LOGIKA, ETIKA, DANESTETIKALOGIKA, ESTETIKA, DAN
ETIKA1.LogikaPemikiran dan ketertarikan Bertrand Russell untuk
menjadikan bahasa filosofis sejelas dan seakurat mungkin adalah
semata karena keinginannya untuk memastikan bahwa bahasa yang
dipergunakan berfilsafat sesuai dengan fakta yang dialami manusia.
Karena kepastian (exactness) merupakan bagian inti dari cara
berfikir matematis di dalam kajian matematika yang merupakan cabang
dari filsafat logika, maka berfikir secara ketat dengan
pengungkapan bahasa yang sesuai dengan fakta yang dialami manusia
disebut sebagai berpikir logis (Stumpf, 1987:273).Komunikasi yang
logis akan berpeluang menjadikan pemaknaan pesan yang efektif.
Logika di dalam ekspresi komunikatif, namun demikian, lebih
berkenaan dengan isi pesan komunikasi. Komunikasi itu sendiri,
mencakup dimensi isi dan relasi sekaligus. Dimenasi relasi di dalam
komunikasi lebih berhubungan dengan segi-segi etis dan estetis,
bagaimana cara pesan dikemas dan disampaikan. Etika dalam konteks
komunikasi dimaksudkan sebagai usaha manusia mempergunakan
kapasitas kognitifnya untuk memperoleh pertimbangan tentang
kepatutan situasional (Habermas,editedbyCooke,1998:429).
Memahami pengalaman kritik realitas sosial manusia haruslah
mencakup dan menjangkau latar belakang alam kehidupan tersebut
sambil pada saat bersamaan melalui refleksi transgresif masuk ke
latar depannya.Pengalaman suatu kehidupan dan konteks pragmatik
dari penjelasan tentangnya (yang dialami manusia:penulis) terbentuk
atau kita peroleh melalui keterlibatan kita dengan sesuatu itu dan
kejadian-kejadian (terkait:penulis); kehidupan kesetiakawanan dan
makna dalam konteks historisnya kita peroleh melalui keterlibatan
interaktif dengan orang-orang yang kita pergauli, Secara
ontogenetik , dunia empirik yang kita berurusan dengan keadaan
luarnya secara teknis-praktis hanya berjarak sangat tipis dari
kehidupan di mana kita berurusan dengan orang lain di dalam
masyarakat secara moral. Akhirnya, pengalaman-pengalaman dengan
keadaan bathin kita, dengan badan kita, dengan kebutuhan kita, dan
dengan perasaan kita, merupakan sesuatu yang tidak secara langsung
(kita alami:penulis); Kesemua itu memantul pada pengalaman
kehidupan eksternal kita. Manakala pengalaman-pengalaman batin kita
kemudian memperoleh kebebasan semacam pengalaman estetik, maka
karya seni otonom yang tercipta melibatkan peranan objek
(benda-benda) yang telah membuka mata kita, yang mendorong atau
menimbulkan cara baru melihat sesuatu, sikap baru terhadap sesuatu,
dan moda perilaku baru terhadap sesuatu (Habermas, edited by Cooke,
1998:245-246).Habermas dengan paparannya tersebut hendak menyatakan
bahwa pengalaman estetik bukanlah hasil dari bentuk-bentuk tindakan
kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada kecakapan
kognitif-instrumental dan gagasan-gagasan moral. Hal ini
dikarenakan kita tumbuh dan berkembang di dalam proses pembelajaran
kehidupan bathin, namun pada saat bersamaan kita terikat dengan
fungsi-fungsi bahasa sebagai pembentuk dan penguak dunia kehidupan.
Manakala pengalaman itu dapat diberualngkan untuk menghasilkan
kesan menyenangkan, memuaskan, aman, nyaman, dan bahagia yang mampu
menimbulkan efek terharu dan terpesona, maka ia telah menjadi
sebuah pengalaman estetika (AAM Djelantik, 1999:2). Kesan
mengharukan dan mempesona ini merupakan aspek pentig dari kemasan
pesan di dalam sebuah transaksi komunikatif. Semakin mempesona
kemasan pesan, semakin menarik lawan komunikasi kita.1.1. Logika
KonstruktifLogika di dalam konteks konstruksi realitas dalam bagian
ini dimaksudkan untuk menunjuk segala langkah prosesual
konstruksional yang melibatkan penalaran logis untuk tujuan
tercapainya kesesuaian, ketepatan dan keakuratan pengkonstruksian
realitas. Konstruksi realitas yang logis akan tercermin pada tidak
adanya kesenjangan apalagi perbedaan antara konstruksi realitas
dengan realitas yang diwakilinya (Sumarsono, 2004:9). Oleh karena
penggunaan logika dimaksudkan untuk mencapai kepastian (exactness)
dari setiap simpulan pemikiran dan penalarannya, maka konstruksi
yang diawali dengan penalaran seperti ini akan dapat dikategorikan
sebagai konstruksi yang logis.Permasalahannya kemudian adalah bahwa
setiap moda berpikir mempunyai rumusan logikanya masing-masing.
Sebagian filosof misalnya lebih menyukai cara-cara berpikir
kontingensial, sebagian lainnya mungkin memilih mempergunakan model
penalaran sentensial, elementer, dan bahakan silogistis. Kesemua
moda penalaran di dalam pemikiran mereka itu pun dengan demikian
akan memiliki model dan kerangka logikanya masing-masing. Hal ini
sesuai dengan pandangan kritis tentang realitas bahwa, manusia
hanya mampu mengkonstruksi realitas dari sudut pandangnya
masing-masing. Hal ini misalnya dikemukakan Lyotard bahwa mata
manusia tidak sanggup menguasai dunia, dan pandangan mata manusia
selalu bersifat parsial (Cavallaro, terjemahan Laily Rahmawati,
2001:76).1.2. Logika kontingensialMakna yang logis dari suatu
konstruksi realitas sosial harus secara internal menyatu di dalam
realitas terkonstruksi itu sendiri.Integrasi logika ini diakui
(kebenarannya:penulis) bukan saja pada interrelasi elemen-elemen
kultural yang tertentu saja yang kita temui di dalam bentuk
proposisi verbal, seperti pernyataan tertulis, akan tetapi berlaku
untuk elemen-elemen kultural nonverbal seperti halnya acara-acara
dan musik, dan juga bahkan berlaku untuk relasi antar elemen
kultural dari kelas-kelas yang berbeda-beda seperti sebuah
organisasi keluarga spesifik, sebuah gaya budaya/kebudayaan, type
kepribadian spesifik, dan aturan dan ketentuan hukum legal tertentu
(Barnes, 1948:896-897).Pitirim Alexandrovitch Sorokin dengan
pernyataan ini hendak menunjukkan bahwa, meski tidak seperti
integrasi-kausal-fungsional di dalam mana seluruh bagian fungsional
dari setiap elemen konstruksi realitas sosiokultural saling
berpautan dan saling bergantung satu sama lain, tetapi logika dan
makna yang logis sebagai elemen konstruksi suatu realitas
sosiokultural harus melekat secara internal di dalam realitas yang
secara konstruktif diwakilinya itu. Pernyataan ini megandung dan
mengarah pada pengertian bahwa, logika yang kokoh adalah prasyarat
kontingensial untuk tercapainya penciptaan makna yang tepat dan
akurat. Logika yang kokoh tidak terpisahkan oleh kesenjangan
antaranya dengan realitas yang ditunjuk untuk dimaknai dan dengan
penanda pemaknaan realitas yang dimaksud. Saling ketergantungan
adanya antara logika, kemasan logika (bahasa sebagai sistem tanda),
dan realitas yang sesungguhnya ada menjadi bersifat kontingensial.
Keberfungian elemen kontingensial yang satu mensyaratkan keberadaan
dan kehadiran elemen kontingensial yang lain.Contoh paling
sederhana, di dalam budaya Indonesia dikenal pernyataan tidak akan
ada asap kalau tidak ada api. Pernyataan ini menunjukkan bahwa
realitas bernama asap itu hanya akan muncul jika kondisi
kontingensial (yang dipersyaratkan) yaitu api terlebih dahulu
ada.1.3. Logika sentensialLogika sentensial membatasi dirinya untuk
membahas kalimat-kalimat sederhana yang tertentu, yang tidak
terurai secara keselurhan, menggabungkannya dengan kalimat
penghubung yang menjadikannya kalimat-kalmat gabungan. Kalimat
gabungan itu hanya dipergunakan sebagai alasan, yang validitas dan
invaliditasnya sepenuhnya bergantung pada bentuk atau cara
bagaimana kalimat-kalimat sederhana itu digabungkan.Contoh logika
sentensial paling sederhana adalah, jika kalmatnya adalah : Bapak
pergi ke Jakarta atau ke Surabaya Bapak tidak pergi ke Jakarta
Simpulan yang benar adalah : Bapak pergi ke
Surabaya.Kalimat-kalimat penghubung pada penggabungan dua kalimat
di dalam logika sentensial adalah: dan, atau, bukan, jika-maka,
jika dan hanya jika(Edwards, editor, 1972:14).1.4. Logika
silogismeSilogisme kategoris merupakan sebuah penafsiran atas satu
proposisi kategoris sebagai simpulan atas dua proposisi yang
lainnya yang merupakan premis-premis. Pada masing-masing premis
memiliki satu istilah yang juga ada pada proposisi kesimpulan dan
ada pada proposisi premis lainnya.Contoh paling sederhana: Setiap
binatang akan mati (Premis major) Semua manusia adalah binatang
(Premis minor) Oleh karenanya, semua manusia akan mati (Simpulan)2.
EstetikaPengendalian aspek-aspek estetika komoditas, termasuk di
dalamnya komoditas informasi berbasis media massa cetak, telah
menjadi bagian inti dari kreatifitas seni populer, terutama seni
komoditas yang merupakan bagian penting dari industri yang dikelola
dan dikendalikan oleh para kapitalis.Missinya (pengendalian
segi-segi estetika tersebut ) adalah untuk menjual (barang-barang)
kebutuhan, missi jangka panjangnya adalah untuk mempertahankan
sistem kelas. Wolfgang Fritz Haug, seorang Marxis Jerman telah
mengembangkan sebuah konsep yang relevan dengan diskusi masalah
ini. Haug mengemukakan bahwa mereka yang megendalikan industri di
dalam masyarakat kapitalis, telah mempelajari untuk melarutkan
seksualitas ke dalam (segala:penulis) komoditas dan kemudian
(dengan cara itu) memperoleh (peluang) pegendalian yang lebih besar
dan lebih besar lagi terhadap segi-segi kehidupan manusia yang
merupakan kepentingan utama untuk mengatur kelas (sosial, mencakup
agar ) orang-orang membeli barang-barang dan jasa (Berger,
1998:51).Peranan permainan pemanfaatan estetika bahkan telah
menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap propaganda politik.
Konstruksi realitas politik Umat Islam misalnya, dibuat melalui
film-film tentang Islam buatan bangsa dan orang-orang non-Muslim
yang dengan sendirinya tidak mengetahui tentang Islam dari
perspektif Islam. Ali Khameney mensinyalir hal ini dalam
pernyataannya bahwa,Mereka (orang-orang yang memusuhi Islam)
sekarang mampu memproduksi film-film bernuansa anti Islam dan
menyebarluaskannya lewat jaringan internasional. Akibatnya siapa
saja menonton film berisikan propaganda anti-Islam itu, padahal
dirinya tak mengetahui sedikit pun soal Islam, niscaya akan
mengambil kesan dan gambaran negatif tentang Islam (Khameney,
terjemahan Thalib Anis, 2005: 128).Estetisme yang merupakan cara
berpikir filosofis Immanuel Kant untuk menghindarkan pemikiran dan
tindakan politik dari orientasi material dan duniawi, telah
bergeser dan digeser untuk tujuan-tujuan yang sebaliknya (Williams,
terjemahan Muhammad Hardani, 2003:302) . Goldmann, meski memandang
pemikiran Kant sebagai sebatas pandangan atas penampilan luar
masyarakat manusia, menilai bahwa ada hal positif dari dalam
pandangan estetisme Kant yang menganjurkan agar memperlakukan
manusia sebagai tujuan dan bukan sebagai alat atau faktor produksi
.Pandangan Kant dan dukungan dari Gldmann tersebut di muka
menunjukkan bahwa konstruksi realitas sosial, termasuk realitas
sosial politik, terlebih untuk konsumsi pasar media massa berupa
informasi tekstual, hendaknya mempertimbangkan segi-segi estetika
meski tidak berarti harus menjadikannya bagian dari estetisme.
Segi-segi estetika bahasa -sebagai kemasan pesan tekstual-
sekurang-kurangnya mencakup: estetika denotatif dan estetika
konotatif (Yasraf Amir Piliang, 2003:223).Denotasi dan konotasi
merupakan dua proses terpenting dari penggunaan bahasa verbal
(tertulis dan lisan). Denotasi, penampakan, atau penunjukan
merupakan tindakan penggunaan bahasa yang mencerminkan kebiasaan
seluruh manusia di dalam upayanya menciptakan dan menemukan
tanda-tanda yang menjadikannya mewakili sesuatu yang lain . Tanda
di dalam kehidupan berbahasa dikemukakan dalam bentuk ikon, indeks,
dan sibol-simbol.Proses menciptakan dan menafsirkan simbol-simbol
yang lazim disebut dengan signifikasi, merupakan hal yang jauh
lebih luas dari pada sekedar bahasa. Sarjana seperti Ferdinand de
Saussure menekankan bahwa, kajian makna linguistik hanya merupakan
bagian dari kajian yang lebih umum terhadap penggunaan sistem
simbol ini, dan kajian umum ini disebut dengan semiotika. Para ahli
semiotika meneliti jenis-jenis/ bentuk-bentuk relasi antara tanda
dan objek yang diwakilinya; yang dalam istilah Saussure antara
signifier (penanda) dengan signified (yang ditandai) (Saeed,
1997:5).Penanda bahasa bersifat struktural dan mengacu pada
sifat-sifat keinderaan dalam bentuk-bentuk denotasi dan penampakan
objek. Aspek konotatif dari bentuk denotatif tersebut berupa konsep
objek bersifat kultural fungsional dan melekat di dalamnya sebagai
suatu yang mengacu pada gagasan, citraan, pengalaman, dan
nilai-nilai objek itu (Yasraf Amir Pliang, 2003:223) . Di dalam
pandangan strukturalis, kata dianggap memperoleh signifikansinya
dari sebuah kombinasi antara denotasinya (rujukannya) dan
pengertian (di dalamnya). Contoh paling sederhana adalah ketika
seseorang berkata:Saya melihat ibu saya beberapa saat lalu, maka
pendengar akan memperoleh pengertian bahwa si pembicara melihat
seorang perempuan. Ibu dalam kalimat si pembicara merupakan salah
satu jenis denotasi yang objektif. Adapun konotasi yang dibangun
dengan kata ibu saya adalah seorang perempuan yang melahirkan si
pembicara dari kandungannya (Saeed, 1997:292). Penanda denotatif
tersebut akan memiliki konotasi yang berbeda jika diucapkan dalam
konteks yang berbeda, misalnya kata ibu tidak lagi digabung dengan
kata saya tetapi digabung dengan kata pertiwi, atau kata guru.
Makna konotatif yang dituju oleh dua kalimat terakhir adalah tanah
tumpah darah (homeland) dan seorang perempuan yang bekerja sebagai
pengajar si pembicara di sebuah lembaga pendidikan atau
sekolah.Persoalan penting yang mengemuka dari dalam suatu proses
denotasi adalah bahwa denotasi merupakan proses penggunaan bahasa
sebagai pengkemas makna. Keefektifan maksud dan tujuan pengkemasan
sangat bergantung padaseberapa efektif kita menampilkan segi-segi
estetik ke dalam kemasan itu. Yasraf misalnya mengemukakan
bahwa,Dalam upaya pemuatan makna tertentu pada objek seni,
setidak-tidaknya ada tiga aspek yang harus diperhatikan, yaitu 1)
kode, yaitu cara tertentu memilih, menyusun, dan mengkombinasikan
tanda-tanda (apakah menurut relasi penanda/petanda,
penanda/penanda, atau penanda par-excellence), 2) makna yang
diharapkan (bisa konvensional, kontradiktif, atau ironis), dan 3)
ekspresi atau idiom, yakni cara elemen-elemen bentuk dan tanda
dikombinasikan sehingga menghasilkan totalitas bentuk, baik yang
berupa elemen linguistik maupun non linguistik (Yasraf Amir
Piliang, 2003:224).Yasraf menggambarkan proses pemuatan estetika ke
dalam kode dan makna bahasa secara skematik sebagai berikut:Model
proses estetik-semiotik Yasraf tersebut di atas dapat dijadikan
sebagai peta abrogasi dan apropriasi dalam konteks dekolonisasi
konstruktif. Abrograsi dan apropriasi merujuk pada
pengertian:penolakan terhadap kategori-kategori kebudayaan
imperial, estetiknya, standard normatifnya yang dibuat-buat atau
standard penggunaan kebenarannya dan asumsinya tentang makna
tradisional dan fixed yang terdapat dalam kata. Apropriasi
merupakan proses penyerapan dan pembentukan ulang bahasa agar dapat
menanggung beban pengalaman kultural seseorang (Ashcroft,
Griffiths, &Tiffin, terjemahan Fati Soewandi dan Agus Mokamat,
2003:42)Peta yang sama, dengan demikian juga dapat dipergunakan
oleh pihak-pihak yang berkepentingan sebaliknya untuk
mengkonstruksi realitas dengan motif-motif
denaturalistik-kolonialistik. Kesadaran estetik di dalam
mempergunakan bahasa untuk keperluan mengkonstruksi realitas
menjadi sangat penting dan menentukan bentuk relasi sosiotekstual
yang menggambarkan siapa mendustai siapa, siapa menguasai siapa,
atau siapa dijajah oleh siapa.Konsep kolonisasi versus dekolonisasi
dalam pada ini memperoleh relevansinya dalam konteks perang teks
antara masyarakat teks modernis dengan masyarakat teks lainnya yang
menganggap bahwa modernisme terlahir dengan cacat dan ekses
bawaannya yang telah mengakibatkan sakit sosiokultural dunia yang
hiperakut (hyperacute) . Yudhi Haryono dengan mengutip pandangan
Nasir Hamid Abu Zaid melukiskan bahwa masyarakat teks ,Lahir,
hidup, berjuang, dan mati untuk teks. Masyarakat teks ini mendesain
dirinya dalam dua tipe. Pertama, sebagai paradigma pemikiran dan
penghayatan. Kedua, sebagai metode analisa-kritik-solusi kehidupan.
Keduanya adalah epistem yang dihadirkan sebagai langkah-langkah
terorganisir demi penyelamatan dari modernitas (M. Yudhie Haryono,
1005:27).Intertekstualitas dalam arti sebenarnya maupun dalam arti
yang lebih spesifik dalam hal ini memperoleh pembenaran
teoretiknya. Pembenaran yang sama juga diperoleh untuk Teori
Habitus and Field Pierre Bourdieu, dan konsepsi Agency-Structure
dari dalam Teori Strukturasi Anthony Giddens.3. EtikaManusia
merupakan makhluk yang bersifat impulsif, refleksif, pengguna
simbol, dan menyalurkan rasa puas dan rasa kecewanya melalui agen.
Manusia dalam penyaluran perasaannya itu cenderung menyesuaikan dan
mengakomodasikan dirinya dengan pola-pola kehidupan, nilai, dan
kebiasaan manusia lain di dalam masyarakat (Solatun,
2004:50).Penyesuaian terhadap kebiasaan orang lain dalam konteks
politik, acapkali dikonotasikan sebagai diwarnai dengan pertarungan
antar kekuatan kepentingan dan praktik menghalalkan segala cara.
Praksis di bidang politik yang demikian itu, namun demikian masih
menyisakan adanya kerinduan akan keteraturan dan kedamaian hidup
sehingga manusia tersadar akan pentingnyan legitimasi dan
persetujuan masyarakat atas tindakan sosial yang melambangkan
pembenaran normatif -secara moral, agama, dan kebiasaan-
(Haryatmoko, 2003:1). Proposal Rene Descartes tentang ilmu tingkah
laku, prinsip-prinsip etika John Locke, dan juga penegasan David
Hume menunjuk pada bahwa:Ada kepatutan dan ketidakpatutan eternal
sesuatu, yang disadarai (dirasakan dan dipikirkan) oleh setiap
makhluk rasional, bahwa ukuran (tuntunan:penulis) yang kekal abadi
tentang benar dan salah menjadi kewajiban bagi semua ummat manusia,
bahwa moralitas, seperti halnya kebenaran, tampak jelas oleh
ide-ide (pikiran manusia: penulis), dan dengan pemaparan dan
pembandingan oleh ide-ide itu. Pikiran menilai salah satu persoalan
apakah fakta atau relasi. Perhatikanlah, misalnya, sebuah penilaian
moral yang mengutuk perilaku tidak tahu berterima kasih sebagai
sebuah kejahatan. Mana faktanya yang kita sebut sebagai kejahatan
di dalam hal ini? Faktanya adalah bahwa kebaikan yang dilakukan di
satu pihak dan dibalas dengan keburukan di pihak lain (Jones,
1969:337) .Descartes, Locke, dan Hume dengan pernyataannya tersebut
di atas hendak mengemukakan bahwa etika atau budi pekerti yang baik
yang berkenaan dengan pentingnya mempertimbangkan kepatutan di
dalam setiap tingkah laku, adalah bahkan wajib di dalam hal-hal
yang sangat abstrak. Pengkonstruksian realitas sosial melalui dan
menggunakan bahasa merupakan praksis sosiokultural yang bukan saja
tidak abstrak tetapi sangat nyata. Etika dengan demikian menjadi
melekat pada setiap praksis pengkonstruksian realitas baik melalui
atau tanpa media massa.Permasalahannya adalah bahwa setiap sudut
pandang yang dipergunakan orang terhadap segala sesuatu memiliki
sudut pandang etikanya sendiri-sendiri. Etika pengkonstruksian oleh
karenanya sekurang-kurangnya mencakup etika dari sudut pandang
alamiah, universal, sosiokultural, dan ilmiah atau kritis.3.1.
Etika AlamiahMenunjukkan fakta tentang sesuatu dan mengevaluasinya
telah dikenal secara luas sebagai dua hal berbeda yang saling
berhadapan.Telah terbukti bahwa agar seseorang dapat melakukan
sutau pekerjaan yang berikutnya (katakanlah tahap kedua:penulis)
dengan baik, maka seseorang itu harus terlebih dahulu mengerjakan
pekerjaan yang mendahuluinya (katakanlah pekerjaan tahap pertama:
penulis). Jika seseorang melakukan evaluasi tidak berdasarkan
pengetahuan yang kokoh tentang fakta-fakta yang ada, maka ia akan
melakukannya dengan tidak benar atau salah. Seseorang harus
megetahui seluruh fakta yang relevan sebelum ia melakukan penilaian
moral (yang berkenaan dengan fakta-fakta itu: penulis). Dari sini
tampak jelas bahwa membangun serta menunjukkan fakta-fakta dan
membuat penilaian moral terhadap fakta-fakta itu merupakan dua
pekerjaan yang berbeda sama sekali (Edwards, 1972:69).Para filosof
utilitarian seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill, Herbert
Spencer dan bahkan juga John Dewey dalam hal ini memandang bahwa
suatu tindakan itu dapat dinilai etis atau tidak etis berdasarkan
seberapa besar tindakan itu mendatangkan suatu kemanfaatan alamiah
seperti kesenangan, kepuasan, dan kebaikan masyarakat.Media massa
Amerika Serikat misalnya, memandang bahwa salah asuh terhadap anak
sebagai akibat dari anak-anak dibesarkan di dalam keluarga yang
kedua atau salah satu orangtuanya pecandu alkohol adalah tidak
etis. Terence Oliver namun demikian, memandang bahwa tidak perlu
(baca:tidak etis) jika kemudian wartawan menghabiskan
berbulan-bulan untuk mempublikasikannya, karena yang menjadi
persoalan prioritas adalah seberapa besar kekuatan kita untuk
mengentaskannya. Beda pendapat antara para wartawan dengan Oliver
semata-mata merupakan implikasi dari cara pandang etika
naturalistik masing-masing .Paparan di dalam journal tersebut
mengingatkan kita tentang perdebatan etika berkenaan dengan
peliputan kasus kecelakaan Diana Spencer (Putri Inggeris) oleh
wartawan foto yang mengejar dan merekam kejadian itu. Perdebatan
terfokus pada isu menolong orang yang kecelakaan dahulu atau
merekamnya untuk keperluan tugas jurnalistiknya?3.2. Etika
ObjektifPengertian kata atau istilah objektif, sebagaimana istilah
subjektif itu samar dan jauh dari kejelasan. Istilah etika
objektif, namun demikian kita gunakan dengan maksud untuk menunjuk
setiap kalimat etika yang dikemukakan secara bebas tidak dimuati
suatu kepentingan apapun dari orang yang mengemukakannya (Edwards,
1972:70).Objektifisme-subjektifisme. Kedua istilah tersebut telah
diperguanakan secara samar-samar, membingunkan, dan dalam
pengertian yang jauh berbeda dari apa yang kita pikirkan. Kita
mengemukakan penggunaan yang pas, dikarenakan menurut suatu teori
yang disebut subjektifis jika dan hanya jika, beberapa pernyataan
etik menyatakan atau menunjukkan bahwa seseorang dalam suatu
kondisi tertentu hendak bersikap khusus yang tertentu terhadap
sesuatu itu. Sebuah teori dapat dikatakan sebagai objektifis jika
tidak mengikutsertakan hal ini (Brandt, 1959:153).Rentang antara
subjektifisme dan ojektifisme, misalnya dapat kita lihat melalui
contoh berikut ini:Katakanlah kita secara sukarela menolong
mengantar nenek kita dengan mengendarai mobil ke rumah yang berada
di pojok lain kota yang sama dengan tempat kita tinggal. Di tengah
jalan kita mengendarai mobil dengan sangat baik, namun tiba-tiba
seorang yang mengendarai mobil lain dalam keadaan mabuk menabrak
mobil yang kita kendarai. Hasilnya, nenek kita terjepit dan kakinya
patah serta harus dioperasi di rumah sakit. Patutkah jika kita
mengatakan bahwa itu semua karena salah kita, atau orang lain
mengatakan demikian?(Hospers, 1982:142).Siapapun yang menyatakan
bahwa kita yang bersalah berarti menyatakan sesuatu secara
subjektif; sebaliknya pernyataan yang paling patut tetapi objektif
adalah jika berbunyi: kecelakaan itu terjadi sebagai akibat dari
pengemudi mabuk yang menabrak mobil kita. Sekiranya kita hendak
menunjukkan rasa dan kebesaran jiwa kita sehingga kita menyatakan
bahwa itu semua salah kita, maka kita telah menunjukkan sikap yang
patut menurut budaya kita (Indonesia) tetapi bersifat
subjektif.3.3. Etika UniversalDua gejala umum kita kenali di dalam
masyarakat yaitu pertama, bentuk-bentuk pranata sosiokultural
tertentu terdapat di dalam setiap masyarakat manusia seperti :
keluarga berkewajiban mendidik dan membesarkan anak-anak mereka.
Kedua, adanya kesamaan prinsip-prinsip dasar dari sistem nilai
kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda ( Brandt, 1959:286).
Profesor Kluckhohn, misalnya mengemukakan bahwa:Setiap budaya
memiliki konsep tentang pembunuhan, membedakannya dari hukuman
mati, pembunuhan di dalam peperangan, dan berbeda dari jenis
pembunuhan lainnya. Pandangan tentang perzinaan dan pengaturan
hubungan seksual lainnya, dan larangan dusta di dalam situasi yang
tertentu, tentang gantirugi dan imbal balik, dan hak dan kewajiban
antara anak dan orangtua, kesemua konsep-konsep moral tersebut
bersifat universal .Brandt dengan pernyataan dan kutipannya Dari
Kluckhohn tersebut hendak mengemukakan bahwa konsep-konsep moral
yang bersifat universal itu menunjukkan adanya etika yang juga
bersifat universal. Hal ini dimungkinkan oleh karena manusia
merupakan homo ethicus dalam arti makhluk yang cenderung
bertatakrama (Solatun, 2004:52).Richard B. Brandt secara lebih
rinci memaparkan tentang gejala universal tersebut bahwa,1. Semua
manusia, setidaknya ketika mereka tidak dihadapkan pada
tekanan-tekanan yang tidak biasa (luaar biasa), adalah dalam
kesepakatan mengenai prinsip-prinsip dasar etika. Pengertiannya
adalah bahwa, peesoalan-peersoalan etika dapat diatur secara
rasional ; dalam hal ini ketidak sepakatan mengenai etika tidak
bersumber dari ketidak sepakatan mengenai prinsip-prisip dasar
etika itu sendiri, kita harus beranjak dari kesalahpahaman tentang
fakta-fakta non-etika. Dengan demikian, jika kita dapat sampai pada
kesepakatan mengenai fakta-faktanon etika melalui pemabahasan
dengan metoda ilmiah, maka kita aka memeproleh kesepakatan bulat
tentang etika.2. Premis antropologis yang mengemukakan bahwa ada
banyak variasi (ragam-macam) keyakinan tentang tingkah laku yang
benar dan salah, dalam masyarkat yang berbeda, telah difahamkan
bahwa tingkah laku benar atau salah tidak akan menjadi pengetahuan
intuitif.3. Banyak anggapan sebagai premis yang dirumuskan dari
antropologi bahwa, lebih banyak perbedaan pendapat mengenai etika
jika dibandingkan dengan perbedaan pendapat mengenai fakta-fakta
non-etika. Berdasarkan pandangan ini, dikemukakan sebgai dasar
pikiran bahwa pandangan-pandangan mengenai etika pada hakikatnya
lebih menyangkut persoalan-persoalan tingkah laku emosional..4.
Orang-orang, paling tidak ketika mereka dalam keadaan serius,
mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai etika dengan suatu cara
yang umum (seragam) dan menyampaikan hanya satu macam alasan (atau
pandang baku) di dalam mempertahankan pranata atau standard etika.
Mereka kemudian menganggap bahwa cara mengemukkan pertanyaan
pertanyaan mengenai etika ini adalah satu-satunya yang dapat
diterima dan benar, atau sesekali dikemukakan bahwa dengan
demikian, istilah-istilah etika harus dipandang sebagai suatu yang
dapat didefinisikan secara tepat dengan suatu cara, dengan mana
jenis standard mengenai alasan yang disampaikan benar-benar
merupakan suatu alasan yang konklusif bagi pernyataan mengenai
etika yang dikemukakan.5. Terkadang diyakini bahwa ilmu sosial
dapat memberitahu kita bahwasanya kegunaan sisitem moral, nurani
dan pembahasan mengenai etika semata-mata sebagai sebuah cara
informal kontrol sosial atau untuk menyediakan aturan guna
menengahi konflik-konflik kepentingan. Dengan demikian diperoleh
tafsiran bahwa norma etika itu benar jika dan hanya jika
kesemuannya itu sesuai atau cocok untuk keperluan mencapai tujuan
trsebut (Brandt, 1959:86-87).Terciptanya perdamaian, kesenangan,
kenyamanan, dan kebahagiaan merupakan tujuan manusia yang bersifat
universal. Oleh karenanya pada setiap komunitas manusia juga dengan
sendirinya terdapat standard tentang baik-buruk, patut tidak patut
yang berlaku universal yang dapat menjadi kerangka standard etika
universal.3.4. Etika SosiokulturalSetiap komunikasi insani, hampir
dapat dipastikan merupakan komunikasi antar budaya. Hal ini
dikarenakan setiap ada dua orang manusia atau lebih selalu memiliki
perbedaan budayanya masing-masing meski hanya dalam derajat yang
sangat kecil (Deddy Mulayan & Jalaluddin Rakhmatc
editor-,1996:vi).Pendekatan nilai dalam komunikasi beranggapan
bahwa pola-pola komunikasi akan berbeda antara satu penganut nilai
budaya dengan lainnya, sebagaimana anggota masing-masing entitas
budaya juga berorientasi nilai-nilai dasar kultural yang berbeda .
Konstruksi realitas sosial tertentu dan makna yang
direpresentasikan dengannya akan sangat bergantung pada konteks
kultural, tata makna kultural, dan sistem nilai kultural dasar dari
entitas budaya mana pengkonstruksi berasal (Gudykunst, 1983:54).
Muatan etika yang melekat di dalam konstruksi tersebut oleh
karenanya juga akan sangat bergantung pada sistem budaya
pengkonstruksinya. Standard kepatutan di dalam setiap transaksi
komunikatif, oleh karenanya akan berragam menurut ragam budaya yang
melatarbelakangi komunikator yang terlibat, termasuk pengkonstruksi
realitas sosial politik melalui wacana tertulis di dalam opini
media massa cetak.3.5. Etika Ilmiah atau Etika KritisKritikisme
etik dan etika kritkisme merupakan subjek perhatian yang sangat
penting di dalam kajian kritis terhadap setiap fenomena
komunikatif.Kritikisme etika dalam konteks ini ditujukan pada
segi-segi moral dari segala sesuatu yang terjadi dan terdapat di
dalam teks dan dampak yang mungkin timbul dari teks itu. (Dalam hal
ini:penulis) telah terjadi perdebatan seru tentang bagaimana etika
memproduksi teks dan peranan yang hendaknya dimainkan oleh etika di
dalam kehidupan dunia seni dan media (Berger, 1998:195).Standard
validitas (keabsahan) etika dari suatu pernyataan kritis tentang
produksi teks dan dampak yang ditimbulkan daripadanya didasarkan
pada prinsip-prinsip metodologi keilmuan. Rumusan metodologis hasil
dari proses ini oleh karenanya juga disebut sebagai rumusan etika
kritis atau etika ilmiah yang termasuk ke dalam wilayah pembahasan
metaetika atau metaethics (Solatun, 2004:62) .Pengujian (dapat
dibaca:penilaian) dengan mempergunakan kerangka metodologis ini
lebih ditujukan pada kerangka penilaiannya dan bukan pada objek
yang dinilainya. Langkah seperti ini menjadi penting sehubungan
dengan kita memerlukan penjelasan tentang derajat kepatutan
kerangka pemikiran dibalik produksi pernyataan tekstual. Dua segi
yang paling penting untuk diuji dengan menggunakan kerangka
metodologis seperti ini adalah konsistensi dan generalitas dari
struktur (kerangka) pikir yang melatarbelakangi diproduksinya suatu
pernyataan tekstual dan juga yang non-tekstual- (Solatun, 2004:63)
.
dan EstetikaKODE KEHORMATAN PRAJA1. KETAQWAAN KEPADA TUHAN YANG
MAHA ESA;2. KOMITMEN WAWASAN KENEGARAWANAN, SETIA KEPADA PANCASILA,
UNDANG UNDANG DASAR NEGERA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945, NEGARA
DAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA;3. KESIAPAN MENGABDI DAN RELA
BERKORBAN, BEKERJA KERAS UNTUK KEPENTINGAN RAKYAT BANGSA DAN
NEGARA;4. KESIAPAN MELAKSANAKAN PENGABDIAN BERDASARKAN KAIDAH
KEILMUAN, ETIKA DAN ESTETIKA SERTA PENGEMBANGAN KEILMUAN YANG DAPAT
DIAMALKAN;5. KEJUJURAN, KEARIFAN, KEADILAN, KETERBUKAAN TAAT ASAS,
PROFESSIONAL DAN PERTANGGUNG JAWABAN PRAJA, SERTA BERORIENTASI PADA
PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT SESUAI DENGAN STRUKTUR, KULTUR, DAN
PROSEDUR DALAM BOUNDRY SYSTEM.( Pasal 3 ayat (2) Permendagri No. 46
tahun 2009 tentang Peraturan Tata Kehidupan Praja )
Upacara bendera setiap hari Senin merupakan kegiatan rutin dan
wajib untuk dilakukan oleh segenap sivitas akademika Institut
Pemerintahan Dalam Negeri ( IPDN ), baik yang berada di Kampus
Pusat maupun Kampus Daerah. Apabila pada biasanya, menurut protap (
prosedur tetap ) Upacara Bendera yang lama, yang berlaku di IPDN,
pada saat pengucapan hanya diucapkan Pembukaan UUD 1945, Pancasila
dan Panca Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia ( KORPRI ).
Maka terhitung dari awal bulan November ( mulai diterapkan di IPDN
Kampus Kalimantan Barat ), ada sedikit perubahan atau lebih
tepatnya ada penambahan pengucapan yang harus dilakukan pada saat
Upacara Bendera. Penambahan itu yaitu dengan adanya pengucapan Kode
Kehormatan Praja.
Kode kehormatan praja yang kini diucapkan setiap hari Senin pada
Upacara Bendera merupakan tata nilai yang tersusun sebagai
akumulasi semangat kepamongprajaan (Pasal 3 ayat (1) Permendagri
No. 46 tahun 2009 tentang Peraturan Tata Kehidupan Praja). Secara
pribadi saya tidak mengetahui alasan dengan ditambahkannya
pengucapan Kode Kehormatan Praja. Tapi secara singkat dan sedikit
berseloroh, saya melihat dengan adanya pengucapan Kode Kehormatan
Praja ini merupakan sebuah bentuk penyesuaian terhadap realita yang
ada sekaligus perubahan yang terjadi di Institusi Pendidikan
Kepamongprajaan ini.Karena dimulai dari angkatan XIX, peserta didik
( praja ) IPDN tidak lagi menyandang status sebagai Pegawai negeri
Sipil ( PNS ) atau CPNS yang secara otomatis langsung terikat
dengan Panca Prasetya Korpri, tapi kini, praja baru akan diangkat
menjadi pegawai atau calon pegawai pada saat memasuki semester V
atau VI ( tingkat Nindya Praja ) sehingga secara logika sederhana
praja dewasa ini belum wajib untuk mengucapkan Panca Prasetya
Korpri karena baik secara lahir maupun bathin belum terikat oleh
tata nilai atau janji seorang PNS yang masuk ke dalam Korps Pegawai
Republik Indonesia.
Jadi, secara kasarnya, praja tidak mempunyai kewajiban untuk
melaksanakan segala ketentuan yang ada terdapat dalam Panca
Prasetya Korpri. Oleh Karena itu, mungkin, sekali saya katakan
mungkin, lembaga akhirnya memutuskan untuk memasukan pengucapan
Kode Kehormatan Praja di setiap Upcara Bendera yang diselenggarakan
pada hari Senin. Sehingga praja bisa lebih akrab dengan aturan,
serta norma yang memang mengikat mereka secara nyata baik lahir
maupun batin.Tapi, sungguh, itu bukan merupakan substansi utama
yang akan saya bahas dalam tulisan ini.
Saya justru menjadi sangat tertarik dengan kata-kata etika dan
estetika yang terdapat dalam kalimatKESIAPAN MELAKSANAKAN
PENGABDIAN BERDASARKAN KAIDAH KEILMUAN, ETIKA DAN ESTETIKA SERTA
PENGEMBANGAN KEILMUAN YANG DAPAT DIAMALKAN, butir ketiga kode
kehormatan praja.Apa itu Etika?Apa itu estetika?Kenapa menjadi
begitu menarik untuk dibahas?Mari kita coba kenali dan pahami satu
per satu.
Etika (Yunani Kuno:"ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan")
adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat
yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai
standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan
konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. St.
John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam
kajian filsafat praktis (practical philosophy).
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam
pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan
kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang
berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika,
yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh
manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat
dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis,
dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika
merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah
tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain
yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut
pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk
terhadap perbuatan manusia.Etika terbagi menjadi tiga bagian utama:
meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan
nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai
etika)(http://id.wikipedia.org/wiki/Etika)
Sedangkan Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara
sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana
ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya.
Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi
yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai
penilaian terhadap sentimen dan rasa.
Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi
seni. Estetika berasal dari bahasa Yunani,aisthetike. Kali pertama
digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada 1735 untuk
pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan.
Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam
membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat
akan turut memengaruhi penilaian terhadap keindahan. Misalnya pada
masa romantisme di Perancis, keindahan berarti kemampuan menyajikan
sebuah keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan
menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa maraknya de
Stijl di Belanda, keindahan berarti kemampuan mengkomposisikan
warna dan ruang dan kemampuan mengabstraksi benda.
Perkembangan lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak
selalu memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan
masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya. Karena
itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the
beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi
standar keindahan dan the ugly, suatu karya yang sama sekali tidak
memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya
dinilai buruk, namun jika dipandang dari banyak hal ternyata
memperlihatkan keindahan.
Keindahan seharusnya sudah dinilai begitu karya seni pertama
kali dibuat. Namun rumusan keindahan pertama kali yang
terdokumentasi adalah oleh filsuf Plato yang menentukan keindahan
dari proporsi, keharmonisan, dan kesatuan. Sementara Aristoteles
menilai keindahan datang dari aturan-aturan, kesimetrisan, dan
keberadaan. keindahan seharusnya memenuhi banyak aspek. aspek
jasmani dan aspak
rohani.(http://id.wikipedia.org/wiki/Estetika)
Secara sederhananya, Etika berkaitan dengan baik dan buruk atau
berkenaan dengan sebaiknya, seharusnya dan sepatutnya sedangkan
estetika adalah tentang indah dan jelek. Kedua hal ini sangat erat
dengan rasa atau perasaan masing-masing individu sehingga sangat
bersifat nisbi. Tapi walau, ukuran etika dan estetika itu nisbi
atau hampir tidak mempunyai standar yang pasti/tetap atau bahkan
universal tapi sungguh etika dan estetika merupakan hal yang tak
bisa serta merta kita sepelekan apalagi acuhkan begitu
saja.Terlebih apabila kemudian kita hubungkan permasalahan etika
dan estetika ini dengan upaya dan usaha kita dalam bersikap benar
atau menegakan kebenaran.
Kebenaran adalah sesuatu yang lahir dari kalkulasi rasio dan
dijernihkan oleh nurani. Plus kerendahan hati untuk tidak
membenar-benarkan diri di hadapan sesama. Kalau sudah demikian,
kita layak meyakini sebuah kebenaran meski tetap harus disisakan
sedikit ruang akan relativitasnya.
(http://filsafat.kompasiana.com/2011/03/28/kebenaran-adalah/).
Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan obyek.
Kebenaran adalah lawan dari kekeliruan yang merupakan obyek dan
pengetahuan tidak sesuai. Contohnya adalah roda sebuah mobil
berbentuk segitiga. Kenyataannya bentuk roda adalah bundar, karena
pengetahuan tidak sesuai dengan obyek maka dianggap keliru. Namun
saat dinyatakan bentuk roda adalah bundar dan terjadi kesesuaian,
maka pernyataan dianggap benar.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kebenaran)
Menentukan suatu hal benar atau salah relatif lebih mudah
dibandingkan dengan menentukan apakah sesuatu hal itu beretika atau
tidak, berestetika atau tidak. Mudah di sini karena kebenaran itu
tidak bersifat relatif atau nisbi, tapi mutlak karena kebenaran itu
tidak berdasarkan rasa, selera tapi berdasarkan hukum yang berlaku
kini dan disini.
Ketika kita akan menentukan orang itu benar, atau sesuatu hal
itu salah, maka kita hanya perlu mengembalikan itu semua pada hukum
yang ada, tidak lebih dan tidak kurang. Tapi disini-lah letak
ketidaksederhanaan hidup di dunia ini, hidup pada kenyataannya
tidak semudah dengan hanya menentukan salah atau benar sesuai
dengan hukum yang ada. Manusia tidak sekaku itu, manusia tidak
sesederhana itu, Manusia terlalu kompleks untuk bisa menerima
sekedar hanya benar dan salah, terlalu banyak faktor yang ada di
dunia ini sehingga segala perkara kemudian tidak bisa berhenti atau
disikapi dengan hanya benar atau salah.Bila hanya begitu, lantas
untuk apa manusia memilki hati, nurani dan hati? Apakah hanya rasio
otak dengan logika rasionalnya saja yang menjalankan tubuh manusia?
Tentu tidak, bukan?
Sehingga kemudian selain juga harus brtindak benar sesuai dengan
hukum yang ada, kita pun harus juga memperhatikan etika dan
estetika yang berlaku. Sialnya bagi kita, etika dan estetika itu
tidak selalu tertulis, tapi hanya merupakan sebuah tradisi, ada
hanya lisan dan berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya tapi
sungguh memberikan sebuah dampak yang luas juga besar ketika kita
tidak mampu untuk menujukan etika dan estetika dalam bertindak.
Ketika misalnya kita akan melaksanakan sholat ( Muslim ), aturan
yang ada dan berlaku hanya menyebutkan bahwa sholat itu harus
menutup aurat dan aurat untuk kaum lelaki itu adalah dari pusar
sampai ke lutut maka ketika kaum lelaki sholat mengenakan sarung
dan pakaian oblong, secara aturan itu benar. Tapi apakah layak?
Apakah indah?
Atau ketika kita bekerja dalam sebuah perusahaan atau instansi
pemerintahan. Posisi kita adalah sebagai seorang staf atau bawahan.
Sesuai dengan aturan, jam masuk kerja itu pukul 07.30, dan setiap
harinya kita masuk kerja, masuk ke kantor tepat pukul 07.30 akan
tetapi pada saat yang bersamaan ternyata atasan kita selalu tiba di
kantor pada pukul 07.20. Sekali lagi, secara aturan sungguh kita
tidak melanggar tapi kemudian apakah pantas seorang bawahan datang
lebih lambat dariapada atasannya sendiri? Apakah elok terlihat
atasan telah lebih dulu duduk manis di tempat kerja ketika justru
stafnya belum terlihat satupun?
Dua contoh tadi saya sungguh tidak mengada-ngada, tapi merupakan
dua contoh kecil tapi seringkali kita temui di lapangan. Sekali
lagi, apa yang saya sebutkan di atas hanya merupakan contoh kecil
nan sederhana belum mengena pada contoh nyata yang kompleks.Pada
intinya, saya hanya mencoba untuk membuktikan bahwa kebenaran,
etika dan estetika itu tidak bisa untuk kemudian berdiri sendiri.
Tapi juga tidak serta merta kebenaran, etika dan estetika itu
saling berkaitan.Pada akhirnya kita harus tetap mengutamakan
kebenaran daripada etika dan estetika. Karena tidak sedikit
kebenaran yang berbenturan dengan etika dan estetika tapi ketika
hal itu terjadi, kebenaran harus tetap kita tegakan. Seperti
misalnya, ketika kita mencuri untuk kemudian kita bagikan kepada
fakir miskin, itu sungguh sangat mulia juga indah, tapi mencuri
tetap merupakan suatu hal yang salah.
Memiliki sikap yang paripurna, yaitu mampu untuk menselaraskan
antara kebenaran, etika dan estetika sesuai dengan tempat dan waktu
yang ada, maka sungguh kita akan menjadi manusia yang bertindak dan
bersikap secara menyeluruh dan bahkan kita akan memiliki suatu
kebijaksanaan karenanya. Siapa yang tidak mau?
Sulit? Ya!Tidak mungkin?Nope!Ketika kita akan bertindak benar
maka kita hanya perlu untuk melihat dan menjabarkan aturan atau
hukum yang ada dan berlaku, lalu selanjutnya untuk mampu bertindak
sesuai dengan etika dan estetika yang ada, kita harus terus memupuk
sikap empati dan simpati.Kita harus memiliki kepekaan hati juga
rasa yang tinggi, selalu mencoba untuk berpikir dan memposisikan
diri di posisi orang lain, melihat kepada mereka yang tidak
seberuntung kita, banyak bersosialisasi dan bertukar cerita dengan
semua orang dari semua golongan, ya kita harus menumbuhkan sikap
sosial terhadap sesama untuk akhirnya kita akan mampu memiliki
kepekaan hati yang tinggi yang akan menjadi bekal bagi kita dalam
berempati dan bersimpati.Setelah itu maka sikap beretika dan
berestetika hanya akan tinggal menungguh waktu.
Terus berusaha mengukir segala sikap postif tanpa pernah
mengotorinya dengan sikap pamrih yang picik, yakini bahwa pada
akhirnya orang yang baik, mereka yang benar, beretika dan
berestetika, akan selalu menang, akan selalu dinaungi
keberuntungan.Lets be a good guy aMASJIDMASJID
Kata masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali di
dalamAl-Quran. Dari segi bahasa, kata tersebut terambil dari
akarkata sajada-sujud, yang berarti patuh, taat, serta tundukdengan
penuh hormat dan takzim.
Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi,
yangkemudian dinamai sujud oleh syariat, adalah bentuk lahiriahyang
paling nyata dari makna-makna di atas. itulah sebabnyamengapa
bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan shalatdinamakan
masjid, yang artinya "tempat bersujud."
Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan
tempatshalat kaum Muslim. Tetapi, karena akar katanya
mengandungmakna tunduk dan patuh, hakikat masjid adalah tempat
melakukansegala aktivitas yang mengandung kepatuhan kepada
Allahsemata. Karena itu Al-Quran sural Al-Jin (72): 18,
misalnya,menegaskan bahwa,
Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah,karena
janganlah menyembah selain Allah sesuatu pun.
Rasul Saw. bersabda,
Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumisebagai masjid
dan sarana penyucian diri (HR Bukharidan Muslim melalui Jabir bin
Abdullah).
Jika dikaitkan dengan bumi ini, masjid bukan hanya sekadartempat
sujud dan sarana penyucian. Di sini kata masjid jugatidak lagi
hanya berarti bangunan tempat shalat, atau bahkanbertayamum sebagai
cara bersuci pengganti wudu tetapi katamasjid di sini berarti juga
tempat melaksanakan segalaaktivitas manusia yang mencerminkan
kepatuhan kepada AllahSwt.
Dengan demikian, masjid menjadi pangkal tempat Muslimbertolak,
sekaligus pelabuhan tempatnya bersauh.
SUJUD DAN FUNGSI MASJID
Al-Quran menggunakan kata sujud untuk berbagai arti.
Sekalidiartikan sebagai penghormatan dan pengakuan akan
kelebihanpihak lain, seperti sujudnya malaikat kepada Adam
padaAl-Quran surat Al-Baqarah (2): 34.
Di waktu lain sujud berarti kesadaran terhadap kekhilafanserta
pengakuan kebenaran yang disampaikan pihak lain, itulaharti sujud
di dalam firman-Nya,
Lalu para penyihir itu tersungkur dengan bersujud (QSThaha [20]:
70).
Yang ketiga sujud berarti mengikuti maupun menyesuaikan
diridengan ketetapan Allah yang berkaitan dengan alam raya ini,yang
secara salah kaprah dan populer sering dinama hukum-hukumalam.
Bintang dan pohon keduanya bersujud (QS Al-Rahman[55]: 6).
Dari sunnatullah diketahui bahwa kemenangan hanya tercapaidengan
kesungguhan dan perjuangan. Kekalahan diderita karenakelengahan dan
pengabaian disiplin, dan sukses diraih denganperencanaan dan kerja
keras, dan sebagainya, sehinggaseseorang tidak disebut bersujud,
apabila tidak mengindahkanhal-hal tersebut.
Al-Quran menyebutkan fungsi masjid antara lain di
dalamfirman-Nya:
Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang
telahdiperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya didalamnya
pada waktu pagi dan petang, orang-orang yangtidak dilalaikan oleh
perniagaan, dan tidak (pula)oleh jual-beli, atau aktivitas apa pun
dan mengingatAllah, dan (dari) mendirikan shalat, membayarkanzakat,
mereka takut kepada suatu hari yang (di hariitu) hati dan
penglihatan menjadi guncang (QS An-Nur[24]: 36-37).
Tasbih bukan hanya berarti mengucapkan Subhanallah,
melainkanlebih luas lagi, sesuai dengan makna yang dicakup oleh
katatersebut beserta konteksnya. Sedangkan arti dankonteks-konteks
tersebut dapat disimpulkan dengan kata taqwa.
MASJID PADA MASA RASULULLAH SAW.
Ketika Rasulullah Saw. berhijrah ke Madinah, langkah pertamayang
beliau lakukan adalah membangun masjid kecil yangberlantaikan
tanah, dan beratapkan pelepah kurma. Dari sanabeliau membangun
masjid yang besar, membangun dunia ini,sehingga kota tempat beliau
membangun itu benar-benar menjadiMadinah, (seperti namanya) yang
arti harfiahnya adalah 'tempatperadaban', atau paling tidak, dari
tempat tersebut lahirbenih peradaban baru umat manusia.
Masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah Saw. adalahMasjid
Quba', kemudian disusul dengan Masjid Nabawi diMadinah. Terlepas
dari perbedaan pendapat ulama tentang masjidyang dijuluki Allah
sebagai masjid yang dibangun atas dasartakwa (QS Al-Tawbah [9]:
108), yang jelas bahwa keduanya--Masjid Quba dan Masjid Nabawi--
dibangun atas dasarketakwaan, dan setiap masjid seharusnya memiliki
landasan danfungsi seperti itu. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah
Sawmeruntuhkan bangunan kaum munafik yang juga mereka sebutmasjid,
dan menjadikan lokasi itu tempat pembuangan samph danbangkai
binatang, karena di bangunan tersebut tidak dijalankanfungsi masjid
yang sebenarnya, yakni ketakwaan. Al-Quranmelukiskan bangunan kaum
munafik itu sebagai berikut,
Dan (di antara orang-orang munafik itu) adaorang-orang yang
mendirikan masjid untuk menimbulkankemudharatan (pada orang Mukmin)
dan karenakekafiran-(nya), dan untuk memecah belah
antaraorang-orang Mukmin, serta menunggu/mengamat-amatikedatangan
orang-orang yang memerangi Allah danRasul-Nya sejak dahulu (QS
Al-Tawbah [9]: 107).
Masjid Nabawi di Madinah telah menjabarkan fungsinya
sehinggalahir peranan masjid yang beraneka ragam. Sejarah
mencatattidak kurang dari sepuluh peranan yang telah diemban
olehMasjid Nabawi, yaitu sebagai:
1. Tempat ibadah (shalat, zikir).2. Tempat konsultasi dan
komunikasi (masalahekonomi-sosial budaya).3. Tempat pendidikan.4.
Tempat santunan sosial.5. Tempat latihan militer dan persiapan
alat-alatnya.6. Tempat pengobatan para korban perang.7. Tempat
perdamaian dan pengadilan sengketa.8. Aula dan tempat menerima
tamu.9. Tempat menawan tahanan, dan10. Pusat penerangan atau
pembelaan agama.
Agaknya masjid pada masa silam mampu berperan sedemikian
luas,disebabkan antara lain oleh:
1. Keadaan masyarakat yang masih sangat berpegang teguh
kepadanilai, norma, dan jiwa agama.
2. Kemampuan pembina-pembina masjid menghubungkan kondisisosial
dan kebutuhan masyarakat dengan uraian dan kegiatanmasjid.
Manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam masjid, baik
padapribadi-pribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi
imam/khatibmaupun di dalam ruangan-ruangan masjid yang
dijadikantempat-tempat kegiatan pemerintahan dan syura
(musyawarah).
Keadaan itu kini telah berubah, sehingga
timbullahlembaga-lembaga baru yang mengambil-alih sebagian
perananmasjid di masa lalu, yaitu organisasi-organisasi
keagamaanswasta dan lembaga-lembaga pemerintah, sebagai
pengarahkehidupan duniawi dan ukhrawi umat beragama.
Lembaga-lembagaitu memiliki kemampuan material dan teknis melebihi
masjid.
Fungsi dan peranan masjid besar seperti yang disebutkan padamasa
keemasan Islam itu tentunya sulit diwujudkan pada masakini. Namun,
ini tidak berarti bahwa masjid tidak dapatberperan di dalam hal-hal
tersebut.
Masjid, khususnya masjid besar, harus mampu melakukankesepuluh
peran tadi. Paling tidak melalui uraian parapembinanya guna
mengarahkan umat pada kehidupan duniawi danukhrawi yang lebih
berkualitas.
Apabila masjid dituntut berfungsi membina umat, tentu saranayang
dimilikinya harus tepat, menyenangkan dan menarik semuaumat, baik
dewasa, kanak-kanak, tua, muda, pria, wanita, yangterpelajar maupun
tidak, sehat atau sakit, serta kaya danmiskin.
Di dalam Muktamar Risalatul Masjid di Makkah pada 1975, halini
telah didiskusikan dan disepakati, bahwa suatu masjid barudapat
dikatakan berperan secara baik apabila memiliki ruangan,dan
peralatan yang memadai untuk:
a. Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
b. Ruang-ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka
keluarmasuk tanpa bercampur dengan pria baik digunakan untuk
shalat,maupun untuk Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
c. Ruang pertemuan dan perpustakaan.
d. Ruang poliklinik, dan ruang untuk memandikan danmengkafankan
mayat.
e. Ruang bermain, berolahraga, dan berlatih bagi remaja.
Semua hal di atas harus diwarnai oleh kesederhanaan
fisikbangunan, namun harus tetap menunjang peranan masjid
idealtermaktub.
Hal terakhir ini perlu mendapat perhatian, karena
menurutpengamatan sementara pakar, sejarah kaum Muslim
menunjukkanbahwa perhatian yang berlebihan terhadap
nilai-nilaiarsitektur dan estetika suatu masjid sering ditandai
dengankedangkalan, kekurangan, bahkan kelumpuhannya dalam
pemenuhanfungsi-fungsinya. Seakan-akan nilai arsitektur dan
estetikadijadikan kompensasi untuk menutup-nutupi kekurangan
ataukelumpuhan tersebut.
YANG BOLEH DILAKUKAN DAN YANG TIDAK DIPERBOLEHKAN DI
DALAMMASJID
Masjid adalah milik Allah, karena itu kesuciannya
harusdipelihara. Segala sesuatu yang diduga mengurangi
kesucianmasjid atau dapat mengesankan hal tersebut, tidak
bolehdilakukan di dalam masjid maupun diperlakukan terhadap
masjid.
Salah satu yang ditekankan oleh sebagian ulama sebagai
sesuatuyang tidak wajar terlihat pada masjid (dan sekitarnya)
adalahkehadiran para pengemis,
Untuk memelihara kesucian masjid, Allah Swt. berfirman agarpara
pengunjungnya memakai hiasan ketika mengunjungi masjidsebagaimana
firman-Nya dalam QS Al-A'raf (7): 31:
Hai anak-anak Adam, pakailah pakaianmu yang indahsetiap
(memasuki) masjid.
Rasulullah Saw. menganjurkan agar memakai wangi-wangian
saatberkunjung ke masjid, dan melarang mereka yang baru sajamemakan
bawang memasukinya.
Siapa yang makan bawang putih atau merah hendaklahmenghindar dan
masjid kita.
Masjid harus mampu memberikan ketenangan dan ketenteraman
padapengunjung dan lingkungannya, karena itu Rasulullah
Saw.melarang adanya benih-benih pertengkaran di
dalamnya,sampai-sampai beliau bersabda,
Jika engkau mendapati seseorang menjual atau membelldi dalam
masjid, katakanlah kepadanya, "Semoga Allahtidak memberi keuntungan
bagi perdaganganmu," dan bilaengkau mendapati seseorang mencari
barangnya yanghilang di da1am masjid, maka katakanlah, "Semoga
Allahtidak mengembalikannya kepadamu (semoga engkau
tidakmenemukannya)."
Kedua teks yang disebutkan di atas tidak berarti
laranganberbicara tentang perniagaan yang sifatnya mendidik umat,
ataumelarang para pembina dan pengelola masjid berniaga,
melainkanyang dimaksud adalah larangan melakukan transaksi
perniagaandi dalam masjid.
Fungsi masjid paling tidak dinyatakan oleh hadis RasulullahSaw.
ketika menegur seseorang yang membuang air kecil (disamping)
masjid:
Masjid-masjid tidak wajar untuk tempat kencing atau(membuang
sampah). Ia hanya untuk (dijadikan tempat)berzikir kepada Allah
Ta'ala, dan membaca (belajar)Al-Quran (HR Muslim).
Dengan kata lain, masjid adalah tempat ibadah dan
pendidikandalam pengertiannya yang luas. Bukankah Al-Quran
berbicaratentang segala aspek kehidupan manusia? []
----------------WAWASAN AL-QURANTafsir Maudhu'i atas Pelbagai
Persoalan UmatDr. M. Quraish Shihab, M.A.Penerbit MizanJln. Yodkali
No.16, Bandung 40124Telp. (022) 700931 Fax. (022)
707038mailto:[email protected]
ESTETIKA DAN SENI SEBAGAI UNGKAPANRELIGIUSITASPostedbyAhmad
Yanuana SamanthoonMei 18, 2010inBudaya &
Sastra,Falsafah,Hikmah,IrfanOleh Abdul Hadi W. M.Estetika sering
diartikan sebagai filsafat keindahan atau seni. Tujuannya
sebagaimana tujuan filsafat, dapat dirumuskan mengikuti perumusan
Harold Titus (1964:6-9) , namun dengan mengaitkannya dengan
masalah-masalah keindahan, yaitu: (1) Menentukan sikap terhadap
keindahan yang terdapat dalam alam, kehidupan manusia dan karya
seni; (2) Mencari pendekatan-pendekatan yang memadai dalam menjawab
masalah obyek pengamatan indra, khususnya karya seni, yang
menimbulkan pengaruh terhadap jiwa manusia, khususnya perenungan
dan pemikiran, serta perilaku dan perbuatan manusia; (3) Mencari
pandangan yang menyeluruh tentang keindahan dan obyek-obyek yang
memperlihatkan rasa keindahan; (4) Mengkaji masalah-masalah yang
berhubungan dengan bahasa dan penuturannya yang baik, sesuai
keperluan, misalnya dalam karya sastra, serta mengkaji penjelasan
tentang istilah-istilah dan konsep-konsep keindahan; (5) Mencari
teori untuk menentukan dan menjawab persoalan di sekitar karya seni
dan obyek-obyek yang menerbitkan pengalaman indah.Sebagai cabang
filsafat atau ilmu yang berdiri sendiri, terlepas dari metafisika,
logika dan etika, serta teologi, terjadi sejak abad ke-18 dan
pandangan sebagai ilmu yang berdiri sendiri sebagian masih
dipertahankan sampai masa kini. Buku paling awal yang memandang
estetika sebagai ilmu tersendiri ialah Baumgarten, seorang filosof
rasionalis Jerman. Karya Baumgarten yang terkenal ialah Aesthetica
(1750). Kata aesthetica diambil dari kata Yunani aesthesis artinya
pengamatan indra atau sesuatu yang merangsang indra. Dari arti
perkataan tersebut Baumgarten mengartikan estetika sebagai Scientia
cognitio sensitiva atau pengetahuan yang berkaitan dengan apa yang
dapat diamati dan merangsang indra, terutama karya seni. Di dalam
perkataan aisthesis juga tercakup pengertian sensasi atau reaksi
organisme tubuh manusia terhadap rangsangan luar. Di dalamnya juga
tercakup perasaan, kecendrungan dan kegandrungan jiwa manusia
terhadap sesuatu hal.
Pengertian semacam itu dikritik oleh banyak ahli filsafat,
misalnya Comaraswamy dan Gadamer. Menurut Comaraswamy pengertian
semacam itu meredusir karya seni dan obyek-obyek indah hanya
sebagai fenomena psikologi dan selera subyektif. Padahal seni bukan
semata-mata sebagai masalah perasaan dan selera pribadi, atau
semata-mata bertalian dengan pengalaman sensual. Masalah keindahan
dan karya seni bertalian dengan hasrat manusia yang lebih tinggi,
yaitu pengalaman kerohanian dan kepuasan intelektual. Seni juga
berkaitan dengan masalah moral dan agama. Dalam bukunya Kimiya-i
Sa`adah (Kimia Kebahagiaan) Imam al-Ghazali menyatakan bahwa efek
yang ditimbulkan karya seni terhadap jiwa manusia sangat besar, dan
karena menentukan moral dan penghayatan keagamannya. Apabila
masalah estetika hanya dikaitkan dengan selera dan kesenangan
sensual, serta kesenangan indrawi, maka nilai seni itu akan
merosot.
Karena itu dalam tradisi Timur seni dipandang sebagai bagian
dari kebajikan intelektual dan spiritual. Di Barat pandangan sempit
terhadap estetika yang memisahkannya dari etika, metafisika dan
spiritualitas mendapat kritik dari Gadamer. Khususnya dalam bukunya
The Relevance of the Beautiful and other Essays. Gagasan
Baumgarten, yang memandang estetika sebagai pengetahuan mengenai
pengamatan indra, bertentangan dengan tujuan ilmu yang sebenarnya.
Menurur Gadamer tujuan pengetahuan yang sebenarnya ialah menyerap
kebenaran universal dan mengatasi subyektivitas. Karena itu
pengetahuan, termasuk estetika, tidak boleh ditentukan hanya oleh
kesenangan dan hasil pengamatan indra.
Karena kritik-kritik tersebut kajian estetika diperluas kembali
di masa modern. Ia dikaitkan juga dengan masalah-masalah sosial,
politik, ideologi, kebudayaan dan agama. Ini dapat dilihat
umpamanya dalam karya seorang filosof Amerika Monroe C. Beardsley
Aesthetic From Classical Greece to the Present: A Short History
(1968). Secara umum kajian estetika mengandung tiga unsur utama,
yaitu: (1) Pembicaraan tentang hakekat karya seni dan obyek-obyek
indah buatan manusia; (2) Pembicaraan tentang maksud dan tujuan
penciptaan karya seni serta cara bagaimana memahami dan
menafsirkannya; (3) Mencari tolok ukur penilaian karya seni dengan
kaedah-kaedah tertentu yang memadai. Tolok ukur bobot dan keindahan
karya seni juga harus dikaitkan dengan besar kecilnya kesempurnaan
yang ditampilkan karya seni.
Bagaimana melihat besar kecilnya kesempurnaan dalam karya seni?
Para ahli estetika secara umum memberi patokan sebagai berikut: (1)
Sempurna dilihat dari sudut bobot gagasan, konsep dan wawasannya;
(2) Sempurna dilihat dari besarnya fungsi sebuah karya seni dalam
kehidupan manusia; (3) Sempurna dilihat dari sudut nilai-nilai yang
ditawaran karya seni dan relevansinya bagi perkembangan kebudayaan;
(4) Sempurna dilihat dari sudut kesesuaian karya seni dengan
cita-cita kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan/kerohanian yang
hendak ditegakkan manusia; (5) Sempurna dilihat darei sudut
kegunaan.Pada zaman modern bobot dan keindahan karya seni juga
sering diukut dari nilai pembaharuannya dan peyimpannya dari
konvensi seni yang ada,. Pembaharuan dan penyimpangan dipandang
sebagai satu cara seniman menyampaikan suara tentang perubahan yang
berlangsung dalam masyarakat dan kebudayaan pada zamannya.Estetika
Dalam Tradisi IslamDalam tradisi Islam pemikiran estetika bermula
pada abad ke-9 dan 10, bersamaan waktunya dengan munculnya
terjemahan buku-buku filsafat Yunani. Karya filosof Yunani yang
paling menarik perhatian pemikir Muslim untuk dibahas dan dikritik,
sehingga kemudian melahirkan teori estetika tersendiri, ialah
Poetics karangan Aristoteles. Sebagaimana filosof Yunani klasik
pada mulanya para pemikir Muslim mengkaitkan estetika dengan
retorika, logika, psikologi dan mentafisika. Puisi dan musik
menjadi perhatian utama, sejalan dengan perkembangan sastra Arab
dan kegemaran mereka kepada seni musik.
Karya seni, khususnya puisi, dipandang oleh para filosof Muslim,
terutama Ibn Sina dan al-Jurjani, sebagai persembahan mimesis
(mutabaqah), yaitu ekspresi perasaan dan pikiran seorang penyair
yang mencoba mengungkapkan perasaan dengan menggunakan pikiran dan
imaginasi. Karena besarnya peranan pikiran dan imaginasi serta
campur tangan perasaan, tiruan yang dibuat seorang seniman terhadap
kenyataan bukan tiruan sebagaimana dibuat tukang potret ketika
merekam obyek. Istilah-istilah yang berkenaan dengan hubungan karya
seni dan kenyataan dijelaskan melalui perkataan seperti deformasi,
stilisasi dan simbolisasi.
Pada tahapan perkembangan berikutnya, dari abad ke-12 s/d 17,
masalah estetika lebih banyak mendapat tumpuan dari para sufi dan
ahli-ahli filsafat `ishraqiyah, atau para cendekiawan dan ulama
yang mempunyai hubungan dengan tasawuf. Hal ini disebabkan karena
para sufi mulai memainkan peranan menonjol dalam kehidupan
kebudayaan. Lagi pula dalam kenyataan pengalaman mistik yang mereka
peroleh mirip dengan pengalaman estetik yang dicapai seniman, serta
memiliki kualitas puitik. Pada masa ini estetika tidak hanya
dikaitkan dengan sastra, tetapi juga dengan musik dan seni rupa,
termasuk arsitektur, seni lukis dan desain.
Kegiatan penciptaan karya seni digolongkan sebagai kegiatan
inntelektual yang berhubungan dengan hikmah dan makrifat. Seorang
arsitek dan pelukis yang ingin mencapai puncak karirnya mestilah
mempelajari cabang-cabang ilmu pengetahuan lain seperti metafisika,
logika, ilmu fiqih, Hadis, tafsir Qur`an, filologi, matematika,
optik, ilmu hayat, kimia, seni khat, adab dan lain-lain. Begitu
pula seorang sastrawan. Di antara tokoh yang banyak membicarakan
estetika dalam risalah tasawuf dan filsafat ialah Imam al-Ghazali,
Ahmad al-Ghazali, Ibn `Arabi, Nizami, `Attar, Ruzbihan Baqli,
Suhrawardi, Jalaluddin Rumi, Sa`di, `Iraqi, Qunyawi, Haydar Amuli,
Mahmud Shabistari, Jami dan lain-lain. Dalam kaitannya khusus
dengan seni lukis, seni khat dan geometri, pembicaraan estetika
dilakukan antara lain oleh Dust Muhammad, Arudi, Siyawush, Riza
Abbasi, Siddiqi dan lain-lain. Yang disbut terakhir ini hidup dalam
zaman Bani Timurid, Mughal dan Safawi.
Pemikiran tokoh-tokoh di atas berpengaruh pada tokoh-tokoh
sastra Melayu dan Jawa, seperti Hamzah Fansuri, Sunan Bonang,
Syamsudin Sumatrani, Raja Ali Haji, Yasadipura I dan II,
Ranggawarsita dan banyak lagi. Estetika Islam yang dikembangkan
para sufi itu tidak hanya mempengaruhi karya sastra, tetapi juga
arsitektur, seni musik gamelan, batik dan seni ukir. Gema estetika
Islam pada abad ke-20 dapat dirasakan dalam karya-karya Amir
Hamzah, Danarto, Kuntowijoyo dan pelukis-pelukis seperti Ahmad
Sadali, A. D. Pirous, Amang Rahman dan Oesman Effendy.
Dalam tradisi sufi estetika lebih jauh dikaitkan dengan
metafisika dan jalan kerohanian yang mereka tempuh di jalan ilmu
tasawuf. Yang dibicarakan dalam estetika sufi ialah termasuk
hakekat dan fungsi seni, pengaruhnya terhadap psikplogi dan
kehidupan kerohanian manusia, penggunaan karya seni dalam
menumbuhkan semangat religius dan solidaritas sosial, serta
cara-cara memahami karya seni melalui metode hermeneutika (tawil).
Para sufi berpendapat bahwa semua karya yang baik mestilah dapat
dirujuk kepada ayat-ayat al-Qur`an, dan tak jarang puisi-puisi
mereka sebenarnya merupakan tafsir spiritual terhadap ayat-ayat
al-Qur`an yang ditransformasikan ke dalam bahasa figuratif
puisi.
Keindahan dan Peringkat-peringkatnya
Dalam tradisi Islam istilah yang digunakan untuk keindahan
estetis diambil dari al-Qur`an dan Hadis, yaitu jamal dan husn. Di
antara Hadis yang mengandung dua istilah tersebut ialah Hadis yang
menyatakan bahwa keindahan batin (jamal) bersifat universal dan
memperkaya rohani, karena di dalamnya terdapat hikmah dan jalan
menuju Tauhid. Sedangkan keindahan zahir (husn) tidak jarang hanya
memukau (sihr). Orang yang tak berpengetahuan dan memiliki
penglihatan batin sering teperdaya oleh yang tampak indah dalam
pandangan mata, tetapi orang arif dapat menembus ke sebalik
keindahan zahir sehingga dapat melihat yang hakiki.
Hadis di atas dirujuk pada Hadis lain yang menyatakan bahwa
Tuhan itu Maha Indah dan mencintai keindahan. Kata yang digunakan
dalam Hadis ini ialah jamal, dan kata tersebut dikaitkan dengan
Cinta. Tetapi tidak semya keindahan yang tergolong husn itu
memiliki arti negatif, karena untuk nama-nama Tuhan yang indah
disebut asma al-husna. Dengan demikian di samping ada keindahan
zahir yang buruk, ada keindahan zahir yang baik, bahkan dapat
dijadikan laluan menuju keindahan tertinggi.
Karena keindahan ada kaitan dengan cinta, dan cinta memiliki
peringkat, maka demikian pula keindahan itu memiliki
peringkat-peringkat. Kalau Tuhan mencintai keindahan, tentulah
keindahan yang dimaksud ialah keindahan yang berkaitan dengan
tujuan-tujuan ilahiah penciptaan. Para sufi mengaitkan tujuan
ilahiah penciptaan pada manusia dengan kesempurnaan pengetahuan,
akhlaq, amal ibadah dan perbuatan. Dalam Hadis lain, yang sering
disitir para sufi, yakni Aku harta tersembunyi, aku cinta untuk
dikenal, maka aku mencipta dan dengan demikian dikenal, cinta
dikaitkan dengan harta tersembunyi (kanz makhfiy), yaitu
pengetahuan (`ilm) Tuhan yang tak terhingga. Karena itu keindahan
juga dihubungkan dengan pengetahuan dan sebagaimana pengetahuan
keindahan memiliki peringkat-peringkat.
Pembicaraan tentang peringkat-peringkat keindahan ini dapat kita
temui dalam Kimiya-i Sa`adah karangan Imam al-Ghazali, al-Futuhat
al-Makkiyah karangan Ibn `Arabi dan Mathnawi-i-ma`nawi karangan
Jalaluddin Rumi. Di sini saya hanya akan membicarakan karanan Imam
al-Ghazali, karena teks bukunya yang agak lengkap telah
diterjemahan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kimia
Kebahagiaan..
Sesuai judulnya penulisnya menghubungkan manifestasi keindahan,
dalam karya seni atau obyek estetis lain, dengan
peringkat-peringkat kebahagiaan yang didapat jiwa manusia.
Kebahagiaan yang dimaksud Imam al-Ghazali berkaitan dengan
pencapaian kesempurnaan dalam satu atau dua hal, yang secara
potensial mesti dimiliki oleh sesuatu atau seseorang. Kesempurnaan
juga dikaitkan oleh Imam al-Ghazali dengan peringkat akhlaq dan
kepribadian, yang dalam diri seseorang terlihat dalam amal ibadah,
amal perbuatan dan tingkat makrifat yang dicapainya. Di antara
kebahagian puncak yang dapat diperoleh dari karya seni dan
intelektual yang tinggi, ialah kebahagiaan yang dapat membawa kita
mengenal Tuhan dengan haqq al-yaqin, dan mengenal hakikat diri kita
sebagai mahluk kerohanian, yang dengan itu tidak terguncang oleh
godaan material.
Karena itu tidak mengherankan apabila tema-tema yang berkenaan
kerinduan dan cinta mistikal (`ishq), begitu pula tema yang
berkenaan makrifat dan pengenalan diri hakiki, sangat digemari oleh
para penulis sufi dalam rasail (discourses) mereka. Ini terlihat
misalnya dalam puisi Syekh Hamzah Fansuri, sufi abad ke-16 17 M
dari Barus, Sumatra:Hamzah Fansuri orang `uryaniSeperti Ismail jadi
qurbaniBukan `Ajami lagi ArabiSentiasa wasil dengan Yang BaqiHamzah
Fansuri di dalam MekkahMencari Tuhan di Bait al-KabahDi Barus ke
Quds terlalu payahAkhirnya dijumpa dalam rumah (Nya)Penjelasan di
atas menunjukkan bahwa keindahan yang didamba sufi tidak hanya
keindahan yang memberi kepuasan pada perasaan dan menimbulkan
ekstase, dan bukan juga keindahan zahir yang tidak tetap dan
bersifat nisbi, melainkan keindahan yang mengandung dimensi
religius dan moral. Lebih jauh keindahan oleh para sufi, khususnya
Imam al-Ghazali, dikaitkan dengan sifat mutlak dan nisbi yang
dimiliki suatu keberadaan atau wujud.Di sini keindahan dapat
dibedakan menjadi keindahan yang bersifat sementara, yaitu
keindahan zawahir (fenomenal) dan keindahan yang langgeng.
Keindahan yang dimiliki oleh seorang wanita cantik bersifat
fenomenal, dan apabila seseorang hanya ingin berpuas dengan
kecantikan lahirnya, kelak akan kecewa apabila kecantikannya itu
sudah pudar. Cinta yang terbit disebabkan daya tarik keindahan
fenomenal ini tingkatnya di bawah. Berlainan dengan keindahan
pribadi Nabi Muhammad s. a. w. yang langgeng, yang mmancar dari
ahlaq, pengetahuan, kearifan dan solidaritasnya kepada kaum yang
teraniaya. Keindahan pribadi Nabi langgeng dan menyejarah,
mengatasi waktu dan universal. Karena itu syair-syair yang memuat
pujian kepada Nabi seperti Qasidah Burdah karangan al-Busiri dan
Qasidah Barzanji karangan Syekh Barzanji memiliki kedudukan yang
tinggi dalam kesusastraan Islam dan memainkan peranan penting dalam
penyebaran agama Islam di Timur dan Afrika Utara.
Dalam bukunya Kimia Kebahagiaan Imam al-Ghazali mengatakan bahwa
peringkat-peringkat keindahan estetis sejajar dengan peringkat
pengalaman kesufian. Ia berjalan dari peringkat syariat (formal),
melalui peringkat tarekat, menuju hakekat (makna) dan akhirnya
mencapai makrifat. Pencapaian keindahan tertinggi dengan demikian
melibatkan latihan spiritual.
Sesuai peringkatnya keindahan dapat dibagi menjadi: (1)
Keindahan sensual dan duniawi, yaitu keindahan yang berkaitan
dengan hedonisme dan materialisme; (2) Keindahan alam; (3)
Keindahan akliah, yaitu keindahan yang ditampilkan karya seni atau
sastra yang dapat merangsang pikiran dan renungan; (4) Keindahan
rohaniah, berkaitan dengan akhlaq dan adanya pengetahuan tentang
hakekat segala sesuatu pada diri seseorang atau karya sastra serta
keilmuan; (5) Keindahan Ilahi.
Keindahan sensual (nafsani) dan duniawi tidak dapat disebut
keindahan sejati. Sebabnya ialah karena pengaruhnya yang lebih
banyak negatif dibanding positif, seperti mendatangkan kemungkaran
dan kesombongan diri, serta kelobaan yang dapat merugikan
masyarakat. Keindahan sejati dicintai, walaupun tidak mendatangkan
keuntungan material atau kesenangan badani. Menikmati keindahan
yang ditimbulkan pemandangan danau yang menyenangkan, tidak
mendatangkan keuntungan material, namun dicintai karena menyehatkan
jiwa. Kesenangan, kelezatan dan kepuasan yang ditimbulkan oleh
keindahan sejati menyebabkan jiwa sehat, akhlaq bertambah,
pengetahuan dan kearifan meningkat, dan pengalaman rohani dan
religius kita semakin kaya. Dalam keindahan sejati, yaitu keindahan
alam, akliah, rohaniah dan ilahiah, manusia dapat menyaksikan
asal-usulnya di alam kerohanian yang diliputi oleh kebaikan,
kebenaran dan kesempurnaan sesuai ukurannya. Di sini nyata bahwa
keindahan dikaitkan dengan hasrat manusia akan kesempurnaan,
kebahagiaan dan kebaikan diri.
Telah disebutkan bahwa walaupun keindahan alam termasuk
keindahan zahir dan peringkatnya rendah disebabkan mudah dicerap
secara inderawi, akan tetapi ia tetap dipandang sebagai keindahan
sejati sebab membuat iwa subur dan mendatangkan kedamaian bagi
penikmatnya. Bahkan jiwa orang yang arif dan dewasa dapat
terangsang sehingga menyebabkan pikirannya sadar akan kebesaran
Tuhan.
Imam al-Ghazali melihat keindahan berdasarkan penampakan
kesempurnaan dari suatu obyek sesuai dengan kualitas kesempurnaan
ideal yang sepatutnya ada pada sebuah obyek. Hal itu berlaku pada
sebuah karya seni, yang dicipta dengan maksud dan tujuan berbeda,
dan karenanya untuk fungsi yang berbeda pula dan dengan takaran
bobot dan mutu yang berbeda pula. Seekor kuda disebut indah sesuai
sifat dan proporsi tubuhnya yang ideal bagi seekor kuda yang baik
dan tangkas. Manusia menjadi tidak indah apabila memiliki sifat dan
bentuk tubuh seperti kuda, atau binatang lainnya seperti kerbau,
singa ataupun badak.
Mengenai keindahan tertinggi, Imam al-Ghazali, menghubungkannya
dengan peringkat kebenaran atau pengetahuan yang ada pada karya
atau pribadi yang kita nilai indah. Pengetahuan dan kebenaran
tertinggi hanya dapat ditangkap dengan indra keenam, yaitu
penglihatan hati dan jiwa universal (al-nafs al-kulliy). Seluruh
kehidupan dan pribadi Nabi Muhammad s. a. w. hanya dapat dilihat
nilai dan mutu keindahannya melalui indra keenam ini. Dilihat
secara lahir Nabi adalah manusia karena beliau juga makan, tidur,
berumah tangga dan mengendarai kendaraan seperti manusia lain.
Tetapi dilihat dari kehidupan spiritual dan moralnya beliau adalah
lebih dari sekadar manusia biasa.
Melalui penjelasannya tersebut Imam al-Ghazali berpendapat bahwa
penglihatan batin sangat penting dalam kehidupan manusia, serta
menumbuhkan semangat religius. Penglihatan batin lebih kuat dari
penglihatan zahir ataupun akal, demikian juga pengaruh ang
ditimbulkannya terhadap keimanan dan cinta seseorang. Jami. seorang
sufi abad ke-15 dari Herat, mengatakan bahwa setiap keindahan dan
kesempurnaan menyatakan diri dalam pelbagai peringkat wujud sebagai
berkas-berkas daripada sinar keindahan-Nya. Sebagaimana Imam
al-Ghazali, Jami menyatakan bahwa apabila keindahan manusia
terletak pada nilai moral, pencapaian intelektual dan spiritualnya,
maka keindahan puisi terletak pada hikmah yang dikandungnya. Hikmah
dalam dirinya mengandung aspek moral, intelektual dan
spiritual.(Bersambung dalam karangan Estetika Sebagai Suluk atau
Jalan Kerohanian).Masjid di kompleks bekas ibukota Mughal pada
zaman Sultan Akbarm Fatehpur Sikri.AboESTETIKA SEBAGAI SULUK ATAU
JALANKEROHANIANPostedbyAhmad Yanuana SamanthoonMei 18, 2010inBudaya
& Sastra,Falsafah,IrfanOleh: Abdul Hadi W. M.(Tulisan ini
adalah sambungan dari tulisan sebelumnya Estetika dan Seni Sebagai
Ungkapan
Religiusitas)http://www.facebook.com/notes/abdul-hadi-wm/estetika-sebagai-suluk-atau-jalan-kerohanian/404971638872Interior
masjid Selimiye Konya, Turki.KARENA segala bentuk keindahan dapat
dijadikan sarana menuju pengalaman religius, sesuai dengan cara
seseorang menanggapi keindahan, maka estetika dalam tradisi Islam
dapat dikatakan sebagai jalan kerohanian. Namun demikian sebagai
jalan kerohanian, tidak mesti karya sastra atau seni mesti
merupakan ekspresi religiusitas dan spiritualitas dalam pengertian
yang sempit. Dalam tradisi Islam estetika juga menjelma menjadi
ekspresi solidaritas sosial dan sejarah, sebagaimana
dimanifestasikan dalam karya-karya yang tergolong sastra adab,
sejarah, epik, hikayat orang suci, kisah rakyat jelata, kisah
didaktik dan cerita binatang seperti Khalilah wa Dimnah., atau
karya-karya yang tergolong pelipur lara.
Namun demikian dalam pembicaraan ini saya akan membatasi diri
pada bentuk-bentuk ekspresi yang berhubungan dengan religiusitas
dan spiritualitas. Bentuk-bentuk ekspresi yang berhubungan dengan
spiritualitas dan religiusitas, sebagaimana puisi-puisi pujian
kepada Nabi Muhammad s. a. w. yang disebut na`tiyah., memiliki
kedudukan istimewa dalam peradaban Islam, sebab yang diungkap ialah
hakekat perjalanan rohani manusia menuju kebenaran tertinggi, yaitu
Tauhid.Karena berkaitan dengan pencapaian Tauhid estetika Islam
bersifat konsentrik, memusat kepada Yang Satu atau kesaksian akan
Yang Satu, Kekasih dan Pencinta. Karena itu secara garis besar
renungan ahli estetika Islam tentang keindahan berkisar di sekitar
keindahan Yang Maha Esa, kehadiran spiritual-Nya (dalam bentuk
rahmat, sifat Maha Pengasih dan Penyayang-Nya sebagaimana
terkandung dalam kalimat Basmalah.) dalam obyek yang berbagai-bagai
di alam semesta dan diri manusia.Keyakinan bahwa Yang Satu hadir
secara rahsia dalam keberadaan ciptaan-Nya, tersimpul dalam ayat
al-Qur`an bahwa Dia adalah yang zahir dan yang batin (Q 57:3),
maksudnya Tuhanlah kenyataan paling hakiki, Ayat-ayat-Nya
terbentang dalam alam semesta dan diri manusia (Q 41:53) dan karena
itu, Kemana pun Kau memandang akan tampak wajah Allah (Q 2:115),
yakni keindahan-Nya yang terwujud dalam rahmat dan sifat Maha
Pengasih dan Penyayang-Nya (rahman dan rahim).Renungan estetikus
Muslim tentang keindahan estetis (zahir) juga dapat disingkap
melalui tamsil-tamsil yang mereka gunakan dalam menggambarkan
tahap-tahap perjalanan rohani (suluk) yang mereka tempuh menuju
Yang Satu. Karena perjalanan itu merupakan perjalanan naik dari
alam kewujudan rendah ke alam kewujudan yang lebih tinggi, maka
digunakan tamsil perjalanan mendaki puncak gunung. Sering pula
digunakan tamsil penerbangan burung menuju puncak gunung yang
tinggi seperti dalam Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karya
`Attar. Burung di situ tamsil bagi roh yang senantiasa diusik
kerinduan kepada asal-usul kerohaniannya di alam
ketuhanan.Pandangan estetikus Muslim dapat pula dikesan melalui
penggunaan tamsil yang menggambarkan hubungan Yang Satu dengan yang
banyak, yaitu Tuhan dan ciptaan-ciptaanya. Misalnya dalam
penggunaan tamsil laut dan ombak. Cara lain untuk mengenal sistem
estetika mereka ialah dengan menyimak penjelasan mereka tentang
peranan dan fungsi seni dalam kehidupan, khususnya dalam
meningkatkan pengalaman dan semangat religius. Ini misalnya
dikatakan oleh Imam al-Ghazali dalam bukunya Kimiya-I Sa`adah. Atau
melalui keterangan mereka tentang tujuan penciptaan karya seni dan
kaitan seni dengan realitas dalam keseluruhanan tatananannya di
alam kewujudan. Apabila mereka berbicara tentang realitas, yang
dimaksudkan bukan hanya realitas empiris dan sosial, yaitu
kenyataan-kenyataan di alam syahadah. Tetapi juga
kenyataan-kenyataan di alam kejiwaan (alam misal) dan alam
kerohanian.Nasr (1981:271) mengatakan bahwa para sufi memandang
bahwa keindahan dari sebuah puisi yang maknanya dalam memiliki
kekuatan yang mampu membawa pembaca ke alam hakekat ketuhanan dan
merangsang hasratnya untuk mencapai persatuan mistis. Pernyataan
Nasr dapat dirujuk pada pandangan penyair sufi Persia abad ke-15
Abdul Rahman al-Jami, yang mengatakan bahwa Puisi merupakan kias
tentang alam keabadian dan isinya merupakan hikmah yang dipetik
dari Taman Mawar Ilahi {alam Lahut}(Abdul Hadi W. M. 2001:68).
Sedangkan Rumi menyatakan bahwa karyanya Matsnawi adalah kedai
tauhid dan kefakiran, serta tangga naik menuju kebenaran hakiki.
Menurut Rumi, Matsnawi adalah sorga bagi kalbu, yang di dalam
beranekaragam mata air dan pohon-pohon yang rimbun serta lebat
buahnmya. Salah satu di antaranya di sebut Telaga Salsabil oleh
para pejalan rohani dan dalam pandangan mereka yang telah mencapai
peringkat rohani yang tinggi, Matsnawi (karya seni agung) merupakan
maqam terbaik dan tempat perhentian jiwa paling utama (Nicholson
1977:3)Estetika sebagai ekspresi religiusitas juga tampak dalam
penjelasan Rumi tentang lukisan yang indah dan berbobot. Rumi
mengaitkan karya seni yang indah sebagai hasil proses penyucian
diri dan tercapainya pencerahan batin. Dikatakan bahwa gambar yang
indah dalam lukisan, dapat diumpamakan sebagai bayang-bayang yang
terpantul dalam cermin hati seorang seniman yang telah mencapai
penglihatan batin terang, Penglihatan batinnya terang setelah
melakukan penyucian diri.Bahwa puisi merupakan kias alam keabadian
dinyatakan oleh seorang penyair Melayu abad ke-17 dalam Syair
Perahu seperti berikut:La ilaha illa Allah tempat menginaiMedan
yang qadim (abadi) tempat berdamaiWujud Allah terlalu bitaiSiang
malam jangan bercerai(Doorenbos 1933:35)Mengenai kaitan keindahan
ilahi dan hikmah yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui makrifat,
penyair sufi Persia abad ke-14 Makhmud Shabistari menulis lebih
kurang sebagai berikut:Turun ke bumiKeindahan alam gaibyang asing
serta memabokkandan bersembunyi dalam anasir alamDan jiwa
manusiayang mencapai kedamaianinsyaf akan keriangan tersembunyi
inihingga segera sajaia terpikat dan terpesonaDan melalui
perkawinan rahasia iniLahirlah nyanyian penyair, pengetahuan
rohani,bahasa kalbu, kehidupan luhurdan Keindahan, si anak
molekKemudian roh agung memberi hadiah mas kawinberupa keagungan
alam gaib(Lederer 1969:23)Selain mengaitkan seni dengan pengetahuan
rohani, Shabistari juga mengaitkannya dengan kehidupan luhur dan
mulia. Para sufi tidak pernah menyatakan bahwa karya seni atau
sastra merupakan mimesis atau tiruan dari alam nyata, dan juga
bukan creatio atau ciptaan dalam arti sebenarnya. Mereka tidak
dapat disamakan dengan kaum realis dan naturalis atau lawannya.
Karya seni lahir dari proses pengilhaman setelah seorang seniman
menyucikan dirinya serta membuka pikiran dan hati seluas-luasnya
bagi kebenaran. Jelas proses pengilhaman yang diperoleh para
penulis sufi tidak sama dengan yang dimaksud Plato atau pengikut
Neo-Platonisme, yang mencukupkan diri pada kontemplasi dan meditasi
untuk memperoleh ilham. Penulis-penulis sufi menempuh
setidak-tidaknya tiga jalan: (1) Melalui latihan-latihan kerohanian
dan ibadah yang intens; (2) Melalui perenungan mendalam terhadap
ayat-ayat al-Quran menggunakan metode tawil atau hermeneutika
kerohanian sufi; (3) Pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Quran
digunakan untuk membaca persoalan-persoalan kehidupan dalam semua
aspeknya. Karya agung Rumi Matsnawi, begitu pula karya `Attar
Mantiq al-Tayr dan karya Iqbal Asrar-I Khudi adalah hasil dari
proses pengilhaman yang dicapai setelah melalui tiga jalan
tersebut.Kalau puisi bukan mimesis dan bukan pula creatio, lalu
sebagai apa? Bagi sufi dan penulis Muslim yang berkarya dalam
wawasan estetik seperti itu, puisi tidak lain adalah penamsilan
atau pemisalan, yaitu pengungkapan secara simbolik gagasan-gagasan
dan pengalaman-pengalaman kerohanian yang diperoleh setelah
menempuh ilmu suluk. Jami, seperti telah dikemukakan, menyebut
puisi sebagai kias tentang alam keadabadian (Abdul Hadi W. M.
2001:77). Atau seperti dikatakan Braginsky (1994:3): Sastra agama
atau tasawuf mengukuhkan iman ahli suluk sambil menjelaskan
kepadanya hukum formal agama (syariat), teologi dan metafisika
Islam; menggambarkan tahap-tahap perjalanan rohani, pengenalan
hakekat diri, memberi peringatan tentang bahaya yang mengancam jiwa
seseorang serta penjelasan tentang cara-cara mengatasi bahaya
tersebut. Semua itu membentuk dan menyucikan hati nurani serta
menyiapkannya untuk menyambut turunnnya ilham ilahi.Puisi
modernTradisi estetika Islam yang dasar-dasarnya yang telah
diletakkan para filosof , penyair dan sufi di masa lalu terus
dikembangan pada masa modern di dalam ekspressi yang berbeda-beda,
sesuai dengan perkembangan zaman dan kebudayaan. Estetika sebagai
ekspresi religiusitas manusia modern tampak misalnya dalam karya
Muhammad Iqbal, Amir Hamzah dan sastrawan Muslim masa kini di
berbagai negeri Islam. Di Indonesia dapat dilihat manifestasinya
dalam karya-karya sufistik Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum
Bachri dan lain-lain.Namun untuk menyingkat pembicaraan saya hanya
mengemukakan sedikit tentang Amir Hamzah. Gema estetika sufi Melayu
abad ke-16 dan 17 yang asas-asasnya telah diletakkan oleh Hamzah
Fansuri, Syamsudin Sumatrani dan lain-lain tampak dalam sajak-sajak
Amir Hamzah dalam antologi Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi. Dalam sajak
Padamu Jua Amir Hamzah menyatakan:Habis kikisSegala cintaku hilang
terbangPulang kembali aku padamuSeperti dahuluKaulah kandil
kemerlapPelita jendela di malam gelapMelambai pulang perlahanSabar
setia selaluSatu kekasihkuAku manusiaRindu rasaRindu rupaDi mana
engkauRupa tiadaSuara sayupHanya kata merangkai hatiDilihat dalam
konteks sastra Islam larik 3-4 bait 1 memperlihatkan bahwa
kehilangan kekasih dunia yang dialami penyair, menerbitkan kembali
kerinduannya ke Hari Alastu, kepada pengalaman primordial ketika
manusia menyaksikan cinta Kekasihnya Yang Satu. Perumpamaan
penampakan cinta ilahi dalam sajak tersebut diumpamakan sebagai
kandil kemerlap di jendela, dapat dirujuk kepada Surah al-Nur dalam
al-Qur`an. Sedangkan ungkapan, Rindu rasa/rindu rupa akan
mengingatkan pembaca kepada pengalaman Nabi Musa a. s. di Thursina,
ketika mendengar suara Tuhan tampa melihat-Nya. Pengalaman religius
Nabi Musa a. s. digemakan kembali oleh penyair dengan nada sufistik
dalam sajak Hanya Satu yang kaya dengan muatan kesadaran historis,
di samping kesadaran religius. Setelah kecewa melihat pertikaian
teologis yang tak habis-habis antara umat Kristen dan Islam, Amir
Hamzah mengadu kepada Tuhannya:Aduh kekasihkuSemua itu tiada
bergunaHanya satu kutunggu hasratMerasa dikau dekat rapatSeperti
Musa di puncak ThursinaWalau sajak tersebut bernada sufistik namun
tidak kehilangan dimensi sosial. Di situ tersirat keprihatinan
penyair terhadap pertentangan agama yang menimbulkan banyak
peperangan di dinua ini, sedangkan alasan dasar peperangan yang
muncul lebih banyak merupakan masalah politik dan ekonomi. Sajak
Amir Hamzah di atas mengemakan kembali suara Hamzah Fansuri pada
abad ke-16 sebagaimana telah dikutip, dan juga menggemakan kembali
suara Jalaluddin Rumi yang menulis dalam sebuah sajaknya,
maksudnya:Apa yang harus kulakukan O Muslim, sebab daku tak kenal
diriku?Aku bukan Nasrani, bukan Yahudi, bukan Majusi, bukan pula
Muslim.Aku tidak dari Timur, tidak dari Barat, tidak dari darat
atau lautanAku tidak dicipta dari tanah, tidak dari air, udara atau
apiAku tidak berasal dari putaran cakrawala, tidak dari pusaran
debu, tidak puladari kebaradaan dan wujudAku tidak berasal dari
India, China, Bulgar ataupun SaqsinTidak dari kerajaan Iraq, Qum
atau KhurasanAku tidak berasal dari dunia ini atau dunia yang akan
datang, tidak dari sorgaatau nerakaTidak dari Adam atau Hawa, tidak
dari taman Firdaus atau kediaman RidwanAsalku bukan tubuh dan jiwa,
sebab aku sepenuhnya milik jiwa KekasihRumi berbicara tentang
hakikat universal umat manusia, dan kesaksian tersebut merupakan
bentuk pengalaman religius yang tinggi dalam tradisi sufi.Mengenai
Cinta cukuplah saya kutip pernyataan Abu Nua`aym al-Isfahani dalam
bukunya Hilyat al-`Awlya: Hati orang arif ialah sarang Cinta, hati
seorang pencinta ialah sarang rindu, hati seorang yang rindu ialah
sarang kehampiran. Untuk kehampiran atau kedekatan para sufi secara
bergantian menggunakan perkataan uns dan qurb. Dari perkataan qurb
inilah perkataan qurban (kurban, korban) berasal. Dirujuk kepada
hari raya Idul Qurban yang diselenggarakan setiap tahun oleh umat
Islam pada musim haji dan dimaksudkan sebagai peringatan terhadap
bukti ketaatan Nabi Ismail a. s. kepada Allah s. w. t. yang
bersedia disembelih oleh ayahandanya Nabi Ibrahim a. s. mengikuti
perintah Tuhan, maka perkataan qurban lantas dapat diartikan,
ikhtiar mendekatkan diri kepada Tuhan melalui ketaatan kepada
perintah-Nya. Ketaatan merupakan bukti cinta dan memerlukan
pengurbanan, harta maupun nyawa. Dalam perkataan qurb terkandung
pengertian dekat disebabkan cinta dan taat.Sebagaimana terlihat
dalam sajak Hamzah Fansuri yang dikutip, para sufi memahami cinta
dengan merujuk kepada ketaatan dan pengurbanan Nabi Ismail a. s.
dalam menjelaskan apa yang dimaksud cinta sejati. Di sini para sufi
juga berusaha memberi makna kerohanian terhadap upacara keagamaan
Idul Qurban dan haji.Ketaatan merupakan manifestasi daripada
penyerahan atau pengikatan diri sepenuhnya kepada Yang Satu .
Perkataan religi sendiri, darimana kata religious berasal, bermakna
mengikat diri. Dalam kata tersebut terkandung makna kedekatan,
kehampiran, penyerahan dan ketaatan.. Dalam konteks dajak Hamzah
Fansuri, dan juga dalam konteks sajak sufi pada umumnya, cinta
sejati merupakan jalan yang dapat membawa seseorang melakukan
transendensi, yaitu penembusan terhadap yang zahir (formal) menuju
yang spiritual (hakikat), termasuk hakikat diri kita yang memang
bersifat spiritual. Hakekat diri manusia secara spiritual dan
universal, dalam konsep Islam, bukan Arab, Melayu, Parsi atau
Jawa.Seseorang yang mencintai dan dekat dengan yang dicintai,
artinya menyaksikan dari dekat secara penglihatan batin, akan
mengenal betul-betul siapa dia yang dicintai, dan tahu pula siapa
dirinya dan kedudukannya di hadapan yang dicintai. Manusia hanya
dapat mengenal dirinya apabila telah mencintai, apakah itu Tuhan,
sesama dan lingkungan sekitarnya. Dalam kata-kata Rumi, dalam cinta
yang sejati pemisahan kita menjadi aku dan kau, artinya subyek yang
terpisah dinding tebal, akan lenyap. Semua dalam cinta menjadi aku,
yakni subyek ang memperoleh pembebasan daripada yang selain Dia dan
arenanya mendapat pencerahan, yaitu menyaksikan secara terang Yang
satu yang dia cintai.Inilah yang dinamakan fana atau unio-mystica
(persatuan mistik). Sebagaimana dikatakan oleh Hamzah Fansuri,
seseorang yang telah fana (hapus) akan merasakan bahwa dia berada
di rumah Tuhan (Kabah) yang sebenarnya apabila menunaikan ibadah
haji dan sekaligus menjumpai-Nya rumahnya sendiri. Dalam pandangan
para sufi rumah Tuhan di alam metafisik (alam lahut) ialah Arasy,
sedangkan di alam dunia ialah Kabah dan di alam syagir (yaitu dalam
diri manusia) ialah Hati atau Kalbu. Dalam kalbu inilah bermukim
rahasia Tuhan (sirr Allah) dan di dalamnya itulah jiwa manusia
dapat merasakan kedamaian (mutmainah).Perjalanan jiwa manusia
menuju jiwa mutmainah pada dasarnya merupakan perjalanan mendaki.
Jiwa manusia melakukan perjalanan naik digambarkan sebagai burung
yang melakukan penerbangan menuju puncak bukit Qaf, untuk menjumpai
Simurgh, raja di raja burung, yang merupakan lambing dari hakikat
ketuhanan yang tunggal dan juga lambing hakikat diri manusia (baca
karangan penulis tentang karya `Attar Mantiq al-Tayr dalam buku
ini). Tamsil perjalanan mendaki ke atas gunung untuk mencari
kebenaran tertinggi juga dijumpai dalam novel Khotbah Di Atas Bukit
karya Kuntowijoyo. Tokoh utama novel tersebut yaitu Barman baru
dapat menjumpai hakekat kebenaran tertinggi setelah melakukan
perjalanan di gunung, di mana dia berjumpa dengan Humam, kembaran
dirinya yang tidak lain adalah simbol dari diri rohani nya yang
selama ini tersembunyi dari penglihatannya. Barman dapat diartikan
sebagai barbar man, orang yang hidup dalam gelimang hedonisme
material dan itu menghalangi dirinya untuk menyaksikan kebenaran
tertinggi. Humam dapat diartikan sebagai human , manusia sebenarnya
yang menyadari bahwa dirinya bukan semata