Enam Cerita Cerpen Agus Noor SENJA DI MATA YANG BUTA ILA ada yang menceritakan padamu senja terindah yang pernah dilihatnya, dengan langit yang selalu kemerahan, dia pasti belum datang ke tempat kami. Senja terindah hanya ada di sini. Senja yang kuning keemasan, seolah madu lembut dan bening yang ditumpahkan ke langit hingga segala yang mengapung di permukaan air menjadi tampak kuning berkilauan. Senja yang tak hanya bening, tapi begitu hening. Selembar daun yang jatuh tak akan mengusik keheningannya. Angin sejuk selalu membiarkan daun-daun kelapa setenang bayang-bayang. Waname mengatakan pada saya, bahkan Tuhan pun selalu memilih tempat ini saat ingin menenangkan diri. Sejak kanak- kanak kami suka duduk berdua menikmati senja. “Keindahan tak pernah abadi,” kata Waname. “Ketidakabadiannya itulah yang membuatnya begitu berharga. Tataplah senja itu, Tikami. Rekam baik-baik, dan simpan dalam matamu.” Waname suka sekali berenang. Suara kecipak airnya terdengar begitu jerning hingga ke kejauhan teluk. Suatu hari Waname bersampan, dan tak pernah B
29
Embed
Enam Cerita€¦ · Cerpen Agus Noor SENJA DI MATA YANG BUTA ILA ada yang menceritakan padamu senja terindah yang pernah dilihatnya, dengan langit yang selalu kemerahan, dia pasti
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Enam Cerita
Cerpen Agus Noor
SENJA DI MATA YANG BUTA
ILA ada yang menceritakan padamu senja terindah yang
pernah dilihatnya, dengan langit yang selalu kemerahan,
dia pasti belum datang ke tempat kami. Senja terindah
hanya ada di sini. Senja yang kuning keemasan, seolah
madu lembut dan bening yang ditumpahkan ke langit hingga
segala yang mengapung di permukaan air menjadi tampak kuning
berkilauan. Senja yang tak hanya bening, tapi begitu hening.
Selembar daun yang jatuh tak akan mengusik keheningannya.
Angin sejuk selalu membiarkan daun-daun kelapa setenang
bayang-bayang.
Waname mengatakan pada saya, bahkan Tuhan pun selalu
memilih tempat ini saat ingin menenangkan diri. Sejak kanak-
kanak kami suka duduk berdua menikmati senja. “Keindahan tak
pernah abadi,” kata Waname. “Ketidakabadiannya itulah yang
membuatnya begitu berharga. Tataplah senja itu, Tikami. Rekam
baik-baik, dan simpan dalam matamu.” Waname suka sekali
berenang. Suara kecipak airnya terdengar begitu jerning hingga ke
kejauhan teluk. Suatu hari Waname bersampan, dan tak pernah
B
kembali. Padahal seminggu lagi ia akan melamarku dengan 50
ekor babi.
Di gereja, penduduk Otikara mendoakan arwahnya sembari
berbisik-bisik tentang orang-orang yang menculik Waname.
Pastilah mereka pasukan terlatih, yang menganggap Waname
harus dilenyapkan karena selalu menghasut penduduk. Segalanya
memang berubah sejak pabrik tambang berdiri tak jauh dari teluk.
Keindahan memang tak
pernah abadi. Bila suatu
hari kau datang ke
tempat kami, kau tak
akan melihat senja yang
kuning berkilauan itu
lagi.
Tapi jangan kecewa.
Bila beruntung, kau
masih bisa melihat senja
kuning berkilauan itu di
mata seorang gadis buta
yang setiap senja berdiri
di tepi teluk. Namanya
Tikami. Ia terus
menyimpan senja itu dalam matanya. Ia satu-satunya yang melihat
ketika Waname dihabisi. Pasukan terlatih itu telah merusak
matanya.
Epicentrum, 2 Februari 2014
PENIUP SERULING GAIB
NGATLAH Peniup Seruling Gaib bila suatu malam kau
mendengar suara seruling mengalun penuh kepedihan. Bisa
jadi seorang yang paling kau cintai akan mati. Atau kau akan
menderita selamanya karena kehilangan telinga.
I
Tak pernah ada yang melihat langsung Peniup Seruling Gaib
itu. Orang-orang hanya menduga sosoknya yang serupa bayang-
bayang api berkobar, yang meninggalkan jerit tangis
berkepanjangan begitu suara seruling itu lenyap di kejauhan.
“Tutup telingamu rapat-rapat, pegang daun telingamu kuat-kuat,
bila kau tak ingin tersayat,” ibu-ibu langsung berkata pada anak-
anak mereka setiap si Peniup Seruling Gaib lewat. Siapa pun yang
tak tahan mendengar suara seruling itu akan mati mengenaskan.
Bila pun hidup akan kehilangan telinga.
Ada cerita yang dipercaya: ia dulu seorang peniup seruling
paling hebat di kota ini. Ia berhasil memikat semua perempuan
dengan tiupan serulingnya. Siapa pun yang mendengar alunan
serulingnya, akan jatuh cinta dan terus-menerus disesah
kerinduan yang tak tertanggungkan. Termasuk Putri Raja yang
jelita. Sudah pasti Raja murka mengetahui anaknya jatuh cinta
pada seorang peniup seruling yang tak jelas kerjaannya selain
sepanjang hari sepanjang malam berjalan keliling meniup
seruling. Ia perintahkan prajurit menangkapnya.
Algojo punya gagasan brilian: cara terbaik menyiksa peniup
seruling ialah dengan membuat tuli telinganya. “Dia memang akan
masih bisa meniup seruling, tapi tak bisa lagi mendengar suara
serulingnya sendiri. Pastilah peniup seruling akan menderita bila
tak bisa mendengar suara seruling yang ditiupnya.” Algojo pun
merusak telinga si Peniup Seruling. Mengiris dan memotong daun
telinganya.
Mungkin Peniup Seruling Gaib itu muncul agar kau bisa
memahami kemalangannya. Mungkin juga ia hanya ingin sekadar
meminjam telinga; dengan memotong telingamu, supaya ia bisa
mendengar lagi suara serulingnya.
Bila kau mendengar suara seruling tengah malam, peganglah
telingamu erat-erat.
Jakarta, 22 Januari 2014
KISAH DUA BOCAH
OCAH itu ingin sekali menuruni tangga yang seolah terus
menerus melambai padanya. Bocah itu ingin sekali naik
tangga yang bagai menyimpan langit luas di ujungnya.
Tapi tak bisa.
“Jangan pernah turun ke tangga itu,” kata ibunya. “Kau hanya
akan menjumpai kegelapan. Tempat hidup makhluk busuk yang
akan menghisap kebahagiaanmu. Kau dengar suara-suara yang
merayap di bawah itu?” Lalu bocah itu kembali mendengar jerit
seorang anak yang disiksa sepanjang hari. “Kau akan dicabik-cabik
seperti itu!”
“Jangan pernah berpikir untuk naik tangga itu,” kata ayahnya.
“Di atas sana kau hanya akan merasakan kehampaan. Jiwamu
akan dimangsa makhluk terkutuk yang tak pernah mengenal
kegembiraan. Kau dengar suara yang melayang di loteng itu?”
Bocah itu memang selalu mendengar suara ganjil yang
menakutkan berjalan di atas kepalanya. “Iblis-iblis di atas sana
akan mencacah-cacah kakimu.”
Ibu menatap bocah itu, yang menunduk ketakutan. Sebelum
pergi dan menutup pintu kamar, ia pastikan kembali rantai yang
mengikat tubuh anaknya telah terkunci kuat. Sebelum keluar
kamar, ayah mengelus kepala bocah itu, yang diam bersandar
memandangi kedua kakinya yang terpasung.
Terdengar langkah kaki menuruni tangga. Terdengar langkah
kaki menaiki tangga. Sebentar tangga itu terlihat terang, seperti
ada cahaya lampu dari pintu kamar yang perlahan terbuka.
Kemudian kembali gelap. Kedua bocah itu mendengar dengus
nafas busuk. Suara mengeram dalam kegelapan. Seperti ada iblis
bersenggama.
Yogyakarta, 30 Januari 2014
B
PERMAINAN ANAK-ANAK
PA permainan paling menyenangkan semasa kanak-
kanakmu? Ada permainan masa kecil yang kami sukai.
Bukan gobak sodor, congklak, bola bekel atau petak
umpet. Tapi memotong jari kelingking.
Ini permainan sederhana. Kami berkumpul, dan setiap anak
harus bicara jujur. Bila kami menganggapnya berbohong, maka
anak itu harus membuktikan bahwa ia tidak berbohong dengan
memotong jari kelingkingnya. Dan memang, setiap kali kami
memotong jari kami, jari itu tetap utuh. Hidup tanpa kebohongan
memang menyenangkan. Percayalah, kebohongan jauh lebih
menakutkan dari kematian.
Biarkan mereka menganggap kita hina, terbuang dan hidup
sebagai budak kegelapan, tapi jangan pernah sekali-kali
berbohong. Nasihat seperti itu membuat kami bahagia, meski
dikucilkan. Ada tembok mengelilingi tempat tinggal kami, yang tak
boleh kami melewatinya. Kami hanya berani muncul malam hari
ketika kegelapan membuat lembah ini menjadi semakin
menakutkan: pohon-pohon tua dan angker, dengan sulur seperti
usus berjuntaian, bayangan nisan dan pekuburan yang terlihat
pucat. Hanya iblis dan orang-orang bermasalah yang nekat ke sini.
Mereka mengendap-endap membuang mayat atau janin, lalu
segera bergegas.
Maka kami heran ketika melihat ada gadis kecil berjalan
sendirian. Ia mungkin anak kampung seberang sungai yang
tersesat. Atau mungkin ia mau mencuri buah mangga di pohon
dekat gerbang pemakaman. Buahnya memang dikenal sangat
manis. Ia tak kaget ketika kamu memergokinya. Ia bilang tak
hendak mencuri mangga. Kami tak percaya. “Berani potong jari
kalau saya bohong!” katanya.
Kami pun mengajaknya bermain. Kami duduk melingkar. Ia
mengulurkan tangannya, terus meyakinkan kami bahwa ia tak
berbohong. Begitu tenang ia memotong kelingkingnya. Kami
menjerit melihat jari itu berdarah, dan langsung lari ketakutan.
A
Aku, yang sejak tadi sembunyi di pohon besar,
memperhatikan anak itu. Aku mengenalnya. Ia anak tukang sulap
yang tinggal di desa sebelah. Pastilah ia telah diajari trik kecil itu.
Ia memungut jarinya yang putus.
Pelan-pelan dari belakang kujulurkan tanganku yang rusak
dan hitam, ke lehernya.
VIN+ Jakarta, 31 Januari 2014
INSOMNIA
ANTUK adalah kutukan. Tidur adalah ancaman. Ia tak
pernah lagi merasa tenang setiap matanya hendak
terpejam sejak istri dan dua anaknya mati mengenaskan
digorok dan dibacok rampok. Ia yang sedang di luar kota ditelepon
tetangga, dan dalam bus matanya terus terjaga selama enam belas
jam perjalanan pulang. Kepalanya penuh jeritan anaknya. Bahkan
setelah dua hari penguburan masih saja ia mendengar jeritan itu.
Ia terus melihat darah menggenangi lantai rumah. Sepanjang
malam ia terus berjaga, duduk di kursi menatap pintu rumah,
karena yakin para perampok itu akan datang lagi untuk
membunuhnya. Pisau belati selalu tak jauh dari jangkauannya.
Kawan dan rekan sekantor menasihatinya untuk istirahat.
Kamu sudah seperti mayat hidup, kata mereka. Tidurlah.
Tapi ia tak mau menyerah, meski tubuh telah begitu lelah.
Tetap tak mau takluk oleh kantuk. Bergelas-gelas kopi. Segala obat
yang bisa membuatnya tetap terjaga. Lampu selalu ia nyalakan.
Atau ia pergi keluyuran menyusuri jalanan agar tak bosan. Belati
terselip di pinggang. Di ujung gang seseorang terlihat berdiri
menghadang. Ia bersiap menyerang. Ternyata itu sebuah tiang.
Kota telah penuh bandit. Setiap saat para pembunuh itu akan
menyerangnya. Sebelum bandit-bandit itu lenyap, tidur adalah
neraka. Sebuah bayangan berkelebat. Ia segera mengejarnya. Tak
ada siapa-siapa.
K
Berminggu-minggu tak tidur telah membuatnya menjadi
makhluk kumal dengan mata merah cekung, hingga siapa pun tak
merasa nyaman di dekatnya. Tapi ia sudah mulai terbiasa
sendirian. Mengurung diri dalam kamar bersama kecemasannya.
Berbulan-bulan. Bertahun-tahun. Dan para kenalan mulai
melupakannya. Sampai tetangga yang mencium bau busuk segera
menelepon polisi.
Ia ditemukan mati meringkuk dalam kelopak matanya.
Hotel Haris, 4 Februari 2014
PENARI SENJA
BUKU seorang penari, ia bercerita. Aku ingat, saat aku
berusia 5 tahun, ibu mulai mengajariku menari, di pendopo
rumah. Aku selalu tak pernah merasa mampu menari sebagus
ibu. Tubuhnya mengalir lembut, begitu halus, seakan bergerak
mengikuti angin. Aku selalu merasakan jiwa ibulah yang menari.
Bahkan ketika tubuh ibu hanya berdiri dengan selendang di
tangan, ia seperti tengah menarikan yang tak bisa kulihat: semesta
seakan mengitarinya. Aku seperti mendengar gesekan bintang-
bintang nun jauh di kegelapan.
Tak ada penari sebaik ibu. Setidaknya di kampungku. Ibu
satu-satunya penari yang paling dikagumi. Ia diundang menari di
banyak acara. Bahkan ketika Presiden Sukarno datang ke kota
kabupaten, ibu menari di hadapannya. Sebulan setelah itu ibu
ditangkap. Ia sedang mengajariku menari, bersama puluhan anak
lain, ketika empat tentara datang, dan langsung menyeretnya. Ibu
orang yang berbahaya begitu kudengar kemudian setelah aku
dewasa. Aku sama sekali tak mengerti, kenapa seorang penari
seperti ibu yang begitu lembut bisa dianggap membahayakan
negara.
Aku tak pernah bertemu ibu lagi. Mungkin ia mati disiksa di
penjara. Tapi aku merasakan ibu dalam jiwa dan tubuhku. Ibu
I
seolah ada dalam diriku: menuntunku untuk menari. Sering
tengah malam aku tiba-tiba terbangun dan menari begitu saja.
Tubuhku menari meski pun aku tak memaksudkannya menari.
Kamu menari sebagus ibumu, kawan-kawan sering berkomentar.
Padahal aku sendiri selalu merasa kalau aku tak pernah bisa