-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Urgensi hadis nabibaik dalam studi Islam maupun implementasi
ajarannyabukanlah hal yang asing bagi kaum muslimin umumnya,
apalagi bagi
kalangan ulama. Hal ini mengingat hadis menempati posisi
tertinggi sebagai sumber
hukum dalam sistem hukum Islam (al-Tashri> al-Islami>)
setelah al-Qura>n.1
Sebagai referensi tertinggi kedua setelah al-Quran,2 hadis
membentuk
hubungan simbiosis mutualism dengan al-Quran sebagai teks
sentral dalam
peradaban Islam bukan hanya dalam tataran normatif-teoritis
namun juga
terimplementasikan dalam konsensus, dialektika keilmuan dan
praktek keberagaman
umat Islam seluruh dunia sepanjang sejarahnya. Bersama al-Quran,
hadis
merupakan sumber mata air yang menghidupkan peradaban Islam,
menjadi
inspirasi dan referensi bagi kaum muslimin dalam
kehidupannya.
Mengingat strategisnya posisi hadis dan urgensi mempelajarinya,
maka
ulama hadis memberikan perhatian serius dalam bentuk menghafal
hadis,
mendokumentasikan dalam kitab-kitab dan mempublikasikannya,
menjabarkan
cabang-cabang keilmuannya, meletakkan kaidah-kaidah dan
metodologi khusus
untuk menjaga hadis dari kekeliruan dan kesalahan dalam
periwayatan serta
melakukan riset-riset untuk meneliti validitas hadis dan
melakukan dokumentasi dan
kodifikasi dengan berbagai macam metode untuk memudahkan akses
terhadap hadis.
Demikian pula, mereka menjelaskan posisi dan urgensi hadis
kepada umat dan
memotivasi umat untuk mempelajarinya dan berpegang teguh kepada
sunah dalam
semua aspek kehidupannya.3
1 DR. Abdullah Hasan al-Hadisi. Athar al-H{adith al-Nabawy
al-Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha>. (Beirut :
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 2005) . 3 2 Mayoritas ulama
sepakat bahwa kedudukan (manzilah) sunnah dalam adillah
ash-sharyyah
menempati posisi kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran
bersifat qat}iy al-thubut, sementara sunnah bersifat z}anniyah
al-thubut, sehingga yang qat}iy diutamakan daripada yang z}anny,
(2) karena sunnah berfungsi sebagai baya>>n bagi Al-Quran,
sementara kedudukan penjelas (al-baya>n) adalah ta>bi
(pengikut) bagi yang dijelaskan (al-mubayyan), (3) secara normatif,
Rasulullah SAW secara taqri>ry menetapkan hal tersebut dalam
hadis Muadz tatkala diutus ke Yaman. Wahbah al-Zuhaily, al-Wajiz fi
Us}ul al-Fiqh, 37-38 3 Lihat Muhammad Muhammad Abu Zahwu,
Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: Al-Riasah al-
Ammah li Idarat al-Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta wa al-Dawah wa
al-Iryad, 1404 H/1984 M), 5-6
-
2
Dalam konteks konsep keilmuan dewasa ini, ilmu hadis perlu
diuraikan
secara sistematis dari aspek ontologi, epistemologi dan
aksiologinya. Demikian pula,
verifikasi berbagai istilah (term) dan definisinya masing-masing
serta yang tidak
kalah pentingnya adalah argumentasi-argumentasi tentang otoritas
hadis serta
eksistensinya sebagai landasan agama. Hal ini mengingat,
tema-tema tersebut tidak
jarang menjadi kontroversi dalam wacana studi Islam.
Dalam makalah sederhana ini dibahas tentang konsep hadis,
terminologi,
eksistensi serta otoritas (hujjiyah)-nya dalam syariat Islam
sebagai pengantar
mengkaji berbagai aspek dan cabang ilmu hadis yang cukup
luas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa ontologi dari eksistensi hadis?
2. Apa saja terminologi yang berkembang seputar hadis?
3. Bagaimana kategorisasi hadis?
4. Bagaimana kehujjahan (otoritas) hadis sebagai sumber ajaran
Islam?
5. Bagaimana kedudukan hadis dalam konteks diskusi hadis sebagai
landasan
agama Islam?
-
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ontologi dan eksistesi hadis dalam perspektif kajian
keilmuan
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos.
Ontos berarti
sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Dengan demikian,
secara sederhana
ontologi dapat dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari tentang
hakikat sesuatu
yang berwujud (yang ada). 4
Setiap disiplin ilmu mempunyai objek penelaahan yang
jelas dan landasan ontologis yang berbeda-beda.
Adapun epistemologi merupakan gabungan dari dua kata yaitu
episteme dan
logos yang keduanya berarti teori ilmu pengetahuan. Dengan
demikian, epistemologi
dapat didefiniskan sebagai ilmu yang membahas pengetahuan dan
cara atau teknik
dan prosedur untuk memperolehnya. Landasan epistemologi ilmu
adalah metode
ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan
pengetahuan secara
ilmiah yang disebut ilmu atau pengetahuan ilmiah.5
Sementara itu, aksiologi atau juga disebut teori nilai,6 adalah
ilmu yang
menyoroti masalah nilai dan kegunaan ilmu.7 Landasan penelaahan
suatu ilmu terdiri
dari ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiganya perlu
diuraikan dalam upaya
menggambarkan hakikat keberadaan ilmu.8 Dalam konteks ini, ilmu
hadis
9 sebagai
suatu pengetahuan ilmiah, tentunya harus memenuhi syarat
ontologis, epitemologi
dan aksiologi tersebut.
Secara ontologis, eksistensi ilmu hadis berkaitan erat dengan
keberadaan
Nabi Muhammad SAW baik kehidupan maupun ajaran-ajarannyaselain
al-
Quranyang dinilai penting sebagai landasan untuk memahami
dan
mengimplementasikan ajaran Islam secara holistik dan
komprehensif. Ilmu hadis
adalah ilmu yang membahas tentang hadis Nabi Muhammad SAW yang
berupa
segala informasi yang dikaitkan dengan beliau baik berupa
ucapan, perbuatan,
ketetapan, maupun sifat fisik dan kepribadiannya. Informasi
tersebut diriwayatkan
4 Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi,
Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 69 5 Ibid., 74-75
6 Ibid., 78
7 Ibid., 79
8 Ibid., 67
9 Disebut juga ilmu mus}t}alah al-H}adi>th atau Ilm Us}u>l
al-H}adi>th.
-
4
dalam bentuk teks yang sebut matan disertai rangkaian
periwayatnya yang disebut
sanad. Jadi, objek yang diteliti adalah sanad dan matan
hadis.
Ilmu hadis umumnya dibagi dua macam yaitu ilmu al-h}adi>th
dira>yah atau
ilmu dira>yah al-h}adi>th dan ilmu al-h}adi>th
riwa>yah atau ilmu riwa>yah al-h}adi>th.10
Ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang mencakup informasi tentang
perkataan Nabi
SAW, perbuatan, taqri>r maupun s}ifat beliau, tentang cara
periwayatan dengan
penukilan redaksi secara teliti. Termasuk di dalamnya juga
informasi tentang
sahabat dan tabiin menurut mayoritas ahli hadis.11 Topik
pembahasan ilmu riwayat
hadis adalah perkataan, perbuatan dan sifat-sifat dari segi
penukilan. Ilmu ini
mencakup pembahasan tentang segala yang berpautan dengan lafal
dan periwayatan.
Adapun, Ilmu hadis dirayah adalah ilmu untuk mengetahui hakikat
riwayat yang
mencakup syarat, macam dan hukumnya serta keadaan perawi yang
mencakup
syarat, jenis yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan
dengannya. Obyek
pembahasan ilmu ini adalah sanad dan matan hadis. Ilmu ini
dirancang untuk
mengetahui informasi terkait Nabi SAW dan tata cara periwayatan
informasi
tersebut dan tingkat orisinalitas dan validitasnya.12
Adapun dari aspek epistemologi, metode untuk memperoleh ilmu
hadis ini
secara substansial juga dibagi menjadi dua menurut pembagian
ilmu hadis di atas.
Ilmu hadis riwayah diperoleh dengan menggunakan metode hafalan
dan pencatatan
karena sifatnya adalah menjaga agar nukilan dari Nabi tidak
berubah. Sedangkan
ilmu dirayah hadits cara memperolehnya adalah dengan melakukan
penelitian sanad
hadits dan matan hadits. Menurut Ibnu Sholah, dari dua cabang
ilmu tersebut, ilmu
hadis dikembangkan dalam pembahasan sekitar 75 cabang ilmu,
diantaranya
marifah al-sahih min al-h}adi>th, marifah al-h}asan, marifah
al-d}ai >f, marifah al-
marfu>, marifah mukhtalaf al-h}adi>th, marifah t}abaqa
>t al-ruwah wa al-ulama>.13
Hamzah al-Malibary meringkas bahwa ilmu hadis mencakup empat
bagian utama
yaitu ilm al-riwayah, qawa>id al-tash}i>h wa al-tali
>l, ilm jarh wa al-tadi >l dan fiqh
10
Nuruddin Itr, Manh}aj al-Naqd fi Ulu>m al-h}adith (Damaskus :
Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1997 M), 30 11
Ibid., 31 12
Abu Muadz Tariq bi Iwad{allah, al-Madkhal ila Ilm al-Hadith
(Kairo: Dar Ibn al-Jauzi dan Dar Ibn Affan, cet. 2, 1428 H/2007 M),
22. Muhammad S{iddiq al-Minshawy, Qamus Mustalahat al-Hadith
al-Nabawy (Kairo : Dar al-Fadhilah, tt), 80 13
Ibnu Salah. Marifah Anwa Ulum al-Hadith, ed. Abdul Latif
al-Hamum dan Mahir Yasin Fahl (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
cet. 1, 1423/2002), 78
-
5
al-hadi>th.14 Termasuk yang perlu ditambahkan juga adalah
cabang ilmu hadis yang
penting dewasa ini yaitu sejarah perkembangan kodifikasi hadis
dan ilmu hadis.
Dari aspek aksiologi, nilai guna ilmu hadis merujuk kepada
kedudukan hadis
sebagai marjaiyah al-ulya > fi al-Isla>m bada al-Qura>n
(referensi/acuan nilai yang
tertinggi dalam Islam setelah Al-Quran). Kandungan pesan yang
termuat dalam
hadis menjadi landasan dan pedoman keyakinan (akidah), hukum
(syariah), dan
etika dan moralitas (akhlak dan adab) bagi kaum muslimin.15
Nilai guna ilmu hadis,
antara lain; (1) untuk mengetahui hadis yang dapat diterima atau
ditolak untuk
istidla>l dan istinba>t} dalam ijtihad dalam berbagai
persoalan agama, (2) menguatkan
ke-thiqah-an (kepastian keyakinan) akan hadis-hadis yang telah
diverifikasi
validitasnya sebagai sesuatu yang benar-benar berasal dari Nabi
SAW, (3) sebagai
keahlian metodologis bagi para pengkaji dan peneliti dalam
menyeleksi riwayat-
riwayat hadis dan informasi sejarah,16
(4) menjaga orisinalitas ajaran Islam dari
upaya penyelewengan (tah}ri>f) dan perubahan (tabdi>l)
melalui pemalsuan riwayat dan
penyisipan ajaran khurafat dan isra>iliyya>t, (5)
mewaspadai dari ancaman sanksi
berdusta atas nama Nabi SAW dalam periwayatan hadis.17
B. Terminologi yang berkembang seputar Hadis
Dalam referensi ilmu hadis, term yang berkembang dan dipakai
luas seputar
hadis tidak hanya satu yaitu hadis, namun juga al-sunnah,
al-khabar dan al-athar.
Keempat term tersebut ada yang mengartikan sama dan ada pula
yang mengartikan
berbeda. Tentunya, beragam terminologi ini perlu diklarifikasi
maknanya sesuai
dengan definisi dan konteks penggunaan masing-masing agar tidak
menimbulkan
kerancuan dan kesalahan persepsi (misunderstanding).
1. Hadis
14
Hamzah al-Malibary, Ulum al-Hadith fi D{au Tatbi >qa>t
Muhadithin al-Nuqa>d (Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. 1, 1423
H/2003),16 15
Lihat Israr Ahmad Khan. Authentication of Hadith Redefining the
Criteria (London: The International Institute of Islamic Thought,
1431 HH/2010 CE), XIII 16
Mustafa al-Khan dalam tahqiq Kitab al-Manhal al-Rawy min Taqrib
al-Nawawy (tp: Dar al-Malah} li al-Tabaah wa al-Nashr, ttt), 18
17
Itr, 29-30
-
6
Arti kata hadis secara bahasa (etimologis), setidaknya memiliki
tiga macam
arti,18
yaitu:
1) Hadis berarti khabar dan berita (al-khabar wa al-naba>),
seperti tersebut
dalam QS. An-Naziat: 15 dan al-Ghasyiyah: 52.
2) Hadis bersinonim dengan al-kala>m, hal ini dapat dirujuk
dari firman Allah
SWT (QS. Az-Zumar: 23) ah}san al-h}adi>th dalam ayat ini
artinya ah}san al-
kala>m (sebaik-baik perkataan). Lihat pula QS. Al-Mursalat:
50
3) Hadis bermakna al-jadi>d (baru) sebagai lawan dari
al-qadi>m (lama). Makna
ini merupakan arti dasar dari kata al-hadis, yang kemudian
digunakan untuk
al-khabar (berita). Hal ini karena munculnya berita bersifat up
to date dan
berlangsung secara kontinu sebagian demi sebagian sehingga
terasa sebagai
sesuatu yang baru.19
Konteks penggunaan kata hadis dalam ilmu hadis, tidak terpaut
jauh dari
makna etimologis di atas. Hadis merupakan sesuatu yang berisi
informasi (al-khabar
wa al-naba>) dari kala>m Nabi SAW yang bersifat jadi>d
bila dibandingkan dengan
kala>m Allah SWT. 20
Adapun secara terminologis, di kalangan ahli hadis, setidaknya
ada tiga versi
pendapat tentang pengertian hadis secara istilah, yaitu:
(1). Perkataan Nabi SAWselain Al-Qurandan perbuatan, taqri>r,
dan sifat-sifat
khususnya, termasuk gerak dan diamnya, bangun dan
tidurnya.21
Dengan demikian
hadis hanya terbatas pada hadis marfu> saja. Hadis sinonim
dengan sunah Nabi.
(2). Khusus untuk perkataan Nabi SAW. Dalam hal ini hadis adalah
antonim dari
sunah dimana sunah adalah amalan dan perbuatan Nabi SAW yang
diteladani
(t}ari>qah amaliyah) dan merupakan penjelasan praktis Nabi
SAW tentang ajaran Al- 18
Lihat Ibnu Mandhur., Lisan al-Arab, Vol. 2 (Mesir, maktabah
al-Syuruq al-Dauliyah, cet. 4, 1425 H/2004 M), 507. Majma al-Lughah
al-Arabiyah al-Idarah al-At wa ihya al-Turoth, al-Mujam
al-Was>it} (Mesir: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, cet. 4, 1425
H/2004 M), 190 . 19
lihat As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy. Vol.
1, 42. Makna al-h}adi>th sebagai al-jadi>d, merupakan
pasangan kata al-qadi>m untuk al-Quran, lihat Subhi Salih, Ulum
al-Hadith wa Must }alahuhu; Ard{un wa Dirasatun, 5 20
Dalam Al-Quran terdapat cukup banyak ayat yang menggunakan kata
hadith seperti dalam QS. Al-Thur: 34, Thoha : 9, Al-Dzariyat : 24,
Al-Mursalat : 50, Al-Naziat : 15, dll. Sementara di dalam hadis
Rasulullah SAW, kata hadith misalnya dapat ditemui dalam riwayat
al-Bukhari no. 771 Al-Bukhari. Al-Jami As-Shohih. Vol. 1. Tahqiq
Muhibuddin al-Khatib. (Kairo: Al-Maktabah as-Salafiyah, cet. 1,
1400 H), 250. 21
Al-Sakhawy, Tawd}ih al-Abhar li Tadhkirah Ibn al-Mulqin Fi Ilm
al-Athar. Vol. 1. Ed. Abdullah bin Muhammad Abdurrahim al-Bukhary
(Saudi: Maktabah Us}ul al-Salaf, cet. 1, 1418 H), 10. Al-Sakhawy.
Fath al-Mughits Syarh Alfiyah al-Hadis. Vol. 1. Ed. Abdul Karim
al-Khudhair dan Muhammad bin Abdullah Alu Fuhaid (Saudi: Maktabah
Ushul as-Salafh, Cet.1, 1418 H), 10
-
7
Quran dan bersifat mutawa>tir.22 Definisi ini merujuk kepada
pengertian bahasa
(etimologis) hadis yang berarti al-kala>m (perkataan). Dalam
atha>r salaf di kalangan
ulama hadis terdapat indikasi pembedaan ini. Abdurrahman bin
Mahdi ketika
ditanya tentang Malik bin Anas, al-Auzay dan Sufyan bin Uyainah
menjawab:
Al-Auzay adalah imam dalam masalah sunah tapi bukan imam dalam
masalah
hadis. Sufyan adalah Imam dalam masalah hadis dan bukan imam
dalam masalah
sunah. Adapun Malik adalah imam dalam kedua hal tersebut.23
(3). Perkataan Nabi SAWselain Al-Quran, perbuatan, persetujuan
Nabi atas
sesuatu hal (taqrir), sifat fisik (khalqiyah) dan akhlak
(khuluqiyah) serta seluruh
informasi yang terkait dengan Nabi SAW baik sebelum diutus
sebagai Nabi (qabla
al-bithah) atau sesudahnya (bada al-bithah), termasuk pula
biografi (sirah) dan
peperangan (ghazawa>t) yang terkait kehidupan dan dakwahnya.
Demikian pula,
hadis mencakup perkataan dan perbuatan sahabat Nabi SAW dan
tabiin. Dengan
demikian hadis meliputi riwayat yang marfu>, mawqu>f dan
maqt}u>. 24
Menurut Nur al-din Itr, definisi yang ketiga adalah definisi
yang paling
tepat.25
Hal ini dapat dibuktikan dengan realita dalam kitab-kitab hadis
yang ada
yang bukan hanya mencantumkan hadis-hadis yang marfu> kepada
Nabi, namun juga
hadis yang mawqu>f (perkataan shahabat) dan maqt}u>
(perkataan tabiin).26 Bahkan
dapat dikatakan bahwa hampir seluruh ragam jenis kitab-kitab
hadis seperti al-
22
As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy, 5 23
Ajaj al-Khatib. Al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n. (Beirut: Dar
al-Fikri, cet. 3, 1400 H/1980 M), 20, Manahij Jamiah al-Madinah
al-Alamiyah. Ad-Difa an as-Sunnah. (Kode bahan. GUHD5303). Jamiah
al-Madinah al-Alamiyah), 14 24
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah. Al-Wasith, . 15-16,
As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy,. 1/43 .
Pengertian yang luas semacam inilah yang dipilih oleh Nuruddin Itr
dalam Nuruddin itr, Manh}aj al-Naqd fi Ulu>m al-h}adith
(Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1997 M), 26 dan Muhammad
bin Muhammad Abu Syuhbah dalam al-Wasith fi Ulum wa Mustholah
al-Hadis, 16. Dalam konteks penyebutan umum (mutlaq), al-hadis
diasosiasikan dengan khobar marfu dari Nabi SAW. Kemudian akan
mempunyai makna khusus (muqayyad) jika disertai qari>nah
(indikasi lain) tertentu seperti dalam kalimat Hadis Abubakar,
hadis Qotadah yang bermakna atsar. (taliq Abu Muazd Thariq bin
Audhillah dalam As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib
an-Nawawy, . 42-3), Ali Hasan al-Halaby, An-Nukat ala Nuzhat
al-Nadzar, . 52 (footnote) 25
Nuruddin itr, Manh}aj al-Naqd..., 26 26
Muhammad Abu Syuhbah, Al-Wasith...., 16
-
8
muwatha, al-ja>mi al-s}ahi>h, al-sunan, terkandung di
dalamnya hadis nabawi,
perkataan (aqwa>l) shahabat dan tabiin. 27
2. Sunnah
Secara etimologis, Sunnah berarti al-t}ariqah dan al-sirah. 28
yang berarti
jalan, cara atau metode. Makna asal dari kata al-sunnah bermakna
jalan yang dirintis
dan ditempuh oleh orang terdahulu sehingga menjadi jalan yang
selalu diikuti dan
dilalui oleh orang-orang yang datang kemudian.29
Sunnah mencakup juga jalan yang
dilalui hal itu baik ataupun buruk, atau jalan yang ditempuh
kemudian diikuti orang
lain, ataupun cara, arah, mode, peraturan, dan gaya hidup,
kebiasaan (tradition)
dalam hal yang positif ataupun negatif.30
Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa yang mencontohkan suatu sunnah yang baik dalam Islam
maka baginya pahala dari perbuatannya dan dari orang-orang yang
mengikutinya
tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang
mencontohkan
suatu sunnah yang jelek dalam Islam maka baginya dosa dari
perbuatannya dan
dari orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa
mereka
sedikitpun.31
27
Adapun dalam penyebutan secara umum dan kebiasaan para ahli
hadis, konteks pemakaian istilah
hadis adalah segala yang terkait dengan yang bersumber dari
Rasulullah SAW dan tidak digunakan
kepada orang lain selain beliau kecuali jika penyebutannya dalam
konteks yang bersifat khusus dan
tertentu (muqoyyad). Lihat catatan kaki dari Ali Hasan al-Halaby
al-Atsary. An-Nukat ala Nuzhat an-Nadzar. . 25. 28
Al-Jurjany, Mujam al-Tarifa>t, 105Al-Qa>mus al-Muhi>t},
materi sunan, 1558 dan Lisa>n al-Arab Juz 3, 2124 29
Lisa>n al-Arab Juz 3, 2124 30
Di dalam ayat-ayat Al-Quran, terdapat beragam penggunaan kata
dimaksud seperti; Sunan alladhi>na min qablikum atau jalan
orang-orang sebelum kamu (QS. An-Nisa : 26), sunnat al-awwalin (QS.
Al-Anfal : 38), wa la>> tajidu li sunnatina> tah{wi>lan
(QS. Al-Isra : 77), sunnah Allah (QS. Al-Fath : 23), dll. Secara
umum, penggunaan kata sunnah dalam Al-Quran menunjukkan makna
al-t}ariqah wa al-adah (jalan yang ditempuh dan kebiasaan yang
berlaku). Sementara dalam hadis Rasululah, terdapat dalam hadis
Rasulullah SAW : latattabiunna sanana man kana qablakum shibran bi
shibrin.. (HR. Al-Bukhari dalam Fath al-Bary 6/495 Kitab al-Anbiya
Bab Dhikru Bani Israil, hadis no. 3456 dari Abu Said al-Khudry RA),
juga dalam hadis : ............ fa man raghiba an sunnaty fa laisa
minny (HR. Bukhari dalam Fath al-Bary 9/104, Kitab al-Nikah, Bab
al-Targhib fi al-Nikah, hadis no. 5063
dari Anas bin Malik RA), Hadis : S{allu qabla al-Maghribqala fi
al-thalithahliman shaa, karahiyatan an yattakhidhaha al-nas
sunnatan (HR. Al-Bukhari dalam al-Fath 3/60, Kitab al-Tauhid, bab
al-S{alah qabl al-Maghrib, hadis nomor 1183 dari Ibnu Buraidah RA).
Ibnu al-Hajar menjelaskan
maksud sunnah dalam hadis ini adalah shariatun wa t{ariqatun
la>zimah.(ibid). 31
HR. Muslim 4/2059 Kitab al-Ilm Bab Man Sanna sunnah hasanah aw
sayyiah hadis no. 15 (1017).
-
9
Dalam istilah sebagian ahli hadis, sunnah adalah apa saya yang
dikaitkan
dengan Nabi SAW saja, namun mayoritas mereka menetapkan bahwa
sunnah
mencakup pula apa yang disandarkan kepada para sahabat dan
tabiin.32 Dengan
demikian, sunnah menurut ulama hadis sinonim dengan hadis.
Adapun para ulama disiplin ilmu lain mendefinisikan hadis dalam
perspektif
keperluan bidang keilmuannya. Ahli Us}u>l fiqh mendefiniskan
sunnah sebagai segala
hal yang datang dari Nabi (selain al-Quran), baik perkataan,
perbuatan maupun
taqri>r yang pantas menjadi dalil hukum shara`. Sementara
menurut ahli Fiqih,
sunnah adalah segala perintah yang datang dari Nabi yang
hukumnya bukan fard}u
atau wajib. Sunnah juga kadang diposisikan sebagai lawan dari
bidah.33
Sementara dalam tataran praktis-aplikatifsebagaimana
pendapatItrterm
sunnah lebih banyak dipakai oleh para ulama ushul fiqh,
sementara term hadis, lebih
banyak dipakai oleh ulama hadis. Menurut ulama ushul fiqh,
sunnah lebih banyak
disebut dalam konteksnya sebagai sumber penetapan syariat
(masdar tashri>). 34
Sementara ulama hadis menggunakan secara luas sebagai kata ganti
yang sinomin
dengan hadis. Dalam hal ini ahli hadis mengkategorikan sifat
sebagai bentuk
sunnah. 35
S{ubhi S{aleh yang menolak adanya klaim sinonim antara sunnah
dan hadis,
menurut tinjauan etimologis maupun terminologis.36
Sunnah lebih berkaitan dengan
perbuatan (afa>l) Nabi SAW dan lebih berorientasi
aplikatif-fiqhy (living tradition)
dari cara hidup (tariqah) Nabi SAW yang menjadi kebiasaannya
(al-adah). Hal ini
didukung keumuman konteks penggunaan term ini dalam hadis-hadis
Nabi SAW.37
32
Itr, Manhaj al-Naqd..., 28. Namun istilah sunnah lebih banyak
berkaitan dengan Nabi SAW dan para sahabat khususnya al-khulafa
ar-rashidin. 33
Ash-Shaukany. Irshad al-Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min Ilm al-Usul,
186 34
Idem, 28 35
Menurut penulis, memasukkan istilah sifat khilqiyah ke dalam
definisi sunnah tidak tepat karena akan janggal jika dipahami dalam
konteks hadis alaikum bi sunnatiy.. 36
Subhi Salih, Ulum al-Hadith wa Must}alahuhu; Ard{un wa
Dirasatun, h. 6 37
Di antaranya hadis Rasulullah SAW : latattabiunna sanana man
kana qablakum shibran bi shibrin.. (HR. Al-Bukhari dalam Fath
al-Bary 6/495 Kitab al-Anbiya Bab Dhikru Bani Israil, hadis no.
3456 dari Abu Said al-Khudry RA), juga dalam hadis : ............
fa man raghiba an sunnaty fa laisa minny (HR. Bukhari dalam Fath
al-Bary 9/104, Kitab al-Nikah, Bab al-Targhib fi al-Nikah, hadis
no. 5063
dari Anas bin Malik RA).
-
10
3. Khabar
Khabar adalah suatu informasi yang berimplikasi pembenaran
atau
pendustaan.38
Menurut S{ubhi S{a>lih, khabar lebih dekat untuk dianggap
sinonim
dengan hadis karena tahdi>th adalah bentuk ikhba>r dan
hadis Rasulullah SAW adalah
jenis khabar yang marfu> kepada Rasulullah SAW.39 Sejalan
dengan pendapat
tersebut, Itr menilai bahwa hadis, khabar dan athar, ketiganya
memiliki arti yang
sama yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik
perkataan,
perbuatan, ketetapan atau sifat jasmani (fisik), maupun sifat
kepribadian (akhlak),
termasuk pula apa yang disandarkan kepada para sahabat dan
tabiin.
Jika dilacak lebih jauh, terdapat sisi perbedaan ruang lingkup
dari ketiga term
tersebut bila disebutkan secara mutlak40
. Khabar adalah yang paling luas ruang
lingkupnya. Hal ini merujuk kepada makna bahasa, domain content
khabar
mencakup informasi apa saja, bukan hanya terkait Nabi SAW sampai
generasi
tabiin, namun juga khabar tentang peristiwa, tokoh, dan tempat
tertentu selain
Nabi, Sahabat dan tabiin. Dalam praktek para perawi pun, mereka
tidak membatasi
periwayatan hanya informasi Nabi SAW tetapi juga selain Nabi SAW
dan dua
generasi pertama Islam.
4. Athar
Dalam Nukhbat al-Fikar, Ibnu Hajar mensinyalir adanya pendapat
sebagian
muhadithin yang mengkhususkan istilah atha>r untuk khabar
yang mawqu>f dan
maqthu.41 Menurut An-Nawawi, khabar yang marfu ataupun
mawqu>f semuanya
disebut athar. Beliau menolak bahwa pendapat para ulama fiqh
negeri Khurasan
yang membedakan bahwa athar untuk khabar yang mawqu>f.42 Itr
sepakat pendapat
al-Nawawi dengan alasan bahwa istilah athar sinonim dengan hadis
yang bukan
hanya marfu, tapi juga mawqu>f dan maqthu.43
Walaupun dalam pemakaianya istilah atha>r bersifat global
yang mencakup
hadis Nabi. Namun, jika pemakaiannya bersamaan dengan penyebutan
istilah hadis,
38
Khabar Ahad fi al-Hadith al-Nabawy, 29 39
Subhi Salih, Ulum.. 10 40
Disebutkan dalam bentuk satuan kata yang tidak dilekatkan
(id}afah)-kan dengan kata Nabi atau Rasulullah. 41
Ibnu Hajar, Nukhbat al-Fikar, ed. Abd al-Hamid bin Salih alu
awaj (Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. 1, 2006 M), 326 42
As-Suyuthi, Tadrib al-Rawy (Kairo: Dar al-Hadith, 1431 H), 147
4343
Itr, Manhaj..., 29
-
11
maka atha>r lebih menunjukkan makna perkataan sahabat, tabiin
dan tabi al-tabiin
(al-qurun al-thalathah al-mufad}alah).44
Sebagai kesimpulan dari sub bahasan ini, berikut urutan ruang
lingkup dari
yang paling luas cakupan maknanya ke paling sempit dari keempat
istilah tersebut;
Sebagai catatan pulasejalan dengan pendapat S{ubhi
S{a>lihdiskursus
tentang perbedaan antara istilah hadis, khabar, sunnah dan athar
tidak terlalu urgen
dan substansial untuk diperdebatkan. 45
Dalam tataran aplikasi, perbedaan arti
masing-masing dapat dipahami dalam konteks kalimat dan
pembahasannya.
C. Macam-macam Kategori hadis :46
Kategorisasi hadis cukup beragam. Hal ini merujuk kepada
perspektif
tinjauannya yang berbeda-beda. Berikut ringkasan kategori
tersebut:
44
Atha>r dari tiga generasi ini menjadi penting dalam wacana
keislaman dengan adanya persaksian Rasulullah SAW terhadap mereka
sebagai generasi terbaik. Lihat Shahih al-Bukhari Juz 2 . 251,
hadis
nomor 2651, 2652. 45
Ibid, 11 46
Lihat Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, Taisir Must}alah
al-Hadi>th (Iskandariyah: Markaz al-Huda li al-Dirasa>t, cet.
7, 1405 H), Ima>d Ali Jumah, Must}alah al-Hadith al-Muyassar
(Riyad} : Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, cet. 1, 2005)
hadis
dari aspek informasi matan
Fi'ly
Qauly
Taqriry
Sifat
Hammy
dari aspek kuantitas
periwayatan
Mutawatir
Lafdhi
Maknawi
Amaly
Ahad
Mashhur
Aziz
Gharib
dari aspek kualitas
Sahih
Li dhatihi
li Ghairihi
Hasan
Li dhatihi
li Ghairihi
Da'if
shadid
khafif
maudu
dari aspek narasumber
Qudsy
Nabawy (marfu')
mauquf
maqtu'
dari aspek
aplikatif
nasikh
rajih
muhkam
non-aplikatif
mansukh
marjuh
mutawaqqaf fih
Khabar Atha>r Hadis Sunnah
-
12
D. Kehujjahan/otoritas hadis (H{{ujjiyah al-Hadith)
Kata hujjjah menurut bahasa adalah alasan atau bukti, yaitu
sesuatu yang
menunjukkan kepada kebenaran atas tuduhan atau dakwaan,
dikatakan juga hujjah
dengan dalil.47
Adapun, landasan normatif dan logis bagi kehujahan (otoritas)
hadis
sebagai mas}dar (sumber) dan marja (rujukan) bagi ajaran Islam
adalah sebagai
berikut;
1. Landasan Al-Quran
a. Adanya pelimpahan otoritas kepada Rasulullah SAW untuk
menjelaskan (tabyi>n) al-Quran.48
Allah SWT mewajibkan manusia
untuk mengikuti wahyu dan sunnah Rasul-Nya. Sunnah merupakan
pengajaran Allah SWT (al-h}ikmah) kepada Rasul-Nya yang
menyertai
pewahyuan al-Quran yang setara dengan wahyu itu sendiri.49
Kalau
al-Quran adalah wahyu matlu, maka sunnah merupakan wahyu
ghair
al-matluw 50.
b. Pemberian otoritas penetapan hukum (tashri) kepada
Rasulullah
disertai ancaman bagi yang sengaja menyelisinya.51
Perintah untuk
berhukum kepada keputusannya ketika terjadi perbedaan
pendapat
dan perselisihan.52
Tidak ada alternatif pilihan lain bagi orang yang
beriman untuk menyelisihi keputusan (qad}a>) itu.53 Menurut
al-
Shafii, keputusan (qad}a>) Rasulullah tersebut dalam bentuk
sunnah
yang tidak disebutkan secara tekstual dalam al-Quran.54
Penegasan
otoritas hukum ini disertai ancaman penegasian iman55
, penetapan
sifat hipokrit dalam keimanan (nifa>q) bagi mereka tidak
mengakuinya,56
serta ancaman keras berupa pembiaran dalam
47
Al-Jurjany. Mujam Al-Tarifa>t, ed. Muhammad S{iddiq
al-Minshawy (Kairo: Dar al-Fad{ilah, ttp), 73 48
QS. 16: 44 49
Imam al-Shafii berpendapat bahwa ayat-ayat yang menyebut
al-Kitab berarti al-Quran dan al-
hikmah berarti al-Sunnah. Di antara ayat-ayat yang menyebut
tentang hal ini yaitu QS. 4: 113, 2
:129, 231, 3: 164, 62: 2, 33: 34. Lihat al-Shafii, Al-Risalah,
73-76 50
Al-Quran, 53: 3-4, Ibnu Hazm, Al-Ihkam 1/97 51
Ibid., 24: 63, 4: 65, 59: 7 52
Ibid., 4: 59 53
Ibid., 33:36 54
Ibid, 83 55
Ibid., 3: 65 56
Ibid., 3: 61
-
13
kesesatan dan vonis neraka bagi yang membenci ajaran
Rasulullah
SAW.57
c. Penetapan hak ketaatan kepada Rasulullah SAW. Kewajiban
taat
tersebut sebagaimana kewajiban taat kepada Allah SWT.58
Tentunya, menaati Rasulullah berarti menaati ajarannya yang
terdokumentasikan dalam hadis.
d. Penetapan Rasululah sebagai teladan (uswah h}asanah) yang
dicontoh
dan diikuti peri kehidupannya,59
disertai penegasan bahwa Beliau
adalah pribadi agung yang layak diteladani.60
Mengikutinya
merupakan manifestasi cinta kepada Allah .61
2. Landasan Hadis
a. Al-Quran dan Sunnah sebagai warisan pusaka Nabi yang
wajib
dipegang teguh.
Aku telah tinggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara.
Kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada
keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya. 62
b. Penegasan Rasulullah SAW tentang otoritas pribadinya
sebagai
utusan (Rasul) Allah dalam persoalan hukum (tashri>). Hal ini
untuk
membantah pendapat mungkir al-h}adi>th yang telah disinyalir
oleh
Rasulullah SAW akan muncul.
.
57
Ibid., 3:115 58
Lihat al-Quran, 3:: 64, 4: 59, 69, 80, 8: 60, dll. 59
Ibid., 33:21 60
Ibid., 68:4 61
Ibid., 3: 31 62
HR. Malik dalam al-Muwatha (2/899) secara mursal, dan al-Hakim
dalam al-Mustadrak (1/93)
secara mutashil marfu dan disahihkan al-Albani dalam Sahih
al-Jami no. 2937. Merujuk takhrij
Rabi bin Hady al-Madkhaly dalam Hujjiyah Khabar al-Ahad fi
al-Aqaid wa al-Ahkam (Kairo: Dar al-Minhaj, cet. 1, 2005 M) h.
15
-
14
Ketahuilah, boleh jadi ada seseorang yang sampai kepadanya
suatu
hadis dariku dalam keadaan dia duduk di atas sofanya
kemudian
berkata Cukuplah antara kami dan kalian Al-Quran (sebagai
otoritas hukum), apa yang kita dapatkan ketetapan halalnya (itu
saja) yang
kita halalkan dan apa saja ketetapan haramnya, maka itulah
yang
diharamkan. Sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah SAW
adalah sama kedudukannya sebagaimana yang diharamkan
Allah. 63
c. Penegasan kedudukan sunnah yang setara dengan al-Quran
sebagai
wahyu Allah.
64
.
Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan al-Kitab dan sesuutu
yang
setara dengannya (yaitu al-hikmah berupa al-sunnah)
d. Penjelasan tentang konsekwensi taat dan maksiat terhadap
ajaran
(sunnah) Rasulullah SAW.
65.
Semua pengikutku akan masuk surga kecuali yang enggan.
Mereka
(para Sahabat) bertanya; Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?.
Rasulullah bersabda: Siapa yang taat kepadaku masuk surga dan
siapa
yang mendurhakaiku maka berarti dia enggan.
e. Penegasan Rasulullah kepada umatnya untuk berpegang teguh
kepada
sunnahnya dan sunnah para al-khulafa al-Rashidin.
.
Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar
dan
taat walaupun kepada seorang hamba habsyi (yang berkulit
hitam).
Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang masih hidup
sesudahku maka akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka
hendaklah kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah khulafa
ar-rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah sunnah itu dengan
erat
dan gigitlah dengan gigi geraham kalian (jangan sampai
terlepas).
63
HR. Ibn Majah (1/6) hadis no. 12, disahihkan al-Albany dalam
Sahih Ibn Majah hadis no. 12, juga
al-Tirmidzi dalam hadis no. 2664. Merujuk takhrij Rabi bin Hady
al-Madkhaly dalam Hujjiyah Khabar al-Ahad fi al-Aqaid wa al-Ahkam
(Kairo: Dar al-Minhaj, cet. 1, 2005 M), 15 64
HR. Ibn Majah nomor. 4604 65
HR. al-Bukhari dalam al-Jami al-Sahih, Kitab al-Itisam hadis no.
7280.
-
15
jauhilah inovasi dalam cara beribadah, karena setiap inovasi
semacam
itu adalah bidah dan setiap bidah adalah sesat. 66
f. Kondisi umat yang jelek jika pemimpin tidak
mengimplementasikan
petunjuk dan sunnah Rasulullah.
.Akan ada sesudahku para pemimpin yang tidak berpedoman
kepada petunjukku dan tidak bejalankan sunnahku dan akan hadir
di
tengah-tengah mereka tokoh-tokoh yang hatinya seperti hati
syetan
dalam tampilan fisik manusia.67
3. Landasan Al-Ijma
Ijma (konsensus) ulama bahwa hadis sahih merupakan hujah bagi
umat
Islam.68
Mereka sepakat bahwa al-sunnah al-mut}ahharah memiliki
independensi
dalam penetapan hukum syariat dan produk hukumnya berkedudukan
sama
dengan al-Quran dalam penetapan hal dan haram.69
Dalam tataran realitas, terdapat ijma kaum muslimin sepanjang
masa
untuk meneladani Nabi SAW dan menjadikan sunnahnya sebagai
landasan
berfatwa dan memutuskan hukum sejak masa sahabat,70
tabiin dan generasi
berikutnya sampai dewasa ini.71
66
HR. Abu Dawud no. 3991 67
HR. Muslim no. 3435 68
S{ubhi S{a>lih, 291 69
Ash-Shaukany. Irshad al-Fuhul Ila> Tahqiq al-Haq min Ilm
al-Us}ul , Vol. 1,(Riyadh: Dar Fadilah, cet. 1, 1421 H/2000),187
70
Al-Amidy mencatat beberapa kejadian para sahabat sebagai bentuk
ijma mereka tentang kewajiban ittiba kepada Rasulullah SAW, antara
lain; Kasus perbedaan pendapat di kalangan para sahabat tentang
kewajiban mandi junub bagi orang yang berhubungan suami istri tanpa
inzal, Umar menanyakan masalah itu kepada Aisyah dan mendapatkan
jawaban bahwa dirinya dan Rasulullah
melakukan hal itu dan mandi. Hadis ini dijadikan dalil oleh Umar
dan para sahabat lainnya. Demikian
pula pernyataan Umar di hadapan para sahabat lainya bahwa
seandainya dia tidak melihat Rasulullah
mencium Hajar aswad maka dia tidak akan melakukannya. Lihat
Al-Amidy, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, ed. Abdul Razzaq al-Afify
(Riya>d} : Dar Al-S{amiy, cet. 1, 1424 H/2003 M), 1/206 71
Wahbah al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Us}ul al-Fiqh (Beirut : Dar
al-Fikr al-Muas}ir, 1419 H/1999 M), 40
-
16
4. Landasan Logika (al-Maqu>l)
Dalil al-Maqu>l yang bisa diajukan untuk menetapkan potensi
hujji>yah dari
sunnah Rasulullah SAW, antara lain; (1) Tidak mungkin beramal
dengn hanya
mengandalkan ketentuan hukum yang bersifat global dalam al-Quran
tanpa
penjelasan sunnah. Proses penyampaian risalah wahyu oleh Nabi
SAW melibatkan
pembacaan al-Quran dan penjelasan dengan sunnah. Sehingga, tidak
cukup
mengambil salah satu dan meninggalkan yang lain.72
Bahkan, menurut al-Auzay (w.
157 H)73
, al-Quran lebih membutuhkan (penjelasan) sunnah daripada
sebaliknya
(al-Kitab ah{waju ila> al-sunnah min al-sunnah ila>
al-Kita>b).74 Yahya bin Abi Kathi>r
(w. 129 H)75
menegaskan bahwa sunnah adalah penentu hukum bagi al-Quran
(al-
Sunnah qa>d}iyatun ala> al-Kita>b).76 (2) Jika
perbuatan Nabi mengandung probabilitas
hukum; wajib untuk diikuti atau sebaliknya tidak wajib. Maka
mengambil
kemungkinan wajib lebih utama dan lebih hati-hati
(ikhtiya>t}) dari perbuatan
meninggalkan kewajiban,77
(3) Martabat nubuwwah adalah level yang tinggi dan
mulia. Manusia yang terpilih adalah pemilik sifat-sifat yang
agung. Mengikuti
perbuatannya adalah bentuk kemuliaan. (4) Perbuatan Nabi SAW di
atas kebenaran
adalah suatu keniscayaan, maka meninggalkan kebenaran adalah
kesalahan dan
kebatilan. 78
Perlu ditegaskan bahwa, kewajiban taat kepada Rasul bukan hanya
ketika
beliau hidup, namun juga setelah wafatnya. Sebab, perintah taat
bersifat universal
dan mutlaq tanpa dibatasi waktu dan tempat tertentu. 79
Di dalam hadis-hadis di
atas, secara eksplisit Rasulullah memerintahkan untuk berpegang
teguh kepada
sunnahnya setelah wafat beliau. Untuk itu pula, Rasulullah SAW
memotivasi
72
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Wajiz, 40 73
Abu Amr, Abdurrahman bin Amr bin Yuhmad. Seorang syaikh
al-Islam. Pada zamannya menjadi Ima>m (tokoh terkemuka dan
rujukan) bagi penduduk negeri Syam di bidang hadis dan fiqh.
Berguru kepada Qata>dah, Alqamah, Al-Zuhry, Abu Jafar
al-Ba>qir, At}a bin Abi Raba>h}, Makh}u>l, dll. Muridnya
antara lain; Sufyan al-Thaury, Syubah dan Imam Malik. Lihat Siyar
Alam Nubala. Ed.
Al-Arnaut, dkk (Beirut: Muassasah al-Risalah, cet 3, 1405) vol.
7, 107-108 74
Mustafa al-Sibai, Al-Sunnah wa Makanatuha fi tashri al-Islamy
(Beirut: al-maktab al-Islamy, cet.3, 1402 H/1982 M), 387 75
seorang imam ha>fidh. Yang menjadi muridnya antara lain
al-Auzay, Mamar bin Rasyid, Aban bin yazid, dll. Ayub al-Sakhtiyany
berkata: Saya tidak melihat ada orang yang lebih pakar (a>lim)
di Kota
Madinah setelah al-Zuhry daripada Yahya bin Abi Kathi>r. Abu
Sahl al-Maghrawy. Mausuah Mawa>qif al-Salaf fi al-Aqidah.. Vol.
2 (Kairo: al-Maktabah al-Islamiyah, ttp), 219 76
Ash-Shaukany, Irshad al-Fuhul, 189 77
Hal ini bisa dianalogikan dengan orang yang lupa apakah sudah
mengerjakan suatu shalat fardhu
atau belum. Maka orang tersebut mengambil pilihan belum dan
segera mengerjakannya. 78
Al-Amidy, Al-Ihkam, 1/237-238. Ash-Shaukany, Irshad al-Fuhul, 1/
203-207 79
Mustafa al-Sibai, Al-Sunnah, 55
-
17
umatnya untuk memperhatikan periwayatan hadis-hadis yang
disampaikannya baik
perhatian berbentuk riwa>yah maupun dira>yah.80 Rasulullah
SAW bersabda:
Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengarkan sesuatu
dari kami kemudian menyampaikannya seperti apa yang didengarnya.
Boleh jadi orang yang
disampaikan kepadanya sesuatu lebih paham dari orang yang
mendengarnya
(langsung dari sumber).81
Motivasi juga berbentuk informasi tentang kedudukan yang mulia
bagi para
ahli hadis yang mengemban misi sebagai penjaga eksistensi sumber
syariat dalam
matan-matan riwayat. Rasulullah SAW bersabda:
Ilmu ini akan diemban oleh orang-orang yang adil di setiap
generasi. Mereka menolak penyimpangan yang dilakukakan orang-orang
yang ekstrim, pemalsuan
yang disisipkan (intih{a>l) dari para pendusta
(al-mubt{ilu>n) dari sekte-sekte yang bidah dan interpretasi
(tawi>l) dari orang-orang bodoh.82
E. Diskursus tentang Eksistensi Hadis sebagai Landasan Agama
Kedudukan (manzilah) sunnah dalam adillah ash-sharyyah menempati
posisi
kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat qat}iy
al-thubut, sementara
sunnah bersifat z}anniyah al-thubut, sehingga yang qat}iy
diutamakan daripada yang
z}anny, (2) karena sunnah berfungsi sebagai penjelas (bayan)
bagi Al-Quran,
sementara kedudukan penjelas (al-bayan) adalah adjektif
(ta>bi) bagi yang dijelaskan
80
Ilmu riwa>yah al-hadith adalah ilmu hadis yang berkaitan
proses dan mekanisme transmisi
(periwayatan) hadis. Sedangkan Ilmu dira>yah hadith adalah
ilmu hadis yang berkaitan dengan cara mengetahui kondisi dan
kualitas sanad (perawi) hadis dan matan (yang diriwayatkan)nya.
Lihat
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Wasi>t} fi Ulu>m wa
Must}ola>h al-H{adi>th (Jeddah : Alam al-Marifah li an-Nasyr
wa at-Tauzi, Cet. 1, 1403 H/1983 M), . 24-25. Nuruddin itr, Manh}aj
al-Naqd fi Ulu>m al-h}adith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3,
1418 H/1997 M), . 30-32 81
Muhammad bin Isa At-Tirmidzi. Sunan Al-Tirmi>dzi>, Juz 5,
ed. Ahmad Muhammad Syakir, dkk. (Beirut: Dar Ihya Al-Turats
al-Araby, tanpa tahun), . 34 82
Sulaiman bin Ahmad al-Thobary. Musnad Al-Samiyin. Juz 1, ed.
Hamdy bin Abdul Majid as-Salafy (Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet.
1, 1405 H/1984 M), . 344. Hadis Hasan ghorib, lihat catatan Abu
Muadz dalam Jalaluddin As-Suyuthi. Tadri>b al-Ro>wy fi Syarh
taqri>b al-Nawawi>, Juz 1, (al-Riyadh: Dar al-Ashimah, 1423
H), . 511
-
18
(al-mubayyan), (3) secara normatif, Rasulullah SAW secara
taqriry menetapkan hal
tersebut dalam hadis Muadz tatkala diutus ke Yaman.83
Dari aspek kedudukannya dalam wacana agama, hadis memiliki
beberapa
fungsi yaitu:
1- Hadis sebagai penguat dan penegas keterangan Al-Quran.
Contohnya hadis
Rasulullah SAW yang melarang perbuatan syirik, bunuh diri, saksi
palsu,
durhaka kepada orang tua84
menegaskan dan memperkuat larangan tersebut
dalam Al-Quran.85
2- Hadis sebagai mubayyin bagi al-Quran. Dalam hal ada tiga
bentuk, yaitu
(a) penjelasan terperinci atas petunjuk Al-Quran yang bersifat
global
(mujma>l), seperti hadis yang merinci teknis pelaksaan
sholat86 yang
diperintahkan dalam Al-Quran87
, (b) mengkhususkan (lex specialis)
petunjuk yang bersifat umum (a>m) dari Al-Quran. Seperti
hadis larangan
menikahi seorang wanita dengan bibinya dalam semasa88
sebagai
pengkhususan dan pembatasan atas Surat an-Nisa ayat 2489. Dan
yang
ketiga (c) hadis sebagai muqayyid (membatasi dengan persyaratan)
sesuatu
yang bersifat mutlak dalam Al-Quran, seperti hadis yang
menerangkan
tentang bagian tangan yang dipotong dalam hukuman bagi pencuri
adalah
telapak sampai pergelangan tangan sebagai taqyid kata yad dalam
Al-
Quran 5:38.
3- Hadis sebagai na>sikh (meng-abrogasi) hukum al-Quran,
seperti hadis La
was{iyyah li wa>rith sebagai na>sikh terhadap QS. 2:
180.90
4- Hadis sebagai penetap hukum baru yang tidak disinggung oleh
al-Quran.
Seperti; hukuman rajam bagi pezina muhsan, keharaman perhiasan
emas
83
Wahbah al-Zuhaily, al-Wajiz fi Us}ul al-Fiqh, 37-38 84
Al-Bukhari, al-Jami al-Sahih 2/251, hadis no. 2653 ;
85 Sebagai contoh al-Quran, 31: 13 dan 4: 48 tentang larangan
syirik. 22: 30 dan 25: 72 tentang
larangan perkataan dusta, 17: 23-24 dan 47: 22-23 tentang
larangan durhaka kepada kedua orang tua,
4: 29, 17: 33, dan 5: 32, tentang larangan membunuh jiwa. 86
Lihat hadis-hadis dalam Sahih al-Jami pada juz 1 mulai Kitab
al-Wudhu sampai Kitab as-Sahwi 87
al-Quran, 2: 43, 83,110, 4: 88, 10: 87, 24: 56, 30: 31, dll
88
Al-Bukhari, al-Jami al-Sahih 3/365, hadis no. 5108 dan 5109
89
Di antara penggalan ayatnya :
90 Wahbah al-Zuhaily. Al-Wajiz, 38-39. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama selain Imam ash-Shafii
-
19
dan sutra bagi laki-laki, kewajiban zakat fitrah, keharaman
daging keledai
jinak, dll.91
Selaras dengan keluasan wacana al-Quran, komprehensitas ruang
lingkup
pembahasan hadis juga mencakup semua aspek dan dimensi kehidupan
manusia.
Tema-tema hadis mencakup persoalan aqidah (teologi), hukum
(yuridis), akhlak
(moralitas dan etika), sejarah (historis), dll. Demikian pula
mencakup persoalan-
persoalan manusia dalam kehidupan individu (privat), keluarga,
masyarakat dan
bernegara. Dengan demikian, hadis berperan penting dan luas
sebagai landasan
wacana agama dalam segala dimensi dan aspeknya.
Mengingat strategisnya posisi hadis tersebut, Imam Al-Nawawi
rah}imahullah
menegaskan: Di antara bidang keilmuan yang paling penting adalah
ilmu yang
berkenaan dengan ilmu hadis terapan yaitu pengetahuan tentang
matan hadis dari
aspek sahi>h, hasan dan d}ai>f-nya, muttas{il, mursal,
munqathi, mud}al, maqlu>b,
mashhu>r, ghari>b, azi>z, mutawa>tir, dstnya. Hal
ini didasari kenyataan bahwa
syariat Islam dilandaskan atas al-Qura>n dan sunah-sunah yang
diriwayatkan. Di
atas sunahlah dibangun mayoritas hukum-hukum fikih, karena
sebagian besar ayat-
ayat yang mengatur masalah furu> (fikih-pen) masih bersifat
mujma>l (global)
sementara penjelasannya terdapat dalam sunah yang menetapkan
perincian
hukumnya secara tegas (muh{kama>t). Di samping itu, dari
aspek implementasi, para
ulama sepakat bahwa syarat bagi seorang mujtahid yang bertugas
sebagai qa>d{i
(hakim pengadilan) maupun mufti (ulama pemberi fatwa) haruslah
memiliki
kompetensi keilmuan tentang hadis-hadis hukum. Kenyataan
inimenurut an-
Nawawimenegaskan bahwa studi hadis adalah ilmu yang paling
mulia, dan cabang
kebaikan yang paling utama, dan bentuk qurbah (bernilai
pendekatan diri) kepada
Allah karena ilmu tersebut menghimpun segala aspek penjelasan
terkait seorang
makhluk Allah SWT yang paling muliayaitu Nabi Muhammad SAW.
92
91
Idem., 39 92
Abu Zakariya, Yahya bin Syarf an-Nawawi. Muqaddimah Syarh
al-Nawawi ala> Shahi>h Muslim, Juz 1 (Kairo: Al-Matbaah
al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet. 1, 1347 H/1929 M), . 3-4
-
20
BAB III
PENUTUP
Simpulan
1. Ilmu hadis adalah ilmu yang memenuhi konsep filsafat ilmu,
baik dari aspek
ontologi, epistomologi dan aksiologi. Secara ontologi, eksitensi
hadis
berkaitan erat dengan eksistensi Nabi Muhammad SAW sebagai
pembawa
risalah Islam yang mendapat otoritas untuk membentuk aturan
syariat.
2. Istilah hadis, sunnah, athar dan khabar adalah istilah yang
sering dianggap
sinonim. Pada aspek tertentu bermakna berbeda, terutama jika
disebutkan
bersamaan dalam satu kalimat (idha ijtamaa iftaraqa). Perbedaan
definisi
juga bergantung perspektif dan tinjuan keilmuan masing-masing
bidang.
3. Kategorisasi hadis cukup beragam, bergantung aspek
tinjauannya. Ada
tinjauan dari aspek kuantitas periwayatan, kualitas validitas,
narasumber
yang menjadi sandaran informasi, dll.
4. Kedudukan hadis sebagai sumber tashri sangat kuat secara
normatif,
konsensus maupun secara rasional.
5. Dalam wacana hadis sebagai landasan agama, hadis memiliki
otoritas hukum
yang independen, selain sebagai penegas, penjelas, pengikat dan
pembatas
cakupan hukum al-Quran.