BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Melalui pertumbuhan ekonomi, standar hidup membaik. Pertumbuhan ekonomi membawa perubahan. Barang-barang baru diproduksi, sementara yang lain menjadi ketinggalan mode. Ada yang yang percaya pertumbuhan merupakan tujuan dasar masyarakat, karena pertumbuhan mengangkat orang keluar dari kemiskinan dan meningkatkan kualitas kehidupan mereka.Yang lain mengatakan pertumbuhan ekonomi mengikis nilai-nilai tradisional dan menyebabkan eksploitasi, kerusakan lingkungan, dan korupsi. Krisis nilai tukar telah menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Nilai tukar rupiah yang merosot tajam sejak bulan Juli 1997 menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam triwulan ketiga dan triwulan keempat menurun menjadi 2,45 persen dan 1,37 persen. Pada triwulan pertama dan triwulan kedua tahun 1997 tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8,46 persen dan 6,77 persen. Pada triwulan I tahun 1998 tercatat pertumbuhan negatif sebesar -6,21 persen. Merosotnya pertumbuhan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari masalah kondisi usaha sektor swasta yang makin melambat kinerjanya. Kelambatan ini terjadi antara lain karena sulitnya memperoleh bahan baku impor yang terkait dengan tidak diterimanya LC Indonesia dan beban pembayaran 1
96
Embed
ekonomi pembangunan pertumbuhan dan distribusi pendapatan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Melalui pertumbuhan ekonomi, standar hidup membaik. Pertumbuhan ekonomi
membawa perubahan. Barang-barang baru diproduksi, sementara yang lain menjadi
ketinggalan mode. Ada yang yang percaya pertumbuhan merupakan tujuan dasar
masyarakat, karena pertumbuhan mengangkat orang keluar dari kemiskinan dan
meningkatkan kualitas kehidupan mereka.Yang lain mengatakan pertumbuhan ekonomi
mengikis nilai-nilai tradisional dan menyebabkan eksploitasi, kerusakan lingkungan,
dan korupsi. Krisis nilai tukar telah menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Nilai tukar rupiah yang merosot tajam sejak bulan Juli 1997 menyebabkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam triwulan ketiga dan triwulan keempat menurun
menjadi 2,45 persen dan 1,37 persen. Pada triwulan pertama dan triwulan kedua tahun
1997 tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8,46 persen dan 6,77 persen.
Pada triwulan I tahun 1998 tercatat pertumbuhan negatif sebesar -6,21 persen.
Merosotnya pertumbuhan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari masalah kondisi
usaha sektor swasta yang makin melambat kinerjanya. Kelambatan ini terjadi antara
lain karena sulitnya memperoleh bahan baku impor yang terkait dengan tidak
diterimanya LC Indonesia dan beban pembayaran hutang luar negeri yang semakin
membengkak sejalan dengan melemahnya rupiah serta semakin tingginya tingkat bunga
bank. Kerusuhan yang melanda beberapa kota dalam bulan Mei 1998 diperkirakan akan
semakin melambatkan kinerja swasta yang pada giliran selanjutnya menurunkan lebih
lanjut pertumbuhan ekonomi, khususnya pada triwulan kedua tahun 1998.
Sementara itu perkembangan ekspor pada bulan Maret 1998 menunjukkan
pertumbuhan ekspor nonmigas yang menggembirakan yaitu sekitar 16 persen. Laju
pertumbuhan ini dicapai berkat harga komoditi ekspor yang makin kompetitif dengan
merosotnya nilai rupiah. Peningkatan ini turut menyebabkan surplus perdagangan
melonjak menjadi 1,97 miliar dollar AS dibandingkan dengan 206,1 juta dollar AS
pada bulan Maret tahun 1997. Impor yang menurun tajam merupakan faktor lain
1
terciptanya surplus tersebut. Impor pada bulan Maret 1998 turun sebesar 38 persen
sejalan dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi. Dan kemudian berbeda lagi yang
terjadi pasca krisis asia di tahun 1998-1999, Indonesia mengalami guncangan yang kuat
berikut terlihat pada table dibawah ini:
TABEL 1
INDONESIA SELECTED MACROECONOMIC INDICATORS
2
Dari table atas terlihat kondisi perekonomian Indonesia antara tahun 2001-2007
mengalami fluktuasi yang cukup besar dan sering hal ini sering kali membuat Indonesia
kewalahan dan terguncang seperti kita lihat exchange rate Dollar USA atas Rupiah
mengalami fluktuatif yang amat tajam pada awal tahun yang membuat harga nilai tukar
dallor sangat tinggi dan kemudian di tahun 2003 dan 2008 Indonesia bisa menurunkan
rate hingga pada posisi 8.941 akan tetapi kembali melonjak pada kisaran 9.000 hingga
sekarang. Sesungguhnya hal ini kurang sehat bagi perekonomian Indonesia karena
dengan semakin tinggi nilai dollar USA yang mana sebagai alat pembayaran
perdagangan internasional membuat Indonesia semakin dipersulit untuk meraih angka
pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan.
3
1.2 Permasalahan
Berkaitan dengan permasalahan distribusi dan pemertaan pembangunan yang telah
di jelaskan sebelumnya, ada beberapa pertanyaan yang diajukan sebagai perumusan
masalah dengan tujuan agar pembahasan dapat terfokus pada masalah yang telah di
jabarkan diatas. Adapun perumusan masalah adalah sebagai berikut :
Agar masalah yang dibahas tidak melebar maka penulis membatasi masalah-masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana Gambaran Pertumbuhan Ekonomi itu sendiri
2. Bagaimana Gambaran Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia
3. Bagaimana Gambaran Distribusi Pendapatan itu sendiri
4. Bagaimana Gambaran Distribusi Pendapatan di Indonesia
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PERTUMBUHAN EKONOMI
2.1.1 Definisi Pertumbuhan Ekonomi
Pengertian pertumbuhan
ekonomi harus dibedakan
dengan pembangunan ekonomi,
pertumbuhan ekonomi hanyalah
merupakan salah satu aspek saja
dari pembangunan ekonomi
yang lebih menekankan pada
peningkatan output agregat
khususnya output agregat per kapita. Menurut Boediono : Pertumbuhan ekonomi
adalah proses kenaikan output per kapita yang terus-menerus dalam jangka panjang.
Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil
atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang
bila terjadi pertumbuhan outputriil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah
bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan
ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang.
Pertumbuhan ekonomi dalam bahasa inggris diistilahkan dengan economic growth
mengandung pengertian proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang atau
perubahan tingkat kegiatan ekonomi yang terjadi Dari tahun ke tahun.
5
GAMBARTRIANGLE PEMBANGUNAN
Model pembangunan yang dilakukan Indonesia pada masa awal orde baru
diprioritaskan pada pertumbuhan ekonomi. Tujuannya adalah untuk mengatrol kondisi
ekonomi yang sedang jatuh pada masa itu. Cara yang paling cepat adalah dengan cara
konglomerasi yaitu mendorong peningkatan investasi dan pembangunan dengan padat
modal. Sedangkan prioritas kedua adalah pada stabilisasi, karena tanpa adanya
stabilisasi maka pembangunan tidak akan berlangsung dengan baik. Itulah sebabnya
mengapa pemerintah Indonesia pada masa itu menetapkan stabilisasi sebagai salah
prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan. Sedangkan pemerataan
pembangunan dan hasil – hasilnya justru menjadi prioritas ketiga. Pola pembangunan
seperti ini mulai menuai kritik, sehingga pada awal tahun 1990 pemerintah mulai
mengembangkan pola pemerataan pembangunan dan hasil – hasilnya. Salah satunya
dengan mengembangkan Inpres desa tertinggal dan pola pengembangan Katimin (Kawasan
Timur Indonesia ).
2.1.1.1 Kontrovesi Pertumbuhan
Dekade 1970-an merupakan periode yang menjadi saksi utama berlangsungnya
perubahan-perubahan drastis atas presepsi pemerintah dan lembaga-lembaga swasta
tentang hakekat kegiatan ekonomi. Banyak pihak di negara-negara kaya maupun
negara-negara miskin yang tidak lagi menyakini pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan
pembangunan nomor satu yang harus selaludikejar-kejar dan diutamakan. Negara-
negara maju tampaknya kini mulai lebih menekankan pada “kualitas hidup”, dan hal itu
antara lain dinyatakan dalm bentuk kegiatan-kegiatan pelestarian lingkungan hidup,
selama ini, pertumbuhan undustri memang banyak menimbulkan dampak-dampak
6
Pemerataan Pendapatan
Stabilisasi
Pertumbuhan Ekonomi
negative terhadap lingkungan hidup, seperti pencemaran udara dan air, terkurasnya
sumber daya alam, serta lenyapnya keindahan alam. Sebuah buku yang amat
berpengaruh, yakni The limits to growth, yang terbit pada tahun 1972 di bawah
naungan Club of Rome menguraikan secara rinci peringatan-peringatan penting yang
dikemukakan oleh ilmuwan abad kesembilan belas David Ricardo, dan terutama
Pendeta Thomas Malthus, bahwasanya daya dukung bumi yang terbatas ini pada
akhirnya tidak akan mampu menyangga tingkat pertumbuhan yang tinggi secara terus-
menerus tanpa menimbulkan malapetaka ekonomi dan social. Isi buku tersebut
merupakan cerminan perasaan yang ada pada saat ini, sehingga meskipun buku tersebut
kurang baik menurut ukuran logika, dan asumsi-asumsinya pun kurang jelas, sambutan
terhadapnya sangat semarak.
Dinegara-negara miskin, perhatian utama terfokus pada dilemma kompleks
antara pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting,
namun hamper selalu sangat sulit diwujudkan secara bersamaan. Pengutamaan yang
satu akan menuntut dikorbankannya yang lain. Pembanguan ekonomi mensyaratkan
GNP yang lebih tinggi, dan untuk itu tingkat pertumbuhan lebih tinggi merupakan
pilihan yang harus diambil. Namun menjadi masalah bukan hanya soal bagaiman
caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siap melakukan dan berhak menikmati
caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siap melakukan dan berhak menikmati hasil-
hasilnya, kalangan elit kaya raya yang minoritas, ataukah mayoritas rakyat yang
miskin. Seandainya yang diserahi wewenang itu adalah kelas elit yang kaya, maka
meraka akan mampu memacu pertumbuhan dengan baik; hanya saja ketimpangan
pendapatan dan kemiskinan absolute akan semakin parah. Tetapi jika yang dipilih
adalah mayoritas miskin, segenap hasilnya harus dipilih secara merata, dan hal ini
kurang memungkinkanterpacunya GNP secara agregat atau nasional. Terlepas dari soal
itu, sekarang banyak negara-negara dunia ketiga yang cukup berhasil mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi relative tinggi mulai menyadari bahwa pertumbuhan yang
relative tinggi mulai menyadari bahwa pertumbuhan penduduk yang tinggi tersebut
ternyata belum membuahkan manfaat yang berarti bagi para anggota masyarakatnya
yang paling miskin dan paling membutuhkan perbaikan taraf hidup. Standard hidup
ratusan penduduk di Afrika, Asia dan Amerika latin memang belum mengalami
perbaikan secara berarti, dan bahkan dibanyak tempat, jika dihitung secara riil, standard
7
hidup mereka justru mengalami kemerosotan yang cukup tajam. Tingkat penganguran
dan Semi pengangguran diberbagi daerah pedesaan dan perkotaan meningkat, dan ini
bahkan terjadi di daerah-daerah yang tingkat pertumbuhan ekonominya cukup
mengesankan. Dalam kenyataannya ternyata distribusi pendapatan semakin terabaikan
selama tahun-tahun belakang ini. Banyak orang yang mulai merasa bahwa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah gagal memberantas, atau bahkan sekedar
mengurangi kemiskinan absolute yang dalam prakteknya cenderung semakin parah.
Kini di negar-negara maju maupun negara-negara berkembang mulai muncul
himbauan dan tuntutan dari masyarakat luas yang semakin lama semakin kuat bagi
dilakukannya peninjauan kembali atas tradisi “pengutamaan GNP” sebagai sasaran
kegiatan ekonomi yang utama. Kecenderungan ini mulai berlangsung sejak decade
1970-an. Upaya pengentasan kemiskinan dan pemerataan pun mulai dikedepankan
sebagai focus utama pembangunan. Meskipun kebangkitan kembali ilmu ekonomi
neoklasik dan munculnya teori-teori pertumbuhan yang baru pada decade 1980-an dan
decade 1990-an sempat mengembalikan kedudukan pertumbuhan sebagai prioritas
utama, namun itu tidak berarti bahwa masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan
mulai dapat diatasi. Justru sebaliknya, di banyak negara, terutama sekali dikawasan
Amerika Latin dan kawasan Afrika-Sub Sahara, masalah-masalah itu bahkan
bertambah parah. Kesulitan yang dihadapi ooleh negara-negara berkembang
dikawasan-kawasan tersebut ditambah lagi dengan himpitan utang luar negeri,
kelaparan yang merajalela, dan gagalnya program-program “pengencangan ikat
pinggang” oleh pemerintah (program tersebut justru menimpakan beben terberat bagi
orang-orang yang paling miskin). Pda bulan September 1994, program aksi pada
konferensi Intenasional tentang kependudukan dan pembangunan telah berlangsung
selama beberapa dasawarsa, kesenjangan antara negara-negara kaya dan negara-negara
miskin, serta ketimpangan pendapatan di kalangan pendudukan di berbagai negara
justru terus melebar….kemiskinan di mana-mana masih merupakan tantangan utama
bagi usaha-usaha pembangunan”, Pandangan ini dikumandangan lagi pada KTT Dunia
tentang Pembangunan Sosial yang disponsori PBB di Kompenhagen pada bulan Maret
1995 yang diikuti oleh 134 kepala negara.
Karena penanggualngan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan kini
merupakan masalah pokok dalam pembangunan dan sasaran utama kebijakan
8
pembanguanan di banyak negara, maka kita awali Bagian kedua sadi buku ini dengan
memusatkan perhatian kepada hakekat kemiskinan serta ketimpangan pendapatan di
berbagai negara-negara dunia ketiga. Meskipun focus utamanya adalah ketimpangan
distribusi ekonomis atas pendapatan dan asset, namun perlu siiingat bahwa keduannya
hanya merupakan atas pendapatan danaset, namun perlu diingat bahwa keduanya hanya
merupakan bagian kecil daris eluruh masalah ketimpangan di negara-negara
berkembang. Selain ketimpangan ekonomis tersebut, masih ada ketimpangan di negara-
negara berkembangan. Selain ketimpangan ekonomis tersebut, masih ada ketimpangan
kekuasaan, prestise, status, jenis kelamin, kepuasan kerja, kondisi kerja, tingkat
partisipasi, kebebasan memilih atau ketimpangan hak politik, dan sebagainya, yang
kesemuannya erat kaitannya dengan komponen fundamentalyang kedua dan ketiga dari
hakekatnya konsep pembangunan, yakni upaya untuk menegakkan harga diri dan upaya
untuk memilih. Meskipun demikian, dalam kenyataannya kita sulit membedakan
ketimpangan ekonomis dari ketimpangan-ketimpangan nonekonomis tersebut. Masing-
masing saling berkaitan dalam suatu proses yang sangat kompleks, yang acapkali
menjelma sebagai suatu hubungan sebab akibat yang rumit.
Pendekatan yang kita gunakan untuk mempelajari masalah pokok dan
pemecahannya, perlu diuraikan terlebih dahulu. Pertama-tama, kita kan
mengungkapkan dahulu hakekat dari masalah kemiskinan dan ketimpangan distribusi
pendapatan serta menelaah arti pentingnya secara kuantitatif di berbagai negara-negara
Dunia ketiga. Selanjutnya, kita akan menyoroti sejumlah tujuan dan sasaran yang
mungkin/ bisa dicapai, serta mempelajari jauh mana dan hal apa saja analisis ekonomi
yang dapat membantu masalah-masah tersebut. Yang terakhir, kita akan mencoba
merumuskan alternative-alternatif kebijakan yang kiranya cukup berpotensi untuk
menanggulangi kemiskinan dan mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan di
negara-negara duni ketiga telah sedemikian parah. Dengan berbekal pemahaman
mendalam atas kedua manifestasi ekonomi dari keterbelakangan tersebut, maka kita
akan lebih mudah melakukan analisis atas berbagai macam masalah.
Indeks Pembangunan Manusia yang termasuk dalam Laporan Pembangunan
Manusia Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirilis pada
tanggal 5 Oktober 2009. Indeks ini didasarkan pada data-data tahun 2007. Ia
merangkumi 180 anggota PBB (dari 192 negara) bersama dengan: Hongkong dan
Disamping ketimpangan dalam pembagian pendapatan (ketimpangan relatif),
perlu juga diperhatikan masalah lain yang tidak kurang pentingnya, yaitu sampai
seberapa jauh pertumbuhan ekonomi dapat berhasil dalam menghilangkan, sedikit-
dikitnya mengurangi kemiskinan absolut.
Penelitian yang dilakukan oleh Adelman dan Morris (1973) mengungkapkan
bahwa negara-negara berkembang bukan saja menghadapi kemerosotan dalam
ketimpangan relatif, tetapi juga masalah kenaikan dalam kemiskinan absolut.
Dalam hubungan ini kemiskinan absolut diartikan sebagai suatu keadaan dimana
tingkat pendapatan absolut dari suatu orang tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan pokoknya, seperti pangan, sandang, pemukiman, kesehatan dan
pendidikan. Besarnya kemiskinan absolut tercermin dari jumlah penduduk yang
tingkat pendapatan atau tingkat konsumsinya berada di bawah “tingkat minimum”
yang telah ditetapkan di atas.
Ciri-Ciri Negara Sedang Berkembang
1. Tingkat pendapatan rendah,sekitar US$300 perkapita per tahun.
2. Jumlah penduduknya banyak dan padat perkilo meter perseginya.
3. Tingkat pendidikan rakyatnya rendah dengan tingkat buta aksara tinggi.
4. Sebagian rakyatnya bekerja disektor pertanian pangan secara tak
produktif,sementara hanya sebagian kecil rakyatnya bekerja disektor
26
industri.Produktifitas kerjanya rendah. 5. Kuantitas sumber-sumber alamnya sedikit
serta kualitasnya rendah.Kalau mempunyai sumber-sumber alam yang memadai
namun belum diolah atau belum dimanfaatkan.
6. Mesin-mesin produksi serta barang-barang kapital yang dimiliki dan digunakan
hanya kecil atau sedikit jumlahnya.
Negara-negara berkembang ini dapat dibagi dalam tiga sub-kelompok, yaitu:
1. Negara-negara berkembang yang berpendapatan rendah dengan Gnp per kapita di
bawah US$ 350 (hargaUS$ tahun 1970) pada tahun 1975.;
2. Negara-negara berkembang yang berpendapatan menengah dengan GNP per
kapita anatara US$350-US$750 (harga US$ tahun 1970).
3. Negara-negara berkembang yang berpendapatan tinggi yang pada tahun 1975
sudah mempunyai tingkat GNP per Kapita di atas US$750 (harga US$ tahun
1970).
Jika negara-negara berkembang dibedakan lebih lanjut menurut ketiga sub-
kelompok ini, ternyata bahwa secara relative ketiga sub-kelompok ini
memperlihatkan penurunan dan persentase golongan penduduk yang miskin selama
kurun waktu 1960-1975, yaitu untuk sub-kelompok negara-negara berkembang yang
berpendapatan rendah dari 61,7 persen sampai 50,7 persen; untuk sub-kelompok
negara yang berpendapatan menengah dari 49,2 persen sampai 31 persen; dan sub-
kelompok negara yang berpendapatan tinggi dari 24,9 persen sampai 12,6 persen.
Dengan demikian angka-angka di atas memperlihatkan bahwa masalah
kemiskinan absolut justru paling parah di negara-negara berkembang yang paling
miskin. Hal ini memang tidak begitu mengherankan, karena besarnya masalah
kemiskinan absolut di sesuatu negara tergantung pada dua faktor, yaitu tingkat
pendapatan rata-rata (per kapita) dan tingkat ketimpangan dalam pembagian
pendapatan nasional tersebut. Dengan demikian masalah kemiskinan absolut di
negara-negara berkembang hanya dapat ditanggulangi secara tuntas melelui suatu
27
kombinasi kebijaksanaan, yang meliputi peningkatan laju pertumbuhan ekonomi,
usaha pemerataan yang lebih besar dalam pembagian pendapatan, dan penurunan
dalam laju pertumbuhan penduduk.
Negara-negara terbagi dalam empat kategori berdasarkan IPM-nya: sangat tinggi
(kategori baru yang ditambahkan pada laporan untuk tahun 2007), tinggi, menengah
dan rendah. Mulai dari laporan untuk tahun 2007, kategori pembanguan manusia
yang sangat tinggi dirujuk sebagai negara maju, sedangkan sisanya dikelompokkan
sebagai negara berkembang.
Keterangan:
= Naik. = Tetap. = Menurun.
1. Negara yang bernilai IPM sama tidak menandakan bahwa keduanya berperingkat sama karena peringkat IPM ditentukan menggunakan nilai enam angka di belakang koma..
2. Indeks ini dirilis pada tanggal 5 Oktober 2009 dan mencakupi periode tahun 2007
3. Angka dalam kurung mewakili seberapa besar naik turunnya peringkat suatu negara dibandingkan dengan perkiraaan revisi nilai IPM untuk tahun 2006 yang diterbitkan pada tanggal 5 Oktober 2009.
1. Pembangunan manusia Tinggi ( negara berkembang)Peringkat Negara IPMData 2007
48 (2) Latvia 0.866 0.00749 (2) Argentina 0.866 0.00550 (1) Uruguay 0.865 0.00551 Cuba 0.863 0.00752 Bahamas 0.856 0.00253 (1) Mexico 0.854 0.00554 (1) Costa Rica 0.854 0.00555 (1) Libya 0.847 0.00556 (1) Oman 0.846 0.00357 Seychelles 0.845 0.00458 (4) Venezuela 0.844 0.01159 (1) Saudi Arabia 0.843 0.00360 (1) Panama 0.840 0.00761 (2) Bulgaria 0.840 0.005Peringkat Negara IPMData 2007
Perubahan dibandingkan dengan data 2006
Data 2007
Perubahan dibandingkan dengan data 2006
62 (2) Saint Kitts and Nevis
0.838 0.003
63 (1) Romania 0.837 0.00564 (1) Trinidad and
Tobago0.837 0.005
65 Montenegro 0.834 0.00666 Malaysia 0.829 0.00467 Serbia 0.826 0.00568 (1) Belarus 0.826 0.00769 (1) Saint Lucia 0.82170 Albania 0.818 0.00471 (2) Russia 0.817 0.01172 Macedonia 0.817 0.00473 (2) Dominica 0.81474 Grenada 0.813 0.00375 Brazil 0.813 0.00576 Bosnia and
Gaji dan upah adalah balas jasa atas kesediaan seseorang menghasilkan barang/ jasa.
2.Pendapatan dari aset produktif
Aset produktif adalah aset yang meberikan pemasukan atas balas jasa
penggunaannya. Ada dua asset produktif. Pertama, aset finansial, seperti tabungan/
depositoyang menghasilkan pendapatan bunga; saham yang menghasilkan deviden
dan keuntungan atas modal bila diperjualbelikan. Kedua, asset bukan finansial,
seperti rumah/ tanah yang memberikan sewa.
3. Pendapatan dari pemerintah (transferpayment)
Pendapatan dari pemerintah adalah pendapatan yang diterima bukan karena balas jasa
atas input yang diberikan, misalnya dalam bentuk tunjangan social bagi para
penganggur, jaminan social bagi orang – orang miskin dan berpendapatan rendah.
Trend dalam distribusi pendapatan:
1. Kesenjangan Kota dan Desa
2. Kesenjangan Regional
3. Kesenjangan Interpersonal
4. Kesenjangan Antara Kelompok social
Kuznets (1995) dalam penelitiannya di negara-negara maju berpendapat
bahwa pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan cenderung
memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik. Penelitian
inilah yang kemudian dikenal secara luas sebagai konsep kurva Kuznets U terbalik.
Sementara itu menurut Oshima (1992) bahwa negara-negara Asia nampaknya
mengikuti kurva Kuznets dalam kesejahteraan pendapatan. Ardani (1992)
mengemukakan bahwa kesenjangan/ketimpangan antar daerah merupakan
konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam
pembangunan itu sendiri.
2.2.2 Distribusi Ukuran
Distribusi ukuran adalah besar atau kecilnya pendapatan yang diterima masing-
masing orang.
33
o Distribusi pendapatan perseorangan (personal distribution of income) atau
distribusi ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan
indikator yang paling sering digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara
langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu
atau rumah tangga.
o Yang diperhatikan di sini adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima
seseorang, tidak peduli dari mana sumbernya, entah itu bunga simpanan atau
tabungan, laba usaha, utang, hadiah ataupun warisan.
o Lokasi sumber penghasilan (desa atau kota) maupun sektor atau bidang
kegiatan yang menjadi sumber penghasilan (pertanian, industri, perdagangan,
dan jasa) juga diabaikan.
o Bila si X dan si Y masing-masing menerima pendapatan yang sama per
tahunnya, maka kedua orang tersebut langsung dimasukkan ke dalam satu
kelompok atau satu kategori penghasilan yang sama, tanpa mempersoalkan
bahwa si X memperoleh uangnya dari membanting tulang selama 15 jam
sehari, sedangkan si Y hanya ongkang-ongkang kaki.
o Berdasarkan pendapatan tersebut, lalu dikelompokkan menjadi lima kelompok,
biasa disebut kuintil (quintiles) atau sepuluh kelompok yang disebut desil (decile)
sesuai dengan tingkat pendapatan mereka, kemudian menetapkan proporsi yang
diterima oleh masing-masing kelompok.
o Selanjutnya dihitung berapa % dari pendapatan nasional yang diterima oleh
masing-masing kelompok, dan bertolak dari perhitungan ini mereka langsung
memperkirakan tingkat pemerataan atau tingkat ketimpangan distribusi
pendapatan di masyarakat atau negara yang bersangkutan.
34
TABEL 1
(TYPICAL SIZE DISTRIBUTION OF PERSONAL INCOME IN A
DEVELOPING COUNTRY BY INCOME SHARES-QUINTALES AND
DICILES)
35
o Indikator yang memperlihatkan tingkat ketimpangan atau pemerataan distribusi
pendapatan diperoleh dari kolom 3, yaitu perbandingan antara pendapatan yang
diterima oleh 40 persen anggota kelompok bawah (mewakili lapisan penduduk
termiskin) dan 20 persen anggota kelompok atas (lapisan penduduk terkaya).
o Rasio inilah yang sering dipakai sebagai ukuran tingkat ketidakmerataan antara
dua kelompok ekstrem, yaitu kelompok yang sangat miskin dan kelompok yang
sangat kaya di dalam suatu negara. Rasio ketidakmerataan dalam contoh di atas
adalah 14 dibagi dengan 51, atau sekitar 1 berbanding 3,7 atau 0,28.
o Peta pendapatan jika total populasi dibagi menjadi sepuluh kelompok (desil)
yang masing-masing menguasai pangsa 10 persen pada kolom
o 10 persen populasi terbawah (dua individu atau rumah tangga yang paling
miskin) hanya menerima 1,8 persen dari total pendapatan, sedangkan 10
persen kelompok teratas (dua individu atau rumah tangga terkaya) menerima
28,5 persen dari pendapatan nasional.
o Bila ingin diketahui berapa yang diterima oleh 5 persen kelompok teratas,
maka jumlah penduduknya harus dibagi menjadi 20 kelompok yang masing-
masing anggotanya sama (masing-masing kelompok terdiri dari satu individu)
dan kemudian dihitung persentase total pendapatan yang diterima oleh lima
kelompok teratas dari pendapatan nasional atau total pendapatan yang
diterima oleh kedua puluh kelompok tersebut.
o Dari Tabel 5-1, kita bisa mengetahui bahwa pendapatan 5 persen penduduk
terkaya (20 individu) menerima 15 persen dari pendapatan, lebih tinggi
dibandingkan dengan total pendapatan dari 40 persen kelompok terendah (40
persen rumah tangga yang paling miskin).
2.2.3 Kurva Lorenz
o Sumbu horisontal menyatakan jumlah penerimaan pendapatan dalam persentase
kumulatif. Misalnya, pada titik 20 kita mendapati populasi atau kelompok
36
terendah (penduduk yang paling miskin) yang jumlahnya meliputi 20 persen dari
jumlah total penduduk.
o Pada titik 60 terdapat 60 persen kelompok bawah, demikian seterusnya sampai
pada sumbu yang paling ujung yang meliputi 100 persen atau seluruh populasi
atau jumlah penduduk.
o Sumbu vertikal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima oleh
masing-masing persentase jumlah (kelompok) penduduk tersebut.
o Sumbu tersebut juga berakhir pada titik 100 persen, sehingga kedua sumbu
(vertikal dan horisontal) sama panjangnya.
GAMBAR 1
KURVA LORENZ
o Setiap titik yang terdapat pada garis diagonal melambangkan persentase
jumlah penerimanya (persentase penduduk yang menerima pendapatan itu
terdapat total
o penduduk atau populasi). Sebagai contoh, titik tengah garis diagonal
melambangkan 50 persen pendapatan yang tepat didistribusikan untuk 50
persen dari jumlah penduduk.
37
o Titik yang terletak pada posisi tiga perempat garis diagonal melambangkan 75
persen pendapatan nasional yang didistribusikan kepada 75 persen dari jumlah
penduduk.
o Garis diagonal merupakan garis "pemerataan sempurna" (perfect equality)
dalam distribusi ukuran pendapatan.
o Persentase pendapatan yang ditunjukkan oleh titik-titik di sepanjang garis
diagonal tersebut persis sama dengan persentase penduduk penerimanya
terhadap total penduduk.
o Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif actual antara persentase
jumlah penduduk penerima pendapatan tertentu dari total penduduk dengan
persentase pendapatan yang benar-benar mereka peroleh dari total pendapatan
selama, misalnya, satu tahun.
o Sumbu horisontal dan sumbu vertikal dibagi menjadi sepuluh bagian yang sama;
sumbu vertikal mewakili kelompok atau kategori (jumlah-jumlah) pendapatan,
sedangkan sumbu yang horisontal melambangkan kelompok-kelompok penduduk
atau rumah tangga yang menerima masing-masing dari kesepuluh kelompok
pendapatan tersebut.
o Titik A menunjukkan bahwa 10 persen kelompok terbawah (termiskin) dari total
penduduk hanya menerima 1,8 persen total pendapatan (pendapatan nasional).
o Titik B menunjukkan bahwa 20 persen kelompok terbawah yang hanya menerima
5 persen dari total pendapatan, demikian seterusnya bagi masing-masing 8
kelompok lainnya. Perhatikanlah bahwa titik tengah, menunjukkan 50 persen
penduduk hanya menerima 19,8 persen dari total pendapatan.
38
GAMBAR 2
THE GREATER THE CURVATURE OF THE LORENZ LINE, THE
GREATER THE RELATIVE DEGREE OF INEQUALITY
3.2.4 Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat
39
Figur 5-2b:Distribusi pendapatan yang
relatif tidak merata(ketimpangannya parah).
Figur 5-2a: Distribusi pendapatan yang
relatif merata (ketimpangannya tidak parah).
Koefisien gini adalah ukuran statistik pertebaran paling menonjol digunakan sebagai
ukurab ketidaserataan distribusi pendapatan atau ketidakmerataan distribusi
kekayaan. Hal ini ditetapkan sebagai rasio dengan nilai antara 0 dan 1, koefisien Gini
yang rendah menunjukkan lebih sama distribusi pendapatan atau kekayaan,
sedangkan koefisien Gini yang tinggi menunjukkan ketidakmerataan distribusi. 0
berkaitan dengan kesetaraan sempurna (setiap orang memiliki pendapatan yang sama
persis) dan 1 berkaitan dengan ketidaksetaraan sempurna (di mana satu orang
memiliki semua pendapatan, sementara orang lain memiliki pendapatan nol).
Keuntungan dengan menggunakan indeks gini sebagai ukuran ketidakmerataan
adalah :
• Koefisien Gini menunjukkan ukuran ketidaksetaraan melalui sebuah alat
analisis rasio, daripada variabel tidak representatif dari sebagian besar
masyarakat, seperti pendapatan per kapita atau produk domestik bruto.
• Dapat digunakan untuk membandingkan distribusi pendapatan penduduk di
berbagai sektor maupun negara, misalnya koefisien Gini untuk daerah
perkotaan yang berbeda dari daerah pedesaan di banyak negara (walaupun di
negara Amerika Serikat nilai koefisien gini di wilayah perkotaan dan
pedesaan hampir sama).
• Indeks gini dapat membandingkan lintas daerah atau lintas negara dan
mudah diinterpretasikan. PDB statistik sering dikritik karena tidak mewakili
perubahan bagi seluruh penduduk. Indeks gina akan menunjukkan seberapa
besar pendapatan perkapita ternyata mengalami ketimpangan. Jadi meskipun
pendapatan perkapita naik, namun apabila indeks gini masih tinggi artinya
kemiskinan bisa jadi masih ada dalam masyarakat
• Koefisien Gini yang dapat digunakan untuk menunjukkan bagaimana
distribusi pendapatan telah berubah dalam suatu negara selama periode waktu
tertentu, sehingga sangat mungkin untuk melihat apakah ketidakmerataan
meningkat atau menurun.
40
o Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang
relatif sangat sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan menghitung
rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi
dengan luas separuh bidang di mana kurva Lorenz itu berada.
o Pada Figur 5-6, rasio yang dimaksud adalah rasio atau perbandingan bidang A
terhadap total segitiga BCD. Rasio inilah yang dikenal sebagai rasio
konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) yang seringkali disingkat dengan
istilah koefisien Gini (Gini coefficient).
o Istilah tersebut diambil dari nama seorang ahli statistic Italia yang pertama
kali merumuskannya pada tahun 1912.
41
n KG= 1 – å fii (Yi + Yi + t) i=1
KG = Angka Koefisien Gini X = Proporsi jumlah rumah tangga kumulatif dalam kelas i fi = Proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas IYi = Proporsi jumlah pendapatan rumah tangga kumulatif kelas I
GAMBAR 3
ESTIMATING THE GINI COEFOCIENT CURVE
o Koefisien Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan (pendapatan/
kesejahteraan) agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol
(pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna).
o Angka ketimpangan untuk negara-negara yang ketimpangan pendapatan di
kalangan penduduknya dikenal tajam berkisar antara 0,50 hingga 0,70.
o Untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya dikenal relatif paling baik
(paling merata), berkisar antara 0,20 sampai 0,35.
42
3.2.5 Hipotesis Kuznets
Data data ekonomi periode 1970 – 1980, terutama mengenai pertumbuhan
ekonomi dan distribusi pendapatan terutama di LDS (Less Developing Countries),
terutama di negara negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang
cukup pesat, seperti Indonesia, menunjukan seakan akan korelasi positif antara laju
pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesenjangan ekonomi. Semakin tinggi
pertumbuhan produk domestik bruto, atau semakin tinggi tingkat pendapatan per
kapita, maka semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Bahkan
studi yang dilakukan di negara negara Eropa Barat, menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi tidak atau justru membuat ketimpangan antara kaum miskin
dan kaum kaya semakin melebar. Jantti (1997) dalam Tulus Tambunan (2003)
mengemukakan bahwa fenomea tersebut timbul karena adanya perubahan suplly of
labor (masuknya buruh murah dari Turki, atau negara Eropa Timur kedalam pasar
buruh di Eropa Barat). Berdasarkan fakta tersebut, muncul pertanyaan:
mengapa terjadi trade-off antara pertumbuhan dan kesenjangan ekonomi dan untuk
berapa lama? Kerangka pemikiran ini yang melandasi Hipotesis Kuznets. Yaitu,
dalam jangka pendek ada korelasi positip antara pertumbuhan pendapatan perkapita
dengan kesenjangan pendapatan. Namun dalam jangka panjang hubungan keduanya
menjadi korelasi yang negatif. Artinya, dalam jangka pendek meningkatnya
pendapatan akan diikuti dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan, namun
dalam jangka panjang peningkatan pendapatan akan diikuti dengan penurunan
kesenjangan pendapatan. Fenomena ini dikenal dengan nama “Kurva U terbalik dari
Hipotesis Kuznets”.
Namun, hipotesis Kuznets ini mulai dipertanyakan. Beberapa studi yang
mengambil data time series membuktikan bahwa dalam beberapa negara yang masih
bertumpu pada sektor pertanian (rural economy) menunjukan hubungan negatif. Ini
berarti bertolak belakang dari hipotesis Kuznets.
43
Pemahaman atas variabel variable tersebut akan membuktikan bahwa negara
pertanian tidak identik dengan kemiskinan atau mungkin lebih tepatnya adalah
kesejahteraan pun bisa meningkat di negara-negara yang berbasis pertanian.
Procovitch pernah menyampaikan beberapa dugaannya tentang sebab-sebab
terjadinya kepincangan pembagian pendapatan yakni pertumbuhan ekonomi,
pertumbuhan penduduk, perkembangan kota desa, dan sistem pemerintahan yang
bersifat plutokratis. Beberapa aspek yang telah diduga oleh Procovits pada tahun
1955 dikembangkan oleh Kuznets, yang sampai dewasa ini masih dikenal dengan
hipotesa Kuznets, yang menimbulkan kontroversi di kalangan peneliti distribusi
pendapatan di berbagai negara. Hipotesa ini menyatakan bahwa hubungan tingkat
pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kepincangan pembagian pendapatan pada
tahap ini menjadi negatif. Jadi, tahap pertama pembangunan ekonomi akan
mengalami tingkat kepincangan pembagian pendapatan yang semakin memburuk,
stabil dan akhirnya menurun. Pola perkembangan ini menurut Kuznets tidak terlepas
dari kondisi sosial dan ekonomi suatu masyarakat. Penyebabnya adalah terjadinya
konsentrasi kekayaan pada kelompok atas, kurang efektifnya pajak yang progresif,
dan terjadinya akumulasi pemilikan modal.
Chiswick menyatakan bahwa dengan meningkatnya pembangunan ekonomi,
kesenjangan pembagian penghasilan masyarakat juga meningkat, karena semakin
cepat ekonomi berkembang, maka orang mengharapkan hasil yang semakin tinggi
dari pendidikannya ; sementara, kesempatan pendidikan sangat terbatas. Tingkat
partisipasi penduduk dalam lapangan pekerjaan berkaitan dengan jumlah penduduk
muda yang sedang sekolah atau sedang bekerja. Pekerja-pekerja muda yang tingkat
pendidikan dan keterampilannya relatif rendah akan memperoleh upah yang rendah
pula, dan hal ini akan membuat pembagian pendapatan semakin senjang. Sebaliknya,
jika penduduk muda ini masih tetap menambah ilmu pengetahuan dan meningkatkan
kemampuan dan keterampilannya, berakibat berkurangnya kelompok penduduk yang
44
berpendapatan rendah sehingga akibat selanjutnya adalah tingkat kesenjangan
distribusi pendapatan pun akan menurun.
2.2.6 Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Indonesia
Masalah ketimpangan dalam distribusi pendapatan dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu :
1. Distribusi pendapatan antar golongan pendapatan (size distribution of income) atau
ketimpangan relatif.
2. Distribusi pendapatan antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan (urban-rural
income disparities).
3. Distribusi pendapatan antar daerah (regional income disparities).
1. Distribusi Pendapatan Antar Golongan
Pendapatan Jika dilihat dari hasil penelitian SUSENAS dengan menggunakan
koefisien Gini, maka akan terlihat bahwa distribusi pendapatan di daerah perkotaan di
Jawa lebih buruk daripada daerah di luar Jawa, begitu pula dengan daerah
pedesaannya daerah Jawa memiliki tingkat kesenjangan distribusi pendapatan yang
rendah bila dibandingkan dengan daerah di luar Jawa.
2. Distribusi Pendapatan Antara Daerah Perkotaan dan Pedesaan
Menurut Gupta dari World Bank, pola pembangunan Indonesia memperlihatkan
suatu urban bias, yaitu pembangunan yang berorientasi ke daerah perkotaan, dengan
tekanan yang berat pada sektor industri yang terorganisir, yang merupakan sebab
terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan yang lebih parah lagi di kemudian hari.
Menurut Micahel Lipton, seorang ekonom Inggris, urban bias seringkali terjadi di
negara-negara berkembang seperti Indonesia di mana alokasi sumber-sumber daya
lebih banyak diprioritaskan di daerah perkotaan daripada pertimbangan pemerataan
45
atau efisiensi. Kembali kita perhatikan penjelasan teori ekonomi yang dualistik
tentang terjadi kesenjangan pembagian pendapatan di negara-negara sedang
berkembang, maka pertama-tama relavansinya terlihat dalam pola kesenjangan yang
berbeda antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Oshima menjelaskan keadaan ini
(kesenjangan di desa lebih tinggi dari pada di kota), sebagai hal yang unik. Dia
meramalkan kesenjangan tersebut akan lebih lebar jika proses pembangunan
pedesaan masih akan berlanjut.
3. Distribusi Pendapatan Antar Daerah
Ketimpangan dalam perkembangan ekonomi antar berbagai daerah di Indonesia
serta penyebaran sumber daya alam yang tidak merata menjadi penyebab tidak
meratanya distribusi pendapatan antar daerah di Indonesia khususnya.
Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan atau kesenjangan
ekonomi dan tingkat kemiskinan merupakan dua masalah besar di banyak negara
berkembang, tak terkecuali di Indonesia. Berawal dari distribusi pendapatan yang
tidak merata yang kemudian memicu terjadinya ketimpangan pendapatan sebagai
dampak dari kemiskinan. Hal ini akan menjadi sangat serius apabila kedua masalah
tersebut berlarut-larut dan dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan
menimbulkan konsekuensi politik dan sosial yang dampaknya cukup negatif.
Negara Indonesia secara geografis dan klimatalogis merupakan negara yang
mempunyai potensi ekonomi yang sangat tinggi. Dengan garis pantai yang terluas di
dunia, iklim yang memungkinkan untuk pendayagunaan lahan sepanjang tahun, hutan
dan kandungan bumi Indonesia yang sangat kaya, merupakan bahan (ingredient)
yang utama untuk membuat negara menjadi negara yang kaya. Suatu perencanaan
yang bagus yang mampu memanfaatkan semua bahan baku tersebut secara optimal,
akan mampu mengantarkan negara Indonesia menjadi negara yang makmur. Ini
terlihat pada hasil hasil Pelita III sampai dengan Pelita V yang dengan pertumbuhan
46
ekonomi rata rata 7% - 8% membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan penduduk yang tinggi. Dan Indonesia menjadi
salah satu negara yang mendapat julukan “Macan Asia”.
Namun ternyata semua pertumbuhan ekonomi dan pendapatan tersebut
ternyata tidak memberikan dampak yang cukup berarti pada usaha pengentasan
kemiskinan. Indonesia adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur
dan kekayaan alamnya melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong
miskin. Pada puncak krisis ekonomi tahun 1998-1999 penduduk miskin Indonesia
mencapai sekitar 24% dari jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang. Tahun 2002
angka tersebut sudah turun menjadi 18%, dan pada menjadi 14% pada tahun 2004.
Situasi terbaik terjadi antara tahun 1987-1996 ketika angka rata-rata kemiskinan
berada di bawah 20%, dan yang paling baik adalah pada tahun 1996 ketika angka
kemiskinan hanya mencapai 11,3%.
Di Indonesia pada awal orde baru para pembuat kebijaksanaan dan perencana
pembangunan di Jakarta masih sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi
yang pada awalnya terpusatkan hanya di Jawa, Khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan
hanya di sector-sektor tertentu saja, pada akhirnya akan menghasilkan “Trickle Down
Effects”. Didasarkan pada pemikiran tersebut, pada awal orde baru hingga akhir
tahun 1970-an, strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Orde
Baru lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa
memperhatikan pemerataan pembangunan ekonomi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pusat pembangunan ekonomi nasional
di mulai di Pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang
dibutuhkan, seperti transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur lainnya lebih
tersedia di pulau jawa, khususnya Jakarta, dibandingkan dengan provinsi lainnya di
Indonesia. Pembangunan saat itu juga hanya terpusatkan pada sektor-sektor tertentu
saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menyumbang nilai
pendapatan nasional yang tinggi. Pemerintah saat itu percaya bahwa nantinya hasil
dari pembangunan itu akan menetes ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya.
47
Ada berbagai cara untuk mengetahui prestasi pembangunan suatu negara yaitu
dengan pendekatan ekonomi dan pendekatan non-ekonomi. Dalam pendekatan
ekonomi dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek non
pendapatan. Dalam aspek pendapatan digunakan konsep pendapatan perkapita,
namun hal tersebut belum cukup untuk menilai prestasi pembangunan karena tidak
mencerminkan bagaimana pendapatan nasional sebuah negara terbagi di kalangan
penduduknya, sehingga tidak memantau unsur keadilan atau kemerataan. Untuk itu
diperlukan data mengenai kemerataan distribusi pendapatan dimana perhatiannya
bukan hanya pada distribusi pendapatan nasional tapi juga distribusi proses atau
pelaksanaan pembangunan itu sendiri.
Krisis yang terjadi secara mendadak dan diluar perkiraan pada akhir dekade
1990-an merupakan pukulan yang sangat berat bagi pembangunan Indonesia. Bagi
kebanyakan orang, dampak dari krisis yang terparah dan langsung dirasakan,
diakibatkan oleh inflasi. Antara tahun 1997 dan 1998 inflasi meningkat dari 6%
menjadi 78%, sementara upah riil turun menjadi hanya sekitar sepertiga dari nilai
sebelumnya. Akibatnya, kemiskinan meningkat tajam. Antara tahun 1996 dan 1999
proporsi orang yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah dari 18% menjadi
24% dari jumlah penduduk. Pada saat yang sama, kondisi kemiskinan menjadi
semakin parah, karena pendapatan kaum miskin secara keseluruhan menurun jauh di
bawah garis kemiskinan.
Indikator yang sering digunakan untuk mengetahui kesenjangan distribusi
pendapatan adalah rasio gini dan criteria Bank Dunia (BPS, 1994). Nilai rasio gini
48
(gini ratio) berkisar antara nol dan satu. Bila rasio gini sama dengan nol berarti
distribusi pendapatan amat merata sekali karena setiap golongan penduduk menerima
bagian pendapatan yang sama. Secara grafis, ini ditunjukkan oleh berimpitnya kurva
lorens dengan garis kemerataan sempurna. Namun, bila rasio gini sama dengan satu
menunjukan bahwa terjadi ketimpangan distribusi pendapatan yang sempurna karena
seluruh pendapatan hanya dinikmati oleh satu orang saja. Singkatnya, semakin tinggi
nilai rasio gini maka semakin timpang distribusi pendapatan suatu negara.
Sebaliknya, semakin rendah nilai rasio gini berarti semakin merata distribusi
pendapatan. Berikut ini adalah Relative Income Trends, 1975-2007 yang dikeluarkan
OECD.
GRAFIK 1
RELATIVE INCOME TRENDS, 1975-2007
Kriteria Bank Dunia mendasarkan penilaian distribusi pendapatan atas
pendapatan yang diterima oleh 40% penduduk berpendapatan terendah. Kesenjangan
distribusi pendapatan dikategorikan:
1. Tinggi, bila 40% penduduk berpenghasilan terendah menerima kurang dari
12% bagian pendapatan.
2. Sedang, bila 40% penduduk berpenghasilan terendah menerima 12 hingga
17% bagian pendapatan
3. Rendah, bila 40%, penduduk berpenghasilan terendah menerima lebih dari
17% bagian pendapatan.
Ketimpangan distribusi pendapatan diukur dengan menghitung persentase
jumlah pendapatan penduduk dari kelompok yang berpendapatan rendah 40%
terendah dibandingkan dengan total pendapatan seluruh penduduk. Persentase
pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing kelompok masyarakat yang
tinggal di 15 negara berkembang , memperlihatkan kadar parahnya masalah
49
ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan di negara-negara Dunia Ketiga.
Pembagian pendapatan untuk masing-masing kelompok masyarakat di 15 negara
tersebut masih relatif sangat timpang. Porsi pendapatan yang diterima oleh 20%
penduduk yang paling miskin hanya berkisar 5,2 % dari total pendapatan, sedangkan
10% serta 20% kelompok penduduk yang paling kaya masing-masing menerima
36,0% dan 51,8% dari pendapatan nasional. Bandingkanlah dengan negara-negara
industri maju. Jepang, 20% penduduknya yang paling miskin menerima 8,7% dari
keseluruhan pendapatan nasional, sedangkan 10% dan 20% penduduk terkaya hanya
menerima 22,4% dan 37,5% dari pendapatan nasional. Di berbagai negara
berkembang tidak terdapat hubungan yang jelas dan baku antara tingkat pendapatan
per kapita dengan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan.
Sebagai contoh, pendapatan per kapita Sri Lanka hanya 1/6 pendapatan per
kapita Brasil, akan tetapi ketimpangan pendapatan di Brasil (berdasarkan ketiga cara
tersebut di atas) ternyata lebih buruk atau lebih parah daripada yang ada di Sri Lanka.
Angka koefisien ini Sri Lanka adalah 0,30 sedangkan Brasil sebesar 0,60 yang
menunjukkan ketimpangan pendapatan yang sangat besar jika diukur dari koefisien
Gini normal. Paraguay dengan pendapatan 70 kali pendapatan Bangladesh memiliki
ketidakmerataan yang lebih besar. Sebaliknya, Malaysia dengan pendapatan per
kapita tahun 1996 sebesar 65% lebih tinggi dari pendapatan per kapita Kosta Rika,
memiliki ketimpangan pendapatan yang tidak begitu besar. Akan tetapi, tingkat
ketimpangan distribusi pendapatan di ketiga negara tersebut kurang lebih sama.
Antara 1960 dan 1980 tingkat ketimpangan pendapatan melonjak, dan hal ini ternyata
terjadi di semua negara-negara Dunia Ketiga nonkomunis. Koefisien Gini meningkat
dari 0,544 menjadi 0,602 (kecenderungan ini adalah kecenderungan keseluruhan,
artinya penjumlahan seluruh koefisien Gini dari setiap negara-negara berkembang
tersebut).
50
Meskipun demikian, peningkatan pemerataan pendapatan terjadi di sejumlah
negara berkembang berpenghasilan menengah yang bukan merupakan
pengekspor minyak.
Sedangkan distribusi pendapatan di negara berkembang berpenghasilan
rendah dan kelompok pengekspor minyak semakin timpang.
Memburuknya (peningkatan angka) koefisien Gini pada dua kelompok negara
ini mencerminkan telah memburuknya distribusi pendapatan antara satu negara
dibandingkan dengan negara-negara lain dan, tentu saja, memburuknya distribusi
pendapatan di masing-masing negara berkembang itu sendiri. Mengingat besar atau
kecilnya porsi atau bagian pendapatan yang diterima oleh kelompok-kelompok
penduduk yang paling miskin tidak sama untuk masing-masing negara, maka
mungkin saja suatu negara dengan GNP atau pendapatan per kapita yang tinggi justru
mempunyai persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
internasional yang lebih besar dibandingkan dengan suatu negara yang pendapatan
per kapitanya lebih rendah. Masalah-masalah kemiskinan dan ketimpangan distribusi
pendapatan tersebut sesungguhnya tidak semata-mata disebabkan oleh proses-proses
pertumbuhan ekonomi yang alamiah. Ada faktor-faktor lain yang bermain serta turut
mempengaruhinya, yakni seperti jenis pertumbuhan ekonomi yang berlangsung di
negara yang bersangkutan, berbagai pengaturan politik dan kelembagaan yang dalam
prakteknya ikut menentukan pola-pola distribusi pendapatan nasional, yang harus
sengaja diciptakan sedemikian rupa dalam rangka lebih menyebarluaskan kue atau
buah hasil pertumbuhan ekonomi kepada.
Terdapat dua pendekatan : kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif
1. Kemiskinan absolut ( melihat jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan).
2. Kemiskinan relatif (hubungan populasi terhadap distribusi pendapatan).
51
Beban Kemiskinan Global Terjadi pada negara yang memiliki populasi yang besar
pada kelompok-kelompok tertentu (kaum wanita), Anak –anak (sisi pendidikan dan
kesehatan). Beban tersebut dapat dilihat dari extreme poverty line dan poverty line.
Perbedaan Kemiskinan dengan Ketimpangan Pendapatan.
- Kemiskinan berkaitan dengan standar hidup yang absolut.
- Sedangkan Ketimpangan pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat.
Kategori ketimpangan ditentukan dengan menggunakan kriteria seperti berikut:
ketimpangan pendapatan tinggi
ketimpangan pendapatan sedang
ketimpangan pendapatan rendah
Sesuai pernyataan yang kami utarakan pada bab satu di pendahuluan,
bahwasanya masalah ketimpangan sudah terjadi dan dialami oleh bangsa ini
semenjak jaman penjajahan. Seiring berjalannya waktu, ketimpangan distribusi
pendapatan seperti sudah menjadi tradisi dalam kehidupan bangsa ini. Hal tersebut
dilanjutkan mulai dari pemerintahan pertama yaitu orde lama sampai sekarang, dan
yang paling parah adalah saat orde baru. Pemerintahan orde baru memang
mewariskan pembangunan fisik yang bernilai positif bagi bangsa, namun pada saat
rezim Soeharto tersebut juga mewariskan kelemahan mentalitas bangsa, seperti tradisi
korup serta hidup mewah di kalangan elite. Untuk bisa hidup mewah, elite penguasa
mempraktekkan KKN dengan penguasa besar, melupakan kepentingan rakyat yang
berakibat melebarnya jurang antara kaya dengan rakyat jelata yang semakin hari kian
bertambah miskin. Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto memprioritaskan
pertumbuhan ekonomi nasional, economic growth, yang mengacu pada percepatan
kenaikan GNP. Soeharto menelantarkan perkembangan ekonomi nasional, economic
development, yang mengembangkan potensi ekonomi masyarakat dalam rangka
pemerataan pendapatan nasional.
52
Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto sebelum krisis moneter, para
konglomerat Indonesia membanggakan diri sebagai motor pembangunan ekonomi
nasional, tetapi ternyata pondasi ekonomi itu ternyata keropos.
Data ekonomi makro Indonesia akhir 1995 menunjukkan bahwa walaupun GNP
Indonesia masih lebih baik dari Cina dan Vietnam, tetapi potensi konflik sudah
terakumulasi karena kesenjangan ekonomi di berbagai komponen bangsa teramat
besar, justru karena pemerintah menganakemaskan konglomerat dan tidak
memberdayakan ekonomi rakyat. Kesenjangan itu terjadi antara pelaku ekonomi
nasional dengan pelaku ekonomi asing. Antara golongan kaya dengan golongan
miskin, teristimewa antara pribumi dengan nonpribumi. Walaupun hasil produksi
domestik kita (GDP, gross domestic product) rata-rata mencapai 3.500 dolar per
orang setahunnya, tetapi yang bisa dihitung sebagai pendapatan nasional (GNP, gross
national product) cuma 960 dolar per orang setahunnya. Ini berarti 2.540 dolar
dinikmati investor dan kreditor asing (bandingkan Jepang yang GDP-nya 'hanya'
14.000 dolar tetapi GNP-nya mencapai 20.000 dolar berkat hasil investasinya di luar
negeri).
Pendapatan nasional yang cuma 960 dolar itu ternyata tidak terbagi secara
harmonis di antara kelompok warga negara. Karena 80 persen nilai aktivitas ekonomi
nasional dilakukan 300 grup konglomerat saja, sedangkan selebihnya hampir dua
ratus juta rakyat cuma kebagian 20 persen porsi ekonomi nasional. Dari 300 grup
bisnis konglomerat itu, yang dimiliki nonpribumi ada 224 grup, sedangkan pribumi
cuma diwakili 76 grup bisnis yang asetnya tidak sampai 10 persen aset konglomerat
nonpribumi.
Ketimpangan makro-ekonomi ini berdampak pada hampir seluruh sektor ekonomi
nasional yang melahirkan kemiskinan struktural rakyat pribumi, akibat terbatasnya
akses di sektor ekonomi dan keuangan. Andaikan pendapatan nasional terbagi merata
dan berkeadilan, seorang pejabat setidaknya bisa memperoleh gaji (penghasilan sah)
yang mencukupi, sehingga bisa menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu melayani
53
dan melindungi masyarakat. Tapi sayang sekali, sebagian besar pendapatan nasional
(GNP) masuk ke kantong konglomerat, sedangkan negara hanya mendapat porsi kecil
GNP, sehingga negara tidak mampu menggaji pegawainya secara pantas, sehingga
pada kenyataannya penghasilan resmi Lurah kita jauh di bawah rata-rata GNP.
Akibat ketimbangan distribusi pendapatan nasional, maka pada umumnya pejabat
negara berpenghasilan di bawah rata-rata pendapatan nasional.
2.2.7 Ketimpangan Menyebabkan Ketertinggalan
Di negara yang tingkat GNP dan pendapatan perkapitanya rendah, semakin timpang
distribusi pendapatan maka permintaan agregat akan semakin dipenharuhi oleh
perilaku konsumsi orang – orang kaya. Secara umum yang menyebabkan
ketidakmerataan distribusi pendapatan di NSB menurut Irma Adelman dan Cynthia
Taft Morris dalam Arsyad 1999, mengemukakan 8 sebab yaitu :
1. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya
pendapatan per kapita.
2. Inflasi di mana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara
proporsional dengan pertambahan produksi barang – barang.
3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah
4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek – proyek yang padat modal (kapital
intensif), sehingga persentasi pendapatan modal dari harta tambahan besar
dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja sehingga
pengangguran bertambahn
5. Rendahnya mobilitas sosial.
6. Pelaksanaan kebijaksanaan industri substituti impor yang mengakibatkan
kenaikan harga – harga barang hasil industri untuk melindungi usaha – usaha
golongan kapitalis.
54
7. Memburuknya nilai tukar ( term of trade ) bagi NSB dalam perdagangan
dengan negara – negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan permintaan
negara – negara terhadap barang – barang ekspor NSB.
8. Hancurnya industri – industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri
rumah tangga, dan lain – lain.
Seperti yang dikemukakan diatas tergambar pada data Poverty
Gaps berikut ini:
Peraga distribusi pendapatan fungsional didalam sebuah perekonomian pasar.
Indonesia memiliki satu kementerian negara yang memiliki tugas untuk mempercepat
pembangunan daerah tertinggal yakni Kementerian Negara Percepatan Daerah
Tertiggal (PDT). Tugas kementerian ini memiliki peran yang strategis dalam
mengentaskan daerah-daerah di Indonesia baik di kawasan barat maupun timur dan
kawasan terluar yang masih banyak tertinggal dibanding daerah lain. Meskipun sudah
ada Kementerian PDT, masalah ketimpangan yang pada gilirannya membawa kepada
ketertinggalan dalam hal pembangunan, semakin nyata terjadi di depan mata kita.
Sejatinya, masalah ini adalah masalah besar bangsa kita yang sedang kita hadapi. Ini
bukan hanya masalah parsial dan hanya menjadi tugas Kementerian PDT. Berbicara
mengenai masalah ketertinggalan, negara ini sesungguhnya sedang mengalami proses
ketertinggalan yang pelan tapi pasti. Hal ini antara lain disebabkan oleh maraknya
55
ketimpangan, baik itu ketimpangan pendapatan, pendidikan, maupun ketimpangan
kualitas institusi birokrasi di negara ini.
Salah satu hasil studi William Easterly (2006) mengungkapkan bahwa tingkat
ketimpangan (inequality) yang tinggi merupakan penghambat kemakmuran,
tumbuhnya institusi yang berkualitas, dan berkembangnya pendidikan yang bermutu
tinggi. Laporan Bank Dunia (2005) bertajuk World Development Report
menyebutkan dalam pengantarnya bahwa keadilan (equity) adalah salah satu aspek
fundamental dalam mencapai kemakmuran jangka panjang bagi masyarakat secara
keseluruhan. Meskipun ada klaim ini, perdebatan mengenai pengaruh ketimpangan
terhadap pembangunan ekonomi masih berlanjut dengan serius. Perlu ditegaskan di
sini, ketimpangan berkaitan dengan distribusi hasil (outcomes) seperti pendapatan,
kemakmuran, konsumsi, dan dimensi-dimensi lain dari apa yang disebut sebagai
kesejahteraan (well being). Sedangkan ketidakadilan (inequality) merujuk pada
distribusi kesempatan
(opportunities) yang mencakup aspek-aspek ekonomi, politik, dan sosial. Gelombang
pertama (first wave) literatur mengenai pembangunan berargumentasi bahwa tingkat
ketimpangan yang tinggi dapat mempercepat pertumbuhan dengan mengarahkan
pendapatan lebih banyak lagi kepada para pemodal bertabungan tinggi (high saving
capitalists) (Lewis, 1954, Kaldor, 1956, 1961). Argumen ini berangkat dari standar
hipotesis di mana tingkat tabungan individu akan meningkat seiring dengan
meningkatnya pendapatan.
Ketika redistribusi sumberdaya dari kaum kaya ke kaum miskin cenderung
menurunkan tingkat tabungan agregat dalam suatu perekonomian, akumulasi kapital
akan menurun seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya
ketidaksamaan cenderung meningkatkan investasi dan Sementara itu, literaturliteratur
baru mengenai pertumbuhan membalikkan prediksi tersebut. Dengan
seperangkat model teoritik dan studi-studi empiris mereka berargumentasi bahwa
ketimpangan berdampak buruk terhadap pertumbuhan melalui saluran-saluran
56
ekonomi politik atau kendala akumulasi modal insani (human capital accumulation)
(Galor and Zeira, 1993; Banerjee and Newman, 1993; Alesina and Rodrik, 1994;
Persson and Tabellini, 1994). Hal yang sangat dekat dengan kemiskinan adalah
ketimpangan (inequality) atau gap antara si miskin dan si kaya. Ketimpangan
berkaitan dengan distribusi hasil seperti pendapatan, kemakmuran, konsumsi, dan
dimensi-dimensi lain dari apa yang disebut sebagai kesejahteraan. Konsep inequality
tersebut harus dibedakan dengan konsep equity yang merujuk pada distribusi
kesempatan (opportunities) yang mencakup aspek-aspek ekonomi, politik, dan sosial.
Dalam World Development Report 2006, World Bank (2006) berargumentasi bahwa
ketimpangan dalam kesempatan dan akses ekonomi berpengaruh terhadap
pembangunan ekonomi.
57
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pengertian pertumbuhan ekonomi harus dibedakan dengan pembangunan
ekonomi, pertumbuhan ekonomi hanyalah merupakan salah satu aspek saja
dari pembangunan ekonomi yang lebih menekankan pada peningkatan output
agregat. Melalui pertumbuhan ekonomi, standar hidup membaik.
Pertumbuhan ekonomi membawa perubahan. Barang-barang baru diproduksi,
sementara yang lain menjadi ketinggalan mode. Ada yang yang percaya
pertumbuhan merupakan tujuan dasar masyarakat, karena pertumbuhan
mengangkat orang keluar dari kemiskinan dan meningkatkan kualitas
kehidupan mereka.Yang lain mengatakan pertumbuhan ekonomi mengikis
nilai-nilai tradisional dan menyebabkan eksploitasi, kerusakan lingkungan,
dan korupsi. Krisis nilai tukar telah menurunkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia.
2. Krisis nilai tukar telah menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Nilai
tukar rupiah yang merosot tajam sejak bulan Juli 1997 menyebabkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun tajam. Namun, layaknya yang
terjadi dan di dapati pada Negara-negara lain, Indonesia salah satu negara
yang dapat memiliki kinerja yang lebih baik pada masa sekarang yaitu pasca
krisis 1997 dan krisis global. kebijakan utama negara adalah untuk
meningkatkan potensi pertumbuhan ekonomi dan untuk membuatnya tetap
berlangsung dalam jangka panjang, yang bertujuan untuk mengurangi
kemiskinan (saat ini mencapai 16%) dan pengangguran (di atas 10%) secara
cepat akan tetapi disamping itu masih banyak hal yang dapat dilakukan
Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui berbagai
58
sector-sektor dan regulasi yang memprotec perekonomian Indonesia agar
tidak gampang terfluktuatif oleh pengaruh ekonomi luar.
3. Negara-negara maju pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi
pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu
akan membaik. Begitu juga yang terjadi di negara-negara berkembang
sehingga untuk melaksanakan pemerataan distribusi pendapatan secara
optimal dan terhindar dari penyimpangan dapat di lakukan dengan konsep
sebagai berikut Pertama, indikator distribusi pendapatan perorangan. Kedua,
kurva Lorenz. Ketiga, koefisien gini. Masing-masing indikator tersebut
mempunyai relasi satu sama lainnya. Semakin jauh kurva Lorenz dari garis
diagonal maka semakin besar ketimpangan distribusi pendapatannya. Begitu
juga sebaliknya, semakin berimpit kurva Lorenz dengan garis diagonal,
semakin merata distribusi pendapatan. Sedangkan untuk koefisien gini,
semakin kecil nilainya, menunjukkan distribusi yang lebih merata.
4. Tidak diragukan lagi bahwa perekonomian makro yang stabil adalah penting
bagi pertumbuhan yang berkelanjutan. Dengan kondisi pertumbuhan ekonomi
yang terbilang lamban dan sangat mudah terfluktuatif dan dengan kebijakan-
kebijakan pemerintah dalam sector perekonomian dan sector-sektor lainnya
yang kurang berjalan dengan optimal sangat membekap Indonesia pada
kondisi yang tak sehat. Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan
atau kesenjangan ekonomi dan tingkat kemiskinan merupakan dua masalah
besar di banyak negara berkembang, tak terkecuali di Indonesia. Berawal dari
distribusi pendapatan yang tidak merata yang kemudian memicu terjadinya
ketimpangan pendapatan sebagai dampak dari kemiskinan. Hal ini akan
menjadi sangat serius apabila kedua masalah tersebut berlarut-larut dan
dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi
politik dan sosial yang dampaknya cukup negatif.
59
3.2 Rekomendasi
Peranan penting pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi
1. Beberapa negara sedang berkembang mengalami ketidak stabilan sosial, politik,
dan ekonomi. Ini merupakan sumber yang menghalangi pertumbuhan ekonomi.
Adanya pemerintah yang kuat dan berwibawa menjamin terciptanya keamanan
dan ketertiban hukum serta persatuan dan perdamaian di dalam negeri. Ini sangat
diperlukan bagi terciptanya iklim bekerja dan berusaha yang merupakan motor
pertumbuhan ekonomi.
2. Ketidakmampuan atau kelemahan setor swasta melaksanakan fungsi
entreprenurial yang bersedia dan mampu mengadakan akumulasi kapital dan
mengambil inisiatif mengadakan investasi yang diperlukan untuk memonitori
proses pertumbuhan.
3. Pertumbuhan ekonomi merupakan hasil akumulasi kapital dan investasi yang
dilakukan terutama oleh sektor swasta yang dapat menaikkan produktivitas
perekonomian. Hal ini tidak dapat dicapai atau terwujud bila tidak didukung oleh
adanya barang-barang dan pelayanan jasa sosial seperti sanitasi dan program
pelayanan kesehatan dasr masyarakat, pendidikan, irigasi, penyediaan jalan dan
jembatan serta fasilitas komunikasi, program-program latihan dan keterampilan,
dan program lainnya yang memberikan manfaat kepada masyarakat.
4. Rendahnya tabungan-investasi masyarakat (sekor swasta) merupakan pusat atau
faktor penyebab timbulnya dilema kemiskinan yang menghambat pertumbuhan
ekonomi. Seperti telah diketahui hal ini karena rendahnya tingkat pendapatan dan
karena adanya efek demonstrasi meniru tingkat konsumsi di negara-negara maju
olah kelompok kaya yang sesungguhnya bias menabung.
5. Hambatan sosial utama dalam menaikkan taraf hidup masyarakat adalah jumlah
penduduk yang sangat besar dan laju pertumbuhannya yang sangat cepat.
Program pemerintahlah yang mampu secara intensif menurunkan laju
pertambahan penduduk yang cepat lewat program keluarga berencana dan
melaksanakan program-program pembangunan pertanian atau daerah pedesaan
60
yang bisa mengerem atau memperlambat arus urbanisasi penduduk pedesaan
menuju ke kota-kota besar dan mengakibatkan masalah-masalah social, politis,
dan ekonomi.
6. Pemerintah dapat menciptakan semangat atau spirit untuk mendorong pencapaian
pertumbuhan ekonomi yang cepat dan tidak hanya memerlukan pengembangan
faktor penawaran saja, yang menaikkan kapasitas produksi masyarakat, yaitu
sumber-sumber alam dan manusia, kapital, dan teknologi;tetapi juga faktor
permintaan luar negeri. Tanpa kenaikkan potensi produksi tidak dapat
direalisasikan
61
KEPUSTAKAAN
Mark Skousen.2006. Teori-Teori Ekonomi Modern. Jakarta: Prenada Media
Sadono Sukirno.2006.Mikro Ekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sadono Sukirno.2006.Makro Ekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada