Page 1
1 Perayaan Kehidupan
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menempatkan persoalan perihal sampah (waste) sebagai masalah yang rumit dan sukar
diselesaikan adalah hal yang pantas. Pasalnya, persoalan ini tak pernah menjadi
pergumulan sosiologis dan moral yang kunjung terselesaikan. Paling tidak hanya dapat
ditangani dalam pengertian, mencari solusi penanganan dan pengelolaannya. Tentu ini
amat wajar demikian, oleh karena persoalan sampah secara hakiki berurat akar dengan
aktivitas manusia, yaitu aktivitas produktif maupun aktivitas konsumtif, dilakukan
dengan sengaja maupun tidak sengaja.
Untuk mempersempit persoalan persampahan dalam jangkauan yang sangat khusus,
maka pokok persoalan sampah dapat ditempatkan sebagai bagian integral dari masalah
pencemaran lingkungan dan krisis lingkungan. Hal ini dikarenakan oleh dampak
langsung sampah terhadap lingkungan dan segala sistem kehidupan di dalamnya.
Dampak buruk yang ditimbulkan sampah menggambarkan bahwa sampah pada dirinya
juga bersifat membahayakan. Sifat ini akan sangat menonjol apabila upaya untuk
mengurangi dan mengelolanya sangat terbatas.
Di tengah kepadatan aktivitas manusia, penanganan sampah masih terbatas menjadi
permasalahan serius yang belum bisa tertangani dengan tuntas, terutama di daerah
perkotaan. Bilamana rata-rata tiap orang per hari menghasilkan sampah 1-2 kg dan akan
terus bertambah sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan dan gaya hidup
masyarakat, maka tentu makin banyak usaha keras yang diperlukan dalam
penanganannya.
Sampah secara umum merupakan salah satu bentuk dari limbah. Limbah dalam
bentuk padat (solid waste). Limbah ini dihasilkan oleh sisa kegiatan sehari-hari manusia
Page 2
2 Perayaan Kehidupan
dan atau proses alam inilah yang disebut sampah.1 Sampah secara estetis dilihat sebagai
suatu materi dari hasil produksi manusia yang tidak memiliki nilai atau daya guna secara
primer. Sering manusia menyebut sampah secara disfungsional, yakni suatu bahan atau
benda yang tidak lagi memiliki daya dan nilai guna, gagal produksi, sudah habis masa
terpakai.
Sampah atau limbah sampah merupakan buangan atau bekas yang berbentuk cair,
gas, dan padat. Dalam air limbah rumah tangga misalnya, terdapat bahan kimia yang
sukar untuk dihilangkan dan berbahaya. Berarti limbah rumah tangga adalah limbah
yang dihasilkan atau dikeluarkan oleh satu rumah atau beberapa rumah, yang pada
prinsipnya mencemari dan membahayakan lingkungan.
Setiap orang adalah penghasil limbah sampah.2 Menurut sumbernya, jenis sampah
rumah tangga yang dihasilkan biasanya berupa sisa-sisa makanan dan bahan sisa proses
pengolahan makanan atau sampah basah (garbage), sampah kering (rubbish), abu, atau
sampah sisa tumbuhan.3 Menurut UU No.18 Tahun 2008 mendefinisikan sampah rumah
tangga sebagai sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak
termasuk tinja dan sampah spesifik (sampah yang mengandung bahan beracun).
Salah seorang ahli kesehatan lingkungan, S. Notoatmodjo, mendefinisikan sampah
sebagai materi atau zat, padat, cair dan gas, yang pada kategori batasan waktu, tidak
terpakai dan dibuang. Pada sifatnya, sampah terkategori menjadi sampah organik
maupun anorganik, yang dihasilkan dari setiap aktivitas manusia.4 Aktivitas dimaksud
mencakup aktivitas produktif kerumahtanggaan. Oleh karena itu, aktivitas yang
1 Robert. Borrong, Etika Bumi Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009, hlm. 123.
2 http://abanggoyes.blogspot.com/2013/09/limbah-rumah-tangga.html
3 H. Arif. Sumantri, Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hlm. 63.
4 Soekidjo. Notoatmodjo, Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hlm. 23.
Page 3
3 Perayaan Kehidupan
dilakukan dalam rumah tangga, yang menghasilkan sampah disebut sampah rumah
tangga atau sampah domestik.5
Penekanan mengenai sampah rumah tangga, terjadi pada aktivitas produksi dan
aktivitas manusia secara umum di dalam rumah, yang terjadi terus menerus, juga dalam
batas waktunya. Dalam penekanan inilah maka membutuhkan penangan dan pengelolaan
yang bersifat menyeluruh, sistemik dan strategis secara serius terhadapnya.6
Banyak fakta dapat disaksikan, bahwa sampah menjadi salah satu penyebab
terjadinya kerusakan lingkungan disertai musibah langsung bagi manusia, juga bagi
karyanya sendiri. Lingkungan akan terlihat kotor, bau dan tidak menambah keindahan
lingkungan. Hal ini akan dapat berujung pula pada keengganan orang meminati suatu
lingkungan secara estetis. Bila lingkungan tercemar, oleh karena sampah dibuang secara
sembarangan atau ditumpuk tanpa ada pengelolaan yang baik, maka akan menimbulkan
berbagai dampak kesehatan manusia
Dampak lain yang dapat disebut ialah bahwa, sampah dapat menimbulkan
kebakaran, menyumbat saluran air atau got yang dapat menyebabkan banjir. Banjir
mengakibatkan berbagai kerusakan lanjutan. Kerusakan itu termasuk dalam kerusakan
infrastruktur dan fasilitas umum, seperti akses jalan, dan akses pemukiman. Tidak sedikit
suatu kota dan masyarakatnya menimbah kerugian material yang cukup banyak.
Dalam hasil penelitian dari beberapa kota membuktikan bahwa prosentase terbesar
sampah kota berasal dari sampah rumah tangga. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa sampah rumah tangga adalah sumber terbesar sampah kota, yang justru menjadi
penyebab banyak masalah lingkungan kota.7
5 Enri. Damanhuri, Diktat Pengelolaan Sampah. Bandung: Penerbit ITB, 2001, hlm.12.
6 Enri Damanhuri dan Tri Padmi, (sebuah diktat kuliah Progdi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan
Lingkungan Institut Teknologi Bandung Edisi Semester I -2010/2011) Pengelolaan Sampah, Pdf. hlm. 5. 7 Mimien Henie Irawati Al Muhdhar, (Artikel Hasil Penilitian) Seminar Nasional IX Pendidikan Biologi FKIP:
Penerapan Dvd 6m Pendidikan Kepada Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Menggunakan
Media Televisi, Pdf. hlm. 3.
Page 4
4 Perayaan Kehidupan
Menurut Soemarwoto, sampah rumah tangga yang tidak tertangani akan kian
menumpuk, sehingga akan menghalangi atau berkurangnya keindahan suatu lingkungan
kota diikuti dengan bau busuk. Bila lingkungan kota sudah sedemikian rupa, maka akan
mengurangi sumber daya suatu lingkungan dan kehidupan dalam upaya sektor
parawisata suatu daerah.8
Sisi tilik sampah rumah tangga yang menjadi faktor dominan bagi persoalan sampah
perkotaan, memberi gambaran bahwa perlunya suatu metode penanganan serius.
Persoalan sampah rumah tangga ini berkisar pada hasil-hasil buangan dari aktifitas
kerumahtanggaan yang enggan bijak sehingga mendatangkan berbagai polemik yang
luas.
Lebih khusus menurut wilayah pelayanan gereja Ebenhaezer Oeba, di tiap rumah
tangga, di Kelurahan Oeba, ihwal pembuangan dan pengelolaan sampah tidak dilakukan
dengan menyediakan wadah atau lokasi yang baik. Bahkan walau telah disediakan
tempat pembuangan sementara (TPS), toh itu pun tidak dimanfaatkan secara optimal.
Banyak warga yang tidak membuang sampah pada tempatnya, bahkan sekian
banyak warga tidak peduli pada lokasi pembuangan sampah.9 Ini baru mengenai
pembuangan sampah di TPS, hal yang sama juga dapat ditemukan dalam hal
fungsionalisasi sistem pembuangan limbah. Banyak sistem pembuangan limbah,
cair/pembungan air limbah yang tidak efektif, akibat ketersumbatan sampah yang turut
masuk ke dalam sistem tersebut. Serta penumpukan dan pembakaran sampah
sembarangan di pinggir jalan. Tidak heran hal ini turut menyebabkan konflik
8 Soemarwoto, Penanganan dan Pemanfaatan Sampah, Jakarta: Yayasan Idayu, 1998, hlm. 11.
9 Hasil observasi mini secara pribadi sebagai salah satu warga Kelurahan Oeba, selama menetap di Kelurahan
Oeba. 16-18 Mei 2014.
Page 5
5 Perayaan Kehidupan
antartetangga akibat pembuangan sampah yang melanggar kode etik. Sebab sampah
pada dirinya berdimensi sosial.10
Dimensi sosial dari sampah, sesungguhnya merupakan dimensi sekunder. Yang
menjadi dimensi pokok dalam pergumulan mengenai persoalan sampah rumah tangga
sesungguhya, ialah dimensi moralitas dan etis. Muatan moralitas dan etis sangatlah
kental, sebagaimana telah disketsakan di atas.
Muatan tersebut berisikan persoalan keadilan, kasih dan suatu kebijaksanaan dalam
mengelola sampah. Misalkan, konflik yang dihasilkan dari pembuangan sampah yang
tidak benar oleh seseorang akan menjadi persoalan ketidakadilan bila pembuangannya
tidak memerhatikan dampak buruknya bagi orang lain. Begitu juga dengan lingkungan
dan ekosistem di sekitarnya.
Gambaran-gambaran konkret di atas mengisyaratkan bahwa masih kurangnya
pemahaman dan kesadaran lingkungan tentang pengelolaan sampah rumah tangga.
Kedua hal tersebut memberi pengaruh bagi cara bersikap terhadap lingkungan dalam
hubungannya dengan dampak-dampak yang diakibatkan oleh (karena ketidakbenaran
mengelola) sampah rumah tangga terhadap lingkungan hidup. Singkatnya, ialah bahwa
segala dampak buruk lingkungan yang disebutkan di atas, memiliki indikasi pada
kurangnya kesadaran, pandangan dunia dasar dan perilaku moral manusia, yaitu
menunjuk pada cara pembuangan, penangan dan pengelolaan sampah yang terbatas,
buruk atau tidak beres.
Kekurangan pemahaman ini, bukan saja karena masih minimnya pendidikan
mengenai lingkungan bagi jemaat dan masyarakat, tetapi juga turut dipengaruhi oleh
kurangnya kesadaran mendasar. Kesadaran mendasar inilah yang perlu dicari dan perlu
dijadikan sebagai faktor penentu atau preseposisi dalam memandang dan
10
Hasil observasi mini secara pribadi sebagai salah satu warga Kelurahan Oeba, selama menetap di Kelurahan
Oeba. Rabu, 4 Juni 2014.
Page 6
6 Perayaan Kehidupan
memperlakukan lingkungan hidup secara baik. Mengapa ? Karena pertama-tama,
manusia secara antroposentris adalah pelaku moral, memiliki kemampuan moral berupa
kemampuan akal budi dan kehendak bebas. Ia dapat memperbaiki dan merusak.
Kedua, manusia adalah makhluk biologis, yang dapat menimba kerugian secara
biologis. Ketiga, manusia adalah makhluk ekologis, karena kehidupannya bergantung
pada lingkungan (alam). Sebab itu, ia mesti melakukan perbaikan lingkungan di mana ia
menetap (habitat).11
Keempat, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Yang terakhir ini merangkum
ketiga pemahaman tadi. Sebab tentang penciptaan, manusia sebagai ciptaan ditempatkan
pada patokan religius dan etis. Patokan religius ini, menuntut manusia dan jemaat secara
khusus, untuk mencari dari mana pemahaman mendasar dan patokan etis menuntutnya
untuk bersikap atau bertindak yang benar.
Dalam hubungan dengan keempat pemahaman tadi. Kesadaran mendasar dimaksud
perlu ditumbuhkembangkan bukan saja berdasarkan asumsi moral-sosial, melainkan
berdasarkan iman. Pada titik inilah gereja berperan penting sebagai subyek dalam
masyarakat yang bukan sekedar sebagai lembaga sakral, tetapi juga lembaga sosial.
Yaitu bagaimana gereja dapat mendidik dan menumbuhkan kesadaran melalui iman bagi
masyarakat. Peran ini seperti disebut Louis Berkhof sebagai peran saksi dan guru
terhadap orang yang belum mengenali apa yang seharusnya (benar) dan orang yang
harus diajar untuk lebih mengenal yang seharusnya.12
Bila iman mencari pemahaman, begitupun gereja mengambil peran konstruktor
dalam mengkonstruksi pendidikan iman dan moral bagi jemaat dan masyarakat tentang
11
A. Sony. Keraf, Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002, lm. Xvii. 12
Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Dogtrin Gereja (Jil. 5), Surabaya: Momentum, 2012, hlm. 83.
Page 7
7 Perayaan Kehidupan
lingkungan. Agar berdaya guna bersikap secara etis terhadap lingkungan dan sesama.
Jika demikian, gereja dapat dipredikatisasikan sebagai rumah pedagogis.13
Iman yang ditumbuhkan bukan saja diperoleh dari sekedar membaca sabda Allah,
merefleksikan tentangnya dan mendengar tentangnya ketika beribadah di dalam gedung
gereja yang megah (mega churches). Tetapi, iman timbul dari nyanyian dan penghayatan
total akan seluruh rangkaian ibadah itu, yaitu dalam hal melihat, merasai, dan
mendengar.14
Iman juga dapat timbul melalui penghayatan kehidupan di alam sekitar.15
Ini semua berarti bahwa, iman mewujudkan seseorang menjadi pelaku setia kepada bumi
dan berpartisipasi penuh di dalam kesukacitaan dan kepedihan alam.16
Pada titik ini, gereja disebut sebagai subyek liturgi, yaitu gereja yang bertindak
dalam menangani persoalan pencemaran lingkungan, khususnya oleh sampah rumah
tangga. Tindakan ini disebut tindakan liturgis gereja atau praksis dari teologi liturgi.17
Praksis atau aksi ibadah ini, dapat diaplikasikan oleh tiap-tiap orang percaya. Namun,
berkaitan dengan persampahan, praksis liturgis ini tidak lepas dari pihak keluarga
sebagai sebuah persekutuan orang-orang beriman (communio fidelium) dan sebagai
pelaku yang dominan praksis liturgisnya. Lebih tepatnya ialah bahwa keluarga menjadi
basis dari praksis liturgi.
Hematnya dari yang telah disampaikan bahwa persoalan pencemaran lingkungan,
khususnya sampah rumah tangga merupakan salah satu pokok persoalan liturgis. Serta
liturgi, dalam arti teologisnya yang luas menjadi sarana yang berdaya untuk
13
R. R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2010, hlm. 45-52. 14
Fredrik Y. A. Doeka, Maria dan Rabi’a. Kupang: Artha Wacana Press, 2005, hlm. 15-17. 15
Celia Deane-Drummond, Teologi dan Ekologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012, hlm. 92. 16
Larry L. Rasmussen (terj.), Komunitas Bumi: Etika Bumi Baru. Jakarta: BPK Gunug Mulia, 2010, hlm.15. 17
E. Martasudjita. Liturgi; Pengantar Untuk Studi dan Praksis Liturgi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2011,
hlm. 107. Adolf. Adam, Foundations of Liturgy: An Introduction to Its History and Practice. Collegeville -
Minnesota: The Liturgical Press,1992, hlm. 10-11.
Page 8
8 Perayaan Kehidupan
memengaruhi perubahan jemaat dan masyarakat.18
Konsekuensi dari pengaruh itu
ditandai dengan upaya gerakan konkret cinta lingkungan melalui pengelolaan sampah
yang baik.19
Bila demikian, dalam latar belakang ini, penulis dapat menyimpulkan duduk
perkaranya sebagai berikut:
1. Oleh karena persoalan sampah rumah tangga yang bila tidak ditangani (dikelola)
secara baik akan menimbulkan kerugian pada manusia sebagai subyeknya, dan
lingkungan secara utuh, maka perlu suatu penanganan konkret.
2. Penanganan ini membutuhkan suatu upaya akomodasi terhadap kekrisisan
pemahaman atau kesadaran (disiplin masyarakat20
) dan cara bersikap jemaat dan
masyarakat mengenai lingkungan hidup, khususnya mengenai pengelolaan
sampah rumah tangga.
3. Penanganan tersebut merupakan bagian bidang ekologis dari misi gereja, maka
salah satu cara adalah melalui suatu uraian teologi liturgis mendalam, yang
menimbulkan pengertian dan kesadaran tentang lingkungan. Juga sebaliknya,
menimbulkan pengertian dan pemahaman tentang liturgi sebagai sebuah
perayaan iman oleh segenap ciptaan. Uraian ini dilakukan sampai memunculkan
dimensi-dimensi lain dari liturgi terhadap persoalan lingkungan hidup,
khususnya sampah rumah tangga.
Dari uraian latar masalah di atas, penulis terdorong untuk melakukan studi
berdasarkan penelitian lapangan. Penelitian dimaksud bertujuan untuk memperoleh data
tentang persoalan pengelolaan sampah rumah tangga dan dampak pencemaran
lingkungan, serta hubungannya dengan liturgi.
18
Celia Deane-Drummond, op. cit, hlm. 99-100. 19
E. Martasudjita, op. cit., hlm. 95. 20
K. Bertens, Perspektif Etika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001, hlm. 141-142.
Page 9
9 Perayaan Kehidupan
Dalam hubungannya dengan liturgy, maka studi ini bertolak dari pertanyaan,
tentang bagaimana liturgi gereja atau ibadah, dari pengertian yang autentik, dapat
mengungkapkan dan meneguhkan iman kepada Tuhan Pencipta dalam melaksanakan
pola hidup yang bersesuaian dengan lingkungan. Pola hidup ini mesti nyata ditunjukkan
dalam perilaku yang benar dalam segala aspek hidup, termasuk mengelola sampah
secara benar, sesuai dengan apa yang diperoleh dalam penghayatannya terhadap liturgi
atau ibadah. Di samping itu, dalam lingkup yang luas, mengajak umat beriman untuk
terlibat aktif dalam gerakan konkret bagi upaya penegakan keadilan dan cinta alam
lingkungan dalam masyarakat.
Pada hematnya, liturgi diposisikan menjadi pendasaran teologis dalam membangun
kesadaran dan pemahaman masyarakat dan jemaat. Liturgi diuraikan menurut teologi
liturgi gereja sebagai alat tilik teologis terhadap lingkungan hidup, khususnya persoalan
pengelolaan sampah rumah tangga yang tidak efektif. Serta bagaimana liturgi tidak
hanya dipahami dalam arti yang terbatas, sebagai aturan-aturan ibadah saja. Tetapi justru
pada praksis liturgisnya, etika lingkungan dapat berlaku di dalamnya. Juga ini berarti
bahwa ketika etika lingkungan dipertanyakan posisinya dalam melihat persoalan krisis
lingkungan yang diakibatkan oleh persoalan sampah rumah tangga, maka secara
metodologis, atau disiplin (ilmu dalam) kajian, justru ini merupakan praksis liturgisnya.
Hematnya, etika lingkungan hadir dalam praksis liturgis.
Dengan begitu maka, menurut penulis, karya ilmiah ini dapat memperoleh judul
“PERAYAAN KEHIDUPAN” dengan sub judul: “SUATU TINJAUAN
EKOTEOLOGIS-LITURGIS TERHADAP PERSOALAN PENGELOLAAN
SAMPAH RUMAH TANGGA KELURAHAN OEBA, KECAMATAN KOTA LAMA,
DI JEMAAT GMIT EBENHAEZER OEBA, KLASIS KOTA KUPANG”.
Page 10
10 Perayaan Kehidupan
B. MASALAH POKOK
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah tersebut dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah penanganan sampah rumah tangga sebagai fakta persoalan
lingkungan oleh di kelurahan Oeba?
2. Bagaimana dasar ekoteologis-liturgis (tentang “perayaan kehidupan”) menyangkut
persoalan pengelolaan sampah rumah tangga?
3. Bagaimana refleksi ekoteologis-liturgis berbasis jemaat serta bagaimana (gereja)
menyikapi persoalan pengelolaan sampah rumah tangga sebagai sikap ekoteologis
- liturgis (praksis) di Jemaat GMIT Ebenhaezer Oeba?
C. PEMBATASAN MASALAH
Bertolak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis akan lebih
mengfokuskan perhatian pada persoalan pencemaran lingkungan sebagai persoalan
liturgis. Penulis mengfokuskan pada, bagaimana persoalan pandangan dan cara bersikap
ekoteologis-liturgis dari jemaat (JEO) dan masyarakat terhadap pengelolaan sampah
rumah tangga. Maksudnya adalah bahwa bagaimana cara bersikap liturgis (praksis)
berdasarkan dasar teologisnya terhadap penanggulangan sampah rumah tangga di
Kelurahan Oeba, Jemaat Ebenhaezer Oeba, Klasis Kota Kupang.
D. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penanganan sampah rumah tangga dan persoalan mendasar.
Karena berhubungan langsung dengan krisis lingkungan hidup yang diakibatkan
langsung oleh sampah rumah tangga. Serta pemeliharaan dan pelestarian
lingkungan atau alam.
Page 11
11 Perayaan Kehidupan
2. Untuk mengetahui pandangan dan sikap gereja/jemaat (praksis liturgis) terhadap
persoalan sampah rumah tangga.
3. Untuk mengetahui perspektif teologi liturgis mendalam tentang perayaan
kehidupan, yang tidak terikat pada pengertian praktis yaitu berkaitan dengan
norma-norma liturgi atau aturan-aturan liturgi saja, seperti bagaimana harus
berdoa, menyanyi, atau kapan harus duduk dan berdiri. Perspektif teologis yang
dibangun ini, dimunculkan dengan melihat pendekatan mendasar teologi liturgi
yang trinitaris.
4. Untuk mengimplementasikan teologi liturgi dimaksud dalam menangani persolan
sampah rumah tangga.
E. METODE PENELITIAN dan PENULISAN
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian observasional analitik, yaitu mengamati
dan menganalisis data dan diolah kemudian disajikan sesuai dengan tujuan. Metode yang
digunakan adalah survei dan wawancara dengan alat bantu pedoman wawancara dan
kuesioner. Dengan begitu, dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode sebagai
berikut:
a. Penelitian
Penelitian adalah cara pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan secara
manual. Pencarian data secara manual sebagaimana dijelaskan Kuncoro meliputi
penelusuran data secara fisik melalui penggunaan indeks, bibliografi, dan referensi
pustaka. Pendekatakan pustaka untuk mendapatkan dukungan teoritis yang relevan
dengan data penelitian yang dilakukan.21
Karena itulah penulis menjabarkannya
demikian:
21
Scribd.com., Bab.III. Metode Penelitian Template. Rabu, 2 Juli 2014.
Page 12
12 Perayaan Kehidupan
1. Jenis Penelitian.
a. Penelitian Kepustakaan (library research) yakni menggunakan dokumen-
dokumen atau sumber data berupa bahan puskata yang mendukung studi.
b. Penelitian lapangan (field research), yakni pengamatan langsung mengenai
objek dan permasalahan yang diangkat tentang persoalan sampah rumah
tangga dan pengelolaannya di Kelurahan Oeba, Jemaat Ebenhaezer Oeba.
2. Lokasi penelitian di Kelurahan Oeba, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang,
Provinsi Nusa Tenggara Timur.
3. Populasi dan sampel
Populasi adalah jumlah keseluruhan komunitas yang hendak diteliti.22
Populasi
dalam penelitian adalah warga jemaat atau kelurahan Oeba. Dengan
memperhatikan keterbatasan waktu dan dana yang tersedia, maka sampel yang
diambil dari sebagian populasi yang layak memberikan pemikiran, ide, gagasan
demi kelengkapan penulisan ini serta tujuan penelitian lapangan (pursposive
sampling). Dengan demikian jumlah sampel secara variabel (faktor atau unsur
yang ikut menentukan perubahan) terdiri dari:
1. 15-20 rumah tangga, yang terbagi atas 3 RT di kelurahan Oeba.
2. Sampel lain diambil dari jumlah informan ialah: 4 orang pendeta dari lembaga
gereja.
3. 1 orang lurah dan beberapa jajarannya, khususnya seksi kesejahteraan sosial.
4. Pihak Dinas kebersihan dan jajaran yang terkait dengan obyek penelitian.
Serta beberapa anggota masyarakat, yaitu jemaat dalam hal ini bebas, entah
orangtua, muda-mudi dan anak-anak.
22
Djarwanto Ps, Pokok-Pokok Metode Riset dan Bimbingan Teknis Penulisan Skripsi, Yokyakarta: Libenty,
2000, hlm. 42.
Page 13
13 Perayaan Kehidupan
4. Teknik Pengumpulan data
a. Observasi.
Observasi dilakukan dengan mengamati langsung objek di lapangan dan
melakukan pengambilan gambar berupa foto yang dianggap akan mendukung
kegiatan penelitian ini. Objek pengamatan pada lokasi studi antara lain; kondisi
sampah dan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah.
b. Kusioner
Penelitian ini menggunakan teknik pertanyaan terstruktur dengan membuat daftar
pertanyaan dalam bentuk kuesioner, bertujuan untuk mendapatkan informasi dan
opini responden tentang objek penelitian. Kuesioner dilakukan dengan cara
menyebarkan daftar pertanyaan tertulis kepada responden, yaitu Kepala Keluarga
yang tinggal di lokasi studi, untuk dijawab pula secara tertulis oleh responden.
c. Wawancara
Pada penelitian ini juga dilakukan pengumpulan data dengan cara mewawancarai
masyarakat secara tersusun, yaitu ketua RT, toko masyarakat, dan pemerintah
yaitu Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Kupang, bertujuan untuk
melengkapi data yang tidak termuat dalam data sekunder.
5. Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari: pertama, data
primer, yakni data yang diperoleh langsung dari responden melalui observasi
lapangan (partisipatif dan nonpartisipatif) dan wawancara langsung. Kedua, data
sekunder, yakni data yang diperoleh baik dari dokumen maupun data yang
terdapat pada dinas-dinas kebersihan kota, atau pihak-pihak terkait yang
mengurusi persoalan sampah.
Page 14
14 Perayaan Kehidupan
b. Penulisan
Metode yang dipakai dalam penulisan ini, yakni metode deskriptif-analitis-reflektif.
Metode deskriptif digunakan untuk menjelaskan gambaran persoalan sampah di
Jemaat Ebenhaezer yang begitu mengotori lingkungan. Metode analisis digunakan
untuk mengungkapkan sebab-sebab/faktor-faktor penyebab. Refleksi teologis
dimaksudkan untuk meninjau secara teologis liturgis terhadap persoalan sampah
rumah tangga.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam studi ini, penulisan akan dibuat secara sistematis, sebagai berikut:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Masalah Pokok
C. Pembatasan Masalah
D. Tujuan Penulisan
E. Metode Penelitian dan Penulisan
F. Sistematika Penulisan
BAB. I. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Dalam bab ini penulis memaparkan gambaran umum lokasi penelitian, letak dan batas,
mata pencaharian, mata pencaharian penduduk, kepercayaan, pendidikan, struktur
pemerintahan, pendidikan, aktifitas masyarakat dalam hubungannya dengan pembuangan
atau pengelolaan sampah.
BAB. II. SAMPAH DAN PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA
KELURAHAN OEBA, KECAMATAN KOTA LAMA
Di dalam bab ini penulis menjelaskan tentang aktivitas produktif masyarakat atau jemaat
dalam hubungannya dengan pengelolaan persampahan rumah tangga yang dihasilkan dari
Page 15
15 Perayaan Kehidupan
aktivitas kerumahtanggaan oleh tiap-tiap keluarga. Disusul dengan analisis sosio-ekologi
dalam ilmu kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan.
BAB. III. DASAR TEOLOGIS DAN REFLEKSI TEOLOGIS
a. Dasar Teologis Ekoteologis-Liturgi : Pendasaran ini dilakukan secara
sistematis dan alkitabiah (PL dan PB) dan tradisi-tradisi teologi. Semuanya
merujuk pada cara dan sumber-sumber berteologi tentang ekologi dan liturgi.
b. Refleksi Teologis : Dalam bab ini penulis akan berusaha
menggambarkan beberapa tinjauan Teologis (eko-liturgis) terhadap persoalan
persampahan rumah tangga dan implikasinya terhadap kehidupan berjemaat dan
masyarakat.
BAB. IV. PENUTUP :
a. KESIMPULAN
b. SARAN
Page 16
16 Perayaan Kehidupan
Page 17
17 Perayaan Kehidupan
Page 18
18 Perayaan Kehidupan
Page 19
19 Perayaan Kehidupan
BAB I
GAMBARAN UMUM KELURAHAN OEBA
Pada bab ini akan dipaparkan tentang gambaran umum mengenai keadaan Kelurahan Oeba,
yang menjadi populasi obyek penelitian. Gambaran ini diperlukan agar dapat memahami
keadaan masyarakat Kelurahan Oeba berhubungan dengan masalah yang akan dibahas.
Dalam hal ini ditampilkan deskripsi mengenai letak geografis kelurahan, keadaan topografis,
demografis, data statistik dan permasalahan lingkungan yang merupakan urgensi studi ini.
Gambaran-gambaran dimaksud dapat dibutuhkan berkaitan dengan sumber data deskriptif
bagi kebutuhan uraian bab selanjutnya. Dengan kata lain, bab ini sebagai latar di mana obyek
penelitian berlangsung, sekaligus merupakan konteks yang mengantar studi ini dapat
dilangsungkan dalam bingkai yang sistematis.
A. Kelurahan Oeba
1. Letak Geografis dan Batas Administrasi
Letak geografis yang mencakup batas administrasi wilayah, oleh suatu pemerintahan
di tempat tertentu, wajib ditetapkan. Penetapan ini bertujuan untuk menjalankan
wewenang pemerintahan. Letak geografis dan batas administrasi bermanfaat dalam
beberapa hal, diantaranya, ialah untuk mempertegas cakupan wilayah administrasi –
cakupan wilayah kewenangan suatu pemerintahan daerah dan efisiensi dan efektivitas
pelayanan kepada masyarakat.23
Sebagai salah satu wilayah pemerintahan, Kelurahan Oeba merupakan salah satu
kelurahan dari 10 kelurahan yang berada dalam wilayah administrasi Pemerintahan
23
Penegasan Batas Daerah. Sebuah bahan pelatihan pada Raker Gubernur Kalbar Dengan Para Bupati,
Walikota dan Camat se-KALBAR Pontianak, 29 Januari 2010. Pdf., hlm. 8.
Page 20
20 Perayaan Kehidupan
Kecamatan Kota Lama – Kota Kupang. Pusat pemerintahan Kelurahan Oeba
berlangsung di kantor lurah yang terletak di Jl. Beringin, dengan Kode Pos 85226.24
Secara geografis, luas kecamatan Kota Lama ialah 3.22 km2
atau 1,78 persen dari
luas Kota Kupang.25
Sedangkan luas wilayah Kelurahan Oeba adalah 0,60 km2
(60
Ha). Sebagian besar dari luas wilayah tersebut dipergunakan untuk pemukiman
penduduk, fasilitas umum dan beberapa badan usaha.
Wewenang pemerintahan Kelurahan Oeba, terjadi dalam koordinasi intansial
dengan kecamatan pada khususnya. Jarak antara Kelurahan Oeba dengan kantor
Kecamatan Kota Lama diperkirakan ± 500 meter. Sedangkan jaraknya dengan kantor
Walikota Kupang adalah 3,2 km.26
Menurut letaknya, Kelurahan Oeba memiliki batas-batas wilayah administrasi
untuk menjalankan pemerintahannya, sebagai berikut:27
Sebelah Utara : Berbatasan dengan Jl. A. Yani dan Kelurahan Fatubesi.
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kelurahan Oebobo dan Kelurahan Oetete.
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kelurahan Pasir Panjang dan kelurahan
Nefonaek.
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kelurahan Merdeka.
24
Data statistik Kecamatan Kota Lama tahun 2013, BPS (Badan Pusat Statistik) Kota Kupang, hlm. 6. 25
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Kupang, 22 November 2014. 26
BPS Kota Kupang, 2010, hlm. 7 & 9. 27
Kristofel Hibu (pegawai Kelurahan Oeba ), wawancara, Kelurahan Oeba, 18 November 2014. Dan dalam
Laporan Bulanan, Keadaan Bulan Oktober 2014, Pemerintah Kelurahan Oeba, Kecamatan Kota Lama, Kota
Kupang, hlm. 3.
Page 21
21 Perayaan Kehidupan
Gambar. 1. Peta Administratif Kelurahan
(Sumber: Kantor Kelurahan Oeba, 2014)
Dalam luas wilayah, batas wilayah dan kependudukannya ini, wewenang dan
pelayanan pemerintahan Kelurahan Oeba dilangsungkan.
2. Keadaan Topografi
Topografi umumnya menyuguhkan relief dan gambaran permukaan bumi di suatu
tempat. Keadaan topografi mesti digambarkan oleh suatu wilayah atau daerah tertentu,
berhubungan dengan strategi penataan ruang terbangun suatu wilayah. Dalam hal ini,
dapat digambarkan bahwa, Kelurahan Oeba terletak pada jarak 1500 meter dari garis
pantai Teluk Kupang yang seluruh wilayahnya berupa daratan, dengan topografi
dataran yang tidak rata dan perbukitan yang ditandai dengan keadaan tanah berbatu
karang. Dari sisi lain, letak topografis kelurahan bila dilihat dari sisi pembangunan
perkotaan, termasuk dalam kawasan perdagangan dan pemukiman karena berada
dalam jarak yang ideal dari garis pantai.28
Keadaan iklim, tentu menyesuaikan iklim dan letak geografis Kota Kupang, yang
tercatat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 2013. Kota
Kupang dipengaruhi iklim daerah tropis dengan 2 musim, yaitu musim kemarau pada
28
Data statistik Kecamatan Kota Lama, op. cit., hlm. 6.
Page 22
22 Perayaan Kehidupan
bulan April–November dan musim penghujan antara bulan Desember–Maret. Curah
hujan tahunan rata-rata sebesar 1.589 mm, suhu udara berkisar antara 23ºC sampai
dengan 34ºC, dengan kelembaban udara rata-rata 77 %.29
3. Struktur Organisasi dan Tugas Lurah
Kelurahan adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia yang berada di bawah
kecamatan. Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, kelurahan merupakan
wilayah kerja lurah sebagai Perangkat Daerah Kabupaten atau kota. Kelurahan
dipimpin oleh seorang lurah yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Kelurahan merupakan unit pemerintahan terkecil setingkat dengan desa. Berbeda
dengan desa, kelurahan memiliki hak mengatur wilayahnya lebih terbatas. Dalam
perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan.30
Menurut alur tugas pokok dan fungsinya, diatur menurut peraturan daerah. Dalam
hal ini, kelurahan sekaligus kecamatan di Kota Kupang, diatur menurut Peraturan
Daerah Kota Kupang Nomor 8 Tahun 2008, tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kecamatan dan Kelurahan di Kota Kupang. Dalam pasal 6 disebutkan bahwa
kelurahan merupakan wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah yang
berkedudukan di wilayah kecamatan. Dalam jalur koordinasi, lurah berkedudukan di
bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui camat.31
29
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 2013, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)
Kota Kupang Tahun 2014, hlm. 8. 30
http://febryaristian.blogspot.com/2012/12/perbedaan-desa-dengan-kelurahan_29.html. Diakses tanggal, 12
Desember 2014. 31
Laporan Bulanan, op. cit., hlm. 1.
Page 23
23 Perayaan Kehidupan
Adapun tugas pokok dan fungsi lurah adalah menyelenggarakan urusan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Serta melaksanakan urusan
pemerintahan yang dilimpahkan oleh Walikota.
Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, lurah mempunyai
fungsi sebagai berikut:
1. Penggerak partisipasi masyarakat;
2. Pelaksanaan tugas yang menjadi tugas di bidang pelayanan masyarakat;
3. Pelaksanaan tugas yang menjadi tugasnya di bidang pemberdayaan
masyarakat;
4. Pelaksanaan tugas-tugas dalam rangka pembinaan ketentraman dan ketertiban;
5. Pelaksanaan koordinasi instansional dan kemasyarakatan di wilayah kerjanya;
6. Pelaksanaan tugas-tugas yang lain diberikan oleh camat sesuai bidang tugas
dan kewenangannya dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas Kecamatan.
Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai kesatuan, maka semua
aktivitas pelayanannya dilaksanakan dalam bingkai komposisi susunan organisasi
yang demikian:32
1. Lurah : Maria A. Salensi, SE
2. Sekretaris Lurah : Jacob J.A. Ndolu, S.Sos
3. Kepala Seksi Pemerintahan dan Trantib : Kristofel Hibu
4. Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat : Merry L.Ng. Tagudedo, SP
5. Kepala Seksi Kesejahteraan Sosial : Enggelina Malelak
6. Kepala Seksi Pelayanan Umum : Imelda Merry Lami, S.Sos
7. Staf : 1. Susana Anakay
32
Ibid., hlm. 3.
Page 24
24 Perayaan Kehidupan
: 2. Paulina Lince Koro
: 3. Andrew C.J. Messakh, S.Ip
8. Tenaga Fasilitator : Ellen Regina Pelupessy, SH
9. Pegawai Tidak Tetap : Jefry A. A. Nenohai
Dalam struktur yang demikian, pelayanan pemerintahan akan menjadi efektif
apabila dijalankan dalam koordinasi yang dibagi ke dalam beberapa wilayah Rukun
Warga (RW) dan Rukun Warga terbagi menjadi beberapa wilayah Rukun Tetangga
(RT). Di Kelurahan Oeba, koordinasi yang terbagi dalam 4 RW dan 14 RT, dengan
pembagian sebagai berikut:
1. RW I membawahi RT 01, RT 02, RT 03
2. RW II membawahi RT 04, RT 05, RT 06, RT 07
3. RW II membawahi RT 08, RT 09, RT 10, RT 11
4. RW IV membawahi RT 12, RT 13 dan RT 14.
4. Keadaan Demografi
Gambaran demografis berguna untuk mengembangkan hubungan sebab akibat antara
fakta perkembangan penduduk dengan bermacam-macam aspek organisasi sosial,
ekonomi, budaya, lingkungan dan lain-lain. Keadaan demografis Kelurahan Oeba
dapat diperoleh melalui hasil sensus penduduk dan registrasi penduduk yang
dilakukan oleh pihak kelurahan yang berkoordinasi dengan RT dan RW, dan pihak
terkait.
4.1.Penduduk
Berdasarkan letak geografisnya yang cukup strategis, yakni berada di sekitar
pusat Kota Kupang, maka jumlah penduduk di Kelurahan Oeba yang pesat telah
menjadi bagian inheren dari gambaran Kelurahan Oeba. Perkembangan penduduk
Page 25
25 Perayaan Kehidupan
yang tergolong pesat namun relatif, karena itu dalam satu bulan terakhir
mengalami sedikit penurunan. Paling tidak perkembangan penduduk ini salah
satunya dipengaruhi oleh faktor urbanisasi, yaitu migrasi penduduk dari desa ke
kota. Faktor ini menjadi dominan, oleh karena adanya beberapa daya tarik
penting.33
1. Daya tarik ekonomi. Masyarakat pendatang berharap di kota
nasibnya dapat berubah dengan pekerjaan yang lebih baik. 2. Daya tarik sosial.
Masyarakat yang berpindah ke kota kebanyakan termotifasi oleh alih profesi,
misalnya dari petani ingin menjadi PNS atau pegawai swasta. 3. Daya tarik
pendidikan. Di kota fasilitas pendidikan lebih memadai daripada di tempat asal,
sehingga adanya pilihan bahwa kota secara definitif adalah pusat tempat belajar.
4. Daya tarik budaya. Di kota tempat hiburan lebih banyak daripada di desa dan
lebih modern sehingga masyarakat pendatang memilih ke kota untuk mencari
hiburan. 5. Daya tarik romantisme kota. Di kota dianggap dapat memberi rasa
yang estetik dan menarik hati pada segala aspek secara planologis dan
suprainfrastruktur (dominasi unggul fasilitas teknologi: informasi dan
komunikasi).
Faktor urbanisasi ini, mengindahkan volume pertumbuhan penduduk yang
signifikan. Paling banyak para migran merupakan masyarakat urban yang datang
untuk menikmati fasilitas pendidikan dan perkembangan ekonomi. Karena itu,
signifikansi dari perkembangan tersebut, akan ditandai dengan jumlah penduduk
dan jumlah pemukiman. Semakin banyaknya jumlah penduduk menyebabkan
kebutuhan akan tanah untuk tempat tinggal semakin meningkat yang berimplikasi
pada pengurangan luas lahan pertanian, lahan kosong dan lahan hijau. Faktor
urbanisasi pada akhirnya merupakan bentuk urbanisasi yang paling memperoleh
33
Sri Widiati & Hari Kusnanto (penj.), Planet Kita, kesehatan Kita. Laporan Komisi WHO Mengenai
Kesehatan Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001, hlm. 41-46, 75-76.
Page 26
26 Perayaan Kehidupan
perhatian oleh suatu daerah perkotaan. Dalam hal ini, menurut rincian data
Kelurahan Oeba, jumlah populasi penduduk dipaparkan sebagai berikut:34
Laki-laki : 2.426 orang
Perempuan : 2.314 orang
Jumlah Total : 4.740 orang
Jumlah Kepala Keluarga (KK) laki-laki sebanyak 1.128. Sedangkan jumlah
KK perempuan sebanyak 149; sehingga total jumlah KK sebanyak 1.277 KK.
Masing-masing dari tiap KK rata-rata berjumlah 3-8 orang.
Untuk memperjelas tingkat perkembangan penduduk Kelurahan Oeba akibat
faktor urbanisasi, migrasi dan tingkat kelahiran, maka dapat dilihat dalam tabel
berikut:
Uraian
Penduduk
WNI WNA WNI+WNA
L P Jmh L P Jmh L P Jmh
Penduduk
awal bulan
ini
2.427 2.321 4.748 - 2.427 2.321 4.748
Kelahiran
bulan ini
2 - 2 - 2 - 2
Kematian
bulan ini
- 2 2 - - 2
2
Pendatang
bulan ini
3 1 4 - 3 1 4
Pindah bulan
ini
6 6 12 - 6 6 12
34
Laporan Bulanan, op. cit., hlm. 4.
Page 27
27 Perayaan Kehidupan
Penduduk
akhir bulan
ini
2.426 2.314 4.740 - - - 2.426 2.314 4.740
Tabel. 1. Tingkat perkembangan penduduk
4.2. Sarana Pendidikan dan Tingkat Pendidikan
Menurut letak kelurahan yang strategis, masyarakat dapat dengan mudah
mengakses sarana pendidikan yang tersedia, baik di sekitar kelurahan maupun
wilayah kelurahan. Sarana pendidikan yang dimaksud tergolong menunjang
kebutuhan pendidikan hingga tingkat akhir. Setiap penduduk dapat menikmati
sarana pendidikan dan pelayanan yang tersedia mulai dari PAUD (Pendidikan
Anak Usia Dini) hingga perguruan tinggi, swasta, negeri maupun informal,
seperti kursus mengemudi dan kecantikan.
Adapun sarana pendidikan dan tingkat pendidikan yang terdapat di dalam
wilayah Kelurahan Oeba, dapat ditunjukan dalam dua jenis tabel tabel berikut:35
Sarana Pendidikan Milik
Pemerintah Swasta
PAUD - 5
TK - 1
SD/MI 1 -
SLTP/MTs - -
SLTA/MA - -
PERGURUAN TINGGI - -
PENDIDIKAN INFORMAL 3
35
Ibid., lampiran, hlm. 1-2.
Page 28
28 Perayaan Kehidupan
(Kusus-kursus) 3
Jumlah 1 12
Tabel. 2. Sarana Pendidikan di wilayah Kelurahan Oeba
NO. Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk
Laki-laki Perempuan Jumlah
1 Belum Sekolah 183 213 396
2 TK 75 38 113
3 SD 185 123 308
4 SLTP 110 106 216
5 SLTA 167 127 294
6 D 3 (Diploma) 108 20 128
7 S 1 (Sarjana Strata 1) 198 103 301
8 S 2 (Sarjana Strata 2) 3 - -
9 S 3 (Sarjana Strata 3) - - -
10 Buta Huruf - - -
11 Lainnya 1.400 1.584 2.984
Jumlah 2.429 2.314 4.743
Tabel. 3. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan.
Dari tabel 3 di atas, tingkat pendidikan yang tergambar demikian dapat
menunjang perkembangan penduduk. Minimal dari tingkat pendidikan warga
tidak ada yang warga yang buta huruf dan tidak dapat berhitung. Dalam hal ini,
tingkat pendidikan menjadi gambaran dari kualitas suatu masyarakat Kelurahan
Oeba. Tingkat pendidikan secara kuantitatif ini, dapat dijadikan tolok ukur
perkembangan dan pembangunan suatu wilayah. Dengan kata lain, perkembangan
dan pembangunan itu turut ditentukan oleh faktor jumlah dan kualitas pendidikan.
Page 29
29 Perayaan Kehidupan
4.3. Mata Pencaharian
Penduduk daerah dekat pantai mempunyai karakteristik yang disesuaikan dengan
keadaan daerahnya. Ini berarti, mata pencaharian disesuaikan dengan
ketersediaan sumberdaya alam berdasarkan letak geografis.
Dengan meninjau akan letak geografis Kelurahan Oeba yang berada di
tengah kota, berdekatan dengan pantai dan daerah pasar, maka sebagian besar
penduduk Kelurahan Oeba berprofesi sebagai pedagang kecil (310 orang),
nelayan (470 orang) dan jumlah PNS dan PNS TNI/POLRI (381 orang). Dari
tingkat mata pencaharian yang demikian, maka Kelurahan Oeba masih tergolong
miskin dan berpendapatan rendah.36
Dari hasil survei, terdapat beberapa keluarga
yang berpendapatan minimun Rp. 7000 – Rp. 20. 000/ hari.37
Mata Pencaharian Jumlah Penduduk
Laki-laki Perempuan Jumlah
PNS 192 158 350
TNI 1 1 2
POLRI 33 7 40
PNS TNI/POLRI 26 27 53
GURU 100 120 220
DOSEN 12 26 38
DOKTER 1 3 4
MANTRI/BIDAN - 3 3
PETANI/NELAYAN 270 200 470
PENGEMUDI 35 - 35
36
Laporan Bulanan, op. cit., hlm. 4. 37
Hasil survei di RT. 07, 29-30 Oktober 2014.
Page 30
30 Perayaan Kehidupan
MONTIR/TUKANG SERVIS 17 - 17
PEDAGANG 185 125 310
PENSIUNAN PNS 83 56 139
PURNAWIRAWAN TNI 13 5 18
PURNAWIRAWAN POLRI 5 8 13
PENGUSAHA/LAIN-LAIN 1.451 1.573 3.024
Jumlah 2.424 2.312 4.736
Tabel. 4. Tingkat mata pencaharian penduduk.
5. Agama dan Sarana Peribadatan
Wilayah kelurahan tidak terdapat gedung kebaktian atau pun sarana keagamaan apa
pun. Namun, di sekitarnya terdapat beberapa sarana keagamaan seperti gedung
kebaktian Jemaat GMIT Ebenhaezer Oeba di wilayah dan Pura Oebanatha yang
terletak di Kelurahan Fatubesi dan Masjid Nurrul Quwwah di Kelurahan Oetete.38
6. Keadaan Sosial Kemasyarakatan
Dari jumlah penduduk yang telah dipaparkan di atas, sebagian besar masih terbelit
akan sejumlah kebutuhan tambahan, yang dianggap sangat dibutuhkan. Kebutuhan ini
merupakan bagian yang juga perlu dijawab pemerintah. Pemerintah turut bertanggung
jawab dalam sarana dan bantuan-bantuan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan
masyarakat. Berdasarkan obyeknya, kebutuhan-kebutuhan tersebut diimplementasikan
bagi sebagian masyarakat yang dianggap kurang mampu secara ekonomi. Kebutuhan-
kebutuhan dimaksud diberikan dalam bentuk bantuan-bantuan sosial kemasyarakatan,
antara lain: jatah RASKIN (beras miskin) tahun 2013 sebanyak 152 KK, dan di tahun
2014 (keadaan sampai dengan bulan Juni) sebanyak 153 KK. Penerima Kartu Berobat
38
Hasil Observasi, 22 Oktober 2014.
Page 31
31 Perayaan Kehidupan
Gratis (JAMKESDA) tahun 2013 sebanyak 711 orang, dan Kartu Jaminan Kesehatan
Masyarakat (JAMKESMAS) sebanyak 672 orang.39
Dari sebagian besar penerima bantuan ini, dapat disimpulkan bahwa secara
kuantitatif, para penerima bantuan dimaksud masih tergolong dalam masyarakat
kurang mampu. Dengan kata lain, sebagian besar penduduk Kelurahan Oeba (38,12
%) merupakan penduduk miskin dengan penghasilan rendah.
6.1. Fasilitas Umum
Fasilitas umum adalah sarana yang diadakan untuk kepentingan umum yang turut
menjadi penunjang aktivitas sosial dan kemasyarakatan. Fasilitas umum termasuk
sarana dan prasarana umum yang diperlukan/dibutuhkan oleh masyarakat setiap
hari, dan untuk memudahkan kegiatan sehari-hari. Khususnya, di Kelurahan
Oeba, fasilitas umum yang tersedia, antara lain:
1. Sarana Transportasi dan Jalan Raya
Fungsi sarana transportasi ialah melancarkan arus barang dan manusia,
dan untuk menunjang perkembangan pembangunan (the promoting
sector). Sarana transportasi merupakan fasilitas umum yang disediakan,
baik pemerintah maupun swasta, untuk memperlancar transportasi dalam
menunaikan berbagai kegiatan warga.40
Umumnya dipakai untuk
bepergian dalam aktivitas kerja dan sekolah. Sarana transportasi yang
digunakan untuk dapat melintasi wilayah kelurahan ialah transportasi
darat.
Menoleh pada letak geografis, Kelurahan Oeba disebutkan berada
di tengah kota. Letak ini dapat menjadi acuan terhadap jenis alat (sarana)
39
Laporan Bulanan, op. cit., hlm. 4 40
http://jakarta.kompasiana.com/transportasi masalah masyarakat atau institusi .html, diakses 07 Desember
2014.
Page 32
32 Perayaan Kehidupan
transportasi yang memudahkan aktivitas warga. Semua alat transportasi
dengan jenisnya dapat melintasi jalur jalan raya yang tersedia, mulai dari
kendaraan bermotor roda dua hingga kedaraan besar roda 10, seperti
mobil konteiner, dan truck-truck pengangkut. Walau jalur jalan raya
dirasakan memadai aktivitas sosial masyarakat, namun sebagian besar
lintasan jalan dalam gang tidak dapat memungkinkan mobil-mobil besar
untuk melintasi dengan baik.
2. Sarana Informasi dan Komunikasi
Sarana informasi dan komunikasi bermanfaat untuk mempermudah
komunikasi antarwarga. Sarana komunikasi yang terdapat di wilayah
Kelurahan Oeba berstatus milik pribadi yang dapat memenuhi kebutuhan
komunikasi secara umum. Warga pada umumnya dapat mengakses
sarana-sarana tersebut seperti handphone, wartel dan warnet.
3. Sarana Hiburan dan Olahraga
Pusat keramaian di Kelurahan Oeba terletak di sepanjang Jalan Ahmad
Yani, yang merupakan salah satu jalan utama di Kota Kupang. Akan
tetapi, jalur jalan tersebut bukan merupakan pusat hiburan warga. Di
Kelurahan Oeba, pusat hiburan dapat diakses sekaligus sebagai sarana
olahraga, yaitu di Stadion Merdeka. Stadion ini dilengkapi dengan fasilitas
lapangan bola kaki, futsal, voli dan basket. Semua sarana ini adalah
fasilitas aset milik Pemerintah Provinsi NTT. Sarana ini bermanfaat bagi
warga sebagai imbangan terhadap padatnya aktivitas kerja, subsistence
activity (kegiatan pengganti/pelengkap), contohnya pendidikan dan
pekerjaan/bekerja.41
41
Ibid., hlm. 16.
Page 33
33 Perayaan Kehidupan
4. Sarana Kesehatan
Kebutuhan akan sarana dan pelayanan kesehatan adalah sangat penting,
berkaitan dengan kualitas pertumbuhan dan kesejahteraan penduduk. Di
wilayah Kelurahan Oeba paling tidak memiliki 3 jenis sarana kesehatan,
yang terdiri dari: 3 Posyandu, 1 PUSTU dan 1 Klinik bersalin. Untuk
PUSTU dan Klinik bersalin, pelayanannya masing-masing, berlokasi di
Jalan Kedondong. Sarana-sarana ini merupakan milik pemerintah dan
milik pribadi, yang walaupun bukan merupakan ketegori rumah sakit,
yakni: Puskesmas Pembantu (PUSTU) Oeba, yang dikepalai oleh seorang
perawat, yaitu ibu Dewi (tepatnya di RT 10) dan klinik bersalin milik
bidan Ika Primus (di RT 07).42
5. Sumber Air
Sumber air di Kelurahan Oeba umumnya merupakan sumur galian.
Hampir setiap sumur galian tidak mengalami kekeringan pada musim
kemarau, melainkan hanya mengalami pendangkalan atau penurunan debit
air. Separuh dari titik sumber air dimaksud dipakai secara umum oleh
warga dan pada dasarnya mencukupi kebutuhan aktivitas kerumahtanggan
dan aktivitas lain dari warga, antara lain: Sumur Tedens dan mata-mata air
di sepanjang bantaran kali Merdeka dan kali BRIMOB. Khususnya, mata
air Sumur Tedens dan sekitarnya, dicurigai masih tercemar bakteri E-coli
sejak tahun 2002 hingga sekarang.43
Selain mengandung bakteri, menurut
NTT Research Focus, air Sumur Tedens dikatakan mengandung oli.
Kemungkinan besar di daerah tersebut kebanyakan bengkel membuang
42
Dinas Kesehatan Kota Kupang, dalam Statistik Kecamatan Kota Lama Tahun 2014, BPS Kota Kupang, Pdf.
hlm. 12. 43
Maria A. Salensi (Lurah Oeba), wawancara. Aula BKKBN Propinsi NTT, 23 Oktober 2014.
Page 34
34 Perayaan Kehidupan
limbah oli di sembarang tempat.44
Akibat pencemaran pada sumber air
tersebut, warga setempat hanya dapat mengkonsumsinya untuk mandi,
cuci pakaian dan motor. Padahal untuk air minum bersih sangat
dibutuhkan sebagai kebutuhan esensial bagi standar kehidupan.
Selain sumber air yang diperuntukan secara umum, warga juga dapat
mengakses sumber air milik pemerintah, yaitu PAM (Perusahaan Air
Minum), serta membeli air tangki.
Semua fasilitas umum yang tersedia, memiliki tujuan untuk menunjang
pertumbuhan penduduk yang berkualitas, pembangunan dan mengsejahterakan
warga dan masyarakat secara umum.
6.2. Fasilitas Ekonomi
Fasilitas perekonomian merupakan bagian penting dalam rangka menunjang
pertumbuhan masyarakat yang pada dasarnya bersifat konsumtif di suatu wilayah
tertentu. Di sekitar wilayah Kelurahan Oeba, fasilitas ekonomi yang tersedia,
pada umumnya dapat memenuhi kebutuhan ekonomis dan konsumsi warga. Bagi
warga yang berdagang dapat memperoleh keuntungan bagi usaha dalam bentuk
dagangan dan jasa, serta bagi para konsumen dapat dengan mudah mengkonsumsi
berbagai jenis barang dagangan yang dibutuhkan.
Fasilitas perekonomian yang tersedia di Kelurahan Oeba, secara umum
terdapat tiga badan usaha. Pertama, badan usaha milik pribadi, yang tergolong
dalam fasilitas ekonomi menengah dan kecil, antara lain: mini market/super
market, pertokoan, kios-kios, rumah makan dan sejenisnya, bengkel, salon
44
IRGSC NTT Research focus adalah publikasi regular (majalah) yang berisikan ringkasan penelitian
tentang NTT yang mutakhir yang dikombinasikan dengan berita dari tiga media harian utama di NTT,
yakni: Pos Kupang, Timor Express dan Victory News. Fokus dari NTT Research Focus adalah pada isu
kesehatan, pangan, nutrisi dan resiko. IRGSC - NTT Research Focus 004 - Health, food, nutrition and risk,
2013, Pdf. hlm. 3.
Page 35
35 Perayaan Kehidupan
kecantikan/pangkas rambut, dan wartel/warnet. Kedua, milik yayasan atau
persekutuan badan usaha tertentu, yaitu: Bank Tanaoba Laismanekat (BPR.
TLM) dan Yayasan Tanaoba Laismanekat, dan Hotel Nusantara. Ketiga, ialah
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu: PT. Pegadaian Syariah (Persero)
Kupang.45
Semua fasilitas tersebut, diperuntukan bagi para konsumen dalam berbagai
lapisan masyarakat dan aktivitasnya masing-masing.
7. Hambatan dan Permasalahan Lingkungan
Dalam menjalani aktivitas pemerintahan, yaitu dalam menjalankan tugas-tugas
pembangunan di bidang pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat,
Kelurahan Oeba memiliki beberapa hambatan-hambatan umum, antara lain:46
a. Tidak prosedural, yaitu antusias warga yang kuat untuk memperoleh berbagai
pelayanan secara instan dan cepat, tetapi tidak menuruti prosedur atau lalai
melengkapi persyaratan.
b. Kekurangan tenaga operator komputer.
Selain hambatan-hambatan yang telah disebutkan, terdapat beberapa masalah-
masalah yang sering muncul di sektor kesejahteraan masyarakat dan lingkungan,
antara lain:47
a. Saluran pembuangan limbah cair/drainase yang tidak dipasang penutup atau
saringannya, hingga banyak kotoran, seperti daun-daun kering atau sampah
kemasan plastik yang masuk dan mengakibatkan ketersumbatan yang
berujung pada disfungsi saluran. Masalah ini dapat dilihat disepanjang jalan
A. Yani (RT. 14, RT. 13, Rt. 12 dan RT.11).
45
Ibid., Lampiran, hlm. 4-6. 46
Kristofel Hibu (pegawai Kelurahan Oeba ), wawancara , Kelurahan Oeba, 18 November 2014. 47
Laporan Bulanan, op. cit., hlm. 10-11.
Page 36
36 Perayaan Kehidupan
Gambar. 2. Pembuangan sampah pada drainase
(Sumber: Hasil Olahan Lapangan, 2014)
b. Kerusakan sebagian besar ruas jalan umum, di antaranya, Jl. Beringin, Jl.
Kedondong, Jl. Belimbing dan Jl. Murbey.
c. Kerusakan sarana penerangan, yaitu lampu jalan, sebanyak 46 titik lampu
yang padam, dari 71 titik yang terpasang di punggung jalan dan di gang-
gang. Saat ini, tersisa 25 titik lampu yang berfungsi baik.
d. Kesulitan air bersih selama musim kemarau.
e. Kekurangan sarana persampahan, seperti bak sampah umum atau yang sering
disebut dengan Tempat Penampungan Sementara (TPS), konteiner sampah
dan prasarana persampahan seperti gerobak sampah. Saat ini, Kelurahan
Oeba hanya tersedia lima unit TPS yang masih berfungsi. Ukuran masing-
masing TPS bervariasi, mulai dari ukuran 2 x 2m hingga ukuran 1x1m. Lima
unit TPS itu dibangun di empat wilayah RT, dengan keterangan: Tiga unit
berlokasi di RT. 02, RT. 03, dan RT. 10. Tiga unit TPS ini dibangun
berdasarkan swadaya masyarakat. Masyarakat menghibakan tanah dan
sekaligus membangun secara gotong royong.48
. Sedangkan dua unit TPS
yang berada di RT. 06 dan RT. 11 dibangun berdasarkan dana bantuan PT.
PLN dan PEMKOT (Pemerintah Kota).
48
Frans Ndun (Ketua RT. 09), wawancara, TPU Oeba, 05 Desember 2014.
Page 37
37 Perayaan Kehidupan
Jumlah yang sangat minim ini, tentu tidak mampu menampung hasil
produksi sampah warga di tiap RT sekitar TPS, apa lagi sampah seluruh
rumah di Kelurahan Oeba.49
Gambar. 3. TPS di RT. 11, masih berfungsi – milik PEMKOT.
(Sumber: Hasil Olahan Lapangan, 2014)
Gambar. 4. TPS di RT. 10, masih berfungsi – milik Kelurahan.
(Sumber: Hasil Olahan Lapangan, 2014)
Gambar. 5. TPS di RT. 02, milik kelurahan.
(Sumber: Hasil olahan lapangan, 2014)
49
Samuel Malelak (Ketua RT. 10), wawancara, RT 10, 26 Desember 2014.
Page 38
38 Perayaan Kehidupan
Gambar. 6. TPS di RT. 06, bantuan PT. PLN.
(Sumber: hasil olahan lapangan, 2014)
Gambar. 7. TPS di RT. 03, milik kelurahan
(Sumber: Hasil olahan lapangan, 2014.)
Beberapa dari jumlah yang sementara tersedia, terdapat tiga lokasi TPS yang
telah dibongkar, yaitu 1 unit di RT. 14 dan 2 unit di RT. 13. Saat ini lokasi
tersebut tidak dapat dimanfaatkan lagi.50
Jumlah TPS yang tersedia ini, nantinya
dimanfaatkan warga untuk pembuangan sampah. Kecenderungan yang
ditemukan ialah bahwa, sampah apa pun dibuang, termasuk ranting-ranting dan
batang pohon yang dilarang dalam peraturan pembuangan.51
Selanjutnya dari hasil pembuangan sampah yang tertampung di TPS, akan
diangkut oleh petugas pengangkut sampah dari Dinas Kebersihan dan
Pertamanan Kota Kupang. Pengangkutan inilah yang merupakan tugas
pemerintah.
50
Hasil observasi pribadi, 13 dan 24 November 2014. 51
Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Penanganan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Bab. XII. Larangan. Pasal 40.
Page 39
39 Perayaan Kehidupan
Gambar. 8. Titik TPS dan bekas TPS
(Sumber: Hasil Observasi Lapangan, 2014)
f. Minimnya kesadaran warga, terutama pengguna jalan umum dan warga
(rumah tangga) dalam menjaga kebersihan lingkungan. Pada umumnya,
melakukan pembuangan sampah yang tidak memerhatikan kesehatan
lingkungan. Sebagai contoh, banyak warga yang membuang sampah pada
bantaran sungai, drainase dan hampir di semua fasilitas umum.
Terhadap permasalahan ini, upaya pemecahannya yang dilakukan oleh
pihak kelurahan ialah dengan berkoordinasi dengan instansi terkait untuk
melakukan perbaikan pada fasilatas yang dianggap rusak. Selanjutnya untuk
menangani permasalahan sampah ialah dengan menggandeng masyarakat
menggalakkan kerja bakti pada tempat-tempat umum dan strategis setiap
minggu.52
Kesimpulan
Kelurahan Oeba dalam letak administrasinya merupakan salah satu kelurahan dari 10
kelurahan di wilayah administrasi Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang. Kelurahan
52
Laporan bulanan, op.cit., hlm. 11., dan hasil penelitian September 2014-Januari 2015.
Ket: PEMKOT PLN Swadaya Warga Dibongkar
Page 40
40 Perayaan Kehidupan
yang berstatus perkotaan ini, memiliki wilayah administrasi kerja dengan 4 RW, dan
14 RT. Masing-masing RW membawahi 3-5 RW.
Karakter topografis kelurahan ditandai dengan dataran dan bukit, yang
merupakan wilayah pemukiman penduduk. Dalam pemerintahan, Kelurahan Oeba
dipimpin oleh seorang lurah yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, yaitu Maria
A. Salensi, SE. Pimpinan kelurahan membawahi para rekan kerjanya, yaitu sekertaris,
kepala seksi, staf, tenaga fasilitator dan pegawai tidak tetap.
Kelurahan memiliki kondisi demografis yang ditandai dengan tingkat
perkembangan penduduk atau populasi, dipengaruhi oleh faktor urbanisasi, migrasi
dan tingkat perkembangan alami (kelahiran). Tingkat perkembangan populasi
Kelurahan Oeba dinilai cukup lambat karena merupakan kelurahan dengan tingkat
kepadatan penduduk paling rendah.
Warga Kelurahan Oeba, menurut mata pencaharian rata-rata tergolong dalam
kelas menengah dan kecil. Dalam kelas yang demikian, maka warga Kelurahan Oeba
masih tergolong miskin dan berpendapatan rendah. Sedangkan tingkat pendidikan
dinilai tergolong baik. Hal ini ditandai dengan kurangnya angka putus sekolah dan
tidak adanya warga yang buta huruf. Paling minim para warga pernah mengenyam
pendidikan Sekolah Dasar.
Aktivitas warga dilaksanakan setiap hari dengan ditunjang oleh fasilitas milik
pemerintah maupun pribadi. Fasilitas-fasilitas tersebut dipakai sebagai sarana yang
dapat diakses dengan mudah dan cepat, baik transportasi darat, seperti kendaraan
umum, jalan, sumber air, dan sebagainya. Gambaran aktivitas masyarakat ditandai
dengan tingkat kesibukan yang cukup padat. Aktivitas kerja, kantoran, dan sekolah
Page 41
41 Perayaan Kehidupan
dimulai dari pukul 06.00 – 13.00. Bahkan lebih awal dalam aktivitas ialah para
pedagang dan nelayan yang dimulai dari subuh.
Permasalahan yang paling kompleks di Kelurahan Oeba bukanlah masalah
kriminalitas melainkan masalah kesehatan lingkungan. Masyarakat cenderung
mengeluh atas kualitas lingkungan yang cukup memprihatinkan. Keluhan itu
diakibatkan oleh minimnya fasilitas dan pelayanan pihak kelurahan terhadap
lingkungan. Umumnya terjadi pada masalah persampahan, khususnya sampah rumah
tangga dan pengelolaannya. Permasalahan inilah yang kemudian menjadi tajuk yang
digagas untuk studi ini.
Dalam pemilihan tajuk studi, penulis mendasarkan diri pada sensitifitas
ekologis, yang kemudian menuntut penulis peka terhadap lingkungan di Kelurahan
Oeba, berkaitan dengan isu pencemaran yang diakibatkan oleh persampahan,
khususnya sampah rumah tangga. Isu ini seolah-olah menjadi cerita lama yang terus
menerus diperdengarkan tanpa memiliki akhir cerita.
Page 42
42 Perayaan Kehidupan
Page 43
43 Perayaan Kehidupan
Page 44
44 Perayaan Kehidupan
Page 45
45 Perayaan Kehidupan
BAB II
SAMPAH DAN PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA
KELURAHAN OEBA, KECAMATAN KOTA LAMA
Pada bab sebelumnya, telah dikemukakan secara deskriptif tentang adanya suatu persoalan
yang urgen di lingkungan Kelurahan Oeba, sebagai obyek penelitian, yaitu persoalan
persampahan dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Persoalan inilah yang menjadi
fokus perhatian, yang mencakup pada sumber sampah, yaitu sampah rumah tangga, dan
kesadaran keluarga mengelola sampah. Jadi, bab sebelumnya merupakan konteks dari studi
teologi saat ini.
Pada bab ini dilanjutkan secara sistematis melalui deskripsi dan analisa untuk
menemukan titik persoalan mendasarnya. Karena itu, pada bab ini akan berisikan tentang
persoalan pengelolaan sampah, mulai dari pengertian umum sampah, pengertian sampah
rumah tangga dan kompleksitas pengelolaannya yang terbatas, hingga menimbulkan
pencemaran. Pencemaran di sini diungkap melalui analisis sosio-ekologis yang didasarkan
pada ilmu lingkungan, ilmu kesehatan masyarakat.
Pencemaran sebagai dampak dari persampahan, khususnya sampah rumah tangga di
Kelurahan Oeba, dipindai lagi secara metodologis dan pendekatan (etis-moral) yang
sekiranya signifikan untuk menemukan beberapa kesimpulan yang menjadi akar dan inti
permasalahannya. Kelanjutan dari pemindaian ini akan ditilik lagi melalui tinjauan
ekoteologis-liturgis pada bab selanjutnya.
Pekerjaan ini dilakukan sebagai sebuah studi etika lingkungan yang memberi
penekanan pada nilai manusia (dengan didahului dengan penilaian moral terhadapnya),
paradigma dan nilai alam atau lingkungan hidup, serta bagaimana manusia berperilaku
berdasarkan nilai yang dianut atas dirinya maupun atas alam. Studi ini diharapkan dapat
membawa hasil yang signifikan bagi perkembangan wawasan lingkungan – berdasarkan
Page 46
46 Perayaan Kehidupan
tinjauan ekoteologis-liturgis yang diusulkan, sebagai tinjauan yang sedikit berbeda dari studi
etika lingkungan yang sering muncul dalam berbagai studi green.53
1. Sampah Secara Umum
Dewasa ini isu sampah mengemuka dalam hubungan dengan persoalan lingkungan
hidup. Pembicaraan mengenai sampah selalu diberi porsi penting dalam agenda
pembicaraan tentang lingkungan di ranah lokal dan global (trending topic).
Seiring laju perkembangan modernisasi serta didukung oleh industrialisasi,
teknologi, meningkatnya angka pertumbuhan penduduk dan pembangunan, maka
tentu semakin mengintensifkan urgensi pembicaraan topik tersebut. Salah satu
kebenaran yang perlu diakui di sini, bahwa setiap laju aktivitas modernisasi
meninggalkan bekas pembuangannya ke dalam lingkungan, yakni limbah secara
umum dan sampah secara khusus.
Kata “sampah” dapat dijelaskan dalam dua perngertian. Pertama, dalam arti
harfiah sampah memiliki pengertian disfungsional dan berkonotasi jorok. Secara
disfungsional, sampah merupakan benda atau barang-barang yang dibuang karena
tidak dapat terpakai lagi dalam proses konsumsi dan produksi pada kegiatan-kegiatan
modernisasi. Sampah dalam konotasi kotor, selalu dilihat dalam bentuk yang tidak
estetis, seperti sisa-sia makanan yang dihinggapi lalat atau ulat.54
Kedua, sampah dapat dimengerti secara kiasan dalam kaitan dengan perilaku dan
immoralitas masyarakat yang menunjuk pada kedudukan terendah seseorang atau
sekelompok orang yang berperilaku menyimpang dari norma-norma masyarakat,
seperti melakukan kejahatan, gelandangan, pemabuk dan sebagainya. Karena itu, kata
53
Istilah green menunjuk pada studi-studi dan literatur ekologi dengan berbagai variasai pendekatan. Jim Ife
dan Frank Tesoriero, Community Development (eds. ke3),Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. 54
Syafrudin Adibroto, Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat, Prosiding Diskusi Interaktif Pengelolaan
Sampah Terpadu, Semarang: Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro, Pdf., 2004, hlm. 1.
Page 47
47 Perayaan Kehidupan
kiasan sampah yang menunjuk pada gambaran seperti itu sering disebut dengan istilah
sampah masyarakat.
Dalam studi ini, pengertian sampah yang dipakai bukan secara kiasan, melainkan
pengertian sesungguhnya, yaitu barang-barang yang dibuang karena tidak dipakai lagi
dalam menunjang produksi dan konsumsi manusia.
Sebelum melanjutkan pengertian mengenai sampah, dalam pembahasan ini perlu
didahulukan dengan mengartikan kata “limbah” sehingga arti dan perbedaan yang
konsekuen tentang sampah dapat diperoleh. Pengertian yang diperoleh ini ialah
dengan memakai beberapa definisi, sebab dianggap bahwa satu definisi saja tidak
begitu mencukupi.
1.1. Pengertian Limbah
Istilah “limbah” dalam bahasa Inggris, ialah waste. Kata ini berarti sampah sisa.
Kata waste dipakai untuk menunjuk kata „limbah‟ dalam bahasa Indonesia. Walau
begitu artinya, kata ini masih harus dibedakan lagi dari kata sampah secara khusus,
karena kata waste (limbah) memiliki pengertian sampah dalam arti yang luas.55
Secara normatif, ketetapan hukum menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka yang
dimaksud dengan “limbah” adalah sisa kegiatan produksi suatu usaha atau kegiatan
manusia.56
Mengutip Michael. Allaby, kata waste (limbah) diartikan sebagai,
setiap bahan berbentuk padat, cair atau gas yang tidak berguna bagi organisme atau ekosistem
yang menghasilkannya dan karena itu diperlukan pemikiran mengenai cara pembuangannya.57
Pada pengertian ini, limbah perlu dikelola. Keadaan limbah terdiri dari tiga
jenis, yaitu padat (juga setengah padat), cair, dan gas (atau juga radioaktif). Dari
55
R. Borrong, op. cit., hlm. 11-12. 56
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1,
ayat. 16. 57
Michael Allaby, Macmilan Dictionary of Environment, London: Macmillan Press, 1983, hlm. 516.
Page 48
48 Perayaan Kehidupan
ketiga jenis limbah ini, maka yang disebut dengan sampah ialah limbah dengan
keadaan padat. Jenis ini sering disebut juga limbah padat. Semua keadaan limbah
tersebut, tersimpan dalam lingkungan alam dan memengaruhinya.58
Limbah pada hakikatnya memiliki sifat yang sama dengan sampah padat, yaitu
memiliki sifat destruktif, mengotori dan mencemar. Sifat tersebut dihasilkan dari
pengertiannya sebagai bahan buangan yang tidak dibutuhkan atau tidak diinginkan
lagi dalam proses produksi dan konsumsi yang dilakukan oleh manusia, hewan,
industri maupun domestik; berbentuk padat, lumpur (sludge), cair maupun gas.59
Walaupun dianggap sudah tidak berguna dan tidak dikehendaki, namun bahan
tersebut terkadang masih dapat dimanfaatkan kembali dan dijadikan bahan baku
dalam kegiatan produksi lain.60
Untuk memeperoleh gambaran umum mengenai limbah, maka perhatikan
bagan berikut:61
Gambar. Bagan. 1.
58
A. Gilpin, Dictionary of Environmental Terms, London: Routledge and Kegan Paul Ltd, 1976, hlm. 169. 59
P. H. Collin, Dictionary of Environment & Ecology (Fifth Edition), Soho Square, London:, Bloomsbury
Publishing Plc, 2004, hlm. 222. 60
D. Hoornweg, L. Thomas, and L. Otten, Composting and its Applicability in Developing Countries ‖, Urban
Waste Management Working Paper Series 8. Washington, DC: World
Bank.http://www.skat.ch/sfweb/activities/ws/cwg/pdf/cwg-01. Pdf. 61
Enri Damanhuri & Tri Padmi, op. cit., hlm. 6.
Bahan Baku
Sekunder
Bahan Baku
Primer Proses Produksi Produk
(Sintesis/Alami)
Pemakaian
Produk/Konsumsi
Bahan Terbuang/Limbah
1.
Padat Cair Gas
Iklim
Modernisasi
Pertanian, Perkebunan
dan Peternakan
industrialisasi
Page 49
49 Perayaan Kehidupan
1.2. Mengenal Sampah (Limbah Padat)
Di atas telah dijelaskan bahwa limbah masih harus diperjelas lagi dari sampah. Cara
ini perlu dilakukan mengingat banyak anggapan publik yang belum dapat
membedakan antara limbah dan sampah, atau menjatuhsamakan begitu saja arti
sampah padat dengan limbah secara umum.
Sampah secara khusus merupakan salah satu bentuk dari tiga keadaan limbah,
yang berbentuk padat. Dengan kata lain, sampah adalah bagian dari limbah, tetapi
limbah tidak selalu identik dengan sampah. Meski tidak identik, namun keduanya
memiliki sifat yang identik, yakni mampu mencemari lingkungan. Karena itu, jelas
bahwa sampah berbeda dari limbah, dan perbedaan keduanya terletak pada keadaan
material.
Dalam beberapa definisi, salah satunya menurut Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, mencatat bahwa
sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau dari proses alam yang
berbentuk padat.62
Dengan catatan ini, diperoleh lagi istilah yang lebih konkret bahwa
„sampah‟ harus diperjelas dengan menyebutnya „sampah padat‟ (solid waste).
Hal lain untuk mengenal sampah secara khusus dalam kaitannya dengan
lingkungan, ditekankan bahwa alam tidak mengenal sampah, yang ada hanyalah daur
materi dan energi.
Konsep sampah sendiri lahir saat terjadi interaksi antara aktivitas artifisial
manusia dengan suatu proses alamiah oleh alam. Ini berarti bahwa, sampah tidak
dapat dipisahkan dengan aktivitas manusia yang terjadi di lingkungan hidup manusia.
Untuk menggambarkan interaksi ini, dalam proses alam, misalnya, dedaunan kering
dari beberapa batang pohon di belakang sebuah pemukiman manusia, akan dikatakan
62
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah.
Page 50
50 Perayaan Kehidupan
sebagai sampah apabila dedaunan itu terbawa angin dan masuk ke dalam lingkungan
yang dijangkau oleh aktivitas manusia. Kemudian dari proses ini, interaksi terjadi dan
manusia dapat menyebut daun itu sebagai benda pencemar lingkungan karena
memasuki area aktivitasnya.
Definisi tentang sampah sebagaimana sebelumnya, yang dipakai secara global,
dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1971 bahwa, sampah
adalah bahan non-cair yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau
sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan
sendirinya.63
Bahan-bahan yang tidak dikehendaki ini, timbul dari aktivitas domestik,
komersial, industrial, pertanian, pertambangan dan pelayanan publik.64
Rumusan
definisi sampah juga terdapat dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor T-13-
1990, sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari zat organik dan anorganik
yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan
lingkungan dan tidak melindungi investasi bangunan.
Para ahli kesehatan masyarakat Amerika membuat batasan, sampah padat atau
limbah padat (waste) adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak
disenangi, tidak dikehendaki atau sesuatu yang dibuang, yang berasal dari kegiatan
manusia, dan tidak terjadi dengan sendirinya.65
Sesuatu yang tidak dipergunakan lagi,
yang tidak dapat dipakai lagi, tidak disenangi dan harus dibuang, menunjukan bahwa
ada kebutuhan yang mendesak untuk sedapat mungkin sampah harus dikelola dengan
63
http://environment.uii.ac.id/content/view, diakses, 28 November 2014. 64
World Health Organization (1976), Management of Solid Wastes in Developed Countries, WHO Regional
Publications Southeast Asia Series No.1. Pdf. 65
George. Tchobanoglous & Frank Kreith, Handbook of Solid Waste Management (second edition),
Manufactured in the United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2002, hlm. 1.
Page 51
51 Perayaan Kehidupan
sebaik-baiknya, sedemikian rupa, sehingga hal-hal yang negatif bagi kehidupan tidak
sampai terjadi.66
Dari batasan definisi di atas, jelas bahwa sampah adalah hasil kegiatan manusia
yang dibuang karena sudah tidak berguna. Dengan demikian sampah mengandung
prinsip sebagai berikut:
1. Adanya sesuatu benda atau bahan padat
2. Adanya hubungan langsung/tidak langsung dengan kegiatan manusia
3. Benda atau bahan tersebut tidak dipakai lagi
4. Bersifat mencemar dan perlu dikelola
Pembatasan definisi ini pun dimensi psikologisnya belum terkandung dalam
dampak dari sampah. Singkatnya, sampah harus disebut secara disfungsional, yakni
limbah yang berupa bahan atau benda padat yang tidak lagi memiliki daya dan nilai
guna, gagal produksi, sudah habis masa terpakai, dan cenderung membahayakan
lingkungan serta organisme. Kecenderungan ini merupakan efek negatif dari sampah,
maka dibutuhkan pengelolaan yang tepat guna terhadapnya. Inilah pengertian hakiki
dari limbah padat atau sampah padat.
1.3. Jenis-jenis Sampah
Berdasarkan asalnya, sampah padat dapat digolongkan menurut sifat biologi dan
kimia, sebagai berikut:
a. Sampah organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan
yang diambil dari alam dan dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan atau
yang lain. Sifat sampah ini dengan mudah membusuk atau mudah diuraikan
dalam proses alamiah, yaitu oleh kegiatan mikroorganisme dan dekomposer,
66
Azrul Azwar, Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Jakarta: Yayasan Mutiara, 1990, hlm. 53.
Page 52
52 Perayaan Kehidupan
karena rantai ikatan kimiawinya pendek. Rantai ini yang menentukan waktu
dan kemampuan penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme.
Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik.
Bahan inilah yang rentan diurai mikroorganisme. Berikut yang termasuk
sampah organik ialah, sampah dari dapur, sisa tepung, sayuran, kulit buah, dan
daun. Dalam bahasa Inggris, jenis sampah ini biasa disebut „garbage’ atau
„trash’.67
Sampah pada golongan ini tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan dan
manusia serta tumbuhan. Justru sampah jenis ini memiliki daya dukung
tersendiri jika dijadikan pupuk atau fotosintesa tumbuhan. Sebaliknya, sampah
ini akan berbahaya, apabila dibiarkan membusuk tanpa perlakuan pengelolaan
untuk digunakan. Bahayanya ialah dapat menyebarkan bau busuk dan
berbahaya bagi tubuh manusia. Sebab, pembusukannya menghasilkan gas-gas
beracun seperti Metan dan Sulfida, yang penyebutan kimiawinya ialah H2S.68
b. Sampah anorganik dapat juga disebut sampah sintetik. Artinya, sampah
anorganik tidak diturunkan langsung dari hasil proses alam; bersifat hasil
pengolahan langsung oleh manusia. Sampah anorganik biasa berasal dari
sumber daya alam tak terbarui seperti mineral dan minyak bumi, atau dari
proses industri. Beberapa dari bahan anorganik tidak terdapat di alam seperti
plastik dan alumanium. Sebagian zat anorganik secara keseluruhan tidak dapat
diuraikan oleh alam, khususnya tanah, lumpur dan air. Sedangkan sebagian
lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama. Sebab, sampah
anorganik pada dasarnya mempunyai ikatan rantai kimiawi yang sangat
panjang.
67
Borrong, op. cit., hlm. 123. 68
Ibid., hlm.123-124.
Page 53
53 Perayaan Kehidupan
Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga, misalnya berupa botol
plastik dan kaca, tas plastik, kaleng dan benda keras lain. Sampah-sampah
jenis ini dalam bahasa Inggris disebut „refuse‟. Kertas, koran, dan karton
merupakan pengecualian.
Berdasarkan asalnya, kertas, koran, dan karton termasuk sampah
organik yang dapat diurai oleh tanah dengan cepat. Tetapi karena kertas,
koran, dan karton dapat didaur ulang seperti sampah anorganik lain (misalnya,
gelas, kaleng, dan plastik), maka sampah tersebut dimasukan ke dalam
kelompok sampah anorganik, namun harus melalui perlakuan khusus (sintetis)
bila didaur ulang dalam pabrik.69
Jadi, kertas dan lainnya bersifat sintetis dan dengan begitu, tampak
bahwa tidak semua sampah anorganik lama terurai atau sulit terurai. Sebab,
meskipun rantai kimiawi dalam sampah anorganik panjang, tetapi tidak terikat
pada semua komponen atau bahan dasar anorganik. Dengan kata lain, masing-
masing bahan anorganik memiliki tingkat penguraian dan degradibilitas
berbeda-beda dalam komponennya.
Berikut ini contoh urutan tingkat dan kemudahan sampah (organik dan
anorganik) dalam penguraiannya.
Tabel. 4. Tingkat degradibilitas komponen bahan sampah
No. Komponen Sampah Degradibilitas (%)
1. Selulosa dari kertas karbon 90
2. Hemiselulosa 70
3. Karbohidrat 70
4. Selulosa dari kertas bungkus 50
5. Bambu 50
6. Lemak 50
7. Protein 50
8. Ranting 5
9. Lagnin 0
69
Ibid., hlm.123-124.
Page 54
54 Perayaan Kehidupan
10. Plastik 0
(Sumber: Hasil Olahan Pustaka) 70
Tabel. 5. Umur degradibilitas beberapa komponen sampah
No. Jenis Sampah Umur Degradibilitas (%)
1. Kertas 2,5 bulan
2. Kardus 5 bulan
3. Kulit Jeruk 6 bulan
4. Busa sabun (deterjen) 20-25 tahun
5. Sepatu Kulit 20-40 tahun
6. Kain nilon 30-40 tahun
7. Plastik 50-80 tahun
8. Alumunium 90-100 tahun
9. Styrofoam Tidak Dapat Terurai
(Sumber: USU Institutional Repository, Universitas SUMUT)
c. Sampah berbentuk debu dan abu
Sampah jenis ini dihasilkan dari sisa pembakaran. Secara kuantitatif, jenis
sampah ini sedikit, tetapi memiliki pengaruh bagi kesehatan manusia sangat
besar dan berbahaya. Sampah debu dan abu sangat bebas berpindah dalam
perantaraan air atau angin.71
d. Sampah yang tergolong limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun).
Sampah berbahaya atau bahan beracun (B3), yaitu semua jenis sampah yang
karena jumlahnya, konsentrasinya, kandungan kimia, sifat fisika dan
mikrobiologinya dapat menyebabkan bermacam-macam penyakit bahkan
kematian.72
Sampah jenis ini disebut juga hazardous waste (sampah
berbahaya).
Sampah ini terjadi dari zat kimia organik dan nonorganik serta logam-
logam berat, yang umunnya berasal dari buangan industri ringan dan berat.
Pengelolaan sampah B3 tidak boleh dicampurkan dengan sampah organik dan
70
H. R. Sudradjat, Mengelola Sampah Kota. Jakarta: Penebar Swadaya, 2006, hlm. 79. 71
Ibid., hlm. 124. 72
Ibid.
Page 55
55 Perayaan Kehidupan
nonorganik. Biasanya pengelolaan sampah ini dilakukan oleh badan khusus
yang dibentuk sesuai peraturan yang berlaku.
1.4. Komposisi Sampah Padat
Komposisi sampah padat dapat dilihat di dalam hasil pembuangan sampah.
Komposisi sampah padat yang dibuang, rata-rata sangat bervariasi tergantung dari
sumbernya, yaitu komponen biologis dan kimiawinya. Komposisi tersebut mulai
dari yang berbentuk sangat padat, seperti besi, hingga berbentuk busa/gabus.
Variasi komposisi ini pun akan mencapai volume yang meningkat dalam bentuk
yang bervariasi, baik besar, seperti bangkai mobil, hinggga kecil, seperti abu.73
Secara umum, komposisi buangan tersebut, mencakup:
a. Logam: kaleng-kaleng, besi, paku, dan sejenisnya.
b. Benda berbahan kertas: buku-buku tulis, koran, majalah, karton, dan lain-lain.
c. Benda berbahan plastik: plastik kresek, bokor-bokor plastik, botol-botol
kosmetik, dan lain-lain.
d. Benda berbahan karet: ban, sandal, dan lain-lain.
e. Benda berbahan kain: gorden, baju-baju bekas, dan lain-lain.
f. Benda berbahan kaca: pecahan gelas, pecahan lampu, dan lain-lain.
g. Benda berbahan kayu: kursi rusak, ranting-ranting, dan lain-lain.
h. Garbage: sisa-sisa makanan, sayuran rusak, buah-buahan, dan lain-lain.
i. Benda berbahan batu, tanah, abu, dan lain-lain.74
1.5. Ciri atau Karakteristik Sampah
Berdasarkan ciri dan karakteristik, sampah terbagi atas beberapa aspek, sebagai
berikut:
73
H. Arif. Sumantri, op. cit., hlm. 67-68. 74
Indan Etjang, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 100.
Page 56
56 Perayaan Kehidupan
a. Sampah basah (garbage) adalah jenis sampah yang terdiri dari sisa-sisa
olahan makanan seperti daging atau sayur-sayuran hasil dari pengolahan,
pembuatan dan penyediaan makanan yang sebagian besar terdiri dari zat-zat
kimiawi yang mudah membusuk.
b. Sampah kering (rubbish) adalah sampah yang dapat terbakar dan tidak dapat
terbakar yang berasal dari rumah-rumah, pusat-pusat perdagangan dan
perkantoran.
c. Abu (ashes) adalah sampah yang berasal dari sisa pembakaran sampah,
yakni sampah yang mudah terbakar. Biasanya pembakaran dapat terjadi
dipemukiman maupun di pabrik-pabrik industri.
d. Sampah jalanan (street sweeping) adalah sampah yang terdapat di jalanan.
Umumnya berasal dari pembuangan nir-etis masyarakat, atau dari sisa
pengangkutan sampah saat pembersihan jalan dan trotoar. Biasanya sampah ini
mencakup pembungkus makanan, dedaunan, karung bekas, dan lain-lain.
e. Bangkai binatang (dead animal) adalah jenis sampah berupa sampah-
sampah biologis (pembusukan) yang berasal dari bangkai binatang yang mati
akibat kecelakaan atau penyakit.
f. Bangkai kendaraan (abandon dead vehicles) adalah sampah yang berupa
bangkai-bangkai mobil, truk, kereta api.
g. Sampah industri merupakan sampah padat yang berasal dari industri-
industri pengolahan hasil bumi/tumbuh-tubuhan dan industri lain.
h. Sampah pembangunan (demolition waste) yaitu sampah dari proses
pembangunan gedung, rumah dan sebagainya, yang berupa puing-puing,
potongan-potongan kayu, besi beton, bambu dan sebagainya.
Page 57
57 Perayaan Kehidupan
i. Sampah khusus adalah jenis sampah yang memerlukan penanganan khusus
misalnya, kaleng cat, flim bekas, zat radioaktif dan lain-lain.
j. Sampah rumah tangga (house hold refuse) merupakan sampah campuran
yang terdiri dari rubbish, garbage, ashes yang berasal dari daerah
perumahan.75
1.6. Penggolongan Sampah Menurut Sumbernya
Pada umumnya, semua jenis sampah di permukaan bumi ini dapat berasal dari
berbagai sumber, yakni sebagai berikut:
a. Tempat umum dan tempat terjadinya aktivitas perdagangan.
Tempat umum merupakan tempat yang memungkinkan terjadi aktivitas
komunal masyarakat. Banyak orang dapat berkumpul dan melakukan berbagai
jenis kegiatan, termasuk juga tempat perdagangan. Pada tempat umum, seperti
ditempat perdagangan (pasar dan pertokoan), rata-rata jenis sampah yang
dihasilkan dapat berupa sisa-sisa makanan (garbage) dari barang dagangan,
sisa-sisa bahan bangunan, plastik, kardus, dan terkadang sisa bahan bangunan
dan sampah berbahaya.76
b. Sarana layanan masyarakat milik pemerintah.
Sarana layanan masyarakat yang dimaksud di sini, antara lain, tempat hiburan
dan umum, jalan umum, tempat parkir, tempat pelayanan kesehatan, bantaran
sungai, pesisir pantai, dan sarana pemerintah lainnya. Tempat-tempat seperti
ini biasanya menghasilkan sampah khusus (sampah berbahaya hasil buangan
rumah sakit) dan sampah kering lain pada umumnya.
75
Ibid., hlm. 64-65. 76
George. Tchobanoglous & Frank Kreith, op. cit., hlm. 52.
Page 58
58 Perayaan Kehidupan
c. Industri berat dan ringan
Dalam pengertian ini termasuk industri makanan dan minuman, industri kayu,
industri kimia, industri logam, dan kegiatan industri lainnya. Kegiatan industri
tersebut biasanya bersifat distributif atau memproses bahan mentah saja.
Sampah yang dihasilkan dari tempat ini biasanya sampah basah, sampah
kering, sisa-sisa bangunan, sampah khusus (hasil buangan. Misalnya, industri
tahu dan tempe, dengan sampah kususnya ialah air limbah), dan sampah
berbahaya.
d. Pertanian
Sampah yang dihasilkan di bidang pertanian kebanyakan berupa kotoran
binatang dan tanaman yang membusuk. Lokasi pertanian yang dimaksud ialah
kebun, ladang, atau pun sawah yang menghasilkan sampah. Terkadang sampah
pertanian juga tergolong sebagai salah satu sumber sampah berbahaya (B3)
karena penggunaan pupuk kimia (pestisida) berlebih dan bahan pembasmi
serangga (herbisida).
e. Pemukiman penduduk.
Sampah penduduk adalah sampah padat yang dihasilkan atau terdapat di suatu
pemukiman. Biasanya dihasilkan oleh satu atau beberapa keluarga yang
tinggal dalam suatu bangunan atau asrama yang terdapat di desa atau di kota.
Jenis sampah yang dihasilkan biasanya berupa sisa makanan dan bahan sisa
proses pengolahan makanan atau sampah basah (garbage), sampah kering
(rubbish), abu sisa pembakaran, atau sampah sisa tumbuhan. Sampah
penduduk sering disebut juga dengan sampah rumah tangga/domestik.
Page 59
59 Perayaan Kehidupan
Pada penggolongan yang terakhir inilah yang merupakan obyek studi dan
penelitian sebagai pokok problematis untuk diuraikan, yaitu pengelolaan sampah
rumah tangga, yang merupakan sampah pemukiman.77
A. Sampah Rumah Tangga: Deskripsi Terhadap Masalah Pokok
Pada bagian ini akan dimulai dengan memberi pengertian dan deskripsi pokok
masalah mendasar, yakni pengelolaan sampah rumah tangga di Kelurahan Oeba.
1. Pengertian Sampah Rumah Tangga
Berdasarkan penggolangan sumber sampah, diperoleh pengertian bahwa sampah
rumah tangga merupakan salah satu bagian dari sampah di pemukiman penduduk.
Ini dikarenakan oleh dua hal. Pertama, rumah tangga merupakan salah satu
lembaga sosial dalam pemukiman penduduk. Artinya, lembaga sosial di sini adalah
keluarga (ayah, ibu dan anak) yang bermukim di dalam sebuah rumah. Kedua, di
dalam rumah tangga terjadi aktivitas kekeluargaan (pemukim), yang di dalamnya
terjadi proses produksi sampah, baik secara pribadi maupun komunal. Ini berarti
bahwa, sampah rumah tangga adalah sampah yang dihasilkan dari aktivitas
manusia yang terjadi dalam rumah tangga. Rumah di sini dilihat sebagai tempat
terjadinya produksi sampah yang diakibatkan oleh pembuangan dari hasil
sampingan konsumsi keluarga.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2012
Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga, dan UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sampah rumah
tangga adalah sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga,
tidak termasuk tinja dan sampah spesifik (sampah yang mengandung bahan
77
H. Arif. Sumantri, op. cit., hlm. 63.
Page 60
60 Perayaan Kehidupan
beracun atau sampah puing bangunan).78
Pengertian dari peraturan ini pun belum
memenuhi penggolongan sampah. Sebab, sedapat mungkin, dalam rumah tangga
masih terdapat sampah berbahaya dalam kapasitas yang sangat terbatas.
1. Penggolongan
Sampah rumah tangga secara umum dapat digolongkan menjadi 4, yaitu:
lapak, sampah berbahaya, limbah yang sukar didekomposisi, dan bahan
kompos.79
Barang-barang dalam sampah rumah tangga yang masih
mempunyai nilai ekonomis karena dapat langsung dijual langsung disebut
lapak. Barang-barang tersebut antara lain: kertas, plastik, kardus, gelas.
Sampah berbahaya dan beracun (B3) rumah tangga adalah sampah yang
membahayakan manusia ataupun sampah yang dapat mengganggu proses
pengomposan bila dicampur dengan bahan yang akan dibuat kompos. Oleh
sebab itu bahan berbahaya harus ditempatkan pada wadah tersendiri. Sampah
yang termasuk dalam kategori ini adalah: benda tajam, pecahan gelas/botol,
baterai bekas, wadah pestisida, kemasan obat penyemprot serangga dan obat-
obatan/antibiotik.
Sampah yang sukar dikomposkan adalah bahan yang bila dikomposkan
memerlukan waktu lama. Sebagai contoh sabut kelapa, ranting, dahan, dan
sebagainya. Sampah sukar dikomposkan ini menyusun kira-kira 30-50% dari
sampah rumah tangga. Sampah bahan kompos adalah sampah organik yang
mudah membusuk seperti: sisa sayur-sayuran, kulit buah-buahan, rumput,
gulma, bunga-bungaan dan sebagainya.
78
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, dan UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan
Sampah. Pdf. 79
Suhartini, Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga dan Remaja Putri di Berbah Sleman dalam Pengolahan
Sampah Dapur dengan Teknologi yang Sederhana dan Ramah Lingkungan Sehingga Dapat Bernilai Ekonomi
Dan Berdaya Guna, Yogyakarta, Pdf. 2008, hlm. 2.
Page 61
61 Perayaan Kehidupan
2. Komposisi Sampah Rumah Tangga
Komposisi sampah rumah tangga pada prinsipnya berkarakter
hetrogen/bercampur. Karena itu setiap kali terjadi pembuangan akan ditemukan
pencampuran komposisi sampah. Komposisi sampah rumah tangga sangat
beragam tergantung pada lokasi, kebiasaan konsumsi, aktivitas masyarakat,
cara hidup, kebiasaan masyarakat, tingkat kemajuan masyarakat teknologi,
sosial ekonomi, musim dan geografi.80
Sebagai contoh untuk faktor geografi
dan teknologi, di daerah pinggiran kota atau di desa, sampah rumah tangga
lebih banyak mengandung bahan organik yang dapat dikomposkan, sedikit
kertas, plastik dan sedikit botol atau plastik.
Di daerah perkotaan, komposisi sampah rumah tangga lebih banyak
secara kuantitas dan jenisnya. Bahkan lebih banyak sampah berbahan dasar
plastik, gelas, logam, popok bayi, kertas, kain, hingga bahan beracun dan yang
tidak dapat didekomposisi. Ini disebabkan karena, pada daerah perkotaan,
jumlah konsumsi teknologi lebih tinggi daripada di desa.
2. Sistem Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2012 Tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah ditandaskan
bahwa, pengelolaan sampah rumah tangga adalah suatu kegiatan sistematis,
menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan
sampah.81
Secara lembaga, pengelolaan sampah dapat dimengerti sebagai suatu bidang yang
berhubungan dengan pengaturan terhadap penimbunan, penyimpanan (sementara),
80
H. Arif Sumantri, op. cit., hlm. 68-70. 81
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, Pdf., hlm. 2.
Page 62
62 Perayaan Kehidupan
pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan, pemrosesan dan pembuangan sampah
dengan suatu cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip terbaik dari kesehatan
masyarakat, ekonomi, teknik (engineering), perlindungan alam (conservation),
keindahan dan pertimbangan lingkungan lainnya dan juga mempertimbangkan sikap
masyarakat.82
Di lain pengertian yang lebih ekonomis dan fungsional, pengelolaan sampah
menjadi kegiatan mengkonversi sampah menjadi bahan yang berguna secara efisien
dan ekonomis.83
Para pelaku pengelola sampah ialah anggota rumah tangga, yang
dilakukan secara individu maupun kelompok atau bermasyarakat. Obyek pengelolaan
sampah ialah sampah yang berasal dari timbulan sampah pada sumber sampah, yakni
rumah tangga/pemukiman.
Sebagai catatan lanjutan yang diajukan Damanhuri, pengertian pengelolaan bukan
hanya menyangkut aspek teknis, tetapi mencakup juga aspek nonteknis, seperti
bagaimana mengorganisir, bagaimana membiayai dan bagaimana melibatkan
masyarakat penghasil limbah agar ikut berpartisipasi secara aktif atau pasif dalam
aktivitas penanganan tersebut.84
Pekerjaan pengelolaan ini bertujuan untuk
menghasilkan lingkungan yang bersih, sehat dan sejahtera serta memperkecil masalah
lingkungan.85
Sistem pengelolaan sampah rumah tangga pada tingkat pengelolaan kolektif
menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor T-12-1991-03 tentang Tata Cara
Pengelolaan Sampah di Permukiman, dapat dilakukan melalui tahap yang dapat
ditampilkan pada gambar bagan berikut:
82
George. Tchobanoglous & Frank Kreith, op. cit., hlm. 41. 83
A. Azwar, Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya Penabur Benih
Kecerdasan, 1979, hlm. 215. 84
Enri Damanhuri dan Tri Padmi., op. cit, hlm. 5. 85
M. Hutagalung, Teknologi Pengolahan Sampah. Jakarta: Majari Magazine Chemical Engineering Students
Indonesia, 2007, hlm. 111. Dalam http://www.majarikanayakan.com/2007/12/teknologi-pengolahan-
sampah.html. Diakses, 29 Desember 2014.
Page 63
63 Perayaan Kehidupan
Gambar Bagan. 2. Sistem Operasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
Rumah Tangga Pemerintah (DINKESTAM)
(Sumber: Hasil Olahan Pustaka)86
Pada bagan ini, tahap pertama, yakni pewadahan dan pemilahan adalah tahap
awal yang paling menentukan. Tahap pewadahan dilakukan agar sampah yang
dihasilkan dari aktivitas rumah tangga. Sampah dapat diwadahi secara terpilah dan
sebaliknya tidak dibuang sembarangan. Pewadahan terpilah adalah kegiatan
menampung sampah dengan memilah antara sampah anorganik dan organik.
Karena itu, wadah sampah di rumah tangga adalah dua jenis. Kemudian dari
pewadahan terpilah ini, pada tahap kedua, sampah dikumpulkan pada suatu wadah
komunal yang terletak di rumah atau di kompleks. Pada tahap pertama dan kedua,
sampah dapat diolah secara langsung di rumah tangga. Pengolahan dimaksud,
misalnya, dijadikan pupuk kompos dan pendauran ulang sampah menjadi bahan
baku tas jinjing.
Sampah yang dikumpulkan, akan diangkut menggunakan alat angkut untuk
dipindahkan ke TPS terjangkau. Dalam proses lanjutan, pihak pemerintah dapat
mengangkut akumulasi sampah rumah tangga dari hasil pemindahan di TPS
menuju Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
3. Metode Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
Metode pengelolaan rumah tangga merupakan cara yang digunakan secara teknis
operasional untuk mengelola sampah dengan tujuan agar sampah dapat diminimalisir
86
Techobanoglous., op. cit, hlm. 21; SNI 19-2454-2002; Enri damanhuri, op. cit., hlm. 9.
Pewadahan
terpilah
Pengumpulan Pemindahan Pengangkutan Pembuangan
Akhir
Pengolahan
Page 64
64 Perayaan Kehidupan
atau dikonversi menjadi sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Di tingkat rumah tangga,
metode pengelolaan sampah yang sering digunakan ialah composting (pengomposan).
Menurut Cunningham tahap pengelolaan sampah rumah tangga modern terdiri dari
prisip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) sebelum akhirnya dimusnahkan atau dihancurkan.
Tiga prisip ini paling tidak dalam efektifitasnya memiliki tiga kelebihan, yaitu sampah
rumah tangga, organik maupun anorganik dapat diminimalisir, dapat meningkat
ekonomi rumah tangga, dan menghemat energi.87
Paling tidak metode prinsip ini
dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar bagan. 3. Teknik Operasional 3R
(Sumber: Hasil Olahan Pustaka)88
Metode composting sampah rumah tangga adalah suatu cara pengelolaan sampah
secara alamiah terhadap sampah organik menjadi bahan yang sangat berguna bagi
petanaman/pertanian rumah tangga. Proses composting dilakukan dengan
memanfaatkan dan mengolah kembali sampah organik. Hasil olahan tersebut akan
berupa pupuk kompos yang tidak membahayakan penggunanya. Pengomposan
dilakukan untuk sampah organik, kegiatan ini dilakukan secara terbuka (aerob:
87
Amrizal Tanjung, Waste Management Programe In Indenesia ,Pdf., hlm. 6. Faizah, Pengelolaan Sampah
Berbasis Masyarakat (Tesis),Pdf., hlm. 20-24. 88
William P. Cunningham & Marry Ann Cunningham, Principals Of Environmental Science Inquiry and
Application, New York: McGraw-Hill, Inc., 2004, hlm. 332.
Produk Konsumsi Dibuang Sampah Padat Rumah Tangga
Pengelolaan tahap (awal) Rumah tangga:
Reduce (mengurangi) Reuse (gunakan kembali) Recycle (daur ulang) Komposting (pengomposan)
Pengelolaan tahap (akhir) pihak pemerintah:
Sanitary landfill (penimbunan berlapis) Incenaration (pembakaran) Open dumping (penumpukan terbuka)
Page 65
65 Perayaan Kehidupan
makhluk yang dapat hidup hanya apabila tersedia oksigen bebas) atau tertutup
(anaerop:bakteri yang tidak membutuhkan oksigen bebas).89
Pada metode ini, prisip pertama, Reduce, dilakukan dengan cara sebisa mungkin
melakukan minimalisasi barang atau material yang digunakan sehingga menimbulkan
sampah. Prisip ini bertolak dari asumsi, bahwa semakin banyak kita menggunakan
material, semakin banyak sampah yang dihasilkan. Contoh kegiatan dari prinsip ini
salah satunya ialah menghindari pembelian barang yang menghasilkan sampah dalam
jumlah besar dan banyak. Prisip kedua, reuse, dilakukan dengan cara menggunakan
kembali secara langsung barang sisa pemakain. Misalnya, botol minuman yang dibeli,
dapat digunakan kembali sebagai botol air minum. Prisip ketiga, recycle, merupakan
prinsip yang mengutamakan daya kreatifitas yang inovatif. Prisip ini dilakukan
dengan cara mendaur ulang sampah rumah tangga yang dinilai masih berpotensi
secara fungsional. Contoh penerapan prinsip ini misalnya, mendaur sejumlah kemasan
kopi menjadi tas jinjing.90
Prinsip berikut yang mungkin juga sering dipakai dalam metode pengelolaan
sampah, ialah prinsip replace (mengganti). Prisip ini dilakukan dengan cara
mengganti barang-barang yang hanya sekali pakai dengan barang-barang yang masih
dapat dipakai berulang-ulang. Prinsip replace menuntut ketelitian dalam
menggunakan barang-barang. Prinsip ini juga mengedepankan penggunaan bahan-
bahan yang ramah lingkungan seperti mengganti kantong plastik dengan keranjang
saat berbelanja.91
89
Ibid., hlm. 329. 90
...., Environmental Science: A Global Concern, New York: McGraw-Hill, Inc., 2008, hlm. 478-483. 91
Roni M. Natonis., op. cit, hlm. 54.
Page 66
66 Perayaan Kehidupan
4. Fakta Penanganan Sampah Rumah Tangga di Kelurahan Oeba
Dalam beberapa fakta yang ditemukan di lokasi penelitian menunjukan, bahwa
pengelolaan sampah oleh tiap-tiap rumah tangga masih dalam tahap-tahap yang
sangat terbatas, antara lain:92
1. Pengelolaan Tanpa Pemilahan
Fakta lapangan diperoleh bahwa kecenderungan pengelolaan sampah terjadi tidak
sistematis, dimulai dari memilah sampah. Pengelolaan sampah rumah tangga di
Kelurahan Oeba, dalam catatan rata-rata dilakukan secara bercampur, antara
sampah organik dan anorganik.
Kebiasaan mengelola dengan cara pemilahan terlebih dahulu belum menjadi
pola awal yang tertenam dalam cara mengelola sampah.93
Ini berarti, cara tersebut
belum menjadi kebiasaan warga. Fakta ini dibuktikan berdasarkan keluhan yang
begitu eksplisit diungkapkan warga, “.. yang kami tahu semua jenis sampah harus
dibuang saja ke tempat sampah. Memang sampah nanti bercampur karena antara
kami dan pihak pemerintah tidak sediakan tempat sampah yang pisah jenis
sampah”. 94
Pemilahan sampah, perlu dilakukan sebagai proses awal yang menentukan
perlakuan pengelolaan lanjutan. Tetapi cara ini belum dilakukan oleh para warga
seluruhnya.
2. Pembuangan Tanpa Pewadahan
Sampah sisa konsumsi atau bahan olahan di tiap rumah tangga, rata-rata dibuang
tanpa mewadahinya. Semua pembuangan dilakukan secara langsung atau tidak
92
Hasil olahan data, Bulan November-Desember 2014. 93
Obed D. R. Kadji (KADIS Kebersihan dan Pertamanan Kota Kupang), wawancara, 24 Januari 2015. 94
Fara Banoet-Lusi Adam (Ibu rumah tangga), wawancara, 12 Februari 2015; Angket penelitian.
Page 67
67 Perayaan Kehidupan
langsung, melalui pengumpulan dalam kardus, plastik dan karung. Semua sampah
yang dibuang bersifat bercampur.95
Gambar. 9. Contoh pencampuran sampah rumah tangga di TPS.
(Sumber: Hasil Olahan Lapangan, 2014)
Pembuangan dengan sampah yang bercampur, oleh warga, dengan begitu
saja dibuang ke lingkungan rumah dan di tempat-tempat yang terbuka, lahan
kosong dan pada fasilitas umum, salah satunya seperti yang ditemukan di TPU
(Tempat Pemakaman Umum) Oeba. Biasanya, pembuangan seperti ini disebut
pembuangan liar yang dilakukan oleh 2-4 rumah tangga/KK. Membuang tidak
pada wadah umum atau wadah komunal yang disediakan.96
Selain itu, terdapat kebiasaan mengumpul/menyimpan (storage) sampah
pada tempat-tempat tertentu di sudut halaman rumah, membiarkannya menumpuk
berlama-lama, tanpa pengelolaan lanjutan seperti pemindahan dan pembuangan ke
TPS, hingga terjadi pembusukan dan sarang kuman penyakit.97
Kebanyakan mereka tidak begitu mempersoalkan masalah susulan yang
dapat merugikan lingkungan dan juga kesehatan warga secara langsung. Oleh
karena itu, telah menjadi sebuah kebiasaan tanpa begitu menganggap penting
melakukan pemindahan, dengan didahului dengan pemilahan jenis sampah.
“Jujur, banyak alasan dapat kita kasi tahu, tentang pembuangan sampah yang
hanya begitu-begitu sa di rumah. Kita buang takumpul dan bakar. Itu ju karena
95
Hasil Angket di RT. 09 dan 10. 96
Hasil observasi, Desember-Februari 2015. 97
Hasil observasi, Desember-Februari 2015.
Page 68
68 Perayaan Kehidupan
masalah fasilitas, macam ke tempat sampah, alat-alat sampah di dekat-dekat sini
ko apa, begitu”.98
Gambar. 8. Pembuangan sampah liar dan penyimpanan yang buruk.
(Sumber: Hasil olahan lapangan, 2014)
3. Pengumpulan dan Pembakaran
Kebiasaan lainnya, sampah hasil pengumpulan dibakar dan sisa pembakaran tetap
tertumpuk. Pembakaran itu pun terjadi secara bercampur, antara sampah organik
dan anorganik, sampah basah, dedaunan dan kaleng atau botol-botol kaca. Sisa
pembakaran yang ada tidak ditangani secara berlanjut, sehingga mengalami
penimbunan. Kebiasaan inilah yang paling merusak tanah dan membahayakan.
Kebiasaan seperti ini tersirat dalam pengakuan beberapa warga bahwa cara
pengelolaan seperti ini merupakan kebiasaan yang sering diandalkan dengan tidak
menghiraukan dampaknya, “mau pakai cara apa lai ju, selain buang ya, bakar sa
di halaman rumah”.99
“Katong mau kelola sampah ni paling tumpuk ko bakar sa
deng buang”.100
98
Yodri Jefons (ibu rumah tangga), wawancara, 30 Maret 2015. 99
Doris Saunoah (wiraswasta), wawancara, 22 Desember, 2014. 100
Frengki Nubatonis (wiraswasta), wawancara, 26 Desember 2014.
Page 69
69 Perayaan Kehidupan
Gambar. 10. Kebiasaan membakar sampah di sudut rumah.
(Hasil olahan lapangan, 2014)
4. Pengumpulan dan Penguburan
Dalam tahap lain, sampah hanya dikumpul dan dikuburkan pada suatu lokasi di
sekitar rumah. Penguburan ini bisa dilakukan dengan menggali dan munutup
kembali dengan tanah, atau dengan penutup lain. Cara lain, yang dilakukan ialah
menggali lubang tanah, dan membiarkannya tanpa menutup kembali.
Biasanya, sampah yang dikubur ialah sampah yang paling mudah
membusuk dan menjadi bangkai, seperti sisa pembersihan ikan dan hewan mati,
serta pecahan kaca dan kaleng-kaleng yang dapat menampung air, yang berpotensi
menjadi sarang nyamuk. Kebiasaan untuk mengubur dilakukan warga hanya
sejauh dianggap sangat mengganggu dan membahayakan dalam waktu yang tidak
lama.101
Gambar. 11. Penguburan Sampah
(Sumber: Hasil olahan lapangan, 2015)
Semua fakta pengelolaan yang terbatas ini berdampak negatif terhadap
kesehatan masyarakat dan lingkungan. Fakta-fakta yang disebutkan di atas menjadi
contoh-contoh kecil dalam masyarakat luas yang turut diakui dalam salah satu
101
Defi Kalilaku (ibu rumah tangga), wawancara, 21 Februari 2015.
Page 70
70 Perayaan Kehidupan
pertimbangan dan sekaligus pengakuan secara nasional dalam setiap peraturan dan
undang-undang negara tentang pengelolaan sampah. Salah satu pernyataan undang-
undang dimaksud ialah dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Pernyataan dalam undang-undang ini menyatakan
bahwa, pengelolaan sampah selama ini belum sesuai dengan metode dan teknik
pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan.
B. Pencemaran dan Krisis Ekologis: Analisa terhadap Keterbatasan Dalam
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Kelurahan Oeba.
1. Sampah dan Lingkungan: Dampak Buruk Sampah Rumah Tangga
Menyelami persoalan sampah secara umum, dan sampah rumah tangga secara khusus,
tentu tidak memiliki perbedaan dalam hal dampak ditimbulkan dari keterbatasan
pengelolaannya. Keterbatasan pengelolaan seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
terjadi pada sumber timbulan sampah, yaitu rumah tangga/pemukiman warga.
Keterbatasan pengelolaan tersebut, sebetulnya merupakan keterbatasan dalam
beberapa pengertian. Pertama, tidak sistematis. Keterbatasan dalam arti ini ialah
teknis pengelolaan yang tidak terjadi berdasarkan sistem pengelolaan yang baik dan
berstandar. Tidak juga terjadi dengan terorganisir. Kedua, tidak berkesinambungan.
Pengelolaan sampah berhenti pada cara-cara yang dianggap cukup sejauh sampah
telah dikontrol hingga tidak berserakan di halaman rumah. Cara pengontrolan tersebut
misalnya, sampah hanya dikumpulkan di halaman rumah dan membakar. Ketiga,
tidak menyeluruh. Artinya, ialah pengelolaan sampah rumah tangga masih
mengabaikan sampah-sampah tertentu, dan terbiasa dengan metode yang terbatas,
termasuk juga terbatas dalam inovasi teknologi dan pengusaannya.
Keterbatasan pengelolaan juga termasuk dalam arti pengelolaan sampah yang
tidak mengindahkan prinsip-prinsip lingkungan, kesehatan masyarakat, nilai-nilai
keindahan dan moral. Selain itu, pengelolaan belum juga mencapai pemanfaatan
Page 71
71 Perayaan Kehidupan
kembali atau alih fungsi sampah menjadi bahan berguna, serta menentukan basis dan
cara mengorganisir masyarakat.102
Tiap anggota rumah tangga, atau tiap individu
pengelola, belum sepenuhnya memenuhi kualifikasi pengelolaan sampah yang
berstandar dengan prinsip-prinsip yang demikian.
Di negara maju yang sangat peka terhadap masalah lingkungan, sampah padat
rumah tangga, umumnya telah diatur pembuangannya sedemikian rupa secara
sistemis. Hampir setiap jenis sampah padat rumah tangga, termasuk jenis limbah
rumah tangga lain, telah dipisahkan untuk memudahkan pengelolaannya.
Pada fakta yang terdapat di Kelurahan Oeba, pengelolaan sampah rumah tangga
tidak berlaku sebagaimana di negara-negara maju – diperoleh gambaran banyaknya
keterbatasan. Menurut hasil pengamatan dan wawancara jumlah penduduk Kelurahan
Oeba adalah 4.740 jiwa. Taksiran standar pembuangan sampah perhari menurut WHO
ialah 0,7 kg/orang/hari. Maka, dapat diperoleh perkiraan bahwa seluruh warga
Kelurahan Oeba memproduksi sampah sebanyak 3,318 m3/hari.
103 Jumlah ini
diperkuat dengan pola pengelolaan sampah padat rumah tangga yang tidak
menunjukan kualitas atau cara pengelolaan yang berstandar, tidak akan mengubah
keadaan lingkungan dan justru akan mengkristal menjadi suatu kebiasaan pengelolaan
yang tidak mencerminkan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Jika dilihat dari metode pengolah yang berstandar, sampah yang dikelola di tiap
rumah tangga di Kelurahan Oeba, pada dasarnya, pertama-tama belum dikelola
dengan mewadahi secara terpilah sampah terlebih dahulu. Pewadahan terpilah itu,
dilakukan sepenuhnya pada sampah basah dan sampah kering, dan pemilahan
berdasarkan jenis sampah. Dari hasil survei diketahui sebanyak 26% melakukan
102
Jeane G. P. Hadjon, (Kabid Pengelolaan Sampah Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Kupang),
wawancara, 02 Desember 2014. 103
Rumus bersumber dari Data Bidang Pengelolaan Sampah Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Kupang
2014, Perhitungan Volume Sampah Per Hari, No. 8.
Page 72
72 Perayaan Kehidupan
pemisahan sampah basah dan kering, sedangkan 74% tidak melakukan pemisahan.
Dari prosentase ini tentunya proses pengelolaan sampah, oleh tiap-tiap keluarga,
belum berlangsung sesuai yang diharapkan. Paling dominan terlihat bahwa proses
pengelolaan sampah dilakukan bercampur. Pencampuran atau heterogenitas sampah
inilah yang menghambat dan menyulitkan semua cara penanganan. Sebab, awal
mengelola sampah yang paling baik adalah dengan memisahkan jenis-jenis sampah
yang terkumpul dari sumber sampah.
Konsekuensi dari keterbatasan ini akan bermuara pada peningkatan kapasitas
volume sampah saat terjadi pencampuran. Akibat dari pencampuran sampah
memunculkan sikap dan perlakuan dalam menentukan pembuangan dan pengelolaan
lanjutan. Pembuangan dan pengelolaan lanjutan yang tidak dapat dilakukan
dikarenakan oleh banyaknya keterbatasan pada masyarakat Kelurahan Oeba.
Semua yang disampaikan ini, belum ditambah dengan pola perilaku warga dalam
mengelola sampah rumah tangga secara individu menurut prinsip 3R. Ada begitu
banyak warga yang begitu taksa, merasa kabur, belum mengenal dan mengetahui
prinsip ini.
Di samping itu, dalam keterbatasan yang sebagaimana telah disebutkan, dua
faktor mendasar yang perlu ditambahkan sebagai faktor yang selama ini tidak
menunjang pengelolaan sampah tiap rumah tangga, ialah:
a) Fasilitas persampahan. Beberapa fasilitas, seperti motor pengangkut roda tiga
yang tidak lagi difungsikan, bersamaan dengan rusaknya 3 buah kereta
pengangkut sampah yang disumbangkan oleh P2KP (Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan). Kerusakan ini semakin menyulitkan proses
pengumpulan dan pengangkutan sampah untuk dipindahkan ke TPS.104
104
Frans Ndun, (ketua RT. 09), wawancara, 05 Desember 2014.
Page 73
73 Perayaan Kehidupan
Sementara itu, semua proses pengelolaan hanya berlangsung seadanya, dengan
peralatan pengelolaan milik pribadi. Kekurangan lain yang dimiliki dalam
mendukung proses pengelolaan sampah rumah tangga di Kelurahan Oeba,
ialah minimnya jumlah fasilitas pewadahan, seperti wadah komunal atau
jumlah TPS. Fasilitas ini berjumlah 5 unit, yang terbagi dalam 14 RT dan
dengan jumlah populasi 4.470 warga (volume sampah 3,318 m3/hari). Jumlah
yang minim ini, tentu tidak dapat mendukung peningkatan kualitas
lingkungan, sanitasi lingkungan dan penanganan volume sampah.
Berdasarkan rekaman lapangan, beberapa warga mengatakan, “di
kompleks sini tempat sampah son ada. Jauh sampe di bawah sana. Di pinggir
jalan besar sana”.105
Demikian juga pernyataan pihak pemerintah, “Di
Kelurahan belum ada wadah komunal untuk kompleks atau masing-masing
RT. Tapi, kan mau buat itu wadah sendiri ju bisa. Tinggal nego sa, atau sapa
yang mau hiba tanah ko buat sama-sama, itu su jadi tu”.106
Dari beberapa pernyataan warga, diidentifikasi bahwa setidaknya untuk
memudahkan pengelolaan sampah, seperti pengumpulan hingga pembuangan
sampah. Warga mengharapkan untuk penambahan tempat sampah dan
mendekatkan tempat pembuangan sampah pada lingkungan sekitar tempat
tinggal, sehingga tidak terjadi pembuangan liar dan penumpukan sampah
disekitar tempat tinggal. Warga juga mengharapkan tempat sampah yang
ukurannya dapat memaklumi volume sampah. Ini dikarenakan beberapa
alasan, bahwa:107
105
Selfiana R. Djeta (ibu rumah tangga), wawancara, 27 Desember 2014. 106
Frans Ndun, (ketua RT. 09), wawancara, 05 Desember 2014. 107
Hasil survei, Desember 2014.
Page 74
74 Perayaan Kehidupan
1. Tempat sampah yang kecil, tidak dapat mengimbangi jumlah
produksi sampah. Jumlah produksi sampah yang melebihi kapasitas
tempat sampah menandakan bahwa adanya kepadatan penduduk
dengan jumlah produksi sampahnya dan
2. Tidak dapat menangani frekuensi pembuangan yang terlalu sering,
dengan jumlah yang banyak.
b) Faktor daya dukung pemerintah. Harapan yang disampaikan warga untuk
penambahan fasilitas persampahan, pada dasarnya ditujukan bagi lembaga
pemerintah. Namun, untuk memenuhi harapan warga tersebut, bukan saja
pihak pemerintah yang diharapkan menghadirkan fasilitas dimaksud, tetapi
justru permintaan warga harusnya dipenuhi oleh warga berdasarkan kerjasama
dengan pemerintah. Ini berarti bahwa pengelolaan sampah untuk lingkungan
yang bersih, dalam hal ini pembuangan sampah, tidak selalu identik dengan
jumlah tempat sampah yang begitu dekat dengan rumah.
Sampai saat ini, baik pihak pemerintah maupun warga, belum ada yang
menerapkan inovasi teknologi pengolahan sampah yang begitu efektif,
misalnya dari hasil daur ulang sampah anorganik menjadi benda bernilai
ekonomis. Inovasi pengolahan yang masih dapat ditemukan, hanyalah
mengolah dedaunan menjadi kompos.108
Inovasi ini memang cukup
bermanfaat bagi pengurangan sampah. Namun, inovasi ini pun tidak banyak
warga melakukannya.109
Walau demikian, cara lain masih dapat dilakukan pemerintah dan warga
Kelurahan Oeba, yaitu melaksanakan kerja bakti setiap hari sabtu. Kendati
108
Frans Ndun (ketua RT. 09), observasi dan wawancara, 21 Desember 2014. 109
Hasil observasi partisipatoris, bulan Desember 2014 – Februari 2015.
Page 75
75 Perayaan Kehidupan
cara ini terlaksana, namun, hanya berlangsung apabila timbunan dan serakan
sampah meningkat.
Sering ditemukan dalam kerja bakti, bahwa sampah hanya dikumpulkan
dan dibakar di lokasi kerja bakti. Sampah di lokasi kerja bakti tidak dibuang ke
TPS.110
Kerja bakti hanya dilihat sebagai upaya metodik sebagai bentuk
pembersihan. Upaya tersebut bukan sebagai upaya pencegahan dalam
pengelolaan yang langsung diarahkan ke sumber sampah, yaitu rumah-rumah
tangga. Dengan demikian metode yang dipakai dalam kerja bakti, tidak
memiliki kaitan langsung secara sistematis dengan sumber sampah di rumah
tangga dan TPS.
Kedua faktor ini menjadi penting sebagai komponen penunjang dalam
pengelolaan sampah yang sedapat mungkin tercapai, telah berpotensi bahwa
pengelolaan sampah akhirnya memperoleh basis bukan pada pemerintah,
melainkan masyarakat. Sangat disesalkan, ke semua hal masih berlaku terbatas
dalam peran masing-masing pihak. Warga di tiap rumah tangga belum memiliki
orientasi pengelolaan yang memenuhi standar pengelolaan, termasuk prinsip 3R.
Begitu pun peran pihak pemerintah, sejauh melaksanakan peran, tetapi belum
memiliki bobot optimal.
Dengan begitu, akumulasi dari banyaknya keterbatasan pengelolaan sampah di
titik populasi pada umumnya dan titik sampel pada khususnya, menghasilkan
sebagian besar dampak negatif ketimbang dampak positif. Dampak negatif itu
berlaku terhadap keadaan hidup manusia dan penurunan kualitas lingkungan fisik
dan estetisitas lingkungan (khususnya kota), seperti:
110
Hasil Observasi Partisipatoris di RT. 07 dan RT. 09, 19 Desember, 17 Januari dan 31 Januari.
Page 76
76 Perayaan Kehidupan
1. Dampak terhadap Kesehatan
Dampak kesehatan paling dominan yang ditimbulkan oleh sampah ialah panyakit
fisik. Penyakit-penyakit ini dapat ditularkan melalui segala sesuatu yang
bersentuhan dengan sampah pencemar, baik langsung maupun tidak langsung.
Lingkungan yang tercemar, seperti udara, air, tanah berpotensi sebagai perantara
penularan penyakit.111
Potensi bahaya yang dapat ditimbulkan, antara lain:
a) Penyakit malaria dan demam berdarah. Kedua penyakit ini disebabkan oleh
gigitan nyamuk. Untuk penyakit malaria disebabkan oleh parasit dari genus
plasmodium. Penyakit ini bersifat menular, disebabkan oleh gigitan nyamuk
pembawa kuman malaria, yaitu nyamuk anopheles. Sedangkan demam
berdarah atau demam dengue (DBD) disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes
Aegypti betina dewasa. Umumnya kedua penyakit ini terjadi karena
meningkatnya populasi nyamuk yang mengalami perkembangbiakan pada
tampungan-tampungan air pada jenis-jenis sampah yang tidak mengalami
pengelolaan yang baik. Jenis-jenis sampah dimaksud, seperti kaleng bekas,
ban bekas, atau bak-bak kamar mandi. Biasanya penyakit ini mengalami
peningkatan status dari endemi menjadi epidemi saat terjadi musim hujan.
Namun, bila pada musim panas, penyakit ini hanya berstatus endemi (dalam
keadaan normal) dengan jumlah penderita yang tidak begitu banyak. Penyakit
ini dapat menyebabkan wabah dan kematian.
b) Diare. Penyakit ini terjadi karena virus, bakteri dan protozoa dari sampah yang
dibuang atau ditimbun tanpa pengelolaan yang tepat, ditambah kondisi dan
lokasi tempat pembuangan sampah, baik TPS, tempat pembuangan komunal
dan pribadi.
111
Moh. Soerjani, dkk., Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan Dalam Pembangunan. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 2008, hlm. 206-213.
Page 77
77 Perayaan Kehidupan
Proses patogenesis (proses berjangkitnya penyakit) diare biasanya
ditularkan secara fecal oral (dimasukan melalui mulut), melalui masukan
makanan/minuman yang terkontaminasi, ditambah ekskresi yang buruk, dan
makanan yang tidak matang atau yang disajikan tanpa dimasak.
Kontaminasi dapat terjadi karena: pertama, makanan atau alat-alat
makan yang dihinggapi vektor lalat yang dapat memindahkan bibit penyakit
dari sampah ke makanan. Kedua, tidak mencuci tangan sebelum makan,
apabila telah memegang sampah atau suatu benda yang terkontaminasi.
Ketiga, makanan atau alat-alat makan yang disiapkan atau disediakan oleh
orang yang terkontaminasi bibit penyakit/carrier.112
Menurut data yang diperoleh dari PUSTU Kelurahan Oeba, penyakit
ini sering diderita oleh balita. Secara epidemik, penyakit ini sering terjadi dan
meningkat menjadi wabah di saat musim hujan, tetapi angka penderita
penyakit ini belum mencapai kejadian luar biasa.113
c) Tetanus. Seperti halnya dengan penyakit malaria, penyakit tetanus disebabkan
oleh masuknya kuman penyebab tetanus ke dalam tubuh melalui kulit yang
terbuka akibat goresan benda-benda berkarat. Berkaitan dengan pengelolaan
sampah, maka benda-benda penyebab penyakit tetanus merupakan bagian dari
keterbatasan pola pengelolaan yang membiarkan benda-benda tersebut tetap
berada di lingkungan dan terjangkau oleh aktivitas manusia.
d) Penyakit kulit misalnya kudis dan kurap. Penyakit seperti ini biasanya
disebabkan oleh kontaminasi air oleh kuman penyabab penyakit kulit.
112
Marylin Junias & Eliaser Balelay, Hubungan Antara Pembuangan Sampah Dengan Kejadian Diare Pada
Penduduk Di Kelurahan Oesapa Kecamatan Kelapa Lima-Kota Kupang, Pdf., 2008, hlm. 93. 113
Kristofel Hibu, wawancara dan data registrasi penderita, 13 Januari 2015.
Page 78
78 Perayaan Kehidupan
2. Dampak terhadap Lingkungan Fisik
Dampak ini dibagi dalam beberapa kategori lingkungan fisik, antara lain:
a) Atmosfer
Timbulnya gas beracun pada titik-titik pembuangan sampah di sekitar rumah
maupun di TPS. Gas-gas tersebut seperti asam sulfida (H2S), amoniak (NH3),
methan (CH4), C02 dan sebagainya. Gas ini akan timbul jika sampah padat
rumah tangga ditimbun dan membusuk karena adanya aktivitas
mikroorganisme.114
Akumulasi gas-gas beracun yang sedemikian banyak
menghasilkan penurunan kualitas udara. Sampah yang ditumpuk, akan terjadi
reaksi kimia seperti gas H2S, NH3 dan methane yang jika melebihi nilai
ambang batas akan merugikan organisme secara tertentu termasuk manusia.
b) Hidrosfer
Penurunan kualitas air, karena sampah padat rumah tangga biasanya langsung
dibuang bersama-sama air limbah, deterjen dan sisa-sisa olahan rumah tangga
lain, yang berbentuk cair di sekitar aliran sungai dan sumber air. Pembuangan
ini dapat menyebabkan air dan mikroorganisme tertentu dalam air teracuni dan
dapat mati. Hal lain dari akumulasi sampah dan yang dibuang ke aliran sungai
maupun pada titik-titik air, dapat menyebabkan banjir dan peluapan air sungai,
termasuk drainase, yang menyebabkan terjadinya penyebaran sampah ke
badan-badan jalan dan fasilitas umum lain. Penyebaran sampah seperti
demikian, menandakan bahwa terjadi penyakit dapat secara intensif tersebar.
Kejadian seperti ini dapat disaksikan setiap terjadi musim hujan bahkan musim
berangin.
114
Galih Pranowo, Makalah Tentang Limbah Padat, Yogyakarta: Fakultas Sains Terapan Institut Sains &
Teknologi AKPRIND Yogyakarta, Pdf., hlm. 3.
Page 79
79 Perayaan Kehidupan
c) Litosfer
Kerusakan permukaan tanah dapat terjadi, salah satunya yang ditunjukan
dalam kebiasaan warga Kelurahan Oeba yang mengelola sampah dengan
membakar, membuang air deterjen langsung ke tanah, membiarkan botol-botol
kemasan yang berbahan plastik dan mengandung bahan kimia. Cara-cara yang
terbiasa ini menurunkan kemampuan produksi tanah. Pada lokasi-lolasi tanah
yang sering terjadi pembakaran sampah dan pembuangan sampah cucian,
misalnya, cenderung menunjukan tidak adanya proses pertumbuhan tanaman.
Sebab, khususnya kebiasaan membakar dapat membunuh bibit organisme pada
tanah, juga bunga tanah (humus). Termasuk asap pembakaran mencemari
udara dan mengganggu pernapasan, penyakit jantung, kanker paru-paru.115
Sisa-sisa bakaran seperti plastik yang meleleh sulit diurai tanah, sehingga
hampir tidak memberi kesempatan pada tumbuhan yang tumbuh di sekitar
lokasi pembakaran dapat tumbuh subur. Belum lagi, pijar panas api
pembakaran bila berdekatan dengan pohon, cenderung pijar panasnya
mengganggu pertumbuhan pohon tersebut.
d) Sosiosfer
Beberapa dampak negatif sampah rumah tangga bagi lingkungan sosial, antara
lain:
a. Berkurangnya rasa estetis warga ihwal meminati lingkungan dan tempat
tertentu. Misalnya, halte bus yang terletak di depan SMKN 2 Kupang,
kurang diminati untuk difungsikan karena bau yang berasal dari drainase
tepat di belakang halte.
115
Kusdwiratri Setiono, dkk., op.cit, hlm.46.
Page 80
80 Perayaan Kehidupan
b. Terciptanya ketidaknyamanan bagi masyarakat, khususnya pada kualitas
pemukiman: bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena
sampah bertebaran di mana-mana.
c. Memberikan dampak negatif terhadap kepariwisataan termasuk hiburan.
Tidak jarang ditemukan beling atau pecahan kaca, hingga sampah plastik
ditemukan di lapangan bola kaki, futsal dan voli yang terdapat di Stadion
Merdeka.
d. Memberi pengaruh tidak langsung pada ekonomi rumah tangga. Misalnya,
pengeluaran biaya penyakit lebih besar dibanding untuk meningkatkan cara
hidup sehat.
e. Memberikan dampak kerusakan pada fasilitas pelayanan umum seperti
jalan, jembatan, drainase, dan lain-lain. Fakta seperti ini dapat disaksikan di
sepanjang Jl. A. Yani, Jl. Kedondong, Jl. Beringin dan bantaran kali
Merdeka.
f. Meningkatnya pembiayaan untuk membersihkan daripada pembiayaan
untuk meminimalisir pencemaran atau pengotoran lingkungan,termasuk
kota.
Jika sarana penampungan sampah yang yang disediakan kurang atau
tidak efisien, baik pemerintah atau swadaya masyarakat, maka tentu orang
akan cenderung membuang sampahnya bukan pada tempat sampah. Bahkan
membuangnya di jalan. Hal ini mengakibatkan peningkatan pembersihan
jalan perbaikan lingkungan, baik itu penambahan sarana-sarana pengangkut
sampah dan penambahan awak pengangkut. Ini berarti bahwa, biaya yang
dikeluarkan untuk pembersihan dan sebagainya akan lebih besar.
Page 81
81 Perayaan Kehidupan
Dari beberapa dampak yang telah disebutkan sebagaimana di atas, dapat
dikatakan bahwa pengaruh bahaya bersifat holistik dan saling terkait mengait
antara dampak yang satu terhadap yang lain (contohnya, pembakaran sampah
mencemari udara sekaligus mencemari tanah). Bagi manusia, dampak itu
berpengaruh secara ekonomi, estetika, sosial dan masalah kesehatan, termasuk di
dalamnya beban psikologis. Sedangkan bagi lingkungan, berlaku dalam arti semua
lingkungan fisik.116
2. Sampah sebagai Sumber Pencemaran
Di atas telah dikemukakan dampak buruk dari keterbatasan pengelolaan sampah.
Pada bagian ini, hendak dikemukakan kompleksitas pencemaran oleh sampah
dalam kerangka moralitas. Kerangka ini telah didasarkan pada indikasi kesehatan
lingkungan dan juga kesehatan masyarakat. Dalam kerangka ini pun hendak
diidentifikasi bahwa dampak buruk tersebut menghasilkan kerusakan lingkungan
atau krisis lingkungan hidup yang tak berhenti pada kerugian yang hanya bersifat
antroposentris, yaitu hanya manusia saja yang dirugikan. Karena itu, diajukan
pertanyaan moral bahwa, sebetulnya intensitas kerugian mencapai hal apa saja?
Begitu juga dalam tanggung jawab moral, sebetulnya siapa saja yang paling
bertanggung jawab?
Fakta-fakta pencemaran seperti yang dikemukakan di atas, pada dasarnya
merupakan bukti dari campur tangan manusia terhadap lingkungan di mana dia
beraktivitas. Proses ini disebut perilaku antropogenik. Proses ini berarti, bahwa
pencemaran tidak lain diakibatkan oleh ulah atau perbuatan manusia, bukan alam.
116
Herman Koren & Michael Bisesi, Handbook of Environmental Health (vol. 1); Biological, Chemical, and
physical Agents of Environmentally Related Disease, New York: Lewis Publisher, 2003, hlm. 81; Alfin Toffler,
Future Shock, New York: Bantam Book and Random House, Inc., 1971, hlm. 429. Untuk beban psikologis
akibat pencemaran, Toffler mengistilahkannya dengan apa ia sebut „polusi batiniah‟. Istilah ini menunjuk pada
keresahan dan ketidaknyamanan psikologis saat interaksi manusia dengan lingkungan terganggu akibatnya.
Page 82
82 Perayaan Kehidupan
Seorang teolog Indonesia yang membidangi etika lingkungan, R. P. Borrong dalam
tulisannya, memutlakkan hal tersebut, bahwa pencemaran adalah akibat perilaku
manusia nir-etis. Pemutlakannya dilakukan dengan menyadari juga bahwa terdapat
penyebab pencemaran oleh peristiwa alam, misalnya letusan gunung merapi, banjir
atau longsor. Tetapi, kembali ia mengfokuskan diri bahwa paling dominan,
pencemaran terjadi oleh proses antropogenik.
Praktisnya, proses pencemaran yang antropogenik merupakan perilaku yang
menunjuk pada hasil sampingan dari aktivitas yang dilakukan menyimpang dengan
norma-norma lingkungan, keteraturan ekosistem dan prinsip-prinsip ekologis.
Kerusakan akibat pencemaran yang antropogenik ini, dapat berskala lokal,
nasional, global, bahkan semesta.117
Meninjau pada kamus, rumusan kata pencemaran dalam kata bahasa Indonesia
berasal dari kata dasar „cemar‟, yang diterjemahkan secara harafiah berarti kotor
atau ternoda.118
Kata cemar mempunyai dua arti, pertama, berkaitan dengan
lingkungan fisik, misalnya udara kotor atau tercemar. Kedua, berkaitan dengan
konotasi moral, misalkan kata cemar dipakai pada seorang wanita korban
pemerkosaan. Dua arti ini, yang dipakai hanyalah pengertian bahwa pencemaran
berkaitan dengan lingkungan, yaitu proses pengotoran lingkungan fisik.
Dalam kata bahasa Inggris, kata pencemaran ialah pollution, yang akar
katanya ialah pollute dan kata kerjanya ialah to pollute atau polluting. Kata Inggris
ini bila diterjemahkan menurut kamus ekologi berarti kerugian apa saja atau
perubahan tak menyenangkan dalam lingkungan sebagai akibat dari efek samping
aktivitas manusia, baik olahan fisikalnya, kimiawi atau biologikal.119
Bahan yang
117
Kusdwiratri Setiono, dkk., Manusia, Kesehatan dan Lingkungan, Bandung: PT. Alumni, 2010, hlm. 1. 118
Software KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). 119
Jill Bailey (ed.), The Facts On File Dictionary of Ecology and The Environment, New York: Facts On File,
inc, 2004, hlm. 188.
Page 83
83 Perayaan Kehidupan
masuk ke lingkungan memiliki kecenderungan mengotori dengan konsentrasi
tinggi dan tingginya akumulasi.120
Jelas dari pengertian ini, bahwa pencemaran memiliki kaitan langsung dengan
aktivitas manusia, yang dengan aktivitasnya, akibat sampingan timbul, dan
berdampak pada lingkungan dan kesehatan manusia dengan konsentrasi tinggi.
Secara normatif, menurut Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang:
Pengelolaan Lingkungan Hidup, pencemaran didefinisikan sebagai proses
masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen
lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat
berfungsi sesuai dengan peruntukannya.121
Terkait hal ini, James A. Nash,
sebagaimana yang dikutip Borrong, menandaskan bahwa
Polusi dapat dirumuskan sebagai akibat tindakan-tindakan manusia yang membahayakan dan
fatal, langsung maupun tidak langsung, karena membuang unsur-unsur alamiah dan/ sintesis ke
dalam ekosistem, yang tidak seharusnya dibuang atau karena yang dibuang jumlahnya
melampaui kemampuan ekosistem berasimilasi secara normal.122
Dari setiap definisi di atas, terdapat beberapa pokok pencemaran yang terdiri
atas tiga hal: Pertama, masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan/atau komponen lain (asing) ke dalam lingkungan hidup. Proses ini, merupakan
bagian yang dikerjakan oleh manusia secara dominan. Ini disebabkan oleh suatu
iklim perkembangan manusia yang terus menunjukan peningkatan populasi dan
perkembangan masyarakat industrial yang ditandai dengan keagungan
teknologinya. Semakin banyak penduduk, akan semakin banyak produksi dan
konsumsi teknologi.
120
P. H. Collin., op. cit, hlm. 166. 121
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal
1, ayat. 12. 122
James A. Nash, Loving Nature: Ecological Integrity and Christian Responsibility, Nashville: Abingdon,
1991, hlm. 34., dalam R. P. Borrong, op. cit., hlm. 85.
Page 84
84 Perayaan Kehidupan
Dalam penyebutan yang lain terhadap iklim ini ialah teknosfer, yaitu
lingkungan di mana terdapat massifikasi teknologi canggih yang
operasionalisasinya dapat mengakselerasi timbulnya pencemaran, yaitu masuknya
buangan limbah dalam bentuk zat, bahan beracun, yang semua dianggap asing oleh
alam. Dalam jumlah yang banyak, atau dalam konsentrasi yang tinggi, tentu tidak
dapat memberi kesempatan bagi lingkungan untuk berasimilasi dan memulihkan
diri. Pada titik yang tidak dapat ditentukan, maka pengrusakan oleh bahan-bahan
pencemar terus berlangsung. Demikian, ini terjadi selama bahan-bahan itu tetap
ada di lingkungan tanpa dikelola.
Setiap kegagalan pengelolaan sampah rumah tangga menyebabkan akumulasi
sampah dan berakibat pencemaran. Akhirnya, semua proses masuknya hal asing
yang tidak dikenali lingkungan, dapat berujung pada kerusakan, penurunan
produktivitas lingkungan dan krisis ekologis. Krisis tersebut perlahan meluas dari
pusat regional berjangka waktu panjang, dan mungkin juga pendek. Dalam hal ini,
pencemaran regional mulai dari rumah-rumah (di Kelurahan Oeba) merambah
menjadi pencemaran yang berskala perkotaan (Kota Kupang), berlaku secara cepat
atau sangat lama.
Kedua, ulah manusia/antropogenisasi secara sengaja maupun tidak sengaja.
Polusi atau pencemaran yang diakibatkan oleh perilaku yang dilakukan seperti ini
memiliki konsekuensi etis, yaitu akibat perbuatannya tidak dapat ditoleransi ketika
dampak dari perbuatannya menimbulkan kerugian dirinya dan lingkungan.
Kerugian yang tentunya fatal. Karena itu, konsekuensi etisnya dituntut tanggung
kesadaran dan jawab moral dirinya dalam eksistensinya di lingkungan. Tanggung
jawab tersebut mesti berbasis lingkungan.
Page 85
85 Perayaan Kehidupan
Ketiga, yang paling penting ialah terjadi kerusakan lingkungan dan perubahan
lingkungan alamiah. Perubahan yang terjadi ini bersifat kontinu dan mengandung
makna terganggunya ekosistem, yaitu terganggunya interaksi alami manusia
dengan lingkungannya.
Sebagaimana telah disebutkan beberapa akibat pencemaran sebelumnya (lih.
67-74), dalam beberapa anggapan, manusia merupakan salah satu korban tak
terhindarkan dari pencemaran. Namun, bukan satu-satunya korban tunggal. Karena
itu, pencemaran sesungguhnya bukan memiliki obyek kerugian pada manusia
semata (antroposentris) bila ia yang dianggap paling rentan terkena pencemaran
dalam berbagai aspek. Penilaian ini sangat dangkal (shallow ecology).
Bila penilaian untung rugi hanya berlaku bagi manusia, maka penilaian seperti
ini tidak adil dalam pemahaman ekosentris. Filsuf asal Norwegia, Arne Naes
menyebutnya, penilaian moral-ekologis dalam (deep ecology).123
Penilaian yang
ekosentris menjunjung tinggi prinsip keseimbangan, tanpa pembedaan dalam
lingkungan.124
Konsekuensi logisnya ialah bahwa, penilaian ini nantinya berlaku
merata bagi keutuhan lingkungan dan kondisi sosiologis masyarakat. Penilaian
terhadap pihak yang dirugikan, mesti berlaku demikian. Sebab, bila terlalu
antroposentris, sudah tentu manusia dapat mencari peluang untuk mencemari
lingkungan di mana secara langsung tidak merugikannya. Contohnya, dengan
menganggap bahwa sampah yang dibuang di sekitar lingkungan aktivitas padat
(kompleks pemukiman) dan kepadatan penduduk akan berdampak langsung pada
aktivitas manusia. Tentu potensi pilihan terbesar ialah menghindarinya dengan
mencari tempat pembuangan yang tidak terdapat aktivitas padat penduduk.
123
Frijof Capra dalam George Sessions, Deep Ecology Of Thetwenty-First Century, Boston & London:
SHAMBALA, 1995, hlm. 18. 124
Jim Ife dan Frank Tesoriero, op. cit., hlm. 98-99.
Page 86
86 Perayaan Kehidupan
Penilaian yang antroposentris, memiliki sifat yang egoistis instrumental, yaitu
manusia berusaha mencari cara menghindari kondisi tercemar (oleh sampah) pada
lingkungannya dengan mencemari lingkungan yang mungkin bebas dari banyak
orang. Penilaian ini mempertimbangkan untung rugi hanya bagi manusia.
Tujuannya ialah pada setiap kemungkinan dari sampah tidak merugikan langsung
dirinya dan komunitasnya.
Menilai terhadap hal ini, dua pakar lingkungan asal India, Sethi dan Singh
memberikan kejelasan tentang obyek yang sesungguhnya dirugikan, melalui
definisi yang cukup adil tentang pencemaran:
Pencemaran/polusi adalah akibat benda-benda asing pada lingkungan alamiah yang
berbahaya bagi organisme, termasuk manusia.125
Kedua ahli ini memaksudkan bahwa penilaian yang terjadi pada lingkungan
harus dilihat dalam bingkai ekologis. Sebab, kemampuan mencemari dari bahan-
bahan pencemar merusak secara organisme, termasuk manusia di dalamnya.
Karena itu, ihwal mengelola sampah dan segala aktivitas manusia, baik
konsumsi dan produksi dalam industri, pembangunan, khususnya aktivitas
keseharian di rumah tangga menghasilkan variasi limbah, maka secara moralitas,
kasus pencemaran harus menjadi kewajiban dan tanggung jawab moral manusia.126
Tanggung jawab dimaksud bersifat kolektif maupun individu dan berbasis
ekologis. Maksudnya, tanggung jawab moral nantinya harus diperuntukkan bagi
kepentingan organisme lingkungan, termasuk lingkungan fisik. Karena skala
kerugian mencakup totalitas organisme di lingkungan, baik makhluk hidup,
lingkungan fisik, termasuk manusia.
125
Inderjeet Kaur Sethi & Gurcharan Singh, Modern Dictionary of Environment, New Delhi: Akashdeep
Publhising, 1992, hlm. 59. 126
Kees. Bertens, Etika, Jakarta: PT. Gramedia, 2004, hlm. 142-144.
Page 87
87 Perayaan Kehidupan
Dengan tanggung jawab itu, maka pekerjaan yang memiliki nilai dengan bobot
moral secara ekologis, seperti konservasi lingkungan, upaya sanitasi lingkungan,
peningkatan kesehatan masyarakat dan lingkungan dapat dikerjakan. Jika tidak
terjadi demikian, akan ada banyak pihak di alam ini yang menuntut tanggung
jawab lebih atas kerusakan oleh pencemaran. Pihak tersebut ialah ekosistem atau
sistem ekologi, yakni satuan kehidupan yang terdiri atas suatu komunitas makhluk
hidup dengan berbagai benda mati.127
Ini yang disebut dengan adil secara ekologis
juga biosentris. Adil terhadap kehidupan seluruh makhluk hidup dan
lingkungannya, termasuk benda mati.
3. Mengurai Benang Kusut: Hasil Analisa Terhadap Persoalan Mendasar Dari
Sampah
Jawaban atas dua pertanyaan moral yang diajukan di atas telah memperoleh
jawabannya. Pertama, manusia mesti bertanggung jawab penuh secara sadar atas
fakta pencemaran yang terjadi secara umum dan pada khususnya berlaku regional
(rumah, lingkungan tempat tinggal, kota) di Kelurahan Oeba. Kedua, kerugian
akibat pencemaran dari keterbatasan pengelolaan sampah dialami oleh satuan
organisme di lingkungan, termasuk manusia.
Dua jawaban moral tersebut bertolak dari prinsip normatifnya, yaitu
pencemaran oleh pengelolaan sampah yang terbatas merupakan akibat dari ulah
manusia terhadap lingkungannya (antropogenik). Persoalan ini ditunjukan melalui
dua indikasi, yaitu indikasi indeks kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan
yang menunjukan penurunan produktivitas kualitas lingkungan dan kesehatan
masyarakat. Penurunan dimaksud ialah, terganggu dan berubahnya fungsi
lingkungan regional, dan sedapat mungkin lingkungan yang cukup luas.
127
Sonny Keraf, op. cit., hlm. Xvii-xxii, 49-77.
Page 88
88 Perayaan Kehidupan
Pengelolaan sampah yang terbatas olehnya (warga), termasuk terbatas dalam
juga dalam motivasi etis yang ia miliki. Motivasi etis amat penting, kendati
demikian, motivasi itu cenderung diabaikan. Pada situasi tertentu, seperti
pembuangan sampah liar atau tidak pada wadahnya, terbukti nir-etis. Bukti
terhadap hal itu, pengelolaan cenderung bersifat tidak berkelanjutan, “asal telah
dikerjakan, itu cukup”.
Pengabaian akan pentingnya motivasi etis membuat manusia cenderung –
sebagai pengelola sampah menyimpang secara moral. Penyimpangan ini sekaligus
merupakan penggambaran akan miskinnya wawasan lingkungan. Gambaran
terhadap keadaan ini, Borrong mengungkapkan kegelisahannya dengan
menyampaikan bahwa kerusakan lingkungan, dan krisis ekologis, termasuk
pencemaran disebabkan oleh miskinnya muatan etika dalam relasi manusia dengan
lingkungannya. Itu berarti benar, bahwa ada kekurangan atau krisis moral yang
cukup mendasar dalam proses dan kebiasan pengelolaan sampah di Kelurahan
Oeba dan pengelolaan pada umumnya.
Krisis yang cenderung ditemui dalam kehidupan manusia dengan lingkungan,
merupakan krisis dalam cara pandang yang berpengaruh pada tingkat kesadaran
pola perilaku manusia. Krisis ini menurut mantan menteri lingkungan hidup, Sonny
Keraf, merupakan krisis yang fundamental-filosofis.128
Di pihak yang sama, solusi untuk menanggapi krisis ini, diusulkan oleh
fisikawan yang sementara ini turut memberi perhatian pada persoalan ekologi,
Fritjof Capra, 1997. Ia, dalam tulisannya menyatakan bahwa membutuhkan
penuntasan terhadap krisis yang membelit persepsi manusia, pemikiran, dan nilai-
nilai. Semua ini dilakukan dengan cara yang harus radikal dan benar-benar
128
Ibid., hlm. Xiv-xv.., Filsafat Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2014, hlm 8-9.
Page 89
89 Perayaan Kehidupan
fundamental.129
Cara ini tidak berhenti di situ, tetapi mesti dilakukan secara
berkelanjutan dan bersifat generatif.
Demikian juga, pernyataan dari Vatikan, Roma, tahun 1990, oleh Paus
Yohanes Paulus II, bahwa untuk menemukan solusi atas persoalan ekologis, harus
memperhatikan dengan serius dan radikal gaya hidup manusia modern yang kian
intens. Ada begitu banyak orang yang dengan gaya hidupnya mengabaikan
kerusakan yang mereka sendiri perbuat.130
Manusia pada umumnya, dengan cara pandang yang keliru terhadap
lingkungan dan keliru menempatkan dirinya di tengah-tengah alam adalah awal
dari semua bencana lingkungan hidup yang dialami sekarang. Tentang krisis ini,
Lynn White, spesialis di bidang teknologi menengah, menyampaikan
persetujuannya, yaitu,
Apa yang dilakukan manusia terhadap lingkungan hidup bergantung pada apa yang mereka
pikirkan tentang diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan apa yang ada di sekitar
mereka.131
Dengan ini mau dikatakan bahwa krisis pemahaman yang dialami,
mempertegas ketidakmampuan manusia melihat hakikat dirinya berinteraksi
dengan lingkungan. Begitupun yang terjadi dalam pengelolaan sampah. Manusia
sebagai pengelola tidak memiliki tujuan mendasar dan hakikat dirinya mengelola
sampah, selain hanya beralasan untuk lingkungan itu bersih dengan menggalakkan
kerja bakti.
129
Fritjof Capra, Jaring-jaring Kehidupan; Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan (terj.), Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2001, hlm.12-13. 130
Yohanes Paulus II, Peace With God the Creator, Peace With All of Creation, Origin 19, 1990, hlm. 467,
dalam J. Milburn. Thompson, Keadilan dan Perdamaian, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2009, hlm. 107. 131
Dikutip dalam Fachruddin Mangunjaya, Konservasi Alam Dalam Islam, Jakarta:YayasanObor Indonesia,
2005, hlm. 7. Juga termasuk Arne Naes, (dan hampir semua para pakar dan filsuf yang memberi perhatian pada
pencarian hakikat akar masalah lingkungan) yang mengungkapkan perlunya pembaruan pemahaman atau
paradigma yang fundamen dan radikal, sebagai jalan untuk mengatasi berbagai wajah krisis lingkungan. Arne
Naes, Ecology, Community and Lifestyle, Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1993, hlm.
Page 90
90 Perayaan Kehidupan
Kendati demikian, toh, lingkungan justru tetap pada kondisi yang tercemar oleh
sampah. Usaha ini tidak cukup merubah keadaan bila dari akar permasalahan yang
belum terpecahkan pada tingkat individu maupun kolektif.
Kesimpulan
Permasalahan lingkungan yang terdapat di Kelurahan Oeba merupakan permasalahan
persampahan, khususnya sampah rumah tangga. Pengertiannya sendiri memiliki konotasi
yang bertentangan dengan nilai-nilai estetis, yaitu kotor atau jorok. Pengertian sampah,
secara umum, dilihat dari sudut kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat
merupakan limbah dalam bentuk padat. Karena itu, sampah adalah bagian dari limbah.
Pada pengertiannya, secara umum, sampah merupakan bahan buangan apa pun dari
aktivitas manusia. Sedangkan sampah rumah tangga memiliki arti yang dibatasi, yaitu
sampah yang dihasilkan dari aktivitas manusia di rumah tangga sebagai salah satu
sumber sampah. Penekanan pada masalah sampah ialah pekerjaan pengelolaannya
sebagai akomodasi terhadap bahaya pencemaran yang kapan saja bisa muncul.
Fakta yang ditemukan ialah, bahwa sejauh cara dan sistem pengelolaan (tidak
sistematis, tidak berkesinambungan dan menyeluruh) dilakukan oleh tiap warga di rumah
tangga masing-masing, dan yang diupayakan pemerintah, masih dalam kondisi yang
amat terbatas. Keterbatasan itu mencakup berbagai aspek, yaitu minimnya wadah dan
tempat pembuangan sampah sementara, inovasi teknologi pengelolaan dan pengolahan,
partisipasi warga, termasuk belum adanya penetapan basis yang tetap dalam mengelola
sampah.
Akumulasi dari berbagai keterbatasan dalam pengelolaan menghasilkan bahan
pencemar. Pada konsentrasi dan akumulasi tertentu, sampah di Kelurahan Oeba
menghasilkan pencemaran lingkungan. Pencemaran ini mengakibatkan banyak kerugian
terhadap sistem lingkungan, dan organisme yang hidup di dalamnya. Karena itu, atas
Page 91
91 Perayaan Kehidupan
fakta pencemaran dan kerugian yang terjadi, dituntut kesadaran dari para pihak yang
memiliki kesadaran dan tanggung jawab moral, yaitu keluarga-keluarga di Kelurahan
Oeba, bersama pemerintah Kota Kupang.
Kembali pada urgensi yang terjadi dalam keterbatasan pengelolaan sampah, yang
ditandai dengan pencemaran, diidentifikasi bahwa akar dari permasalahan sampah
bertumpu pada kegagalan memahami hakikat diri dan lingkungan. Artinya, bahwa
perilaku pengelolaan sampah selama ini masih kurang dalam kaitannya dengan
pemahaman yang memadai tentang pentingnya lingkungan yang sehat dengan diri
manusia. Kekurangan ini juga berhubungan dengan motivasi etis, yaitu dorongan etis
secara pribadi atau masyarakat untuk selalu sensitif terhadap masalah sampah dan
pengelolaannya. Inilah akar masalahnya.
Karena itu, untuk menjawab akar masalah ini, sebuah alternatif lain, dimulai dengan
peninjauan secara ekoteologis-liturgis.
Page 92
92 Perayaan Kehidupan
Page 93
93 Perayaan Kehidupan
Page 94
94 Perayaan Kehidupan
Page 95
95 Perayaan Kehidupan
BAB III
TINJAUAN DAN REFLEKSI EKOTEOLOGIS-LITURGIS TERHADAP
PERSOALAN PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA KELURAHAN OEBA
Dua kesimpulan yang dapat dicatat dalam hasil analisis pada bab II adalah: Pertama,
persoalan persampahan dan pengelolaannya merupakan persoalan moralitas. Hal ini karena
manusia merupakan makhluk berkesadaran moral dan pelaku moral. Bahkan moralitas
menjadi karakter dasar manusia.
Hal substansial yang patut dicatat dalam tulisan ini ialah bahwa dalam studi ini,
moralitas hasil dari penelusuran tugas etika lingkungan, yaitu memberikan penilaian,
penyelidikan akar masalah, mengoreksi dan membimbing ke arah paradigma yang benar.
Paradigma yang dihasilkan akan menuntun perilaku yang sesuai dengan arah kebajikan.132
Kedua, sampah rumah tangga yang berdampak pada pencemaran lingkungan berakar pada
pemahaman masyarakat di Kelurahan Oeba yang masih kurang terhadap pengelolaan sampah
itu sendiri.
Dua kesimpulan tersebut menjadi titik tolak tinjauan ekoteologis-liturgis. Tinjauan ini
diharapkan berpengaruh pada konstruksi berpikir „para pembaca‟, yang kemudian
membangun spiritualitas mereka dengan memperhatikan dimensi ekologis-liturgis.
Bab ini berisi empat pokok uraian. Pertama, tinjauan ekoteologis-liturgis. Tinjauan
teologis ini, dimulai dengan pemberian titik temu antara disiplin ekologis dan liturgi sebagai
dasar bagi refleksi teologis. Secara metodologis, ciri berteologi di sini mempertahankan sifat
tematis, dengan mengedepankan dasar-dasar teologis-liturgis yang dibangun di atas dasar
trinitaris. Kedua, refleksi teologis berdasarkan tinjauan ekoteologis-liturgis. Ketiga, usaha
mencari solusi bersama dan keempat, berisikan kesimpulan.
132
John Macquarrie, A Dictionary Of Christian Ethics, Norwich: SCM Press. LTD., 1967, hlm. 118. I. R.
Poedjawijatna, Etika, Filsafat, Tingkah Laku (cet. Ke-3). Jakarta: Obor, 1977, hlm. 25-26; Malcolm Brownlee,
Pengambilan Keputusan Etis. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2011, hlm. 17.
Page 96
96 Perayaan Kehidupan
A. Tinjauan Ekoteologis-Liturgis
1. Pengertian
Ada banyak jalan yang dapat dipakai untuk menyoroti definisi liturgi dan ekologi.
Macam-macam pandangan dapat dipergunakan untuk memberi pengertian pada
keduanya. Akan tetapi, pengertian yang akan disampaikan di sini sebagaimana
lazimnya, pertama-tama ialah memaparkan bentuk kata, etimologi (akar kata), dan
pemakaian kedua istilah tersebut dalam sejarah. Kemudian untuk mencapai teologi dari
dua istilah ini, maka keduanya harus dipertemukan secara teologis.
1.1. Liturgi
Istilah liturgi yang dijelaskan oleh Charles Hefling dalam kamus teologi Kristen,
memiliki cakupan makna yang luas. Kata liturgi dipakai untuk menunjuk pada
keseluruhan peristiwa pertemuan persekutuan Kristen (ibadah) yang bermakna
simbolis praktis, kultis. Serta dalam kamus tersebut, disajikan teologi liturgi dan
tanggapan-tanggapan teologis.133
Di pihak lain, Kamus Besar Bahasa Indonesia tentu tidak dapat menyediakan
pengertian yang cukup tentang liturgi. Kamus ini sering menyajikan tiga pengertian
liturgi. Pertama, ibadah umum di Gereja; kedua, segala tindakan sebagai tanda
pewahyuan Tuhan; ketiga, tata upacara agama Kristen.134
Tiga pengertian yang
diberi kamus ini mengarahkan orang pada penyembahan kepada Tuhan. Pengertian
tersebut juga dipahami secara seremonial yang melibatkan para petugas ibadah,
pengatur ibadah. Pengertian inilah, yang justru masih sering dijunjung oleh sekian
banyak jemaat saat ini. Menariknya, pengertian yang demikian melihat liturgi dalam
133
Charles Hefling, dalam Ian A. McFarland (ed.), The Cambridge Dictionary Christian Theology, New York:
Cambridge University Press, 2011, hlm. 283-285. 134
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 529.
Page 97
97 Perayaan Kehidupan
ruang sempit sebagaimana rumusan atau rubrik sistematis di dalam sehelai kertas
atau sebuah buku.135
Kata liturgi diambil dari bahasa Yunani leitourgia (dalam bahasa Latin: liturgia)
dengan kata kerjanya leitourgein. Kata leitourgia terbentuk dari akar kata ergon,
yang berarti „karya‟, dan leitos, yang merupakan kata sifat untuk kata benda laos
(umat, bangsa atau rakyat). Secara harfiah, leitourgia berarti „karya publik‟ atau
„pelayanan yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa‟ dan bagi kepentingan hidup
bersama. Karya-karya dimaksud (leitourgia), dalam masyarakat Yunani kuno,
misalnya, pelayanan publik tanpa pamrih atau mencari untung dengan pembayaran
yang dianggap sesuai dengan jasa layanan seseorang atau suatu lembaga;
sumbangan dari orang kaya bagi masyarakat miskin; dan termasuk pajak dan cukai
yang diperuntukkan bagi masyarakat atau kepentingan negara (Rm 13:6).136
Jadi, liturgi sebagai istilah Yunani, yang menurut asal-usul sejarahnya, adalah
pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang bagi kepentingan orang lain dalam
komunitas. Dengan begitu menurut asal-usulnya, istilah leitourgia memiliki arti
profan-politis-sekularis. Dengan kata lain, kata ini mengarah pada karya pelayanan
nir-kultis.
Makna kultis pada kata “leitourgia”, baru muncul pada abad ke-2sM., yakni
zaman Perjajian Lama. Pada abad ini, kata leitourgia dikenal dengan arti pelayanan
ibadat.137
Lebih khusus, kata ini menunjuk pada pelayan ibadat pada Bait Allah –
dilakukan oleh para imam atau kaum Lewi, yang disebut leitourgos. Pada abad
sebelumnya, yakni abad ke-4 sM., pemakaian kata leitourgia diperluas, yakni untuk
menyebut berbagai macam karya pelayanan. Kemudian, pada zaman Perjanjian
135
E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, op. cit., hlm. 13-14. 136
Adolf Adam, op. cit., hlm. 3; E. Martasudjita, Pengantar Liturgi., op. cit., hlm. 15; Andar Ismail, Selamat
Berbakti, BPK. Gunung Mulia, Jakarta, 2000, hlm. 32; Rasid. Rachman, Pembimbing ke Dalam Sejarah Liturgi,
Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2012, hlm. 2-3. 137
Dalam Perjanjian Lama berbahasa Yunani kata liturgi dijumpai sebanyak 170 kali dari kata abodah.
Page 98
98 Perayaan Kehidupan
Baru, istilah tersebut kembali mengalami perluasan, menunjuk pada berbagai
macam pelayanan orang Kristen.138
Hasil survei G. Riemer, seorang Roma Katolik, menyatakan bahwa istilah
leitourgia dalam Perjanjian Baru terdapat 15 kali dengan makna yang berbeda-beda.
Luk.1:23, Ibrani 9:21, Ibr.10:11 mengartikan leitourgia sebagai tugas imam. Ibr.8:2,
Ibr. 8:6 menguraikan leitourgia dalam hubungannya dengan pelayanan Kristus
sebagai imam. Rm.15:16 menghubungkannya dengan pekerjaan rasul dalam
pekabaran Injil kepada orang kafir. Flp.2:17 mengaitkannya dengan kiasan untuk
hal percaya, sedangkan Ibr.1:7, 14 merujuk kepada pekerjaan malaikat-malaikat
melayani. Rm.13:6 menjelaskannya sebagai jabatan pemerintah. Kemudian
Rm.15:27, Flp. 2:25, Flp. 2:30, Flp. 4:18 menunjuk pada pengumpulan
persembahan untuk orang miskin. Kis.13: 2 mengacu kepada kumpulan orang yang
berdoa dan berpuasa.139
Dari ayat-ayat yang disebutkan di atas, tampak bahwa surat Ibrani paling banyak
mengungkapkan kata leitourgia. Teks-teks khusus pada surat tersebut mencatat
dengan gamblang perluasan makna kultis yang diartikan sebagai pelayanan imam,
yang turut dipakaikan pada Yesus Kristus, pelayan imamat atau Litourgos satu-
satunya (8:1-13, 9:15, 25-26, 28 dan 10:12).140
Imamat Kristus merupakan
pelayanan yang mengandung makna penggenapan berdasarkan fakta historis.
Selanjutnya, Perjanjian Baru menyatakan, bahwa liturgi memiliki makna yang
varian. Liturgi bisa berarti ibadat atau doa kelompok kecil Kristiani (Kis. 13:2);
pelayanan pewartaan Injil (Rm. 15:16); sumbangan sebagai tindakan amal kasih
138
Bosco Da Cunha & O. Carm, Teologi Liturgi dalam Hidup Gereja, Malang: Dioma, 2004, hlm. 16; Emanuel
Martasudjita, Pengantar Liturgi., op.cit., hlm. 15-16; F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK.
Gunung Mulia, 1994, hlm. 150. Pemberian makna kultis dibuat oleh Kelompok Septuaginta (LXX), abad ke-3. 139
G. Riemer, Cermin Injil, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1995, hlm. 11. 140
Adolf Adam., op. cit., hlm. 3.
Page 99
99 Perayaan Kehidupan
bagi saudara seiman di tempat lain (2 Kor. 9:12); sikap beriman sehari-hari (Rm.
13:6) dan bisa juga berarti pelayanan Kristen yang luas (Flp. 2: 25) pada zaman
sesudah para rasul (postapostolic period), seperti diakonia, marturia, oikonomia.141
Dengan beberapa variasi perkembangan makna yang tercatat, maka dapat
disimpulkan bahwa liturgi dalam Perjanjian Baru bersifat vertikal dan horizontal
sekaligus. Artinya, bahwa liturgi dihubungkan dengan pelayanan umat kepada Allah
dan sesama umat dan semua orang.142
Liturgi bukan hanya pada bidang ibadat saja,
tetapi bisa juga mencakup bidang kehidupan yang lebih luas, lebih holistik. Liturgi
dalam Perjanjian Baru, tidak bermakna antitesis, pelayanan kepada Allah dipisahkan
dari pelayanan di dalam dunia. Sebaliknya, pelayanan bermakna dialektis, yaitu
pelayanan secara pribadi maupun komunitas yang ditunjukan kepada Allah, selalu
berbaringan untuk kepentingan komunitas itu sendiri.143
Perkembangan selanjutnya, liturgi baru dimasukan ke dalam perayaan ibadah
gereja sekitar abad ke-12.144
Khusus abad pertengahan liturgi hanya mencakup
perayaan ekaristi. Tetapi pada abad ke-16, liturgi oleh Gereja-gereja Reformasi,
liturgi dimaknai sebagai ibadat gereja. Semboyan untuk liturgi reformasi ialah
liturgia reformata semper reformanda. Liturgi senantiasa berada dalam proses
membarui diri berdasarkan penilaian teologis dari generasi berikut.145
Gereja Katolik Roma juga menggunakan kata sifat liturgicus (Lat.) untuk hal-hal
yang berkaitan dengan ibadah. Lalu berurut-urutan, abad 18, tahun 1947 (Mediator
Dei) dan akhirnya pada Konsili Vatikan II, Gereja Katolik Roma membakukan
141
Ibid., hlm. 3. 142
David R. Ray, Gereja yang Hidup, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2011, hlm. 9. 143
Albinus L. Netti, Ibadah dan Tata Ibadah Dalam Permenungan, Salatiga: Satya Wacana University Press,
2014, hlm. 50-51. 144
Rasid Rachman, Pengantar, op. cit., hlm. 3. 145
Adolf Adam, op. cit., hlm. 4.
Page 100
100 Perayaan Kehidupan
istilah “liturgi” dalam konstitusi liturgi Konstitusi Liturgi, Sacrosanctum Concilium
(SC) untuk menyebut peribadatan gereja.146
Dalam kurun perkembangan yang berlanjut dalam gereja, liturgi, walaupun
mengalami penyempitan, namun memiliki isi teologi yang sangat luas. Isi teologi ini
dipakai untuk mendefinisikan liturgi sebagai perayaan iman akan karya keselamatan
Allah dalam Kristus, yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung,
bersama gereja-Nyadi dalam ikatan Roh Kudus.147
Definisi ini lahir dari pergumulan reflektif gereja-gereja selama berabad-abad
terhadap perbuatan Allah yang menyelamatkan, melalui pengorbanan Yesus
Kristus: mati dan bangkit yang dibuat nyata oleh Roh Kudus. Liturgi menjadi
perayaan karena peristiwa kebangkitan, memaklumkan semua karya Allah. Karya
inilah yang menjadi titik tolak liturgi sebagai perayaan gereja dan semua orang
percaya. Dari sini berarti pelaku atau pelaksana liturgi ialah Yesus Kristus dan
gereja-Nya. Ini pula yang dimaksud dengan subyek liturgi.
Dalam definisi ini, termuat beberapa pokok dimensi teologis. Pertama, perayaan
liturgi merupakan buah karya Allah Tritunggal, Bapa, Yesus Kristus dan Roh
Kudus. Kedua, subyek pelaksana liturgi, ialah Kristus dan gereja dalam arti organis,
umat yang berkumpul (ekklesia) maupun lembaga. Ketiga, oleh karena dimensi
soteriologis dari perayaan berlaku kosmik, maka subyek perayaan juga bersifat
kosmik, yaitu seluruh ciptaan merayakan karya keselamatan yang dialami dalam
Yesus Kristus.
Gereja dipanggil untuk mengalami persekutuan di dalam dan bersama Kristus,
serta ciptaan-Nya. Gereja memiliki prioritas tersendiri untuk merayakan secara
146
Emanuel Martasudjita, Pengantar Liturgi, op.cit., hlm. 20-21. 147
Adolf Adam, op.cit., hlm. 8-9.
Page 101
101 Perayaan Kehidupan
simbolis karya keselamatan itu sebagai persekutuan utuh menuju kepenuhannya
terhadap Allah. Itulah dimensi yang eskatologis di balik perayaan liturgi.
1. Liturgi adalah Kegiatan Ibadah
Walaupun telah diperoleh definisi tentang liturgi, namun dalam sejarah
perkembangannya, jika dicermati secara teknis pemakaian istilah, liturgi
mengalami penyempitan. Istilah liturgi (leitourgia) sendiri adalah salah satu
istilah yang dipakai untuk menyebut ibadah Kristen. Ibadah dalam Perjanjian
Baru, dipakai untuk menunjuk pertemuan (Ibr. 10:25), perkumpulan atau
berkumpulnya orang-orang/jemaat yang percaya Yesus (Mat. 18:20; 1 Kor.
14:23; 26).
Selain istilah liturgi (litourgia) yang dipakai untuk menyebut ibadah,
terdapat dua istilah lain yang sama halnya, yakni latreia (dalam bahasa Ibrani
abad/abodah. Berdasarkan konversi Kristen, istilah ini berarti melayani,
mengabdikan seluruh hidup: Kis. 26:7; Luk. 2:37) dan threskeia
(penyembahan atau pemujaan yang sangat kultis: Yak. 1:26, 28; Kol. 2:18).
Kedua istilah belakangan, tidak akan dijelaskan lanjut di sini.
Meskipun istilah liturgi adalah pengambilalihan dari konteks sekuler
(termasuk dua istilah yang telah disebutkan tadi), namun istilah liturgi
dianggap paling cocok untuk ibadah Kristen, selain dua istilah tadi.
Penelusuran Albinus L. Netti, menyatakan bahwa istilah liturgi lebih terkenal
dari dua istilah lain untuk menunjuk ibadah Kristen.148
Dari penjelasan ini, mau dikatakan, bahwa: Pertama, berdasarkan
etimologisnya, istilah liturgi sesungguhnya adalah ibadah meski dapat
dibedakan. Dari sini berarti liturgi identik dengan ibadah dan kedua istilah
148
Albinus L. Netti, op. cit., hlm. 39-47.
Page 102
102 Perayaan Kehidupan
dapat dipakai bergantian. Pemakaian kata berdasarkan asal-muasal kata
berbeda karena mengalami terjemahan dari bahasa yang satu ke bahasa lain.
Liturgi adalah salah satu bahasa (berasal) dari sekian bahasa yang dipakai
untuk ibadah.149
Dari segi bahasa, liturgi terbatas dan sempit sedangkan ibadah dari segi
bahasa sangat luas. Sebab ibadat adalah tindakan konkret iman, seperti pujian,
doa dan sekaligus juga tindakan perwujudan iman, seperti perbuatan kasih
kepada sesama, yaitu menolong orang miskin, dst,. Tindakan iman dan
perwujudan iman ini dilakukan sebagai respon atau jawaban atas perbuatan
Kasih Allah dalam Yesus yang menyelamatkan manusia (katabis= gerakan
dari Allah ke manusia). Ibadah lebih merupakan tindakan satu arah dan lebih
bersifat pribadi.
Sementara liturgi memang hanya dimaksudkan sebagai tindakan untuk
mengungkapkan iman dalam sikap doa, pujian yang menyatakan iman dan
hubungan lain yang kultis, seperti taat mempersembahkan persepuluhan atau
kolekte.
Dalam perkembangannya, istilah liturgi semakin dipersempit dalam gereja.
Hingga sekarang ini istilah tersebut sering dimengerti sebagai suatu rangkaian
sistematis yang mengatur ibadah, yaitu kertas liturgi.
Kedua, berdasarkan bobot teologis, Emanuel Martasudjita menyampaikan
perbedaan mutlak bahwa liturgi memiliki isi peristiwa perayaan lebih luas
daripada ibadah. Penelusurannya menyatakan bahwa liturgi mencakup suatu
komunikasi dua arah sekaligus yanga saling terkait, yakni Allah yang
149
James White memberikan data untuk menggambarkan ibadah berdasarkan beberapa bahasa, di antaranya,
bahasa Inggris, Yunani, Latin, dan Jerman. James White, Pengantar Ibadah Kristen (terj), Jakarta: BPK.
Gunung Mulia, 2011, hlm. 12-17, 33.
Page 103
103 Perayaan Kehidupan
menguduskan dan menyelamatkan manusia, dan sekaligus manusia
menanggapi pengudusanAllah itu dengan memuliakan dia (anabatis = gerakan
naik).150
Semua ini berlangsung di dalam Yesus Kristus. Lanjutnya, ia
memberikan penegasan bahwa jika dicermati tekanan ibadah sangat terletak
pada aspek gerakan naik (anabatis) saja.
Ketiga, dilihat dari segi liturgis, kegiatan berliturgi selalu merupakan
tindakan komunal atau bersama, yakni perayaan seluruh jemaat atau gereja
(organis atau lembaga), dan bukan tindakan pribadi saja, misalnya devosi
pribadi. Sedangkan, tindakan ibadah masih bisa menunjuk tindakan pribadi.
Kemudian, liturgi selalu bersifat resmi karena perayaan liturgi merupakan
gereja mengungkapkan jati diri atau hakikat asli dirinya secara resmi.
Sebaliknya, ibadah masih terbuka pada tingkatan yang selalu tidak resmi.
Alasannya kembali pada tindakan ibadah yang dapat dilakukan secara pribadi
atau individu.
Hematnya bahwa, pembedaan ini memberi kejelasan bahwa liturgi dan
ibadah justru terkait erat secara etimologis maupun teologis. Mengingat
istilah-istilah yang muncul untuk menggambarkan ibadah sangatlah varian,
yang umumnya condong pada Perjanjian Baru.
Menurut Abineno, istilah-istilah yang sangat varian ini memiliki esensi
yang sama dan sejajar. Oleh karena, dalam Perjanjian Baru tidak ada istilah
yang jelas terbatas untuk menggambarkan ibadah Kristen.151
Istilah-itilah yang
ada menggambarkan satu substansi, yaitu ciri kultis dan devosi yang diarahkan
kepada Allah. Menurut usulan yang perlu diberikan di sini agar terjadi
150
Emanuel Martasudjita, Pengantar Liturgi, op. cit., hlm. 26-30. 151
J. L. Ch. Abineno, Jemaat: Ujud, Peraturan, Susunan, Pelayanan, Pelayanan-Pelayanannya, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1983, 72-73.
Page 104
104 Perayaan Kehidupan
penghubungan yang sederhana dan mendalam, ialah bahwa liturgi itu sendiri
ialah kegiatan ibadah. Kegiatan ibadah ini berbentuk perayaan seremonial di
gereja maupun praksis. Praksis inilah yang menjadi penekanan sebagai jalan
penghubung yang baik untuk mengartikan liturgi sekaligus ibadah.
Johny E. Riwu Tadu menyampaikan, bahwa sebagai subyek liturgi, gereja
menunjukan liturgi dalam ibadah dan praksis. Praksisnya menunjuk pada aksi
dan refleksi iman orang-orang percaya. Aksi ibadah meliputi pelayanan,
tindakan, tingkah laku, hidup keagamaan, spiritualitas, praksis hidup, cara
berpikir, pola pikir, dan menanggapi.152
Semua ini berlaku dalam sikap hidup
dalam kehidupan sehari-hari. Sikap ini dilakukan sebagai representasi
perayaan yang setia, tunduk, dan hormat.153
2. Liturgi: Cakupan, Sifat dan Dimensi
Menurut definisi liturgi yang telah diberikan sebelumnya, bahwa liturgi
merupakan perayaan terhadap karya keselamatan Allah, mengindikasikan
bahwa perayaan liturgi tentu amat dalam dan luas untuk dikaji. Dalam maksud
yang luas ini, tentu memiliki sifat oikumenis, dinamis, personal dan relasional.
Oleh gereja, liturgi sendiri mengandung dimensi eklesiologis, sosial, pastoral
dan ekologis, sangat multidimensi.154
Sifat-sifat dan dimensi-dimensi liturgi
tersebut terbuka bagi banyak cara untuk menyorotinya. Demikian sebaliknya,
liturgi amat kaya untuk menyoroti berbagai isu dari salah satu dimensi teologis
yang terkandung di dalamnya.
152
Johny E. Riwu Tadu, Liturgika I, Pdf., hlm. 1-2. 153
Christop Barth, Teologi Perjanjian Lama III, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986, hlm. 96. 154
E. Martasudjita, Makna Liturgi Bagi Kehidupan Sehari-hari; Memahami Liturgi Secara Kontekstual,
Yogyakarta: Kanisius, 1998, hlm. 13.
Page 105
105 Perayaan Kehidupan
1.2. Ekoteologi
Menurut Larry L. Rasmussen, istilah „ekologi‟ terbentuk dari dua kata dasar
Yunani, yaitu oikos (rumah, tempat tinggal) dan logos (kata, uraian). Secara harfiah,
ekologi berarti logika tentang rumah, atau pengetahuan tentang struktur dan
dinamika tentang rumah tangga, bagaimana rumah tangga dikonfigurasikan dan
dijalankan dengan baik.155
Rumah tangga di sini berarti suatu tatanan alam semesta
yang utuh, yaitu bumi dan segala isinya sebagai sebuah habitat, baik anorganis
maupun organisme makhluk hidup.
Istilah ekologi sendiri, seperti yang dikenal sekarang, dipopulerkan oleh seorang
ilmuwan, seorang murid Charles Darwin, Ernst Heinrich. Haeckel, pada tahun 1970.
Olehnya, istilah ini menunjuk pada pengaturan atau ekonomi alam. Pusat
perhatiannya ialah pada pengaruh interaksi dari binatang dengan lingkungan organis
maupun anorganis.156
Sebagai studi, ekologi berarti penyelidikan mendalam dan sistematis tentang
organisme-organisme dalam jagat raya. Umumnya, ekologi dilukiskan sebagai
penyelidikan mengenai hubungan-hubungan antara planet, hewan, manusia, dan
lingkungan hidup serta keseimbangan di antaranya. Ekologi juga dipahami sebagai
ilmu tentang keseluruhan organisme di kawasan beradanya;157
ilmu tentang tatanan
dan fungsi alam atau kelompok organisme yang ditemukan dalam alam dan
interaksi di antara mereka, supaya terjadi interkasi yang harmonis.158
Dari sudut teologis, ekologi harus dilihat dalam bingkai korelatif secara
teosentris, bepusat pada Allah Pencipta. Pusat ini secara teologis menjadi mutlak,
155
Larry L. Rasmussen (terj.), op. cit, hlm. 157-158. 156
Peter Calow (ed.), Blackwell’s Concise Encyclopedia of Ecology, Malden: Blackwell Science, Inc., 1991,
hlm. 36. 157
Jill Bailey, op. cit., hlm. 77. 158
William Chang, Moral Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm. 13- 14; Mateus Mali dalam A.
Sunarko dan A. Eddy Kristiyanto (ed.), Menyapa Bumi Menyembah Yang Ilahi; Tinjauan Teologis Atas
Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 2008, hlm. 137.
Page 106
106 Perayaan Kehidupan
sehingga terbuka dengan luas, bahwa pendekatan ekologi bagi pembicaraan
lingkungan adalah pendekatan yang bermakna etis teologis. Sehingga seluruh
kerangka ekologi dapat disebut dengan istilah ekoteologi (etika ekologi Kristen).159
Ekoteologi dimengerti sebagai refleksi sistematis manusia terhadap karya
penciptaan Allah, dengan menempatkan diri sebagai salah satu bagian yang tak
terpisahkan dengan ciptaan lain (ekosentris/ekologi dalam). Dalam posisi itulah,
segala makhluk lain dan lingkungannya memperoleh pertanyaan sebagai siapa,
bukan sebagai apa, untuk menunjuk dimensi subyektif ciptaan lainnya dalam
hubungan dengan manusia. Allah adalah kuasa personal yang berdaulat,
menciptakan alam yang signifikan etis. Maka himbauan ekoteologi ialah memahami
sifat moral dari ciptaan alam semesta oleh Allah dan anugerah pemulihannya.160
Untuk memahami ciptaan dan sifat moralnya secara reflektif, maka yang perlu
dilakukan ialah memahami Pencipta. Dalam hubungan inilah, dapat diperoleh
pandangan dan perilaku yang cukup untuk berinteraksi dengan ciptaan lain.
2. Liturgi dan Ekologi: Point of Contact
Liturgi sangat memberi ruang yang luas untuk membangun wawasan dan
mengembangkan spiritualitas yang menuntun orang beriman pada tindakan hidupnya.161
Karena liturgi berhubungan erat dengan berbagai dimensi teologis dan kehidupan, maka
spiritualitas yang diperoleh dapat mencapai refleksi iman, yang terimplikasi pada
praksis; berupa aksi dan refleksi moral, yang diarahkan khusus pada kepedulian dan
pengelolaan lingkungan.
Keterbukaan liturgi adalah hasil dari kemultidimensian maknanya, sebagai sebuah
perayaan yang terbuka pada semua konteks kehidupan, baik yang mikro, yakni konteks
159
Robert P. Borrong, op. cit., hlm. 157-160. 160
Ibid.,hlm. 175-176; Ian A. McFarland (ed.), The Cambridge Dictionary Of Christian Theology, New York:
Cambridge University Press, 2011, hlm. 156-157. 161
Celia Deane-Drummond, op. cit., hlm. 100.
Page 107
107 Perayaan Kehidupan
kehidupan manusia maupun konteks makro, yaitu alam semesta. Sedangkan liturgi
dalam dimensi yang luas adalah hasil dari apa yang dilakukan Yesus, yakni dampak
pengorbanan-Nya yang mencakup bagi semua ciptaan secara utuh. Hingga seluruh
ciptaan memperoleh wujudnya yang baru. Jadi, ihwal liturgi maupun kemulitidimensian
maknanya berpusat pada Kristus (kristosentris).
Dengan demikian, liturgi dalam arti luas ini, secara imperatif, merupakan puncak dan
sumber dari seluruh kehidupan manusia, termasuk bergereja. Liturgi mengungkapkan
seluruh pribadi gereja.162
Sebab dalam liturgi, seluruh gereja, umat dan segenap ciptaan
turut dipanggil untuk merayakan karya keselamatan Allah bagi segenap ciptaan.163
Panggilan itu ialah panggilan untuk berpartisipasi, menjaga, melestarikan dan
mengelola alam dan lingkungan secara sadar dan benar. Karena itu, bila yang dipanggil
adalah gereja dan segenap ciptaan, maka panggilan dimaksud ialah panggilan akbar
(kosmis), untuk menunaikan tugas akbar. Dan liturgi yang demikian disebut liturgi
akbar164
yang bersifat devosi dan doxologis ciptaan terhadap Allah.165
Begitupun
sebagai aksinya (praksis), liturgi dapat menilik persoalan lingkungan, apa pun. Secara
praksis, teolog Sri Lanka, Aloysius Pieris S.J., menandaskan tesis bahwa liturgi gereja
sebetulnya sama dengan liturgi kehidupan.166
Dari sini timbul pengertian bahwa
bersikap terhadap alam atau lingkungan dalam asumsi iman, maka itulah saat di mana
liturgi berlangsung dalam kehidupan.
Oleh karena itu, hubungan liturgi dan pencemaran lingkungan sebagai krisis ekologis
dimaknai sebagai sikap orang beriman untuk memandang lingkungan hidup sebagai
162
E. Martasudjita, Pengantar Liturgi., op. cit, hlm. 112-113. 163
Johny E. Riwu Tadu, op. cit, hlm. 4; E. Martasudjita. Liturgi; Pengantar Untuk Studi dan Praksis Liturgi, op.
cit., hlm. 97-98. 164
Tom Berry, Kosmologi Kristen. Maumere: Penerbit Ledalero, 2013, hlm. 118. 165
Andrew Hoffecker & Gerry Scott Smith (ed.), Membangun Wawasan Dunia Kristen (Jilid 2). Surabaya:
Momentum, 2008, hlm. 63; Bnd. H. Bavinck, Dogmatika Reformed (Jilid 2); Allah dan Penciptaan. Surabaya:
Penerbit Momentum, 2012, hlm. 511-512; James F. White, op. cit., hlm. 17-19. 166
A. Pieris, dalam Fredrik Y. A. Doeka, op. cit., hlm. 19; Georg Kirchberger & John Mansford Prior, Hidup
Menggereja Secara Baru Di Asia II, Ende: Nusa Indah, 2001, hlm. 158.
Page 108
108 Perayaan Kehidupan
media berliturgi yang baik dan berkenan kepada Allah.167
Semua ini dapat berlaku
secara afektif (perasaan), yaitu bahwa Allah hadir di dalam lingkungan alam ini. Alam
ini dilihat sebagai ruang penyataan Allah dan sekaligus ruang perayaan.168
Heater Eaton
menyebut alam sebagai ruang perayaan dengan istilah liturgi kosmis.169
Simbol-simbol
yang disediakan oleh alam seperti air, anggur, bunga, pohon, batu dan lain sebagainya
merupakan sarana bagi umat untuk melihat kehadiran Allah dalam karya penyelamatan.
Jika demikian, bagaimana bila terjadi pencemaran lingkungan hidup oleh keterbatasan
pengelolaan sampah, sedangkan lingkungan hidup adalah sarana berliturgi dan ruang
perayaan?
Liturgi pada hakikatnya adalah semangat perayaan atau ungkapan dialogis seluruh
ciptaan atas perbuatan-perbuatan yang dahsyat dari Tuhan, maka ekoteologi adalah
semangat untuk mengembalikan seluruh ciptaan dalam interaksi yang harmonis. Jika
liturgi sempurnanya adalah alunan nada dan irama perayaan oleh ciptaan, maka
ekoteologi adalah sinergitasnya, agar ciptaan memiliki daya tahan mengalunkannya.
Jika liturgi adalah sabda yang dikumandangkan untuk memberi kekuatan pada ciptaan,
maka ekoteologi adalah sabda yang dilakonkan oleh ciptaan. Jika liturgi adalah visi bagi
langit baru dan bumi baru, maka ekoteologi adalah misi dan motivasi untuk
mewujudkannya.170
Jika dengan liturgi, manusia merayakan karya keselamatan
anugerah yang dikaruniakan oleh Allah melalui jalan kematian Kristus, maka
ekoteologi mendorong dan memotivasi pengerjaan, karya keselamatan itu, sebagai jalan
kehidupan.
Dari upaya penghubungan ini, kiranya menjadi terang, bahwa liturgi, baik secara
seremonial (tata ibadah), mau pun dalam pengertian otentiknya, dapat menjadi sarana
167
Liturgi dan Ekologi - KAIROS.htm. 2 Juni 2014. 168
Andrew Hoffecker & Gerry Scott Smith (ed.), op. cit., hlm. 80. 169
Tom Berry, op. cit., hlm. Vii, 119; Bnd. Hans Urs Von Balthasar, Cosmic Liturgy. San Francisco: Ignatius
Press, 1971. 170
Tohom T. M. Pardede, Liturgi Bernuansa Kepedulian Lingkungan, Pdf. Duta Wacana.
Page 109
109 Perayaan Kehidupan
yang tepat sebagai faktor pembangun wawasan lingkungan. Ekoteologi secara reflektif
maupun secara aksi, dapat mengimplementasikan penghayatan liturgi atau ibadah
melalui praksisnya, yakni ke dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti, liturgi adalah baik
pengungkapan iman, mau pun pengalaman iman yang memberi dampak pengutusan
untuk hidup di dalam dunia untuk menjadi pelaku misi kehidupan.
Keterhubungan antara ekoteologi dan liturgi, pada akhirnya merupakan pertemuan
yang misiologis, berlangsung secara kristosentris dan dalam bingkai Trinitaris.
3. Landasan Ekoteologi-Liturgis
Istilah Trinitas yang akrab dalam teologi Kristen, pertama kali diperkenalkan oleh
Tertulianus (120-225), Bapa Gereja dari Kartago, Afrika Utara. Istilah yang
diperkenalkannya ini mau menunjuk pada tiga pribadi (Bapa, Anak dan Roh Kudus)
yang disaksikan Alkitab sesungguhnya adalah satu substansi.171
Dalam rumusan teologi sampai sekarang ini, pengakuan Trinitas adalah detak
jantung kekristenan. Herman Bavinck menegaskan bahwa sebagai jantung, semua
teologi dan doktrin yang salah, dapat ditelusuri melalui Trinitas.172
Hal yang searah
ditandaskan oleh Leonardo Boff (1987), seorang Roma Katolik yang menyebut diri
teolog dunia ketiga, atau teolog pembebebasan, memahami Trinitas sebagai istilah yang
menunjuk pada dua hal. Pertama, dapat menjadi istilah pengungkapan iman Kristen.
Kedua, dapat menjadi penjelasan iman. Menyebut Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus
merupakan pengungkapan iman. Sedangkan, menyebut Allah Tritunggal, dengan satu
kodrat dan tiga Pribadi atau tiga cara berada (Jerman: seinsweise; Inggris: Mode of
171
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994, hlm. 56. 172
Herman Bavinck, op. cit., hlm. 321.
Page 110
110 Perayaan Kehidupan
Being173
) merupakan penjelasan iman. Penjelasan iman inilah yang disebut dengan
teologi.174
Di sini, teologi liturgi hendak dijelaskan dalam bingkai Trinitas, yaitu penjelasan
iman mengenai liturgi sebagai perayaan karya keselamatan Allah. Istilah teknis untuk
bingkai yang dipakai ialah Trinitaris. Trinitaris menurut Karl Barth, merupakan ciri atau
prinsip penstrukturan berteologi yang sistematis dengan melihat seluruh karya Allah,
dalam tiga Pribadi-Nya yang berlangsung dalam fakta sejarah, mulai dari penciptaan
hingga penggenapan.175
Dengan kata lain, secara teologis, liturgi adalah salah satu
bagian dari merayakan seluruh karya Allah. Bahkan menjadi pokok penting yang
dikembangkan dalam alam pikiran dan praktik kekristenan. Karena liturgi dihubungkan
dengan karya monumental Allah, yakni keselamatan.
3.1. Pokok-pokok Teologis
Oleh karena landasan teologi itu bersifat sistematis dan di sini dibahas secara
Trinitaris, maka pokok-pokok teologis yang dibangun mengacu pada sumber-
sumber utama dari tiga orang teolog, yaitu Emanuel Martasudjita, Leonardo Boff
dan Herman Bavinck. Pemilihan acuan ini dilakukan berdasarkan dua alasan, yaitu
alasan umum dan khusus. Alasan umumnya, ialah bahwa ketiganya sangat
trinitarian dalam berteologi. Secara konsisten ketiganya mengutamakan prinsip
berteologi yang trinitaris. Sedangkan alasan khususnya, mengacu pada spesifikasi
teologi mereka. Martasudjita mengembangkan teologi liturgi yang Trinitaris. Boff
dalam teologinya, mengedepankan penjelasan persekutuan bagi penjelasan Trinitas
173
Istilah yang diperkenalkan teolog abad 20, K. Barth, menunjuk pada tiga Pribadi dari Allah yang Esa. K.
Barth, Church Dogmatics I/I, Edinburgh: T & T. Clark., 1936, hlm. 355; Veli-Matti Karkkainen, Tritunggal dan
Pluralisme Agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013, hlm. 23. 174
Leonardo Boff, Allah Persekutuan, Maumere: Ledalero, 2004, hlm. Xiii. 175
Veli-Matti Karkkainen., op. cit., hlm. 7.
Page 111
111 Perayaan Kehidupan
dan Bavinck, memberikan gagasan Trinitaris yang lebih ekologis, yaitu anugerah
memulihkan alam.
3.1.1. Liturgi Trinitas: Allah yang Berliturgi
Litrugi sebagai karya Tritunggal: Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh
kudus, merupakan karya yang dirayakan. Karya itu adalah karya pelayanan
keselamatan. Dalam karya tersebut, juga semua karya Allah – setiap apa yang
menjadi pekerjaan yang dilakukan satu Pribadi dalam perannya, dapat
merupakan pekerjaan yang sekaligus dilakukan Pribadi lain yang sederajat
substansinya (Trinitas oikonomia).176
Secara teknis, peran tiap-tiap Pribadi
adalah cara menunjukan kesiapaan dari tiap-tiap Pribadi, dari satu Allah.177
Setiap karya yang dilakoni secara Pribadi, dilangsungkan dengan
pengikutsertaan Pribadi lain secara harmonis. Pengikutsertaan itu terjadi
melalui kemampuan berelasi sebagai pribadi-pribadi (Trinitas imanen).
Demikian setiap karya Trinitas adalah berprinsip simultan.178
Harus diakui bahwa dalam pengakuan iman (credo) dan rumusan liturgi,
pekerjaan penyelamatan dihubungkan khusus dengan Yesus Kristus, tetapi itu
tidak berarti bahwa Allah Bapa dan Allah Roh Kudus absen. Sehingga ketika
terjadi perayaan terhadap keselamatan, umat dan seluruh ciptaan hanya
merayakan satu nama. Tidak begitu. Perayaan dilayankan bagi ketiganya, tetapi
dalam satu nama, yakni Yesus Kristus, pusat perayaan (Yoh. 14:13; Ef. 1:6;
Kol. 1:27). Emanuel Martasudjita, mengeksplorasi hal ini secara trinitaris, yaitu
bahwa memang Yesus, Anak Allah, dalam karya pelayanan, berdiri menjadi
176
John Polkinghorne, The Trinity and an Entangled World, Michigan: Wm B. Edermans Publishing Co., 2010,
hlm. X. 177
………, Science and the Trinity: the Christian Encounter with Reality, New Haven and LondonYale:
University Press, 2004, hlm. 91. 178
Ebenhaizer L. Nuban Timo, Allah Menahan Diri Pantang Berdiam Diri, Salatiga: KDT, 2012, hlm. 76.
Page 112
112 Perayaan Kehidupan
pelakon korban sembelihan, saat itu. Ia menjadi subyek yang melakukan aksi
itu, tetapi di saat yang sama, Allah Bapa turut menjadi subyek pendukung aksi
itu (Yoh. 10:30) dan Roh menjadikan semua pekerjaan itu tercapai (Gal. 4:6;
Rm. 8:9).179
Semua pekerjaan berasal dari Bapa, termasuk karya keselamatan. Dalam
segala pekerjaan, baik Bapa, maupun Anak dan Roh Kudus, melakukannya
secara bersama. Begitu juga karya khas tiap Pribadi. Masing-masing karya
yang khas dari tiap Pribadi tidak dapat dilakukan tanpa Pribadi lain (Trinitas
ekonomi simultan). Pekerjaan penciptaan, misalnya, dikenal sebagai karya
Allah Bapa, tetapi pada saat yang sama, Allah Anak dan Roh Kudus turut
berperan di dalamnya.180
Di situ mau dikatakan bahwa setiap Pribadi tidak
merupakan pemain tunggal dalam berkarya. Setiap pribadi tidak pernah
berpisah, unik dan tidak pernah bercampur. Demikian juga setiap karya tidak
dilakukan dalam kesepian dan kesendirian. Setiap karya tidak dilakukan secara
terpisah-pisah dan eksklusif (2 Kor. 13:13).181
Karena itu, karya penyelamatan
yang dirayakan sebagai liturgi adalah karya persekutuan, karya Tiga Pribadi,
keTritunggalan dalam Kesatuan (Mat. 28:19: 1 Kor. 12;4-6; Ef. 4:4-6; 1 Ptr.
1:1-2; Yud. 20, 21).
3.1.1.1. Mengafirmasi Trinitas
Leonardo Boff, menggali kembali istilah teologi Yunani yang terkubur
sejak abad ke-6 untuk memindai Trinitas sebagai model teologi
pembebasan. Istilah itu ialah perikhoresis. Perikhoresis memiliki arti
179
Emanuel Martasudjita, Pengantar Liturgi, op. cit., hlm. 99-100. 180
Herman Bavinck, op. cit., hlm. 319-320. 181
Leonardo Boff, op. cit., hlm. Xi-xiii.
Page 113
113 Perayaan Kehidupan
bahwa di dalam Trinitas, setiap Pribadi “mengandung”182
kedua Pribadi
yang lain, setiap Pribadi meresapi yang lain, satu tinggal dalam yang lain
dan sebaliknya, yang lain tinggal dalam yang satu. Istilah ini menurut
Boff, merupakan istilah yang paling pas untuk menggambarkan Trinitas
dalam setiap pribadi dan karya-Nya. Beliau mengatakan:
Saya mempertahankan rumusan Yunani perikhoresis karena saya tak menemukan
ungkapan yang lain yang lebih tepat dan lebih baik. Segala hal dalam Trinitas....
bersifat perikhoresis.183
Dalam pengertian ini, sejarah serta ciptaan sendiri telah mencatat bahwa
karya keselamatan merupakan karya Allah, yang dalam pengertian
ekonomis merupakan tugas khas yang dilaksanakan dalam Yesus Kristus:
mati dan bangkit-Nya, sebagai pelaksanaan amanat kasih Sang Bapa, yang
menopang pekerjaan itu. Apa yang dilakukan Anak, akan selalu merupakan
kehendak Bapa; dan komunikasi karya penyelamatan itu, baik dalam
prosesnya saat di atas kayu salib, mau pun implikasi pemulihan ciptaan
(penciptaan kembali) dari karya itu, di saat kebangkitan, dilakoni oleh Roh
Kudus.184
Penjelasan ini kelihatannya sederhana, walaupun sesungguhnya cukup
sukar dimengerti, bahwa keber-sama-an adalah sifat yang konstan.185
Kebersamaan dimaksud harus dijelaskan lagi dengan istilah kehadiran.
182
Kata “mengandung”, menurut asumsi teologis penulis, agaknya harus berhati-hati, seperti yang ditulis Boff.
Istilah ini, harus dimengerti dalam dua hal. Pertama, menunjuk pada kesatuan tiga Pribadi secara kekal; Dua
Pribadi ada di dalam Satu, tidak diciptakan dan sudah ada dari kekal hingga kekal. Kedua, menunjuk pada
kesehakikatan sifat kekal Tiga Pribadi dari Allah yang satu, yang mampu saling berada sebaliknya di dalam dua
pribadi lain sekaligus. Kesimpulannya ialah, istilah “mengandung” jangan dimengerti secara instrumental bahwa
Dua Pribadi datang dari luar, terpisah dan tinggal di dalam Pribadi yang Satu. 183
Leonardo Boff, op. cit., hlm. Xii. 184
H. Bavinck, op. cit., hlm. 10. 185
Harus diakui bahwa menjelaskan Trinitas memang cukup sukar dan tidak pernah ada penjelasan yang
sempurna dari sudut manusia. Maka, semua penjelasan tentang Trinitas harus diakui sebagai penjelasan dari
yang terbatas (manusia) terhadap yang tidak terbatas (Allah). Istilah untuk ini ialah finitum non capax infiniti.
Page 114
114 Perayaan Kehidupan
Dalam Pribadi yang satu, dihadiri Pribadi yang lain. Yesus menyatakan
maksud keber-sama-an itu demikian, “percayalah kepada-Ku, bahwa Aku
di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yoh. 14:11; 10:31). Orang yang
merasa mustahil terhadap pernyataan Yesus tadi, tentu memaksa diri
menjawab pertanyaan Yesus, yang pada hal bersifat retoris, “Tidak
percayakah engkau bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku?”
(ayt. 10).
Gambaran saling menghadiri dalam pernyataan Yesus adalah hakikat
ke-Allah-an, dan itu terjadi melalui Roh Kudus. Roh Kudus berasal dari
Bapa dan Anak. Roh Kudus yang keluar dari Bapa (Yoh. 15:26) dan Anak
(Yoh. 14:16; Gal. 4:6; Rm. 8:9), bukan seperti hikmat atau materi,
melainkan sebagai kuasa dan kekuatan. Roh Kudus yang berasal dari Bapa
dan Anak selalu mengerjakan segala sesuatu untuk Bapa dan Anak,
sehingga Bapa dipermuliakan di dalam Anak (Mat. 3:16, 17; Luk. 3:22;
Yoh. 13:31; 14:13), juga sebaliknya (Yoh. 13:32; Kis. 5:31; Flp. 2:9). Dan
di dalam kerendahan Anak, Bapa ditinggikan (Flp. 2:11).
3.1.1.2. Periwayatan Identitas Liturgi Trinitaris
Dalam liturgi, keselamatan sebagai sumber utama untuk dirayakan
memiliki riwayat yang amat panjang. Riwayat ini menurut para teolog
disebut sejarah penyelamatan. Sejarah itu, dimulai dari kekekalan.
Kekekalan didiami oleh Allah yang bersekutu dan bersatu, Allah yang Esa,
Allah persekutuan (Bapa, Putera dan Roh Kudus). “Pada mulanya adalah
Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah
Allah” yang bersekutu (Yoh. 1:1). Persekutuan ini sedari awal mula tanpa
Page 115
115 Perayaan Kehidupan
awal mula. Sedari kekal kepada kekekalan tidak diciptakan.186
Sebaliknya,
Persekutuan tersebut ialah persekutuan yang menciptakan segala realitas
yang sejak mulanya menjadi ada, yakni penciptaan itu sendiri (Kej. 1:26)
dan realitas yang kini ada. Bavinck menyatakan bahwa dua realitas ini
merupakan esensi dari kekristenan.
Dua realitas tersebut, menurutnya diciptakan berdasarkan ide
persekutuan, yakni Tiga Pribadi yang bersekutu. Bahkan dalam prosesnya,
dua relitas tersebut akan juga ditebus di dalam Yesus Kristus dan diciptakan
kembali oleh anugerah Roh Kudus.187
Karena “semua telah diserahkan
kepada-Ku oleh Bapa-Ku” (Mat. 11:27) dan “.. seluruh kepenuhan Allah
berkenan diam di dalam Dia” “.. yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak
menerima segala yang ada.” (Kol 1:19; Ibr. 1:2; Yoh. 1:14), sehingga di
dalam Dia, Allah dipermuliakan. Ini berarti, Kristus ada di pusat seluruh
karya (penciptaan) Allah. Di dalam Yesus, realitas pertama dapat
menyatakan bahwa “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”
(Kej.1:1), “segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan tanpa Dia tak ada suatu
pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yoh. 1:3). Realitas
kedua, menyatakan bahwa “dan oleh Dialah, Ia memperdamaikan segala
sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga,
sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus” (Kol. 1:20).
Ciptaan keluar dari Bapa melalui Anak dan di dalam Roh Kudus. Sehingga,
186
Leonardo Boff, op. cit., hlm. 78-79. 187
Herman Bavinck, op. cit., hlm. 9-10.
Page 116
116 Perayaan Kehidupan
di dalam Roh dan melalui Anak, ciptaan diperdamaikan dan boleh kembali
kepada Bapa.188
Pada realitas pertama, menyatakan bahwa dalam bentuk persekutuan,
Allah menciptakan segala sesuatu di dalam dan melalui Sang Anak (Ibr.
1:2). Peran-Nya di sini, menurut Albert Wolters, ialah sebagai pengantara
(pen)ciptaan.189
Dalam penciptaan sebagai kekhasan Allah, terlibat pula
Anak-Nya. Allah membentuk segala sesuatu dengan Firman (Ibr. 11:3) dan
Roh (Kej. 1:2) dalam Sang Anak. Bagi Bavinck, penciptaan oleh Allah
Bapa melalui Sang Anak dilihat dalam bentuk praeksistensi, yaitu Hikmat
dan Logos.190
Dalam bentuk tersebut, kemudian diciptakan-Nya segala
sesuatu itu beragam, yang oleh Roh Kudus dijadikan secara kreatif (Kej. 1,
2) sebagai prinsip ciptaan. Dihembuskan-Nya kehidupan dan kehidupan itu
tampak (Kej. 2:7; Kel. 15: 8, 10; Maz. 33:6). Ciptaan berangsur-angsur di
dalam Roh Kudus, yang berkarya secara generatif, sehingga ciptaan
berkembangbiak.191
Dalam persekutuan, segala ciptaan ditopang dan
dipelihara, hingga proses kehidupan terus berlangsung. Setiap hari terus-
menerus dibentuk oleh “..jadilah.., maka jadilah demikian.”, sehingga
terjadi siklus kehidupan.192
Dalam pengamatan menyeluruh, Allah mengevaluasi bahwa sangat baik
dan berkebajikan193
keutuhan ciptaan-Nya (Kej. 1:31). Termasuk dalam
keutuhan ciptaan, manusia diciptakan berdasarkan gambar dan rupa Allah,
188
…………………, (Jil. 2) op. cit., hlm. 511. 189
Albert M. Wolters, Pemulihan Ciptaan, Surabaya: Momentum, 2009, hlm. 30. 190
Herman Bavinck., op. cit., hlm. 530. 191
Jay B. Macdaniel, With Roots and Wings, Christianity in an Age of Ecology an Dialogue, New York: Orbis
Books, Maryknoll, hlm. 180. 192
Albert M. Wolters, op. cit., hlm. 18. 193
Geoffrey W. Bromiley, Introduction To The Theology of Karl Barth, Michigan: Grand Rapids, 2001, hlm.
118.
Page 117
117 Perayaan Kehidupan
serta harus hidup di dalam pola relasi persekutuan dan perjanjian (berith)
bersama Allah. Perjanjian ini, disebut oleh Anthony H. Hoekema dan
beberapa teolog lain, dengan istilah kovenan kerja, yang menunjuk pada
ketaatan manusia menatalayani ciptaan.194
Bagi Harun Hadiwijono, salah
satu tujuan penciptaan, khususnya manusia, adalah untuk dijadikan sebagai
sekutu Allah.195
Ia dipercayakan menjadi mitra dan penatalayan ciptaan
Allah yang lain. Antara perjanjian dan mitra, keduanya menjadi dasar
bagian dalam ciptaan.196
Kemitraan dan penatalayanan manusia,
dilangsungkan bersamaan dengan berbagai larangan. Namun, dalam kondisi
memungkinkan, dirusaknya relasi persekutuan dengan Komunitas Ilahi,
yakni dengan Allah. Ditolaknya pola hidup persekutuan dan memilih
ketidaktaatan. Ia memindahkan sendiri esensinya dari relasinya – sebagai
makhluk yang bersekutu bersama Allah – kepada eksistensi otonom, yang
mau hidup menjurangi Allah.197
Ia berpisah dan terasing diri dari Allah
(Kej. 3:7-11), terasing satu sama lain dan ciptaan lainnya (ayt. 14-19; 9:1-
6),198
terasing dari jangkauan hidup kekal dan terasing dari taman Eden
(ayt. 24). Akibatnya yang luas, dosa merembesi dirinya dan suluruh ciptaan
194
Dalam perkembangan teologi Kristen, perdebatan mengenai kovenan dalam hubungannya dengan
penciptaan, diperdebatkan tentang masih relevankah kovenan kerja (teolog lain, seperti Kline dan Robert lebih
memilih menyebutnya dengan istilah kovenan penciptaan) sejak Allah memandatkan Adam untuk menatalayani
ciptaanNya? Teolog-teolog yang masih mempertahankan ide kovenan kerja ini antara lain, H. Bavinck, Charles
Hodge, RobertnL. Dabney, William G.T. Shedd, Geerhardus Vos, Meredith Kline, O. Palmer Robertson dan
Louis Berkhof. Sedangkan penggugat ide ini yang paling tersohor ialah G.C. Berkouwer, dalam bukunya
Reformed Dogmatics, yang diterbitkan tahun 1966. Ide ini ditentang karena alasan bahwa kovenan anugerah
lebih layak menggantikan kovenan ini. Sebab, kepala kovenan bukan lagi Adam, melainkan Yesus. Jadi, dalam
membicarakan tentang teologi kovenan saat ini, harus menunjuk pada kovenan anugerah. Anthoni H. Hoekema,
Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, Surabaya: Momentum, 2008, hlm. 152-157. 195
Ibid., hlm. 127-128; Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995, hlm. 148. 196
Geoffrey W. Bromiley, op. cit.,hlm. 130; Clifford Green (Pnyt.), Karl Barth: Teologi Kemerdekaan, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2003, hlm. 222-226. 197
Paul Tillich, Systematic Theology (eds. Combine: 1-3). London & Beccles: James Nisbet & CO LTD., 1968,
hlm. 41-46. 198
Glen H. Stassen & David P. Gushee, Etika Kerajaan, Surabaya: Momentum, 2003, hlm. 577.
Page 118
118 Perayaan Kehidupan
kehilangan kemuliaan Allah.199
Jadi, realitas ciptaan pertama adalah realitas
kejatuhan. Manusia gagal dalam menaati kovenan Allah.
Realitas kedua, menyatakan bahwa ada desakan mendasar oleh Allah
untuk memperbaiki keadaan yang sudah rusak itu dan mengupayakan
kembalinya kemuliaan Allah dalam ciptaan (Yes. 65:17-19; Rm. 3:22-
23).200
Desakan itu dimulai dengan mengevaluasi dampaknya terhadap
persekutuan yang dibangun dengan ciptaan. Karena sejarah keselamatan
mencatat, beberapa hal: Pertama, mengingat bahwa penciptaan itu sendiri
adalah buah perkenanan Tuhan Allah dalam Persekutuan Trinitas. Dalam
persekutuan ini, Allah dipermuliakan dan sekaligus mengkomunikasikan
diri sebagai Allah yang bersekutu, yaitu Allah yang Esa. Kedua, mengingat
bahwa pada prosesnya, ciptaan mengalami keberdosaan dan mencemari
semua maksud Allah tersebut. Di situ kasih Allah perlu dinyatakan. Dengan
demikian, Allah perlu mengkomunikasikan diri lagi secara konkret,
langsung. Itu sebabnya, Yesus Kristus sebagai Pencipta turun ke dalam
rupa ciptaan.
Komunikasi konkret ini tentu mempertimbangkan bobot kerusakan
akibat dosa sangat besar dan luas (kosmik). Dosa menjalar dari satu
makhluk ke seluruh makhluk (nefesy). Rintihan dan keluhan dialami semua
makhluk (Rm. 8:22; bdk. Kel. 2:24; 3:7). Maut dan kebinasaan adalah
bagian yang tak terhindarkan bagi semua makhluk. Manusia, secara khusus
199
Albert. M. Wolters, op. cit., hlm. 63. 200
Hermann Reidderbos, Paulus; Pemikiran Utama Teologinya, Surabaya: Momentum, 2013, hlm. 89-90.
Page 119
119 Perayaan Kehidupan
memilih terikat diperhamba dosa karena takut kepada maut, dibanding
memilih hidup bebas dalam relasi persekutuan (Ibr. 2:15).201
Melihat ini semua, konsensus kasih Ilahi (Yoh. 1:1; 3:16) tercapai
dengan memilih jalan komunikasi konkret untuk penyelamatan. Tindakan
ini dilihat sebagai tindakan profetis yang bersifat kosmik, yaitu
mempertahankan, mengembalikan, melindungi dan memulihkan segala
sesuatu.202
Yesus adalah pelaksananya. Ia merupakan pusat pemilihan
segala tindakan penyelamatan Allah. Ia ditunjuk menjadi kepala kovenan.
Sehingga Ia, dalam kedatanganNya, mengemban misi Anugerah Allah.
Dalam hal inilah, kovenan Allah dapat disebut kovenan anugerah.
Yesus Kristus, sebagai Allah Anak, menuruti kehendak Bapa untuk
memasuki realitas ciptaan yang jatuh ke dalam dosa. Kedatangan-Nya
dirintis oleh Roh Kudus, yaitu cara memasuki daging (Mat. 1:18, 20).
Kedatangan-Nya sebagai Pencipta yang mau menjadi bagian dalam ciptaan,
walau Ia bukan ciptaan. Ia tinggal “.. di antara kita” (Yoh. 1:14) dan “..
mengambil rupa seorang hamba” (Flp. 2:7). Yesus hidup sebagai Allah
sekaligus manusia. Dengan tidak bedosa, menyetarakan diri dengan
manusia berdosa. Apa yang menjadi bagian kodrat manusia dirasainya (Ibr.
4:15) hingga pada akhir yang menentukan dalam konsistensi-Nya, Ia rela
mati di kayu salib sebagai Allah sekaligus Manusia. Kemudian Ia, oleh
kuasa Allah, dibangkitkan untuk tercapainya semua maksud kedatangan,
yakni keselamatan: pemulihan segala sesuatu dan perdamaian segala
sesuatu dengan Allah (Kol. 1:20).
201
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2011, hlm. 238. 202
Anthony Hoekema, The Bible and the Future, Grand Rapids: Edermans, 1979, hlm. 274-287.
Page 120
120 Perayaan Kehidupan
Dalam kematian-Nya, tampak bahwa Allah sedang berkurban (Ibr.
10:12). Allah dalam rupa Anak Manusia (being made in human likeness)203
memerankan peran imam sekaligus kurban, satu kali untuk selama-lamanya
(7:21; Maz. 110:4). Sebagai Imam, Ia mempersembahkan diri-Nya sebagai
kurban (Ibr. 7:27) di atas mezbah Golgota. Sebagai kurban, Ia tidak
bercacat cela (9:14).
Surat Ibrani (9:14) memberi kesaksian tersebut, “.. betapa lebihnya
darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya
sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan
menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia supaya
kita dapat beribadat kepada Allah yang hidup” “.. beribadah di dalam Roh
dan Kebenaran” (Yoh.4:23).
Di dalam Yesus, Allah dalam rupa Anak, tampak sedang beribadat
mewakili Allah sekaligus mewakili manusia: merendahkan diri dan taat
(Flp. 2:8) melakukan kehendak Allah Bapa, “.. sungguh Aku datang
melakukan kehendak-Mu” (Ibr. 10:9). Demikian semua itu dilakukan,
mulai dari persembahan darah dan penyerahan diri Kristus dalam Roh
Kudus kepada Bapa, sampai pada penerimaan kembali diri-Nya di dalam
Roh Kudus, yaitu kebangkitan (Ibr. 9:14). Semua yang dilakukan Yesus itu,
adalah sebuah wujud di mana Allah Tritunggal sedang berliturgi (pelayanan
keselamatan) dan Yesus Kristus sebagai pelayan liturgi (leitourgikos). Ini
sebuah liturgi sejati.204
Liturgi dari Allah Persekutuan.
203
J. Knox Chamblin, Paulus dan Dirinya, Surabaya: Momentum, 2009, hlm. 63. 204
Emanuel Martasudjita, Pengantar Liturgi, op, cit., hlm. 99-100.
Page 121
121 Perayaan Kehidupan
3.1.1.3. Liturgi Allah Persekutuan: Sebuah Liturgi Restoratif dan
Inkorporatif
Dengan semua karya yang dilaksanakan Allah di dalam Yesus Kristus,
maka diperoleh bukti bahwa liturgi, pertama sekali, dilaksanakan secara
Persekutuan, yakni oleh Allah. Liturgi ini tidak sama dengan liturgi kultik
sebagaimana manusia laksanakan. Liturgi tersebut adalah hasil karya
Trinitas. Dilakukan dalam peran tiga Pribadi di mana Yesus tetap sebagai
pusatnya.
Persekutuan yang berliturgi ini, hendak melaksanakan pelayanan
keselamatan dan memulihkan relasi bukan hanya bagi persekutuan itu
sendiri, tetapi juga bagi keselamatan seluruh ciptan-Nya. Itu berarti, liturgi
pertama-tama adalah liturgi keselamatan. Sebuah liturgi anugerah yang
restoratif (memulihkan), merekonstruksi kerusakan, dengan sifat oikumenis
dan kosmik-ekologis mencakup seluruh ciptaan.
Dengan demikian dari karya liturgi ini, realitas kedua merupakan
realitas perayaan, yang memperoleh tempatnya untuk dilaksanakan oleh
seluruh ciptaan, lebih khusus manusia. Jadi, seluruh liturgi manusia saat ini
pada akhirnya juga harus menjadi liturgi yang partisipatoris ke dalam liturgi
Allah tadi. Umat berliturgi sebagai bentuk tanggung jawab iman yang
dirayakan karena karya keselamatan Allah diperoleh bagi umat dan ciptaan-
Nya yang lain.
Jika tadi liturgi Allah adalah liturgi yang restoratif, itu berarti liturgi
gereja saat ini merupakan liturgi hasil restorasi inisiatif Allah terhadap
ciptaan. Liturgi sejatinya adalah karya Allah yang berkorban dengan
Page 122
122 Perayaan Kehidupan
mengurbankan diri sendiri untuk keselamatan, maka semua jenis liturgi
gereja saat ini adalah penginkorporasian diri secara kultis-seremonial dan
praksis ke dalam karya keselamatan Allah. Secara kultis-seremonial terjadi
dalam tata ibadah di dalam gereja dan secara praksis, terjadi dalam praktek
hidup konkret. Sehingga, inkorporasi diri itu, yakni bagi dan bersama dalam
Kristus ialah demi kemuliaan Allah Bapa. Itulah liturgi model Trinitaris.
Liturgi ini memiliki banyak konsekuensi multidimensi.
3.1.2. Liturgi Sebagai Karya Roh Kudus
Liturgi sejati telah diperoleh, bahwa pertama sekali dan sejati, liturgi dimulai
dari Allah, di mana Kristus menjadi pusat-Nya. Jadi, liturgi adalah tindakan
Kristus. Kemudian dari pada itu, Roh menarik seluruh ciptaan, khususnya
manusia untuk turut secara aktif dan bertanggung jawab masuk ke dalam liturgi
Allah. Hingga saat ini semua orang pada segala tempat dan segala waktu,
memperoleh liturgi anugerah itu dan dirayakan di dalam gereja dan kehidupan.
Pada titik ini Roh Kudus merupakan perpanjangan karya liturgi Allah melintasi
zaman. Melintasi berbagai dimensi. Pekerjaan-Nya merambah ke seluruh
ciptaan. Roh mempersekutukan satu individu dengan sesamanya, dan manusia
dengan Alam. Roh mengintegrasikan manusia dari keterasingannya menuju
Allah. Serta seluruh ciptaan lain terhisap ke dalam persekutuan dengan Allah
Tritunggal.
Itu sebabnya, peran Roh di sini ialah menjadikan karya keselamatan yang
liturgis (dilayankan) menjadi nyata. Ia mengaruniakan Injil yang liturgis
(keselamatan: pemulihan, pembebasan, penciptaan kembali, pemeliharaan,
Page 123
123 Perayaan Kehidupan
hidup205
) menjadi nyata. Ia mengkoplementirkan karya Allah menjadi konkret
dan menyatu dalam dan untuk kehidupan (“.. diam di dalam kamu.” Yoh.
14:17). Berlangsung senantiasa (Mat. 28:20; Yoh. 14:16).
Melalui Roh Kudus, Allah mempersekutukan diri-Nya dengan ciptaan di
dalam tubuh Kristus. Melalui Kristus, di dalam Roh Kudus, gereja
diciptakan206
. Menurut teolog protestan, Louis Berkhof, gereja diciptakan
sebagai persekutuan orang-orang percaya (communio fidelium) kepada
Allah.207
Secara fungsional, gereja menjadi buah karya khas Roh Kudus
menjadi alat bukti yang mengerjakan keselamatan dalam dua bentuk: Pertama,
bentuk perayaan iman yang seremonial. Dalam seremoni ibadah, Roh
mendorong umat untuk melakukan anamnese (mengenang untuk sadar,
mengingat dalam penghayatan Yoh. 14:26)208
dan epiklese (seruan memohon
penebusan Kristus melalui Roh Kudus) terhadap karya Allah di dalam Yesus.
Roh Kudus di dalam dan melalui gereja, umat dan ciptaan lain mengalami
pengudusan dan pemulihan secara berangsur-angsur. Sehingga dalam peran-
Nya, umat turut merayakan keselamatan Allah. Itulah ibadah umat. Dari ibadah
ini, Roh bertindak mendorong secara aktif agar perayaan iman umat yang
seremonial-kultis menjadi praksis iman yang nyata. Itulah bentuk kedua.
Perayaan yang berlaku dalam dua bentuk tersebut merupakan nilai
partisipatoris dari liturgi – sebagai karya Roh Kudus yang mempersekutukan.
205
J. L. Ch. Abineno, Roh Kudus dan Pekerjaan-Nya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975. hlm. 18-19. 206
Penciptaan ini bukan berarti diciptakan dari ketidakadaan, tetapi diciptakan dari apa yang sudah ada, yaitu
umat Allah yang terbentuk dalam Perjanjian Lama (qahal Yahwe). Jadi, gereja Kristen adalah Israel sejati.
Donald Gutrhrie, op. cit (Jilid. 3)., hlm. 27-29. Harun. Hadiwijono, op. cit., hlm. 363. 207
Louis Berkhof, op. cit., hlm. 31. 208
Tom Jacobs, Paulus; Hidup, Karya dan Teologinya, Yogyakarta: Kanisius, 1983, hlm. 309.
Page 124
124 Perayaan Kehidupan
Roh mempartisipasikan ciptaan, bagi dan bersama Kristus, untuk memuliakan
Allah dalam kehidupan persekutuan yang luas lebar (kosmik).
3.1.3. Pelayan Liturgi: Kristus dan Gereja-Nya sebagai Subyek Liturgi
Dalam bangunan teologi di atas, diperoleh kerangka bahwa liturgi merupakan
karya keselamatan Allah yang ditindak di dalam Kristus (lih. teologi 3.1.1.).
Sementara Roh Kudus menjadikan tindakan tersebut menjadi nyata dalam
kehidupan seluruh ciptaan (lih. teologis 3.1.2.). Tindakan pneumatologis itu
menjadi tindakan yang eklesiologis. Maka, di sini diperoleh kesimpulan bahwa
liturgi yang Trinitaris mencakup kristologi sekaligus eklesiologi. Di situ
tampak prinsip simultan, sebagaimana yang tampak dalam prinsip Trinitaris.
Yaitu, berlaku secara serentak. Ini berarti, apa yang menjadi tindakan liturgis
Kristus harus menjadi tindakan gereja. Sebuah tindakan melalui dan bersama
gereja-Nya. Serta apa yang menjadi tindakan liturgi gereja, adalah partisipasi
ke dalam tindakan Kristus. Sebuah tindakan bagi dan bersama Kristus.
Liturgi sebagai tindakan Kristus (kristologi) adalah tindakan
mempersembahkan diri, guna keselamatan dan memulihkan ciptaan.209
Ia
adalah imam Agung dan kurban sejati. Ia mempersembahkan diri kepada Bapa,
dan Bapa menerima persembahan diri-Nya dalam Roh Kudus. Sedangkan,
liturgi sebagai tindakan gereja adalah merayakan tindakan Kristus tersebut,
gereja menjadi tubuh Kritus yang melayani.210
Dengan demikian di dalam
perayaan, Allah dipermuliakan. Pemuliaan Allah, oleh gereja, tampak dalam
aktivitas ibadah dan aktivitas praksial.
209
Margaret Barker, The Great High Priest: The Temple Roots of Christian Liturgy, New York: T&T Clark Ltd,
2003, hlm. 55. 210
Emanuel Martasudjita, Perngantar Liturgi, op. cit., hlm. 107.
Page 125
125 Perayaan Kehidupan
Bila ibadah dalam gereja, mengikuti pengertian liturgi yang hakiki,
sebagaimana yang telah disampaikan, maka ibadah sesungguh adalah perayaan
iman gereja terhadap karya Allah di dalam Kristus. Maksudnya, ialah
perkumpulan orang yang terpanggil bersekutu, merayakan dan menanti
penggenapan keselamatan. Pekerjaan ini bukan dilakukan satu kali untuk
selama-lamanya, melainkan pekerjaan yang berulang-ulang dan senantiasa.
Karena itu, ibadah atau liturgi, berdimensi eskatologis. Ibadah atau liturgi
menjadi ekspresi mensyukuri karya keselamatan itu.
Dalam skop yang amat luas, yang oikumenis sebagai sifat liturgi Reformasi
yang hakiki,211
gereja di mana pun secara praksial, melakukan tindakan
liturgisnya mencakup seluruh aspek kehidupan. Perayaannya mesti menjadi
perayaan bersama. Suatu perayaan kehidupan dalam arti yang mungkin tidak
dapat dibatasi. Aksi imannya, ditunjukan dalam bentuk pelayanan konkret,
selain hanya pelayanan kultis di dalam gedung. Setiap liturginya, harus
mengisyaratkan kehidupan, keadilan dan perdamaian, bukan untuk Allah, tetapi
untuk segenap ciptaan. Setiap pemberitaannya (firman/injil) harus
menghidupkan umat, bukan untuk Allah, sebab Allah pada diri-Nya adalah
kehidupan itu sendiri. Dari sini, gereja yang hidup dan melayani, adalah
individu-individu yang melayani kehidupan untuk kemuliaan Allah. Itulah
panggilan gereja sebagai subyek.212
B. Refleksi Ekoteologis-Liturgis terhadap Persoalan Mendasar Pengelolaan
Sampah Rumah Tangga di Kelurahan Oeba
Berdasarkan dasar tinjauan ekoteologis-liturgis di atas, ada tiga hal yang menjadi pokok
refleksi. Pertama, persekutuan liturgis sebagai pembentuk paradigma dan moralitas
211
Oikumenis menjadi sifat liturgi Reformasi yang hakiki. Racid Rachman, op. cit., hlm. 161. 212
Adolf Adam, op. cit., hlm. 10-11.
Page 126
126 Perayaan Kehidupan
yang Kristosentris. Kedua, perayaan kehidupan: praksis liturgi dalam pengelolaan
lingkungan. Dua pokok ini diuraikan dan disusul dengan implementasi refleksi, yaitu
pemintalan ide-ide refleksi yang disadurkan sebagai agenda. Itulah hal ketiga. Karena
itu, ketiga pokok ini akan direfleksikan sebagai berikut.
1. Persekutuan Liturgis sebagai Pembentuk Paradigma dan Moralitas yang
Kristosentris
Perayaan dalam pemaknaan manusia pada umumnya, menampilkan adanya unsuratau
ciri-ciri,seperti berkumpulnya banyak orang berdasarkan suasana yang sesuai apa yang
dirayakan atau obyek yang dirayakan. Unsur-unsur ini di antaranya terdapat dalam
upacara adat, pesta pernikahan dan ulang tahun. Unsur-unsur tersebut selalu ditentukan
oleh waktu dan ruang tertentu sehingga apa yang dirayakan dapat terlaksana. Karena itu
perayaan dalam pemaknaan seperti ini sangat terbatas sekali.
Hendri J.M. Nouwen, menyampaikan pokok-pokok inti sebuah perayaan kristiani
secara dualistik, yaitu bahwa perayaan tersebut hanya mungkin kalau ada kesadaran
mendalam bahwa kehidupan dan kematian tidak pernah terpisah sama sekali. Perayaan
ini hanya mungkin terjadi kalau ketakutan dan kasih, kegembiraan dan kesusahan, air
mata dan senyum dapat berada bersama. Perayaan adalah penerimaan kehidupan dalam
kesadaran yang terus berkembang bahwa hidup itu sudah diberi nilai yang baru.213
Nouwen, teolog Roma Katolik itu, tidak memulai pokok-pokok perayaan
sebagaimana yang dimaknai oleh manusia pada umumnya. Perayaan yang ia
maksudkan di sini menunjuk pada hakikat perayaan, yakni perayaan mesti menjadi
bagian mendasar dari kehidupan itu sendiri, sebagai aktualisasi diri dalam merespon
213
Henri J.M. Nouwen, Pelayanan Yang Kreatif (terj., oleh Pramuji Wahyuana & I. Suharyo), Yogyakarta:
Kanisius, 1986, hlm. 114.
Page 127
127 Perayaan Kehidupan
kehidupan (sebagai ungkapan syukur) yang diperoleh dari mati dan bangkitnya Anak
Allah.214
Merespon kehidupan menjadi bagian penting dalam menjalani hidup yang diberi
nilai. Nilai tersebut bukan dari hasil jerih payah pribadi, bukan juga karena prestasi
moral sendiri, melainkan karena Allah tak mampu melihat ciptaan-Nya terasing dari
persekutuan bersama-Nya. Itu sebabnya, Ia memilih untuk turun ke dalam dunia dengan
rupa ciptaan, yakni Yesus dari Nazareth (Yoh. 1:1-18).
Kedatangan Yesus ke dalam dunia memiliki maksud liturgis, yaitu bahwa Ia datang
mengorbankan diri sebagai bentuk di mana Allah sedang berliturgi. Liturgi Allah ini
mempunyai maksud mendasar, bahwa terciptanya kembali, relasi intim antara Allah
dengan ciptaan-Nya; antara manusia dengan sesamanya berserta alam ini, dalam ikatan
Roh Kudus. Sebab, selama belum terlaksananya pelayanan liturgi Allah, sebagaimana
yang terjadi di atas kayu salib dan menjadi genap dalam kebangkitan-Nya dalam rupa
manusia, selama itu pula, tidak akan terjadi suatu persekutuan yang dapat berlangsung
secara menyeluruh, di mana setiap ciptaan merasa layak memuliakan Allah dengan
bebas dan tidak ada hukum yang membawahinya (Mzm. 148:7-13).215
Hal ini berarti,
bahwa sesungguhnya liturgi yang dikaryakan Allah memiliki daya pembebasan.
Kematian Yesus menjadi simbol anugerah pelayanan yang Allah lakukan secara
Persekutuan (Bapa, Putera dan Roh Kudus). Sebagai simbol anugerah, kematian Yesus
merupakan jalan untuk mengkomunikasikan makna persekutuan, yang hakiki dan
berpusat pada-Nya. Karena itu, apa yang menjadi anugerah pelayanan, yakni liturgi itu
sendiri, pertama-tama adalah bersekutu dalam merayakan apa yang telah dibuat Allah
dalam sejarah dunia ini, yakni keselamatan dan pemulihan ciptaan yang terus
berlangsung (bnd. Yes. 65:17-25; Hos. 2:17-22; Kis. 3: 21; Rm. 8:20-22;).
214
Ibid.,hlm. 120. 215
E. H. van Olst, Alkitab dan Liturgi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999, hlm. 8.
Page 128
128 Perayaan Kehidupan
Liturgi yang sekarang ini dilaksanakan oleh gereja adalah hasil karya Allah di
dalam Yesus Kristus dan dilanjutkan oleh Roh Kudus dalam ruang yang tidak
terjangkau. Tetapi demi kepentingan umat Allah, maka hingga saat ini, gereja menjadi
tempat dan alat di mana karya Allah hendak dirayakan. Perayaan itu berlangsung
melalui apa yang disebut liturgi ibadah.
Banyak kali orang melihat, bahwa dengan masuk ke dalam gereja setiap hari
minggu, berkumpul dan beribadah dengan diatur oleh liturgi, dianggap telah cukup.
Ibadah dilihat sebagai pertemuan pribadi antara tiap individu dengan Tuhan, di dalam
komunitas orang percaya. Tidak dapat dijanjikan bahwa di dalam gereja, suasana
persekutuan yang hakiki itu dapat timbul hanya dengan hadirnya banyak orang, tetapi
tanpa liturgi yang sebenarnya mesti mengungkapkan persekutuan dan realitas hidup.
Tujuan ibadah hanya untuk memenuhi kebutuhan spiritual individu. Ditambah lagi, bila
tujuan ibadah tidak begitu mempersoalkan bagaimana liturgi itu berjalan dan dapat
mengarahkannya kepada suatu rahasia persekutuan yang luas, terlepas dari seremoni
ibadah dalam gedung gereja.
Dengan demikian, liturgi dari ibadah hanya menjadi sebuah pertemuan yang
sebenarnya bersifat individual dan tak mampu menyatukan pergumulan beriman secara
komunitas, untuk suatu misi kehidupan yang diarahkan pada hubungan persekutuan
dengan seluruh ciptaan.216
Ini semua memang tidak salah, tetapi bukankah ibadah resmi
seremonial dengan liturgi yang ada mesti benar-benar menjadi sebuah bentuk perayaan
bersama terhadap kehidupan yang dikaryakan Allah? Dan bukan sebuah kepentingan
individu di hadapan Allah?
Malcolm Brownlee, dengan cukup yakin menggambarkan pengertian iman pada
umumnya yang dimiliki sekian banyak orang Kristen di Indonesia. Ia mengatakan,
216
Marie Claire Barth & B. A. Pareira, Tafsiran Alkitab: Kitab Mazmur 73- 150, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1998, hlm. 516.
Page 129
129 Perayaan Kehidupan
bahwa pengertian iman yang dimiliki sekian banyak orang Indonesia adalah sangat
Individualis. Mereka menekankan ketenangan dengan Tuhan, dan meningkatkan
kesalehan. Tetapi, mereka tidak peduli akan pekerjaan Allah dalam dunia atau tanggung
jawab orang Kristen dalam masyarakat.217
Gambaran Brownlee ini setidaknya merupakan gambaran yang faktual, yang
sekarang ini masih benar-benar dipelihara oleh sekian banyak orang Kristen. Dalam
ibadah, setiap orang datang dan ingin sekali memperoleh suasana yang aman dan
tentram. Tetapi kesempatan itu, tidak begitu sensitif terhadap orang lain yang turut
mempunyai hak yang sama dalam ibadah. Gambaran ini membuktikan, bahwa ibadah
benar-benar tidak menggambarkan interaksi tiap individu dalam ibadah. Itu berarti, apa
yang diharapkan dalam liturgi yang seremonial sebagai perayaan iman, tidak sesuai
dengan model persekutuan.
Gambaran ibadah yang demikian, benar-benar bertentangan dengan model liturgi
yang Trinitaris. Model ini sesungguhnya menjunjung keterbukaan dalam arti panggilan
untuk bersekutu. Keterbukaan dari model ini mengedepankan nilai interaksi yang
timbul dalam persekutuan, antara Allah dengan ciptaan, dan manusia dengan
lingkungan, sebagai sesama ciptaan. Bila dalam ibadah yang demikian, satu sama lain
merasa diri bahwa paling tidak saling mengenali sesama dalam ibadah, saling memberi
senyum. Juga paling tidak merasa diri bahwa secara kolektif, masing-masing orang
terbentuk kemanusiaannya, jati diri, moralitas, paradigma hidupnya, di dalam
persekutuan, dan bukan terbentuk secara individual di luar persekutuan. Semua
pembentukan ini terjadi melalui perjumpaan etis antara pribadi dengan lainnya (Yoh.
13:14; 15:12; Rm. 13:12; 14:19; Gal. 5:26; Ef. 4:2; Yak. 5:16) dan perjumpaan kultus-
217
Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 199, hlm. 18.
Page 130
130 Perayaan Kehidupan
spiritual, antara semua pribadi dengan Yesus, kepala persekutuan.218
Pembentukan
tersebut, dalam liturgi, ambil contoh perayaan liturgi sakramen. Sakramen baptisan,
misalnya, memiliki maksud inkorporasi bahwa setiap orang dibaptis ke dalam kematian,
di salibkan dengan Kristus dan dikuburkan dengan Kristus. Atau juga bangkit bersama
dan mengenakan Kristus (Gal. 3:27). Ini semua mengandaikan hidup yang dihidupi
adalah hidup baru bersama Kristus. Itu berarti indikasi paradigma dan implikasi etis
(Rm. 6:12-14) yang terbangun memiliki tolok ukur kristologis.219
Model liturgi yang trinitaris adalah model yang anti terhadap nilai-nilai individual,
seperti pengasingan diri, egois, kosombongan, tinggi hati, menindas, dominasi, merusak
dan merasa hebat. Kecenderungan lain yang lebih membahayakan, ialah membawa
jemaat pada proses perohanian (penyalehan) diri, dan justru meninggalkan perkara-
perkara pelayanan iman.220
Sebaliknya, model trinitaris mengutamakan nilai
persekutuan yang bersifat moral di dalamnya. Nilai itu seperti saling berbagi,
kesetaraan, keadilan, kepedulian, keprihatinan, yang semuanya dibentuk oleh kesadaran
mendasar, bahwa di Golgota, Anak Allah telah mengupayakan nilai itu menjadi milik
kepunyaan pribadi.
2. Perayaan Kehidupan: Praksis Liturgi dalam Pengelolaan Lingkungan
Liturgi dalam arti tata ibadah, mestinya menjadi arahan kepada setiap pribadi untuk
dapat memberikan banyak pengungkapan iman, yang mengarahkan umat untuk dapat
merasa diri benar-benar merayakan arti hidup ini, di bawah pola-pola refleksi akan
liturgi mengenai Allah yang menyelamatkan.
Selain liturgi yangada tak mampu memberi pengungkapan iman dalam relasi antara
sesama seiman dan individualitasnya – liturgi yang demikian, masih terasa kurang
218
J. L. Ch. Abineno, Unsur-unsur Liturgia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010, hlm. 7. 219
Henk Ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama Lagi, Etika Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001,
hlm 100-102. 220
J. Douma, Kelakuan yang Bertanggung Jawab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010, hlm. 137.
Page 131
131 Perayaan Kehidupan
dalam mana liturgi harus mengungkapkan perayaan iman bersama lingkungan. Dapat
disaksikan bahwa pelayanan liturgi yang seremonial, frekuensi khotbah-khotbah, serta
kidung-kidung pujian yang menyatakan pemuliaan Allah oleh alam raya, belum begitu
dijadikan keutamaan.221
Para pelayan liturgi, khususnya di Jemaat Ebenhaezer Oeba (JEO), cenderung
memilih kidung-kidung pujian yang sangat antroposentris dibanding kidung-kidung
pujian yang menunjukan aktivitas alam sebagai salah satu pemuji Allah. Khotbah-
khotbah yang juga digemakan tidak begitu memperkenalkan Kristus yang pernah
datang ke dunia dan menjadi salah satu Makhluk kosmis. Kristus yang jarang
diperkenalkan sebagai Kristus yang mati termasuk bagi lingkungan alam ini, bagi
kosmos ini, termasuk manusia di dalamnya. Dengan kata lain, khotbah-khotbah tentang
kematian-Nya tidak berdimensi ekologis, atau sebaliknya alam tidak berdimensi
kekristusan (Kol. 1:16).
Gereja cenderung memperkenalkan Yesus Kristus yang muncul dalam kehidupan
manusia semata-mata, sebagai pahlawan dengan kekuatan kharismatis, menjawab
seluruh persoalan batin dan fisik manusia, terlepas dari alam. Injil tentang kematian
Kristus yang disoroti gereja, seolah-olah hanya mengedepankan kematian-Nya bagi satu
ciptaan saja, yaitu manusia.222
Padahal, tetesan darah Kristus dari tangan yang terpaku
dan lambung yang tertikam, pertama sekali menetes dan meleleh turun pada batang
kayu salib dan jatuh serta meresap ke dalam tanah. Ini dapat dikatakan sebagai tanda
bahwa alam terlebih dahulu menikmati tercucurnya darah Penebus. Fenomena
pemberitaan mimbar seperti ini, menurut kiasan David G. Buttrick, ialah bahwa Kristus
yang diberitakan seolah-olah adalah guntingan kardus berprofil Kristus memegang
221
N. J. Woly (Guru Besar FATEG, UKAW), wawancara. Senin, 09 Februari 2015. Setiawan Pattipeylohi
(Cavik JEO), wawancara. 14 Februari, 2015. 222
Admar Bofe, Roland Darmadi, dkk. (warga jemaat). Hasil Observasi dan Wawancara terhadap Jemaat
Ebenhaezer Oeba di E. 26. Desember 2014-Januari 2015.
Page 132
132 Perayaan Kehidupan
pedang dan tameng, untuk dijual pada mimbar-mimbar.223
Khotbah-khotbah, selalu
menyoroti bagaimana seorang Kristen mesti hidup saleh di tengah-tengah sesamanya,
dan hidup saleh di hadapan Tuhan tanpa melihat kehidupannya ditengah-tengah
lingkungan beradanya.224
Itu sebabnya, mengapa banyak orang Kristen dengan imannya
cenderung tidak begitu tanggap terhadap lingkungan hidup. Tidak begitu sensitif
terhadap lingkungan sebagai sebuah sorotan iman, bahwa lingkungan atau alam semesta
juga merupakan bagian komunitas kudus yang bersekutu dengan Allah.225
Bahkan
merupakan bagian dari tubuh Kristus.226
Dalam jadwal bacaan Alkitab pun demikian. Secara sinodal, Sinode GMIT
merancang bulan lingkungan hidup hanya pada bulan November. Pada bulan ini, liturgi
akan dibuat bertema lingkungan hidup. Bacaan dan khotbah akan mengarahkan pada
tanggung jawab iman mengelola lingkungan. Tetapi di minggu-minggu yang lain, nas-
nas khotbah tetap mengarah pada kesalehan hidup yang individualis antroposentris.
Bila terus menerus demikian, terdapat tiga kecenderungan. Pertama, iman jemaat
memang hanya terarah untuk peningkatan hidup yang condong kepada Allah
(teosentrisme). Pada saat yang sama, ia tidak sensitif terhadap lingkungannya dan
mementingkan individualitas dan kolektifitas dengan sesama. Arah iman jemaat
hanyalah mengupayakan selalu ke “surga”, tanpa melihat penebusan yang berlaku
menyeluruh. Kedua, moralitas yang terbentuk, akan merupakan moralitas yang melihat
nilai moral hanya terdapat pada manusia semata. Arah paradigma moral akan berpusat
pada hidup serasi hanya dengan sesama manusia. Dengan demikian, ciptaan lain dilihat
sebagai yang memiliki nilai pada dirinya secara subordinasi. Ketiga, aplikasi moral
cenderung bersifat fakultatif dan egois-instrumental. “Sejauh perbuatan tententu
223
David G. Buttrick, Memberitakan Kristus Dalam Khotbah, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1996, hlm. 13. 224
Hasil wawancara perbandingan dengan anggota jemaat sementara, Jemaat Betel Oesapa Barat. 225
Tom Berry., op. cit, hlm. 59 226
L. Boff, op. cit, hlm. 262-263.
Page 133
133 Perayaan Kehidupan
menguntungkan pribadi dan kelompok manusia, maka perbuatan itu baik dan berkenan
kepada Tuhan”, dibanding dengan memilih beretika dengan lingkungan hidup atau
berelasi baik dengan semua ciptaan. Ini berarti, etika dan wawasan etis yang terbangun
melalui liturgi dan khotbah-khotbah hanya akan dilihat dalam hubungan antarmanusia.
Etika hanya dilihat secara antroposentris (individualistis), tidak ekosentris yang
memiliki prinsip holistik.
Akumulasi dari kecenderungan berliturgi seperti demikian, tentu tidak begitu
memberi dampak konstruktif dalam perubahan paradigmatik yang sesuai dengan
harapan perayaan oleh persekutuan.
Terbalik dengan itu semua, bila liturgi intensif mengungkapkan makna perayaan
yang mencakup seluruh ciptaan, maka ia akan memberi dampak yang signifikan dalam
pemaknaan liturgi dan ibadah itu sendiri. Secara instrumental, liturgi seyogianya adalah
menciptakan persekutuan yang benar-benar merayakan kehidupan sebagai karya Allah.
Perihal perayaan kehidupan, maka dituntut tanggung jawab umat dalam mengelola
lingkungan, sebagai wujud mengelola keselamatan di dalam Yesus yang diperuntukkan
bagi umat. Keselamatan itu, bermakna tanggung jawab, bahwa manusia mengelola
lingkungan ini karena lingkungan alam ini mempunyai nilainya sendiri yang ada di
dalam dirinya dan harus dihormati oleh manusia.227
Tanggung jawab itu memiliki
makna yang baru sejak Allah berliturgi demi keselamatan. Tanggung jawab itu
memiliki arti imperatif moral, bahwa manusia harus taat kepada Allah dalam
“pengurusan”, “pemeliharaan”, “pengelolaan”, “penanganan” (Kej. 1:28-29).228
Itu
227
M. Mali dalam A. Sunarko dan A.E. Kristiyanto (ed.), Menyapa Bumi Menyembah Yang Ilahi; Tinjauan
Teologis Atas Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2008, hlm. 142-143. 228
FX. Hadisumarta dalam ibid., hlm. 57. Teks ini pun sering dipakai sebagai alat kritik, bahwa orang Kristen,
khususnya kristenitas Barat adalah biang dari krisis ekologis. Teks ini diklaim terlalu antroposentris-destruktif.
Bahkan tokoh pengeritik kristenitas dengan teks ini ialah, Lynn White, Jr., dalam karangannya The Historical
Roots of Our Ecological Crisis, 1967, no. 155., “kristenitas mengangkat beban berat rasa bersalah atas krisis
ekologis”. Karena itu, teks ini ditafsir ulang oleh para teolog untuk membantah tesis Lynn White; Wesley
Granberg-Michaelson, Ecology and Life, Waco: Word, 1988, hlm. 132.
Page 134
134 Perayaan Kehidupan
berarti, pada contoh kecil mengelola sampah merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari imperatif perayaan keselamatan.
Pekerjaan itu menjadi amat penting. Meninjau persoalan pengelolaan sampah yang
terbatas, di Kelurahan Oeba, dengan pertimbangan kesehatan masyarakat dan kesehatan
lingkungan, tentu pencemaran adalah akibat konkret dan logis. Pencemaran oleh
sampah rumah tangga banyak mendatangkan kerugian tertentu. Apa yang disebut
dengan lingkungan fisik dan biosfer, mengalami pencemaran dan kerusakan. Begitu
juga menurut pertimbangan dari sudut ekologis dan etika lingkungan, tentu masalah
tersebut merupakan akibat dari berbagai krisis. Krisis itu mencakup wawasan atau
paradigma yang dapat menentukan perilaku menyimpang dan terbatas dalam mengelola
sampah. Bahkan dari sudut tersebut, krisis lingkungan yang ditimbulkan dari sampah
yang mencemari, ada kaitannya dengan krisis spiritualitas.
Karena itulah, orang Kristen mesti memaknai betul spiritualitasnya yang bersumber
dari hubungannya dengan Allah dalam ibadah-ibadah yang dilakukan sebagai kegiatan
liturgi. Ibadah atau kegiatan liturgi mesti menjadi bagian penting yang dihidupi oleh
setiap komponen individu beriman, lebih khusus keluarga. Tiap keluarga dalam rumah
tangga adalah pelaksana lanjutan atas liturgi yang dimaknai dalam pelaksanaan ibadah
gereja.
Di dalam lembaga keluarga, liturgi lebih tampak konkret, saat mana kehidupan
keluarga mengaplikasikan maksud liturgi yang sebenarnya, yaitu pelayanan diri dalam
hubungan pengelolaan lingkungan, khususnya mengelola sampah rumah tangga. Dari
sini benar-benar tampak bahwa bagian dari mengelola lingkungan ini, yakni melakukan
upaya mengelola sampah yang benar merupakan praksis dari liturgi yang hidup dan
realistis.
Page 135
135 Perayaan Kehidupan
Liturgi yang otentik dalam kehidupan adalah liturgi yang berintegritas sampai ke
dalam perjuangan hidup sehari-hari. Artinya, bahwa ada kelanjutan dan keterhubungan
antara hidup doa dan mendengar firman Tuhan, dengan hidup sehari-hari. Ambil
contoh, sebuah keluarga atau salah seorang anggota dari satu keluarga, pergi beribadah
di gereja. Ibadah tersebut berlangsung khidmat dan khusyuk. Di dalam ibadah yang
demikian, keluarga itu memohon agar salah seorang anggota keluarga dapat sembuh
dari sakit. Tetapi, ketika pulang ke rumah, dalam hal mengelola makanan, sisa bahan
makan yang dikelola dibuang begitu saja di sekitar rumah. Lebih daripada itu, berkelahi
dengan tetangga atau bahkan anggota keluarga, perihal sampah yang dibakar dan dan
ditumpuk sembarangan. Pada contoh ini, perjuangan hidup keluarga itu dipisahkan dari
liturgi atau kegiatan ibadah dalam gereja. Dengan kata lain, perjuangan hidup seperti
ini, tidak menunjukan tanda-tanda liturgi atau tindakan perayaan kehidupan yang
selaras dengan lingkungan, maupun sesama manusia. Ibadah di gereja belum, bahkan
tidak terintegrasi ke dalam perjuangan kehidupan yang realistis.
Kehidupan yang liturgis lebih dari sekedar ibadah seremonial. Menuntut partisipasi
gereja, tiap individu dan seluruh komponen umat, untuk lebih bertanggung jawab
terhadap liturgi Allah di dalam Yesus. Tanggung jawab itu, ditunjukan dalam berbagai
pelayanan atau aksi konkret yang menunjukkan bakti syukur terhadap keselamatan
Allah (2 Tim. 4:5). Tujuan dari aksi tersebut hanya semata-mata demi Trinitas (Allah
Bapa, Putera dan Roh Kudus) dimuliakan dalam ciptaan-Nya.
3. Memintal Kerja Sama: Peran Bersama Gereja, Keluarga dan Masyarakat.
Liturgi adalah perayaan iman terhadap karya keselamatan Allah yang dikerjakan di
dalam Yesus Kristus, bersama gereja-Nya (subyek liturgi), dalam ikatan Roh Kudus.
Liturgi ini mengungkapkan nilai persekutuan yang memanggil gereja/umat Allah, dan
seluruh konponen masyarakat untuk aktif dan bertanggung jawab mengelola kehidupan
Page 136
136 Perayaan Kehidupan
dalam hubungannya dengan lingkungan. Liturgi yang dimulai dari Allah, sangat terbuka
bagi berbagai dimensi, termasuk dimensi ekologis. Karena itu, liturgi ibadah yang
dilaksanakan umat sekarang ini, menghimbau partisipasinya dalam mencerminkan dan
mengungkapkan prioritas pada makna keselamatan yang telah diperoleh bagi seluruh
ciptaan.
Liturgi sebagai kegiatan ibadah semestinya berlaku praksial, yaitu menjadi tindakan
konkret dalam hidup. Itulah inti liturgi atau ibadah itu sendiri. Liturgi sebagai bentuk
perayaan iman akan menjadi sebuah wujud mempersembahkan hidup untuk melayani
Allah dalam kehidupan. Persembahkan diri sebagai persembahan yang hidup (Rm.
12:1). Inilah yang menjadi pemaknaan hidup umat dalam hubungannya dengan peran
dirinya dalam lingkungan.
Liturgi sebagai perayaan hidup, jauh melebihi permainan yang kita mainkan pada
hari minggu pagi dalam sebuah gedung yang disepakati untuk bersekutu. Melalui kata-
kata, simbol, dan ingatan, liturgi memiliki kekuatan untuk menggerakkan orang
melampaui realitas statisnya. Liturgi sebagai perayaan kehidupan, melampaui dan
bertentangan dengan nilai-nilai individual. Liturgi dapat menolong setiap orang
memanggil kembali hal-hal yang mungkin telah dilupakan, yaitu menjadi makhluk yang
berkesaran moral. Ia memberi harmoni yang menyenangkan. Ia dapat mengubah
sekelompok individu menjadi komunitas orang percaya yang aktif dan peka terhadap
persoalan dan krisis lingkungan. Karena itulah, spiritualitas dan ibadah atau kegiatan
liturgi orang Kristen juga terarah pada mengelola lingkungan.
Persoalan pencemaran akibat keterbatasan pengelolaan sampah rumah tangga di
Kelurahan Oeba memang rumit dan taksa. Persoalan ini merupakan bagian dari
pergumulan liturgis dan ekologis, yang menuntut agar memperoleh penanganan konkret
dan berkelanjutan oleh berbagai pihak. Mulai dari, tiap pribadi, keluarga, gereja,
Page 137
137 Perayaan Kehidupan
pemerintah dan seluruh unsur masyarakat. Di sini keluarga dan masyarakat khususnya
perlu dijadikan basis dari pengelolaan sampah rumah tangga.
Sebagai basis, keduanya menjadi acuan di mana pengelolaan dilakukan secara
bersama. Bersamaan dengan itu, keduanya menjadi acuan, yaitu sebagai pihak yang
mengalami langsung kerugian, bahwa bila sampah tidak dikelola dengan baik.
Dalam basis ini, gereja dapat menghimbau bahwa pekerjaan pengelolaan
lingkungan adalah bentuk keharusan dari meresponi keselamatan Allah. Selain itu, turut
melaksanakan mengarahkan program-program yang sesuai dan tepat dalam
mengupayakan peningkatan kualitas lingkungan, yang dikerjakan bersama jemaat.
Begitu juga, tiap pribadi, dapat memulai mengelola sampah dari diri sendiri. Mulai
dengan mengakui pentingnya lingkungan yang sehat dan harmonis diperlukan bentuk
nyata pengelolaan sampah. Seseorang dapat menyadari bahwa satu botol plastik dapat
menghasilkan kerusakan tanah dalam waktu yang lama. Sebab itu, ia mesti mengatur
pola konsumsi dengan mengupayakan pemakaian ulang, daripada membuang
sembarang, apa lagi membakarnya.
Tiap rumah tangga dalam keluarga, misalnya, dapat memulainya dengan menahan
diri terhadap konsumsi berlebih dan berbahan anorganik, serta mengutamakan prinsip
3R. Seorang ibu rumah tangga dapat mengatur belanja dan konsumsi dengan lebih
mengarah pada bahan organik dan mengurangi konsumsi bahan sintesis. Seorang ayah
dan anak-anaknya dapat melakukan composting dari daun-daun kering atau kotoran
hewan. Pekerjaan lain yang dapat dilakukan dalam kelurga ialah, mengembangkan
pendidikan lingkungan. Orang tua dapat mendidik anak-anak secara praktik dan dialog,
tentang pengelolaan sampah.
Sedangkan pemerintah, khususnya PEMKOT (Pemerintah Kota) dan DINKESTAM
(Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Kupang), dalam perannya, menyediakan daya
Page 138
138 Perayaan Kehidupan
dukung terhadap pengelolaan sampah yang besar, dapat memfalitasi dengan efektif,
lokasi-lokasi yang perlu dibangun TPS. Termasuk intensif dalam mengangkutan,
penyapuan, penataan taman dan memberdayakan, serta mencerdaskan masyarakat
tentang penguasaan teknologi dan inovasinya.
Pekerjaan penanganan terhadap pengelolaan masalah yang ditimbulkan, bukan satu
atau dua kali kerja, melainkan harus dikerjakan secara teratur, strategis, sistematis, dan
terpadu, terus-menerus. Karena itu, membutuhkan kerjasama yang intensif antara
masyarakat, pemerintah gereja atau lembaga agama lain.
Kesimpulan
Liturgi dan ekologi memiliki kaitan erat. Bukan sekedar keduanya merupakan disiplin
ilmu. Tetapi pada hakikatnya, keduanya mengarah pada satu tujuan, yakni perayaan
(selebrasi) karya keselamatan Trinitas (Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus) bagi
ciptaannya. Keduanya bertemu dalam tujuan tersebut.
Liturgi sendiri, merupakan karya pelayanan, yang pertama sekali dilakukan oleh
Allah. Sejarah keselamatan, maupun sejarah dunia mencatat, bahwa Allah pernah
berkarya langsung dalam rupa manusia, dan sekarang ini berkarya dalam rupa gereja-
Nya. Dalam kaitan dengan makna keselamatan yang dihasilkan dari karya Allah di
dalam Yesus, dan keselamatan itu masih harus digenapi (dimensi eskatologis), maka
ada tugas penting yang harus dikerjakan dari sudut liturgi dan ekologi.
Ekologi mengerjakan bagian praksis liturgi, sebagai bentuk konkret merayakan
keselamatan. Dalam hal ini, kasus pencemaran yang ditimbulkan oleh sampah rumah
tangga, memperoleh porsi sorotan ekologi dan liturgi ini. Ekologi dan liturgi
menghimbau partisipasi umat Allah atau tanggung jawab orang Kristen, terkhusus di
Kelurahan Oeba, untuk mengelola lingkungan, dalam hubungan dengan pencemaran
Page 139
139 Perayaan Kehidupan
yang ditimbulkan sampah. Dengan demikian, nyatalah bahwa apa yang dikerjakan itu,
merupakan bagian dari perayaan kehidupan. Pemahaman seperti inilah yang perlu
dipegang dalam kesadaran tiap-tiap orang Kristen di tengah lingkungan beradanya,
sebagai salah satu komponen masyarakat.
Karena itu, tugas (agenda) penting yang masih harus dilakukan gereja, adalah
mengupayakan pemahaman dan paradigma moral ialah bersumber dari ibadah atau
kegiatan liturgi. Pekerjaan ini perlu dilakukan, mengingat terjadi krisis dalam
memaknai hidup, karena cenderung arti hidup dipisahkan dari lingkungan. Bahkan, arti
hidup tidak dimaknai sebagai tanggung jawab terhadap keselamatan yang Allah telah
kerjakan.
Page 140
140 Perayaan Kehidupan
Page 141
141 Perayaan Kehidupan
Page 142
142 Perayaan Kehidupan
PENUTUP
Bagian Penutup berisikan kesimpulan dan saran. Dua bagian Penutup ini merupakan
kesimpulan menyeluruh terhadap semua bab yang diuraikan. Ciri khas dari dari kedua bagian
dari bagian ini, tak lain bersifat hipotetik dan agenda. Karena itu, secara axiologis, studi ini
memiliki bobot nilai fungsional yang cukup signifikan dan kiranya dapat dipertimbangkan
oleh para pembaca, sebagai hasil studi etika lingkungan.
A. Kesimpulan
Di Kelurahan Oeba terdapat persoalan lingkungan, yaitu pengelolaan sampah rumah
tangga yang terbatas dan belum efektif, sehingga terjadi krisis lingkungan regional,
yaitu pencemaran. Pencemaran yang diakibatkannya, berdampak pada sektor
lingkungan fisik dan kesehatan masyarakat (manusia). Melihat hal ini, melalui analisis
sosio-ekologis, dalam etika lingkungan, diperoleh persoalan mendasarnya, bahwa bila
diukur dari sudut ini, lingkungan yang tercemar sebetulnya merupakan sebuah krisis
paradigma dan perilaku dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Karena itu,
persoalan persampahan, bukan sekedar kegagalan metode semata, atau kurang
aktifnya masyarakat dalam mengelola sampah.
Sedangkan, dengan menyadari bahwa studi ini adalah studi teologi, maka
semua persoalan ini dikaitkan dengan iman percaya, bahwa lingkungan dan
integritasnya (termasuk manusia di dalamnya), adalah karya Allah. Sampai pada titik
inilah, tiap-tiap keluarga di Kelurahan Oeba, pemerintah dan gereja sebagai pengelola
lingkungan, perlu disoroti dalam perspektif yang baru.
Karena itu, secara teologis kesimpulan-kesimpulan studi ini dipaparkan sebagai
berikut:
Page 143
143 Perayaan Kehidupan
1. Berdasarkan imanlah, semua karya dan terkhusus pelaksanaan pengelolaan
lingkungan, yakni sampah rumah tangga, yang dilakukan oleh semua orang
Kristen. Pengelolaan itu dilakukan bersama unsur masyarakat di Kelurahan
Oeba, Jemaat Ebenhaezer Oeba dan pemerintah. Pengelolaan sampah ini,
mengutamakan metode yang berstandar, yaitu 4R (Reduce, Reuse,
Recycling, dan Replace) dan pengolahan composting. Pengelolaan ini perlu
dilaksanakan di tingkat rumah tangga. Sedangkan pengelolaan di tingkat
basis masyarakat, dilakukan dengan teknik operasional, meliputi:
pewadahan terpilah yang teratur, pengumpulan, pemindahan ke TPS
(Gambar. Bagan. 2.).
Paling tidak, metode ini tidak begitu sulit dan cocok dengan konteks
pengelolaan di Kelurahan Oeba. Semua ini dilakukan dengan melihat
syarat-syarat atau prinsip strategi pengelolaan, yakni sistematis, holistik dan
terpadu sebagai upaya meminimalisir dan menangani sampah rumah
tangga.
2. Iman sebagai titik tolak dalam aksi pelayanan mengelola lingkungan ini,
bersumber dari perayaan iman dalam kegiatan ibadah atau liturgi. Sehingga
yang diwujudkan dalam pengelolan aktif terhadap lingkungan (sampah
rumah tangga) adalah bentuk dari praksis perayaan iman terhadap hasil
liturgi Allah, yaitu keselamatan.
3. Liturgi memiliki daya dalam membentuk paradigma moral, membangun
kesadaran moral melalui anamnese terhadap karya Allah. Paradigma inilah
yang menentukan sikap dan perilaku dalam melaksanakan keharusan
mengelola lingkungan.Karena itu, pengelolaan sampah rumah tangga, lebih
dari sekedar permainan metode, tetapi peran paradigma dan perilaku.
Page 144
144 Perayaan Kehidupan
4. Secara teologis, liturgi merupakan karya Allah persekutuan, yaitu Allah
Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus. Karya tersebut ialah keselamatan
bagi keutuhan ciptaan. Dalam perspektif inilah, kritik dan konstruksi liturgi
gereja dilangsungkan.
5. Liturgi yang trinitaris, pada dirinya terbuka bagi semua isu teologis.
Keterbukaan ini dihasilkan dari sifat liturgi yang multidimensi, karena
dimulai dari penstrukturan berteologi sistematis, yaitu trinitaris. Itu
sebabnya, liturgi tidak hanya dapat menyoroti persoalan lingkungan, dalam
hal pencemaran yang diakibatkan dari pengelolaan sampah rumah tangga
yang terbatas. Kemultidimensiannya, mengantar liturgi pada berbagai isu
lain, seperti persoalan kemiskinan, ketidakadilan, dll,.
B. Saran
Dalam studi ini, beberapa saran yang dapat disampaikan bersifat porposive, dengan
memerhatikan upaya mengkooperatifkan segala pihak/unsur terkait, yang nota
benenya adalah pelaku pengelolaan sampah, sebagai berikut:
1. Pemerintah
a). Pemerintah Daerah, yakni Pemerintah Kota (PEMKOT) dapat melakukan
berbagai upaya mengfasilitasi, mendanai, penggerak masyarakat, antara lain hal-
hal yang termasuk dalam bagian-bagian ini adalah:
a. Menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dan
lembaga-lembaga terkait dalam pengelolaan sampah.
b. Melakukan penelitian serta pengembangan teknologi pengurangan dan
penanganan sampah.
c. Memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya
pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah.
Page 145
145 Perayaan Kehidupan
d. Melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan
prasarana dan sarana pengelolaan sampah regional.
e. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil
pengolahan sampah.
f. Memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang berkembang
pada masyarakat di daerah untuk mengurangi dan menangani sampah.
g. Melakukan koordinasi antarorganisasi perangkat daerah dan
Kabupaten/Kota dengan lembaga Pemerintah, masyarakat, dan dunia
usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah; dan
h. Menyediakan unit pelayanan pengaduan masyarakat.
b). Pemerintah Kelurahan Oeba
Pemerintah kelurahan dapat melakukan pengelolaan sampah berbasis
masyarakat, melalui beberapa tahap usulan, perencanaan, implementasi
perencanaan konseptual, pengendalian dan pengawasan, dan evaluasi, sebagai
berikut:
a. Tahap Perencanaan
1. Pemerintah Kelurahan Oeba sebagai pihak pembuat kebijakan
(regulator) berwenang membuat kebijakan tentang pengelolaan
sampah. Sehingga pemerintah merupakan pihak yang paling tepat
mengambil inisiatif (inisiator) agar program menjadi gerakan
masyarakat.
2. Dalam rangka menyusun konsep perencanaan, masyarakat perlu
dilibatkan, karena yang akan melaksanakan nanti isi konsepnya adalah
masyarakat.
Page 146
146 Perayaan Kehidupan
3. Dalam rangka pelibatan masyarakat dalam perencanaan, yang dilakukan
adalah manjalin komunikasi dengan masyarakat melalui pengurus
(ketua atau sekertaris, dll,.) RT/RW. Pengurus RT/RW di sini adalah
pihak yang memiliki kemampuan sebagai fasilitator antara pemerintah
dan masyarakat. Di tempat lain bisa jadi fasilitator tersebut adalah tokoh
masyarakat, pengusaha, tokoh agama, LSM, akademisi atau lainnya.
Yang terpenting mereka adalah pihak yang dipercaya oleh masyarakat
dan pemerintah sebagai fasilitator inti.
4. Hal utama dan terpenting yang harus disampaikan pertama kali dan
teratur adalah sosialisasi tentang manfaat pengelolaan dan pengolahan
sampah. Pekerjaan sosialisasi dapat dilakukan juga dengan mengundang
para akademisi atau LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) tertentu yang
bergerak di bidang inovasi pengelolaan lingkungan dan teknologi.
5. Untuk memperkuat penjelasan tentang manfaat pengelolaan sampah,
pemerintah sebaiknya mengajak pengurus RT/RW untuk melakukan
studi banding ke kelurahan tertentu yang telah berhasil melaksanakan
pengelolaan sampah.
6. Sebagai fasilitator, pengurus RT/RW kemudian berkomunikasi dengan
masyarakat untuk menjelaskan tentang manfaat kegiatan pemilahan
sampah dan pengalaman daerah lain yang sudah berhasil. Selain itu,
pengurus RT/RW juga berusaha menjaring masukan dari masyarakat
tentang pengelolaan sampah. Masukan tersebut kemudian didiskusikan
dengan pemerintah untuk menyempurnakan konsep yang sudah ada.
Hasil penyempurnaan konsep menjadi produk perencanaan yang
disepakati pemerintah dan masyarakat.
Page 147
147 Perayaan Kehidupan
7. Isi perencanaan memuat paling tidak: mekanisme pengelolaan
(meliputi: operasional, pengendalian, pengawasan, pembiayaan,
evaluasi dan pelaporam), peran masyarakat dan pemerintah,
pembentukan organisasi pengelola, sarana prasarana.
b. Tahap Implementasi
1. Dalam Implementasi pemilahan sampah, pemerintah memberikan
bantuan fasilitas termasuk biaya untuk pengelola karena biaya
pengelolaan sampah merupakan kewajiban pemerintah (amanat UU RI
no 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah).
2. Pemerintah mengatur dan memberikan insentif & disinsentif. Walaupun
masyarakat tidak keberatan dengan adanya retribusi sampah, namun
alangkah baiknya jika pemerintah memberikan insentif (uang
peransang) pada masyarakat yang melakukan pemilahan sampah.
Insentif diberikan untuk memotivasi masyarakat, agar masyarakat
bersemangat melakukan pemilahan sampah. Insentif yang diberikan
dapat dalam bentuk pengurangan retribusi bagi warga masyarakat yang
melakukan pemilahan sampah. Sedangkan bagi warga yang tidak
melakukan pemilahan sampah, tetap membayar retribusi. Ini sejalan
dengan amanat UU No 18 Th 2008 Pasal 18 tentang Pengelolaan
Sampah.
3. Pemerintah melakukan sosialisasi implementasi untuk
mengkampanyekan program, agar pemilahan sampah menjadi gerakan
Page 148
148 Perayaan Kehidupan
masyarakat. Dalam hal ini pemerintah dapat bekerja sama dengan
pengurus RT/RW.
4. Bersama dengan pengurus RT/RW, pengelola membentuk organisasi
kepengurusan dan program kerja.
5. Pemerintah memfasilitasi kegiatan sosialisasi implementasi yang
dilakukan oleh pengelola, yang merupakan tanggung pengelola. Dalam
hal ini pengelola dapat bekerja sama dengan pengurus RT/RW.
6. Pengelola menentukan mekanisme pengelolaan sampah, yang meliputi
pengembilan sampah dari rumah-rumah dan pengangkutannya hingga
ke TPSS.
7. Pengelola bertanggung jawab mengelola sampah anorganik yang
terkumpul, mulai dari pengumpulan, pengangkutan dan
pemanfaatan/penjualannya, termasuk pemanfaatan uang hasil penjualan.
8. Bersama dengan pengurus RT/RW, pengelola memberikan bimbingan
kepada masyarakat agar mereka dapat mengelola sampahnya dengan
benar. Termasuk di dalamnya memberikan bimbingan dalam
pengolahan sampah.
9. Masyarakat melakukan pemilahan sampah di tingkat sumber, sesuai
dengan mekanisme yang sudah ditentukan oleh pengelola.
10. Masyarakat mengolah sampah organiknya menjadi kompos dan
pendauran ulang.
11. Masyarakat bertanggung jawab melakukan sosialisasi dalam rumah
tangganya (sosialisasi internal). Di tingkat inilah, sebetulnya sosialisasi
akan sangat efektif karena dapat dilakukan secara intensif.
c. Tahap Pengendalian dan Pengawasan
Page 149
149 Perayaan Kehidupan
a. Pemerintah dengan dibantu oleh pengurus RT/RW, melakukan
monitoring dan supervisi. Hal ini dilakukan agar program yang sudah
menjadi kebijakan pemerintah dapat berjalan sesuai yang diharapkan.
b. Pengurus RT/RW melaporkan hasil kegiatan monitoring dan
supervisinya kepada pemerintah melalui mekanisme yang sudah
ditentukan.
c. Pengelola melakukan kegiatan pengendalian dan pengawasan kegiatan
pengelolaan sampah agar sesuai dengan mekanisme yang sudah
disepakati. Dalam hal ini pengelola dapat bekerja sama dengan
pengurus RT/RW
d. Pengelola membuat laporan rutin, yang akan disampaikan ke
Pemerintah dan masyarakat sesuai mekanisme yang ada.
e. Laporan rutin ke masyarakat dapat dilaksanakan bersamaan dengan
pertemuan rutin warga, seperti pertemuan di tingkat RT.
d. Tahap Evaluasi
1. Pemerintah melakukan evaluasi tahunan berdasarkan laporan yang
diterima dari pengelola dan pengurus RT/RW, juga masukan dari
masyarakat. Evaluasi dilakukan untuk menyempurnakan kebijakan yang
sudah dibuat agar efektif dan efisien.
2. Dalam kaitan denagn evaluasi, fungsi pengurus RT/RW adalah
memberi masukan kepada pemerintah dan pengelola. Di samping itu
juga menjaring masukan dari masyarakat.
3. Pengelola menyampaikan laporan dan hasil evaluasi kepada pemerintah
dan masyarakat.
Page 150
150 Perayaan Kehidupan
4. Penyampaian laporan dan evaluasi dilaksanakan secara bulanan dan
tahunan. Evaluasi bulanan dilaksanakan bersamaan dengan pertemuan
rutin warga. Sedangkan evaluasi tahunan dilaksanakan dengan waktu
yang disepakati.
5. Masyarakat memberi masukan kepada pemerintah dan pengelola.229
c). Dinas Kesehatan dan Pertamanan Kota Kupang (DINKESTAM)
a. Meningkatkan kinerja yang inovatif dalam proses pengangkutan dan
pemrosesan akhir.
b. Menyusun program yang berbasis masyarakat
c. Meningkat studi terhadap pengelolaan sampah dan teknologi yang cocok
bagi pengelolaan sampah kota.
d. Melakukan koordinasi dengan masyarakat dan PEMKOT, agar menambah
jumlah fasilitas sampah pada titik-titik sampah.
2. Rumah-rumah Tangga dan/atau Keluarga-keluarga
Melakukan upaya minimalisasi timbulan atau produksi sampah melalui
pendekatan perubahan perilaku, seperti:
a. Melakukan kontrol pada pola konsumsi rumah tangga
b. Membiasakan hidup hemat dan menetapkan basis konsumsi pada bahan
makan organik. Artinya, menahan diri dan mengubah gaya atau perilaku
konsumtif.
c. Membiasakan diri hidup bersih dan sehat. Terutama menanamkannya pada
anak usia dini. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan pendidikan
lingkungan rumah tangga usia dini.
229
Faizah, op. cit., hlm. 148-149.
Page 151
151 Perayaan Kehidupan
d. Mengakrabkan diri dengan sistem pengelolaan sampah berdasarkan prisip
4R (Reduce, Reuse, Ricycle, dan Replace).
e. Mengurangi dan memanfaatkan kembali bahan-bahan yang masih memiliki
nilai, mengganti bahan-bahan anorganik dengan bahan-bahan yang lebih
ramah lingkungan. Termasuk beralih pada teknologi pemanfaatan limbah
dan sampah, seperti tungku hemat energi, biogas, dll,.
f. Melakukan pengolahan sampah dengan mendaur ulang sampah dan
melakukan composting seperlunya, bila ingin melakukan kegiatan pertanian
rumah tangga.
g. Aktif dalam kerja sama dengan unsur pemerintah setempat dalam
menanggulangi permasalahan persampahan. Terlibat dalam kerja bakti dan
berbagai sosialisasi lingkungan. Artinya, tiap-tiap keluarga dapat menjadi
keluarga sensitif dan tanggap lingkungan.
3. Gereja
Gereja dapat melakukan pekerjaan pencerdasan jemaat, antara lain:
a. Mengintensifkan frekuensi khotbah (paling tidak kerygma khotbah) dan
liturgi bertema lingkungan. Mengatur dan merancang keduanya sebagai
agenda yang primer, walau pun setiap minggu, tema dan nats khotbah
bertolak dari jadwal bacaan Sinode.
b. Merancang liturgi yang bertema kepedulian lingkungan yang dijadwalkan
dalam siklus, minimal per 2 bulan sekali. Paling tidak berupaya
merancangnya dalam konsep yang kontekstual.
c. Demikian juga bila perlu, menyusun tema-tema tersebut sebagai nats
agenda dalam ibadah-ibadah rumah tangga atau ibadah teritorial dan
kategorial lainnya, yang dipimpin oleh majelis.
Page 152
152 Perayaan Kehidupan
d. Membuat modul khusus atau tabloit-tabloit yang memberikan pandangan-
pandangan teologis terhadap lingkungan dan sanitasinya.
e. Bagi para anggota KA/KR, dirancang modul pengajaran yang menyisipkan
tema-tema lingkungan. Termasuk metode-metode mengajar yang inovatif,
mengarah pada cinta lingkungan hidup. Pekerjaan ini dapat dilakukan
secara sinodal, oleh Sinode GMIT, mau pun oleh klasis atau jemaat-jemaat
sendiri.
f. Merancang program-program oikonomia yang bersifat jejaring dan
kooperatif: Turut lebih aktif dan terprogram dalam melakukan kegiatan
kerja bakti maupun kerja sama dengan pihak pemerintah atau LSM
tertentu dalam membangun fasilitas persampahan, seperti TPS atau saluran
pembuangan, yang walaupun pekerjaan ini sebenarnya pekerjaan
pemerintah.
g. Mengadakan sosialisasi yang teratur, mengenai pengelolaan lingkungan
khususnya sampah rumah tangga. Artinya, diakonia seperti ini dilakukan
seimbang dengan sosialisasi dogmatis. Khususnya pekerjaan ini disisip
dalam materi kasasi dan pengembalaan nikah. Sosialisasi mengenai
pengelolaan lingkungan, yakni pengelolaan sampah rumah tangga.
Pengelolaan ini mencakup tahap pengelolaan, metode, penawaran inovasi
teknologi dan penguasaannya. Pekerjaan ini dapat dilakukan dengan
mengundang para ahli kesehatan lingkungan dari pihak pemerintah atau
LSM tertentu.
Page 153
153 Perayaan Kehidupan
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Suci
- Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia
(LAI).
Buku-buku
- Abineno, J. L. Ch., 1983.
Jemaat: Ujud, Peraturan, Susunan, Pelayanan, Pelayanan-
Pelayanannya, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- ............................, 1975.
Roh Kudus dan Pekerjaan-Nya, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- …………………, 2010.
Unsur-unsur Liturgia, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- Adam, Adolf., 1992.
Foundations of Liturgy: An Introduction to Its History and Practice.
Collegeville - Minnesota: The Liturgical Press.
- Allaby, Michael., 1983.
Macmilan Dictionary of Environment, London: Macmillan Press.
- Azwar, Azrul., 1979.
Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Jakarta: PT. Mutiara Sumber
Widya Penabur Benih Kecerdasan.
- Badudu, J.S., 2007.
Kamus Kata-kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
- Bailey, Jill (ed.)., 2004.
Page 154
154 Perayaan Kehidupan
The Facts On File Dictionary of Ecology and the Environment, New
York: Facts On File, inc.
- Barker, Margaret., 2003.
The Great High Priest: The Temple Roots of Christian Liturgy, New
York: T&T Clark. Ltd.
- Balthasar, Hans Urs Von., 2001.
Cosmic Liturgy. San Francisco: Ignatius Press.
- Barth, Christop., 1986.
Teologi Perjanjian Lama III, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- Barth, Karl., 1936.
Church Dogmatics I/I, Edinburgh: T.&T. Clark.
- Barth, Marie Claire. & Pareira, B. A., 1998.
Tafsiran Alkitab: Kitab Mazmur 73- 150, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
- Bavinck, H., 2011.
Prolegomena (Jilid I), Surabaya: Momentum.
- ……………, 2012.
Dogmatika Reformed (Jilid 2); Allah dan Penciptaan. Surabaya:
Penerbit Momentum.
- Berkhof, Louis., 2012.
Teologi Sistematika, Surabaya: Momentum.
- Berry, Tom., 2013.
Kosmologi Kristen. Maumere: Penerbit LEDALERO.
- Bertens, Kees., 2004.
Etika, Jakarta: PT. Gramedia.
- ………………, 2001.
Page 155
155 Perayaan Kehidupan
Perspektif Etika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
- Boehlke, R. R., 2010.
Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama
Kristen. Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- Boff, Leonardo., 2004.
Allah Persekutuan, Maumere: Ledalero.
- Bromiley, Geoffrey W. 2001.
Introduction to The Theology of Karl Barth, Michigan: Grand Rapids.
- Brownlee, Malcolm., 2011.
Pengambilan Keputusan Etis. Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- ............................, 1999.
Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, Jakarta: BPK. Gunung
Mulia.
- Buttrick, David G., 1996.
Memberitakan Kristus Dalam Khotbah, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- Calow, Peter (ed.)., 1991.
Blackwell’s Concise Encyclopedia of Ecology, Malden: Blackwell
Science, Inc.
- Capra, Fritjof., 2001.
Jaring-jaring Kehidupan; Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan
(terj.), Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
- Chamblin, J. Knox., 2009.
Paulus dan Dirinya, Surabaya: Momentum.
- Chang, William., 2001.
Moral Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius.
Page 156
156 Perayaan Kehidupan
- Cunha, Bosco Da. & Carm, O., 2004
Teologi Liturgi dalam Hidup Gereja , Madang: Dioma.
- Cunningham, William P. & Cunningham, Marry Ann., 2004.
Principals Of Environmental Science Inquiry and Application, New
York: McGraw-Hill, Inc.
- ......................., 2008.
Environmental Science: A Global Concern, New York: McGraw-Hil
Inc.
- Collin, P. H., 2004.
Dictionary of Environment & Ecology. (Fifth Edition), Soho Square,
London: Bloomsbury Publishing Plc.
- Deane-Drummond, Celia., 2012.
Teologi dan Ekologi. Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- Damanhuri, Enri.,
Diktat Pengelolaan Sampah. Bandung: Penerbit ITB.
- Doeka, Fredrik. Y.A., 2005.
Maria dan Rabi’a. Kupang: Artha Wacana Press.
- Douma, J., 2010.
Kelakuan yang Bertanggung Jawab, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- Etjang, Indan., 2000.
Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti.
- Geisler, Norman L., 2003.
Etika Kristen: Pilihan dan Isu, Malang: Literatur SAAT.
- Gilpin, A., 1976.
Page 157
157 Perayaan Kehidupan
Dictionary of Environmental Terms, London: Routledge and Kegan
Paul Ltd.
- Guthrie, Donald., 2011.
Teologi Perjanjian Baru 1, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- ..........................., 2011.
Teologi Perjanjian Baru 2, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- .........................., 2011.
Teologi Perjanjian Baru 3, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- Granberg-Michaelson, Wesley., 1988.
Ecology and Life, Waco: Word.
- Green, Clifford (Pnyt.)., 2003.
Karl Barth: Teologi Kemerdekaan, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- Hoffecker, Andrew., & Gerry Scott Smith (ed)., 2008.
Membangun Wawasan Dunia Kristen (Vol. 1): Allah, Manusia dan
Pengetahuan, Surabaya: Momentum.
- …………………,
Membangun Wawasan Dunia Kristen (Vol. 2): Alam Semesta,
Masyarakat dan Etika, Surabaya: Penerbit Momentum,
- Hoekema, Anthony. H., 2008.
Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah (terj., oleh Irwan Tjulianto),
Surabaya: Momentum.
- ……………………, 1979.
The Bible and the Future, Grand Rapids: Edermans.
- Hadiwijono, Harun., 1995.
Iman Kristen, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
Page 158
158 Perayaan Kehidupan
- Jacobs, Tom., 1983.
Paulus; Hidup, Karya dan Teologinya, Yogyakarta: Kanisius.
- Ife, Jim., & Tesoriero, Frank., 2008.
Community Development (eds. ke3),Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Ismail, Andar., 2000.
Selamat Berbakti, Jakarta : BPK. Gunung Mulia Keraf, A. Sony.,
2002.
- Karkkainen, Veli-Matti., 2013.
Tritunggal dan Pluralisme Agama, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- Keraf, Sonny., 2002.
Etika Lingkungan, Jakarta: Buku Kompas.
- ......................, 2014.
Filsafat Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius.
- Kirchberger, Georg. & Prior, John Mansford., 2001.
Hidup Menggereja Secara Baru Di Asia II, Ende: Nusa Indah.
- Koren, Herman. & Bisesi, Michael., 2003.
Handbook of Environmental Health (vol. 1); Biological, Chemical, and
physical Agents of Environmentally Related Disease, New York:
Lewis Publisher
- Lohse, Bernhard., 1994.
Pengantar Sejarah Dogma Kristen, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- Mangunjaya, Fachruddin., 2005.
Konservasi Alam Dalam Islam, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
- Martasudjita, E., 1998.
Page 159
159 Perayaan Kehidupan
Makna Liturgi Bagi Kehidupan Sehari-hari; Memahami Liturgi Secara
Kontekstual, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
- ..…………….., 1999.
Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
- ......................., 2011.
Liturgi; Pengantar Untuk Studi dan Praksis Liturgi. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
- MacDaniel, Jay B.1995.
With Roots and Wings,Christianity in an Age of Ecology an Dialogue,
New York: Orbis Books, Maryknoll.
- John Macquarrie, 1967.
A Dictionary Of Christian Ethics, Norwich: SCM Press. LTD.
- McFarland, Ian A. (ed.)., 2011.
The Cambridge Dictionary Of Christian Theology, New York:
Cambridge University Press.
- Ten Napel, Henk., 2001.
Jalan Yang Lebih Utama Lagi, Etika Perjanjian Baru, Jakarta: BPK.
Gunung Mulia.
- Naes, Arne., 1993.
Ecology, Community and Lifestyle, Cambridge: Cambridge Univ.
Press.
- Nash, James A., 1991.
Loving Nature: Ecological Integrity and Christian Responsibility,
Nashville: Abingdon.
Page 160
160 Perayaan Kehidupan
- Netti, Albinus L., 2014.
Ibadah dan Tata Ibadah Dalam Permenungan, Salatiga: Satya Wacana
University Press.
- Notoatmodjo, S., 2002.
Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
- Nouwen, Henri L., 1986.
Pelayanan Yang Kreatif (terj.), Yogyakarta: Kanisius.
- Olst, E. H. van., 1999.
Alkitab dan Liturgi, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- Peschke, Karl-Heinz., 2003.
Etika Kristen (Jilid II): Kewajiban Moral Dalam Hidup Keagamaan,
Maumere: Ledalero.
- …………………………, 2003.
Etika Kristen (Jilid III): Kewajiban Moral Dalam Hidup Sosial,
Maumere: Ledalero.
- Poedjawijatna, I. R., 1977.
Etika, Filsafat, Tingkah Laku (cet. Ke-3). Jakarta: Obor.
- Polkinghorne, John., 2010,
The Trinity and an Entangled World, Michigan: Wm B. Edermans
Publishing Co.
- ………..…, 2004.
Science and the Trinity: the Christian Encounter with Reality, New
Haven and LondonYale: University Press.
- Ps, Djarwanto., 2000.
Page 161
161 Perayaan Kehidupan
Pokok-Pokok Metode Riset dan Bimbingan Teknis Penulisan Skripsi,
Yokyakarta: Libenty.
- Rachman, Racid., 2011.
Hari Raya Liturgi. Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- ..........................., 2012.
Pembimbing Ke dalam Sejarah Liturgi, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- Rasmussen, Larry L., 2010
Komunitas Bumi: Etika Bumi Baru. Jakarta: BPK. Gunug Mulia.
- Ray, David R., 2011.
Gereja yang Hidup, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- Reidderbos, Hermann., 2013.
Paulus; Pemikiran Utama Theologinya, Surabaya: Momentum.
- Riemer, G., 1995.
Cermin Injil, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF.
- Sethi, Inderjeet Kaur. & Singh, Gurcharan., 1992.
Modern Dictionary of Environment, New Delhi: Akashdeep
Publhising.
- Sessions, George., 1995.
Deep Ecology Of Thetwenty-First Century, Boston & London:
SHAMBALA.
- Setiono, Kusdwiratri. dkk., 2001.
Manusia, Kesehatan dan Lingkungan, Bandung: PT. Alumni.
- Soemarwoto, 1998.
Penangan dan Pemanfaatan Sampah, Jakarta: Yayasan Idayu.
- Sudradjat, H. R., 2006.
Page 162
162 Perayaan Kehidupan
Mengelola Sampah Kota. Jakarta: Penebar Swadaya.
- Sumantri, H. Arif., 2013.
Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
- Sunarko, A. & Kristiyanto, A. Eddy (ed.)., 2008.
Menyapa Bumi Menyembah Yang Ilahi; Tinjauan Teologis Atas
Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius.
- Tchobanoglous George. & Kreith, Frank., 2002.
Handbook of Solid Waste Management (second edition), Manufactured
in the United States of America: The McGraw-Hill Companies.
- Thompson, J. Milburn., 2009.
Keadilan dan Perdamaian, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
- Tillich, Paul., 1968.
Systematic Theology (ed. Combine: 1-3). London & Beccles: James
Nisbet & CO LTD.
- Timo, Ebenhaizer L. Nuban., 2012.
Allah Menahan Diri Pantang Berdiam Diri, Salatiga: KDT.
- Toffler, Alfin., 1971.
Future Shock, New York: Bantam Book and Random House, Inc.
- Tucker, Mary Evelyn. & Grim, John A., 2003.
Agama, Filsafat & Lingkungan, Yogyakarta: Kanisius.
- Wellem, F.D., 1994.
Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
- White, James F., 2011.
Pengantar Ibadah Kristen. Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
Page 163
163 Perayaan Kehidupan
Artikel
- Adibroto, Syafrudin., 2004. Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat, Prosiding
Diskusi Interaktif Pengelolaan Sampah Terpadu, Semarang: Program Magister Ilmu
Lingkungan Universitas Diponegoro, Pdf.
- Al Muhdhar, Mimien Henie Irawati., (Artikel Hasil Penilitian) Seminar Nasional IX
Pendidikan Biologi FKIP: Penerapan Dvd 6m Pendidikan Kepada Masyarakat
Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Menggunakan Media Televisi. Pdf.
- Data statistik Kecamatan Kota Lama tahun 2013, BPS (Badan Pusat Statistik) Kota
Kupang
- Dokumen Laporan Bulanan, Keadaan Bulan Oktober 2014, Pemerintah Kelurahan
Oeba, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang.
- Damanhuri, Enri., & Padmi, Tri., 2010. Diktat Pengelolaan Sampah (Edisi Semester
I-2010/2011), Bandung: Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan
Lingkungan INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG. Pdf.
- Hoornweg, D. dkk., Composting and Its Applicability in Developing Countries ‖,
Urban Waste Management Working Paper Series 8. Washington, DC: World Bank.
http://www.skat.ch/sfweb/activities/ws/cwg/pdf/cwg-01. Pdf.
- Hutagalung, M., 2007. Teknologi Pehlngolahan Sampah. Jakarta: Majari Magazine
Chemical Engineering Students Indonesia. Pdf.
- Junias, Marylin., & Eliaser Balelay., (Atikel Hasil Penelitian) Hubungan Antara
Pembuangan Sampah Dengan Kejadian Diare Pada Penduduk Di Kelurahan Oesapa
Kecamatan Kelapa Lima-Kota Kupang.Pdf.
- Johny E. Riwu Tadu, (bahan ajar) Liturgika I. Doc.
Page 164
164 Perayaan Kehidupan
- Marylin Junias & Eliaser Balelay, 2008. Hubungan Antara Pembuangan Sampah
Dengan Kejadian Diare Pada Penduduk Di Kelurahan Oesapa Kecamatan Kelapa
Lima-Kota Kupang, Pdf.
- Pranowo, Galih., Makalah Tentang Limbah Padat, Yogyakarta: Fakultas Sains
Terapan Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta. Pdf.
- Tadu, Johny E. Riwu., Liturgika I (bahan ajar). Modul.
- Tohom T. M. Pardede, Liturgi Bernuansa Kepedulian Lingkungan, Pdf. Duta
Wacana.
- Soerjani, Moh. dkk., 2008. Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan
Dalam Pembangunan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Pdf.
- Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan
Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Bab. XII. Larangan. Pasal 40. Pdf.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2012 Tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga,
dan UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Pdf.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2012 Tentang Pengelolaan
Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Pdf.
- Suhartini, 2008. Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga dan Remaja Putri Di Berbah
Sleman Dalam Pengolahan Sampah Dapur Dengan Teknologi Yang Sederhana dan
Ramah Lingkungan Sehingga Dapat Bernilai Ekonomi Dan Berdaya Guna,
Yogyakarta, Pdf.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Pdf.
Page 165
165 Perayaan Kehidupan
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Pdf.
- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan
Sampah. Pdf.
- White, Lynn Jr., 1967. The Historical Roots of Our Ecological Crisis, Pdf.
- World Health Organization (1976), Management of Solid Wastes in Developed
Countries, WHO Regional Publications Southeast Asia Series No.1. Pdf.
Internet
- http://abanggoyes.blogspot.com/2013/09/limbah-rumah-tangga.html
- http://environment.uii.ac.id/content/view, diakses, 28 November 2014.
- http://www.majarikanayakan.com/2007/12/teknologi-pengolahan-sampah.html.
Diakses, 29 Desember 2014.
- http://www. moral-politik.com. Selasa (29/04/2014).
- Liturgi dan Ekologi - KAIROS.htm. 2 Juni 2014.
- Scribd.com., Bab.III. Metode penelitian template.
- Liturgi dan Ekologi - KAIROS.htm. 2 Juni 2014.
Software
- Software KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)