175 BAB IV PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG Dalam bagian ini akan dijelaskan tentang pembangunan kota Semarang baik secara fisik maupun nonfisik dan bagaimana posisi pedagang kaki lima (PKL) di tengah-tengah hiruk pikuk pembangunan kota Semarang, khususnya pembangunan infrastruktur kota yang diawali dari masa kepemimpinan walikota Soekawi Soetarip hingga kepemimpinan Soemarno HS. Sebelum dideskripsikan bagaimana PKL berjuang mempertahankan hidup di tengah kegiatan pembangunan yang dirancang pemerintah kota, berikut dikemukakan sejarah perkembangan kota Semarang, faktor geografi dan demografinya, serta kebijakan pemerintah dalam hal industri, perdagangan dan jasa yang sedikit banyak membawa pengaruh terhadap kebijakan pemerintah kota dalam melakukan penataan PKL. A. Semarang sebagai Kota Dagang dan Jasa Kota Semarang merupakan kota pelabuhan penting di pantai utara Jawa, selain Jakarta, Cirebon, Tegal, Jepara, dan Surabaya. Semarang berperan penting, karena letak geografisnya yang strategis, yakni berada di tengah-tengah kepulauan Indonesia. Kota Semarang juga unik dan indah. Semarang secara geografis terletak pada posisi 6º.50´- 7º.10´ Lintang Selatan dan garis 109º.35´- 110º.50´ Bujur Timur. Menurut van Bemmelen, kira-kira 500 tahun yang lalu, keadaan kota Semarang jauh berbeda dengan kondisi sekarang . Di kala itu, garis pantai masih jauh menjorok ke dalam hingga ke bukit Gajahmungkur, Mugas, Mrican, Gunungsawo Simongan, dan bukit-bukit kecil lainnya. Dalam proses
32
Embed
Eksistensi Pedagang Kaki Lima Studi Tentang Kontribusi ...€¦ · bagaimana posisi pedagang kaki lima (PKL) di tengah-tengah hiruk pikuk pembangunan kota Semarang, ... Studi tentang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
175 175
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG
Dalam bagian ini akan dijelaskan tentang pembangunan
kota Semarang baik secara fisik maupun nonfisik dan
bagaimana posisi pedagang kaki lima (PKL) di tengah-tengah
hiruk pikuk pembangunan kota Semarang, khususnya
pembangunan infrastruktur kota yang diawali dari masa
kepemimpinan walikota Soekawi Soetarip hingga
kepemimpinan Soemarno HS. Sebelum dideskripsikan
bagaimana PKL berjuang mempertahankan hidup di tengah
kegiatan pembangunan yang dirancang pemerintah kota,
berikut dikemukakan sejarah perkembangan kota Semarang,
faktor geografi dan demografinya, serta kebijakan pemerintah
dalam hal industri, perdagangan dan jasa yang sedikit banyak
membawa pengaruh terhadap kebijakan pemerintah kota
dalam melakukan penataan PKL.
A. Semarang sebagai Kota Dagang dan Jasa
Kota Semarang merupakan kota pelabuhan penting di
pantai utara Jawa, selain Jakarta, Cirebon, Tegal, Jepara, dan
Surabaya. Semarang berperan penting, karena letak
geografisnya yang strategis, yakni berada di tengah-tengah
kepulauan Indonesia. Kota Semarang juga unik dan indah.
Semarang secara geografis terletak pada posisi 6º.50´- 7º.10´
Lintang Selatan dan garis 109º.35´- 110º.50´ Bujur Timur.
Menurut van Bemmelen, kira-kira 500 tahun yang lalu,
keadaan kota Semarang jauh berbeda dengan kondisi sekarang .
Di kala itu, garis pantai masih jauh menjorok ke dalam hingga
ke bukit Gajahmungkur, Mugas, Mrican, Gunungsawo
Simongan, dan bukit-bukit kecil lainnya. Dalam proses
176
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
berjalannya waktu, terjadilah pendangkalan dan endapan
lumpur, sehingga timbullah suatu dataran baru, yang di
kemudian hari dikenal kota bawah dan kota atas. Adanya kota
atas dan kota bawah inilah yang membuat Semarang menjadi
unik dan indah.
Ketika seseorang memasuki kota Semarang, akan terlihat
suatu pemandangan indah, suatu garis pantai dengan latar
belakang gedung-gedung dan bukit-bukit yang mengelilingi
kota, ditambah lagi jika udara cerah akan tampak pula dari
kejauhan gunung Ungaran, gunung Merbabu, bahkan pula
gunung Merapi dan Telomoyo jika seseorang berada di kota
atas.
Jika berkendaraan ke arah timur menuju Demak, dari
kejauhan akan tampak pula gunung Muria dan apabila
bersepeda ke arah barat menuju Mijen atau Kendal akan
tampak dari kejauhan gunung Sindoro. Keindahan kota
Semarang yang menakjubkan, maka tidak salah ketika kiranya
orang Belanda menyebutnya sebagai Venesia dari timur (Tio
t.th.:7). Rinkes menyebut kota Semarang sebagai “de oude stat”.
Pada zaman Hindu dahulu di daerah Gereja Blenduk sekarang
masih berupa lautan. Semarang memiliki sungai yang namanya
unik, yaitu sungai Kaligarang.
Van Bemmelen menjelaskan bahwa secara geologis, muara
sungai Kaligarang merupakan suatu pelabuhan alam bagi
daerah Semarang yang letaknya di belakang pulau terkenal
yaitu bukit Bergota dan Mugas. Realitasnya, pulau tersebut
merupakan pulau Tirang yang merupakan satu kesatuan pulau
di daerah perbukitan Bergota dan Mugas. Pada abad XV daerah
tersebut masih berupa jazirah. Mengapa pulau tersebut
dinamakan pulau Tirang? Menurut perkiraan Tio (t.th:7),
daerah tersebut merupakan rawa-rawa tempat bermuaranya
sungai-sungai di daerah itu, dan akibatnya lumpur-lumpur yang
terbawa mengendap, terjadilah beting-beting yang oleh para
177
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG
nelayan disebut “Trang” atau “Tirangan” atau karena daerah
tersebut terdapat banyak tiram, yaitu sejenis spesies laut catrea imbricata, sehingga pulau tersebut dinamakan pulau Tirang.
Pada tahun 1678, seorang Belanda, Cornelis Speelman
mencatat betapa ramainya pelabuhan Semarang, melebihi
pelabuhan Jepara yang terletak di sebelah timur Semarang.
Bahkan berabad-abad yang lalu hingga abad ke XVI, di pantai
utara Jawa terdapat beberapa pangkalan dagang penting yang
sering disinggahi kapal-kapal pedagang dari mancanegara. Salah
satu pelabuhan penting yang disinggahi adalah pelabuhan
Jepara. Namun seiring berjalannya waktu, banyak pedagang
dari Arab, Tiongkok dan India yang singgah di pelabuhan
Semarang, karena letaknya yang strategis, alami, indah, dan
datarannya subur.
Pendapatan pajak yang diperoleh dari Semarang pada tahun
1677 melebihi pendapatan serupa yang diperoleh dari
pelabuhan Jepara, sehingga penguasa Belanda pada tahun 1708
menginstruksikan semua pejabat penting dan catatan-catatan
yang berkaitan dengan perdagangan pada waktu itu untuk
dipindahkan ke Semarang. Dari catatan sejarah diketahui pula
bahwa pada zaman Mataram kuno kira-kira abad VIII,
Semarang sudah dikenal sebagai kota pelabuhan penting, yang
jika dilihat sekarang kira-kira terletak di sekitar pasar Bulu di
kaki bukit Bergota, yang terdiri dari beberapa bukit kecil,
seperti bukit Brintik (kini masih bisa dilihat di perbukitan di
belakang gereja Kathedral) dan bukit Mugas, yang sekarang
terdapat gedung PTP dan gedung Unisbank di belakang pom
bensin hingga ke daerah Telogobayem. Di sebelah selatan dan
barat Bergota terdapat bukit Candi dan Simongan, yakni daerah
sekitar Gedong Batu sekarang dan pada waktu itu banyak
pendatang dari daratan Tiongkok yang singgah dan bermukim
di sana.
178
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Para urban dan warga asli kota Semarang pasti akan
berusaha mencari tahu apa arti atau makna “Semarang”. Ada
beberapa versi mengenai asal mula nama Semarang.
Pertama, pada awal abad ke 16 pulau Tirang sudah dihuni
oleh banyak penduduk dan di sana ada sedikit pohon asem.
Konon, karena pohon asem atau asam itu jarang atau arang,
maka daerah yang ada pohon tersebut dinamakan Semarang.
Kedua, cikal bakal Semarang di pulau Tirang, diperkirakan
kawasan tersebut terlerak di bukit Bergota dan Mugas, tumbuh
beberapa pohon asem (asam+tirang = Semarang).
Ketiga, ada seorang kiai bernama Ki Pandan Arang, tinggal
di suatu tempat di tepi pantai dekat bukit Bergota yang subur,
pohonnya cukup banyak dan rindang. Di kemudian hari,
daerah itu disebut dengan Semarang.
Kedatangan Ki Pandan Arang di pulau Tirang ini,
disebutkan dalam Serat Kandaning Ringgit Purwo (SKRP)
naskah KBG nomor 7 sebagai berikut.
Sinigeg wau rumiyin
Kucapen pulo Tirang
Ki Pandan Arang kang nami
Kalanya duk tinuding
Dateng sunan Bonang iku
Kinen truko puniko
Ing Tirang Amper anenggih
Duk semana akatah telukanira
Dalam bahasa Indonesia, artinya adalah sebagai berikut.
Dipotong dahulu ceritera itu
Kisah pulau Tirang
Ki Pandan Arang namanya
Pada waktu ditunjuk
Oleh sunan Bonang
Disuruh membuak tanah itu
179
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG
Yaitu di Tirang Amper
Pada waktu itu banyak orang
Yang takluk kepadanya.
Kota Semarang merupakan kota lama. Kota ini diperkirakan
sudah berdiri sejak zaman Hindia Belanda. Tio (t.th.:8-9)
dengan mengutip pandangan Amen Budiman, menyebutkan
bahwa Semarang lahir pada tahun 1398 tahun saka atau tahun
1476 masehi, yakni diawali dengan kedatangan seorang pemuda
di daerah Bergota yang pada waktu itu masih berupa jazirah
bernama Tirang. Pemuda yang di kemudian hari diketahui
bernama Ki Pandan Arang bertugas mengislamkan penduduk
yang bermukim di daerah Tirang. Dengan berjalannya waktu,
pengikut Ki Pandan Arang bertambah banyak hingga di daerah
Tirang makin banyak penduduk yang beragama Islam.
Ki Pandan Arang I yang nama lainnya adalah Ki
Pandanaran diangkat sebagai penguasa pertama kota Semarang.
Ki Pandan Arang meninggal pada tahun 1496, dimakamkan di
Karang Winara (sekarang namanya Bubakan) dan pada masa
pemerintahan kolonial Hindia Belanda makam tersebut
dipindahkan ke Mugas hingga sekarang. Keturunan Ki Pandan
Arang, yaitu Kiai Pandan Arang II atau Sunan Tembayat
ditunjuk oleh pemerintah kerajaan Demak sebagai Bupati
Semarang yang pertama pada tanggal 2 Mei 1547 dan
meresmikan Tirang Amper menjadi pusat kegiatan penyiaran
agama Islam. Pada tanggal 29 April 1978, sidang paripurna
DPRD kota Semarang menetapkan tanggal 2 Mei 1547 sebagai
hari jadi kota Semarang.
Dari legenda atau kisah di atas, diketahui bahwa pada
zaman dahulu di Semarang banyak tumbuh pohon asam atau
asem. Pohon ini banyak manfaatnya. Buah, daun maupun
batangnya, dapat digunakan untuk bumbu masak, obat, dan
keperluan rumah tangga lainnya. Pohon asem yang dahulu
banyak tumbuh di jalan-jalan di kota Semarang seperti jalan
180
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Pemuda, jalan Gajahmada, jalan Ahmad Yani, dan jalan MT.
Haryono, sekarang mulai berkurang jumlahnya. Karena
tuntutan pembangunan, jalan-jalan harus dilebarkan dan pohon
asem yang rindang tersebut diganti pohon lainnya, seperti
angsana yang tentu manfaatnya tidak sebanyak pohon asem,
kecuali hanya sebagai pelindung dari sinar matahari ketika
musim panas. Hampir di ruas jalan-jalan utama di kota
Semarang ditanami pohon angsana, padahal selain manfaatnya
kurang, pohon ini mudah patah ketika datang angin kencang.
Secara topografis, kota Semarang terdiri atas daerah
perbukitan, dataran rendah dan daerah pantai. Daerah pantai
65,22% wilayahnya adalah dataran dengan kemiringan 25%
dan 37,78% merupakan daerah perbukitan dengan kemiringan
15-40%. Kondisi lereng tanah kota Semarang dibagi menjadi
empat jenis kelerengan.
Pertama, lereng I (0-2%) meliputi kecamatan Genuk,
Pedurungan, Gayamsari, Semarang Timur, Semarang Utara dan
Tugu, serta sebagian wilayah kecamatan Tembalang,
Banyumanik, dan Mijen.
Kedua, lereng II (2-5%), meliputi kecamatan Semarang
Barat, Semarang Selatan, Candisari, Gajahmungkur,
Gunungpati, dan Ngaliyan.
Ketiga, lereng III (15-40%), meliputi area Kaligarang dan
kali Kreo (yang berada di kecamatan Gunungpati), sebagian
wilayah kecamatan Mijen (daerah Wonoplumbon), dan
sebagian wilayah kecamatan Banyumanik, serta kecamatan
Candisari.
Keempat, lereng IV (lebih dari 50%), meliputi sebagian
wilayah kecamatan Banyumanik sebelah tenggara dan sebagian
wilayah kecamatan Gunungpati, terutama di sekitar Kali
Garang dan Kali Kripik.
181
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG
Kota bawah yang berupa pantai dan dataran rendah,
memiliki kemiringan antara 0% hingga 5%. Kota bawah yang
sebagian besar tanahnya terdiri atas pasir dan lempung, banyak
digunakan untuk jalan, pemukiman atau perumahan,
bangunan, halaman, kawasan industri, tambak, empang, dan
persawahan.
Lahan yang ada di kota Semarang digunakan untuk
kepentingan ekonomi maupun nonekonomi. Pola tata guna
lahan terdiri atas perumahan, tegalan, kebun campuran, sawah,
tambak, hutan, perusahaan, jasa, industri, dan lainnya, dengan
sebaran perumahan sebesar 33,70%, tegalan sebesar 15,77%,
kebun campuran 13,47%, sawah 12,96%, tambak 6,96%, hutan
3,69%, perusahaan 2,42%, jasa 1,52%, industri 1,26% dan
penggunaan lainnya yang meliputi jalan, sungai, dan tanah
kosong sebesar 8,25% (Bappeda dan BPS Kota Semarang 2010).
Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota
Semarang tahun 2000-2010, telah ditetapkan kawasan yang
berfungsi sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Kawasan lindung meliputi kawasan yang melindungi kawasan
di bawahnya, kawasan lindung setempat, dan kawasan rawan
bencana. Kawasan yang melindungi kawasan di bawahnya
adalah kawasan dengan kemiringan lebih dari 40%, yang
tersebar di wilayah bagian selatan; kawasan lindung setempat
adalah kawasan sempadan pantai, sempadan sungai, sempadan
waduk, dan sempadan mata air; dan kawasan lindung rawan
bencana adalah kawasan yang mempunyai kerentanan bencana
longsor dan gerakan tanah.
Kawasan yang dikembangkan untuk kepentingan budidaya
meliputi rencana kawasan perdagangan dan jasa, rencana
kawasan pemukiman, perdagangan dan jasa, rencana kawasan
pendidikan, rencana kawasan pemerintahan dan perkantoran,
rencana kawasan industri, rencana kawasan olahraga, rencana
kawasan wisata atau rekreasi, rencana kawasan perumahan dan
182
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
pemukiman, rencana kawasan pemakaman umum, rencana
kawasan khusus (Bappeda dan BPS Kota Semarang 2010).
Untuk kepentingan penelitian ini akan dijelaskan rencana
kawasan perdagangan dan jasa, rencana kawasan pemukiman,
perdagangan dan jasa, dan rencana kawasan industri. Kawasan
perdagangan dan jasa merupakan kawasan yang didominasi
pemanfaatan ruangnya untuk kegiatan komersial perdagangan
dan jasa pelayanan. Pengembangan kawasan ini untuk
mendukung perwujudan kota Semarang sebagai sentra
perdagangan dan jasa dalam skala regional dan nasional.
Kawasan perdagangan dan jasa ditetapkan tersebar pada
setiap Bagian Wilayah Kota (BWK), terutama di pusat-pusat
BWK guna mengurangi tingkat kepadatan dan beban pelayanan
di pusat kota. Arahan pemanfaatan ruang kawasan perdagangan
dan jasa dapat dicermati pada tabel di bawah ini.
Tabel 7. Arahan Pemantapan Kawasan Perdagangan dan Jasa
No. Bentuk Fungsi Lokasi Pemantapan Fungsi
1.
Kawasan perdagangan dan jasa modern
Kegiatan perdaga-ngan dan jasa dengan standar regional/ nasional/ interna-sional
Kawasan PETAWA-NGI
Rencana investasi berskala besar dalam bentuk Kawasan Niaga modern dan Taman Rekreasi Kota. Pengembangan kawasan ini dilakukan tanpa menghilangkan kantong pemukiman yang telah ada
2.
Kawasan perdagangan khusus
Kegiatan perdagangan dan jasa dengan karakter khusus
Kawasan Pasar Johar, Kawasan Pasar Agro
Kegiatan perdagangan dan jasa dengan karakter khusus yang berada di pusat kota, dengan tetap mempertahankan keberadaannya karena merupakan ciri kota Semarang
3.
Perdagangan dan jasa skala subkota
Kegiatan perdaga-ngan dan jasa
Pusat-pusat BWK
Pengembangan perdagangan dan jasa baru skala subkota diarahkan untuk memacu perkembangan daerah
183
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG
No. Bentuk Fungsi Lokasi Pemantapan Fungsi
selatan, khususnya di daerah Pedurungan, Tembalang, Banyumanik, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, dan Tugu
4.
Pasar tradisional
Kegiatan perdagangan di kawasan perkampungan nonurban
Mijen dan Gunungpati
Pasar formal ditingkatkan kualitasnya, terutama dalam hal sarana pasar, bidang pemasaran, keuangan, serta peningkatan kapasitas pasar dan renovasi pasar. Pasar formal diharapkan juga mampu menampung dan berperan dalam memecahkan permasalahan pedagang informal. Selain itu, juga
diharapkan mampu menertibkan pasar-pasar informal agar
menunjang pengisian pasar-pasar formal yang ada.
5.
Pasar loak
Kegiatan perdagangan
Pasar Barito dan Kokrosono
Pasar ini perlu dicarikan lokasi yang legal dengan tetap mempertimbangkan kekhasan kegiatan yang ada.
Sumber: Bappeda dan BPS Kota Semarang (2010).
Dari arahan pemantapan kawasan perdagangan dan jasa
sebagaimana terdapat dalam tabel di atas, tampak bahwa
perhatian pemerintah kota Semarang terhadap eksistensi,
pertumbuhan, dan perkembangan sektor informal masih
kurang. Kalau ada, masih terbatas pada penataan sektor
informal, khususnya pedagang kaki lima yang berada di sentra
PKL Barito dan Kokrosono, yang sehari-harinya menjual
barang-barang bekas, seperti onderdil mobil dan sepeda motor,
tape recorder, dongkrak, dan lain-lain, meskipun di beberapa
kios juga menjual barang-barang baru.
184
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Demikian pula, pasar-pasar krempyeng yang zaman dahulu
terkenal dengan tradisi bazaar ditertibkan agar bisa masuk
mengisi kios di pasar tradisional. Orientasi pemerintah kota
Semarang adalah mengintegrasikan pasar-pasar informal,
termasuk para pedagangnya ke dalam struktur pasar tradisional
yang sudah ada. Contoh yang paling riil adalah penertiban
pedagang pasar informal yang berdagang di sekitar pasar Bulu.
Mereka ditertibkan karena dianggap menimbulkan
kekumuhan dan kelancaran lalu lintas. Kini pasar Bulu sudah
bersih dari pedagang pasar informal. Pasar krempyeng yang
berada di belakang pasar Bulu juga ditertibkan. Para pedagang
diharapkan sebisa mungkin bergabung dengan para pedagang
yang sudah berjualan di pasar Bulu.
Perhatian kepada pedagang kaki lima (PKL) liar yang
jumlahnya dari waktu ke waktu makin meningkat, tampaknya
masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya rencana
kota dalam membuatkan sentra PKL sesuai dengan kekhasan
mereka, kecuali dibuatnya sentra PKL baru (itu pun bersifat
relokasi dan renovasi) di jalan Menteri Soepeno. Pemerintah
kota Semarang memang telah membuatkan tempat untuk
berdagang atau menjual jasa bagi para PKL, yaitu di Kokrosono
dan pasar Waru, hanya saja di dua lokasi ini tempatnya tidak
memadai bagi para pedagang. Selain kedua tempat ini kumuh
dan kotor, sentra PKL ini ibarat sungai, apa pun bisa
ditampung, padahal PKL memiliki karakteristik sendiri-sendiri,
yang tidak mungkin ditempatkan dalam satu wadah, seperti
halnya sampah yang dibuang ke sungai.
Selain mengembangkan kawasan perdagangan dan jasa,
Pemerintah kota Semarang juga mengembangkan fungsi
rencana kawasan permukiman, perdagangan dan jasa secara
komprehensif, sebagai berikut.
Pertama, pengembangan fungsi rencana kawasan
permukiman, perdagangan dan jasa dilakukan di kawasan pusat
185
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG
kota (Central Bussiness Distric/CBD) Peterongan-Tawang-
Siliwangi atau PETAWANGI.
Kedua, pengembangan jenis kegiatan di kawasan
PETAWANGI ditujukan untuk mendukung terwujudnya
kawasan PETAWANGI sebagai kawasan perdagangan dan jasa
skala pelayanan regional, nasional, dan internasional.
Ketiga, pengembangan kawasan permukiman, perdagangan,
dan jasa di kawasan PETAWANGI dilaksanakan dengan tetap
mempertahankan Kampung Heritage sebagai kawasan
permukiman dan pariwisata.
Keempat, pengembangan kegiatan permukiman di kawasan
ini dilakukan secara vertikal dengan pola rumah susun,
apartemen, atau kondominium.
Sejalan dengan cita-cita menjadikan Semarang sebagai kota
perdagangan dan jasa, pemerintah kota juga mengembangkan
kawasan industri. Kawasan industri ini merupakan kawasan
yang didominasi pemanfaatan ruangnya untuk kegiatan-
kegiatan di bidang industri, seperti pabrik dan pergudangan.
Meskipun demikian, sesuai dengan RTRW kota Semarang
2010-2030, pengembangan kawasan industri dibatasi agar visi
kota Semarang yang lebih mengembangkan sektor tersier, yaitu
perdagangan dan jasa dapat terwujud.
Kawasan industri di Semarang dibagi dalam enam kawasan,
yaitu kawasan industri Genuk, kawasan industri Tugu, kawasan
industri Candi, kawasan industri dan pergudangan Tanjung
Emas, kawasan industri Mijen, dan kawasan industri
Pedurungan. Kawasan industri ini dilakukan secara terpadu
dengan lingkungan sekitarnya, dengan memperhatikan radius
atau jarak dan tingkat pencemaran yang dapat ditimbulkan
serta upaya pencegahan pencemaran terhadap kawasan di
sekitarnya.
186
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Dari waktu ke waktu, penduduk kota Semarang bertambah.
Tahun 2009 sudah mencapai angka 1.506.924 orang dengan
tingkat pertumbuhan 1,71%. Kota dengan penduduk satu juta
lebih, seperti kota Semarang, dikategorikan sebagai kota besar
(Sisk 2002:54). Data perkembangan penduduk kota Semarang
dari tahun 2005 hingga tahun 2009 dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 8. Jumlah Penduduk Kota Semarang Tahun 2005-2009
No. Tahun Jumlah Penduduk Pertumbuhan (%) Laki-laki Perempuan Jumlah
penyet, nasi goreng, nasi gimbal, dan lain-lain. Mereka
menempati tempat yang banyak dikunjungi orang, seperti dekat
mall, dekat pasar, dekat kampus, dan pusat keramaian lainnya.
195
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG
Dalam sektor informal, selain makanan, berkembang pula
bisnis perdagangan bensin eceran, jasa tambal ban, jasa las
mobil dan motor, jasa sewa mobil angkutan, jasa menjahit
pakaian, jasa menggendong barang bawaan, sol sepatu,
pembuatan stempel, pembuatan nomor sepeda motor dan
mobil, jasa pengurusan STNK dan SIM, penjualan barang-
barang bekas, penjualan sayur keliling, dan berbagai jenis
sektor informal lainnya.
Usaha sektor informal di kota Semarang sangat bervariasi
dan pekerja sektor informal, khususnya PKL banyak
jumlahnya. Penelitian ini tidak dirancang untuk
digeneralisasikan pada populasi lainnya, oleh karenanya PKL
yang diteliti dibatasi pada tiga tempat atau lokasi, yaitu PKL
yang berlokasi di Sampangan, Basudewo, Kokrosono.
Tiga tempat tersebut berlokasi di dekat bantaran sungai
Kaligarang dan Banjir Kanal Barat. PKL Sampangan menempati
area tepi sungai Kaligarang, berada pada jalur ramai lalu lintas.
Disebut PKL Sampangan karena mereka berdagang di wilayah
Sampangan, tepatnya di sebelah utara pasar Sampangan (lama).
Wilayah Sampangan sangat ramai dan padat manusia, baik
siang maupun malam hari. Selain pasar, juga terdapat Akademi
Perbankan GEGA atau Alfabank, Akademi Sekretaris Santa
Maria, Super Mall, Pom Bensin, dan sejumlah toko besar dan
kecil, baik ke arah utara Sampangan maupun ke arah selatan
Sampangan.
Wilayah Sampangan ini juga mudah diakses oleh para
mahasiswa di kawasan Bendan Ngisor dan Bendan Nduwur.
Demikian pula, para penghuni perumahan Kradenan Asri, Puri
Sartika, Trangkil Sejahtera, Bukit Sukorejo, dan warga
perumahan di wilayah Sekaran dan sekitarnya juga tidak
membutuhkan waktu lama untuk mengakses sentra jasa dan
perdagangan di Sampangan. Tidak mengherankan jika di
Sampangan ini, banyak berdiri usaha warung makanan, seperti
196
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
nasi goreng, gado-gado, nasi gandul, seafood, ayam dan bebek
goreng, nasi ayam penyet, dan lain-lain.
Para PKL yang dahulunya menempati lokasi tepi sungai Kaligarang (tepatnya anak sungai Kaligarang), karena proyek pembuatan waduk Jatibarang, sejak bulan April 2010, lokasi yang mereka tempati diratakan oleh begu dan buldoser. Atas dasar negosiasi antara paguyuban PKL dengan pihak proyek, para PKL diizinkan sementara untuk menempati lahan di sebelah selatan lokasi PKL Sampangan bersebelahan dengan pasar Sampangan (lama).
Di sebelah utara lokasi PKL Sampangan (mestinya masih termasuk daerah penggusuran), berdiri kokoh bangunan untuk jasa makanan, penjahit, mebel, penjualan buah-buahan, dan bengkel las. Jumlah pedagang kaki lima (PKL) Sampangan sesungguhnya masih banyak. Bahkan jika ditelusuri hingga ke arah utara menuju SD Petompon, terdapat PKL dan usaha sektor informal lainnya, seperti penjual nasi, usaha bengkel sepeda motor dan mobil, usaha bengkel las, usaha tambal ban, penjual sticker sepeda motor dan mobil, serta tukang kunci. Namun, karena yang berkaitan langsung dengan penggusuran, berlokasi di tepi sungai Kaligarang, utamanya yang berada di sekitar pasar Sampangan, maka yang dijadikan sebagai unit analisis penelitian hanyalah mereka yang menempati lokasi yang terkena penggusuran. Gambar di bawah ini adalah lokasi PKL Sampangan yang digusur, yang diberi batas pagar bambu.
197
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 12. PKL Sampangan menempati tepi sungai Kaligarang
Tidak berbeda dengan PKL Sampangan, PKL Basudewo juga
menempati tepi bantaran sungai Banjir Kanal Barat, yakni
memanjang dari jembatan Lemah Gempal ke arah utara hingga
jembatan Banjir Kanal Barat. Sebelum digusur pada bulan Juni
2010, jumlah PKL Basudewo kurang lebih 100 orang. Dikatakan
PKL Basudewo, karena mereka beraktivitas di sepanjang jalan
Basudewo.
Wilayah aktivitas PKL Basudewo yang masih digunakan
adalah dari ujung selatan, yaitu jembatan Lemah Gempal
hingga ke arah utara bagian tengah. Bagian tengah ke arah
utara hingga jembatan Banjir Kanal Barat kosong tidak ada PKL
karena sebagian sudah pindah ke sentra PKL Kokrosono.
Sebagian besar PKL bermatapencaharian sebagai pengrajin
mebel. Mebel yang dijual di antaranya kursi, meja, almari,
tempat tidur, tempat televisi, dan rak buku. Lainnya sebagai
penjual bambu, penjual bensin, penjual makanan warungan