Top Banner
Naditira Widya Vol. 7 No. 2/2013- Balai Arkeologi Banjarmasin 145 EKSPLOITASI SUMBERDAYA LINGKUNGAN DAN KELESTARIAN SITUS ARKEOLOGI: KASUS GUA PAYUNG YANG TERABAIKAN DAN HILANG Nia Marniati Etie Fajari Artikel masuk pada 1 April 2013 Abstrak. Gua Payung adalah salah satu dari sekian banyak gua hunian prasejarah di kawasan karst Mantewe yang telah dilaporkan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin. Penelitian pada 2006 dan 2012 telah menghasilkan sejumlah data arkeologi yang menunjukkan periode hunian dari sekitar 2970±130 BP dan 3070±130 BP. Namun, keberadaan Gua Payung yang memiliki nilai penting bagi perkembangan masa prasejarah di Kalimantan, tidak sejalan dengan kelestariannya sebagai situs cagar budaya. Gua Payung saat ini berada dalam kondisi yang rusak akibat penggalian tanah endapan gua dan kotoran kelelawar oleh masyarakat setempat untuk keperluan perkebunan sawit. Penelitian ini membahas faktor-faktor yang melatarbelakangi kerusakan masif di Gua Payung dengan menguraikan rangkaian sebab-akibat yang terjadi karena beberapa aspek. Alur yang telah disusun kemudian menjadi dasar untuk menyusun sebuah tawaran solusi dalam mengurangi laju kerusakan gua-gua hunian prasejarah lainnya di kawasan karst Mantewe. Kata kunci: Gua Payung, Mantewe, karst, prasejarah, cagar budaya, pelestarian, sumberdaya Abstract. THE EXPLOITATION OF ENVIRONMENTAL RESOURCES AND SUSTAINABILITY OF ARCHAEOLOGICAL SITE: THE CASE OF PAYUNG CAVE, NEGLECT AND LOST. Payung cave is one of the many prehistoric dwelling caves in the karst region of Mantewe which has been reported by the Archaeological Institute of Banjarmasin. Research in 2006 and 2012 have resulted in a number of archaeological data shown the occupancy around 2970±130 BP and 3070±130 BP . However, the existence of the Payung Cave which has much significancy for the development of the prehistoric period in Kalimantan, is not in line with its sustainability as a cultural heritage site. The Payung cave is currently damage due to sediment excavation and bat droppings by local community for the purpose of oil palm plantations. This study discusses the factors behind the massive damage in the Payung Cave by outlining a series of cause-effect that occurs due to several aspects. Groove that had been developed subsequently became the basis for preparing a solution in a bid to reduce the damaging rate of the prehistoric caves occupancy on the other karst region of Mantewe. Keywords : Payung Cave, Mantewe, karst, prehistoric, cultural preservation, conservation, cultural resource Balai Arkeologi Banjarmasin, Jalan Gotong Royong II, RT 03/06, Banjarbaru 70711, Kalimantan Selatan; Telepon (0511) 4781716; Facsimile (0511) 4781716; email: [email protected] Artikel direvisi pada 25 Agustus 2013 Artikel selesai disunting pada 16 September 2013 A. Pendahuluan Masa prasejarah di wilayah Kalimantan gaungnya tidak sekeras gambaran kisah di lokasi lain seperti di Jawa dan Sumatera. Di Pulau Jawa, serangkaian penelitian yang intesif telah dilakukan secara menyeluruh di berbagai situs prasejarah. Gambaran kehidupan prasejarah yang nyaris lengkap dapat dilihat pada situs di kawasan Sangiran Dome dan deretan pegunungan karst Gunung Sewu. Selain itu, kawasan Sangiran telah ditetapkan menjadi world heritage sejak tahun 1996. Oleh sebab itu, perhatian pemerintah baik pusat maupun daerah terhadap penelitian arkeologi dan pelestarian situs di lokasi tersebut sangatlah besar. Sementara itu, situs-situs prasejarah di Kalimantan yang sudah terdokumentasi terdapat di kawasan perbukitan karst Mantewe, karst Batubuli dan aliran Sungai Riam Kanan di Propinsi Kalimantan Selatan; serta kawasan karst di perbukitan Sangkulirang dan Mangkalihat di Propinsi Kalimantan Timur. Penelitian secara menyeluruh baru dilakukan di Gua Babi yang terletak di perbukitan karst Batubuli di Kabupaten 1. Latar Belakang
12

EKSPLOITASI SUMBERDAYA LINGKUNGAN DAN KELESTARIAN …

Oct 24, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: EKSPLOITASI SUMBERDAYA LINGKUNGAN DAN KELESTARIAN …

Naditira Widya Vol. 7 No. 2/2013- Balai Arkeologi Banjarmasin 145

EKSPLOITASI SUMBERDAYA LINGKUNGAN DAN KELESTARIAN SITUS ARKEOLOGI:KASUS GUA PAYUNG YANG TERABAIKAN DAN HILANG

Nia Marniati Etie Fajari

Artikel masuk pada 1 April 2013

Abstrak. Gua Payung adalah salah satu dari sekian banyak gua hunian prasejarah di kawasan karst Mantewe yang telah dilaporkan

oleh Balai Arkeologi Banjarmasin. Penelitian pada 2006 dan 2012 telah menghasilkan sejumlah data arkeologi yang menunjukkan

periode hunian dari sekitar 2970±130 BP dan 3070±130 BP. Namun, keberadaan Gua Payung yang memiliki nilai penting bagi

perkembangan masa prasejarah di Kalimantan, tidak sejalan dengan kelestariannya sebagai situs cagar budaya. Gua Payung saat ini

berada dalam kondisi yang rusak akibat penggalian tanah endapan gua dan kotoran kelelawar oleh masyarakat setempat untuk

keperluan perkebunan sawit. Penelitian ini membahas faktor-faktor yang melatarbelakangi kerusakan masif di Gua Payung dengan

menguraikan rangkaian sebab-akibat yang terjadi karena beberapa aspek. Alur yang telah disusun kemudian menjadi dasar untuk

menyusun sebuah tawaran solusi dalam mengurangi laju kerusakan gua-gua hunian prasejarah lainnya di kawasan karst Mantewe.

Kata kunci: Gua Payung, Mantewe, karst, prasejarah, cagar budaya, pelestarian, sumberdaya

Abstract. THE EXPLOITATION OF ENVIRONMENTAL RESOURCES AND SUSTAINABILITY OF ARCHAEOLOGICAL SITE:

THE CASE OF PAYUNG CAVE, NEGLECT AND LOST. Payung cave is one of the many prehistoric dwelling caves in the karst

region of Mantewe which has been reported by the Archaeological Institute of Banjarmasin. Research in 2006 and 2012 have resulted

in a number of archaeological data shown the occupancy around 2970±130 BP and 3070±130 BP . However, the existence of the

Payung Cave which has much significancy for the development of the prehistoric period in Kalimantan, is not in line with its sustainability

as a cultural heritage site. The Payung cave is currently damage due to sediment excavation and bat droppings by local community

for the purpose of oil palm plantations. This study discusses the factors behind the massive damage in the Payung Cave by outlining

a series of cause-effect that occurs due to several aspects. Groove that had been developed subsequently became the basis for

preparing a solution in a bid to reduce the damaging rate of the prehistoric caves occupancy on the other karst region of Mantewe.

Keywords : Payung Cave, Mantewe, karst, prehistoric, cultural preservation, conservation, cultural resource

Balai Arkeologi Banjarmasin, Jalan Gotong Royong II, RT 03/06, Banjarbaru 70711, Kalimantan Selatan;Telepon (0511) 4781716; Facsimile (0511) 4781716; email: [email protected]

Artikel direvisi pada 25 Agustus 2013 Artikel selesai disunting pada 16 September 2013

A. Pendahuluan

Masa prasejarah di wilayah Kalimantan gaungnyatidak sekeras gambaran kisah di lokasi lain seperti diJawa dan Sumatera. Di Pulau Jawa, serangkaianpenelit ian yang intesif telah dilakukan secaramenyeluruh di berbagai situs prasejarah. Gambarankehidupan prasejarah yang nyaris lengkap dapat dilihatpada situs di kawasan Sangiran Dome dan deretanpegunungan karst Gunung Sewu. Selain itu, kawasanSangiran telah ditetapkan menjadi world heritage sejak

tahun 1996. Oleh sebab itu, perhatian pemerintah baikpusat maupun daerah terhadap penelitian arkeologidan pelestarian situs di lokasi tersebut sangatlah besar.Sementara itu, situs-situs prasejarah di Kalimantanyang sudah terdokumentasi terdapat di kawasanperbukitan karst Mantewe, karst Batubuli dan aliranSungai Riam Kanan di Propinsi Kalimantan Selatan;serta kawasan karst di perbukitan Sangkulirang danMangkalihat di Propinsi Kalimantan Timur. Penelitiansecara menyeluruh baru dilakukan di Gua Babi yangterletak di perbukitan karst Batubuli di Kabupaten

1. Latar Belakang

Page 2: EKSPLOITASI SUMBERDAYA LINGKUNGAN DAN KELESTARIAN …

Nia Marniati EF “Eksploitasi Sumberdaya Lingkungan dan Kelestarian Situs Arkeologi” 145-156146

Tabalong. Hasil penelitian Gua Babi menggambarkanbahwa aktivitas manusia telah terjadi sejak 6000 tahunyang lalu dengan teknologi rekayasa alat batu danpembuatan gerabah. Mereka mengandalkan sumberenergi berupa kerang, binatang, dan berbagai jenistumbuhan yang terdapat di sekitarnya untuk bertahanhidup (Widianto dan Handini 1999).

Selanjutnya, temuan baru tentang jejak manusiaprasejarah kembali ditemukan di kawasan karstMantewe di Kabupaten Tanah Bumbu. Survei arkeologiyang dilakukan di daerah tersebut berhasilmendokumentasi gua-gua yang diasumsikan pernahmenjadi hunian manusia prasejarah. Kurangnyaperhatian dan penelitian yang belum terfokusmenyebabkan kawasan karst Mantewe yang memilikipotensi besar dalam arkeologi prasejarah sedikitterabaikan. Salah satu situs dengan temuan dataarkeologi adalah Gua Payung di Gunung Batu Tanjak,Desa Bulurejo, Kecamatan Mantewe. Penelitian di GuaPayung dilakukan pertama kali oleh tim Balai ArkeologiBanjarmasin pada 2006. Ekskavasi yang dilakukan diGua Payung kala itu berhasil menemukan sejumlahdata artefak dan ekofak, yang berupa fragmen gerabah,artefak batu, tulang, dan kerang, serta cangkangkerang, dan fragmen tulang binatang (Fajari 2010).Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwaGua Payung pernah menjadi hunian manusia padamasa prasejarah. Analisis terhadap temuan gerabahdari penelitian tahun 2006 memberikan gambaranbahwa okupasi Gua Payung pada masa itu dilakukanoleh kelompok penutur bahasa Austronesia (Fajari2010). Selanjutnya, penelitian di Gua Payungdilaksanakan kembali pada tahun 2012 yang didanaioleh Granucci Grant periode 2011. Rentang waktu yangbegitu panjang dengan penelit ian sebelumnyamemberi dampak buruk yang tidak diharapkan. GuaPayung yang menyimpan data arkeologi penting padamasa prasejarah berada pada kondisi yang sangatmemprihatinkan akibat aktivitas pengolahan lahanperkebunan kelapa sawit warga di sekitar Gua Payung.Meskipun demikian, sejumlah kecil data artefak danekofak masih dapat didokumentasikan secarasistematis.

apa yang menjadi penyebab kerusakan masif padasitus prasejarah di Gua Payung? Penjelasan mengenaifaktor-faktor penyebab kerusakan tersebut diharapkandapat menghasilkan strategi dan rekomendasi sebagaiupaya untuk menjaga kelestarian situs-situs arkeologidi kawasan karst Mantewe serta di daerah lainnya.

2. Tinjauan Pustaka

Perbukitan karst Mantewe di Kabupaten TanahBumbu, Kalimantan Selatan merupakan salah satukawasan karst yang diketahui memiliki gua-gua huniandari masa prasejarah. Sementara ini, perlindungandan pelestarian menyeluruh terhadap potensiarkeologi di kawasan tersebut belum dilakukan.Menurut Samodra (2001, 6) kawasan karst merupakanperpaduan antara unsur-unsur morfologi, kehidupan,energi, air, gas, tanah, dan batuan yang membentuksatu kesatuan sistem yang utuh. Gangguan terhadapsalah satu unsur akan berpengaruh pada keseluruhansistem. Selain memiliki potensi sumberdaya alam,kawasan karst juga menyimpan potensi arkeologi yangterdapat di gua atau ceruk alam yang menjadipemukiman manusia prasejarah. Lingkungan fisik danbiofisik yang rapuh, serta beragam potensi yang dimiliki,menyebabkan semua kegiatan yang berdampak burukharus ditiadakan. Pengelolaan dan pelestariankawasan karst, terutama yang berkaitan dengantinggalan arkeologi, sesuai dengan rumusan yang telahdisusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup, yaitu (1)penyamaan persepsi di antara sektor-sektorpembangunan terkait, dengan memperhatikan anekapermasalahan yang ada; (2) penyeragaman polapengelolaan yang mendasarkan pada jenis dankarakteristik masing-masing kawasan; (3) penetapanbentuk perlindungan yang disesuaikan dengankarakteristik kawasan; dan (4) penetapan metodeanalisis yang cocok untuk penentuan jenisperlindungan dan konsep penanganannya (Kasri dkk1999, dalam Samodra 2001, 11).

Hal tersebut senada dengan yang tercantumdalam Undang Undang No 10 Tahun 2011 tentangCagar Budaya pasal 91 dan 102 yang menyebutkankriteria kawasan atau situs yang dapat disebut CagarBudaya. Sesuai dengan isi pasal tersebut, kawasankarst yang memiliki gua/ceruk hunian masa prasejarah

1 Pasal 9 menyebutkan bahwa lokasi dapat ditetapkan sebagai situs Cagar Budaya apabila (a) mengandung Benda Cagar Budaya, BangunanCagar Budaya, dan/atau struktur Cagar Budaya; (b) menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu.

2 Pasal 10 menyebutkan bahwa Satuan ruang geografis dapat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya apabila:

a. mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan;b. berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;c. memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;d. memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan ruang berskala luas;e. memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; danf. memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau endapan fosil.

Berdasarkan penjelasan di atas, permasalahanyang akan diungkap dalam makalah ini adalah faktor

Page 3: EKSPLOITASI SUMBERDAYA LINGKUNGAN DAN KELESTARIAN …

Naditira Widya Vol. 7 No. 2/2013- Balai Arkeologi Banjarmasin 147

Penetapan kawasan yang mengandung cagarbudaya sebagai kawasan lindung nasional jugatercantum dalam Peraturan Pemerintah RepublikIndonesia No 26/2008 tentang Rencana Tata RuangWilayah Nasional. Pada pasal 51 disebutkan bahwasalah satu dari kriteria kawasan lindung nasionaladalah kawasan suaka dan pelestarian alam dan cagarbudaya (PPRI No 26/2008, 30). Sementara itu, pasal101 menyebutkan mengenai peraturan zonasi untukkawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan yangdisusun dengan memperhatikan pemanfaatan untukpenelitian dan pendidikan serta ketentuan pelaranganbentuk kegiatan dan pendirian bangunan yang tidaksesuai dengan fungsi kawasan.

Meskipun telah banyak perangkat peraturan yangmengatur bentuk pelestarian kawasan cagar budaya,sistem pengelolaan sumber daya arkeologi diIndonesia belum berjalan dengan baik. Konflik atasnama pembangunan yang menunjuk pada prosespertikaian sering muncul dalam upaya-upayapelestarian cagar budaya. Konflik muncul karenapelaku pembangunan beranggapan bahwapelestarian cagar budaya adakalanya menghambatupaya pencapaian kebutuhan dan kepentinganpembangunan nasional. Sementara itu, aspirasi danketerlibatan masyarakat di sekitar situs belum banyakdilibatkan dalam kegiatan pengelolaan dan pelestariancagar budaya. Hal tersebut disebabkan karena sistempengelolaan sumber daya arkeologi di Indonesiamasih bersifat arkeologi pemerintah dan belum bersifatpublik (Sulistyanto 2009, 259-264).

Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan dananalisis terhadap data arkeologi yang ditemukan.Analisis yang dilakukan adalah pengamatan awal yangmeliputi klasifikasi berdasarkan jenis, bentuk, danteknologi. Selain pengamatan terhadap data arkeologi,dilakukan juga pengamatan terhadap kondisilingkungan serta potensi lahan di Gua Payung dankawasan di sekitarnya. Hasil pengamatan tersebutdikelompokkan ke dalam ancaman yang sudah danyang belum terjadi terkait dengan kerusakan situs.Wawancara mendalam dengan warga yang

beraktivitas di sekitar Gua Payung dilakukan untukmenghimpun data mengenai pemanfaatansumberdaya alam di lokasi yang diasumsikan dapat

B. Budaya Prasejarah Gua PayungEkskavasi Gua Payung yang dilakukan pada

tahun 2006 menghasilkan sejumlah data artefaktualdan ekofak yang cukup signifikan. Jenis artefak yangditemukan adalah artefak batu, fragmen gerabah, danperhiasan kerang. Artefak batu yang ditemukan berupaserpihan, serpih, batu inti, dan bilah (Foto 1). Jenisbahan yang digunakan antara lain rijang, kalsedon,dan andesit. Pengelompokan jenis artefak batutersebut dilakukan berdasarkan morfologi awal,sedangkan pengamatan lebih detil terhadap ciri-ciriteknologi dan bekas pemakaian belum dilakukan.Sementara itu, analisis gerabah Gua Payung hasilpenelitian tahun 2006 menghasilkan klasifikasi bagianyang terdiri atas fragmen tepian, fragmen badan,fragmen karinasi, fragmen bagian tutup atau pegangantutup, dan fragmen dasar gerabah. Berdasarkan hasiltersebut diketahui bahwa ragam gerabah Gua Payungyaitu berupa wadah periuk yang kemungkinandigunakan untuk keperluan sehari-hari. Keberadaangerabah Gua Payung merupakan indikasi adanya jejakaktivitas para penutur Austronesia di wilayah tersebut(Fajari 2010).

menjadi penyebab kerusakan situs. Hasil dari studitersebut dapat menjadi acuan untuk pencegahankasus serupa di situs-situs di daerah lain.

merupakan kawasan situs Cagar Budaya yang harusdilindungi dan dilestarikan. Ketentuan tersebut jugaterdapat dalam Keputusan Menteri ESDM No 1456.K/20/MEM/2000 tentang pedoman pengelolaankawasan karst yang menyebutkan bahwa kawasan karstyang memiliki gua dengan speleotem aktif dan/ataupeninggalan sejarah yang berpotensi untukpengembangan objek wisata dan budaya merupakankawasan kelas I yang harus bebas dari segala bentukaktivitas penambangan (Sugiyanto 2008, 135-136).

3. Metode Penelitian

Selain kemiripan ciri teknologi gerabahnya, jejakAustronesia juga tampak pada sejumlah artefak kerangyang ditemukan di Gua Payung. Artefak tersebut berupaperhiasan kerang yang terdiri atas sebuah gelangtangan, pecahan cakram kerang, dan potongan gelangkerang (Foto 2). Gelang tangan yang ditemukan dalamkeadaan utuh tersebut berukuran kecil yangkemungkinan merupakan gelang untuk anak-anak.Pecahan cakram kerang diperkirakan sebagai bagiandari bandul kalung yang telah pecah. Perhiasan kerangtersebut memiliki kemiripan dengan yang ditemukandi Situs Buwawansi dan Situs Talepakemalai di PulauMussau. Di situs tersebut, benda-benda kerang baikyang berupa perhiasan maupun bukan merupakanbenda berharga yang memiliki nilai sebagai alat tukar.Sementara itu, analisis terhadap keberadaanperhiasan kerang di Gua Payung belum dilakukansecara mendalam (Fajari 2010). Sementara itu, dataekofak yang ditemukan di Gua Payung terdiri atasfragmen tulang binatang dan cangkang kerangdiasumsikan sebagai sampah sisa makanan.

Berselang enam tahun kemudian, penelitian GuaPayung kembali dilakukan untuk menambah data

Page 4: EKSPLOITASI SUMBERDAYA LINGKUNGAN DAN KELESTARIAN …

Nia Marniati EF “Eksploitasi Sumberdaya Lingkungan dan Kelestarian Situs Arkeologi” 145-156148

Foto 1. Artefak batu Gua Payung : alat serpih-bilah(kiri) ; alat serpih (kanan)(Dok. Balai Arkeologi

Banjarmasin, 2010).

mengenai kehidupan manusia prasejarah pada masaitu. Sayang sekali, kondisi permukaan lantai gua sudahmengalami perubahan drastis akibat aktivitaspenambangan guano dan tanah untuk perkebunankelapa sawit. Dampaknya adalah banyak data arkeologidi Gua Payung ikut hilang bersama dengan tanah yangdiambil. Penggalian tanah yang dilakukan oleh wargahanya menyisakan sedikit lantai gua yang belumteraduk. Bagian yang belum teraduk inilah yangdiekskavasi, terdiri atas empat kotak tes pit, yaitu TP 1,TP 2, TP 3, dan TP 4. Data arkeologi hasil ekskavasitersebut terdiri atas artefak berupa fragmen gerabah,artefak batu, dan artefak kerang; serta ekofak berupafragmen tulang binatang, fragmen cangkang kerang,oker, dan fragmen arang. Analisis pertanggalan yangdilakukan terhadap cangkang kerang dari TP 1 layer 2dan 3 menghasilkan angka 2970±130 BP (layer 2) dan3070±130 BP (layer 3) (Fajari dan Kusmartono 2012).

Temuan arkeologi paling banyak terdapat padakotak TP 1. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi TP 1berada pada ambang pintu gua sisi barat dan belummengalami penggalian liar. TP 2 berada pada ambang

Foto 2. Jenis artefak kerang Gua Payung: a) gelangkerang ; b) perhiasan dari batu kapur ; c) kerang

cowrie ; d) fragmen gelang kerang (Dok. BalaiArkeologi Banjarmasin, 2010).

pintu gua sisi timur dan kondisi tanah di sekitarnyasudah tergali oleh aktivitas penambangan guano dantanah. Sementara kotak TP 3 yang berada di bagiandalam ruang gua, meskipun tidak ikut tergali olehaktivitas tambang, temuan yang didapat tidak terlalubanyak. Kotak TP 4 yang berada di bawah dinding guadi dekat mulut barat, sebagian tanahnya juga sudahteraduk.

Foto 3. Fragmen badan gerabah berhias dari GuaPayung, dari kiri-kanan: dekorasi teknik tusuk

dengan motif lingkaran; teknik gores dengan motifpola geometri garis lurus dan lengkung; teknik gores

dengan motif garis (Dok. Balai ArkeologiBanjarmasin, 2012).

Foto 4. Batu inti dari Gua Payung (Dok. BalaiArkeologi Banjarmasin, 2012).

Berdasarkan analisis awal, gerabah Gua Payungdiklasifikasikan ke dalam empat kelompok, yaitugerabah berhias, gerabah polos, gerabah slip merah,dan gerabah upam hitam. Teknik hias yang dilakukanadalah teknik tusuk, tekan, dan upam. Sementara ittu,motif dekorasinya terdiri atas motif geometri berupagaris horizontal dan vertikal, segitiga, lingkaran, dankotak, serta bentuk meander (Fajari dan Kusmartono2012). Gabungan dari berbagai garis geometri tersebutmembentuk pola hias seperti duri ikan, zig zag, danbulatan matahari (Foto 3).

Klasifikasi awal terhadap artefak batu Gua Payungmenghasilkan enam kelompok artefak, yaitu serpih(flakes), bilah (blades), batu inti (cores, Foto 4), lancipanbatu (points), batu pukul (hammerstones), dan limbahbatu (debitages). Sejumlah besar limbah batu terpecah

Page 5: EKSPLOITASI SUMBERDAYA LINGKUNGAN DAN KELESTARIAN …

Naditira Widya Vol. 7 No. 2/2013- Balai Arkeologi Banjarmasin 149

Fragmen tulang binatang merupakan temuanyang paling banyak terdapat di kotak-kotak ekskavasi.Selain tulang, ditemukan juga fragmen gigi dan rahang.Analisis awal terhadap tulang dan gigi tersebutmenghasilkan beberapa jenis hewan, di antaranyaadalah Macaca sp., Bovidae, Cervidae, Testudinae,Suidae, Ursidae, Aves, dan fishes. Tulang-tulangtersebut diasumsikan sebagai sisa makanan manusiaGua Payung. Selain tulang sisa makanan, ditemukanjuga alat-alat tulang berupa lancipan dan sudip tulang(Fajari dan Kusmartono 2012). Jenis limbah makananlain di Gua Payung adalah kerang yang ditemukandalam jumlah yang signifikan. Jenis kerang yangmenjadi konsumsi adalah kerang air tawar dari familiThiaridae, Pupinidae, dan Lymnaeidae. Selain kerangair tawar, ditemukan juga jenis kerang air laut, yaitucowry dan fragmen Tridacna, meski jumlahnya tidakbanyak (Fajari dan Kusmartono 2012). Berdasarkanjumlahnya yang tidak banyak, memberikan gambaranbahwa kerang laut tidak dikonsumsi untuk sumbermakanan.

Keberadaan tulang binatang dan cangkangkerang menunjukkan bahwa pendukung budaya GuaPayung melakukan perburuan untuk mendapatkanmakanan. Mereka berburu binatang dari jenis Macacasp., Bovidae, Cervidae, Suidae, Ursidae, dan Aves.Selain berburu, manusia Gua Payung juga melakukanaktivitas penangkapan ikan dan kura-kura sertamengumpulkan kerang air tawar di sungai yang beradadi dekat gua. Dalam melakukan aktivitas tersebut,mereka lebih banyak menggunakan peralatan daribatu. Hal tersebut ditunjukkan dengan melimpahnyatemuan artefak batu dengan bekas pengerjaan padasisi-sisinya. Bekas pengerjaan tersebut berupapangkasan-pangkasan yang dikerjakan pada batuuntuk menghasilkan sisi tajaman. Sejauh ini, penelitianyang sudah dilakukan tidak menemukan artefak tulangdalam jumlah yang signifikan. Sedangkanpemanfaatan cangkang kerang (laut) lebih digunakansebagai perhiasan, yaitu gelang dan bandul kalung.Gelang dan bandul yang ditemukan memilikipermukaan yang halus dan bentuk lingkaransempurna. Hal tersebut menunjukkan adanya teknikpembuatan yang memperhatikan unsur seni untukmenghasilkan perhiasan. Dengan adanya bentukperhiasan tersebut, menunjukkan bahwa seni kriyasangat diperhatikan. Hal itu senada dengan teknologi

Telah disebutkan di atas bahwa Gua Payungberada di gugusan bukit karst di Kecamatan Mantewe,tepatnya di Bukit Batu Tanjak, Desa Bulurejo. Ekosistemkarst di Mantewe menjanjikan sejumlah sumberdayaalam yang dapat dimanfaatkan untuk kepentinganpembangunan ekonomi. Eksplorasi yang berlebihanterhadap sumberdaya tersebut dipastikan dapatmenimbulkan ancaman kerusakan ekosistem karstdan berdampak pada perubahan lingkungan.Pemanfaatan sumberdaya alam yang telah banyakdilakukan di kawasan tersebut antara lain adalahsebagai berikut.

C. Gua Payung dan Eksplorasi SumberdayaAlam: Faktor Penyebab Kerusakan Situs

Pada saat ini, kawasan di Kecamatan Mantewesedang marak dengan pembukaan kebun-kebun sawitbaik oleh perusahaan swasta maupun masyarakat.Data statistik pada tahun 2010 menunjukkan bahwaangka pertumbuhan sektor pertanian di KabupatenTanah Bumbu didukung oleh peningkatan produksisubsektor perkebunan sebesar 7,71 % terutamakomoditas sawit dan karet. Peningkatan tersebutdisebabkan adanya peningkatan konsumsi duniaterhadap kedua komoditas tersebut. Luas lahan sawitdi Kalimantan Selatan telah mencapai 332 ribu hektardengan jumlah produksi 3 ton/hektar. Dari total luaslahan tersebut, 17,6 % berlokasi di Kabupaten TanahBumbu, yang menjadikannya sebagai lahan terluasnomor dua setelah Kabupaten Kotabaru (Irawan 2010).

akibat adanya aktivitas pembakaran. Pengamatan awalterhadap serpih dan bilah menunjukkan bahwa keduajenis alat tersebut tidak disiapkan dengan teknologikhusus, melainkan hanya dipangkas secara sederhanauntuk membentuk tajaman (Fajari dan Kusmartono2012).

pembuatan wadah gerabah dengan motif hiasdekoratif. Beragam motif hias tersebut menunjukkanbahwa keindahan dalam kriya sangat diperhatikan.Meskipun demikian, fragmen gerabah polos tanpamotif hias lebih mendominasi hasil ekskavasi.Pengamatan terhadap bentuk fragmen gerabah yangditemukan menunjukkan bahwa wadah gerabah GuaPayung tampaknya lebih banyak digunakan untukkeperluan praktis sehari-hari. Fragmen bagian badangerabah yang ditemukan umumnya tebal dan memilikibekas hangus pada bagian luarnya. Berdasarkanpengamatan terhadap morfologinya, jenis wadahgerabah yang pernah digunakan di Gua Payungadalah kuali (Fajari 2010).

1. Lahan Perkebunan Kelapa Sawit

Sehubungan dengan hasil yang menjanjikan,maka sawit menjadi primadona bagi masyarakat petanidi wilayah Kecamatan Mantewe. Perkembangankebun sawit di Mantewe semakin pesat dengan adanyarencana dari Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbuyang akan mengadakan bantuan bibit kepadamasyarakat petani (tanahbumbukab.go.id.htm). Di satu

Page 6: EKSPLOITASI SUMBERDAYA LINGKUNGAN DAN KELESTARIAN …

Nia Marniati EF “Eksploitasi Sumberdaya Lingkungan dan Kelestarian Situs Arkeologi” 145-156150

sisi, keberadaan kebun sawit dapat membantupeningkatan perekonomian masyarakat petani untuktingkat yang lebih baik. Di sisi lain, faktor kerusakanlingkungan akibat pembukaan lahan secara besar-besaran untuk kebun sawit tentu dapat membawadampak yang cukup serius. Salah satu dampak yangmuncul adalah penambangan lapisan tanah di gua-gua kapur yang berada di lokasi pembukaan kebunsawit, seperti yang terjadi di Gua Payung di DesaBulurejo, dan gugusan gua kapur di wilayahperkebunan milik perusahaan Rajawali Plantation diDesa Sukadamai.

Berdasarkan keterangan dari informan yangpernah turut dalam penambangan tanah gua, padasaat melakukan penggalian, mereka menemukanfragmen rangka manusia pada endapan tanah di dalamgua. Karena ketakutan, rangka tersebut kemudiandibuang. Informasi tersebut mengindikasikan bahwaGua Payung sebenarnya dapat memberi petunjukmengenai manusia pendukung budayanya. Sayangsekali, informasi mengenai keberadaan sisa manusiahanya sebatas ucapan lisan saja. Pada saat penelitianini dilakukan, ekskavasi yang dilakukan di titik di manarangka manusia pernah ditemukan pada saatpenambangan tanah gua dilakukan (Kotak TP 4), tidak

Kasus yang terjadi di Gua Payung sangatmemprihatinkan. Gua Payung yang pernah menjaditempat tinggal pada masa prasejarah saat ini telahmengalami kerusakan parah akibat penambanganguano, tanah gua, serta batuan untuk keperluanpembukaan lahan kebun sawit (Foto 5). Ratusanbahkan ribuan data arkeologi yang berada pada lapisantanah tersebut saat ini telah hilang. Hal tersebutdisebabkan oleh adanya aktivitas penambangan guano(kotoran kelelawar) yang dimanfaatkan sebagai pupukoleh petani sawit di kawasan Bulurejo. Berdasarkanpemaparan informan, penggalian dalam gua tidakhanya bertujuan untuk mengumpulkan guano saja,tetapi juga untuk menambang endapan tanah padalantai gua (Foto 6). Tanah tersebut digunakan untukmengurug lahan-lahan sawit yang baru dibuka.Menurut penuturan warga, tanah gua dianggap baikuntuk pengolahan kebun sawit karena kandunganguano di dalamnya. Penggalian tanah di Gua Payungdilakukan pada seluruh permukaan lantai gua, danhanya menyisakan sedikit bagian yang tidak turut digali.Warga menambang tanah dan guano secaraberkelompok, dengan anggota antara 4-5 orang. Saatini, hampir seluruh permukaan lantai Gua Payung telahditambang secara besar-besaran. Ketebalan lapisantanah yang hilang akibat ditambang berkisar antara 1-2 meter. Saat ini, fragmen gerabah dan alat litik yangtercecer dapat ditemukan dengan mudah baik di dalamgua maupun di lahan di sekitar Gua Payung.

Foto 5. Gua Payung, terlihat lubang-lubang bekasgalian masyarakat (Dok. Balai Arkeologi

Banjarmasin, 2012).

Foto 6. Tanda panah menunjukkan batas lantai guasebelum digali oleh masyarakat (Dok. Balai

Arkeologi Banjarmasin, 2012).

berhasil menemukan data yang diharapkan. Haltersebut disebabkan oleh aktivitas penambangan yangtelah mengambil sebagian besar tanah besertarangkanya. Data arkeologi yang berhasil dikumpulkanpada lokasi tersebut berupa fragmen tulang binatang,fragmen gigi binatang, gerabah, dan litik sertacangkang kerang air tawar.

Kasus serupa juga terjadi di situs prasejarah GuaBabi dan Gua Tengkorak di Kabupaten Tabalong.Kedua gua tersebut merupakan gua hunian yangdigunakan oleh manusia pada masa prasejarah yangpernah hidup sekitar 6000 tahun yang lalu. Di Gua Babi,banyak ditemukan peralatan manusia prasejarah yangberupa alat batu, alat tulang, dan alat kerang serta sisa-sisa makanan berupa himpunan tulang binatang dancangkang. Sementara itu, di Gua Tengkorak ditemukanfragmen rangka manusia yang dikubur dengan posisimelipat. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa rangkatersebut merupakan manusia dari rasAustralomelanesoid berjenis kelamin perempuan(Widianto dan Handini 1999). Bukti-bukti kehadiranmanusia prasejarah tersebut saat ini telah hilang akibat

Page 7: EKSPLOITASI SUMBERDAYA LINGKUNGAN DAN KELESTARIAN …

Naditira Widya Vol. 7 No. 2/2013- Balai Arkeologi Banjarmasin 151

Bahan galian C adalah bahan yang tidak strategisdan vital yang tidak langsung mempengaruhi hajathidup orang banyak, baik karena sifatnya maupunjumlah depositnya yang kecil (www.pustaka.pu.go.id/new/istilah-bidang-detail.asp?id=1762). PadaPeraturan Pemerintah No 25 tahun 1964 pasal 1disebutkan bahwa yang termasuk bahan galian Cadalah batu kapur, batu apung, tanah liat, batu pasir,dan bahan galian yang sejenis. Di kawasan Mantewe,terdapat sejumlah bahan galian C dalam jumlah yangmelimpah, seperti ketersediaan batu gamping yangbanyak ditemukan di bukit-bukit karst. Batu gampingmerupakan salah satu bahan baku dalam produksisemen dan material bangunan. Oleh karena itu, selainpenambangan tanah dan guano di dalam gua, wargajuga melakukan penambangan batu gamping yangdimanfaatkan sebagai material bangunan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiavandalisme berarti perbuatan merusak danmenghancurkan hasil karya seni dan barang berhargalainnya (keindahan alam dan lain sebagainya)(www.kbbi.web.id). Bentuk vandalisme yang terjadi diGua Payung yaitu, graviti liar pada dinding gua danpencongkelan bongkahan-bongkahan batu rijang yangmenempel di dinding gua (Foto 7 dan 8). Penggaliansecara liar terhadap endapan tanah gua dan stalagmitserta stalagtit juga merupakan bentuk vandalisme yangumum terjadi.

aktivitas pertambangan batu kapur dan kotorankelelawar. Eksploitasi terhadap kedua sumberdayatersebut menyebabkan kerusakan yang serius SitusGua Babi dan Gua Tengkorak. Data yang tersisa saatini adalah bekas lubang-lubang galian yang terdapathampir di seluruh permukaan gua (Sugiyanto 2008,134).

2. Sumber Bahan Galian C untuk Bangunan

Di Gua Payung, penambangan batu gampingdilakukan pada gugusan bukit karst di sekitar Bukit BatuTanjak. Batu gamping tersebut digunakan olehmasyarakat sebagai bahan untuk pondasi bangunan.Meskipun dalam skala kecil, penambangan batugamping yang terus-menerus dikhawatirkan dapatmengancam kelestarian ekosistem dan budaya dikawasan karst serta gua-gua yang mengandung dataarkeologi. Selain di sekitar Gua Payung, penambanganbatu gamping juga banyak dilakukan pada gugusangua di perbukitan Liang Ulin yang berada dalam arealahan perusahaan perkebunan sawit RajawaliPlantation. Di beberapa lokasi terlihat bekas-bekasgalian para penambang batu gamping dan tanah gua,serta kotoran kelelawar.

Potensi batu gamping sebagai bahan bakuproduksi semen di Kabupaten Tanah Bumbu saat inibelum terlalu dikembangkan. Pabrik semen yangsudah beroperasi di sekitar perbukitan karst Meratusberada di wilayah Kabupaten Kotabaru, yaitu di daerahTarjun. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinanmunculnya eksploitasi batu gamping untuk produksisemen di kawasan Mantewe, mengingat ketersediaansumber bahan dan tuntutan pembangunan ekonomidaerah. Deposit batu gamping di Tanah Bumbuterdapat di wilayah Kecamatan Simpang Empat (diGunung Kangkalaan), Mantewe (Gunung Atasahu dan

Bulurejo), Kusan Hulu (Gunung Desa Guntung danTeluk Kepayang), dan Satui di Gunung Desa Cuka(Anwar 2011, 102). Berdasarkan kajiannya, Arief Anwar(2011, 110) menyebutkan bahwa kawasan karst diTanah Bumbu (Mantewe dan sekitarnya) merupakandaerah yang potensial untuk pengembangan industrisemen.

3. Aktivitas Vandalisme dalam Gua

Foto 7. Gambar lingkaran menunjukkan aktivitasvandalisme berupa graviti liar, dan tanda panahmenunjukkan batas permukaan gua sebelum digali

(Dok. Balai Arkeologi Banjarmasin, 2012).

Foto 8.Tanda panah memperlihatkan bongkah rijangyang menempel pada dinding gua yang saat ini sudahdicongkel (Dok. Balai Arkeologi Banjarmasin, 2012).

Page 8: EKSPLOITASI SUMBERDAYA LINGKUNGAN DAN KELESTARIAN …

Nia Marniati EF “Eksploitasi Sumberdaya Lingkungan dan Kelestarian Situs Arkeologi” 145-156152

Selama ini, penelitian arkeologi di Indonesia padaumumnya belum memiliki rumusan kebijakan yangberlaku umum sehingga peranan dan sumbanganhasil penelitian terhadap masyarakat belum dapatdirasakan (Kusumohartono 1995, 53). Pelaksanaanpenelitian arkoelogi sendiri belum dilaksanakan secaraterpadu sehingga tujuan dan paradigma arkeologibelum dapat dijelaskan secara terperinci. Kasus diSitus Gua Payung dan gua-gua di sekitarnya dapatmenjadi gambaran kurangnya publikasi hasilpenelitian kepada masyarakat yang berdampak padakerusakan situs. Penelitian di Gua Payung dilakukanpertama kali pada 2006 dan baru ditindaklanjutikembali pada tahun 2012. Berbagai artikelmenyebutkan bahwa berdasarkan hasil penelitiantahun 2006, Gua Payung merupakan gua hunianprasejarah dengan tinggalan arfetak yangmenakjubkan. Gua Payung dan kawasan karst disekitarnya digadang-gadang akan memberikansumbangan besar terhadap data kehidupan prasejarahyang masih minim di Kalimantan.

D. Alur Sebab-Akibat Kerusakan SitusKegiatan penambangan guano, tanah gua, dan

batuan kapur serta aktivitas vandalisme di sekitar situsarkeologi tentunya tidak sejalan dengan amanat yangdikandung dalam UU Cagar Budaya No 11 tahun 2010yang menyatakan bahwa kawasan karst yang memilikigua/ceruk hunian masa prasejarah merupakankawasan situs Cagar Budaya yang harus dilindungi dandilestarikan. Hal tersebut juga bertentangan denganKeputusan Menteri ESDM No 1456.K/20/MEM/2000tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst yangmenyebutkan bahwa kawasan karst yang mengandungpeninggalan budaya termasuk dalam kawasan kelas Idan harus dilindungi. Pada pasal 14 disebutkan bahwadalam kawasan kelas I tidak diperbolehkan adakegiatan pertambangan ataupun kegiatan lain yangberpotensi merusak bentuk-bentuk karst baik di bawahmaupun di atas permukaan (Sugiyanto 2008, 136).

Meskipun demikian, kerusakan masif yang terjadidi Situs Gua Payung dan sekitarnya tidak sepenuhnyamerupakan kesalahan masyarakat yang melakukanaktivitas penambangan. Hal itu lebih diakibatkankarena beberapa faktor yang saling terkait, yang akandijabarkan sebagai berikut.

Publikasi hasil penelitian arkeologi yang tidakmenyentuh masyarakat menyebabkan kurangnyapemahaman mereka terhadap pentingnya potensiarkeologi yang terdapat di sekitar tempat tinggalnya.Seperti halnya masyarakat penambang di sekitar GuaPayung, mereka menyebutkan bahwa ketikamelakukan kegiatan penambangan pernah ditemukansejumlah fragmen artefak tanah liat dan artefak batu,bahkan beberapa di antaranya menemukan rangkamanusia. Akan tetapi, mereka sama sekali tidakmemahami pentingnya sebuah fragmen gerabahataupun sebongkah batu yang menurut arkeolog adalahhal yang sangat berharga. Ada beberapa orang wargayang menyimpan beliung persegi yang ditemukannyadi endapan tanah Gua Payung. Hanya saja, alasanpenyimpanan tersebut bukan karena beliung persegidianggap sebagai sebuah artefak yang menjadipenanda sebuah masa penting pada masa lalu, namunlebih disebabkan karena bentuknya yang unik dancerita-cerita mistik yang hampir selalu mewarnai kisahpenemuannya.

1. Publikasi Hasil Penelitian Arkeologi KepadaMasyarakat Luas

Hal tersebut menjadi sebuah ironi, ketika SitusGua Payung diperkenalkan sebagai situs penting dikalangan arkeolog, masyarakat yang tinggal di dekatsitus tersebut bahkan tidak mengetahui tentangkeberadaan data arkeologi yang telah ditemukan.Mereka tidak mengerti bahwa aktivitas penambangan

yang dilakukan telah menyebabkan hilangnya sejumlahdata yang penting untuk mengungkapkan kehidupanawal di daerah tersebut. Fakta tersebut tentunyamenjadi pekerjaan rumah yang besar bagi arkeologuntuk menyebarluaskan hasil penelitian arkeologikepada masyarakat luas yang nantinya dapatmemberikan pemahaman mengenai pentingnyamenjaga kelestarian situs. Penyampaian hasilpenelitian kepada masyarakat tentunya harus dilakukandengan pendekatan yang berbeda dengan publikasiilmiah yang selama ini sudah dilakukan. Bentukpenyampaian dapat berupa sosialisasi kepada wargadi sekitar situs mengenai nilai penting data arkeologiyang ditemukan di daerahnya serta upaya untukmenjaga kelestariannya. Cerita bergambar mengenaisejarah masa lalu dapat menjadi bentuk publikasipopular dengan sasaran anak-anak usia sekolah.

2. Ketidaktahuan Masyarakat Mengenai PotensiArkeologi di Lingkungan Sekitarnya

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan ketikapelaksanaan penelitian Situs Gua Payung pada 2012mengetahui bahwa sebagian besar area gua telahrusak akibat aktivitas penambangan oleh masyarakat.Bahkan dinding-dinding gua tidak luput dari aksivandalisme yang berupa graviti liar dan pencongkelanbongkah-bongkah batu rijang yang menempel. Haltersebut disebabkan karena rentang penelitian yangbegitu panjang tanpa ada sosialisasi terhadapmasyarakat di sekitarnya mengenai keberadaan GuaPayung sebagai sebuah lokasi penting pada masa lalu.

Selain kurangnya publikasi hasil penelitianarkeologi, ketidaktahuan masyarakat tersebut

Page 9: EKSPLOITASI SUMBERDAYA LINGKUNGAN DAN KELESTARIAN …

Naditira Widya Vol. 7 No. 2/2013- Balai Arkeologi Banjarmasin 153

disebabkan juga oleh tidak adanya sosialisasi UndangUndang tentang Cagar Budaya. Dalam UndangUndang Cagar Budaya No 11 tahun 2010 telahdisebutkan mengenai definisi cagar budaya (Pasal 1),kriteria cagar budaya (Pasal 5, 6, 7, dan 8), kriteriasitus dan kawasan cagar budaya (Pasal 9, 10, dan 11),larangan pengrusakan cagar budaya (Pasal 66 ayat1), dan sanksi terhadap pengrusakan (Pasal 105).Hanya saja, poin-poin yang telah dijabarkan dalamUndang Undang tersebut nampaknya sama sekalibelum menyentuh kalangan masyarakat di sekitar SitusGua Payung. Sebagian besar masyarakat yangbermata pencaharian sebagai petani sawit danmengandalkan sumberdaya lingkungan untuk hiduptidak memiliki akses untuk lebih memahami artipentingnya cagar budaya seperti yang telahdiamanatkan dalam Undang Undang tersebut. Akibatdari ketidakpahaman tersebut, tidak ada rasa memilikidan keinginan untuk menjaga kelestarian Situs GuaPayung dan sekitarnya. Aktivitas-aktivitas penambangandan perkebunan yang merusak situs akan tetapdilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhanekonomi mereka.

Kedua poin yang telah dijelaskan sebelumnya,diperparah oleh kurangnya perhatian dari instansipemerintah, dalam hal ini Pemerintah Daerahsetempat dan jajarannya terhadap situs-situs budayadi daerahnya. Saat ini, budaya sedang digadang-gadang sebagai salah satu pijakan untuk pembentukankarakter dan jati diri bangsa. Akan tetapi, hal tersebutbelum terimplementasikan dalam program-programpemerintah di daerah. Kerjasama yang ditawarkan olehinstansi arkeologi terkadang seperti tidak disambutoleh pimpinan daerah. Hal ini mungkin dapat dipahami,mengingat di dalam Negara berkembang sepertiIndonesia, aktivitas pembangunan industri cenderungmemiliki posisi yang lebih unggul daripadapembangunan pengetahuan dan budaya. Implikasinyaadalah dalam kebijakan pembangunan ekonomi didaerah maupun pusat selalu diutamakan, sedangkansumberdaya untuk pengetahuan cenderungdikesampingkan (Kusumohartono 1995, 46).

Gambar 1. Skema interaksi tanpa melibatkanmasyarakat di sekitar situs

3. Perhatian Pemerintah Terhadap Keberlang-sungan Situs-situs Arkeologi

3 Situs Awang Bangkal merupakan situs paleolitik tertua yang pernah ditemukan di Kalimantan Selatan. Situs ini berada pada tepian aliran SungaiRiam Kanan yang saat ini telah tenggelam setelah pembangunan waduk Riam Kanan untuk kepentingan Pembangkit Listrik Tenaga Air padatahun 1973.

4 Situs tersebut merupakan situs hunian manusia prasejarah dari Australomelanesid yang hidup pada 6000 tahun yang lalu. kerusakan situsdisebabkan oleh aktivitas penambangan batu kapur dan kotoran kelelawar baik oleh masyarakat perorangan ataupun perusahaan swasta.

5 Situs Jambu Hilir merupakan situs pemukiman tua yang berada di area terbuka pada aliran Sungai Rangas dengan angka tahun sekitar 3000tahun yang lalu (Anggraeni dan Sunarningsih 2008). Saat ini sebagian areal situs telah tergusur oleh pembangunan saluran irigasi.

Selain kasus di Gua Payung, telah banyak kasushilangnya situs budaya tua sebagai dampak dariaktivitas industri dan pembangunan ekonomi, diantaranya yaitu Situs Awang Bangkal di KabupatenBanjar, Gua Babi dan Gua Tengkorak di KabupatenTabalong, dan Situs Jambu Hilir di Kabupaten HuluSungai Selatan. Kawasan-kawasan tersebut memangbelum ditetapkan sebagai situs/kawasan Cagar Budayasehingga perusakan yang terjadi tidak dapat ditindaksecara hukum. Belum adanya payung hukum yangmelindungi situs-situs arkeologi menjadi pekerjaanrumah tersendiri bagi pihak terkait (dalam hal ini BalaiArkeologi Banjarmasin, Balai Pelestarian CagarBudaya Samarinda dan pemerintah daerah setempat).Penetapan kawasan karst Mantewe sebagai kawasanCagar Budaya perlu segera dilakukan untuk melindungidata-data arkeologi yang ada di dalamnya.

Bagan alur sebab-akibat tersebut dapatdigambarkan dalam diagram berikut ini.

Pada skema di atas dapat dilihat bahwamasyarakat yang bersentuhan langsung dengan situsarkeologi selalu berada dalam posisi yang terabaikan.Penelitian arkeologi seolah hanya berusaha untukmemecahkan permasalahan mengenai situs itu sendiritanpa banyak memikirkan mengenai masyarakat disekitarnya. Memang, masyarakat seringkali dilibatkandalam kegiatan penelitian. Akan tetapi pelibatantersebut hanya sebatas sebagai tenaga lokal untuk

Page 10: EKSPLOITASI SUMBERDAYA LINGKUNGAN DAN KELESTARIAN …

Nia Marniati EF “Eksploitasi Sumberdaya Lingkungan dan Kelestarian Situs Arkeologi” 145-156154

membantu kegiatan penelitian. Hasil penelitianarkeologi yang berupa publikasi ilmiah biasanya akandikirimkan kepada masyarakat luas melalui sekolah,universitas, perpustakaan daerah, serta PemerintahDaerah sebagai laporan atas ijin penelitian yang sudahdikeluarkan. Sebagian besar di antaranya bahkan telahditerbitkan melalui media internet sehingga lebihbanyak kalangan yang dapat mengakses hasilpenelitian. Tetapi bagaimana dengan masyarakat disekitar situs, yang pada umumnya berada di daerahyang tidak terjangkau oleh jaringan internet? Sepertihalnya masyarakat di sekitar Situs Gua Payung, yangberada di Desa Bulurejo. Lokasi desa tersebut beradajauh di daerah pedalaman dengan sarana transportasiyang sangat minim dan hampir tidak tersentuh aksesinternet.

Publikasi arkeologi mengenai pentingnya GuaPayung tidak pernah tersampaikan kepada mereka,sehingga kebanggaan terhadap aset budaya tidakpernah muncul. Sosialisasi hasil penelitian yangdilakukan oleh instansi arkeologi kepada PemerintahDaerah seolah berhenti dan tidak tersalurkan kepadamasyarakat. Demikian pula dalam kegiatan pelestariansitus, aspirasi masyarakat seringkali dikesampingkandan belum sepenuhnya didorong partisipasinya(Sulistyanto 2009, 259).

Hal tersebut dapat diatasi dengan lebihmerangkul masyarakat di sekitar situs. Di atas kertas,hal itu seolah mudah untuk dilaksanakan denganmenambahkan garis timbal-balik pada diagramsebelumnya untuk menunjukkan peran danketerlibatan masyarakat selama pelaksanaanpenelitian sampai pada menjaga kelestarian situs.Namun, dalam proses yang sesungguhnya,menumbuhkan pemahaman dan kesadaran untukturut menjaga kelestarian situs tentu tidaklah semudahmembalikkan telapak tangan. Wasita (2007, 120-121)menyebutkan bahwa pemahaman masyarakatterhadap tinggalan dan situs arkeologi sangatlahberagam, sehingga untuk menyentuh mereka supayaberkontribusi dalam pelestarian situs merupakan suatumasalah. Untuk mengatasinya, Wasita mengajukanbeberapa saran, yaitu (1) penyuluhan hukum kepadamasyarakat di sekitar situs sebagai dasar pemahamanakan pentingnya situs cagar budaya; (2) menjadikansitus sebagai bagian dari kepentingan masyarakat; (3)menjadikan masyarakat sebagai bagian dari pengelola

Gambar 2. Skema interaksi dengan melibatkanmasyarakat situs

Sementara itu, pemahaman Pemerintah Daerahmengenai tinggalan dan situs arkeologi tidaklah jauhberbeda dengan masyarakat, mengingat arkeologimerupakan disiplin ilmu yang spesifik. Harus diakui,lulusan arkeologi saat ini belum banyak ditempatkanpada posisi-posisi strategis dalam kebijakanpembangunan Pemerintah Daerah. Hal tersebut dapatdiatasi dengan melakukan focus group discussion6

(FGD) secara bertahap yang melibatkan instansiarkeologi dan akademisi, pemerintah daerah, danmasyarakat di sekitar situs. Dalam tulisan ini, kasusyang dijadikan studi adalah kelestarian situs-situsarkeologi di kawasan karst Mantewe dan sekitarnya.Pihak-pihak yang harus dilibatkan yaitu Balai ArkeologiBanjarmasin selaku instansi pemerintah yangberwenang dalam penelitian arkeologi, PemerintahDaerah Kabupaten Tanah Bumbu dan jajarannya(Bapedda Kabupaten Tanah Bumbu, DinasKebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah RagaKabupaten Tanah Bumbu, Kecamatan Mantewe,kepala desa setempat), masyarakat umum di sekitarsitus, dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Samarinda.

6 Focus Group Discussion adalah diskusi terkelompok antara beberapa individu yang berinteraksi dan memiliki persamaan karakteristik, yangdipandu oleh moderator yang menggunakan interaksi dalam kelompok sebagai alat untuk mengumpulkan sejumlah informasi mengenai suatumasalah atau topik tertentu (Marczak dan Sewell 2013). Menurut Krueger (1988, dalam Marczak dan Sewell 2013), tahapan yang dilakukandalam FGD adalah (1) penyusunan konsep diskusi, yang meliputi penentuan tujuan, subjek studi, dan rencana serta perlengkapan; (2) tahapdiskusi, yang meliputi penyusunan pertanyaan sesuai dengan permasalahan, penetapan moderator yang memiliki kemampuan mengakomodirjalannya diskusi, dan penetapan peserta diskusi; dan (3) tahap analisis data dan pelaporan.

sumberdaya arkeologi; dan (4) memanfaatkan kearifannilai-nilai leluhur sebagai pembelajaran kepadamasyarakat untuk menumbuhkan kebanggaanterhadap situs budaya (Wasita 2007, 124-127).

Penelit ian arkeologi yang telah dilakukanbeberapa kali di kawasan tersebut, di antaranya yaituSitus Gua Payung di Desa Bulurejo (2006, 2012), SitusCeruk Bangkai di Desa Dukuh Rejo (2008, 2010, 2012,2013), dan Situs Liang Ulin 2 di Desa Sukadamai (2012,2013) menunjukkan bahwa kawasan karst Mantewe

Page 11: EKSPLOITASI SUMBERDAYA LINGKUNGAN DAN KELESTARIAN …

Naditira Widya Vol. 7 No. 2/2013- Balai Arkeologi Banjarmasin 155

merupakan kawasan cagar budaya yang penting. Haltersebut menjadi tema dasar untuk proses forum groupdiscussion yang sebaiknya segera dilaksanakan,mengingat ancaman terhadap kerusakan situs yangsemakin meluas. Gambaran model pelaksanaan FGDyang bisa dilakukan dapat diilustrasikan sebagaiberikut.

FGD I, antara Balai Arkeologi Banjarmasindengan warga di sekitar situs yang bisa diwakili olehtokoh masyarakat atau tokoh adat yang memilikipengaruh. Dalam diskusi ini, tujuan yang akan dicapaiadalah pendapat masyarakat. Selain itu, Balai ArkeologiBanjarmasin selaku fasilitator perlu menyampaikansosialisasi hasil penelitian yang sudah dilaksanakandan arti penting situs-situs arkeologi di kawasanMantewe serta poin-poin penting mengenai CagarBudaya yang telah dirumuskan dalam Undang UndangNo 11 tahun 2010.

FGD II, antara Balai Arkeologi Banjarmasindengan jajaran Pemerintah Daerah Kabupaten TanahBumbu. Dalam diskusi ini, tujuan yang akan dicapaiadalah pendapat pemerintah daerah sebagai stakeholder mengenai penelitian arkeologi di kawasanMantewe dan arti keberadaan situs-situs arkeologiyang telah ditemukan. Bersama dengan hasil dari FGDI, hasil dari diskusi tersebut menjadi salah satu dasarpertimbangan dalam penyusunan konsep pelestariankawasan yang diinginkan.

FGD III, antara Balai Arkeologi Banjarmasindengan perwakilan masyarakat sekitar situs, jajaranPemerintah Daerah Kabupaten Tanah Bumbu, danBalai Pelestarian Cagar Budaya Samarinda. Dalamdiskusi ini, tujuan yang akan dicapai adalah bentukpelestarian kawasan situs budaya di KecamatanMantewe dan sekitarnya yang dapat diterima olehsemua pihak. Hasil dari diksusi I yang merangkumpendapat dan keinginan masyarakat di sekitar situsdan diskusi II yang merupakan pendapat dan kebijakanpemerintah daerah adalah dasar bagi fasilitator (dalamhal ini Balai Arkeologi Banjarmasin) untuk menyusundan merencanakan tahapan diskusi ini. Denganmelakukan tahap-tahapan diskusi di atas, diharapkandapat meminimalisir konflik kepentingan yangumumnya muncul dalam proses pengelolaan danpelestarian cagar budaya.

E. PenutupFaktor penyebab kerusakan yang terjadi di Gua

Payung, serta gua-gua hunian lainnya di kawasan karstMantewe tidak semata-mata disebabkan oleh satupihak saja. Kerusakan-kerusakan yang terjadiseringkali muncul sebagai sebab dan akibat daribeberapa hal yang saling terkait satu sama lain. Tidakadanya publikasi hasil penelitian arkeologi terhadapmasyarakat di sekitar Gua Payung menyebabkanmereka tidak memahami makna dan nilai penting GuaPayung sebagai lokasi yang menyimpan sejarahbudaya masa lalu. Hal tersebut menyebabkanmasyarakat tidak merasa berat untuk mengeksploitasisumberdaya lingkungan di sekitar situs untukmemenuhi kebutuhan ekonominya. Selain itu,kerusakan yang terjadi juga disebabkan olehkurangnya perhatian pemerintah daerah setempatterhadap keberadaan situs-situs arkeologi di kawasantersebut. Sekali lagi, ketiadaan perhatian tersebutbukan tidak mungkin disebabkan karena kurangnyapublikasi hasil penelitian kepada pemerintah daerahdan jajarannya.

Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagiinstansi arkeologi, dalam hal ini Balai ArkeologiBanjarmasin, untuk lebih menyuarakan hasil-hasilpenelitian arkeologi secara lebih luas, di luar publikasiilmiah yang sudah dilakukan. Publikasi popular melaluicerita bergambar dapat menjadi salah satu alternatifpenyebarluasan hasil penelitian arkeologi, dengananak usia sekolah sebagai sasarannya. Sosialisasipasca kegiatan penelitian juga sebaiknya dilakukansupaya masyarakat mengetahui tentang keberadaandata arkeologi di sekitarnya. Penyebarluasan hasilpenelitian arkeologi diharapkan dapat membawamasyarakat di sekitar situs dan pemerintah di daerahuntuk lebih memahami nilai penting data arkeologi dansitus cagar budaya sebagai sesuatu yang harusdilindungi dan dilestarikan. Pemahaman yang baikdiharapkan menjadi landasan bagi pemerintah daerahsetempat untuk mengeluarkan regulasi mengenaikeberadaan situs arkeologi di wilayahnya. Regulasitersebut dapat berupa Surat Keputusan (SK) atauPeraturan Daerah yang menetapkan suatu lokasidengan tinggalan arkeologi sebagai situs ataukawasan Cagar Budaya. Untuk kasus Gua Payung dangua-gua di sekitarnya yang mengandung tinggalanarkeologi sudah semestinya direkomendasikan untuksegera ditetapkan sebagai situs/kawasan CagarBudaya.

Page 12: EKSPLOITASI SUMBERDAYA LINGKUNGAN DAN KELESTARIAN …

Nia Marniati EF “Eksploitasi Sumberdaya Lingkungan dan Kelestarian Situs Arkeologi” 145-156156

Referensi

Anggraeni dan Sunarningsih. 2008. The prehistoricsettlement at Jambu Hilir, South KalimantanProvince, Indonesia. Bulletin of the Indo-PacificPrehistory Association 28: 120-126.

Anwar, Arief. 2011. Kajian potensi bahan baku semendi Kalimantan Selatan. Jurnal KebijakanPembangunan 6(2): 98-111.

Fajari, Nia Marniati Etie. 2010. Gerabah Gua Payung:jejak-jejak Austronesia di Kalimantan bagianselatan. Naditira Widya 4(1):11-24.

Fajari, Nia Marniati Etie dan Vida Pervaya RusiantiKusmartono. 2012. Excavation of Gua Payungon the southern karstic zone of MeratusMountain, South Kalimantan Province,Indonesia. Granucci Grant 2011 Final Report.Belum diterbitkan.

Irawan, Miyan Andi. 2010. Tinjauan perekonomianTanah Bumbu tahun 2010. Diunduh dariwww.tanahbumbu.go.id, tanggal 27 Februari2013.

Kusumohartono, Bugie. 1995. Penelitian arkeologidalam konteks pengembangan sumberdayaarkeologi. Berkala Arkeologi XIII: 46-57.

Marzcak, Mary dan Meg Sewell. 2013. Using FocusGroups For Evaluation. Diunduh dariwww.ag.arizona.edu/sfcs/cyfernet/cyfar/focus.htm, tanggal 9 Maret 2013.

Samodra, Hanang. 2001. Nilai strategis kawasan karstdi Indonesia. Bandung: Pusat Penelitian danPengembangan Geologi Departemen Energi

dan Sumberdaya Mineral.Sugiyanto, Bambang. 2008. Pengelolaan kawasan

karstt di Kalimantan Selatan. Naditira Widya2(1): 132-141.

Sulistyanto, Bambang. 2009. Konflik sumberdayaarkeologi pada era otonomi daerah. Naditira

Widya 3(2): 253-267.Wasita. 2007. Memposisikan masyarakat sebagai

garda depan pelestarian sumber dayaarkeologi. Naditira Widya 1(1): 120-130.

Pemerintah Republik Indonesia. 2010. Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang CagarBudaya.

Pemerintah Rebuplik Indonesia. 2000. KeputusanMenteri ESDM No. 1456.K/20/MEM/2000tentang Pedoman Pengelolaan KawasanKarst.

Pemerintah Republik Indonesia. 2008. PeraturanPemerintan No 26 tahun 2008 tentangRencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Pemerintah Republik Indonesia. 1964. PeraturanPemerintan No 25 tahun 1964 tentangPenggolongan Bahan-bahan Galian.

www.kbbi.web.id, diakses tanggal 8 Maret 2013ww w. p u s t a k a . p u . g o . i d / n e w / i s t i l a h - b i d a n g -

detail.asp?id=1762, diakses tanggal 8 Maret2013.

Daftar Informan

Nama : Bapak WantoPekerjaan : PetaniAlamat : Bulurejo

Nama : Bapak JumiriPekerjaan : Sekretaris DesaAlamat : Bulurejo

Nama : Bapak SuratinPekerjaan : petaniAlamat : Bulurejo

Nama : Bapak SaminoPekerjaan : Ketua RTAlamat : Bulurejo

Nama : Bapak KhairaniPekerjaan : buruh sawitAlamat : Mantewe