Top Banner

of 23

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

ENGLISH SUMMARY TINJAUANPUSTAKACDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

388CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

389

Hypertonic Saline Bronchial Provocation Test (BPT)Bambang Supriyatno, Nastiti N. RahajoeDept. of Child Health, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta, Indonesia

Asthma is diagnosed based on history and supporting examinations. Bronchial provocation test (BPT) using histamine or metacholine is the diagnostic standard for asthma; but since histamine and metacholine are not easily available, another agent is used as an alternative, such as hypertonic saline (NaCl 4.5%). The aim of this study is to measure the sensitivity and specificity of this agent compared with histamine. BPT using histamine and hypertonic saline (HS) were applied to asthma patients diagnosed according to National Consensus of Child Asthma. Thirty patients underwent HS BPT and 22 patients underwent histamine BPT. The age mode was 9 years old, male : female ratio was 3 : 1; 70% were classified as infrequent episodic asthma, 30% were frequent episodic asthma. no persistent asthma was found. Atopy history in family were found in 70% patients, and 66.7% patients have atopy. Among 30 patients who underwent HS BPT, 53.3% gave positive results, and among 22 histamine BPT patients, 68.2%

were positive. Among infrequent episodic asthma patients, 42.9% showed positive results to HS, and 60% to histamine, compared with 77.8% and 85.7% in the group of frequent episodic asthma. The sensitivity and specificity of HS as provocation agent were 86.7% and 85.7% respectively; the positive predictive value was 92.9% and the negative predictive value was 75%. HS can be used as an alternative to histamine in BPT for diagnosing asthma with 86.7% sensitivity and and 85.7% specificity.Cermin Dunia Kedokt. 2008; 35(7): 396-400

VO2

.max Difference between Students who Regularly Play Soccer Compared with Students who Don't Play Soccer in Darul Hijrah Pesantren, South KalimantanHuldaniDept. of Physiology, Faculty of Medicine, Lambung Mangkurat University, Banjarbaru, South Kalimantan, Indonesia

VO2

max is a physiological parameter in standard measurement of cardiorespirative endurance as the most important component in physical fitness. VO2

max is body , s ability to take, distribute and use oxygen maximally. Soccer can increase cardiorespirative endurance, because soccer consists of 4 important components of physical fitness: heart endurance and blood circulation, strength, muscle endurance and elasticity. A method to measure VO2

max is multistage fitness test. To find out VO2

max difference between student who practice soccer and those who don , t, an analytical study was conducted with cross sectional approach. Sampling technique was purposive, analysed with t test. Every group contained 40 students. The result of research t test = 6,423 and t table = 2,020 with significance level of 0,05, There is significant VO2

max difference between students who practice soccer and students who do not.Cermin Dunia Kedokt. 2008; 35(7): 394-395

PENDAHULUAN Terapi inhalasi adalah cara pemberian obat dalam bentuk partikel aerosol melalui saluran napas. Sasaran terapi inhalasi yang utama adalah saluran napas atas dan saluran napas bawah. Saluran napas atas dimulai dari rongga hidung, dengan sinus di sekitarnya, laring dan farings, proksimal trakea. Saluran napas bawah dimulai dari bronkus, bronkioli sampai ke alveoli. Target sasaran ini termasuk mukosa dan ujung reseptor neuron di dalamnya. Terdapat berbagai macam bentuk obat atau cara pemberian

terapi inhalasi, seperti bentuk aerosol, yang biasanya dikemas dalam bentuk Inhalasi Dosis Terukur dan biasa disebut Metered Dose Inhaler [ MDI ], DPI atau Dry Powder Inhalation, yaitu obat berbentuk bubuk kering yang dikemas dalam satu bentuk obat jadi atau kapsul yang digunakan dengan alat bantu. Bentuk lainnya adalah cairan yang dapat berupa solutio atau suspensi, bentuk ini juga harus digunakan dengan alat bantu nebuliser. Karena langsung pada target sasaran, dosis yang digunakan dalam terapi inhalasi sangat kecil, penyerapan sistemik juga sedikit sehingga efek samping obat jarang terjadi. Terapi inhalasi pertamakali memang ditujukan untuk target sasaran di saluran napas, tetapi dalam beberapa penelitian obat inhalasi mulai digunakan untuk penggunaan sistemik yang memerlukan dosis kecil dan waktu yang cepat seperti dalam penggunaan insulin. MEKANISME KERJA Obat dalam bentuk partikel aerosol yang dapat dibentuk dari cairan ( pada nebulizer ) atau partikel aerosol yang dimampatkan dengan gas sebagai zat pembawa ( MDI = Meterred Doze Inhaler ) atau aerosol yang berasal dari bubuk kering ( Dry Powder Inhalation = DPI ), akan mencapai sasaran di saluran napas bersama proses respirasi sesuai dengan ukuran partikel yang terbentuk dengan mekanisme hukum Brown yaitu impaksi, sedimentasi dan difusi. Impaksi adalah membentur dan menempelnya partikel obat pada mukosa bronkus yang terjadi karena pergerakan udara melalui inspirasi dan ekspirasi, sedangkan sedimentasi adalah sampainya partikel sampai pada mukosa bronkus karena mengikuti efek dari gravitasi. Ukuran partikel berkisar antara 100 mikron sampai 0,01 mikron. Penyebaran partikel obat akan tergantung kepada besaran mikronnya; partikel dengan ukuran 5-10 mikron akan menempel pada orofaring, 2-5 mikron pada trakeobronkial sedangkan partikel 5Mouth / oesophageal region Upper / Central airways Clinical effect Subsequent absorption from lung Peripheral airways / alveoli Some local clinical effect High systemic absorption No clinical effect Absorption from GI tract if swallowed

2-5 50 % - kekuatan inspirasi ( bila menggunakan ventilator harus disesuaikan ) - lama pemberian 5-10 menit Macam Alat Bantu Nebuliser Masker Digunakan pada pasien dengan kesadaran menurun. Tidak memerlukan koordinasi inspirasi atau ekspirasi dari pasien. Hati hati pada penggunaan kortikosteroid atau antikolinergik. Mouthpiece Obat yang terhirup akan lebih efektif. Diperlukan koordinasi inspirasi dan ekspirasi yang baik. Berikan sambungan konektor di sisi ekspirasi untuk mengurangi obat yang terbuang melalui ekspirasi. Mouthpiece terbaru menggunakan klep untuk mengurangi obat yang terbawa keluar saat ekspirasi. Konektor ventilator Beberapa konektor telah mempunyai saluran langsung; bila tidak ada, dapat digunakan T konektor pada pipa inspirasi. Pada trakeostomi diperlukan konektor khusus; dapat juga dengan T konektor biasa. PEMAKAIAN TERAPI INHALASI DALAM KLINIK Dalam penanganan masalah respirasi, terapi inhalasi dapat berfungsi sebagai : - diagnostik - terapi. Sebagai alat diagnostik inhalasi digunakan pada : - uji bronkodilator dengan beta2 agonis - uji provokasi bronkus dengan metakolin - induksi sputum dengan NaCl 3 %. Jika digunakan untuk pengobatan perlu diperhatikan be berapa hal agar tercapai sasaran, terhindar dari efek samping dan nyaman bagi pasien, misalnya :

- tujuan pengobatan - problem atau simptom respirasi yang menonjol - kesadaran pasien - diagnosis kerja saat itu - lama penggunaan, jangka pendek atau jangka panjang - bentuk obat dan alat bantu yang digunakan - jenis obat - tempat kerja, ruang gawat darurat, ICU dengan mesin bantu napas, ruang rawat atau di rumah.nebulised aerosol size is unstable in entrained ambient air and rapidly loses water vapour, decreasing sizeentrained ambient air e.g. 15-7=8 L/min compressed air e.g. 7 L/min patient inhalation e.g. 15 L/min

Dalam keadaan tidak sesak napas berat MDI disemprotkan bersamaan dengan inspirasi dalam, sangat diperlukan koordinasi yang baik antara gerakan menyemprotkan obat dan inspirasi yang dalam. Dry Powder Inhalation DPI dapat lebih mudah digunakan, karena tidak memerlukan koordinasi yang cepat antara semprot dan sedot. Tetapi pengguna obat jenis ini memerlukan kekuatan otot pipi, sehingga sulit pada pasien geriatri karena kekuatan otot pipinya sudah berkurang. Nebuliser Nebuliser terdiri dari beberapa bagian yang terpisah, antara lain generator aerosol, nebuliser, tempat obat cair dan alat hisapnya yang dapat berupa masker, mouthpiece atau kanul ( kanul hidung, kanul trakeostomi ) Generator aerosol adalah sumber tenaga yang diberikan kepada nebuliser sehingga dapat mengubah cairan menjadi aerosol atau partikel halus (Gb.2). Beberapa macam dasar cara kerja adalah kompresor, ultrasound atau oksigen. Mekanisme kerja nebuliser sampai saat ini selalu berkembang, secara teknologi disesuaikan dengan kebutuhan penggunaan obat, seperti misalnya untuk obat hipertensi pulmoner, atau insulin, dibuat secara khusus hanya untuk obat tersebut. Di samping itu harus diperhatikan pula mengenai kontinuitas kerja alat nebuliser, karena ada yang menggunakan tombol pengatur keluarnya aerosol, atau tanpa tombol pengatur sehingga

aerosol keluar terus menerus. Pada tipe kontinu banyak dosis obat dapat terbuang, sedangkan yang menggunakan tombol pengatur produksi aerosol dapat disesuaikan dengan pola napas pemakai. Ada pula tipe nebuliser dengan klep di mouthpiecenya yang akan secara otomatis tertutup bila pemakai tidak menarik napas, penggunaan obat juga menjadi efektif.Gb.2.

Dikutip dari Dennis, JC, Workshop Aerosol Medicine, ERS 2005

TINJAUANPUSTAKACDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

393Pemberian dapat membantu melepaskan sputum yang mukoid. Penambahan antikolinergik dapat meningkatkan efek bronkodilatasi. Kortikosteroid atau antibiotik inhalasi tidak berfungsi dalam kondisi seperti ini. Pemilihan alat bantu inhalasi sangat penting, bila kesadaran masih baik pemilihan bentuk mouthpiece akan memberikan efek yang lebih maksimal, bila kesadaran menurun dapat digunakan masker oro-nasal. Ruang ICU Di sini biasanya pasien dalam mesin bantu napas. Pasien dengan sputum produktif dan mukoid dapat diberi inhalasi mukolitik, sebaiknya ditambahkan bronkodilator untuk mencegah bronkospasme. Dosis bronkodilator lebih kecil dari dosis untuk bronkodilatasi. Penggunaan steroid inhalasi diberikan untuk menunjang steroid sistemik pada kasus inflamasi saluran napas cukup nyata dan memerlukan terapi steroid jangka panjang, misalnya pada serangan asma berat atau PPOK eksaserbasi akut yang mempunyai respons positif dengan kortikosteroid. Antibiotik inhalasi hanya bermanfaat bila infeksi mukosa bronkus dapat terbukti, ( biasanya pada penggunaan mesin bantu napas yang sudah beberapa waktu). Penggunaan antibiotik untuk pencegahan/prevensi infeksi tidak direkomendasi karena dapat menyebabkan resistensi kuman. Inhalasi pulmonary vasodilator jangka pendek, misalnya prostacycline atau nitric oxide dapat menurunkan hipertensi pulmoner dan meningkatkan oksigenasi pada ARDS. Pemilihan alat nebuliser disesuaikan dengan tipe mesin bantu napas yang digunakan, tidak setiap tipe mesin bantu napas dapat digunakan untuk terapi inhalasi, bila dimodifikasi harus tetap diperhatikan mekanisme inhalasi yang terjadi, apakah dapat berefek maksimal. Ruang rawat Di ruang rawat penggunaan terapi inhalasi berdasarkan berbagai tujuan baik sebagai alat bantu diagnostik ataupun terapi. Diagnostik inhalasi dengan NaCl pekat dilakukan untuk induksi sputum sebagai salah satu cara pengumpulaan sputum untuk bahan pemeriksaan. Uji bronkodilator dilakukan untuk melihat kecukupan dosis bronkodilator. Pada umumnya terapi inhalasi di ruang rawat banyak dimanfaatkan untuk obstruksi saluran

napas, bronkokonstriksi cepat teratasi dengan pemberian inhalasi yang adekuat, dosis maupun kekerapan pemberian. PEMILIHAN OBAT Obat yang digunakan dalan terapi inhalasi nebuliser berbentuk solutio, suspensi atau obat khusus yang memang dibuat untuk terapi inhalasi, seperti bronkodilator atau kortikosteroid. Kombinasi obat dalam terapi inhalasi sebaiknya dilakukan secara rasional. Obat berbentuk solutio tidak dapat dicampur dengan suspensi karena berat molekul yang berbeda tidak akan terdispersi menjadi partikel dengan maksimal. Sebagai pengencer sebaiknya digunakan NaCl karena bersifat fisiologis. EFEK SAMPING - Palpitasi, karena kelebihan dosis [ bronkodilator beta2agonis ] Retensi CO2

, bila menggunakan oksigen sebagai sumber tenaga nebuliser pada terapi inhalasi pasien PPOK dalam waktu yang lama - Depresi SSP bila menggunakan morfin - Bronkospasme pada beberapa obat Glaukoma, pada penggunaan antikolinergik dengan masker - Mikosis kulit wajah bila menggunakan steroid inhalasi dengan masker - Kontaminasi mikroorganisme bila desinfeksi kurang - Kerusakan partikel obat bila menggunakan jenis nebuliser yang tidak sesuai - Batuk bertambah karena iritasi laring bila terdapat laringitis atau faringitis

DAFTAR PUSTAKA 1. ERS Workshop Medical Aerosol. Budapest 2005 2. ERS guideline on the use of nebulizer. Eur Respir J 2001;18:228-242 3. Device Selection and Outcome of Aerosol Therapy: Evidence Based Guidelines: American College of Chest Physicians/American College of Asthma, Allergy and Immunology. Chest 2005; 127;335-371

TINJAUANPUSTAKACDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

392Penggunaan terapi inhalasi dalam masalah respirasi biasanya ditujukan untuk : bronkodilatasi mukolitik - antiinflamasi mukosa bronkus - antibiotik mukosa bronkus dan alveolus - anastesi lokal bronkus untuk tindakan bronkoskopi. Kesadaran pasien Kesadaraan pasien sangat penting untuk mendapatkan hasil terapi yang maksimal; misal menggunakan masker; sedangkan pada penderita yang kompos mentis dan kooperatif penggunaan mouthpiece akan lebih efektif. Pada penggunaan nebuliser yang diskontinu, pengaturan pemasukan obat dapat disesuaikan dengan waktu inspirasi pasien. Diagnosis kerja Diagnosis problem respirasi yang dapat menggunakan terapi inhalasi. - Asma PPOK Bronkiektasis - Fibrosis kistik - Gagal jantung dengan hipereaktif bronkus Stroke dengan retensi sputum - Pneumoni aspirasi Infeksi Pneumocystis carinii - Hipertensi pulmoner

Saat penggunaan Dalam keadaan akut : - Asma serangan akut PPOK eksaserbasi - Gagal jantung dengan hiperaktifitas bronkus Pada penatalaksanaan jangka panjang : - Asma persisten sedang sampai berat PPOK stabil Bronkiektasis - Fibrosis kistik - Pencegahan infeksi Pneumocystis carinii Bentuk obat dan alat bantu Pemilihan bentuk obat dan alat bantu (MDI, DPI atau nebuliser) harus disesuaikan dengan kemampuan koordinasi gerakan pasien. Penggunaan di ruang gawat darurat lebih mudah dengan nebuliser. Dalam penggunaan jangka panjang bentuk MDI atau DPI lebih mudah. Nebuliser jet dapat digunakan untuk suspensi maupun solutio. Nebuliser ultrasound hanya dapat digunakan untuk solutio. Masker untuk wajah (facemask) sebaiknya tidak digunakan untuk kortikosteroid atau antikolinergik untuk mencegah efek samping akibat partikel obat yang tertinggal di kulit sekitar muka/wajah atau daerah mata. Jenis obat Obat akan selalu disesuaikan dengan diagnosis atau kelainan saat itu. Kortikosteroid digunakan sebagai anti inflamasi bukan bronkodilator jadi tidak digunakan pada keadaan akut. Sebaliknya beta2agonis merupakan bronkodilator yang digunakan pada keadaan akut; jika bronkodilatasi sudah tercapai, fungsinya dapat saja berkurang sehingga dapat timbul efek samping seperti tremor atau berdebar. Tidak setiap obat berbentuk solutio dapat digunakan untuk terapi inhalasi. Farmasi membuat khusus solutio untuk terapi inhalasi, antara lain beta2agonis, kortikosteroid tertentu, NaCl, antibiotik tertentu. Penggunaan obat secara kombinasi tidak dianjurkan kecuali diketahui tidak timbul reaksi antar obat tersebut.

Obat obatan yang telah tersedia dalam kemasan terapi inhalasi antara lain : - beta2agonis misal salbutamol, terbutalin, fenoterol, formoterol, salmeterol - antikolinergik misal ipratroprium bromide, tiotropium - kortikosteroid misal budesonide, fluticasone - antibiotik misal tobramycin - prostacyclin Tempat perawatan Bila ditinjau dari tempat terapi inhalasi digunakan, dapat dibedakan : - terapi inhalasi di ruang gawat darurat - terapi inhalasi di ICU - terapi inhalasi di ruang rawat - terapi inhalasi di rumah atau perorangan. Ruangan terapi inhalasi dilaksanakan dapat menggambarkan tujuan terapi dan kondisi penderita, obat dan alat yang digunakan. Ruang Gawat Darurat Di ruang gawat darurat masalah respirasi yang sering ditemui adalah obstruksi bronkus sedang sampai berat. Obstruksi berat kadang kadang disertai dengan kesadaran menurun atau hipoksemi berat. Pada kondisi seperti ini keadaan mengancam jiwa adalah masalah utama, tindakan yang pertama dilaksanakan adalah membebaskan jalan napas dan oksigenasi. Nebuliser dengan bronkodilator, pemberian oksigen dan perbaikan posisi saluran napas penderita harus segera dilakukan.

TINJAUANPUSTAKACDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

393Pemberian dapat membantu melepaskan sputum yang mukoid. Penambahan antikolinergik dapat meningkatkan efek bronkodilatasi. Kortikosteroid atau antibiotik inhalasi tidak berfungsi dalam kondisi seperti ini. Pemilihan alat bantu inhalasi sangat penting, bila kesadaran masih baik pemilihan bentuk mouthpiece akan memberikan efek yang lebih maksimal, bila kesadaran menurun dapat digunakan masker oro-nasal. Ruang ICU Di sini biasanya pasien dalam mesin bantu napas. Pasien dengan sputum produktif dan mukoid dapat diberi inhalasi mukolitik, sebaiknya ditambahkan bronkodilator untuk mencegah bronkospasme. Dosis bronkodilator lebih kecil dari dosis untuk bronkodilatasi. Penggunaan steroid inhalasi diberikan untuk menunjang steroid sistemik pada kasus inflamasi saluran napas cukup nyata dan memerlukan terapi steroid jangka panjang, misalnya pada serangan asma berat atau PPOK eksaserbasi akut yang mempunyai respons positif dengan kortikosteroid. Antibiotik inhalasi hanya bermanfaat bila infeksi mukosa bronkus dapat terbukti, ( biasanya pada penggunaan mesin bantu napas yang sudah beberapa waktu). Penggunaan antibiotik untuk pencegahan/prevensi infeksi tidak direkomendasi karena dapat menyebabkan resistensi kuman. Inhalasi pulmonary vasodilator jangka pendek, misalnya prostacycline atau nitric oxide dapat menurunkan hipertensi pulmoner dan meningkatkan oksigenasi pada ARDS. Pemilihan alat nebuliser disesuaikan dengan tipe mesin bantu napas yang digunakan, tidak setiap tipe mesin bantu napas dapat digunakan untuk terapi inhalasi, bila dimodifikasi harus tetap diperhatikan mekanisme inhalasi yang terjadi, apakah dapat berefek maksimal. Ruang rawat Di ruang rawat penggunaan terapi inhalasi berdasarkan berbagai tujuan baik sebagai alat bantu diagnostik ataupun terapi. Diagnostik inhalasi dengan NaCl pekat dilakukan untuk induksi sputum sebagai salah satu cara pengumpulaan sputum untuk bahan pemeriksaan. Uji bronkodilator dilakukan untuk melihat kecukupan dosis bronkodilator. Pada umumnya terapi inhalasi di ruang rawat banyak dimanfaatkan untuk obstruksi saluran

napas, bronkokonstriksi cepat teratasi dengan pemberian inhalasi yang adekuat, dosis maupun kekerapan pemberian. PEMILIHAN OBAT Obat yang digunakan dalan terapi inhalasi nebuliser berbentuk solutio, suspensi atau obat khusus yang memang dibuat untuk terapi inhalasi, seperti bronkodilator atau kortikosteroid. Kombinasi obat dalam terapi inhalasi sebaiknya dilakukan secara rasional. Obat berbentuk solutio tidak dapat dicampur dengan suspensi karena berat molekul yang berbeda tidak akan terdispersi menjadi partikel dengan maksimal. Sebagai pengencer sebaiknya digunakan NaCl karena bersifat fisiologis. EFEK SAMPING - Palpitasi, karena kelebihan dosis [ bronkodilator beta2agonis ] Retensi CO2

, bila menggunakan oksigen sebagai sumber tenaga nebuliser pada terapi inhalasi pasien PPOK dalam waktu yang lama - Depresi SSP bila menggunakan morfin - Bronkospasme pada beberapa obat Glaukoma, pada penggunaan antikolinergik dengan masker - Mikosis kulit wajah bila menggunakan steroid inhalasi dengan masker - Kontaminasi mikroorganisme bila desinfeksi kurang - Kerusakan partikel obat bila menggunakan jenis nebuliser yang tidak sesuai - Batuk bertambah karena iritasi laring bila terdapat laringitis atau faringitis

DAFTAR PUSTAKA 1. ERS Workshop Medical Aerosol. Budapest 2005 2. ERS guideline on the use of nebulizer. Eur Respir J 2001;18:228-242 3. Device Selection and Outcome of Aerosol Therapy: Evidence Based Guidelines: American College of Chest Physicians/American College of Asthma, Allergy and Immunology. Chest 2005; 127;335-371

TINJAUANPUSTAKACDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

392Penggunaan terapi inhalasi dalam masalah respirasi biasanya ditujukan untuk : bronkodilatasi mukolitik - antiinflamasi mukosa bronkus - antibiotik mukosa bronkus dan alveolus - anastesi lokal bronkus untuk tindakan bronkoskopi. Kesadaran pasien Kesadaraan pasien sangat penting untuk mendapatkan hasil terapi yang maksimal; misal menggunakan masker; sedangkan pada penderita yang kompos mentis dan kooperatif penggunaan mouthpiece akan lebih efektif. Pada penggunaan nebuliser yang diskontinu, pengaturan pemasukan obat dapat disesuaikan dengan waktu inspirasi pasien. Diagnosis kerja Diagnosis problem respirasi yang dapat menggunakan terapi inhalasi. - Asma PPOK Bronkiektasis - Fibrosis kistik - Gagal jantung dengan hipereaktif bronkus Stroke dengan retensi sputum - Pneumoni aspirasi Infeksi Pneumocystis carinii - Hipertensi pulmoner

Saat penggunaan Dalam keadaan akut : - Asma serangan akut PPOK eksaserbasi - Gagal jantung dengan hiperaktifitas bronkus Pada penatalaksanaan jangka panjang : - Asma persisten sedang sampai berat PPOK stabil Bronkiektasis - Fibrosis kistik - Pencegahan infeksi Pneumocystis carinii Bentuk obat dan alat bantu Pemilihan bentuk obat dan alat bantu (MDI, DPI atau nebuliser) harus disesuaikan dengan kemampuan koordinasi gerakan pasien. Penggunaan di ruang gawat darurat lebih mudah dengan nebuliser. Dalam penggunaan jangka panjang bentuk MDI atau DPI lebih mudah. Nebuliser jet dapat digunakan untuk suspensi maupun solutio. Nebuliser ultrasound hanya dapat digunakan untuk solutio. Masker untuk wajah (facemask) sebaiknya tidak digunakan untuk kortikosteroid atau antikolinergik untuk mencegah efek samping akibat partikel obat yang tertinggal di kulit sekitar muka/wajah atau daerah mata. Jenis obat Obat akan selalu disesuaikan dengan diagnosis atau kelainan saat itu. Kortikosteroid digunakan sebagai anti inflamasi bukan bronkodilator jadi tidak digunakan pada keadaan akut. Sebaliknya beta2agonis merupakan bronkodilator yang digunakan pada keadaan akut; jika bronkodilatasi sudah tercapai, fungsinya dapat saja berkurang sehingga dapat timbul efek samping seperti tremor atau berdebar. Tidak setiap obat berbentuk solutio dapat digunakan untuk terapi inhalasi. Farmasi membuat khusus solutio untuk terapi inhalasi, antara lain beta2agonis, kortikosteroid tertentu, NaCl, antibiotik tertentu. Penggunaan obat secara kombinasi tidak dianjurkan kecuali diketahui tidak timbul reaksi antar obat tersebut.

Obat obatan yang telah tersedia dalam kemasan terapi inhalasi antara lain : - beta2agonis misal salbutamol, terbutalin, fenoterol, formoterol, salmeterol - antikolinergik misal ipratroprium bromide, tiotropium - kortikosteroid misal budesonide, fluticasone - antibiotik misal tobramycin - prostacyclin Tempat perawatan Bila ditinjau dari tempat terapi inhalasi digunakan, dapat dibedakan : - terapi inhalasi di ruang gawat darurat - terapi inhalasi di ICU - terapi inhalasi di ruang rawat - terapi inhalasi di rumah atau perorangan. Ruangan terapi inhalasi dilaksanakan dapat menggambarkan tujuan terapi dan kondisi penderita, obat dan alat yang digunakan. Ruang Gawat Darurat Di ruang gawat darurat masalah respirasi yang sering ditemui adalah obstruksi bronkus sedang sampai berat. Obstruksi berat kadang kadang disertai dengan kesadaran menurun atau hipoksemi berat. Pada kondisi seperti ini keadaan mengancam jiwa adalah masalah utama, tindakan yang pertama dilaksanakan adalah membebaskan jalan napas dan oksigenasi. Nebuliser dengan bronkodilator, pemberian oksigen dan perbaikan posisi saluran napas penderita harus segera dilakukan.