BAB I
PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang
Epidemiologi adalah suatu rangkaian proses yang terus menerus
dan sistematik dalam pengumpulan data, pengolahan, analisis dan
interpretasi serta disiminasi informasi untuk aksi atau
perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program kesehatan masyarakat
berdasarkan evidence base. Program pencegahan dan pemberantasan
penyakit akan sangat efektif bila dapat dukungan oleh sistem yang
handal karena fungsi utamanya adalah menyediakan informasi
epidemiologi yang peka terhadap perubahan yang terdapat dalam
pelaksanaan program pemberantasan penyakit yang menjadi prioritas
pembangunan.
Sesuai dengan strategi Indonesia sehat tahun 2015 dan kebutuhan
pembangunan sektor kesehatan di era desentralisasi ini Departemen
kesehatan Republik Indonesia sudah menetapkan visi dan misi
Puskesmas. Visi pembangunan kesehatan melalui Puskesmas adalah
terwujudnya Kecamatan sehat tahun 2015. Kecamatan sehat merupakan
gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang hidup di lingkungan
yang sehat dan perilaku hidup masyarakat yang juga sehat, mampu
menjangkau pelayanan kesehatan yang ada di wilayahnya serta
memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pencapaian visi
Indonesia 2015 dapat dicapai dengan menggerakan Puskesmas sebagai
pelaksana teknis Dinas Kesehatan terbawah yang memiliki enam
kewajiban yang harus dilaksanakan, yaitu upaya promosi kesehatan,
kesehatan lingkungan (kesling), kesehatan ibu anak dan keluarga
berencana, perbaikan gizi masyarakat, pencegahan dan pemberantasan
penyakit menular, serta pengobatan.
Program kesehatan Lingkungan pada masyarakat adalah bagian dari
program pembangunan kesehatan nasional. Tujuan utamanya adalah
untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kemandirian masyarakat
dalam pemeliharaan kesehatan dengan titik berat pada upaya
peningkatan kualitas hidup dan pencegahan penyakit disamping
pengobatan dan pemulihan. Indikator yang akan dicapai adalah
meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pola hidup bersih dan
sehat, meningkatnya industri dan tempat-tempat umum yang sehat,
menurunnya angka penyakit difteri, demam berdarah dan penyakit
akibat kurang sehatnya lingkungan di sekitar masyarakat.Di
Puskesmas Cukir program kesling yang dilaksanakan secara umum yaitu
pengawasan terhadap tempat-tempat umum (TTU), pengawasan terhadap
tempat pengolahan makanan (TPM) dan pengawasan terhadap industri
rumah tangga. Program yang dituangkan dalam tugas intregasi kepada
petugas kesling adalah melaksanakan program UKS, melaksanakan
kunjungan TK, melaksanakan kunjungan SD, melaksanakan kunjungan
rumah, melaksanakan kunjungan TTU, melaksanakan kunjungan TPM,
serta penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD). Berdasarkan data
yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang didapatkan
data terjadinya Demam Berdarah Dengue pada periode 1 Januari - 31
Desember 2014 sebanyak 7 orang yang tersebar di berbagai wilayah di
jombang. Sedangkan pada periode 1 Januari - 31 Mei 2012 didapatkan
penderita difteri sebanyak 47 orang yang tersebar di berbagai
wilayah di jombang, dengan jumlah 30 orang anak-anak usia sekolah
dan 17 orang sisanya berusia dewasa. Di wilayah Cukir sendiri
dilaporkan terdapat 3 warga yang menderitra difteri. Dilaporkan
pula terdapat 7 orang yang meninggal dengan disertai komplikasi.
Kegiatan yang dilakukan untuk penanggulangan DBD di Kabupaten
Jombang pada umumnya dan wilayah kerja Puskesmas Cukir pada
khususnya adalah terapi kebutuhan cairan sesuai dengan tingkatan
penyakit DBD serta jenis pasien anak atau dewasa. Serta melakukan
penyuluhan pada warga masyarakat mengenai cara pencegahan DBD.
Tujuan Kegiatan
1.1.1 Tujuan Umum
Menganalisa kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Cukir
periode 1 Januari-31 Desember 2014.1.1.2 Tujuan Khusus1.
Menganalisa kejadian DBD berdasarkan usia di wilayah kerja
Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2014.2. Menganalisa
kejadian DBD berdasarkan jenis kelamin di wilayah kerja Puskesmas
Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2014.3. Menganalisa kejadian
DBD berdasarkan waktu di wilayah kerja Puskesmas Cukir periode 1
Januari-31 Desember 2014.4. Menganalisa kejadian DBD berdasarkan
desa di wilayah kerja Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember
2014.BAB II
TINJAUAN PUSTAKA2.1. Konsep Dasar Pencegahan penyakit
2.1.1 Faktor Penentu Derajat Kesehatan
Derajat kesehatan penduduk, dapat diukur dari seberapa banyak
warga mesyarakat suatu penduduk yang baru atau sedang menderita
sakit akibat berbagai penyakit. Setiap penyakit selalu unik,
artinya selalu memiliki keluhan, gejala, dan kadang-kadang penyebab
yang khas dan spesifik. Bila dari sekumpulan penyakit yang banyak
diderita oleh sebagian penduduk dapat diketahui faktor penyakit
tersebut dapat dihilangkan, maka proporsi penduduk yang sakit akan
menurun (morbiditas penduduk menurun) dan dikatakan perubahan ini
sebagai derajat kesehatannya meningkat.
Di dalam konsep kesehatan masyarakat, penyebab yang mendorong
seorang terjangkit suatu penyakit seringkali lebih dari satu faktor
(multifaktorial). Saat penyakit infeksi masih mendominasi penyakit
manusia pada awal sampai hampir akhir abad ke-20, berkembanglah
konsep epidemiological triangle atau segitiga epidemiologi. Menurut
konsep ini derajat kesehatan yang ditunjukkan oleh adanya
penyimpangan fungsi/mental pada individu dari normalnya, ditentukan
oleh tiga faktor yaitu daya perusak agent of disease, ketahanan
psiko-biologi, dan keberpihakan lingkungan fisik biologi serta
lingkungan sosial.
Saat penyakit manusia mulai beralih ke penyakit degeneratif,
maka konsep agent of disease ini menjadi kurang mampu menjelaskan
terjadinya penyakit mental, dietetik, genetik, dan penyakit
degeneratif yang agent of disease-nya merupakan bagian faktor host
sendiri (penyakit genetik) dan atau bagian dari lingkunagan
hidupnya (depresi karena konflik keyakinan dengan norma yang
berlaku di lingkungan sosial).
Untuk mengatasi kelemahan konsep segitiga epidemiologi diatas,
pada tahun 1974 Marc La Londe dari Kanada mengembangkan konsep yang
dikenal dengan The Health Field Concept yang kemudian dipertajam
oleh Henrik L. Blum dengan konsep The Force Field and Well Being
Paradigma of Helath pada tahun 1984. Marc La Londe, menjelaskan
bahwa kondisi kesehatan seseorang atau komunitas, dipengaruhi oleh
kelompok faktor yang saling mempengaruhi, yaitu :
1) Kelompok faktor gaya hidup (Life Style)
2) Kelompok faktor lingkungan biofisik dan lingkungan sosial
3) Kelompok faktor ketahanan Psiko-biologi
4) Kelompok faktor yang bersumber dari upaya kesehatan
pencegahan primer, sekunder, dan tersier oleh organisasi
kesehatan
2.1.2 Proses Perkembangan Penyakit (Natural History of
Disease)
Perkembangan penyakit oleh para ahli kesehatan dibagi dalam 3
fase, yaitu :
1. Fase Pre Patogenensis
Yaitu fase saat seseorang masih dalam keadaan sehat. Pada fase
ini interaksi keempat faktor determinan kesehatan (Lalonde-Blum)
sudah terjadi. Bila interaksi keempat faktor stressor La londe
mampu menyebabkan tingginya ketahanan psiko biologik dan menurunkan
daya perusak stressor, maka orang tersebut akan tetap sehat. Pada
fase ini, kelompok orang sehat ini terbagi menjadi dua kelompok,
yaitu :
A. Kelompok sehat dan tidak beresiko kontak dengan stressor.
Misalnya bayi yang hidup di komunitas bekesadaran kesehatan
lingkungan yang tinggi, maka bayi tersebut akan terhindar dari
resiko kena penyakit infeksi. Untuk mencegah penyakit pada kelompok
ini adalah dengan melalui kegiatan promotion of health yang
bertujuan mengurangi atau menghilangkan stressor, mengembangkan
lingkungan yang mendorong berkurangnya sterssor dan mendorong
meningkatnya ketahanan psiko biologik.B. Kelompok sehat, tetapi
beresiko kontak dengan stressor penyebab penyakit. Contohnya adalah
pengendara sepeda motor yang tidak mungkin menghindari cidera
akibat kecelakaan lalu lintas. Untuk kelompok sehat seperti ini
maka upaya pencegahan agar tidak sakit adalah spesific protection,
artinya perlindungan khusus dan spesifik. Pada contoh kecelakaan
lalu lintas ini, penggunaan helm pengendara sepeda motor merupakan
bagian dari upaya perlindungan spesifik.2. Fase patogenesis
Fase Patogenesis dimulai dengan adanya penyimpangan fungsi dan
struktur tubuh akibat prosoes perusak stressor. Proses penyimpangan
berlanjut secara dinamis akibat interaksi keempat faktor La Londe,
karena itu dimungkinkan tanpa diduga proses penyimpangan berhenti
dan segera balik ke arah normal tanpa intervensi apa-apa. Proses
ini baru dirasakan oleh penderitanya apabila perubahan fungsi
struktur jasmani-mental-sosial melampaui batas clinical horizon.
Seperti saat ini sebelumnya, akibat dari meningkatnya ketahanan
psikobiologik dan lingkungan hidup akibat dari sesuatu yang tidak
diperkirakan sebelumnya, tiba-tiba seseotrang yang sedang sakit
tanpa pengobatan menjadi sembuh total. Penyakit ini di dalam ilmu
kedokteran dinamakan self limited diseases (penyakit bisa sembuh
sendiri).
Bila proses perubahan fungsi dan struktur mencapai point of no
retur, maka kondisi kesehatan sudah menjurus ke hilangnya harapan
hidup atau meninggal dunia. Pada fase ini upaya pencegahan yang
paling tepat adalah early case deyection ( penemuan kasus sedini
mungkin ) dan Prompt Treatment (pengobatan tepat) serta disability
limitation (pembatasan kecacatan). Batas akhir fase ini adalah saat
penderita meninggal dunia,sembuh, ayau cacat. Pada saat itu proses
perubahan fungsi/struktur telah berhenti.
3. Fase covalescence
Saat proses perubahan fungsi struktur sudah berhenti, maka fase
tersebut dianamakan fase konvalescence. Bagi yang fase ini masih
hidup, maka umunya penderita belum pulih kekuatan dan fungsi
organ-organ tubuhnya. Oleh karena itu upaya perbaikan yang bisa
dilakukan adalah upaya rehabilitation (pemulihan kondisi
jasmani,mental, dan sosial) sesegera mungkin agar semua fungsi dan
struktur kembali normal. Upaya yang dilakukan dalam pemulihan pasca
sakit ini adalah : Pemulihan mental fisik sosial (Physical Mental
and Social Rehabilitation). Upaya ini mutlak dilakukan pada hampir
semua orang yang baru sembuh dari sakit.2.2 Kejadian Luar Biasa /
Wabah
Pengertian Wabah/KLB serta Kriteria KLB
1. Wabah
Wabah penyakit menular adalah kejadian berjangkitnya suatu
penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada
waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan mala petaka (UU
No.4, 1984). Menteri menetapkan jenis-jenis penyakit tertentu yang
dapat menimbulkan wabah. Menteri menetapkan dan mencabut penetapan
daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang terjangkit wabah
sebagai daerah wabah.
2. Kejadian Luar Biasa (KLB)
KLB adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu
daerah dalam kurun waktu tertentu (Peraturan Menteri Kesehatan RI,
Nomor 560/Menkes/Per/VIII/1989). KLB penyakit menular merupakan
indikasi ditetapkannya suatu daerah menjadi suatu wabah, atau dapat
berkembang menjadi suatu wabah.
3. Kriteria Kerja KLB
Kepala wilayah/daerah setempat yang mengetahui adanya tersangka
wabah (KLB penyakit menular) di wilayahnya atau tersangka penderita
penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah, wajib segera
melakukan tindakan-tindakan penanggulangan seperlunya, dengan
bantuan unit kesehatan setempat, agar tidak berkembang menjadi
wabah (UU 4, 1984 dan Permenkes 560/Menkes/Per/VIII/1989).
Suatu kejadian penyakit atau keracunan dapat dikatakan KLB
apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Timbulnya suatu penyakit/ menular yang sebelumnya tidak ada/
tidak dikenal.
b. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3
kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari,
minggu).
c. Peningkatan kejadian penyakit/kematian, 2 kali atau lebih
dibandingkan dengan periode sebelumnya (jam, minggu, bulan,
tahun).
d. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan
dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan
dalam tahun sebelumnya.
e. Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan
kenaikan dua kali lipat atau lebih dibanding dengan angka rata-rata
per bulan dari tahun sebelumnya.
f. Case Fatality rate (CFR) suatu penyakit dalam suatu kurun
waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% atau lebih, dibanding
dengan CFR dari periode sebelumnya.
g. Proportional Rate (PR) penderita dari suatu periode tertentu
menunjukkan kenaikan dua atau lebih diabnding periode, kurun waktu
atau tahun sebelumnya.
h. Beberapa penyakit khusus menetapkan kriteria khusus : kholera
dan demam berdarah dengue.
Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya (pada daerah
endemis).
Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode 4
minggu sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit
yang bersangkutan.
i. Beberapa penyakit seperti keracunan, menetapkan 1 (satu)
kasus atau lebih sebagai KLB:
Keracunan makanan
Keracunan pestisida
Kriteria-kriteria diatas dalam penggunaan sehari-hari harus
didasarkan pada akal sehat atau common sense. Sebab belum tentu
suatu kenaikan dua kali atau lebih merupakan KLB. Sebaliknya suatu
kenaikan yang kecil dapat saja merupakan KLB yang perlu ditangani
seperti penyakit : poliomyelitis dan tetanus neonatorum, kasus
dianggap KLB dan perlu penanganan khusus.
2.2.1 Penyakit-penyakit Menular yang Berpotensi Wabah/KLB
Penyakit-penyakit menular yang wajib dilaporkan adalah
penyakit-penyakit yang memerlukan kewaspadaan ketat yang merupakan
penyakit-penyakit wabah atau yang berpotensi wabah atau yang dapat
menimbulkan kejadian luar biasa (KLB).
Penyakit-penyakit menular dikelompokkan sebagai berikut:
1. Penyakit karantina atau penyakit wabah penting antara lain
adalah:
a. DHF
b. Campak
c. Rabies
d. Tetanus Neonatorum
e. Difterif. Pertusis
g. Poliomyelitis
2. Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat
atau mempunyai mortalitas tinggi, dan penyakit yang telah masuk
program eradikasi/eliminasi dan memerlukan tindakan segera:
a. Malaria
b. Frambosia
c. Influenza
d. Anthrax
e. Hepatitis
f. Typhus abdominalis
g. Meningitis
h. Keracunan
i. Encephalitis
j. Tetanus
3. Penyakit-penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa
penyakit penting.
4. Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi menimbulkan
wabah dan KLB tetapi diprogramkan, ditingkat kecamatan dilaporkan
secara bulanan melalui RR terpadu Puskesmas ke Kabupaten, dan
seterusnya secara berjenjang sampai ke tingkat pusat.
Penyakit-penyakit tersebut meliputi : Cacing, Lepra, Tuberculosa,
Syphilis, Gonorhoe, Filariasis & AIDS, dll. Sehingga petugas
Poskesdes diharapkan melaporkan kejadian-kejadian penyakit ini ke
tingkat Kecamatan/ Puskesmas jika, dari penyakit-penyakit diatas,
pada keadaan tidak ada wabah/KLB secara rutin hanya yang termasuk
kelompok 1 dan kelompok 2 yang perlu dilaporkan secara mingguan.
Bagi penyakit kelompok 3 dan kelompok 4 bersama-sama penyakit
kelompok 1 dan 2 secara rutin dilaporkan bulanan ke Puskesmas.
Jika peristiwa KLB atau wabah dari penyakit yang bersangkutan
sudah berhenti (incidence penyakit sudah kembali pada keadaan
normal), maka penyakit tersebut tidak perlu dilaporkan secara
mingguan lagi. Sementara itu, laporan penyakit setiap bulan perlu
dilaporkan ke Puskesmas oleh Bidan desa/petugas di Poskesdes.2.2.2
Laporan Kewaspadaan (dilaporkan dalam 24 jam)
Laporan kewaspadaan adalah laporan adanya penderita, atau
tersangka penderita penyakit yang dapat menimbulkan wabah. Yang
diharuskan menyampaikan laporan kewaspadaan adalah:
a. Orang tua penderita atau tersangka penderita, orang dewasa
yang tinggal serumah dengan penderita atau tersangka penderita,
Kepala Keluarga, Ketua RT, RW, Kepala Desa.
b. Dokter, petugas kesehatan yang memeriksa penderita, dokter
hewan yang memeriksa hewan tersangka penderita.
Laporan kewaspadaan disampaikan kepada Lurah atau Kepala Desa
dan atau Poskesdes/unit pelayanan kesehatan terdekat
selambat-lambatnya 24 jam sejak mengetahui adanya penderita atau
tersangka penderita atau tersangka penderita (KLB), baik dengan
cara lisan maupun tertulis. Kemudian laporan kewaspadaan tersebut
harus diteruskan kepada Poskesdes untuk diteruskan ke Puskesmas
setempat.
Isi laporan kewaspadaan antara lain:
Nama atau nama-nama penderita atau yang meninggal
Golongan Umur
Tempat dan alamat kejadian
Waktu kejadian
Jumlah yang sakit dan meninggal
Diharapkan setelah adanya laporan kewaspadaan dari desa ke
Puskesmas maka pihak Puskesmas dapat segera merespon dengan
melaporkan ke Dinkes Kabupaten/Kota dengan menggunakan format W1
(laporan KLB) selama kurang dari 24 jam dan ditindaklanjuti dengan
melakukan penyelidikan epidemiologi. Penyelidikan Epidemiologi
dapat dilakukan oleh Tim Gerak Cepat (TGC) Puskesmas bekerjasama
TGC Desa dan TGC Kabupaten. Bersamaan Penyelidikan Epidemiologi
dilakukan juga upaya-upaya penanggulangan dengan melibatkan
masyarakat setempat.2.3 Epidemiologi DBD2.1 Definisi
Demam dengue merupakan salah satu varian klinis infeksi virus
dengue yang ditandai oleh demam tinggi mendadak, ditambah gejala
penyerta 2 atau lebih seperti nyeri kepala, nyeri retro orbita,
nyeri otot dan tulang, ruam kulit, leukopenia dan tidak ditemukan
tanda kebocoran plasma (hemokonsentrasi, efusi pleura, asites,
hipoproteinemia) (WHO,2008).
Demam berdarah dengue merupakan salah satu varian klinis infeksi
virus dengue, yang ditandai oleh panas 2-7 hari dan pada saat panas
turun disertai dengan gangguan hemostatik dan kebocoran plasma
(plasma leakage) (Darmowandowo, 2008).
Demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh infeksi virus dengue. DBD disebabkan oleh salah
satu dari empat serotipe virus dari genus Flavivirus, famili
Flaviviridae (Lestari, 2007).
2.2 Etiologi
Penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue sampai saat ini dikenal
ada 4 serotype virus yaitu ;
1. Dengue 1 (DEN 1) diisolasi oleh Sabin pada tahun1944.
2. Dengue 2 (DEN 2) diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
3. Dengue 3 (DEN 3) diisolasi oleh Sather
4. Dengue 4 (DEN 4) diisolasi oleh Sather.
Virus tersebut termasuk dalam group B Arthropod borne viruses
(arboviruses). Keempat tipe virus tersebut telah ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia dan yang terbanyak adalah type 2 dan
type 3. Penelitian di Indonesia menunjukkan Dengue type 3 merupakan
serotype virus yang dominan menyebabkan kasus yang berat (Sukohar,
2014)
2.3 Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan
infeksi virus dengue, yaitu mausia, virus dan vektor perantara.
Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui nyamuk Aedes
Aegypti. Aedes Albopictus, Aedes Polynesiensis dan beberapa spesies
yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor
yang kurang berperan. Aedes tersebut mengandung virus dengue pada
saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian
virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8 10
hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat di tularkan
kembali pada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali virus
dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk tersebut akan
dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif).
Ditubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4 6 hari
(intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit.
Penularan dari manusia kepada nyamuk dapat terjadi bila nyamuk
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari
sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul
(Sylvana,2005).
2.4 Patofisiologi
Walaupun Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh
virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya berbeda dan
menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan utama adalah adanya
renjatan yang khas pada DBD yang disebabkan kebocoran plasma yang
diduga karena proses immunologi, pada demam dengue hal ini tidak
terjadi (Sylvana, 2005).
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis demam
berdarah dengue hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi
sebagian besar menganut"the secondary heterologous infection
hypothesis" yang mengatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila
seseorang setelah infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang
dengan tipe virus dengue yang berlainan dalam jangka waktu tertentu
yang diperkirakan antara 6 bulan sampai 5 tahun. Patogenesis
terjadinya renjatan berdasarkan hipotesis infeksi sekunder dilihat
pada gambar berikut ini :
(Sukohar,2014)
Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah,
respons antibodi anamnestik yang akan terjardi dalam beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit imun dengan
menghasilkan antibodi IgG anti dengue titer tinggi. Replikasi virus
dengue terjadi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah yang
banyak. Hal-hal ini semuanya akan mengakibatkan terbentuknya
kompleks antigen antibodi yang selanjutnya akan mengaktivasi sistem
komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi C3 dan C5
menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah
(Sukohar,2014)
Pada penderita renjatan berat, volume plasma dapat berkurang
sampai lebih dari pada 30% dan berlangsung selama 24-48 jam.
Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan
anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Sebab lain dari
kematian pada DBD ialah perdarahan saluran pencernaran hebat yang
biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak dapat
diatasi. Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang
ditemukan pada sebagian besar penderita DBD. Nilai trombosit mulai
menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa
renjatan. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa
konvalesen dan nilai normal biasanya tercapai sampai hari ke 10
sejak permulaan penyakit (Candra,2010)
Kelainan sistem koagulasi mempunyai juga peranan sebagai sebab
perdarahan pada penderita DBD. Berapa faktor koagulasi menurun
termasuk faktor II, V, VII, IX, X dan fibrinogen. Faktor XII juga
dilaporkan menurun. Perubahan faktor koagulasi disebabkan
diantaranya oleh kerusakan hepar yang fungsinya memang terbukti
terganggu, juga oleh aktifasi sistem koagulasi (Sukohar, 2014).
(Sukohar,2014)
Pembekuan intravaskuler menyeluruh (PIM/DIC) secara potensial
dapat terjadi juga pada penderita DBD tanpa atau dengan renjatan.
Renjatan pada PIM akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan
memasuki renjatan irrevesible disertai perdarahan hebat,
terlihatnya organ-organ vital dan berakhir dengan kematian
(Sukohar, 2014).
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah
sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai
dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG
berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik
antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder.
Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14
sedangkan pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari
kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat
ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit
kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini
dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat
(Candra,2010).
(Candra,2010)
2.5 Diagnosis
A. Kriteria Klinis
Gejala klinis Demam Berdarah Dengue antara lain yaitu:
Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas , berlangsung
terus-menerus selama 2-7 hari
Terdapat manifestasi perdarahan seperti:
Uji tourniquet positif
Ptekiae, ekimosis, purpura
Perdarahan mukosa, episaksis, perdarahan gusi
Hematemesis dan atau melena Hepatomegali
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba,
penyempitan tekanan nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak
terukur, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, capillary refill
time memanjng (>2 detik) dan pasien tampak gelisah (WHO,
2008).
B. Kriteria Laboratorium
Trombositopenia (100.000 sel/ mm3 atau kurang)
Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas
kapiler, dengan manifestasi sebagai berikut:
1. Peningkatan hematokrit 20% dari nilai standar
2. Penurunan hematokrit 20% setelah mendapat terapi cairan
3. Efusi pleura atau pericardial, asites, hipoproteinemia
Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria
laboratorium (atau hanya peningkatan hematokrit) cukup untuk
menegakkan diagnosis kerja Demam Berdarah Dengue (WHO,2008)
Pada awal sakit, ketika penderita infeksi virus dengue timbul
gejala panas, tidak dapat dibedakan apakah akan menjadi varian
klinis Demam Dengue atau Demam Berdarah Dengue. Pada saat panas
turun, penderita Demam Berdarah Dengue ditandai dengan keadaan
klinis yang memburuk. Penderita tampak sakit berat, gangguan
hemostatik yang berupa gejala perdarahan menjadi lebih prominen dan
kebocoran plasma yang ditandai dengan adanya deficit cairan yang
ringan berupa peningkatan PCV 20% sampai gangguan sirkulasi atau
syok (Darmowandowo, 2008).
Gambaran klinis DBD tidak selalu khas. Keterlambatan dalam
menegakkan diagnosis menyebabkan penanganan tidak dapat dilakukan
pada waktunya, kelainan menjadi ireversibel dan menyebabkan
kematian. Pada keadaan meragukan, pencitraan merupakan salah satu
alat penunjang diagnostik yang dapat digunakan untuk membantu
menentukan adanya kebocoran plasma yang dijumpai pada DBD dan tidak
pada demam dengue. Kebocoran plasma mengisi rongga tubuh seperti
rongga pleura dan rongga peritoneum yang pada keadaan berat dapat
menyebabkan syok hipovolemik (Pudjiadi, 2011).2.6 Klasifikasi
Derajat Demam Berdarah Dengue diklasifikasikan dalam 4 derajat
(pada setiap derajat sudah ditemukan trombositopeni dan
hemokonsentrasi)
DerajatKeterangan
IDemam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
adalah uji bendung.
IISeperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan
atau perdarahan lain
IIIDidapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi menurun (20 mmHg
atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit
dingin dan lembab dan anak tampak gelisah
IVSyok berat (profund shock), nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak terukur
(WHO,2008)
2.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah
Pada demam berdarah dengue umum dijumpai trobositopenia (201500
cc + 20 cc/KgBB diatas 20
(Darmowandowo,2008)
Lakukan observasi setiap 6 jam atas tanda vitalnya, dengan
tujuan untuk mendeteksi tanda-tanda kebocoran plasma, yang mengarah
ke demam berdarah dengue.
2. Periode afebris
1. Pada saat temperatur turun, pada penderita DBD terjadi 2
fenomena yang dapat membawa penderita pada keadaan kritis bahkan
dapat berakhir dengan kematian apabila tidak tertangani secara
benar, yaitu adanya gangguan hemostatik berupa penurunan jumlah dan
kualitas trombosit, gangguan faktor beku darah, dan adanya
kebocoran plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas pembuluh
darah. Proses kebocoran plasma dari pembuluh darah ini akan
menimbulkan deficit di dalam pembuluh darah. Apabila diurut tahapan
klinis deficit plasma dalam pembuluh darah akan didapat urutan
sebagai berikut:
2. Peningkatan hematokrit 20%, tanpa disertai gejala gangguan
sirkulasi
3. Peningkatan hematokrit 20%, disertai munculnya gejala
penyempitan tekanan nadi
4. Peningkatan hematokrit 20%, disertai dengan timbulnya gejala
shock, yang ditandai dengan TD sistol dan diastole menurun, nadi
kecil dan cepat serta perabaan akral dingin
5. Peningkatan hematokrit 20%, disertai gejala nadi tak teraba
dan tekanan darah tak terukur
Setelah diagnosis DBD sudah ditentukan, maka tetapkan terlebih
dahulu derajatnya. Perlu ditegaskan bahwa untuk penatalaksanaan DBD
yang terpenting adalah pemberian cairan intravena sebatas cukup
mempertahankan sirkulasi yang efektif selama periode plasma leakage
disertai pengamatan yang teliti dan cermat secara periodik. Cairan
yang dipakai berupa kristaloid seperti D5 Normal salin, Ringer
laktat, D5 Ringer laktat, D5 Ringer asetat dan koloid yang
mempunyai berat molekul yang tinggi seperti plasma, plasma
pengganti (Dexran, Haess dll). Berikut ini adalah algoritma
pemberian cairan pada penderita DBD (Darmowandowo,2008)
(Darmowandowo,2006)
(Darmowandowo,2006)
(Darmowandowo,2006)
2.11 Komplikasi
Infeksi primer demam dengue biasanya self limiting disease.
Kehilangan cairan dan elektrolit, hiperpireksia, dan kejang demam
adalah komplikasi yang paling sering pada bayi dan anak kecil.
Epistaksis, petechiae, dan lesi purpura jarang terjadi namun dapat
terjadi pada setiap tahap. Tertelan darah dari epistaksis, muntah
atau dikeluarkan oleh rektum, mungkin keliru ditafsirkan sebagai
perdarahan gastrointestinal. Pada orang dewasa dan mungkin pada
anak-anak, kondisi yang mendasari dapat menyebabkan perdarahan yang
signifikan secara klinis.
Di daerah endemik, demam berdarah dengue harus dicurigai pada
anak-anak dengan penyakit demam sugestif demam berdarah yang
mengalami hemokonsentrasi dan trombositopenia (Behrman, 2003)
2.12 Prognosis
Prognosis demam berdarah dapat terpengaruh oleh antibodi pasif
atau oleh infeksi sebelumnya dengan virus yang merupakan
predisposisi pengembangan demam berdarah dengue.
Kematian telah terjadi pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi
dengan kematian perawatan intensif yang memadai harus terjadi dalam
waktu kurang dari 1% kasus. Kelangsungan hidup secara langsung
berkaitan dengan terapi suportif awal. Jarang, ada kerusakan otak
yang disebabkan oleh sisa syok berkepanjangan atau kadang-kadang
oleh perdarahan intrakranial (Behrman, 2003).
BAB III
HASIL PENELITIAN
3.1 Kejadian DBD Berdasarkan UsiaUsiaJumlah%
6-7 hari
8-28 hari
1-11 bulan
1-4 tahun726 %
5-9 tahun518,5 %
10-14 tahun311,1 %
15-19 tahun311,1%
20-24 tahun726%
25-29 tahun13,7%
30-34 tahun13,7%
35-39 tahun
40-44 tahun
45-49 tahun
50-54 tahun
55-59 tahun
60-64 tahun
65-69 tahun
+70 tahun
Jumlah27
Tabel 2.1 Distribusi dan frekuensi DBD berdasarkan Usia di
wilayah kerja Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember
2014Berdasarkan tabel di atas, kejadian DBD terbanyak terjadi pada
usia 1-4 tahun dan usia 20-24 tahun pada tahun 2014, yaitu sebanyak
7 orang (sebesar 26%), didapatkan pula kejadian DBD pada usia 5-9
tahun sebanyak 5 orang (sebesar 18,5%). Pada usia 10-14 dan 15-19
didapatkan sebesar 3 orang (11,1%), dan pada usia 25-29 dan 30-34
didapatkan sebesar 1 orang (sebesar 3,7%).
Gambar 2.1 Grafik Distribusi dan frekuensi DBD berdasarkan Usia
di wilayah kerja Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember
20143.2 Kejadian Difteri Berdasarkan Jenis KelaminJenis
kelaminJumlah tahun 2014%
Laki-laki660%
Perempuan440%
Jumlah10
Tabel 2.2 Distribusi dan frekuensi difteri berdasarkan Jenis
kelamin di wilayah kerja Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31
Desember 2014Berdasarkan tabel di atas, kejadian DBD pada tahun
2014 kejadian BDB terbanyak pada laki-laki yaitu sebanyak 6 orang
(sebesar 60%), Sedangkan pada perempuan sebanyak 4 orang yaitu
sebesar 40%.
Gambarl 2.2 Distribusi dan frekuensi difteri berdasarkan Jenis
kelamin di wilayah kerja Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31
Desember 20143.3 Kejadian Difteri Berdasarkan WaktuBULANTAHUN
2011%TAHUN 2012%
Januari----
Februari----
Maret----
April133,3%133%
Mei133,3%267%
Juni133.3%Belum diketahui-
Juli--Belum diketahui -
Agustus--Belum diketahui-
September--Belum diketahui-
Oktober--Belum diketahui-
November--Belum diketahui-
Desember--Belum diketahui-
JUMLAH3100 %3100%
Tabel 2.3 Distribusi dan frekuensi difteri berdasarkan Bulan di
wilayah kerja Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2011
dan 1 Januari-31 Mei 2012
Berdasarkan tabel di atas, kejadian difteri pada tahun 2011
terjadi pada bulan April sebanyak 1 orang (sebesar 33%) , bulan Mei
sebanyak 1 orang (sebesar 33%) , dan bulan Juni sebanyak 1 orang
(sebesar 33%). Sedangkan kejadian difteri pada tahun 2012 hingga
periode 31 Mei 2012 sebanyak 3 orang yaitu 1 orang (sebesar 33%)
pada bulan April, dan bulan Mei sebanyak 2 orang (sebesar 67%).
Gambar 2.3 Distribusi dan frekuensi difteri berdasarkan Bulan di
wilayah kerja Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2011
dan 1 Januari-31 Mei 2012
3.4 Kejadian Difteri Berdasarkan DesaNama daerahJumlah%
Ceweng27,7%
Bandung415,3%
Kedawong13,85%
Ngudirejo13,85%
Grogol27,7%
Kayangan415,3%
Puton623%
Bendet13,85%
Cukir27,7%
Jatirejo
Bulurejo311,5%
Jumlah26
Tabel 2.4 Distribusi dan frekuensi DBD berdasarkan desa di
wilayah kerja Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember
2014Berdasarkan desa di wilayah Cukir yang mengalami kejadian DBD,
kejadian DBD terjadi hampir merata di desa wilayah Cukir. Pada
tahun 2014 desa yang mengalami kejadian DBD yaitu desa Puton
sebanyak 6 orang (sebesar 23%), desa Bandung dan Kayangan sebanyak
4 orang (sebesar 15,3%), dan desa Bulurejo sebanyak 3 orang
(sebesar 11,5%). Desa Ceweng, Grogol, Cukir sebanyak 2 orang
(sebesar 7,7 %), Sedangkan desa Kedawong, Ngudirejo, bendet
sebanyak 1 orang ( sebesar 3,85%).
Gambar 2.4 Distribusi dan frekuensi difteri berdasarkan desa di
wilayah kerja Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2014BAB
4
PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian DBD berdasarkan Usia
Dari hasil data diatas didapatkan kejadian DBD di wilayah kerja
puskesmas Cukir terbesar usia kejadian DBD terbanyak terjadi pada
usia 1-4 tahun dan usia 20-24 tahun pada tahun 2014, yaitu sebanyak
7 orang pada periode Januari Desember 2014, sesuai dengan Hasil
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2011 di Provinsi
Jawa Timur menemukan bahwa penderita yang terkena difteri
kebanyakan anak-anak, dari usia 4 tahun sampai 12 tahun. Hal ini
disebabkan sistem kekebalan tubuh mereka belum terbentuk sempurna.
Terutama pada remaja atau usia muda yang belum pernah mendapat
imunisasi atau imunisasi yang tidak sempurna.Sesuai dengan Holmes,
dalam Harrison's principles of internal medicine, 16th ed, 2005,
bahwa angka kejadian difteri jarang terjadi pada bayi usia kurang
dari 6 bulan karena imunitas bayi masih dipengaruhi oleh IgG
maternal yang berasal dari ibu. Sedangkan pada bayi usia 6-12 bulan
yang belum mendapat imunisasi lebih rentan tertular difteri. Dan
juga pada anak yang sudah mendapat imunisasi dasar lengkap dan
belum mendapat imunisasi booster dalam waktu 10 tahun, juga rentan
tertular difteri.
Pada tahun 2012 di wilayah kerja Puskesmas Cukir ditemukan kasus
difteri pada usia 42 tahun sebanyak 1 orang. Sesuai dengan Dinkes
Jawa Timur pada tahun 2011, bahwa terjadinya difteri pada usia
dewasa bisa disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya; tidak
pernah mendapat imunisasi dasar atau sudah pernah mendapat
imunisasi dasar tapi belum pernah mendapat imunisasi booster,
sosial-ekonomi yang rendah seperti tinggal di tempat yang penuh
sesak atau tidak sehat, menurunnya imunitas sehingga mudah tertular
difteri terutama pada orang yang memiliki gangguan sistem
kekebalan, dan siapapun yang bepergian ke tempat atau daerah
endemik difteri.
Menurut Holmes dalam Harrison's principles of internal medicine,
16th ed, 2005, kasus difteri pada dewasa terbanyak pada usia 40-49
tahun yang menyebabkan angka kesakitan dan kematian pada beberapa
negara terutama negara berkembang. Disebabkan faktor-faktor antara
lain; perpindahan populasi, ketidakstabilan sosial-ekonomi,
penurunan kesehatan, informasi yang kurang bagi masyarakat, serta
kurangnya persediaan untuk pencegahan dan terapi untuk penyakit
difteri. 4.2 Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Difteri berdasarkan Jenis KelaminDari hasil data diatas
didapatkan jumlah kejadian difteri berdasarkan jenis kelamin di
wilayah kerja Puskesmas Cukir tahun 2011, perempuan sebanyak 100%
yaitu 3 orang dan perempuan tidak terdapat penderita berjenis
kelamin laki-laki. Dan pada tahun 2012, perempuan sebanyak 33%
yaitu 1 orang dan laki-laki sebanyak 67% yaitu 2 orang. Selama
tahun 2011 sampai 2012 jumlah kejadian diare pada perempuan lebih
banyak dibanding laki-laki. Deskripsi kasus difteri berdasarkan
jenis kelamin terlihat bahwa jenis kelamin perempuan lebih tinggi
dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki walaupun terlihat bahwa
tidak terdapat perbedaan terlalu mencolok. Jika dilihat dari
keadaan di masyarakat, bahwa aktifitas laki-laki yang lebih banyak
di luar dapat menjadi salah satu faktor resiko tertularnya difteri.
Laki-laki juga cenderung kurang memperhatikan hygiene perorangan
salah satunya kebiasaan tidak mencuci tangan setelah bermain dan
langsung menjamah makanan juga menjadi salah satu faktor resiko
terjadinya difteri pada pria. Namun hal tersebut tidak begitu
berpengaruh karena higienitas perorangan tidak hanya dipengaruhi
oleh jenis kelamin. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Puguh Suroto yang berjudul Faktor Resiko Kejadian
Difteri di Sidoarjo tahun 2010, hasil analisis menunjukkan bahwa
faktor risiko kejadian difteri yang tidak bermakna adalah jenis
kelamin.4.3 Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Difteri berdasarkan BulanDari hasil data didapatkan angka
tertinggi pada bulan April Juni baik pada tahun 2011 maupun tahun
2012 sebanyak 3 kasus pada tahun 2011 dan 3 kasus pada tahun 2012
dimana pada bulan-bulan ini terjadi pergantian musim dari musim
penghujan ke kemarau serta keadaan cuaca yang berdebu dan lebih
berangin, yang memudahkan penyebaran kuman penyebab dan droplet
pada manusia, juga terjadi perubahan adaptasi pada tubuh sehingga
imunitas tubuh menurun, akibatnya mudah terserang difteri. Dimana
hal ini tidak menutup kemungkinan menularkan kepada penduduk yang
berada pada lingkungan yang penuh dan sesak. Di negara tropis
variasi musim kurang jelas, yang sering terjadi adalah infeksi
subklinis dan difteri kulit. Penyakit ini muncul terutama pada
bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis.4.4
Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Difteri berdasarkan Desa
Dari data diatas didapatkan kejadian difteri berdasarkan desa di
wilayah Cukir, kejadian difteri terjadi hampir merata di desa
wilayah Cukir. Pada tahun 2011 terdapat 3 desa yang mengalami
kejadian difteri yaitu desa Kedawong sebanyak 1 orang, desa
Jatirejo sebanyak 1 orang, dan desa Kayangan sebanyak 1 orang.
Sedangkan hingga 31 Mei 2012 desa yang mengalami kejadian difteri
yaitu desa Ngudirejo sebanyak 1 orang, desa Cukir sebanyak 1 orang,
dan desa Bulurejo sebanyak 1 orang.
Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kepadatan
penduduk mempengaruhi penyebaran penyakit difteri. Apabila penduduk
di suatu desa menderita difteri, maka kemungkinan besar penduduk di
desa sekitarnya terjangkit oleh difteri juga.4.5 Intervensi yang
Dilakukan
4.5.1 Pencegahan Primer
Intervensi di lakukan ketika ditemukan kasus pertama pada bulan
April 2012, karena berdasarkan teori dikatakan wabah (kejadian luar
biasa) bila terdapat satu kasus difteri di suatu wilayah yang mana
sebelumnya tidak didapatkan kasus difteri. Upaya pencegahan pada
penyakit difteri ditujukan untuk mencegah agen penyebab penyakit,
mencegah terjadinya kontak agen penyebab sakit dan manusia dengan
modifikasi lingkungan, dan perilaku, serta karakteristik melalui
upaya promosi kesehatan dan perlindungan spesifik (health promotion
and specific protection) berupa imunisasi dasar lengkap dan
dilanjutkan booster secara berkala.
Promosi kesehatan yang dapat dilakukan adalah berupa penyuluhan
kesehatan mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, mengenai
sanitasi, penyebab, penyebaran, dampak, dan pertolongan pertama
pada penyakit difteri. Mengusulkan kepada penduduk untuk
mencanangkan program kerja bakti.
4.5.2 Percegahan Sekunder
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan pada penderita difteri
adalah isolasi pasien yang terinfeksi, pemberian Anti Difteri Serum
(ADS), pemberian antibiotik berupa penisilin prokain,pemberian
kortikosteroid untuk mengurang edema laring dan menjaga jalan nafas
pasien agar tetap bebas serta menjaga agar tidak terjadi komplikasi
lain yang berat misalnya miokarditis, obstruksi jalan nafas akibat
edema laring, Acute Tubular Nekrosis (ATN), neuritis perifer.4.5.3
Pencegahan Tersier
Untuk mempercepat proses pemulihan dan mencegah kekambuhan
dengan cara memperbaiki status gizi dengan cara makan-makanan yang
bersih dan sehat, minum air yang matang serta pola hidup sehat.
BAB VKESIMPULAN DAN SARAN5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Rentang usia terbanyak kejadian difteri di wilayah kerja
Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2011 dan 1 Januari-31
Mei 2012 didapatkan pada usia 5-9 tahun.2. Jenis Kelamin terbanyak
kejadian di wilayah kerja Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31
Desember 2011 dan 1 Januari-31 Mei 2012 adalah perempuan.3.
Kejadian difteri terbanyak di wilayah kerja Puskesmas Cukir terjadi
antara bulan April Mei baik pada periode 1 Januari-31 Desember 2011
maupun pada periode 1 Januari - 31 Mei 2012.4. Kejadian difteri
didapatkan pada 6 desa di wilayah Puskesmas Cukir pada periode 1
Januari-31 Desember 2011 maupun pada periode 1 Januari - 31 Mei
2012.5.2 Saran
5.2.1 Bagi instansi terkait (Puskesmas Cukir)Hendaknya petugas
kesehatan melakukan penyuluhan tentang pentingnya imunisasi dasar
lengkap dan imunisasi booster untuk mencegah insiden difteri.
Selain itu, dapat pula dilakukan kegiatan penyuluhan untuk
memotivasi masyarakat dalam menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
Penting pula dilakukan penyuluhan tentang bagaimana sikap
masyarakat bila pada lingkungan tempat tinggalnya terdapat kasus
difteri.
Upaya penyuluhan dari Dinas Kesehatan dan Puskesmas hendaknya
dilakukan secara terus menerus sampai masyarakat betul-betul
mamahami akan pentingnya kesehatan diri dan lingkungan dalam
mencegah terjadinya difteri. Serta diharapkan dapat meningkatkan
fasilitas serta akses sarana kesehatan agar lebih mudah
dijangkau.5.2.2 Bagi masyarakat
Diharapkan lebih meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat,
terutama melakukan tindakan pencegahan terjadinya difteri seperti
imunisasi dan hidup di lingkungan yang bersih dan sehat. Diharapkan
pula masyarakat dapat meningkatkan pengetahuan dan informasi
tentang penyakit difteri dengan mengikuti penyuluhan dan imunisasi
secara berkala sesuai dengan usia serta aktif dalam pencegahan
difteri.DAFTAR PUSTAKA
Kadun I Nyoman, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, CV
Infomedika, Jakarta.
Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi
Penyakit),2007, Jakarta.
Ditjen P2PL, Depkes RI, Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi
Penyakit, 2003, Jakarta.
Ditjen P2PL, Depkes RI, Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat
Puskesmas, 2005, Jakarta.
Profil, 2004, Profil Kesehatan, http:// www.Bank
Data/Depkes.go.id/
Supriyanto,dkk, 2008, Reaksi Kekebalan Anak Sekolah Terhadap
Toksoid Difteri.http:/www.kalbe.co.id/files/cdk/files/2008
Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr.Sulianti Saroso, 2007,
Imunisasi,http:/[email protected]
Biofarma, 200, Vaksinasi, http:/www.biofarma.com, 2007
Seksi P & SE, 2008, KLB Difteri Jatim, Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Timur, 2008
Suroto, Puguh, 2010, Faktor Resiko Kejadian Difteri di Sidoarjo
tahun 2010, Surabaya _1483563580.xlsChart1
71 - 4 tahun1 - 4 tahun
55 9 tahun5 9 tahun
310-14 tahun10-14 tahun
315-19 tahun15-19 tahun
720-24 tahun20-24 tahun
125-29 tahun25-29 tahun
130-34 tahun30-34 tahun
035-39 tahun35-39 tahun
040-44 tahun40-44 tahun
045-49 tahun45-49 tahun
050-54 tahun50-54 tahun
055-59 tahun55-59 tahun
060-64 tahun60-64 tahun
065-69 tahun65-69 tahun
070-74 tahun70-74 tahun
0>75>75
TAHUN 2014
Column2
Column1
Berdasarkan Usia
Sheet1
USIATAHUN 2014Column2Column1
1 - 4 tahun7
5 9 tahun5
10-14 tahun3
15-19 tahun3
20-24 tahun7
25-29 tahun1
30-34 tahun1
35-39 tahun-
40-44 tahun-
45-49 tahun-
50-54 tahun-
55-59 tahun-
60-64 tahun-
65-69 tahun-
70-74 tahun-
>75-
To resize chart data range, drag lower right corner of
range.
Sheet2
_1483564052.xlsChart1
6Laki-lakiLaki-laki
4PerempuanPerempuan
Tahun 2011
Column1
Series 3
Berdasarkan Jenis Kelamin
Sheet1
Jenis kelaminTahun 2011Column1Series 3
Laki-laki6
Perempuan4
To resize chart data range, drag lower right corner of
range.
_1483564765.xlsChart1
2CewengCeweng
4BandungBandung
1KedawongKedawong
1NgudirejoNgudirejo
1GrogolGrogol
4KayanganKayangan
6PutonPuton
1BendetBendet
2CukirCukir
0JatirejoJatirejo
3BulurejoBulurejo
Tahun 2014
Column1
Berdasarkan Desa
Sheet1
Nama desaTahun 2014Column1Series 3
Ceweng2
Bandung4
Kedawong1
Ngudirejo1
Grogol1
Kayangan4
Puton6
Bendet1
Cukir2
Jatirejo-
Bulurejo3
To resize chart data range, drag lower right corner of
range.
_1400077787.xlsChart1
00Januari
00Februari
00Maret
11April
12Mei
10Juni
00Juli
00Agustus
00September
00Oktober
00November
00Desember
Tahun 2011
Tahun 2012
Series 3
Berdasarkan Bulan
Sheet1
BulanTahun 2011Tahun 2012Series 3
Januari--
Februari--
Maret--
April11
Mei12
Juni1-
Juli--
Agustus--
September--
Oktober--
November--
Desember--
To resize chart data range, drag lower right corner of
range.