BAHAN AJAR MATA KULIAH ESTETIKA BARAT DISUSUN OLEH TRIYANTO NIP. 195701031983031003 0
JURUSAN SENI RUPA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN 2015
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-I S.D.3
POKOK BAHASAN I PENGERTIAN ESTETIKA DAN LINGKUP KAJIANNYA
1. TUJUAN PERKULIAHAN:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa
diharapkan dapat menjelaskan pengertian estetika dan
ruang lingkup kajiaanya, serta dapat memahami tentang
teori keindahan.
2. Materi Perkuliahan
2.1 Pengertian Estetika
Estetika merupakan gabungan dari ilmu pengetahuan
dan filsafat. Kata estetika dikutip dari bahasa Yunani
aisthetikos, atau aisthanomai yang berarti mengamati dengan
indera (Lexicon Webster Dic: 1977:18). Pengertian
tersebut juga berkaitan dengan istilah aesthesis (bahasa
Yunani) yang mempunyai pengertian pengamatan.
Feldman dalam hal ini melihat estetika sebagai ilmu
pengetahuan pengamatan atau ilmu pengetahuan inderawi,
mengacu pada kesan-kesan inderawi. Demikian juga J.
1
Addison, memadankan estetika dengan teori cita rasa,
dilandasi tradisi empirisme dan teori yang mengacu kepada
tradisi lain yakni menurut pandangan Platonis dan
Neoplatonis. Struktur teori ini telah dikembangkan
menjadi lima bagian yakni: (1) persepsi, (2) cita rasa,
(3) produk mental, (4) objek pengamatan, (5)
pertimbangan cita rasa ( Dickie, 1989) sehingga jika
dilihat dari kelima struktur tersebut maka teori
pengamatan identik dengan teori cita rasa.
Secara luas estetika mempunyai pengertian, semua
pemikiran filosofis keindahan (yang berkaitan dengan
seni). Estetika muncul tatkala para filusuf memiliki
pemikiran terbuka untuk meneliti , dan memiliki perasaan
haru ( Paul Valery). Seperti yang diutarakan Hegel bahwa
filsafat seni membentuk bagian yang sangat penting dalam
struktur filsafat. Estetika sebagai filsafat seni, telah
berkaitan dengan etika dan logika. Karena itu estetika,
etika dan logika membentuk tritunggal ilmu-ilmu normatif
di dalam filsafat. Jerome Stolnitz menggaris bawahi bahwa
estetika dianggap sebagai telaah filsafat keindahan dan
keburukan. Selain itu, dikatakan bahwa estetika adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat dasar nilai-
nilai nonmoral yang berkaitan dengan karya seni.
Di sisi lain John Hosper mendefinisikan estetika
sebagai salah satu cabang filsafat yang berkaitan dengan
proses penciptaan karya estetis., artinya estetika tidak
hanya sekedar mempermasalahkan tentang objek seni,
melainkan seluruh permasalahan yang berkaitan dengan
2
suatu “karya yang indah”. Demikian halnya Plato
mengutarakan ciri-ciri dan hukum keindahan, Aristoteles
dalam hal ini merumuskan keindahan sebagai suatu yang
baik dan menyenangkan, sedangkan Politinus menulis
tentang ilmu dan kebajikan yang indah. Orang Yunani juga
mengemukakan bahwa keindahan berkaitan dengan tradisi
atau adat kebiasaan, selain itu mereka juga mengenal
pengertian keindahan yang bersifat kasat mata, dikenal
dengan sebutan symetria, misal pada karya seni visual , dan
harmonia untuk keindahan dalam seni musik yang berkaitan
dengan pendengaran. Jadi pengertian estetika secara luas
meliputi keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral
dan keindahan intelektual.
Beberapa ahli pikir menyatakan bahwa keindahan
tersusun dari berbagai keselarasan dan perlawanan unsur-
unsurnya seperti garis, bentuk, nada dan kata-kata, ada
pula yang berpendapat bahwa keindahan adalah kesatuan
dari hubungan bentuk yang terdapat di antara pencerapan
inderawi, sehingga bisa dibedakan antara ekstraestetis
dan intraestetis. Keindahan yang menyangkut pengalaman
estetis seseorang yang berkaitan dengan segala sesuatu
yang tidak secara langsung dicerap melalui indera,
disebut ekstraestetis, sedangkan intraestetis adalah
segala sesuatu yang bersifat kasat mata, berkaitan dengan
penglihatan (jiwo katon), berupa keindahan bentuk, warna,
garis, tekstur, ruang, cahaya dan sejumlah kualita pokok
tertentu antara lain; kesatuan (unity), keselarasan (harmony),
kesetangkupan (symmetry) keseimbangan (balance), irama (rytme),
3
perulangan (repetion), perlawanan, (contrast), dominasi (emphasis)
(lihat Read; 1998)
Estetika sebagai bagian dari kebudayaan dalam
berkesenian berisi tentang (1) nilai-nilai,(2) pedoman,
(3) gagasan-gagasan vital, (4) kepercayaan atau keyakinan
tentang berkesenian. Nilai atau pedoman tersebut
digunakan untuk menciptakan dan memahami suatu karya
seni. Kendati kedinamisan perkembangan suatu kebudayaan
akan mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai-nilai.dan
konsep estetika,secara kontektual, estetika ditentukan
oleh keadaan, kebudayaan dan peradaban yang berlaku.
Sebagai contoh, dari sudut pandang ekonomi “kecil itu
indah” atau “sederhana itu indah” (konsep estetika
Jepang). Pengertian estetika dari berbagai sudut pandang
ilmu pengetahuan lainnya misal, “pikiran original itu
indah” dan dari sudut pandang teknologi, bisa mengatakan:
“teknologi itu indah” atau “rasional itu indah”. Sehingga
konsep estetika bukan saja untuk para pencipta karya
seni, tetapi bisa untuk siapa saja yang dapat menentukan
dan merasakan keindahan secara kontekstual berdasarkan
tingkat apresiasi, situasi dan latar belakang budaya.
Akhirnya pengertian estetika meliputi totalitas dari
esensi kehidupan yang mampu menggelitik jiwa manusia, dan
berlaku terhadap apa saja yang dirasakan manusia sejalan
dengan konsep hidup dan jamannya. Gejala semacam ini
merupakan suatu kenyataan, bahwa estetika bukan lagi
suatu yang perlu diagungkan seperti yang pernah terjadi
pada abad pertengahan, melainkan telah melebur dalam
4
totalitas yang disebut dengan era “Estetika Paripurna”
(Sutrisno 1999). Salah satu yang paling penting dalam
konsep estetika ini adalah keindahan yang melekat pada
karya seni atau merupakan ruh dari suatu karya seni.
Dalam estetika modern, lebih cenderung membicarakan
tentang seni dan pengalaman estetik, karena keindahan
bukan pengertian yang bersifat abstrak tetapi merupakan
suatu gejala kongkret yang dapat ditelaah dengan
pengamatan empiris serta dapat diuraikan secara
sistematis.
Sebelum abad ke 18 muncul teori keindahan yang
mempermasalahkan tentang hakikat keindahan dan setelah
abad ke 18, mulai dibicarakan tentang keindahan yang
adiluhung dan keindahan yang dangkal, di antaranya
adalah: Kant, Shaftesbury, Hutcheson, Burke, dan Alison
(sebelum abad ke18). Mereka menyoroti tentang teori
selera (taste theory) dengan menggunakan “pengalaman
keindahan” sebagai pendekatan analisisnya. Selain itu
mereka juga mengaitkan seni dalam estetika dengan rasa
indah, halus, dan luhung Kemudian setelah abad ke 18 arti
kata “indah” disamakan dengan “sesuatu yang mempunyai
nilai estetis” lazim digunakan untuk mengkaitkan seni
dengan alam. Sehingga masalah keindahan dibahas melalui
dua teori yakni teori estetika dan teori seni. Secara
rinci akan dibicarakan dalam mata kuliah estetika 2.
2.2 Lingkup Kajian Estetika.
2.2.1 Hubungan antara Keindahan dan Kebudayaan.
5
Keindahan adalah filsafat tentang segala sesuatu
yang indah atau ilmu tentang keindahan dan “cita rasa”. In
essence, aesthetics is philosophy of the beautiful, the science of beauty and
“taste” ( Hope M. Smith, 1968) Mengacu dari pendapat Smith
tersebut, keindahan tidak terlepas dari kebudayaan,
karena kebudayaan merupakan penentu corak, typical, gaya
hidup suatu kelompok masyarakat sebagai pendukung
kebudayaan tersebut.
Di sisi lain manusia sebagai mahluk multidimensi
mempunyai peran untuk mencipta dan mengamati suatu karya
seni sesuai dengan cita rasanya. Konsep keindahan dan
cita rasa ini terbentuk dan mengacu dari ajaran-ajaran
agama dan konsep budaya dari masing-masing kelompok.
Estetika sebagai sub sistem kebudayaan dalam berkesenian
berisi tentang (1) nilai-nilai, (2) pedoman, (3) gagasan-
gagasan vital, (4) kepercayaan atau keyakinan tentang
berkesenian. Nilai atau pedoman tersebut digunakan untuk
menciptakan dan memahami karya seni.
Kebudayaan secara hakiki mempunyai pengertian
sebagai keseluruhan pengetahuan, kepercayaan dan nilai-
nilai yang isinya berupa sistem-sistem makna atau sistem-
sistem simbol. Fungsinya bukan hanya digunakan atau
menjadi pedoman strategi adaptasi dalam menghadapi
lingkungan dan sumber daya alam, tetapi sekaligus
berfungsi sebagai pedoman strategi dalam menghadapi
lingkungan sosial dan lingkungan kebudayaan itu sendiri
(Suparlan Parsudi 1995 ). Budaya sebagai acuan bagi suatu
masyarakat yang bersifat normatif, maka ia mampu
6
melahirkan “gaya hidup” tertentu, serta memberi makna
yang dapat membedakan dengan kelompok lain. Misal
kebudayaan Jawa berbeda dengan kebudayaan Irian, Sumatra,
Bali dst, demikian juga kebudayaan Indonesia, berbeda
dengan kebudayaan Jepang, Korea, Eropa atau India. Di
dalam suatu kebudayaan mengandung unsur-unsur seperti
ilmu pengetahuan, kepercayaan (termasuk agama) dan nilai-
nilai (etika dan estetika). Agama dalam hal ini merupakan
salah satu unsur dari kebudayaan telah beroperasi dan
berperan melalui kebudayaan. Agama bersifat Illahi
sebagai sistem kepercayaan terhadap adikodrati, yang
berkaitan dengan nilai, norma, kelembagaan dan simbol-
simbol tertentu. Sehingga agama sebagai pedoman bagi
ketepatan kebudayaan, telah berfungsi untuk
menstrukturkan kebudayaan, dan beroperasi melalui sistem
simbol pada tingkat emosional, kognitif, subjektif dan
individual. Keberadaan kebudayaan itu telah didukung oleh
manusia, maka dengan sendirinya manusia tidak dapat
terlepas dari kebudayaan tersebut, karena budaya
merupakan wujud/ ekspresi dari eksistensi manusia,
Manusia adalah mahluk multidemensi, yang pada
awalnya seperti halnya mahluk yang lain memiliki jasmani
dan kebutuhan biologis, tetapi untuk membedakan manusia
dengan mahluk lain adalah pada kebutuhan integratif,
suatu kebutuhan yang berkenaan dengan hakikat manusia
sebagai mahluk berpikir, bermoral dan bercita-rasa,
mencakup etika-estetika dan seni. Kendatipun masih ada
dua kebutuhan lainnya sebagai penunjang kehidupan manusia
7
yakni kebutuhan primer; adalah kebutuhan yang bersumber
pada aspek biologis berkaitan dengan kelangsungan hidup
seperti sandang, pangan, dan papan. Dan kebutuhan
sekunder atau sosial; merupakan suatu kebutuhan yang
berkaitan dengan keterlibatan hidup orang lain.
Etika dalam hal ini merupakan nilai-nilai moral
menyangkut agama terdiri dari (a) kesediaan untuk
bertanggung jawab, (b) kejujuran, (c) kemandirian moral,
(d) prinsip sikap baik-buruk (lihat Magnis Suseno; 1998).
Sedangkan seni, desain, teknologi dan ilmu pengetahuan
merupakan perwujudan dari kebudayaan. Secara realitas
karya seni / desain tidak lebih dari fenomena praktis
kebutuhan manusia atau sebagai proyeksi diri manusia
dalam dimensi lain yang mencerminkan suatu sikap budaya
dari kelompok manusia dalam membangun lingkungannya.
(Malvin Rader: 1990). Sikap budaya dalam hal ini
merupakan suatu keyakinan dalam diri manusia untuk
memberi makna kultural dan makna sosial terhadap setiap
pemikiran dan perbuatan manusia. Selain itu mampu
memperkaya nilai-nilai dan khasanah peradapan rohani di
sekitarnya. Sedangkan keindahan merupakan ruh dari
kesenian dan sebagai sistem dalam kebudayaan dalam
berkesenian yang berisi nilai- nilai, pedoman-pedoman,
gagasan vital serta kepercayaan atau keyakinan tentang
berkesenian.
Manusia juga memiliki empat demensi yakni (1)
dimensi pengalaman (2) dimensi pikir, (3) dimensi rasa,
(4) dimensi keyakinan. Semua dimensi tersebut mengarahkan
8
manusia menjadi manusia yang manusiawi dan manusia yang
utuh. Jika perkembangan dari salah satu aspek dimensi
tidak seimbang maka akan menjadikan manusia yang kurang
manusiawi. Untuk menjadikan manusia yang utuh dan
seimbang diperlukan keseimbangan untuk mengembangkan
dimensi-dimensi rohaninya. Dimensi-dimensi tersebut
digambarkan sebagai berikut:
Karakteristik dari tiap-tiap dimensi adalah sebagai
berikut :
Agama bersifat trasendental, dasarnya kepercayaan,
pengabdian penuh dan takwa, ajarannya ’apa
seharusnya’ (das sollen) , bertujuan meraih keselamatan,
harmoni, kedamaian, konsep berdasarkan filsafat
masing-masing.
Ilmu, bersifat nalar, logis, mempunyai sistem dan
metode, bersumber pada fakta, empiri (das sein) ’apa
adanya’. Bertujuan untuk membuktikan kebenaran
secara khusus dan terbatas, serta mempunyai fungsi
untuk deskripsi, prediksi dan kontrol pada kenyataan
empiris.
9
AGAMA (KEYAKINAN)
FILSAFAT
(PIKIR)
( PIKIR)
SENI(RASA)
ILMU(PENGALAMAN)
Filsafat, bersifat nalar, logis, tidak ada metoda
yang spekulatif, bertujuan untuk mencapai kebenaran
yang menyeluruh serta mendasar dalam sistem
konsepsional, berfungsi untuk kearifan hidup.
Seni, menciptakan realita baru dari kenyataan
empiris. Bentuknya ekspresi realita baru secara
sensoris dengan simbol dalam kebulatan dunia besar.
Berdasarkan apresiasi dari pengalaman manusia, serta
mengandung das sollen dan das sein.
Keempat karakter tersebut mempunyai persamaan dan
perbedaan dalam hal cara kerja, sumber, wujud dan fungsi
masing-masing dimensi. Pada mulanya keempat dimensi
pengetahuan tersebut tidak mempunyai batas yang jelas,
namun dalam perkembangannya batas-batas tersebut semakin
jelas dan berkembang menjadi spesialisasi. Di bidang ilmu
terdapat tiga penggolongan besar yakni ilmu alam, ilmu
sosial, dan humaniora. Saat ini penggolongan tersebut
kurang lebih berkembang sampai 700 disiplin ilmu.
Kesenian termasuk dalam bidang ilmu humaniora pada
tiap-tiap kebudayaan/bangsa mempunyai perbedaan perincian
yang berkisar antara 9 sampai dengan 10 ilmu antara lain;
bahasa, sastra, sejarah, filsafat, dan seni. Bidang
humaniora ini bertujuan untuk memberikan informasi
tentang hakikat manusia. Khusus dalam hal seni memberikan
keindahan sebagai pengalaman tersendiri yang membedakan
manusia dengan mahluk lain yang tidak mampu menjadikan
lebih bersifat manusia. 10
2.2.2 Hubungan antara Seni, Estetika dan Filsafat Seni.
Kata seni pada umumnya selalu dihubungkan
dengan bentuk seni plastis atau seni visual, walaupun
sebenarnya kata seni telah mencakup berbagai cabang seni
lain seperti; seni sastra, seni musik, seni tari, seni
drama dan seterusnya. Berdasarkan penggolongan seni,
cabang-cabang seni tersebut mempunyai kekhasan. Namun
suatu difinisi yang berlaku umum terhadap semua cabang
seni ini akan menjadi titik tolak yang baik. Dalam hal
ini Schopenhauer pertama kali mengatakan bahwa semua
cabang seni bersumber pada kondisi seni musik, pernyataan
itu sering disalah tafsirkan padahal pemikiran
Schopenhauer bertumpu pada kualitas abstrak dari seni
musik. Alasannya di dalam seni musik seniman menciptakan
pesonanya secara langsung untuk peminatnya, tanpa adanya
campur tangan media komunikasi yang bisa digunakan untuk
tujuan-tujuan lain. Selanjutnya dikatakan bahwa seorang
arsitek seharusnya mengekspresikan dirinya dalam bentuk
bangunan-bangunan yang mempunyai tujuan praktis dan
seorang penyair wajib menggunakan kata-kata yang
berkaitan dengan percakapan sehari-hari. Demikian halnya
dengan seorang pelukis harus mampu mengungkapkan dirinya
lewat pembabaran dunia visual.
Menurut Schopenhauer hanya para komponis yang benar-
benar bisa bebas mencipta karya seni lepas dari
kesadarannya sendiri, tidak mempunyai tujuan lain kecuali
agar dapat menyenangkan. Kendatipun semua seniman
11
mempunyai tujuan yang sama yakni menyenangkan publik.
Sehingga seni secara sederhana didefinisikan sebagai
usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang meyenangkan
dan bentuk-bentuk tersebut dapat memberikan kepuasan rasa
’indah’. Terpenuhinya rasa indah akan terjadi, jika
seseorang pengamat dapat meresapi kesatuan atau harmoni
dari tata susunan bentuk.
Seni sebagai kegiatan budi pikiran seniman, secara
mahir diciptakan sebagai suatu karya yang mengekspresikan
perasaan seniman. Hasil ciptaan itu merupakan kebulatan
organis dalam suatu bentuk tertentu dari unsur-unsur
bersifat ekspresif yang termuat dalam suatu medium
inderawi. Sebagai suatu kesatuan organis, karya seni
terdiri dari beberapa unsur ekspresif dalam suatu bentuk
tertentu. Setiap bagian atau unsurnya tidak berdiri
sendiri, tetapi membentuk satu kesatuan organis ( catatan
: sedangkan kesatuan dari unsur-unsur mekanis adalah
unsur-unsur yang tersusun dari luar dan tidak saling
berhubungan, sehingga masing-masing unsur dapat saling
bertukar tempat dengan tanpa merusak kesatuan dalam
suatu komposisi.)
. Estetika, secara umum mempunyai pengertian sebagai
suatu cabang filsafat yang memperhatikan atau berhubungan
dengan gejala yang indah yang terdapat pada alam maupun
seni. Pandangan ini mengandung pengertian yang sempit.
Penggunaan istilah estetika berbeda dengan filsafat
keindahan, karena estetika semata-mata tidak lagi menjadi
permasalahan di dalam ilmu filsafat. Estetika memuat
12
bahasan ilmiah yang berkaitan dengan karya seni,
sehingga estetika termasuk lingkup bahasan ilmiah, yang
mencakup tentang keindahan dalam seni, pengalaman seni,
gaya atau aliran seni, dan perkembangan seni.
Masalah-masalah yang diketengahkan dalam kajian
estetika menurut George T.Dickie adalah pertama,
pernyataan kritis yang menggambarkan, menafsirkan, atau
menilai karya-karya seni yang khas. Kedua, pernyataan
yang bersifat umum oleh para ahli sastra, musik atau seni
visual untuk memberikan ciri khas genre-genre artistik,
missal tragedi, bentuk sonata, lukisan abstrak dst .
Ketiga, ada pertanyaan tentang keindahan seni imitasi.
Menurut Louis Kattsof, estetika adalah cabang
filsafat yang berkaitan dengan struktur dan peran dari
keindahan, khususnya dalam seni. Sehingga muncul teori-
teori tentang seni, teori tentang keindahan, serta hal-
hal yang menjelaskan tentang arti keindahan, keindahan
subjektif dan objektif serta masalah peran keindahan
dalam kehidupan manusia. Pada intinya persoalan pokok
estetika meliputi empat hal yakni (1) nilai estetika
(esthetic value); (2) pengalaman estetis (esthetic experience) ; (3)
Prilaku pencipta /seniman; dan (4) seni/ karya seni.
Selain pembagian estetika yang berkaitan dengan
esensi dan pokok permasalahan, menurut ruang lingkupnya
estetika dibagi menjadi dua bagian, pertama estetika
falsafahi, terdiri dari : pertama, filsafsat keindahan,
teori seni indah dan filsafat kritik; kedua, estetika
ilmiah yang meliputi: ilmu seni, psikologi seni,
13
sosiologi seni, antropologi seni, semiologi seni, sejarah
seni dan filsafat seni.
Filsafat seni merupakan bidang pengetahuan yang
senantiasa mempermasalahkan seni atau keindahan dalam
karya seni. Filsafat seni berhubungan dengan teori
penciptaan seni, pengalaman seni dan kritik seni (Lucius
Garvin). Filsafat seni bagi Joseph Brennan, merupakan
telaah mengenai asas-asas umum penciptaan dan apresiasi
seni. John Hosper memandang filsafat seni lebih sempit
dari pada estetika, alasannya filsafat meliputi konsep-
konsep seni dan persoalan-persoalan yang timbul dalam
karya seni. Berkaitan dengan pendapat dari para ahli
tersebut, Thomas Munro merinci berbagai persoalan yang
berkaitan dengan filsafat seni atau estetika modern
sebagai berikut :
(1) Penggolongan sistematika seni
(2) Morfologi estetis; telaah deskriptif tentang
bentuk seni dan gaya dalam berbagai seni.
(3) Teori sejarah seni: berkaitan dengan adanya
kecenderungan utama, pola-pola, pengaruh-pengaruh,
sebab akibat, dan gaya-gaya dalam seni yang
berhubungan dengan factor budaya.
(4) Sosiologi seni; menjelaskan kausal antara karya
seni dengan kondisi social budaya masyarakat atau
sebaliknya.
(5) Semiologi seni; membahas tentang masalah-
masalah bahasa seni berupa tanda, symbol, serta
konsep-konsep dalam seni.
14
(6) Ragam dan gaya seni, membahas tentang hal-hal
yang berhubungan dengan sifat dasar manusia, pribadi
dan social.
(7) Pengetahuan tentang jenis akibat yang cenderung
memperngaruhi manusia dalam berbagai kondisi..
Pembagian filsafat berdasarkan karakteristik
filosofis adalah; spekulatif, mendasar, menyeluruh dan
logis. Bentuk ajarannya adalah sistemik konsepsional.
Berikut ini disajikan dua penggolongan yaitu
penggolongan berdasarkan subjek dan penggolongan
bersadarkan objek antara lain sebagai berikut :
Penggolongan Filsafat Berdasarkan Subjek :
Penggolongan Filsafat Berdasarkan Objek;
15
ADAONTOLOGIA : MANUSIATHEOLOGIA : TUHANCOSMOLOGIA: ALAM
PENGETAHUAN LOGIKA ANTROPOLOGIA
PENILAIANETIKA ESTETIKA
MANUSIA :ANTROPOLOGIAAKAL : LOGIKATINGKAH LAKU :ETIKAKEINDAHAN :ESTETIKA
ONTOLOGIA : MANUSIATHELOGIA : TUHANCOSMOLOGIA : ALAM
ADA
UMUM KHUSUS
MUTLAK TIDAK MUTLAK
ALAM MANUSIA
(Model dikutip dari Sumardjo, 2000)
2.2.3 Hubungan antara Tiga Aspek dalam Seni: Karya Seni,
Seniman, dan Publik Seni
Lingkup kajian dalam filsafat keindahan ini terdiri
dari tiga kenyataan; pertama, objek seni atau segala
sesuatu yang berkaitan dengan seni; kedua, pendapat
(pandangan) tentang seni dan; ketiga, adalah fakta.
Kenyataan pertama berupa objek seni yang meliputi karya
seni; aktivitas penciptaan/seniman dan pengamat atau
publik seni. Ketiganya mempunyai hubungan yang erat dan
tidak dapat dipisah-pisahkan. Secara rinci dijelaskan
sebagai berikut:
(1). Karya / benda seni
Karya atau benda seni ini terdiri dari bentuk dan
isi. Bentuk dalam hal ini mempunyai pengertian suatu
kesatuan organis yang terdiri dari unsur-unsur seni,
16
yang memiliki nilai ekspresi atau nilai ungkap. Unsur-
unsur tersebut terdiri dari representasi, kualitas
keinderaan (sensasi) dan konotasi. Representasi merupakan
perwujudan ekspresi, yang mengandung sensasi /sensori
(suara, warna, bentuk, tekstur, ruang, cahaya, dst).
Sensori ini merupakan kualitas keinderaan/ kepekaan
terhadap rangsangan yang menciptakan suasana perasaan
misal, rasa segar, senang, bahagia, sedih dst. Di sisi
lain wujud tidak hanya dipahami secara tuntas sebagai
wujud, tetapi ada sisa sesuatu yang tidak bisa tertangkap
indera yakni isi atau makna. Dalam hal ini untuk
memperoleh makna/ isi,perlu melakukan konotasi terhadap
karya/ benda seni dengan cara mengkaitkan antara unsur,
prinsip dan lingkup budaya. Bentuk dan isi dalam suatu
karya seni merupakan satu kesatuan. Bentuk lebih
menekankan pada munculnya kesatuan di antara unsur-
unsurnya dalam bentuk organis. Sedangkan isi adalah
unsur-unsur yang membentuk struktur dalam ’kesatuan
arti’ atau makna. Karya seni bisa diterima oleh penikmat
atau publik seni, jika nilai-nilai yang terdapat karya
seni tersebut juga bisa diterima oleh publik pengamat
seni. Dengan demikian maka akan terjadi komunikasi seni.
Komunikasi akan terjadi jika publik/ pengamat seni
mempunyai pengalaman seni atau pengalaman estetik.
Karya seni terwujud berdasarkan medium tertentu,
yakni; (1) medium pendengaran (audio) menghasilkan seni
audio; seni sastra, dan musik (2) Medium penglihatan
(visual) menghasilkan seni visual (seni rupa): seni
17
patung, seni lukis, arsitektur dst. (3) gabungan
keduanya, akan melahirkan bidang seni audio visual : seni
tari, seni teater, seni film dst. Aspek tinjauan seni
sebagai benda atau karya seni (artefak) menyangkut
masalah:
Nilai seni ( nilai intrinsik, nilai ekstrinsik, dan
nilai hidup)
Material seni
Bentuk dan isi seni (imajinasi, metafora, simbol,
mimesis, ekspresi, subjek matter dan tema.)
Makna seni
(2) Seniman/ Aktivitas Penciptaan ;
Sebagai pemilik ide, seniman memiliki sejumlah
nilai-nilai intraestetik maupun ekstraestetik, yang
kemudian diekspresikan dalam sebuah wujud atau
benda/karya seni. Berkaitan aktivitas penciptaan ini seni
identik dengan ekspresi, artinya seni merupakan
penjelmaan bentuk-bentuk ekspresi dari nilai- nilai
kemanusiaan yang bersifat individual maupun sosial. Aspek
seniman dalam seni menyangkut masalah kreativitas dan
ekspresi yang berkaitan dalam penciptaan karya seni
antara lain : tujuan karakteristik seni, keunikan,
orsinalitas, keontentikan karya seni, dan gaya (style).
Teori ekspresi seni yang mengacu dari seniman (lihat Leo
Tolstoi) seni adalah ekspresi atau ungkapan perasaan
seniman akibat pengalaman hidupnya yang bertujuan bukan
untuk kepentingan pribadi tetapi untuk kepentingan umum.
(3) Publik Seni / Pengamat Seni : 18
Masyarakat yang mempunyai karakteristik dan
kemampuan untuk membaca dan menerima suatu produk seni
tergolong dalam publik atau pengamat seni. Sehingga tidak
semua masyarakat adalah pengamat/ publik seni ini.
Penemuan nilai seni dan munculnya pengalaman seni dalam
pengamat/ public seni merupakan peristiwa penting dalam
lahirnya fenomena seni. Pandangan ini muncul ketika ada
permasalahan filosofis tentang : komunikasi seni, relasi
seni, wacana seni, pendidikan seni, interpertasi seni,
evaluasi seni dan selera seni ( lihat Yokop Sumardjo:
1995). Sehingga untuk mengetahui persoalan karakter
masyarakat dalam public seni diperlukan peran serta
bidang kajian sosiologi, psikologi dan antrophologi seni.
(4) Nilai Seni:
Benedetto Croce, seorang filusuf seni mengatakan
bahwa seni pada karya atau suatu benda itu tidak pernah
ada, sebab seni itu ada di dalam jiwa pengamatnya. (seni
identik dengan keindahan). Bagi Benedetto, nilai
merupakan masalah yang mendasar yang terdapat dalam
bidang etika (kebaikan), kebenaran (logika) dan estetika
(keindahan), di samping terdapat pula pada peristiwa
perasaan yang lain seperti keadilan, kebahagiaan,
kegembiraan, kegelisahan dan seterusnya ( lihat Yakop
Sumardjo: 1995). Semuanya menyangkut tentang
subjektivitas dan objektivitas, juga sekaligus menyangkut
hal-hal khusus dan universal, budaya kontekstual dan
esensi universal. Keindahan yang menyangkut seni,
19
mengandung nilai-nilai universal dan sekaligus juga
kontekstual budaya.
(5) Pengalaman Seni.
Pengalaman seni ini diperlukan dalam berkomunikasi
seni yakni mengkomunikasikan nilai-nilai, kualitas
perasaan,dan kualitas medium seni itu sendiri. Dalam
proses berkomunikasi atau berinteraksi diperlukan
pengalaman yang melibatkan kegiatan penginderaan, nalar,
emosi dan intuisi. Pengalaman seni berlangsung dalam
suatu proses yang berkaitan dengan waktu. Ada suatu
pendapat yang mengatakan bahwa hakikat seni terletak pada
pengalaman seni bukan pada ilmu dan filsafat seni.
Sedangkan analisis pengalaman seni meliputi pengalaman
artistik, empati, jarak estetis dan unsur-unsur serta
struktur pengalaman seni.
Hakikat seni kontekstual tidak dapat dipisahkan
dari; ideology, sosial, masalah infrastruktur, struktur
perkembangan sejarah seni, tradisi seni, akulturasi
budaya, masalah seni, elit budaya, seni popular, seni
rakyat, seni massa, seni elit istana, seni modern dan
seni postmodern. Secara keseluruhan rangkaian dalam
pembicaraan ini adalah topik permasalahan dalam estetika
ataupun filsafat seni. Permasalahan yang masih panjang
diperdebatkan adalah masalah ekspresi seni dalam
sepanjang sejarah seni. Selain itu tidak dapat dipungkiri
bahwa pemikir besar Yunani kuno, Plato dan Aristoteles
telah meletakan dasar-dasar persoalan filosofis seni
sampai sekarang.
20
Berikut bagan eksistensi seni hubungan antara empat
aspek dalam seni yakni karya seni, seniman, publik seni
dan konteks seni, seperti yang telah dijelaskan di atas.
Aspek Konteks seni menyangkut persoalan nilai-nilai dasar dalam
suatu masyarakat.
(6) Konteks Seni
Hakikat seni pada konteks : Seni merupakan
konsep yang mendapat kesepakatan dari masyarakat
sejamannya. Hakikat seni dapat ditelusur dari berbagai
institusi seni maupun institusi yang bukan seni yang ada
dalam masyarakat yang bersangkutan.
3。TUGAS / LATIHAN :
Membaca dan membuat resume ; hasil resume
didiskusikan secara berkelompok.
Diskusikan dengan anggota kelompok saudara tentang ruang
lingkup, aliran dan hubungan anatara estetika dan seni.21
NILAI-NILAI SENI
PENGALAMAN SENI
KARYA SENITEORI FORMALIS
SENIMANTEORI EKSPRESI
PUBLIK SENITEORI RELASI
KONTEKS SENI
Buat laporan kelompok hasil diskusi Saudara dalam
suatu kertas kerja (paparan) untuk disampaikan dalam
forum diskusi kelas.
POKOK BAHASAN 2
Nilai Karya Seni1. Tujuan Perkuliahan
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa
diharapkan dapat menjelaskan pengertian, fungsi, dan jenis
nilai serta dapat menjelaskan nilai karya seni yang meliputi
nilai intrinsik, ekstrinsik, dan instrumental.
2. Materi Perkuliahan
2.1. Nilai : Pengertian, Fungsi, dan Jenis- JenisnyaNilai, baik sebagai sebuah kata maupun sebagai suatu
istilah sudah sering dikenal, didengar, bahkan sering
diucapkan. Namun demikian sangat dimungkinkan masih cukup
banyak orang yang belum mengetahui secara lebih mendalam apa
arti, fungsi, makna, atau jenis-jenis nilai. Acapkali kata
atau istilah nilai dipakai begitu saja tanpa mempersoalkan
tepat atau tidak penggunaannya. Nilai, baik sebagai kata atau
istilah memiliki pengertian, makna,dan fungsi yang penting
dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan. Demikian pula
jenis-jenis nilai juga cukup banyak sejalan dengan bidang-
bidang kehidupan yang ada di dalam masyarakat; tak terkecuali
dalam bidang kehidupan seni. Artinya semakin kompleks bidang
kehidupan masyarakat semakin kompleks kemunculan sebuah nilai.
Kata atau istilah nilai, sesungguhnya, bukan sesuatu yang
bersifat kuantitatif atau menunjuk pada sesuatu yang bersifat
konkret, melainkan menunjuk pada sesuatu yang bersifat
kualitatif dan abstrak. Nilai dalam bahasan ini bukan score
22
atau biji, yang berfungsi sebagai angka yang menandai prestasi
seseorang seperti yang tertera dalam raport atau laporan hasil
belajar. Melainkan harga atau sifat-sifat/ hal-hal yang
penting atau berguna bagi manusia ( Lihat KBBI; 1996: 690 ).
Dari sisi filsafat The Liang Gie menjelaskan bahwa istilah
nilai sering dipakai sebagai suatu kata benda abstrak yang
berarti keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness).
Selanjutnya ia mengatakan bahwa nilai atau value adalah
kemampuan yang dipercayakan pada sesuatu benda untuk memuaskan
keinginan manusia, dan penyebab ketertarikan minat seseorang
atau suatu golongan terhadap benda tersebut. Nilai dalam hal
ini mempunyai makna suatu realitas psikologis karena sebagai
penetu nilai adalah jiwa manusia bukan bendanya.
Sesuai dengan penjelasan tersebut terlihat bahwa nilai
merupakan sesuatu yang bersifat abstrak dan menunjuk pada
suatu kualitas tertertu dari suatu objek yang menarik minat
atau perhatian. Minat dan perhatian itu muncul karena ada
sesuatu yang berkualitas pada suatu objek dan berharga bagi
diri seseorang. Pada gilirannya akan menimbulkan daya tarik
dan mendorong untuk bersikap dan bertindak untuk dapat
memperoleh atau menggunakannya. Suatu kualitas objek yang
dianggap berharga bagi seseorang menandakan bahwa objek itu
memiliki nilai dan suatu yang bernilai acapkali menimbulkan
makna tertentu. Suatu nilai, selain berharga juga mempunyai
potensi untuk menimbulkan makna dengan lain kata, makna
merupakan implikasi lebih lanjut dari persepsi suatu
keberhargaan. Setiap benda yang berharga memiliki sebuah makna
bagi seseorang. Misal, rokok, kendati tidak menyehatkan,
tetapi bagi sebagian besar orang menjadi salah satu kebutuhan
yang tidak dapat ditinggalkan. Karena ada suatu nilai yang
melekat pada rokok yaitu kualitas tertentu sangat berharga
23
yang dirasakan sebagian orang untuk memenuhi salah satu
kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika
rokok sangat bermakna bagi mereka yang membutuhkan. Banyak
fakta yang dapat dijadikan bukti bahwa rokok dapat mendorong
seseorang untuk bersikap dan bertindak untuk mengupayakan
dengan berbagai cara agar ia dapat memperoleh, memiliki, dan
menikmatinya.
Contoh sederhana tersebut menyiratkan pengertian bahwa
nilai merupakan sesuatu yang dapat mempengaruhi pikiran,
sikap, tindakan, atau gaya hidup seseorang atau
sekelompok orang, bahkan masyarakat. Dalam hal demikian,
nilai memiliki fungsi sebagai variabel bebas yang
berpengaruh dalam membentuk pikiran, sikap, tindakan,
atau gaya hidup. Dengan kata lain nilai dapat berfungsi
sebagai dasar, acuan, rujukan, pedoman bagi para
pemiliknya untuk menentukan arah berpikir, bersikap, dan
berbuat dalam melakukan sesuatu. Fungsi ini menunjukkan
bahwa nilai merupakan sumber dasar pembentukan pola
berpikir, pola bertindak, dan pola atau gaya hidup.
Tegasnya dengan nilai, suatu kebudayaan dapat hidup dan
berkembang.
Kebutuhan hidup manusia sangat beragam, kompleks, dan
bertingkat-tingkat atau berjenjang sehingga jenis nilai
juga sangat kompleks dan beragam (lihat : Piddington
dalam Suparlan, 1985). Hal ini disebabkan oleh beberapa
hal, antara lain faktor lingkungan alam, sosial, budaya,
dan teknologi variabel ruang dan waktu, juga sangat ikut
menentukan jenis, tingkat, kuantitas, dan kualitas
kebutuhan hidup. Dilihat dari pandangan filsafat ada
24
empat macam jenis nilai, yaitu nilai logika (kebenaran),
nilai etika (kebaikan), nilai keindahan (estetika) dan
nilai kekudusan (agama). Masing-masing jenis nilai ini
tentu memiliki batasan wilayah dan sifat yang berbeda.
Namun tetap memiliki fungsi yang sama, yaitu menjadi
dasar, acuan, rujukan atau pedoman untuk memenuhi
tuntutan kebutuhan yang relevan sesuai dengan bidangnya
(lihat : The Liang Gie 2005 : 112). Selanjutnya dari
wawasan sosial-budaya Gie, juga mengetengahkan jenis
nilai, antara lain nilai yang berkenaan dengan :
kepercayaan, pengetahuan, moral, ekonomi, politik, hukum,
komunikasi, pendidikan, kesehatan, keamanan, kekerabatan,
perkawinan, dan teknologi. Masing-masing jenis nilai ini
ada dan dibutuhkan untuk mengatur atau mengendalikan
cara-cara berpikir, bersikap, bertindak dalam rangka
memenuhi dan mengembangkan kehidupan sosial budaya
masyarakat yang amat kompleks itu. Tanpa adanya nilai
maka kehidupan manusia tidak akan menjadi tertib atau
teratur, liar, tidak berkembang sesuai dengan harkat dan
martabatnya. Tegasnya, tanpa nilai kehidupan manusia
tidak berbeda dengan kehidupan mahluk lain atau binatang.
2. 2. Nilai dalam Karya Seni
Jika dikatakan bahwa kesenian adalah salah satu
unsur kebudayaan (Koentjaraningrat 1984) maka karya seni
adalah produk atau hasil salah satu kreativitas
kebudayaan di samping hasil-hasil kreativitas kebudayaan
yang lainnya.. Berbeda dengan hasil kreativitas
kebudayaan lainnya, karya seni memiliki ciri tersendiri
25
yaitu perwujudannya senantiasa dikemas melalui
pertimbangan-pertimbangan atau kaidah-kaidah estetis.
Penggunaan kaidah-kaidah estetis inilah yang menyebabkan
perwujudan seni memiliki citarasa keindahan. Karena itu
tidaklah mengherankan jika secara umum orang mengatakan
bahwa seni senantiasa identik dengan keindahan atau seni
adalah perwujudan perasaan akan keindahan itu sendiri.
Menurut Bahtiar (1982) karya seni merupakan salah satu
jenis simbol yang masuk dalam kategori simbol ekspresif
yakni simbol pengungkapan perasaan yang, tentu saja,
perwujudannya dikemas melalui bentuk-bentuk estetis.
Sebagai salah satu hasil kreativitas kebudayaan maka
karya seni tentu memiliki nilai tersendiri yang berbeda
dengan nilai hasil-hasil kebudayaan yang lainnya. Dalam
wawasan kebudayaan karya seni dilihat sebagai suatu
perwujudan manusia dalam upaya mengungkapkan perasaan
akan keindahan yang dipedomani atau dipengaruhi oleh
nilai-nilai sosial budaya dan lingkungan yang
menyelimutinya (lihat Melalatoa 1992; Koentjaraningrat
1987). Oleh karena itu nilai karya seni bukan hanya
sekadar perwujudan benda fisik yang berkeindahan tertentu
yang lepas dari aspek-aspek lain yang mempengaruhinya.
Secara sederhana, dengan menggunakan perspektif
filsafat, nilai karya seni dapat dikategorikan dalam tiga
jenis nilai, yaitu nilai intrinsik, nilai ekstrinsik, dan
nilai instrumental (lihat : The Liang Gie 2005; ).
Berdasarkan perspektif ini uraian berikut di bawah ini
akan menjelaskannya lebih lanjut.
26
2. 2.1. Nilai Intrinsik
Kata intrinsik artinya adalah yang terkandung di
dalamnya (Depdikbud 1989 : 37). Dari arti kata ini kata
intrinsik menunjuk pada sesuatu yang ada pada atau dalam
suatu objek. Pada karya seni, dengan demikian, yang
dimaksud dengan nilai intrinsik adalah kualitas atau
sifat yang memiliki harga tertentu itu terletak pada
bentuk fisiknya. Dengan kata lain nilai intrisik karya
seni adalah nilai perbentukan fisik dari suatu karya,
yaitu kualitas atau sifat dari perbentukan fisik itu yang
menimbulkan rasa atau kesan indah. Menurut Anwar (1985 :
76-77) suatu perbentukan fisik karya seni yang
menimbulkan rasa indah dianggap memiliki nilai normal
karena ia memperlihatkan fungsi-fungsi psikologis dan
sosiologis yang bersangkutan dengan terbentuknya
keselarasan (harmoni). Sebaliknya, karya seni mempunyai
nilai negatif,abnormal, jelek, bila gagal memenuhi salah
satu fungsinya yakni memperlihatkan arah yang menimbulkan
rasa atau kesan tidak indah atau bertentangan dengan
tujuannya.
Pada musik, nilai intrinsiknya antara lain terletak
pada unsur nada, melodi, irama, dan harmoni. Pada tari,
nilai intrinsiknya antara lain terletak pada unsur gerak
dan pola lantai(wiraga) irama (wirama), pengungkapan
atau ekspresinya (wirasa), dan, bahkan mungkin terletak
pada penampilan pakaian atau busananya (wirupa). Sedangkan
pada karya seni rupa nilai intrinsiknya terletak pada
struktur dan bentuknya.
27
Dalam karya seni rupa yang dimaksud dengan struktur
adalah susunan atas serangkaian unsur-unsur rupa (visual)
yang terdapat di dalamnya. Unsur-unsur rupa atau visual
itu antara lain adalah garis, bidang, warna, gelap
terang, ruang, dan tekstur.
Garis sebagai salah satu unsur rupa bisa diartikan
sebagai : tanda atau markah yang membekas pada suatu
permukaan dan memiliki arah (dalam hal ini bisa berupa
grafis yang konkret yang terbentuk oleh suatu goresan
yang membetuk irama), batas suatu bidang/permukaan, dan
sifat atau kualitas yang melekat pada objek yang
memanjang (Sunaryo 2000:7; lihat juga : Kartika 2004 :
40-41; Wong 1986 : 5). Djelantik (2000:19) mengemukakan
bahwa terbentuknya garis dapat menimbulkan kesan tertentu
pada pengamat, missal garis kencang berkesan keras,
keras, sementara itu garis yang membelok atau melengkung
berkesan luwes, lemah gemulai.
Menurut beberapa pendapat ahli (Sunaryo 2000,
Kartika 2004; Wong 1986;) bahwa unsur-unsur rupa seperti
: bidang, ruang, warna, dan tekstur dijelaskan konsep
atau pengertiannya sebagai berikut. Bidang sebagai
unsur rupa dapat dipahami sebagai sesuatu yang pipih,
terbentuk oleh dua buah ujung garis yang bertemu pada
satu titik. Ia bersifat datas karena tidak memiliki
massa/volume. Ruang dsapat dipahami setelah ada sosok
atau bentuk yang mengisinya atau unsur yang mengikutinya.
Ruang mempunyai tiga dimensi, yaitu panjang, lebar, dan
tinggi. Dalam seni rupa dua dimensi, kesan ruang
28
diciptakan oleh ilusi yang dibuat dengan pengolahan garis
dan dibantu oleh warna sebagai unsur penunjang yang mampu
menciptakan ilusi sinar atau bayangan yang meliputi gelap
dan terang sehingga memiliki kesan tiga dimensi. Warna
merupakan kualitas rupa yang membedakan kedua objek atau
bentuk yang identik dengan raut, ukuran, dan gelap
terangnya. Tekstur adalah sifat atau kualitas permukaan
suatu benda. Ia dapat halus, kasar, polos, licin,
mengkilap, berkerut, lunak, keras dan lain sebagainya.
Tekstur terdiri atas tekstur visual dan tekstur taktil.
Yang pertama dicerap me;lalui penglihatan yang kedua
dirasakan dengan melihat dan rabaan tangan. Tekstur
taktil dapat berupa tekstur nyata dan tekstur semu.
Struktur atau susunan unsur-unsur tersebut jika
ditata atau dikomposisikan sedemikian rupa dengan
menggunakan kaidah-kaidah estetis yang acapkali dikenal
dengan istilah prinsip kesatuan, irama, keseimbangan,
proporsi, dominasi, variasi, dan harmoni akan menentukan
kualitas keindahan fisik suatu karya seni rupa (Lihat The
Liang Gie. 2005; Djelantik 2004; Sunaryo 2000; Kartika
2004; Wong 1`986). Dngan kata lain dapat ditegaskan bahwa
nilai intrinsik karya seni rupa dapat dilihat dari
bagaimana kaidah-kaidah estetis itu digunakan dalam
penataan susunan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.
2. 2.2. Nilai Ekstrinsik
Berlawanan arti dengan kata atau istilah intrinsik
di atas, kata atau istilah eksrinsik berarti sesuatu yang
berada di luar atau di balik suatu objek atau benda.
29
Dalam kamus kata ekstrinsik berarti berasal dari luar
atau tidak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sesuatu (Depdikbud 1989 : 223). Merujuk pengertian ini
maka yang dimaksud dengan nilai ekstrinsik ialah kualitas
atau harga yang berada di luar atau di balik suatu
perwujudan fisik. Kualitas atau harga ini merupakan
sesuatu yang tidak konkret yakni berupa pengertian,
makna, pesan, dan ajaran atau informasi lainnya yang
berharga. Nilai yang demikian ini dapat pula disebut
dengan nilai simbolis, artinya dalam posisi ini karya
seni adalah sebagai simbol yang memiliki makna, pesan,
atau harapan-harapan di luar bentuk fisiknya itu.
Dalam kenyataan, banyak sekali dijumpai karya seni
yang hadir tidak hanya sekadar menciptakan bentuk fisik
yang bernilai estetis semata melainkan juga membawa
pesan-pesan, harapan-harapan, atau muatan-muatan makna di
luar bentuk estetisnya itu.
Sebagai contoh, misalnya karya-karya pelukis
Indonesia di zaman pra- kemerdekaan yang menggelorakan
semangat perjuangan atau nasionalisme melalui bentuk-
bentuk fisik dengan tema-tema tertentu seperti tema
perjuangan, penindasan, penderitaan, dan lain sebagainya
akibat penjajahan Belanda dan Jepang. Demikian pula pada
zaman pasca kemerdekaan hingga pada era modern sekarang
banyak dijumpai karya-karya seni rupa yang selain
menampilkan bentuk-bentuk fisik estetis yang kreatif juga
membawa pesan, harapan, muatan-muatan makna tertentu di
luar bentuk fisiknya. Pada karya-karya instalasi
30
misalnya, seniman bukan hanya sekadar menciptakan bentuk-
bentuk kreatif yang unik, menarik, dan bahkan terasa
absurd, tetapi lebih dari itu mereka ingin menyampaikan
sesuatu di balik karya nya. Dengan kata lain karya
tersebut berfungsi sebagai simbol dari apa yang sejatinya
dirasakan atau diinginkan.
2. 2.3. Nilai Instrumental
Kata instrumental merupakan kata sifat dari kata
instrumen yang berarti alat atau peralatan. Pengertian
kata alat atau peralatan adalah segala benda atau barang
yang dapat digunakan sebagai sarana mermbantu atau
melakukan suatu tugas untuk mengerjakan kepentingan
tertentu (lihat : Dedikbud 1996 : 382). Sebagai contoh,
alat-alat musik adalah benda atau barang-barang yang
memiliki tugas untuk memunculkan nada-nada tertentu bila
dimainkan atau digunakan. Peralatan musik tersebut selain
secara visual memiliki nilai bentuk atau struktur
tertentu juga memiliki nilai instrumental sebagai benda
atau barang yang berfungsi untuk memunculkan nada-nada
tertentu jika dimainkan. Oleh karena itu, tidak akan ada
arti atau harganya jika suatu alat musik tertentu
meskipun secara visual memiliki nilai fisik atau bentuk
yang indah tetapi tidak dapat digunakan atau dimainkan
dengan baik dalam upaya menghasilkan nada-nada tertentu
yang diinginkan dalam suatu permainan musik.
Dalam konteks seni rupa, suatu karya dapat dikatakan
memiliki nilai instrumental jika karya tersebut secara
31
fisik dapat digunakan untuk melakukan tugas dalam rangka
memenuhi suatu keperluan tertentu. Banyak contoh yang
dapat dikemukan untuk menunjukkan hal tersebut. Peralatan
musik sebagaimana disebutkan di atas, alat guitar
misalnya, secara visual atau fisik merupakan hasil karya
seni rupa yang memiliki nilai keindahan struktur dan
bentuk tersendiri (nilai intrinsiknya).
Namun demikian hal itu belumlah cukup jika guitar
itu tidak dapat digunakan atau dimainkan secara baik
sebagai alat untuk bermain musik. Dengan demikian nilai
instrumental guitar bukan hanya terletak pada nilai
keindahan bentuknya saja tetapi lebih dari itu justru
terletak pada fungsi alat itu ketika dimainkan yaitu
apakah memenuhi keperluan yang diinginkan atau tidak.
Contoh lain bisa ditunjukkan pada karya-karya seni
perabot atau peralatan rumah tangga (mebeler). Suatu
karya mebeler kursi atau meja misalnya, nilai
instrumentalnya terletak pada tingkat kenyamanan barang
tersebut ketika digunakan. Artinya meskipun secara visual
mebeler tersebut desainnya bagus akan tetapi ketika
digunakan tidak memenuhi kenyamanan fungsinya, sebagai
tempat duduk atau menulis, maka nilai instrumentalnya
menjadi rendah. Termasuk dalam kategori nilai
instrumental ini adalah karya-karya seni rupa yang
memiliki fungsi fisik sebagai tempat atau konstruksi.
Dalam karya-karya arsitektur, bangunan atau unsur
bangunan misalnya, dikatakan memiliki nilai instrumental
jika secara fisik bangunan atau unsur bangunan tertentu
32
memenuhi fungsinya sebagai tempat yang nyaman dan
memenuhi fungsi konstruksinya .yang menjamin keamanan
penggunanya. Secara khusus, misalnya, unsur bangunan
berupa tiang dengan berbagai bentuknya yang indah secara
visual akan kehilangan nilai instrumentalnya jika tidak
mampu memenuhi fungsinya dalam menopang atau menyangga
suatu balok di atasnya secara maksimal. Dalam sejarah
seni rupa Yunani atau Romawi kuno, dapat dilihat karya-
karya seni tiang bangunan dengan bentuk kapitelnya yang
sangat indah dan menarik namun secara konstruktif tetap
kuat menopang balok yang berada di atasnya.
Contoh-contoh lain nilai instrumental karya seni
rupa dapat ditunjukkan pada hasil karya desain peralatan
elektronika, misalnya berbagai bentuk kamera, telepon
seluler (hand-phone), dan komputer (note book). Alat atau
instrumen tersebut sekarang ini mengalami perkembangan
yang luar biasa dari segi desain bentuk, ukuran, dan
kegunaannya. Barang-barang tersebut selain desain
bentuknya bagus, ukurannya yang bersifat portable, juga
semakin canggih kegunaannya dalam memenuhi tuntutan
kebutuhan pemakainya yang menghendaki kepraktisan,
kemudahan, dan kenyamanan penggunaannya. Semakin
praktis, mudah, dan nyaman penggunaan alat-alat tersebut
semakin tinggi nilai instrumentalnya.
Dalam pengertian yang lebih luas, nilai instrumental
karya seni bukan hanya yang berkaitan dengan hal-hal yang
bersifat fisik teknis sebagaimana dijelaskan di atas. Ada
kalanya, nilai instrumental karya seni ini dimaknai
33
secara abstrak sebagai media atau sarana untuk
menyampaikan suatu misi atau pesan tertentu. Sebagai
contoh, misalnya karya seni poster, baliho, patung, atau
lukisan dapat dianggap memiliki nilai instrumental ketika
karya seni tersebut dipakai sebagai media atau sarana
untuk menyampaikan pesan-pesan atau misi tertentu kepada
khalayak baik yang bersiafat komersial atau non-
komersial. Itu sebabnya ada kalanya dapat dijumpai karya
seni (rupa) yang difungsikan sebagai media atau sarana
promosi, persuasi, atau edukasi.
3. Tugas
Diskusikan dengan anggota kelompok Saudara tentang
jenis-jenis dan makna nilai dalam kehidupan sehari-
hari di lingkungan Saudara. Masih dalam kelompok
diskusi Saudara, amati dan identifikasi beberapa
jenis karya seni rupa dilihat dari nilai intrinsik,
ekstrinsik, dan instrumentalnya.
Buat laporan kelompok hasil diskusi Saudara dalam
suatu kertas kerja (paparan) untuk disampaikan dalam
forum diskusi kelas.
34
POKOK BAHASAN III (PERTEMUANKE-4-6)ESTETIKA KLASIK DOGMATIS
1.Tujuan Perkuliahan
Mahasiswa dapat menjelaskan dan/atau
membandingkan konsep-konsep estetika klasik-dogmatis
yang meliputi konsep estetika platonisme dan konsep
estetika neo-platonisme.
2. Materi Perkuliahaan
2.1 Estetika Platonisme
Ada dua tokoh filsuf penting yang perlu dikemukakan
dalam kelompok faham estetika platonisme, yaitu Plato dan
Aristatoles.Uraian penjelasan singkat mengenai pemikiran
dua tokoh filsuf tersebut dibahas dalam paparan di bawah
ini sebagai berikut.
2.1.1 Plato
Dalam tulisan Sahman (1993) dijelaskan beberapa
pemikiran tentang pemikian Plato mengenai hakikat
35
keindahan. Pandangan Plato mengenai konsep keindahan
dikembangkan berdasarkan teori atau konsep tentang idea
atau eidos. Plato berpendapat bahwa keindahan sebagai
konsep idea memiliki esksistensinya sendiri terlepas dari
eksistensi yang lain. Eksistensi idea bersifat
transendental dan berada pada alam spiritual yang serba
sempurna. Dunia idea merupakan kenyataan yang
sesungguhnya yang paling sempurna dan menjadi contoh atau
model yang abadi dan dilihat sebagai landasan untuk
membuat kenyataan yang bersifat fisik. Kenyataan-
kenyataan fisik yang bersifat alamiah bukanlah kenyataan
yang sesungguhnya. Eksistensi dari kenyataan fisik atau
alamiah hakikatnya adalah kenyataan semu atau tiruan dari
kenyataan idea.
Dalam kaitan dengan seni, keindahan yang muncul
bersifat semu atau tiruan dari keindahan yang ada di
dunia idea. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
keindahan seni adalah imitasi yang bersifat mimesis
(meniru) dari keindahan sesungguhnya yang berada di dunia
idea.
Dengan menganggap bahwa seni pada hakikatnya adalah
imitasi atau mimesis dari dunia idea, Plato ingin
menunjukkan bahwa keindahan seni memiliki kedudukan atau
derajatnya lebih rendah jika dibandingkan dengan
keindahan idea. Dikatakan demikian karena keindahan seni
yang muncul bersifat semu atau hanyalah merupakan tiruan
yang, tentu saja, tidak akan pernah memiliki
kesempurnaan. Dengan kata lain bagi Plato, seni sebaiknya
36
tidak meingimitasi apa pun yang ada di sekitar kita
sebagai sesuatu yang pernah ditahui atau dikenal
sebelumnya. Seni yang baik, dengan demikian,
mempersyaratkan adanya peran inspirasi dalam arti menyatu
dengan keindahan idea (a communion with the idea of beauty).
Pandangan ini menyiratkan bahwa sesungguhnya Plato tidak
menyukai seni apa pun yang bersifat imitatif. Eidos (idea
keindahan) menjadi kata kunci yang harus dijadikan
sebagai acuan dalam membuat karya seni. Jika keindahan
idea yang diacu, maka karya yang dibuat akan
berpartisipasi di dalam eidos, artinya akan ikut menjadi
indah karena mendapat aliran atau emanasi eidos keindahan
itu.
Untuk mencapai eidos, bisa dilakukan melalui nous (arti
harafiahnya adalah intelegensi atau kemampuan menalari
secara dialektis). Sebelum memasuki dunia yang tidak
sempurna, nous sempat melihat eidos. Eidos tertanam dalam
jiwa atau nous (yang dimaksud jiwa pranatal, jiwa yang
belum diturunkan ke dunia menyatu dengan raga) untuk
selama-lamanya, dan dapat dikenali dengan anamnesis
(pengenalan kembali). Lewat communion with the idea of beauty
seniman akan mengamnanesis eidos. Namun produk anamnesis
ini tidak pernah akan sesempurna eidos itu sendiri,
apalagi setelah jiwa atau nous itu terikat pada raga
(jiwa pascanatal).Keterikatan kepada raga menjadikan
jiwa tak mampu lagi melihat eidos dalam kadarnya yang
paling murni. Menjangkau eidos memang tidaklah mudah.
Untuk ke situ setidaknya perlu empat tangga yang harus
37
dilalui, yakni : keindahan ragawi, keindahan rukhaniah,
keindahan intelektual, dan keindahan mutlak.
Orang yang pernah mengenali atau bersatu dengan idea
keindahan akan mendapatkan imortalitas. Di samping itu,
jiwanya akan menjadi kreatif. Jiwanya akan sarat dengan
ide-idea ia akan mampu berkarya secara kreatif sehingga
seninya menjadi inventif (kaya akan penemuan-penemuan).
Tidak seperti halnyapara teknisi (Plato sebenarnya adalah
orang konservatif yang tidak menyukai pembahauruan-
pembaharuan). Penghayatan eidos keindahan akan menjadikan
potensi kreativitas menjadi kreativitas yang aktual.
Selain mempersyaratkan peran nous (sebagai potensi
mental spiritual) dan anamnesis (sebagai proses intuitif
rasional) untuk dapat bersatu dengan idea keindahan masih
diperlukan adanya eros (love, desire) akan keindahan . Jika
kita tidak menyukai keindahan, kita tidak akan
termotivasi untuk mengadakan perjumpaan dengan eidos
keindahan. Peran imajinasi tidak disinggung oleh Plato.
Yang indah dalam artian yang mengacu pada eidos, tidak
hanya mengekspresikan hakikat eiditis, tetapi juga yang
dapat difungsikan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan
tertentu. Yang indah adalah yang fungsional atau yang
berguna. Kegunaan inilah yang menjadi tolok ukur
keberhasilan suatu ciptaan. Yang memiliki otoritas
menilai keberhasilan tersebut dari segi kegunaan atau
utilitasnya adalah negarawan atau filsuf selaku seniman
unggulan. Di dalam melakukan penilaian ini mereka akan
menelaahnya dari segi tujuan moral dari polis (negara
38
kota/masyarakat). Jika pertimbangan-pertimbangan teknis
dan moral bertumbukan, maka yang terakhirlah yang akan
dijadikan dasar pertimbangan.
Hal lain yang menarik untuk diketahui tentang Plato
adalah apa yang pernah dikemukakannya teori tentang seni
sebagai permainan, klasifikasi seni, dan kriteria
mempertimbangkan seni imitatif. Yang pertama menjelaskan
bahwa siapa pun yang ingin mengembangkan diri menjadi
orang berkeahlian dalam bidangnya, sejak masa mudanya
sudah melakukan langkah-langkah persiapan dalam bentuk
permainan i berkesungguhan di dalam bidang tersebut.
Misalnya, yang ingin jadi arsitek yang baik, harus
mengawali langkah-langkahnya dengan membangun rumah-rumah
mainan. Dengan cara demikian ia akan dapat menghimpun
pengalaman yang diperlukan sebagai persiapan bekerja dan
berkarya sebagai arsitek sungguhan. Yang kedua, oleh
Plato, seni dibagi menjadi dua kategori, yakni yang lebih
eksak seperti seni ketukangan kayu dan yang kurang eksak
seperti seni musik. Yang ketiga, untuk kriteria
mempertimbangkan seni imitatif, seseorang harus menjadi
penilai yang kompeten yang memiliki tiga hal, yakni ia
harus tahu pertama apa imitasinya, kedua ia harus tahu
bahwa itu benar, dan ketiga ia sudah pernah melakukannya
dengan baik.
Dalam pandangan lain (lihat: Sutrisno SJ dan Verhaak
SJ 1993), diperoleh penjelasan tentang hakikat keindahan
menurut pemikiran Plato. Menurut Plato, keindahan dapat
diklasifikasikan dalam dua kategori dunia, yaitu dunia
39
idea dan dunia yang nyata. Yang pertama, keindahan yang
hakiki atau sempurna adalah keindahan yang ada di dunia
idea. Semua keindahan lain hanya ikut ambil bagian pada
yang indah dalam dunia idea. Artinya, keindahan yang
muncul hanyalah bersifat mimesis atau tiruan (imitasi)
dari keindahan yang adan di dunia idea. Selanjutnya,
keindahan kategori kedua, yakni keindahan dunia nyata
dinyatakan bahwa yang indah dan sumber segala keindahan
adalah yang paling sederhana, umpanya bentuk, warna, atau
nada yang sederhana. Yang dimaksud dengan sederhana
adalah bentuk dan ukuran yang tidak dapat diberi batasan
lebih lanjut berdasarkan sesuatu yang lebih sederhana
lagi. Bagi Plato, kesederhanaan dilihatnya sebagai ciri
khas keindahan, baik dalam alam maupun dalam seni.
Keindahan kategori pertama dilepaskan dari pengalaman
akan yang jasmani (karena dunia idea adalah dunia
abstrak) sedangkan keindahan kategori kedua merupakan
keindahan taraf kedua. Keindahan taraf kedua ini tidak
pengalaman estetis dan keindahan sehari-hari, tetapi
unsur inderawi dijabarkan sesedikit mungkin. Singkatnya
Plato amat menghargaia dan menekankan pengetahuan murni
(episteme) yang mengungguli segala pengetahuan semu (doxa),
dalam bidang keindahan pun Plato amat menekankan bahwa
yang berarti adalah idea (eidos), sedangkan yang lain dari
idea itu hanyalah berhala (eidola atau idols) saja.
Dalam kaitan dengan karya seni, Plato menjelaskan
penilaianya ada dua unsur, yaitu unsur teoretis dan unsur
praktis. Unsur teoretis menyatakan bahwa segala kenyataan
40
yang ada di dunia ini merupakan tiruan (mimesis) dari
yang asli yang terdapat di dunia idea dan jauh lebih
unggul dari pada kenyataan di dunia nyata ini. Karya seni
merupakan tiruan dari (mimesis memesos) Oleh karena itu
Plato menilai rendah karya seni. Karya seni adalah tiruan
yang jauh dari kebenaran sejati dan menjauhkan warga
negara terutama para remaja dari tugasnya membangun
negara. Seniman dianggap baik dalam negara jika mereka
menyajikan apa yang benar, baik, sopan dan adil, dan ikut
mendidik rakyat.
2.1.2 Aristoteles
Dalam tulisan Surisno S.J. dan Verhaak S.J (1993)
dikemukakan pokok-pokok penting tentang pemikiran
Aristoteles dalam tautan dengan hakikat keindahan dan
karya seni. Pokok-pokok penting pemikiran tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut.
Pandangan Aristoteles tentang keindahan agak dekat
dengan pandangan kedua dari Plato, yaitu bahwa keindahan
menyangkut keseimbangan dan keteraturan ukuran material.
Pandangan ini berlaku untuk benda-benda alam atauapun
untuk karya seni buatan manusia.
Karya seni yang dibicarakan Aristoteles terutama
karya sastra dan drama. Ia membicarakab drama terutama
dalam bentuk tragedi seperti dipentaskan dalam peran-
peran diiringi dengan musik dan tarian, yakni tragedi
klasik dari masa hidup Aristoteles sendiri. Kalaupun ada
catatan tentang seni rupa itu pun sedikit dan kalah
41
menonjol bila dibandingkan dengan dengan pandangannya
tentang tragedi.
Titik pangkal pandangan Aristoteles adalah bahwa
karya seni harus dinilai sebagai tiruan, yakni tiruan
dunia alamiah dan dunia manusia. Ia tidak sependapat
dengan penilaian negatif Plato atas karya seni dengan
dasar penolakannya terhadap teori idea. Tiruan di sini
dimaksudkan tidak sekadar tiruan belaka. Maksud ini sudah
jelas karena minat Aristoteles pertama-tama bukan seni
rupa melainkan justru seni drama dan musik.
Menurut Aristoteles, karya seni seharusnya memiliki
keunggulan falsafi, yakni bersifat universal. Kendati
partikular, peristiwa dan peran yang dipentaskan harus
melambangkan an mengandung unsur-unsur universal dalam
kepartikularannya itu, yaitu unsur yang khas manusiawi
yang seolah-olah berlaku pada segala masa dan dan segala
tempat. Dengan demikian, karya seni diharapkan menjadi
simbol yang maknanya harus ditemukan dan dikenali oleh
penikmat berdasarkan pengalamannya sendiri baik dalam
posisi sebagai pemain ataupun sebagai penonton.
Pokok pemikiran penting dari Aristoteles yang perlu
mendapat perhatian adalah pandangannya tentang teori
katharsis yang artinya pemurnian (dari kata kathoros artinya
murni atau bersih). Menurutnya, katarsis adalah puncak
dan tujuan karya drama dalam bentuk tragedi. Segala
peristiwa, pertemuan, wawancara, permenungan,
keberhasilan, kegagalan, dan kekecewaan harus disusun dan
dipentaskan sedemikian rupa sehingga pada suatu saat
42
secara serentak semuanya tampak logis tetapi juga seolah-
olah tak terduga. Pada saat itulah katharsis terjadi secara
tiba-tiba, yakni seakan-akan segala masalah dan kejadian
yang muncul tertimbun dalam pengalaman peran-peran utama
dan dalam diri penonton tiba-tiba pecah atau mencair, tak
jarang ini terjadi secara mengharukan.
Pandangan tersebut lama mempengaruhi filsafat karya
seni, bahkan teori drama. Katharsis diharapkan terjadi
dalam diri penonton dan kemudian dibawa pulang sebagai
pemahaman yang lebih mendalam tentang manusia, sebagai
pembebasan batin dari segala pengalaman penderitaan.
Dengan demikian, katarsis memiliki makna sebagai
pencerahan atau terapeutis dari segi kejiwaan, bahkan di
dalamnya kerap kali ada unusur penyesalan dan perubahan
atau semacam pertobatan dalam kerangka religius.
2.2 Estetika Neo-Platonisme
Sesudah Aristatoles, tidak ada teori estetika yang
orisinal. Teori, kosep, atau pemikiran-pemikiran
filosofis mengenai keindahan yang berkembang merupakan
perkembangan dari teori, konsep, atau pemikiran
sebelemumnya. Pada tahap ini acuan pemikiran bersifat
Platonis telah dikembangkan sesuai dengan gagasan atau
pemikiran mereka masing-masing. Pemikiran-pemikiran yang
muncul kemudian dari beberapa tokoh tersebut lebih
dikenal atau dapat dikategorikan dalam kelompok Estetika
43
Neo-Platonisme. Beberapa tokoh tersebut antara lain
adalah kaum Stoa, Plotinus, S. Agustinus, dan St.Thomas
Aquinas. Di bawah ini dikemukakan secara singkat pokok-
pokok pemikiran mereka sebagai berikut. Dengan mengutip
tulisan Sutrisno S.J. dan Verhaak S.J. (1993) pokok-pokok
pemikiran dari para tokoh tersebut dapat dibahas sebagai
berikut.
2.2.1 Estetika dalam Pandangan Stoa dan Epikurisme
Pandangan aliran Stoa dan Epikurisme menyinggung
persoalan filsafat keindahan dan karya seni. Dalam
lingkungan Stoa, objek seni yang dibicarakan terutama,
seni sastra seperti syair dan sajak. Dalam pandangan
aliran ini yang dihargai dalam seni ialah keteraturan dan
simetri. Keteraturan dan simetri dimaknai dapat
menimbulkan ketenteraman jiwa (apathea) .
Berbeda dengan Stoa, aliran Epikurisme justru
membicarakan seni musik sebagai objek kajiannya. Musik
dan keindahan pada umumnya, tidak dihargai pada dirinya
secara formal. Penghargaan akan yang formal itu
menyangkut ukuran-ukuran yang seimbang atau kemurnian dan
kesederhanaan, yakni sesuai dengan kriteria Plato dan
Aristatoles, yang sebenarnya melanjutkan suatu pandangan
dasar dari sekolah Pythagoras. Yang dihargai para
penganut Epikurisme ialah isi keindahan yang bersifat
material, antara lain demi pendidikan. Dengan begitu,
mereka berdiri lebih dekat dengan Poietike filsafat maupun
44
psikologi. Selain itu, sikap mereka dipengaruhi oleh
penghargaan akan kenikmatan material.
2.2.2 Plotinos
Plotinos dikenal dengan filsafatnya tentang
pengaliran (emanasi) semua hal dari Yang Esa dan kembali
semua itu kepada Yang Esa lagi. Padangannya tentang
keindahan berangkat dari kenyataan duniawi yang kita
saksikan dan yang kita alami sehari-hari. Dalam upayanya
untuk mengetahui dari manakah asal semua itu—termasuk
diri manusia sendiri—manusia menempuh jalan kembali
tersebut. Dalam menghadapi kenyataan tersebut dan dalam
perjalanan kembali ke sumbernya, manusia mengalami
sesuatu yang disebut indah. Keindahan itu ia temukan baik
dalam yang terlihat maupun terdengar, bahkan juga dalam
watak dan tingkah laku manusia.
Setelah mengalami keindahan, manusia mulai
merefleksikan pengalaman tersebut. Plotinos menolak
pandangan Stoa tentang simetri dan menganggapnya tidak
perlu serta tidak memadai. Yang membuat sesuatu indah
bukan warna, nada, bentuk, yang muni homogen. Sebaliknya,
pengalaman akan keindahan justru terbentuk kalau ada
persatuan anatara pelbagai bagian yang berbeda satu sama
lain. Persatuan semacam itu hanya bisa terjadi jika ada
heteroginitas dan bukan homogenitas. Misalnya, sebuah
rumah atau perahu kita anggap indah karena kesatuan
rancangan bentuknya. Semakin sesuatu mendekati Yang
45
Esa`sebagai sumber dan tujuan segala-galanya dan ikut
ambil bagian di dalamnya, semakin indahlah sesuatu itu.
Dalam perkembangan dunia dan pengalaman manusia
kembali ke tujuannya, keindahan sekali-kali sirna.
Pengalaman estetis ini menenteramkan dan akrab dan
mengikat, memikat, dan mengambil dia kepadaNya.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Plotinos
mendekatkan pengalaman estetis dengan pengalaman
religius, bahkan puncak perkembangan estetis itu sendiri
adalah pengalaman religius yang disebut dengan
pengalaman mistik. Sesuai dengan titik awal filsafat
Plotinos (emanasi) titik akhir pun bukan karunia khusus,
namun hanya merupakan penyelesaian dari awal itu.
Meskipun begitu, tidak banyak insan mengendalikan diri
dalam latihan.
Meskipun dipengaruhi oleh Plato, filsafat keindahan
Plotinos amat berbeda. Seorang pelukis, misalnya, mula-
mula meniru keindahan alam. Ini tidak berarti bahwa ia
melengkapi keindahan alam, tetapi dalam interaksi seniman
dengan alam di sekitarnya dan dalam terjadinya karya seni
melalui tangannya, semuanya itu—termasuk senimannya
sendiri—semakin menuju kembali pada keindahan asasi,
sambil mengatasi dan melewati dirinya sendiri, sampai tak
teraba dan teralami secara inderawi lagi.
2.2.3 Agustinus
Filsafat Agustinus cukup dipengaruhi Neoplatonisme.
Catatan-catatannya mengenai keindahan agak tersebar dalam
46
banyak karyanya, seringkali sesuai dengan pandangan-
pandangan mereka yang mengemukakan keselarasan,
keseimbangan, keteraturan, dan lain-lain sebagai ciri-
ciri khas keindahan. Di antara semua faham itu
kesatuanlah yang dikemukakan Agustinus sebagai sumber
atau dasar keindahan.
Yang lebih khas bagi Agustinus ialah bahwa menurut
dia pengamatan mengenai keindahan mengandaikan dan memuat
suatu penilaian. Artinya apabila kita menilai suatu objek
itu indah, kita mengamati sebagai sesuatu yang sesuai
dengan apa yang seharusnya ada di dalamnya, yakni
keteraturan. Sebaliknya apabila kita menilai suatu objek
itu jelek, kita mengamatinya sebagai sesuatu yang
menyimpang dari apa yang seharusnya terdapat di dalamnya,
yaitu ketidakteraturannya. Agar kita mampu mengamati
kedua-keduanya, kita memerlukan idea tentang “keteraturan
ideal” yang hanya kita terima lewat Terang Ilahi.
Pandangan terakhir ini sesuai dengan paham “iluminisme”
Agustinus, yang menilai rendah kemampuan manusia.
Keteraturan ideal betul-betul ada dalam apa yang
diamati manusia. Yang hadir dalam objek yang indah itu,
dan yang dapat kita bedakan berkat Terang Ilahi itu ialah
“ splendor ordinis”, artinya gemilangnya keteraturan.
2.2.4 Thomas Aquinas
Pemikiran Thomas yang paling terkenal ialah
keindahan berkaitan dengan pengetahuan; kita menyebut
sesuatu itu indah jika sesuatu itu menyenangkan mata
47
pengamat. Di samping tekanan pada pengetahuan, yang
paling mencolok ialah peranan subjek dalam keindahan.
Menurut Thomas, keindahan harus mencakupi tiga
kualitas, yaitu : integritas atau kelengkapan, proporsi
atau keselarasan yang benar, dan kecemerlangan. Keindahan
terjadi jika pengarahan subjek muncul lewat kontemplasi
atau pengatahuan inderawi. Dengan begitu pada pokoknya
indra-indra terasosiasi dengan keindahan yang paling
berperanan bagi pengetahuan kita, misalnya penglihatan
dan pendengaran yang berperanan bagi akal; kita bicara
tentang penglihatan yang indah dan suara bagus; tetapi
kita tidak bicara tentang perasaan yang indah dan bau
yang bagus; kita tidak membicarakan keindahan dengan
mengacu pada tiga indera lainnya. Di sini tampak sekali
tekanan subjek dalam hal pengetahuan. Selain itu, dalam
teks ini Thomas menunjukkan “berakhirnya kegiatan” dan
tercapainya sesuatu yang diidam-idamkan. Lagi pula dalam
teks itu peranan indera, dengan membedakan penglihatan
dan pendengaran dari indera lainnya, tampak jelas.
Secara umum gagasan Thomas merupakan rangkuman segala
unsur filsafat keindahan yang sebelumnya dihargai. Dengan
mengajukan peranan dan rasa subjek dalam proses
terjadinya keindahan, Thomas mengemukakan sesuatu yang
baru. Peranan subjek sebenarnya sudah diangkat juga dalam
teori Aristoteles tentang drama. Aristoteles, sama
seperti Thomas, menggarisbawahi betapa pentingnya
pengetahuan dan pengalaman yang terjadi dalam diri
manusia.
48
3. Tugas
Diskusikan materi pokok bahasan tersebut sesuai
dengan kelompok Saudara kemudian buatlah laporan hasil
diskusi dalam bentuk resume yang singkat dan padat.
49
POKOK BAHASAN IV (PERTEMUAN KE-7&8)ESTETIKA KRITISISME (KANTIANISME)
1. Tujuan Perkuliahan
Mahasiswa dapat menjelaskan dan/atau
membandingkan konsep-konsep estetika kritisisme
(Kantianisme) yang meliputi konsep estetika sebelum Kant,
pada ma- sa Kant, dan sesudah Kant.
2. Materi Perkuliahan
Ketika estetika beralih dari tahap Dogmatis ke tahap
Kritika, atau dari objektivisme ke relativisme, atau
dengan lebih tepat ke arah subjektivisme, maka ia
mengalami perkembangan yang membawanya keluar dari
pembahasan ontologis dan masuk ke bidang pembahasan ilmu-
jiwa. Inilah yang dikatakan salah satu di antara fenomena
Revolusi Kopernik dalam filsafat.
Di bawah ini, dengan mengutip tulisan Anwar (1985)
secara singkat akan dikemukakan pemikiran-pemikiran
estetika pada masa sebelum, pada masa , dan sesudah masa
Kant sebagai berikut.
2.1. Estetika Sebelum Kant
Jika kita memandang kepada gerakan filsafat sebelum
Kant, maka dari jauh kita dapat dengan mudah menentukan
bahwa gerakan itu berkisar antara dua aliran besar, yaitu
50
: rasionalisme Leibnniz dan Baumgarten dan sensualisme
Burke. Sedang Kant berusaha memadukan kedua aliran
tersebut. Akan tetapi sebelum itu Descartes telah
mengubah haluan filsafat umum dari objektivisme ke arah
yang subjektif dan relatif sebagai tanda dibukanya babak
baru di dalam sejarah pemikiran murni.
Seorang tokoh, Montaigne berpendapat bahwa besar
sekali kemungkinan kita tidak akan mengetahui apa hakikat
keindahan yang sebenarnya. Kecantikan menurut orang negro
berada pada bibir yang tebal, menurut orang Peru (Indian)
ada pada telinga yang besar, dan menurut sebagian bangsa
lain ada pada gigi yang merah atau hitam. Demikianlah
pada zaman moden kita beralih dari objektivisme keindahan
ke skeptisisme yang ekstrim pada Montaigne, Descartes,
atau Pascal, dan terutama pada Voltaire di kemudian hari.
Ketika ditanyakan apakah keindahan itu, maka tak akan
ada orang yang bisa menjawabnya. Ia berubah menurut
tempat dan budaya bangsa. Kebenaran ada di seberang
gunung, kata Pascal. Untuk mencapai kebenaran kita tidak
boleh hanya berada di dalam batas budaya negeri sendiri,
seperi katak di dalam tempurung. Kebenaran bersifat
relatif.
Di tempat lain, estetika menurut Kant dapat dikatakan
sebagai terjemahan dengan secara subjektif terhadap
estetika Leibniz. Ini berarti bahwa Leibniz (1646-1716)
mempunyai arti yang penting di dalam sejarah teori
estetika karena ia telah menghidupkan kembali konsepsi
51
lama seperti simbolisme, vitalisme, dan teleologisme1 yang
bertentangan dengan Descartes. Namun demikian, ia juga
justru memperdalam dan menyempurnakan apa yang masih
tampak dangkal dan kurang dalam filsafat Descartes. Wujud
menurut Leibniz merupakan lapisan yang bertingkat-
tingkat, terdiri dari mahluk hidup yang membentuk
kesatuan yang sagat seragam. Alam ini tidak lain dari
gambaran tentang pengamatan kita, di mana ada satu, di
sana ada banyak; dan keindahan seragamnya alam pada
hakikatnya adalah pencerminan dari keseragaman yang
terdapat di dalam diri kita sendiri.
Orang yang sangat besar pengaruhnya terhadap sejarah
estetika adalah Baumgarten yang hidup sesudah Leibniz.
Baumgarten (1714-1762) memperkenalkan kepada dunia nama
“Aesthetika” untuk pengkajian khusus yang menyangkut
teori tentang keindahan. Istilah ini akhirnya dap
menjawab bahwa tujuan hidup at diterima sebagai nama dari
setiap filsafat yang membahas tentang keindahan secara
keseluruhan. Selain penemuan nama atau istilah itu,
Baumgarten tidak banyak memberikan pikiran yang baru
mengenai teori keindahan. Meskipun Kant banyak mengambil
istilah-istilah teknis dari Baumgarten, namun justru dia
banyak mengembangkan pikiran-pikiran baru. Karena
1 Istilah ini merupakan persoalan etika sebagaimana pernah dijelaskanoleh Aristoteles sebagai berikut. Apa sebenarnya tujuan hidup manusiayang paling ultimate?. Aristoteles menjawab bahwa tujuan hidup manusiayang paling akhir tidak lain adalah kebahagiaan. Karena pola pikirnyayang berpijak pada tujuan akhir, pemikiran Aristoteles tentang etikaini disebut teleologisme. Dalam pikiran Arsitoteles, kebahagiaan dapatdicapai ketika manusia mampu mencapai phronesis, yaitu sebuah tahapanketika seseorang itu mampu menggabungkan keutamaan pikiran (theoria)dan keutamaan tindakan (praxis).
52
pengkajian itu belum mempunyai nama khusus sebelum
Baumgarten menemukan istilah tadi, maka Baumgarten di
kemudian hari diberi gelar bapak ilmu estetika.
Beberapa karya lain menyusul setelah dierbitkannya
“Aesthetika” karya Baumgarten pada tahun 1750. karya-
karya itu berasal dari penulis-penulis Inggris yang
bersifat empirisis, di antaranya “Analysis of Beauty” karya
Hogarth (1753), dan “ Essay on the Sublime and Beautiful” karya
Burke (1756). Analisis keindahan menurut Hogarth erat
sekali hubungannya dengan seni bangunan (formative art),
seperti seni ukir, patung, dan arsitektur. Ia
mengemukakan prinsip abstrak tentang kesatuan dalam aneka
(unity in variety) sebagai tingkat yang tertinggi dari
keindahan.
Hogarth pada praktek artistiknya berusaha mencari
keistimewaan di belakang batas kejelekan. Tema yang
dikemukakan oleh Burke adalah sederhana. Ia mengemukakan
bahwa selera tidaklah dapat dijadikan hakim keindahan.
Cantik berasal dari tabiat atau instink kemasyarakatan
yang ada pada manusia, sedang sublimisme (agung) berasal
dari instink pemeliharaan diri. Yang membentuk kecantikan
ialah “rasa kesenangan positif yang menimbulkan cinta
diiringi lepasnya ketegangan urat saraf. Sedangkan agung
ialah sebaliknya, erat hubungannya dengan ketegangan urat
saraf. Kalau indah berasal dari idea tentang kesenangan
yang bertalian dengan tabiat kemasyarakatn manusia, maka
agung berasal dari idea-idea mengenai sakit dan bahaya
yang menimbulkan emosi-emosi dahsyat, seperti kekosongan,
53
kekuatan besar, diam, gelap , dan seterusnya. Dengan
singkat dapat dikatakan bahwa siang itu indah, malam
adalah sublim, perempuan bersifat cantik, dan lelaki
bersifat sublim.
Lord Kaimes sependapat dengan Burke dengan
mengemukakan suatu titik tolak baru bahwa pengalaman
mengenai suatu emosi walaupun sangat pedih seperti emosi
takut atau kesengsaraan simpatis adalah menyenangkan.
Seperti yang dikatakan Lord Kaimes, emosi menyedihkan
adalah menyenangkan bila direnungkan. Perang, bencana
alam adalah menyedihkan; tetapi kita suka mendengar
beritanya dan senang melihat gambaran berkecamuknya, di
dalam panggung sandiwara dan surat-surat kabar. Kejadian
yang paling dahsyat dan ngeri justru yang paling
mengesankan dan menggembirakan.
Di sini kita melihat antitesa aliran Platonisme,
karena yang penting bukan keindahan “an-sich” tetapi selera
manusia. Di sini benih-benih romantisme mulai disebarkan,
dan pahlawan revolusi Kopernik di dalam filsafat, yaitu
Kant, memperoleh landasan kuat bagi kritiknya.
2.2 Estetika Kant
Orang-orang sebelum Kant, terutama Leibniz,
mengemukakan bahwa keindahan itu terdapat dalam
keseragaman atau terwujudnya logika di dalam inderawi.
Kemudian mereka membuang “teleologisme objektif”,
menonjolkan pentingnya arti forma atau konsepsi mengenai
fenomena dan menganggap selera (geschmack) sebagai fungsi
54
persepsi dan bukan fungsi akal. Mereka mengemukakan
konsepsi subjektif tentang keindahan. Pendapat yang
berserakan mengenai segi kejiwaan dari estetika ini
akhirnya tersusun rapi di dalam filsafat Kant.
Ada pertentangan sebelum Kant mengenai idea tentang
adanya “selera subjektif” sebagai bahan perasaan di satu
pihak, yang terdiri dari segala apa yang terdapat di
dalam daya rasa (sinnlichkeit) seperti ketiadapastian,
kekhususan, dan penyusunan baru; di pihak lain mengenai
idea tentang adanya “selera lain yang bersifat universal
dan pasti. Idea mengenai selera perasaan ini berkesudahan
pada dua kutub ini kadang-kadang dikembalikan kepada
kesenangan dan kadang kepada penilaian, sehingga akhirnya
selera itu sendiri tidak mempunyai arti apa-apa.
Filsafat Kant memiliki ciri khusus, yaitu
ditemukannya “kritik ketiga” yang merupakan teori baru
mengenai selera. Selera tidak lagi merupakan sekadar
penilaian tentang perasaan “gefuehlsurtheit” tapi juga
merupakan perasaan mengenai penilaian “urtheilsgefuehl”.
Dengan kata lain ia bersifat universal, pasti, berdasar
emosi.
Dalam bukunya “Kritik de Urtheilskraf” Kant mengemukakan
beberapa pokok persoalan, yang secara umum mengemukakan
dua aspek penting : pertama, tentang analisis daya
penilaian estetis dan dialektika daya penilaian, kedua
daya penilaian teleologis atau penyelidikan objecktive
purposiveness di dalam alam. Analisis putusan terdiri dua
hal, ikut. yakni tentang analisis tentang cantik (beautiful)
55
dan analisis tentang agung (sublime). Hal pertama
dipaparkan dalam empat pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, penilaian terhadap selera perasaan dari segi
kualitas. Setelah menganalisis dengan teliti perasaan
puas yang menjadi ciri putusan yang diberikan oleh
selera, yaitu suatu perasaan yang tidak bertujuan apa
pun. Kant membandingkan antara bentuk-bentuk pemuasan
ini, yaitu pemuasan estetis terhadap selera, kelezatan
dan kebaikan. Setelah membandingkan bentuk-bentuk ini, ia
menyimpulkan definisi kecantikan berdasarkan pertimbangan
pertama, bahwa “selera ialah kemampuan untuk memberikan
putusan senang atau tidak senang atas suatu objek atau
perbuatan tertentu dengan syarat bahwa putusan itu bebas
dari tujuan. Objek dari rasa puas ini di sebut cantik”.
Pertimbangan kedua mengenai keputusan selera dari
segi kualitas. Ketika Kant memandang selera dari segai
kategori kedua dengan mengikuti perencanaan tadi ia
mengemukakan bahwa kecantikan berwujud tanpa konsep,
sebagai objek dari pemuasan hajat yang mendesak, dan
bahwa selera mengandung rasa senang dan putusan yang
tidak menegaskan mana yang lebih dahulu di antara dua hal
tadi. Definisi lain tentang keindahan berdasarkankan
pertimbangan yang kedua mengatakan bahwa keindahan ialah
yang mendatangkan kesenangan dengan menyeluruh dan tidak
berkonsepsi.
Pertimbangan ketiga mengenai putusan selera dari segi
hubungan. Putusan selera bersandar pada prinsip-prinsip
dasar yang bebas dari “daya tarik” dan “emosi” dan juga
56
bebas`dari konsep “kesempurnaan”. Pertimbangan ketiga
tentang keindahan ialah bahwa konsepi tentang adanya
tujuan pada objek tapi tujuan itu tidak berwujud dengan
tegas.
Pertimbangan keempat mengenai putusan selera menurut
arahnya (menurut kesenangan yang timbul dari objek
tertentu), yaitu bahwa keharusan kesenangan umum yang
terlukis dalam putusan selera ialah keharusan subjektif,
akan tetapi terwujud dalam bentuk objektif ketika
dijangkau oleh indera bersama. Definisi terakhir
keindahan adalah apa yang diakui sebagi objek pemuasan
darurat yang tidak berkonsep.
Kant selanjutnya menerangkan perbedaan antara cantik
dan agung. Ia sependapat dengan Burke bahwa agama adalah
tidak termasuk bagian dari cantik. Kedua-duanya termasuk
dalam penilaian estetis; kecantikan termasuk putusan
selera. Sedangkan keagungan memiliki akar di dalam emosi
kecedasan (geistesgefuehl) . Keindahan selamanya bertalian
dengan bentuk (formal), tapi keagungan adakalanya
bergantung pada forma dan adakalanya bergantung pada non-
forma (uniform) yang menyangkut tidak adanya forma dan
cacat. Kant membedakan antara dua bentuk keagungan ;
bentuk matematis yang statis dan bentuk dinamis.
Kita perlu memahami perasaan estetis menurut Kant
berada pada keselarasan pikiran dengan imajinasi dengan
dasar bebasnya kerja imajinasi. Di samping itu geni atau
semangat (geist) kreatif yang menghasilkan objek-objek seni
tersembunyi pula di dalam adonan antara pikiran dan
57
imajinasi. Teori keselarasan subjektif ini menafsirkan
segala idea estetis Kant.
Keselarasan inilah yang melahirkan adanya tujuan yang
tidak bertujuan selain mewujudkan rasa keindahan. Seni
menurut Kant ialah penciptaan sadar terhadap objek-objek
yang menyebabkan orang yang mengenangkannya merasa seolah
objek-objek itu dicipta seperti alam tanpa tujuan. Ciri
utama seni berada pada geni yang tidak berjalan seperti
pada ilmu pengetahuan. Klasifikasi seni adalah
berdasarkan pembagian geni kemanusiaan, menjadi seni
bahasa (retorika dan puisi) seni rupa, seni suara (musik)
atau lebih tepat seni “permainan perasaan”, dan akhirnya
seni campuran antara pelbagai seni di atas dengan cara
berbeda-beda seperti drama, menyanyi, opera, atau tari-
tarian.
Secara ringkas, apa yang dikemukakan di atas baru
merupakan suatu bagian kecil dari bentangan luas
pemikiran Kant, tapi telah meletakkan dasar-dasar penting
bagi ilmu tentang keindahan. Tampaknya Kant telah
berhasil merombak sendi-sendi filsafat seni dengan berani
dan tenang. Menurut Bousanquet, belum pernah ada orang
sebelumnya dapat mencapai ketelitian demikian dalam
membedakan istilah-istilah estetis, dan dapat dikatakan
dialah orang pertama yang menerapkan logika dalam
estetika dan menganalisis seni dengan cara yang sangat
ilmiah.
2.3 Estetika Sesudah Kant
58
Pengikut Kant banyak dan hampir semua sepakat bahwa
buku “ Kritik der Urtheiskraft” adalah karya terbaik di antara
ketiga karya kritiknya. Di antara mereka yag menonjol
adalah Schiller, Schelling, Hegel, dan Schoupenhouer.
Berikut dikemukakan secara singkat pemikiran mereka.
Menurut Schiller seni adalah kegiatan dan permainan
dan letak keindahan ialah pada pertemuan antara ruh dan
alam, atau antara materi dan forma, karena keindahan
ialah hidup, atau juga gambar yang hidup rahasia seniman
besar karena ia dapat menyembunyikan materi dengan
perantaraan forma. Menurutnya, bidang estetika sajalah
bidang yang luas dan mencakupi bidang-bidang yang lain.
Ia, berbeda dari segala bentuk kegiatan kemanusiaan
lainnya, tidak memberikan arah tertentu dan pengalaman
estetis sajalah yang membawa kita kepada alam yang tak
terbatas.
Schelling, mengusulkan mulai dengan menyelidiki
filsafat alam dan kritik putusan estetis teleologis
sebagai kelanjutan dari penyelidikan putusan estetis.
Yang terpenting ialah tercapainya titik pertemuan antara
filsafat praktis dan kesatuan esensial antara kedua-
duanya itu dalam ruh. Benarkah di dalam lubuk jiwa
terdapat kegiatan yang mengandung kesadaran dan non-
kesadaran kegiatan tak sadar seperti ruh?. Schelling
menjawab ya, dan menyatakan bahwa hal itu terdapat di
dalam kegiatan estetis yang dianggapnya sebagai pembuka
kunci filsafat.
59
Ada dua jalan yang dapat dipakai untuk keluar dari
kenyataan sehari-hari, jalan puisi, yaitu pelarian ke
dunia idea dan jalan filsafat yaitu penghancuran dunia
kenyataan. Schelling menegaskan pula bahwa seni adalah
bukan sekadar alat filsafat, tapi sumber yang
sesungguhnya. Filsafat dilahirkan dari syair, maka akan
tiba satu saat di mana ia akan kembali ke induk yang
pernah ia lepaskan.
Menurut Hegel, keindahan adalah idea yang terwujud
dalam indera. Materi seni tak lain adalah idea, sedang
formanya terdapat dalam gambaran inderawi dan khayalinya.
Agar dua hal ini tergabung dalam seni, materi itu harus
sesuai untuk berubah menjadi objek seni , karena Hegel
selalu berusaha untuk menyelami dengan akal batin segala
objek kenyataan.
Pikiran seniman tidaklah tetap bersifat abstrak.
Taraf kehidupan rohani tertinggi ialah apa yang disebut
oleh Hegel dengan “ruh mutlak”, dan apabila ruh mencapai
tingkat ini, maka ia akan berubah menjadi kesadaran yang
memahami idealisme objek kenyataan, idealisasi segala
sesuatu dengan ruh mutlak tadi. Di sinilah kesadaran
berpadu menjadi satu dengan perantara subjektivitas
kesadaran dan tercerminlah di dalamnya ruh mutlak yang
merata di segala hal yang terdapat di dalam kehidupan
yang tak terbatas.
Tiga tahap perjalanan jiwa kemanusiaan dalam mencari
ruh mutlak ialah seni, agama, dan filsafat. Dikatakan
oleh Hegel bahwa bila seni mencapai tujuan terakhirnya,
60
maka ia akan ikut serta bersama-sama agama dan filsafat
dalam menafsirkan dan menjelaskan unsur ketuhanan yang
sangat mendalam dan luas sekali. Akan tetapi ia akan
mencapai kesempurnaannya di dalam ilmu pengetahuan.
Setelah menerangkan bagaimana seni menampakkan
dirinya pada manusia, Hegel mencoba mengemukakan tahap-
tahap perjalanan seni yang terpenting dan periode-periode
sejarah di mana ia pernah berkembang pesat. Menurut Hegel
seni adalah hubungan yang terdapat antara idea dan
gambaran indera. Ia menyebutnya simbolis dalam tahap
permualaan, karena hubungan itu tidak mencapai idealisme.
Kemudian tahap klasik ketika seni merupakan realisasi
dari idea, telah membentuk kesatuan inderawi yang hidup
antara dua pihak tadi dan kesatuan ini terealisasi dalam
kesatuan yang terbatas. Akhirnya tahap romantik, yaitu
ketika hubungan dialektik yang terdapat antara dua tahap
tadi mencapai tingkat di mana idea yang tak terbatas
tidak terealisasi kecuali dalam infinitasnya intuisi
didalam gerak yang selalu menyerang dan membubarkan
segala bentuk inderawi. Tiga tahap perkembangan seni ini
sesuai dengan tiga periode sejarah seni, periode
ketimuran, periode Yunani, dan periode modern yang di
dalamnya terdapat bentuk-bentuk peradaban tertentu. Hegel
menyusun pelbagai macam berdasar dialektika ketiga tahap;
seni pahat mewakili tahap klasik, dan seni lukis, musik,
serta puisi mewakili tahap romantik. Akan tetapi, puisi
atau syair dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama
mempunyai bentuk seni rupa atau lukis (seperti puisi yang
61
bersanjak) kedua, mempunyai bentuk sugesti, dan musik
seperti syair yang dilagukan. Semua bentuk yang berbeda-
beda ini berpadu menjadi satu dalam drama.
Hegel, selanjutnya, telah menegaskan bentuk seni
yang rasional atau teoretis, akan tetapi ia telah
mendapatkan kesulitan besar yang dielakkan oleh orang-
orang sebelumnya. Filsafat Hegel menghadapi kesulitan
itu, dan ia berusaha mengatasi dengan memadukan seni,
agama, dan filsafat. Seni dan agama memiliki fungsi yang
berlainan dari filsafat, dan agaknya berada di bawah
tingkatan filsafat, akan tetapi tidak dapat dibuang jauh
dari usaha untuk mengenal ruh (geist) . Mana yang lebih
besar nilainya antara filsafat di satu pihak dan seni
serta agama di pihak lain. Menurut Croce, sistem filsafat
Hegel pada hakikatnya adalah bertentangan dengan seni
sebagaimana juga karena terlalu rasional bertentangan
dengan agama. Croce menambahkan di sini kita akan
menjumpai simpulan yang ganjil dan tidak dapat diterima
dari seseorang yang berusaha menciptakan estetika dan
dianggap penggemar seni amatir seperti Hegel. Hal itu
disebabkan ia menempuh jalan buruk seperti yang ditempuh
oleh Plato dan kesalahan-kesalahan lain yang pernah
dialami Plato. Plato dahulu terlalu mengikuti akal dan
membuang seni imitasi dan syair-syair Homer karena tidak
dimengertinya, maka Hegel demikian pula terlalu tunduk
pada keharusan sistem filsafatnya sehingga ia
mengumumkan musnahnya seni.
62
Hegel mengemukakan bahwa kita telah memberikan kepada
seni kedudukan yang sangat tinggi, akan tetapi perlu
diingat bahwa seni baik materinya maupun dalam formanya
adalah bukan jalan mulia untuk mengembalikan kesadaran
ruh mengenai instinknya yang sesungguhnya. Seni karena
formanya maka terkurung di dalam materi yang sempit,
karya seni hanya menyodorkan kebenaran secara terbatas
dan sempit. Sedangkan jiwa dunia modern kita, khususnya
jiwa agama dan perkembangan akal kita agaknya melampaui
titik di mana seni dianggap merupakan alat untuk mencapai
Zat Yang Mutlak. Hasil seni dan karya seni belum
memuaskan hajat kita yang tertinggi. Selanjutnya Hegel
menutup pembicaraannya dengan mengemukakan bahwa pikiran
dan renungan mempunyai peranan besar di dalam seni.
Tokoh berikutnya yang akan dibicarakan dalam kaiatan
dengan estetika sesudah Kant dan yang merupakan penutup
dari periode Kritika adalah Schopenhouer. Schopenhouer
selalu menyebut-nyebut filasafat Kant sebagai sumber dari
filsafatnya dan Plato sebagai orang yang digemarinya.
Segala seni memiliki tempat tertentu di dalam idea yang
dibentangkan dalam bukunya “World as Will and Idea” .
Keindahan barang yang indah, menurut Schopenhouer,
memiliki dua segi, yaitu membebaskan kita dari kemauan,
dan dengan demikian dari seluruh potensi yang
menyebabkan kejahatan dan kesengsaraan kita terbesar,
kemauan untuk hidup di satu segi, dan di segi lain
mengisi pikiran kita dengan suatu “gagasan”, suatu
objektivasi kemauan hingga mencapai suatu tingkat di mana
63
kita melihat objek khusus dari pengamatan estetis kita.
Sebagaimana segala sesuatu pada taraf tertentu merupakan
suatu objektivikasi dari kemauan, maka segala sesuatu
adalah karakteristik dan dalam taraf tertentu indah.
Tidaklah ada perbedaan yang lebih jauh antara seni dan
alam selain bahwa di dalam seni, seniman meminjamkan
matanya kepada kita untuk melihat; karena geninya dapat
memahami bahasa alam yang diucapkan setengah-tengah,
sehingga ia dapat melahirkan apa yang diinginkan oleh
alam tapi belum berhasil.
Menurut Schopenhouer, seni yang tertnggi ialah
musik. Alam adalah musik yang terjelma di dalam barang-
barang. Musik adalah seni yang terselinap di dalam dunia
ini. Ia merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan tapi
tidak dapat dinyatakan; ia mirip dengan sorga yang telah
kita kenal tapi tak penah diketahui, sangat masuk akal
tapi tidak dapat sama sekali diterangkan.
Arsitektur, menurut Schopenhouer, adalah seni yang
paling rendah, setingkat dengan seni mencangkul kebun
karena sangat dekat dengan hajat jasmani manusia. Seni
lukis dan seni rupa datang berikutnya, kemudian lebih
tinggi dari itu seni sastra (puisi) dan menyusul seni
drama, tragedia, dan komedia. Tragedia dapat membawa kita
untuk mengikuti perasaan “manusia mutlak”. Hal itu
terjadi dengan perantaraan rasa belas kasihan. Belas
kasihan adalah indera yang keenam, karena manusia tidak
akan dapat mengatahui barang-barang kecuali bila ia bisa
menaruh simpati kepada mereka dan menaruh rasa belas
64
kasihan kepada kemanusiaan. Rasa impati adalah tujuan
terakhir dari semua filsafat.
Menurut Schopenhauer seni adalah jalan yang terbagus
untuk mencapai pengetahuan murni tentang dunia, karena
seni adalah “mekarnya segala yang ada”. Kalau kemauan itu
memilukan atau kemauan untuk hidup itu menyedihkan maka
seni adalah hiburan yang terbaik, dan merupakan tempat
istirahat yang terjamin. Di satu pihak, seni
membangkitkan kekuatan dan menghilangkan rasa lelah tapi
di pihak lain ia juga mendatangkan semangat keindahan
yang menghapuskan krisis-krisis dalam hidup.
Schopenhauer memiliki pandangan mengenai kecantikan
yang berlainan dengan kita. Kalau Kant menganggap lelaki
bersifat agung dan wanita bersifat cantik, maka
Scopenhauer memandang kedua-duanya adalah cantik. Akan
tetapi, lelaki justru lebih cantik daripada wanita.
Kelebihan pada jenis lelaki ini tidak terbatas pada
manusia, tapi bahkan dibuktikan oleh jenis binatang-
binatang. Ayam jantan lebih cantik dari ayam betina;
bulunya, potongan tubuhnya, geraknya dan sebagainya. Kuda
jantan lebih cantik dari kuda betina, burung, ikan, dan
binatang-binatang lainnya yang berjenis kelamin, semua
yang lelaki lebih cantik dari betina.
Selanjunya dikemukakan bahwa seni tidaklah merupakan
sorga yang penghabisan karena kesenangan yang terdalam
menghendaki ketenangan mutlak, dan keindahan yang mutlak
adalah mirip dengan kemusnahan. Di sini estetika berubah
menjadi mistika. Orang yang mencapai pemusnahan
65
kemauanlah yang dapat tenggelam di dalam kemusnahan
dirinya, dan inilah nirvana. Terlihat di sini
Schopenhauer terpengaruh oleh filsafat India.
Meskipun mempunyai pengaruh besar di belakang hari,
namun hasil pemikiran Schopenhauer lebih mirip dengan
karya pujangga daripada karya seorang ahli filsafat.
Pemikiran Scopenhauer ini agaknya menjadi pengakhir
warisan sumbangan pikiran para pengikut Kant. Jaman baru
dewasa ini adalah kelanjutan dari jaman filsafat kritika.
3. Tugas
Diskusikan materi pokok bahasan tersebut sesuai
dengan kelompok Saudara kemudian buatlah laporan hasil
diskusi tersebut dalam resume yang singkat dan padat.
POKOK BAHASAN V (PERTEMUAN KE-9-11)ESTETIKA POSITIVISME DAN ROMANTISME
1.Tujuan Perkuliahan
66
Mahasiswa dapat menjelaskan dan/atau membandingkan
konsep-konsep estetika positivisme dan romantisme.
2. Materi Perkuliahan
2.1 Estetika Positivisme (Abad ke-19)
Sejak tahun 1850-an, filsafat seni atau estetika
berubah dari dasar metafisik idealistik ke arah dasar
metafisik positif dan evolusi. Pertengahan akhir abad ke-
19 di Eropa tampaknya merupakan masa yang kacau, campur
aduk antara gagasan materialistik dan idealistik, teori
mekanikal, dan teori teologi, skeptisme, dan lain-lain.
Dengan mengutip tulisan Sumarjo (2000) bahasan
perkembangan tentang pemikiran mengenai estetika pada
masa-masa ini yang diwarnai oleh padangan dari beberapa
tokoh dapat diuraikan sebagai berikut.
2.1.1 Herbert Spencer
Spencer mulai menerbitkan berbagai telaahnya mengenai
seni. Ia mulai membandingkan nilai kegunaan dengan nilai
seni. Sesuatu yang berguna menjadi sesuatu yang indah
ketika sesuatu itu sudah tak memerankan fungsi
kegunaannya lagi. Pendapat ini sedikit banyak dipengaruhi
oleh teori evolusi yang sedang populer waktu itu.
Persyaratan agar sesuatu itu dikatakan bernilai seni atau
indah adalah adanya simetri dan kesatuan, adanta sifat
ekonomi dalam gaya keindahan, adanya keagungan dan
kekuasaan atau kekuatan, adanya efek moral yang baik pada
penanggapnya.
67
Karya seni yang baik mampu membangkitkan energi,
kekuatan, dan emosi, dan emosi tingkat tinggi. Namun
demikian, jarang ada karya seni yang demikian itu,
karena hampir semua karya seni merupakan campuran antara
efek artistik dan anti artisitik. Jelas bahwa pendapat
Spencer mengenai seni berada antara sentimentalisme dan
moralisme.
2.1.2 Kaum Fisiologis
Pada masa ini, terdapat perkembangan pemikiran seni
yang menjurus kepada efek biologis pada manusia.Pelopor
jenis ini adalah Grant Allen yang menulis buku Estetika
Fisiologis (1877). Menurutnya, secara fisiologis kesenangan
estetik pada manusia yang ditimbulkan oleh karya seni
merupakan kumpulan aktivitas subjektif dalam diri manusia
yang tidak punya hubungan langsung dengan fungsi
vitalnya, tetapi hanya menyentuh terminal organ pikiran
sistem saraf otak manusia.
Para peneliti lain menyatakan bahwa kesenangan
estetik dapat mengakibatkan aktivitas organ fisik manusia
seperti pernafasan, peredaran darah, dan peregangan otot.
Kegilaan ilmu-ilmu alam dalam mencoba menembus makna seni
ini mengakibatkan laboratorium kimia, fisika, dan
fisiologi menjadi ajang percobaan untuk mempertanyakan
dan menjawab hal-hal spiritual seperti ini.
68
2.1.3 Hyppolyte Taine
Tokoh estetika fisiologis ini percaya adanya hukum
estetika. Hukum ini daidapat berdasarkan studi lingkungan
alam dan sosial sebagai sumber penciptaan karya seni.
Dari berbagai daerah eskisistensi seni tersebut akhirnya
akan didapat hukum umum estetika. Nyata bahwa pengaruh
berbagai ilmu pengetahuan alam amat besar dalam telaah
estetika.
Bagi Taine, seni itu imitasi (mimesis) yang mengarah
kepada penggambaran sifat karakteristik yang esensial
dari objeknya. Dalam arsitektur dan musik, mimesis tak
memerlukan objek nyata, namun tetap menyuguhkan karakter
esensial. Inti seni adalah menghadirkan esensi sesuatu,
tetapi ia menolak arti esensi segala sesuatu sebagai
hanya peristilahan teknis.
Ada dua cara untuk mencapai tingkat hidup tertinggi
pada manusia, yakni lewat ilmu pengetahuan dan lewat
seni. Cara ilmu pengetahuan adalah menemukan sebab dan
hukum dasar kenyataan (realitas), sedangkan cara seni
adalah menemukan sebab dan hukum, bukan dalam
peristilahan kering dan abstrak, melainkan dalam
pengalaman inderawi yang tepat; bukan hanya menyangkut
logika pemikiran, melainkan juga perasaan hati dan
penginderaan untuk semua orang. Di dalamnya termuat
sesuatu yang muskil dalam kesedarhanaan, sesuatu yang
tinggi dalam gaya yang populer, sesuatu yang tinggi dalam
gaya yang biasa, agar semua orang mampu menangkap dan
menghayatinya.
69
Bagi Taine, nilai seni itu juga bertingkat-tingkat,
seperti layaknya bagi para pengikut Hegel. Menurutnya ada
tiga tingkat nilai seni. Yang dipersoalkan pada tingkat
pertama adalah apakah sebuah karya seni memiliki bobot
karakter yang memadai. Apakah gagasan yang diajukannya
besar atau sepele, apakah tingkat afektifnya pada
penanggap tinggi atau rendah, apakah bobot moralnya besar
atau dangkal. Pada tingkat kedua, apakah sebuah karya
seni berhasil mencapai tingkat harmoni antara ide dan
bentuknya. Pada tingkat terakhir, Taine membuat solusi
dialektik dengan memberikan contoh sejarah seni. Pada
lukisan Italia kuno seperti karya Giotto, yang terjadi
adalah seni yang punya jiwa (spirit) namun tak punya
tubuh (bentuk). Ini merupakan tesis pertama. Pada anti-
tesis ia menunjukkan lukisan kaum Renaisans yang punya
tubuh dan bentuk tetapi kehilangan jiwa, sedang pada
karya Raphael ia menemukan adanya penyatuan tubuh dan
jiwa dalam seni sintesis.
2.1.4 Gustaf Theodor Fechner
Buku Fechner yang terkenal adalah Introduction to Aesthetic
(1876). Ia dikenal sebagai pakar estetika eksperimental.
Disebut demikian karena ia menolak konsep deterministik
terhadap objek esensi seni dan keindahan. Ia menyebut
estetika demikian itu sebagai estetika dari atas (von
oben). Ia sendiri menciptakan estetika dari bawah (von
unten) yang lebih mencari kejelasan, bukan sublimitas
seni.
70
Fechner bekerja secara induktif dengan melakukan
berbagai eksperimen estetik. Ia mengumpulkan data tentang
warna yang paling banyak disenangi responden, serta
alasan mereka menyenangi warna tersebut. Ia juga meminta
responden memilih dua bentuk atau dua warna, dan mengapa
mereka memilih itu. Hasil yang diperoleh kemudian
dianalisis. Temuannya ini masih diperdebatkan dalam
kajian estetika. Temuan eksperimentalnya meliputi antara
lain masalah hukum dan prinsip estetika seperti kesatuan
dalam keberagaman, kejelasan, asosiasi, kontras,
konsekuensi, konsiliasi, makna yang benar, prinsip
ekonomi, perubahan, pengukuran, dan masih banyak lagi
masalah lainnya.
Ketika ditanya apakah sebenarnya makna keindahan itu
dalam berbagai eksperimennya. Ia kembali kepada jawaban
spekulatif. Menurutnya ada tiga arti keindahan, yaitu :
pertama, dalam arti luas bahwa seni adalah segala yang
menyenangkan secara umum, kedua, dalam arti lebih sempit
bahwa keindahan memberikan kesenangan yang lebih tinggi,
tetapi masih bersifat inderawi, dan ketiga, dalam arti
paling sempit, keindahan sejati tidak hanya menyenangkan,
tetapi juga kesenangan yang sesungguhnya, yakni memiliki
nilai-nilai dalam kesenangan tersebut yang di dalamnya
terkait konsep keindahan dan konsep moral, kebaikan.
Adapun beberapa prinsip seni yang diajukan adalah
sebagai berikut. Pertama, seni selalu memilih ide
berharga dan menarik untuk direpresentasikan. Kedua, seni
harus mengekspresikan gagasannya dalam bentuk meterial
71
yang begitu rupa sehingga bentuk setara dengan isi.
Ketiga, dari berbagai bentuk kemungkinan bentuk
ekspresinya, harus dipilih bentuk seni yang paling
memberikan kesenangan tertinggi. Keempat, semua unsur
bentuknya secara rinci harus diperlakukan begitu rupa
sehingga memberikan efek kesenangan maksimal. Kelima,
tujuan seni adalah memberikan pencapaian kesenangan
tertinggi yang mengandung nilai-nilai.
2.1.5 Ernst Grosse
Seperti Fechner, Grosse juga bekerja secara induktif
untuk mencapai prinsip atau hukum keindahan. Hanya saja
data yang diambilnya bukan lewat eksperimen, melainkan
lewat data sejarah seni. Namun, banyak pertanyaan
estetika yang hanya bisa dijawab oleh Grosse dengan cara
pemikiran spekulatif, dan bukan induktif berdasarkan data
sejarah, dari yang primitif sampai dengan yang modern.
Pada akhirnya Grosse menyimpulkan bahwa seni adalah
suatu aktivitas yang hasilnya memiliki nilai emosi dengan
tujuan dirinya sendiri. Aktivitas estetik dan aktivitas
praktis bagi manusia selalu bertentangan. Jalan tengahnya
adalah aktivitas permainan, karena aktivitas praktis
selalu mengarah pada hasil di luar aktivitas`itu,
sedangkan aktivitas`estetik hasilnya ada dalam
aktivitas`itu sendiri. Hasil itu dalah kegembiraan atau
kesenangan dalam aktivitasnya.
Pada akhir telaahnya, Grosse menyimpulkan pula bahwa
di lingkungan masyarakat primitif jarang ada karya seni
72
yang bersifat praktis-pragmatis; seni hanya bersifat
sosial dan individual dalam masyarakat yang telah
beradab.
Begitulah estetika positivisme dan naturalisme akhir
abad ke-19 yang amat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu
pengetahuan alam, fisika, dan kimia.
2.2 Estetika Positivisme (Abad ke-20)
Memasuki abad ke-20, estetika mencoba menggunakan
pula psikologi untuk menemukan hakikat seni. Seperti
halnya pendekatan ilmu pengetahuan alam, pendekatan
psikologi pun kurang mendapat perhatian serius dari
pemikir seni. Mereka menamakan kegiatan ilmiah terhadap
etstetika semacam itu hanya sebagai hobi Namun abad ke-20
kembali disibukkan dengan pemikiran estetika yang
berbasis pada pikiran spekulatif kembali, yakni kembali
ke bidang filsafat, sebagian menguji kembali hasil para
pemikir seni lama, sebagian lagi mengemukakan teori baru.
Dalam pertengahan abad ke-20 muncul perkembangan baru
dalam kajian filsafat seni, yakni munculnya teori kritik
atau metakritik yang berdasarkan pemikiran falsafi.
Estetika dan filsafat seni dengan cepat benrkembang
melalui disiplin baru metakritik ini. Adapun pemikiran
tokoh-tokoh estetika abad ke-20 sesuai dengan apa yang
ditulis oleh Sumarjo (2000) dapat dikemukakan sebagai
berikut.
2.2.1 Edward Bullough
73
Pada awal abad ke-20, Bullough mengemukakan masalah
“jarak psikis” dalam seni. Gagasan ini berasal dari kaum
filsuf empiris Inggris abad ke-17 dan ke-18 yang kemudian
dikembangkan oleh Kant. Istilah yang amat terkenal untuk
itu adalah disinterested. Jarak psikis ini bertujuan
melihat dan menilai karya seni secara objektif. Dengan
demikian akan tercapai penikmatan seni yang objektif pula
tanpa adanya pengaruh kepentingan pribadi. Bullough
mencontohkan seseorang yang naik perahu menembus kabut.
Ia terpesona oleh indahnya kabut diterjang cahaya
matahari. Pesona itu membuatnya melupakan atau tak
menyadari bahaya yang mengancam dirinya akibat berperahu
menembus kabut tersebut. Dalam kasus ini, si tukang
perahu melakukan jarak psikisterhadap keindahan kabut di
tengah remang sinar matahari.
Begitu pula dalam menghadapi karya seni, hendaknya
orang melupakan segala kepentingan pribadi yang
menyangkut karya tersebut kecuali demi keindahan karya
seni itu sendiri. Dalam melihat potret seorang yang
dikenalnya dalam sebuah lukisan, misalnya presiden,
hendaknya si penanggap lukisan tersebut menyingkirkan
semua hal yang ia kenal tentang presiden tersebut. Boleh
jadi ia pengagum presiden yang dilukis itu, sehingga hal
yang ia ketahui tentangnya ikut terbawa dalam menikmati
lukisan tersebut. Cara memandang dan menilai lukisan
semacam itu sudah tidak objektif lagi, tak ada jarak
psikis lagi. Orang itu dapat mengagumi lukisan bukan
karena keindahan lukisan itu sendiri, tetapi karena
74
mengagumi tokoh yang diabadikan dalam lukisan. Begitu
pula apabila seseorang naik ke atas panggung ketika aktor
pujaannya terancam bahaya dalam sebuah lakon. Tindakan
demikian itu sama dengan kalau seorang penonton film
berteriak mengingatkan tokoh pujaannya sedang dalam
bahaya diintai musuhnya.
Kedua contoh di atas menunjukkan tak ada jarak psikis
atau jarak estetik antara karya seni dan penanggapnya.
Dalam peristiwa demikian, seorang pengikut Bullough,
Sheila Dawson, menamakannya sebagai under distancing atau di
bawah jarak psikis. Sebaliknya adalah over distancing, yakni
apabila seoarng penanggap seni terlalu peduli pada hal-
hal teknis seni sampai rincian detilnya, sehingga
keutuhan karya tersebut tak terhayati. Kedua peristiwa
tersebut mengakibatkan tidak terjadinya jarak psikis
dalam menanggapi dan menlai karya seni secara objektif.
Manfaat jarak psikis atau jarak estetik ini adalah
dapat ditemukannya karakteristik yang ada pada objek
estetik. Dari karakteristik tadi kita dapt lebih
mengarahkan perhatian perhatian, dan dengan demikian juga
memperoleh pengalaman estetik.
2.2.2 Jerome Stolnitz
Stolnitz menamakan persoalan disinterested ini dengan
istilah aesthetic awareness atau “perhatian tak acuh”, dalam
arti perhatian tetapi sekaligus juga tidak hadirnya
kepentingan pribadi pengamat. Pemikir lain, Elisio Vivas
menamakannya sebagai”intransitif” yang memiliki makna
75
semana dengan Stolnitz. perhatian yang estetis, bukan
perhatian yang non-estetis. Kalau sesorang memperhatikan
unsur non-estetis pada suatu karya seni, tentu
perhatiannya pada yang karya seni tersebut juga akan non-
etstetis.
Dalam sebuah novel yang bercerita tentang kejadian
sejarah, dapat saja perhatian membaca terarah kepada
peristiwa sejarahnya, sehingga perhatian pada elemen
estetik sastranya terabaikan. Dengan cara ini, besar
kemungkinan ia menilai karya sastra novel tersebut bukan
sebagai novel, tetapi sebagai penghayatan dan pengetahuan
sejarah. Contoh dalam kasus tidak terjadinya aesthettic
awareness ini, seperti dicontohkan Vivas, adalah roman
besar Dostojeski, Brothers Karamazov Roman ini begitu
besar dan kompleks, sehingga perhatian pembaca tersebut
oleh pengolahan masalah, melupakan aspek estetiknya.
Kebesaran roman tersebut menghalangi pembaca untuk
melihat roman sebagai karya sastra. Pembaca cenderung
menilai dan membaca romantik but sebagai kritik sosial.
Roman itu telah diperhatikan secara non- estetik.
Bisa jadi sebuah karya sastra lebih diperhatikan
sebagai masalah penulisnya kalau seorang bekas nara
pidana yang menulis novel. Perhatian pembaca lebih pada
menghubungkan novel tersebut dengan pengarangnya yang
eks-nara pidana. Novel itu dibaca tanpa perhatin estetika
lagi.
2.2.3 Virgil Aldrich
76
Apakah sebuah karya seni serta merta disikapi oleh
penanggap seni seperti orang lain menanggapi karya
tersebut?. Bagaimana seharusnya hubungan antara karya
seni dan penanggap seni ?. Apakah karya seni menentukan
sikap penanggap , atu sebaliknya?. Pertanyaan semacam
itulah yang dicaba dijawab oleh Aldrich. Apa yang harus
dilakukan oleh subjek seni terhadap objek seni sehingga
objek seni tersebut objek seni tersebut menjadi objek
estetik?. Di sini subjek seni dituntut suatu sikap
nilai estetik tertentu dalam objek seni, sehingga
sikapnya itu akan membuktikan keyakinannya.
Contoh yang diajukan Aldrich adalah sebuah gambar
ambigu (dua arti), yakni gambar sederhana yang sekilas
tampak seperti kelinci, tetapi dalam persepsi tertentu
juga merupakan gambar itik. Jadi, gambar tersebut dapat
disikapi (dipersepsi) sebagai gambar itik atau kelinci.
Persepsi mana yang benar ? Itu bergantung pada cara
subjek menyikapi menyikapi gambar tersebut. Dua-duanya
dapat benar.
Menurut Aldrich, adalah salah apabila orang
beranggapan hanya ada satu cara, persepsi tunggal, dalam
menghadapi karya seni. Ada dua cara persepsi, yakni
persepsi estetik dan non-estetik. Cara estetik disebutnya
sebagai preherensi, sedangkan cara non-estetik disebutnya
sebagai observasi. Objek observasi merupakan objek
fisik, dan objek preherensi disebut sebagai objek
estetik. Sementara itu, cara menghadirkan, menyusun, atau
membentuk gambar itu disebut sebagai objek material.
77
Dengan demikian, karya seni itu sendiri secara
objektif hanyalah objek material. Kalau kita menyikapi
objek material tersebut secara estetik, maka objek
material akan menjadi objek estetik. Sikap ini oleh
Aldrich disebut sebagai preherensi, sikap estetik yang
sesungguhnya. Kalau sikap estetik kita mengarah kepada
objek seni sebagai kelinci (objek estetik), maka gambar
itik menjadi objek fisik. Sebaliknya, kalau persepsi
estetik kita pada objek material itu sebagai gambar itik,
maka gambar kelinci menjadi objek fisik.
Begitulah tanggapan para filsuf seni pada pertengahan
awal abad ke-20 mengenai persoalan disinterestedness, yakni
cara memperoleh pengalaman keindahan atau pengalaman
estetika murni tanpa dikotori oleh kepentingan praktis-
pragmatis.
2.2.4 Benedetto Croce
Buku Croce yang terkenal adalah Aesthetic yang terbit
pada tahun 1909. Croce termasuk filsuf seni dalam deretan
filsafat idealisme. Segala sesuatu merupakan aktivitas
pikiran, segala sesuatu adalah ideal belaka. Makna materi
bergantung pada makna idealnya. Bagi Croce, wilayah
estetika adalah wilayah pengetahuan intuitif, bukan
wilayah pengetahuan logis (ilmiah). Intuisi merupakan
sebuah imaji yang berada dalam pikiran subjek. Jadi, oleh
Croce, seni dimasukkan dalam kategori ilmu pengetahuan.
Benda seni itu idak ada. Seni terdapat dalam pemikiran
imajinatif subjek penanggapnya. Benda seni hanyalah objek
78
fisik belaka, bukan estetika itu sendiri. Benda seni
hanyalah titik tolak subjek seni untuk menumbuhkan
kembali estetika pada diri subjek. Keindahan rada dalam
diri subjek masing-masing, bukan dalam objek seni itu
sendiri. Pandangan Croce yang penting adalah bahwa benda
seni bukanlah seni. Benda seni menjadi seni hanya dalam
tanggapan subjek penanggapnya masing-masing. Seni
terletak dalam diri masing-masing subjek.
2.2.5 George Santayana
Santayana menamakan dirinya seorang materialis, dan
mengembangkan estetika naturalis. Namun, pandangan
estetikanya berada dalam jalur idealisme juga. Seperti
kaum idealis, Santayana menolak anggapan bahwa keindahan
adalah sifat objektif benda. Keindahan identik dengan
kesenangan yang dialami subjek ketika objek seni
ditanggapi subjek.
Dalam menghadapi karya seni, yang terjadi adalah
subjek mengobjektifkan niliai-nilai keindahan objek seni.
Yang terjadi dalam peristiwa estetik adalah subjek
memproykesikan kesenangan estetiknya pada objek tertentu.
Dari pandangan ini, jelas tampak pentingnya faktor
fisiologis dan psikologis dalam memahami estetika.
2.2.6 John Dewey
Dewey termasuk filsuf aliran pragmatisme di Amerika
Serikat. Ia menolak pandangan kaum Cartesian yang
memisahkan antara materialisme dan jiwa (roh) sebagai dua
79
substansi yang berbeda. Dualisme dalam pemikiran filsafat
tentang manusia diserangnya lewat pragmatisme. Ia
berpendapat bahwa seni adalah bagian dari kehidupan itu
sendiri. Dasar estetika adalah pengalaman sehari-hari
yang nyata. Pengalaman seni adalah pengalaman yang
terentang dalam waktu, ada awal ada akhir. Ada struktur
dalam pengalaman seni, seperti halnya dalam pengalaman
sehari-hari. Bentuk seni adalah pengalaman tersebut. Ada
sesuatu yang selalu menyatukan seluruh pengalaman sebagai
suatu pengalaman. Pengalaman ini suatu kesatuan yang utuh
dan bulat. Begitu pula pengalaman keindahan dalam seni.
Bagi Dewey, yang terlebih dahulu adalah pengalaman
estetik, baik pada seniman maupun publik seni. Seniman
adalah orang yang terlebih dahulu memiliki pengalaman
estetik. Pengalaman estetiknya yang diwujudkan dalam
sebuah karya seni dinamakannya pengalam artistik. Dari
perwujudan pengalaman artistik itu, penanggap seni akan
dapat mengalami pengalaman estetik.
Dari penjelasan singkat para kelima tokoh filsuf di
atas, terlihat bahwa pada awal permulaan abad ke-20
tampak banyak persoalan estetika yang berkisar pada apa
yang dinamakan sikap estetik. Teori sikap estetik ini
memiliki tiga sasaran utama. Pertama, teori mencoba
mengisolasi dan mendeskripsikan faktor psikologis yang
membentuk sikap estetik. Kedua, teori sikap estetik
mencoba mengembangkan konsepsi objek estetik sebagai
objek sikap estetik. Ketiga, teori sikap estetik mencoba
menjelaskan pengalaman estetik dengan memandangnya
80
sebagai pengalaman yang didapat dari sebuah objek
estetik.
3. Estetika Romantisme
Dalam tulisan Sumarjo (2000) dijelaskan bahwa sumber
pokok dari pemikiran kaum Romantik adalah pendapat Kant
tentang pengetahuan. Menurut Kant, terdapapat dua jenis
pengetahuan, yakni pengetahuan dunia empiris yang
merupakan objek pengetahuan ilmiah, dan pengetahuan
noumenal yang dalam beberapa hal berada di belakang dunia
inderawi-empiris yang terbatas. Suatu pengalaman empiris
memiliki karakteristiknya bukan karena pengamatan
empirisnya belaka, tetapi karena adanya struktur berpikir
subjek pengamatnya. Struktur berpikir ini merupakan dunia
noumenal yang berupa substansi. Pemikiran dunia noumenal
inilah yang menarik perhatian kaum Romantik itu. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pandangan kaum romantik
merupakan reaksi terhadap filsafat empiris dan mentalitas
ilmiah yang berkembang sejak abad ke-17 dan ke-18.
Ketika filsafat Romantik diaplikasikan pada dunia
seni, terdapat peran baru seniman dalam dunia kreativitas
artistik. Para seniman dipandang sebagai penghubung atau
medium antara dunia empiris dan dunia noumenal yang
berada di balik kenyataan pengalaman. Seniman merupakan
sumber vital atas dicapainya dunia noumenal dalam dunia
empiris.
Di samping itu, seni juga merupakan eskpresi emosi
yang sejak zaman Renaisans diabaikan peranannya dalam
81
aktivitas mental manusia. Zaman-zaman sebelumnya adalah
zaman logika, zaman rasio, yang mendasarkan kebenaran
otak melulu. Dengan munculnya pandangan kaum Romantik,
emosi diberi peranan yang cukup penting dan vital dalam
segala aktivitas dan kreativitas. Para seniman dapat
memberikan sumbangannya terhadap kebudayaan dengan cara
yang tak mungkin disumbangkan oleh ilmu pengetahuan.
Peran seniman dalam masa ini diungkapkan oleh
Nietzsche bahwa selama ini estetika kita adalah estetika
wanita, karena hanya mengungkapkan pengalaman tentang
apa yang indah dari pandangan para penerima seni. Sampai
sekarang ini filsafat kurang mempertimbangkan peran
seniman. Memang benar bahwa pada zaman Plato perhatian
terhadap peran seniman dalam filsafat telah dibicarakan,
namun setelah itu perhatian terhadap para pencipta seni
hilang begitu saja dari pertimbangan pemikiran filsafat.
Dunia seni Romantik menjujung tinggi sifat seni
Dionysian yang bertumpu pada intensitas dan
spiritualitas, dan semakin menjauh dari sifat seni
Appolonian yang lebih menekankan ketenangan dan
ketertiban. Dari lingkungan seniman muncul teori ekspresi
yang menyatakan bahwa seni adalah ekspresi emosi seniman.
Beberapa pemikir menyatakan pentingnya emosi di samping
peran pikiran. Seni adalah ungkapan emosi yang memperoleh
penafsiran eksternal lewat pengaturan garis, bentuk, atau
warna yang ekspresif. Pengaturan serupa kini terdapat
lewat gerak, suara, atau kata-kata yang diatur oleh ritme
tertentu, begitu pendapat Veron.
82
Selanjutnyan, Alexander Smith menulis perbedaan
esensial antara puisi dan prosa. Prosa adalah bahasa
intelektual, sedangkan puisi adalah bahasa emosi. Prosa
kita mengomunikasikan pengetahuan kita atas objek
inderawi atau pikiran, sedangkan dalam puisi kita
mengekspresikan bagaimana objek ini mempengaruhi diri
kita. Lebih jauh Leo Tolstoy menyatakan bahwa karya seni
pada dasarnya merupakan ekspresi perasaan dalam bentuk
tertentu sehingga orang lain mampu merasakan ungkapan
emosi dalam seni itu.
Dalam garis besarnya estetika Romantik berusaha
mencapai beberapa tujuan. Pertama, menempatkan peran seni
dalam kedudukan sentral dalam kebudayaan Barat. Sejak
abad ke-19 peran ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia
Barat telah mereduksi peran seni dalam
kebudayaan. Kaum Romantik ingin menunjukkan bahwa seni
dan perasaan dapat berperan penting bagi kehidupan ini.
Kedua, bahwa seni ada hubungannya dengan kehidupan
sehari-hari. Emosi adalah sesuatu yang biasa dialami oleh
setiap orang dan telah menunjukkan, berdasarkan
pengalaman, pengaruhnya atas kehidupan manusia. Ketiga,
mereka ingin menunjukkan bahwa seni lebih berperan dalam
menggerakkan manusia daripada seni imitasi atau
representasi. Contohnya dalam seni musik dan seni non-
objek. Musik adalah contoh jelas tentang pengaruh
ekspresi emosi dalam seni yang mampu mempengaruhi
kehidupan manusia.
83
Faham Romantisme sebetulnya dapat dilihat sebagi
suatu faham yang memberi reaksi terhadap dominasi
rasionalisme dalam pemikiran filsafat. Sebelumnya seniman
harus tunduk pada kaidah-kaidah ketat. Faham ini memberi
tempat bagi seniman untuk meluapkan emosinya dalam
berkarya seni secara bebas, karena pada awalnya manusia
hidup bebas. Kaum Romantik sangat menghargai atau
menghormati kemerdakaan dan kedaulatan individu untuk
mengekspresikan perasaannya. Beberapa sifat khas gaya
Romantik dalam seni adalah pemujaan terhadap alam, rasa
melankolik dan nostalgik terhadap masa silam, kesadaran
agama mengambang, mengarahkan perhatian kepada diri
seniman dan proses kreatifnya, lari dari kenyataan riil,
inspirasi muncul dari dalam diri seniman (bukan dari
kekuatan luar), genius dalam arti kemampuan menemukan dan
menghasilkan karya yang orisinal, serta berupaya
menciptakan dunia “lain” (khayal) yang bersifat emotif
dan imajinatif.
Tugas :Diskusikan materi pokok bahasan tersebut sesuai
dengan kelompok
Saudara kemudian buatlah laporan hasil diskusi
tersebut dalam ben-
Tuk resume yang singkat dan padat.
84
POKOK BAHASAN VI (PERTEMUAN 12-15)ESTETIKA MODERN (KONTEMPORER)
DAN POSMODERNISME
1. Tujuan Perkuliahan
Mahasiswa dapat menjelaskan dan/atau
membandingkan konsep-konsep estetika modern (kontemporer)
dan posmodernisme
2. Materi Perkuliahan
2.1 Estetika Modern (Kontemporer)
Dalam membahas konsep-konsep estetika kontemporer
ini, akan dikemukakan lima pendapat filsuf tentang seni,
yakni Clive Bell, Sussane K.Langer, R.G. Collingwood,
Moris Weiltz, dan George Dickie. Tiga yang pertama
meninjau kembali tema filsafat seni lama dengan
pengembangan baru sedangkan dua terakhir mengajukan
sumber teori sendiri yang kontemporer. Dengan mengutip
tulisan Sumarjo (2000) pokok-pokok pemikian dari para
tokoh tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
85
2.1.1 Clive Bell : Teori Keindahan Modern
Sumbangan Bell yang utama dalam konteks ini adalah
pendapatnya tenang significant form dalam seni. Ia hanya
membatasi telaahnya dalam bidang eni rupa saja, meskipun
dasar pendapatnya dapat diapliksaikan dalam banyak
bidang seni.
Komponen teori Bell ada tiga, yakni emosi estetik,
bentuk signifikan, dan esensialisme. Emosi estetik
bukanlah emosi pengalaman sehari-hari seperti kemarahan,
kesedihan, atau kegembiraan. Emosi estetik hanya dapat
ditimbulkan oleh karya seni yang mengandung nilai emosi
tersebut. Sementara itu, bentuk signifikan adalah nama
sekumpulan hubungan tertentu dalam unsur-unsur sebuah
karya seni. Dalam hal ini, bentuk signifikan muncul dai
subjek seni, tetapi, di waktu yang lain Bell juga
menyatakan bahwa bentuk signifikan merupakan
karakteristik objek itu sendiri. Bell tidak pernah pasti
mengenai pegertian mana yang diambilnya sebagai
karakteristik objek atau sebagian hasil subjek dalam
menghubungkan dan membentuk struktur bentuk signifikan.
Ia hanya dapat menyatakan, dengan demikian, sekalipun
karakteristik esensial itu tetap, dalam pilihan bentuk
dapat ada perbahan persepsi. Jadi, bentuk signifikan
adalah karakter non-struktural yang menyerupai bentuk
tertentu pada saat tertentu.
Karya seni bagi Bell adalah sebuah objek yang
memiliki bentuk signifikan, yaitu nama objek apa pun yang
86
menimbulkan emosi estetik. Sebuah karya seni adalah
sebuah artefak yang memiliki bentuk signifikan. Apakah
artefak natural bukan karya seni (artefak) dapat disebut
seni kalau memberikan bentuk signifikan? Bell mengakui
dapat saja demikian, tetapi ini amat langka, hanya
kebetulan belaka. Dengan demikian, ada dua pengertian
seni, yakni pengertian klasifikasi yang membedakan
artefak seni dengan benda alamiah, dan pengertian
evaluasi, yakni mencari nilai-nilai bentuk signifikan
dalam artefak seni. Menyatakan bahwa sesuatu itu indah
berarti menghargai dalam memujinya. Dengan demikian,
rumusan seni Bell adalah rumusan evaluasi seni.
Bagaimana dalam seni representasi (mimesis) adakah di
situ juga terdapat bentuk signifikan? Dalam seni
representasi tidak didapatkan nilai estetika, selama
tidak mengandung potensi bentuk signifikan. Lukisan
potret sebagai seni representasi mungkin saja dikagumi
orang, namun selama dalam menghayati potret tersebut tak
muncul hubungan bentuk signifikan, lukisan potret
bukanlah seni. Bentuk signifikan dalam potret terlepas
sama sekali untuk representasinya; yang ada hanya
struktur hubungan yang mampu menumbuhkan emosi estetik.
Emosi stetik itu memberikan emosi karakteristik yang
spesifik
2.1.2 Sussane K. Langer : Teori Imitasi Modern
Buku estetika langer adalah Philosophy in a New Key, Feeling
and Form, dan Problems of Art. Langer merumuskan seni sebagai
87
penciptaan bentuk yang menyimbolkan perasaan manusia.
Inilah sebabnya teori seninya sering disebut teori
simbolisme ekspresif. Suatu simbol m,engekspresikan
perasaan manusia, melaluiabstraksi. Simbol dalam
terminologi Langer ini termasuk simbol ikonik, yakni
simbol yang dlam beberapa hal menyerupai sesuatu yang
ditunjukkanya.
Langer sendiri membedakan antara simbol seni dan
simbol dalam seni. Simbol seni adalah seni secara
keseluruhan, dan karya seni belum tentu mengandung
simbol. Simbol yang dimaksudkan di sini adalah”simbol
dalam seni“ yang merupakan elemen seni yang dapat
menimbulkan aura atau mengungkapkan penderitaan,
pengorbanan, dan kesucian. Simbol bagi Langer adalah alat
yang memungkinkan kita membuat suatu abstraksi. Setiap
seni menyimbolkan dengan caranya sendiri tentang perasaan
manusia. Musik menyimbolkan perasaan manusia, seni lukis
menyimbolkan aneka jenis adegan.
Bagi Langer karya seni representasional jika
merupakan seni baik, sama dengan seni non-
representasional. Mereka memilih lebih dari stau fungsi
simbolis, representasi, dan juga ekspresi artistik yang
merupakan presentasi ide perasaan. Dengan demikian, semua
karya seni adalah simbol seni. Semua seni
mengabstraksikan, dan dengan demikian menyimbolkan
perasaan. Manusia, namun perasaan itu tidak disimbolkan
melalui representasi. Akhirnya langer berkesimpulan bahwa
seni sejati merupakan bentuk ekspresif dan bukan sekadar
88
simbol seni. Teori Langer pun kemudian dimasukkan dalam
teori imitasi baru. Dalam pengertian ini karya seni
dianggap mengimitasi perasaan.
Semua karya seni merupakan perwujudan perasaan
manusia. Dalam pernyataan ini, banyak kritik dilancarkan
kepadanya. Apakah hanya perasaan manusia semata? Sebuah
karya seni kadang juga mewujudkan proses piskologis,
seperti dalam musik.
Tentang fungsi seni, Langer menyatakan bahwa semua
karya seni merupakan sebuah ilusi, yang dalam terminologi
Langer disebut imaji virtual. Ruang visual murni
adalah sebuh ilusi, karena penagalaman sensoris kita
tidak mencapai kesepakatan tentang ruang visual tersebut.
Seperti halnya ruang di belakang cermin; ruang tersebut
disebut oleh pakar fisika sebagai ruang virtual. Teori
seni ilusi Langer ini mirip dengan jarak psikis dalam
teori estetika yang mendahuluinya. Seni dapat disebut
sebuah simbol karena seni memenuhi fungsi tertentu, yakni
seni mewujudkan, membentuk suatu perasaan menjadi wujud.
Dalam karya seni yang baik, fungsi ini harus benar-benar
dijalankan.
2.1.3 Collingwood : Teori Seni Ekspresionis Modern
Collingwood membedakan secara prinsipial antara seni
dan kerajinan (craft). Ia menyangkal bahwa seni dan
kerajinan sebagai dua spesies yang berasal dari genus
tunggal. Tak ada karateristik esensial yang mendasari
keduanya. Kerajinan adalah aktivitas yang mengubah
89
material mentah dengan keterampilan yang dapat dipelajari
sehingga menjadi produk yang telah ditetapkan sebelumnya.
Karakteristik kerajinan adalah adanya hubungan antara
alat dan tujuan ini. Keterampilan membuat sepatu kulit
adalah alat untuk menghasilkan suatu tujuan, yaitu
sepatu, yang talah ditetapkan sebelumnya dan dapat dibuat
spesifikasinya.
Kerajinan dan seni dapat bersifat komplementer,
sehingga substansi benda yang sama dapat menjadi sebuah
karya kerajinan di satu pihak dan sebuah karya seni di
pihak lain. Seorang seniman harus memiliki keterampilan
menghasilkan kerajinan terlebih dahulu. Barulah kemudian
dia berkembang. Bisa sekadar menjadi tukang atau seniman.
Collingwood membedakan antara seni sejati (proper art)
dan seni gadungan yang juga dinamakannya sebagai seni
hiburan. Jika sebuah artefak didesain untuk mencetuskan
emosi tertentu, dan jika emosi ini dimaksudkan bukan
untuk penuangan ke dalam okupasi kehidupan biasa,
melainkan untuk kegembiraan sebagai sesuatu yang
bernilai, maka fungsi artefak tersebut adalah
menyenangkan dan menghibur. Ke dalam seni hiburan maupun
seni magis dimaksudkan untuk mencetuskan emosi, keduanya
hanya berbeda dalam peran yang yang dimainkan oleh emosi
yangdicetuskannya. Emosi membangkitkan rasa cinta tanah
air dalam sebuah patung lukisan adalah sejenis dengan
emosi yang dicetuskan dalam seni hiburan yang khayali
atau tidak nyata. Seni hiburan dan seni magis keduanya
hanya kerajinan karena didesain untuk mecetuskan emosi
90
spesifik yang telah ditetapkan sebelumnya oleh si pembaut
artefak.
Seni berhubungan dengan emosi; apa yang dilakukan
seni dengan emosi memiliki kemiripan tertentu dengan
pencetusan, namun tidak mencetuskannya. Seniman
berhubungan dengan emosi, dan apa yang dilakukannya
dengan emosi tidaklah untuk mencetuskannya; jadi apa yang
dilakukannya? Dapat dikatakan bahwa seni lebih
mengekspresikan emosi daripada mencetuskannya. Argumennya
ini dapat digambarkan sebagai berikut. Seni memiliki
hubungan dengan emosi. Seni pasti mencetuskan dan
mengekspresikan emosi. Jadi, hanya ada dua kemungkinan.
Seni bukanlah kerajinan. Jadi, seni tidak dapat
mencetuskan emosi karena jika melakukannya ia akan
menjadi kerajinan. Akhirnya seni adalah ekspresi emosi.
Ekspresi emosi dapat diwujudkan dalam sejumlah cara.
Ekspresi yang umum dalam kehidupan sehari-hari terjadi
secara alami dan tidak terkontrol. Untuk mengekspresikan
marah, wajah bisa memerah, atau ekspresi ketakutan
menyebabka wajah memucat. Namun, semua itu di luar
kendali subjeknya. Eksprsi dalam seni adalah adanya
kendali dan kesadaran mengendalikan emosi. Ekspresi emosi
yang dikendalikan secara sadar adalah bahasa. Seni pasti
merupakan suatu bahasa. Pengekspresian emosi yang
merupakan seni seusngguhnya, dan bahasa, semuanya
mengarah pada hal yang sama, yakni ekspresi, seni, dan
bahasa.
91
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa ekspresi emosi
melibatkan pengetahuan eksplisit si pengekspresi mengenai
emosi spesifik yang diekspresikannya. Emosi spesifik ini
dasarnya adalah emosi umum, hanya saja ada temuan emsi
umum (misalnya marah) yanh spesifik. Tetapi, Colllingwood
menegaskan bahwa seniman tidak dapat mengetahui
sebelumnya apa yang akan diekspresikan atau diciptakan.
Tak seorang seniman pun dapat mulai menulis sebuah
komedi, tragedi, atau elegi. Jika ia seorang seniman
sejati, ia mungkin akan menulis semuanya ini sebagaimana
seniman lain. Ini untuk menunjukkan bahwa seniman sejati
tidak bekerja seperti tukang yang sudah siap dan tahu
persis emosi yang akan diekspresikan sebagai tujuannya.
Bagaimana kita tahu bahwa ekspresi emosi seniman itu
benar-benar tak dimaksudkannya sebelum penciptaan? Kita
mengetahu bahwa ia mengekspresikan emosinya berdasarkan
fakta bahwa ia memungkinkan kita mengkspresikan emosi
kita.
Pokok lain yang dibahas Collingwood adalah ekspresi
dan imajinasi. Agar sesuatu menjadi karya seni, sesuatu
itu harus ekspresif dan imajinatif. Berimajinasi,
menurutnya adalah bertindak membentuk image mental, dan
bertindak memasukkan sesuatu ke dalam kesadaran.
Batasannya tentang imaji ini banyak mendatangkan kritik.
Konklusinya adalah bahwa semua karya seni itu imajiner
dalam pengertian hanya ada di dalam kepala. Satu-satunya
seni sejati adalah image mental yang terbentuk dalam
pikiran seniman sebelum atau padat saat ia menciptakan
92
sebuah objek publik, atau image mental yang terbentuk
dalam pikiran penanggap seni sebagai akibat menanggapi
sebuah objek publik.
Tentang penilaian karya seni yang baik dan jelek,
menurut Collinwood adalah sebuah aktivitas yang membuat
si seniman mencoba mengekspresikan emosi tertentu, namun
ia gagal. Sebuah lukisan jelek, pertama-tama harus berupa
lukisan. Lukisan yang jelek bukan berarti tidak lukisan
sama sekali. Lukisan jelek telah memenuhi persyaratan
seni yang seharusnya, tetapi gagal dalam beberapa
aspeknya.
2.1.4 Morris Weitz : Konsep Terbuka
Konsep terbuka adalah konsep yang tidak memiliki
ketentuan esensial bagi sesuatu untuk menjadi konsep
tersebut. Teori konsep terbuka Weitz ini diturunkan dari
konsep terbuka tentang permainan. Tidak ada karakter umum
apa pun dalam setiap permainan. Konsep tentang permainan
tidak berlaku umum untuk setiap permainan. Konsep ini
selalu terbuka berdasarkan situasi dan saatnya. Sebuah
novel mungkin memiliki karakteristik tertentu yang bisa
saja ada pada novel lain, namun tak semuanya memiliki
karakteristik yang serupa. Justru sebuah novel sering
memiliki karakteristik yang tak ada pada novel mana pun
sehinga patut dipertanyakan apakah itu novel atau bukan.
Mempertanyakan apakah X ini sebuah novel tidak
memungkinkan satu jawaban definitif dalam pengertian
jawaban faktual. Semua anggota subseni, seperti novel
93
dalam sastra tadi, tak dapat memilki satu karakteristik
karakteristik yang sama, tetapi jelas tak akan
terhindarkan adanya novel dengan karakteristik yang
berbeda. Novel demikian itu akan dimasukkan dalam
subkonsep umum, dan ini menunjukkan bahwa subkonsep
tersebut bersifat terbuka.
2.1.5 George Dickie : Seni sebagai Pranata Sosial
Karya seni dalam pengertian klasifikasi adalah sebuah
karya dalam pengertian evaluasi. Jadi, sesuatu itu
disebut mengandung atau tidak mengandung nilai tergantung
dari adanya suatu evaluasi nilai. Sebuah karya seni dalam
pengertian kualifikasi adalah sebuah artefak; kemudian,
beberapa orang yang bertindak atas bama institusi
(pranata) sosial tertentu memberikan kandidat status
untuk apresiasi. Jadi, evaluasi suatu pranata dalam
masyarakatlah yang memberkan status pada sesuatu sebagai
berstatus seni atau tidak.
Pandangan pemberian status ini memang cukup kabur,
karena pranata seni juga tidak jelas. Pranata seni tidak
didukung oleh persyaratan legal. Pranata seni itu adalah
semua orang yang memandang dirinya sebagai anggota dunia
seni, dan karenanya memiliki kapasitas untuk memberikan
status.
Teori pranata seni menyadari bahwa dirinya harus
selalu mempertimbangkan praktek dunia seni. Dalam hal ini
harus selalu diperhatikan bahwa syarat menjadi sebuah
karya seni dalam pengertian klasifikasi tidak berarti
94
karya itu memiliki nilai aktual. Keputusan bahwa sebuah
karya menjadi karya seni secara kepranataananya juga
mempertimbangkan latar belakang pranatanya. Suatu karya
mungkin saja diakui bernilai seni dalam satu lingkungan
pranata, namun ditolak oleh pranata yang lain.
Sebuah pranata seni bisa menagatakan sebuah karya
seni adalah sebuah objek yang membuat seseorang
mengatakan bahwa ini adalah karya seni. Tampaknya
sembarangan, tetapi pranata semacam itu mempertaruhkan
semua martabat dirinya untuk menyatakan demikian. Jika
sebuah pranata secara sembarangan mentahbiskan sebuah
artefak sebagai karya seni, pranata tersebut akan
mendapati kepercayaan terhadapnya segera hilang.
2. Estetika Posmodernisme
Seperti halnya yang terjadi pada kemunculan pemikiran
filsafat Kritisisme yang mengkritik faham sebelumnya
yakni Klasik-Dogmatisme, faham posmodernisme ini juga
muncul sebagai upaya dari sebuah pergerakan pemikiran
para tokoh pemikir untuk mengritik pandangan atau
pemikiran modernisme. Hal ini karena dalam banyak hal,
selain memperlihatkan segi-segi positif, modernisme
sebagai sebuah faham yang berkembang begitu luas dalam
berbagai kehidupan ini, ternyata juga memperlihatkan
banyak segi-segi negatif.
Secara umum, faham modernisme mengembangkan narasi-
narasi besar (grand narrative) dalam bentuk isme-isme yang
berkembang antara lain : rasionalisme, kapitalisme,
95
individualisme, ekspresionisme, eksistensialisme,
kubisme, abstrakisme, strukturalisme, dan feminisme yang
berdampak terjadinya dehumanisasi, yaitu kehidupan dan
kreativitas yang terkotak-kotak, diplot-plot, dan kaku.
Seolah-olah kebenaran itu bersifat tunggal hanya yang
berada di wilayah narasi-narasi besar ini. Ideologi
modernisme bersemangat melakukan kooptasi, yaitu semacam
upaya untuk mengarahkan segala sesuatu menurut standar
atau ukuran yang sudah ada atau baku (universlisme).
Ideologi isme-isme, atau kondisi semacam inilah yang
dikritik, dilucuti, dibongkar, atau ingin didekonstruksi
oleh posmodernisme.
Dalam faham posmodernisme, pluralitas, heteroginitas,
dialog, interaksi, dan relasi dengan unsur-unsur dan
realitas yang lain, kreativitas yang mengalir terus
mendapat tempat dan lebih dihargai. Posmodernisme memberi
kebebasan kehidupan dan kreativitas untuk menemukan
unsur-unsurnya sendiri atau jati dirinya. Beberapa aspek
sentral yang diasosiasikan dengan posmodernisme dalam
seni antara lain penghapusan batas antara seni dan
kehidupan sehari-hari, ekologis, lebih bersentuhan dengan
lingkungan alam, runtuhnya perbedaan hirarkhis antara
kebudayaan popular dan kebudayaan elit (tinggi),
eklektisisme, stilistik, dan percampuran kode atau
aturan. Terdapat parodi, pastiche, dan semangat untuk
bermain-main. Sejalan dengan hal ini, posmodernisme
menghargai hal-hal yang bersifat lokal, spekulatif,
irasional, pengalaman mistik, pengalaman pribadi,
96
konteks, emosi, tradisi, adat-istadat, magis, dan
kelompok minoritas; suatu hal yang dalam faham modernisme
tidak mendapat tempat atau diabaikan.
Pendek kata, sebagaimana yang telah dikemukakan di
atas, posmodernisme adalah sebuah gerakan di kebudayaan
kapitalis lanjut, secara khusus dalam seni, yang
memberikan pemahaman baru yang berbeda (dekonstruksi)
atas apa-apa yang telah menjadi semacam mistifikasi atas
kebenaran atau kenyataan tunggal yang dikembangkan oleh
ideologi modernisme. Melalui pemahaman lebih baru itu,
seni, menjadi sarana bagi seniman untuk mengembangkan
barbagai kemungkinan dalam mengungkapkan berbagai ide
seninya secara lebih fleksibel (lentur) sesuai dengan apa
yang dikehendaki secara lebih spesifik, bebas kreatif,
dan humanistik; baik dalam pemilihan medium yang
digunakan, proses penciptaannya, bentuk yang dihasilkan,
dan pesan atau makna yang ingin disampaikan.
3. Tugas
Diskusikan materi pokok bahasan tersebut sesuai
dengan kelompok Saudara kemudian buatlah laporan hasil
diskusi tersebut dalam bentuk resume yang singkat dan
padat.
97
SuplemenSeni KontemporerOleh : Jim Supangkat
Belakangan ini beredar cukup luas pertanyaan ”apakah senikontemporer” yang punya tujuan praktis menemukanpengertiannya yang bisa digunakan untuk mengenali ciri-cirinya pada karya seni (rupa).
Keinginan itu tidak akan mudah terpenuhi karena ruangmakna ”seni kontemporer” kosong. Isi ruang makna inijejak-jejak pemikiran modern yang sudah tidak dipercayailagi tetapi menjadi pangkal persoalan seni kontemporer.Karena itu, upaya terbaik memahami seni kontemporer
98
adalah mengenali jejak-jejak pemikiran modern—berkembangsampai pertengahan abad ke-20—pada ruang maknanya.
Pemikiran modern itu percaya dunia modern bersifathomogen. Tidak terpecah-pecah oleh kebudayaan etnik dantradisi-tradisi. Dalam pemikiran modern, dunia yangterpecah-pecah ini mencerminkan dunia masa lalu.
Dipengaruhi keyakinan itu, persoalan tradisi dan budayatidak popular ada pemikiran modern. Para pendukungnyatidak suka menggunakan istilah ”kebudayaan modern” walautidak sampai menyebut istilah ini salah.
Dalam teori-teori budaya ada keyakinan seni adalah tandapenting budaya. Dalam pemikiran modern pemahaman initersingkir. Bila seni dikaitkan dengan budaya akan munculbermacam-macam seni mengikuti keragaman tradisi. Padapemikiran modern, hanya ada satu seni di dunia modernyang homogen, yaitu seni modern.
Premis-premis seni modern ini muncul di Eropa pada abadke-19 melalui pemikiran filosof-filosof Kant dan Hegel.Sejumlah pandangan melihatnya sebagai terusanperkembangan seni pada kebudayaan Barat. Namun lebihbanyak yang melihatnya sebagai pemikiran yang munculbersama pemikiran modern lain—kebanyakan muncul di Eropajuga.
Seni modern itu berkaitan dengan dunia pemikiran. Sepertidikemukakan Hegel, muara dari semua ekspresi seni adalahfilsafat. Mencerminkan pemikiran modern yang mengutamakankemajuan, seni modern percaya juga pada keperintisan danseni diniscayakan berjalan mendahului zamannya. Karenaitu, seni modern disebut juga seni avant garde. Demiterobosan seniman berada di luar zamannya, di luarmasyarakat dan di luar semua konvensi sosial.
Dipengaruhi materialisme—yang mendasari seluruh pemikiranmodern—seni modern mengutamakan kekonkretan (dalam upayamemahami ”the real”). Karena itu, manifestasi seni modernyang utama adalah seni rupa (membawa sifat konkret).Persepsi ini membuat seni rupa menjadi ”jantung” senimodern. Pemikiran seni terkonsentrasi di dunia seni rupa
99
ini dan sejarah seni rupa modern dipercaya mencerminkansejarah seni modern. Infrastruktur seni modern yangpaling kompleks, megah, dan mahal—museum-museum— adalahinfrastruktur seni rupa.
Seni modern dekat juga dengan ilmu pengetahuan yangmenandai kejayaan dunia modern. Ilmu pengetahuan menggalidunia material dengan kepercayaan pada obyektivitas. Senimodern adalah seni yang diarahkan mencari obyektivitas(mencari the real presence of being).
Seperti ilmu pengetahuan, seni modern mengenal otoritasyaitu pranata (lembaga dan orang-orang) yang dipercayapaling menguasai ”ilmu seni” dan mampu menentukan cuttingedge perkembangan yang menandakan terobosan baru.Persepsi ini membuat seni modern merupakan bagianinfrastruktur seni yang dikendalikan otoritas seni danbukan bagian dari budaya apalagi masyarakat (kebanyakan).
Pemikiran modern itu bertahan cuma enam dekade pada abadke-20. Sesudah itu muncul tanda-tanda keruntuhan. Salahsatu tanda penting keruntuhan ini adalah gagalnya proyekbesar konstruktivisme menghimpun semua pemikiran dalamperkembangan seabad untuk menemukan esensi yang bisamenunjukkan hukum-hukum alam dan kehidupan (universallaws).
Seperti kisah keruntuhan menara Babil, upaya mengatasihambatan bahasa dalam penghimpunan pemikiran seabad itugoyah ketika dikritik melalui gramatologi Derrida,khususnya tentang pengertian ”presence”. Kritik iniseperti membuka kotak pandora berbagai ”keburukan”pemikiran modern tanpa bisa dicegah muncul ke permukaan.
Pada pergolakan itu, pemikiran budaya muncul kepermukaan. Pangkalnya adalah sikap kritis melihatpengabaian budaya dan masyarakat pada pemikiran modernyang membuat dunia modern yang dibayangkan sama sekalibukan representasi kehidupan (modern) masa kini. Darikritik ini muncul pemikiran baru yang berpangkal padapertanyaan, lalu apakah ”budaya masa kini” (contemporaryculture ).
100
Pemikiran seni dipengaruhi pergolakan itu dan memunculkanperubahan besar dalam memahami seni. Berkembang kesadaranbahwa seni bukan bagian dari infrastruktur seni yangdikendalikan otoritas seni, tetapi bagian dari budaya.Seniman tidak berada di luar masyarakat dan karena ituekspresi seni berkaitan dengan budaya yang sedangdipersoalkan yaitu contemporary culture. Dari sini munculistilah ”seni kontemporer” atau contemporary art.
Dua pemikiran berlawanan arah bisa disebutkan sebagaiagenda pencarian makna seni kontemporer. Di satu sisi,bagaimana menempatkan budaya yang mencerminkan tradisidan keragaman ke lingkup budaya kontemporer. Di sisilain, bagaimana melihat globalisasi yang melahirkankeseragaman—seperti prediksi pemikiran modern— dalambudaya kontemporer.
Di dunia tari, teater, dan musik yang diabaikan pemikiranseni modern (sastra senantiasa dikaji terpisah) pemahamantentang keragaman budaya tidak menimbulkan pergolakan.Sejak dekade 1960 muncul upaya mencampurkan estetikmodern dan estetik tradisi-tradisi. Maka di dunia tari,teater, dan musik, gejala seni kontemporer sudah bisadibaca.
Pencapaian itu tidak terlihat di dunia seni rupa yang dimasa lalu merupakan ”jantung” pemikiran seni modern.Terjadi upaya sulit melepaskan pemahaman seni yang sudahterstruktur. Pergolakan pemikiran yang terjadi tidak bisamelepaskan diri dari epistemologi Cartesian (mendasaripemikiran modern) yang bipolar. Kendati terkesan palingheboh, gejala di dunia seni rupa ini memacetkan pemikiranseni kontemporer dan membuat ruang makna ”senikontemporer” masih kosong.
Ketika pertanyaan, apakah seni kontemporer meluas diTanah Air, kehebohan di dunia seni rupa yang mencuriperhatian itu membangun sangkaan bahwa persoalan senikontemporer adalah persoalan seni rupa. Di dunia senirupa Indonesia, contemporary art, dibaca, dipahami, dandikaji sebagai ”seni rupa kontemporer”, yang lepas dari”seni kontemporer”. Terjadi distorsi pemahaman yangmengandung kebingungan karena tidak umum diketahui bahwa
101
istilah ”art” dalam bahasa Inggris berarti ”seni” dansekaligus ”seni rupa”—dalam bahasa Indonesia keduanyaterpisah dengan jelas.
Pengertian ”art” dalam bahasa Inggris itu mencerminkanpersepsi seni pada pemikiran modern yang sulit dipahamidan membuat peluasan seni modern ke tingkat dunia gagalkarena membingungkan. Di dunia seni rupa Indonesia,muncul persoalan seni dunia yang mutakhir, kebingunganini merambat ke pemahaman seni kontemporer.
Jim Supangkat Kurator Independen
Sumber :http://.kompas.com/read/xml//2008/07/13/01275943/senikontemporer
Hyper-Reality(sumber : http://aprillins.com/jean baudrilard.tentang
simulacra dan hiperealitas)
Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnyakepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur masakini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tandamelebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengankebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan,keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi didalam dunia seperti itu.
“Baudrillard menerima konsekuensi radikal tentang yangdilihatnya sebagai sangat merasuknya kode dalam masamodern akhir. Kode ini jelas terkait dengan komputerisasidan digitalisasi, juga cukup mendasar dalam fisika,biologi, dan ilmu-ilmu alam lainnya di mana ia memberikesempatan berlangsungnya reproduksi sempurna dari suatuobjek atau situasi; inilah sebabnya kode bisa mem-bypass
102
sesuatu yang real dan membuka kesempatan bagi munculnyarealitas yang disebut Baudrillard sebagai hyperreality.”(Lechte, 2001, hal. 352)
Keadaan dari hiperrealitas ini membuat masyarakat modernini menjadi berlebihan dalam pola mengkonsumsi sesuatuyang tidak jelas esensinya. Kebanyakan dari masyarakatini mengkonsumsi bukan karena kebutuhan ekonominyamelainkan karena pengaruh model-model dari simulasi yangmenyebabkan gaya hidup masyarakat menjadi berbeda. Merekajadi lebih concern dengan gaya hidupnya dan nilai yangmereka junjung tinggi.
Industri mendominasi banyak aspek kehidupan, industritersebut menghasilkan banyak sekali produk-produk mulaidari kebutuhan primer, sekunder, sampai tertier. Ditemanioleh kekuatan semiotika dan simulasi membuat distribusiperiklanan produk menjadi lebih gencar tambah lagiteknologi informasi yang memungkinkan pihak pengusahauntuk mendapatkan informasi seperti apakah masyarakatyang dihadapi, dan pihak konsumen mendapatkan informasitentang kebutuhan yang mereka tidak butuhkan tetapimereka inginkan. Asumsi-asumsi yang terbentuk dalampemikiran manusia dan keinginan ini membuat manusia tidakbisa lepas dari keadaan hiperrealitas ini.
Sumber :
http://www.egs.edu/faculty/baudrillard.html#top
http:// www.infed.org/ thinkers/baudrillard.htm , 2006
http://www.tcw.utwente.nl/theorieenoverzicht/Levels%20of%20theories/micro/semiotics.htm , 2006
http://www.uta.edu/english/hawk/semiotics/Baudrillard andSimulation.htm.htm
Lechte, John, 2001, 50 Filsuf Kontemporer, Yogyakarta:Penerbit Kanisius
Maarisit, Marthen L., Hipersemiotika dan Postmodernisme,http://www.glorianet.org/
103
Sumber Pustaka Bahan Ajar
.Anwar, W. 1985. Filafat Estetika. Yogyakarta : Nur Cahaya.
Awuy. T.1994. “Posmodernisme Bukan sebuah Isme” dalam Suara Merdeka.
Awuy,T.1999. Wacana, Tragedi, dan Dekonstruksi Kebudayaan. Yogyakarta : CV. Lentera Wacana Publika
Djelantik, A.A.M. 2004. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Featherstone, M. 2005. Posmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Hartoko, D. 1981. Manusia dan Seni. Yogyakarta : Kanisius.
104
Kartika, S.D.2005 Seni Rupa Modern. Bandung : Rekayasa Sains.
Osborn, H. 1970. Aesthetics and Art Theory. New York : E.P.Dulton & Co.Inc.
Sahman, H. 1993. Estetika : Telaah Sistemik dan Historik. Semarang :IKIP Semarang Press.
.Sugiharto, I.B. 1996. Posmodernisme Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta : Kanisius.
Sumardjo, Y. 2000. Filsafat Seni. Bandung : Penerbit ITB.
Sutrisno SJ, M dan Verhaak SJ, Ch. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta : Kanisius.
The Liang Gie. 2005. Filsafat Keindahan. Yogyakarta : PUBIP.
The Liang Gie.2005 . Filsafat Seni Sebuah Pengantar. Yogyakarta ; PUBIP.
Smiers, J. 2009. Arts Under Pressure. Terjemahan : Umi Haryati. Yogyakarta : ISIST Press.
105