-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu
penyebab kematian utama pada anak di negara sedang berkembang.
ISPA ini
menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian pada anak usia
dibawah 5
tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua pertiga kematian
tersebut adalah
bayi (WHO, 2003)
Depkes RI (2000) dalam Asrun (2006) menyatakan bahwa World
Health Organization (WHO) memperkirakan di negara berkembang
angka
kematian balita karena ISPA di atas 40 per 1000 kelahiran hidup
adalah 15%-
20% pertahun pada golongan usia balita.
Di Indonesia ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab
kematian bayi dan Balita. Dari data Depkes RI (2003), ISPA
menempati
urutan pertama dari 10 penyebab penyakit utama di Rumah Sakit
Indonesia
yaitu sebanyak 8,5%. Penyakit ini juga merupakan salah satu
penyebab utama
kunjungan pasien di sarana kesehatan. Tercatat sebanyak 40% -
60%
kunjungan berobat di Puskesmas dan 15% - 30 % kunjungan berobat
di bagian
rawat jalan serta rawat inap Rumah Sakit disebabkan oleh ISPA
(Susanto,
2009).
Penderita ISPA pada balita di Provinsi Aceh, sejak tahun 2006
sampai
dengan tahun 2008, berturutturut adalah 13,5 %, 15,3 %, 7,58 %.
Penderita
ISPA pada balita di Kota Banda Aceh tahun 2008 adalah 450 jiwa.
Bila
-
2
dilihat pencapaian target penemuan penderita ISPA pada Balita
baru mencapai
7,58 % dari jumlah 41.780 target penderita (Profil Kesehatan
Provinsi Aceh,
2009).
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA yang
dapat
meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian akibat ISPA,
antara lain
jenis kelamin laki-laki, umur di bawah 2 bulan, tidak mendapat
ASI memadai,
polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak memadai,
defisiensi
vitamin A, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, berat
badan lahir
rendah, tingkat pengetahuan ibu rendah, tingkat jangkauan
pelayanan
kesehatan rendah, menderita penyakit kronis dan aspek
kepercayaan setempat
dalam praktek pencarian pengobatan yang salah (Syair, 2009).
Memiliki anak yang sehat, kuat dan cerdas adalah dambaan
setiap
orang tua. Kunci untuk mendapatkan anak yang sehat adalah
pemberian ASI
selama 2 tahun, termasuk pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan.
ASI
merupakan makanan bayi yang tidak dapat digantikan oleh apapun,
bahkan
oleh susu formula yang paling hebat dan mahal sekalipun, karena
kandungan
gizinya yang tinggi. Meskipun ASI sudah terbukti memiliki banyak
manfaat
bagi anak dan keluarga, namun pemberian ASI masih kurang
diperhatikan
(Roesli Utami, 2000)
Depkes RI (2009) dalam Agussalim (2011) menyatakan bahwa
Menurut WHO beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA
dan
kematian ISPA adalah malnutrisi, pemberian ASI kurang cukup,
imunisasi
tidak lengkap, defisiensi vitamin A, BBLR, umur muda, kepadatan
hunian,
-
3
udara dingin, jumlah kuman yang banyak ditenggorokan, terpapar
polusi udara
oleh asap rokok, gas beracun dan lain-lain.
Menurut hasil penelitian Agussalim (2011) , menyatakan bahwa
dengan pengetahuan yang baik maka ibu akan dapat menjaga dan
meningkatkan kesehatan balitanya khususnya dalam pencegahan
penyakit
ISPA.
Lebih lanjut menurut Notoatmodjo (2003), menyatakan
pengetahuan
kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka
menengah
(intermadiate impact) dari pendidikan kesehatan. Selanjutnya
perilaku
kesehatan akan berpengaruh kepada meningkatnya indikator
kesehatan
masyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan.
Pada tahun 2011 penderita ISPA di provinsi Aceh mencapai
43.628
kasus, data dari Rumah Sakit BLUD Ibu Dan Anak Pemerintah Aceh
didapat
data jumlah kasus ISPA dari bulan Januari sampai bulan Desember
2012
diperoleh kunjungan ISPA sebanyak 1812 jiwa (66,06%) dari 2743
jiwa total
seluruh kunjungan di Poli Anak. Dari total kunjungan ISPA
tersebut 86,2%
(1562 jiwa) adalah Balita dan terdapat 74,8% (1169 jiwa) yang
berusia 2-5
tahun. Jumlah kasus ISPA dari bulan Januari sampai dengan April
2013
diperoleh kunjungan ISPA sebanyak 593 jiwa (68,7%) dari total
seluruh
kunjungan di poli anak sebanyak 862 jiwa, dari total kunjungan
ISPA tersebut
terdapat 371 jiwa (62,5%) balita dan terdapat 256 jiwa (69%)
yang berusia 2-
5 tahun.
-
4
Dari hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada bulan
Juli
2013 di ruang poli anak Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah
Aceh
dari 17 ibu yang membawa anaknya untuk berobat, 7 diantaranya
masih
kurang memahami tentang penyakit ISPA, ibu-ibu tersebut masih
menganggap
bahwa ISPA adalah penyakit yang biasa dan lazim diderita oleh
anak balita,6
ibu diantaranya tidak memberikan ASI sampai usia anak mencapai 2
tahun
dikarenakan faktor pekerjaan diluar rumah dan ASI mereka sedikit
sehingga
harus ditambah dengan susu formula serta kurang memahami cara
menyusui
yang benar
Hal inilah yang mendasari peneliti untuk melakukan penelitian
lebih
lanjut tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu dan Pemberian
ASI dengan
kejadian ISPA pada balita di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak
Pemerintah
Aceh Tahun 2013.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah "Adakah hubungan tingkat pengetahuan
ibu dan
pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun di
Rumah
Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013?"
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu dan
pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun di
Rumah
Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013.
-
5
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan
kejadian
ISPA pada anak usia 2-5 tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan
Anak
Pemerintah Aceh Tahun 2013.
b. Untuk mengetahui hubungan pemberian ASI dengan kejadian
ISPA
pada anak usia 2-5 tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak
Pemerintah Aceh Tahun 2013.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Tempat Penelitian
Diharapkan dapat memberikan informasi tambahan dan gambaran
kepada
petugas tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu dan pemberian
ASI
dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun.
2. Pendidikan Kebidanan
Sebagai referensi, sumber bahan bacaan dan bahan pengajaran
terutama
yang berkaitan dengan hubungan tingkat pengetahuan ibu dan
pemberian
ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun
3. Bagi peneliti
Merupakan suatu pengalaman yang sangat berharga dalam
mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dan menambah wawasan
pengetahuan dalam hal cara-cara menyusun Skripsi.
-
6
4. Bagi Responden
Diharapkan dapat memberikan informasi bagi ibu-ibu mengenai
pengetahuan tentang penyakit ISPA dan pentingnya pemberian
ASI
sampai usia 2 tahun.
-
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang ISPA
1. Definisi ISPA
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan
Akut.
Penyakit ini menyerang salah satu atau lebih dari saluran
pernafasan
mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah)
termasuk
jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan
pleura
(Depkes RI, 2001). Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung
sampai
dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses
akut
meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam
ISPA,
proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Syair,
2009).
Depkes RI (2002) menyebutkan ISPA adalah penyakit infeksi
saluran pernapasan yang bersifat akut dengan adanya batuk,
pilek, serak,
demam, baik disertai maupun tidak disertai napas cepat atau
sesak napas,
yang berlangsung sampai 14 hari.
Selanjutnya Depkes RI (2002) juga menyebutkan kriteria objektif
:
a. Menderita : Bila hasil diagnosa dokter atau paramedis
terlatih
pada catatan medis menunjukkan balita menderita ISPA.
b. Tidak menderita : Bila hasil diagnosa dokter atau paramedis
terlatih
pada catatan medis menunjukkan balita tidak menderita ISPA.
-
8
2. Klasifikasi penyakit
Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua
kelompok yaitu umur kurang dari 2 bulan dan umur 2 bulan
sampai
kurang dari 5 tahun (Depkes, 2002).
Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan
atau kesukaran pernapasan disertai napas sesak atau tarikan
dinding dada
bagian bawah kedalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan
sampai
kurang dari 5 tahun. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan
diagnosis
pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (fast
breathing)
dimana frekuensi napas 60 kali permenit atau lebih, dan atau
adanya
tarikan yang kuat dinding dada bagian bawah ke dalam (severe
chest
indrawing) (Depkes, 2002).
Bukan pneumonia apabila ditandai dengan napas cepat tetapi
tidak disertai tarikan dinding dada ke dalam. Bukan pneumonia
mencakup
kelompok penderita dengan batuk pilek biasa yang tidak
ditemukan
adanya gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak ditemukan
tarikan
dinding dada bagian bawah kedalam (Depkes, 2002).
Penentuan klasifikasi dan tingkat kegawatan ini dilakukan
setelah
penilaian tanda dan gejala yang diklasifikasi berdasarkan
kelompok
keluhan atau tingkat kegawatan (Hidayat, 2008).
-
9
Klasifikasi Pneumonia ini menutut Hidayat (2008) dapat
dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut:
a. Pneumonia berat, apabila ada tanda bahaya umum, tarikan
dinding
dada ke dalam, dan adanya stirdor (ngorok), mengi berat.
Tanda
bahaya penyakit yang sangat berat: tidak dapat minum, kejang,
rasa
kantuk yang tidak wajar atau sulit untuk bangun dan kurang
gizi
berat.
b. Adanya Pneumonia apabila ditemukan pada frekuensi nafas
yang
sangat cepat (50 kali per menit atau lebih jika anak berusia 2
tahun
hingga 12 bulan; 40 kali per menit jika anak berusia 1 hingga
5
tahun) dan tanpa penarikan dada
c. Klasifikasi batuk bukan Pneumonia apabila tidak ada
Pneumonia,
tanpa tarikan nafas, tidak ada nafas cepat dan hanya keluhan
batuk
3. Tanda dan Gejala
Menurut Depkes RI (2007) menyatakan begitu virus muncul dam
berkembang biak, anak akan mengalami beberapa gejala dan tanda
yang
mudah dikenali:
a. Hidung ingusan (pertama kali ingusnya jernih, kemudian kental
dan
sedikit berwarna).
b. Bersin-bersin.
c. Demam ringan (38,3 38,9 C), khususnya pada malam hari.
d. Penurunan nafsu makan.
-
10
e. Mata merah
f. Nyeri tenggorok dan mungkin sulit menelan.
g. Batuk.
h. Peka rangsang yang hilang timbul.
i. Pembesaran kelenjar yang ringan.
Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang
kemudian diikuti dengan napas cepat dan napas sesak. Pada
tingkat yang
lebih berat terjadi kesukaran bernapas, tidak dapat minum,
kejang,
kesadaran menurun dan meninggal bila tidak segera diobati. Usia
Balita
adalah kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran
pernapasan.
Kenyataannya bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat ISPA,
masih
tinggi pada balita di negara berkembang (Dinkes, 2009).
Batuk pada anak biasanya menunjukkan ISPA dan kadang-kadang
penyakit paru. Sebagian besar penyakit pada anak-anak adalah
infeksi,
sebagian besar infeksi virus. ISPA digunakan untuk
mendeskripsikan flu.
Gejalanya adalah batuk, anoreksia dan demam. Pada bayi obstruksi
hidung
dapat menyebabkan sulit makan. Penyakit ini dapat mencetus
kejang
demam dan serangan asma dan kadang merupakan prekursor demam
spesifik akut terutama campak atau Bronkiolitis (Roesli,
2000).
Kejang demam adalah suatu kejang yang terjadi pada usia antara
3
bulan hingga 5 tahun yang berkaitan dengan demam tanpa adanya
infeksi
intrakranial atau penyebab yang jelas (Roesli, 2000).
-
11
Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA (P2
ISPA) kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA
adalah
balita, ditandai dengan adanya batuk dan atau kesukaran bernapas
disertai
adanya peningkatan frekuensi napas (napas cepat) sesuai golongan
umur
(Depkes, 2002).
Selanjutnya Depkes RI (2002) juga menyebutkan ada beberapa
tanda klinis yang dapat menyertai anak dengan batuk yang
dikelompokkan
sebagai tanda bahaya :
1) Tanda dan gejala untuk golongan umur kurang dari 2 bulan
yaitu tidak
bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor (ngorok),
wheezing
(bunyi napas), demam.
2) Tanda dan gejala untuk golongan umur 2 bulan sampai kurang 5
tahun
yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor
(ngorok)
4. Penyebab Terjadinya ISPA
Pilek/Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dapat
disebabkan
oleh virus, yaitu substansi sangat kecil penyebab infeksi (lebih
kecil dari
bakteri). Bersin atau batuk dapat menularkan virus secara
langsung dari
orang yang satu ke yang lainnya (Behrman et al, 2000)
Etiologi ISPA terdiri dari 300 jenis bakteri, virus dan
riketsia,
diantaranya bakteri Stavilococcus dan Streptococcus serta virus
Influenza
dan Sinsitialvirus yang akan masuk dan menempel pada saluran
pernafasan atas, sehingga terjadi peradangan yang disertai
demam. Infeksi
-
12
dapat menjalar ke paruparu dan menyebabkan pernafasan
terhambat,
kekurangan oksigen yang dihirup, sehingga menyebabkan kejang,
bahkan
jika tidak segera mendapat pertolongan akan menyebabkan
kematian
(Avicenna, 2009).
Menurut Depkes RI (2002) Virus juga dapat menyebar secara
tidak
langsung, dengan cara sebagai berikut:
a. Seorang anak yang terinfeksi virus akan batuk-batuk, bersin,
atau
memegang-megang hidungnya, memindahkan beberapa partikel
virus
ke tangannya.
b. Kemudian dia akan menyentuhkan tangannya pada anak yang
sehat.
c. Anak yang sehat ini menempelkan tangannya yang baru
terkontaminasi
ke hidungnya sendiri, sehingga kuman menetap disana dan
tumbuh
serta berkembang biak pada hidung atau tenggorok. Ini akan
menyebabkan munculnya gejala pilek.
d. Siklus ini kemudian berulang dengan sendirinya, dengan cara
virus
berpindah dari anak yang baru saja terinfeksi ke anak yang
rentan dan
seterusnya .
5. Faktor Risiko ISPA
Menurut Ditjen PPM dan PL Depkes RI (2005) dalam Alkausar
(2007), berbagai faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat
ISPA
adalah:
a. jenis kelamin laki-laki
-
13
b. umur di bawah 2 bulan
c. tidak mendapat ASI memadai
d. polusi udara
e. kepadatan tempat tinggal
f. imunisasi tidak memadai
g. defisiensi vitamin A
h. tingkat sosial ekonomi rendah
i. gizi kurang
j. berat badan lahir rendah
k. tingkat pengetahuan ibu rendah
l. tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, menderita
penyakit
kronis dan aspek kepercayaan setempat dalam praktek
pencarian
pengobatan yang salah
6. Penatalaksanaan Penderita ISPA
Menurut Depkes RI (2007) Kriteria yang digunakan untuk pola
tatalaksana penderita ISPA pada balita adalah balita dengan
gejala batuk
dan atau kesukaran bernapas. Pola tata laksana penderita
pneumonia terdiri
dari 4 bagian yaitu :
a. Pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentifikasi gejala yang ada
pada
penderita.
b. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya
-
14
Anak harus segera dibawa ke Puskesmas atau petugas kesehatan
terlatih jika ada tanda-tanda berikut:
1) Anak bernafas lebih cepat dari biasanya.
(a) Untuk anak berumur kurang dari 2 bulan: 60 kali per
menit
atau lebih.
(b) Untuk anak umur 2 - 12 bulan: 50 kali per menit atau
lebih.
(c) Untuk anak umur 12 bulan sampai 5 tahun: 40 kali per
menit
atau lebih.
2) Anak mengalami kesulitan bernafas atau sesak nafas.
3) Dada bagian bawah tertarik ke dalam pada waktu anak
menarik
nafas atau tampak pada gerakan perut naik turun.
4) Anak terserang batuk selama lebih dari dua minggu.
5) Anak tidak dapat menyusu atau minum.
6) Anak sering muntah-muntah
c. Tindakan dan Pengobatan
Anak-anak yang batuk, pilek, ingusan atau sakit tenggorokan
yang nafasnya normal dapat dirawat di rumah dan mungkin
sembuh
tanpa obat. Mereka harus dijaga agar tetap hangat tetapi
tidak
berlebihan dan diberi makan dan minum yang banyak. Jika anak
demam tinggi sebaiknya dikompres dengan air yang tidak
terlalu
dingin. Obat-obatan hanya diberikan atas petunjuk dokter atau
petugas
kesehatan (WHO. 2003)
-
15
Hidung anak yang pilek atau batuk harus sering dibersihkan,
terutama sebelum anak makan atau tidur. Udara yang lembab
memudahkan pernafasan dan akan sangat membantu bila anak
tersebut
menghirup hawa dari semangkuk air hangat (WHO. 2003)
Anak yang masih menyusu dan terkena batuk atau pilek harus
tetap diberi ASI. Pemberian ASI membantu memerangi penyakit
yang
penting bagi pertumbuhan anak. Jika anak tidak dapat menyusu,
maka
ASI diperas kedalam mangkuk yang bersih untuk disuapkan
kepada
anak (WHO. 2003)
Anak-anak yang tidak diberi ASI harus sering diberi makan
atau minum sedikit demi sedikit. Jika sudah sembuh, anak
tersebut
harus tetap diberi makanan tambahan setiap hari
sekurang-kurangnya
dalam seminggu. Anak belum dianggap pulih sebelum berat
badannya
kembali sama seperti sebelum sakit. Batuk dan pilek mudah
menular.
Orang yang sedang menderita batuk atau pilek harus menjauhkan
diri
dari anak-anak (WHO. 2003)
Vitamin A membantu melindungi anak terhadap serangan
batuk, pilek dan penyakit saluran pernafasan lainnya serta
dapat
mempercepat penyembuhan. Vitamin A terdapat pada ASI, hati,
minyak kelapa, ikan, susu, telur, jeruk dan buah-buahan
berwarna
kuning, serta sayur-sayuran berwarna hijau. Suplemen vitamin A
dapat
juga diminta di Puskesmas. Paracetamol akan membantu
menurunkan
demam dan menghilangkan rasa tidak nyaman (Roesli 2000).
-
16
Pada umumnya batuk-batuk, pilek, sakit tenggorokan dan
ingusan sembuh tanpa diobati. Tetapi kadang-kadang penyakit
tersebut
pertanda Pneumonia yang memerlukan antibiotik. Pemberian
obat
antibiotik pada anak yang menderita pnemonia harus sesuai
dengan
petunjuk dokter atau petugas kesehatan. Antibiotik harus
diberikan
sampai habis pada anak (Afrida, 2007).
Pada penderita umur kurang dari 2 bulan yang terdiagnosa
pneumonia berat, harus segera dibawa ke sarana rujukan dan
diberi
antibiotik 1 dosis. Pada penderita umur 2 bulan sampai kurang
dari 5
tahun yang terdiagnosa pneumonia dapat dilakukan perawatan
di
rumah, pemberian antibiotik selama 5 hari, pengontrolan dalam 2
hari
atau lebih cepat bila penderita memburuk, serta pengobatan
demam
dan yang ada (Syair, 2009).
Menurut WHO (2003) Perawatan di rumah terhadap anak yang
menderita infeksi saluran pernafasan akut, meliputi :
1) Pemberian makanan yang cukup selama sakit dan menambah
jumlahnya setelah sembuh untuk menggantikan penurunan berat
badan selama sakit. Melanjutkan pemberian makan akan
membantu
mencegah terjadinya kekurangan gizi. Hilangnya nafsu makan
sering terjadi selama infeksi pernafasan akut. Usahakan agar
makan
sedikit dan sering. Jika anak menderita demam, menurunkan
suhu
tubuhnya dapat membantu anak untuk makan. Idealnya, makanan
-
17
yang diberikan selama infeksi pernafasan akut sebaiknya
memiliki
kandungan gizi dalam jumlah banyak dan kalori yang relatif
besar.
2) Bersihkan hidung tersumbat oleh mukus yang kering atau
tebal,
teteskan air bergaram ke dalam hidung atau gunakan lintingan
kapas
basah untuk membantu melunakkan mukus. Nasihati ibu untuk
tidak
membeli obat tetes hidung, hal ini dapat membahayakan.
3) Anak yang mengalami infeksi pernafasan kehilangan cairan
lebih
banyak dari pada biasanya, khususnya jika mengalami demam.
Doronglah anak untuk mendapatkan cairan tambahan yang akan
membantu mencegah terjadinya dehidrasi. Pemberian cairan
dengan
minum lebih banyak dan meningkatkan pemberian ASI.
4) Pemberian obat pereda batuk dengan ramuan yang aman dan
sederhana, seperti teh dengan gula dan sirup batuk buatan
sendiri.
Selanjutnya menurut WHO (2003) Anjuran terpenting pada
perawatan dirumah adalah perhatikan tanda-tanda berikut dan
membawa anak kembali segera kepetugas kesehatan apabila:
a) Bernafas menjadi sulit
b) Pernafasan menjadi cepat
c) Anak tidak dapat minum
d) Kondisi anak memburuk
Penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun yang
terdiagnosa pneumonia berat harus segera dikirim ke sarana
-
18
rujukan, diberi antibiotik 1 dosis serta analgetik sebagai
penurun
demam dan wheezing yang ada.
Penderita yang diberi antibiotik, pemeriksaan harus kembali
dilakukan dalam 2 hari. Jika keadaan penderita membaik,
pemberian antibiotik dapat diteruskan. Jika keadaan penderita
tidak
berubah, antibiotik harus diganti atau penderita dikirim ke
sarana
rujukan. Jika keadaan penderita memburuk, harus segera dikirim
ke
sarana rujukan.
Banyak anak yang terkena pnemonia meninggal karena
orang tua atau ibu tidak sadar akan seriusnya penyakit tersebut
dan
penderita harus segera dibawa ke Puskesmas. Kematian anak
karena pnemonia dapat dicegah jika:
a) Orang tua dan pengasuh anak memahami bahwa nafas yang
terengah-engah dan sesak adalah tanda bahaya dan perlu
seegera meminta pertolongan petugas kesehatan.
b) Orang tua dan pengasuh anak harus tahu kemana meminta
pertolongan.
c) Pelayanan kesehatan dan antibiotik yang harganya
terjangkau
selalu tersedia
Selanjutnya WHO (2003) juga menyebutkan Pengobatan
dikelompokkan menjadi:
1. Pnemonia berat
a. Rujuk segera kerumah sakit
-
19
b. Berikan antibiotik dosis awal
c. Obati demam jika ada
d. Obati mengi jika ada, (jika rujukan tidak memungkinkan,
obati dengan antibiotik dan pantau dengan ketat
2. Pnemonia
a. Obati ibu untuk memberi perawatan di rumah
b. Berikan antibiotik
c. Obati demam dan mengi jika ada
d. Nasihati ibu agar kembali dalam 2 hari untuk penilaian
ulang atau kembali lebih awal jika kondisi anak memburuk
3. Bukan pnemonia; batuk atau pilek
a. Jika batuk lebih dari 30 hari rujuklah untuk dilakukan
penilaian
b. Nilai dan obati masalah telinga atau nyeri tenggorokan,
mengi dan demam jika ada
d. Pencegahan ISPA
Arifin (2009), dalam artikelnya menyebutkan keadaan gizi dan
keadaan lingkungan merupakan hal yang penting bagi
pencegahan
ISPA. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah ISPA
adalah:
1) Mengusahakan agar anak mempunyai gizi yang baik
(a) Bayi harus disusui sampai usia dua tahun karena ASI
adalah
makanan yang paling baik untuk bayi.
-
20
(b) Beri bayi makanan padat sesuai dengan umurnya.
(c) Pada bayi dan anak, makanan harus mengandung gizi cukup
yaitu mengandung cukup protein (zat putih telur),
karbohidrat,
lemak, vitamin dan mineral.
(d) Makanan yang bergizi tidak berarti makanan yang mahal.
Protein misalnya dapat di peroleh dari tempe dan tahu,
karbohidrat dari nasi atau jagung, lemak dari kelapa atau
minyak sedangkan vitamin dan mineral dari sayuran,dan
buah-buahan.
(e) Bayi dan balita hendaknya secara teratur ditimbang untuk
mengetahui apakah beratnya sesuai dengan umurnya dan
perlu diperiksa apakah ada penyakit yang menghambat
pertumbuhan
2) Mengusahakan kekebalan anak dengan imunisasi
Agar anak memperoleh kekebalan dalam tubuhnya anak
perlu mendapatkan imunisasi yaitu DPT (Depkes RI, 2002).
Imunisasi DPT salah satunya dimaksudkan untuk mencegah
penyakit Pertusis yang salah satu gejalanya adalah infeksi
saluran
nafas
3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan
Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama
bagi pencegahan penyakit ISPA, sebaliknya perilaku yang
tidak
mencerminkan hidup sehat akan menimbulkan berbagai penyakit.
-
21
Perilaku ini dapat dilakukan melalui upaya memperhatikan
rumah
sehat, desa sehat dan lingkungan sehat
4) Pengobatan segera
Apabila anak sudah positif terserang ISPA, sebaiknya orang
tua
tidak memberikan makanan yang dapat merangsang rasa sakit
pada tenggorokan, misalnya minuman dingin, makanan yang
mengandung vetsin atau rasa gurih, bahan pewarna, pengawet
dan
makanan yang terlalu manis. Anak yang terserang ISPA, harus
segera dibawa ke dokter
Jika bayi anda berusia dibawah tiga bulan, pencegahan
terbaik terhadap ISPA adalah menjaganyan jauh dari
orangorang
yang sedang ISPA. Hal ini khususnya berlaku selama musim
hujan, di saat banyak virus yang menyebabkan ISPA
bersikulasi
dalam jumlah besar. Virus yang menyebabkan penyakit ringan
pada anak yang lebih besar atau orang dewasa dapat
menyebabkan
penyakit serius pada seorang bayi (Afrida, 2007)
Jika anak dalam penitipan harian dan sedang menderita
ISPA, anjurkan pada guru-gurunya untuk menjauhkan anak
sebisa
mungkin dari anak-anak lain sampai gejalanya menghilang. Hal
ini
akan mencegah anak menularkan infeksi ke yang lain sama
seperti
jika anak akan berkontak dengan anak-anak yang menderita
ISPA
dan orang tua dapat menjauhkannnya dari mereka (Afrida,
2007)
-
22
B. Tinjauan tentang pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi
setelah
orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu.
Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,
pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia
diperoleh
melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai
hasil
penggunaan panca indranya, yang berbeda sekali dengan
kepercayaan
(beliefe), takhayul (superstitions) dan penerangan-penerangan
yang keliru
(misinformations) (Soekanto, 2003).
Sedangkan menurut A. Aziz Alimul Hidayat (2004) Pengetahuan
merupakan sesuatu yang ada dalam pikiran manusia.
Menurut Taufik (2007), pengetahuan merupakan penginderaan
manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera
yang
dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan lain sebagainya).
Mubarak (2007) mengungkapkan pengetahuan adalah merupakan
hasil
mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian yang
pernah
dialami baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan ini terjadi
setelah orang
melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek
tertentu.
Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang tersusun secara
sistematis dengan penggunaan kekuatan pemikiran, pengetahuan
mana selalu
dapat diperiksa dan ditelaah dengan kritis. Tujuan ilmu
pengetahuan adalah
lebih mengetahui dan mendalami segala segi kehidupan (Soekanto,
2003).
-
23
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang. Notoatmodjo (2003),
mengungkapkan
bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru)
di dalam
diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu:
a. Awarenes (Kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam
arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b. Interest (Merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek
tertentu, di sini
sikap subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (Menimbang-nimbang) terhadap baik buruknya
stimulus
terhadap bagi dirinya, hal ini berarti sikap responden sudah
lebih baik
sekali.
d. Trial (Mencoba), dimana subjek mulai mencoba melakukan
sesuatu
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption (Adopsi), dimana subjek telah berperilaku baru
sesuai dengan
pengetahuan kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku
yang
tidak didasari oleh pengetahuan.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari
subjek
penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita
ketahui
atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan
diatas.
(Notoatmodjo, 2007).
-
24
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan memberikan
seperangkat alat tes/kuesioner tentang object pengetahuan yang
mau
diukur, selanjutnya dilakukan penilaian dimana setiap jawaban
benar dari
masing-masing pertanyaan diberi nilai 1 dan jika salah diberi
nilai 0
(Notoatmodjo, 2007).
Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan yang tercakup dalam
domain kognitif mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat
ini
adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari
seluruh
bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh
sebab
itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
Kata
kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari
antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,
menyatakan
dan sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan
dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang
telah
paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari.
-
25
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real
(sebenarnya).
Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau
penggunaan
hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam
konteks
atau situasi yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di
dalam
satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama
lain.
Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata
kerja,
seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan,
memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah
suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi
yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan,
dapat
meringkas, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu
teori
atau rumusan-rumusan yang telah ada.
-
26
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian-
penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan
sendiri,
atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada
C. Tinjauan tentang ASI
Air Susu Ibu (ASI) merupakan satu-satunya makanan tunggal
paling
sempurna bagi bayi hingga berusia 6 bulan. ASI cukup mengandung
seluruh
zat gizi yang di butuhkan bayi. Selain itu, secara alamiah ASI
dibekali enzim
pencernaan bayi usia mudah mencerna dan menyerap gizi ASI.
Dilain pihak,
sistem pencernaan bayi usia dini belum memiliki cukup enzim
pencernaan
makanan (Arief, 2009).
Menyusui merupakan kewajiban bagi setiap ibu yang telah
melahirkan
bayi. Menyusui juga merupakan wujud kasih sayang yang diberikan
seorang
ibu kepada bayinya. Dengan menyusui berarti ibu sudah memberikan
hal yang
sangat berharga kepada bayinya karena ASI adalah satu-satunya
makanan
yang dibutuhkan oleh si kecil dan ASI merupakan makanan pertama,
utama
dan terbaik bagi bayi, yang bersifat alamiah (Moody, 2006).
Arief (2009) menyatakan bahwa ASI juga akan menurunkan
kemungkinan bayi terkena penyakit infeksi telinga, batuk, pilek
dan penyakit
alergi. Bayi yang mendapat ASI ternyata akan lebih sehat dan
lebih jarang
sakit dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI.
-
27
Meskipun khasiat ASI begitu besar dalam hal menurunkan
mortalitas
dan morbiditas bayi, namun tidak banyak ibu yang mau atau
bersedia
memberikan ASI. Seperti masa modern saat ini, sebagian ibu muda
merasa
enggan menyusui anaknya, sebenarnya gejala tersebut sudah
membudaya
sekian lama, terutama dikota-kota besar. Semula hal itu
dilakukan oleh para
ibu muda di Eropa dan Amerika pada awal abad ke 20. Tindakan
ini
menyebabkan anak mudah terserang penyakit, karena daya tahan
tubuhnya
lemah. Sedangkan para ahli menyatakan bahwa manfaat ASI akan
meningkat
jika bayi hanya diberi ASI saja selama enam bulan pertama
kehidupan yang
didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan
hidup,
pertumbuhan dan perkembangan bayi. (Roesli, 2000).
Menurut Moody (2006), Air Susu Ibu merupakan makanan alamiah
untuk bayi, ASI mengandung nutrisi-nutrisi dasar dan elemen
dengan jumlah
yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan serta
meningkatkan daya
tahan tubuh bayi.
Menurut Arief (2009), ASI memiliki keunggulan dari beberapa
aspek,
diantaranya aspek imonologi, yaitu:
1. ASI mengandung zat anti infeksi, bersih, dan bebas
kontaminasi.
2. Imunologlobin A (IgA) dalam kolostrum atau ASI kadarnya cukup
tinggi.
Sekretori IgA tidak diserap, tetapi dapat melumpuh bakteri
patongen
Ecoli dan berbagai virus pada saluran pencernaan.
3. Laktoferin yaitu sejenis protein yang merupakan komponen zat
kekebalan
yang mengikat zat besi disaluaran pencernaan.
-
28
4. Lysosim, enzim yang melindungi bayi terhadap bakteri (Ecoli
dan
Salmonela) dan virus. Jumlah lisosim dalam ASI 300 kali lebih
dari pada
susu sapi.
5. Sel darah merah pada ASI pada 2 minggu lebih dari 4000 sel
mil. Terdiri
atas 3 macam, yaitu Brochus-Asociated Lympocity Tissue (BALT)
anti
saluran pernapasan, dan Mammary Asociated Lympocyte Tissue
(MALT)
anti body jaringan payudara ibu.
6. Faktor bifidus, sejenis karbohidrat yang mengandung
nitrogen,
menunjang pertumbuhan Lactobacillus Bifidus, bakteri menjaga
keasaman flora usus bayi dan berguna untuk menghambat bakteri
yang
merugikan.
7. Menurut Arief (2009) ada beberapa jenis vitamin yang
terkandung dalam
ASI yaitu antara lain ; Vitamin A, Karotin, Vitamin D, Vitamin
K,
Vitamin E, Vitamin C (asam askorbat), biotin, kolin, Asam folat,
Inositol,
asam nikotinat (niasin), aam panthotenat, pridoksin (vitamin
B3),
riboflavin (B2), thiamin (B1), dan siasokolamin (vitamin
B12).
D. Kerangka Teoritis
Menurut Ditjen PPM dan PL Depkes RI (2005) dalam Alkausar
(2007)
berbagai faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat ISPA
adalah jenis
kelamin laki-laki, umur di bawah 2 bulan, tidak mendapat ASI
memadai,
polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak memadai,
defisiensi
vitamin A, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, berat
badan lahir
rendah, tingkat pengetahuan ibu rendah, tingkat jangkauan
pelayanan
-
29
kesehatan rendah, menderita penyakit kronis dan aspek
kepercayaan setempat
dalam praktek pencarian pengobatan yang salah.
Berbagai faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat
ISPA
adalah umur di bawah 2 bulan, tingkat sosial ekonomi rendah,
gizi kurang,
berat badan lahir rendah, tingkat pengetahuan ibu rendah,
tingkat jangkauan
pelayanan kesehatan rendah, imunisasi yang tidak memadai,
menderita
penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat dalam praktek
pencarian
pengobatan yang salah (Syair, 2009).
Menurut Moody (2006), Air Susu Ibu merupakan makanan alamiah
untuk bayi, ASI mengandung nutrisi-nutrisi dasar dan elemen
dengan jumlah
yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan serta
meningkatkan daya
tahan tubuh bayi.
Arief (2009) menyatakan bahwa ASI juga akan menurunkan
kemungkinan bayi terkena penyakit infeksi telinga, batuk, pilek
dan penyakit
alergi. Bayi yang mendapat ASI ternyata akan lebih sehat dan
lebih jarang
sakit dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI.
Menurut WHO beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA
dan kematian ISPA adalah malnutrisi, pemberian ASI kurang
cukup,
imunisasi tidak lengkap, defisiensi vitamin A, BBLR, umur muda,
kepadatan
hunian, udara dingin, jumlah kuman yang banyak ditenggorokan,
terpapar
polusi udara oleh asap rokok, gas beracun dan lain-lain (Depkes
RI, 2009)
Menurut penelitian Abdullah (2003) dalam Agussalim (2011),
faktor
resiko terjadinya ISPA pada balita adalah berat badan lahir
(BBL), status gizi,
-
30
pemberian ASI, pendidikan ibu, kepadatan hunian, keadaan
ventilasi, asap
pembakaran, asap rokok dan letak dapur.
Gambar 2.1 Kerangka Teoritis
Menurut Ditjen PPM dan PL
Depkes RI (2005) dalam Alkausar
(2007)
- jenis kelamin laki-laki - umur di bawah 2 bulan
- tidak mendapat ASI memadai
- polusi udara - kepadatan tempat tinggal - imunisasi tidak
memadai - defisiensi vitamin A - tingkat sosial ekonomi rendah -
gizi kurang, - berat badan lahir rendah
- tingkat pengetahuan ibu rendah
- tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah
- menderita penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat
dalam praktek pencarian
pengobatan yang salah.
Menurut Syair (2009)
- umur di bawah 2 bulan, - tingkat sosial ekonomi rendah, - gizi
kurang, - berat badan lahir rendah,
- tingkat pengetahuan ibu rendah,
- tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah,
- imunisasi yang tidak memadai, - menderita penyakit kronis, dan
- aspek kepercayaan setempat
dalam praktek pencarian
pengobatan yang salah.
Menurut Arief (2009)
- Tidak mendapat ASI memadai
Menurut Depkes RI (2009)
- Pemberian ASI kurang cukup
- Malnutrisi - imunisasi tidak
lengkap
- defisiensi vitamin A, - BBLR - umur muda - kepadatan hunian -
udara dingin, - jumlah kuman yang
banyak ditenggorokan
- terpapar polusi udara oleh asap rokok
- gas beracun
Menurut Abdullah (2003)
dalam Agussalim (2011) - Pemberian ASI
kurang
- berat badan lahir (BBL), - status gizi - pendidikan ibu -
kepadatan hunian - keadaan ventilasi - asap pembakaran - asap rokok
- letak dapur.
Kejadian
ISPA
-
31
E. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian ini dikembangkan berdasarkan
konsep
menurut Ditjen PPM dan PL Depkes RI (2005) dalam Alkausar
(2007), dan
Syair (2009) tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu yang
rendah dengan
kejadian ISPA pada anak. Dan berdasarkan konsep Ditjen PPM dan
PL
Depkes RI (2005) dalam Alkausar (2007), Arief (2009), Depkes RI
(2009),
Abdullah (2003) dalam Agussalim (2011) tentang berbagai faktor
risiko yang
meningkatkan kematian akibat ISPA salah satunya adalah tidak
mendapat ASI
memadai.
Berdasarkan pola pemikiran di atas maka dibuatlah kerangka
konsep
variabel yang diteliti sebagai berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Kejadian ISPA pada
Anak Usia 2-5
tahun
Tingkat Pengetahuan Ibu
Pemberian ASI
-
32
F. Hipotesis Penelitian
a. Tidak ada hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian
ISPA pada
anak usia 2-5 tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah
Aceh
Tahun 2013.
b. Ada hubungan pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak
usia 2-5
tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun
2013
G. Definisi Operasional
Tabel 3.1
Definisi Operasional dan Metode Pengukuran
Terhadap Variabel Penelitian
No Variabel
Penelitian
Definisi
Operasional Cara Ukur
Alat
Ukur
Hasil
Ukur
Skala
Ukur
Variabel Dependen
1 Kejadian
ISPA pada
anak usia 2-
5 tahun
Suatu penyakit
infeksi saluran
pernafasan yang
bersifat akut yang
diderita anak usia 2-
5 tahun dengan
ditandai adanya
batuk, pilek, serak,
demam, baik disertai
sesak nafas maupun
tidak.
Dengan melihat diagnosa
dokter:
- Menderita: bila hasil diagnosa dokter atau
paramedik terlatih
pada catatan medis
menunjukkan Balita
menderita ISPA.
- Tidak menderita : bila hasil diagnosa
dokter atau
paramedic terlatih
pada catatan medis
menunjukkan Balita
menderita ISPA
Kuesioner - Menderita ISPA
- Tidak menderita
ISPA
Ordinal
Variabel Independen
2 Tingkat
pengetahuan
ibu
Segala sesuatu yang
diketahui ibu tentang
ISPA pada anak usia
2-5 tahun.
Wawancara dengan
menggunakan kuesioner
berisi 15 pertanyaan
dengan kriteria:
- Tinggi: : jika x 8,61 - Rendah : jika x < 8,61
Kuesioner - Tinggi - Rendah
Ordinal
-
33
3 Pemberian
ASI
Tindakan ibu
memberikan Air
Susu Ibu (ASI)
kepada bayinya
dari umur 0 2 tahun.
Wawancara dengan
menggunakan
kuesioner dengan
kriteria:
- Cukup : jika ibu memberikan ASI
kepada bayi
sampai umur 2
tahun.
- Tidak cukup: jika ibu tidak
memberikan ASI
kepada bayi
sampai umur 2
tahun
Kuesioner - Cukup - Tidak
cukup
Ordinal
-
34
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Desain Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan desain
cross-
sectional yaitu mengukur variabel dependen dan variabel
independen secara
bersamaan. Studi cross-sectional digunakan untuk mengetahui
hubungan
antara suatu penyakit dan variabel atau karakteristik yang
terdapat di
masyarakat pada suatu saat tertentu (Chandra, 2008).
Desain cross-sectional dilakukan untuk melihat hubungan
pengetahuan
ibu dan pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5
tahun di
Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh tahun 2013.
B. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu
yang
memiliki anak usia 2-5 tahun yang berobat ke poli anak Rumah
Sakit
BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh pada bulan Januari sampai
dengan
April tahun 2013 berjumlah 256 orang.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki anak
usia
2-5 tahun yang berobat ke poli anak Rumah Sakit BLUD Ibu dan
Anak
Pemerintah Aceh Tahun 2013. Teknik pengambilan sampel dengan
accidental sampling yaitu sampel yang tersedia atau kebetulan
ada pada
-
35
saat peneliti melakukan pengumpulan data selama 10 hari.
Perhitungan
besar sampel dilakukan dengan menggunakan rumus Slovin
(Notoadmodjo, 2007), sebagai berikut :
n =
Keterangan:
N : Besar Populasi
n : Besar sampel
d : Tingkat Kepercayaan/Ketetapan yang di inginkan
n = )(1 2dN
N
Keterangan:
N = besar populasi
n = besar sampel
d = tingkat kepercayaan / ketetapan yang di inginkan (0,10).
Maka berdasarkan rumus Slovin di atas, didapat jumlah sampel
untuk
penelitian ini berjumlah :
n = )01,0(2561
2562
n = 56,21
256
n = 56,3
256
n = 71,9
n = 72 sampel
-
36
Sehingga besar sampel yang di ambil dalam penelitian ini
adalah
sebanyak 72 sampel.
Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Ibu yang mempunyai balita usia 2 sampai 5 tahun.
2. Bersedia menjadi responden.
3. Dapat berkomunikasi dengan baik.
4. Dapat membaca dan menulis.
C. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di Rumah Sakit BLUD Ibu
dan
Anak Pemerintah Aceh.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Juni sampai
dengan
Desember 2013. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 26
November
sampai dengan 5 Desember 2013
D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
1. Jenis pengumpulan data
Data yang digunakan adalah data primer yaitu data yang
diperoleh
langsung di lokasi penelitian menggunakan kuesioner dengan
metode
wawancara.
-
37
2. Instrumen Penelitian
Penelitian ini mengumpulkan data primer yang didapati
langsung
dari ibu-ibu yang memiliki anak usia 2-5 tahun menggunakan
kuesioner
dengan jumlah keseluruhan 17 pertanyaan yang terdiri dari :
a. Satu pertanyaan tentang pemberian ASI dalam bentuk
checklist
b. Satu pertanyaan tentang kejadian ISPA
c. Lima belas pertanyaan tentang pengetahuan dengan option
jawaban
pilihan a, b, c dan d, untuk jawaban benar diberi skor 1, jika
tidak
diberi skor 0. Dengan kriteria Tinggi apabila x 61,8 , rendah
apabila
x < 8,61.
E. Pengolahan Data dan Analisa Data
1. Pengolahan Data
Menurut Budiarto (2002) setelah dilakukan pengungumpulan
data,
maka selanjutnya data tersebut diolah dengan cara sebagai
berikut :
a. Editing yaitu melakukan pengecekan terhadap hasil pengisian
angket
yang meliputi kelengkapan identitas dan jawaban yang diberikan
oleh
responden.
b. Coding yaitu memberi kode jawaban secara angka atau kode
tertentu
sehingga lebih mudah dan sederhana.
c. Transfering yaitu memindahakan jawaban responden kedalam
berntuk
tabel.
-
38
d. Tabulating yaitu mengelompokkan responden berdasarkan
kategori
yang telah dibuat untuk variabel yang diukur dan ditampilkan
kedalam
bentuk tabel.
2. Analisa Data
a. Analisis Univariat
Menurut Budiarto (2002) Menggambarkan distribusi frekuensi
dan persentase masing - masing variabel yang diteliti.
Selanjutnya
data yang ditampilkan dalam bentuk tabel dan narasi.
%100 P n
f
Keterangan:
P : Persentase
f : Frekwensi Teramati
n : Jumlah Responden
Sedangkan Untuk menghitung rata-rata digunakan rumus :
x = n
x
Keterangan :
x = Mean (rata-rata)
= Jumlah
n = Jumlah responden
x = Nilai responden
-
39
b. Analisis Bivariat
Analisa bivariat merupakan analisis hasil dari variabel
bebas
yang diduga mempunyai hubungan dengan variabel terikat.
Untuk
menguji hipotesa yang dilakukan analisa statistik dengan
menggunakan uji data chi-square pada tingkat kemaknaannya 95%
(
= 0,05), sehingga dapat diketahui ada tidaknya hubungan yang
bermakna secara statistik dengan menggunakan program
komputer
SPSS for window.
Melalui uji chi-square test (X) berupa tabel kontingen 2x2
untuk memperoleh hubungan yang signifikan antara
variabel-variabel
dengan menggunakan rumus:
X = [{o - e}]
e
Jika salah satu dari tabel terdapat nilai e 5, maka
rumusnya:
X = [{o - e} 0,5]
e
Keterangan:
X = Statistik Chi-Squere
o = Nilai pengamatan
e = Nilai yang diharapkan (Arikunto, 2006)
Melalui perhitungan uji chi-square test selanjutnya ditarik
pada
kesimpulan dengan kriteria sebagai berikut :
1. Jika nilai p < maka Ha diterima, berarti ada hubungan
antara
variabel dependen dengan independen.
-
40
2. Jika nilai p maka Ha ditolak, berarti tidak ada hubungan
antara
variabel dependen dengan independen.
Aturan yang berlaku pada uji chi-square adalah sebagai
berikut
( Hastono, 2001 ):
1. Bila pada tabel 2x2 dijumpai nilai E (harapan) kurang dari 5,
maka
hasil yang dibaca di Fisher Exact.
2. Bila pada tabel 2x2, dan tidak dijumpai nilai E kurang dari
5,
maka hasil yang dibaca di Continuity Correction.
3. Bila tabelnya lebih dari 2x2, misalnya 2x3, 3x3 dan
sebagainya,
maka hasil yang dibaca di Pearson Chi-square
-
41
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Pemerintah Aceh yang
dibentuk
berdasarkan Qanun (Perda) Pemerintah Aceh Nomor 5 Tahun 2006
tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelayanan Kesehatan
Rumah
Sakit Ibu dan Anak Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
selanjutnya dengan
Qanun Nomor 5 Tahun 2007 terjadi perubahan nomenklatur menjadi
Rumah
Sakit Ibu dan Anak Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
RSIA Pemerintah Aceh adalah rumah sakit dengan tipe B
khusus,
kapasitas tempat tidur 98 TT, berdiri pada areal seluas 9.307 m
dengan luas
bangunan 8.575 m. Sesuai dengan fungsinya RSIA Pemerintah
Aceh
bertugas menyelenggarakan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat
khususnya kesehatan ibu dan anak dengan jenis pelayanan sebagai
berikut :
1. Pelayanan Medik : pelayanan gawat darurat, pelayanan rawat
jalan,
pelayanan rawat inap, kamar bedah, rawat intensif, penunjang
medik.
2. Rawat Jalan : pelayanan dokter umum, pelayanan kesehatan ibu
dan anak,
pelayanan KB, pelayanan imunisasi.
3. Rawat Inap : perawatan kebidanan, perawatan penyakit anak,
perawatan
bedah, perawatan penyakit dalam.
4. Gawat Darurat : pelayanan trauma, pelayanan non trauma,
5. Perawatan Intensif : NICU / PICU, ICU
-
42
6. Penunjang Medik : patologi klinik, anestesi, radiologi,
instalasi farmasi,
instalasi gizi, instalasi laundry, instalasi pemeliharaan sarana
dan
prasarana rumah sakit, ambulance dan kamar jenazah.
B. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak
Pemerintah Aceh. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 26
November
sampai dengan tanggal 05 Desember 2013, dengan jumlah sampel
dalam
penelitian ini sebanyak 72 orang dari jumlah populasi 256
ibu-ibu yang
memiliki anak usia 2-5 tahun yang berobat ke poli anak Rumah
Sakit BLUD
Ibu Dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013. Teknik pengambilan
sampel
dengan accidental sampling.
1. Analisa Univariat
a. Tingkat Pengetahuan Ibu tentang ISPA
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang ISPA
Di Rumah Sakit BLUD Ibu Dan Anak
Pemerintah Aceh Tahun 2013
No Tingkat
Pengetahuan
f %
1 Tinggi 30 41,7
2 Rendah 42 58,3
Jumlah 72 100
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2013
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa dari 72
responden,
terdapat 42 orang (58,3%) berada pada tingkat pengetahuan
dengan
kategori rendah.
-
43
b. Pemberian ASI
Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Pemberian ASI Di Rumah Sakit BLUD
Ibu Dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013
No Pemberian ASI f %
1 Cukup 34 47,2
2 Tidak Cukup 38 52,8
Jumlah 72 100
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2013
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa dari 72
responden,
terdapat 38 orang (52,8%) berada pada kategori tidak cukup
pemberian
ASI.
c. Kejadian ISPA pada Anak Usia 2-5 Tahun
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA
Pada Anak Usia 2-5 Tahun Di Rumah Sakit BLUD Ibu Dan Anak
Pemerintah Aceh Tahun 2013
No Kejadian ISPA f %
1 Menderita 35 48,6
2 Tidak Menderita 37 51,4
Jumlah 72 100
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2013
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa dari 72
responden,
terdapat 37 orang (51,4%) berada pada kategori tidak menderita
ISPA.
-
44
2. Analisa Bivariat
a. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Kejadian ISPA
pada
anak usia 2-5 tahun
Tabel 4.4
Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan
Kejadian ISPA Pada Anak Usia 2-5 Tahun Di Rumah Sakit BLUD
Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013
Tingkat
Pengetahuan
Kejadian ISPA
Jumlah
p
OR Menderita Tidak
Menderita
f % f % f %
Tinggi 10 33,3 20 66,7 30 100
0,050
2,941 Rendah 25 59,5 17 40,5 42 100
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 42 responden
yang
berpengetahuan rendah terdapat 25 orang (59,5%) yang menderita
ISPA dan
hanya 17 orang (40,5%) yang tidak menderita ISPA.
Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji
chi-square ,
didapat nilai p-value 0,050, yang berarti sama dengan -value
(0,05). Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna
antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada anak
usia 2-5 tahun
di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013.
Dari hasil analis diperoleh nilai OR 2,941 yang berarti bahwa
anak usia 2-
5 tahun dengan ibu yang berpengetahuan rendah tentang ISPA
memiliki resiko
2,941 kali lebih tinggi untuk terkena ISPA bila dibandingkan
dengan anak usia
2-5 tahun dengan ibu yang berpengetahuan tinggi tentang
ISPA.
-
45
b. Hubungan Pemberian ASI dengan Kejadian ISPA
Tabel 4.5
Hubungan Pemberian ASI dengan Kejadian ISPA Pada Anak
Usia 2-5 Tahun Di Rumah Sakit BLUD
Ibu Dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013
Pemberian ASI
Kejadian ISPA
Jumlah
p
OR Menderita Tidak
Menderita
f % f % f %
Cukup 8 23,5 26 76,5 34 100
0,000
7,977 Tidak Cukup 27 71,1 11 28,9 38 100
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 38 responden
yang tidak
cukup pemberian ASI terdapat 27 orang (71,1%) yang menderita
ISPA dan
hanya 11 orang (28,9%) yang tidak menderita ISPA.
Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji
chi-square, didapat
nilai p-value 0,000 yang berarti lebih kecil dari -value (0,05).
Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan antara
pemberian ASI
dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 Tahun di Rumah Sakit
BLUD Ibu
dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013.
Dari hasil analis diperoleh nilai OR 7,977 yang berarti bahwa
anak usia 2-
5 tahun yang tidak cukup pemberian ASI memiliki resiko 7,977
kali lebih
tinggi untuk terkena ISPA bila dibandingkan dengan anak usia 2-5
tahun yang
cukup diberikan ASI. Secara statistik dapat dilihat bahwa
pemberian ASI pada
bayi sampai berumur 2 tahun akan mengurangi resiko bayi tersebut
untuk
terkena ISPA, dengan kata lain, pemberian ASI pada bayi yang
tidak sampai
berumur 2 tahun akan berdampak pada anak di kemudian hari,
seperti resiko
terkena ISPA
-
46
C. Pembahasan
1. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Kejadian
ISPA
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya
hubungan antara pengetahuan dengan kejadian ISPA pada anak usia
2-5
tahun. Hal ini dapat dilihat dari 42 responden dengan
pengetahuan rendah
hanya 25 responden (59,5%) yang anaknya menderita ISPA dan
17
responden (40,5%) yang tidak menderita ISPA. Dari hasil uji
statistic
dengan menggunakan uji chi-square , didapat nilai p-value 0,050,
yang
berarti sama dengan -value (0,05). Sedangkan perhitungan Odds
Ratio
didapat hasil OR (2,941).
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian
Agussalim
(2011) tentang "Hubungan Pengetahuan, Status Imunisasi Dan
Keberadaan
Perokok Dalam Rumah Dengan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan
Akut
Pada Balita Di Puskesmas Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar
Tahun
2011" yaitu penyakit ISPA pada respoden dengan pengetahuan
baik
adalah hanya 31,3%, sedangkan pada responden dengan
pengetahuan
kurang 75,7%. sehingga tidak sesuai dengan yang dikemukakan
oleh
Aggussalim bahwa dengan pengetahuan yang baik maka ibu akan
dapat
menjaga dan meningkatkan kesehatan balitanya khususnya dalam
pencegahan penyakit ISPA.
Hal ini juga tidak sejalan dengan teori yang dikemukakan
Depkes
RI (2002) bahwa Pengetahuan tentang ISPA diharapkan dapat
menjadi
faktor pendorong bagi masyarakat untuk melakukan pencegahan
ISPA
-
47
dalam tingkatan keluarga. Dengan melakukan pencegahan ISPA
maka
kemungkinan terjadinya infeksi patogen ISPA pada anak dapat
dicegah.
Dari hasil penelitian dan paparan beberapa teori di atas
dapat
dilihat bahwa tingkat pengetahuan ibu tidak berhubungan
dengan
kesehatan balita, dalam hal ini adalah kejadian ISPA. Sejalan
dengan hasil
penelitian ini peneliti berasumsi bahwa bukan berarti ibu
dengan
pengetahuan kurang akan selalu memiliki resiko tinggi terhadap
balitanya
untuk terkena ISPA, walaupun secara frekwensi distribusi
terbanyak
kejadian ISPA pada kategori menderita berada pada anak usia 2-5
tahun
yang memiliki ibu dengan pengetahuan kurang. Namun juga terdapat
17
responden (40,5%) dari 42 responden dengan pengetahuan rendah
tetapi
anaknya tidak menderita ISPA. Hal ini tidaklah mengherankan jika
dilihat
dari segi teori seperti pendapat yang dikemukakan oleh Ditjen
PPM dan
PL Depkes RI (2005) dalam Alkausar (2007) yang menyatakan
bahwa
banyak faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat ISPA,
diantaranya adalah jenis kelamin laki-laki, umur di bawah 2
bulan, tidak
mendapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal,
imunisasi
tidak memadai, defisiensi vitamin A, tingkat sosial ekonomi
rendah, gizi
kurang, berat badan lahir rendah, tingkat jangkauan pelayanan
kesehatan
rendah, menderita penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat
dalam
praktek pencarian pengobatan yang salah.
Dari hasil penelitian diatas terdapat 17 responden (40,5%)
dengan
tingkat pengetahuan rendah tetapi anaknya tidak menderita ISPA
hal ini
-
48
diasumsikan karena pemberian ASI yang cukup sehingga daya tahan
tubuh
anak terhadap penyakit infeksi lebih tinggi walaupun pengetahuan
ibu
rendah tentang ISPA. Namun demikian dalam penelitian ini
masih
dijumpai 33.3% responden dengan pengetahuan tinggi tentang
ISPA
namun anaknya menderita ISPA hal ini diasumsikan karena adanya
faktor
lain yang mempengaruhi seperti terpapar polusi udara, asap
rokok,
pengaruh tempat tinggal yang padat, pemberian ASI yang tidak
cukup,
sehingga anak dapat dengan mudah terkena penyakit ISPA. Pada
responden dengan pengetahuan tinggi terdapat 20 (66,7%) yang
tidak
menderita ISPA diasumsikan dengan pengetahuan yang tinggi
tentang
ISPA maka ibu dapat melakukan pencegahan terhadap penyakit ISPA
dan
setidaknya apabila anak menderita ISPA maka ibu dapat
melakukan
praktek penanganan dini bagi anaknya yang menderita ISPA sebab
bila
praktek penanganan ISPA pada tingkat keluarga yang kurang/buruk
akan
berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi
bertambah
berat.
2. Hubungan antara Pemberian ASI dengan Kejadian ISPA
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya
hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian ISPA anak usia
2-5
tahun. Hal ini dapat dilihat dari persentase responden dengan
pemberian
ASI cukup adalah hanya 23,5% yang anaknya menderita ISPA
sedangkan
pada responden dengan pemberian ASI tidak cukup yang menderita
ISPA
sebanyak 71%. Dari hasil uji statistic dengan menggunakan uji
chi-square
-
49
didapat nilai p-value 0,000, yang berarti lebih kecil dari
-value (0,05).
Sedangkan perhitungan Odds Ratio didapat hasil OR (7,977)
Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan
Endang Setyowati (2009) dengan judul penelitian Hubungan
Riwayat
Pemberian ASI Eksklusif Dengan Frekuensi Kejadian ISPA Pada
Anak
Usia 1-2 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Purwodadi
Kabupaten Purworejo. Dimana pada penelitian ini didapat bahwa
status
pemberian ASI pada anak yang mendapat ASI eksklusif sebanyak
12
orang (31,57%) dan untuk frekuensi kejadian ISPA 29 orang
(76,31%)
jarang terkena ISPA, sehingga hasil dari perhitungan statistik
diperoleh
nilai signifikasi (P) besarnya 0,037 yang dibandingkan dengan
nilai =
5% dimana nilai P < 0,05, sehingga H0 ditolak, artinya ada
hubungan
antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan frekuensi kejadian
ISPA.
Penelitian yang dilaksanakan oleh Endang Setyowati membuktikan
bahwa
pemberian ASI memberikan efek yang tinggi terhadap kejadian
ISPA.
Hal ini juga sejalan dengan teori Arief (2009) menyatakan
bahwa
ASI juga akan menurunkan kemungkinan bayi terkena penyakit
infeksi
telinga, batuk, pilek dan penyakit alergi. Bayi yang mendapat
ASI ternyata
akan lebih sehat dan lebih jarang sakit dibandingkan dengan bayi
yang
tidak mendapatkan ASI.
Menurut Depkes RI (2002) ASI adalah suatu komponen yang
paling utama bagi ibu dalam memberikan pemeliharaan yang
baik
terhadap bayinya, untuk memenuhi pertumbuhan dan
perkembangan
psikososialnya. Karena sesuatu yang baik tidaklah harus mahal
bahkan
-
50
bisa sebaliknya, terbaik dan termurah yaitu ASI. Karena ASI
bisa
membuat anak lebih sehat, tapi juga cerdas dan lebih
menyesuaikan diri
dengan lingkungan.
Selain merupakan makanan yang paling baik untuk bayi
terutama
pada bulan-bulan pertama kehidupannya, ASI juga merupakan
sumber
nutrisi bagi bayi dan juga sebagai sumber zat anti
mikroorganisme yang
kuat, karena adanya beberapa faktor yang bekerja secara
sinergis
membentuk sistem biologis. ASI dapat memberikan imunisasi
pasif
melalui penyampaian antibodi dan sel-sel imun kompeten ke
permukaan
saluran pernafasan atas (Depkes RI, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian di atas peneliti berasumsi bahwa
anak
yang cukup pemberian ASI lebih sedikit yang menderita ISPA
karena daya
tahan tubuh anak dengan pemberian ASI cukup lebih baik dari pada
anak
yang pemberian ASI tidak cukup karena ASI mengandung anti
infeksi
yang penting dalam mencegah infeksi saluran pernapasan oleh
bakteri dan
virus. ASI merupakan makanan utama pada usia 0-2 tahun yang
sangat
baik dan tidak ada bandingnya, meskipun susu formula termahal
dan
terbaik tetapi terbukti bahwa ASI memang lebih unggul
dibandingkan susu
formula karena ASI mengandung zat- zat kekebalan yang tidak
dimiliki
oleh susu formula. Meskipun pemberian ASI telah banyak
disosialisasikan, namun tidak sedikit ibu yang belum mengerti
dan
menganggap remeh hal itu. Hal tersebut menyebabkan anak
kehilangan
manfaat ASI yang luar biasa bagi pertumbuhannya, ASI
mengurangi
resiko infeksi. Zat antibodi yang terdapat dalam ASI melindungi
bayi dari
-
51
serangan penyakit infeksi. Meningkatkan daya tahan tubuh, karena
ASI
mengandung imunoglobulin A sehingga anak tidak mudah terkena
ISPA.
Namun demikian dalam penelitian ini masih dijumpai 23,5%
responden dengan pemberian ASI cukup namun anaknya menderita
ISPA
hal ini diasumsikan karena adanya faktor lain yang mempengaruhi
seperti
pengetahuan ibu yang kurang, imunisasi tidak memadai, tingkat
sosial
ekonomi rendah, gizi kurang, dan tingkat jangkauan pelayanan
kesehatan
rendah.
-
52
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab
sebelumnya,
maka dapat ditarik kesimpulan mengenai hubungan tingkat
pengetahuan ibu
dan pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun
di Rumah
Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013 adalah
sebagai
berikut :
1. Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan
kejadian
ISPA Pada Anak Usia 2-5 Tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan
Anak
Pemerintah Aceh Tahun 2013 dengan nilai p-value 0,050.
2. Ada hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian ISPA Pada
Anak
Usia 2-5 Tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah
Aceh
Tahun 2013 dengan nilai p-value 0,000.
B. Saran
1. Bagi Tempat Penelitian
Diharapkan bagi petugas kesehatan di Rumah sakit BLUD Ibu dan
Anak
Pemerintah Aceh untuk lebih meningkatkan
penyuluhan-penyuluhan
tentang kesehatan terutama yang menyangkut dengan penyakit ISPA
dan
penyuluhan tentang peningkatan pemberian ASI. serta
mempersiapkan
ibu-ibu hamil agar nantinya setelah melahirkan dapat memberikan
ASI
-
53
dan melibatkan keluarga dalam mensukseskan pemberian ASI
sampai
usia 2 tahun.
2. Institusi Pendidikan
Diharapkan penelitian ini dapat menambah literatur atau bahan
bacaan
bagi perpustakaan STIKes U'Budiyah khususnya tentang hubungan
tingkat
pengetahuan ibu dan pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada
anak.
3. Bagi Peneliti
Dengan adanya penelitian ini peneliti dapat lebih meningkatkan
lagi
konseling kepada ibu hamil tentang manfaat menyusui dan
tatalaksananya
dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi lahir, sampai umur 2
tahun.
4. Bagi Responden
Dengan adanya penelitian ini diharapkan kepada ibu-ibu yang
memiliki
anak usia balita untuk lebih meningkatkan lagi pengetahuan
dan
pemahamannya tentang penyakit ISPA dan manfaat pemberian ASI
sampai anak usia 2 tahun tidak hanya dari tenaga kesehatan
tetapi lebih
aktif lagi untuk mencari informasi misalnya dari media cetak
ataupun
elektronik.
-
54
DAFTAR PUSTAKA
Alkausar, 2007, Pengaruh Faktor-Faktor Resiko Terhadap Infeksi
Saluran
Pernafasan Akut pada Balita di Puskesmas Ulee Kareng Kota Banda
Aceh Tahun
2007. Banda Aceh: Skripsi, Fakultas Kedokteran Program Studi
Ilmu
Keperawatan, Universitas Syiah Kuala.
Arief, 2009, PANDUAN IBU CERDAS-ASI dan Tumbuh Kembang
Bayi/Deti-
Cet.1-Yogyakarta: Media Pressindo.
Arifin, Yasir, 2009, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA),
Keperawatan.
http://httpyasirblogspotcom.blogspot.com/2009/04/infeksi-saluran-
pernafasan-
akut-ispa.html. [10 juni 2013]
Avicenna,2009, ISPA, Kesehatan Comments.
http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/429.html?task=view.
[17 Juni, 2013].
Afrida L. 2007.Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Bayi di Wilayah
Kerja Puskesmas
Rantang Kec. Medan Petisah Kota Medan Tahun 2007. Skripsi
Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara,Medan.
Agussalim, 2011, Hubungan Pengetahuan, Status Imunisasi Dan
Keberadaan
Perokok Dalam Rumah Dengan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan
Ahut Pada
Balita Di Puskesmas Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar, Jurnal
Ilmiah Stikes
U'Budiyah Indonesia
Budiarto, 2002, Biostatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan
Masyarakat,
Jakarta: EGC.
-
55
Behrman, et al, 2000, Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Editor Samik
Wahab.
Penerbit buku kedokteran EGC
Chandra Budiman, 2008, Metodologi Penelitian Kesehatan. Editor,
Fema
Solekhah Belawati
Depkes R.I., Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan.Jakarta:
2003
_________, Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA.Jakarta: 2001
_________ , Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut
Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita, Ditjen PPM-PLP.
Jakarta: 2002
_________ , peningkatan kualitas anak, Jakarta: Ditjet PP2PI,
2009,
http://www.ppl.depkes.go.id, 2009.[17 Juni, 2013].
Dinkes Prov.Profil Kesehatan Provinsi Aceh, Banda Aceh,
2011.
Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008, Pengantar Ilmu Kesehatan Anak
untuk
Pendidikan Kebidanan.Jakarta: Salemba Medika
Iqbal Mubarak Wahit, dkk, Promosi Kesehatan: Sebuah Pengantar
Proses Belajar
Mengajar dalam Pendidikan, ed. 1. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2007.
Moody Jane, Jane Britten, dan Karen Hogg,Menyusui: Cara Mudah,
Praktis, dan
Nyaman; alih bahasa, Susi Purwoko ;editor edisi bahasa
indonesia, Lilian
Juwono.-Jakarta : Arcan, 2005.
Notoatmodjo Soekidjo, 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
_______________ , 2007, Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni.
Jakarta:
PT.Rineka Cipta,
-
56
_______________ , 2003, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku.
Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT), Panduan
Perawatan
Untuk Bayi dan Balita, ahli bahasa: Surya Satyanegara, Anton
Cahaya Widjaja;
editor edisi bahasa Indonesia, Lilian Juwono. Jakarta: Arcan,
2004.
Roesli Utami,Mengenal ASI Eksklusif, Jakarta: Trubus Agriwidya,
2000.
Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar. Ed. Baru, cet. 36.
Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2003.
Susanto, C.E, Pneumonia Pembunuh Utama Balita Indonesia, Medi
Indonesia,
2009.
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/11/02/103538/71/14/. [18
Juni,
2013]
Syair, Abdul., Faktor Resiko Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA)
pada Balita,Kumpulan Pikiran: Dengan Berfikir Kita Membangun
Hidup, 2009.
http://syair79.wordpress.com/2009/04/26/faktor-risiko-kejadian-
infeksi-saluran-
pernapasan-akut-ispa-pada-balita/.[29 April, 2013]
Taufik, M., Prinsip Prinsip Promosi Kesehatan Dalam Bidang
Keperawatan.
Jakarta : CV. Infomedika, 2007.
WHO. 2003. Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah Sakit Kecil
Negara
Berkembang. Pedoman Untuk Dokter Dan Petugas Kesehatan Senior.
Alih
Bahasa: C. Anton Widjaja. Penerbit Buku Kedoteran
EGCJakarta.
Lampiran 6
-
57
KUESIONER
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DAN PEMBERIAN ASI
DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT
(ISPA) PADA ANAK USIA 2-5 TAHUN DIRUMAH SAKIT
BLUD IBU DAN ANAK PEMERINTAH ACEH
A. Diisi oleh peneliti
KODE RESPONDEN :
TANGGAL WAWANCARA :
DIAGNOSA : Menderita ISPA
Tidak Menderita ISPA
B. Berilah tanda chek list () pada pilihan yang sesuai.
Apakah ibu memberikan Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi sampai umur
2 tahun ?
Ya
Tidak
C. Pengetahuan
1. Seorang anak yang menderita batuk, pilek disertai demam dapat
menular secara tidak langsung kepada anak yang sehat melalui: a.
Bersin dan batuk b. Pemberian darah bagi orang yang membutuhkan c.
Berganti-ganti pakaian d. Melalui sentuhan
2. Apa saja resiko yang menyebabkan meningkatnya penderita
batuk, pilek disertai demam ?
-
58
a. Umur di bawah 2 bulan, tidak mendapat ASI memadai, tingkat
pengetahuan ibu rendah, polusi udara dan kepadatan tempat
tinggal.
b. Keracunan makanan, makanan yang pedas dan terlalu asam. c.
Karena adanya timbunan BAB ( Buang Air Besar) yang keras. d. Karena
minum air yang tidak dimasak sampai mendidih terlebih dahulu
3. Bagaimana cara pencegahan batuk, pilek disertai demam ? a.
Rumah sehat, pengendalian polusi udara, peningkatan gizi pada
balita,
peningkatan pengetahuan dan perilaku kesehatan. b. Mengubur
barang bekas, menguras bak mandi, penyemprotan dan melipat
pakaian. c. Mengalirkan air bersih yang tergenang d. Melakukan
olah raga setiap hari
4. Jika anak masih menyusu dan terkena batuk, pilek disertai
demam, apakah harus tetap diberikan ASI ? a. Tidak perlu b. Harus
tetap diberikan c. Pemberian ASI dihentikan pada saat anak sakit
dan dilanjutkan ketika anak
sembuh. d. Pemberian ASI dilakukan jika anak dapat menghisap
5. Jika anak menderita batuk, pilek disertai demam, kapan
dinyatakan anak telah sembuh ? a. Setelah anak diberikan obat
selama 3 hari. b. Anak tidak demam lagi. c. Semua gejala telah
hilang. d. Semua gejala telah hilang dan berat badan anak sudah
kembali sama seperti
sebelum sakit.
6. Kapan anak harus segera dibawa ke Puskesmas atau Rumah Sakit
? a. Jika anak bernafas lebih cepat dari biasa dan terserang batuk
selama lebih dari 2
minggu b. Jika tubuh anak terasa hangat tiba-tiba c. Jika anak
mulai bersin-bersin d. Jika anak batuk-batuk tetapi masih mau makan
dan minum
7. Bagaimana cara melakukan perawatan batuk, pilek disertai
demam dirumah ? a. Mengatasi panas (demam),mengatasi
batuk,pemberian makanan dan minuman
serta menjaga kesehatan lingkungan b. Membiarkan saja karena
akan sembuh sendiri c. Pemberian makanan sembarangan d. Menbiarkan
anak bermain diluar rumah
8. Bagaimana cara mengatasi demam pada anak ?
-
59
a. Pemberian paracetamol b. Pemberian paracetamol dan dikompres
c. Dengan cara dikompres d. memberikan ramuan tradisional
9. Bagaimana cara pemberian makanan pada anak yang menderita
batuk, pilek disertai demam ? a. Berikan makanan jika anak ingin
makan b. Berikan makanan yang mengandung minyak c. Berikan makanan
yang cukup gizi, sedikit-sedikit dan lebih sering dari biasa. d.
Berikan makanan yang meningkatkan nafsu makan anak
10. Jika anak positif terserang batuk, pilek disertai demam,
makanan bagaimana yang tidak boleh diberikan? a. Makanan yang dapat
merangsang sakit pada tenggorokan b. Makanan yang tidak mengandung
bahan pewarna c. Memberikan makan yang bergizi d. Berikan madu
sendok teh 3x sehari
11. Bagaimana cara mencegah penularan batuk, pilek disertai
demam jika anak Anda berada dalam penitipan harian dan anak Anda
menderita batuk, pilek disertai demam ? a. Saat anak bersin dan
batuk tidak perlu menutup mulut dan hidungnya b. Menganjurkan anak
untuk menutup mulut serta hidungnya saat bersin dan
batuk. c. Anjurkan pada gurunya untuk membiarkan anak anda
seperti biasa d. Anak tidak perlu memakai pakaian yang tebal
12. Kapan virus dan bakteri penyebab batuk, pilek disertai demam
bersirkulasi dalam jumlah besar ? a. Pada musim kemarau b. Pada
musim hujan c. Pada musim diare d. Pada lingkungan yang padat
penduduk
13. Yang merupakan tanda bahaya pada penderita batuk, pilek
disertai demam adalah: a. Anak tidak bisa minum dan terdengar suara
seperti ngorok,anak demam atau
dingin, kesadaran menurun dan kejang serta mengalami kesulitan
bernafas b. Anak masih bisa minum c. Anak tidak demam d. Anak masih
bisa bernafas
14. Bagaimana cara memberikan kompres yang benar ? a.
Menggunakan handuk kecil dan air b. Anak dikompres dengan air
es
-
60
c. Menggunakan kain bersih dan celupkan kedalam air hangat d.
Kompres pada kening anak
15. Jika bayi Anda berusia 3 bulan, pencegahan terbaik terhadap
batuk, pilek disertai demam yang dapat Anda lakukan adalah ? a.
Menjaganya jauh dari orang-orang yang sedang batuk, pilek disertai
demam dan
tetap berikan Asi b. Memberikan imunisasi agar terhindar dari
batuk, pilek disertai demam c. Tidak memberikan ASI dan suplemen
vitamin A d. Menghindari anak terkena hujan atau terik matahari
Lampiran 7
KUNCI JAWABAN
1. A
2. A
3. A
4. B
5. D
6. A
7. A
8. B
9. C
-
61
10. A
11. B
12. B
13. A
14. C
15. A