BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belakangan ini kita sebagai tim kesehatan ataupun tim medis masih sering mengalami dilema dalam kode etik kesehatan maupun masalah moral. Dimana kita dihadapkan oleh suatu pilihan yang sulit, apakah kita harus melakukan atau tidak melakukan dan apakah itu beresiko atau tidak terhadap keselamatan pasien kita. Salah satu kasus yang sering ditemukan adalah Do Not Resuscitate (DNR) . Hal ini akan berhadapan dengan masalah moral atau pun etik, apakah akan mengikuti sebuah perintah 'jangan dilakukan resusitasi' ataupun tidak? Bagaimana tidak , jika tiba-tiba pasien henti jantung dan sebagai tenaga medis yang sudah handal dalam melakukan RJP membiarkan pasien mati dengan begitu saja, tapi masalahnya jika kita memiliki hati dan melakukan RJP pada pasien tersebut, kita bisa dituntut oleh pasien dan keluarga pasien tersebut. Ini adalah sebuah dilema dan hal ini terjadi pada pasien- pasien dengan penyakit kronis dan terminal, pasien dengan kontra indikasi CPR ataupun pasien yang di cap 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belakangan ini kita sebagai tim kesehatan ataupun tim medis masih sering
mengalami dilema dalam kode etik kesehatan maupun masalah moral. Dimana kita
dihadapkan oleh suatu pilihan yang sulit, apakah kita harus melakukan atau tidak
melakukan dan apakah itu beresiko atau tidak terhadap keselamatan pasien kita.
Salah satu kasus yang sering ditemukan adalah Do Not Resuscitate (DNR) . Hal
ini akan berhadapan dengan masalah moral atau pun etik, apakah akan mengikuti
sebuah perintah 'jangan dilakukan resusitasi' ataupun tidak? Bagaimana tidak , jika
tiba-tiba pasien henti jantung dan sebagai tenaga medis yang sudah handal dalam
melakukan RJP membiarkan pasien mati dengan begitu saja, tapi masalahnya jika
kita memiliki hati dan melakukan RJP pada pasien tersebut, kita bisa dituntut oleh
pasien dan keluarga pasien tersebut. Ini adalah sebuah dilema dan hal ini terjadi
pada pasien-pasien dengan penyakit kronis dan terminal, pasien dengan kontra
indikasi CPR ataupun pasien yang di cap euthanasia (dibiarkan mati ataupun
suntik mati karena karena kehidupan yang sudah tidak terjamin).
Pasien DNR biasanya sudah diberikan tanda untuk tidak dilakukannya
resusitasi yang biasanya terdapat pada baju, di ruang perawatan ataupun di pintu
masuk, sudah ada tanda tulisan “DNR”. Pasien DNR tidak benar-benar mengubah
perawatan medis yang diterima. Pasien masih diperlakukan dengan cara yang
sama. Semua ini dimaksudkan hanya jika tubuh pasien meninggal (berhenti
bernapas, atau jantung berhenti berdetak) tim medis tidak akan melakukan
CPR/RJP.
Menjadi pasien DNR tidak berarti obat berhenti untuk diberikan. Salah satu
alasan utama orang menandatangani perintah DNR adalah karena apa yang terjadi
setelah petugas kesehatan mencoba untuk melakukan RJP atau apa efek setelah
1
melakukan RJP tersebut. Situasi ini umumnya disebut sebagai "kode." Hal ini
kadang-kadang diberikan nama samaran yang berbeda di rumah sakit yang
berbeda. Tindakan RJP yaitu dada akan dikompresi dengan tangan untuk
menstimulasikan detak jantung dan sirkulasi darah. Sebuah tabung dimasukkan ke
dalam mulut dan tenggorokan kemudian pasien dipasang ventilator untuk bernafas.
Jika jantung pasien dalam irama mematikan kemudian pasien dilakukan kejut
jantung, pasien akan terkejut dengan jumlah listrik yang besar dan kemudian akan
kembali ke irama.
Konsekuensi menjadi diresusitasi, salah satu konsekuensi potensial utama
dilakukan RJP adalah kekurangan oksigen ke organ-organ tubuh. Meskipun
penekanan dada sedang dilakukan untuk mengedarkan darah melalui tubuh, masih
belum seefektif detak jantung biasa. Meskipun oksigen dipompa ke paru-paru
mekanik, penyakit itu sendiri dapat mencegah beberapa oksigen mencapai aliran
darah. Semakin lama RJP berlangsung, semakin besar kemungkinan kerusakan
pada organ-organ. Tapi jika tidak dilakukan RJP akan berdampak dari kerusakan
otak, kerusakan ginjal, hati, atau kerusakan paru-paru. Apa pun bisa rusak
berhubungan dengan kurangnya oksigenasi.
Obat-obatan yang dimasukkan ke dalam tubuh juga dapat berkontribusi untuk
kerusakan organ. Obat ini dirancang dengan satu organ adalah hati sebagai pusat
metabolisme dan penetral racun. Obat ini berfungsi untuk me-restart jantung dan
mendapatkannya kembali pada ritme dan meningkatkan tekanan darah. Kadang-
kadang organ-organ lain juga terkena kerusakan dari obat ini. Ada juga
kemungkinan trauma tubuh dari penekanan dada. Hal ini sangat normal untuk
mendengar retak tulang rusuk. Dibutuhkan banyak kekuatan untuk kompresi
jantung dengan sternum dan tulang rusuk yang berada di sampingnya. Terutama
orang tua biasanya mengalami kerusakan karena ini. Kejutan listrik juga dapat
menyebabkan traumatis. Jadi bahkan jika Pasien bangkit kembali, kemungkinan
Pasien pemulihan dan kelangsungan hidup dapat berpotensi jauh lebih rendah
daripada mereka sebelum resusitasi tersebut. Biasanya Pasien berakhir pada
2
ventilator setelah RJP. Jika pasien memiliki organ yang rusak, kerusakannya
terutama pada otak, ada kemungkinan bukan karena ventilator tapi karena
terlambatnya oksigen masuk ke otak.
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Do Not Resuscitate (DNR) merupakan sebuah perintah jangan dilakukannya
resusitasi CPR (cardiopulmonary resusitation) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP)
bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum jika terjadi permasalahan darurat
pada jantung pasien atau berhentinya pernapasan. Cardiopulmonary resuscitation
(CPR) memiliki kemampuan untuk membalikkan kematian dini. Hal ini juga
dapat memperpanjang pasien pada penyakit terminal, dan meningkatkan
ketidaknyamanan. Meskipun keinginan untuk menghormati otonomi pasien, ada
banyak alasan mengapa prosedur CPR dapat rumit dalam pengaturan perioperatif.
B. SEJARAH
Perintah Do-Not_Resuscitate (DNR) telah digunakan selama kurang lebih
dua dekade. Argumen untuk penggunaan DNR meliputi peningkatan otonomi
pasien, menghindari intervensi medis yang sia-sia, dan biaya rawat inap. ICU
adalah pengaturan di mana pasien dapat dikenakan intervensi medis yang mahal,
menyakitkan, dan tidak manusiawi, terutama pada praktik yang terkait dengan
jantung-paru. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa dalam situasi klinis
tertentu CPR hampir selalu sia-sia.
Tugas petugas kesehatan adalah untuk mengkomunikasikan pengetahuannya
tentang kedua kemungkinan yang akan terjadi dan hasil yang bisa dicapai dari RJP
(Resusitasi Jantung Paru) kepada pasien dan keluarga pasien dan kemudian untuk
membantu pasien (dan / atau keluarga pasien) dalam membuat keputusan tentang
resusitasi. Kunci untuk proses ini adalah tindakan di awal, komunikasi efektif
antara petugas kesehatan, pasien, dan keluarga pasien.
4
Awalnya digambarkan pada tahun 1960, massage pada dada di dekat jantung
diterapkan pada pasien yang mengalai cardiopulmonal arrest. Singkat kata, pasien
yg dilakukan usaha CPR banyak yang sekarat. Statistik pada orang miskin
tercermin pelayanan yang sembarangan. Literatur menunjukkan bahwa resusitasi
mana diyakini menjadi sia-sia atau nonbeneficial, staf rumah sakit melakukan
upaya resusitasi palsu ('kode lambat') atau tidak mengaktifkan 'tim kode' sama
sekali.
Beberapa lembaga bahkan mengembangkan cara rahasia untuk
mengidentifikasi orang-orang yang tidak akan memenuhi syarat untuk upaya
resusitasi penuh. Kekhawatiran yang timbul mengenai dokumentasi yang tidak
memadai, akuntabilitas petugas kesehatan, dan fakta bahwa pasien dan keluarga
mereka sering dikecualikan dari proses pengambilan keputusan. Tuduhan
paternalisme dan pengambilan keputusan rahasia yang dibuat, dan kekhawatiran
yang timbul mengenai kurangnya kepercayaan antara petugas kesehatan dan
masyarakat. Itu tidak sampai pertengahan 1970-an bahwa keputusan untuk tidak
resusitasi pertama kali disahkan. Di Amerika Serikat American Medical
Association pertama direkomendasikan bahwa keputusan untuk mengorbankan
resusitasi secara resmi didokumentasikan dan dikomunikasikan . Selain itu,
ditekankan bahwa CPR dimaksudkan untuk pencegahan kematian, tiba-tiba tak
terduga - bukan pengobatan penyakit, terminal ireversibel.
Eksplisit DNR kebijakan segera diikuti, dan hak pasien untuk menentukan
nasib sendiri dipromosikan. Pada akar dari perdebatan, diasumsikan bahwa pasien
akan selalu memilih resusitasi, dan bahwa segala sesuatu yang bertentangan
dengan itu diperlukan persetujuan eksplisit mereka. Kritikus mempertanyakan
pendekatan semacam itu dan berpendapat bahwa CPR tidak pernah dimaksudkan
(juga tidak berkhasiat) dalam segala situasi. Oleh karena itu, CPR seharusnya
hanya ditawarkan kepada mereka yang secara medis diindikasikan.
Namun, laporan tahun 1983 Komisi Presiden untuk Studi Masalah Etis di
Kepetugas kesehatanan tidak setuju, upaya resusitasi yang dilakukan di hampir
5
semua kasus, dan pasien dianggap telah memberikan persetujuan implisit untuk
CPR. Dengan demikian, CPR menjadi standar perawatan, dan semua pasien 'kode
penuh' kecuali jelas didokumentasikan sebaliknya. CPR menjadi satu-satunya
terapi medis yang diperlukan perintah DNR. Perintah DNR kemudian diambil
beberapa waktu untuk mendapatkan penerimaan luas di semua lingkungan rumah
sakit. Sebelum tahun 1990-an, kebijakan formal untuk mengakomodasi pasien
peri-operatif dengan perintah DNR jarang. Akibatnya, keputusan yang biasanya
diserahkan kepada ahli bedah dan / atau anaesthesiologist, dan DNR secara rutin
ditangguhkan selama periode intraoperatif dan pasca operasi segera. Pada tahun
1991, beberapa artikel mengkritik praktek ini meluas. Akibatnya, muncul
keprihatinan bahwa pasien dipaksa untuk berkompromi otonomi mereka dan hak
untuk menentukan nasib sendiri agar memenuhi syarat untuk operasi. Hal ini
menyebabkan kebijakan 'peninjauan kembali yang diperlukan', dan tiga kursus
yang berbeda dari tindakan yang telah diidentifikasi. The American Society of
Anesthesiologists formalized membuat kebijakan ini dalam seperangkat pedoman
yang disetujui pada tahun 1993 dan diperbarui pada tahun 1998.
C. ARGUMEN KELOMPOK PRO vs KONTRA DNR
Konsep mati dan berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan
yang juga diatur dalam PP 18 tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah
berhentinya fungsi jantung dan paru-paru, tidak bisa dipergunakan lagi karena
teknologi resusitasi telah memungkinkan jantungdan paru-paru yang semua
terhenti kini dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan paru-parudapat dipompa
untuk berkembang kempis kembali.Konsep mati sering menimbulkan keraguan
karena misalnya pada tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikian
menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali.
Mengenai konsep mati dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara
permanen untuk menjalankan fungsinya secara terpadu juga dipertanyakan karena
organ-organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati.
6
Untuk kepentingan transplantasi konsep ini menguntungkan tetapi secara moral
tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun
tidak terpadu lagi. Bila dibandingkan dengan manusia sebagi mahluk sosial yaitu
individu yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupan kekhususannya,
kemampuannya mengingat menentukan sikap dan mengambil keputusan,
mengajukan alasan yang masuk akal, mampu berbuat, mampu menikmati,
mengalami kecemasan dan sebagainya, maka penggerak dari otak baiksecara fisik
maupun sosial makin banyak dipergunakan. Pusat pengendali ini terdapat dalam
batang otak, oleh karena itu jika batang otak telahmati (brain system death) dapat
diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan social telah mati. Dalam keadaan
demikian, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskanresusitasi
(DNR, do not resuscitation) penentuan saat mati ini juga dibahas dan ditetapkan
dalam world.
Medical Assembly tahun 1968 yang dikenal dengan Deklarasi Sydney. Disini
dinyatakan penentuan saat kematian di kebanyakan negara merupakan tanggung
jawab sah petugas kesehatan. Petugas kesehatan dapat menentukan sesorangsudah
mati dengan menggunakan criteria yang lazim tanpa bantuan alat khusus yang
telahdiketahui oleh semua petugas kesehatan.Yang penting dalam penentuan saat
mati disini adalah proses kematian tersebut sudahtidak dapat dikemabalikan lagi
(irreversible) meski menggunakan teknik penghidupan kembaliapapun. Walaupun
sampai sekarang tidak ada alat yang sungguh-sungguh memuaskan dapat
digunakan untuk penentuan saat mati ini, alat elektroensefalograf dapat diandalkan
untuk maksud tersebut.
Namun ada di beberapa negara yang tidak menerapkan kondisi DNR. Di
negara-negara di mana tidak tersedia DNR keputusan untuk mengakhiri resusitasi
dibuat semata-mata oleh petugas kesehatan. Petugas kesehatan berusaha untuk
menyadarkan semua pasien terlepas dari keinginan individu atau keluarga. Di
Israel, penandatanganan formulir DNR diperbolehkan asalkan keadaan pasien
sekarat dan menyadari tindakan mereka.
7
Di Inggris, DNR digunakan untuk perawatan medis, pasien hanya dapat
diberikan informed consent, jika mereka memiliki kapasitas sebagaimana
didefinisikan dalam Undang-Undang Kapasitas Mental 2005; jika mereka tidak
memiliki kapasitas kerabat akan sering diminta pendapat mereka keluar dari rasa
hormat namun tidak memiliki kekuatan hukum keras pada keputusan petugas
kesehatan. Dalam situasi ini, itu tugas petugas kesehatan untuk bertindak dalam
'kepentingan terbaik' mereka, apakah itu berarti meneruskan atau menghentikan
pengobatan, dengan menggunakan penilaian klinis mereka. Atau, pasien dapat
menentukan keinginan mereka dan / atau mengalihkan mereka pengambilan
keputusan yang diwakili menggunakan arahan yang advance, yang sering disebut
sebagai ‘Living Wills’.
Amerika Serikat Di Amerika Serikat dokumentasi tersebut cukup rumit,
dimana di setiap negara menerima bentuk yang berbeda, dan petunjuk advance
serta ”living wills” tidak diterima oleh EMS sebagai bentuk sah secara hukum.
Jika pasien memiliki hidup yang menyatakan akan pasien ingin menjadi DNR
tetapi tidak memiliki resusitasi tepat mengisi formulir yang disponsori negara yang
ikut ditandatangani oleh petugas kesehatan, EMS akan mencoba. Ini adalah fakta
yang diketahui sedikit banyak pasien dan petugas kesehatan perawatan primer
yang dapat menyebabkan pasien untuk menerima perawatan yang mereka tidak
inginkan, dan hukum ini saat ini sedang dievaluasi untuk tantangan konstitusional.
Keputusan DNR oleh pasien pertama kali pada tahun 1976 diligitasi Di
Quinlan. The New Jersey Mahkamah Agung menguatkan hak orang tua Karen
Ann Quinlan untuk memesan penghapusan dia dari ventilasi buatan. Pada tahun
1991 Kongres meloloskan ke dalam hukum. Penentuan Nasib Sendiri Pasien
diamanatkan rumah sakit menghormati keputusan individu dalam perawatan
kesehatan mereka. 49 negara saat ini memungkinkan keluarga terdekat untuk
membuat keputusan medis kecuali Missouri. Missouri memiliki Living Will
Statute yang membutuhkan dua orang saksi untuk setiap perintah sebelumnya
ditandatangani yang menghasilkan kode status DNR di rumah sakit. Di AS,
8
resusitasi cardiopulmonary (CPR) tidak akan dilakukan jika ditulis valid "DNR".
Banyak negara bagian di Amerika tidak mengenali kehendak hidup atau proxy
kesehatan dalam pengaturan pra-rumah sakit dan personil pra-rumah sakit di
daerah tersebut mungkin diperlukan untuk memulai tindakan resusitasi kecuali
bentuk keadaan tertentu yang disponsori tepat diisi dan cosigned oleh petugas
kesehatan.
D. PEDOMAN BAGI PETUGAS KESEHATAN
Pedoman yang dikeluarkan oleh British Medical Association dan Royal
College of Nursing mengatakan bahwa perintah DNR hanya boleh dikeluarkan
setelah diskusi dengan pasien atau keluarga mereka. Meskipun mungkin sulit
untuk berdiskusi dengan pasien dan keluarga mereka tentang apakah untuk pasien
dapat hidup kembali atau tidak, tapi bagaimanapun juga diskusi terhadap keluarga
pasien diperlukan untuk mengambil keputusan dilakukan atau tidaknya CPR.
Kasus-kasus yang paling sulit untuk didiskusikan biasanya pasien yang
menderita rasa sakit berlebih, tapi kemungkinan bisa hidup selama beberapa bulan
Dr. Robin Loveday, konsultan mengatakan, "DNR adalah situasi di mana anda
benar-benar membutuhkan banyak diskusi dengan pasien dan keluarga mereka
untuk membantu mereka membuat keputusan, jika mereka menderita serangan
jantung, apakah tepat untuk memberi harapan mereka hidup beberapa bulan lagi.
Di Inggris, NHS Trust harus memastikan:
1. Kebijakan resusitasi sepakat bahwa menghormati hak-hak pasien adalah di
tempat seorang direktur non-eksekutif diidentifikasi untuk mengawasi
pelaksanaan kebijakan
2. Kebijakan ini tersedia untuk pasien, keluarga dan perawat
3. Kebijakan tersebut diletakkan di bawah audit dan dipantau dengan teratur
9
E. PRINSIP ETIK
Pada awal dan akhir resusitasi, perbedaan etik dan norma-norma budaya
harus dipertimbangkan. Meskipun prinsip-prinsip etik tentang beneficence, non
maleficence, autonomy dan justice dapat diterima di seluruh budaya, tetapi
prioritas prinsip-prinsip tersebut dapat bervariasi antar kebudayaan yang berbeda.
Di Amerika Serikat sebagaian besar penekanan pada otonomi individual.
Di Eropa lebih menekankan pada otonomi penyedia layanan kesehatan yang
menjadi tugas mereka dalam mengambil keputusan bila timbul masalah.
Sedangkan dia Asia, keputusan kelompok masyarakat mendominasi keputusan
yang diambil.
Dikatakan bahwa resusitasi adalah paduan usaha antara data ilmiah dan
nilai-nilai sosial sedangkan pada saat yang sama juga terdapat upaya
mempertahankan otonomi budaya, sehingga petugas kesehatan harus memainkan
peranan penting dalam mengambil keputusan berdasarkan data ilmiah dan
keinginan (preferensi) pasien.
1. Prinsip Beneficence
Prinsip beneficence pada RJP adalah pemulihan kesehatan dan fungsi-
fungsinya, serta meringankan rasa sakit dan penderitaan. Resusitasi elektif
yang dilakukan pada tahun 1940-an dan awal 1950 seperti perawatan
pernafasan intensif dapat meningkatkan harapan hidup pasien poliomyelitis
bulbar dari 15% menjadi lebih dari 50%. Satu dekade kemudian, 14 dari 20
pasien (70%) yang ditangani dengan pemijatan jantung paru dapat bertahan
hidup.
Kouwenhoven, et. al melaporkan bahwa tingkat pemulangan pasien di RS
John Hopkins berkisar 14% pada tahun 1985 dan dibawah 10% pada tahun
1994. Tingkat kesuksesan sekitar 70% tidak pernah dipublikasikan.
Keuntungan terbesardari tindakan RJP, dengan kemungkinan hidup lebih dari
20% telah dilaporkan pada henti jantung selama tindakan anestesi, overdosis
obat dan penyakit jantung koroner atau aritmia ventrikular primer.
10
Pada tahun 1995, tingkat pemulangan pasien hanya sekitar 17% yang
diikuti oleh pelaksanaan tindakan RJP pada pasien di ruang unit jantung
koroner terpadu dan dimonitor oleh pegawai yang terlatih, jarang sekali pasien
bertahan hidup setelah dilakukan tindakan RJP ketika henti jantung yang
timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi organ. Harapan
hidup pasien setelah dilakukan tindakan RJP sangat buruk (<5%) biala henti
jantung terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, kanker, atau AIDS, dan
dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irreversibel, diikuti dengan
trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau pneumonisa.
Dibatasinya pelaksanaan RJP telah meningkatkan derajat harapan hidup
pasien sebesar 10,5% setelah tindakan RJP, meskipun 7-10% lainnya ditunda
untuk dilakukan RJP. RJP yang dimulai dengan cepat di Seattle menghasilkan
tingkat harapan hidup sebesar 36%, itu merupakan angka tertinggi yang
dicapai dibandingkan dengan data yang terdapat di literatur saat ini. Pada
daerah lalu lintas yang mempunyai sistem yang lebih buruk, angka
keberhasilan RJP lebih rendah.
Secara spesifik di kota New York dan Chicago tingkat harapan hidup
setelah tindakan RJP kurang dari 2%, hal itu terjadi karena RJP yang
terlambat terkait dengan padatnya arus lalu lintas. Usia bukan merupakana
salah satu kontraindikasi dilakukannya tindakan RJP. Walaupun dikatakan
proses penuaan berkaitan dengan akumulasi berbagai kelemahan dan
penyakit, dengan terdapatnya perawatan jangka panjang dan penurunan fungsi
tubuh, masih menjadi salah satu perkiraan hasil RJP yang buruk.
2. Prinsip Non Maleficence (Do Not Harm)
Tingkat kerusakan otak berkaitan dengan tindakana RJP bervariasi antara
10-83%. Pada sslaah satu penelitian, 55 dari 60 anak meninggal karena
pemberian RJP yang berkepanjangan; lima lainnya bertahan hidup pada
kondisi coma persistant atau status vegetatif di rumah sakit. Banyak pasien
11
dengan disabilitas berat yang diikuti dengan kerusakan otak berada dalam
kondisi yang sama dengan kematian.
RJP menjadi berbahaya dan bersifat merusak ketika resiko kerusakan otak
relatif tinggi. Oleh karena gangguan aliran darah ke otak atau ke jantung dapat
menyebakan kerusakan berat, RJP dapat dikatakan berhasil hanya jika
dilakukan tepat waktu. Seorang investigator dari Swedia melaporkan bahwa
harapan hidup melebihi 80% pada pemberian RJP oleh orang di sekitar korban
dan ambulan datang kurang dari 2 menit, akan tetapi angka ini menjadi lebih
buruk bahkan kurang dari 6% ketika ambulan datang lebih dari 6 menit atau
tidak ada orang di sekitar korban yang melakukan RJP. Pada beberapa negara
di Amerika Serikat, walaupun petugas gawat darurat sudah membatasi
dilakukannya RJP di lapangan, namun ternyata masih dapat ditemukan bukti
RJP yang tidak dikehendaki. Bahkan didapatkan 7% pasien yang
dipulangkan dari rumah sakit tidak menghendaki dilakukannya
RJP. T indakan RJP dikatakan tidak merusak jika keuntungan yang
didapatkan lebih besar.
3. Prinsip Otonomi
Otonomi pasien harus dihormati secara etik dan di sebagian
besar negara dihormati secara legal. Akan tetapi hal itu membutuhkan
kemampuan komunikasi seorang pasien untuk dapat menyetujui atau menolak
tindakan medis termasuk RJP. Di Amerika Serikat, pasien dewasa dianggap
memiliki kapasitas dalam mengambil keputusan kecuali jika pengadilan telah
menyatakan bahwa mereka tidak kompeten untuk membuat keputusan
tindakan medis sedangkan di negara lain keputusan pengadilan tidak
diperlukan untuk penderita-penderita dengan incompetency seperti pada
penderita penyakit jiwa.
12
4. Informed consent Mensyaratkan bahwa pasien dapat menerima dan memahami informasi
yang akurat tentang kondisi mereka dan prognosis, jenis tindakan medik
yang diusulkan, tindakan alternatif lainnya, risiko dan manfaat dari tindakan
medis tersebut. Pasien juga harus dinilai kapa- sitasnya dalam mengambil
keputusan. Bila pasien ragu-ragu maka dia harus dianggap mempunyai
kapasitas, dan bila kapasitas dalam mengambil keputusan tersebut
terganggu. Oleh karena obat-obatan, penyakit-penyakit penyerta, maka
kapasitas pasien harus dikembalikan terlebih dahulu. Dalam keadaan darurat,
dan preferensi pasien belum jelas, dengan waktu yang terbatas untuk
mengambil keputusan maka adalah bijaksana untuk memberikan perawatan medis yang
stan- dard. Pasien biasanya tidak mempunyai rencana tentang apa yang terjadi
pada akhir kehidupannya (end of life), banyak yang tidak ingin menyiapkan
advanced directives, living wills (surat wasiat) atau mendiskusikan RJP.
Petugas kesehatan juga jarang mendiskusikan hal-hal tersebut
dengan pasien- pasiennya, bahkan jika pasien tersebut menderita sakit
yang parah. Banyak pasien memiliki pemahaman yang samar-samar tentang
RJP dan konsekuensi-konsekuensinya. Masyarakat umumnya berharap
banyak tentang kemungkinan untuk bertahan hidup dari serangan jantung.
Beberapa penderita mungkin akan menolak dilakukan RJP karena mereka
mengetahui adanya defisit sensorik berat yang timbul setelah serangan
tersebut. Akan tetapi banyak penelitian tentang kualitas hidup penderita yang
selamat dari serangan jantung menyatakan bahwa risiko tersebut dapat
diterima. Baik petugas kesehatan dan penderita mungkin mempunyai persepsi yang
berbeda tentang kualitas hidup. Petugas kesehatan mempunyai kewajiban untuk
menerangkan kepada pasien tentang RJP dan hasilnya. Pengambilan
keputusan yang tepat dapat terjadi bila penderita mempunyai pemahaman
yang baik tentang persepsi dan hasil resusitasi. Masalah kemudian dapat
timbul karena banyak petugas kesehatan tidak dapat memprediksi secara
13
akurat tentang kemungkinan hidup dari serangan jantung, sehingga
penderita tidak dapat dipaksa untuk mengambil persetujuan tentang
tindakan RJP. Baik Kant maupun Rawls mengatakan sebuah keputusan moral
otonom harus rasional dan tidak memihak salah satu pembuat
keputusan. Rawls mengatakan dengan jelas bahwa pembuat keputusan, para
pemilih, tidak mengetahui masa depan mereka dalam suatu komunitas. Dari
prinsip tersebut para ahli menyimpulkan bahwa pasien harus dapat
menentukan pengobatannya sendiri. Prinsip tersebut mengharuskan kita
mengkaji ulang dan menyelesaikan dua masalah. Pertama, pasien selalu
memikirkan hasil dari keputusan tindakan medis tersebut oleh karena itu tidak harus
selalu berdasarkan prinsip otonomi bahkan ketika keputusan tentang
tindakan medis tersebut tidak dapat meeredakan rasa nyeri, atau penderitaan.
Kedua, merupakan prinsip keadilan yang menghasilkan kemampuan untuk
menerima sesuatu, bukan otonomi. Dalam formulasi terbarunya Beuchamp dan
Childress lebih akurat mengatakan prinsip ini sebagai “penghormatan
terhadap otonomi”. Ada beberapa bukti bahwa wali pengganti yang
bertindak atas nama pasien pada saat pasien telah kehi- langan
kapasitas pengambilan keputusan, ternyata pasien tidak secara
tepat dapat mengatakan keinginan yang sebenarnya. Sekitar sepertiga
penderita ginjal kronik mene- rima keputusan yang diambil oleh wali
pengganti, ternyata keputusan itu bertentangan dengan keinginannya.
5. Prinsip Keadilan (Justice) Pemikiran tentang prinsip keadilan meliputi dibuatnya hak-
hak untuk menerima sesuatu, persaingan untuk mendapatkan kepentingan pribadi dan menyeimbangkan tujuan sosial. Masalahnya adalah seharusnya diperlukan nilai moral keadilan untuk menyediakan perawatan medis kepada yang memerlukannya dengan efek yang bermanfaat, karena keadilan diperlukan untuk mengurangi ketidaksamaan dalam perlakuan yang sering timbul dalam masyarakat. Dokter harus menyesuaikan diri dengan sumber
14
penghasilan masyarakat untuk merawat mereka berdasarkan sumber penghasilan yang secara umum disediakan seperti dari asuransi pribadi, atau pemerintah atau dukungan institusi secara langsung. Akan tetapi, untuk menentukan apakah diperlukan nilai keadilan moral untuk kelayakan minimal dalam memberikan pelayanan medis harus dinilai seberapa penting masalah yang dihadapi, o l eh karena itu diusulkan pelayanan kesehatan dasar sebaiknya: a. mencegah, mengobati, dan mengusahakan one- year survival lebih
dari 75 persen b. menghasilkan lebih sedikit toksisitas atau disabilitas jangka panjang c. dapat memberikan manfaat dan d. secara nyata lebih mengun- tungkan daripada memberatkan.
6. Prinsip kesia-siaan (Principle Of Futility)
“ Futility” adalah kata yang berarti tidak adanya ke- untungan. Kata
“sia-sia” berasal dari bahasa Latin “futilis”, yang berarti mudah meleleh
atau mengalir. Penggunaan kata ini berasal dari legenda Yunani ketika Raja
Argos dibunuh atas kejahatan yang dilakukannya, kemudian istri dan anak-
anaknya dikutuk selama-lamanya untuk mengumpulkan air dengan
menggunakan ember yang bocor ke suatu tempat sehingga saat sampai
di tempat tujuan ember tersebut kosong. Definisi “sia- sia”,
“tidak berguna” atau “futility” digunakan untuk menggambarkan
ketidakbergunaan atau tidak adanya efek, khususnya tidak adanya efek
yang diinginkan dan jika diasumsikan bahwa efek yang diinginkan intervensi
medis adalah untuk sesuatu yang bermanfaat bagi pasien maka sia-sia
menggambarkan ketiadaan manfaat tersebut. Dalam Roget ’ s Link
Thesaurus sia-sia digunakan dengan konsep umum inutility, sama dengan
kata-kata seperti tidak berguna, inefficacy, kebodohan,
ketidakmampuan, unfruitfulness, suatu pekerjaan yang sia-sia
bahkan tidak berharga dan hanya lelucon dan dengan konsep
umum absurditas seperti “kedunguan,” ”omong kosong, “kesalahan”,
15
“kekacauan,”, “keledai,” “omong kosong” “kesa Dikatakan juga kesiasiaan
menggambarkan tidak ada manfaat tanpa pertimbangan. Bagaimana jika
tindakan intervensi medis yang dilakukan memberikan sedikit manfaat.
Ketika kehidupan seseorang digambarkan dengan penyakit lanjut,
ketergantungan penuh dengan orang lain, demensia, sedangkan keuntungan
yang didapat dari tindakan RJP ternyanta tidak adekuat dan tidak sesuai yang
diharapkan. Memberikan hak sepenuhnya kepada pasien untuk memutuskan
tindakan yang akan dilakukan tidak akan menyelesaikan masalah. Ketika
permasalahan yang terkait dengan kematian dan koma menjadi sangat sulit
maka perlu ketegasan tentang tujuan sebenarnya yang akan dicapai. Jika
resusitasi adalah sia-sia maka setiap kerugian yang terjadi akan membawa
sesuatu yang tidak menguntungkan/ membahayakan keseimbangan, sehingga
melakukan tindakan tanpa tujuan yang berguna adalah suatu hal yang tidak
efektif. Tomlinson dan brody mengakui bahwa untuk menyatakan suatu
tindakan atau intervensi medik harus melibatkan keseimbangan yang
kompleks antara ketidak pastian dan kewajiban akan tanggungjawab.
Schneiderman dan Jacker telah mempelajari tentang makna kesia-siaan dan
membuat definisi kuantitatif dari sia-sia yang membutuhkan kepastian
bahwa intervensi tersebut minimal 100 kali gagal digunakan. Hal itu
menunjukkan bahwa tindakan tersebut tidak memiliki suatu kejelasan tertentu,
sehingga diperlukan diskusi yang mendalam dengan pasien atau keluarga
untuk mengevaluasi keuntungan dan beban atau tanggung jawab yang masih
tersisa.
Di unit perawatan intensif (ICU) pasien yang meninggal sebagai akibat
dari keputusan dipertahankanya atau ditariknya alat-alat pendukung
kehidupan adalah sekitar 70-90%. Persentase tersebut meningkat secara
signifikan dari waktu ke waktu, dan alasan yang paling umum untuk
dilakukannya tindakan medis untuk mempertahankan alat0alat penunjang
16
kehidupan tersebut adalah persepsi bahwa pasien mempunyai prognosis
yang buruk.
RJP adalah tindakan medis yang paling sering dipertahankan dan
ventilasi mekanis adalah tindakan medis yang paling sering ditarik kembali.
Upaya untuk mengukur kesia-siaan adalah berdasarkan pada penilaian RJP
fisiologis atau fitur prognosis lainya yang ternyata memberikan hasil yang
tidak banyak bermanfaat. Berbagai definisi kesia-siaan termasuk disini
adalah gagal untuk memperpanjang hidup gagal untuk mencapai efek
fisiologis pada tubuh untuk mencapai manfaat terapeutik bagi pasien.
Waisel dan Troug menyimpulkan tiga perbedaan yang konseptual
dari definisi kesia- siaan. Kesia-siaan fisiologis terjadi apabila gagal atau
tidak dapat memberikan tujuan fisiologis. Sebagai contoh ketika RJP tidak
menghasilkan denyut nadi atau ketika transfusi tidak menghasilkan tekanan
darah, maka intervensi tersebut adalah sia-sia dari perspektif definisi sebuah
kesia-siaan fisiologis.
Schneiderman et al, berpendapat bahwa konsep kesia-siaan fisiologis
bukan merupakan nilai bebas, penilaian terapi tersebut adalah sebuah
“pilihan nilai” dan bahwa pilihan yang dibuat adalah nilai pengukuran fungsi
organ daripada nilai hasil untuk pasien. Definisi kesia-siaan lainnya adalah
kesia-siaan yang berpusat pada asas manfaat (benefit centered), yang
didefinisikan sebagai kesia-siaan yang terdiri dari pertimbangan kuantitatif
dan kualitatif. Perkiraan kuantitatif kesia-siaan adalah saat intervensi medis
dianggap sia-sia jika gagal dalam jumlah yang ditentukan terakhir kali
mencoba, dan disarankan usaha tersebut berhasil apabila dilakukan 100 kali
sebagai ambang batas mknimal yang dianggap oleh penilaian profesional
pada umumnya. Komponen kualitatif menggambarkan kesia-siaan yang
terjadi saat kualitas hidup pasien jatuh di bawah ambang batas minimal yang
dianggap oleh penilaian professional pada umumnya. Murphy dan Finucane
menggusulkan definisi kesia-siaan operasional sebagai perlakuan yang
17
sangat tidak mungkin untuk berhasil dan banyak orang awam maupun
kalangan profesional menganggap bahwa hal tersebut tidak sepadan dengan
biaya.
The American Thoracic Society mengadopsi makna kesia-siaan
dengan lebih konservatif, namun definisinya lebih samar-samar, dimana
dikatakan bahwa intervensi medis tersebut dikatakan sia-sia jika sudah
sangat tidak mungkin untuk menghasilkan makna kehidupan. Oleh karena
itu, The American Thoracic Society memberikan definisi kesia-siaan berasal
dari campuran antara kuantitatif (sangat tidak mungkin) dan kualitatif
(bermakna untuk bertahan hidup).
American Heart Association mengambil definisi kualitatif kesia-siaan
secara ekstrem, dikatakan bahwa RJP adalah sia-sia karena tidak ada yang
selamat seperti yang dilaporkan pada sebuah penelitian yang didesain
dengan baik, dan dibuat untuk mempertimbangkan bahwa tindakan RJP
adalah tidak sia-sia. Definisi yang dikemukakan oleh American Heart
Association tersebut tampaknya untuk mendukung tidak dilakukan RJP pada
situasi-situasi yang akan membawa lebih banyak kerugiannya daripada
keuntungannya, dan definisi kesia-saian tersebut konsisten dengan definisi
kesia-siaan yang ada yaitu tidak ada manfaatnya.
F. Resusitasi Dalam Pandangan Islam
Di Bawah situasi ini resusitasi diperbolehkan dalam Islam untuk
menandatangani DNR bagi seseorang apabila dokter pikir ini adalah satu-satunya
hal terbaik untuk dilakukan. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang telah
didefinisikan oleh para ulama adalah sbb :
1. Jika orang sakit telah dibawa ke rumah sakit dan mati, dalam hal ini tidak perlu
menggunakan peralatan resusitasi.
18
2. Jika kondisi pasien tidak cocok untuk resusitasi menurut pendapat tiga dokter
spesialis yang dapat dipercaya, dalam hal ini ada juga tidak perlu menggunakan
peralatan resusitasi.
3. Jika pasien penyakit ini kronis dan tak terobati, dan kematian tidak dapat
dihindarkan menurut kesaksian tiga dokter spesialis yang dapat dipercaya,
dalam hal ini tidak perlu menggunakan peralatan resusitasi.
4. Jika pasien tidak mampu, atau negara bagian vegetatif yang gigih dan sakit
kronis, atau dalam kasus kanker pada tahap lanjutan, atau kronis penyakit
jantung dan paru-paru, dengan berulang-ulang penghentian dari jantung dan
paru-paru, dan tiga dokter spesialis dapat dipercaya telah ditentukan itu, maka
tidak ada perlu menggunakan peralatan resusitasi.
5. Jika ada indikasi pada pasien cedera otak yang tidak dapat diperlakukan sesuai
dengan laporan dari tiga dokter spesialis yang dapat dipercaya maka tidak ada
perlu menggunakan peralatan resusitasi, karena tidak ada gunanya melakukan
hal itu.
6. Jika menghidupkan kembali jantung dan paru-paru tidak bermanfaat dan tidak
tepat karena situasi tertentu menurut pendapat tiga dokter spesialis yang dapat
dipercaya, maka tidak ada perlu menggunakan peralatan resusitasi, dan tidak
ada perhatian harus dibayarkan kepada pendapat pasien kerabat tentang
penggunaan peralatan resusitasi atau sebaliknya, karena ini bukan spesialisasi
mereka. Dalam resolusi Dewan Fiqih Islam tidak ada (5), tanggal 3/07/86,
mengenai peralatan resusitasi, ia mengatakan: Dalam pertemuan Dewan Fiqih
Islam ketiga diadakan selama konferensi di 'Ammaan, ibukota Kerajaan
Yordania Hashemit 8-13 Safar/11 sampai 16 Oktober 1986. Setelah diskusi
tentang segala aspek pada subjek peralatan resusitasi dan ekstensif
mendengarkan penjelasan dari dokter spesialis, Ditentukan sebagai berikut:
Dalam syariat seseorang dianggap telah meninggal dan semua keputusan yang
dihasilkan dari kematian datang ke dalam bermain jika salah satu dari dua tanda
berikut terbukti:
19
1. Jika hatinya dan pernapasan telah berhenti sama sekali dan para dokter
telah menetapkan bahwa mereka tidak dapat dimulai ulang.
2. Jika semua fungsi otak telah berhenti sepenuhnya, dan spesialis, dokter
ahli telah menentukan bahwa penghentian ini adalah ireversibel, dan
otaknya telah mulai hancur. Dalam kasus ini, menghapus resusitasi
peralatan yang terhubung ke orang itu diperbolehkan, meskipun
beberapa organ seperti jantung masih dapat berfungsi secara artifisial