-
EMISI GAS METANA DARI PERAIRAN WADUK DI PULAU JAWA.
Oleh:
Simon S.Brahmana*; Tontowi*; Sukmawati Rahayu* *Peneliti Teknik
Lingkungan Sumber Daya Air
Puslitbang Sumber Daya Air Jln.Ir.H. Juanda 193 Bandung.
Email: simsgk @yahoo.com
RINGKASAN
Pemanasan global banyak menimbulkan dampak yang kurang baik bagi
kehidupan manusia sehingga menarik perhatian para peneliti, bahkan
pemerintahan dalam dan luar negeri. Pemanasan global terutama
disebabkan karena bertambahnya kadar gas rumah kaca (GRK) di
atmosfir. Saat ini ada anggapan perairan waduk merupakan sumber gas
metana yang cukup besar dan merupakan penyebab pemanasan global
yang potensial. Namun, anggapan ini masih bersifat kontroversial.
Mengingat hal tersebut, telah dilakukan penelitian emisi gas metana
pada peairan waduk di Pulau Jawa untuk mendapatkan data dan
informasi yang benar. Penelitian emisi gas metana di perairan waduk
dilakukan dengan cara mengukur langsung di lapangan dengan alat
Fluxmeter. Hasilnya menunjukkan bahwa besarnya emisi gas metana
dari 14 waduk di Pulau Jawa berkisar antara 0,094 4,461 g/m2/hari
dengan rata-rata 1,705 g/m2/hari. Dengan luas waduk di Indonesia
sekitar 98.269 Ha maka besarnya emisi gas metana dari waduk di
seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 1,675 ton/ hari. Berdasarkan
hasil penelitian ini, perairan waduk bukan merupakan sumber emisi
gas metana yang potnsial bila dibandingkan dengan yang sumbernya
dari rawa, sawah, ternak dan sampah. Upaya untuk mengurangi emisi
gas metana dari waduk dapat dilakukan dengan beberapa cara antara
lain: melakukan pembersihan terhadap lahan bakal waduk sebelum
digenangi, membersihkan bagian pinggir waduk dari tanaman liar atau
tanaman lain pada saat muka air surut dan menjaga agar kualitas air
yang masuk ke waduk tidak banyak mengandung bahan-bahan pencemar
organik.
Kata Kunci: waduk, pemanasan global, potensi, emisi, gas
metana
1.PENDAHULUAN
Salah satu masalah lingkungan yang saat ini paling banyak
menarik perhatian baik nasional
maupun internasional adalah masalah pemanasan global. Pemanasan
global dilaporkan telah
banyak menimbulkan dampak yang kurang baik, seperti terjadinya
perubahan iklim yang sangat
ekstrim di bumi, terganggunya hutan dan ekosistem lainnya, serta
kenaikan permukaan air laut
yang mengakibatkan negara-negara kepulauan seperti Indonesia
akan mendapatkan pengaruh
yang sangat besar.
Pemanasan global yang terjadi pada planet bumi ini terutama
disebabkan karena
bertambahnya kadar gas rumah kaca (GRK) di atmosfir. Protokol
Kyoto mengatur enam jenis
gas rumah kaca, yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4),
nitrogen oksida (N2O), dan gas-gas
-
industri yang mengandung fluor hydrofluorocarbons (HFC),
perfluorocarbons (PFC) dan sulfur
hexafluoride (SF6).
Di negara agraris dan tropis seperti Indonesia, isu pemanasan
global yang dikaitkan dengan
emisi GRK, banyak terfokus pada gas metana. Hal ini disebabkan
karena gas metana dapat
terbentuk secara alamiah pada lahan basah seperti rawa, waduk
dan sawah pertanian yang
banyak terdapat di Indonesia. GRK lainnya seperti N2O, HFC, PFC
dan SF6 umumnya dihasilkan
oleh proses industri. Gas metana perlu mendapat perhatian yang
serius karena mempunyai
nilai Global Warming Potensial (GWP) 21, artinya setiap molekul
metana berpotensi
memanaskan bumi 21 kali lebih besar dari molekul gas CO2. Selain
menimbulkan efek
pemanasan yang lebih besar, gas metana juga tidak dapat terserap
oleh klorofil tumbuh-
tumbuhan sehingga lebih setabil di atmosfir dibanding gas CO2
yang dapat terserap oleh
tumbuhan melalui proses fotosintesa. Mengingat hal-hal tersebut
di atas maka dalam
penelitian ini GRK yang diteliti terbatas pada gas metana
saja.
Sumber gas metana dapat bersifat alamiah seperti yang teremisi
dari rawa dan daerah
geothermal. Selain itu dapat juga berasal dari aktifitas manusia
seperti usaha peternakan,
pertanian, penambangan dan pemakaian bahan bakar (US-EPA, 2010).
Secara global, usaha
peternakan merupakan sumber gas metana terbesar yang bersumber
dari kegiatan manusia
(US-EPA,2011b).
Akhir-akhir ini ada anggapan bahwa waduk dan bendungan di
negara-negara tropis merupakan
sumber metana yang cukup besar dan merupakan penyebab pemanasan
global yang potensial.
Anggapan ini masih bersifat kontroversial dan menimbulkan banyak
perdebatan. Sebagian
peneliti menyatakan bahwa waduk dan bendungan merupakan sumber
gas metana yang cukup
besar dan berpotensi menimbulkan pemanasan global. Akan tetapi
sebagian peneliti lainnya
kurang setuju dan menganggap pernyataan tersebut merupakan suatu
kesalahan dan hanya
berdasarkan asumsi- asumsi yang belum tentu kebenaranya. (MED
India net working for
Health, 2007, P.M. Fearnside 2007, dan International Rivers
Press Release, 2007). Pada
kenyataannya penelitian tentang emisi gas metana pada waduk
memang masih jarang
dilakukan, termasuk di Indonesia.
Untuk mengetahui besarnya emisi gas metana dari waduk di
Indonesia, dilakukan pengukuran
pada waduk di P.Jawa. Periode penelitian dilakukan pada bulan
April s/d Oktober 2012. Lokasi
penelitian emisi gas metana dari waduk di P.Jawa dimuat pada
Gambar 1.
.
-
Gambar 1. Lokasi pengukuran gas metana di waduk di Pulau
Jawa
2. METODOLOGI
Metode pengukuran emisi gas metana dari waduk yang dilakukan
dengan cara pengukuran langsung di waduk dengan menggunakan alat
Fluxmeter dari West System. Alat Fluxmeter ini terdiri dari sungkup
terapung yang terhubung dengan alat infrared
spectrometer, sehingga dapat mengukur kadar gas metana secara
langsung di lapangan. Alat ini
juga dilengkapi dengan GPS, (Global Positioning System),
termometer, alat pengukur tekanan,
serta program khusus untuk menghitung emisi gas metana yang
sedang diukur .
3. HASIL PENELITIAN
3.1 Besarnya emisi gas metana dari waduk di Pulau Jawa
Hasil pengukuran emisi gas metana dari 14 waduk-waduk di P.Jawa
diperoleh rata-rata emisi
gas metana sangat bervariasi yaitu antara 0,094 4,461 g/m2/hari
dengan rata-rata 1,705
g/m2/hari. Berdasarkan nilai emisi rata-rata tersebut dan luas
waduknya maka total emisi gas
metana dari 14 waduk-waduk di Pulau Jawa dapat diperhitungkan
dan hasilnya dapat dilihat
pada Tabel 1 dan Gambar 2.
-
Tabel 1 : Emisi gas metana dari perairan waduk di Pulau Jawa
No Nama waduk Jmlh Lokasi Yg diukur
Lokasi Ter Deteksi CH4
Min Emisi CH4*)
Mak Emisi CH4*)
Rata-rata emisi CH4*)
Luas waduk (Ha) **)
Total emisi (Ton/hari)
1 Saguling 12 11 0 8,174 1,183 4.869 57,60
2 Cirata 15 10 0 2,262 0,619 6.200 38,39
3 Jatiluhur 19 8 0 5,70 0,411 8.300 34,13
4 Cacaban 7 4 0 5,715 1,323 790 10,45
5 Sempor 6 5 0 8,717 2,098 250 5,24
6 Mrica 12 12 0,67 2,023 0,997 1.250 12,47
7 Wadaslintang 8 2 0 0,637 0,094 1.460 1,38
8 Kedungombo 6 4 0 2,902 0,940 6576 61,62
9 Gajahmungkur 18 15 0 9,163 1,145 8.800 100,72
10 Sengguruh 10 9 0 9,582 3,748 237 8,88
11 Lahor 14 10 0 12,107 2,502 260 6,51
12 Karangkates 13 7 0 1,237 0,381 1.500 5,71
13 Wlingi 9 8 0 13,386 4,461 380 16,75
14 Selorejo 10 6 0 18,691 3,964 400 15,86
*). Satuan g/m2/hari
**) Sumber: Puslitbang Pengairan, Bendungan Besar di Indonesia
1995.
Dari Tabel 1 terlihat bahwa total emisi gas metana yang cukup
besar berasal dari Waduk
Gajahmungkur, Kedungombo, Saguling, Cirata dan Jatiluhur.
Waduk-waduk tersebut
merupakan waduk yang cukup luas permukaannya dan tercemar
kecuali waduk Kedungombo.
Waduk-waduk yang permukaannya relatif kecil dibandingkan
waduk-waduk tersebut di atas
seperti Waduk Wlingi, Selorejo dan Sengguruh meskipun emisi per
satuan luasnya cukup besar,
masing-masing sebesar 4, 461 ; 3, 964 dan 3, 748 g/m2/hari
tetapi total emisinya relatif kecil.
-
Gambar 2 : Emisi gas metana dari waduk-waduk di P.Jawa
(Ton/hari)
3.2 Pembahasan Emisi Gas Metana dari Waduk.
Berdasarkan hasil pengukuran, emisi gas metana per satuan luas
sangat berfluktuasi. Fluktuasi emisi gas metana pada satu waduk
terjadi diantara lokasi satu dengan lokasi lainnya (tabel 1).
Misalnya pada Waduk Saguling fluktuasi diantara lokasi satu dengan
lokasi lainnya berkisar antara 0,00 8,174 g/m2/hari. Fluktuasi
emisi gas metana juga terjadi diantara waduk satu dengan waduk
lainnya. Misalnya rata-rata emisi gas metana di Waduk Wadaslintang
sebesar 0,094 g/m2/hari, sedangkan di Waduk Wlingi sebesar 6,154
g/m2/hari. (Tabel 3).Emisi gas metana dari waduk yang sangat
berfluktuasi ini juga terjadi pada waduk di luar negeri. Hasil
penelitian emisi gas metana di Waduk Nielisz di Polandia Tenggara
menunjukkan emisi gas metana yang berfluktuasi antara 15,98 -
383,65 mmol/m2/hari atau 0,256 6,138 g/m2/hari (Gruca-Rokosz, R
at.al, 2012). Penelitian di Waduk Funil, San Antonio dan Tres Maria
di Brasilia juga menunjukkan nilai yang berfluktuasi masing-masing
antara 0,03 - 9,97 mmol/m2/hari; 0,00 39,60 mmol/m2/hari dan 0,00
0,48 m mol/m2/hari atau 0,005 -0,159 g/m2/hari; 0,000 0,634
g/m2/hari dan 0,000 0,007 g/m2/hari (Emma,H, 2012).
Berfluktuasinya emisi gas metana pada lokasi-lokasi tertentu di
permukaan waduk ini dapat disebabkan karena beberapa faktor antara
lain: kondisi dasar waduk, kondisi kualitas airnya dan juga
pengaruh arus air.
Kondisi di dasar waduk sangat berpengaruh terhadap emisi gas
metana pada permukaan
waduk, karena pembentukan gas metana terjadi di dasar waduk.
Jika kondisi di suatu lokasi di
dasar waduk mengandung banyak bahan organik seperti sisa-sisa
tumbuhan dan keadaannya
anaerobik (tidak ada oksigen), maka kemungkinan di lokasi
tersebut akan terjadi emisi gas
metana yang cukup besar.
Kualitas air waduk juga berpengaruh terhadap emisi gas metana.
Kualitas air waduk yang
banyak mengandung bahan organik, baik yang berasal dari limbah
domestik, limbah industri
atau limbah lainnya akan menyebabkan kadar oksigen dalam airnya
berkurang atau bahkan
-
habis. Keadaan ini memicu terjadinya proses dekomposisi bahan
organik yang menghasilkan gas
metana.
Arus air yang terjadi pada air waduk dapat menyebabkan gas
metana berpindah dari satu
lokasi ke lokasi lainnya mengikuti arah arus. Oleh karena itu
apabila di suatu lokasi di dasar
waduk terjadi pembentukan gas metana, belum tentu di permukaan
lokasi tersebut emisinya
besar. Sehubungan dengan emisi gas metana pada permukaan waduk
sangat berfluktuasi dari
satu lokasi ke lokasi lainnya, maka untuk menentukan besarnya
emisi gas metana pada
permukaan waduk diperlukan pengamatan pada banyak lokasi dan
mewakili kondisi kualitas air
waduk dan morfometri waduk. Makin banyak lokasi dan pengulangan
pengukuran makin baik
data yang diperoleh.
3.3. Perbandingan emisi gas metana dari waduk dengan emisi dari
sumber lain
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di P. Jawa dengan
meneliti 14 buah waduk yang
berbeda-beda kondisinya diperoleh nilai emisi gas metana dari
waduk per satuan luasnya
berkisar antara 0,094 4,461 g/m2/hari dengan rata-rata 1,705
g/m2/hari. Berdasarkan data
yang diperoleh, luas waduk di Indonesia sekitar 98.269 Ha
(Kem.Kelautan dan Perikanan, 2011).
Dengan demikian, maka besarnya emisi gas metana dari waduk di
seluruh Indonesia
diperkirakan sekitar 1,675 ton/ hari.
Emisi gas metana, selain dihasilkan oleh waduk juga dapat
dihasilkan oleh sumber-sumber lain
misalnya tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, rawa dan proses
penanaman padi di sawah
serta kegiatan peternakan.
a. Emisi dari TPA sampah
Timbunan sampah merupakan sumber gas metana yang potensial. Di
negara-negara maju
timbunan sampah bahkan dimanfaatkan untuk menghasilkan energi.
Proses terjadinya gas
metana pada timbunan sampah ini juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain:
komposisi sampah, kadar oksigen yang tersedia, kadar air,
keasaman, ketersediaan nutrien,
ukuran dan kepadatan sampah (Wahyu Purwanto,2009).
Penelitian mengenai emisi gas metana dari sampah sudah banyak
dilakukan, baik dengan cara
perhitungan maupun dengan pengukuran langsung di lapangan.
Berdasarkan jumlah penduduk
Indonesia yang mencapai 218,8 juta orang, dan diperkirakan
setiap orang menghasilkan
sampah sebesar 0,61 kg/orang per hari (Wahyu Purwanto, 2009),
maka sampah yang dihasilkan
mencapai 133.468.000 kg/hari atau sekitar 133.468 ton/hari.
Berdasarkan perkiraan setiap ton
sampah dapat menghasilkan 50 kg gas metana (Sudarman, 2010),
sehingga emisi gas metana di
Indonesia yang diakibatkan oleh sampah dapat mencapai 6.673
ton/hari.
b. Emisi dari Rawa
Dalam klasifikasi sumber GRK rawa termasuk dalam klasifikasi
lahan basah. Pada daerah rawa
banyak terdapat bahan-bahan organik, misalnya dari rerumputan
atau tumbuhan yang
-
membusuk. Selanjutnya bahan-bahan organik ini dengan bantuan
mikroorganisme
methanogens dan kondisi tertentu (terutama kurangnya oksigen)
akan terurai menghasilkan
gas metana.
Penelitian emisi gas metana di daerah rawa di Indonesia masih
jarang sekali dilakukan.
Penelitian besarnya emisi gas metana dari rawa yang dilakukan di
Kanada menunjukkan nilai
emisi yang sangat berfluktuasi antara 0,39 197,81 mmol/m2/hari
(Pelletier,et all, 2007) atau
0,00624 3,16496 g/m2/hari. Dengan asumsi nilai rata-ratanya
merupakan nilai rata-rata dari
angka minimal dan maksimalnya maka nilai rata-rata emisi gas
metana pada rawa gas adalah
sebesar 1,5856 g/m2/hari. Berdasarkan luas rawa di Indonesia
yang mencapai 33,4 juta Ha (
Simatupang, P dan A.Adimiharja, 2004), maka dapat diperkirakan
besarnya emisi gas metana
dari rawa mencapai 529.590 ton/hari.
c. Emisi dari Tanaman Padi di Sawah
Pada negara tropis yang agraris, proses penanaman padi merupakan
sumber emisi gas metana
yang cukup besar. Pada proses penanaman padi, sisa-sisa bahan
organik misalnya dari jerami
yang terus terendam akan membusuk menghasilkan gas metana.
Pelepasan gas metana dari
tanaman padi di sawah dapat terjadi melalui tiga proses yaitu,
melalui pembuluh aerenkima
tanaman padi, melalui proses difusi dalam gelembung udara dan
melalui pelarutan dalam
air irigasi. Besarnya emisi gas metana dari proses penanaman
padi sangat beragam, antara
lain bergantung pada cara pengelolaan tanahnya. Penelitian yang
dilakukan oleh Prihasto dan
kawan-kawan memberikan nilai emisi gas metana dari proses
penanaman padi di Indonesia
sebesar 169,9 kg/ha/musim tanam (Prihasto et. al, 2008). Kalau
satu tahun terdiri dari 3 kali
musim tanam, maka emisi gas metana dari tanaman padi di sawah
diperkirakan sebesar 0,1396
g/m2/hari. Berdasarkan data statistik, luas tanaman padi di
Indonesia mencapai sekitar 12,88
juta hektar, maka perkiraan emisi gas metana dari sawah padi
dapat mencapai 17.986 ton/hari.
d. Emisi dari Peternakan
Usaha peternakan merupakan sumber gas metana yang juga dianggap
potensial. Di Amerika
usaha peternakan ini merupakan sumber emisi gas metana terbesar
ketiga (US-EPA,2011b).
Pada usaha peternakan ini, emisi gas metana ke atmosfir dapat
terjadi dalam dua cara. Cara
pertama yang disebut enteric fermentation yang terjadi dalam
perut binatang ternak
memamah biak seperti sapi, domba dan kambing. Pada saat
binatang-binatang ini melakukan
pencernakan terbentuklah gas metana dalam jumlah yang cukup
banyak. Cara yang kedua
adalah melalui kotoran dari binatang-binatang tersebut. Kotoran
binatang tersebut
mengandung banyak bahan-bahan organik. Apabila bahan organik
tersebut terdekomposisi
dalam suasana anaerob, maka akan menghasilkan gas metana.
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan emisi gas metana
dari satu ekor sapi di negara
berkembang diperkirakan sebesar 95,9 g/ekor/hari (Veerasamy,S.,
at al.,2011). Dari data yang
-
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik bersama Kementerian
Pertanian tercatat jumlah sapi dan
kerbau sekitar 15,4 juta ekor, dengan demikian emisi gas metana
dari sektor peternakan
diperkirakan sekitar 1.477 ton/hari. Nilai ini belum termasuk
yang berasal dari kuda, babi,
kambing, domba, itik, ayam, bebek, angsa dan jenis ternak
lainnya.
Berdasarkan data dan perhitungan di atas terlihat bahwa meskipun
waduk sebagai salah satu
sumber gas metana, tetapi secara umum jumlahnya relative sedikit
dibandingkan dengan
sumber-sumber lainnya seperti rawa, tanaman padi sampah, ternak
dan idustri ( Gambar 3.)
e. Emisi dari limbah Industri.
Limbah industri yang banyak mengandung zat organic seperti
industry makanan dan minuman
juga menghasilkan gas metana. Jumlahnya cukup besar, tetapi saat
pada makalah ini belum
dimuat.
Gambar 3 : Perbandingan emisi gas metana dari berbagai sumber
(dalam ton/hari)
Dari Gambar 3 tersebut di atas menunjukkan bahwa emisi paling
besar dihasilkan oleh rawa.
Nilai ini merupakan hasil perhitungan yang berdasarkan asumsi
data emisi gas metana per
satuan luas yang diambil dari hasil penelitian di tempat lain.
Selain nilai emisi per satuan luas
yang masih berdasarkan asumsi, besarnya emisi gas metana dari
rawa juga disebabkan karena
luasnya rawa di Indonesia. Sebaliknya emisi paling kecil
dihasilkan dari peternakan.
Dibandingkan dengan keadaan di luar negeri usaha peternakan di
Indonesia masih belum
banyak berkembang sehingga emisi gas metana yang dihasilkan juga
relatif kecil. Emisi gas
metana dari waduk di Indonesia diperkirakan sebesar 1,675 ton
per hari. Nilai tersebut masih
dibawah nilai emisi gas metana yang berasal dari rawa, tanaman
padi dan sampah.
-
4.KESIMPULAN DAN SARAN
Nilai emisi gas metana dari waduk berbeda antara satu waduk
dengan waduk yang lain bahkan walaupun satu waduk tapi lokasinya
berbeda nilai emisi tetpa berbeda. Nilai emisi gas metana di waduk
di Pulau jawa berkisar antara 0,094 4,461 g/m2/hari dengan
rata-rata 1,705 g/m2/hari. Berdasarkan data, luas waduk di
Indonesia sekitar 98.269 Ha maka besarnya emisi gas metana dari
waduk di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 1,675 ton/ hari.
Dengan emisi sebesar itu ternyata waduk bukan merupakan sumber
emisi gas metana yang potensial. Apabila dibandingkan sumber-sumber
lainnya seperti rawa, tanaman padi ataupun dari sektor persampahan
nilai tersebut sangat kecil. Dalam upaya mengurangi emisi gas
metana dari waduk dapat dilakukan dengan beberapa cara
antara lain:
Untuk lahan bakal waduk, sebelum digenangi perlu dilakukan
pembersihan dari tanaman atau tumbuhan liar sehingga akan
mengurangi proses pembusukan pada waktu waduk sudah tergenang
sehingga emisi gas metana yang mungkin dihasilkan juga dapat
dikurangi
Untuk waduk yang sudah lama tergenang, kalau di bagian pinggir
waduk terdapat banyak tanaman liar atau tanaman lain pada saat muka
air surut perlu dibersihkan sehingga mengurangi proses pembusukan
bahan organik pada waktu muka air waduk mengalami kenaikan.
Kualitas air sungai yang masuk ke dalam waduk perlu dijaga agar
tidak banyak mengandung bahan-bahan pencemar, terutama bahan
pencemar organik karena bahan pencemar organik dalam air waduk pada
akhirnya akan menyebabkan meningkatnya emisi gas metana.
Upaya lain untuk menekan emisi metana adalah dengan mencari
mikroba yang mengkonsumsi dan mengoksidasi gas metana.
-
DAFTAR PUSTAKA
1. Emma Hllqvist, (2012), Methane emissions from three tropical
hydroelectrical reservoirs, Committee of Tropical Ecology, Uppsala
University, Sweden
2. Gruca-Rokosz, R., , E.Czerwieniec, J.A. Tomaszek, (2011),
Methane Emission from the Nielisz Reservoir, Environment Protection
Engineering, Vol. 37, 2011, No. 3
3. Hapsari, C. (2011), Studi Emisi Karbondioksida (CO2) dan
Metana (CH4) Dari Kegiatan Reduksi Sampah di Wilayah Surabaya
Bagian Selatan, Jurusan Teknik Lingkungan, FakultasTeknik Sipil dan
Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya.
4. International Rivers Press Release, (2007),
India_Dams_Methane_Emissions. http:
www//.internationalrivers.org.
5. Kem. Kelautan dan Perikanan (2011), Kelautan dan Perikanan
Dalam Angka 2011, Pusat Data Statistik, Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
6. Keppler F. et al (2006), Methane emissions from terrestrial
plants under aerobic conditions. Nature 439. 187-191.
7. MED India net working for Health, (2007),
Capture-and-Burn-Methane-in-Dams-a-New-Proposition-to-Counter-Global-Warming.
http://www.medindia.net/news
8. Pelletier, L, T. R. Moore, N. T. Roulet , M. Garneau , V.
Beaulieu-Audy (2007), Methane fluxes from three peatlands in the La
Grande Rivire watershed, James Bay lowland, Canada, Journal of
Geophysical Research, vol. 112, G01018, 12 PP., 2007
9. P.M.Fearnside (2007), Why Hydropower is Not Clean Energy.
http://scitizen.com/future-energies/
10. Prihasto,S., A.K.Makarim, H.Pawitan, I.Anas, L.I.Amien dan
E.Sumaini, (2008), Indonesia Experience in Determining Country
Spesific Emission Factor in Agriculture Sector.
11. Puslitbang Sumber Daya Air 1995. Bendungan Besar di
Indonesia. 80 hal. 12. Supangat, A.B dan Paimin (2007), Kajian
Peran Waduk Sebagai Pengendali Kualitas Air
Secara Alami, Forum Geografi, Vol. 21, No. 2, Des.2007 13.
US-EPA, (2010), Methane and Nitrous Oxide Emissions From Natural
Sources, United
States Environmental Protection Agency, Office of Atmospheric
Programs, Washington DC.
14. US-EPA, (2011), Greenhouse Emissions, United States
Environmental Protection Agency. 15. US-EPA, (2011), Ruminant
Livestock, United States Environmental Protection Agency. 16.
Vincent, L.St. Louis, Carol A. Kelly, Eric Duchemin, John W. M.
Rudd, and David M.
Rosenberg, (2000), Reservoir Surfaces as Sources of Greenhouse
Gases to the Atmosphere: A Global Estimate, Bio Science
50(9):766-775.
17. Wahyu Purwanta, (2009), Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca
(GRK) dari Sektor Sampah Perkotaan di Indonesia, Jurnal.
Tek.Lingkungan, Vol 10, No. 1, Jakarta.
18. West System, 2006, Portable Diffuse Fluxmeter, Pontedera,
Pisa 19. W.V. Department of Health and Human Resources (2006),
Methane in West Virginia
Ground Water, West Virginia.
-
20. Zakarya,I.A., H. A. Tajaradin, I. Abustan dan N. Ismail,
(2008), Relationship between Methane Production and Chemical Oxygen
Demand (COD) in Anaerobic Digestion of Food Waste, ICCBT 2008 - D -
(03) - pp29-36