawati, 2014).
Salah satu predikat yang disandang oleh Rasulullah yaitu mundhir (pemberi peringatan) (Sakdiah, 2016). Diutusnya baginda Nabi sebagai mundhir yakni untuk memperbaiki, membimbing, serta mempersiapkan umat memperoleh kebaikan serta kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Predikat mundhir yang disandang beliau menuntut agar memahami dan me nguasai segala kabar yang disampaikan untuk dapat dijadikan sumber utama dalam berdakwah serta untuk menyampaikan risalah dan tuntunan tersebut kepada seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Sebagai orang yang beriman sudah menjadi kewajiban bagi kita sebagai umatnya untuk meyakini bahwa Tuhan telah mengirimkan beberapa utusan (Nabi dan Rasul) dari golongan sendiri untuk memberi petunjuk serta menyampaikan hukumhukum yang berkenaan dengan perbuatan yang diperintahkan serta dilarang olehNya (Patmawati, 2014).
Konsep dakwah yang dilakukan Rasulullah berasal dari hasil pembelajaran dan berfikir cerdas atas beberapa peristiwa yang
Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 355
akan dan telah terjadi serta melakukan observasi terhadap kondisi dan situasi yang ada. Di samping itu, Rasulullah juga sangat memperhatikan konsep yang logis dan teratur secara seksama dalam mengungkapkan permasalahan yang hendak disampaikan. Ketika baginda Nabi akan berdakwah, beliau pada awalnya selalu menentukan lokasi yang aman serta memanggil orangorang terpilih untuk kemudian disampaikan dakwah kepadanya, kemudian baru beliau mengungkapkan persoalan yang berterima secara umum sehingga tidak diperselisihkan oleh siapa pun (Patmawati, 2014; Sakdiah, 2016). Hal ini merupakan cara yang efektif dalam memperkenalkan suatu ajaran baru kepada para pengikutnya.
Tabligh merupakan sifat mulia yang dimiliki Rasulullah Muhammad SAW. Cara dan metode dakwah yang digunakan beliau dapat kita tiru dan teladani. Objek dakwah pertama adalah keluarga terdekat, baru kemudian berdakwah ke segala penjuru (Patmawati, 2014). Sebelum memberikan risalah, beliau terlebih dahulu yang mengerjakannya. Sifat ini merupakan senjata dakwah karena apa yang disampaikan merupakan suatu kebenaran untuk kepentingan umat dan menegakkan agama Allah. Tabligh sesungguhnya berkaitan dengan sikap keterbukaan (transparansi) dalam penyampaian suatu informasi (Sakdiah, 2016). Salah satu ciri tabligh adalah keberanian menyatakan kebenaran meskipun memiliki konsekuensi yang tidak ringan melalui perasaan cinta yang mendalam serta niat yang mulia. Tindakan tersebut disampaikan sebagai bentuk pencerahan (Dreßler, 2019). Hal tersebut selaras dengan pernyataan Triyuwono (2016) bahwa Tabligh adalah suatu upaya untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang baik, penuh kasih, pembelajaran yang baik, dan niat yang tulus, serta citacita yang luhur. Usaha ini, tentunya, didorong oleh motivasi spiritual untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat demi menciptakan lingkungan sosial dan spiritual yang baik.
Hal ini pula yang sebaiknya dimiliki oleh para aparatur pengelola keuangan. Seorang pengelola keuangan harus berani untuk menyatakan kebenaran meskipun itu memiliki konsekuensi yang berat salah satunya tidak disukai oleh pimpinan. Pengelola keuangan harus berani untuk mengatakan tidak jika diinstruksikan untuk melakukan tindakan yang mengarah pada fraud, walau
pun instruksi tersebut merupakan perintah langsung yang diberikan oleh pimpinan di atasnya. Aparatur hanya memiliki kewajiban menghamba kepada Allah, bukan kepada pimpinan. Sebagaimana ungkapan istilah yang terkenal berikut, “kul al-haq walau kaana murran”, sampaikanlah kebenaran itu walaupun pahit rasanya.
Spirit kesemestaan dalam filosofi teleological. Spirit kesemestaan sejatinya merupakan perangkat nilai atau ruh yang digunakan untuk menentukan baik buruk nya dampak gagasan, aktivitas, dan keilmuan terhadap situasi dan kondisi lingkungan alam (AhimsaPutra, 2016). Spirit ini merupakan manifestasi dari Surat AlQashash ayat 77 yang secara tegas melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi karena Allah SWT sesungguhnya tidak menyukai orangorang yang berbuat kerusakan. Spirit kesemestaan tersebut kemudian dibingkai dalam filosofi teleologikal. Teleologikal memberikan suatu dasar pemikiran bahwa etika bukan hanya ilmu yang mempelajari salahbenar dan burukbaik dalam praktiknya, tetapi juga memiliki tujuan transendental sebagai bentuk pertanggungjawaban manusia terhadap penciptanya, sesama manusia, alam semesta, serta diri pribadi (Nahar & Yaacob, 2011).
Dalam konteks ini berarti etika profetik bertujuan mengantarkan seorang hamba pada tujuan hakikat kehidupannya yaitu falah (kemenangan). Di samping itu, konsep etika yang dibangun tidak hanya sekedar instrumen “mati” yang digunakan sebagai panduan penyusunan kode etik, tetapi sebagai bentuk instrumen “hidup” yang dapat mengarahkan manusia pada hakikat kehidupan yang sejati, yakni sebagai hamba allah (abdillah) serta pemegang amanah Allah (khalifatullah).
Orang Melayu mempercayai ekistensi dua alam, yaitu alam nyata dan alam ruh. Alam nyata dengan segala wujudnya seperti bumi, dengan segala bendabenda yang terdapat di atas dan di bawah bumi serta langit dan segala isinya dipandang oleh orang Melayu memiliki fungsi dan peran untuk kepentingan kehidupan manusia. Dalam perjalanan kehidupan itu orang Melayu telah menggunakan alam nyata sesuai dengan kebutuhannya. Lautan, sungai, gunung, daratan, tumbuhan, hewan, dan lainlain digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Hal ini dikenal oleh orang Melayu sebagai “rimba kepungan sialang” (Burha
356 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364
nudin, 2018; Husin, 2017). Orang Melayu memiliki pandangan bahwa kesalahan memanfaatkan sumber daya alam akan menimbulkan malapetaka. Oleh karena itu, dikatakan bahwa mereka yang hidup dari sumber alam wajib menjaganya tanpa merusak dan zalim dalam peraktiknya.
Muthmainnah. Rasulullah Muhammad SAW senantiasa disebut memiliki jiwa yang muthmainnah, yaitu jiwa yang senantiasa jujur terhadap Tuhannya (Patmawati, 2014). Rasulullah adalah manusia yang telah memperoleh rahmat berupa nur qalb sehingga tumbuh perangai yang baik dan jauh dari perangai yang buruk. Beliau dapat menjadikan dirinya memiliki jiwa yang tenang serta tidak terombangambing oleh syahwat nafsu duniawi. Jiwa yang tenang adalah kondisi tertinggi dari perkembangan spiritual seorang hamba Allah (Riyadi, 2017). Jiwa ini adalah jiwa yang senatiasa ingat dan percaya bahwa Allah adalah robbnya, merasa tenang dalam menjalankan segala perintahNya, serta memiliki keyakinan yang mendalam bahwa kelak akan berjumpa denganNya di hari akhir. Triyuwono (2015) menyatakan bahwa muthmainnah adalah keberhasilan atau kemenangan (falah) seorang hamba kembali kepada Sang Pencipta dengan jiwa yang suci dan tenang.
Untuk sampai ke tahapan muthmain-nah seorang hamba harus mengetahui terlebih dahulu unsurunsur pembentuknya. Mujiburrahman (2017) berargumentasi bahwa ekuilibrium fisik dan ruh pada manusia merupakan syarat utama untuk mencapai muthmainnah. Fisik, bagi pemilik jiwa yang tenang, akan selalu memperhatikan kesehatan jasmani dengan cara memenuhi segala kebutuhan fisiologis dengan cara dan jalan yang halal. Ruh, seseorang yang memiliki jiwa yang suci selalu memenuhi kebutuhan spiritualnya dengan berpegang teguh pada ajaran Tauhid yakni dengan cara mendekatkan diri pada Sang Pencipta melalui ibadah dan amal sholeh, serta menjauhi segala per
buatan yang dilarang olehNya (Gitosaroso, 2015).
Gitosaroso (2015) kemudian menyatakan bahwa terdapat indikator dalam mencapai tahap muthmainnah, antara lain memiliki kemantapan iman terhadap kebenaran Tauhid; memiliki keyakinan mendalam bahwa dunia hanya merupakan persinggahan sementara serta meyakini bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah akhirat; memiliki ketenteraman jiwa karena selalu ingat kepada Allah. Sementara itu, Haromaini (2018) menyatakan bahwa seseorang yang telah mencapai tahapan muthmainnah mempunyai ciriciri berpikiran terbuka, selalu bersyukur, dapat dipercaya, dan penuh rasa kasih sayang.
Faktor internal dan eksternal akan menuntun seorang hamba dalam mencapai tahap muthmainnah sehingga menumbuhkan sifatsifat ilahiyah. Jika ruh merasa yakin akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT, ia akan mendapatkan ketenangan batin dan kemantapan iman; Faktor eksternal dapat berupa hidayah dan petunjuk dari Allah SWT. Hidayah dari Allah dapat menjadi jalan seorang hamba menemukan esensi dirinya. Manusia jika hanya mengandalkan kapasitas dan kapabilitas pribadinya tanpa hidayah dari Allah akan sangat sulit dalam mencapai tahap muthmainnah. Muthmain-nah adalah jiwa yang senang kepada Tuhannya dan ridho terhadap lingkungan sekitarnya, termasuk manusia dan alam sekitar. Diri muthmainnah akan melihat dunia sebagai “fakultas kehidupan”. Apa yang diperoleh di dunia hanya sebagai bentuk ujian dan cobaan dari Tuhan (Gitosaroso, 2015; Ruslan & Alimuddin, 2012).
Hal itu pula yang akan membawa pemahaman seseorang tentang realitas. Dalam tradisi Islam diakui adanya tingkatan diri dalam memahami suatu realitas, yaitu beturutturut dari yang paling bawah hingga yang paling atas antara lain al-nafs al-am-marah, al-nafs-al-lawwamah, dan al-naf s-
Tingkat “Diri” (Self)3 al-Nafs al-Muthmainnah2 al-Nafs al-Lawwamah1 al-Nafs al-Ammarah
Tabel 1. Tiga Tingkatan Diri
Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 357
al-muthmainnah. Secara rinci, pemahaman manusia dapat ditelaah pada Tabel 1.
Tabel 1 secara berturutturut menujukkan posisi “diri” atau jiwa seseorang. Dimulai dari posisi pertama, dalam tingkatan ini jiwa seseorang hanya ditujukan untuk memenuhi nafsu syahwatnya (animal instinct). Pada posisi kedua, jiwa sudah mempraktikkan nilai ketuhanan, tetapi masih ada kecenderungan untuk mengikuti nafsu diri. Posisi ketiga merupakan posisi puncak. Dalam tingkatan ini jiwa telah berada pada posisi tertinggi. Pada kondisi ini sesungguhnya diri telah mencapai fitrahnya yang suci.
Dalam praktik mengelola keuangan negara, sudah selayaknyalah seorang pengelola keuangan memiliki tingkatan diri pada posisi puncak atau muthmainnah. Pada posisi ini pengelola keuangan mempunyai kredibilitas yang tinggi dalam mengendalikan setiap situasi dan memosisikan diri nya pada puncak kesadaran tertinggi secara spiritual. Untuk dapat mencapai tingkatan ini, se orang pengelola keuangan harus dapat menanamkan dengan baik dalam “diri” nilainilai ke imanan dan ilmu pengetahuan. Nilainilai tersebut kemudian diinternalisasikan dalam sikap yang terpuji dan mulia. Oleh karena itu, pada kondisi tersebut, pengelola keuang an sejatinya telah kembali pada fitrahnya yang suci.
Dengan demikian, segala perilaku yang condong pada jiwa ammarah, seperti sikap egoistik, destruktif, dan materialistik sebagai faktor pendorong terjadinya tindakan fraud dengan sendirinya dapat difiltrasi. Walaupun dalam praktiknya pengelola keuangan secara umum sering berada pada posisi jiwa lawwamah, dalam posisi ini pengelola keuangan dapat berperilaku terpuji atau tercela. Ketika diri telah berperilaku baik, maka dia telah menginternalisasikan nilainilai keTuhanan. Sebaliknya, jika nilainilai ketuhanan lemah, akan gagal dalam mengendalikan diri dari perbuatan tercela atau kembali pada posisi terendah, yaitu jiwa ammarah. Inilah kemudian yang akan menjadi benteng bagi pengelola keuangan untuk dapat mencapai derajat tertinggi dalam berikhtiar.
Uswatun hasanah. Rasulullah Muhammad SAW merupakan insan dengan kepribadian yang mulia. Tidak ada satu pun yang dapat menandingi dan menyamai sosok kepribadiannya (Patmawati, 2014). Rasulullah senantiasa akan menjadi inspirasi dan panutan bagi umatnya dalam bidang apa
pun. Beliau adalah manusia yang kepribadiannya dinyatakan Allah SWT melalui firmannya sebagai sosok pribadi yang sangat agung (QS. AlQalam:4). Keagungan Rasulullah, menjadikan pribadinya menjadi pri badi yang paripurna. Meskipun sebagai umatnya tidak dapat memiliki pribadi yang agung sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT, kita wajib untuk berikhtiar dalam mewujudkan pribadi yang meneladani segala perilaku dan sifat yang telah Rasulullah Muhammad SAW contohkan.
Uswatun Hasanah, itulah gelar baginda Nabi Muhammad SAW. Dalam diri beliau terdapat sumber segala ilmu dan pengetahuan yang dapat mengantarkan seorang hamba menjadi insan kamil (Patmawati, 2014). Rasululullah juga dapat dijadikan role model dalam pengembangan “genetika” profetik (kenabian), pengembangan diri, pencarian jati diri, citra diri, hakikat diri, pendewasaan diri, serta halhal lain yang dapat dijadikan teladan dari pribadi beliau (Saifullah, 2011).
Teladan dalam term AlQur’an disebut dengan istilah “uswah” dan “iswah” atau dengan kata “al-qudwah” dan “al-qidwah” yang bermakna suatu kondisi di kala seorang hamba mangikuti yang lainnya, apakah dalam hal kebaikan ataupun kejelekan. Kata “uswah” senantiasa bersandingan dengan sesuatu yang berkonotasi positif yakni “hasanah” (baik) dan suasana kegembiraan yaitu bertemu dengan Sang Pencipta (Patmawati, 2014; Saifullah, 2011). Allah SWT mengutus Rasulullah Muhammad SAW untuk menjadi teladan bagi semesta alam, sebagai hadiah terindah bagi manusia, yaitu sebagai seorang penuntun yang sempurna dalam mencapai kegembiraan yang hakiki yaitu bertemu dengan Sang Khaliq.
Fitrah manusia sejak dilahirkan adalah ia sudah membutuhkan panutan dan contoh dalam segala urusannya. Selain itu, dalam diri tiap pribadi juga telah diberi kemampuan dasar untuk mencari suri tauladan agar dapat menjadi penerang menuju jalan kebenaran dalam mengarungi samudra kehidupan. Agama, adat istiadat, bahasa, pemikiran, dan gambaran tentang akhlak dan moral atau etika semuanya terbentuk melalui contoh dan teladan yang didapatkan dari aktivitas dan pengaruh yang dipancarkan oleh panutan tersebut (Patmawati, 2014). Islam sebagai agama yang diridhoi telah memiliki panutan dalam diri seorang Rasulullah Muhammad SAW dalam menjalani setiap sendi nafas kehidupan. Dalam diri
358 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364
pribadi beliau telah tertanam contoh terbaik dari manusia yang selalu mematuhi dan mengaktualisasikan segala perintah Allah dalam kehidupan seharihari melalui kesadaran Ilahinya (Saifullah, 2011).
Dalam aktivitas pelayanan sektor publik keteladanan merupakan metode terbaik untuk membentuk watak aparatur. Keteladanan dapat dicontohkan oleh seorang pimpinan yang memiliki kepribadian mulia dalam aktivitas kesehariannya. Hal itu dikarenakan pemimpin merupakan fi-gur nyata dalam setiap aktivitas bawahannya (Makin, 2018; Wieringa, 2014). Dari sini dapat terlihat bahwa keteladanan memiliki peran yang urgent terhadap perilaku aparatur. Jika seorang pimpinan adalah orang yang dapat dipercaya serta amanah selayaknya kepribadian yang dimiliki oleh Rasulullah, maka bawahan akan mengikuti pribadi seperti itu pula, begitupun jika sebaliknya.
Munculnya perilaku koruptif pengelola keuangan negara dikarenakan sebagian besar aparatur tidak mengetahui tentang hakikat manusia itu diciptakan dan ke mana tujuan akhir manusia akan berlabuh (Briando, Triyuwono, & Irianto, 2017). Orientasi materi yang begitu kuat mengungkungi aparatur dalam bertindak dan bersikap membuat mereka lupa akan kewajiban sebagai khalifatullah fil ardh (pengemban amanah di muka bumi) dan hamba Allah, atau sebagaimana yang disebut Mulawarman & Kamayanti (2018) sebagai Abdullah. Ia menyebutkan bahwa khalifatullah harus berdampingan dengan Abdullah. Manusia harus menyadari bahwa Allah adalah tujuan akhir dan menentukan sehingga manusia harus patuh dan taat pada kehendakNya. Untuk mencapai derajat ini, tentu saja pendekatan etika tidak hanya terbatas pada suatu konsep benar atau salah, tetapi harus dapat menyadar kan pada hakikat hidup dan kehidupan, yaitu kembali kepada Tuhan dengan jiwa yang suci dan tenang.
Kitab Tarbiyah al-aulad fi al-Islam menyatakan bahwa ada beberapa tahapan yang bisa dipedomani untuk menjadi teladan mulia dalam hidup dan kehidupan, antara lain dengan cara berikut. Pertama, Qudwah Al-Ibadah, pembinaan ketaatan beribadah merupakan aktivitas utama yang harus dilakukan oleh seorang pimpinan terhadap bawahannya; Kedua, Qudwah Zuhud, seorang pimpinan yang menduduki posisi puncak ia harus tahu hak dan kewajibannya. Dia harus memiliki sikap zuhud, yaitu men
didik tentang hidup sederhana dengan cara rido terhadap apa yang telah dikaruniakan oleh Sang Pemberi Rezeki; Ketiga, Qudwah Tawadhu’, seorang pimpinan harus menjauhi sikap ujub (besar kepala) dan rendah hati dalam berperilaku ; Keempat, Qudwah Syaja’ah, yaitu seorang pemimpin harus berani melangkahkan kaki untuk maju ke depan menyatakan sesuatu yang sebenarnya, serta berani mengambil risiko dengan tetap berpegang teguh atas perintah Ilahi; dan Kelima, Qudwah al hasan al Siyasah, seorang pimpinan melakukan aktivitasnya secara teratur, sistematik, dan intensional dalam rangka mendorong aparatur untuk berpe ran lebih aktif (siyasah) dalam membangun institusi agar bermanfaat untuk sesama, diri pribadi, dan semesta alam.
Dengan meneladani Rasulullah, berarti seorang individu, termasuk aparatur pengelola keuangan, telah menanamkan “roh” spiritualitas Rasulullah ke dalam dirinya. Spiritualitas Rasul adalah spiritualitas yang hidup dan menyatu dengan kongkrit meliputi hubungan spiritual terhadap Tuhan, sesama manusia, semesta alam, serta diri pribadi yang telah menjadi pola dasar dan nafas kehidupan beliau, sehingga mewujud dalam setiap gerak dan langkah kehidupannya (Dreßler, 2019). Spiritualitas bukan hanya dalam bentuk ritualritual formal keagamaan semata, tetapi terealisasi dalam aktivitas sosial dan kehidupan seharihari antarsesama dan alam sekitarnya (Patmawati, 2014; Sakdiah, 2016). Dalam dunia tasawuf, substansi Rasulullah menjadi kunci untuk memahami dan sekaligus memasuki spiritualitas sejati atau disebut dengan istilah maqamat yaitu kualitas atau tingkat spiritual tertinggi seorang hamba Allah.
Implikasinya, rasa cinta kepada Allah tidak bisa dikatakan sempurna jika tidak memiliki kecintaan kepada Rasulullah, dengan meneladani pribadi beliau. Kedua rasa cinta ini menjadi suatu hakikat menuju Tuhan dan tidak dapat terpisah layaknya ikrar yang terucap dalam dua kalimat syahadat. Pada akhirnya kedua cinta itu akan melebur menjadi satu dan menjadikan diri pribadi dapat mencintai semesta alam, baik alam dunia maupun alam akhirat. Inilah hakikat menjadikan Rasulullah Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah.
Etika profetik sebagai jalan mem-peroleh syafa’at Nabi. Kata syafa’at berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna “genap” sebagai lawan kata dari ganjil,
Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 359
asumsi ini berasal dari pemikiran bahwa pemberi syafa’at bertujuan menggenapkan orang yang berdoa. Melalui syafa’at, jumlah pemohon menjadi genap, dan permohonan doa dari orang yang meminta diperkuat oleh kemuliaan pemberi syafa’at. Syafa’at juga dapat berarti pertolongan, tegasnya memohon pertolongan kepada Allah SWT agar segenap umat manusia diberi keampunan dan kemuliaan. Pertolongan diberikan kepada seluruh hamba yang berbuat baik. Syafa’at sebagaimana dijelaskan oleh Yulianto (2014) dibagi dalam dua jenis, yaitu langsung dan tidak langsung. Syafa’at langsung dirasakan oleh seorang hamba di alam dunia, sedangkan tidak langsung ditangguhkan hingga hari akhir.
Syafa’at didapat jika orang yang meminta berhak mendapatkannya karena telah melaksanakan segala perintahnya serta menjauhi segala laranganNya. Syafa’at sepenuhnya hanya milik Allah, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa ada pemberi syafa’at selain dariNya. Pemberi syafa’at selainNya adalah orangorang yang diridhai dan diizinkan Allah. Adapun pemberi syafa’at yang selain dariNya antara lain Syafa’at Malaikat, yaitu berupa bisikan kepada manusia untuk berbuat baik dan doa; Syafa’at Nabi Muhammad SAW, yaitu berupa pertolongan dihari akhir; Syafa’at para Nabi dan Rasul, yaitu upaya Nabi membebaskan manusia dari dosa; dan Syafa’at Kaum yang beriman dan beramal shaleh yaitu syafa’at yang berasal dari alim ulama yang tinggi il
munya kepada yang tingkat rohaninya masih rendah. Syafa’at hanya diberikan kepada ahli Tauhid yang mati dalam akidah Tauhid dan melafazkan “La ilaha Illallah, Muham-madur Rasulullah”. Sementara itu, untuk posisinya terbagi menjadi dua, yakni pemberi syafa’at dan penerima syafa’at. Para Nabi dapat dikatakan sebagai golongan yang paling berhak memberi syafa’at, sedangkan golongan yang telah diizinkan oleh Allah mendapat syafa’at adalah sebagai penerima.
Gurindam ProfetikBarangsiapa memulai langkah dengan nama Allahakanlah selalu mendapat rahmat dan barokahBeribadahlah atas persaksian iman kepada Allah dan Rasulullahkarena kita adalah penerima amanah sebagai khalifatullahIndahnya hidup dengan penuh kesadaran Ketuhanan dan Kenabianagarlah jiwa dan badan senantiasa diberi marwah dan keyakinanHendaklah menerjemahkan dunia, menuju akhiratMuhammad Rasulullah, penuntun sejati umatDengan Tauhid Islam, ikrar iman dalam syahadat bertahta ikhsanItulah wujud insan, yang akan mendapat syafaat di hadapanApabila Nur Ilahi telah terpatri dan nubuah nabi telah merasuk
Etika Profetik
Teleologikal
Uswatun Hasanah
MuthmainnahAmanah
Tabligh
Transendental
Fathanah
'Adl
Emansipatoris
Siddiq
Akhlaqul Karimah
Humanis
KesemestaanKehambaanKeilmuanKemanusiaan
Gambar 2. Main Principles Etika Profetik
360 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364
qalbu hatitanda diri telah mendapat tuah yang hakiki
Malang, 12 Rabiul Awal 1438 HOleh: Bobby Briando
Setelah melakukan gerak langkah dan prosedur spiritual, peneliti menemukan delapan prinsip etika profetik sebagaimana yang telah peneliti uraikan sebelumnya. Kedelapan prinsip tersebut antara lain: siddiq, akhlaqul karimah, fathanah, ‘adl, amanah, tabligh, muthmainnah, dan uswatun hasanah. Peneliti menganalogikan akronim tersebut sebagai suatu bentuk ikhtiar untuk mendapatkan syafa’at dari Rasulullah Muhammad SAW. Oleh karena itu, diharapkan etika profetik yang memiliki delapan prinsip tersebut merupakan jalan dalam mencapai syafa’at baginda Nabiullah Muhammad SAW bagi seorang hamba kelak di akhirat nanti. Hal ini senada dengan argumentasi yang disampaikan Ayahanda Syahrul yang pada saat itu memegang amanah sebagai wakil Walikota Tanjungpinang (getting out true picture), berikut kutipannya.
“Sifatsifat mulia Rasul dapat kita teladani sebagai pembuka jalan mengharap ridho dari Allah. Sebagaimana yang disampaikan baginda Rasul yang menyatakan, umatku bisa mencintaiku, apabila pertama, bila Ia dapat menghadirkan sifatsifat yang ada pada diriku dalam bersikap dan berperilaku. Kedua, bisa mencintaiku apabila manusia itu bisa mengamalkan atas segala yang telah aku sampaikan. Semua dilakukan secara ikhlas karena Allah. Dengan demikian maka Allah akan ridho dengan segala aktivitas yang dilakukan. Ridhonya Allah akan membuka jalan bagi seorang hamba untuk dapat memperoleh syafaat dari baginda Nabi.”
Pada akhirnya, inilah yang akan menjadi “main principles” dalam kerangka infrastruktur etika profetik melalui sebuah prosedur spiritual yang menghasilkan logika spiritual dalam bentuk inspirasi atau ilham (petunjuk) yang muncul secara spontan sebagai karunia atas pemahaman ilmu yang diberikan oleh Allah Azza Wa Jalla.
SIMPULANSimpulan dalam penelitian ini adalah
sejatinya dalam hidup dan berperilaku manusia telah diberi sebuah investasi yang tidak ternilai harganya dalam diri seorang Rasulullah Muhammad SAW melalui atribut sifat yang melekat dalam diri beliau. Sifatsifat inilah yang dapat kita jadikan pelajaran dan ambil hikmahnya dalam beretika, khususnya etika dalam mengelola keuangan negara. Main principles etika profetik yang telah peneliti temukan merupakan suatu jalan ikhtiar dalam menanamkan atau menginternalisasikan atribut sifatsifat Rasul ke dalam diri seorang hamba, termasuk di dalamnya aparatur pengelola keuangan negara agar kelak dapat berperilaku sebagaimana yang telah dicontohkan serta mendapat syafaatnya di akhirat nanti.
Solusi ke depan dalam penyusunan kode etik, sebaiknya para pengambil kebijakan tidak hanya mengadopsi dan menjiplak suatu standar etika yang berlaku umum, tetapi juga dapat dilakukan telaah lebih lanjut apakah kode etik yang diadopsi tersebut telah sesuai dengan norma dan ajaran kebaikan yang telah disampaikan oleh Nabi atau Rasul terdahulu, karena ajaran yang telah disampaikan tersebut secara umum telah tercatat dalam kitabkitab suci dan telah teruji kesahihan dan kebenarannya berdasarkan riwayat atau hadis. Peneliti dalam artikel ini mencoba untuk melakukan internalisasi sifatsifat Nabi Muhammad yang tertuang dalam akronim SAFAATMU kepada pengelola keuangan negara. Harapannya adalah agar sifatsifat tersebut dapat menghindarkan pengelola keuangan dari tindakan yang melanggar norma dan hukum yang berlaku.
Meskipun demikian, peneliti menyadari bahwa kode etik pengelola keuangan yang ada tidak dikritisi dari awal sampai akhir. Penulisan artikel ini lebih diarahkan untuk menemukan jiwa/ruh dari sifatsifat nabi yang terwujud dalam konsep etika profetik. Untuk itu, peneliti merasa perlu adanya kajian lebih lanjut terkait bagaimana sifatsifat tersebut dapat diinternalisasikan oleh aparatur dan dijadikan landasan dalam menyusun kode etik. Terakhir, peneliti ingin menekankan bahwa melalui syafaat Rasulullah seorang hamba akan kembali pada Tuhan dengan jiwa yang suci dan te nang. Inilah sejatinya tempat kembali seorang Hamba. Wallahu a’lam bishowab.
Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 361
DAFTAR RUJUKANAhimsaPutra, H. S. (2016). Paradigma Pro-
fetik Islam: Epistemologi, Etos, dan Mo-del. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
AlDaghistani, S. (2016). Semiotics of Islamic Law, Maslaha, and Islamic Economic Thought. International Journal for the Semiotics of Law, 29(2), 389404. https://doi.org/10.1007/s111960169457x
Biyanto. (2017). The Typology of Muhammadi yah Sufism: Tracing Its Figures’ Thoughts and Exemplary Lives. Indo-nesian Journal of Islam and Muslim Societies, 7(2), 221249. https://doi.org/10.18326/ijims.v7i2.221249
Boyce, G. (2014). Accounting, Ethics and Human Existence: Lightly Unbearable, Heavily Kitsch. Critical Perspectives on Accounting, 25(3), 197209. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2013.10.001
Briando, B., Triyuwono, I., & Irianto, G. (2017). Gurindam Etika Pengelola Keuangan Negara. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 8(1), 1–17. https://doi.org/10.18202/jamal.2017.04.7036
Burhanudin, J. (2018). Converting Belief, Connecting People: The Kingdoms and the Dynamics of Islamization in PreColonial Archipelago. Studia Is-lamika, 25(2), 247278. https://doi.org/10.15408/sdi.v25i2.5682
Cahyadi, A. (2014). Hafazhatul Amwaal: Tokoh dan Karakter Akuntan Rasulullah. Akuntabilitas: Jurnal Ilmu Akuntansi, 7(2), 109121. https://doi.org/10.15408/akt.v7i2.2674
Darraz, M. A. (2012). Islamic EcoCosmolo gy in Ikhwan AlSafa’s View. Indone-sian Journal of Islam and Muslim So-cieties, 2(1), 133161. https://doi.org/10.18326/ijims.v2i1.133161
Dreßler, M. (2019). Religion and Religious Tradition: Discourses of Distinction on the Boundaries of Islam. Zeitschrift Fur Religionswissenschaft, 27(1), 4877. https://doi.org/10.1515/zfr20180023
Esram, J. (2010). Konsepsi Raja Ali Haji ten-tang Pemerintahan. Tanjungpinang: CV. Milaz Grafika.
Gitosaroso, M. (2015). Tasawuf dan Modernitas (Mengikis Kesalahpahaman Masyarakat Awam terhadap Tasawuf). Jur-nal Al-Hikmah: Jurnal Dakwah, 10(1),
Haromaini, A.(2018). Manusia dan Keharusan Mencari Tahu (Studi Relasi Manusia, AlQur’an dan Filsafat). Pelita: Jur-nal Penelitian dan Karya Ilmiah, 18(2), 202215. https://doi.org/10.33592/pelita.v18i2.50
Hassan, A. M. (2016). Warisan Budaya Pemikiran dalam Peribahasa Melayu. Jur-nal Peradaban, 9, 110. https://doi.org/10.22452/PERADABAN.vol9no1.2
Hidayat, F. (2015). Pengembangan Paradigma Integrasi Ilmu: Harmonisasi Islam dan Sains dalam Pendidikan. Jurnal Pendidikan Islam, 4(2), 299318. https://doi.org/10.14421/jpi.2015.42.299318
Hopper, T. (2017). Neopatrimonialism, Good Governance, Corruption and Accounting in Africa. Journal of Accounting in Emerging Economies, 7(2), 225248. https://doi.org/10.1108/JAEE1220150086
Husin, W. N. W. (2017). An Introductory Study on the Malay Work Ethics and Business Culture in Malaysia. Advanced Science Letters, 23(1), 585588. https://doi.org/10.1166/asl.2017.7263
Jabbar, S. F. A. (2012). Insider Dealing: Fraud in Islam? Journal of Finan-cial Crime, 19(2), 140148. https://doi.org/10.1108/13590791211220412
Khoirudin, A. (2014). Rekonstruksi Metafi -sika Seyyed Hossein Nasr dan Pendidikan Spiritual. Afkaruna: Indo-nesian Interdisciplinary Journal of Islamic Studies, 10(2), 202216. h t t p s : //do i . o r g/10 .18196/a i i jis.2014.0038.202216
Kholifatu, A. (2018). Trilogi Novel Sang Pembaharu: Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar (Kajian Postmodern Jean Francouis Lyotard). BASIN-DO: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra In-donesia, dan Pembelajarannya, 2(1), 1421. https://doi.org/10.17977/um007v2i12018p014
Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam : In-terpretasi untuk Aksi. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Kusdewanti, A., & Hatimah, H. (2016). Membangun Akuntabilitas Profetik. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 7(2), 223239. https://doi.org/10.18202/jamal.2016.08.7018
362 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364
Makin, A. (2018). ‘Not a Religious State’: A Study of Three Indonesian Religious Leaders on the Relation of State and Religion. Indonesia and the Malay World, 46(135), 95116. https://doi.org/10.1080/13639811.2017.1380279
Malloch, T. (2010). Spiritual Capital and Practical Wisdom. Journal of Management Development, 29(7), 755–759. https://doi.org/10.1108/02621711011059194
Malsch, B., & GuéninParacini, H. (2013). The moral Potential of Individualism and Instrumental Reason in Accounting Research. Critical Perspectives on Accounting, 24(1), 7482. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2012.01.005
Mujiburrahman, M. (2017). Perjumpaan Psikologi dan Tasawuf Menuju Integrasi Dinamis. TEOSOFI: Jurnal Ta-sawuf dan Pemikiran Islam, 7(2), 273294. https://doi.org/10.15642/teosofi.2017.7.2.261-282
Mulawarman, A. D., & Kamayanti, A. (2018). Towards Islamic Accounting Anthropology: How Secular Anthropology Reshaped Accounting in Indonesia. Jour-nal of Islamic Accounting and Business Research, 9(4), 629647. https://doi.org/10.1108/JIABR0220150004
Nahar, H. S., & Yaacob, H. (2011). Accountability in the Sacred Context. Journal of Islamic Accounting and Busi-ness Research, 2(2), 87113. https://doi.org/10.1108/17590811111170520
Okura, M. (2013). The Relationship between Moral Hazard and Insurance Fraud. Journal of Risk Finance, 14(2), 120128. https://doi.org/10.1108/15265941311301161
Pasaribu, P. Y., & Briando, B. (2019). Internalisasi NilaiNilai Pancasila dalam Penyusunan Kode Etik Aparatur Pengawas Internal Pmerintah (APIP). Jur-nal Ilmiah Kebijakan Hukum, 13(2), 245–264. http://doi.org/10.30641/kebijakan.2019.V13.245264
Patmawati. (2014). Sejarah Dakwah Rasulullah SAW di Mekah dan Madinah. Al-Hikmah: Jurnal Dakwah, 8(2), 117. https://doi.org/10.24260/alhikmah.v8i2.75
Prajawati, M. (2016). Implementasi Motif Sosial dan Motif Religius terhadap Kinerja (Perpektif Maqashid AlSyari’ Ah). Iqtishoduna, 1(1), 110. https://doi.org/10.18860/iq.v1i1.3696
Riyadi, A. K. (2017). The Concept of Man in Ahmad Asrori’s Anthropology of Tasawuf. Journal of Indonesian Is-lam, 11(1), 223246. https://doi.org/10.15642/JIIS.2017.11.1.223246
Rohayati, E. (2011). Pemikiran AlGhazali tentang Pendidikan Akhlak. Jur-nal Ta’dib, 14(1), 93–112. https://d o i . o r g / 1 0 . 1 0 6 1 / ( A S C E ) 0 7 3 3 9410(1991)117
Ruslan, M., & Alimuddin, A. (2012). Makrifat Akuntansi, Determinasi Puncak Perjalanan Spiritualitas Akuntansi: Suatu Tinjauan Ontologis. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 3(3), 357367. https://doi.org/10.18202/jamal.2012.12.7167
Said, J., Alam, M., Karim, Z., & Johari, R.(2018). Integrating Religiosity into Fraud Triangle Theory: Findings on Malaysian Police Officers. Journal of Criminologi-cal Research, Policy and Practice, 4(2), 111123. https://doi.org/10.1108/JCRPP0920170027
Saifullah, M. (2011). Etika Bisnis Islami dalam Praktik Bisnis Rasulullah. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keag-amaan, 19(1), 127156. https://doi.org/10.21580/ws.19.1.215
Sakdiah. (2016). Karakteristik Kepemim pinan dalam Islam (Kajian Historis Filosofis) Sifat-Sifat Rasulullah. Jurnal Al-Bayan, 22(1), 29–49. https://doi.org/10.22373/albayan.v22i33.636
Santi, S. (2018). Syekh Siti Jenar: Peralihan Diskursus Kajian Tasawuf di Indonesia dari Era Modern ke Postmodern. Eso-terik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf, 4(2), 278297. https://doi.org/10.21043/esoterik.v4i2.4048
Saprin, S. (2017). Tasawuf sebagai Etika Pembebasan; Memosisikan Islam sebagai Agama Moralitas. Kuriositas: Media Komunikasi Sosial dan Kea-gamaan, 10(1), 8390. https://doi.org/10.35905/kur.v10i1.587
Setiawan, A. R. (2016). Mempertanyakan Nilainilai Pancasila pada Profesi Akuntan: Bercermin pada Kode Etik IAI. Jurnal Ilmiah Akuntansi, 1(1), 1–21. https://doi.org/10.23887/jia.v1i1.9980
Shihab, M. Q. (2009). Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Sirajudin. (2013). Interpretasi Pancasila dan Islam untuk Etika Profesi Akuntan Indonesia. Jurnal Akuntansi Multi-
Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 363
Sitorus, J. H. E. (2019). The Romance of Mo dern Accounting Education: An Impact from Positivism and Materialism. Global Business and Economics Review, 21(1), 7895. https://doi.org/10.1504/GBER.2019.096858
Soysa, I. D. (2019). Is Islam Compatible with FreeMarket Capitalism? An Empirical Analysis, 19702010. Politics and Religion, 12(2), 227256. https://doi.org/10.1017/S1755048318000780
Stevens, D. E., & Thevaranjan, A. (2010). A Moral Solution to the Moral Hazard Problem. Critical Perspectives on Ac-counting, 24(1), 7482. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2012.01.005
Suharto, B. (2019). Islam Profetik: Misi Profetik Pesantren sebagai Sumber Daya Ummat. TADRIS: Jurnal Pendidikan Islam, 14(1), 96114. https://doi.org/10.19105/tjpi.v14i1.2409
Triyuwono, I. (2011). ANGELS: Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan (TKS) Bank Syari’ah. Jurnal Akuntansi Mul-tiparadigma, 2(1), 1–21. https://doi.org/10.18202/jamal.2011.04.7107
Triyuwono, I. (2015). Salam Satu Jiwa dan Konsep Kinerja Klub Sepak Bola. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 6(2), 290–303. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6023
Triyuwono, I. (2016). Taqwa: Deconstructing Triple Bottom Line (TBL) to Awake Human’s Divine Consciousness. Pertanika Journal of Social Sciences & Humanities, 24(7), 89–104.
Umar, N. (2014). Konsep Hukum Modern: Suatu Perspektif Keindonesiaan, Integrasi Sistem Hukum Agama dan Sistem Hukum Nasional. Walisongo: Jurnal Pe-nelitian Sosial dan Keagamaan, 22(1), 157–180. https://doi.org/10.21580/ws.22.1.263
Wieringa, E. (2014). Does Traditional Islamic Malay Literature Contain Shi‘itic Elements? ‘Ali and Fātimah in Malay Hikayat Literature. Studia Islamika, 3(4), 93111. https://doi.org/10.15408/sdi.v3i4.795
Wijaya, A. (2010). Menimbang Kembali Para digma Filsafat Islam dalam Bangunan Keilmuan Islam Kontemporer. Ulu-muna: Journal of Islamic Studies, 14(1), 121144. https://doi.org/10.20414/ujis.v14i1.230
Yulianto, R. (2014). Tasawuf Transformatif sebagai Solusi Problematika Manusia Modern dalam Perspektif Pemikiran Tasawuf Muhammad Zuhri. TEOSOFI: Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam, 4(1), 5687. https://doi.org/10.15642/teosofi.2014.4.1.56-87
Zein, A. (2015). Makna Zikir Perspektif Mufassir Modern di Indonesia. ISLAMI-CA: Jurnal Studi Keislaman, 9(2), 503527. https://doi.org/10.15642/islamica.2015.9.2.503527
Zulhelmi, Z. (2019). Metafisika Suhrawardi: Gradasi Essensi dan Kesadaran Diri. Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran, Dan Fenomena Agama, 20(1), 102115. https://doi.org/10.19109/jia.v20i1.3602
364 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364