iii EKSISTENSI DAN FUNGSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam Oleh HANIF MASYKUR NIM: 11412004 FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2015
89
Embed
EKSISTENSI DAN FUNGSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/618/1/Hanif Masykur_11412004.pdf · b. Bagaimana Fungsi Pendidikan Agama Islam? C. Tujuan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
iii
EKSISTENSI DAN FUNGSI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Islam
Oleh
HANIF MASYKUR
NIM: 11412004
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2015
iv
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN Jl. Tentara Pelajar 02 Telp. (0298)323706, 323433 Fax.323433 Salatiga 50721
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Ilahi rabbi, yang mempunyai sifat
rahman dan rahim, maha pengasih lagi maha penyayang atas hidayah, kekuatan dan
rahmatNya sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai, shalawat serta salam semoga
tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad saw, beserta para shabat dan
keluarganya, semoga kita semua mendapatkan syafaatnya, amin.
Penulisan skripsi yang berjudul “Eksistensi dan Fungsi Pendidikan Agama Islam
dalam Sistem Pendidikan Nasional ini adalah merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
Terkandung satu harapan mudah-mudahan skripsi ini merupakan sumbangan karya
ilmiah bagi peningkatan mutu pendidikan, khususnya pendidikan Agama Islam.
Penulis menyadari sepenuhnya, karya ini dapat terselesaikan semata-mata
karena pertolongan Allah swt melalui perantara bantuan dari berbagai fihak ,untuk itu
penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada :
ix
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, Rektor Institut Agama Islam Negeri Salatiga, yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan menimba ilmu
pada almamater yang beliau pimpin
2. Bapak Suwardi, M.Pd. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama
Islam Negeri Salatiga, yang senantiasa kami ikuti apa yang menjadi kebijakannya.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga, yang senantiasa
membimbing kami dalam urusan akademik.
4. Bapak Drs. Joko Sutopo Ketua Program PAI Ekstensi yang pada saat Institut Agama
Islam Negeri Salatiga masih bernama Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN ).
5. Bapak H. Achmad Maemun, M.Ag selaku Pembimbing penulis, yang disela-
selakesibukannya senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing dan
memberikan pengarahan demi baiknya sebuah karya ilmiah, semoga Allah selalu
memberikan umur yang barokah, dan semoga Allah memberikan rahmat kepada
beliau.
6. Seluruh Pejabat di Institut Agama Islam Negeri Salatiga mulai dari pimpinan, staf
administrasi dan semua karyawan, yang senantiasa memfasilitasi penulis dalam
belajar.
7. Bapak Serta Emak, orang tua penulis yang senantisa memberikan dukungan moril
maupun materiil sehingga sekolah penulis dapat selesai dengan lancar dan sesuai
harapan.
8. Kuni Masrohati Ulya isteri yang sangat luar biasa, yang senantiasa berdo’a dan
berusaha untuk kesuksesan suaminya serta setia mendampingi meskipun dalam
kondisi terpuruk. Kedua bidadari penulis yaitu Fiyya Azha Sorayya dan Adiiba
x
Khalwaa Aqila anakku yang cantik dan hebat, terimakasih atas kerjasamanya tidak
berebut komputer dan printer selama proses pembuatan skripsi.
9. Semua Sahabat, saudara mahasiswa PAI Ekstensi 2012, dan mahasiswa Institut
Agama Islam Negeri Salatiga pada umunya yang senantiasa memberikan dorongan,
masukan dan saran.
Ahirnya, dengan hati yang terbuka kami tunggu saran dan kritik dari pembaca,
penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca pada
umumnya, semoga yang menulis dan membaca mendapatkan ridho dan hidayah serta
diberi kekuatan oleh Allah untuk selalu beribadah. Amin.
Salatiga, 16 Maret 2015
Penulis
HanifMasykur
NIM. 11412004
xi
ABSTRAK
Masykur, Hanif. 2015. Eksistensi dan Fungsi Pendidikan Agama Islam dalam Sistem
Pendidikan Nasional ( Pendekatan Historis Antara Tahun 2003 sampai 2014 ).
Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan . Jurusan Pendididikan Agama
Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: H. Achmad
Maimun, M.Ag.
Kata Kunci : Eksistensi dan Fungsi Pendidikan Agama Islam
Penelitian ini merupakan kajian Pendidikan Agama Islam dalam sistem
Pendidikan Nasional. Pernyataan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah
(1) bagaimanakah eksistensi pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan Nasional
?, dan (2) Bagaimanakah Fungsi Pendidikan Agama Islam dalam sistem pendidikan
Nasional?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini berjenis penelitian
pustaka atau literatur menggunakan pendekatan historis lebih spesifiknya adalah
pendekatan sejarah konstitusional.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa Pendidikan Agama Islam masih
sangat diakui keberadaannya, Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia
demi menunjang perannya di masa datang dan untuk meningkatkan harkat dan
martabat manusia. Aktivitas ini telah dan akan terus berjalan semenjak manusia
pertama ada di dunia sampai berahirnya kehidupan dimuka bumi ini. Bahkan, jika ditarik
mundur lebih jauh, proses pendidikan ini ternyata telah berlangsung sejak Allah swt,
baru selesai menciptakan Adam as hingga saat ini.
Pendidikan Agama Islam di sekolah mengalami proses perkembangan yang
cukup panjang. Sebagian ahli dalam kajian sejarah pendidikan agama Islam di Indonesia
membuat periodisasi perkembangan PAI yaitu masa penjajahan dan periode
kemerdekaan. Perkembangan PAI tidak terlepas dari perubahan politik, khususnya
berkaitan dengan kenijakan tentang pendidikan agama yang dikeluarkan pemerintah
pada zamannya.Kebijakan dalam bidang pendidikan hakekatnya merupakan produk
politik dari suatu pemerintahan, sehingga kebijakan –kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah tersebut dengan sendirinya sangat tergantung pada kebijakan politik
pemerintah pada umumnya.
Pendidikan agama Islam sebagai mata pelajaran dan nilai belum mampu
xii
memberikan pemahaman dasar yang menghasilkan sikap laten sehingga dapat
berfikir, bersikap dan berperilaku sesuai nilai-nilai tauhid, kemanusiaan,
keseimbangan dan nilai rahmatan lil alamin belum dapat ditanamkan dalam
kepribadian siswa. Kegagalan inilah yang kemudian para pakar mengatakan
terjadinya kebobrokan dan rusaknya mental bangsa, kondisi ini cermin dari
gagalnya dunia pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai lebih khusus lagi
kegagalan dunia pendidikan agama.
xiii
DAFTAR ISI
SAMPUL ........................................................................................................... i
LEMBAR BERLOGO ....................................................................................................... ii
JUDUL ............................................................................................................ iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................................... iv
PENGESAHAN KELULUSAN ......................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN........................................................................... vi
MOTO DAN PERSEMBAHAN......................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ viii
ABSTRAK ............................................................................................................ xi
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 3
D. Kegunaan Penelitian ................................................................................. 3
E. Metode Penelitian ..................................................................................... 3
F. Penegasan Istilah ...................................................................................... 5
G. Sistematika Penulisan ............................................................................... 6
BAB II UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
A. Kelahiran Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional ......................... 7
xiv
B. Pro dan Kontra Terhadap Pendidikan Agama dalam UU No. 20
Tahun 2003 ............................................................................................... 11
BAB III KEBIJAKAN PENDIDIKAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL
A. Sistem Pendidikan .................................................................................... 20
B. Komponen Pendidikan ............................................................................. 25
C. Fungsi Pendidikan .................................................................................... 33
D. Agama dalam Sistem Pendidikan ............................................................. 35
BAB IV EKSISTENSI DAN FUNGSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
A. Eksistensi Pendidikan Agama Islam dalam Sistem Pendidikan
nasional ............................................................................................................... 39
B. Fungsi Pendidikan Agama Islam ............................................................. 51
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 67
B. Saran ......................................................................................................... 70
C. Penutup ..................................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
TENTANG PENULIS
xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia masih terus dihadapkan pada krisis
multidimensional. Dari hasil berbagai kajian disiplin dan pendekatan,
tampaknya ada kesamaan pandangan bahwa segala macam krisis itu
berpangkal pada krisis akhlak atau moral. Krisis ini, secara langsung atau
tidak, berhubungan dengan pendidikan. Kontribusi pendidikan dalam konteks
ini adalah pada pembangunan mentalitas manusia yang merupakan
produknya, dan sementara pihak menyebutkan bahwa krisis tersebut karena
kegagalan pendidikan agama, termasuk didalamnya pendidikan agama Islam.
“Untuk mengantisipasi berbagai krisis tersebut, maka pembelajaran agama
Islam di sekolah maupun perguruan tinggi harus menunjukkan
kontribusinya"( Majid. 2012:10 ).
Menurut Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 55 Tahun 2007 Pendidikan agama adalah pendidikan yang
memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan
keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang
dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Pendidikan Agama Islam adalah upaya
sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal,
xvi
memahami, menghayati, hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia
dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya yaitu al
qur‟an dan hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta
penggunaan pengalaman. “Semua aktifitas itu disertai dengan tuntunan untuk
menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan
antar umat beragama dalam masyarakat hingga terwujud kesatuan dan
persatuan bangsa” ( Majid. 2012: 12 ).
Dalam bahasa Inggris pendidikan diistilahkan to educate yang berarti
memperbaiki moral dan melatih intelektual. Pendidikan adalah hidup,
pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala
lingkungan dan sepanjang hidup. “Pendidikan adalah segala situasi hidup
yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hidup”(Kadir.
2012:59).
Berkaitan dengan hal tersebut, Majid ( 2012:16 ) menyatakan sebagai
berikut.
Pendidikan agama Islam di sekolah bertujuan untuk menumbuhkan dan
meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan,
penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama
Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal
keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat
melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
“Pendidikan Agama Islam pada dasarnya hendak mengantarkan
peserta didik agar memiliki kemantapan aqidah dan kedalaman spriritual,
keunggulan akhlak, wawasan pengembangan dan keluasan iptek”(Muhaimin.
2012:104). Pendidikan Agama Islam sebagai proses pembelajaran secara jelas
disebutkan dalam undang-undang bahwa setiap lembaga pendidikan harus
xvii
mengajarkan pendidikan agama, ini artinya kekurangan dalam pendidikan
agama tidak terlepas dari peraturan pemerintah maupun undang-undang .
B. Rumusan masalah
Dari latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
a. Bagaimana Eksistensi Pendidikan Agama Islam?
b. Bagaimana Fungsi Pendidikan Agama Islam?
C. Tujuan Penelitian
Dari pokok masalah tersebut ada beberapa tujuan yang hendak dicapai yaitu :
a. Untuk mengetahui keberadaan Pendidikan Agama Islam dalam sistem
pendidikan Nasional antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2014,
b. Untuk mengatahui fungsi Pendidikan Agama Islam dalam sistem
pendidikan nasional antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2014.
D. Kegunaan Penelitian
Dengan melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat baik untuk penulis maupun orang lain, setelah melakukan penilitian
diharapkan dapat :
a. Memberikan sumbangan teoritis dalam wacana sistem pendidikan
nasional mulai dari sekarang dan yang akan datang.
b. Memberikan sumbangan praktis kepada segenap guru Pendidikan Agama
Islam ( PAI ) agar memahami lebih dalam terutama dibidang eksistensi
dan fungsi Pendidikan Agama Islam.
E. Metode Penelitian
xviii
Sesuai dengan pedoman penulisan skripsi Sekolag Tinggi Agama
Islam Negeri ( STAIN ) Salatiga yang diterbitkan pada tahun 2009 ada tiga
pendekatan dalam penelitian naskah yaitu (a) Pendekatan Tafsir, (d) analis isi,
dan (c) hermeneutika. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan
hermeneutika dengan langkah dimulai dengan menggali sumber sejarah yang
berhubungan dengan undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan Nasional. Caranya penulis menganalisis isi dari Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003, kebijakan pemerintah yang dalam hal ini berbentuk
Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sehingga dapat diketahui
eksistensi dan fungsi Pendidikan Agama Islam.
1. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data
Penulis membagi dua bagian penting yaitu data primer dan data
skunder untuk mengetahui eksistensi pendidikan agama Islam dalam
perspektif undang-undang, sumbernya berupa bahan-bahan kepustakaan,
baik bahan-bahan kepustakaan yang termasuk sumber primer ( undang-
undang sistem pendidikan nasional dan peraturan Pemerintah ), sumber-
sumber skunder ( karya-karya yang mebahas Pendidikan Agama Islam
kaitannya dengan perundang-undangan dan peraturan pemerintah ).
2. Analisis Data
Sumber yang berkaitan dengan Pendidikan Agama Islam dalam
perspektif undang-undang digunkan untuk mengkaji eksistensi Pendidikan
Agama Islam dalam sistem pendidikan Nasional. Kemudian sumber yang
berhubungan dengan fungsi Pendidikan Agama Islam dianalisis dan
xix
digunakan untuk mengetahui sejauh mana Pendidikan Agama Islam
berfungsi dalam sistem pendidikan Nasional.
F. Penegasan Istilah
1. Eksistensi adalah “keberadaan”(Dahlan. 2003:163). Maksudnya adalah
keberadaan pendididikan agama Islam setelah terbit undang-undang
nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
2. Fungsi berasal dari bahasa Inggris Function, menurut kamus bahasa
Inggris-Indonesia artinya adalah kegunaan, “pekerjaan” (Ecchhilis.
2000:260). Sebuah fungsi adalah kumpulan ke arah pemenuhan
kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Sesuatu dikatakan berfungsi
bila dapat memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan atau kebutuhan yang
diharapkan oleh unsur-unsur yang ada dalam sebuah sistem.
3. Menurut Muhaimin (2012:11),
“pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan
dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama
Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan dengan
memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan
kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan
persatuan nasional‟.
“Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana
dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami,
menghayati, hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam
mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al qur
an dan hadits, melalui kegiatan bimbingan , pengajran, latihan, serta
penggunaan pengalaman, disertai dengan tuntutan untuk menghormati
penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan anatar umat
beragama dalam masyarakathingga terwujud kesatuan dan persatuan
bangsa” ( Majid. 2012:11 ).
xx
4. “Sistem Pendidikan Nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan
yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan
Nasional seperti tertuang dalam undang-undang” ( UU.no23. 2003 ).
G. Sistematika Penulisan
Sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bab pertama yang berisi pendahuluan sebgai gambaran utuh skripsi
yang meliputi, latar belakang masalah, dari latar belakang masalah dapat
dirumuskan masalah, Tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode
penelitian, penegasan istilah dan sistematika pembahasan.
Bab dua berisi biografi naskah yang berisi sejarah lahirnya undang-
undang Nomor 20 tahun 2003, pro dan kontra terhadap undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 .
Bab tiga tentang pendidikan agama dalam undang-undang sistem
pendidikan nasional yang meliputi sistem pendidikan, komponen pendidikan
dan fungsi pendidikan.
Bab empat fungsi pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan
nasional meliputi eksistensi dan fungsi pendidikan agama Islam.
Bab lima Penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.
xxi
BAB II
UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003
TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
A. Kelahiran Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
“Undang-undang no. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
Nasional telah disahkan DPR RI 11 Juni 2003 dan diundangkan 8 Juli
2003”(Soebahar. 2013:137). Undang-undang tersebut bisa disebut konstitusi
yang dimaksud adalah undang-undang sistem pendidikan Nasional Nomor 20
Tahun 2003 merupakan implementasi dari amanat undang-undang dasar 1945
pada bab XIII tentang pendidikan dan kebudayaan pasal 13, pasal tersebut
mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan Nasional. Yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang.
Undang-undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai undang-undang
pertama yang mengatur pendidikan nasional tidak memberikan tempat bagi
pendidikan keagamaan yang saat itu diistilahkan dengan pengajaran agama.
Undang-undang ini cenderung bersikap liberal dengan menyerahkan
keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan persetujuan
orang tua. Undang-undang ini mengamanatkan tersusunnya undang-undang
tersendiri yang mengatur tentang pendidikan agama. Secara sederhana sikap
xxii
pemerintah saat itu dapat disimpulkan sebagai tidak memihak terhadap
pendidikan agama.
Berangkat dari kenyataan itu maka, isu pendidikan agama ramai
dibicarakan dan diperdebatkan, akumulasi perdebatan ini memberikan
pengaruh terhadap undang-undang nomor 2 tahun 1989 sebagai undang-
undang sistem pendidikan Nasional jilid dua yang disahkan pada tanggal 27
Maret 1989. Dalam undang-undang yang muncul 39 tahun kemudian dari
undang-undang pertama ini, pendidikan keagamaan dan pendidikan agama
mulai mendapat tempat yang cukup signifikan dibandingkan dengan yang
sebelumnya. Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalur
pendidikan sekolah. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam
setiap jenis jalur dan jenjang pendidikan.Lebih dari itu Undang-undang ini
menjadikan keimanan dan ketakwaan sebagai tujuan pendidikan Nasional
keimanan dan ketakwaan adalah terminologi yang sangat identik dan akrab
dengan pendidikan agama dan keagamaan.
Sembilan tahun setelah undang-undang nomor 2 tahun 1989
diundangkan, pendidikan Nasional mendapat banyak kritik, bahkan hujatan
dikarenakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan bangsa saat itu,
bahkan UUD 1945 pun yang memayungi lahirnya setiap undang-undang
pendidikan tak mampu menahan dari desakan amandemen sehingga pada
tanggal 18 Agustus 2000 MPR memutuskan berlakunya UUD hasil empat
kali amandemen tersebut. UUD hasil amandemen ini mengamanatkan agar
pemerintah menyusun sebuah sistem pendidikan Nasional. Demi memenuhi
xxiii
amanat tersebut, desakan masyarakat serta tuntutan reformasi pendidikan
bergulir, maka pada tanggal 8 juli 2003 diundangkan Undang-undang nomor
20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional. Pada masa inilah
pendidikan agama yang setidaknya ditegaskan dan diisyaratkan dalam 12
point dari undang-undang tersebut, yaitu pada : 1) konsideran “menimbang”,
2) bab I tentang ketentuan umum , 3) pasal 3 tentang fungsi pendidikan
Nasional, 4) pasal 12 ayat 1 a tentang hak peserta didik , 5) pasal 17 ayat2
tentang bentuk pendidikan dasar, 6) pasal 18 ayat 3 tentang bentuk
pendidikan menengah , 7) pasal 26 ayat 4 tentang bentuk satuan pendidikan
non formal, pasal 30 tentang pendidikan keagamaan, 9) pasal 36 ayat 3
tentang aspek kurikulum , 10) pasal 37 ayat 1 tentang kurikulum pendidikan
dasar , 11) pasal 37 ayat 2 tentang kurikulum pendidikan tinggi, dan 12 )
pasal 38 ayat 2 tentang koordinasi dan supervisi Departemen Agama.
Lahirnya undang-undang sistem pendidikan Nasional nomor 20 Tahun
2003 tidak semudah pada perkiraan semula, ternyata harus melalui
perdebatan sengit. Bahkan unjuk rasa sampai ancaman disintegrasi ikut
mewarnai proses lahirnya undang-undang ini. Singkat cerita, undang-undang
ini menjelang kelahirannya ada dalam situasi yang dilematis. Kritik tajam
terhadap undang-undang ini ( saat masih RUU ) dapat dicatat antara lain
berkaitan dengan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan terlalu
ditekankan pada kesalehan beragama dan mengabaikan tujuan pendidikan
nasional yang universal dan komprehensif, bersifat diskriminatif dan
mengabaikan keberadaan serta kepentingan agama/kepercayaan lain diluar
xxiv
lima agama yang selama ini diakui resmi oleh Negara, visi pendidikan agama
yang ditawarkan tidak mendorong semangat pluralism, serta member peluang
intervensi berlebihan Negara pada pelaksanaan pendidikan dan menghalangi
partisipasi serta otonomi masyarakat, khususnya lembaga – lembaga
pendidikan, campur tangan pemerintah terlalu besar pada masalah agama, dan
kentalnya nuansa politik yang membidani lahirnya undang-undang tersebut.
Demikianlah kritik yang mengemuka dari kelompok yang menolak undang-
undang tersebut.
Sementara pada sisi lain, undang-undang ini dimaksudkan sebagai
jawaban legal formal terhadap krisis pendidikan yang telah menggurita dalam
tubuh bangsa Indonesia. Dalam peringatan hari pendidikan Nasional tahun
2003, Megawati Soekarno Putri, presiden Republik Indonesia saat itu
misalnya menegaskan, kegagalan dan kekurangan keberhasilan yang terjadi
selama ini merupakan cerminan dari kegagalan dalam membentuk mental dan
karakter sebagai bangsa yang sedang membangun. Semua itu bagaikan
bermuara pada kesimpulan tentang tipisnya etika kita dalam membina
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau disimak ujung dari semua itu
seakan-akan berhenti pada ungkapan tentang gagalnya sistem pendidikan
Nasional kita. Kesadaran akan adanya kegagalan dalam dunia pendidikan ini
ditandai dengan tuntutan reformasi yang beriringan dengan tuntutan reformasi
pada bidang kehidupan lainnya. Bahkan di kawasan Asia, Indonesia dinilai
sebagai Negara yang paling ketinggalan dalam pendidikan baik dari biaya,
output maupun manajerial.
xxv
Terdapat banyak isu reformasi pendidikan yang diusung saat itu,
sedikitnya isu-isu sentral reformasi pendidikan ini bermuara pada empat hal,
yaitu :
1. Pendidikan agama sebagai basis pendidikan Nasional
2. Pemerataan kesempatan pendidikan
3. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan
4. Efisiensi manajemen pendidikan
Keempat hal pokok ini tidak lagi bisa dijawab oleh undang-undang
nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasional. Namun menjelang
disahkannya undang-undang nomor 20 tahun 2003 sebagai pengganti UU
sebelumnya seperti ramai diberitakan oleh media massa. Seluruh persoalan
pendidikan yang rumit didiskusikan oleh para pakar pendidikan selama
kurang lebih dua tahun itu, semuanya tenggelam ditelan polemik pasal-pasal
yang berpihak terhadap pendidikan agama. “Bahkan polemik ini sudah jauh
melampaui diskusi-diskusi kependidikan, tetapi merambah masuk ke dalam
ranah politik dan sentimen agama” ( Fathoni. 2005:2 ).
B. Pro Kontra Terhadap Pendidikan Agama dalam UU No 20 Tahun 2003
Sebuah perhelatan yang menyedot perhatian masyarakat Yogyakarta
hingga beberapa sekolah meliburkan kegiatan belajar mengajar untuk
melibatkan siswa-siswi mereka dalam sebuah demonstrasi, adalah ketika
Rancangan Undang-undang sistem pendidikan Nasional disosialisasikan.
Sekolah-sekolah yang umumnya dari yayasan Kristen menolak rancangan
undang-undang ini dan sekolah dari yayasan Islam mendukung
xxvi
pengsahannya. Pada suatu saat kedua kelompok yang berbeda pendapat ini
bertemu di seputar jalan Malioboro. Dua pihak ini terpancing oleh pasal-pasal
yang berbicara tentang pendidikan agama di sekolah umum. “ Hanya ada
sedikit kelompok yang menolak rancangan undang-undang sistem pendidikan
Nasional karena menangkap kesan bahwa Negara akan mengurangi tanggung
jawab di bidang pendidikan” ( Arham. 2007:123 ).
Di hampir seantero kota Yogyakarta berkibar spanduk-spanduk berisi
himbauan kalangan muslim tertentu yang menyerukan para orang tua untuk
tidak menyekolahkan anak-anak mereka disekolah-sekolah Kristen dan
Katolik. Seruan ini praktis mengejutkan publik yang meiliki kepekaan atas
isu-isu agama, yang pada saat itu hampir bersamaan dengan tampilnya dua
kelompok gerakan Islam politis: Laskar Jihad Ahlusunnah Waljamaah dan
Gerakan Pemuda Ka‟bah ( GPK ). Kedua organisasi ini memang tidak
mengambil isu pendidikan agama di Yogyakarta. Namun, sepak terjang
mereka telah memberi ilham bagi pergerakan lain yang mengatasnamakan
gerakan amar ma‟ruf nahi mungkar, gerakan anti komunis dan berikutnya
gerakan yang mereka sebut sebagai kampanye penyelamatan aqidah.
“Berikutnya Majelis Ulama Indonesia DIY mengadakan sidang yang
menyerukan fatwa supaya para orang tua muslim tidak menyekolahkan anak
mereka ke sekolah-sekolah Kristen protestan dan katolik” (Arham.
2007:124).
Seruan dan mobilisasi ini terutama dipelopori oleh kalangan
Muhammadiyah, simpatisan Partai Keadilan Sejahtera ( PKS ) dan kelompok
xxvii
remaja muslim yang mempunyai organisasi bernama Forum Remaja Masjid
Yogyakarta, yang berpusat di masjid Jogokaryan Yogyakarta. Tidak cukup
hanya dengan spanduk, tapi dalam khutbah jum‟at para khatiib selalu
menyampaikan pesan keagamaan yang langsung terkait dengan aqidah dan
pendidikan, tanggaung jawab orang tua untuk membentengi dari ancaman
aqidah Kristen Protestan dan katolik.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh lembaga-lembaga maupun pribadi-
pribadi yang perhatian pada masalah pendidikan mengajak masyarakat lebih
memperhatikan masalah pendidikan di Indonesia.Arus seruan dan mobilisasi
baru meredup pasca musim penerimaan siswa baru.Aksi serupa berlanjut
hingga menjelang disahkannya Rancangan Undang-undang sistem pendidikan
Nasional menjadi Undang-undang tahun 2003. Pertentangan di seputar pasal
13 tentang pendidikan agama telah membelah lembaga-lembaga pendidikan
yang berlatar belakang Yayasan keagamaan yang menghadapkan mereka satu
sama lain dalam kancah perebutan politik pendidikan. Sebagian kalangan
muslim merasa lega dengan disahkannya Undang-undang tersebut, sementara
kelompok Kristen yang diantaranya tergabung dalam Forum Komunikasi
Yayasan Kristen dan forum Komunikasi Sekolah-sekolah Kristen di
Yogyakarta merasa terdiskriminasi. Namun demikian, sesungguhnya ada
kelompok muslim yang prihatin dengan pengesahan Undangan-Undangan ini.
Mereka adalah kelompok yang aktif dalam pendampingan terhadap kelompok
miskin, keluarga besar mahasiswa IAIN Sunan kalijogo Yogyakarta dan
Hisbut Tahrir Indonesia ( HTI ) yang lebih memperhatikan masalah
xxviii
kapitalisasi pendidikan yang terfasilitasi dalam undang-undang ini, tetapi ide
penolakan mereka ini tidak mendapat perhatian dari kelompok yang lebih
mempermasalahkan pasal-pasal pendidikan agama.
Sebagai perbandingan di beberapa daerah, dimana kelompok agama
tertentu merasa banyak generasi mudanya sekolah di lembaga-lembaga
pendidikan milik kelompok minoritas mereka merasa perlu dengan UU
tersebut, di Bali, dimana kalangan Hindu banyak bersekolah di sekolah-
sekolah Kristen maupun Katolik, ikut mendukung pasal-pasal UU sistem
pendidikan Nasional ini. Sebenarnya bagi umat Hindu pada umumnya di Bali,
tidak ada urusan dan kepentingan politik yang menonjol dalam bidang
pendidikan. “Pada sekolah formal, tidak dipandang sebagai sumber
pendidikan agama yang penting, karena ada dukungan kultural yang besar
untuk mengajarkan agama dalam tradisi mereka “( Arham. 2007:124 ).1 Ini
sangat berbeda dengan sebagian umat Islam dan Kristen-Katolik yang
bersitegang selama berbulan-bulan, memperebutkan “ makna politik “ dari
pendidikan keagamaan ini.
Bila dilihat kembali persoalan-persoalan yang diperdebatkan,
penolakan pihak yayasan Kisten atau katolik atas pasal-pasal ini ada pada
kesiapan dan tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan guru-guru
agama yang sesuai dengan visi pendidikan para pengelola di lembaga-
lembaga pendidikan tersebut. Selain itu ada perbedaan yang bersifat
“ontologism” diantara para pendukung maupun penolak pasal 13 itu dalam
1Darmaningtiyas, merupakan salah seorang kritikus pendidikan yang paling handal di Indonesia saat ini. Secara mendalam, luas dan panjang lebar, kritik tersebut telah dituangkan dalam bukunya Pendidikan yang memiskinkan ( 2004 ).
xxix
memandang konsep publik dan privat dalam Negara Indonesia.Dalam sebuah
diskusi yang dihadiri oleh para tokoh –tokoh Islam, Katolik dan Kristen di
Yogyakarta, mereka memperdebatkan persoalan privat dan publik ini.Hal ini
mengajak mereka untuk mendebatkan peran Negara, hubungan agama dan
Negara, dimana masing-masing pihak, tidak menemukan titik temu.
Tahun 2003, parlemen akhirnya menetapkan lahirnya undang-undang
sistem pendidikan Nasional yang baru, yang disebut undang-undang sistem
pedidikan Nasional nomor 20 tahun 2003.Dalam undang-undang ini pasal
yang diperdebatkan dengan tegang adalah pasal 12 yang menyebutkan bahwa
pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik. “ Setiap peserta didik pada
setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai
dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama,
Pasal 12 Ayat a )”.Dalam bagian penjelasan diterangkan pula bahwa pendidik
atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi atau
disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kebutuhan satuan
pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat 3.
Dari beberapa hal antara pro dan kontra Undang undang nomor 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional dapat dibagi dua kelompok
antara yang menerima dan yang menolak.
1. Kalangan yang Menerima
Dukungan terhadap Rancangan Undang-undang sistem
pendidikan Nasional (RUU Sisidiknas) terus mengalir. Kemarin, ratusan
ribu masyakarat Jawa Timur diberbagai daerah berbondong-bondong
xxx
melakukan aksi mendukung RUU dalam Tablig Akbar mendukung RUU
Sisdiknas yang menurut rencana akan disahkannya pada 10 Juni
mendatang. Di wilayah Jawa Timur, mendukung RUU Sisdiknas digelar
hampir bersamaan di dua wilayah berbeda, Sabtu (7/6). Di Sidoarjo, aksi
mendukung RUU Sisdiknas diiikuti puluhan ribu pelajar dan anggota
organisasi massa Islam se-Jatim di Stadion Delta Sidoarjo. Sejumlah
ormas Islam yang mengikuti apel akbar tersebut di antaranya
Muhammadiyah, Pondok pesantren Gontor, Pengurus Badan Silaturahmi
program agar dapat diterapkan, dan hal-hal yang mencakup pada kegiatan
yang bertujuan mencapai tujuan ( Mujib. 2006:122).
Dalam proses belajar mengajar kedudukan kurikulum sangat
penting, yakni kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan,
yakni tujuan terahir yang dicapai: tujuan pendidikan Nasional, sampai
pada tujuan pendidikan terendah yakni tujuan yang akan dicapai setelah
selesai kegiatan belajar mengajar. “Sistem kurikulum merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan, sistem persekolahan dan
sistem masyarakat‟ ( Ismawati. 2012: 9).
3. Peserta Didik
“Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia
pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu” ( Suwarno. 2014: 36 ).
Anak didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara
fisik maupun psikis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui proses
pendidikan. “Definisi tersebut memberi arti bahwa anak didik adalah anak
yang belum dewasa yang memerlukan orang lain untuk menjadi dewasa”
(Aziz. 2010:24). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dipahami
dalam masalah anak didik:
xlvi
a. Anak didik bukan miniatur orang dewasa. Ia mempunyai dunia
sendiri, sehingga metode belajar yang digunakan untuk anak tidak
sama dengan orang dewasa.
b. Perkembangan anak didik mengikuti periode dan tahap perkembangan
tertentu
c. Anak didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk memenuhi
kebutuhan itu semaksimal mungkin.
d. Anak didik memiliki perbedaan anatar individu dengan individu yang
lain, baik perbedaan yang disebabkan dari endogen ( fitrah ) maupun
eksogen.
e. Anak didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia.
Dengan berpijak pada paradigma “ belajar sepanjang masa” maka
istilah yang tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah
peserta ddik dan bukan anak didik. Peserta didik cakupannya lebih luas,
yang tidak hanya melibatkan anak-anak, tetapi juga pada orang-orang
dewasa. Sementara istilah anak didik hanya dikususkan bagi individu
yang berusia kanak-kanak. “Penyebutan peserta didik ini juga
mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan di masyarakat, seperti majelis
taklim, paguyuban, dan sebagainya” (
Mujib.2012:103).
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia
pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Pendidikan Nasional
xlvii
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha esa.
4. Lingkungan Pendidikan
“ Lingkungan Pendidikan adalah lingkungan yang melingkupi
terjadinya proses pendidikan. Lingkungan pendidikan meliputi
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat” ( Suwarno. 2014:39 ).
Lingkungan pendidikan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia
baik berupa benda mati ataupun hidup, ataupun peristiwa-peristiwa yang
terjadi termasuk kondisi masyarakat terutama yang dapat memberikan
pengaruh kuat terhada individu. Seperti lingkungan tempat pendidikan
berlangsung dan lingkungan tempat anak bergaul. Lingkungan ini
kemudia secara khusus disebut lembaga pendidikan sesuai dengan jenis
dan tanggung jawab yang secara khusus menjadi bagian dari karakter
lembaga tersebut ( Kadir. 2014:157).
Menurut Imam Barnadib dalam bukunya Filsafat Pendidikan
mengatakan bahwa lingkungan pendidikan yang lebih luas adalah
masyarakat global, masyarakat selalu membangun kekuatan untuk
berubah dan berkembang, yang dalam banyak hal belum ada pada tradisi-
tradisi yang dipertahankan.
C. Fungsi Pendidikan
Secara umum dikatakan bahwa pendidikan merupakan interaksi
anatara pendidik dengan peserta didik. Interaksi pendidikan dapat terjadi di
rumah, sekolah, atau masyarakat. Namun secara khusus, pendidikan diartikan
xlviii
sebagai interaksi belajar mengajar di Sekolah. Karena itu, pendidikan di
sekolah disebut disebut pendidikan formal, sementara pendidikan di luar
sekolah disebut pendidikan non formal. Sistem persekolahan terdiri atas
empat subsistem, yakni mengajar,belajar, pembelajaran, dan kurikulum
sebagai subsitem pendidikan. Setiap praktik pendidikan diarahkan untuk
mencapai tujuan tujuan tertentu. Tujuan-tujuan beserta materi yang hendak
dicapai dalam pendidikan disusun dalam kurikulum.
Prof. Dr. Hasan Langgulung berpendapat bahwa secara garis besar
fungsi pendidikan itu ada 3. Pertama, menyiapkan generasi muda untuk
memiliki kemampuan agar bisa memegang peranan-peranan pada masa yang
akan datang di tengah kehidupan bermasyarakat. Kedua, memindahkan ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan peranan-peranan di atas dari generasi tua
ke ke genarasi muda. Ketiga, Memindahkan nilai-nilai dari generasi tua ke
generasi muda dengan tujuan agar keutuhan dan kesatuan masyarakat
terpelihara, sebagai syarat utama berlangsungnya kehidupan suatu masyarakat
dan juga peradaban.
Sementara Broom berpendapat bahwa fungsi pendidikan adalah agar terjadi
proses tansmisi budaya, selain itu juga untuk mengembangkan kepribadian,
mengingkatkan persatuan atau integrasi sosial masyarakat, serta mengadakan
seleksi dan alokasi tenaga kerja. Semua fungsi menurut Broom tersebut
memang suatu proses yang sangat penting agar kehidupan bermasyarakat
terus bertahan dan berkembanag menjadi jauh lebih baik lagi.
xlix
Dari beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian dan fungsi
pendidikan dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan itu merupakan suatu
proses yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan manusia.
Pendidikan ini harus terus berjalan untuk menjaga keberlangsungan hidup
manusia, karena tanpa pendidikan tidak akan ada perpindahan ilmu
pengetahuan serta nilai-nilai dan norma sosial dari generasi tua ke generasi
muda.
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Mengembangkan kemampuan berorientasi
pada individu adalah usaha mengembangkan semua potensi dan kemampuan
yang dimiliki oleh peserta didik dalam rangka mempersiapkan hidupnya
sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa mempunyai kepribadian yang
terpuji dan dapat berinteraksi dengan masyarakat lain. Kata Nurcholis Majid
Tidak ada bangsa yang mencapai kebesaran jika tidak bangsa itu percaya
kepada sesuatu, dan tidak sesuatu yang dipercayai itu mempunyai dimensi
moral guna menopang peradaban yang besar . dan kepercayaan kepada
sesuatu itu agama.
Mencerdasakan kehidupan bangsa sebagai sasaran pendidikan
Nasional pada hakekatnya adalah transformasi budaya, yaitu suatu proses
transformasi dari masyarakat tradisional feodalistik menuju masyarakat yang
maju dan demokratis serta berkeadilan sosial.
D. Agama dalam Sistem Pendidikan
l
Undang-undang sistem pendidikan Nasional no.20 tahun 2003 bab I
tentang ketentuan umum menyebutkan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.
Sedangkan pendidikan Nasional dalam undang-undang tersebut
diartikan sebagai pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan Nasional Indonesia dan tanggap terhadap
tuntutan perubahan zaman. Sementara sistem pendidikan Nasional adalah
keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan Nasional. Yang dimaksud dengan tujuan
pendidikan Nasional dalam sisdiknas adalah berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Pada beberapa bab lainnya juga sangat tampak bahwa kata agama dan
nilai-nilai agama kerap mengikutinya. Misalnya, dalam bab III tentang prinsip
penyelenggaraan pendidikan disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan
li
kemajemukan bangsa. Begitupula dalam bab IX tentang kurikulum, bahwa
dalam penyusunannya diantaranya harus memperhatikan peningkatan iman
dan takwa serta peningkatan ahlak mulia.
Dari rumusan diatas menunjukkan bahwa agama menduduki posisi
yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam membangun manusia
Indonesia seutuhnya. Hal yang wajar jika pendidikan Nasional berlandaskan
pada nilai-nilai agama, sebab bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
beragama. Agama bagi bangsa Indonesia adalah modal dasar yang menjadi
penggerak dalam kehidupan berbangsa. Agama mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia
dengan alam dan hubungan manusia dengan diri sendiri. Dengan demikian
terjadilah keserasian dan keseimbangan dalam hidup manusia baik sebagai
individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Jika hal tersebut dipahami, diyakini dan diamalkan oleh manusia
Indonesia dan menjadi dasar kepribadian, maka manusia Indonesia akan
menjadi manusia yang paripurna atau insan kamil. Dengan dasar inilah agama
menjadi bagian terpenting dari pendidikan Nasional yang berkenaan dengan
aspek pembinaan sikap, moral, kepribadian dan nilai-nilai ahlakul karimah.
Sejalan dengan hal tersebut, Mastuhu mengungkapkan bahwa
pendidikan islam di Indonesia harus benar-benar mampu menempatkan
dirinya sebagai suplemen dan komplemen bagi pendidikan Nasional,
sehingga sistem pendidikan Nasional mampu membawa cita-cita Nasional,
lii
yakni bangsa Indonesia yang modern dengan tetap berwajah iman dan takwa (
Nata. 2011:291).
Tidak jauh beda dengan pendapat Mastuhu, guru besar Ilmu
Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Ahmadi
yang dikutip oleh Endin Surya Solehudin, menyebutkan bahwa implikasi dari
pemaknaan Pendidikan Agama Islam adalah reposisi pendidikan dalam
sistem pendidikan Nasional. Mengenai reposisi Pendidikan Agama Islam
dalam pendidikan Nasional, Ahmadi mengemukakan tiga alasan, pertama,
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar pendidikan tidak
bertentangan dengan nilai-nilai Islam (Tauhid); kedua, pandangan terhadap
manusia sebagai makhluk jasmani-rohani yang berpotensi untuk menjadi
manusia bermartabat (makhluk paling mulia); ketiga, pendidikan bertujuan
untuk mengembangkan potensi (fitrah dan sumber daya manusia) menjadi
manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi
pekerti luhur (akhlak mulia), dan memiliki kemampuan untuk memikul
tanggung jawab sebagai individu dan anggota masyarakat.
Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada posisi konsep.
Ditinjau dari tataran universalitas konsep Pendidikan Islam lebih universal
karena tidak dibatasi negara dan bangsa, tetapi ditinjau dari posisinya dalam
konteks Nasional, konsep pendidikan Islam menjadi subsistem pendidikan
Nasional. Karena posisinya sebagai subsistem, kadangkala dalam
penyelenggaraan pendidikan hanya diposisikan sebagai suplemen. Mengingat
bahwa secara filosofis (ontologis dan aksiologis) pendidikan Islam relevan
liii
dan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan Nasional, bahkan
secara sosiologis pendidikan Islam merupakan aset Nasional, maka posisi
pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan Nasional bukan sekadar
berfungsi sebagai suplemen, tetapi sebagai komponen substansial. Artinya,
pendidikan Islam merupakan komponen yang sangat menentukan perjalanan
pendidikan Nasional.
Terlepas dari nilai-nilai agama yang menjadi dasar dari pendidikan
Nasional, pendidikan agama sempat menjadi masalah ketika masuk dalam
sistem pendidikan Nasional. Persoalan yang diperdebatkan adalah posisi
pendidikan agama tertentu dalam lembaga-lembaga pendidikan yang
memiliki latar belakang pemihakan pada agama tertentu. Misalnya, pada
lembaga pendidikan muslim terdapat siswa yang bukan muslim, mungkinkah
bisa diajarkan pendidikan agama lain pada lembaga tersebut dan atau
sebaliknya.
liv
BAB IV
EKSISTENSI DAN FUNGSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
C. Eksistensi Pendidikan Agama Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
Dalam lintasan sejarah umat manusia, hamper tidak ada kelompok
manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan
peningkatan kualitasnya. Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan anak
manusia demi menunjang perannya di masa dating dan untuk meningkatkan
harkat dan martabat manusia. Aktivitas ini telah dan akan terus berjalan
semenjak manusia pertama ada di dunia sampai berahirnya kehidupan dimuka
bumi ini. “Bahkan, jika ditarik mundur lebih jauh, proses pendidikan ini
ternyata telah berlangsung sejak Allah swt, baru selesai menciptakan Adam ,
as “( Al-Fandi. 2011:106 ).
Ketika Allah mengajarkan Adam tentang nama-nama benda,2
tujuannya bukan hanya agar Adam as tahu dan sadar akan sifat-sifat Allah
dan hubungan anatar Allah dengan ciptaanNya. Integrasi kesadaran
intelektual dengan kesadaran spiritual inilah yang menjadi dasar konsepsi
pendidikan Islam sejak awal. Konsepsi pendidikan Agama Islam yang
dibangun atas dasar metafisika, dimana hubungan antara Tuhan sebagai
pencipta dan manusia sebagai subject di muka bumi berada dalam suatu
2 QS al Baqarah (2): 31, yang artinya dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-
nama ( benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, “ Sebutkanlah kepda-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar”
lv
rangkaian orientasi religious dan kerangka etis inilah yang menurut al ghazali
menjadi cirikhas konsep pendidikan agama Islam.
Usaha meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar
ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan
perubahan global, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal
11 Juni 2003 telah mengesahkan Undang-undang sistem Pendidikan
Nasional. Undang-undang sisdiknas nomor 2003 yang terdiri dari 22 bab dan
77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan
reformasi yang marak sejak tahun 1998.
Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam undang-undang
sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokrasi dan desentralisasi
pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan
keseimbangan, jalur dan jenjang pendidikan serta peserta didik. Pendidikan
merupakan salah satu struktur institusional penting yang melengkapi
keseluruhan sistem sosial. Masalah pendidikan sangat berbeda dengan
masalah pemerintahan dan hukum yang ikut mengendalikan kekuasaan.
Pendidikan Agama Islam menjadi institusi penting dalam keseluruhan system
pendidikan nasional, dapat dilihat dari keberadaan pendidikan islam
berpengaruh besar terhadap pertumbuhan masyarakat, maka keberadaan
pendidikan agam Islam sebagai Mata Pelajaran dan nilai menjadi institusi
penting dalam tatanan sosial masyarakat. Pendidikan Agama Islam di sekolah
mengalami proses perkembangan yang cukup panjang. “Sebagian ahli dalam
kajian sejarah pendidikan agama Islam di Indonesia membuat periodisasi
lvi
perkembangan PAI yaitu masa penjajahan dan periode kemerdekaan”
(Zuhairi. 2000:146 ). Perkembangan PAI tidak terlepas dari perubahan
politik, khususnya berkaitan dengan kenijakan tentang pendidikan agama
yang dikeluarkan pemerintah pada zamannya.Kebijakan dalam bidang
pendidikan hakekatnya merupakan produk politik dari suatu pemerintahan,
sehingga kebijakan –kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut dengan
sendirinya sangat tergantung pada kebijakan politik pemerintah pada
umumnya.
Kebijakan politik pemerintah pada masa penjajahan secara umum
merupakan suatu instrument politik yang digunakan untuk
meletarikankolonialisme.Kebijakan dalam bidang pendidikan yang terbit pada
masa penjajahan dengan sendirinya juga diorientasikan untuk mendukung
kepentingan penjajah, sedangkan pada masa kemerdekaan, pendidikan
diupayakan sebagai instrument untuk mencerdaskan, mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Undang-undang system pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003
merupakan amanat dari undang-undang dasar 1945 pada bab xiii tentang
pendidikan dan kebudayaan pasal 13 yang mengamantkan pemerintah untuk
mengusahakan sistem pendidikan nasional. Pembahasan pendidikan agama
Islam sebagai mata pelajaran lebih banyak kepada eksistensi pendidikan
Islam pada sekolah umum pada lembaga Pondok Pesantren, Madrasah,
sekolah Islam , pendidikan Islam menjadi ruh pendidikan pada lembaga-
lembaga tersebut.
lvii
Dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 keberadaan pendidikan
Agama Islam sesungguhnya telah dapat dilacak jejaknya dari UUD 1945 itu
sendiri sebagai induk Undang-undang system pendidikan Nasional sebagai
berikut:
1. Memposisikan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia sebagai tujuan
pendidikan nasional.
2. Menempatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak sebagai dasar-dasar
kecerdasan yang merupakan visi pendidikan nasional. Hal ini
menunjukkan konsepsi kecerdasan yang dimanfaatkan adalah kecerdasan
yang merambah pada wilayah spiritualitas dan karakter.
3. Tiga terminologi kunci tersebut sangat identik dengan domain agama,
sehingga secara tidak langsung UUD 1945 ini mengamanatkan pentingnya
pendidikan agama sebagai basis dan fondasi pendidikan nasional. Dengan
sangat kontras hal ini berbeda dari UUD 1945 sebelum diamandemen yang
hanya berhenti pada penyelenggaraan system pendidikan nasional tanpa
penyebutan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulai sebagai tujuan dan
visi pendidikan nasional.
Eksistensi pendidikan Agama Islam dalam undang-undang system
pendidikan Nasional dapat ditemukan pijakan dan akarnya pertama kali
dalam konsideran penyususnan Undang-Undang sisdiknas tersebut.Inti dari
konsideran tersebut adalah perlunya membentuk undang-undang tentang
sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
lviii
kepada tuhan yang maha esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Pada Bab I tentang Ketentuan Umum yang memaparkan penjelasan
konsep sebagai gambaran paradigm yang dianut Undang-Undang system
pendidikan Nasional ini kita bisa menemukan kembali jejak religiusitas
tersebut. Item pertama dari ketentuan itu menegaskan bahwa yang dimaksud
dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Spiritual keagamaan dan akhlak mulia sebagai komptensi yang harus dimiliki
peserta didik merujuk kepada pendidikan agama. Pendidikan agamalah jalan
paling memungkinkan untuk tidak menyebut satunya mengantarkan peserta
didik memiliki spiritualitas keagamaam dan karakter positif yang terbingkai
dalam rumusan akhlak mulia.
Rumusan pendidikan yang mengedepankan spiritualitas ini kemudian
menentukan arah tujuan pendidikan nasional. Tentang hal ini dalam pasal 3
dijelaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif mandiri
dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
lix
Muhammad Athiyal al Abrasyi dan Mohammad al Toumy al Saibany
tentang tujuan umum yang fundamental bagi pendidikan agama Islam, dapat
disimpulkan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan nasional ini
selaras dengan tujuan pendidikan agama Islam. Dengan demikian maka pasal
3 ini pun memberikan angin segar bagi pendidikan agama dan keagamaan.
Dalam bab X pasal 36 dan 37 disebutkan bahwa penyususnan kurikulum pada
semua jalur dan jenjang pendidikan pertama adalah mempertimbangkan
penigkatan iman dan taqwa yang secara spesifik hanya dapat dilakukan oleh
pendidikan agama. Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
yang maha esa serta berakhlak mulia.
Dari rumusan diatas dapat diambil pengertian bahwa pendidikan
agama kembali mendapat perhatian besar bahkan dominan dalam pengaturan
kurikulum ini. Perihal prinsip-prinsip penyusunan kurikulum, peningkatan
iman dan taqwa serta peningkatan akhlak mulia dan agama ditempatkan
sebagai prinsip paling atas. Pendidikan agama kemudian menjadi semakin
kuat eksistensinya dalam undang-undang sistem pendidikan Nasional ini
dengan keharusan pendidikan agama masuk dalam muatan kurikulum semua
jenjang pendidikan mulai dari dasar, menengah, sampai pendidikan tinggi,
namun demikian, pasal ini mengandung kelemahan konsep. Kelemahan atau
kekeliruan konsep ini terletak pada penyamaan pendidikan dengan
sekolah.Padahal sekolah hanya merupakan bagian kecil dari pendidikan.Ada
pendidikan itu sendiri mencakup keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dari
lx
analisis ini dapat dikritisi bahwa maksud pendidikan agama sebagai muatan
wajib kurikulum adalah mata pelajaran agama atau pengajaran agama. Karena
pendidikan agama dalam arti yang sesungguhnya tidak mungkin dipkulkan
tanggung jawabnya penuh pada sekolah.
Eksistensi pendidikan Agama Islam dalam system pendidikan
Nasional semakin terlihat dengan beberapa hal seperti beberapa peraturan
yang diterbitkan :
1. Peraturan pemerintah no 55 tahun 2007
Peraturan Pemerintah atau sering disingkat PP ini membahas
tentang pendidikan agama dan keagamaan, pendidikan agama
didefinisikan sebagai pendidikan sebagai pendidikan yang memberikan
pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan
peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan
sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan. Kelebihan rumusan ini terletak pada
jangkauan pendidikan agama terhadap ranah kognitif, afektif dan
psikomotor yang justru selama ini terabaikan dari pendidikan agama.
Pengabaian ini pula yang melahirkan kritik terhadap pendidikan agama
yang hanya mengajarkan pengetahuan agama bukan cara beragama.
Rumusan pendidikan yang dianut peraturan pemerintah ini
dengan demikian telah ada pada konsep yang benar tentang pendidikan.
Sayangnya kelemahan konsep juga terkandung dalam rumusan ini.
Rumusan ini mengidentikkan pendidikan dengan persekolahan sehingga
lxi
untuk pelaksanaanya berorientasi pada mata pelajaran atau mata kuliah
bukan pada kultur keagamaan.
Peraturan pemerintah ini selanjutnya mengatur tentang fungsi
pendidikan agama, tujuan pendidikan agama, pengelolaan pendidikan
agama, hak peserta didik pendidikan agama, kurikulum pendidikan
agama, dan sanksi bagi satuan pendidikan yang melanggar ketentuan
tentang pendidikan agama ini.
Keberpihakan yang besar terhadap pendidikan agama ternyata
kurang didukung dengan konsep yang kuat tentang komponen-komponen
pendidikan agama yang diaturnya. Dari sudut pandang ini terungkap
beberapa point yang patut dikritisi dari Peraturan Pemerintah nomor 55
tahun 2007 ini. Dalam hal pendidik tidak disebutkan secara jelas
kualifikasi yang harus dimiliki. Peraturan Pemerintah ini tidak jauh
berbeda dari undang-undangnya yang hanya menyebut pendidik tersebut
harus seagama dengan peserta didik. Pengaturan pendidik yang diangkat
dalam Peraturan Pemerintah ini hanya sekitar pengadaaan tenaga
pendidik. Dengan hanya merujuk PP ini, siapa pun boleh mengajarkan
agama selama ia seagama dengan peserta didik yang diajarinya.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah ini sarat dengan rumusan dan
konsep yang ideal tentang pendidikan agama. Pada pasal 5 ayat 4 dapat
ditemukan konsep yang sangat ideal yang menyebutkan bahwa
pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap
dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya
lxii
diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab. Ayat ini
menyebutkan sepuluh karakter unggulan yang di Negara-negara lain
ramai dikejar melalui pendidikan karakter. Tetapi sayangnya, di sini
pulalah letak kelemahan pendidikan agama di Indonesia selama
ini.Bahkan setelah UU sisdiknas ini disahkan dan PP yang mengatur
pendidikan agama lahir, pendidikan agama di sekolah-sekolah masih
belum meiliki korelasi dengan pembentukan karakter seperti yang
diamanatkan PP ini. Pendidikan agama masih berkutat sebagai
pengajaran pengetahuan agama yang mengeram dalam ranah kognitif.
Pendekatan dan strategi pembelajaran juga dirumuskan secara
ideal, ayat 7 dari pasal 5 menjelaskan, pendidikan agama diselenggarakan
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang mendorong
kreatifitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup
sukses, jauh panggang dari api, demikian barang kali ilustrasi tentang
implementasi pendidikan agama yang sangat jauh dari strategi ideal yang
diamanatkan.
Eksistensi pendidikan agama dalam Peraturan Pemerintah ini
semakin mengikat dan berani dengan adanya sanksi bagi satuan
pendidikan yang menyalahi ketentuan dalam pasal 3 ayat (1), pasal 4 ayat
(2) sampai dengan ayat (7), dan pasal 5 ayat (1). Sanksi yang diberikan
berbentuk sanksi administratif berupa peringatan sampai dengan
penutupan pengaturan lebih lanjut tentang hal ini dilimpahkan kepada
menteri agama. Hal ini dipahami sebagai tanggung jawab pemerintah
lxiii
untuk melindungi keyakinan warganya dari upaya-uaya
mempropagandakan agama kepada orang yang telah beragama.
Hingga saat ini bangsa Indonesia masih mengalami suasana
keprihatinan yang bertubi-tubi.Hasli survey menunjukkan bahwa kita
masih bertengger dalam jajaran Negara yang paling korup di dunia. Dari
lingkungan pejabat tinggi hingga yang paling rendah, disiplin makin
longgar, tingkat penindasan yang kuat terhadap yang lemah sebagaimana
tampak dalam tingkah laku semerawut dan saling menindas para
pelakulalu lintas yang tidak kunjung berkurang; semakin meningkatnya