Eksistensi Peranan Pelapor (Whistleblower) dan Saksi Pelaku
(Justice Collaborator) Dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia
Eksistensi Pengungkap Fakta (Whistleblower) dan Pelaku yang
Bekerja Sama (Justice Collaborator) Dalam Sistem Peradilan Pidana
di IndonesiaOleh:
Rocky Marbun, S.H., M.H.
AbstractThat there is a wrong perception of understanding of the
term whistleblower and justice collaborator in Indonesia. As a
result of the errors of meaning so that the arrangement was legal
policy be comprehensive and effective.
If you already know the real meaning of the term whistleblower
and justice collaborator, it is associated with the cases that have
occurred, both Agus Condro and M. Nazaruddin, not at all
appropriate for the term whistleblower pinned to them. However,
quite a bit different in the case of Commissioner General Susno
Duadji, where he was the tax mafia case, just to be called a
whistleblwoer. But in the case of embezzlement of elections in West
Java is purely criminal, however, due to arrangements that are not
clear, there are legal rights of the Commissioner General Susno
Duadji that has been violated.
Despite the presence of irregularities in legal drafting, it is
actually the study of the Integrated Criminal Justice System
(Integrated Criminal Justice System), there are any discrepancies
and disharmony in building performance-institus law enforcement
institutions. It appears once full of the arrogance sectoral which
has been entrenched in the bureaucracy system in Indonesia.Keyword:
whistleblower, justice collaborator, A. PendahuluanDi dalam proses
peradilan pidana, peranan saksi menjadi sangat penting dalam
mengungkap suatu tindak pidana yang telah terjadi. Sehingga sangat
wajar jika kemudian opini bahwa perlindungan terhadap seorang saksi
menjadi sangat penting, khususnya pada perkara-perkara tertentu
yang menyedot perhatian publik ataupun yang merugikan keuangan
negara.
Guna memunculkan rasa aman dan nyaman dari seorang saksi dalam
proses pemeriksaan baik di dalam pemeriksaan
pendahuluan/pra-ajudikasi, pemeriksaan ajudikasi dan pasca
ajudikasi. Dimana dalam sistem hukum pembuktian pidana berdasarkan
Pasal 184 KUHAP, saksi menempati sebagai alat bukti utama tanpa
menafiqkan alat bukti lainnya, namun di dalam praktek keberadaan
seorang saksi sangat dibutuhkan. Pada kasus-kasus tertentu, rasa
aman dan nyaman bagi seorang saksi akan sangat mempengaruhi
bagaimana ia dalam menyampaikan kesaksiannya.
Sehingga menjadi suatu kebanggaan tersendiri, manakala pada
tahun 1981, Pemerintah bersama DPR mampu melakukan legal reform
dalam Hukum Acara Pidana yang semula masih mengacu kepada HIR/RBg
dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana atau lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Euforia pada saat itu sempat mengutarakan
bahwa KUHAP merupakan karya agung Bangsa Indonesia dan produk asli
Indonesia. Yang merupakan langkah maju, setelah semenjak tahun 1963
pada Seminat Hukum Nasional I diutarakan bahwa perlunya pembaharuan
dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih merupakan
turunan dari produk kolonial, yang hingga saat ini masih dalam
bentuk draft RUU KUHP.
Di dalam KUHAP, tersebar ke dalam berbagai pasal, mengatur
perlindungan hak-hak hukum yang dimiliki oleh seorang saksi.
Walaupun jika kita telaah lebih dalam bahwa hak-hak saksi selalu
berbanding lurus dengan hak-hak seorang tersangka/terdakwa. Artinya
penyebutan hak seorang saksi selalu berada dalam satu redaksional
dengan hak seorang tersangka/terdakwa.
Hal ini sudah barangtentu merupakan pengaturan yang bersifat
jangka pendek, dimana sejalan dengan perkembangan masyarakat, jenis
dan model tindak pidana menjadi sangat variatif, baik dari segi
kuantitas maupun kualitas dari tindak pidana tersebut.
Harus diakui, bahwa kehadiran KUHAP dimaksudkan oleh pembuat
undang-undang untuk "mengoreksi" pengalaman praktek peradilan masa
lalu yang tidak sejalan dengan penegakan hak asasi manusia di bawah
aturan HIR/RBg, sekaligus memberi legalisasi hak asasi kepada
tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam
proses hukum. Tak jarang kita mendengar rintihan pengalaman di masa
HIR seperti penangkapan yang berkepanjangan tanpa akhir, penahanan
tanpa surat perintah dan tanpa penjelasan kejahatan yang
dituduhkan. Demikian juga dengan "pemerasan" pengakuan oleh
pemeriksa (verbalisant).
KUHAP telah menggariskan aturan yang melekatkan integritas
harkat harga diri kepada saksi, korban dan tersangka atau terdakwa,
dengan jalan memberi perisai hak-hak yang sah kepada mereka.
Pengakuan hukum yang tegas akan hak asasi yang melekat pada diri
mereka, merupakan jaminan yang menghindari mereka dari perlakuan
sewenang-wenang.
Persoalan yang kadang dijumpai dalam proses peradilan pidana
adalah, dalam praktek perkara pidana kadang muncul seorang yang
dihadapkan dalam persidangan merupakan satu-satunya saksi. Padahal
dalam peradilan pidana berlaku prinsip unus testis nulus testis,
yang berarti satu saksi bukan merupakan saksi, sehingga apabila
tidak didukung oleh alat bukti lain maka putusan hakim akan
berwujud putusan lepas dari segala tuntutan.
Harus diakui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian
besar berdasarkan informasi dari masyarakat. Begitu pula dalam
proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di
pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan
hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas
bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya
menegakkan hukum dan keadilan.
Berhubungan dengan hal tersebut, saksi merupakan salah satu
faktor penting dalam pembuktian atau pengungkapan fakta yang akan
dijadikan acuan dalam menemukan bukti-bukti lain untuk menguatkan
sebuah penyelidikan, penyidikan, dan bahkan pembuktian di
pengadilan.
Pentingnya peran saksi dalam proses penegakan hukum terutama
hokum pidana tentunya membawa konsekuensi tersendiri bagi orang
yang dijadikan saksi, baik itu saksi korban dan saksi pelapor
maupun saksi-saksi lain dalam pembuktian pelaku tindak pidana.
Dalam lapangan hukum pidana terutama untuk penegakkannya tidak
semudah yang dibayangkan masyarakat, terlebih dalam mendapatkan
keterangan saksi. Hal ini terbukti bahwa masih banyak korban
kejahatan, seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga, kejahatan
terhadap anak, kejahatan terhadap perempuan dan kejahatan kejahatan
lain dimana saksi enggan dan bahkan takut untuk melaporkan
kejahatan yang dilakukan terhadap diri korban itu sendiri.
Posisi saksi yang demikian penting nampaknya sangat jauh dari
perhatian masyarakat maupun penegak hukum. Ternyata sikap ini
memang sejalan dengan sikap pembentuk undang-undang, yang tidak
secara khusus memberikan perlindungan, kepada saksi dan korban
berupa pemberian sejumlah hak, seperti yang dimiliki oleh
tersangka/terdakwa. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,
sebagai ketentuan hukum beracara pidana di Indonesia,
tersangka/terdakwa memiliki sejumlah hak yang diatur secara tegas
dan rinci dalam suatu bab tersendiri. Sebaliknya bagi saksi
termasuk saksi korban, hanya ada beberapa pasal dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang memberikan hak pada saksi,
tetapi pemberiannya pun selalu dikaitkan dengan tersangka/terdakwa.
Jadi hak yang dimiliki saksi lebih sedikit dari hak yang dimiliki
oleh tersangka/terdakwa.
Kepentingan atau hak saksi yang dilindungi dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana hanya satu pasal yakni Pasal 229,
sehingga dalam prakteknya dijumpai hal yang mengecewakan yaitu
dimana hak saksi untuk menggantikan biaya setelah hadir memenuhi
panggilan dalam proses peradilan tidak dapat dilaksanakan
sepenuhnya dengan alasan klasik yaitu tidak ada dana.
Kondisi saksi termasuk korban yang berada pada posisi yang
lemah, justru Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana bahkan
mengancam dengan pidana apabila saksi tidak datang untuk memberikan
keterangan setelah menerima panggilan dari penegak hukum.
Selanjutnya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana mewajibkan saksi
untuk bersumpah dan berjanji sebelum memberikan keterangan
tujuannya adalah agar saksi tersebut dapat memberikan keterangan
dengan sungguh-sungguh dengan apa yang diketehaui, baik yang
dilihat, didengar atau dialami oleh saksi. Berbicara tentang
kewajiban dalam hukum tentu erat kaitannya dengan Hak Asasi Manusia
dalam hal ini adalah hak saksi, dengan demikian Undang-undang
memberikan hak bagi saksi berupa perlindungan bagi saksi itu
sendiri.
Praktek Internasional, statuta pengadilan-pengadilan dan
persidangan (tribunal) pidana internasional mengakui pentingnya
kesaksian ini sebelum jurisdiksi ini dilindungi olehnya. Mereka
telah mengembangkan langkah-langkah perlindungan yang akan dijamin
untuk kesaksian sebelum, selama dan setelah proses pengadilan,
dengan mempertimbangkan kebutuhan untuk melindungi hak atas
pengadilan yang fair bagi terdakwa. Jurisprudensi ini merupakan
sumber yang penting bagi pengadilan pidana internasional dan
prosedur tentang perlindungan saksi.
Hukum Acara dan Pembuktian (Rules and Procedure of Evidence)
mengakui hak-hak saksi seperti berikut : tidak mempublikasikan
identitas mereka, perlindungan kerahasiaan saksi, prosedur
menetapkan langkah-langkah untuk perlindungan saksi, melakukan
sesi-sesi khusus (close hearing), membeberkan bukti-bukti yang
tidak membahayakan keselamatan saksi, diskresi luas pengadilan
untuk mengakui bukti-bukti, keadaan kesaksian, tata cara pembuktian
dalam kasus kekerasan seksual.
Keputusan untuk mengijinkan, dalam kondisi tertentu, identitas
saksi dan korban untuk dirahasiakan di depan terdakwa bahkan di
tingkat pengadilan telah menjadi tantangan, dan hal tersebut
melanggar hak-hak terdakwa atas pengadilan yang fair, yang meliputi
antara lain, akses penuh terdakwa serta pengacaranya terhadap
seluruh bukti-bukti di pengadilan.
Jaminan perlindungan kepada saksi (baik sebagai saksi sebagai
korban maupun saksi bukan sebagai korban) sebagai bagian dari warga
negara wajib diberikan oleh negara dalam proses penegakan hukum.
Pasal 9 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1966
mengajukan hak atas kebebasan dan keamanan seseorang. Hak ini
diperkuat oleh Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(bersama dengan hak atas hidup) Pasal 5 Konvensi Eropa dan pasal 7
Konvensi Amerika.
Di Indonesia, jaminan perlindungan hukum terhadap Saksi diatur
di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban.
Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006
dinilai sebagai suatu terobosan yang diharapkan mampu menutupi
kelemahan-kelemahan sistem hukum kita berkaitan dengan
terabaikannya elemen saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana
sebagaimana KUHAP lebih banyak mengatur hak-hak tersangka atau
terdakwa saja untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Undang-Undang ini dengan
lebih spesifik (lex specialis) mengatur syarat dan tata cara
pemberian perlindungan dan bantuan bagi saksi dan atau korban
sebagai pelapor (whistleblower) yang sebelumnya terserak-serak
dalam beberapa peraturan.
Pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) oleh
pemerintah merupakan kebutuhan yang mendesak saat ini dalam
kerangka penegakan hukum (pidana) sebagaimana diamanatkan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban dan dalam rangka mentaati prinsip-prinsip Good Governance
yakni tegaknya supremasi hukum.
Tentunya kita masih ingat dengan jelas, atraksi sirkus dari
Komjen Pol Susno Duadji yang membongkar keberadaan mafia hukum di
tubuh Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Kemudian beliau juga
terjerat kasus mafia hukum pada perkara lainnya. Peristiwa hukum
kedua, atraksi tes mental dari Bapak Agus Condro yang bernyanyi
tentang kasus suap cek perjalanan terkait pemilihan Miranda S
Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI (DGS BI).
Dan pemain sirkus satu lagi adalah M. Nazaruddin, mantan
Bendahara Umum Partai Demokrat, yang tersangkut kasus suap
pembangunan Wisma Atlet. Yang akhirnya Beliau juga mengikuti jejak
senior nya melakukan senandung merdu mengenai oknum-oknum yang
di-klaim olehnya juga turut terlibat.
Walaupun sebenarnya masih terdapat beberapa orang yang diduga
melakukan tindak pidana akhirnya berketetapan hati tidak akan jatu
sendiri kecuali secara berjamaah di-bui, namun ketiga orang ini
sangat menarik perhatian publik.
Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) serta LSM-LSM
pegiat anti korupsi, berebut menyematkan gelar whistleblower kepada
mereka. Sehingga muncullah opini publik, bahwa ketidakadilan telah
terjadi dan menimpa kepada mereka.
Secara pribadi, Penulis sepakat, bahwa mereka adalah orang-orang
yang berani dalam mengungkapkan kasus, terlepas adanya dendam
pribadi ataupun karena panggilan hati nurani. Namun, disini Penulis
mencoba meluruskan beberapa hal sesuai dengan kapasitas dan
kompetensi diri Penulis.
B. Rumusan MasalahKekecewaan dari berbagai kalangan terhadap
putusan pada kasus Agus Condro, yang menempatkan beliau sebagai
seorang whistleblower, menuntut agar dibebaskannya Agus Condro
sebagai terdakwa. Hal ini dilandaskan kepada peranannya dalam
membongkar perilaku suap di kalangan DPR kala itu. Demikian pula
kriminalisasi kepada Komjen Susno Duadji, merupakan perilaku yang
sarat dengan politis, dimana beliau merupakan orang yang pertama
membongkar betapa bobroknya dunia perpajakan di Indonesia.
Sehingga pada karya ilmiah ini, Penulis mencoba untuk melakukan
kajian singkat, berkaitan dengan pertanyaan:
Benarkah mereka (Susno Duadji, Agus Condro, & M. Nazaruddin)
pantas disebut sebagai whistleblower?
C. Pembahasan/Analisis1. Pengertian Saksi, Korban, Pelapor, Dan
Pengungkap Fakta (Whistleblower)Sebelum membahas lebih jauh, maka
perlu Penulis sampaikan mengenai istilah-istilah yang akan menjadi
entry point dalam pembahasan ini, yaitu:
a. SaksiKitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
merupakan ketentuan yang mengatur mengenai Hukum Acara Pidana,
dimana di dalamnya juga mengatur tentang eksistensi Saksi.
Pasal 1 angka 26 KUHAP menjelaskan sebagai berikut:Saksi adalah
orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Demikian halnya dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1
butir 1 juga menyatakan sebagai berikut:Saksi adalah orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
Secara makna tidak ada yang berbeda hanya saja ada sedikit
penyempurnaan bahasa saja.
Saksi adalah orang yang didengar keterangannya di muka sidang
pengadilan, yang mendapat tugas membantu pengadilan yang sedang
perkara.
Di dalam praktek juga dikenal dengan istilah Saksi a charge dan
saksi a decharge. Dimana Saksi a Charge merupakan Saksi yang
memberatkan/memberikan keterangan di dalam pemeriksaan sidang yang
memberatkan Terdakwa/Tersangka, sedangkan Saksi a Decharge adalah
Saksi yang meringankan/memberikan keterangan di dalam pemeriksaan
sidang yang meringankan Terdakwa/Tersangka.
Namun pendefinisian Pasal 1 angka 26 KUHAP tersebut kemudian
diperluas kembali oleh Mahkamah Konstitusi yang menyatakan sebagai
berikut:
Menyatakan Pasal 1 angka 26 adalah bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang
pengertian saksi, tidak dimaknai termasuk pula orang yang dapat
memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan
peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Menyatakan Pasal 1 angka 26 tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang pengertian saksi, tidak dimaknai termasuk pula
orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan,
penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menilai pengertian saksi
yang menguntungkan dalam Pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan
secara sempit dengan mengacu Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP karena
arti penting saksi berdasarkan relevansi kesaksiannya
Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 65 jo
Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP bertentangan satu dengan yang
lain. Akibatnya, berpotensi melanggar prinsip negara hukum,
pengakuan jaminan kepastian hukum yang adil, dan persamaan di depan
hukum. Kecuali, jika Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP ditafsirkan
tidak terbatas pada saksi yang mendengar, melihat, dan mengalami
sendiri, tetapi juga saksi itu berhubungan dengan suatu perkara
yang bersifat menguntungkan/meringankan tersangka/terdakwa.
Pendapat itu disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum UGM Edi OS
Hiariej saat memberikan keterangan dalam pengujian UU No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan Yusril Ihza
Mahendra di Gedung MK Jakarta, Selasa (18/1). Yusril mengujiPasal 1
angka 26 dan 27 jo Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) jo Pasal
184 ayat (1) huruf a KUHAP terkaithak tersangka/terdakwa untuk
menghadirkan saksi yang menguntungkan (saksi/saksi ahli) di semua
tingkat pemeriksaan.
b. KorbanDi dalam KUHAP tidak ditemukan pendefinisian mengenai
istilah Korban, karena di dalam KUHAP lebih terkonsentrasi untuk
membahas Saksi dan Tersangka/Terdakwa semata.
Berdasarkan literatur perundang-undangan di Indonesia, istilah
Korban ditemui dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan
Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.
Pada Pasal 1 angka 2 PP No. 2/2002 ditegaskan sebagai
berikut:Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang
mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
Setelah Tahun 2006, baru ditemui kembali definisi mengenai
Korban dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi Dan Korban, dimana pada Pasal 1 angka 2, menegaskan sebagai
berikut:Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik,
mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana.Menurut pandangan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana
pengertian korban kejahatan adalah terminologi Ilmu Kriminologi dan
Victimologi dan kemudian dikembangkan dalam hukum pidana dan/atau
sistem peradilan pidana. Konsekuensi logisnya perlindungan korban
dalam Kongres PBB VII/1985 di Milan (tentang The Prevention of
Crime and the Treatment of Offenders) dikemukakan, bahwa hak-hak
korban seyogianya terlihat sebagai bagian integral dari keseluruhan
sistem peradilan pidana (victims rights should be perceived as an
integral aspect of the total criminal justice system).
Kemudian pengertian korban berdasarkan ketentuan angka 1
Declaration Of Basic Principles Of Justice For Victims Of Crime And
Abuse Of Power pada tanggal 6 September 1985 dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa dalam Deklarasi Nomor A/Res/40/34 Tahun 1985
ditegaskan, bahwa:Victims means persons who, individually or
collectively, have suffered harm, including physical or mental
injury, emotional suffering, economic loss or substantial
impairment of their fundamental right, through acts or omissions
that are in violation of criminal laws operative within member
states, including those laws proscribing criminal abuse power.
Kemudian, lebih jauh pengertian korban ini oleh Arif Gosita
diartikan sebagai, mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah
sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan
kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
kepentingan dan hak asasi yang menderita.
Lebih lanjut maka dapat diklasifikasikan korban kejahatan ada
yang sifatnya individual (individual victims) dan kolektif
(collective victims), korban kejahatan bersifat langsung yaitu
korban kejahatan itu sendiri dan tidak langsung (korban
semu/abstrak) yaitu masyarakat, seseorang, kelompok masyarakat
maupun masyarakat luas dan selain itu kerugian korban juga dapat
bersifat materiil yang lazimnya dinilai dengan uang dan immateriil
yakni perasaan takut, sakit, sedih, kejutan psikis dan lain
sebagainya.
c. PelaporDi dalam KUHAP tidak diatur secara tegas definisi
istilah Pelapor, namun KUHAP mendefinisikan istilah Laporan,
sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP adalah
sebagi berikut:Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh
seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada
pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan
terjadinya peristiwa pidana.
Melihat definisi tersebut, sebenarnya sudah menyebutkan secara
tersirat mengenai pengertian dari Pelapor, hanya saja tidak secara
tegas dinyatakan sebagai pengertian dari Pelapor.
Istilah Pelapor dapat ditemui di dalam KUHAP pada Pasal 103
KUHAP yang menegaskan sebagai berikut:
Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus
ditandatangani oleh pelapor atau pengadu.
Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan Khusus Bagi Pelapor Dan Saksi Tindak Pidana Pencucian
Uang, pada Pasal 1 angka 2 menegaskan sebagai berikut:
Pelapor adalah setiap orang yang:a.Karena kewajibannya
berdasarkan peraturan perundang-undangan menyampaikan laporan
kepada PPATK tentang Transaksi Keuangan Mencurigakan atau Transaksi
Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang; atau
b.Secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya
dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang.
Istilah Pelapor juga di temui di dalam Undang-undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebagaimana
ditegaskan di dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) adalah sebagai
berikut:Pelapor adalah orang yang memberikan informasi kepada
penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana.
Dari mulai KUHAP, PP No. 57/2003 dan UU No. 13/2006 mengalami
pergeseran makna dari kata Pelapor. Baik KUHAP maupun PP No.
57/2003 memiliki makna yang sama, yaitu seseorang yang melakukan
pemberitahuan atau melaporkan adanya suatu tindak pidana, sedangkan
pada UU No. 13/2006 memberikan pengertian dengan menggunakan frase
kalimat ........memberikan informasi.......
Menurut Penulis, memberikan laporan/pemberitahuan adalah berbeda
dengan memberikan informasi. Dalam memberikan laporan/pemberitahuan
ada kewajiban hukum untuk melengkapi laporannya dengan bukti-bukti
yang mendukung, sedangkan memberikan informasi tidak menimbulkan
kewajiban hukum bagi yang memberikan informasi tersebut. Sehingga
makna Pelapor tidak ada bedanya dengan fungsi yang dimiliki oleh
insan Pers atau media massa.
d. WhistleblowerIstilah whistleblower secara yuridis tidak ada
dalam sistem hukum di Indonesia. Sehingga tidak akan ditemui di
dalam UU manapun juga di Indonesia ini yang mengatur dan
mendefiniskan kata whistleblower.
Sehingga bisa dipastikan bahwa konsepwhistleblowerlebih banyak
diusung oleh Negara-Negara Anglo Saxon, khususnya Amerika, dan
Negara-Negara Commonwhealth (Negara-negara Jajahan Inggris).
Menurut Whistleblower Protection Act 1989 United States
menjelaskan sebagai berikut:A whistleblower is a present or former
employee or member of an organization who reports misconduct.
Dan menurut UU di Negara Bagian Amerika Michigan, disebutkan
sebagai berikut:
Employees who report a violation or suspected violation of
state, local, or federal law.
Sedangkan di Indonesia, hanya lembaga Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang mengeluarkan pengertian mengenai whistleblower.
Dimana dalam KPK Whistleblowers System (KWS) ditegaskan sebagai
berikut:
Seseorang yang melaporkan perbuatan yang berindikasi tindak
pidana korupsi yang terjadi di dalam organisasi tempat dia bekerja,
dan dia memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya
indikasi tindak pidana korupsi tersebut.
Namun setelah diadakan pertemuan antar institusi Penegak Hukum
(Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung dan LPSK) pada tanggal 19
Juli 2011, maka dikeluarkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4
Tahun 2011 tentang Perlakukan Bagi Pelapor Tindak Pidana
(whistleblower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice
Collaborators) Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, dengan
jelas menggunakan istilah whistleblower kepada Pelapor Tindak
Pidana.
2. Kesalahan Konsep Whistleblower (Pengungkap Fakta) Dalam
Sistem Hukum Pembuktian di IndonesiaIstilah whistleblower dalam
bahasa Inggris diartikan sebagai peniup peluit, disebut demikian
karena sebagaimana halnya wasit dalam pertandingan sepak bola ataui
olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta
terjadinya pelanggaran. Dalam tulisan ini, istilah peluit peluit
diartikan sebagai orang yang mengungkap fakta kepada public
mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi.
Adapun istilah pengungkap fakta (whistleblower) dalam UU Nomor
13 Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban yang ternyata
tidak memberikan pengertian tentang pengungkap fakta
(whistleblower), dan berkaitan dengan itu hanya memberikan
pengertian tentang saksi dan pengertian korban.Untuk dapat memahami
makna dari whistleblower, maka perlulah Penulis ungkapkan definisi
yang diambil berdasarkan sumber aslinya, yaitu dari negara-negara
sistem hukum common law, pada umumnya. Dimana istilah Whistleblower
berkembang diberbagai Negara dengan seperangkat aturan
masing-masing, diantaranya ialah :
a. Amerikat Serikat, whistleblower diatur dalam Whistleblower
Protection Act (WPA) of 1989
Whistleblower Protection Actyang pertama di AS dibuat pada 1912
dan dikenal sebagaiLloyd-Lafollette Actdi mana seorang pegawai
federal mendapat perlindungan hukum untuk memberikan Kongres
keterangan ada kriminalitas yang merugikan negara. Pada tahun
sembilan belas tujuh puluhan dan selanjutnya banyak lagi
undang-undang yang sama dibuat oleh Kongres di berbagai bidang
untuk mencegah pelanggaran hukum dan melindungi seperti air bersih,
bahan-bahan beracun, limbah, nuklir sampaicorporate fraud.
Whistleblower di Amerika Serikat dilindungi dari pemecatan,
penurunan pangkat, pemberhentian sementara, ancaman, gangguan dan
tindak diskriminasi.Berdasarkan WPA 1989 ditentukan sebagai
berikut:
"Bahwa setiap pengungkapan informasi dari seorang karyawan
dirahasiakan jika "cukup yakin" adanya bukti "pelanggaran hukum,
aturan, atau peraturan" atau bukti "mismanagament, pemborosan
keuangan, suatu penyalahgunaan wewenang, atau bahaya substansial
dan spesifik terhadap kesehatan masyarakat atau keselamatan "yang
dilindungi, maka pengungkapan tersebut tidak dilarang oleh hukum
atau jika dibutuhkan harus dirahasiakan oleh Orde Eksekutif.
Bahkan saat ini di Amerika terdapat pengaturan whistleblower
untuk pihak swasta, contohnya seperti Pharmacy whistleblower.
Pharmacy Whistleblower adalah istilah yang sudah dikenal di AS,
diperuntukkan bagi farmasis atau apoteker yang berani mengungkapkan
tindakan perusahaannya yang melanggar hukum (biasanya perusahaan
farmasi raksasa) kepada pihak yang berwenang. Jika tidak
diungkapkan, niscaya pemerintah AS akan mengalami kerugian material
yang besar, di samping juga bisa membahayakan masyarakat pengguna
obat dan alat kesehatan.
Selama ini, peranPharmacy Whistleblowerdi AS sangat signifikan.
Sudah banyak perusahaan farmasi yang ditindak berkat jasa Pharmacy
Whistleblower, karena perusahaan tersebut terbukti melakukan
kecurangan, mengambil jutaan dolar uang bukan haknya - ataupun
melakukan kegiatan yang tidak diperbolehkan menurut undang-undang
AS.
b. Afrika Selatan, Whistleblower diatur dalam Pasal 3 Protected
Disclosures Act Nomor 26 Tahun 2000
Whistleblower di Afika Selatan tidak termasuk ke dalam Witness
Protecting Act, namun masuk ke dalam Protected Disclosures Act.
Yang dimaksud dengan disclosure (pengungkapan) adalah setiap
pengungkapan informasi mengenai segala perbuatan majikan, atau
pegawai dari majikan itu yang dibuat olehsetiap karyawan
yangmemiliki alasan untuk percaya bahwa informasiyang
bersangkutanmenunjukkan ataucenderung untuk menunjukkansatu
atau5lebih dari berikut ini:
(1). Adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan, sedang
dilakukan atau kemungkinan besar akan dilakukan.
(2). Adanya tindakan hukum yang telah dilakukan atau akan
dilakukan yang melanggar ketentuan hukum yang mengikat atas
dirinya;
(3). Adanya pelanggaran atas rasa keadilan;
(4). Adanya kegiatan yang dilakukan mengakibatkan kerusakan atas
kesehatan ataupun keamanan seseorang;
(5). Adanya tindakan yang merusak lingkungan ataupun mungkin
dapat merusak;
(6). Adanya perilaku tidak adil sebagaimana diatur dalam UU
Promosi Keseteraan dan Pencegahan Tindakan Diskriminasi Yang Tidak
Sehat (UU No. 4 Tahun 2000); atau
(7). Adanya perilaku yang menyembunyikan atau sedang
menyembunyikan perilaku mulai point (a) hingga point (f) tersebut
diatas.Adapun obyek yang dimaksud di dalam UU ini adalah:
(1). Untuk melindungikaryawan,baik diswasta atausektor publik,
menjadi subyek dari suatu merugikan pekerjaan karena telah
melakukan pengungkapanyang dilindungi;(2). Untuk menyediakan solusi
tertentu sehubungan dengan kerugian yang diderita oleh pekerja
karena telah melakukan pengungkapan yang dilindungi; dan
(3). Untuk menyedian prosedur dimana seseorang pengungkap dapat
memberikan keterangan secara bertanggung jawab berkaitan dengan
informasi mengenai penyimpangan yang dilakukan oleh majikannya.
Ada beberapa subyek hukum yang dilindungi oleh UU Afrika selatan
dalam masalah pengungkapan fakta, yaitu:
(1). Karyawan atau mantan karyawan;
(2). Penasehat Hukum;
(3). Pemilik Usaha atau Majikan;
(4). Anggota Kabinet atau Dewan Ekslusif; dan
(5). Orang atau Badan tertentu.c. The States of Michigan,
Whistleblower diatur dalam The Whistleblower Protection Act 469 of
1980. Di dalam UU Whistleblower No 469 Tahun 1980 pada Negara
Bagian Michigan, dimana UU tersebut memberikan batasan ruang
lingkup sebagai berikut:
An Act to provide protection to employees who report a violation
or suspected violation of state, local, or federal law; to provide
protection to employees who participate in hearings,
investigations, legislative inquiries, or court actions; and to
prescribe remedies and penalties.
(Terjemahan bebas ( sebuah UU yang memberikan perlindungan
kepada karyawan yang melaporkan adanya pelanggaran atau dugaan
pelanggaran terhadap Hukum Negara, Lokal (daerah) atau Hukum
Federal; untuk memberikan perlindungan kepada karyawan-karyawan
yang berpasrtispasi dalam dengar pendapat, investigasi, untuk
kepentingan Legislatif dan tindakan pemeriksaan Pengadilan; dan
untuk menentukan upaya hukum dan pemidanaannya).
Adapun yang dimaksud dengan employee dalam UU tersebut adalah
sebagaimana ditegaskan dalam Section 1 (a) sebagai berikut:
Orang yang memperoleh upah atau imbalan lainnya sebagaimana
tertuang di dalam kontrak, baik secara tertulis maupun lisan,
tersurat maupun tersirat. Karyawan termasuk di dalamnya seseorang
yang dipekerjakan oleh Negara atau Lembaga Negara lainnya kecuali
yang diklasifikasikan sebagai layanan sipil.
Seorang Whistleblower dilindungi dari tindakan pemecatan dan
diskriminasi lainnya oleh Majikan/Pemilik Usaha, hanya karena
karyawan tersebut melakukan pelaporan atas dugaan adanya
pelanggaran hukum, atau ketika seorang karyawan diminta oleh Badan
Publik untuk berpartisipasi dalam penyelidikan, mendengar atau
menjawab pertanyaan baik dari Badan Publik atau dari
Pengadilan.
d. Australia, Whistleblower diatur dalam The Public Interest
Disclosures Act 92 of 1994 The State of New South Wales of
Australia Undang-Undang ini memberikan perlindungan bagi pejabat
publik mengungkapkan perilaku korup, maladministrasi, limbah dan
perilaku pemerintah bertentangan informasi di sektor publik, dan
untuk tujuan yang terkait.Adapun tujuan dari UU ini adalah sebagai
berikut:
Untuk mendorong dan memfasilitasi pengungkapan, dalam
kepentingan publik, perilaku korup, maladministrasi, limbah yang
serius dan substansial dan pemerintah bertentangan informasi di
sektor publik dengan:
(1). Meningkatkan dan menambah prosedur yang ditetapkan untuk
membuat pengungkapan mengenai hal-hal seperti itu, dan(2).
Melindungi orang dari pembalasan yang mungkin akanmenimpa mereka
karena mereka mengungkapan, dan
(3). Untuk kepentingan pengungkapan, maka harus diselidiki dan
ditangani dengan seimbang.Perlindungan terhadap Whistleblower
diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 The Public Interest Disclosures
Act 92 of 1994, dimana telah ditentukan bahwa identitasnya
dirahasiakan, tidak ada pertanggung jawaban secara pidana atau
perdata, perlindungan dari penceraman nama baik perlindungan dari
pihak pembalasan dan perlindungan kondisional apabila namanya
dipublikasikan ke media.
e. Inggris, Whistleblower diatur Public Interest Disclouse Act
1998.
Tujuan dari dibentuknya UU ini adalah sebagai berikut:An Act to
protect individuals who make certain disclosures of information in
the public interest; to allow such individuals to bring action in
respect of victimisation; and for connected purposes.
(Terjemahan bebas ( Undang-undang untuk melindungi individu yang
membuat pengungkapan informasi tertentu dalam kepentingan publik,
untuk memungkinkan orang tersebut untuk membawa berkenaan dengan
korban, dan untuk tujuan terkait).
Sedangkan hal-hal yang dikualifikasikan ke dalam suatu
pengungkapan menurut UU ini adalah sebagai berikut:
(1). Bahwa tindak pidana telah dilakukan, sedang dilakukan atau
kemungkinan besar akan dilakukan;
(2). Bahwa seseorang telah gagal, gagal atau mungkin gagal untuk
mematuhi kewajiban hukum yang dia tunduk;
(3). Bahwa kesalahan keadilan telah terjadi, terjadi atau
mungkin terjadi;
(4). Bahwa kesehatan atau keselamatan dari setiap individu
telah, sedang atau mungkin akan terancam punah;
(5). Bahwa lingkungan telah, sedang atau mungkin rusak, atau(6).
Bahwa informasi yang cenderung menunjukkan setiap masalah yang
berada dalam salah satu dari ayat-ayat sebelumnya telah, sedang
atau mungkin sengaja disembunyikan.
Berdasarkan UU ini, maka diketahui bahwa seorang Whistleblower
tidak boleh dipecat dan dilindungi dari viktimisasi serta perlakuan
yang merugikan.
3. Pengaturan Whistleblower Melalui Surat Edaran Mahkamah Agung
No. 4 Tahun 2011
Dengan ditolaknya rekomendasi LPSK akan implementasi dari
disetujuinya permohonan perlindungan dari Komjen Pol Susno Duadji
dan ketidakjelasan penerapan Pasal 10 UU PSK, maka pada tanggal 19
Juli 2011 lalu diadakanlah pertemuan antar institusi penegak hukum,
yaitu Kepolisian, Kejaksaan, LPSK dan Mahkamah Agung. Dimana MA
berjanji akan mengeluarkan pengaturan lebih lanjut, maka pada
tanggal 10 Agustus 2011 dikeluarkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung
RI Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana
(Whistleblower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice
Collaborators) Di Dalam Tindak PidanaTertentu.
Di dalam SEMA No. 4/2011 tersebut sudah mengadopsi definisi
mengenai whistleblower sebagaimana umumnya. Dimana pada point 8 (a)
SEMA No. 4/2011 menegaskan sebagai berikut:
Yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan
tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan
bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang
dilaporkannya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa sistem hukum
di Indonesia menyamakan kedudukan Pelapor sebagai whistleblower.
Namun keberadaan SEMA tersebut justru bertentangan dengan UU PSK
itu sendiri dengan dimasukannya point 8 (b) yang menegaskan sebagai
berikut:
Apabila Pelapor Tindak Pidana dilaporkan oleh Terlapor, maka
penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor
Tindak Pidana didahulukan dibanding laporan dari Terlapor.
Mari kita dibandingkan dengan Pasal 10 ayat (1) UU PSK, yang
menegaskan sebagai berikut:
Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum
baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan,
sedang, atau telah diberikannya.
Jika di dalam UU PSK telah tertutup bagi Pelapor sebagai
whistleblower, yang memiliki itikad baik, untuk dituntut baik
secara pidana maupun perdata, namun SEMA No. 4/2011 justru peluang
untuk dituntut oleh Terlapor kembali dibuka. Hal ini Penulis
simpulkan berdasarkan kalimat ...........penanganan perkara atas
laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan
dibanding laporan dari Terlapor.
Kalimat tersebut mengandung makna, bahwa jika perkara yang
dilaporkan oleh seorang whistleblower selesai disidangkan, maka
kemudian perkara yang dilaporkan oleh Terlapor akan dapat di
proses. Sehingga seorang whistleblower akan menghadapai tuntutan
pidana dan/atau perdata atas perkara yang ia laporkan.
Jelas didalam SEMA tersebut, MA menggunakan kalimat bersayap
yang dapat ditarik ulur penafsirannya. Mengapa tidak ditegaskan
saja bahwa seorang whistleblower yang dengan itikad baik tidak bisa
dilaporkan kembali karena laporannya. Penulis berpendapat bahwa
SEMA ini justru bertentangan dengan UU PSK.
Dari penelusuran Penulis ke berbagai peraturan
perundang-undangan di berbagai negara, hanya di Indonesia
pengaturan mengenai whistleblower diatur di dalam SEMA. Sedangkan
di negara-negara lain, whistleblower diatur di dalam UU tersendiri.
Bahkan tidak dijadikan satu dengan UU Perlindungan Saksi. Untuk
perlindungan saksi biasanya disebut dengan Witness Protection Act,
sedangkan untuk whistleblower biasanya diatur dalam Public Interest
Disclousure Act atau Public Disclousure Act.
Istilah whistleblower merupakan istilah baru dalam Hukum Acara
Pidana di Indonesia. Namun, di Indonesia terdapat istilah saksi
mahkota atau Crown Witness. Dimana salah satu pelaku tindak pidana
ditarik sebagai saksi kunci untuk mengungkap pelaku-pelaku yang
lain dengan iming-iming pengurangan ancaman hukuman. Sistem ini di
negara Eropa Kontinental seperti Belanda, Prancis dan Italia sudah
lama diterapkan dengan menggunakan konsep protection of cooperating
person. Sedangkan di negara-negara Anglo Saxon, memiliki asas plea
bargaining yang pada intinya sama dengan konsep protection of
cooperating person.Namun, konsep whistleblower lebih banyak diusung
oleh Negara-Negara Anglo Saxon, khususnya Amerika, dan
Negara-Negara Commonwhealth (Negara-negara Jajahan Inggris).Konsep
whistleblower dengan konsep protection of cooperating person adalah
dua hal yang sangat berbeda. Pada konsep whistleblower, si
pengungkap fakta sama sekali tidak dipidana sedangkan pada konsep
protection of cooperating person, si pengungkap fakta tetap bisa
dipidana namun mendapat keringanan. Konsep protection of
cooperating person lebih terkonsentrasi kepada Pelaku yang
bekerjasama dengan penegak hukum (Justice Collaborators) dalam
mengungkap kerumitan kasus.
Di Indonesia, konsep whistleblower tidak diatur secara tegas.
Jika melihat definisi pada Penjelasan Pasal 10, maka ada kemiripan
antara istilah whistleblower dengan Pelapor. Bahkan di dalam wacana
yang berkembang, konsep whistleblower juga dikaitkan dengan saksi
yang berasal dari kelompok Pelaku, misalnya Kasus Agus Condro dan
Kasus M. Nazaruddin. Sehingga di Indonesia sebenarnya lebih
cenderung mengadopsi konsep protection of cooperating person
dibandingkan konsep whistleblower.Tabel Perbandingan
Whistleblower Dan Protection Of Cooperating
PersonWhistleblowerProtection Of Cooperating Person
SubyekMantan atau Masih sebagai Pegawai suatu instansi1. Bagian
dari kelompok pelaku tindak pidana
2. Mantan atau Masih sebagai Pegawai suatu instansi
MotivasiKesadaran Diri & Hukum1. Balas Dendam
2. Mengharapkan Keringanan Pidana
3. Keinsyafan
PemidanaanTidak Dapat DipidanaDipidana dengan keringanan
KoneksitasTidak terlibat baik secara langsung maupun tidak
langsungTerlibat dugaan Tindak Pidana
Hukum AcaraMemberikan Keterangan diluar SidangMemberikan
Keterangan diluar Sidang, jika dipandang perlu
Jaminan Perlindungan1. Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan Korban
(UU PSK)
2. Pasal 10 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban (UU
PSK)
3. Tertutup oleh Media
4. Jaminan Pekerjaan1. Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan Korban
(UU PSK)
2. Pasal 10 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban (UU
PSK)
Sehingga Pasal 10 UU PSK tersebut lebih cenderung memiliki
kesamaan kepada asas plea bargaining yang dimiliki oleh United
States of America (USA), dimana asas plea bargaining tersebut
merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Jaksa Penuntut.
Dari pencarian Penulis mengenai makna dan fungsi dari suatu
Surat Edaran, akhirnya Penulis menemukan referensi yang
mendefinisikan makna dan fungsi dari Surat Edaran, yaitu:
Surat Edaran adalah jenis surat dinas yang berisi penjelasan
atau petunjuk tentang cara pelaksanaan suatu ketentuan atau
peraturan dari pejabat tertentu kepada bawahan atau karyawan.
Sehingga SEMA atau Surat Edaran Mahkamah Agung adalah merupakan
surat dinas yang memuat penjelasan atau petunjuk tentang cara
pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan dalam ruang lingkup
kewenangannya. Nah, anehnya SEMA No 4/2011 ini masih membutuhkan
petunjuk lebih lanjut.
Dalam banyak hal SEMA tersebut justru tidak memberikan petunjuk
pelaksanaannya, yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Di dalam UU PSK, Pelapor hanya diberikan imunitas terhadap
tuntutan baik pidana maupun perdata. Berhak kah Pelapor untuk
menikmati Pasal 5 UU PSK, karena Pasal 5 UU PSK hanya ditujukan
kepada Saksi dan Korban?
2. Bila terjadi conflict of interest, seperti pada kasus Komjen
Pol Susno Duadji, institusi mana yang berwenang memberikan
perlindungan hukum? Karena SEMA ini hanya berlaku pada ruang
lingkup penuntutan dan pemeriksaan di dalam sidang. Sedangkan pada
tahap Kepolisian hanya sebagai tembusan artinya tidak mengikat
kepada POLRI.
3. SEMA sebagai petunjuk dan pedoman pelaksanaan tidak
menjelaskan mengenai berapa besar keringanan hukuman yang akan
diberikan kepada justice collaborators ? Karena di USA, keringanan
hukuman ditegaskan sekitar 35% dari ancaman pidana atau penurunan
pelanggaran dua atau tiga tingkat. Berkaca kepada Kasus Agus Condro
yang dituntut 1 tahun 6 bulan oleh JPU dan mendapat keringanan oleh
Majelis Hakim karena Agus Condro sebagai pelapor hanya 3 bulan,
menjadi 1 tahun 3 bulan. Sebegitu besarnya kasus yang diungkap oleh
Agus Condro, namun hanya mendapat keringanan 3 bulan.
4. Digolongkan sebagai apakah ketika seseorang melaporkan dugaan
tindak pidana dan ternyata ia juga sebagai salah satu pelaku? Saksi
Pelaku ataukah Pelapor?
5. Bagaimana jika seorang Pelapor kehilangan imunitasnya karena
ada itikad tidak baik? Apakah laporannya secara otomatis ditolak
atau bagaimana?
6. LPSK sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk
menentukan apakah seseorang layak mendapat perlindungan hukum atau
tidak. Jika dianggap layak, maka seseorang akan berada di dalam
salah satu status, saksi kah, saksi pelaku kah, korban kah atau
Pelapor kah? Persetujuan atas suatu permohonan dituangkan ke dalam
sebuah perjanjian. Apakah kemudian Perjanjian tersebut kemudian
dijadikan acuan oleh Jaksa untuk menyusun tuntutannya ataukah
Perjanjian itu dijadikan salah satu alat bukti yang meringankan
oleh Hakim? Karena di dalam SEMA, ditegaskan agar Hakim tetap wajib
mempertimbangkan.
7. Di dalam point 7 SEMA No 4/2011, ditegaskan agar Hakim
memberikan keringanan pidana bagi justice collaborators atau bentuk
perlindungan lainnya. Ini juga point yang menyesatkan, karena
kewenangan untuk memberikan perlindungan hukum yang diberikan oleh
UU PSK adalah kepada LPSK bukan kepada Hakim. Kecuali ditegaskan
atas permintaan Hakim kepada LPSK untuk memberikan perlindungan
hukum, karena di dalam proses pemeriksaan saksi pelaku pantas untuk
dilindungi.
8. Terkait dengan point 7 SEMA No 4/2011, apakah bisa seorang
saksi pelaku yang mengajukan permohonan kepada Hakim untuk
diberikan perlindungan hukum, terkait dengan Pasal 29 point (a) jo
Pasal 32 ayat (1) huruf (b) UU PSK. Dimana disebutkan bahwa
......atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan
perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas
permintaan pejabat yang bersangkutan.Inilah keanehan-keanehan SEMA
yang awalnya diharapkan sebagai petunjuk pelaksana dari Pasal 10 UU
PSK, justri semakin menambah panjang permasalahan. Hal ini
dikarenakan pemahaman mengenai definisi whitleblower yang berbeda
dengan hukum asalnya, sehingga pengaturan melalui SEMA No. 4/2011
justru semakin menampakkan kejanggalan dalam pola pikir hukum
nya.
D. KesimpulanBerdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka
sudah dapat disimpulkan bahwa telah terjadi salah persepsi dalam
memaknai istilah whistleblower dan justice collaborator di
Indonesia. Akibat dari kesalahan pemaknaan tersebut sehingga legal
policy atas pengaturannya pun menjadi tidak komprehensif dan
efektif.Jika telah mengetahui makna sesungguhnya dari istilah
whistleblower dan justice collaborator, maka dikaitkan dengan
kasus-kasus yang pernah terjadi, baik Agus Condro maupun M.
Nazaruddin, sama sekali tidak tepat jika disematkan istilah
whistleblower kepada mereka. Akan tetapi agak sedikit berbeda pada
perkara dari Komjen Susno Duadji, dimana beliau dalam perkara mafia
pajak, tepat untuk disebut sebagai whistleblwoer. Namun dalam
perkara penggelapan dana pemilu di Jawa Barat adalah murni sebagai
pelaku tindak pidana, walaupun demikian, akibat pengaturan yang
tidak jelas, terdapat hak hukum dari Komjen Susno Duadji yang telah
dilanggar.
Terlepas dari adanya kesemerawutan dalam legal drafting, maka
sebenarnya dalam kajian Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated
Criminal Justice System), terdapat adanya ketidaksinkronan dan
ketidakharmonisan dalam membangun kinerja institusi-institus
penegak hukum. Nampak sekali betapa kentalnya arogansi sektoral
yang telah membudaya dalam sistem birokrasi di Indonesia.
Daftar Pustaka
Buku-Buku:
Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Pedoman
Perlindungan Terhadap Saksi dan Pekerja HAM, Jakarta : Elsam, 2006.
Gosita, Arif, Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan),
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2004.
Harahap, Krisna, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung,
Bandung : PT. Grafitri, 2006.
Kasim, Ifdhal, Hak Sipil dan Politik (Esai-esai pilihan), Buku
1, Jakarta : Eslam.2001.
Marbun, Rocky, dkk, Kamus Hukum Lengkap, Jakarta: Visimedia,
2012.Mulyadi, Lilik, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif
Teoritik Dan Praktik Peradilan Perlindungan Korban Kejahatan,
Sistem Peradilan Dan Kebijakan Pidana, Filsafat Pemidanaan Serta
Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Korban Kejahatan, Bandung: CV.
Mandar Maju, 2007.Artikel/Makalah/Jurnal:
Seminar Hukum Nasional I, di Jakarta, di Aula Universitas
Indonesia, Salemba pada tanggal 11 Maret 1963, Sumber :
http://bphn.kemenkumham.go.id/index.php?action=activity&type=Seminar&id=2008032809351693A.
Samson Nganro, Praktik Penerapan KUHAP dan Perlindungan HAM,
http://hukumonline.com/berita/baca/hol15621/praktik-penerapan-kuhap-dan-perlindungan-ham,
tanggal 16 Oktober 2006.
Surastini Fitriasih, Perlindungan Saksi Dan Korban Sebagai
Sarana Menuju Proses Peradilan (Pidana) Yang Jujur Dan Adil,
http://pemantauperadilan.org/perlindungan-saksi-dan-korban-surastini-fitriasih,
di download tanggal 1 Agustus 2011.
Perubahan Definisi Saksi Dalam KUHAP, Sumber:
http://www.cic-jure.org/berita-terbaru/502-perubahan-definisi-saksi-dalam-kuhap.htmlAturan
Saksi Dalam KUHAP Dinilai Saling Bertentangan, Sumber:
http://pusdiklat.law.uii.ac.id/index.php/Berita-Harian/Aturan-Saksi-Dalam-KUHAP-Dinilai-Saling-Bertentangan.htmlRocky
Marbun, SE Mahkamah Agung No. 4/2011 Cacat Hukum. Petunjuk
Pelaksana Yang ButaArah, Sumber:
http://forumduniahukumblogku.wordpress.com/2011/09/21/se-mahkamah-agung-no-42011-cacat-hukum-petunjuk-pelaksana-yang-buta-arah/,
tanggal 21 September 2011
http://kws.kpk.go.id/
Whistleblower Dan Perkembangan Demokrasi, Sumber:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/371183/,
tanggal 22 Desember 2010
L. Paige Whitaker, The Whistleblower Protection Act: An
Overview, Congressional Research Service: Order Code RL33918, March
12, 2007.
Eddy O.S. Hiariej, Legal Opini:Permohonan Pengujian Pasal 10
Ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, Newsletter Komisi Hukum Nasional ,Vol. 10 No. 6
Tahun 2010Undang-Undang:
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD
NRI) 1945
________, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana
________, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban
________, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010
United States of Michigan, The Whistleblowers Protection Act 469
of 1980 South of Africa, Protected Disclosure Act 26 of 2000
The State of New South Wales of Australia, The Public Interest
Disclosures Act 92 of 1994
United Kingdom of England, Public Interest Disclosure Act
1998
Ketua Umum Pusat Studi Litigasi dan Kajian Ilmu Hukum (PUSLIKUM)
Indonesia, Jakarta. Email: [email protected]
Seminar Hukum Nasional yang pertama di Jakarta, yaitu bertempat
di Aula Universitas Indonesia di Salemba pada tanggal 11 Maret
1963, dimana Prof. Oemar Seno Adji, S.H., dalam pemaparannya
menyatakan: Menyerukan dengan sangat agar supaya rancangan
kodifikasi hukum pidana nasional selekas mungkin diselesaikan.
Lihat : HYPERLINK
"http://bphn.kemenkumham.go.id/index.php?action=activity&type=Seminar&id=2008032809351693"
http://bphn.kemenkumham.go.id/index.php?action=activity&type=Seminar&id=2008032809351693
A. Samson Nganro, Praktik Penerapan KUHAP dan Perlindungan HAM,
http://hukumonline.com/berita/baca/hol15621/praktik-penerapan-kuhap-dan-perlindungan-ham,
tanggal 16 Oktober 2006.
Surastini Fitriasih, Perlindungan Saksi Dan Korban Sebagai
Sarana Menuju Proses Peradilan (Pidana) Yang Jujur Dan Adil,
http://pemantauperadilan.org/perlindungan-saksi-dan-korban-surastini-fitriasih,
di download tanggal 1 Agustus 2011.
Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Pedoman
Perlindungan Terhadap Saksi dan Pekerja HAM, (Jakarta : Elsam,
2006), hlm. 12.
Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik (Esai-esai pilihan), Buku 1,
(Jakarta : Eslam.2001), hlm. 60.
Krisna Harahap,Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, (Bandung
: PT.Grafitri, 2006), hlm. 24.
Rocky Marbun, dkk, Kamus Hukum Lengkap, (Jakarta: Visimedia,
2012), hlm. 298.
Lihat Pasal 160 KUHAP
Lihat Pasal 65 KUHAP
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010
Perubahan Definisi Saksi Dalam KUHAP, Sumber: HYPERLINK
"http://www.cic-jure.org/berita-terbaru/502-perubahan-definisi-saksi-dalam-kuhap.html"
http://www.cic-jure.org/berita-terbaru/502-perubahan-definisi-saksi-dalam-kuhap.html
Aturan Saksi Dalam KUHAP Dinilai Saling Bertentangan, Sumber:
HYPERLINK
"http://pusdiklat.law.uii.ac.id/index.php/Berita-Harian/Aturan-Saksi-Dalam-KUHAP-Dinilai-Saling-Bertentangan.html"
http://pusdiklat.law.uii.ac.id/index.php/Berita-Harian/Aturan-Saksi-Dalam-KUHAP-Dinilai-Saling-Bertentangan.html
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan),
(Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2004), hlm. 97.
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritik
Dan Praktik Peradilan Perlindungan Korban Kejahatan, Sistem
Peradilan Dan Kebijakan Pidana, Filsafat Pemidanaan Serta Upaya
Hukum Peninjauan Kembali Oleh Korban Kejahatan, (Bandung: CV.
Mandar Maju, 2007), hlm. 12
Rocky Marbun, SE Mahkamah Agung No. 4/2011 Cacat Hukum. Petunjuk
Pelaksana Yang ButaArah, Sumber:
http://forumduniahukumblogku.wordpress.com/2011/09/21/se-mahkamah-agung-no-42011-cacat-hukum-petunjuk-pelaksana-yang-buta-arah/,
tanggal 21 September 2011
The Whistleblowers Protection Act 469 of 1980 United States of
Michigan
http://kws.kpk.go.id/
Eddy O.S. Hiariej, Legal Opini:Permohonan Pengujian Pasal 10
Ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, Newsletter Komisi Hukum Nasional ,Vol. 10 No. 6
Tahun 2010, hlm. 23
Whistleblower Dan Perkembangan Demokrasi, Sumber:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/371183/,
tanggal 22 Desember 2010
L. Paige Whitaker, The Whistleblower Protection Act: An
Overview, Congressional Research Service: Order Code RL33918, March
12, 2007, hlm. 6.
Article 1 Protected Disclosure Act 26 of 2000, South of
Africa
Section 2 The Whistleblower Protection Act 469 of 1980 The State
of Michigan
Section 1 Article 3 The Public Interest Disclosures Act 92 of
1994 The State of New South Wales of Australia
Part IVA Article 43B Public Interest Disclosure Act 1998 United
Kingdom of England
Hasil Musyawarah Pimpinan LPSK menetapkan bahwa Komjen Susno
Duadji, berdasarkan permohonannya, disetujui untuk memperoleh
perlindungan dan akan ditempatkan di Rumah Aman (safe house).
Sedangkan pada saat itu, Komjen Susno Duadji merupakan tahanan
Penyidik Mabes Polri.
Rocky Marbun, SE Mahkamah Agung No. 4/2011 Cacat Hukum. Petunjuk
Pelaksana Yang Buta Arah, Sumber:
http://forumduniahukumblogku.wordpress.com/2011/09/21/se-mahkamah-agung-no-42011-cacat-hukum-petunjuk-pelaksana-yang-buta-arah/