9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ergonomi Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu ergon (kerja) dan nomos (norma/hukum) atau yang berarti ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum kerja. Dengan demikian ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni untuk menserasikan peralatan, mesin, sistem, organisasi dan lingkungan pada kemampuan, kebolehan dan batasan manusia sehingga diperoleh kondisi kerja dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan efisien sehingga tercapai produktivitas yang setinggi – tingginya (Manuaba, 2000; Palilingan,2013). Ergonomi sebagai disiplin ilmu bersifat multidisiplin di mana terintegrasi dengan elemen – elemen fisiologis, psikologis, anatomi, higiene, teknologi dan prakteknya (Manuaba, 1992a). Sasaran penelitian ergonomi ialah manusia pada saat bekerja dan lingkungan pekerjaannya. Ilmu-ilmu terapan yang banyak berhubungan dengan fungsi tubuh manusia adalah anatomi, fisiolog, kinesiologi (mekanika pergerakan manusia) dan biomekanika (analisis sistem gerakan kerangka otot manusia). Ilmu – ilmu ini akan memberikan modal dasar untuk mengatasi masalah postur dan pergerakan manusia di tempat dan ruang kerjanya. Di samping itu, hal yang vital pada penerapan ilmiah ergonomi adalah antropometri (kalibrasi pada tubuh manusia). Dalam hal ini mempelahari tentang pengukuran tubuh manusia untuk merumuskan perbedaan ukuran /dimensi pada
37
Embed
ergonomics application in redesign broom stick reduce workload ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Ergonomi
Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu ergon (kerja) dan nomos
(norma/hukum) atau yang berarti ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum
kerja. Dengan demikian ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni untuk
menserasikan peralatan, mesin, sistem, organisasi dan lingkungan pada kemampuan,
kebolehan dan batasan manusia sehingga diperoleh kondisi kerja dan lingkungan
yang sehat, aman, nyaman dan efisien sehingga tercapai produktivitas yang setinggi
– tingginya (Manuaba, 2000; Palilingan,2013).
Ergonomi sebagai disiplin ilmu bersifat multidisiplin di mana terintegrasi
dengan elemen – elemen fisiologis, psikologis, anatomi, higiene, teknologi dan
prakteknya (Manuaba, 1992a). Sasaran penelitian ergonomi ialah manusia pada
saat bekerja dan lingkungan pekerjaannya. Ilmu-ilmu terapan yang banyak
berhubungan dengan fungsi tubuh manusia adalah anatomi, fisiolog, kinesiologi
(mekanika pergerakan manusia) dan biomekanika (analisis sistem gerakan
kerangka otot manusia). Ilmu – ilmu ini akan memberikan modal dasar untuk
mengatasi masalah postur dan pergerakan manusia di tempat dan ruang kerjanya.
Di samping itu, hal yang vital pada penerapan ilmiah ergonomi adalah
antropometri (kalibrasi pada tubuh manusia). Dalam hal ini mempelahari tentang
pengukuran tubuh manusia untuk merumuskan perbedaan ukuran /dimensi pada
10
setiap individu atau pada kelompok yang sejenis. Data antropometri biasanya
dipakai apabila mendesain atau memodifikai alat/produk (anonim, 2005).
Peralatan dan lingkungan kerja yang tidak ergonomis akan berdampak
negatif bagi pekerja, disamping tidak aman dan tidak nyaman akan
memungkinkan terjadi kecelakaan, menimbulkan penyakit akibat kerja dan
rendahnya produktivitas kerja. Dalam kaitannya dengan dampak negatif yang
ditimbulkan, upaya yang harus dilakukan adalah dengan menyesuaikan pekerjaan
terhadap manusia, dan bila karena alasan teknis atau ekonomis tidak mungkin
dilakukan, maka baru diarahkan manusia menyesuaikan terhadap pekerjaannya,
melalui proses seleksi, latihan dan adaptasi (Manuaba, 1992a; Palilingan dkk,
2012a).
Dalam berbagai aspek pekerjaan baik industri besar, menengah maupun kecil
perlu diterapkan ilmu ergonomi, guna mengatasi kasus-kasus yang sering terjadi
pada buruh maupun perusahaan itu sendiri. Dengan upaya ergonomi, kelelahan
kerja dalam segala bentuknya seperti adanya pekerjaan yang monoton, kerja fisik
dan mental yang berat dan berlangsung lama, mikrolimat yang buruk, masalah
psikologi dan bekerja dengan perasaan sakit, kurang energi dan adanya penyakit
dan segala macam beban tambahan yang tidak perlu bisa kita hindari, sehingga
segala kemampuan, kebolehan dan batasan seseorang hanya ditujukan kepada
pekerjaan pokok yang menjadi tugasnya. Dengan demikian, pemikiran dan
konsep – konsep yang mendasar perlu dipertimbangkan sejak awal, agar tidak
menjadi masalah yang fatal di masa yang akan datang. Hal ini dapat tercapai
apabila terjadi kesesuaian antara pekerja dengan pekerjaannya. Semboyan yang
11
digunakan dalam ergonomi adalah “Sesuaikan pekerjaan dengan pekerjanya dan
sesuaikan pekerja dengan pekerjaannya” (Fitting the Task to the Person and Fitting
The Person To The Task) (Manuaba,1992b).
2.1.1 Tujuan dan Prinsip Ergonomi
Terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penerapan ilmu ergonomi adalah
sebagai berikut (Tarwaka, 2011; Palilingan dkk, 2012a):
a. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan
cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental,
mengupayakan promosi dan kepuasan kerja.
b. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial
dan mengkoordinasi kerja secara tepat, guna meningkatkan jaminan sosial
baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif.
c. Menciptakan keseimbangan rasional antara aspek teknis, ekonomis, dan
antropologis dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas
kerja dan kualitas hidup yang tinggi.
Memahami prinsip ergonomi akan mempermudah evaluasi setiap tugas atau
pekerjaan meskipun ilmu pengetahuan dalam ergonomi terus mengalami kemajuan
dan teknologi yang digunakan dalam pekerjaan tersebut terus berubah. Prinsip
ergonomi adalah pedoman dalam menerapkan ergonomi di tempat kerja. Menurut
Baiduri (2003) terdapat beberapa prinsip ergonomi, yaitu : bekerja dalam posisi atau
postur normal; mengurangi beban berlebihan; menempatkan peralatan agar selalu
berada dalam jangkauan; bekerja sesuai dengan ketinggian dimensi tubuh;
mengurangi gerakan berulang dan berlebihan; minimalisasi gerakan statis;
12
minimalisasikan titik beban; mencakup jarak ruang; menciptakan lingkungan kerja
yang nyaman; melakukan gerakan, olah raga, dan peregangan saat bekerja; membuat
agar display dan control mudah dimengerti dan mengurangi stres.
Ergonomi memberikan peranan penting dalam meningkatkan faktor
keselamatan dan kesehatan kerja, misalnya desain suatu sistem kerja untuk
mengurangi rasa nyeri dan ngilu pada sistem kerangka dan otot manusia, desain
stasiun kerja untuk alat peraga visual. Tujuan utamanya adalah untuk menjamin
kesehatan kerja sehingga produktivitas dapat ditingkatkan (Srihartati, 2009).
Sedangkan Manuaba (1998), lebih terperinci mengatakan manfaat penerapan
ergonomi antara lain adalah pekerjaan lebih cepat selesai; resiko pekerjaan lebih
kecil; resiko penyakit akibat kerja kecil; kelelahan berkurang;rasa sakit berkurang.
Beberapa perbaikan ergonomi yang telah dilakukan oleh para ahli di luar negeri,
terbukti bahwa dengan penerapan ergonomi mampu memberikan keuntungan secara
ekonomi, meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kerja. Malah telah sampai
pada simpulan good ergonomic is good economic (Hendrick, 2002). Maksudnya
adalah, apabila ergonomi dapat diterapkan dengan baik dan benar akan dapat
memberikan keuntungan ekonomi yang lebih baik.
Seperti telah diuraikan diatas bahwa ergonomi dapat memberikan kontribusi
pada banyak hal dalam rangka mencapai tujuan yang positif. Menyapu jalan dengan
alat bantu yang ergonomis dapat berperan dalam mengurangi beban kerja, keluhan
muskuloskeletal dan kelelahan. Perancangan alat dan proses kerja hendaknya
mempertimbangkan keselamatan dan kenyamanan adalah yang paling utama. seperti
aplikasi ergonomi dalam proses perancangan peralatan kerja untuk penggunaan sapu
13
lidi bertangkai harus dibuat sesuai dengan keperluan dan antropometri pemakainya.
Dalam aplikasinya perlu didasari oleh teknlogi tepat guna yaitu ekonomi, ergonomi,
teknik, sosial budaya, tidak boros energi dan tidak merusak lingkungan (Manuaba,
2003).
2.1.2 Konsep Keseimbangan dalam Ergonomi
Ergonomi merupakan suatu ilmu, seni dan teknologi yang berupaya untuk
menyerasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan
segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara optimal tanpa
pengaruh buruk dari pekerjaannya. Dari sudut pandang ergonomi, antara tuntutan
tugas dengan kapasitas kerja harus selalu dalam garis keseimbangan sehingga dicapai
performansi kerja yang tinggi. Dengan kata lain, tuntutan tugas pekerjaan tidak boleh
terlalu rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload). Karena
keduanya, baik underload dan overoad akan menyebabkan stress. Konsep
keseimbangan antara kapasitas kerja dengan tuntutan tugas tersebut dapat dilihat
pada gambar dibawah ini :
Gambar 2.1 Bagan Konsep Dasar Dalam Ergonomi, Sumber : (Manuaba, 2000).
14
2.1.3 Pendekatan Ergonomi Holistik dan Teknologi Tepat Guna
Untuk mampu meningkatkan kualitas hidup, faktor manusia di dalam seluruh sistem
kerja dari hulu sampai hilir dari pusat produksi sampai ke jaringan kerja yang ada
harus diberdayakan, sehingga mampu memberikan kinerja yang maksimal dan
optimal. Agar tercapainya maksud tersebut harus dilakukan suatu pendekatan yang
mampu memikirkan masalah dari segala lini kehidupan secara holistik dan
berkesinambungan. Salah satu pendekatan yang dapat dilaksanakan adalah
pendekatan ergonomi secara menyeluruh yang terdiri dari pendekatan ergonomi
secara holistik dan dikaji secara SHIP (Manuaba, 2004; 2005a; 2005b). Pendekatan
ergonomi holistik adalah salah satu pendekatan di mana teknologi yang akan
digunakan harus dikaji secara komprehensip melalui 6 kriteria yaitu secara teknis,
ekonomis, ergonomis dan sosiobudaya bisa dipertanggung jawabkan, hemat akan
energi dan tidak merusak lingkungan.
Dalam penerapan teknologi tepat guna tersebut proses harus di analisis
dengan pendekatan SHIP yang berarti bahwa setiap pemecahan masalah dianalisis
dengan cara bersistem, melibatkan berbagai sistem terkait bersama-sama atau
holistik, memanfaatkan berbagai ilmu/disiplin yang terlibat dan harus ada partisipasi
sejak fase perencanaan, dari konsumen atau mereka yang terlibat dengan
permasalahan yang akan ditangani atau yang akan mungkin timbul (Manuaba,2004;
2005). Seperti yang diungkapkan oleh Sutjana, dkk (1996), bahwa penerapan
ergonomi sebaiknya dilakukan secara sistemik, dikaji melalui lintas disiplin ilmu
(interdisipliner) dan holistik serta menggunakan pendekatan partisipatori, agar semua
15
komponen yang ada dapat diajak atau dilibatkan berpartisipasi sejak perencanaan
sampai tahap pelaksanaan maupun dalam evaluasinya sehingga mereka akan
mengetahui keberhasilan atau kegagalan dan serta bersama-sama mencari solusinya
serta mereka akan merasa ikut memiliki.
Bahwa setiap intervensi yang dilaksanakan yaitu meredesain peralatan kerja
dalam hal ini sapu lidi bertangkai ergonomis, haruslah dikaji secara komprehensip
melalui 6 kriteria tersebut. Didalam pengkajian tersebut tentu ada “trade-off” antara
satu kriteria dengan lainnya, dengan acuan bahwa teknologi yang paling sedikit
menimbulkan resiko dan paling banyak menimbulkan benefit merupakan pilihan
akhir (Manuaba, 2005b).
2.2 Aplikasi Antropometri dalam Desain
Aspek-aspek ergonomi dalam suatu proses rancang bangun fasilitas kerja adalah
merupakan suatu faktor penting dalam menunjang peningkatan pelayanan jasa
produksi. Hal tersebut tidak akan terlepas dari pembahasan mengenai ukuran
anthropometri tubuh manusia maupun penerapan data-data antropometri manusia.
Istilah antropometri berasal dari kata anthro yang berarti “manusia” dan metri
yang berarti “ukuran”. Antropometri adalah studi tentang dimensi tubuh manusia
(Pulat, 1992). Antropometri merupakan suatu ilmu yang secara khusus mempelajari
tentang pengukuran tubuh manusia guna merumuskan perbedaan-perbedaan ukuran
pada tiap individu ataupun kelompok dan lain sebagainya. Setiap manusia berbeda
dalam berbagai macam dimensi ukuran seperti kebutuhan, motivasi, intelegensia,
imajinasi, usia, pendidikan, jenis kelamin, kekuatan, bentuk dan ukuran tubuh dan
16
lain sebagainya. Antropometri digunakan sebagai bahan pertimbangan ergonomis
dalam proses perancangan/ alat kerja (stasiun kerja) dalam sistem kerja yang akan
memerlukan interaksi manusia.
Dengan memiliki data antropometri yang tepat maka seorang perancang fasilitas
stasiun kerja akan mampu menyesuaikan bentuk dan geometris ukuran dari desain
fasilitas stasiun kerjanya dengan bentuk maupun ukuran segmen – segmen bagian
tubuh yang nantinya akan mengoperasikan fasilitas stasiun kerja. Data anthropometri
dapat diaplikasikan dalam beberapa hal, antara lain (Wignjosoebroto, 2003): a).
Perancangan areal kerja, b). Perancangan peralatan kerja seperti mesin, perkakas dan
sebagainya, c). Perancangan produk-produk konsumtif seperti pakaian, kursi/meja
komputer, dan lain-lain. d). Perancangan lingkungan kerja fisik. Data antropometri
dapat dimanfaatkan untuk menetapkan dimensi ukuran produk yang akan dirancang
dan disesuaikan dengan dimensi tubuh manusia yang akan menggunakannya. Dalam
kaitan ini maka desain fasilitas stasiun kerja harus mampu mengakomodasikan
dimensi tubuh dari populasi terbesar yang akan menggunakan fasilitas stasiun kerja
hasil desainnya tersebut. Data antropometri yang meyajikan data ukuran dari
berbagai macam anggota tubuh manusia dalam percentile tertentu akan sangat besar
manfaatnya pada saat suatu desain fasilitas stasiun kerja akan dibuat.
2.2.1 Dimensi Antropometri
Informasi tentang berbagai macam anggota tubuh yang perlu diukur dalam
aplikasi antropometri untuk desain fasilitas stasiun kerja dapat dilihat pada gambar
2.2 di bawah ini (Wignjosoebroto, 2003):
17
Gambar 2.2 Data Antropometri Yang Diperlukan Untuk Perancangan Produk
Keterangan gambar 2.2 di atas, yaitu: 1 : Dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai hingga ujung kepala). 2 : Tinggi mata dalam posisi berdiri tegak. 3 : Tinggi bahu dalam posisi berdiri tegak. 4 : Tinggi siku dalam posisi berdiri tegak (siku tegak lurus). 5 : Tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak (dalam
gambar tidak ditunjukkan). 6 : Tinggi tubuh dalam posisi duduk (di ukur dari alas tempat duduk pantat sampai
dengan kepala). 7 : Tinggi mata dalam posisi duduk. 8 : Tinggi bahu dalam posisi duduk. 9 : Tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus). 10 : Tebal atau lebar paha. 11 : Panjang paha yang di ukur dari pantat sampai dengan. ujung lutut. 12 : Panjang paha yang di ukur dari pantat sampai dengan bagian belakang dari
lutut betis. 13 : Tinggi lutut yang bisa di ukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk. 14 : Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang di ukur dari lantai sampai dengan paha. 15 : Lebar dari bahu (bisa di ukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk). 16 : Lebar pinggul ataupun pantat. 17 : Lebar dari dada dalam keadaan membusung (tidak tampak ditunjukkan dalam
gambar). 18 : Lebar perut. 19 : Panjang siku yang di ukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari dalam posisi
siku tegak lurus. 20 : Lebar kepala. 21 : Panjang tangan di ukur dari pergelangan sampai dengan ujung jari. 22 : Lebar telapak tangan.
18
23 : Lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar kesamping kiri kanan (tidak ditunjukkan dalam gambar).
24 : Tinggi jangkauan tangan dalam posisi berdiri tegak. 25 : Tinggi jangkauan tangan dalam posisi duduk tegak. 26 : Jarak jangkauan tangan yang terjulur kedepan di ukur dari bahu sampai dengan
ujung jari tangan.
2.2.2 Antropometri Telapak Tangan
Pengukuran dimensi struktur tangan yang biasa diambil dalam perancangan
produk maupun fasilitas dapat dilihat pada Gambar 2.3 di bawah ini:
(Wignjosoebroto, 2003):
Gambar 2.3 Antropometri Telapak Tangan.
Keterangan: 1. Panjang tangan (A) 2. Panjang telapak tangan (B) 3. Lebar tangan sampai ibu jari (C) 4. Lebar tangan sampai matakarpal (D) 5. Ketebalan tangan sampai matakarpal (E) 6. Lingkar tangan sampai telunjuk (F) 7. Lingkar tangan sampai ibu jari (G) 8. Diameter Genggaman (17)
Secara statistik sudah diperlihatkan bahwa data hasil pengukuran tubuh manusia
pada berbagai populasi akan terdistribusi dalam grafik sedemikian rupa sehingga
data-data yang bernilai kurang lebih sama akan terkumpul di bagian tengah grafik.
19
Sedangkan data-data dengan nilai penyimpangan yang ekstrim akan terletak pada
ujung-ujung grafik. Seperti pada Gambar 2.4 dibawah ini: (Wignjosoebroto, 2003):
Gambar 2.4 Kurva Distribusi Normal Dengan Data Antropometri 95-th percentile
Kurva terdistribusi normal seperti gambar di atas menggambarkan batas
kemaknaan pada tingkat kepercayaan 95% dengan nilai α = 1,645. Penetapan data
antropometri memerlukan nilai rerata dan simpangan baku dari data pengamatan
yang berdistribusi normal dan suatu nilai yang menyatakan persentase tertentu dari
sekelompok data ≤ nilai tersebut. Nilai itulah yang disebut percentile seperti pada
Tabel 2.1 dibawah ini (Wignjosoebroto, 2003):
Tabel 2.1
Macam Percentile dan Cara Perhitungan dalam Distribusi Normal
Percentile Perhitungan 1 – St X - 2.325 σ x
2.5 – th X – 1.96 σ x 5 – th X – 1.645 σ x
10 – th X – 1.28 σ x 50 – th X 90 – th X + 1.28 σ x 95 – th X + 1.645 σ x
97.5 – th X + 1.96 σ x 99 – th X + 2.325 σ x
20
Persentil menunjukkan jumlah bagian per seratus orang dari suatu populasi yang
memiliki ukuran tubuh tertentu. Tujuan penelitian, dimana sebuah populasi dibagi-
bagi berdasarkan kategori-kategori dengan jumlah keseluruhan 100% dan diurutkan
mulai dari populasi terkecil hingga terbesar berkaitan dengan beberapa pengukuran
tubuh tertentu. Sebagai contoh bila dikatakan persentil ke-95 dari suatu pengukuran
tinggi badan berarti bahwa hanya 5% data merupakan data tinggi badan yang bernilai
lebih besar dari suatu populasi dan 95% populasi merupakan data tinggi badan yang
bernilai sama atau lebih rendah pada populasi tersebut.
Menurut Panero dan Zelnik (2003), persentil ke-50 memberi gambaran yang
mendekati nilai rata-rata dari suatu kelompok tertentu. Suatu kesalahan yang serius
pada penerapan suatu data adalah dengan mengasumsikan bahwa setiap ukuran pada
persentil ke-50 mewakili pengukuran manusia rata-rata pada umumnya, sehingga
sering digunakan sebagai pedoman perancangan. Kesalahpahaman yang terjadi
dengan asumsi tersebut mengaburkan pengertian atas makna 50% dari kelompok.
Sebenarnya tidak ada yang dapat disebut “manusia rata-rata”.
Ada dua hal penting yang harus selalu diingat bila menggunakan persentil.
Pertama, suatu persentil anthropometri dari tiap individu hanya berlaku untuk satu
data dimensi tubuh saja. Kedua, tidak dapat dikatakan seseorang memiliki persentil
yang sama, ke-95, atau ke-90 atau ke-5, untuk keseluruhan dimensi. Tidak ada orang
dengan keseluruhan dimensi tubuhnya mempunyai nilai persentil yang sama, karena
seseorang dengan persentil ke-50 untuk data tinggi badannya, memiliki persentil 40
untuk data tinggi lututnya, atau persentil ke-60 untuk data panjang lengannya.
21
2.2.3 Aplikasi Data Antropometri dalam Perancangan Produk
Penggunaan data antropometri dalam penentuan ukuran produk harus
mempertimbangkan prinsip-prinsip di bawah ini agar produk yang dirancang bisa
sesuai dengan ukuran tubuh pengguna (Wignjosoebroto, 2003) yaitu :
1) Prinsip perancangan produk bagi individu dengan ukuran ekstrim. Rancangan
produk dibuat agar bisa memenuhi 2 sasaran produk, yaitu :
a. Sesuai dengan ukuran tubuh manusia yang mengikuti klasifikasi ekstrim.
b. Tetap bisa digunakan untuk memenuhi ukuran tubuh yang lain (mayoritas
dari populasi yang ada), Agar dapat memenuhi sasaran pokok tersebut maka
ukuran diaplikasikan, yaitu:
a) Dimensi jarak ruangan (clearance dimensions), yaitu dimensi yang
diperlukan untuk menentukan minimum ruang (space) yang diperlukan
orang untuk dengan leluasa melaksanakan aktivitas dalam sebuah stasiun
kerja baik pada saat mengoperasikan maupun harus melakukan perawatan
dari fasilitas kerja (mesin dan peralatan) yang ada. Jarak ruangan (clearance)
dalam hal ini dirancang dengan menetapkan dimensi ukuran tubuh yang
terbesar dari populasi pemakai yang diharapkan. Dalam hal ini
menggunakan persentil terbesar (95th atau 97.5th percentile) dari populasi.
b) Dimensi jarak jangkauan (reach dimension), yaitu dimensi yang diperlukan
untuk menentukan maksimum ukuran yang harus ditetapkan agar mayoritas
populasi akan mampu menjangkau dan mengoperasikan peralatan kerja
(tombol kendali, keyboard, dan sebagainya) secara mudah dan tidak
memerlukan usaha (effort) yang terlalu memaksa. Disini jarak jangkauan
22
akan ditetapkan berdasarkan ukuran tubuh terkecil (lower percentile) dari
populasi pemakai yang diharapkan dan biasanya memakai ukuran 2.5th atau
5th percentile.
2) Prinsip perancangan produk yang bisa dioperasikan diantara rentang ukuran
tertentu (adjustable). Produk dirancang dengan ukuran yang dapat diubah-ubah
sehingga cukup fleksibel untuk dioperasikan oleh setiap orang. Mendapatkan
rancangan yang fleksibel maka data antropometri yang umum diaplikasikan
adalah dalam rentang nilai 5-th sampai dengan 95-th.
3) Prinsip perancangan produk dengan ukuran rata-rata Produk dirancang
berdasarkan pada ukuran rata-rata tubuh manusia atau dalam rentang 50-th
percentile.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam melakukan desain atau redesain dalam
proses perancangan produk dan stasiun kerja haruslah berpedoman pada aplikasi data
antropometri pemakainya
2.3 Sikap Kerja
Sikap kerja adalah sikap tubuh (posture) manusia saat berinteraksi dengan
alat/peralatan kerja. Sikap kerja yang baik adalah sikap kerja yang memungkinkan
melaksanakan pekerjaan dengan efektif dan dengan usaha otot yang sedikit. Secara
mendasar sikap tubuh dalam keadaan tidak melakukan gerakan atau pekerjaan adalah
sikap berdiri, berbaring, berjongkok dan duduk (Pheasant, 1991). Posisi dan sikap
kerja para pekerja saat melakukan aktivitas ditempat kerja berpengaruh terhadap
respon fisiologis pekerja tersebut. Sikap kerja yang tidak alamiah/ fisiologis
23
merupakan penyebab munculnya berbagai gangguan pada sistem muskuloskeletal
(Manuaba, 1998). Untuk mengatasi masalah tersebut perlu diketahui kriteria sikap
kerja yang ideal dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan antara lain adalah
sebagai berikut (Pheasant, 1991; Palilingan dkk, 2012b) :
1) Otot yang bekerja secara statis sangat sedikit.
2) Dalam melakukan tugas dengan memakai tangan dilakukan secara mudah dan
alamiah.
3) Sikap kerja yang berubah – ubah atau dinamis lebih baik daripada sikap kerja
statis rileks.
4) Sikap kerja statis rileks lebih baik daripada sikap kerja statis tegang
Menurut Pheasant (1991), ada tujuh prinsip dasar dalam mengatasi sikap tubuh
selama bekerja adalah sebagai berikut:
1) Cegah inklinasi ke depan pada leher dan kepala.
2) Cegah inklinasi ke depan pada tubuh.
3) Cegah penggunaan anggota gerak bagian atas dalam keadaan terangkat.
4) Cegah pemutaran badan dalam sikap asimetris (terpilin).
5) Persendian hendaknya dalam rentangan sepertiga dari gerakan maksimum.
6) Jika menggunakan tenaga otot, hendaknya dalam posisi yang mengakibatkan
kekuatan maksimal.
Kasus yang paling umum berkaitan dengan sikap kerja pada saat melakukan
aktivitas sehari– hari adalah sebagai berikut: (Pheasant, 1991).
1) Inklinasi ke depan pada leher dan kepala, karena medan display terlalu rendah
atau objek terlalu kecil.
24
2) Sikap kerja membungkuk, karena medan kerja yang terlalu rendah dan objek
diluar jangkauan.
3) Sikap asimetris (terpilin) yang mengakibatkan terjadinya perbedaan beban
pada kedua sisi tulang belakang.
4) Sikap kerja yang salah dapat mengakibatkan postural deformitas pada tubuh
antara lain: lordosis, khiposis dan skoliosis.
Selanjutnya menurut Bridger (1995), sikap kerja yang dilakukan oleh pekerja
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut:
1) Karakteristik pekerja (subjek): umur, jenis kelamin, antropometri, berat
badan, kesegaran jasmani, pergerakan sendi, penglihatan serta ketangkasan.
2) Tuntutan jenis pekerjaan (task): posisi tubuh, siklus waktu kerja, periode
istirahat, urut – urutan pekerjaan.
3) Rancangan luasan kerja (work space): ukuran peralatan yang digunakan,
ukuran bahan yang dikerjakan, rancangan peralatan, ukuran luasan kerja
4) Lingkungan kerja (environment): intensitas penerangan, suhu lingkungan,
kelembaban udara, kecepatan udara, kebisingan, debu, dan vibrasi.
Sikap kerja hendaknya diupayakan dalam posisi alamiah sehingga tidak
menimbulkan sikap paksa yang melampaui kemampuan fisiologis tubuh (Cumming,
2003). Sikap kerja paksa bisa terjadi pada saat memegang, mengangkat, dan
mengangkut, dan berdiri terlalu lama atau karena ketidaksesuaian antara alat kerja
dengan ukuran tubuh pekerja (Dempsey, 2003; Hutagalung, 2008). Dalam
hubungannya dengan sikap kerja penyapu jalan, prinsip – prinsip dasar tersebut
haruslah dipertimbangkan untuk memperbaiki sikap kerja penyapu jalan yang tidak
25
alamiah sehingga untuk memperbaiki sikap kerja tersebut faktor kondisi alat kerja
yang memungkinkan untuk diperbaiki. Dengan perbaikan alat kerja diharapkan sikap
kerja penyapu jalan akan sesuai dengan prinsip – prinsip dasar sikap kerja yang baik.
2.4 Beban Kerja
Dalam menghadapi dan mengerjakan suatu pekerjaan berarti tubuh pekerja
akan menerima beban dari luar tubuhnya. Beban tersebut dapat berupa beban fisik
maupun beban mental. Dalam ergonomi setiap beban kerja yang diterima oleh
seseorang harus sesuai atau seimbang baik terhadap kemampuan fisik, kemampuan
kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban tersebut. Secara umum
Menurut Adiputra (2002), Beban kerja (work load) merupakan faktor stressor tubuh
yang dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu:
1) External load ( Stressor) adalah beban kerja yang berasal dari luar tubuh pekerja.
Yang termasuk beban kerja external adalah tugas (task) itu sendiri, oraganisasi
dan lingkungan kerja. Tugas – tugas yang dilakukan baik bersifat fisik seperti ;
sarana kerja, kondisi kerja dan sikap kerja, maupun bersifat mental seperti
kompleksitas atau sulit tidaknya pekerjaan yang mempengaruhi tingkat emosi
pekerja. Organisasi mencakup lamanya waktu kerja, proses kerja dan sistem kerja.
Lingkungan kerja seperti panas lingkungan, intensitas penerangan, kelembaban
dan lain –lain.
2) Internal load (strain) adalah beban kerja yang berasal dari dalam tubuh pekerja
yang berkaitan erat dengan adanya harapan, keinginan, kepuasan, taboo dan lain –
lain.
26
Kriteria penilaian beban kerja yang dapat dipakai (Rodahl, 1989), yaitu:
a. Kriteria objektif, yang dapat diukur dan dilakukan oleh pihak lain yang meliputi
reaksi fisiologis, reaksi psikologis/ perubahan tindak tanduk;
b. Kriteria subjektif yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan sebagai
pengalaman pribadi, misalnya beban kerja yang dirasakan sebagai kelelahan yang
menggangu, rasa sakit atau pengalaman lain yang dirasakan.
Beban kerja pada proses kerja penyapu jalan dapat berupa beban kerja yang
berasal dari faktor eksternal dan dapat juga berasa dari faktor internal. Untuk itu
dalam penilaiannya ada dua kriteria yang dapat dipakai : (a) kriteria objektif, yang
dapat diukur meliputi: reaksi fisiologis. (b) kriteria subjektif, yang dilakukan oleh
orang yang bersangkutan sebagai pengalaman pribadi, misalnya beban kerja yang
dirasakan sebagai kelelahan yang mengganggu, rasa sakit atau pengalaman lain yang
dirasakan.
2.4.1 Penilaian Beban Kerja Fisik
Kerja fisik adalah kerja yang memerlukan energi pada otot manusia yang akan
berfungsi sebagai sumber tenaga. Selama kerja fisik berlangsung, maka konsumsi
energi merupakan faktor utama yang dijadikan tolak ukur penentu berat/ringannya
suatu pekerjaan. Setiap aktivitas kerja fisik yang dilakukan akan mengakibatkan
terjadinya suatu perubahan fungsi faal pada organ tubuh manusia (fisiologis). Kerja
fisik akan mengeluarkan energi yang berhubugan erat dengan kebutuhan atau
konsumsi energi. Menurut Astrand dan Rodahl (1989) bahwa penilaian beban kerja
fisik dapat dilakukan dengan dua metode secara objektif yaitu metode penilaian
langsung dan tidak langsung.
27
Metode pengukuran langsung yaitu dengan mengukur energi yang dikeluarkan
melalui asupan oksigen selama bekerja. Semakin berat beban kerja akan semakin
banyak energi yang diperlukan atau dikonsumsi. Metode ini sangat akurat akan tetapi
diperlukan peralatan yang cukup mahal. Sedangkan metode pengukuran tidak
langsung adalah dengan menghitung denyut nadi selama bekerja. Kecepatan denyut
jantung memiliki hubungan yang sangat erat dengan aktivitas fungsi faal manusia.
Menurut Kroemer dan Granjean (2000) menjelaskan bahwa salah satu
pendekatan untuk mengetahui berat ringannya beban kerja adalah dengan
menghitung denyut nadi kerja, konsumsi oksigen, kapasitas ventilasi paru dan suhu
inti tubuh. Pada batas tertentu ventiasi paru, denyut jantung dan suhu tubuh
mempunyai hubungan yang linier dengan konsumsi oksigen atau pekerjaan yang
dilakukan. Kategori berat ringannya beban kerja dapat dilihat pada tabel dibawah ini: