Top Banner
1 Perayaan Kehidupan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menempatkan persoalan perihal sampah (waste) sebagai masalah yang rumit dan sukar diselesaikan adalah hal yang pantas. Pasalnya, persoalan ini tak pernah menjadi pergumulan sosiologis dan moral yang kunjung terselesaikan. Paling tidak hanya dapat ditangani dalam pengertian, mencari solusi penanganan dan pengelolaannya. Tentu ini amat wajar demikian, oleh karena persoalan sampah secara hakiki berurat akar dengan aktivitas manusia, yaitu aktivitas produktif maupun aktivitas konsumtif, dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja. Untuk mempersempit persoalan persampahan dalam jangkauan yang sangat khusus, maka pokok persoalan sampah dapat ditempatkan sebagai bagian integral dari masalah pencemaran lingkungan dan krisis lingkungan. Hal ini dikarenakan oleh dampak langsung sampah terhadap lingkungan dan segala sistem kehidupan di dalamnya. Dampak buruk yang ditimbulkan sampah menggambarkan bahwa sampah pada dirinya juga bersifat membahayakan. Sifat ini akan sangat menonjol apabila upaya untuk mengurangi dan mengelolanya sangat terbatas. Di tengah kepadatan aktivitas manusia, penanganan sampah masih terbatas menjadi permasalahan serius yang belum bisa tertangani dengan tuntas, terutama di daerah perkotaan. Bilamana rata-rata tiap orang per hari menghasilkan sampah 1-2 kg dan akan terus bertambah sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan dan gaya hidup masyarakat, maka tentu makin banyak usaha keras yang diperlukan dalam penanganannya. Sampah secara umum merupakan salah satu bentuk dari limbah. Limbah dalam bentuk padat (solid waste). Limbah ini dihasilkan oleh sisa kegiatan sehari-hari manusia
165

Environment Ethic

May 13, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Environment Ethic

1 Perayaan Kehidupan

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menempatkan persoalan perihal sampah (waste) sebagai masalah yang rumit dan sukar

diselesaikan adalah hal yang pantas. Pasalnya, persoalan ini tak pernah menjadi

pergumulan sosiologis dan moral yang kunjung terselesaikan. Paling tidak hanya dapat

ditangani dalam pengertian, mencari solusi penanganan dan pengelolaannya. Tentu ini

amat wajar demikian, oleh karena persoalan sampah secara hakiki berurat akar dengan

aktivitas manusia, yaitu aktivitas produktif maupun aktivitas konsumtif, dilakukan

dengan sengaja maupun tidak sengaja.

Untuk mempersempit persoalan persampahan dalam jangkauan yang sangat khusus,

maka pokok persoalan sampah dapat ditempatkan sebagai bagian integral dari masalah

pencemaran lingkungan dan krisis lingkungan. Hal ini dikarenakan oleh dampak

langsung sampah terhadap lingkungan dan segala sistem kehidupan di dalamnya.

Dampak buruk yang ditimbulkan sampah menggambarkan bahwa sampah pada dirinya

juga bersifat membahayakan. Sifat ini akan sangat menonjol apabila upaya untuk

mengurangi dan mengelolanya sangat terbatas.

Di tengah kepadatan aktivitas manusia, penanganan sampah masih terbatas menjadi

permasalahan serius yang belum bisa tertangani dengan tuntas, terutama di daerah

perkotaan. Bilamana rata-rata tiap orang per hari menghasilkan sampah 1-2 kg dan akan

terus bertambah sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan dan gaya hidup

masyarakat, maka tentu makin banyak usaha keras yang diperlukan dalam

penanganannya.

Sampah secara umum merupakan salah satu bentuk dari limbah. Limbah dalam

bentuk padat (solid waste). Limbah ini dihasilkan oleh sisa kegiatan sehari-hari manusia

Page 2: Environment Ethic

2 Perayaan Kehidupan

dan atau proses alam inilah yang disebut sampah.1 Sampah secara estetis dilihat sebagai

suatu materi dari hasil produksi manusia yang tidak memiliki nilai atau daya guna secara

primer. Sering manusia menyebut sampah secara disfungsional, yakni suatu bahan atau

benda yang tidak lagi memiliki daya dan nilai guna, gagal produksi, sudah habis masa

terpakai.

Sampah atau limbah sampah merupakan buangan atau bekas yang berbentuk cair,

gas, dan padat. Dalam air limbah rumah tangga misalnya, terdapat bahan kimia yang

sukar untuk dihilangkan dan berbahaya. Berarti limbah rumah tangga adalah limbah

yang dihasilkan atau dikeluarkan oleh satu rumah atau beberapa rumah, yang pada

prinsipnya mencemari dan membahayakan lingkungan.

Setiap orang adalah penghasil limbah sampah.2 Menurut sumbernya, jenis sampah

rumah tangga yang dihasilkan biasanya berupa sisa-sisa makanan dan bahan sisa proses

pengolahan makanan atau sampah basah (garbage), sampah kering (rubbish), abu, atau

sampah sisa tumbuhan.3 Menurut UU No.18 Tahun 2008 mendefinisikan sampah rumah

tangga sebagai sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak

termasuk tinja dan sampah spesifik (sampah yang mengandung bahan beracun).

Salah seorang ahli kesehatan lingkungan, S. Notoatmodjo, mendefinisikan sampah

sebagai materi atau zat, padat, cair dan gas, yang pada kategori batasan waktu, tidak

terpakai dan dibuang. Pada sifatnya, sampah terkategori menjadi sampah organik

maupun anorganik, yang dihasilkan dari setiap aktivitas manusia.4 Aktivitas dimaksud

mencakup aktivitas produktif kerumahtanggaan. Oleh karena itu, aktivitas yang

1 Robert. Borrong, Etika Bumi Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009, hlm. 123.

2 http://abanggoyes.blogspot.com/2013/09/limbah-rumah-tangga.html

3 H. Arif. Sumantri, Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hlm. 63.

4 Soekidjo. Notoatmodjo, Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hlm. 23.

Page 3: Environment Ethic

3 Perayaan Kehidupan

dilakukan dalam rumah tangga, yang menghasilkan sampah disebut sampah rumah

tangga atau sampah domestik.5

Penekanan mengenai sampah rumah tangga, terjadi pada aktivitas produksi dan

aktivitas manusia secara umum di dalam rumah, yang terjadi terus menerus, juga dalam

batas waktunya. Dalam penekanan inilah maka membutuhkan penangan dan pengelolaan

yang bersifat menyeluruh, sistemik dan strategis secara serius terhadapnya.6

Banyak fakta dapat disaksikan, bahwa sampah menjadi salah satu penyebab

terjadinya kerusakan lingkungan disertai musibah langsung bagi manusia, juga bagi

karyanya sendiri. Lingkungan akan terlihat kotor, bau dan tidak menambah keindahan

lingkungan. Hal ini akan dapat berujung pula pada keengganan orang meminati suatu

lingkungan secara estetis. Bila lingkungan tercemar, oleh karena sampah dibuang secara

sembarangan atau ditumpuk tanpa ada pengelolaan yang baik, maka akan menimbulkan

berbagai dampak kesehatan manusia

Dampak lain yang dapat disebut ialah bahwa, sampah dapat menimbulkan

kebakaran, menyumbat saluran air atau got yang dapat menyebabkan banjir. Banjir

mengakibatkan berbagai kerusakan lanjutan. Kerusakan itu termasuk dalam kerusakan

infrastruktur dan fasilitas umum, seperti akses jalan, dan akses pemukiman. Tidak sedikit

suatu kota dan masyarakatnya menimbah kerugian material yang cukup banyak.

Dalam hasil penelitian dari beberapa kota membuktikan bahwa prosentase terbesar

sampah kota berasal dari sampah rumah tangga. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa sampah rumah tangga adalah sumber terbesar sampah kota, yang justru menjadi

penyebab banyak masalah lingkungan kota.7

5 Enri. Damanhuri, Diktat Pengelolaan Sampah. Bandung: Penerbit ITB, 2001, hlm.12.

6 Enri Damanhuri dan Tri Padmi, (sebuah diktat kuliah Progdi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan

Lingkungan Institut Teknologi Bandung Edisi Semester I -2010/2011) Pengelolaan Sampah, Pdf. hlm. 5. 7 Mimien Henie Irawati Al Muhdhar, (Artikel Hasil Penilitian) Seminar Nasional IX Pendidikan Biologi FKIP:

Penerapan Dvd 6m Pendidikan Kepada Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Menggunakan

Media Televisi, Pdf. hlm. 3.

Page 4: Environment Ethic

4 Perayaan Kehidupan

Menurut Soemarwoto, sampah rumah tangga yang tidak tertangani akan kian

menumpuk, sehingga akan menghalangi atau berkurangnya keindahan suatu lingkungan

kota diikuti dengan bau busuk. Bila lingkungan kota sudah sedemikian rupa, maka akan

mengurangi sumber daya suatu lingkungan dan kehidupan dalam upaya sektor

parawisata suatu daerah.8

Sisi tilik sampah rumah tangga yang menjadi faktor dominan bagi persoalan sampah

perkotaan, memberi gambaran bahwa perlunya suatu metode penanganan serius.

Persoalan sampah rumah tangga ini berkisar pada hasil-hasil buangan dari aktifitas

kerumahtanggaan yang enggan bijak sehingga mendatangkan berbagai polemik yang

luas.

Lebih khusus menurut wilayah pelayanan gereja Ebenhaezer Oeba, di tiap rumah

tangga, di Kelurahan Oeba, ihwal pembuangan dan pengelolaan sampah tidak dilakukan

dengan menyediakan wadah atau lokasi yang baik. Bahkan walau telah disediakan

tempat pembuangan sementara (TPS), toh itu pun tidak dimanfaatkan secara optimal.

Banyak warga yang tidak membuang sampah pada tempatnya, bahkan sekian

banyak warga tidak peduli pada lokasi pembuangan sampah.9 Ini baru mengenai

pembuangan sampah di TPS, hal yang sama juga dapat ditemukan dalam hal

fungsionalisasi sistem pembuangan limbah. Banyak sistem pembuangan limbah,

cair/pembungan air limbah yang tidak efektif, akibat ketersumbatan sampah yang turut

masuk ke dalam sistem tersebut. Serta penumpukan dan pembakaran sampah

sembarangan di pinggir jalan. Tidak heran hal ini turut menyebabkan konflik

8 Soemarwoto, Penanganan dan Pemanfaatan Sampah, Jakarta: Yayasan Idayu, 1998, hlm. 11.

9 Hasil observasi mini secara pribadi sebagai salah satu warga Kelurahan Oeba, selama menetap di Kelurahan

Oeba. 16-18 Mei 2014.

Page 5: Environment Ethic

5 Perayaan Kehidupan

antartetangga akibat pembuangan sampah yang melanggar kode etik. Sebab sampah

pada dirinya berdimensi sosial.10

Dimensi sosial dari sampah, sesungguhnya merupakan dimensi sekunder. Yang

menjadi dimensi pokok dalam pergumulan mengenai persoalan sampah rumah tangga

sesungguhya, ialah dimensi moralitas dan etis. Muatan moralitas dan etis sangatlah

kental, sebagaimana telah disketsakan di atas.

Muatan tersebut berisikan persoalan keadilan, kasih dan suatu kebijaksanaan dalam

mengelola sampah. Misalkan, konflik yang dihasilkan dari pembuangan sampah yang

tidak benar oleh seseorang akan menjadi persoalan ketidakadilan bila pembuangannya

tidak memerhatikan dampak buruknya bagi orang lain. Begitu juga dengan lingkungan

dan ekosistem di sekitarnya.

Gambaran-gambaran konkret di atas mengisyaratkan bahwa masih kurangnya

pemahaman dan kesadaran lingkungan tentang pengelolaan sampah rumah tangga.

Kedua hal tersebut memberi pengaruh bagi cara bersikap terhadap lingkungan dalam

hubungannya dengan dampak-dampak yang diakibatkan oleh (karena ketidakbenaran

mengelola) sampah rumah tangga terhadap lingkungan hidup. Singkatnya, ialah bahwa

segala dampak buruk lingkungan yang disebutkan di atas, memiliki indikasi pada

kurangnya kesadaran, pandangan dunia dasar dan perilaku moral manusia, yaitu

menunjuk pada cara pembuangan, penangan dan pengelolaan sampah yang terbatas,

buruk atau tidak beres.

Kekurangan pemahaman ini, bukan saja karena masih minimnya pendidikan

mengenai lingkungan bagi jemaat dan masyarakat, tetapi juga turut dipengaruhi oleh

kurangnya kesadaran mendasar. Kesadaran mendasar inilah yang perlu dicari dan perlu

dijadikan sebagai faktor penentu atau preseposisi dalam memandang dan

10

Hasil observasi mini secara pribadi sebagai salah satu warga Kelurahan Oeba, selama menetap di Kelurahan

Oeba. Rabu, 4 Juni 2014.

Page 6: Environment Ethic

6 Perayaan Kehidupan

memperlakukan lingkungan hidup secara baik. Mengapa ? Karena pertama-tama,

manusia secara antroposentris adalah pelaku moral, memiliki kemampuan moral berupa

kemampuan akal budi dan kehendak bebas. Ia dapat memperbaiki dan merusak.

Kedua, manusia adalah makhluk biologis, yang dapat menimba kerugian secara

biologis. Ketiga, manusia adalah makhluk ekologis, karena kehidupannya bergantung

pada lingkungan (alam). Sebab itu, ia mesti melakukan perbaikan lingkungan di mana ia

menetap (habitat).11

Keempat, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Yang terakhir ini merangkum

ketiga pemahaman tadi. Sebab tentang penciptaan, manusia sebagai ciptaan ditempatkan

pada patokan religius dan etis. Patokan religius ini, menuntut manusia dan jemaat secara

khusus, untuk mencari dari mana pemahaman mendasar dan patokan etis menuntutnya

untuk bersikap atau bertindak yang benar.

Dalam hubungan dengan keempat pemahaman tadi. Kesadaran mendasar dimaksud

perlu ditumbuhkembangkan bukan saja berdasarkan asumsi moral-sosial, melainkan

berdasarkan iman. Pada titik inilah gereja berperan penting sebagai subyek dalam

masyarakat yang bukan sekedar sebagai lembaga sakral, tetapi juga lembaga sosial.

Yaitu bagaimana gereja dapat mendidik dan menumbuhkan kesadaran melalui iman bagi

masyarakat. Peran ini seperti disebut Louis Berkhof sebagai peran saksi dan guru

terhadap orang yang belum mengenali apa yang seharusnya (benar) dan orang yang

harus diajar untuk lebih mengenal yang seharusnya.12

Bila iman mencari pemahaman, begitupun gereja mengambil peran konstruktor

dalam mengkonstruksi pendidikan iman dan moral bagi jemaat dan masyarakat tentang

11

A. Sony. Keraf, Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002, lm. Xvii. 12

Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Dogtrin Gereja (Jil. 5), Surabaya: Momentum, 2012, hlm. 83.

Page 7: Environment Ethic

7 Perayaan Kehidupan

lingkungan. Agar berdaya guna bersikap secara etis terhadap lingkungan dan sesama.

Jika demikian, gereja dapat dipredikatisasikan sebagai rumah pedagogis.13

Iman yang ditumbuhkan bukan saja diperoleh dari sekedar membaca sabda Allah,

merefleksikan tentangnya dan mendengar tentangnya ketika beribadah di dalam gedung

gereja yang megah (mega churches). Tetapi, iman timbul dari nyanyian dan penghayatan

total akan seluruh rangkaian ibadah itu, yaitu dalam hal melihat, merasai, dan

mendengar.14

Iman juga dapat timbul melalui penghayatan kehidupan di alam sekitar.15

Ini semua berarti bahwa, iman mewujudkan seseorang menjadi pelaku setia kepada bumi

dan berpartisipasi penuh di dalam kesukacitaan dan kepedihan alam.16

Pada titik ini, gereja disebut sebagai subyek liturgi, yaitu gereja yang bertindak

dalam menangani persoalan pencemaran lingkungan, khususnya oleh sampah rumah

tangga. Tindakan ini disebut tindakan liturgis gereja atau praksis dari teologi liturgi.17

Praksis atau aksi ibadah ini, dapat diaplikasikan oleh tiap-tiap orang percaya. Namun,

berkaitan dengan persampahan, praksis liturgis ini tidak lepas dari pihak keluarga

sebagai sebuah persekutuan orang-orang beriman (communio fidelium) dan sebagai

pelaku yang dominan praksis liturgisnya. Lebih tepatnya ialah bahwa keluarga menjadi

basis dari praksis liturgi.

Hematnya dari yang telah disampaikan bahwa persoalan pencemaran lingkungan,

khususnya sampah rumah tangga merupakan salah satu pokok persoalan liturgis. Serta

liturgi, dalam arti teologisnya yang luas menjadi sarana yang berdaya untuk

13

R. R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen. Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2010, hlm. 45-52. 14

Fredrik Y. A. Doeka, Maria dan Rabi’a. Kupang: Artha Wacana Press, 2005, hlm. 15-17. 15

Celia Deane-Drummond, Teologi dan Ekologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012, hlm. 92. 16

Larry L. Rasmussen (terj.), Komunitas Bumi: Etika Bumi Baru. Jakarta: BPK Gunug Mulia, 2010, hlm.15. 17

E. Martasudjita. Liturgi; Pengantar Untuk Studi dan Praksis Liturgi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2011,

hlm. 107. Adolf. Adam, Foundations of Liturgy: An Introduction to Its History and Practice. Collegeville -

Minnesota: The Liturgical Press,1992, hlm. 10-11.

Page 8: Environment Ethic

8 Perayaan Kehidupan

memengaruhi perubahan jemaat dan masyarakat.18

Konsekuensi dari pengaruh itu

ditandai dengan upaya gerakan konkret cinta lingkungan melalui pengelolaan sampah

yang baik.19

Bila demikian, dalam latar belakang ini, penulis dapat menyimpulkan duduk

perkaranya sebagai berikut:

1. Oleh karena persoalan sampah rumah tangga yang bila tidak ditangani (dikelola)

secara baik akan menimbulkan kerugian pada manusia sebagai subyeknya, dan

lingkungan secara utuh, maka perlu suatu penanganan konkret.

2. Penanganan ini membutuhkan suatu upaya akomodasi terhadap kekrisisan

pemahaman atau kesadaran (disiplin masyarakat20

) dan cara bersikap jemaat dan

masyarakat mengenai lingkungan hidup, khususnya mengenai pengelolaan

sampah rumah tangga.

3. Penanganan tersebut merupakan bagian bidang ekologis dari misi gereja, maka

salah satu cara adalah melalui suatu uraian teologi liturgis mendalam, yang

menimbulkan pengertian dan kesadaran tentang lingkungan. Juga sebaliknya,

menimbulkan pengertian dan pemahaman tentang liturgi sebagai sebuah

perayaan iman oleh segenap ciptaan. Uraian ini dilakukan sampai memunculkan

dimensi-dimensi lain dari liturgi terhadap persoalan lingkungan hidup,

khususnya sampah rumah tangga.

Dari uraian latar masalah di atas, penulis terdorong untuk melakukan studi

berdasarkan penelitian lapangan. Penelitian dimaksud bertujuan untuk memperoleh data

tentang persoalan pengelolaan sampah rumah tangga dan dampak pencemaran

lingkungan, serta hubungannya dengan liturgi.

18

Celia Deane-Drummond, op. cit, hlm. 99-100. 19

E. Martasudjita, op. cit., hlm. 95. 20

K. Bertens, Perspektif Etika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001, hlm. 141-142.

Page 9: Environment Ethic

9 Perayaan Kehidupan

Dalam hubungannya dengan liturgy, maka studi ini bertolak dari pertanyaan,

tentang bagaimana liturgi gereja atau ibadah, dari pengertian yang autentik, dapat

mengungkapkan dan meneguhkan iman kepada Tuhan Pencipta dalam melaksanakan

pola hidup yang bersesuaian dengan lingkungan. Pola hidup ini mesti nyata ditunjukkan

dalam perilaku yang benar dalam segala aspek hidup, termasuk mengelola sampah

secara benar, sesuai dengan apa yang diperoleh dalam penghayatannya terhadap liturgi

atau ibadah. Di samping itu, dalam lingkup yang luas, mengajak umat beriman untuk

terlibat aktif dalam gerakan konkret bagi upaya penegakan keadilan dan cinta alam

lingkungan dalam masyarakat.

Pada hematnya, liturgi diposisikan menjadi pendasaran teologis dalam membangun

kesadaran dan pemahaman masyarakat dan jemaat. Liturgi diuraikan menurut teologi

liturgi gereja sebagai alat tilik teologis terhadap lingkungan hidup, khususnya persoalan

pengelolaan sampah rumah tangga yang tidak efektif. Serta bagaimana liturgi tidak

hanya dipahami dalam arti yang terbatas, sebagai aturan-aturan ibadah saja. Tetapi justru

pada praksis liturgisnya, etika lingkungan dapat berlaku di dalamnya. Juga ini berarti

bahwa ketika etika lingkungan dipertanyakan posisinya dalam melihat persoalan krisis

lingkungan yang diakibatkan oleh persoalan sampah rumah tangga, maka secara

metodologis, atau disiplin (ilmu dalam) kajian, justru ini merupakan praksis liturgisnya.

Hematnya, etika lingkungan hadir dalam praksis liturgis.

Dengan begitu maka, menurut penulis, karya ilmiah ini dapat memperoleh judul

“PERAYAAN KEHIDUPAN” dengan sub judul: “SUATU TINJAUAN

EKOTEOLOGIS-LITURGIS TERHADAP PERSOALAN PENGELOLAAN

SAMPAH RUMAH TANGGA KELURAHAN OEBA, KECAMATAN KOTA LAMA,

DI JEMAAT GMIT EBENHAEZER OEBA, KLASIS KOTA KUPANG”.

Page 10: Environment Ethic

10 Perayaan Kehidupan

B. MASALAH POKOK

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah tersebut dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah penanganan sampah rumah tangga sebagai fakta persoalan

lingkungan oleh di kelurahan Oeba?

2. Bagaimana dasar ekoteologis-liturgis (tentang “perayaan kehidupan”) menyangkut

persoalan pengelolaan sampah rumah tangga?

3. Bagaimana refleksi ekoteologis-liturgis berbasis jemaat serta bagaimana (gereja)

menyikapi persoalan pengelolaan sampah rumah tangga sebagai sikap ekoteologis

- liturgis (praksis) di Jemaat GMIT Ebenhaezer Oeba?

C. PEMBATASAN MASALAH

Bertolak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis akan lebih

mengfokuskan perhatian pada persoalan pencemaran lingkungan sebagai persoalan

liturgis. Penulis mengfokuskan pada, bagaimana persoalan pandangan dan cara bersikap

ekoteologis-liturgis dari jemaat (JEO) dan masyarakat terhadap pengelolaan sampah

rumah tangga. Maksudnya adalah bahwa bagaimana cara bersikap liturgis (praksis)

berdasarkan dasar teologisnya terhadap penanggulangan sampah rumah tangga di

Kelurahan Oeba, Jemaat Ebenhaezer Oeba, Klasis Kota Kupang.

D. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui penanganan sampah rumah tangga dan persoalan mendasar.

Karena berhubungan langsung dengan krisis lingkungan hidup yang diakibatkan

langsung oleh sampah rumah tangga. Serta pemeliharaan dan pelestarian

lingkungan atau alam.

Page 11: Environment Ethic

11 Perayaan Kehidupan

2. Untuk mengetahui pandangan dan sikap gereja/jemaat (praksis liturgis) terhadap

persoalan sampah rumah tangga.

3. Untuk mengetahui perspektif teologi liturgis mendalam tentang perayaan

kehidupan, yang tidak terikat pada pengertian praktis yaitu berkaitan dengan

norma-norma liturgi atau aturan-aturan liturgi saja, seperti bagaimana harus

berdoa, menyanyi, atau kapan harus duduk dan berdiri. Perspektif teologis yang

dibangun ini, dimunculkan dengan melihat pendekatan mendasar teologi liturgi

yang trinitaris.

4. Untuk mengimplementasikan teologi liturgi dimaksud dalam menangani persolan

sampah rumah tangga.

E. METODE PENELITIAN dan PENULISAN

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian observasional analitik, yaitu mengamati

dan menganalisis data dan diolah kemudian disajikan sesuai dengan tujuan. Metode yang

digunakan adalah survei dan wawancara dengan alat bantu pedoman wawancara dan

kuesioner. Dengan begitu, dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode sebagai

berikut:

a. Penelitian

Penelitian adalah cara pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan secara

manual. Pencarian data secara manual sebagaimana dijelaskan Kuncoro meliputi

penelusuran data secara fisik melalui penggunaan indeks, bibliografi, dan referensi

pustaka. Pendekatakan pustaka untuk mendapatkan dukungan teoritis yang relevan

dengan data penelitian yang dilakukan.21

Karena itulah penulis menjabarkannya

demikian:

21

Scribd.com., Bab.III. Metode Penelitian Template. Rabu, 2 Juli 2014.

Page 12: Environment Ethic

12 Perayaan Kehidupan

1. Jenis Penelitian.

a. Penelitian Kepustakaan (library research) yakni menggunakan dokumen-

dokumen atau sumber data berupa bahan puskata yang mendukung studi.

b. Penelitian lapangan (field research), yakni pengamatan langsung mengenai

objek dan permasalahan yang diangkat tentang persoalan sampah rumah

tangga dan pengelolaannya di Kelurahan Oeba, Jemaat Ebenhaezer Oeba.

2. Lokasi penelitian di Kelurahan Oeba, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang,

Provinsi Nusa Tenggara Timur.

3. Populasi dan sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan komunitas yang hendak diteliti.22

Populasi

dalam penelitian adalah warga jemaat atau kelurahan Oeba. Dengan

memperhatikan keterbatasan waktu dan dana yang tersedia, maka sampel yang

diambil dari sebagian populasi yang layak memberikan pemikiran, ide, gagasan

demi kelengkapan penulisan ini serta tujuan penelitian lapangan (pursposive

sampling). Dengan demikian jumlah sampel secara variabel (faktor atau unsur

yang ikut menentukan perubahan) terdiri dari:

1. 15-20 rumah tangga, yang terbagi atas 3 RT di kelurahan Oeba.

2. Sampel lain diambil dari jumlah informan ialah: 4 orang pendeta dari lembaga

gereja.

3. 1 orang lurah dan beberapa jajarannya, khususnya seksi kesejahteraan sosial.

4. Pihak Dinas kebersihan dan jajaran yang terkait dengan obyek penelitian.

Serta beberapa anggota masyarakat, yaitu jemaat dalam hal ini bebas, entah

orangtua, muda-mudi dan anak-anak.

22

Djarwanto Ps, Pokok-Pokok Metode Riset dan Bimbingan Teknis Penulisan Skripsi, Yokyakarta: Libenty,

2000, hlm. 42.

Page 13: Environment Ethic

13 Perayaan Kehidupan

4. Teknik Pengumpulan data

a. Observasi.

Observasi dilakukan dengan mengamati langsung objek di lapangan dan

melakukan pengambilan gambar berupa foto yang dianggap akan mendukung

kegiatan penelitian ini. Objek pengamatan pada lokasi studi antara lain; kondisi

sampah dan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah.

b. Kusioner

Penelitian ini menggunakan teknik pertanyaan terstruktur dengan membuat daftar

pertanyaan dalam bentuk kuesioner, bertujuan untuk mendapatkan informasi dan

opini responden tentang objek penelitian. Kuesioner dilakukan dengan cara

menyebarkan daftar pertanyaan tertulis kepada responden, yaitu Kepala Keluarga

yang tinggal di lokasi studi, untuk dijawab pula secara tertulis oleh responden.

c. Wawancara

Pada penelitian ini juga dilakukan pengumpulan data dengan cara mewawancarai

masyarakat secara tersusun, yaitu ketua RT, toko masyarakat, dan pemerintah

yaitu Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Kupang, bertujuan untuk

melengkapi data yang tidak termuat dalam data sekunder.

5. Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari: pertama, data

primer, yakni data yang diperoleh langsung dari responden melalui observasi

lapangan (partisipatif dan nonpartisipatif) dan wawancara langsung. Kedua, data

sekunder, yakni data yang diperoleh baik dari dokumen maupun data yang

terdapat pada dinas-dinas kebersihan kota, atau pihak-pihak terkait yang

mengurusi persoalan sampah.

Page 14: Environment Ethic

14 Perayaan Kehidupan

b. Penulisan

Metode yang dipakai dalam penulisan ini, yakni metode deskriptif-analitis-reflektif.

Metode deskriptif digunakan untuk menjelaskan gambaran persoalan sampah di

Jemaat Ebenhaezer yang begitu mengotori lingkungan. Metode analisis digunakan

untuk mengungkapkan sebab-sebab/faktor-faktor penyebab. Refleksi teologis

dimaksudkan untuk meninjau secara teologis liturgis terhadap persoalan sampah

rumah tangga.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam studi ini, penulisan akan dibuat secara sistematis, sebagai berikut:

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Masalah Pokok

C. Pembatasan Masalah

D. Tujuan Penulisan

E. Metode Penelitian dan Penulisan

F. Sistematika Penulisan

BAB. I. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Dalam bab ini penulis memaparkan gambaran umum lokasi penelitian, letak dan batas,

mata pencaharian, mata pencaharian penduduk, kepercayaan, pendidikan, struktur

pemerintahan, pendidikan, aktifitas masyarakat dalam hubungannya dengan pembuangan

atau pengelolaan sampah.

BAB. II. SAMPAH DAN PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA

KELURAHAN OEBA, KECAMATAN KOTA LAMA

Di dalam bab ini penulis menjelaskan tentang aktivitas produktif masyarakat atau jemaat

dalam hubungannya dengan pengelolaan persampahan rumah tangga yang dihasilkan dari

Page 15: Environment Ethic

15 Perayaan Kehidupan

aktivitas kerumahtanggaan oleh tiap-tiap keluarga. Disusul dengan analisis sosio-ekologi

dalam ilmu kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan.

BAB. III. DASAR TEOLOGIS DAN REFLEKSI TEOLOGIS

a. Dasar Teologis Ekoteologis-Liturgi : Pendasaran ini dilakukan secara

sistematis dan alkitabiah (PL dan PB) dan tradisi-tradisi teologi. Semuanya

merujuk pada cara dan sumber-sumber berteologi tentang ekologi dan liturgi.

b. Refleksi Teologis : Dalam bab ini penulis akan berusaha

menggambarkan beberapa tinjauan Teologis (eko-liturgis) terhadap persoalan

persampahan rumah tangga dan implikasinya terhadap kehidupan berjemaat dan

masyarakat.

BAB. IV. PENUTUP :

a. KESIMPULAN

b. SARAN

Page 16: Environment Ethic

16 Perayaan Kehidupan

Page 17: Environment Ethic

17 Perayaan Kehidupan

Page 18: Environment Ethic

18 Perayaan Kehidupan

Page 19: Environment Ethic

19 Perayaan Kehidupan

BAB I

GAMBARAN UMUM KELURAHAN OEBA

Pada bab ini akan dipaparkan tentang gambaran umum mengenai keadaan Kelurahan Oeba,

yang menjadi populasi obyek penelitian. Gambaran ini diperlukan agar dapat memahami

keadaan masyarakat Kelurahan Oeba berhubungan dengan masalah yang akan dibahas.

Dalam hal ini ditampilkan deskripsi mengenai letak geografis kelurahan, keadaan topografis,

demografis, data statistik dan permasalahan lingkungan yang merupakan urgensi studi ini.

Gambaran-gambaran dimaksud dapat dibutuhkan berkaitan dengan sumber data deskriptif

bagi kebutuhan uraian bab selanjutnya. Dengan kata lain, bab ini sebagai latar di mana obyek

penelitian berlangsung, sekaligus merupakan konteks yang mengantar studi ini dapat

dilangsungkan dalam bingkai yang sistematis.

A. Kelurahan Oeba

1. Letak Geografis dan Batas Administrasi

Letak geografis yang mencakup batas administrasi wilayah, oleh suatu pemerintahan

di tempat tertentu, wajib ditetapkan. Penetapan ini bertujuan untuk menjalankan

wewenang pemerintahan. Letak geografis dan batas administrasi bermanfaat dalam

beberapa hal, diantaranya, ialah untuk mempertegas cakupan wilayah administrasi –

cakupan wilayah kewenangan suatu pemerintahan daerah dan efisiensi dan efektivitas

pelayanan kepada masyarakat.23

Sebagai salah satu wilayah pemerintahan, Kelurahan Oeba merupakan salah satu

kelurahan dari 10 kelurahan yang berada dalam wilayah administrasi Pemerintahan

23

Penegasan Batas Daerah. Sebuah bahan pelatihan pada Raker Gubernur Kalbar Dengan Para Bupati,

Walikota dan Camat se-KALBAR Pontianak, 29 Januari 2010. Pdf., hlm. 8.

Page 20: Environment Ethic

20 Perayaan Kehidupan

Kecamatan Kota Lama – Kota Kupang. Pusat pemerintahan Kelurahan Oeba

berlangsung di kantor lurah yang terletak di Jl. Beringin, dengan Kode Pos 85226.24

Secara geografis, luas kecamatan Kota Lama ialah 3.22 km2

atau 1,78 persen dari

luas Kota Kupang.25

Sedangkan luas wilayah Kelurahan Oeba adalah 0,60 km2

(60

Ha). Sebagian besar dari luas wilayah tersebut dipergunakan untuk pemukiman

penduduk, fasilitas umum dan beberapa badan usaha.

Wewenang pemerintahan Kelurahan Oeba, terjadi dalam koordinasi intansial

dengan kecamatan pada khususnya. Jarak antara Kelurahan Oeba dengan kantor

Kecamatan Kota Lama diperkirakan ± 500 meter. Sedangkan jaraknya dengan kantor

Walikota Kupang adalah 3,2 km.26

Menurut letaknya, Kelurahan Oeba memiliki batas-batas wilayah administrasi

untuk menjalankan pemerintahannya, sebagai berikut:27

Sebelah Utara : Berbatasan dengan Jl. A. Yani dan Kelurahan Fatubesi.

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kelurahan Oebobo dan Kelurahan Oetete.

Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kelurahan Pasir Panjang dan kelurahan

Nefonaek.

Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kelurahan Merdeka.

24

Data statistik Kecamatan Kota Lama tahun 2013, BPS (Badan Pusat Statistik) Kota Kupang, hlm. 6. 25

Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Kupang, 22 November 2014. 26

BPS Kota Kupang, 2010, hlm. 7 & 9. 27

Kristofel Hibu (pegawai Kelurahan Oeba ), wawancara, Kelurahan Oeba, 18 November 2014. Dan dalam

Laporan Bulanan, Keadaan Bulan Oktober 2014, Pemerintah Kelurahan Oeba, Kecamatan Kota Lama, Kota

Kupang, hlm. 3.

Page 21: Environment Ethic

21 Perayaan Kehidupan

Gambar. 1. Peta Administratif Kelurahan

(Sumber: Kantor Kelurahan Oeba, 2014)

Dalam luas wilayah, batas wilayah dan kependudukannya ini, wewenang dan

pelayanan pemerintahan Kelurahan Oeba dilangsungkan.

2. Keadaan Topografi

Topografi umumnya menyuguhkan relief dan gambaran permukaan bumi di suatu

tempat. Keadaan topografi mesti digambarkan oleh suatu wilayah atau daerah tertentu,

berhubungan dengan strategi penataan ruang terbangun suatu wilayah. Dalam hal ini,

dapat digambarkan bahwa, Kelurahan Oeba terletak pada jarak 1500 meter dari garis

pantai Teluk Kupang yang seluruh wilayahnya berupa daratan, dengan topografi

dataran yang tidak rata dan perbukitan yang ditandai dengan keadaan tanah berbatu

karang. Dari sisi lain, letak topografis kelurahan bila dilihat dari sisi pembangunan

perkotaan, termasuk dalam kawasan perdagangan dan pemukiman karena berada

dalam jarak yang ideal dari garis pantai.28

Keadaan iklim, tentu menyesuaikan iklim dan letak geografis Kota Kupang, yang

tercatat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 2013. Kota

Kupang dipengaruhi iklim daerah tropis dengan 2 musim, yaitu musim kemarau pada

28

Data statistik Kecamatan Kota Lama, op. cit., hlm. 6.

Page 22: Environment Ethic

22 Perayaan Kehidupan

bulan April–November dan musim penghujan antara bulan Desember–Maret. Curah

hujan tahunan rata-rata sebesar 1.589 mm, suhu udara berkisar antara 23ºC sampai

dengan 34ºC, dengan kelembaban udara rata-rata 77 %.29

3. Struktur Organisasi dan Tugas Lurah

Kelurahan adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia yang berada di bawah

kecamatan. Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, kelurahan merupakan

wilayah kerja lurah sebagai Perangkat Daerah Kabupaten atau kota. Kelurahan

dipimpin oleh seorang lurah yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Kelurahan merupakan unit pemerintahan terkecil setingkat dengan desa. Berbeda

dengan desa, kelurahan memiliki hak mengatur wilayahnya lebih terbatas. Dalam

perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan.30

Menurut alur tugas pokok dan fungsinya, diatur menurut peraturan daerah. Dalam

hal ini, kelurahan sekaligus kecamatan di Kota Kupang, diatur menurut Peraturan

Daerah Kota Kupang Nomor 8 Tahun 2008, tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kecamatan dan Kelurahan di Kota Kupang. Dalam pasal 6 disebutkan bahwa

kelurahan merupakan wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah yang

berkedudukan di wilayah kecamatan. Dalam jalur koordinasi, lurah berkedudukan di

bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui camat.31

29

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 2013, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)

Kota Kupang Tahun 2014, hlm. 8. 30

http://febryaristian.blogspot.com/2012/12/perbedaan-desa-dengan-kelurahan_29.html. Diakses tanggal, 12

Desember 2014. 31

Laporan Bulanan, op. cit., hlm. 1.

Page 23: Environment Ethic

23 Perayaan Kehidupan

Adapun tugas pokok dan fungsi lurah adalah menyelenggarakan urusan

pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Serta melaksanakan urusan

pemerintahan yang dilimpahkan oleh Walikota.

Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, lurah mempunyai

fungsi sebagai berikut:

1. Penggerak partisipasi masyarakat;

2. Pelaksanaan tugas yang menjadi tugas di bidang pelayanan masyarakat;

3. Pelaksanaan tugas yang menjadi tugasnya di bidang pemberdayaan

masyarakat;

4. Pelaksanaan tugas-tugas dalam rangka pembinaan ketentraman dan ketertiban;

5. Pelaksanaan koordinasi instansional dan kemasyarakatan di wilayah kerjanya;

6. Pelaksanaan tugas-tugas yang lain diberikan oleh camat sesuai bidang tugas

dan kewenangannya dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas Kecamatan.

Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai kesatuan, maka semua

aktivitas pelayanannya dilaksanakan dalam bingkai komposisi susunan organisasi

yang demikian:32

1. Lurah : Maria A. Salensi, SE

2. Sekretaris Lurah : Jacob J.A. Ndolu, S.Sos

3. Kepala Seksi Pemerintahan dan Trantib : Kristofel Hibu

4. Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat : Merry L.Ng. Tagudedo, SP

5. Kepala Seksi Kesejahteraan Sosial : Enggelina Malelak

6. Kepala Seksi Pelayanan Umum : Imelda Merry Lami, S.Sos

7. Staf : 1. Susana Anakay

32

Ibid., hlm. 3.

Page 24: Environment Ethic

24 Perayaan Kehidupan

: 2. Paulina Lince Koro

: 3. Andrew C.J. Messakh, S.Ip

8. Tenaga Fasilitator : Ellen Regina Pelupessy, SH

9. Pegawai Tidak Tetap : Jefry A. A. Nenohai

Dalam struktur yang demikian, pelayanan pemerintahan akan menjadi efektif

apabila dijalankan dalam koordinasi yang dibagi ke dalam beberapa wilayah Rukun

Warga (RW) dan Rukun Warga terbagi menjadi beberapa wilayah Rukun Tetangga

(RT). Di Kelurahan Oeba, koordinasi yang terbagi dalam 4 RW dan 14 RT, dengan

pembagian sebagai berikut:

1. RW I membawahi RT 01, RT 02, RT 03

2. RW II membawahi RT 04, RT 05, RT 06, RT 07

3. RW II membawahi RT 08, RT 09, RT 10, RT 11

4. RW IV membawahi RT 12, RT 13 dan RT 14.

4. Keadaan Demografi

Gambaran demografis berguna untuk mengembangkan hubungan sebab akibat antara

fakta perkembangan penduduk dengan bermacam-macam aspek organisasi sosial,

ekonomi, budaya, lingkungan dan lain-lain. Keadaan demografis Kelurahan Oeba

dapat diperoleh melalui hasil sensus penduduk dan registrasi penduduk yang

dilakukan oleh pihak kelurahan yang berkoordinasi dengan RT dan RW, dan pihak

terkait.

4.1.Penduduk

Berdasarkan letak geografisnya yang cukup strategis, yakni berada di sekitar

pusat Kota Kupang, maka jumlah penduduk di Kelurahan Oeba yang pesat telah

menjadi bagian inheren dari gambaran Kelurahan Oeba. Perkembangan penduduk

Page 25: Environment Ethic

25 Perayaan Kehidupan

yang tergolong pesat namun relatif, karena itu dalam satu bulan terakhir

mengalami sedikit penurunan. Paling tidak perkembangan penduduk ini salah

satunya dipengaruhi oleh faktor urbanisasi, yaitu migrasi penduduk dari desa ke

kota. Faktor ini menjadi dominan, oleh karena adanya beberapa daya tarik

penting.33

1. Daya tarik ekonomi. Masyarakat pendatang berharap di kota

nasibnya dapat berubah dengan pekerjaan yang lebih baik. 2. Daya tarik sosial.

Masyarakat yang berpindah ke kota kebanyakan termotifasi oleh alih profesi,

misalnya dari petani ingin menjadi PNS atau pegawai swasta. 3. Daya tarik

pendidikan. Di kota fasilitas pendidikan lebih memadai daripada di tempat asal,

sehingga adanya pilihan bahwa kota secara definitif adalah pusat tempat belajar.

4. Daya tarik budaya. Di kota tempat hiburan lebih banyak daripada di desa dan

lebih modern sehingga masyarakat pendatang memilih ke kota untuk mencari

hiburan. 5. Daya tarik romantisme kota. Di kota dianggap dapat memberi rasa

yang estetik dan menarik hati pada segala aspek secara planologis dan

suprainfrastruktur (dominasi unggul fasilitas teknologi: informasi dan

komunikasi).

Faktor urbanisasi ini, mengindahkan volume pertumbuhan penduduk yang

signifikan. Paling banyak para migran merupakan masyarakat urban yang datang

untuk menikmati fasilitas pendidikan dan perkembangan ekonomi. Karena itu,

signifikansi dari perkembangan tersebut, akan ditandai dengan jumlah penduduk

dan jumlah pemukiman. Semakin banyaknya jumlah penduduk menyebabkan

kebutuhan akan tanah untuk tempat tinggal semakin meningkat yang berimplikasi

pada pengurangan luas lahan pertanian, lahan kosong dan lahan hijau. Faktor

urbanisasi pada akhirnya merupakan bentuk urbanisasi yang paling memperoleh

33

Sri Widiati & Hari Kusnanto (penj.), Planet Kita, kesehatan Kita. Laporan Komisi WHO Mengenai

Kesehatan Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001, hlm. 41-46, 75-76.

Page 26: Environment Ethic

26 Perayaan Kehidupan

perhatian oleh suatu daerah perkotaan. Dalam hal ini, menurut rincian data

Kelurahan Oeba, jumlah populasi penduduk dipaparkan sebagai berikut:34

Laki-laki : 2.426 orang

Perempuan : 2.314 orang

Jumlah Total : 4.740 orang

Jumlah Kepala Keluarga (KK) laki-laki sebanyak 1.128. Sedangkan jumlah

KK perempuan sebanyak 149; sehingga total jumlah KK sebanyak 1.277 KK.

Masing-masing dari tiap KK rata-rata berjumlah 3-8 orang.

Untuk memperjelas tingkat perkembangan penduduk Kelurahan Oeba akibat

faktor urbanisasi, migrasi dan tingkat kelahiran, maka dapat dilihat dalam tabel

berikut:

Uraian

Penduduk

WNI WNA WNI+WNA

L P Jmh L P Jmh L P Jmh

Penduduk

awal bulan

ini

2.427 2.321 4.748 - 2.427 2.321 4.748

Kelahiran

bulan ini

2 - 2 - 2 - 2

Kematian

bulan ini

- 2 2 - - 2

2

Pendatang

bulan ini

3 1 4 - 3 1 4

Pindah bulan

ini

6 6 12 - 6 6 12

34

Laporan Bulanan, op. cit., hlm. 4.

Page 27: Environment Ethic

27 Perayaan Kehidupan

Penduduk

akhir bulan

ini

2.426 2.314 4.740 - - - 2.426 2.314 4.740

Tabel. 1. Tingkat perkembangan penduduk

4.2. Sarana Pendidikan dan Tingkat Pendidikan

Menurut letak kelurahan yang strategis, masyarakat dapat dengan mudah

mengakses sarana pendidikan yang tersedia, baik di sekitar kelurahan maupun

wilayah kelurahan. Sarana pendidikan yang dimaksud tergolong menunjang

kebutuhan pendidikan hingga tingkat akhir. Setiap penduduk dapat menikmati

sarana pendidikan dan pelayanan yang tersedia mulai dari PAUD (Pendidikan

Anak Usia Dini) hingga perguruan tinggi, swasta, negeri maupun informal,

seperti kursus mengemudi dan kecantikan.

Adapun sarana pendidikan dan tingkat pendidikan yang terdapat di dalam

wilayah Kelurahan Oeba, dapat ditunjukan dalam dua jenis tabel tabel berikut:35

Sarana Pendidikan Milik

Pemerintah Swasta

PAUD - 5

TK - 1

SD/MI 1 -

SLTP/MTs - -

SLTA/MA - -

PERGURUAN TINGGI - -

PENDIDIKAN INFORMAL 3

35

Ibid., lampiran, hlm. 1-2.

Page 28: Environment Ethic

28 Perayaan Kehidupan

(Kusus-kursus) 3

Jumlah 1 12

Tabel. 2. Sarana Pendidikan di wilayah Kelurahan Oeba

NO. Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk

Laki-laki Perempuan Jumlah

1 Belum Sekolah 183 213 396

2 TK 75 38 113

3 SD 185 123 308

4 SLTP 110 106 216

5 SLTA 167 127 294

6 D 3 (Diploma) 108 20 128

7 S 1 (Sarjana Strata 1) 198 103 301

8 S 2 (Sarjana Strata 2) 3 - -

9 S 3 (Sarjana Strata 3) - - -

10 Buta Huruf - - -

11 Lainnya 1.400 1.584 2.984

Jumlah 2.429 2.314 4.743

Tabel. 3. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan.

Dari tabel 3 di atas, tingkat pendidikan yang tergambar demikian dapat

menunjang perkembangan penduduk. Minimal dari tingkat pendidikan warga

tidak ada yang warga yang buta huruf dan tidak dapat berhitung. Dalam hal ini,

tingkat pendidikan menjadi gambaran dari kualitas suatu masyarakat Kelurahan

Oeba. Tingkat pendidikan secara kuantitatif ini, dapat dijadikan tolok ukur

perkembangan dan pembangunan suatu wilayah. Dengan kata lain, perkembangan

dan pembangunan itu turut ditentukan oleh faktor jumlah dan kualitas pendidikan.

Page 29: Environment Ethic

29 Perayaan Kehidupan

4.3. Mata Pencaharian

Penduduk daerah dekat pantai mempunyai karakteristik yang disesuaikan dengan

keadaan daerahnya. Ini berarti, mata pencaharian disesuaikan dengan

ketersediaan sumberdaya alam berdasarkan letak geografis.

Dengan meninjau akan letak geografis Kelurahan Oeba yang berada di

tengah kota, berdekatan dengan pantai dan daerah pasar, maka sebagian besar

penduduk Kelurahan Oeba berprofesi sebagai pedagang kecil (310 orang),

nelayan (470 orang) dan jumlah PNS dan PNS TNI/POLRI (381 orang). Dari

tingkat mata pencaharian yang demikian, maka Kelurahan Oeba masih tergolong

miskin dan berpendapatan rendah.36

Dari hasil survei, terdapat beberapa keluarga

yang berpendapatan minimun Rp. 7000 – Rp. 20. 000/ hari.37

Mata Pencaharian Jumlah Penduduk

Laki-laki Perempuan Jumlah

PNS 192 158 350

TNI 1 1 2

POLRI 33 7 40

PNS TNI/POLRI 26 27 53

GURU 100 120 220

DOSEN 12 26 38

DOKTER 1 3 4

MANTRI/BIDAN - 3 3

PETANI/NELAYAN 270 200 470

PENGEMUDI 35 - 35

36

Laporan Bulanan, op. cit., hlm. 4. 37

Hasil survei di RT. 07, 29-30 Oktober 2014.

Page 30: Environment Ethic

30 Perayaan Kehidupan

MONTIR/TUKANG SERVIS 17 - 17

PEDAGANG 185 125 310

PENSIUNAN PNS 83 56 139

PURNAWIRAWAN TNI 13 5 18

PURNAWIRAWAN POLRI 5 8 13

PENGUSAHA/LAIN-LAIN 1.451 1.573 3.024

Jumlah 2.424 2.312 4.736

Tabel. 4. Tingkat mata pencaharian penduduk.

5. Agama dan Sarana Peribadatan

Wilayah kelurahan tidak terdapat gedung kebaktian atau pun sarana keagamaan apa

pun. Namun, di sekitarnya terdapat beberapa sarana keagamaan seperti gedung

kebaktian Jemaat GMIT Ebenhaezer Oeba di wilayah dan Pura Oebanatha yang

terletak di Kelurahan Fatubesi dan Masjid Nurrul Quwwah di Kelurahan Oetete.38

6. Keadaan Sosial Kemasyarakatan

Dari jumlah penduduk yang telah dipaparkan di atas, sebagian besar masih terbelit

akan sejumlah kebutuhan tambahan, yang dianggap sangat dibutuhkan. Kebutuhan ini

merupakan bagian yang juga perlu dijawab pemerintah. Pemerintah turut bertanggung

jawab dalam sarana dan bantuan-bantuan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan

masyarakat. Berdasarkan obyeknya, kebutuhan-kebutuhan tersebut diimplementasikan

bagi sebagian masyarakat yang dianggap kurang mampu secara ekonomi. Kebutuhan-

kebutuhan dimaksud diberikan dalam bentuk bantuan-bantuan sosial kemasyarakatan,

antara lain: jatah RASKIN (beras miskin) tahun 2013 sebanyak 152 KK, dan di tahun

2014 (keadaan sampai dengan bulan Juni) sebanyak 153 KK. Penerima Kartu Berobat

38

Hasil Observasi, 22 Oktober 2014.

Page 31: Environment Ethic

31 Perayaan Kehidupan

Gratis (JAMKESDA) tahun 2013 sebanyak 711 orang, dan Kartu Jaminan Kesehatan

Masyarakat (JAMKESMAS) sebanyak 672 orang.39

Dari sebagian besar penerima bantuan ini, dapat disimpulkan bahwa secara

kuantitatif, para penerima bantuan dimaksud masih tergolong dalam masyarakat

kurang mampu. Dengan kata lain, sebagian besar penduduk Kelurahan Oeba (38,12

%) merupakan penduduk miskin dengan penghasilan rendah.

6.1. Fasilitas Umum

Fasilitas umum adalah sarana yang diadakan untuk kepentingan umum yang turut

menjadi penunjang aktivitas sosial dan kemasyarakatan. Fasilitas umum termasuk

sarana dan prasarana umum yang diperlukan/dibutuhkan oleh masyarakat setiap

hari, dan untuk memudahkan kegiatan sehari-hari. Khususnya, di Kelurahan

Oeba, fasilitas umum yang tersedia, antara lain:

1. Sarana Transportasi dan Jalan Raya

Fungsi sarana transportasi ialah melancarkan arus barang dan manusia,

dan untuk menunjang perkembangan pembangunan (the promoting

sector). Sarana transportasi merupakan fasilitas umum yang disediakan,

baik pemerintah maupun swasta, untuk memperlancar transportasi dalam

menunaikan berbagai kegiatan warga.40

Umumnya dipakai untuk

bepergian dalam aktivitas kerja dan sekolah. Sarana transportasi yang

digunakan untuk dapat melintasi wilayah kelurahan ialah transportasi

darat.

Menoleh pada letak geografis, Kelurahan Oeba disebutkan berada

di tengah kota. Letak ini dapat menjadi acuan terhadap jenis alat (sarana)

39

Laporan Bulanan, op. cit., hlm. 4 40

http://jakarta.kompasiana.com/transportasi masalah masyarakat atau institusi .html, diakses 07 Desember

2014.

Page 32: Environment Ethic

32 Perayaan Kehidupan

transportasi yang memudahkan aktivitas warga. Semua alat transportasi

dengan jenisnya dapat melintasi jalur jalan raya yang tersedia, mulai dari

kendaraan bermotor roda dua hingga kedaraan besar roda 10, seperti

mobil konteiner, dan truck-truck pengangkut. Walau jalur jalan raya

dirasakan memadai aktivitas sosial masyarakat, namun sebagian besar

lintasan jalan dalam gang tidak dapat memungkinkan mobil-mobil besar

untuk melintasi dengan baik.

2. Sarana Informasi dan Komunikasi

Sarana informasi dan komunikasi bermanfaat untuk mempermudah

komunikasi antarwarga. Sarana komunikasi yang terdapat di wilayah

Kelurahan Oeba berstatus milik pribadi yang dapat memenuhi kebutuhan

komunikasi secara umum. Warga pada umumnya dapat mengakses

sarana-sarana tersebut seperti handphone, wartel dan warnet.

3. Sarana Hiburan dan Olahraga

Pusat keramaian di Kelurahan Oeba terletak di sepanjang Jalan Ahmad

Yani, yang merupakan salah satu jalan utama di Kota Kupang. Akan

tetapi, jalur jalan tersebut bukan merupakan pusat hiburan warga. Di

Kelurahan Oeba, pusat hiburan dapat diakses sekaligus sebagai sarana

olahraga, yaitu di Stadion Merdeka. Stadion ini dilengkapi dengan fasilitas

lapangan bola kaki, futsal, voli dan basket. Semua sarana ini adalah

fasilitas aset milik Pemerintah Provinsi NTT. Sarana ini bermanfaat bagi

warga sebagai imbangan terhadap padatnya aktivitas kerja, subsistence

activity (kegiatan pengganti/pelengkap), contohnya pendidikan dan

pekerjaan/bekerja.41

41

Ibid., hlm. 16.

Page 33: Environment Ethic

33 Perayaan Kehidupan

4. Sarana Kesehatan

Kebutuhan akan sarana dan pelayanan kesehatan adalah sangat penting,

berkaitan dengan kualitas pertumbuhan dan kesejahteraan penduduk. Di

wilayah Kelurahan Oeba paling tidak memiliki 3 jenis sarana kesehatan,

yang terdiri dari: 3 Posyandu, 1 PUSTU dan 1 Klinik bersalin. Untuk

PUSTU dan Klinik bersalin, pelayanannya masing-masing, berlokasi di

Jalan Kedondong. Sarana-sarana ini merupakan milik pemerintah dan

milik pribadi, yang walaupun bukan merupakan ketegori rumah sakit,

yakni: Puskesmas Pembantu (PUSTU) Oeba, yang dikepalai oleh seorang

perawat, yaitu ibu Dewi (tepatnya di RT 10) dan klinik bersalin milik

bidan Ika Primus (di RT 07).42

5. Sumber Air

Sumber air di Kelurahan Oeba umumnya merupakan sumur galian.

Hampir setiap sumur galian tidak mengalami kekeringan pada musim

kemarau, melainkan hanya mengalami pendangkalan atau penurunan debit

air. Separuh dari titik sumber air dimaksud dipakai secara umum oleh

warga dan pada dasarnya mencukupi kebutuhan aktivitas kerumahtanggan

dan aktivitas lain dari warga, antara lain: Sumur Tedens dan mata-mata air

di sepanjang bantaran kali Merdeka dan kali BRIMOB. Khususnya, mata

air Sumur Tedens dan sekitarnya, dicurigai masih tercemar bakteri E-coli

sejak tahun 2002 hingga sekarang.43

Selain mengandung bakteri, menurut

NTT Research Focus, air Sumur Tedens dikatakan mengandung oli.

Kemungkinan besar di daerah tersebut kebanyakan bengkel membuang

42

Dinas Kesehatan Kota Kupang, dalam Statistik Kecamatan Kota Lama Tahun 2014, BPS Kota Kupang, Pdf.

hlm. 12. 43

Maria A. Salensi (Lurah Oeba), wawancara. Aula BKKBN Propinsi NTT, 23 Oktober 2014.

Page 34: Environment Ethic

34 Perayaan Kehidupan

limbah oli di sembarang tempat.44

Akibat pencemaran pada sumber air

tersebut, warga setempat hanya dapat mengkonsumsinya untuk mandi,

cuci pakaian dan motor. Padahal untuk air minum bersih sangat

dibutuhkan sebagai kebutuhan esensial bagi standar kehidupan.

Selain sumber air yang diperuntukan secara umum, warga juga dapat

mengakses sumber air milik pemerintah, yaitu PAM (Perusahaan Air

Minum), serta membeli air tangki.

Semua fasilitas umum yang tersedia, memiliki tujuan untuk menunjang

pertumbuhan penduduk yang berkualitas, pembangunan dan mengsejahterakan

warga dan masyarakat secara umum.

6.2. Fasilitas Ekonomi

Fasilitas perekonomian merupakan bagian penting dalam rangka menunjang

pertumbuhan masyarakat yang pada dasarnya bersifat konsumtif di suatu wilayah

tertentu. Di sekitar wilayah Kelurahan Oeba, fasilitas ekonomi yang tersedia,

pada umumnya dapat memenuhi kebutuhan ekonomis dan konsumsi warga. Bagi

warga yang berdagang dapat memperoleh keuntungan bagi usaha dalam bentuk

dagangan dan jasa, serta bagi para konsumen dapat dengan mudah mengkonsumsi

berbagai jenis barang dagangan yang dibutuhkan.

Fasilitas perekonomian yang tersedia di Kelurahan Oeba, secara umum

terdapat tiga badan usaha. Pertama, badan usaha milik pribadi, yang tergolong

dalam fasilitas ekonomi menengah dan kecil, antara lain: mini market/super

market, pertokoan, kios-kios, rumah makan dan sejenisnya, bengkel, salon

44

IRGSC NTT Research focus adalah publikasi regular (majalah) yang berisikan ringkasan penelitian

tentang NTT yang mutakhir yang dikombinasikan dengan berita dari tiga media harian utama di NTT,

yakni: Pos Kupang, Timor Express dan Victory News. Fokus dari NTT Research Focus adalah pada isu

kesehatan, pangan, nutrisi dan resiko. IRGSC - NTT Research Focus 004 - Health, food, nutrition and risk,

2013, Pdf. hlm. 3.

Page 35: Environment Ethic

35 Perayaan Kehidupan

kecantikan/pangkas rambut, dan wartel/warnet. Kedua, milik yayasan atau

persekutuan badan usaha tertentu, yaitu: Bank Tanaoba Laismanekat (BPR.

TLM) dan Yayasan Tanaoba Laismanekat, dan Hotel Nusantara. Ketiga, ialah

Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu: PT. Pegadaian Syariah (Persero)

Kupang.45

Semua fasilitas tersebut, diperuntukan bagi para konsumen dalam berbagai

lapisan masyarakat dan aktivitasnya masing-masing.

7. Hambatan dan Permasalahan Lingkungan

Dalam menjalani aktivitas pemerintahan, yaitu dalam menjalankan tugas-tugas

pembangunan di bidang pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat,

Kelurahan Oeba memiliki beberapa hambatan-hambatan umum, antara lain:46

a. Tidak prosedural, yaitu antusias warga yang kuat untuk memperoleh berbagai

pelayanan secara instan dan cepat, tetapi tidak menuruti prosedur atau lalai

melengkapi persyaratan.

b. Kekurangan tenaga operator komputer.

Selain hambatan-hambatan yang telah disebutkan, terdapat beberapa masalah-

masalah yang sering muncul di sektor kesejahteraan masyarakat dan lingkungan,

antara lain:47

a. Saluran pembuangan limbah cair/drainase yang tidak dipasang penutup atau

saringannya, hingga banyak kotoran, seperti daun-daun kering atau sampah

kemasan plastik yang masuk dan mengakibatkan ketersumbatan yang

berujung pada disfungsi saluran. Masalah ini dapat dilihat disepanjang jalan

A. Yani (RT. 14, RT. 13, Rt. 12 dan RT.11).

45

Ibid., Lampiran, hlm. 4-6. 46

Kristofel Hibu (pegawai Kelurahan Oeba ), wawancara , Kelurahan Oeba, 18 November 2014. 47

Laporan Bulanan, op. cit., hlm. 10-11.

Page 36: Environment Ethic

36 Perayaan Kehidupan

Gambar. 2. Pembuangan sampah pada drainase

(Sumber: Hasil Olahan Lapangan, 2014)

b. Kerusakan sebagian besar ruas jalan umum, di antaranya, Jl. Beringin, Jl.

Kedondong, Jl. Belimbing dan Jl. Murbey.

c. Kerusakan sarana penerangan, yaitu lampu jalan, sebanyak 46 titik lampu

yang padam, dari 71 titik yang terpasang di punggung jalan dan di gang-

gang. Saat ini, tersisa 25 titik lampu yang berfungsi baik.

d. Kesulitan air bersih selama musim kemarau.

e. Kekurangan sarana persampahan, seperti bak sampah umum atau yang sering

disebut dengan Tempat Penampungan Sementara (TPS), konteiner sampah

dan prasarana persampahan seperti gerobak sampah. Saat ini, Kelurahan

Oeba hanya tersedia lima unit TPS yang masih berfungsi. Ukuran masing-

masing TPS bervariasi, mulai dari ukuran 2 x 2m hingga ukuran 1x1m. Lima

unit TPS itu dibangun di empat wilayah RT, dengan keterangan: Tiga unit

berlokasi di RT. 02, RT. 03, dan RT. 10. Tiga unit TPS ini dibangun

berdasarkan swadaya masyarakat. Masyarakat menghibakan tanah dan

sekaligus membangun secara gotong royong.48

. Sedangkan dua unit TPS

yang berada di RT. 06 dan RT. 11 dibangun berdasarkan dana bantuan PT.

PLN dan PEMKOT (Pemerintah Kota).

48

Frans Ndun (Ketua RT. 09), wawancara, TPU Oeba, 05 Desember 2014.

Page 37: Environment Ethic

37 Perayaan Kehidupan

Jumlah yang sangat minim ini, tentu tidak mampu menampung hasil

produksi sampah warga di tiap RT sekitar TPS, apa lagi sampah seluruh

rumah di Kelurahan Oeba.49

Gambar. 3. TPS di RT. 11, masih berfungsi – milik PEMKOT.

(Sumber: Hasil Olahan Lapangan, 2014)

Gambar. 4. TPS di RT. 10, masih berfungsi – milik Kelurahan.

(Sumber: Hasil Olahan Lapangan, 2014)

Gambar. 5. TPS di RT. 02, milik kelurahan.

(Sumber: Hasil olahan lapangan, 2014)

49

Samuel Malelak (Ketua RT. 10), wawancara, RT 10, 26 Desember 2014.

Page 38: Environment Ethic

38 Perayaan Kehidupan

Gambar. 6. TPS di RT. 06, bantuan PT. PLN.

(Sumber: hasil olahan lapangan, 2014)

Gambar. 7. TPS di RT. 03, milik kelurahan

(Sumber: Hasil olahan lapangan, 2014.)

Beberapa dari jumlah yang sementara tersedia, terdapat tiga lokasi TPS yang

telah dibongkar, yaitu 1 unit di RT. 14 dan 2 unit di RT. 13. Saat ini lokasi

tersebut tidak dapat dimanfaatkan lagi.50

Jumlah TPS yang tersedia ini, nantinya

dimanfaatkan warga untuk pembuangan sampah. Kecenderungan yang

ditemukan ialah bahwa, sampah apa pun dibuang, termasuk ranting-ranting dan

batang pohon yang dilarang dalam peraturan pembuangan.51

Selanjutnya dari hasil pembuangan sampah yang tertampung di TPS, akan

diangkut oleh petugas pengangkut sampah dari Dinas Kebersihan dan

Pertamanan Kota Kupang. Pengangkutan inilah yang merupakan tugas

pemerintah.

50

Hasil observasi pribadi, 13 dan 24 November 2014. 51

Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Penanganan Sampah Rumah

Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Bab. XII. Larangan. Pasal 40.

Page 39: Environment Ethic

39 Perayaan Kehidupan

Gambar. 8. Titik TPS dan bekas TPS

(Sumber: Hasil Observasi Lapangan, 2014)

f. Minimnya kesadaran warga, terutama pengguna jalan umum dan warga

(rumah tangga) dalam menjaga kebersihan lingkungan. Pada umumnya,

melakukan pembuangan sampah yang tidak memerhatikan kesehatan

lingkungan. Sebagai contoh, banyak warga yang membuang sampah pada

bantaran sungai, drainase dan hampir di semua fasilitas umum.

Terhadap permasalahan ini, upaya pemecahannya yang dilakukan oleh

pihak kelurahan ialah dengan berkoordinasi dengan instansi terkait untuk

melakukan perbaikan pada fasilatas yang dianggap rusak. Selanjutnya untuk

menangani permasalahan sampah ialah dengan menggandeng masyarakat

menggalakkan kerja bakti pada tempat-tempat umum dan strategis setiap

minggu.52

Kesimpulan

Kelurahan Oeba dalam letak administrasinya merupakan salah satu kelurahan dari 10

kelurahan di wilayah administrasi Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang. Kelurahan

52

Laporan bulanan, op.cit., hlm. 11., dan hasil penelitian September 2014-Januari 2015.

Ket: PEMKOT PLN Swadaya Warga Dibongkar

Page 40: Environment Ethic

40 Perayaan Kehidupan

yang berstatus perkotaan ini, memiliki wilayah administrasi kerja dengan 4 RW, dan

14 RT. Masing-masing RW membawahi 3-5 RW.

Karakter topografis kelurahan ditandai dengan dataran dan bukit, yang

merupakan wilayah pemukiman penduduk. Dalam pemerintahan, Kelurahan Oeba

dipimpin oleh seorang lurah yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, yaitu Maria

A. Salensi, SE. Pimpinan kelurahan membawahi para rekan kerjanya, yaitu sekertaris,

kepala seksi, staf, tenaga fasilitator dan pegawai tidak tetap.

Kelurahan memiliki kondisi demografis yang ditandai dengan tingkat

perkembangan penduduk atau populasi, dipengaruhi oleh faktor urbanisasi, migrasi

dan tingkat perkembangan alami (kelahiran). Tingkat perkembangan populasi

Kelurahan Oeba dinilai cukup lambat karena merupakan kelurahan dengan tingkat

kepadatan penduduk paling rendah.

Warga Kelurahan Oeba, menurut mata pencaharian rata-rata tergolong dalam

kelas menengah dan kecil. Dalam kelas yang demikian, maka warga Kelurahan Oeba

masih tergolong miskin dan berpendapatan rendah. Sedangkan tingkat pendidikan

dinilai tergolong baik. Hal ini ditandai dengan kurangnya angka putus sekolah dan

tidak adanya warga yang buta huruf. Paling minim para warga pernah mengenyam

pendidikan Sekolah Dasar.

Aktivitas warga dilaksanakan setiap hari dengan ditunjang oleh fasilitas milik

pemerintah maupun pribadi. Fasilitas-fasilitas tersebut dipakai sebagai sarana yang

dapat diakses dengan mudah dan cepat, baik transportasi darat, seperti kendaraan

umum, jalan, sumber air, dan sebagainya. Gambaran aktivitas masyarakat ditandai

dengan tingkat kesibukan yang cukup padat. Aktivitas kerja, kantoran, dan sekolah

Page 41: Environment Ethic

41 Perayaan Kehidupan

dimulai dari pukul 06.00 – 13.00. Bahkan lebih awal dalam aktivitas ialah para

pedagang dan nelayan yang dimulai dari subuh.

Permasalahan yang paling kompleks di Kelurahan Oeba bukanlah masalah

kriminalitas melainkan masalah kesehatan lingkungan. Masyarakat cenderung

mengeluh atas kualitas lingkungan yang cukup memprihatinkan. Keluhan itu

diakibatkan oleh minimnya fasilitas dan pelayanan pihak kelurahan terhadap

lingkungan. Umumnya terjadi pada masalah persampahan, khususnya sampah rumah

tangga dan pengelolaannya. Permasalahan inilah yang kemudian menjadi tajuk yang

digagas untuk studi ini.

Dalam pemilihan tajuk studi, penulis mendasarkan diri pada sensitifitas

ekologis, yang kemudian menuntut penulis peka terhadap lingkungan di Kelurahan

Oeba, berkaitan dengan isu pencemaran yang diakibatkan oleh persampahan,

khususnya sampah rumah tangga. Isu ini seolah-olah menjadi cerita lama yang terus

menerus diperdengarkan tanpa memiliki akhir cerita.

Page 42: Environment Ethic

42 Perayaan Kehidupan

Page 43: Environment Ethic

43 Perayaan Kehidupan

Page 44: Environment Ethic

44 Perayaan Kehidupan

Page 45: Environment Ethic

45 Perayaan Kehidupan

BAB II

SAMPAH DAN PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA

KELURAHAN OEBA, KECAMATAN KOTA LAMA

Pada bab sebelumnya, telah dikemukakan secara deskriptif tentang adanya suatu persoalan

yang urgen di lingkungan Kelurahan Oeba, sebagai obyek penelitian, yaitu persoalan

persampahan dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Persoalan inilah yang menjadi

fokus perhatian, yang mencakup pada sumber sampah, yaitu sampah rumah tangga, dan

kesadaran keluarga mengelola sampah. Jadi, bab sebelumnya merupakan konteks dari studi

teologi saat ini.

Pada bab ini dilanjutkan secara sistematis melalui deskripsi dan analisa untuk

menemukan titik persoalan mendasarnya. Karena itu, pada bab ini akan berisikan tentang

persoalan pengelolaan sampah, mulai dari pengertian umum sampah, pengertian sampah

rumah tangga dan kompleksitas pengelolaannya yang terbatas, hingga menimbulkan

pencemaran. Pencemaran di sini diungkap melalui analisis sosio-ekologis yang didasarkan

pada ilmu lingkungan, ilmu kesehatan masyarakat.

Pencemaran sebagai dampak dari persampahan, khususnya sampah rumah tangga di

Kelurahan Oeba, dipindai lagi secara metodologis dan pendekatan (etis-moral) yang

sekiranya signifikan untuk menemukan beberapa kesimpulan yang menjadi akar dan inti

permasalahannya. Kelanjutan dari pemindaian ini akan ditilik lagi melalui tinjauan

ekoteologis-liturgis pada bab selanjutnya.

Pekerjaan ini dilakukan sebagai sebuah studi etika lingkungan yang memberi

penekanan pada nilai manusia (dengan didahului dengan penilaian moral terhadapnya),

paradigma dan nilai alam atau lingkungan hidup, serta bagaimana manusia berperilaku

berdasarkan nilai yang dianut atas dirinya maupun atas alam. Studi ini diharapkan dapat

membawa hasil yang signifikan bagi perkembangan wawasan lingkungan – berdasarkan

Page 46: Environment Ethic

46 Perayaan Kehidupan

tinjauan ekoteologis-liturgis yang diusulkan, sebagai tinjauan yang sedikit berbeda dari studi

etika lingkungan yang sering muncul dalam berbagai studi green.53

1. Sampah Secara Umum

Dewasa ini isu sampah mengemuka dalam hubungan dengan persoalan lingkungan

hidup. Pembicaraan mengenai sampah selalu diberi porsi penting dalam agenda

pembicaraan tentang lingkungan di ranah lokal dan global (trending topic).

Seiring laju perkembangan modernisasi serta didukung oleh industrialisasi,

teknologi, meningkatnya angka pertumbuhan penduduk dan pembangunan, maka

tentu semakin mengintensifkan urgensi pembicaraan topik tersebut. Salah satu

kebenaran yang perlu diakui di sini, bahwa setiap laju aktivitas modernisasi

meninggalkan bekas pembuangannya ke dalam lingkungan, yakni limbah secara

umum dan sampah secara khusus.

Kata “sampah” dapat dijelaskan dalam dua perngertian. Pertama, dalam arti

harfiah sampah memiliki pengertian disfungsional dan berkonotasi jorok. Secara

disfungsional, sampah merupakan benda atau barang-barang yang dibuang karena

tidak dapat terpakai lagi dalam proses konsumsi dan produksi pada kegiatan-kegiatan

modernisasi. Sampah dalam konotasi kotor, selalu dilihat dalam bentuk yang tidak

estetis, seperti sisa-sia makanan yang dihinggapi lalat atau ulat.54

Kedua, sampah dapat dimengerti secara kiasan dalam kaitan dengan perilaku dan

immoralitas masyarakat yang menunjuk pada kedudukan terendah seseorang atau

sekelompok orang yang berperilaku menyimpang dari norma-norma masyarakat,

seperti melakukan kejahatan, gelandangan, pemabuk dan sebagainya. Karena itu, kata

53

Istilah green menunjuk pada studi-studi dan literatur ekologi dengan berbagai variasai pendekatan. Jim Ife

dan Frank Tesoriero, Community Development (eds. ke3),Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. 54

Syafrudin Adibroto, Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat, Prosiding Diskusi Interaktif Pengelolaan

Sampah Terpadu, Semarang: Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro, Pdf., 2004, hlm. 1.

Page 47: Environment Ethic

47 Perayaan Kehidupan

kiasan sampah yang menunjuk pada gambaran seperti itu sering disebut dengan istilah

sampah masyarakat.

Dalam studi ini, pengertian sampah yang dipakai bukan secara kiasan, melainkan

pengertian sesungguhnya, yaitu barang-barang yang dibuang karena tidak dipakai lagi

dalam menunjang produksi dan konsumsi manusia.

Sebelum melanjutkan pengertian mengenai sampah, dalam pembahasan ini perlu

didahulukan dengan mengartikan kata “limbah” sehingga arti dan perbedaan yang

konsekuen tentang sampah dapat diperoleh. Pengertian yang diperoleh ini ialah

dengan memakai beberapa definisi, sebab dianggap bahwa satu definisi saja tidak

begitu mencukupi.

1.1. Pengertian Limbah

Istilah “limbah” dalam bahasa Inggris, ialah waste. Kata ini berarti sampah sisa.

Kata waste dipakai untuk menunjuk kata „limbah‟ dalam bahasa Indonesia. Walau

begitu artinya, kata ini masih harus dibedakan lagi dari kata sampah secara khusus,

karena kata waste (limbah) memiliki pengertian sampah dalam arti yang luas.55

Secara normatif, ketetapan hukum menurut Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka yang

dimaksud dengan “limbah” adalah sisa kegiatan produksi suatu usaha atau kegiatan

manusia.56

Mengutip Michael. Allaby, kata waste (limbah) diartikan sebagai,

setiap bahan berbentuk padat, cair atau gas yang tidak berguna bagi organisme atau ekosistem

yang menghasilkannya dan karena itu diperlukan pemikiran mengenai cara pembuangannya.57

Pada pengertian ini, limbah perlu dikelola. Keadaan limbah terdiri dari tiga

jenis, yaitu padat (juga setengah padat), cair, dan gas (atau juga radioaktif). Dari

55

R. Borrong, op. cit., hlm. 11-12. 56

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1,

ayat. 16. 57

Michael Allaby, Macmilan Dictionary of Environment, London: Macmillan Press, 1983, hlm. 516.

Page 48: Environment Ethic

48 Perayaan Kehidupan

ketiga jenis limbah ini, maka yang disebut dengan sampah ialah limbah dengan

keadaan padat. Jenis ini sering disebut juga limbah padat. Semua keadaan limbah

tersebut, tersimpan dalam lingkungan alam dan memengaruhinya.58

Limbah pada hakikatnya memiliki sifat yang sama dengan sampah padat, yaitu

memiliki sifat destruktif, mengotori dan mencemar. Sifat tersebut dihasilkan dari

pengertiannya sebagai bahan buangan yang tidak dibutuhkan atau tidak diinginkan

lagi dalam proses produksi dan konsumsi yang dilakukan oleh manusia, hewan,

industri maupun domestik; berbentuk padat, lumpur (sludge), cair maupun gas.59

Walaupun dianggap sudah tidak berguna dan tidak dikehendaki, namun bahan

tersebut terkadang masih dapat dimanfaatkan kembali dan dijadikan bahan baku

dalam kegiatan produksi lain.60

Untuk memeperoleh gambaran umum mengenai limbah, maka perhatikan

bagan berikut:61

Gambar. Bagan. 1.

58

A. Gilpin, Dictionary of Environmental Terms, London: Routledge and Kegan Paul Ltd, 1976, hlm. 169. 59

P. H. Collin, Dictionary of Environment & Ecology (Fifth Edition), Soho Square, London:, Bloomsbury

Publishing Plc, 2004, hlm. 222. 60

D. Hoornweg, L. Thomas, and L. Otten, Composting and its Applicability in Developing Countries ‖, Urban

Waste Management Working Paper Series 8. Washington, DC: World

Bank.http://www.skat.ch/sfweb/activities/ws/cwg/pdf/cwg-01. Pdf. 61

Enri Damanhuri & Tri Padmi, op. cit., hlm. 6.

Bahan Baku

Sekunder

Bahan Baku

Primer Proses Produksi Produk

(Sintesis/Alami)

Pemakaian

Produk/Konsumsi

Bahan Terbuang/Limbah

1.

Padat Cair Gas

Iklim

Modernisasi

Pertanian, Perkebunan

dan Peternakan

industrialisasi

Page 49: Environment Ethic

49 Perayaan Kehidupan

1.2. Mengenal Sampah (Limbah Padat)

Di atas telah dijelaskan bahwa limbah masih harus diperjelas lagi dari sampah. Cara

ini perlu dilakukan mengingat banyak anggapan publik yang belum dapat

membedakan antara limbah dan sampah, atau menjatuhsamakan begitu saja arti

sampah padat dengan limbah secara umum.

Sampah secara khusus merupakan salah satu bentuk dari tiga keadaan limbah,

yang berbentuk padat. Dengan kata lain, sampah adalah bagian dari limbah, tetapi

limbah tidak selalu identik dengan sampah. Meski tidak identik, namun keduanya

memiliki sifat yang identik, yakni mampu mencemari lingkungan. Karena itu, jelas

bahwa sampah berbeda dari limbah, dan perbedaan keduanya terletak pada keadaan

material.

Dalam beberapa definisi, salah satunya menurut Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, mencatat bahwa

sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau dari proses alam yang

berbentuk padat.62

Dengan catatan ini, diperoleh lagi istilah yang lebih konkret bahwa

„sampah‟ harus diperjelas dengan menyebutnya „sampah padat‟ (solid waste).

Hal lain untuk mengenal sampah secara khusus dalam kaitannya dengan

lingkungan, ditekankan bahwa alam tidak mengenal sampah, yang ada hanyalah daur

materi dan energi.

Konsep sampah sendiri lahir saat terjadi interaksi antara aktivitas artifisial

manusia dengan suatu proses alamiah oleh alam. Ini berarti bahwa, sampah tidak

dapat dipisahkan dengan aktivitas manusia yang terjadi di lingkungan hidup manusia.

Untuk menggambarkan interaksi ini, dalam proses alam, misalnya, dedaunan kering

dari beberapa batang pohon di belakang sebuah pemukiman manusia, akan dikatakan

62

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah.

Page 50: Environment Ethic

50 Perayaan Kehidupan

sebagai sampah apabila dedaunan itu terbawa angin dan masuk ke dalam lingkungan

yang dijangkau oleh aktivitas manusia. Kemudian dari proses ini, interaksi terjadi dan

manusia dapat menyebut daun itu sebagai benda pencemar lingkungan karena

memasuki area aktivitasnya.

Definisi tentang sampah sebagaimana sebelumnya, yang dipakai secara global,

dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1971 bahwa, sampah

adalah bahan non-cair yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau

sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan

sendirinya.63

Bahan-bahan yang tidak dikehendaki ini, timbul dari aktivitas domestik,

komersial, industrial, pertanian, pertambangan dan pelayanan publik.64

Rumusan

definisi sampah juga terdapat dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor T-13-

1990, sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari zat organik dan anorganik

yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan

lingkungan dan tidak melindungi investasi bangunan.

Para ahli kesehatan masyarakat Amerika membuat batasan, sampah padat atau

limbah padat (waste) adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak

disenangi, tidak dikehendaki atau sesuatu yang dibuang, yang berasal dari kegiatan

manusia, dan tidak terjadi dengan sendirinya.65

Sesuatu yang tidak dipergunakan lagi,

yang tidak dapat dipakai lagi, tidak disenangi dan harus dibuang, menunjukan bahwa

ada kebutuhan yang mendesak untuk sedapat mungkin sampah harus dikelola dengan

63

http://environment.uii.ac.id/content/view, diakses, 28 November 2014. 64

World Health Organization (1976), Management of Solid Wastes in Developed Countries, WHO Regional

Publications Southeast Asia Series No.1. Pdf. 65

George. Tchobanoglous & Frank Kreith, Handbook of Solid Waste Management (second edition),

Manufactured in the United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2002, hlm. 1.

Page 51: Environment Ethic

51 Perayaan Kehidupan

sebaik-baiknya, sedemikian rupa, sehingga hal-hal yang negatif bagi kehidupan tidak

sampai terjadi.66

Dari batasan definisi di atas, jelas bahwa sampah adalah hasil kegiatan manusia

yang dibuang karena sudah tidak berguna. Dengan demikian sampah mengandung

prinsip sebagai berikut:

1. Adanya sesuatu benda atau bahan padat

2. Adanya hubungan langsung/tidak langsung dengan kegiatan manusia

3. Benda atau bahan tersebut tidak dipakai lagi

4. Bersifat mencemar dan perlu dikelola

Pembatasan definisi ini pun dimensi psikologisnya belum terkandung dalam

dampak dari sampah. Singkatnya, sampah harus disebut secara disfungsional, yakni

limbah yang berupa bahan atau benda padat yang tidak lagi memiliki daya dan nilai

guna, gagal produksi, sudah habis masa terpakai, dan cenderung membahayakan

lingkungan serta organisme. Kecenderungan ini merupakan efek negatif dari sampah,

maka dibutuhkan pengelolaan yang tepat guna terhadapnya. Inilah pengertian hakiki

dari limbah padat atau sampah padat.

1.3. Jenis-jenis Sampah

Berdasarkan asalnya, sampah padat dapat digolongkan menurut sifat biologi dan

kimia, sebagai berikut:

a. Sampah organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan

yang diambil dari alam dan dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan atau

yang lain. Sifat sampah ini dengan mudah membusuk atau mudah diuraikan

dalam proses alamiah, yaitu oleh kegiatan mikroorganisme dan dekomposer,

66

Azrul Azwar, Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Jakarta: Yayasan Mutiara, 1990, hlm. 53.

Page 52: Environment Ethic

52 Perayaan Kehidupan

karena rantai ikatan kimiawinya pendek. Rantai ini yang menentukan waktu

dan kemampuan penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme.

Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik.

Bahan inilah yang rentan diurai mikroorganisme. Berikut yang termasuk

sampah organik ialah, sampah dari dapur, sisa tepung, sayuran, kulit buah, dan

daun. Dalam bahasa Inggris, jenis sampah ini biasa disebut „garbage’ atau

„trash’.67

Sampah pada golongan ini tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan dan

manusia serta tumbuhan. Justru sampah jenis ini memiliki daya dukung

tersendiri jika dijadikan pupuk atau fotosintesa tumbuhan. Sebaliknya, sampah

ini akan berbahaya, apabila dibiarkan membusuk tanpa perlakuan pengelolaan

untuk digunakan. Bahayanya ialah dapat menyebarkan bau busuk dan

berbahaya bagi tubuh manusia. Sebab, pembusukannya menghasilkan gas-gas

beracun seperti Metan dan Sulfida, yang penyebutan kimiawinya ialah H2S.68

b. Sampah anorganik dapat juga disebut sampah sintetik. Artinya, sampah

anorganik tidak diturunkan langsung dari hasil proses alam; bersifat hasil

pengolahan langsung oleh manusia. Sampah anorganik biasa berasal dari

sumber daya alam tak terbarui seperti mineral dan minyak bumi, atau dari

proses industri. Beberapa dari bahan anorganik tidak terdapat di alam seperti

plastik dan alumanium. Sebagian zat anorganik secara keseluruhan tidak dapat

diuraikan oleh alam, khususnya tanah, lumpur dan air. Sedangkan sebagian

lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama. Sebab, sampah

anorganik pada dasarnya mempunyai ikatan rantai kimiawi yang sangat

panjang.

67

Borrong, op. cit., hlm. 123. 68

Ibid., hlm.123-124.

Page 53: Environment Ethic

53 Perayaan Kehidupan

Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga, misalnya berupa botol

plastik dan kaca, tas plastik, kaleng dan benda keras lain. Sampah-sampah

jenis ini dalam bahasa Inggris disebut „refuse‟. Kertas, koran, dan karton

merupakan pengecualian.

Berdasarkan asalnya, kertas, koran, dan karton termasuk sampah

organik yang dapat diurai oleh tanah dengan cepat. Tetapi karena kertas,

koran, dan karton dapat didaur ulang seperti sampah anorganik lain (misalnya,

gelas, kaleng, dan plastik), maka sampah tersebut dimasukan ke dalam

kelompok sampah anorganik, namun harus melalui perlakuan khusus (sintetis)

bila didaur ulang dalam pabrik.69

Jadi, kertas dan lainnya bersifat sintetis dan dengan begitu, tampak

bahwa tidak semua sampah anorganik lama terurai atau sulit terurai. Sebab,

meskipun rantai kimiawi dalam sampah anorganik panjang, tetapi tidak terikat

pada semua komponen atau bahan dasar anorganik. Dengan kata lain, masing-

masing bahan anorganik memiliki tingkat penguraian dan degradibilitas

berbeda-beda dalam komponennya.

Berikut ini contoh urutan tingkat dan kemudahan sampah (organik dan

anorganik) dalam penguraiannya.

Tabel. 4. Tingkat degradibilitas komponen bahan sampah

No. Komponen Sampah Degradibilitas (%)

1. Selulosa dari kertas karbon 90

2. Hemiselulosa 70

3. Karbohidrat 70

4. Selulosa dari kertas bungkus 50

5. Bambu 50

6. Lemak 50

7. Protein 50

8. Ranting 5

9. Lagnin 0

69

Ibid., hlm.123-124.

Page 54: Environment Ethic

54 Perayaan Kehidupan

10. Plastik 0

(Sumber: Hasil Olahan Pustaka) 70

Tabel. 5. Umur degradibilitas beberapa komponen sampah

No. Jenis Sampah Umur Degradibilitas (%)

1. Kertas 2,5 bulan

2. Kardus 5 bulan

3. Kulit Jeruk 6 bulan

4. Busa sabun (deterjen) 20-25 tahun

5. Sepatu Kulit 20-40 tahun

6. Kain nilon 30-40 tahun

7. Plastik 50-80 tahun

8. Alumunium 90-100 tahun

9. Styrofoam Tidak Dapat Terurai

(Sumber: USU Institutional Repository, Universitas SUMUT)

c. Sampah berbentuk debu dan abu

Sampah jenis ini dihasilkan dari sisa pembakaran. Secara kuantitatif, jenis

sampah ini sedikit, tetapi memiliki pengaruh bagi kesehatan manusia sangat

besar dan berbahaya. Sampah debu dan abu sangat bebas berpindah dalam

perantaraan air atau angin.71

d. Sampah yang tergolong limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun).

Sampah berbahaya atau bahan beracun (B3), yaitu semua jenis sampah yang

karena jumlahnya, konsentrasinya, kandungan kimia, sifat fisika dan

mikrobiologinya dapat menyebabkan bermacam-macam penyakit bahkan

kematian.72

Sampah jenis ini disebut juga hazardous waste (sampah

berbahaya).

Sampah ini terjadi dari zat kimia organik dan nonorganik serta logam-

logam berat, yang umunnya berasal dari buangan industri ringan dan berat.

Pengelolaan sampah B3 tidak boleh dicampurkan dengan sampah organik dan

70

H. R. Sudradjat, Mengelola Sampah Kota. Jakarta: Penebar Swadaya, 2006, hlm. 79. 71

Ibid., hlm. 124. 72

Ibid.

Page 55: Environment Ethic

55 Perayaan Kehidupan

nonorganik. Biasanya pengelolaan sampah ini dilakukan oleh badan khusus

yang dibentuk sesuai peraturan yang berlaku.

1.4. Komposisi Sampah Padat

Komposisi sampah padat dapat dilihat di dalam hasil pembuangan sampah.

Komposisi sampah padat yang dibuang, rata-rata sangat bervariasi tergantung dari

sumbernya, yaitu komponen biologis dan kimiawinya. Komposisi tersebut mulai

dari yang berbentuk sangat padat, seperti besi, hingga berbentuk busa/gabus.

Variasi komposisi ini pun akan mencapai volume yang meningkat dalam bentuk

yang bervariasi, baik besar, seperti bangkai mobil, hinggga kecil, seperti abu.73

Secara umum, komposisi buangan tersebut, mencakup:

a. Logam: kaleng-kaleng, besi, paku, dan sejenisnya.

b. Benda berbahan kertas: buku-buku tulis, koran, majalah, karton, dan lain-lain.

c. Benda berbahan plastik: plastik kresek, bokor-bokor plastik, botol-botol

kosmetik, dan lain-lain.

d. Benda berbahan karet: ban, sandal, dan lain-lain.

e. Benda berbahan kain: gorden, baju-baju bekas, dan lain-lain.

f. Benda berbahan kaca: pecahan gelas, pecahan lampu, dan lain-lain.

g. Benda berbahan kayu: kursi rusak, ranting-ranting, dan lain-lain.

h. Garbage: sisa-sisa makanan, sayuran rusak, buah-buahan, dan lain-lain.

i. Benda berbahan batu, tanah, abu, dan lain-lain.74

1.5. Ciri atau Karakteristik Sampah

Berdasarkan ciri dan karakteristik, sampah terbagi atas beberapa aspek, sebagai

berikut:

73

H. Arif. Sumantri, op. cit., hlm. 67-68. 74

Indan Etjang, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 100.

Page 56: Environment Ethic

56 Perayaan Kehidupan

a. Sampah basah (garbage) adalah jenis sampah yang terdiri dari sisa-sisa

olahan makanan seperti daging atau sayur-sayuran hasil dari pengolahan,

pembuatan dan penyediaan makanan yang sebagian besar terdiri dari zat-zat

kimiawi yang mudah membusuk.

b. Sampah kering (rubbish) adalah sampah yang dapat terbakar dan tidak dapat

terbakar yang berasal dari rumah-rumah, pusat-pusat perdagangan dan

perkantoran.

c. Abu (ashes) adalah sampah yang berasal dari sisa pembakaran sampah,

yakni sampah yang mudah terbakar. Biasanya pembakaran dapat terjadi

dipemukiman maupun di pabrik-pabrik industri.

d. Sampah jalanan (street sweeping) adalah sampah yang terdapat di jalanan.

Umumnya berasal dari pembuangan nir-etis masyarakat, atau dari sisa

pengangkutan sampah saat pembersihan jalan dan trotoar. Biasanya sampah ini

mencakup pembungkus makanan, dedaunan, karung bekas, dan lain-lain.

e. Bangkai binatang (dead animal) adalah jenis sampah berupa sampah-

sampah biologis (pembusukan) yang berasal dari bangkai binatang yang mati

akibat kecelakaan atau penyakit.

f. Bangkai kendaraan (abandon dead vehicles) adalah sampah yang berupa

bangkai-bangkai mobil, truk, kereta api.

g. Sampah industri merupakan sampah padat yang berasal dari industri-

industri pengolahan hasil bumi/tumbuh-tubuhan dan industri lain.

h. Sampah pembangunan (demolition waste) yaitu sampah dari proses

pembangunan gedung, rumah dan sebagainya, yang berupa puing-puing,

potongan-potongan kayu, besi beton, bambu dan sebagainya.

Page 57: Environment Ethic

57 Perayaan Kehidupan

i. Sampah khusus adalah jenis sampah yang memerlukan penanganan khusus

misalnya, kaleng cat, flim bekas, zat radioaktif dan lain-lain.

j. Sampah rumah tangga (house hold refuse) merupakan sampah campuran

yang terdiri dari rubbish, garbage, ashes yang berasal dari daerah

perumahan.75

1.6. Penggolongan Sampah Menurut Sumbernya

Pada umumnya, semua jenis sampah di permukaan bumi ini dapat berasal dari

berbagai sumber, yakni sebagai berikut:

a. Tempat umum dan tempat terjadinya aktivitas perdagangan.

Tempat umum merupakan tempat yang memungkinkan terjadi aktivitas

komunal masyarakat. Banyak orang dapat berkumpul dan melakukan berbagai

jenis kegiatan, termasuk juga tempat perdagangan. Pada tempat umum, seperti

ditempat perdagangan (pasar dan pertokoan), rata-rata jenis sampah yang

dihasilkan dapat berupa sisa-sisa makanan (garbage) dari barang dagangan,

sisa-sisa bahan bangunan, plastik, kardus, dan terkadang sisa bahan bangunan

dan sampah berbahaya.76

b. Sarana layanan masyarakat milik pemerintah.

Sarana layanan masyarakat yang dimaksud di sini, antara lain, tempat hiburan

dan umum, jalan umum, tempat parkir, tempat pelayanan kesehatan, bantaran

sungai, pesisir pantai, dan sarana pemerintah lainnya. Tempat-tempat seperti

ini biasanya menghasilkan sampah khusus (sampah berbahaya hasil buangan

rumah sakit) dan sampah kering lain pada umumnya.

75

Ibid., hlm. 64-65. 76

George. Tchobanoglous & Frank Kreith, op. cit., hlm. 52.

Page 58: Environment Ethic

58 Perayaan Kehidupan

c. Industri berat dan ringan

Dalam pengertian ini termasuk industri makanan dan minuman, industri kayu,

industri kimia, industri logam, dan kegiatan industri lainnya. Kegiatan industri

tersebut biasanya bersifat distributif atau memproses bahan mentah saja.

Sampah yang dihasilkan dari tempat ini biasanya sampah basah, sampah

kering, sisa-sisa bangunan, sampah khusus (hasil buangan. Misalnya, industri

tahu dan tempe, dengan sampah kususnya ialah air limbah), dan sampah

berbahaya.

d. Pertanian

Sampah yang dihasilkan di bidang pertanian kebanyakan berupa kotoran

binatang dan tanaman yang membusuk. Lokasi pertanian yang dimaksud ialah

kebun, ladang, atau pun sawah yang menghasilkan sampah. Terkadang sampah

pertanian juga tergolong sebagai salah satu sumber sampah berbahaya (B3)

karena penggunaan pupuk kimia (pestisida) berlebih dan bahan pembasmi

serangga (herbisida).

e. Pemukiman penduduk.

Sampah penduduk adalah sampah padat yang dihasilkan atau terdapat di suatu

pemukiman. Biasanya dihasilkan oleh satu atau beberapa keluarga yang

tinggal dalam suatu bangunan atau asrama yang terdapat di desa atau di kota.

Jenis sampah yang dihasilkan biasanya berupa sisa makanan dan bahan sisa

proses pengolahan makanan atau sampah basah (garbage), sampah kering

(rubbish), abu sisa pembakaran, atau sampah sisa tumbuhan. Sampah

penduduk sering disebut juga dengan sampah rumah tangga/domestik.

Page 59: Environment Ethic

59 Perayaan Kehidupan

Pada penggolongan yang terakhir inilah yang merupakan obyek studi dan

penelitian sebagai pokok problematis untuk diuraikan, yaitu pengelolaan sampah

rumah tangga, yang merupakan sampah pemukiman.77

A. Sampah Rumah Tangga: Deskripsi Terhadap Masalah Pokok

Pada bagian ini akan dimulai dengan memberi pengertian dan deskripsi pokok

masalah mendasar, yakni pengelolaan sampah rumah tangga di Kelurahan Oeba.

1. Pengertian Sampah Rumah Tangga

Berdasarkan penggolangan sumber sampah, diperoleh pengertian bahwa sampah

rumah tangga merupakan salah satu bagian dari sampah di pemukiman penduduk.

Ini dikarenakan oleh dua hal. Pertama, rumah tangga merupakan salah satu

lembaga sosial dalam pemukiman penduduk. Artinya, lembaga sosial di sini adalah

keluarga (ayah, ibu dan anak) yang bermukim di dalam sebuah rumah. Kedua, di

dalam rumah tangga terjadi aktivitas kekeluargaan (pemukim), yang di dalamnya

terjadi proses produksi sampah, baik secara pribadi maupun komunal. Ini berarti

bahwa, sampah rumah tangga adalah sampah yang dihasilkan dari aktivitas

manusia yang terjadi dalam rumah tangga. Rumah di sini dilihat sebagai tempat

terjadinya produksi sampah yang diakibatkan oleh pembuangan dari hasil

sampingan konsumsi keluarga.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2012

Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah

Tangga, dan UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sampah rumah

tangga adalah sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga,

tidak termasuk tinja dan sampah spesifik (sampah yang mengandung bahan

77

H. Arif. Sumantri, op. cit., hlm. 63.

Page 60: Environment Ethic

60 Perayaan Kehidupan

beracun atau sampah puing bangunan).78

Pengertian dari peraturan ini pun belum

memenuhi penggolongan sampah. Sebab, sedapat mungkin, dalam rumah tangga

masih terdapat sampah berbahaya dalam kapasitas yang sangat terbatas.

1. Penggolongan

Sampah rumah tangga secara umum dapat digolongkan menjadi 4, yaitu:

lapak, sampah berbahaya, limbah yang sukar didekomposisi, dan bahan

kompos.79

Barang-barang dalam sampah rumah tangga yang masih

mempunyai nilai ekonomis karena dapat langsung dijual langsung disebut

lapak. Barang-barang tersebut antara lain: kertas, plastik, kardus, gelas.

Sampah berbahaya dan beracun (B3) rumah tangga adalah sampah yang

membahayakan manusia ataupun sampah yang dapat mengganggu proses

pengomposan bila dicampur dengan bahan yang akan dibuat kompos. Oleh

sebab itu bahan berbahaya harus ditempatkan pada wadah tersendiri. Sampah

yang termasuk dalam kategori ini adalah: benda tajam, pecahan gelas/botol,

baterai bekas, wadah pestisida, kemasan obat penyemprot serangga dan obat-

obatan/antibiotik.

Sampah yang sukar dikomposkan adalah bahan yang bila dikomposkan

memerlukan waktu lama. Sebagai contoh sabut kelapa, ranting, dahan, dan

sebagainya. Sampah sukar dikomposkan ini menyusun kira-kira 30-50% dari

sampah rumah tangga. Sampah bahan kompos adalah sampah organik yang

mudah membusuk seperti: sisa sayur-sayuran, kulit buah-buahan, rumput,

gulma, bunga-bungaan dan sebagainya.

78

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah

Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, dan UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan

Sampah. Pdf. 79

Suhartini, Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga dan Remaja Putri di Berbah Sleman dalam Pengolahan

Sampah Dapur dengan Teknologi yang Sederhana dan Ramah Lingkungan Sehingga Dapat Bernilai Ekonomi

Dan Berdaya Guna, Yogyakarta, Pdf. 2008, hlm. 2.

Page 61: Environment Ethic

61 Perayaan Kehidupan

2. Komposisi Sampah Rumah Tangga

Komposisi sampah rumah tangga pada prinsipnya berkarakter

hetrogen/bercampur. Karena itu setiap kali terjadi pembuangan akan ditemukan

pencampuran komposisi sampah. Komposisi sampah rumah tangga sangat

beragam tergantung pada lokasi, kebiasaan konsumsi, aktivitas masyarakat,

cara hidup, kebiasaan masyarakat, tingkat kemajuan masyarakat teknologi,

sosial ekonomi, musim dan geografi.80

Sebagai contoh untuk faktor geografi

dan teknologi, di daerah pinggiran kota atau di desa, sampah rumah tangga

lebih banyak mengandung bahan organik yang dapat dikomposkan, sedikit

kertas, plastik dan sedikit botol atau plastik.

Di daerah perkotaan, komposisi sampah rumah tangga lebih banyak

secara kuantitas dan jenisnya. Bahkan lebih banyak sampah berbahan dasar

plastik, gelas, logam, popok bayi, kertas, kain, hingga bahan beracun dan yang

tidak dapat didekomposisi. Ini disebabkan karena, pada daerah perkotaan,

jumlah konsumsi teknologi lebih tinggi daripada di desa.

2. Sistem Pengelolaan Sampah Rumah Tangga

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2012 Tentang

Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah ditandaskan

bahwa, pengelolaan sampah rumah tangga adalah suatu kegiatan sistematis,

menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan

sampah.81

Secara lembaga, pengelolaan sampah dapat dimengerti sebagai suatu bidang yang

berhubungan dengan pengaturan terhadap penimbunan, penyimpanan (sementara),

80

H. Arif Sumantri, op. cit., hlm. 68-70. 81

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah

Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, Pdf., hlm. 2.

Page 62: Environment Ethic

62 Perayaan Kehidupan

pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan, pemrosesan dan pembuangan sampah

dengan suatu cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip terbaik dari kesehatan

masyarakat, ekonomi, teknik (engineering), perlindungan alam (conservation),

keindahan dan pertimbangan lingkungan lainnya dan juga mempertimbangkan sikap

masyarakat.82

Di lain pengertian yang lebih ekonomis dan fungsional, pengelolaan sampah

menjadi kegiatan mengkonversi sampah menjadi bahan yang berguna secara efisien

dan ekonomis.83

Para pelaku pengelola sampah ialah anggota rumah tangga, yang

dilakukan secara individu maupun kelompok atau bermasyarakat. Obyek pengelolaan

sampah ialah sampah yang berasal dari timbulan sampah pada sumber sampah, yakni

rumah tangga/pemukiman.

Sebagai catatan lanjutan yang diajukan Damanhuri, pengertian pengelolaan bukan

hanya menyangkut aspek teknis, tetapi mencakup juga aspek nonteknis, seperti

bagaimana mengorganisir, bagaimana membiayai dan bagaimana melibatkan

masyarakat penghasil limbah agar ikut berpartisipasi secara aktif atau pasif dalam

aktivitas penanganan tersebut.84

Pekerjaan pengelolaan ini bertujuan untuk

menghasilkan lingkungan yang bersih, sehat dan sejahtera serta memperkecil masalah

lingkungan.85

Sistem pengelolaan sampah rumah tangga pada tingkat pengelolaan kolektif

menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor T-12-1991-03 tentang Tata Cara

Pengelolaan Sampah di Permukiman, dapat dilakukan melalui tahap yang dapat

ditampilkan pada gambar bagan berikut:

82

George. Tchobanoglous & Frank Kreith, op. cit., hlm. 41. 83

A. Azwar, Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya Penabur Benih

Kecerdasan, 1979, hlm. 215. 84

Enri Damanhuri dan Tri Padmi., op. cit, hlm. 5. 85

M. Hutagalung, Teknologi Pengolahan Sampah. Jakarta: Majari Magazine Chemical Engineering Students

Indonesia, 2007, hlm. 111. Dalam http://www.majarikanayakan.com/2007/12/teknologi-pengolahan-

sampah.html. Diakses, 29 Desember 2014.

Page 63: Environment Ethic

63 Perayaan Kehidupan

Gambar Bagan. 2. Sistem Operasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga

Rumah Tangga Pemerintah (DINKESTAM)

(Sumber: Hasil Olahan Pustaka)86

Pada bagan ini, tahap pertama, yakni pewadahan dan pemilahan adalah tahap

awal yang paling menentukan. Tahap pewadahan dilakukan agar sampah yang

dihasilkan dari aktivitas rumah tangga. Sampah dapat diwadahi secara terpilah dan

sebaliknya tidak dibuang sembarangan. Pewadahan terpilah adalah kegiatan

menampung sampah dengan memilah antara sampah anorganik dan organik.

Karena itu, wadah sampah di rumah tangga adalah dua jenis. Kemudian dari

pewadahan terpilah ini, pada tahap kedua, sampah dikumpulkan pada suatu wadah

komunal yang terletak di rumah atau di kompleks. Pada tahap pertama dan kedua,

sampah dapat diolah secara langsung di rumah tangga. Pengolahan dimaksud,

misalnya, dijadikan pupuk kompos dan pendauran ulang sampah menjadi bahan

baku tas jinjing.

Sampah yang dikumpulkan, akan diangkut menggunakan alat angkut untuk

dipindahkan ke TPS terjangkau. Dalam proses lanjutan, pihak pemerintah dapat

mengangkut akumulasi sampah rumah tangga dari hasil pemindahan di TPS

menuju Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).

3. Metode Pengelolaan Sampah Rumah Tangga

Metode pengelolaan rumah tangga merupakan cara yang digunakan secara teknis

operasional untuk mengelola sampah dengan tujuan agar sampah dapat diminimalisir

86

Techobanoglous., op. cit, hlm. 21; SNI 19-2454-2002; Enri damanhuri, op. cit., hlm. 9.

Pewadahan

terpilah

Pengumpulan Pemindahan Pengangkutan Pembuangan

Akhir

Pengolahan

Page 64: Environment Ethic

64 Perayaan Kehidupan

atau dikonversi menjadi sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Di tingkat rumah tangga,

metode pengelolaan sampah yang sering digunakan ialah composting (pengomposan).

Menurut Cunningham tahap pengelolaan sampah rumah tangga modern terdiri dari

prisip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) sebelum akhirnya dimusnahkan atau dihancurkan.

Tiga prisip ini paling tidak dalam efektifitasnya memiliki tiga kelebihan, yaitu sampah

rumah tangga, organik maupun anorganik dapat diminimalisir, dapat meningkat

ekonomi rumah tangga, dan menghemat energi.87

Paling tidak metode prinsip ini

dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar bagan. 3. Teknik Operasional 3R

(Sumber: Hasil Olahan Pustaka)88

Metode composting sampah rumah tangga adalah suatu cara pengelolaan sampah

secara alamiah terhadap sampah organik menjadi bahan yang sangat berguna bagi

petanaman/pertanian rumah tangga. Proses composting dilakukan dengan

memanfaatkan dan mengolah kembali sampah organik. Hasil olahan tersebut akan

berupa pupuk kompos yang tidak membahayakan penggunanya. Pengomposan

dilakukan untuk sampah organik, kegiatan ini dilakukan secara terbuka (aerob:

87

Amrizal Tanjung, Waste Management Programe In Indenesia ,Pdf., hlm. 6. Faizah, Pengelolaan Sampah

Berbasis Masyarakat (Tesis),Pdf., hlm. 20-24. 88

William P. Cunningham & Marry Ann Cunningham, Principals Of Environmental Science Inquiry and

Application, New York: McGraw-Hill, Inc., 2004, hlm. 332.

Produk Konsumsi Dibuang Sampah Padat Rumah Tangga

Pengelolaan tahap (awal) Rumah tangga:

Reduce (mengurangi) Reuse (gunakan kembali) Recycle (daur ulang) Komposting (pengomposan)

Pengelolaan tahap (akhir) pihak pemerintah:

Sanitary landfill (penimbunan berlapis) Incenaration (pembakaran) Open dumping (penumpukan terbuka)

Page 65: Environment Ethic

65 Perayaan Kehidupan

makhluk yang dapat hidup hanya apabila tersedia oksigen bebas) atau tertutup

(anaerop:bakteri yang tidak membutuhkan oksigen bebas).89

Pada metode ini, prisip pertama, Reduce, dilakukan dengan cara sebisa mungkin

melakukan minimalisasi barang atau material yang digunakan sehingga menimbulkan

sampah. Prisip ini bertolak dari asumsi, bahwa semakin banyak kita menggunakan

material, semakin banyak sampah yang dihasilkan. Contoh kegiatan dari prinsip ini

salah satunya ialah menghindari pembelian barang yang menghasilkan sampah dalam

jumlah besar dan banyak. Prisip kedua, reuse, dilakukan dengan cara menggunakan

kembali secara langsung barang sisa pemakain. Misalnya, botol minuman yang dibeli,

dapat digunakan kembali sebagai botol air minum. Prisip ketiga, recycle, merupakan

prinsip yang mengutamakan daya kreatifitas yang inovatif. Prisip ini dilakukan

dengan cara mendaur ulang sampah rumah tangga yang dinilai masih berpotensi

secara fungsional. Contoh penerapan prinsip ini misalnya, mendaur sejumlah kemasan

kopi menjadi tas jinjing.90

Prinsip berikut yang mungkin juga sering dipakai dalam metode pengelolaan

sampah, ialah prinsip replace (mengganti). Prisip ini dilakukan dengan cara

mengganti barang-barang yang hanya sekali pakai dengan barang-barang yang masih

dapat dipakai berulang-ulang. Prinsip replace menuntut ketelitian dalam

menggunakan barang-barang. Prinsip ini juga mengedepankan penggunaan bahan-

bahan yang ramah lingkungan seperti mengganti kantong plastik dengan keranjang

saat berbelanja.91

89

Ibid., hlm. 329. 90

...., Environmental Science: A Global Concern, New York: McGraw-Hill, Inc., 2008, hlm. 478-483. 91

Roni M. Natonis., op. cit, hlm. 54.

Page 66: Environment Ethic

66 Perayaan Kehidupan

4. Fakta Penanganan Sampah Rumah Tangga di Kelurahan Oeba

Dalam beberapa fakta yang ditemukan di lokasi penelitian menunjukan, bahwa

pengelolaan sampah oleh tiap-tiap rumah tangga masih dalam tahap-tahap yang

sangat terbatas, antara lain:92

1. Pengelolaan Tanpa Pemilahan

Fakta lapangan diperoleh bahwa kecenderungan pengelolaan sampah terjadi tidak

sistematis, dimulai dari memilah sampah. Pengelolaan sampah rumah tangga di

Kelurahan Oeba, dalam catatan rata-rata dilakukan secara bercampur, antara

sampah organik dan anorganik.

Kebiasaan mengelola dengan cara pemilahan terlebih dahulu belum menjadi

pola awal yang tertenam dalam cara mengelola sampah.93

Ini berarti, cara tersebut

belum menjadi kebiasaan warga. Fakta ini dibuktikan berdasarkan keluhan yang

begitu eksplisit diungkapkan warga, “.. yang kami tahu semua jenis sampah harus

dibuang saja ke tempat sampah. Memang sampah nanti bercampur karena antara

kami dan pihak pemerintah tidak sediakan tempat sampah yang pisah jenis

sampah”. 94

Pemilahan sampah, perlu dilakukan sebagai proses awal yang menentukan

perlakuan pengelolaan lanjutan. Tetapi cara ini belum dilakukan oleh para warga

seluruhnya.

2. Pembuangan Tanpa Pewadahan

Sampah sisa konsumsi atau bahan olahan di tiap rumah tangga, rata-rata dibuang

tanpa mewadahinya. Semua pembuangan dilakukan secara langsung atau tidak

92

Hasil olahan data, Bulan November-Desember 2014. 93

Obed D. R. Kadji (KADIS Kebersihan dan Pertamanan Kota Kupang), wawancara, 24 Januari 2015. 94

Fara Banoet-Lusi Adam (Ibu rumah tangga), wawancara, 12 Februari 2015; Angket penelitian.

Page 67: Environment Ethic

67 Perayaan Kehidupan

langsung, melalui pengumpulan dalam kardus, plastik dan karung. Semua sampah

yang dibuang bersifat bercampur.95

Gambar. 9. Contoh pencampuran sampah rumah tangga di TPS.

(Sumber: Hasil Olahan Lapangan, 2014)

Pembuangan dengan sampah yang bercampur, oleh warga, dengan begitu

saja dibuang ke lingkungan rumah dan di tempat-tempat yang terbuka, lahan

kosong dan pada fasilitas umum, salah satunya seperti yang ditemukan di TPU

(Tempat Pemakaman Umum) Oeba. Biasanya, pembuangan seperti ini disebut

pembuangan liar yang dilakukan oleh 2-4 rumah tangga/KK. Membuang tidak

pada wadah umum atau wadah komunal yang disediakan.96

Selain itu, terdapat kebiasaan mengumpul/menyimpan (storage) sampah

pada tempat-tempat tertentu di sudut halaman rumah, membiarkannya menumpuk

berlama-lama, tanpa pengelolaan lanjutan seperti pemindahan dan pembuangan ke

TPS, hingga terjadi pembusukan dan sarang kuman penyakit.97

Kebanyakan mereka tidak begitu mempersoalkan masalah susulan yang

dapat merugikan lingkungan dan juga kesehatan warga secara langsung. Oleh

karena itu, telah menjadi sebuah kebiasaan tanpa begitu menganggap penting

melakukan pemindahan, dengan didahului dengan pemilahan jenis sampah.

“Jujur, banyak alasan dapat kita kasi tahu, tentang pembuangan sampah yang

hanya begitu-begitu sa di rumah. Kita buang takumpul dan bakar. Itu ju karena

95

Hasil Angket di RT. 09 dan 10. 96

Hasil observasi, Desember-Februari 2015. 97

Hasil observasi, Desember-Februari 2015.

Page 68: Environment Ethic

68 Perayaan Kehidupan

masalah fasilitas, macam ke tempat sampah, alat-alat sampah di dekat-dekat sini

ko apa, begitu”.98

Gambar. 8. Pembuangan sampah liar dan penyimpanan yang buruk.

(Sumber: Hasil olahan lapangan, 2014)

3. Pengumpulan dan Pembakaran

Kebiasaan lainnya, sampah hasil pengumpulan dibakar dan sisa pembakaran tetap

tertumpuk. Pembakaran itu pun terjadi secara bercampur, antara sampah organik

dan anorganik, sampah basah, dedaunan dan kaleng atau botol-botol kaca. Sisa

pembakaran yang ada tidak ditangani secara berlanjut, sehingga mengalami

penimbunan. Kebiasaan inilah yang paling merusak tanah dan membahayakan.

Kebiasaan seperti ini tersirat dalam pengakuan beberapa warga bahwa cara

pengelolaan seperti ini merupakan kebiasaan yang sering diandalkan dengan tidak

menghiraukan dampaknya, “mau pakai cara apa lai ju, selain buang ya, bakar sa

di halaman rumah”.99

“Katong mau kelola sampah ni paling tumpuk ko bakar sa

deng buang”.100

98

Yodri Jefons (ibu rumah tangga), wawancara, 30 Maret 2015. 99

Doris Saunoah (wiraswasta), wawancara, 22 Desember, 2014. 100

Frengki Nubatonis (wiraswasta), wawancara, 26 Desember 2014.

Page 69: Environment Ethic

69 Perayaan Kehidupan

Gambar. 10. Kebiasaan membakar sampah di sudut rumah.

(Hasil olahan lapangan, 2014)

4. Pengumpulan dan Penguburan

Dalam tahap lain, sampah hanya dikumpul dan dikuburkan pada suatu lokasi di

sekitar rumah. Penguburan ini bisa dilakukan dengan menggali dan munutup

kembali dengan tanah, atau dengan penutup lain. Cara lain, yang dilakukan ialah

menggali lubang tanah, dan membiarkannya tanpa menutup kembali.

Biasanya, sampah yang dikubur ialah sampah yang paling mudah

membusuk dan menjadi bangkai, seperti sisa pembersihan ikan dan hewan mati,

serta pecahan kaca dan kaleng-kaleng yang dapat menampung air, yang berpotensi

menjadi sarang nyamuk. Kebiasaan untuk mengubur dilakukan warga hanya

sejauh dianggap sangat mengganggu dan membahayakan dalam waktu yang tidak

lama.101

Gambar. 11. Penguburan Sampah

(Sumber: Hasil olahan lapangan, 2015)

Semua fakta pengelolaan yang terbatas ini berdampak negatif terhadap

kesehatan masyarakat dan lingkungan. Fakta-fakta yang disebutkan di atas menjadi

contoh-contoh kecil dalam masyarakat luas yang turut diakui dalam salah satu

101

Defi Kalilaku (ibu rumah tangga), wawancara, 21 Februari 2015.

Page 70: Environment Ethic

70 Perayaan Kehidupan

pertimbangan dan sekaligus pengakuan secara nasional dalam setiap peraturan dan

undang-undang negara tentang pengelolaan sampah. Salah satu pernyataan undang-

undang dimaksud ialah dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun

2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Pernyataan dalam undang-undang ini menyatakan

bahwa, pengelolaan sampah selama ini belum sesuai dengan metode dan teknik

pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan.

B. Pencemaran dan Krisis Ekologis: Analisa terhadap Keterbatasan Dalam

Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Kelurahan Oeba.

1. Sampah dan Lingkungan: Dampak Buruk Sampah Rumah Tangga

Menyelami persoalan sampah secara umum, dan sampah rumah tangga secara khusus,

tentu tidak memiliki perbedaan dalam hal dampak ditimbulkan dari keterbatasan

pengelolaannya. Keterbatasan pengelolaan seperti yang telah disebutkan sebelumnya,

terjadi pada sumber timbulan sampah, yaitu rumah tangga/pemukiman warga.

Keterbatasan pengelolaan tersebut, sebetulnya merupakan keterbatasan dalam

beberapa pengertian. Pertama, tidak sistematis. Keterbatasan dalam arti ini ialah

teknis pengelolaan yang tidak terjadi berdasarkan sistem pengelolaan yang baik dan

berstandar. Tidak juga terjadi dengan terorganisir. Kedua, tidak berkesinambungan.

Pengelolaan sampah berhenti pada cara-cara yang dianggap cukup sejauh sampah

telah dikontrol hingga tidak berserakan di halaman rumah. Cara pengontrolan tersebut

misalnya, sampah hanya dikumpulkan di halaman rumah dan membakar. Ketiga,

tidak menyeluruh. Artinya, ialah pengelolaan sampah rumah tangga masih

mengabaikan sampah-sampah tertentu, dan terbiasa dengan metode yang terbatas,

termasuk juga terbatas dalam inovasi teknologi dan pengusaannya.

Keterbatasan pengelolaan juga termasuk dalam arti pengelolaan sampah yang

tidak mengindahkan prinsip-prinsip lingkungan, kesehatan masyarakat, nilai-nilai

keindahan dan moral. Selain itu, pengelolaan belum juga mencapai pemanfaatan

Page 71: Environment Ethic

71 Perayaan Kehidupan

kembali atau alih fungsi sampah menjadi bahan berguna, serta menentukan basis dan

cara mengorganisir masyarakat.102

Tiap anggota rumah tangga, atau tiap individu

pengelola, belum sepenuhnya memenuhi kualifikasi pengelolaan sampah yang

berstandar dengan prinsip-prinsip yang demikian.

Di negara maju yang sangat peka terhadap masalah lingkungan, sampah padat

rumah tangga, umumnya telah diatur pembuangannya sedemikian rupa secara

sistemis. Hampir setiap jenis sampah padat rumah tangga, termasuk jenis limbah

rumah tangga lain, telah dipisahkan untuk memudahkan pengelolaannya.

Pada fakta yang terdapat di Kelurahan Oeba, pengelolaan sampah rumah tangga

tidak berlaku sebagaimana di negara-negara maju – diperoleh gambaran banyaknya

keterbatasan. Menurut hasil pengamatan dan wawancara jumlah penduduk Kelurahan

Oeba adalah 4.740 jiwa. Taksiran standar pembuangan sampah perhari menurut WHO

ialah 0,7 kg/orang/hari. Maka, dapat diperoleh perkiraan bahwa seluruh warga

Kelurahan Oeba memproduksi sampah sebanyak 3,318 m3/hari.

103 Jumlah ini

diperkuat dengan pola pengelolaan sampah padat rumah tangga yang tidak

menunjukan kualitas atau cara pengelolaan yang berstandar, tidak akan mengubah

keadaan lingkungan dan justru akan mengkristal menjadi suatu kebiasaan pengelolaan

yang tidak mencerminkan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Jika dilihat dari metode pengolah yang berstandar, sampah yang dikelola di tiap

rumah tangga di Kelurahan Oeba, pada dasarnya, pertama-tama belum dikelola

dengan mewadahi secara terpilah sampah terlebih dahulu. Pewadahan terpilah itu,

dilakukan sepenuhnya pada sampah basah dan sampah kering, dan pemilahan

berdasarkan jenis sampah. Dari hasil survei diketahui sebanyak 26% melakukan

102

Jeane G. P. Hadjon, (Kabid Pengelolaan Sampah Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Kupang),

wawancara, 02 Desember 2014. 103

Rumus bersumber dari Data Bidang Pengelolaan Sampah Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Kupang

2014, Perhitungan Volume Sampah Per Hari, No. 8.

Page 72: Environment Ethic

72 Perayaan Kehidupan

pemisahan sampah basah dan kering, sedangkan 74% tidak melakukan pemisahan.

Dari prosentase ini tentunya proses pengelolaan sampah, oleh tiap-tiap keluarga,

belum berlangsung sesuai yang diharapkan. Paling dominan terlihat bahwa proses

pengelolaan sampah dilakukan bercampur. Pencampuran atau heterogenitas sampah

inilah yang menghambat dan menyulitkan semua cara penanganan. Sebab, awal

mengelola sampah yang paling baik adalah dengan memisahkan jenis-jenis sampah

yang terkumpul dari sumber sampah.

Konsekuensi dari keterbatasan ini akan bermuara pada peningkatan kapasitas

volume sampah saat terjadi pencampuran. Akibat dari pencampuran sampah

memunculkan sikap dan perlakuan dalam menentukan pembuangan dan pengelolaan

lanjutan. Pembuangan dan pengelolaan lanjutan yang tidak dapat dilakukan

dikarenakan oleh banyaknya keterbatasan pada masyarakat Kelurahan Oeba.

Semua yang disampaikan ini, belum ditambah dengan pola perilaku warga dalam

mengelola sampah rumah tangga secara individu menurut prinsip 3R. Ada begitu

banyak warga yang begitu taksa, merasa kabur, belum mengenal dan mengetahui

prinsip ini.

Di samping itu, dalam keterbatasan yang sebagaimana telah disebutkan, dua

faktor mendasar yang perlu ditambahkan sebagai faktor yang selama ini tidak

menunjang pengelolaan sampah tiap rumah tangga, ialah:

a) Fasilitas persampahan. Beberapa fasilitas, seperti motor pengangkut roda tiga

yang tidak lagi difungsikan, bersamaan dengan rusaknya 3 buah kereta

pengangkut sampah yang disumbangkan oleh P2KP (Program Penanggulangan

Kemiskinan di Perkotaan). Kerusakan ini semakin menyulitkan proses

pengumpulan dan pengangkutan sampah untuk dipindahkan ke TPS.104

104

Frans Ndun, (ketua RT. 09), wawancara, 05 Desember 2014.

Page 73: Environment Ethic

73 Perayaan Kehidupan

Sementara itu, semua proses pengelolaan hanya berlangsung seadanya, dengan

peralatan pengelolaan milik pribadi. Kekurangan lain yang dimiliki dalam

mendukung proses pengelolaan sampah rumah tangga di Kelurahan Oeba,

ialah minimnya jumlah fasilitas pewadahan, seperti wadah komunal atau

jumlah TPS. Fasilitas ini berjumlah 5 unit, yang terbagi dalam 14 RT dan

dengan jumlah populasi 4.470 warga (volume sampah 3,318 m3/hari). Jumlah

yang minim ini, tentu tidak dapat mendukung peningkatan kualitas

lingkungan, sanitasi lingkungan dan penanganan volume sampah.

Berdasarkan rekaman lapangan, beberapa warga mengatakan, “di

kompleks sini tempat sampah son ada. Jauh sampe di bawah sana. Di pinggir

jalan besar sana”.105

Demikian juga pernyataan pihak pemerintah, “Di

Kelurahan belum ada wadah komunal untuk kompleks atau masing-masing

RT. Tapi, kan mau buat itu wadah sendiri ju bisa. Tinggal nego sa, atau sapa

yang mau hiba tanah ko buat sama-sama, itu su jadi tu”.106

Dari beberapa pernyataan warga, diidentifikasi bahwa setidaknya untuk

memudahkan pengelolaan sampah, seperti pengumpulan hingga pembuangan

sampah. Warga mengharapkan untuk penambahan tempat sampah dan

mendekatkan tempat pembuangan sampah pada lingkungan sekitar tempat

tinggal, sehingga tidak terjadi pembuangan liar dan penumpukan sampah

disekitar tempat tinggal. Warga juga mengharapkan tempat sampah yang

ukurannya dapat memaklumi volume sampah. Ini dikarenakan beberapa

alasan, bahwa:107

105

Selfiana R. Djeta (ibu rumah tangga), wawancara, 27 Desember 2014. 106

Frans Ndun, (ketua RT. 09), wawancara, 05 Desember 2014. 107

Hasil survei, Desember 2014.

Page 74: Environment Ethic

74 Perayaan Kehidupan

1. Tempat sampah yang kecil, tidak dapat mengimbangi jumlah

produksi sampah. Jumlah produksi sampah yang melebihi kapasitas

tempat sampah menandakan bahwa adanya kepadatan penduduk

dengan jumlah produksi sampahnya dan

2. Tidak dapat menangani frekuensi pembuangan yang terlalu sering,

dengan jumlah yang banyak.

b) Faktor daya dukung pemerintah. Harapan yang disampaikan warga untuk

penambahan fasilitas persampahan, pada dasarnya ditujukan bagi lembaga

pemerintah. Namun, untuk memenuhi harapan warga tersebut, bukan saja

pihak pemerintah yang diharapkan menghadirkan fasilitas dimaksud, tetapi

justru permintaan warga harusnya dipenuhi oleh warga berdasarkan kerjasama

dengan pemerintah. Ini berarti bahwa pengelolaan sampah untuk lingkungan

yang bersih, dalam hal ini pembuangan sampah, tidak selalu identik dengan

jumlah tempat sampah yang begitu dekat dengan rumah.

Sampai saat ini, baik pihak pemerintah maupun warga, belum ada yang

menerapkan inovasi teknologi pengolahan sampah yang begitu efektif,

misalnya dari hasil daur ulang sampah anorganik menjadi benda bernilai

ekonomis. Inovasi pengolahan yang masih dapat ditemukan, hanyalah

mengolah dedaunan menjadi kompos.108

Inovasi ini memang cukup

bermanfaat bagi pengurangan sampah. Namun, inovasi ini pun tidak banyak

warga melakukannya.109

Walau demikian, cara lain masih dapat dilakukan pemerintah dan warga

Kelurahan Oeba, yaitu melaksanakan kerja bakti setiap hari sabtu. Kendati

108

Frans Ndun (ketua RT. 09), observasi dan wawancara, 21 Desember 2014. 109

Hasil observasi partisipatoris, bulan Desember 2014 – Februari 2015.

Page 75: Environment Ethic

75 Perayaan Kehidupan

cara ini terlaksana, namun, hanya berlangsung apabila timbunan dan serakan

sampah meningkat.

Sering ditemukan dalam kerja bakti, bahwa sampah hanya dikumpulkan

dan dibakar di lokasi kerja bakti. Sampah di lokasi kerja bakti tidak dibuang ke

TPS.110

Kerja bakti hanya dilihat sebagai upaya metodik sebagai bentuk

pembersihan. Upaya tersebut bukan sebagai upaya pencegahan dalam

pengelolaan yang langsung diarahkan ke sumber sampah, yaitu rumah-rumah

tangga. Dengan demikian metode yang dipakai dalam kerja bakti, tidak

memiliki kaitan langsung secara sistematis dengan sumber sampah di rumah

tangga dan TPS.

Kedua faktor ini menjadi penting sebagai komponen penunjang dalam

pengelolaan sampah yang sedapat mungkin tercapai, telah berpotensi bahwa

pengelolaan sampah akhirnya memperoleh basis bukan pada pemerintah,

melainkan masyarakat. Sangat disesalkan, ke semua hal masih berlaku terbatas

dalam peran masing-masing pihak. Warga di tiap rumah tangga belum memiliki

orientasi pengelolaan yang memenuhi standar pengelolaan, termasuk prinsip 3R.

Begitu pun peran pihak pemerintah, sejauh melaksanakan peran, tetapi belum

memiliki bobot optimal.

Dengan begitu, akumulasi dari banyaknya keterbatasan pengelolaan sampah di

titik populasi pada umumnya dan titik sampel pada khususnya, menghasilkan

sebagian besar dampak negatif ketimbang dampak positif. Dampak negatif itu

berlaku terhadap keadaan hidup manusia dan penurunan kualitas lingkungan fisik

dan estetisitas lingkungan (khususnya kota), seperti:

110

Hasil Observasi Partisipatoris di RT. 07 dan RT. 09, 19 Desember, 17 Januari dan 31 Januari.

Page 76: Environment Ethic

76 Perayaan Kehidupan

1. Dampak terhadap Kesehatan

Dampak kesehatan paling dominan yang ditimbulkan oleh sampah ialah panyakit

fisik. Penyakit-penyakit ini dapat ditularkan melalui segala sesuatu yang

bersentuhan dengan sampah pencemar, baik langsung maupun tidak langsung.

Lingkungan yang tercemar, seperti udara, air, tanah berpotensi sebagai perantara

penularan penyakit.111

Potensi bahaya yang dapat ditimbulkan, antara lain:

a) Penyakit malaria dan demam berdarah. Kedua penyakit ini disebabkan oleh

gigitan nyamuk. Untuk penyakit malaria disebabkan oleh parasit dari genus

plasmodium. Penyakit ini bersifat menular, disebabkan oleh gigitan nyamuk

pembawa kuman malaria, yaitu nyamuk anopheles. Sedangkan demam

berdarah atau demam dengue (DBD) disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes

Aegypti betina dewasa. Umumnya kedua penyakit ini terjadi karena

meningkatnya populasi nyamuk yang mengalami perkembangbiakan pada

tampungan-tampungan air pada jenis-jenis sampah yang tidak mengalami

pengelolaan yang baik. Jenis-jenis sampah dimaksud, seperti kaleng bekas,

ban bekas, atau bak-bak kamar mandi. Biasanya penyakit ini mengalami

peningkatan status dari endemi menjadi epidemi saat terjadi musim hujan.

Namun, bila pada musim panas, penyakit ini hanya berstatus endemi (dalam

keadaan normal) dengan jumlah penderita yang tidak begitu banyak. Penyakit

ini dapat menyebabkan wabah dan kematian.

b) Diare. Penyakit ini terjadi karena virus, bakteri dan protozoa dari sampah yang

dibuang atau ditimbun tanpa pengelolaan yang tepat, ditambah kondisi dan

lokasi tempat pembuangan sampah, baik TPS, tempat pembuangan komunal

dan pribadi.

111

Moh. Soerjani, dkk., Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan Dalam Pembangunan. Jakarta:

Penerbit Universitas Indonesia, 2008, hlm. 206-213.

Page 77: Environment Ethic

77 Perayaan Kehidupan

Proses patogenesis (proses berjangkitnya penyakit) diare biasanya

ditularkan secara fecal oral (dimasukan melalui mulut), melalui masukan

makanan/minuman yang terkontaminasi, ditambah ekskresi yang buruk, dan

makanan yang tidak matang atau yang disajikan tanpa dimasak.

Kontaminasi dapat terjadi karena: pertama, makanan atau alat-alat

makan yang dihinggapi vektor lalat yang dapat memindahkan bibit penyakit

dari sampah ke makanan. Kedua, tidak mencuci tangan sebelum makan,

apabila telah memegang sampah atau suatu benda yang terkontaminasi.

Ketiga, makanan atau alat-alat makan yang disiapkan atau disediakan oleh

orang yang terkontaminasi bibit penyakit/carrier.112

Menurut data yang diperoleh dari PUSTU Kelurahan Oeba, penyakit

ini sering diderita oleh balita. Secara epidemik, penyakit ini sering terjadi dan

meningkat menjadi wabah di saat musim hujan, tetapi angka penderita

penyakit ini belum mencapai kejadian luar biasa.113

c) Tetanus. Seperti halnya dengan penyakit malaria, penyakit tetanus disebabkan

oleh masuknya kuman penyebab tetanus ke dalam tubuh melalui kulit yang

terbuka akibat goresan benda-benda berkarat. Berkaitan dengan pengelolaan

sampah, maka benda-benda penyebab penyakit tetanus merupakan bagian dari

keterbatasan pola pengelolaan yang membiarkan benda-benda tersebut tetap

berada di lingkungan dan terjangkau oleh aktivitas manusia.

d) Penyakit kulit misalnya kudis dan kurap. Penyakit seperti ini biasanya

disebabkan oleh kontaminasi air oleh kuman penyabab penyakit kulit.

112

Marylin Junias & Eliaser Balelay, Hubungan Antara Pembuangan Sampah Dengan Kejadian Diare Pada

Penduduk Di Kelurahan Oesapa Kecamatan Kelapa Lima-Kota Kupang, Pdf., 2008, hlm. 93. 113

Kristofel Hibu, wawancara dan data registrasi penderita, 13 Januari 2015.

Page 78: Environment Ethic

78 Perayaan Kehidupan

2. Dampak terhadap Lingkungan Fisik

Dampak ini dibagi dalam beberapa kategori lingkungan fisik, antara lain:

a) Atmosfer

Timbulnya gas beracun pada titik-titik pembuangan sampah di sekitar rumah

maupun di TPS. Gas-gas tersebut seperti asam sulfida (H2S), amoniak (NH3),

methan (CH4), C02 dan sebagainya. Gas ini akan timbul jika sampah padat

rumah tangga ditimbun dan membusuk karena adanya aktivitas

mikroorganisme.114

Akumulasi gas-gas beracun yang sedemikian banyak

menghasilkan penurunan kualitas udara. Sampah yang ditumpuk, akan terjadi

reaksi kimia seperti gas H2S, NH3 dan methane yang jika melebihi nilai

ambang batas akan merugikan organisme secara tertentu termasuk manusia.

b) Hidrosfer

Penurunan kualitas air, karena sampah padat rumah tangga biasanya langsung

dibuang bersama-sama air limbah, deterjen dan sisa-sisa olahan rumah tangga

lain, yang berbentuk cair di sekitar aliran sungai dan sumber air. Pembuangan

ini dapat menyebabkan air dan mikroorganisme tertentu dalam air teracuni dan

dapat mati. Hal lain dari akumulasi sampah dan yang dibuang ke aliran sungai

maupun pada titik-titik air, dapat menyebabkan banjir dan peluapan air sungai,

termasuk drainase, yang menyebabkan terjadinya penyebaran sampah ke

badan-badan jalan dan fasilitas umum lain. Penyebaran sampah seperti

demikian, menandakan bahwa terjadi penyakit dapat secara intensif tersebar.

Kejadian seperti ini dapat disaksikan setiap terjadi musim hujan bahkan musim

berangin.

114

Galih Pranowo, Makalah Tentang Limbah Padat, Yogyakarta: Fakultas Sains Terapan Institut Sains &

Teknologi AKPRIND Yogyakarta, Pdf., hlm. 3.

Page 79: Environment Ethic

79 Perayaan Kehidupan

c) Litosfer

Kerusakan permukaan tanah dapat terjadi, salah satunya yang ditunjukan

dalam kebiasaan warga Kelurahan Oeba yang mengelola sampah dengan

membakar, membuang air deterjen langsung ke tanah, membiarkan botol-botol

kemasan yang berbahan plastik dan mengandung bahan kimia. Cara-cara yang

terbiasa ini menurunkan kemampuan produksi tanah. Pada lokasi-lolasi tanah

yang sering terjadi pembakaran sampah dan pembuangan sampah cucian,

misalnya, cenderung menunjukan tidak adanya proses pertumbuhan tanaman.

Sebab, khususnya kebiasaan membakar dapat membunuh bibit organisme pada

tanah, juga bunga tanah (humus). Termasuk asap pembakaran mencemari

udara dan mengganggu pernapasan, penyakit jantung, kanker paru-paru.115

Sisa-sisa bakaran seperti plastik yang meleleh sulit diurai tanah, sehingga

hampir tidak memberi kesempatan pada tumbuhan yang tumbuh di sekitar

lokasi pembakaran dapat tumbuh subur. Belum lagi, pijar panas api

pembakaran bila berdekatan dengan pohon, cenderung pijar panasnya

mengganggu pertumbuhan pohon tersebut.

d) Sosiosfer

Beberapa dampak negatif sampah rumah tangga bagi lingkungan sosial, antara

lain:

a. Berkurangnya rasa estetis warga ihwal meminati lingkungan dan tempat

tertentu. Misalnya, halte bus yang terletak di depan SMKN 2 Kupang,

kurang diminati untuk difungsikan karena bau yang berasal dari drainase

tepat di belakang halte.

115

Kusdwiratri Setiono, dkk., op.cit, hlm.46.

Page 80: Environment Ethic

80 Perayaan Kehidupan

b. Terciptanya ketidaknyamanan bagi masyarakat, khususnya pada kualitas

pemukiman: bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena

sampah bertebaran di mana-mana.

c. Memberikan dampak negatif terhadap kepariwisataan termasuk hiburan.

Tidak jarang ditemukan beling atau pecahan kaca, hingga sampah plastik

ditemukan di lapangan bola kaki, futsal dan voli yang terdapat di Stadion

Merdeka.

d. Memberi pengaruh tidak langsung pada ekonomi rumah tangga. Misalnya,

pengeluaran biaya penyakit lebih besar dibanding untuk meningkatkan cara

hidup sehat.

e. Memberikan dampak kerusakan pada fasilitas pelayanan umum seperti

jalan, jembatan, drainase, dan lain-lain. Fakta seperti ini dapat disaksikan di

sepanjang Jl. A. Yani, Jl. Kedondong, Jl. Beringin dan bantaran kali

Merdeka.

f. Meningkatnya pembiayaan untuk membersihkan daripada pembiayaan

untuk meminimalisir pencemaran atau pengotoran lingkungan,termasuk

kota.

Jika sarana penampungan sampah yang yang disediakan kurang atau

tidak efisien, baik pemerintah atau swadaya masyarakat, maka tentu orang

akan cenderung membuang sampahnya bukan pada tempat sampah. Bahkan

membuangnya di jalan. Hal ini mengakibatkan peningkatan pembersihan

jalan perbaikan lingkungan, baik itu penambahan sarana-sarana pengangkut

sampah dan penambahan awak pengangkut. Ini berarti bahwa, biaya yang

dikeluarkan untuk pembersihan dan sebagainya akan lebih besar.

Page 81: Environment Ethic

81 Perayaan Kehidupan

Dari beberapa dampak yang telah disebutkan sebagaimana di atas, dapat

dikatakan bahwa pengaruh bahaya bersifat holistik dan saling terkait mengait

antara dampak yang satu terhadap yang lain (contohnya, pembakaran sampah

mencemari udara sekaligus mencemari tanah). Bagi manusia, dampak itu

berpengaruh secara ekonomi, estetika, sosial dan masalah kesehatan, termasuk di

dalamnya beban psikologis. Sedangkan bagi lingkungan, berlaku dalam arti semua

lingkungan fisik.116

2. Sampah sebagai Sumber Pencemaran

Di atas telah dikemukakan dampak buruk dari keterbatasan pengelolaan sampah.

Pada bagian ini, hendak dikemukakan kompleksitas pencemaran oleh sampah

dalam kerangka moralitas. Kerangka ini telah didasarkan pada indikasi kesehatan

lingkungan dan juga kesehatan masyarakat. Dalam kerangka ini pun hendak

diidentifikasi bahwa dampak buruk tersebut menghasilkan kerusakan lingkungan

atau krisis lingkungan hidup yang tak berhenti pada kerugian yang hanya bersifat

antroposentris, yaitu hanya manusia saja yang dirugikan. Karena itu, diajukan

pertanyaan moral bahwa, sebetulnya intensitas kerugian mencapai hal apa saja?

Begitu juga dalam tanggung jawab moral, sebetulnya siapa saja yang paling

bertanggung jawab?

Fakta-fakta pencemaran seperti yang dikemukakan di atas, pada dasarnya

merupakan bukti dari campur tangan manusia terhadap lingkungan di mana dia

beraktivitas. Proses ini disebut perilaku antropogenik. Proses ini berarti, bahwa

pencemaran tidak lain diakibatkan oleh ulah atau perbuatan manusia, bukan alam.

116

Herman Koren & Michael Bisesi, Handbook of Environmental Health (vol. 1); Biological, Chemical, and

physical Agents of Environmentally Related Disease, New York: Lewis Publisher, 2003, hlm. 81; Alfin Toffler,

Future Shock, New York: Bantam Book and Random House, Inc., 1971, hlm. 429. Untuk beban psikologis

akibat pencemaran, Toffler mengistilahkannya dengan apa ia sebut „polusi batiniah‟. Istilah ini menunjuk pada

keresahan dan ketidaknyamanan psikologis saat interaksi manusia dengan lingkungan terganggu akibatnya.

Page 82: Environment Ethic

82 Perayaan Kehidupan

Seorang teolog Indonesia yang membidangi etika lingkungan, R. P. Borrong dalam

tulisannya, memutlakkan hal tersebut, bahwa pencemaran adalah akibat perilaku

manusia nir-etis. Pemutlakannya dilakukan dengan menyadari juga bahwa terdapat

penyebab pencemaran oleh peristiwa alam, misalnya letusan gunung merapi, banjir

atau longsor. Tetapi, kembali ia mengfokuskan diri bahwa paling dominan,

pencemaran terjadi oleh proses antropogenik.

Praktisnya, proses pencemaran yang antropogenik merupakan perilaku yang

menunjuk pada hasil sampingan dari aktivitas yang dilakukan menyimpang dengan

norma-norma lingkungan, keteraturan ekosistem dan prinsip-prinsip ekologis.

Kerusakan akibat pencemaran yang antropogenik ini, dapat berskala lokal,

nasional, global, bahkan semesta.117

Meninjau pada kamus, rumusan kata pencemaran dalam kata bahasa Indonesia

berasal dari kata dasar „cemar‟, yang diterjemahkan secara harafiah berarti kotor

atau ternoda.118

Kata cemar mempunyai dua arti, pertama, berkaitan dengan

lingkungan fisik, misalnya udara kotor atau tercemar. Kedua, berkaitan dengan

konotasi moral, misalkan kata cemar dipakai pada seorang wanita korban

pemerkosaan. Dua arti ini, yang dipakai hanyalah pengertian bahwa pencemaran

berkaitan dengan lingkungan, yaitu proses pengotoran lingkungan fisik.

Dalam kata bahasa Inggris, kata pencemaran ialah pollution, yang akar

katanya ialah pollute dan kata kerjanya ialah to pollute atau polluting. Kata Inggris

ini bila diterjemahkan menurut kamus ekologi berarti kerugian apa saja atau

perubahan tak menyenangkan dalam lingkungan sebagai akibat dari efek samping

aktivitas manusia, baik olahan fisikalnya, kimiawi atau biologikal.119

Bahan yang

117

Kusdwiratri Setiono, dkk., Manusia, Kesehatan dan Lingkungan, Bandung: PT. Alumni, 2010, hlm. 1. 118

Software KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). 119

Jill Bailey (ed.), The Facts On File Dictionary of Ecology and The Environment, New York: Facts On File,

inc, 2004, hlm. 188.

Page 83: Environment Ethic

83 Perayaan Kehidupan

masuk ke lingkungan memiliki kecenderungan mengotori dengan konsentrasi

tinggi dan tingginya akumulasi.120

Jelas dari pengertian ini, bahwa pencemaran memiliki kaitan langsung dengan

aktivitas manusia, yang dengan aktivitasnya, akibat sampingan timbul, dan

berdampak pada lingkungan dan kesehatan manusia dengan konsentrasi tinggi.

Secara normatif, menurut Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang:

Pengelolaan Lingkungan Hidup, pencemaran didefinisikan sebagai proses

masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun

sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat

berfungsi sesuai dengan peruntukannya.121

Terkait hal ini, James A. Nash,

sebagaimana yang dikutip Borrong, menandaskan bahwa

Polusi dapat dirumuskan sebagai akibat tindakan-tindakan manusia yang membahayakan dan

fatal, langsung maupun tidak langsung, karena membuang unsur-unsur alamiah dan/ sintesis ke

dalam ekosistem, yang tidak seharusnya dibuang atau karena yang dibuang jumlahnya

melampaui kemampuan ekosistem berasimilasi secara normal.122

Dari setiap definisi di atas, terdapat beberapa pokok pencemaran yang terdiri

atas tiga hal: Pertama, masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,

dan/atau komponen lain (asing) ke dalam lingkungan hidup. Proses ini, merupakan

bagian yang dikerjakan oleh manusia secara dominan. Ini disebabkan oleh suatu

iklim perkembangan manusia yang terus menunjukan peningkatan populasi dan

perkembangan masyarakat industrial yang ditandai dengan keagungan

teknologinya. Semakin banyak penduduk, akan semakin banyak produksi dan

konsumsi teknologi.

120

P. H. Collin., op. cit, hlm. 166. 121

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal

1, ayat. 12. 122

James A. Nash, Loving Nature: Ecological Integrity and Christian Responsibility, Nashville: Abingdon,

1991, hlm. 34., dalam R. P. Borrong, op. cit., hlm. 85.

Page 84: Environment Ethic

84 Perayaan Kehidupan

Dalam penyebutan yang lain terhadap iklim ini ialah teknosfer, yaitu

lingkungan di mana terdapat massifikasi teknologi canggih yang

operasionalisasinya dapat mengakselerasi timbulnya pencemaran, yaitu masuknya

buangan limbah dalam bentuk zat, bahan beracun, yang semua dianggap asing oleh

alam. Dalam jumlah yang banyak, atau dalam konsentrasi yang tinggi, tentu tidak

dapat memberi kesempatan bagi lingkungan untuk berasimilasi dan memulihkan

diri. Pada titik yang tidak dapat ditentukan, maka pengrusakan oleh bahan-bahan

pencemar terus berlangsung. Demikian, ini terjadi selama bahan-bahan itu tetap

ada di lingkungan tanpa dikelola.

Setiap kegagalan pengelolaan sampah rumah tangga menyebabkan akumulasi

sampah dan berakibat pencemaran. Akhirnya, semua proses masuknya hal asing

yang tidak dikenali lingkungan, dapat berujung pada kerusakan, penurunan

produktivitas lingkungan dan krisis ekologis. Krisis tersebut perlahan meluas dari

pusat regional berjangka waktu panjang, dan mungkin juga pendek. Dalam hal ini,

pencemaran regional mulai dari rumah-rumah (di Kelurahan Oeba) merambah

menjadi pencemaran yang berskala perkotaan (Kota Kupang), berlaku secara cepat

atau sangat lama.

Kedua, ulah manusia/antropogenisasi secara sengaja maupun tidak sengaja.

Polusi atau pencemaran yang diakibatkan oleh perilaku yang dilakukan seperti ini

memiliki konsekuensi etis, yaitu akibat perbuatannya tidak dapat ditoleransi ketika

dampak dari perbuatannya menimbulkan kerugian dirinya dan lingkungan.

Kerugian yang tentunya fatal. Karena itu, konsekuensi etisnya dituntut tanggung

kesadaran dan jawab moral dirinya dalam eksistensinya di lingkungan. Tanggung

jawab tersebut mesti berbasis lingkungan.

Page 85: Environment Ethic

85 Perayaan Kehidupan

Ketiga, yang paling penting ialah terjadi kerusakan lingkungan dan perubahan

lingkungan alamiah. Perubahan yang terjadi ini bersifat kontinu dan mengandung

makna terganggunya ekosistem, yaitu terganggunya interaksi alami manusia

dengan lingkungannya.

Sebagaimana telah disebutkan beberapa akibat pencemaran sebelumnya (lih.

67-74), dalam beberapa anggapan, manusia merupakan salah satu korban tak

terhindarkan dari pencemaran. Namun, bukan satu-satunya korban tunggal. Karena

itu, pencemaran sesungguhnya bukan memiliki obyek kerugian pada manusia

semata (antroposentris) bila ia yang dianggap paling rentan terkena pencemaran

dalam berbagai aspek. Penilaian ini sangat dangkal (shallow ecology).

Bila penilaian untung rugi hanya berlaku bagi manusia, maka penilaian seperti

ini tidak adil dalam pemahaman ekosentris. Filsuf asal Norwegia, Arne Naes

menyebutnya, penilaian moral-ekologis dalam (deep ecology).123

Penilaian yang

ekosentris menjunjung tinggi prinsip keseimbangan, tanpa pembedaan dalam

lingkungan.124

Konsekuensi logisnya ialah bahwa, penilaian ini nantinya berlaku

merata bagi keutuhan lingkungan dan kondisi sosiologis masyarakat. Penilaian

terhadap pihak yang dirugikan, mesti berlaku demikian. Sebab, bila terlalu

antroposentris, sudah tentu manusia dapat mencari peluang untuk mencemari

lingkungan di mana secara langsung tidak merugikannya. Contohnya, dengan

menganggap bahwa sampah yang dibuang di sekitar lingkungan aktivitas padat

(kompleks pemukiman) dan kepadatan penduduk akan berdampak langsung pada

aktivitas manusia. Tentu potensi pilihan terbesar ialah menghindarinya dengan

mencari tempat pembuangan yang tidak terdapat aktivitas padat penduduk.

123

Frijof Capra dalam George Sessions, Deep Ecology Of Thetwenty-First Century, Boston & London:

SHAMBALA, 1995, hlm. 18. 124

Jim Ife dan Frank Tesoriero, op. cit., hlm. 98-99.

Page 86: Environment Ethic

86 Perayaan Kehidupan

Penilaian yang antroposentris, memiliki sifat yang egoistis instrumental, yaitu

manusia berusaha mencari cara menghindari kondisi tercemar (oleh sampah) pada

lingkungannya dengan mencemari lingkungan yang mungkin bebas dari banyak

orang. Penilaian ini mempertimbangkan untung rugi hanya bagi manusia.

Tujuannya ialah pada setiap kemungkinan dari sampah tidak merugikan langsung

dirinya dan komunitasnya.

Menilai terhadap hal ini, dua pakar lingkungan asal India, Sethi dan Singh

memberikan kejelasan tentang obyek yang sesungguhnya dirugikan, melalui

definisi yang cukup adil tentang pencemaran:

Pencemaran/polusi adalah akibat benda-benda asing pada lingkungan alamiah yang

berbahaya bagi organisme, termasuk manusia.125

Kedua ahli ini memaksudkan bahwa penilaian yang terjadi pada lingkungan

harus dilihat dalam bingkai ekologis. Sebab, kemampuan mencemari dari bahan-

bahan pencemar merusak secara organisme, termasuk manusia di dalamnya.

Karena itu, ihwal mengelola sampah dan segala aktivitas manusia, baik

konsumsi dan produksi dalam industri, pembangunan, khususnya aktivitas

keseharian di rumah tangga menghasilkan variasi limbah, maka secara moralitas,

kasus pencemaran harus menjadi kewajiban dan tanggung jawab moral manusia.126

Tanggung jawab dimaksud bersifat kolektif maupun individu dan berbasis

ekologis. Maksudnya, tanggung jawab moral nantinya harus diperuntukkan bagi

kepentingan organisme lingkungan, termasuk lingkungan fisik. Karena skala

kerugian mencakup totalitas organisme di lingkungan, baik makhluk hidup,

lingkungan fisik, termasuk manusia.

125

Inderjeet Kaur Sethi & Gurcharan Singh, Modern Dictionary of Environment, New Delhi: Akashdeep

Publhising, 1992, hlm. 59. 126

Kees. Bertens, Etika, Jakarta: PT. Gramedia, 2004, hlm. 142-144.

Page 87: Environment Ethic

87 Perayaan Kehidupan

Dengan tanggung jawab itu, maka pekerjaan yang memiliki nilai dengan bobot

moral secara ekologis, seperti konservasi lingkungan, upaya sanitasi lingkungan,

peningkatan kesehatan masyarakat dan lingkungan dapat dikerjakan. Jika tidak

terjadi demikian, akan ada banyak pihak di alam ini yang menuntut tanggung

jawab lebih atas kerusakan oleh pencemaran. Pihak tersebut ialah ekosistem atau

sistem ekologi, yakni satuan kehidupan yang terdiri atas suatu komunitas makhluk

hidup dengan berbagai benda mati.127

Ini yang disebut dengan adil secara ekologis

juga biosentris. Adil terhadap kehidupan seluruh makhluk hidup dan

lingkungannya, termasuk benda mati.

3. Mengurai Benang Kusut: Hasil Analisa Terhadap Persoalan Mendasar Dari

Sampah

Jawaban atas dua pertanyaan moral yang diajukan di atas telah memperoleh

jawabannya. Pertama, manusia mesti bertanggung jawab penuh secara sadar atas

fakta pencemaran yang terjadi secara umum dan pada khususnya berlaku regional

(rumah, lingkungan tempat tinggal, kota) di Kelurahan Oeba. Kedua, kerugian

akibat pencemaran dari keterbatasan pengelolaan sampah dialami oleh satuan

organisme di lingkungan, termasuk manusia.

Dua jawaban moral tersebut bertolak dari prinsip normatifnya, yaitu

pencemaran oleh pengelolaan sampah yang terbatas merupakan akibat dari ulah

manusia terhadap lingkungannya (antropogenik). Persoalan ini ditunjukan melalui

dua indikasi, yaitu indikasi indeks kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan

yang menunjukan penurunan produktivitas kualitas lingkungan dan kesehatan

masyarakat. Penurunan dimaksud ialah, terganggu dan berubahnya fungsi

lingkungan regional, dan sedapat mungkin lingkungan yang cukup luas.

127

Sonny Keraf, op. cit., hlm. Xvii-xxii, 49-77.

Page 88: Environment Ethic

88 Perayaan Kehidupan

Pengelolaan sampah yang terbatas olehnya (warga), termasuk terbatas dalam

juga dalam motivasi etis yang ia miliki. Motivasi etis amat penting, kendati

demikian, motivasi itu cenderung diabaikan. Pada situasi tertentu, seperti

pembuangan sampah liar atau tidak pada wadahnya, terbukti nir-etis. Bukti

terhadap hal itu, pengelolaan cenderung bersifat tidak berkelanjutan, “asal telah

dikerjakan, itu cukup”.

Pengabaian akan pentingnya motivasi etis membuat manusia cenderung –

sebagai pengelola sampah menyimpang secara moral. Penyimpangan ini sekaligus

merupakan penggambaran akan miskinnya wawasan lingkungan. Gambaran

terhadap keadaan ini, Borrong mengungkapkan kegelisahannya dengan

menyampaikan bahwa kerusakan lingkungan, dan krisis ekologis, termasuk

pencemaran disebabkan oleh miskinnya muatan etika dalam relasi manusia dengan

lingkungannya. Itu berarti benar, bahwa ada kekurangan atau krisis moral yang

cukup mendasar dalam proses dan kebiasan pengelolaan sampah di Kelurahan

Oeba dan pengelolaan pada umumnya.

Krisis yang cenderung ditemui dalam kehidupan manusia dengan lingkungan,

merupakan krisis dalam cara pandang yang berpengaruh pada tingkat kesadaran

pola perilaku manusia. Krisis ini menurut mantan menteri lingkungan hidup, Sonny

Keraf, merupakan krisis yang fundamental-filosofis.128

Di pihak yang sama, solusi untuk menanggapi krisis ini, diusulkan oleh

fisikawan yang sementara ini turut memberi perhatian pada persoalan ekologi,

Fritjof Capra, 1997. Ia, dalam tulisannya menyatakan bahwa membutuhkan

penuntasan terhadap krisis yang membelit persepsi manusia, pemikiran, dan nilai-

nilai. Semua ini dilakukan dengan cara yang harus radikal dan benar-benar

128

Ibid., hlm. Xiv-xv.., Filsafat Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2014, hlm 8-9.

Page 89: Environment Ethic

89 Perayaan Kehidupan

fundamental.129

Cara ini tidak berhenti di situ, tetapi mesti dilakukan secara

berkelanjutan dan bersifat generatif.

Demikian juga, pernyataan dari Vatikan, Roma, tahun 1990, oleh Paus

Yohanes Paulus II, bahwa untuk menemukan solusi atas persoalan ekologis, harus

memperhatikan dengan serius dan radikal gaya hidup manusia modern yang kian

intens. Ada begitu banyak orang yang dengan gaya hidupnya mengabaikan

kerusakan yang mereka sendiri perbuat.130

Manusia pada umumnya, dengan cara pandang yang keliru terhadap

lingkungan dan keliru menempatkan dirinya di tengah-tengah alam adalah awal

dari semua bencana lingkungan hidup yang dialami sekarang. Tentang krisis ini,

Lynn White, spesialis di bidang teknologi menengah, menyampaikan

persetujuannya, yaitu,

Apa yang dilakukan manusia terhadap lingkungan hidup bergantung pada apa yang mereka

pikirkan tentang diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan apa yang ada di sekitar

mereka.131

Dengan ini mau dikatakan bahwa krisis pemahaman yang dialami,

mempertegas ketidakmampuan manusia melihat hakikat dirinya berinteraksi

dengan lingkungan. Begitupun yang terjadi dalam pengelolaan sampah. Manusia

sebagai pengelola tidak memiliki tujuan mendasar dan hakikat dirinya mengelola

sampah, selain hanya beralasan untuk lingkungan itu bersih dengan menggalakkan

kerja bakti.

129

Fritjof Capra, Jaring-jaring Kehidupan; Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan (terj.), Yogyakarta: Fajar

Pustaka Baru, 2001, hlm.12-13. 130

Yohanes Paulus II, Peace With God the Creator, Peace With All of Creation, Origin 19, 1990, hlm. 467,

dalam J. Milburn. Thompson, Keadilan dan Perdamaian, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2009, hlm. 107. 131

Dikutip dalam Fachruddin Mangunjaya, Konservasi Alam Dalam Islam, Jakarta:YayasanObor Indonesia,

2005, hlm. 7. Juga termasuk Arne Naes, (dan hampir semua para pakar dan filsuf yang memberi perhatian pada

pencarian hakikat akar masalah lingkungan) yang mengungkapkan perlunya pembaruan pemahaman atau

paradigma yang fundamen dan radikal, sebagai jalan untuk mengatasi berbagai wajah krisis lingkungan. Arne

Naes, Ecology, Community and Lifestyle, Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1993, hlm.

Page 90: Environment Ethic

90 Perayaan Kehidupan

Kendati demikian, toh, lingkungan justru tetap pada kondisi yang tercemar oleh

sampah. Usaha ini tidak cukup merubah keadaan bila dari akar permasalahan yang

belum terpecahkan pada tingkat individu maupun kolektif.

Kesimpulan

Permasalahan lingkungan yang terdapat di Kelurahan Oeba merupakan permasalahan

persampahan, khususnya sampah rumah tangga. Pengertiannya sendiri memiliki konotasi

yang bertentangan dengan nilai-nilai estetis, yaitu kotor atau jorok. Pengertian sampah,

secara umum, dilihat dari sudut kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat

merupakan limbah dalam bentuk padat. Karena itu, sampah adalah bagian dari limbah.

Pada pengertiannya, secara umum, sampah merupakan bahan buangan apa pun dari

aktivitas manusia. Sedangkan sampah rumah tangga memiliki arti yang dibatasi, yaitu

sampah yang dihasilkan dari aktivitas manusia di rumah tangga sebagai salah satu

sumber sampah. Penekanan pada masalah sampah ialah pekerjaan pengelolaannya

sebagai akomodasi terhadap bahaya pencemaran yang kapan saja bisa muncul.

Fakta yang ditemukan ialah, bahwa sejauh cara dan sistem pengelolaan (tidak

sistematis, tidak berkesinambungan dan menyeluruh) dilakukan oleh tiap warga di rumah

tangga masing-masing, dan yang diupayakan pemerintah, masih dalam kondisi yang

amat terbatas. Keterbatasan itu mencakup berbagai aspek, yaitu minimnya wadah dan

tempat pembuangan sampah sementara, inovasi teknologi pengelolaan dan pengolahan,

partisipasi warga, termasuk belum adanya penetapan basis yang tetap dalam mengelola

sampah.

Akumulasi dari berbagai keterbatasan dalam pengelolaan menghasilkan bahan

pencemar. Pada konsentrasi dan akumulasi tertentu, sampah di Kelurahan Oeba

menghasilkan pencemaran lingkungan. Pencemaran ini mengakibatkan banyak kerugian

terhadap sistem lingkungan, dan organisme yang hidup di dalamnya. Karena itu, atas

Page 91: Environment Ethic

91 Perayaan Kehidupan

fakta pencemaran dan kerugian yang terjadi, dituntut kesadaran dari para pihak yang

memiliki kesadaran dan tanggung jawab moral, yaitu keluarga-keluarga di Kelurahan

Oeba, bersama pemerintah Kota Kupang.

Kembali pada urgensi yang terjadi dalam keterbatasan pengelolaan sampah, yang

ditandai dengan pencemaran, diidentifikasi bahwa akar dari permasalahan sampah

bertumpu pada kegagalan memahami hakikat diri dan lingkungan. Artinya, bahwa

perilaku pengelolaan sampah selama ini masih kurang dalam kaitannya dengan

pemahaman yang memadai tentang pentingnya lingkungan yang sehat dengan diri

manusia. Kekurangan ini juga berhubungan dengan motivasi etis, yaitu dorongan etis

secara pribadi atau masyarakat untuk selalu sensitif terhadap masalah sampah dan

pengelolaannya. Inilah akar masalahnya.

Karena itu, untuk menjawab akar masalah ini, sebuah alternatif lain, dimulai dengan

peninjauan secara ekoteologis-liturgis.

Page 92: Environment Ethic

92 Perayaan Kehidupan

Page 93: Environment Ethic

93 Perayaan Kehidupan

Page 94: Environment Ethic

94 Perayaan Kehidupan

Page 95: Environment Ethic

95 Perayaan Kehidupan

BAB III

TINJAUAN DAN REFLEKSI EKOTEOLOGIS-LITURGIS TERHADAP

PERSOALAN PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA KELURAHAN OEBA

Dua kesimpulan yang dapat dicatat dalam hasil analisis pada bab II adalah: Pertama,

persoalan persampahan dan pengelolaannya merupakan persoalan moralitas. Hal ini karena

manusia merupakan makhluk berkesadaran moral dan pelaku moral. Bahkan moralitas

menjadi karakter dasar manusia.

Hal substansial yang patut dicatat dalam tulisan ini ialah bahwa dalam studi ini,

moralitas hasil dari penelusuran tugas etika lingkungan, yaitu memberikan penilaian,

penyelidikan akar masalah, mengoreksi dan membimbing ke arah paradigma yang benar.

Paradigma yang dihasilkan akan menuntun perilaku yang sesuai dengan arah kebajikan.132

Kedua, sampah rumah tangga yang berdampak pada pencemaran lingkungan berakar pada

pemahaman masyarakat di Kelurahan Oeba yang masih kurang terhadap pengelolaan sampah

itu sendiri.

Dua kesimpulan tersebut menjadi titik tolak tinjauan ekoteologis-liturgis. Tinjauan ini

diharapkan berpengaruh pada konstruksi berpikir „para pembaca‟, yang kemudian

membangun spiritualitas mereka dengan memperhatikan dimensi ekologis-liturgis.

Bab ini berisi empat pokok uraian. Pertama, tinjauan ekoteologis-liturgis. Tinjauan

teologis ini, dimulai dengan pemberian titik temu antara disiplin ekologis dan liturgi sebagai

dasar bagi refleksi teologis. Secara metodologis, ciri berteologi di sini mempertahankan sifat

tematis, dengan mengedepankan dasar-dasar teologis-liturgis yang dibangun di atas dasar

trinitaris. Kedua, refleksi teologis berdasarkan tinjauan ekoteologis-liturgis. Ketiga, usaha

mencari solusi bersama dan keempat, berisikan kesimpulan.

132

John Macquarrie, A Dictionary Of Christian Ethics, Norwich: SCM Press. LTD., 1967, hlm. 118. I. R.

Poedjawijatna, Etika, Filsafat, Tingkah Laku (cet. Ke-3). Jakarta: Obor, 1977, hlm. 25-26; Malcolm Brownlee,

Pengambilan Keputusan Etis. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2011, hlm. 17.

Page 96: Environment Ethic

96 Perayaan Kehidupan

A. Tinjauan Ekoteologis-Liturgis

1. Pengertian

Ada banyak jalan yang dapat dipakai untuk menyoroti definisi liturgi dan ekologi.

Macam-macam pandangan dapat dipergunakan untuk memberi pengertian pada

keduanya. Akan tetapi, pengertian yang akan disampaikan di sini sebagaimana

lazimnya, pertama-tama ialah memaparkan bentuk kata, etimologi (akar kata), dan

pemakaian kedua istilah tersebut dalam sejarah. Kemudian untuk mencapai teologi dari

dua istilah ini, maka keduanya harus dipertemukan secara teologis.

1.1. Liturgi

Istilah liturgi yang dijelaskan oleh Charles Hefling dalam kamus teologi Kristen,

memiliki cakupan makna yang luas. Kata liturgi dipakai untuk menunjuk pada

keseluruhan peristiwa pertemuan persekutuan Kristen (ibadah) yang bermakna

simbolis praktis, kultis. Serta dalam kamus tersebut, disajikan teologi liturgi dan

tanggapan-tanggapan teologis.133

Di pihak lain, Kamus Besar Bahasa Indonesia tentu tidak dapat menyediakan

pengertian yang cukup tentang liturgi. Kamus ini sering menyajikan tiga pengertian

liturgi. Pertama, ibadah umum di Gereja; kedua, segala tindakan sebagai tanda

pewahyuan Tuhan; ketiga, tata upacara agama Kristen.134

Tiga pengertian yang

diberi kamus ini mengarahkan orang pada penyembahan kepada Tuhan. Pengertian

tersebut juga dipahami secara seremonial yang melibatkan para petugas ibadah,

pengatur ibadah. Pengertian inilah, yang justru masih sering dijunjung oleh sekian

banyak jemaat saat ini. Menariknya, pengertian yang demikian melihat liturgi dalam

133

Charles Hefling, dalam Ian A. McFarland (ed.), The Cambridge Dictionary Christian Theology, New York:

Cambridge University Press, 2011, hlm. 283-285. 134

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 529.

Page 97: Environment Ethic

97 Perayaan Kehidupan

ruang sempit sebagaimana rumusan atau rubrik sistematis di dalam sehelai kertas

atau sebuah buku.135

Kata liturgi diambil dari bahasa Yunani leitourgia (dalam bahasa Latin: liturgia)

dengan kata kerjanya leitourgein. Kata leitourgia terbentuk dari akar kata ergon,

yang berarti „karya‟, dan leitos, yang merupakan kata sifat untuk kata benda laos

(umat, bangsa atau rakyat). Secara harfiah, leitourgia berarti „karya publik‟ atau

„pelayanan yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa‟ dan bagi kepentingan hidup

bersama. Karya-karya dimaksud (leitourgia), dalam masyarakat Yunani kuno,

misalnya, pelayanan publik tanpa pamrih atau mencari untung dengan pembayaran

yang dianggap sesuai dengan jasa layanan seseorang atau suatu lembaga;

sumbangan dari orang kaya bagi masyarakat miskin; dan termasuk pajak dan cukai

yang diperuntukkan bagi masyarakat atau kepentingan negara (Rm 13:6).136

Jadi, liturgi sebagai istilah Yunani, yang menurut asal-usul sejarahnya, adalah

pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang bagi kepentingan orang lain dalam

komunitas. Dengan begitu menurut asal-usulnya, istilah leitourgia memiliki arti

profan-politis-sekularis. Dengan kata lain, kata ini mengarah pada karya pelayanan

nir-kultis.

Makna kultis pada kata “leitourgia”, baru muncul pada abad ke-2sM., yakni

zaman Perjajian Lama. Pada abad ini, kata leitourgia dikenal dengan arti pelayanan

ibadat.137

Lebih khusus, kata ini menunjuk pada pelayan ibadat pada Bait Allah –

dilakukan oleh para imam atau kaum Lewi, yang disebut leitourgos. Pada abad

sebelumnya, yakni abad ke-4 sM., pemakaian kata leitourgia diperluas, yakni untuk

menyebut berbagai macam karya pelayanan. Kemudian, pada zaman Perjanjian

135

E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, op. cit., hlm. 13-14. 136

Adolf Adam, op. cit., hlm. 3; E. Martasudjita, Pengantar Liturgi., op. cit., hlm. 15; Andar Ismail, Selamat

Berbakti, BPK. Gunung Mulia, Jakarta, 2000, hlm. 32; Rasid. Rachman, Pembimbing ke Dalam Sejarah Liturgi,

Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2012, hlm. 2-3. 137

Dalam Perjanjian Lama berbahasa Yunani kata liturgi dijumpai sebanyak 170 kali dari kata abodah.

Page 98: Environment Ethic

98 Perayaan Kehidupan

Baru, istilah tersebut kembali mengalami perluasan, menunjuk pada berbagai

macam pelayanan orang Kristen.138

Hasil survei G. Riemer, seorang Roma Katolik, menyatakan bahwa istilah

leitourgia dalam Perjanjian Baru terdapat 15 kali dengan makna yang berbeda-beda.

Luk.1:23, Ibrani 9:21, Ibr.10:11 mengartikan leitourgia sebagai tugas imam. Ibr.8:2,

Ibr. 8:6 menguraikan leitourgia dalam hubungannya dengan pelayanan Kristus

sebagai imam. Rm.15:16 menghubungkannya dengan pekerjaan rasul dalam

pekabaran Injil kepada orang kafir. Flp.2:17 mengaitkannya dengan kiasan untuk

hal percaya, sedangkan Ibr.1:7, 14 merujuk kepada pekerjaan malaikat-malaikat

melayani. Rm.13:6 menjelaskannya sebagai jabatan pemerintah. Kemudian

Rm.15:27, Flp. 2:25, Flp. 2:30, Flp. 4:18 menunjuk pada pengumpulan

persembahan untuk orang miskin. Kis.13: 2 mengacu kepada kumpulan orang yang

berdoa dan berpuasa.139

Dari ayat-ayat yang disebutkan di atas, tampak bahwa surat Ibrani paling banyak

mengungkapkan kata leitourgia. Teks-teks khusus pada surat tersebut mencatat

dengan gamblang perluasan makna kultis yang diartikan sebagai pelayanan imam,

yang turut dipakaikan pada Yesus Kristus, pelayan imamat atau Litourgos satu-

satunya (8:1-13, 9:15, 25-26, 28 dan 10:12).140

Imamat Kristus merupakan

pelayanan yang mengandung makna penggenapan berdasarkan fakta historis.

Selanjutnya, Perjanjian Baru menyatakan, bahwa liturgi memiliki makna yang

varian. Liturgi bisa berarti ibadat atau doa kelompok kecil Kristiani (Kis. 13:2);

pelayanan pewartaan Injil (Rm. 15:16); sumbangan sebagai tindakan amal kasih

138

Bosco Da Cunha & O. Carm, Teologi Liturgi dalam Hidup Gereja, Malang: Dioma, 2004, hlm. 16; Emanuel

Martasudjita, Pengantar Liturgi., op.cit., hlm. 15-16; F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK.

Gunung Mulia, 1994, hlm. 150. Pemberian makna kultis dibuat oleh Kelompok Septuaginta (LXX), abad ke-3. 139

G. Riemer, Cermin Injil, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1995, hlm. 11. 140

Adolf Adam., op. cit., hlm. 3.

Page 99: Environment Ethic

99 Perayaan Kehidupan

bagi saudara seiman di tempat lain (2 Kor. 9:12); sikap beriman sehari-hari (Rm.

13:6) dan bisa juga berarti pelayanan Kristen yang luas (Flp. 2: 25) pada zaman

sesudah para rasul (postapostolic period), seperti diakonia, marturia, oikonomia.141

Dengan beberapa variasi perkembangan makna yang tercatat, maka dapat

disimpulkan bahwa liturgi dalam Perjanjian Baru bersifat vertikal dan horizontal

sekaligus. Artinya, bahwa liturgi dihubungkan dengan pelayanan umat kepada Allah

dan sesama umat dan semua orang.142

Liturgi bukan hanya pada bidang ibadat saja,

tetapi bisa juga mencakup bidang kehidupan yang lebih luas, lebih holistik. Liturgi

dalam Perjanjian Baru, tidak bermakna antitesis, pelayanan kepada Allah dipisahkan

dari pelayanan di dalam dunia. Sebaliknya, pelayanan bermakna dialektis, yaitu

pelayanan secara pribadi maupun komunitas yang ditunjukan kepada Allah, selalu

berbaringan untuk kepentingan komunitas itu sendiri.143

Perkembangan selanjutnya, liturgi baru dimasukan ke dalam perayaan ibadah

gereja sekitar abad ke-12.144

Khusus abad pertengahan liturgi hanya mencakup

perayaan ekaristi. Tetapi pada abad ke-16, liturgi oleh Gereja-gereja Reformasi,

liturgi dimaknai sebagai ibadat gereja. Semboyan untuk liturgi reformasi ialah

liturgia reformata semper reformanda. Liturgi senantiasa berada dalam proses

membarui diri berdasarkan penilaian teologis dari generasi berikut.145

Gereja Katolik Roma juga menggunakan kata sifat liturgicus (Lat.) untuk hal-hal

yang berkaitan dengan ibadah. Lalu berurut-urutan, abad 18, tahun 1947 (Mediator

Dei) dan akhirnya pada Konsili Vatikan II, Gereja Katolik Roma membakukan

141

Ibid., hlm. 3. 142

David R. Ray, Gereja yang Hidup, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2011, hlm. 9. 143

Albinus L. Netti, Ibadah dan Tata Ibadah Dalam Permenungan, Salatiga: Satya Wacana University Press,

2014, hlm. 50-51. 144

Rasid Rachman, Pengantar, op. cit., hlm. 3. 145

Adolf Adam, op. cit., hlm. 4.

Page 100: Environment Ethic

100 Perayaan Kehidupan

istilah “liturgi” dalam konstitusi liturgi Konstitusi Liturgi, Sacrosanctum Concilium

(SC) untuk menyebut peribadatan gereja.146

Dalam kurun perkembangan yang berlanjut dalam gereja, liturgi, walaupun

mengalami penyempitan, namun memiliki isi teologi yang sangat luas. Isi teologi ini

dipakai untuk mendefinisikan liturgi sebagai perayaan iman akan karya keselamatan

Allah dalam Kristus, yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung,

bersama gereja-Nyadi dalam ikatan Roh Kudus.147

Definisi ini lahir dari pergumulan reflektif gereja-gereja selama berabad-abad

terhadap perbuatan Allah yang menyelamatkan, melalui pengorbanan Yesus

Kristus: mati dan bangkit yang dibuat nyata oleh Roh Kudus. Liturgi menjadi

perayaan karena peristiwa kebangkitan, memaklumkan semua karya Allah. Karya

inilah yang menjadi titik tolak liturgi sebagai perayaan gereja dan semua orang

percaya. Dari sini berarti pelaku atau pelaksana liturgi ialah Yesus Kristus dan

gereja-Nya. Ini pula yang dimaksud dengan subyek liturgi.

Dalam definisi ini, termuat beberapa pokok dimensi teologis. Pertama, perayaan

liturgi merupakan buah karya Allah Tritunggal, Bapa, Yesus Kristus dan Roh

Kudus. Kedua, subyek pelaksana liturgi, ialah Kristus dan gereja dalam arti organis,

umat yang berkumpul (ekklesia) maupun lembaga. Ketiga, oleh karena dimensi

soteriologis dari perayaan berlaku kosmik, maka subyek perayaan juga bersifat

kosmik, yaitu seluruh ciptaan merayakan karya keselamatan yang dialami dalam

Yesus Kristus.

Gereja dipanggil untuk mengalami persekutuan di dalam dan bersama Kristus,

serta ciptaan-Nya. Gereja memiliki prioritas tersendiri untuk merayakan secara

146

Emanuel Martasudjita, Pengantar Liturgi, op.cit., hlm. 20-21. 147

Adolf Adam, op.cit., hlm. 8-9.

Page 101: Environment Ethic

101 Perayaan Kehidupan

simbolis karya keselamatan itu sebagai persekutuan utuh menuju kepenuhannya

terhadap Allah. Itulah dimensi yang eskatologis di balik perayaan liturgi.

1. Liturgi adalah Kegiatan Ibadah

Walaupun telah diperoleh definisi tentang liturgi, namun dalam sejarah

perkembangannya, jika dicermati secara teknis pemakaian istilah, liturgi

mengalami penyempitan. Istilah liturgi (leitourgia) sendiri adalah salah satu

istilah yang dipakai untuk menyebut ibadah Kristen. Ibadah dalam Perjanjian

Baru, dipakai untuk menunjuk pertemuan (Ibr. 10:25), perkumpulan atau

berkumpulnya orang-orang/jemaat yang percaya Yesus (Mat. 18:20; 1 Kor.

14:23; 26).

Selain istilah liturgi (litourgia) yang dipakai untuk menyebut ibadah,

terdapat dua istilah lain yang sama halnya, yakni latreia (dalam bahasa Ibrani

abad/abodah. Berdasarkan konversi Kristen, istilah ini berarti melayani,

mengabdikan seluruh hidup: Kis. 26:7; Luk. 2:37) dan threskeia

(penyembahan atau pemujaan yang sangat kultis: Yak. 1:26, 28; Kol. 2:18).

Kedua istilah belakangan, tidak akan dijelaskan lanjut di sini.

Meskipun istilah liturgi adalah pengambilalihan dari konteks sekuler

(termasuk dua istilah yang telah disebutkan tadi), namun istilah liturgi

dianggap paling cocok untuk ibadah Kristen, selain dua istilah tadi.

Penelusuran Albinus L. Netti, menyatakan bahwa istilah liturgi lebih terkenal

dari dua istilah lain untuk menunjuk ibadah Kristen.148

Dari penjelasan ini, mau dikatakan, bahwa: Pertama, berdasarkan

etimologisnya, istilah liturgi sesungguhnya adalah ibadah meski dapat

dibedakan. Dari sini berarti liturgi identik dengan ibadah dan kedua istilah

148

Albinus L. Netti, op. cit., hlm. 39-47.

Page 102: Environment Ethic

102 Perayaan Kehidupan

dapat dipakai bergantian. Pemakaian kata berdasarkan asal-muasal kata

berbeda karena mengalami terjemahan dari bahasa yang satu ke bahasa lain.

Liturgi adalah salah satu bahasa (berasal) dari sekian bahasa yang dipakai

untuk ibadah.149

Dari segi bahasa, liturgi terbatas dan sempit sedangkan ibadah dari segi

bahasa sangat luas. Sebab ibadat adalah tindakan konkret iman, seperti pujian,

doa dan sekaligus juga tindakan perwujudan iman, seperti perbuatan kasih

kepada sesama, yaitu menolong orang miskin, dst,. Tindakan iman dan

perwujudan iman ini dilakukan sebagai respon atau jawaban atas perbuatan

Kasih Allah dalam Yesus yang menyelamatkan manusia (katabis= gerakan

dari Allah ke manusia). Ibadah lebih merupakan tindakan satu arah dan lebih

bersifat pribadi.

Sementara liturgi memang hanya dimaksudkan sebagai tindakan untuk

mengungkapkan iman dalam sikap doa, pujian yang menyatakan iman dan

hubungan lain yang kultis, seperti taat mempersembahkan persepuluhan atau

kolekte.

Dalam perkembangannya, istilah liturgi semakin dipersempit dalam gereja.

Hingga sekarang ini istilah tersebut sering dimengerti sebagai suatu rangkaian

sistematis yang mengatur ibadah, yaitu kertas liturgi.

Kedua, berdasarkan bobot teologis, Emanuel Martasudjita menyampaikan

perbedaan mutlak bahwa liturgi memiliki isi peristiwa perayaan lebih luas

daripada ibadah. Penelusurannya menyatakan bahwa liturgi mencakup suatu

komunikasi dua arah sekaligus yanga saling terkait, yakni Allah yang

149

James White memberikan data untuk menggambarkan ibadah berdasarkan beberapa bahasa, di antaranya,

bahasa Inggris, Yunani, Latin, dan Jerman. James White, Pengantar Ibadah Kristen (terj), Jakarta: BPK.

Gunung Mulia, 2011, hlm. 12-17, 33.

Page 103: Environment Ethic

103 Perayaan Kehidupan

menguduskan dan menyelamatkan manusia, dan sekaligus manusia

menanggapi pengudusanAllah itu dengan memuliakan dia (anabatis = gerakan

naik).150

Semua ini berlangsung di dalam Yesus Kristus. Lanjutnya, ia

memberikan penegasan bahwa jika dicermati tekanan ibadah sangat terletak

pada aspek gerakan naik (anabatis) saja.

Ketiga, dilihat dari segi liturgis, kegiatan berliturgi selalu merupakan

tindakan komunal atau bersama, yakni perayaan seluruh jemaat atau gereja

(organis atau lembaga), dan bukan tindakan pribadi saja, misalnya devosi

pribadi. Sedangkan, tindakan ibadah masih bisa menunjuk tindakan pribadi.

Kemudian, liturgi selalu bersifat resmi karena perayaan liturgi merupakan

gereja mengungkapkan jati diri atau hakikat asli dirinya secara resmi.

Sebaliknya, ibadah masih terbuka pada tingkatan yang selalu tidak resmi.

Alasannya kembali pada tindakan ibadah yang dapat dilakukan secara pribadi

atau individu.

Hematnya bahwa, pembedaan ini memberi kejelasan bahwa liturgi dan

ibadah justru terkait erat secara etimologis maupun teologis. Mengingat

istilah-istilah yang muncul untuk menggambarkan ibadah sangatlah varian,

yang umumnya condong pada Perjanjian Baru.

Menurut Abineno, istilah-istilah yang sangat varian ini memiliki esensi

yang sama dan sejajar. Oleh karena, dalam Perjanjian Baru tidak ada istilah

yang jelas terbatas untuk menggambarkan ibadah Kristen.151

Istilah-itilah yang

ada menggambarkan satu substansi, yaitu ciri kultis dan devosi yang diarahkan

kepada Allah. Menurut usulan yang perlu diberikan di sini agar terjadi

150

Emanuel Martasudjita, Pengantar Liturgi, op. cit., hlm. 26-30. 151

J. L. Ch. Abineno, Jemaat: Ujud, Peraturan, Susunan, Pelayanan, Pelayanan-Pelayanannya, Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 1983, 72-73.

Page 104: Environment Ethic

104 Perayaan Kehidupan

penghubungan yang sederhana dan mendalam, ialah bahwa liturgi itu sendiri

ialah kegiatan ibadah. Kegiatan ibadah ini berbentuk perayaan seremonial di

gereja maupun praksis. Praksis inilah yang menjadi penekanan sebagai jalan

penghubung yang baik untuk mengartikan liturgi sekaligus ibadah.

Johny E. Riwu Tadu menyampaikan, bahwa sebagai subyek liturgi, gereja

menunjukan liturgi dalam ibadah dan praksis. Praksisnya menunjuk pada aksi

dan refleksi iman orang-orang percaya. Aksi ibadah meliputi pelayanan,

tindakan, tingkah laku, hidup keagamaan, spiritualitas, praksis hidup, cara

berpikir, pola pikir, dan menanggapi.152

Semua ini berlaku dalam sikap hidup

dalam kehidupan sehari-hari. Sikap ini dilakukan sebagai representasi

perayaan yang setia, tunduk, dan hormat.153

2. Liturgi: Cakupan, Sifat dan Dimensi

Menurut definisi liturgi yang telah diberikan sebelumnya, bahwa liturgi

merupakan perayaan terhadap karya keselamatan Allah, mengindikasikan

bahwa perayaan liturgi tentu amat dalam dan luas untuk dikaji. Dalam maksud

yang luas ini, tentu memiliki sifat oikumenis, dinamis, personal dan relasional.

Oleh gereja, liturgi sendiri mengandung dimensi eklesiologis, sosial, pastoral

dan ekologis, sangat multidimensi.154

Sifat-sifat dan dimensi-dimensi liturgi

tersebut terbuka bagi banyak cara untuk menyorotinya. Demikian sebaliknya,

liturgi amat kaya untuk menyoroti berbagai isu dari salah satu dimensi teologis

yang terkandung di dalamnya.

152

Johny E. Riwu Tadu, Liturgika I, Pdf., hlm. 1-2. 153

Christop Barth, Teologi Perjanjian Lama III, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986, hlm. 96. 154

E. Martasudjita, Makna Liturgi Bagi Kehidupan Sehari-hari; Memahami Liturgi Secara Kontekstual,

Yogyakarta: Kanisius, 1998, hlm. 13.

Page 105: Environment Ethic

105 Perayaan Kehidupan

1.2. Ekoteologi

Menurut Larry L. Rasmussen, istilah „ekologi‟ terbentuk dari dua kata dasar

Yunani, yaitu oikos (rumah, tempat tinggal) dan logos (kata, uraian). Secara harfiah,

ekologi berarti logika tentang rumah, atau pengetahuan tentang struktur dan

dinamika tentang rumah tangga, bagaimana rumah tangga dikonfigurasikan dan

dijalankan dengan baik.155

Rumah tangga di sini berarti suatu tatanan alam semesta

yang utuh, yaitu bumi dan segala isinya sebagai sebuah habitat, baik anorganis

maupun organisme makhluk hidup.

Istilah ekologi sendiri, seperti yang dikenal sekarang, dipopulerkan oleh seorang

ilmuwan, seorang murid Charles Darwin, Ernst Heinrich. Haeckel, pada tahun 1970.

Olehnya, istilah ini menunjuk pada pengaturan atau ekonomi alam. Pusat

perhatiannya ialah pada pengaruh interaksi dari binatang dengan lingkungan organis

maupun anorganis.156

Sebagai studi, ekologi berarti penyelidikan mendalam dan sistematis tentang

organisme-organisme dalam jagat raya. Umumnya, ekologi dilukiskan sebagai

penyelidikan mengenai hubungan-hubungan antara planet, hewan, manusia, dan

lingkungan hidup serta keseimbangan di antaranya. Ekologi juga dipahami sebagai

ilmu tentang keseluruhan organisme di kawasan beradanya;157

ilmu tentang tatanan

dan fungsi alam atau kelompok organisme yang ditemukan dalam alam dan

interaksi di antara mereka, supaya terjadi interkasi yang harmonis.158

Dari sudut teologis, ekologi harus dilihat dalam bingkai korelatif secara

teosentris, bepusat pada Allah Pencipta. Pusat ini secara teologis menjadi mutlak,

155

Larry L. Rasmussen (terj.), op. cit, hlm. 157-158. 156

Peter Calow (ed.), Blackwell’s Concise Encyclopedia of Ecology, Malden: Blackwell Science, Inc., 1991,

hlm. 36. 157

Jill Bailey, op. cit., hlm. 77. 158

William Chang, Moral Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm. 13- 14; Mateus Mali dalam A.

Sunarko dan A. Eddy Kristiyanto (ed.), Menyapa Bumi Menyembah Yang Ilahi; Tinjauan Teologis Atas

Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 2008, hlm. 137.

Page 106: Environment Ethic

106 Perayaan Kehidupan

sehingga terbuka dengan luas, bahwa pendekatan ekologi bagi pembicaraan

lingkungan adalah pendekatan yang bermakna etis teologis. Sehingga seluruh

kerangka ekologi dapat disebut dengan istilah ekoteologi (etika ekologi Kristen).159

Ekoteologi dimengerti sebagai refleksi sistematis manusia terhadap karya

penciptaan Allah, dengan menempatkan diri sebagai salah satu bagian yang tak

terpisahkan dengan ciptaan lain (ekosentris/ekologi dalam). Dalam posisi itulah,

segala makhluk lain dan lingkungannya memperoleh pertanyaan sebagai siapa,

bukan sebagai apa, untuk menunjuk dimensi subyektif ciptaan lainnya dalam

hubungan dengan manusia. Allah adalah kuasa personal yang berdaulat,

menciptakan alam yang signifikan etis. Maka himbauan ekoteologi ialah memahami

sifat moral dari ciptaan alam semesta oleh Allah dan anugerah pemulihannya.160

Untuk memahami ciptaan dan sifat moralnya secara reflektif, maka yang perlu

dilakukan ialah memahami Pencipta. Dalam hubungan inilah, dapat diperoleh

pandangan dan perilaku yang cukup untuk berinteraksi dengan ciptaan lain.

2. Liturgi dan Ekologi: Point of Contact

Liturgi sangat memberi ruang yang luas untuk membangun wawasan dan

mengembangkan spiritualitas yang menuntun orang beriman pada tindakan hidupnya.161

Karena liturgi berhubungan erat dengan berbagai dimensi teologis dan kehidupan, maka

spiritualitas yang diperoleh dapat mencapai refleksi iman, yang terimplikasi pada

praksis; berupa aksi dan refleksi moral, yang diarahkan khusus pada kepedulian dan

pengelolaan lingkungan.

Keterbukaan liturgi adalah hasil dari kemultidimensian maknanya, sebagai sebuah

perayaan yang terbuka pada semua konteks kehidupan, baik yang mikro, yakni konteks

159

Robert P. Borrong, op. cit., hlm. 157-160. 160

Ibid.,hlm. 175-176; Ian A. McFarland (ed.), The Cambridge Dictionary Of Christian Theology, New York:

Cambridge University Press, 2011, hlm. 156-157. 161

Celia Deane-Drummond, op. cit., hlm. 100.

Page 107: Environment Ethic

107 Perayaan Kehidupan

kehidupan manusia maupun konteks makro, yaitu alam semesta. Sedangkan liturgi

dalam dimensi yang luas adalah hasil dari apa yang dilakukan Yesus, yakni dampak

pengorbanan-Nya yang mencakup bagi semua ciptaan secara utuh. Hingga seluruh

ciptaan memperoleh wujudnya yang baru. Jadi, ihwal liturgi maupun kemulitidimensian

maknanya berpusat pada Kristus (kristosentris).

Dengan demikian, liturgi dalam arti luas ini, secara imperatif, merupakan puncak dan

sumber dari seluruh kehidupan manusia, termasuk bergereja. Liturgi mengungkapkan

seluruh pribadi gereja.162

Sebab dalam liturgi, seluruh gereja, umat dan segenap ciptaan

turut dipanggil untuk merayakan karya keselamatan Allah bagi segenap ciptaan.163

Panggilan itu ialah panggilan untuk berpartisipasi, menjaga, melestarikan dan

mengelola alam dan lingkungan secara sadar dan benar. Karena itu, bila yang dipanggil

adalah gereja dan segenap ciptaan, maka panggilan dimaksud ialah panggilan akbar

(kosmis), untuk menunaikan tugas akbar. Dan liturgi yang demikian disebut liturgi

akbar164

yang bersifat devosi dan doxologis ciptaan terhadap Allah.165

Begitupun

sebagai aksinya (praksis), liturgi dapat menilik persoalan lingkungan, apa pun. Secara

praksis, teolog Sri Lanka, Aloysius Pieris S.J., menandaskan tesis bahwa liturgi gereja

sebetulnya sama dengan liturgi kehidupan.166

Dari sini timbul pengertian bahwa

bersikap terhadap alam atau lingkungan dalam asumsi iman, maka itulah saat di mana

liturgi berlangsung dalam kehidupan.

Oleh karena itu, hubungan liturgi dan pencemaran lingkungan sebagai krisis ekologis

dimaknai sebagai sikap orang beriman untuk memandang lingkungan hidup sebagai

162

E. Martasudjita, Pengantar Liturgi., op. cit, hlm. 112-113. 163

Johny E. Riwu Tadu, op. cit, hlm. 4; E. Martasudjita. Liturgi; Pengantar Untuk Studi dan Praksis Liturgi, op.

cit., hlm. 97-98. 164

Tom Berry, Kosmologi Kristen. Maumere: Penerbit Ledalero, 2013, hlm. 118. 165

Andrew Hoffecker & Gerry Scott Smith (ed.), Membangun Wawasan Dunia Kristen (Jilid 2). Surabaya:

Momentum, 2008, hlm. 63; Bnd. H. Bavinck, Dogmatika Reformed (Jilid 2); Allah dan Penciptaan. Surabaya:

Penerbit Momentum, 2012, hlm. 511-512; James F. White, op. cit., hlm. 17-19. 166

A. Pieris, dalam Fredrik Y. A. Doeka, op. cit., hlm. 19; Georg Kirchberger & John Mansford Prior, Hidup

Menggereja Secara Baru Di Asia II, Ende: Nusa Indah, 2001, hlm. 158.

Page 108: Environment Ethic

108 Perayaan Kehidupan

media berliturgi yang baik dan berkenan kepada Allah.167

Semua ini dapat berlaku

secara afektif (perasaan), yaitu bahwa Allah hadir di dalam lingkungan alam ini. Alam

ini dilihat sebagai ruang penyataan Allah dan sekaligus ruang perayaan.168

Heater Eaton

menyebut alam sebagai ruang perayaan dengan istilah liturgi kosmis.169

Simbol-simbol

yang disediakan oleh alam seperti air, anggur, bunga, pohon, batu dan lain sebagainya

merupakan sarana bagi umat untuk melihat kehadiran Allah dalam karya penyelamatan.

Jika demikian, bagaimana bila terjadi pencemaran lingkungan hidup oleh keterbatasan

pengelolaan sampah, sedangkan lingkungan hidup adalah sarana berliturgi dan ruang

perayaan?

Liturgi pada hakikatnya adalah semangat perayaan atau ungkapan dialogis seluruh

ciptaan atas perbuatan-perbuatan yang dahsyat dari Tuhan, maka ekoteologi adalah

semangat untuk mengembalikan seluruh ciptaan dalam interaksi yang harmonis. Jika

liturgi sempurnanya adalah alunan nada dan irama perayaan oleh ciptaan, maka

ekoteologi adalah sinergitasnya, agar ciptaan memiliki daya tahan mengalunkannya.

Jika liturgi adalah sabda yang dikumandangkan untuk memberi kekuatan pada ciptaan,

maka ekoteologi adalah sabda yang dilakonkan oleh ciptaan. Jika liturgi adalah visi bagi

langit baru dan bumi baru, maka ekoteologi adalah misi dan motivasi untuk

mewujudkannya.170

Jika dengan liturgi, manusia merayakan karya keselamatan

anugerah yang dikaruniakan oleh Allah melalui jalan kematian Kristus, maka

ekoteologi mendorong dan memotivasi pengerjaan, karya keselamatan itu, sebagai jalan

kehidupan.

Dari upaya penghubungan ini, kiranya menjadi terang, bahwa liturgi, baik secara

seremonial (tata ibadah), mau pun dalam pengertian otentiknya, dapat menjadi sarana

167

Liturgi dan Ekologi - KAIROS.htm. 2 Juni 2014. 168

Andrew Hoffecker & Gerry Scott Smith (ed.), op. cit., hlm. 80. 169

Tom Berry, op. cit., hlm. Vii, 119; Bnd. Hans Urs Von Balthasar, Cosmic Liturgy. San Francisco: Ignatius

Press, 1971. 170

Tohom T. M. Pardede, Liturgi Bernuansa Kepedulian Lingkungan, Pdf. Duta Wacana.

Page 109: Environment Ethic

109 Perayaan Kehidupan

yang tepat sebagai faktor pembangun wawasan lingkungan. Ekoteologi secara reflektif

maupun secara aksi, dapat mengimplementasikan penghayatan liturgi atau ibadah

melalui praksisnya, yakni ke dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti, liturgi adalah baik

pengungkapan iman, mau pun pengalaman iman yang memberi dampak pengutusan

untuk hidup di dalam dunia untuk menjadi pelaku misi kehidupan.

Keterhubungan antara ekoteologi dan liturgi, pada akhirnya merupakan pertemuan

yang misiologis, berlangsung secara kristosentris dan dalam bingkai Trinitaris.

3. Landasan Ekoteologi-Liturgis

Istilah Trinitas yang akrab dalam teologi Kristen, pertama kali diperkenalkan oleh

Tertulianus (120-225), Bapa Gereja dari Kartago, Afrika Utara. Istilah yang

diperkenalkannya ini mau menunjuk pada tiga pribadi (Bapa, Anak dan Roh Kudus)

yang disaksikan Alkitab sesungguhnya adalah satu substansi.171

Dalam rumusan teologi sampai sekarang ini, pengakuan Trinitas adalah detak

jantung kekristenan. Herman Bavinck menegaskan bahwa sebagai jantung, semua

teologi dan doktrin yang salah, dapat ditelusuri melalui Trinitas.172

Hal yang searah

ditandaskan oleh Leonardo Boff (1987), seorang Roma Katolik yang menyebut diri

teolog dunia ketiga, atau teolog pembebebasan, memahami Trinitas sebagai istilah yang

menunjuk pada dua hal. Pertama, dapat menjadi istilah pengungkapan iman Kristen.

Kedua, dapat menjadi penjelasan iman. Menyebut Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus

merupakan pengungkapan iman. Sedangkan, menyebut Allah Tritunggal, dengan satu

kodrat dan tiga Pribadi atau tiga cara berada (Jerman: seinsweise; Inggris: Mode of

171

Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994, hlm. 56. 172

Herman Bavinck, op. cit., hlm. 321.

Page 110: Environment Ethic

110 Perayaan Kehidupan

Being173

) merupakan penjelasan iman. Penjelasan iman inilah yang disebut dengan

teologi.174

Di sini, teologi liturgi hendak dijelaskan dalam bingkai Trinitas, yaitu penjelasan

iman mengenai liturgi sebagai perayaan karya keselamatan Allah. Istilah teknis untuk

bingkai yang dipakai ialah Trinitaris. Trinitaris menurut Karl Barth, merupakan ciri atau

prinsip penstrukturan berteologi yang sistematis dengan melihat seluruh karya Allah,

dalam tiga Pribadi-Nya yang berlangsung dalam fakta sejarah, mulai dari penciptaan

hingga penggenapan.175

Dengan kata lain, secara teologis, liturgi adalah salah satu

bagian dari merayakan seluruh karya Allah. Bahkan menjadi pokok penting yang

dikembangkan dalam alam pikiran dan praktik kekristenan. Karena liturgi dihubungkan

dengan karya monumental Allah, yakni keselamatan.

3.1. Pokok-pokok Teologis

Oleh karena landasan teologi itu bersifat sistematis dan di sini dibahas secara

Trinitaris, maka pokok-pokok teologis yang dibangun mengacu pada sumber-

sumber utama dari tiga orang teolog, yaitu Emanuel Martasudjita, Leonardo Boff

dan Herman Bavinck. Pemilihan acuan ini dilakukan berdasarkan dua alasan, yaitu

alasan umum dan khusus. Alasan umumnya, ialah bahwa ketiganya sangat

trinitarian dalam berteologi. Secara konsisten ketiganya mengutamakan prinsip

berteologi yang trinitaris. Sedangkan alasan khususnya, mengacu pada spesifikasi

teologi mereka. Martasudjita mengembangkan teologi liturgi yang Trinitaris. Boff

dalam teologinya, mengedepankan penjelasan persekutuan bagi penjelasan Trinitas

173

Istilah yang diperkenalkan teolog abad 20, K. Barth, menunjuk pada tiga Pribadi dari Allah yang Esa. K.

Barth, Church Dogmatics I/I, Edinburgh: T & T. Clark., 1936, hlm. 355; Veli-Matti Karkkainen, Tritunggal dan

Pluralisme Agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013, hlm. 23. 174

Leonardo Boff, Allah Persekutuan, Maumere: Ledalero, 2004, hlm. Xiii. 175

Veli-Matti Karkkainen., op. cit., hlm. 7.

Page 111: Environment Ethic

111 Perayaan Kehidupan

dan Bavinck, memberikan gagasan Trinitaris yang lebih ekologis, yaitu anugerah

memulihkan alam.

3.1.1. Liturgi Trinitas: Allah yang Berliturgi

Litrugi sebagai karya Tritunggal: Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh

kudus, merupakan karya yang dirayakan. Karya itu adalah karya pelayanan

keselamatan. Dalam karya tersebut, juga semua karya Allah – setiap apa yang

menjadi pekerjaan yang dilakukan satu Pribadi dalam perannya, dapat

merupakan pekerjaan yang sekaligus dilakukan Pribadi lain yang sederajat

substansinya (Trinitas oikonomia).176

Secara teknis, peran tiap-tiap Pribadi

adalah cara menunjukan kesiapaan dari tiap-tiap Pribadi, dari satu Allah.177

Setiap karya yang dilakoni secara Pribadi, dilangsungkan dengan

pengikutsertaan Pribadi lain secara harmonis. Pengikutsertaan itu terjadi

melalui kemampuan berelasi sebagai pribadi-pribadi (Trinitas imanen).

Demikian setiap karya Trinitas adalah berprinsip simultan.178

Harus diakui bahwa dalam pengakuan iman (credo) dan rumusan liturgi,

pekerjaan penyelamatan dihubungkan khusus dengan Yesus Kristus, tetapi itu

tidak berarti bahwa Allah Bapa dan Allah Roh Kudus absen. Sehingga ketika

terjadi perayaan terhadap keselamatan, umat dan seluruh ciptaan hanya

merayakan satu nama. Tidak begitu. Perayaan dilayankan bagi ketiganya, tetapi

dalam satu nama, yakni Yesus Kristus, pusat perayaan (Yoh. 14:13; Ef. 1:6;

Kol. 1:27). Emanuel Martasudjita, mengeksplorasi hal ini secara trinitaris, yaitu

bahwa memang Yesus, Anak Allah, dalam karya pelayanan, berdiri menjadi

176

John Polkinghorne, The Trinity and an Entangled World, Michigan: Wm B. Edermans Publishing Co., 2010,

hlm. X. 177

………, Science and the Trinity: the Christian Encounter with Reality, New Haven and LondonYale:

University Press, 2004, hlm. 91. 178

Ebenhaizer L. Nuban Timo, Allah Menahan Diri Pantang Berdiam Diri, Salatiga: KDT, 2012, hlm. 76.

Page 112: Environment Ethic

112 Perayaan Kehidupan

pelakon korban sembelihan, saat itu. Ia menjadi subyek yang melakukan aksi

itu, tetapi di saat yang sama, Allah Bapa turut menjadi subyek pendukung aksi

itu (Yoh. 10:30) dan Roh menjadikan semua pekerjaan itu tercapai (Gal. 4:6;

Rm. 8:9).179

Semua pekerjaan berasal dari Bapa, termasuk karya keselamatan. Dalam

segala pekerjaan, baik Bapa, maupun Anak dan Roh Kudus, melakukannya

secara bersama. Begitu juga karya khas tiap Pribadi. Masing-masing karya

yang khas dari tiap Pribadi tidak dapat dilakukan tanpa Pribadi lain (Trinitas

ekonomi simultan). Pekerjaan penciptaan, misalnya, dikenal sebagai karya

Allah Bapa, tetapi pada saat yang sama, Allah Anak dan Roh Kudus turut

berperan di dalamnya.180

Di situ mau dikatakan bahwa setiap Pribadi tidak

merupakan pemain tunggal dalam berkarya. Setiap pribadi tidak pernah

berpisah, unik dan tidak pernah bercampur. Demikian juga setiap karya tidak

dilakukan dalam kesepian dan kesendirian. Setiap karya tidak dilakukan secara

terpisah-pisah dan eksklusif (2 Kor. 13:13).181

Karena itu, karya penyelamatan

yang dirayakan sebagai liturgi adalah karya persekutuan, karya Tiga Pribadi,

keTritunggalan dalam Kesatuan (Mat. 28:19: 1 Kor. 12;4-6; Ef. 4:4-6; 1 Ptr.

1:1-2; Yud. 20, 21).

3.1.1.1. Mengafirmasi Trinitas

Leonardo Boff, menggali kembali istilah teologi Yunani yang terkubur

sejak abad ke-6 untuk memindai Trinitas sebagai model teologi

pembebasan. Istilah itu ialah perikhoresis. Perikhoresis memiliki arti

179

Emanuel Martasudjita, Pengantar Liturgi, op. cit., hlm. 99-100. 180

Herman Bavinck, op. cit., hlm. 319-320. 181

Leonardo Boff, op. cit., hlm. Xi-xiii.

Page 113: Environment Ethic

113 Perayaan Kehidupan

bahwa di dalam Trinitas, setiap Pribadi “mengandung”182

kedua Pribadi

yang lain, setiap Pribadi meresapi yang lain, satu tinggal dalam yang lain

dan sebaliknya, yang lain tinggal dalam yang satu. Istilah ini menurut

Boff, merupakan istilah yang paling pas untuk menggambarkan Trinitas

dalam setiap pribadi dan karya-Nya. Beliau mengatakan:

Saya mempertahankan rumusan Yunani perikhoresis karena saya tak menemukan

ungkapan yang lain yang lebih tepat dan lebih baik. Segala hal dalam Trinitas....

bersifat perikhoresis.183

Dalam pengertian ini, sejarah serta ciptaan sendiri telah mencatat bahwa

karya keselamatan merupakan karya Allah, yang dalam pengertian

ekonomis merupakan tugas khas yang dilaksanakan dalam Yesus Kristus:

mati dan bangkit-Nya, sebagai pelaksanaan amanat kasih Sang Bapa, yang

menopang pekerjaan itu. Apa yang dilakukan Anak, akan selalu merupakan

kehendak Bapa; dan komunikasi karya penyelamatan itu, baik dalam

prosesnya saat di atas kayu salib, mau pun implikasi pemulihan ciptaan

(penciptaan kembali) dari karya itu, di saat kebangkitan, dilakoni oleh Roh

Kudus.184

Penjelasan ini kelihatannya sederhana, walaupun sesungguhnya cukup

sukar dimengerti, bahwa keber-sama-an adalah sifat yang konstan.185

Kebersamaan dimaksud harus dijelaskan lagi dengan istilah kehadiran.

182

Kata “mengandung”, menurut asumsi teologis penulis, agaknya harus berhati-hati, seperti yang ditulis Boff.

Istilah ini, harus dimengerti dalam dua hal. Pertama, menunjuk pada kesatuan tiga Pribadi secara kekal; Dua

Pribadi ada di dalam Satu, tidak diciptakan dan sudah ada dari kekal hingga kekal. Kedua, menunjuk pada

kesehakikatan sifat kekal Tiga Pribadi dari Allah yang satu, yang mampu saling berada sebaliknya di dalam dua

pribadi lain sekaligus. Kesimpulannya ialah, istilah “mengandung” jangan dimengerti secara instrumental bahwa

Dua Pribadi datang dari luar, terpisah dan tinggal di dalam Pribadi yang Satu. 183

Leonardo Boff, op. cit., hlm. Xii. 184

H. Bavinck, op. cit., hlm. 10. 185

Harus diakui bahwa menjelaskan Trinitas memang cukup sukar dan tidak pernah ada penjelasan yang

sempurna dari sudut manusia. Maka, semua penjelasan tentang Trinitas harus diakui sebagai penjelasan dari

yang terbatas (manusia) terhadap yang tidak terbatas (Allah). Istilah untuk ini ialah finitum non capax infiniti.

Page 114: Environment Ethic

114 Perayaan Kehidupan

Dalam Pribadi yang satu, dihadiri Pribadi yang lain. Yesus menyatakan

maksud keber-sama-an itu demikian, “percayalah kepada-Ku, bahwa Aku

di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yoh. 14:11; 10:31). Orang yang

merasa mustahil terhadap pernyataan Yesus tadi, tentu memaksa diri

menjawab pertanyaan Yesus, yang pada hal bersifat retoris, “Tidak

percayakah engkau bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku?”

(ayt. 10).

Gambaran saling menghadiri dalam pernyataan Yesus adalah hakikat

ke-Allah-an, dan itu terjadi melalui Roh Kudus. Roh Kudus berasal dari

Bapa dan Anak. Roh Kudus yang keluar dari Bapa (Yoh. 15:26) dan Anak

(Yoh. 14:16; Gal. 4:6; Rm. 8:9), bukan seperti hikmat atau materi,

melainkan sebagai kuasa dan kekuatan. Roh Kudus yang berasal dari Bapa

dan Anak selalu mengerjakan segala sesuatu untuk Bapa dan Anak,

sehingga Bapa dipermuliakan di dalam Anak (Mat. 3:16, 17; Luk. 3:22;

Yoh. 13:31; 14:13), juga sebaliknya (Yoh. 13:32; Kis. 5:31; Flp. 2:9). Dan

di dalam kerendahan Anak, Bapa ditinggikan (Flp. 2:11).

3.1.1.2. Periwayatan Identitas Liturgi Trinitaris

Dalam liturgi, keselamatan sebagai sumber utama untuk dirayakan

memiliki riwayat yang amat panjang. Riwayat ini menurut para teolog

disebut sejarah penyelamatan. Sejarah itu, dimulai dari kekekalan.

Kekekalan didiami oleh Allah yang bersekutu dan bersatu, Allah yang Esa,

Allah persekutuan (Bapa, Putera dan Roh Kudus). “Pada mulanya adalah

Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah

Allah” yang bersekutu (Yoh. 1:1). Persekutuan ini sedari awal mula tanpa

Page 115: Environment Ethic

115 Perayaan Kehidupan

awal mula. Sedari kekal kepada kekekalan tidak diciptakan.186

Sebaliknya,

Persekutuan tersebut ialah persekutuan yang menciptakan segala realitas

yang sejak mulanya menjadi ada, yakni penciptaan itu sendiri (Kej. 1:26)

dan realitas yang kini ada. Bavinck menyatakan bahwa dua realitas ini

merupakan esensi dari kekristenan.

Dua realitas tersebut, menurutnya diciptakan berdasarkan ide

persekutuan, yakni Tiga Pribadi yang bersekutu. Bahkan dalam prosesnya,

dua relitas tersebut akan juga ditebus di dalam Yesus Kristus dan diciptakan

kembali oleh anugerah Roh Kudus.187

Karena “semua telah diserahkan

kepada-Ku oleh Bapa-Ku” (Mat. 11:27) dan “.. seluruh kepenuhan Allah

berkenan diam di dalam Dia” “.. yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak

menerima segala yang ada.” (Kol 1:19; Ibr. 1:2; Yoh. 1:14), sehingga di

dalam Dia, Allah dipermuliakan. Ini berarti, Kristus ada di pusat seluruh

karya (penciptaan) Allah. Di dalam Yesus, realitas pertama dapat

menyatakan bahwa “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”

(Kej.1:1), “segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan tanpa Dia tak ada suatu

pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yoh. 1:3). Realitas

kedua, menyatakan bahwa “dan oleh Dialah, Ia memperdamaikan segala

sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga,

sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus” (Kol. 1:20).

Ciptaan keluar dari Bapa melalui Anak dan di dalam Roh Kudus. Sehingga,

186

Leonardo Boff, op. cit., hlm. 78-79. 187

Herman Bavinck, op. cit., hlm. 9-10.

Page 116: Environment Ethic

116 Perayaan Kehidupan

di dalam Roh dan melalui Anak, ciptaan diperdamaikan dan boleh kembali

kepada Bapa.188

Pada realitas pertama, menyatakan bahwa dalam bentuk persekutuan,

Allah menciptakan segala sesuatu di dalam dan melalui Sang Anak (Ibr.

1:2). Peran-Nya di sini, menurut Albert Wolters, ialah sebagai pengantara

(pen)ciptaan.189

Dalam penciptaan sebagai kekhasan Allah, terlibat pula

Anak-Nya. Allah membentuk segala sesuatu dengan Firman (Ibr. 11:3) dan

Roh (Kej. 1:2) dalam Sang Anak. Bagi Bavinck, penciptaan oleh Allah

Bapa melalui Sang Anak dilihat dalam bentuk praeksistensi, yaitu Hikmat

dan Logos.190

Dalam bentuk tersebut, kemudian diciptakan-Nya segala

sesuatu itu beragam, yang oleh Roh Kudus dijadikan secara kreatif (Kej. 1,

2) sebagai prinsip ciptaan. Dihembuskan-Nya kehidupan dan kehidupan itu

tampak (Kej. 2:7; Kel. 15: 8, 10; Maz. 33:6). Ciptaan berangsur-angsur di

dalam Roh Kudus, yang berkarya secara generatif, sehingga ciptaan

berkembangbiak.191

Dalam persekutuan, segala ciptaan ditopang dan

dipelihara, hingga proses kehidupan terus berlangsung. Setiap hari terus-

menerus dibentuk oleh “..jadilah.., maka jadilah demikian.”, sehingga

terjadi siklus kehidupan.192

Dalam pengamatan menyeluruh, Allah mengevaluasi bahwa sangat baik

dan berkebajikan193

keutuhan ciptaan-Nya (Kej. 1:31). Termasuk dalam

keutuhan ciptaan, manusia diciptakan berdasarkan gambar dan rupa Allah,

188

…………………, (Jil. 2) op. cit., hlm. 511. 189

Albert M. Wolters, Pemulihan Ciptaan, Surabaya: Momentum, 2009, hlm. 30. 190

Herman Bavinck., op. cit., hlm. 530. 191

Jay B. Macdaniel, With Roots and Wings, Christianity in an Age of Ecology an Dialogue, New York: Orbis

Books, Maryknoll, hlm. 180. 192

Albert M. Wolters, op. cit., hlm. 18. 193

Geoffrey W. Bromiley, Introduction To The Theology of Karl Barth, Michigan: Grand Rapids, 2001, hlm.

118.

Page 117: Environment Ethic

117 Perayaan Kehidupan

serta harus hidup di dalam pola relasi persekutuan dan perjanjian (berith)

bersama Allah. Perjanjian ini, disebut oleh Anthony H. Hoekema dan

beberapa teolog lain, dengan istilah kovenan kerja, yang menunjuk pada

ketaatan manusia menatalayani ciptaan.194

Bagi Harun Hadiwijono, salah

satu tujuan penciptaan, khususnya manusia, adalah untuk dijadikan sebagai

sekutu Allah.195

Ia dipercayakan menjadi mitra dan penatalayan ciptaan

Allah yang lain. Antara perjanjian dan mitra, keduanya menjadi dasar

bagian dalam ciptaan.196

Kemitraan dan penatalayanan manusia,

dilangsungkan bersamaan dengan berbagai larangan. Namun, dalam kondisi

memungkinkan, dirusaknya relasi persekutuan dengan Komunitas Ilahi,

yakni dengan Allah. Ditolaknya pola hidup persekutuan dan memilih

ketidaktaatan. Ia memindahkan sendiri esensinya dari relasinya – sebagai

makhluk yang bersekutu bersama Allah – kepada eksistensi otonom, yang

mau hidup menjurangi Allah.197

Ia berpisah dan terasing diri dari Allah

(Kej. 3:7-11), terasing satu sama lain dan ciptaan lainnya (ayt. 14-19; 9:1-

6),198

terasing dari jangkauan hidup kekal dan terasing dari taman Eden

(ayt. 24). Akibatnya yang luas, dosa merembesi dirinya dan suluruh ciptaan

194

Dalam perkembangan teologi Kristen, perdebatan mengenai kovenan dalam hubungannya dengan

penciptaan, diperdebatkan tentang masih relevankah kovenan kerja (teolog lain, seperti Kline dan Robert lebih

memilih menyebutnya dengan istilah kovenan penciptaan) sejak Allah memandatkan Adam untuk menatalayani

ciptaanNya? Teolog-teolog yang masih mempertahankan ide kovenan kerja ini antara lain, H. Bavinck, Charles

Hodge, RobertnL. Dabney, William G.T. Shedd, Geerhardus Vos, Meredith Kline, O. Palmer Robertson dan

Louis Berkhof. Sedangkan penggugat ide ini yang paling tersohor ialah G.C. Berkouwer, dalam bukunya

Reformed Dogmatics, yang diterbitkan tahun 1966. Ide ini ditentang karena alasan bahwa kovenan anugerah

lebih layak menggantikan kovenan ini. Sebab, kepala kovenan bukan lagi Adam, melainkan Yesus. Jadi, dalam

membicarakan tentang teologi kovenan saat ini, harus menunjuk pada kovenan anugerah. Anthoni H. Hoekema,

Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, Surabaya: Momentum, 2008, hlm. 152-157. 195

Ibid., hlm. 127-128; Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995, hlm. 148. 196

Geoffrey W. Bromiley, op. cit.,hlm. 130; Clifford Green (Pnyt.), Karl Barth: Teologi Kemerdekaan, Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2003, hlm. 222-226. 197

Paul Tillich, Systematic Theology (eds. Combine: 1-3). London & Beccles: James Nisbet & CO LTD., 1968,

hlm. 41-46. 198

Glen H. Stassen & David P. Gushee, Etika Kerajaan, Surabaya: Momentum, 2003, hlm. 577.

Page 118: Environment Ethic

118 Perayaan Kehidupan

kehilangan kemuliaan Allah.199

Jadi, realitas ciptaan pertama adalah realitas

kejatuhan. Manusia gagal dalam menaati kovenan Allah.

Realitas kedua, menyatakan bahwa ada desakan mendasar oleh Allah

untuk memperbaiki keadaan yang sudah rusak itu dan mengupayakan

kembalinya kemuliaan Allah dalam ciptaan (Yes. 65:17-19; Rm. 3:22-

23).200

Desakan itu dimulai dengan mengevaluasi dampaknya terhadap

persekutuan yang dibangun dengan ciptaan. Karena sejarah keselamatan

mencatat, beberapa hal: Pertama, mengingat bahwa penciptaan itu sendiri

adalah buah perkenanan Tuhan Allah dalam Persekutuan Trinitas. Dalam

persekutuan ini, Allah dipermuliakan dan sekaligus mengkomunikasikan

diri sebagai Allah yang bersekutu, yaitu Allah yang Esa. Kedua, mengingat

bahwa pada prosesnya, ciptaan mengalami keberdosaan dan mencemari

semua maksud Allah tersebut. Di situ kasih Allah perlu dinyatakan. Dengan

demikian, Allah perlu mengkomunikasikan diri lagi secara konkret,

langsung. Itu sebabnya, Yesus Kristus sebagai Pencipta turun ke dalam

rupa ciptaan.

Komunikasi konkret ini tentu mempertimbangkan bobot kerusakan

akibat dosa sangat besar dan luas (kosmik). Dosa menjalar dari satu

makhluk ke seluruh makhluk (nefesy). Rintihan dan keluhan dialami semua

makhluk (Rm. 8:22; bdk. Kel. 2:24; 3:7). Maut dan kebinasaan adalah

bagian yang tak terhindarkan bagi semua makhluk. Manusia, secara khusus

199

Albert. M. Wolters, op. cit., hlm. 63. 200

Hermann Reidderbos, Paulus; Pemikiran Utama Teologinya, Surabaya: Momentum, 2013, hlm. 89-90.

Page 119: Environment Ethic

119 Perayaan Kehidupan

memilih terikat diperhamba dosa karena takut kepada maut, dibanding

memilih hidup bebas dalam relasi persekutuan (Ibr. 2:15).201

Melihat ini semua, konsensus kasih Ilahi (Yoh. 1:1; 3:16) tercapai

dengan memilih jalan komunikasi konkret untuk penyelamatan. Tindakan

ini dilihat sebagai tindakan profetis yang bersifat kosmik, yaitu

mempertahankan, mengembalikan, melindungi dan memulihkan segala

sesuatu.202

Yesus adalah pelaksananya. Ia merupakan pusat pemilihan

segala tindakan penyelamatan Allah. Ia ditunjuk menjadi kepala kovenan.

Sehingga Ia, dalam kedatanganNya, mengemban misi Anugerah Allah.

Dalam hal inilah, kovenan Allah dapat disebut kovenan anugerah.

Yesus Kristus, sebagai Allah Anak, menuruti kehendak Bapa untuk

memasuki realitas ciptaan yang jatuh ke dalam dosa. Kedatangan-Nya

dirintis oleh Roh Kudus, yaitu cara memasuki daging (Mat. 1:18, 20).

Kedatangan-Nya sebagai Pencipta yang mau menjadi bagian dalam ciptaan,

walau Ia bukan ciptaan. Ia tinggal “.. di antara kita” (Yoh. 1:14) dan “..

mengambil rupa seorang hamba” (Flp. 2:7). Yesus hidup sebagai Allah

sekaligus manusia. Dengan tidak bedosa, menyetarakan diri dengan

manusia berdosa. Apa yang menjadi bagian kodrat manusia dirasainya (Ibr.

4:15) hingga pada akhir yang menentukan dalam konsistensi-Nya, Ia rela

mati di kayu salib sebagai Allah sekaligus Manusia. Kemudian Ia, oleh

kuasa Allah, dibangkitkan untuk tercapainya semua maksud kedatangan,

yakni keselamatan: pemulihan segala sesuatu dan perdamaian segala

sesuatu dengan Allah (Kol. 1:20).

201

Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2011, hlm. 238. 202

Anthony Hoekema, The Bible and the Future, Grand Rapids: Edermans, 1979, hlm. 274-287.

Page 120: Environment Ethic

120 Perayaan Kehidupan

Dalam kematian-Nya, tampak bahwa Allah sedang berkurban (Ibr.

10:12). Allah dalam rupa Anak Manusia (being made in human likeness)203

memerankan peran imam sekaligus kurban, satu kali untuk selama-lamanya

(7:21; Maz. 110:4). Sebagai Imam, Ia mempersembahkan diri-Nya sebagai

kurban (Ibr. 7:27) di atas mezbah Golgota. Sebagai kurban, Ia tidak

bercacat cela (9:14).

Surat Ibrani (9:14) memberi kesaksian tersebut, “.. betapa lebihnya

darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya

sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan

menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia supaya

kita dapat beribadat kepada Allah yang hidup” “.. beribadah di dalam Roh

dan Kebenaran” (Yoh.4:23).

Di dalam Yesus, Allah dalam rupa Anak, tampak sedang beribadat

mewakili Allah sekaligus mewakili manusia: merendahkan diri dan taat

(Flp. 2:8) melakukan kehendak Allah Bapa, “.. sungguh Aku datang

melakukan kehendak-Mu” (Ibr. 10:9). Demikian semua itu dilakukan,

mulai dari persembahan darah dan penyerahan diri Kristus dalam Roh

Kudus kepada Bapa, sampai pada penerimaan kembali diri-Nya di dalam

Roh Kudus, yaitu kebangkitan (Ibr. 9:14). Semua yang dilakukan Yesus itu,

adalah sebuah wujud di mana Allah Tritunggal sedang berliturgi (pelayanan

keselamatan) dan Yesus Kristus sebagai pelayan liturgi (leitourgikos). Ini

sebuah liturgi sejati.204

Liturgi dari Allah Persekutuan.

203

J. Knox Chamblin, Paulus dan Dirinya, Surabaya: Momentum, 2009, hlm. 63. 204

Emanuel Martasudjita, Pengantar Liturgi, op, cit., hlm. 99-100.

Page 121: Environment Ethic

121 Perayaan Kehidupan

3.1.1.3. Liturgi Allah Persekutuan: Sebuah Liturgi Restoratif dan

Inkorporatif

Dengan semua karya yang dilaksanakan Allah di dalam Yesus Kristus,

maka diperoleh bukti bahwa liturgi, pertama sekali, dilaksanakan secara

Persekutuan, yakni oleh Allah. Liturgi ini tidak sama dengan liturgi kultik

sebagaimana manusia laksanakan. Liturgi tersebut adalah hasil karya

Trinitas. Dilakukan dalam peran tiga Pribadi di mana Yesus tetap sebagai

pusatnya.

Persekutuan yang berliturgi ini, hendak melaksanakan pelayanan

keselamatan dan memulihkan relasi bukan hanya bagi persekutuan itu

sendiri, tetapi juga bagi keselamatan seluruh ciptan-Nya. Itu berarti, liturgi

pertama-tama adalah liturgi keselamatan. Sebuah liturgi anugerah yang

restoratif (memulihkan), merekonstruksi kerusakan, dengan sifat oikumenis

dan kosmik-ekologis mencakup seluruh ciptaan.

Dengan demikian dari karya liturgi ini, realitas kedua merupakan

realitas perayaan, yang memperoleh tempatnya untuk dilaksanakan oleh

seluruh ciptaan, lebih khusus manusia. Jadi, seluruh liturgi manusia saat ini

pada akhirnya juga harus menjadi liturgi yang partisipatoris ke dalam liturgi

Allah tadi. Umat berliturgi sebagai bentuk tanggung jawab iman yang

dirayakan karena karya keselamatan Allah diperoleh bagi umat dan ciptaan-

Nya yang lain.

Jika tadi liturgi Allah adalah liturgi yang restoratif, itu berarti liturgi

gereja saat ini merupakan liturgi hasil restorasi inisiatif Allah terhadap

ciptaan. Liturgi sejatinya adalah karya Allah yang berkorban dengan

Page 122: Environment Ethic

122 Perayaan Kehidupan

mengurbankan diri sendiri untuk keselamatan, maka semua jenis liturgi

gereja saat ini adalah penginkorporasian diri secara kultis-seremonial dan

praksis ke dalam karya keselamatan Allah. Secara kultis-seremonial terjadi

dalam tata ibadah di dalam gereja dan secara praksis, terjadi dalam praktek

hidup konkret. Sehingga, inkorporasi diri itu, yakni bagi dan bersama dalam

Kristus ialah demi kemuliaan Allah Bapa. Itulah liturgi model Trinitaris.

Liturgi ini memiliki banyak konsekuensi multidimensi.

3.1.2. Liturgi Sebagai Karya Roh Kudus

Liturgi sejati telah diperoleh, bahwa pertama sekali dan sejati, liturgi dimulai

dari Allah, di mana Kristus menjadi pusat-Nya. Jadi, liturgi adalah tindakan

Kristus. Kemudian dari pada itu, Roh menarik seluruh ciptaan, khususnya

manusia untuk turut secara aktif dan bertanggung jawab masuk ke dalam liturgi

Allah. Hingga saat ini semua orang pada segala tempat dan segala waktu,

memperoleh liturgi anugerah itu dan dirayakan di dalam gereja dan kehidupan.

Pada titik ini Roh Kudus merupakan perpanjangan karya liturgi Allah melintasi

zaman. Melintasi berbagai dimensi. Pekerjaan-Nya merambah ke seluruh

ciptaan. Roh mempersekutukan satu individu dengan sesamanya, dan manusia

dengan Alam. Roh mengintegrasikan manusia dari keterasingannya menuju

Allah. Serta seluruh ciptaan lain terhisap ke dalam persekutuan dengan Allah

Tritunggal.

Itu sebabnya, peran Roh di sini ialah menjadikan karya keselamatan yang

liturgis (dilayankan) menjadi nyata. Ia mengaruniakan Injil yang liturgis

(keselamatan: pemulihan, pembebasan, penciptaan kembali, pemeliharaan,

Page 123: Environment Ethic

123 Perayaan Kehidupan

hidup205

) menjadi nyata. Ia mengkoplementirkan karya Allah menjadi konkret

dan menyatu dalam dan untuk kehidupan (“.. diam di dalam kamu.” Yoh.

14:17). Berlangsung senantiasa (Mat. 28:20; Yoh. 14:16).

Melalui Roh Kudus, Allah mempersekutukan diri-Nya dengan ciptaan di

dalam tubuh Kristus. Melalui Kristus, di dalam Roh Kudus, gereja

diciptakan206

. Menurut teolog protestan, Louis Berkhof, gereja diciptakan

sebagai persekutuan orang-orang percaya (communio fidelium) kepada

Allah.207

Secara fungsional, gereja menjadi buah karya khas Roh Kudus

menjadi alat bukti yang mengerjakan keselamatan dalam dua bentuk: Pertama,

bentuk perayaan iman yang seremonial. Dalam seremoni ibadah, Roh

mendorong umat untuk melakukan anamnese (mengenang untuk sadar,

mengingat dalam penghayatan Yoh. 14:26)208

dan epiklese (seruan memohon

penebusan Kristus melalui Roh Kudus) terhadap karya Allah di dalam Yesus.

Roh Kudus di dalam dan melalui gereja, umat dan ciptaan lain mengalami

pengudusan dan pemulihan secara berangsur-angsur. Sehingga dalam peran-

Nya, umat turut merayakan keselamatan Allah. Itulah ibadah umat. Dari ibadah

ini, Roh bertindak mendorong secara aktif agar perayaan iman umat yang

seremonial-kultis menjadi praksis iman yang nyata. Itulah bentuk kedua.

Perayaan yang berlaku dalam dua bentuk tersebut merupakan nilai

partisipatoris dari liturgi – sebagai karya Roh Kudus yang mempersekutukan.

205

J. L. Ch. Abineno, Roh Kudus dan Pekerjaan-Nya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975. hlm. 18-19. 206

Penciptaan ini bukan berarti diciptakan dari ketidakadaan, tetapi diciptakan dari apa yang sudah ada, yaitu

umat Allah yang terbentuk dalam Perjanjian Lama (qahal Yahwe). Jadi, gereja Kristen adalah Israel sejati.

Donald Gutrhrie, op. cit (Jilid. 3)., hlm. 27-29. Harun. Hadiwijono, op. cit., hlm. 363. 207

Louis Berkhof, op. cit., hlm. 31. 208

Tom Jacobs, Paulus; Hidup, Karya dan Teologinya, Yogyakarta: Kanisius, 1983, hlm. 309.

Page 124: Environment Ethic

124 Perayaan Kehidupan

Roh mempartisipasikan ciptaan, bagi dan bersama Kristus, untuk memuliakan

Allah dalam kehidupan persekutuan yang luas lebar (kosmik).

3.1.3. Pelayan Liturgi: Kristus dan Gereja-Nya sebagai Subyek Liturgi

Dalam bangunan teologi di atas, diperoleh kerangka bahwa liturgi merupakan

karya keselamatan Allah yang ditindak di dalam Kristus (lih. teologi 3.1.1.).

Sementara Roh Kudus menjadikan tindakan tersebut menjadi nyata dalam

kehidupan seluruh ciptaan (lih. teologis 3.1.2.). Tindakan pneumatologis itu

menjadi tindakan yang eklesiologis. Maka, di sini diperoleh kesimpulan bahwa

liturgi yang Trinitaris mencakup kristologi sekaligus eklesiologi. Di situ

tampak prinsip simultan, sebagaimana yang tampak dalam prinsip Trinitaris.

Yaitu, berlaku secara serentak. Ini berarti, apa yang menjadi tindakan liturgis

Kristus harus menjadi tindakan gereja. Sebuah tindakan melalui dan bersama

gereja-Nya. Serta apa yang menjadi tindakan liturgi gereja, adalah partisipasi

ke dalam tindakan Kristus. Sebuah tindakan bagi dan bersama Kristus.

Liturgi sebagai tindakan Kristus (kristologi) adalah tindakan

mempersembahkan diri, guna keselamatan dan memulihkan ciptaan.209

Ia

adalah imam Agung dan kurban sejati. Ia mempersembahkan diri kepada Bapa,

dan Bapa menerima persembahan diri-Nya dalam Roh Kudus. Sedangkan,

liturgi sebagai tindakan gereja adalah merayakan tindakan Kristus tersebut,

gereja menjadi tubuh Kritus yang melayani.210

Dengan demikian di dalam

perayaan, Allah dipermuliakan. Pemuliaan Allah, oleh gereja, tampak dalam

aktivitas ibadah dan aktivitas praksial.

209

Margaret Barker, The Great High Priest: The Temple Roots of Christian Liturgy, New York: T&T Clark Ltd,

2003, hlm. 55. 210

Emanuel Martasudjita, Perngantar Liturgi, op. cit., hlm. 107.

Page 125: Environment Ethic

125 Perayaan Kehidupan

Bila ibadah dalam gereja, mengikuti pengertian liturgi yang hakiki,

sebagaimana yang telah disampaikan, maka ibadah sesungguh adalah perayaan

iman gereja terhadap karya Allah di dalam Kristus. Maksudnya, ialah

perkumpulan orang yang terpanggil bersekutu, merayakan dan menanti

penggenapan keselamatan. Pekerjaan ini bukan dilakukan satu kali untuk

selama-lamanya, melainkan pekerjaan yang berulang-ulang dan senantiasa.

Karena itu, ibadah atau liturgi, berdimensi eskatologis. Ibadah atau liturgi

menjadi ekspresi mensyukuri karya keselamatan itu.

Dalam skop yang amat luas, yang oikumenis sebagai sifat liturgi Reformasi

yang hakiki,211

gereja di mana pun secara praksial, melakukan tindakan

liturgisnya mencakup seluruh aspek kehidupan. Perayaannya mesti menjadi

perayaan bersama. Suatu perayaan kehidupan dalam arti yang mungkin tidak

dapat dibatasi. Aksi imannya, ditunjukan dalam bentuk pelayanan konkret,

selain hanya pelayanan kultis di dalam gedung. Setiap liturginya, harus

mengisyaratkan kehidupan, keadilan dan perdamaian, bukan untuk Allah, tetapi

untuk segenap ciptaan. Setiap pemberitaannya (firman/injil) harus

menghidupkan umat, bukan untuk Allah, sebab Allah pada diri-Nya adalah

kehidupan itu sendiri. Dari sini, gereja yang hidup dan melayani, adalah

individu-individu yang melayani kehidupan untuk kemuliaan Allah. Itulah

panggilan gereja sebagai subyek.212

B. Refleksi Ekoteologis-Liturgis terhadap Persoalan Mendasar Pengelolaan

Sampah Rumah Tangga di Kelurahan Oeba

Berdasarkan dasar tinjauan ekoteologis-liturgis di atas, ada tiga hal yang menjadi pokok

refleksi. Pertama, persekutuan liturgis sebagai pembentuk paradigma dan moralitas

211

Oikumenis menjadi sifat liturgi Reformasi yang hakiki. Racid Rachman, op. cit., hlm. 161. 212

Adolf Adam, op. cit., hlm. 10-11.

Page 126: Environment Ethic

126 Perayaan Kehidupan

yang Kristosentris. Kedua, perayaan kehidupan: praksis liturgi dalam pengelolaan

lingkungan. Dua pokok ini diuraikan dan disusul dengan implementasi refleksi, yaitu

pemintalan ide-ide refleksi yang disadurkan sebagai agenda. Itulah hal ketiga. Karena

itu, ketiga pokok ini akan direfleksikan sebagai berikut.

1. Persekutuan Liturgis sebagai Pembentuk Paradigma dan Moralitas yang

Kristosentris

Perayaan dalam pemaknaan manusia pada umumnya, menampilkan adanya unsuratau

ciri-ciri,seperti berkumpulnya banyak orang berdasarkan suasana yang sesuai apa yang

dirayakan atau obyek yang dirayakan. Unsur-unsur ini di antaranya terdapat dalam

upacara adat, pesta pernikahan dan ulang tahun. Unsur-unsur tersebut selalu ditentukan

oleh waktu dan ruang tertentu sehingga apa yang dirayakan dapat terlaksana. Karena itu

perayaan dalam pemaknaan seperti ini sangat terbatas sekali.

Hendri J.M. Nouwen, menyampaikan pokok-pokok inti sebuah perayaan kristiani

secara dualistik, yaitu bahwa perayaan tersebut hanya mungkin kalau ada kesadaran

mendalam bahwa kehidupan dan kematian tidak pernah terpisah sama sekali. Perayaan

ini hanya mungkin terjadi kalau ketakutan dan kasih, kegembiraan dan kesusahan, air

mata dan senyum dapat berada bersama. Perayaan adalah penerimaan kehidupan dalam

kesadaran yang terus berkembang bahwa hidup itu sudah diberi nilai yang baru.213

Nouwen, teolog Roma Katolik itu, tidak memulai pokok-pokok perayaan

sebagaimana yang dimaknai oleh manusia pada umumnya. Perayaan yang ia

maksudkan di sini menunjuk pada hakikat perayaan, yakni perayaan mesti menjadi

bagian mendasar dari kehidupan itu sendiri, sebagai aktualisasi diri dalam merespon

213

Henri J.M. Nouwen, Pelayanan Yang Kreatif (terj., oleh Pramuji Wahyuana & I. Suharyo), Yogyakarta:

Kanisius, 1986, hlm. 114.

Page 127: Environment Ethic

127 Perayaan Kehidupan

kehidupan (sebagai ungkapan syukur) yang diperoleh dari mati dan bangkitnya Anak

Allah.214

Merespon kehidupan menjadi bagian penting dalam menjalani hidup yang diberi

nilai. Nilai tersebut bukan dari hasil jerih payah pribadi, bukan juga karena prestasi

moral sendiri, melainkan karena Allah tak mampu melihat ciptaan-Nya terasing dari

persekutuan bersama-Nya. Itu sebabnya, Ia memilih untuk turun ke dalam dunia dengan

rupa ciptaan, yakni Yesus dari Nazareth (Yoh. 1:1-18).

Kedatangan Yesus ke dalam dunia memiliki maksud liturgis, yaitu bahwa Ia datang

mengorbankan diri sebagai bentuk di mana Allah sedang berliturgi. Liturgi Allah ini

mempunyai maksud mendasar, bahwa terciptanya kembali, relasi intim antara Allah

dengan ciptaan-Nya; antara manusia dengan sesamanya berserta alam ini, dalam ikatan

Roh Kudus. Sebab, selama belum terlaksananya pelayanan liturgi Allah, sebagaimana

yang terjadi di atas kayu salib dan menjadi genap dalam kebangkitan-Nya dalam rupa

manusia, selama itu pula, tidak akan terjadi suatu persekutuan yang dapat berlangsung

secara menyeluruh, di mana setiap ciptaan merasa layak memuliakan Allah dengan

bebas dan tidak ada hukum yang membawahinya (Mzm. 148:7-13).215

Hal ini berarti,

bahwa sesungguhnya liturgi yang dikaryakan Allah memiliki daya pembebasan.

Kematian Yesus menjadi simbol anugerah pelayanan yang Allah lakukan secara

Persekutuan (Bapa, Putera dan Roh Kudus). Sebagai simbol anugerah, kematian Yesus

merupakan jalan untuk mengkomunikasikan makna persekutuan, yang hakiki dan

berpusat pada-Nya. Karena itu, apa yang menjadi anugerah pelayanan, yakni liturgi itu

sendiri, pertama-tama adalah bersekutu dalam merayakan apa yang telah dibuat Allah

dalam sejarah dunia ini, yakni keselamatan dan pemulihan ciptaan yang terus

berlangsung (bnd. Yes. 65:17-25; Hos. 2:17-22; Kis. 3: 21; Rm. 8:20-22;).

214

Ibid.,hlm. 120. 215

E. H. van Olst, Alkitab dan Liturgi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999, hlm. 8.

Page 128: Environment Ethic

128 Perayaan Kehidupan

Liturgi yang sekarang ini dilaksanakan oleh gereja adalah hasil karya Allah di

dalam Yesus Kristus dan dilanjutkan oleh Roh Kudus dalam ruang yang tidak

terjangkau. Tetapi demi kepentingan umat Allah, maka hingga saat ini, gereja menjadi

tempat dan alat di mana karya Allah hendak dirayakan. Perayaan itu berlangsung

melalui apa yang disebut liturgi ibadah.

Banyak kali orang melihat, bahwa dengan masuk ke dalam gereja setiap hari

minggu, berkumpul dan beribadah dengan diatur oleh liturgi, dianggap telah cukup.

Ibadah dilihat sebagai pertemuan pribadi antara tiap individu dengan Tuhan, di dalam

komunitas orang percaya. Tidak dapat dijanjikan bahwa di dalam gereja, suasana

persekutuan yang hakiki itu dapat timbul hanya dengan hadirnya banyak orang, tetapi

tanpa liturgi yang sebenarnya mesti mengungkapkan persekutuan dan realitas hidup.

Tujuan ibadah hanya untuk memenuhi kebutuhan spiritual individu. Ditambah lagi, bila

tujuan ibadah tidak begitu mempersoalkan bagaimana liturgi itu berjalan dan dapat

mengarahkannya kepada suatu rahasia persekutuan yang luas, terlepas dari seremoni

ibadah dalam gedung gereja.

Dengan demikian, liturgi dari ibadah hanya menjadi sebuah pertemuan yang

sebenarnya bersifat individual dan tak mampu menyatukan pergumulan beriman secara

komunitas, untuk suatu misi kehidupan yang diarahkan pada hubungan persekutuan

dengan seluruh ciptaan.216

Ini semua memang tidak salah, tetapi bukankah ibadah resmi

seremonial dengan liturgi yang ada mesti benar-benar menjadi sebuah bentuk perayaan

bersama terhadap kehidupan yang dikaryakan Allah? Dan bukan sebuah kepentingan

individu di hadapan Allah?

Malcolm Brownlee, dengan cukup yakin menggambarkan pengertian iman pada

umumnya yang dimiliki sekian banyak orang Kristen di Indonesia. Ia mengatakan,

216

Marie Claire Barth & B. A. Pareira, Tafsiran Alkitab: Kitab Mazmur 73- 150, Jakarta: BPK Gunung Mulia,

1998, hlm. 516.

Page 129: Environment Ethic

129 Perayaan Kehidupan

bahwa pengertian iman yang dimiliki sekian banyak orang Indonesia adalah sangat

Individualis. Mereka menekankan ketenangan dengan Tuhan, dan meningkatkan

kesalehan. Tetapi, mereka tidak peduli akan pekerjaan Allah dalam dunia atau tanggung

jawab orang Kristen dalam masyarakat.217

Gambaran Brownlee ini setidaknya merupakan gambaran yang faktual, yang

sekarang ini masih benar-benar dipelihara oleh sekian banyak orang Kristen. Dalam

ibadah, setiap orang datang dan ingin sekali memperoleh suasana yang aman dan

tentram. Tetapi kesempatan itu, tidak begitu sensitif terhadap orang lain yang turut

mempunyai hak yang sama dalam ibadah. Gambaran ini membuktikan, bahwa ibadah

benar-benar tidak menggambarkan interaksi tiap individu dalam ibadah. Itu berarti, apa

yang diharapkan dalam liturgi yang seremonial sebagai perayaan iman, tidak sesuai

dengan model persekutuan.

Gambaran ibadah yang demikian, benar-benar bertentangan dengan model liturgi

yang Trinitaris. Model ini sesungguhnya menjunjung keterbukaan dalam arti panggilan

untuk bersekutu. Keterbukaan dari model ini mengedepankan nilai interaksi yang

timbul dalam persekutuan, antara Allah dengan ciptaan, dan manusia dengan

lingkungan, sebagai sesama ciptaan. Bila dalam ibadah yang demikian, satu sama lain

merasa diri bahwa paling tidak saling mengenali sesama dalam ibadah, saling memberi

senyum. Juga paling tidak merasa diri bahwa secara kolektif, masing-masing orang

terbentuk kemanusiaannya, jati diri, moralitas, paradigma hidupnya, di dalam

persekutuan, dan bukan terbentuk secara individual di luar persekutuan. Semua

pembentukan ini terjadi melalui perjumpaan etis antara pribadi dengan lainnya (Yoh.

13:14; 15:12; Rm. 13:12; 14:19; Gal. 5:26; Ef. 4:2; Yak. 5:16) dan perjumpaan kultus-

217

Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 199, hlm. 18.

Page 130: Environment Ethic

130 Perayaan Kehidupan

spiritual, antara semua pribadi dengan Yesus, kepala persekutuan.218

Pembentukan

tersebut, dalam liturgi, ambil contoh perayaan liturgi sakramen. Sakramen baptisan,

misalnya, memiliki maksud inkorporasi bahwa setiap orang dibaptis ke dalam kematian,

di salibkan dengan Kristus dan dikuburkan dengan Kristus. Atau juga bangkit bersama

dan mengenakan Kristus (Gal. 3:27). Ini semua mengandaikan hidup yang dihidupi

adalah hidup baru bersama Kristus. Itu berarti indikasi paradigma dan implikasi etis

(Rm. 6:12-14) yang terbangun memiliki tolok ukur kristologis.219

Model liturgi yang trinitaris adalah model yang anti terhadap nilai-nilai individual,

seperti pengasingan diri, egois, kosombongan, tinggi hati, menindas, dominasi, merusak

dan merasa hebat. Kecenderungan lain yang lebih membahayakan, ialah membawa

jemaat pada proses perohanian (penyalehan) diri, dan justru meninggalkan perkara-

perkara pelayanan iman.220

Sebaliknya, model trinitaris mengutamakan nilai

persekutuan yang bersifat moral di dalamnya. Nilai itu seperti saling berbagi,

kesetaraan, keadilan, kepedulian, keprihatinan, yang semuanya dibentuk oleh kesadaran

mendasar, bahwa di Golgota, Anak Allah telah mengupayakan nilai itu menjadi milik

kepunyaan pribadi.

2. Perayaan Kehidupan: Praksis Liturgi dalam Pengelolaan Lingkungan

Liturgi dalam arti tata ibadah, mestinya menjadi arahan kepada setiap pribadi untuk

dapat memberikan banyak pengungkapan iman, yang mengarahkan umat untuk dapat

merasa diri benar-benar merayakan arti hidup ini, di bawah pola-pola refleksi akan

liturgi mengenai Allah yang menyelamatkan.

Selain liturgi yangada tak mampu memberi pengungkapan iman dalam relasi antara

sesama seiman dan individualitasnya – liturgi yang demikian, masih terasa kurang

218

J. L. Ch. Abineno, Unsur-unsur Liturgia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010, hlm. 7. 219

Henk Ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama Lagi, Etika Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001,

hlm 100-102. 220

J. Douma, Kelakuan yang Bertanggung Jawab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010, hlm. 137.

Page 131: Environment Ethic

131 Perayaan Kehidupan

dalam mana liturgi harus mengungkapkan perayaan iman bersama lingkungan. Dapat

disaksikan bahwa pelayanan liturgi yang seremonial, frekuensi khotbah-khotbah, serta

kidung-kidung pujian yang menyatakan pemuliaan Allah oleh alam raya, belum begitu

dijadikan keutamaan.221

Para pelayan liturgi, khususnya di Jemaat Ebenhaezer Oeba (JEO), cenderung

memilih kidung-kidung pujian yang sangat antroposentris dibanding kidung-kidung

pujian yang menunjukan aktivitas alam sebagai salah satu pemuji Allah. Khotbah-

khotbah yang juga digemakan tidak begitu memperkenalkan Kristus yang pernah

datang ke dunia dan menjadi salah satu Makhluk kosmis. Kristus yang jarang

diperkenalkan sebagai Kristus yang mati termasuk bagi lingkungan alam ini, bagi

kosmos ini, termasuk manusia di dalamnya. Dengan kata lain, khotbah-khotbah tentang

kematian-Nya tidak berdimensi ekologis, atau sebaliknya alam tidak berdimensi

kekristusan (Kol. 1:16).

Gereja cenderung memperkenalkan Yesus Kristus yang muncul dalam kehidupan

manusia semata-mata, sebagai pahlawan dengan kekuatan kharismatis, menjawab

seluruh persoalan batin dan fisik manusia, terlepas dari alam. Injil tentang kematian

Kristus yang disoroti gereja, seolah-olah hanya mengedepankan kematian-Nya bagi satu

ciptaan saja, yaitu manusia.222

Padahal, tetesan darah Kristus dari tangan yang terpaku

dan lambung yang tertikam, pertama sekali menetes dan meleleh turun pada batang

kayu salib dan jatuh serta meresap ke dalam tanah. Ini dapat dikatakan sebagai tanda

bahwa alam terlebih dahulu menikmati tercucurnya darah Penebus. Fenomena

pemberitaan mimbar seperti ini, menurut kiasan David G. Buttrick, ialah bahwa Kristus

yang diberitakan seolah-olah adalah guntingan kardus berprofil Kristus memegang

221

N. J. Woly (Guru Besar FATEG, UKAW), wawancara. Senin, 09 Februari 2015. Setiawan Pattipeylohi

(Cavik JEO), wawancara. 14 Februari, 2015. 222

Admar Bofe, Roland Darmadi, dkk. (warga jemaat). Hasil Observasi dan Wawancara terhadap Jemaat

Ebenhaezer Oeba di E. 26. Desember 2014-Januari 2015.

Page 132: Environment Ethic

132 Perayaan Kehidupan

pedang dan tameng, untuk dijual pada mimbar-mimbar.223

Khotbah-khotbah, selalu

menyoroti bagaimana seorang Kristen mesti hidup saleh di tengah-tengah sesamanya,

dan hidup saleh di hadapan Tuhan tanpa melihat kehidupannya ditengah-tengah

lingkungan beradanya.224

Itu sebabnya, mengapa banyak orang Kristen dengan imannya

cenderung tidak begitu tanggap terhadap lingkungan hidup. Tidak begitu sensitif

terhadap lingkungan sebagai sebuah sorotan iman, bahwa lingkungan atau alam semesta

juga merupakan bagian komunitas kudus yang bersekutu dengan Allah.225

Bahkan

merupakan bagian dari tubuh Kristus.226

Dalam jadwal bacaan Alkitab pun demikian. Secara sinodal, Sinode GMIT

merancang bulan lingkungan hidup hanya pada bulan November. Pada bulan ini, liturgi

akan dibuat bertema lingkungan hidup. Bacaan dan khotbah akan mengarahkan pada

tanggung jawab iman mengelola lingkungan. Tetapi di minggu-minggu yang lain, nas-

nas khotbah tetap mengarah pada kesalehan hidup yang individualis antroposentris.

Bila terus menerus demikian, terdapat tiga kecenderungan. Pertama, iman jemaat

memang hanya terarah untuk peningkatan hidup yang condong kepada Allah

(teosentrisme). Pada saat yang sama, ia tidak sensitif terhadap lingkungannya dan

mementingkan individualitas dan kolektifitas dengan sesama. Arah iman jemaat

hanyalah mengupayakan selalu ke “surga”, tanpa melihat penebusan yang berlaku

menyeluruh. Kedua, moralitas yang terbentuk, akan merupakan moralitas yang melihat

nilai moral hanya terdapat pada manusia semata. Arah paradigma moral akan berpusat

pada hidup serasi hanya dengan sesama manusia. Dengan demikian, ciptaan lain dilihat

sebagai yang memiliki nilai pada dirinya secara subordinasi. Ketiga, aplikasi moral

cenderung bersifat fakultatif dan egois-instrumental. “Sejauh perbuatan tententu

223

David G. Buttrick, Memberitakan Kristus Dalam Khotbah, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1996, hlm. 13. 224

Hasil wawancara perbandingan dengan anggota jemaat sementara, Jemaat Betel Oesapa Barat. 225

Tom Berry., op. cit, hlm. 59 226

L. Boff, op. cit, hlm. 262-263.

Page 133: Environment Ethic

133 Perayaan Kehidupan

menguntungkan pribadi dan kelompok manusia, maka perbuatan itu baik dan berkenan

kepada Tuhan”, dibanding dengan memilih beretika dengan lingkungan hidup atau

berelasi baik dengan semua ciptaan. Ini berarti, etika dan wawasan etis yang terbangun

melalui liturgi dan khotbah-khotbah hanya akan dilihat dalam hubungan antarmanusia.

Etika hanya dilihat secara antroposentris (individualistis), tidak ekosentris yang

memiliki prinsip holistik.

Akumulasi dari kecenderungan berliturgi seperti demikian, tentu tidak begitu

memberi dampak konstruktif dalam perubahan paradigmatik yang sesuai dengan

harapan perayaan oleh persekutuan.

Terbalik dengan itu semua, bila liturgi intensif mengungkapkan makna perayaan

yang mencakup seluruh ciptaan, maka ia akan memberi dampak yang signifikan dalam

pemaknaan liturgi dan ibadah itu sendiri. Secara instrumental, liturgi seyogianya adalah

menciptakan persekutuan yang benar-benar merayakan kehidupan sebagai karya Allah.

Perihal perayaan kehidupan, maka dituntut tanggung jawab umat dalam mengelola

lingkungan, sebagai wujud mengelola keselamatan di dalam Yesus yang diperuntukkan

bagi umat. Keselamatan itu, bermakna tanggung jawab, bahwa manusia mengelola

lingkungan ini karena lingkungan alam ini mempunyai nilainya sendiri yang ada di

dalam dirinya dan harus dihormati oleh manusia.227

Tanggung jawab itu memiliki

makna yang baru sejak Allah berliturgi demi keselamatan. Tanggung jawab itu

memiliki arti imperatif moral, bahwa manusia harus taat kepada Allah dalam

“pengurusan”, “pemeliharaan”, “pengelolaan”, “penanganan” (Kej. 1:28-29).228

Itu

227

M. Mali dalam A. Sunarko dan A.E. Kristiyanto (ed.), Menyapa Bumi Menyembah Yang Ilahi; Tinjauan

Teologis Atas Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2008, hlm. 142-143. 228

FX. Hadisumarta dalam ibid., hlm. 57. Teks ini pun sering dipakai sebagai alat kritik, bahwa orang Kristen,

khususnya kristenitas Barat adalah biang dari krisis ekologis. Teks ini diklaim terlalu antroposentris-destruktif.

Bahkan tokoh pengeritik kristenitas dengan teks ini ialah, Lynn White, Jr., dalam karangannya The Historical

Roots of Our Ecological Crisis, 1967, no. 155., “kristenitas mengangkat beban berat rasa bersalah atas krisis

ekologis”. Karena itu, teks ini ditafsir ulang oleh para teolog untuk membantah tesis Lynn White; Wesley

Granberg-Michaelson, Ecology and Life, Waco: Word, 1988, hlm. 132.

Page 134: Environment Ethic

134 Perayaan Kehidupan

berarti, pada contoh kecil mengelola sampah merupakan bagian yang tak terpisahkan

dari imperatif perayaan keselamatan.

Pekerjaan itu menjadi amat penting. Meninjau persoalan pengelolaan sampah yang

terbatas, di Kelurahan Oeba, dengan pertimbangan kesehatan masyarakat dan kesehatan

lingkungan, tentu pencemaran adalah akibat konkret dan logis. Pencemaran oleh

sampah rumah tangga banyak mendatangkan kerugian tertentu. Apa yang disebut

dengan lingkungan fisik dan biosfer, mengalami pencemaran dan kerusakan. Begitu

juga menurut pertimbangan dari sudut ekologis dan etika lingkungan, tentu masalah

tersebut merupakan akibat dari berbagai krisis. Krisis itu mencakup wawasan atau

paradigma yang dapat menentukan perilaku menyimpang dan terbatas dalam mengelola

sampah. Bahkan dari sudut tersebut, krisis lingkungan yang ditimbulkan dari sampah

yang mencemari, ada kaitannya dengan krisis spiritualitas.

Karena itulah, orang Kristen mesti memaknai betul spiritualitasnya yang bersumber

dari hubungannya dengan Allah dalam ibadah-ibadah yang dilakukan sebagai kegiatan

liturgi. Ibadah atau kegiatan liturgi mesti menjadi bagian penting yang dihidupi oleh

setiap komponen individu beriman, lebih khusus keluarga. Tiap keluarga dalam rumah

tangga adalah pelaksana lanjutan atas liturgi yang dimaknai dalam pelaksanaan ibadah

gereja.

Di dalam lembaga keluarga, liturgi lebih tampak konkret, saat mana kehidupan

keluarga mengaplikasikan maksud liturgi yang sebenarnya, yaitu pelayanan diri dalam

hubungan pengelolaan lingkungan, khususnya mengelola sampah rumah tangga. Dari

sini benar-benar tampak bahwa bagian dari mengelola lingkungan ini, yakni melakukan

upaya mengelola sampah yang benar merupakan praksis dari liturgi yang hidup dan

realistis.

Page 135: Environment Ethic

135 Perayaan Kehidupan

Liturgi yang otentik dalam kehidupan adalah liturgi yang berintegritas sampai ke

dalam perjuangan hidup sehari-hari. Artinya, bahwa ada kelanjutan dan keterhubungan

antara hidup doa dan mendengar firman Tuhan, dengan hidup sehari-hari. Ambil

contoh, sebuah keluarga atau salah seorang anggota dari satu keluarga, pergi beribadah

di gereja. Ibadah tersebut berlangsung khidmat dan khusyuk. Di dalam ibadah yang

demikian, keluarga itu memohon agar salah seorang anggota keluarga dapat sembuh

dari sakit. Tetapi, ketika pulang ke rumah, dalam hal mengelola makanan, sisa bahan

makan yang dikelola dibuang begitu saja di sekitar rumah. Lebih daripada itu, berkelahi

dengan tetangga atau bahkan anggota keluarga, perihal sampah yang dibakar dan dan

ditumpuk sembarangan. Pada contoh ini, perjuangan hidup keluarga itu dipisahkan dari

liturgi atau kegiatan ibadah dalam gereja. Dengan kata lain, perjuangan hidup seperti

ini, tidak menunjukan tanda-tanda liturgi atau tindakan perayaan kehidupan yang

selaras dengan lingkungan, maupun sesama manusia. Ibadah di gereja belum, bahkan

tidak terintegrasi ke dalam perjuangan kehidupan yang realistis.

Kehidupan yang liturgis lebih dari sekedar ibadah seremonial. Menuntut partisipasi

gereja, tiap individu dan seluruh komponen umat, untuk lebih bertanggung jawab

terhadap liturgi Allah di dalam Yesus. Tanggung jawab itu, ditunjukan dalam berbagai

pelayanan atau aksi konkret yang menunjukkan bakti syukur terhadap keselamatan

Allah (2 Tim. 4:5). Tujuan dari aksi tersebut hanya semata-mata demi Trinitas (Allah

Bapa, Putera dan Roh Kudus) dimuliakan dalam ciptaan-Nya.

3. Memintal Kerja Sama: Peran Bersama Gereja, Keluarga dan Masyarakat.

Liturgi adalah perayaan iman terhadap karya keselamatan Allah yang dikerjakan di

dalam Yesus Kristus, bersama gereja-Nya (subyek liturgi), dalam ikatan Roh Kudus.

Liturgi ini mengungkapkan nilai persekutuan yang memanggil gereja/umat Allah, dan

seluruh konponen masyarakat untuk aktif dan bertanggung jawab mengelola kehidupan

Page 136: Environment Ethic

136 Perayaan Kehidupan

dalam hubungannya dengan lingkungan. Liturgi yang dimulai dari Allah, sangat terbuka

bagi berbagai dimensi, termasuk dimensi ekologis. Karena itu, liturgi ibadah yang

dilaksanakan umat sekarang ini, menghimbau partisipasinya dalam mencerminkan dan

mengungkapkan prioritas pada makna keselamatan yang telah diperoleh bagi seluruh

ciptaan.

Liturgi sebagai kegiatan ibadah semestinya berlaku praksial, yaitu menjadi tindakan

konkret dalam hidup. Itulah inti liturgi atau ibadah itu sendiri. Liturgi sebagai bentuk

perayaan iman akan menjadi sebuah wujud mempersembahkan hidup untuk melayani

Allah dalam kehidupan. Persembahkan diri sebagai persembahan yang hidup (Rm.

12:1). Inilah yang menjadi pemaknaan hidup umat dalam hubungannya dengan peran

dirinya dalam lingkungan.

Liturgi sebagai perayaan hidup, jauh melebihi permainan yang kita mainkan pada

hari minggu pagi dalam sebuah gedung yang disepakati untuk bersekutu. Melalui kata-

kata, simbol, dan ingatan, liturgi memiliki kekuatan untuk menggerakkan orang

melampaui realitas statisnya. Liturgi sebagai perayaan kehidupan, melampaui dan

bertentangan dengan nilai-nilai individual. Liturgi dapat menolong setiap orang

memanggil kembali hal-hal yang mungkin telah dilupakan, yaitu menjadi makhluk yang

berkesaran moral. Ia memberi harmoni yang menyenangkan. Ia dapat mengubah

sekelompok individu menjadi komunitas orang percaya yang aktif dan peka terhadap

persoalan dan krisis lingkungan. Karena itulah, spiritualitas dan ibadah atau kegiatan

liturgi orang Kristen juga terarah pada mengelola lingkungan.

Persoalan pencemaran akibat keterbatasan pengelolaan sampah rumah tangga di

Kelurahan Oeba memang rumit dan taksa. Persoalan ini merupakan bagian dari

pergumulan liturgis dan ekologis, yang menuntut agar memperoleh penanganan konkret

dan berkelanjutan oleh berbagai pihak. Mulai dari, tiap pribadi, keluarga, gereja,

Page 137: Environment Ethic

137 Perayaan Kehidupan

pemerintah dan seluruh unsur masyarakat. Di sini keluarga dan masyarakat khususnya

perlu dijadikan basis dari pengelolaan sampah rumah tangga.

Sebagai basis, keduanya menjadi acuan di mana pengelolaan dilakukan secara

bersama. Bersamaan dengan itu, keduanya menjadi acuan, yaitu sebagai pihak yang

mengalami langsung kerugian, bahwa bila sampah tidak dikelola dengan baik.

Dalam basis ini, gereja dapat menghimbau bahwa pekerjaan pengelolaan

lingkungan adalah bentuk keharusan dari meresponi keselamatan Allah. Selain itu, turut

melaksanakan mengarahkan program-program yang sesuai dan tepat dalam

mengupayakan peningkatan kualitas lingkungan, yang dikerjakan bersama jemaat.

Begitu juga, tiap pribadi, dapat memulai mengelola sampah dari diri sendiri. Mulai

dengan mengakui pentingnya lingkungan yang sehat dan harmonis diperlukan bentuk

nyata pengelolaan sampah. Seseorang dapat menyadari bahwa satu botol plastik dapat

menghasilkan kerusakan tanah dalam waktu yang lama. Sebab itu, ia mesti mengatur

pola konsumsi dengan mengupayakan pemakaian ulang, daripada membuang

sembarang, apa lagi membakarnya.

Tiap rumah tangga dalam keluarga, misalnya, dapat memulainya dengan menahan

diri terhadap konsumsi berlebih dan berbahan anorganik, serta mengutamakan prinsip

3R. Seorang ibu rumah tangga dapat mengatur belanja dan konsumsi dengan lebih

mengarah pada bahan organik dan mengurangi konsumsi bahan sintesis. Seorang ayah

dan anak-anaknya dapat melakukan composting dari daun-daun kering atau kotoran

hewan. Pekerjaan lain yang dapat dilakukan dalam kelurga ialah, mengembangkan

pendidikan lingkungan. Orang tua dapat mendidik anak-anak secara praktik dan dialog,

tentang pengelolaan sampah.

Sedangkan pemerintah, khususnya PEMKOT (Pemerintah Kota) dan DINKESTAM

(Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Kupang), dalam perannya, menyediakan daya

Page 138: Environment Ethic

138 Perayaan Kehidupan

dukung terhadap pengelolaan sampah yang besar, dapat memfalitasi dengan efektif,

lokasi-lokasi yang perlu dibangun TPS. Termasuk intensif dalam mengangkutan,

penyapuan, penataan taman dan memberdayakan, serta mencerdaskan masyarakat

tentang penguasaan teknologi dan inovasinya.

Pekerjaan penanganan terhadap pengelolaan masalah yang ditimbulkan, bukan satu

atau dua kali kerja, melainkan harus dikerjakan secara teratur, strategis, sistematis, dan

terpadu, terus-menerus. Karena itu, membutuhkan kerjasama yang intensif antara

masyarakat, pemerintah gereja atau lembaga agama lain.

Kesimpulan

Liturgi dan ekologi memiliki kaitan erat. Bukan sekedar keduanya merupakan disiplin

ilmu. Tetapi pada hakikatnya, keduanya mengarah pada satu tujuan, yakni perayaan

(selebrasi) karya keselamatan Trinitas (Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus) bagi

ciptaannya. Keduanya bertemu dalam tujuan tersebut.

Liturgi sendiri, merupakan karya pelayanan, yang pertama sekali dilakukan oleh

Allah. Sejarah keselamatan, maupun sejarah dunia mencatat, bahwa Allah pernah

berkarya langsung dalam rupa manusia, dan sekarang ini berkarya dalam rupa gereja-

Nya. Dalam kaitan dengan makna keselamatan yang dihasilkan dari karya Allah di

dalam Yesus, dan keselamatan itu masih harus digenapi (dimensi eskatologis), maka

ada tugas penting yang harus dikerjakan dari sudut liturgi dan ekologi.

Ekologi mengerjakan bagian praksis liturgi, sebagai bentuk konkret merayakan

keselamatan. Dalam hal ini, kasus pencemaran yang ditimbulkan oleh sampah rumah

tangga, memperoleh porsi sorotan ekologi dan liturgi ini. Ekologi dan liturgi

menghimbau partisipasi umat Allah atau tanggung jawab orang Kristen, terkhusus di

Kelurahan Oeba, untuk mengelola lingkungan, dalam hubungan dengan pencemaran

Page 139: Environment Ethic

139 Perayaan Kehidupan

yang ditimbulkan sampah. Dengan demikian, nyatalah bahwa apa yang dikerjakan itu,

merupakan bagian dari perayaan kehidupan. Pemahaman seperti inilah yang perlu

dipegang dalam kesadaran tiap-tiap orang Kristen di tengah lingkungan beradanya,

sebagai salah satu komponen masyarakat.

Karena itu, tugas (agenda) penting yang masih harus dilakukan gereja, adalah

mengupayakan pemahaman dan paradigma moral ialah bersumber dari ibadah atau

kegiatan liturgi. Pekerjaan ini perlu dilakukan, mengingat terjadi krisis dalam

memaknai hidup, karena cenderung arti hidup dipisahkan dari lingkungan. Bahkan, arti

hidup tidak dimaknai sebagai tanggung jawab terhadap keselamatan yang Allah telah

kerjakan.

Page 140: Environment Ethic

140 Perayaan Kehidupan

Page 141: Environment Ethic

141 Perayaan Kehidupan

Page 142: Environment Ethic

142 Perayaan Kehidupan

PENUTUP

Bagian Penutup berisikan kesimpulan dan saran. Dua bagian Penutup ini merupakan

kesimpulan menyeluruh terhadap semua bab yang diuraikan. Ciri khas dari dari kedua bagian

dari bagian ini, tak lain bersifat hipotetik dan agenda. Karena itu, secara axiologis, studi ini

memiliki bobot nilai fungsional yang cukup signifikan dan kiranya dapat dipertimbangkan

oleh para pembaca, sebagai hasil studi etika lingkungan.

A. Kesimpulan

Di Kelurahan Oeba terdapat persoalan lingkungan, yaitu pengelolaan sampah rumah

tangga yang terbatas dan belum efektif, sehingga terjadi krisis lingkungan regional,

yaitu pencemaran. Pencemaran yang diakibatkannya, berdampak pada sektor

lingkungan fisik dan kesehatan masyarakat (manusia). Melihat hal ini, melalui analisis

sosio-ekologis, dalam etika lingkungan, diperoleh persoalan mendasarnya, bahwa bila

diukur dari sudut ini, lingkungan yang tercemar sebetulnya merupakan sebuah krisis

paradigma dan perilaku dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Karena itu,

persoalan persampahan, bukan sekedar kegagalan metode semata, atau kurang

aktifnya masyarakat dalam mengelola sampah.

Sedangkan, dengan menyadari bahwa studi ini adalah studi teologi, maka

semua persoalan ini dikaitkan dengan iman percaya, bahwa lingkungan dan

integritasnya (termasuk manusia di dalamnya), adalah karya Allah. Sampai pada titik

inilah, tiap-tiap keluarga di Kelurahan Oeba, pemerintah dan gereja sebagai pengelola

lingkungan, perlu disoroti dalam perspektif yang baru.

Karena itu, secara teologis kesimpulan-kesimpulan studi ini dipaparkan sebagai

berikut:

Page 143: Environment Ethic

143 Perayaan Kehidupan

1. Berdasarkan imanlah, semua karya dan terkhusus pelaksanaan pengelolaan

lingkungan, yakni sampah rumah tangga, yang dilakukan oleh semua orang

Kristen. Pengelolaan itu dilakukan bersama unsur masyarakat di Kelurahan

Oeba, Jemaat Ebenhaezer Oeba dan pemerintah. Pengelolaan sampah ini,

mengutamakan metode yang berstandar, yaitu 4R (Reduce, Reuse,

Recycling, dan Replace) dan pengolahan composting. Pengelolaan ini perlu

dilaksanakan di tingkat rumah tangga. Sedangkan pengelolaan di tingkat

basis masyarakat, dilakukan dengan teknik operasional, meliputi:

pewadahan terpilah yang teratur, pengumpulan, pemindahan ke TPS

(Gambar. Bagan. 2.).

Paling tidak, metode ini tidak begitu sulit dan cocok dengan konteks

pengelolaan di Kelurahan Oeba. Semua ini dilakukan dengan melihat

syarat-syarat atau prinsip strategi pengelolaan, yakni sistematis, holistik dan

terpadu sebagai upaya meminimalisir dan menangani sampah rumah

tangga.

2. Iman sebagai titik tolak dalam aksi pelayanan mengelola lingkungan ini,

bersumber dari perayaan iman dalam kegiatan ibadah atau liturgi. Sehingga

yang diwujudkan dalam pengelolan aktif terhadap lingkungan (sampah

rumah tangga) adalah bentuk dari praksis perayaan iman terhadap hasil

liturgi Allah, yaitu keselamatan.

3. Liturgi memiliki daya dalam membentuk paradigma moral, membangun

kesadaran moral melalui anamnese terhadap karya Allah. Paradigma inilah

yang menentukan sikap dan perilaku dalam melaksanakan keharusan

mengelola lingkungan.Karena itu, pengelolaan sampah rumah tangga, lebih

dari sekedar permainan metode, tetapi peran paradigma dan perilaku.

Page 144: Environment Ethic

144 Perayaan Kehidupan

4. Secara teologis, liturgi merupakan karya Allah persekutuan, yaitu Allah

Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus. Karya tersebut ialah keselamatan

bagi keutuhan ciptaan. Dalam perspektif inilah, kritik dan konstruksi liturgi

gereja dilangsungkan.

5. Liturgi yang trinitaris, pada dirinya terbuka bagi semua isu teologis.

Keterbukaan ini dihasilkan dari sifat liturgi yang multidimensi, karena

dimulai dari penstrukturan berteologi sistematis, yaitu trinitaris. Itu

sebabnya, liturgi tidak hanya dapat menyoroti persoalan lingkungan, dalam

hal pencemaran yang diakibatkan dari pengelolaan sampah rumah tangga

yang terbatas. Kemultidimensiannya, mengantar liturgi pada berbagai isu

lain, seperti persoalan kemiskinan, ketidakadilan, dll,.

B. Saran

Dalam studi ini, beberapa saran yang dapat disampaikan bersifat porposive, dengan

memerhatikan upaya mengkooperatifkan segala pihak/unsur terkait, yang nota

benenya adalah pelaku pengelolaan sampah, sebagai berikut:

1. Pemerintah

a). Pemerintah Daerah, yakni Pemerintah Kota (PEMKOT) dapat melakukan

berbagai upaya mengfasilitasi, mendanai, penggerak masyarakat, antara lain hal-

hal yang termasuk dalam bagian-bagian ini adalah:

a. Menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dan

lembaga-lembaga terkait dalam pengelolaan sampah.

b. Melakukan penelitian serta pengembangan teknologi pengurangan dan

penanganan sampah.

c. Memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya

pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah.

Page 145: Environment Ethic

145 Perayaan Kehidupan

d. Melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan

prasarana dan sarana pengelolaan sampah regional.

e. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil

pengolahan sampah.

f. Memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang berkembang

pada masyarakat di daerah untuk mengurangi dan menangani sampah.

g. Melakukan koordinasi antarorganisasi perangkat daerah dan

Kabupaten/Kota dengan lembaga Pemerintah, masyarakat, dan dunia

usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah; dan

h. Menyediakan unit pelayanan pengaduan masyarakat.

b). Pemerintah Kelurahan Oeba

Pemerintah kelurahan dapat melakukan pengelolaan sampah berbasis

masyarakat, melalui beberapa tahap usulan, perencanaan, implementasi

perencanaan konseptual, pengendalian dan pengawasan, dan evaluasi, sebagai

berikut:

a. Tahap Perencanaan

1. Pemerintah Kelurahan Oeba sebagai pihak pembuat kebijakan

(regulator) berwenang membuat kebijakan tentang pengelolaan

sampah. Sehingga pemerintah merupakan pihak yang paling tepat

mengambil inisiatif (inisiator) agar program menjadi gerakan

masyarakat.

2. Dalam rangka menyusun konsep perencanaan, masyarakat perlu

dilibatkan, karena yang akan melaksanakan nanti isi konsepnya adalah

masyarakat.

Page 146: Environment Ethic

146 Perayaan Kehidupan

3. Dalam rangka pelibatan masyarakat dalam perencanaan, yang dilakukan

adalah manjalin komunikasi dengan masyarakat melalui pengurus

(ketua atau sekertaris, dll,.) RT/RW. Pengurus RT/RW di sini adalah

pihak yang memiliki kemampuan sebagai fasilitator antara pemerintah

dan masyarakat. Di tempat lain bisa jadi fasilitator tersebut adalah tokoh

masyarakat, pengusaha, tokoh agama, LSM, akademisi atau lainnya.

Yang terpenting mereka adalah pihak yang dipercaya oleh masyarakat

dan pemerintah sebagai fasilitator inti.

4. Hal utama dan terpenting yang harus disampaikan pertama kali dan

teratur adalah sosialisasi tentang manfaat pengelolaan dan pengolahan

sampah. Pekerjaan sosialisasi dapat dilakukan juga dengan mengundang

para akademisi atau LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) tertentu yang

bergerak di bidang inovasi pengelolaan lingkungan dan teknologi.

5. Untuk memperkuat penjelasan tentang manfaat pengelolaan sampah,

pemerintah sebaiknya mengajak pengurus RT/RW untuk melakukan

studi banding ke kelurahan tertentu yang telah berhasil melaksanakan

pengelolaan sampah.

6. Sebagai fasilitator, pengurus RT/RW kemudian berkomunikasi dengan

masyarakat untuk menjelaskan tentang manfaat kegiatan pemilahan

sampah dan pengalaman daerah lain yang sudah berhasil. Selain itu,

pengurus RT/RW juga berusaha menjaring masukan dari masyarakat

tentang pengelolaan sampah. Masukan tersebut kemudian didiskusikan

dengan pemerintah untuk menyempurnakan konsep yang sudah ada.

Hasil penyempurnaan konsep menjadi produk perencanaan yang

disepakati pemerintah dan masyarakat.

Page 147: Environment Ethic

147 Perayaan Kehidupan

7. Isi perencanaan memuat paling tidak: mekanisme pengelolaan

(meliputi: operasional, pengendalian, pengawasan, pembiayaan,

evaluasi dan pelaporam), peran masyarakat dan pemerintah,

pembentukan organisasi pengelola, sarana prasarana.

b. Tahap Implementasi

1. Dalam Implementasi pemilahan sampah, pemerintah memberikan

bantuan fasilitas termasuk biaya untuk pengelola karena biaya

pengelolaan sampah merupakan kewajiban pemerintah (amanat UU RI

no 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah).

2. Pemerintah mengatur dan memberikan insentif & disinsentif. Walaupun

masyarakat tidak keberatan dengan adanya retribusi sampah, namun

alangkah baiknya jika pemerintah memberikan insentif (uang

peransang) pada masyarakat yang melakukan pemilahan sampah.

Insentif diberikan untuk memotivasi masyarakat, agar masyarakat

bersemangat melakukan pemilahan sampah. Insentif yang diberikan

dapat dalam bentuk pengurangan retribusi bagi warga masyarakat yang

melakukan pemilahan sampah. Sedangkan bagi warga yang tidak

melakukan pemilahan sampah, tetap membayar retribusi. Ini sejalan

dengan amanat UU No 18 Th 2008 Pasal 18 tentang Pengelolaan

Sampah.

3. Pemerintah melakukan sosialisasi implementasi untuk

mengkampanyekan program, agar pemilahan sampah menjadi gerakan

Page 148: Environment Ethic

148 Perayaan Kehidupan

masyarakat. Dalam hal ini pemerintah dapat bekerja sama dengan

pengurus RT/RW.

4. Bersama dengan pengurus RT/RW, pengelola membentuk organisasi

kepengurusan dan program kerja.

5. Pemerintah memfasilitasi kegiatan sosialisasi implementasi yang

dilakukan oleh pengelola, yang merupakan tanggung pengelola. Dalam

hal ini pengelola dapat bekerja sama dengan pengurus RT/RW.

6. Pengelola menentukan mekanisme pengelolaan sampah, yang meliputi

pengembilan sampah dari rumah-rumah dan pengangkutannya hingga

ke TPSS.

7. Pengelola bertanggung jawab mengelola sampah anorganik yang

terkumpul, mulai dari pengumpulan, pengangkutan dan

pemanfaatan/penjualannya, termasuk pemanfaatan uang hasil penjualan.

8. Bersama dengan pengurus RT/RW, pengelola memberikan bimbingan

kepada masyarakat agar mereka dapat mengelola sampahnya dengan

benar. Termasuk di dalamnya memberikan bimbingan dalam

pengolahan sampah.

9. Masyarakat melakukan pemilahan sampah di tingkat sumber, sesuai

dengan mekanisme yang sudah ditentukan oleh pengelola.

10. Masyarakat mengolah sampah organiknya menjadi kompos dan

pendauran ulang.

11. Masyarakat bertanggung jawab melakukan sosialisasi dalam rumah

tangganya (sosialisasi internal). Di tingkat inilah, sebetulnya sosialisasi

akan sangat efektif karena dapat dilakukan secara intensif.

c. Tahap Pengendalian dan Pengawasan

Page 149: Environment Ethic

149 Perayaan Kehidupan

a. Pemerintah dengan dibantu oleh pengurus RT/RW, melakukan

monitoring dan supervisi. Hal ini dilakukan agar program yang sudah

menjadi kebijakan pemerintah dapat berjalan sesuai yang diharapkan.

b. Pengurus RT/RW melaporkan hasil kegiatan monitoring dan

supervisinya kepada pemerintah melalui mekanisme yang sudah

ditentukan.

c. Pengelola melakukan kegiatan pengendalian dan pengawasan kegiatan

pengelolaan sampah agar sesuai dengan mekanisme yang sudah

disepakati. Dalam hal ini pengelola dapat bekerja sama dengan

pengurus RT/RW

d. Pengelola membuat laporan rutin, yang akan disampaikan ke

Pemerintah dan masyarakat sesuai mekanisme yang ada.

e. Laporan rutin ke masyarakat dapat dilaksanakan bersamaan dengan

pertemuan rutin warga, seperti pertemuan di tingkat RT.

d. Tahap Evaluasi

1. Pemerintah melakukan evaluasi tahunan berdasarkan laporan yang

diterima dari pengelola dan pengurus RT/RW, juga masukan dari

masyarakat. Evaluasi dilakukan untuk menyempurnakan kebijakan yang

sudah dibuat agar efektif dan efisien.

2. Dalam kaitan denagn evaluasi, fungsi pengurus RT/RW adalah

memberi masukan kepada pemerintah dan pengelola. Di samping itu

juga menjaring masukan dari masyarakat.

3. Pengelola menyampaikan laporan dan hasil evaluasi kepada pemerintah

dan masyarakat.

Page 150: Environment Ethic

150 Perayaan Kehidupan

4. Penyampaian laporan dan evaluasi dilaksanakan secara bulanan dan

tahunan. Evaluasi bulanan dilaksanakan bersamaan dengan pertemuan

rutin warga. Sedangkan evaluasi tahunan dilaksanakan dengan waktu

yang disepakati.

5. Masyarakat memberi masukan kepada pemerintah dan pengelola.229

c). Dinas Kesehatan dan Pertamanan Kota Kupang (DINKESTAM)

a. Meningkatkan kinerja yang inovatif dalam proses pengangkutan dan

pemrosesan akhir.

b. Menyusun program yang berbasis masyarakat

c. Meningkat studi terhadap pengelolaan sampah dan teknologi yang cocok

bagi pengelolaan sampah kota.

d. Melakukan koordinasi dengan masyarakat dan PEMKOT, agar menambah

jumlah fasilitas sampah pada titik-titik sampah.

2. Rumah-rumah Tangga dan/atau Keluarga-keluarga

Melakukan upaya minimalisasi timbulan atau produksi sampah melalui

pendekatan perubahan perilaku, seperti:

a. Melakukan kontrol pada pola konsumsi rumah tangga

b. Membiasakan hidup hemat dan menetapkan basis konsumsi pada bahan

makan organik. Artinya, menahan diri dan mengubah gaya atau perilaku

konsumtif.

c. Membiasakan diri hidup bersih dan sehat. Terutama menanamkannya pada

anak usia dini. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan pendidikan

lingkungan rumah tangga usia dini.

229

Faizah, op. cit., hlm. 148-149.

Page 151: Environment Ethic

151 Perayaan Kehidupan

d. Mengakrabkan diri dengan sistem pengelolaan sampah berdasarkan prisip

4R (Reduce, Reuse, Ricycle, dan Replace).

e. Mengurangi dan memanfaatkan kembali bahan-bahan yang masih memiliki

nilai, mengganti bahan-bahan anorganik dengan bahan-bahan yang lebih

ramah lingkungan. Termasuk beralih pada teknologi pemanfaatan limbah

dan sampah, seperti tungku hemat energi, biogas, dll,.

f. Melakukan pengolahan sampah dengan mendaur ulang sampah dan

melakukan composting seperlunya, bila ingin melakukan kegiatan pertanian

rumah tangga.

g. Aktif dalam kerja sama dengan unsur pemerintah setempat dalam

menanggulangi permasalahan persampahan. Terlibat dalam kerja bakti dan

berbagai sosialisasi lingkungan. Artinya, tiap-tiap keluarga dapat menjadi

keluarga sensitif dan tanggap lingkungan.

3. Gereja

Gereja dapat melakukan pekerjaan pencerdasan jemaat, antara lain:

a. Mengintensifkan frekuensi khotbah (paling tidak kerygma khotbah) dan

liturgi bertema lingkungan. Mengatur dan merancang keduanya sebagai

agenda yang primer, walau pun setiap minggu, tema dan nats khotbah

bertolak dari jadwal bacaan Sinode.

b. Merancang liturgi yang bertema kepedulian lingkungan yang dijadwalkan

dalam siklus, minimal per 2 bulan sekali. Paling tidak berupaya

merancangnya dalam konsep yang kontekstual.

c. Demikian juga bila perlu, menyusun tema-tema tersebut sebagai nats

agenda dalam ibadah-ibadah rumah tangga atau ibadah teritorial dan

kategorial lainnya, yang dipimpin oleh majelis.

Page 152: Environment Ethic

152 Perayaan Kehidupan

d. Membuat modul khusus atau tabloit-tabloit yang memberikan pandangan-

pandangan teologis terhadap lingkungan dan sanitasinya.

e. Bagi para anggota KA/KR, dirancang modul pengajaran yang menyisipkan

tema-tema lingkungan. Termasuk metode-metode mengajar yang inovatif,

mengarah pada cinta lingkungan hidup. Pekerjaan ini dapat dilakukan

secara sinodal, oleh Sinode GMIT, mau pun oleh klasis atau jemaat-jemaat

sendiri.

f. Merancang program-program oikonomia yang bersifat jejaring dan

kooperatif: Turut lebih aktif dan terprogram dalam melakukan kegiatan

kerja bakti maupun kerja sama dengan pihak pemerintah atau LSM

tertentu dalam membangun fasilitas persampahan, seperti TPS atau saluran

pembuangan, yang walaupun pekerjaan ini sebenarnya pekerjaan

pemerintah.

g. Mengadakan sosialisasi yang teratur, mengenai pengelolaan lingkungan

khususnya sampah rumah tangga. Artinya, diakonia seperti ini dilakukan

seimbang dengan sosialisasi dogmatis. Khususnya pekerjaan ini disisip

dalam materi kasasi dan pengembalaan nikah. Sosialisasi mengenai

pengelolaan lingkungan, yakni pengelolaan sampah rumah tangga.

Pengelolaan ini mencakup tahap pengelolaan, metode, penawaran inovasi

teknologi dan penguasaannya. Pekerjaan ini dapat dilakukan dengan

mengundang para ahli kesehatan lingkungan dari pihak pemerintah atau

LSM tertentu.

Page 153: Environment Ethic

153 Perayaan Kehidupan

DAFTAR PUSTAKA

Kitab Suci

- Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia

(LAI).

Buku-buku

- Abineno, J. L. Ch., 1983.

Jemaat: Ujud, Peraturan, Susunan, Pelayanan, Pelayanan-

Pelayanannya, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- ............................, 1975.

Roh Kudus dan Pekerjaan-Nya, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- …………………, 2010.

Unsur-unsur Liturgia, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- Adam, Adolf., 1992.

Foundations of Liturgy: An Introduction to Its History and Practice.

Collegeville - Minnesota: The Liturgical Press.

- Allaby, Michael., 1983.

Macmilan Dictionary of Environment, London: Macmillan Press.

- Azwar, Azrul., 1979.

Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Jakarta: PT. Mutiara Sumber

Widya Penabur Benih Kecerdasan.

- Badudu, J.S., 2007.

Kamus Kata-kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, Jakarta:

Penerbit Buku Kompas.

- Bailey, Jill (ed.)., 2004.

Page 154: Environment Ethic

154 Perayaan Kehidupan

The Facts On File Dictionary of Ecology and the Environment, New

York: Facts On File, inc.

- Barker, Margaret., 2003.

The Great High Priest: The Temple Roots of Christian Liturgy, New

York: T&T Clark. Ltd.

- Balthasar, Hans Urs Von., 2001.

Cosmic Liturgy. San Francisco: Ignatius Press.

- Barth, Christop., 1986.

Teologi Perjanjian Lama III, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- Barth, Karl., 1936.

Church Dogmatics I/I, Edinburgh: T.&T. Clark.

- Barth, Marie Claire. & Pareira, B. A., 1998.

Tafsiran Alkitab: Kitab Mazmur 73- 150, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

- Bavinck, H., 2011.

Prolegomena (Jilid I), Surabaya: Momentum.

- ……………, 2012.

Dogmatika Reformed (Jilid 2); Allah dan Penciptaan. Surabaya:

Penerbit Momentum.

- Berkhof, Louis., 2012.

Teologi Sistematika, Surabaya: Momentum.

- Berry, Tom., 2013.

Kosmologi Kristen. Maumere: Penerbit LEDALERO.

- Bertens, Kees., 2004.

Etika, Jakarta: PT. Gramedia.

- ………………, 2001.

Page 155: Environment Ethic

155 Perayaan Kehidupan

Perspektif Etika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

- Boehlke, R. R., 2010.

Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama

Kristen. Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- Boff, Leonardo., 2004.

Allah Persekutuan, Maumere: Ledalero.

- Bromiley, Geoffrey W. 2001.

Introduction to The Theology of Karl Barth, Michigan: Grand Rapids.

- Brownlee, Malcolm., 2011.

Pengambilan Keputusan Etis. Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- ............................, 1999.

Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, Jakarta: BPK. Gunung

Mulia.

- Buttrick, David G., 1996.

Memberitakan Kristus Dalam Khotbah, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- Calow, Peter (ed.)., 1991.

Blackwell’s Concise Encyclopedia of Ecology, Malden: Blackwell

Science, Inc.

- Capra, Fritjof., 2001.

Jaring-jaring Kehidupan; Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan

(terj.), Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

- Chamblin, J. Knox., 2009.

Paulus dan Dirinya, Surabaya: Momentum.

- Chang, William., 2001.

Moral Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius.

Page 156: Environment Ethic

156 Perayaan Kehidupan

- Cunha, Bosco Da. & Carm, O., 2004

Teologi Liturgi dalam Hidup Gereja , Madang: Dioma.

- Cunningham, William P. & Cunningham, Marry Ann., 2004.

Principals Of Environmental Science Inquiry and Application, New

York: McGraw-Hill, Inc.

- ......................., 2008.

Environmental Science: A Global Concern, New York: McGraw-Hil

Inc.

- Collin, P. H., 2004.

Dictionary of Environment & Ecology. (Fifth Edition), Soho Square,

London: Bloomsbury Publishing Plc.

- Deane-Drummond, Celia., 2012.

Teologi dan Ekologi. Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- Damanhuri, Enri.,

Diktat Pengelolaan Sampah. Bandung: Penerbit ITB.

- Doeka, Fredrik. Y.A., 2005.

Maria dan Rabi’a. Kupang: Artha Wacana Press.

- Douma, J., 2010.

Kelakuan yang Bertanggung Jawab, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- Etjang, Indan., 2000.

Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti.

- Geisler, Norman L., 2003.

Etika Kristen: Pilihan dan Isu, Malang: Literatur SAAT.

- Gilpin, A., 1976.

Page 157: Environment Ethic

157 Perayaan Kehidupan

Dictionary of Environmental Terms, London: Routledge and Kegan

Paul Ltd.

- Guthrie, Donald., 2011.

Teologi Perjanjian Baru 1, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- ..........................., 2011.

Teologi Perjanjian Baru 2, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- .........................., 2011.

Teologi Perjanjian Baru 3, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- Granberg-Michaelson, Wesley., 1988.

Ecology and Life, Waco: Word.

- Green, Clifford (Pnyt.)., 2003.

Karl Barth: Teologi Kemerdekaan, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- Hoffecker, Andrew., & Gerry Scott Smith (ed)., 2008.

Membangun Wawasan Dunia Kristen (Vol. 1): Allah, Manusia dan

Pengetahuan, Surabaya: Momentum.

- …………………,

Membangun Wawasan Dunia Kristen (Vol. 2): Alam Semesta,

Masyarakat dan Etika, Surabaya: Penerbit Momentum,

- Hoekema, Anthony. H., 2008.

Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah (terj., oleh Irwan Tjulianto),

Surabaya: Momentum.

- ……………………, 1979.

The Bible and the Future, Grand Rapids: Edermans.

- Hadiwijono, Harun., 1995.

Iman Kristen, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

Page 158: Environment Ethic

158 Perayaan Kehidupan

- Jacobs, Tom., 1983.

Paulus; Hidup, Karya dan Teologinya, Yogyakarta: Kanisius.

- Ife, Jim., & Tesoriero, Frank., 2008.

Community Development (eds. ke3),Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

- Ismail, Andar., 2000.

Selamat Berbakti, Jakarta : BPK. Gunung Mulia Keraf, A. Sony.,

2002.

- Karkkainen, Veli-Matti., 2013.

Tritunggal dan Pluralisme Agama, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- Keraf, Sonny., 2002.

Etika Lingkungan, Jakarta: Buku Kompas.

- ......................, 2014.

Filsafat Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius.

- Kirchberger, Georg. & Prior, John Mansford., 2001.

Hidup Menggereja Secara Baru Di Asia II, Ende: Nusa Indah.

- Koren, Herman. & Bisesi, Michael., 2003.

Handbook of Environmental Health (vol. 1); Biological, Chemical, and

physical Agents of Environmentally Related Disease, New York:

Lewis Publisher

- Lohse, Bernhard., 1994.

Pengantar Sejarah Dogma Kristen, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- Mangunjaya, Fachruddin., 2005.

Konservasi Alam Dalam Islam, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.

- Martasudjita, E., 1998.

Page 159: Environment Ethic

159 Perayaan Kehidupan

Makna Liturgi Bagi Kehidupan Sehari-hari; Memahami Liturgi Secara

Kontekstual, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

- ..…………….., 1999.

Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Yogyakarta:

Penerbit Kanisius.

- ......................., 2011.

Liturgi; Pengantar Untuk Studi dan Praksis Liturgi. Yogyakarta:

Penerbit Kanisius.

- MacDaniel, Jay B.1995.

With Roots and Wings,Christianity in an Age of Ecology an Dialogue,

New York: Orbis Books, Maryknoll.

- John Macquarrie, 1967.

A Dictionary Of Christian Ethics, Norwich: SCM Press. LTD.

- McFarland, Ian A. (ed.)., 2011.

The Cambridge Dictionary Of Christian Theology, New York:

Cambridge University Press.

- Ten Napel, Henk., 2001.

Jalan Yang Lebih Utama Lagi, Etika Perjanjian Baru, Jakarta: BPK.

Gunung Mulia.

- Naes, Arne., 1993.

Ecology, Community and Lifestyle, Cambridge: Cambridge Univ.

Press.

- Nash, James A., 1991.

Loving Nature: Ecological Integrity and Christian Responsibility,

Nashville: Abingdon.

Page 160: Environment Ethic

160 Perayaan Kehidupan

- Netti, Albinus L., 2014.

Ibadah dan Tata Ibadah Dalam Permenungan, Salatiga: Satya Wacana

University Press.

- Notoatmodjo, S., 2002.

Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

- Nouwen, Henri L., 1986.

Pelayanan Yang Kreatif (terj.), Yogyakarta: Kanisius.

- Olst, E. H. van., 1999.

Alkitab dan Liturgi, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- Peschke, Karl-Heinz., 2003.

Etika Kristen (Jilid II): Kewajiban Moral Dalam Hidup Keagamaan,

Maumere: Ledalero.

- …………………………, 2003.

Etika Kristen (Jilid III): Kewajiban Moral Dalam Hidup Sosial,

Maumere: Ledalero.

- Poedjawijatna, I. R., 1977.

Etika, Filsafat, Tingkah Laku (cet. Ke-3). Jakarta: Obor.

- Polkinghorne, John., 2010,

The Trinity and an Entangled World, Michigan: Wm B. Edermans

Publishing Co.

- ………..…, 2004.

Science and the Trinity: the Christian Encounter with Reality, New

Haven and LondonYale: University Press.

- Ps, Djarwanto., 2000.

Page 161: Environment Ethic

161 Perayaan Kehidupan

Pokok-Pokok Metode Riset dan Bimbingan Teknis Penulisan Skripsi,

Yokyakarta: Libenty.

- Rachman, Racid., 2011.

Hari Raya Liturgi. Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- ..........................., 2012.

Pembimbing Ke dalam Sejarah Liturgi, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- Rasmussen, Larry L., 2010

Komunitas Bumi: Etika Bumi Baru. Jakarta: BPK. Gunug Mulia.

- Ray, David R., 2011.

Gereja yang Hidup, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- Reidderbos, Hermann., 2013.

Paulus; Pemikiran Utama Theologinya, Surabaya: Momentum.

- Riemer, G., 1995.

Cermin Injil, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF.

- Sethi, Inderjeet Kaur. & Singh, Gurcharan., 1992.

Modern Dictionary of Environment, New Delhi: Akashdeep

Publhising.

- Sessions, George., 1995.

Deep Ecology Of Thetwenty-First Century, Boston & London:

SHAMBALA.

- Setiono, Kusdwiratri. dkk., 2001.

Manusia, Kesehatan dan Lingkungan, Bandung: PT. Alumni.

- Soemarwoto, 1998.

Penangan dan Pemanfaatan Sampah, Jakarta: Yayasan Idayu.

- Sudradjat, H. R., 2006.

Page 162: Environment Ethic

162 Perayaan Kehidupan

Mengelola Sampah Kota. Jakarta: Penebar Swadaya.

- Sumantri, H. Arif., 2013.

Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

- Sunarko, A. & Kristiyanto, A. Eddy (ed.)., 2008.

Menyapa Bumi Menyembah Yang Ilahi; Tinjauan Teologis Atas

Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius.

- Tchobanoglous George. & Kreith, Frank., 2002.

Handbook of Solid Waste Management (second edition), Manufactured

in the United States of America: The McGraw-Hill Companies.

- Thompson, J. Milburn., 2009.

Keadilan dan Perdamaian, Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

- Tillich, Paul., 1968.

Systematic Theology (ed. Combine: 1-3). London & Beccles: James

Nisbet & CO LTD.

- Timo, Ebenhaizer L. Nuban., 2012.

Allah Menahan Diri Pantang Berdiam Diri, Salatiga: KDT.

- Toffler, Alfin., 1971.

Future Shock, New York: Bantam Book and Random House, Inc.

- Tucker, Mary Evelyn. & Grim, John A., 2003.

Agama, Filsafat & Lingkungan, Yogyakarta: Kanisius.

- Wellem, F.D., 1994.

Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

- White, James F., 2011.

Pengantar Ibadah Kristen. Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

Page 163: Environment Ethic

163 Perayaan Kehidupan

Artikel

- Adibroto, Syafrudin., 2004. Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat, Prosiding

Diskusi Interaktif Pengelolaan Sampah Terpadu, Semarang: Program Magister Ilmu

Lingkungan Universitas Diponegoro, Pdf.

- Al Muhdhar, Mimien Henie Irawati., (Artikel Hasil Penilitian) Seminar Nasional IX

Pendidikan Biologi FKIP: Penerapan Dvd 6m Pendidikan Kepada Masyarakat

Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Menggunakan Media Televisi. Pdf.

- Data statistik Kecamatan Kota Lama tahun 2013, BPS (Badan Pusat Statistik) Kota

Kupang

- Dokumen Laporan Bulanan, Keadaan Bulan Oktober 2014, Pemerintah Kelurahan

Oeba, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang.

- Damanhuri, Enri., & Padmi, Tri., 2010. Diktat Pengelolaan Sampah (Edisi Semester

I-2010/2011), Bandung: Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan

Lingkungan INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG. Pdf.

- Hoornweg, D. dkk., Composting and Its Applicability in Developing Countries ‖,

Urban Waste Management Working Paper Series 8. Washington, DC: World Bank.

http://www.skat.ch/sfweb/activities/ws/cwg/pdf/cwg-01. Pdf.

- Hutagalung, M., 2007. Teknologi Pehlngolahan Sampah. Jakarta: Majari Magazine

Chemical Engineering Students Indonesia. Pdf.

- Junias, Marylin., & Eliaser Balelay., (Atikel Hasil Penelitian) Hubungan Antara

Pembuangan Sampah Dengan Kejadian Diare Pada Penduduk Di Kelurahan Oesapa

Kecamatan Kelapa Lima-Kota Kupang.Pdf.

- Johny E. Riwu Tadu, (bahan ajar) Liturgika I. Doc.

Page 164: Environment Ethic

164 Perayaan Kehidupan

- Marylin Junias & Eliaser Balelay, 2008. Hubungan Antara Pembuangan Sampah

Dengan Kejadian Diare Pada Penduduk Di Kelurahan Oesapa Kecamatan Kelapa

Lima-Kota Kupang, Pdf.

- Pranowo, Galih., Makalah Tentang Limbah Padat, Yogyakarta: Fakultas Sains

Terapan Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta. Pdf.

- Tadu, Johny E. Riwu., Liturgika I (bahan ajar). Modul.

- Tohom T. M. Pardede, Liturgi Bernuansa Kepedulian Lingkungan, Pdf. Duta

Wacana.

- Soerjani, Moh. dkk., 2008. Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan

Dalam Pembangunan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Pdf.

- Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan

Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Bab. XII. Larangan. Pasal 40. Pdf.

- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2012 Tentang

Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga,

dan UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Pdf.

- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2012 Tentang Pengelolaan

Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Pdf.

- Suhartini, 2008. Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga dan Remaja Putri Di Berbah

Sleman Dalam Pengolahan Sampah Dapur Dengan Teknologi Yang Sederhana dan

Ramah Lingkungan Sehingga Dapat Bernilai Ekonomi Dan Berdaya Guna,

Yogyakarta, Pdf.

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Pdf.

Page 165: Environment Ethic

165 Perayaan Kehidupan

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, Pdf.

- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan

Sampah. Pdf.

- White, Lynn Jr., 1967. The Historical Roots of Our Ecological Crisis, Pdf.

- World Health Organization (1976), Management of Solid Wastes in Developed

Countries, WHO Regional Publications Southeast Asia Series No.1. Pdf.

Internet

- http://abanggoyes.blogspot.com/2013/09/limbah-rumah-tangga.html

- http://environment.uii.ac.id/content/view, diakses, 28 November 2014.

- http://www.majarikanayakan.com/2007/12/teknologi-pengolahan-sampah.html.

Diakses, 29 Desember 2014.

- http://www. moral-politik.com. Selasa (29/04/2014).

- Liturgi dan Ekologi - KAIROS.htm. 2 Juni 2014.

- Scribd.com., Bab.III. Metode penelitian template.

- Liturgi dan Ekologi - KAIROS.htm. 2 Juni 2014.

Software

- Software KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)