BAB I
Konsep
Ekonomi KerakyatanMardi Yatmo Hutomo*A. Latar BelakangAda 4
(empat) alasan mengapa ekonomi kerakyatan perlu dijadikan paradigma
baru dan strategi batu pembangunan ekonomi Indonesia. Keempat
alasan, dimaksud adalah:
1. Karakteristik Indonesia
Pengalaman keberhasilan Korea Selatan, Taiwan, Singapura,
Brazil, meniru konsep pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh
negara-negara Eropa Barat dan Amerika, ternyata bagi negara-negara
berkembang lainnya, yang menerapkan konsep yang memberikan hasil
yang berbeda. Dengan mengandalkan dana pinjaman luar negeri untuk
membiayai pembangunan, mengandalkan investasi dari luar negeri,
memperkuat industri substitusi ekspor, selama dua sampai tiga
dasawarsa memang berhasil mendorong pertumbuhan output nasional
yang cukup tinggi dan memberikan lapangan kerja cukup luas bagi
rakyat. Walaupun Indonesia pernah dijuluki sebagai salah satu dari
delapan negara di Asia sebagai Asian Miracle atau negara Asia yang
ajaib, karena tingkat pertumbuhan ekonominya yang cukup mantap
selama tiga dasa warsa, tetapi ternyata sangat rentan dengan
terjadinya supply shock. Krisis mata uang Bath di Thailand,
ternyata dengan cepat membawa Indonesia dalam krisis ekonomi yang
serius dan dalam waktu yang amat singkat, ekonomi Indonesia
runtuh.
Fakta ini menunjukkan kepada kepada kita, bahwa konsep dan
strategi pembangunan ekonomi yang berhasil diterapkan di suatu
negara, belum tentu akan berhasil bila diterapkan di negara lain.
Teori pertumbuhan Harrod-Domar, teori pertumbuhan Rostow, teori
pertumbuhan David Romer, teori pertumbuhan Solow, dibangun dari
struktur masyarakat pelaku ekonomi yang berbeda dengan struktur
ekonomi masyarakat Indonesia. Setiap teori selalu dibangun dengan
asumsi-asumsi tertentu, yang tidak semua negara memiliki
syarat-syarat yang diasumsikan. Itulah sebabnya, untuk membangun
ekonomi Indonesia yang kuat, stabil dan berkeadilan, tidak dapat
menggunakan teori generik yang ada. Kita harus merumuskan konsep
pembangunan ekonomi sendiri yang cocok dengan tuntutan politik
rakyat, tuntutan konstitusi kita, dan cocok dengan kondisi obyektif
dan situasi subyektif kita.
2. Tuntutan Konstitusi
Walaupun rumusan konstitusi kita yang menyangkut tata ekonomi
yang seharusnya dibangun, belum cukup jelas sehingga tidak mudah
untuk dijabarkan bahkan dapat diinterpretasikan bermacam-macam
(semacam ekonomi bandul jam, tergantung siapa keyakinan ideologi
penguasanya); tetapi dari analisis historis sebenarnya makna atau
ruhnya cukup jelas. Ruh tata ekonomi usaha bersama uang berasas
kekeluargaan adalah tata ekonomi yang memberikan kesempatan kepada
seluruh rakyat untuk berpartisiasi sebagai pelaku ekonomi. Tata
ekonomi yang seharusnya dibangun adalah bukan tata ekonomi yang
monopoli atau monopsoni atau oligopoli. Tata ekonomi yang dituntut
konstitusi adalah tata ekonomi yang memberi peluang kepada seluruh
rakyat atau warga negara untuk memiliki aset dalam ekonomi
nasional. Tata ekonomi nasional adalah tata ekonomi yang membedakan
secara tegas barang dan jasa mana yang harus diproduksi oleh
pemerintah dan barang dan jasa mana yang harus diproduksi oleh
sektor private atau sektor non pemerintah. Mengenai bentuk
kelembagaan ekonomi, walaupun dalam penjelasan pasal 33
dinterpretasikan sebagai bentuk koperasi, tetapi tentu harus
menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan.
3. Fakta Empirik
Dari krisis moneter yang berlanjut ke krisis ekonomi dan
kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar, ternyata tidak sampai
melumpuhkan perekonomian nasional. Bahwa akibat krisis ekonomi,
harga kebutuhan pokok melonjak, inflasi hampir tidak dapat
dikendalikan, ekspor menurun (khususnya ekspor produk manufaktur),
impor barang modal menurun, produksi barang manufaktur menurun,
pengangguran meningkat, adalah benar. Tetapi itu semua ternyata
tidak berdampak serius terhadap perekonomian rakyat yang sumber
penghasilannya bukan dari menjual tenaga kerja.
Usaha-usaha yang digeluti atau dimiliki oleh rakyat banyak yang
produknya tidak menggunakan bahan impor, hampir tidak mengalami
goncangan yang berarti. Fakta yang lain, ketika investasi nol
persen, bahkan ternjadi penyusutan kapital, ternyata ekonomi
Indonesia mampu tumbuh 3,4 persen pada tahun 1999. Ini semua
membuktikan bahwa ekonomi Indonesia akan kokoh kalau pelaku ekonomi
dilakukan oleh sebanyak-banyaknya warga negara.
4. Kegagalan Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi yang telah kita laksanakan selama 32 tahun
lebih, dilihat dari satu aspek memang menunjukkan hasil-hasil yang
cukup baik. Walaupun dalam periode tersebut, kita menghadapi 2 kali
krisis ekonomi (yaitu krisis hutang Pertamina dan krisis karena
anjloknya harga minyak), tetapi rata-rata pertumbuhan ekonomi
nasional masih di atas 7 persen pertahun. Pendapatan perkapitan
atau GDP perkapita juga meningkat tajam dari 60 US dolar pada tahun
1970 menjadi 1400 US dolar pada tahun 1995. Volume dan nilai
eksport minyak dan non migas juga meningkat tajam. Tetapi pada
aspek lain, kita juga harus mengakui, bahwa jumlah penduduk miskin
makin meningkat, kesenjangan pendapatan antar golongan penduduk dan
atar daerah makin lebar, jumlah dan ratio hutang dengan GDP juga
meningkat tajam, dan pemindahan pemilikan aset ekonomi dari rakyat
ke sekelompok kecil warga negara juga meningkat.
Walaupun berbagai program penanggulangan kemiskinan telah kita
dilaksanakan, program 8 jalur pemerataan telah kita canangkan,
tetapi ternyata semuanya tidak mampu memecahkan masalah-masalah
dimaksud. Oleh sebab itu, yang kita butuhkan saat ini sebenarnya
bukan program penanggulangan kemiskinan, tetapi merumuskan kembali
strategi pembangunan yang cocok untuk Indonesia. Kalau strategi
pembangunan ekonomi yang kita tempuh benar, maka sebenarnya semua
program pembangunan adalah sekaligus menjadi program penanggulangan
kemiskinan.
B. Tujuan Penguatan Ekonomi KerakyatanTujuan yang akan dicapai
dari penguatan ekonomi kerakyatan adalah untuk melaksanakan amanat
konstitusi, khususnya mengenai: (1) perwujudan tata ekonomi yang
disusun sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan yang
menjamin keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia
(pasal 33 ayat 1), (2) perwujudan konsep Trisakti (berdikari di
bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian di
bidang kebudayaan), (3) perwujudan cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup rakyat banyak
dikuasai negara (pasal 33 ayat 2), dan (4) perwujudan amanat bahwa
tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak (pasal 27 ayat 2). Adapun tujuan khusus yang akan dicapai
adalah untuk:
1. Membangun Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat
secara politik, dan berkepribadian yang berkebudayaan
2. Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
3. Mendorong pemerataan pendapatan rakyat
4. Meningkatkan efisiensi perekonomian secara nasional
C.Konsideran Akademis C.1. Batasan Pengertian
Kita perlu membedakan antara ekonomi rakyat, ekonomi kapitalis
liberal, ekonomi sosialis komunis, ekonomi kerakyatan, dan ekonomi
pemerintah. Terminologi ekonomi rakyat hanya untuk membedakan
ekonomi pemerintah atau ekonomi publik. Ekonomi rakyat atau ekonomi
barang private adalah ekonomi positif, yang menjelaskan bagaimana
unit-unit produksi mengkombinasikan faktor-faktor produksi untuk
menghasilkan barang private dan jasa private dan mendistribusikan
barang dan jasa dimaksud pada konsumen, sehingga diperoleh
ketuntungan yang maksimal bagi produsen, biaya yang minimal bagi
produsen, dan utility yang maksimal bagi konsumen.
Tata Ekonomi rakyat yang tidak mempermasalahkan keadilan baik
pada proses produksi maupun pada proses distribusi, ini dalam
terminologi politik ekonomi disebut sebagai ekonomi kapitalis
liberal. Dalam ekonomi kapitalis liberal, tidak dipermasalahkan,
apakah aset ekonomi hanya dimiliki oleh puluhan orang atau jutaan
orang. ekonomi kapitalis liberal juga tidak mempermasalahkan,
apakah barang dan jasa private hanya dinikmati oleh sedikit warga
negara atau dinikmati oleh sebanyak-banyaknya warga negara. Oleh
sebab itu dalam ekonomi kapitalis liberal terbentuk dua kelompok
masyarakat, yaitu masyarakat pekerja yang hidupnya hanya dari upah
menjual tenaga kerja dan ada masyarakat pemilik modal yang
jumlahnya sedikit tetapi memiliki aset ekonomi nasional. Dalam tata
ekonomi kapitalis liberal, diyakini bahwa keadilan dan
kesejahteraan masyarakat dapat tercipta melalui mekanisme pasar.
Ada invisible hand yang akan menciptakan keadilan dan pemerataan.
Invisible hand ini adalah kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum yang
ada dalam pasar. Oleh sebab itu tidak diperlukan intervensi
pemerintah dalam perekonomian barang private. Tugas pemerintah
hanyalah bagaimana menjamin mekanisme pasar berjalan dan
menyediakan barang dan jasa publik.
Tata ekonomi kapitalis liberal ini pada tahap awal
(prakapitalis), dianggap sebagai tata ekonomi yang tidak
berkeadilan dan sulit diterima secara moral. Mekanisme pasar dengan
kekuatan invisble hand yang dapat menjamin pemerataan dan keadilan
ekonomi masyarakat ternyata mengalami kegagalan. Oleh sebab itu
muncul antitesis dari tata ekonomi kapitalis liberal yaitu tata
ekonomi etatisme atau sosialis komunis. Proses produksi dan
distribusi harus diatur oleh pemerintah (yang diasumsikan tidak
memiliki interest) untuk menjamin pemerataan dan keadilan. Dalam
tata ekonomi ini, diyakini hanya pemerintah sebagai representasi
rakyat, yang tidak memiliki interest, yang dapat menjamin kedailan
baik dalam proses produksi maupun proses distribusi.
Lalu dimana posisi ekonomi kerakyatan?. Ekonomi kerakyatan
adalah watak atau tatanan ekonomi rakyat, sama halnya dengan
ekonomi kapitalis liberal atau ekonomi sosialis komunis, adalah
watak atau tatanan ekonomi. Ekonomi kerakyatan adalah watak atau
tatanan ekonomi dimana, pemilikan aset ekonomi harus
didistribusikan kepada sebanyak-banyaknya warga negara.
Pendistribusian aset ekonomi kepada sebanyak-banyaknya warga negara
yang akan menjamin pendistribusian barang dan jasa kepada
sebanyak-banyaknya warga negara secara adil. Dalam pemilikan aset
ekonomi yang tidak adil dan merata, maka pasar akan selalu
mengalami kegagalan, tidak akan dapat dicapai efisiensi yang
optimal (Pareto efficiency) dalam perekonomian, dan tidak ada
invisible hand yang dapat mengatur keadilan dan kesejahteraan.
Pemilikan aset ekonomi oleh sebagian besar warga negara tidak
dapat diwakilkan oleh lembaga pemerintah. Fakta empirik menunjukkan
bahwa pemerintah gagal memposisikan sebagai wakil rakyat yang tidak
memiliki interest dan gagal dalam merubah barang private sebagai
barang publik. Oleh sebab itu, dalam ekonomi kerakyatan, tetap
menempatkan pemerintah sebagai penyedia barang publik dan jasa
publik. Intervensi pemerintah dalam ekonomi rakyat hanya diperlukan
untuk menjamin mekanisme distribusi aset terjadi melalui mekanisme
pasar.
Ekonomi kerakyatan tidak bermakud mempertentangkan ekonomi besar
dengan ekonomi kecil. Persoalan ekonomi kerakyatan bukan
mempertentangkan antara wong cilik dengan wong gedhe. Ekonomi
kerakyatan bukan bagaimana usaha kecil, menengah, dan usaha mikro
dilindungi. Ekonomi kerakyatan bukan ekonomi belas kasihan, bukan
ekonomi penyantunan kepada kelompok masyarakat yang kalah dalam
persaingan. Tetapi ekonomi kerakyatan adalah tatanan ekonomi dimana
aset ekonomi dalam perekonomian nasional didistribusian kepada
sebanyak-banyaknya warga negara. Secara definisi ekonomi kerakyatan
adalah:
(1) Tata ekonomi yang dapat memberikan jaminan pertumbuhan out
put perekonomian suatu negara secara mantap dan berkesinambungan,
dan dapat memberikan jaminan keadilan bagi rakyat.
(2) Tata ekonomi yang dapat menjamin pertumbuhan out put secara
mantap atau tinggi adalah tata ekonomi yang sumber daya ekonominya
digunakan untuk memperoduksi jasa dan barang pada tingkat pareto
optimum. Tingkat pareto optimum adalah tingkat penggunaan
faktor-faktor produksi secara maksimal dan tidak ada faktor
produksi yang nganggur atau idle.
(3) Tata ekonomi yang dapat menjamin pareto optimum adalah tata
ekonomi yang mampu menciptakan penggunaan tenaga kerja secara penuh
(full employment) dan mampu menggunakan kapital atau modal secara
penuh.
(4) Tata ekonomi yang dapat memberikan jaminan keadilan bagi
rakyat adalah tata ekonomi yang pemilikan aset ekonomi nasional
terdistribusi secara baik kepada seluruh rakyat, sehingga sumber
penerimaan (income) rakyat tidak hanya dari penerimaan upah tenaga
kerja, tetapi juga dari sewa modal dan deviden. Secara ekonomis,
dalam perekonomian kerakyatan, model income masyarakat adalah
sebagai berikut:. Dimana adalah income individu anggota masyarakat,
adalah penerimaan dari upah tenaga kerja, adalah penerimaan dari
deviden atau bagi hasil sisa usaha, adalah tingkat sewa modal
(misalnya bunga deposito), dan adalah jumlah tabungan atau
endowment yang disewakan. Dengan demikian dalam tata ekonomi
kerakyatan, masyarakat bukan hanya sebagai buruh dalam perekonomian
tetapi juga pemilik atau memiliki saham di sektor produksi.
Kalau ada ekonomi rakyat, maka ada ekonomi pemerintah. Ekonomi
pemerintah, adalah ekonomi normatif, yang mengkaji bagaimana
pemerintah menetapkan sumber dan besarnya penerimaan (tax),
memproduksi barang publik dan jasa publik, dan mengalokasikan
sumber daya publik (APBN, APBD) untuk memilih barang publik dan
jasa publik yang harus diproduksi, sesuai arpirasi politik rakyat.
Problem yang harus dipecahkan dalam ekonomi pemerintah adalah
bagaimana mencapai kesejahteraan masyarakat yang paling maksimal
(maximization of welfare), bagaimana meningkatkan revenew yang
tidak menimbulkan distorsi dalam perekonomian, bagaimana mengelola
sumber daya publik (fiscal policy dan monetary policy) yang dapat
menjamin kestabilan perekonomian, dan bagaimana mengalokasikan
sumber daya yang dapat menjamin keadilan dan pemerataan.
C.2. Ekonomi Kerakyatan dan Kegagalan Pasar
Bagan 1: hubungan antara pemerintah, sektor swasta, dan
masyarakat dalam perekonomian
Dalam tata ekonomi yang modern, peranan pemerintah dalam
perekonomian sangat minimal. Alasannya, intervensi pemerintah yang
berlebihan dalam perekonomian lebih banyak menimbulkan distrosi
pasar, sehingga perekonomian tidak pernah mencapai kondisi pareto
optimum. Peran pemerintah dalam perekonomian modern adalah sebatas
sebagai stabilisator, peran alokasi, dan peran distribusi. Melalui
pengaturan fiskal dan kebijakan moneter, pemerintah bersama bank
sentral menjaga stabilitas perekonomian dari supply shock, seperti
inflasi, ledakan pengangguran, fluktuasi nilai tukar rupiah, suku
bunga, dll.
Melalui kewenangan pengaturan dan kebijakan fiskal, pemerintah
harus menjamin pengalokasian sumber daya ekonomi untuk mencapai
pareto optimum. Melalui kewenangan yang dimiliki, pemerintah juga
harus menjamin terbangunnya distribusi pendapatan masyarakat dan
tidak terjadinya kesenjangan ekonomi.
Melalui bagan ini, dapat dijelaskan, bahwa peran pemerintah
dalam perekonomian adalah: (1) menyediakan barang dan jasa publik,
(2) mengelola dana publik (penerimaan tax) untuk memproduksi barang
publik dan jasa publik, (3) mengatur agar pasar input berjalan
sempurna atau meminimasi terjadi distrosi pasar input dan mengatur
agar pasar output berjalan sempurna atau meminimasi terjadinya
distrosi pasar output.
Private sector membeli input (tenaga kerja dan modal) untuk
memproduksi barang dan jasa private. Barang dan jasa private ini
akan dibeli oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat membeli
barang dan jasa private dari hasil upah dan hasil sewa modal. Bila
pasar berjalan sempurna, maka akan selalu terjadi market clearing
baik di pasar input maupun di pasar output.
Di Indonesia, yang terjadi tidak demikian. Produsen barang dan
jasa private jumlahnya terbatas. Yang memproduksi 78,5 persen
output nasional dalam bentuk barang dan jasa private hanya oleh 200
orang warga negara. Sedang 21,5 persen output nasional diproduksi
oleh jutaan orang warga negara memalui usaha mikro, usaha kecil dan
menengah. Sementara 89,5 persen tenaga kerja yang ditawarkan di
pasar input dibeli oleh 99,5 persen produsen yang outputnya hanya
21,5 persen. Sedang hanya10,5 persen tenaga kerja yang dibeli oleh
0,5 persen produsen yang outputnya 78,5 persen. Sebaliknya, modal
yang pergunakan oleh 0,5persen produsen mencapai sekitar 85 persen
dari dari modal yang ada dalam perekonomian, dan tidak lebih dari 7
persen modal yang dipergunakan oleh 95,5 persen produsen. Dalam
situasi yang demikian, maka diduga kuat:
(1) Tidak pernah terjadi market clearing baik di pasar input
maupun di pasar output,
(2) Ada modal yang idle (nganggur) dalam perekonomian,
(3) Ada tenaga kerja yang idle dalam perekonomian,
(4) Perekonomian tidak efisien,
(5) Perekonomian tidak memproduksi barang dan jasa sesuai
kapasitas yang dimiliki, dan
(6) Terjadi kesenjangan ekonomi antar golongan penduduk yang
amat lebar.
Situasi ini akan terus makin memburuk, sebab dengan income yang
rendah pada sebagian besar rakyat, maka seluruh atau sebagian besar
income akan dihabiskan untuk konsumsi. Tidak ada saving. Dengan
share output yang kecil dari 99,5 persen produsen yang banyak
digeluti rakyat, maka di sektor ini akumulasi kapital juga tidak
akan terjadi, kalaupun terjadi sangat lamban. Artinya, aset ekonomi
nasional yang dimiliki oleh sebagian besar rakyat sangat kecil.
Itulah sebabnya, mengapa tingkat pengangguran di Indonesia sangat
tinggi, jumlah penduduk miskinnya amat tinggi, upah tenaga kerjanya
amat rendah. Jadi persoalan pokok yang dihadapi dalam perekonomian
Indonesia saat ini adalah pertama pemilikan aset ekonomi oleh
sebagian besar rakyat yang sangat sangat kecil, sedang sebagian
kecil rakyat menguasai aset ekonomi yang sangat besar. Inilah yang
menyebabkan pasar atau tangan Tuhan tidak berjalan sebagaimana
mestinya, yang menyebabkan perekonomian nasional tidak efisien,
yang menyebabkan trickle down effect tidak berjalan, dan yang
menyebabkan kemiskinan secara masip.
Problem kedua adalah problem di ekonomi barang publik atau
ekonomi publik yang dijalankan pemerintah. Keputusan jenis barang
publik dan jasa publik adalah keputusan politik. Karena lemahnya
sebagian besar rakyat di bidang ekonomi, maka posis tawar dalam
kebijakan politik juga lemah (ini fakta empirik). Akibatnya, barang
publik dan jasa publik yang diproduksi pemerintah tidak sesuai
dengan aspirasi sebagian besar rakyat. Barang publik dan jasa
publik yang diproduksi pemerintah adalah barang publik dan jasa
publik yang tidak menguntungkan bagi sebagian besar rakyat, tetapi
menguntungkan sebagian kecil rakyat.
Problem yang ketiga adalah problem di kebijakan publik. Seperti
disebut dimuka, bahwa pemerintah memiliki tiga kewenangan dalam
perekonomian, yaitu kewenangan atau fungsi alokasi, fungsi
distribusi, dan fungsi stabilisasi. Karena sebagian besar rakyat
tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dan tidak memiliki akses
dalam proses pengambilan keputusan publik, maka fungsi alokasi dan
fungsi distribusi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Bertolak dari tiga persoalan besar tersebut, maka ruh dari
ekonomi kerakyatan adalah: bagaimana pemerintah dapat menjalankan
fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi (atau
bagaimana kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan kebijakan di
sektor riil dijalankan), sehingga distribusi aset ekonomi kepada
sebagian besar rakyat dapat terjadi tanpa mendistorsi pasar.
C.3. Ekonomi Kerakyatan dengan Pertumbuhan Ekonomi
Output nasional (Q) dapat berupa jasa dan barang. Q nasional
adalah akumulasi dari jutaan Q yang diproduksi penduduk, baik yang
dilakukan melalui unit-unit produksi skala besar, unit-unit
produksi skala menengah, sekala kecil, maupun skala keluarga.
adalah output yang diproduksi oleh unit-unit produksi skala
besar, yang pada umumnya memiliki fleksibilitas luas dalam memilih
kombinasi antar faktor produksi. Problemnya adalah bagaimana
memilih bundle faktor yang memaksimalkan profit dan atau
meminimalkan biaya. Jumlah unit produksi skala besar ini tidak
terlalu banyak, tetapi memiliki atau menguasai faktor produksi
(khususnya modal dan teknologi) nasional secara masib. Share dari
unit produksi skala besar ini cukup dominan dalam output nasional.
Produktivitas tenaga kerja di unit produksi ini sangat tinggi,
tetapi jumlah tenaga kerja yang ada di unit produksinya hanya
kurang lebih 10 persen dari jumkah tenaga kerja yang ditawarkan di
pasar tenaga kerja.
Sedang dan , masing-masing adalah unit produksi skala menengah,
kecil, dan skala keluarga atau mikro. Unit produksi ini jumlahnya
banyak mencapa 99,5 persen dari unit produksi total. Unit produksi
ini share-nya terhadap output nasional hanya kurang lebih 21 persen
dari total output nasional. Problem yang dihadapi oleh unit
produksi ini lebih kompleks dibanding unit produksi skala besar.
Fleksibilitas untuk memilih bundle faktor produksi sangat sempit,
karena unit produksi ini menghadapi keterbatasan modal,
keterbatasan teknologi, dan keterbatasan tenaga kerja yang rendah
kualitasnya. Efisiensi di unit produksi ini sangat rendah.
Produktivitas tenaga kerja di unit produksi ini juga lebih rendah
bila dibanding unit produksi skala besar.
Secara nasional, model produksi dalam perekonomian kita saat ini
adalah , dimana (lebih kecil dibanding , , dan . Mengapa jumlah
vektor faktor teknologi lebih rendah dari faktor teknologi yang
seharusnya, karena di unit-unit skala rumah tangga dan unit unit
skala kecil dan menengah tidak mampu melakukan investasi di bidang
teknologi. Mengapa jumlah kapital yang digunakan dalam perekonomian
lebih kecil dibanding kapital yang ada dalam perekonomian, karena
ada diskriminasi lembaga keuanga dalam melaksanakan fungsi
intermediat. Untuk menjelaskan bagaimana diskriminasi ini terjadi,
periksa berikut ini:
0
Total permintaan uang untuk produksi sebenarnya , tetapi jumlah
uang yang ditawarkan oleh lembaga perbankan hanya L, sehingga
terjadi excces demand sebesar (OL-OLT ). Kelebihan permintaan ini
terjadi karena unit produksi skala keluarga dan skala kecil dan
menengah, tidak dilayani oleh lembaga keuangan bank. Kelebihan
permintaan ini selanjutnya diisi oleh lembaga keuangan non bank
(rentenir, pengijon, dan sejenisnya). Mengapa bank tidak bersedia
memenuhi permintaan uang kepada unit-unit produksi skala keluarga,
skala kecil, dan skala menengah, karena unit-unit skala keluarga,
skala kecil, dan skala menengah ini pada umumnya tidak memiliki
kolateral, sehingga resiko default (macet) yang dihadapi bank cukup
besar. Fenomena ini dapat dijelaskan secara matematik sebagai
berikut:
Menurut logika perbankan, karena unit produksi besar memiliki
kolateral dan faktor ketidak-pastiannya kecil, maka dianggap
peluang kredit kembali adalah 1 atau tidak default. Sebaliknya unit
produksi keluarga, unit produksi kecil, dan menengah, karena tidak
memiliki kolateral dan faktor uncertenty-nya besar, maka peluang
kredit yang diberikan akan kembali tidak 1 atau ada resiko default.
Padahal bagi bank, kalau bank memberikan kredit kepada unit
produksi besar maupun kepada unit produksi skala keluarga dan kecil
sebesar L, keuntungan yang diharapkan sama. Oleh sebab itu, menurut
perhitungan bank, bank hanya layak memberikan kredit kepada unit
produksi skala keluarga, skala kecil, dan skala menengah, bila unit
produksi skala keluarga, kecil dan menengah tersebut bersedia
membayar bunga sebesar r. secara moral dan secara politis, bank
tidak mungkin memberlakukan tingkat bunga yang diskriminatif kepada
unit produksi skala keluarga, skala kecil, dan skala menengah. Oleh
sebab itu, yang paling aman bagi bank adalah tidak memberikan
kredit kepada unit produksi skala keluarga, skala kecil, dan skala
menengah (bila tanpa kolateral). Jadi, kesimpulannya pasar uang
tidak dapat dibiarkan berjalan sendiri. Sebab pada kasus di
Indonesia, pasar uang mengalami kegagalan, dan akibatnya terjadi
modal yang idle dalam perekonomian.
Kegagalan pasar tidak saja terjadi di pasar uang, tetapi juga di
pasar tenaga kerja. Menurut kaum ortodok atau ekonom klasik,
tingkat pengangguran ditentukan oleh naik turunnya suku bunga.
Sebab tingkat suku bunga bank akan menentukan naik turunnya
investasi. Pada tingkat bunga rendah, maka investasi akan meningkat
dan akibatnya permintaan tenaga kerja akan meningkat, sehingga
tingkat pengangguran akan menurun. Artinya full employment akan
terjadi dengan sendirinya melalui kekuatan pasar. tetapi kenyataan
tidak demikian. Pengangguran tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh
pasar melalui dinamika suku bunga bank. Untuk jelasnya lihat
penjelasan grafis berikut:
Tanpa campur tangan pemerintah, perekonomian akan menggunakan
tenaga kerja sebesar dengan tingkat upah . Tetapi karena ada
kebijakan upah, yaitu ketentuan upah minimum regional, yang
ditetapkan sebesar maka sektor produsen hanya menggunakan tenaga
kerja sebesar . Dengan demikian ada tenaga kerja ingin dan yang
mestinya bekerja tetapi tidak dapat bekerja sebanyak . Ini adalah
inefisiensi dalam suatu perekonomian, karena perekonomian tidak
mampu menggunakan faktor produksi labor untuk memproduksi barang
dan jasa.
Menurut teori klasik, tingkat pengangguran yang tinggi ini
dengan sendirinya akan merubah tingkat upah yang dapat diterma oleh
tenaga kerja, sehingga tenaga kerja yang diserap dalam perekonomian
akan meningkat. Mekanisme ini berjalan dengan sendirinya melalui
instrumen tingkat bunga bank. Demikian juga kalau terjadi yang
sebaliknya. Tetapi dalam praktik, ternyata tidak demikian. Dalam
dunia nyata tidak pernah terjadi upah tenaga kerja turun dan dapat
diterima oleh tenaga kerja. Artinya, pasar akan mengatur dengan
kekuatan sendiri untuk selalu menuju pada keseimbangan, tidak
pernah terjadi. Intervensi pemerintah atau bank sentral, seperti
dianjurkan Keynesian, melalui kebijakan tingkat suku bunga,
ternyata tidak selalu efektif sebagai instrumen untuk mengelola
pasar tenaga kerja atau tingkat pengangguran. Tingkat bunga rendah
tidak selalu diikuti dengan penurunan tingkat pengangguran. Sebab
tingkat bunga rendah tidak selalu mendorong investasi. Dalam
kondisi daya beli masyarakat rendah, maka investasi justru akan
mendorong terjadinya deflasi. Oleh sebab itu, yang dibutuhkan bukan
hanya instrumen moneter seperti kebijakan tingkat bunga, tetapi
harus ada shock. Redistribusi aset ekonomi kepada
sebanyak-banyaknya warga negara adalah salah satu bentuk shock.
Akses kredit yang lebih besar diberikan kepada unit produsen
milik komunal, akan mendorong investasi dan penyerapan tenaga
kerja, sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga
peningkatan barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian
tidak akan menimbulkan deflasi maupun inflasi.
Dari uraian mengenai kegagalan pasar baik di pasar uang maupun
di pasar tenaga kerja, yang dampaknya adalah terjadinya idle modal
dan idle tenaga kerja dalam perekonomian, maka akan berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi. Melalui shock dalam bentuk ekonomi
kerakyatan, maka bukan saja dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
tetapi juga dapat merubah level.
C.4. Ekonomi Kerakyatan dan Kesejahteraan
Dalam teori dan konsep pembangunan ekonomi apapun, tujuan
akhirnya adalah kesejahteraan rakyat. Melalui pertumbuhan output
yang tinggi, maka diharapkan dapat menciptaka lapangan kerja yang
luas dan meningkatkan tingkat konsumsi masyarakat, yang pada
akhirnya muaranya adalah bagaimana kesejaateraan rakyat tercapai.
Dua ukuran dari sejumlah ukuran kesejahteraan rakyat dari sisi
ekonomi adalah kemampuan rakyat untuk memenuhi kebutuhan barang dan
jasa dan ketersediaan barang dan jasa. Kemampuan rakyat untuk
memenuhi kebutuhan barang dan jasa, salah satunya diukur melalui
income(Y). Sedang ketersediaan barang dan jasa diukur dari tingkat
out put yang diproduksi dalam perekonomian. Model ekonomi dari
income individu adalah sebagai berikut:
dimana adalah income, adalah penerimaan upah, adalah penerimaan
sisa hasil usaha, adalah peneriman dari sewa faktor di luar faktor
tenaga kerja, adalah penerimaan transfer dari pemerintah, adalah
jumlah jam kerja individu, adalah jumlah anggota keluarga yang
bekerja, adalah tingkat upah yang diterima, adalah output yang
dihasilkan. Dalam kenyataan, tidak semua individu memiliki 4 sumber
income, seperti dijelaskan dalam model. Ada individu yang sumber
penerimaannya hanya dari upah tenaga kerja atau buruh, ada idividu
yang hanya memiliki sumber penerimaan dari sisa hasil usaha, ada
individu yang sumber penerimaannya hanya dari transfer (seperti
pensiunan, orang jompo), dan bahkan ada invidu yang sumber
penerimaannya hanya dari bunga tabungan atau sewa faktor modal.
Dengan demikian, ada beberapa model ekonomi yang dapat menjelaskan
beberapa tipe individu menurut sumber income-nya.
Dalam rangka penguatan ekonomi kerakyatan, dimana aset dimiliki
oleh sebanyak-banyaknya warga negara, maka sumber penerimaan atau
income masyarakat bukan hanya dari upah, tetapi juga dari sisa
hasil usaha ata deviden.. peningkatan income juga akan meningkatkan
tabungan atau peningkatan faktor modal yang dapat disewakan,
sehingga menambah income dari sumber sewa faktor. Model atau tipe
pengembangan ekonomi kerakyatan dari sisi peningkatan income adalah
model . Artinya, masyarakat yang akan kita bangun bukan masyarakat
buruh, yang sumber penghasilannya dari menjual tenaga kerja, tetapi
masyarakat pekerja yang sekaligus pemilik aset ekonomi. Dengan
demikian, ekonomi kerakyatan akan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
C.5. Ekonomi Kerakyatan dan Efisiensi Perekonomian
Dari sisi model produksi, model umum yang kita kenal adalah ,
dimana Q adalah output barang dan jasa, A adalah teknologi
produksi, K adalah modal, L adalah tenaga kerja. Selama ini hampir
di semua sektor ekonomi, khususnya di sektor hilir, model produksi
output adalah sebagai berikut:
out put nasional
output nasional yang diproduksi usaha besar
output nasional yang diproduksi Usaha mikro, kecil, dan
menengah
Rendahnya output share nasional dari usaha menengah, usaha
kecil, dan usaha mikro ini terjadi karena adanya distorsi baik di
pasar input, khususnya modal maupun di pasar output. Akibatnya
perekonomian tidak atau belum bekerja secara optimal. Resources
ekonomi belum dapat kita gunakan secara optimal dan efisien. dengan
menggunakan diagram eigenbox dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tenaga kerja
UKM
modal
USAHA BESAR
Dari diagram eigenbox diatas, tampak bahwa secara nasional
terjadi penelantaran modal (capital idle) dan tenaga kerja (labor
idle), yang tentu merugikan perekoniman secara nasional.
Penelantaran modal terjadi karena pasar modal tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Distorsi di pasar modal, menyebabkan modal
atau capital secara nasional tidak dapat dimanfaatkan secara
optimal. Jumlah modal yang dimiliki perekonomian yang idle atau
nganggur atau tidak dimanfaatkan cukup besar. Mengalirnya dana
tabungan masyarakat perdesaan yang disimpan di BRI ke kota dengan
jumlah yang cukup besar, sementara UKM di perdesaan mengalami
kesulitan likuiditas adalah contoh dari distrosi di pasar
modal.
Dengan demikian, kendala yang dihadapi UKM untuk meningkatkan
share terhadap output nasional, salah satunya karena keterbatasan
untuk memanfaatkan modal di pasar modal, selain juga karena tidak
efisiennya dalam menggunakan teknologi produksi dan rendahnya
kemampuan SDM. Dari model produksi , UKM hanya memiliki
fleksibilitas sempit dalam mengkombinasikan faktor K dan faktor L.
Penggunaan faktor L pada UKM sebenarnya sudah pada tingkat MPL sama
dengan nol. Artinya penambahan atau pengurangan tenaga kerja tidak
meningkatkan atau menurunkan output. Ini sangat tampak di sektor
pertanian rakyat.
C.6. Ekonomi Kerakyatan dan Inflasi
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah ekonomi kerakyatan tidak
menimbulkan inflasi yang meningkat. Kalau pengembangan ekonomi
kerakyatan diikuti oleh meningkatkan banyaknya uang yang dipegang
masyarakat atau meningkatkan jumlah uang beredar, tanpa diikuti
oleh meningkatnya barang dan jasa yang diproduksi, maka penguatan
ekonomi kerakyatan akan menimbulkan inflasi yang tinggi. situasi
ini akan terjadi, kalau penguatan ekonomi kerakyatan dipahami dan
atau dilakukan dengan kebijakan credit rationing kepada usaha kecil
dan menengah, tanpa diikuti oleh perubahan pola produksi.
Pada pola produksi skala kecil, fleksibilitas penggunaan K dan L
sangat terbatas, karena faktor teknologi sulit dilakukan perubahan.
Dengan demikian, walaupun UKM diberi jatah kredit yang besar,
kemampuan menyerapnya terbatas, sehingga tidak digunakan untuk
produksi tetapi untuk konsumsi atau spekulasi. Pada situasi yang
demikian, maka penguatan ekonomi kerakyatan akan mendorong inflasi
tinggi, apalagi kalau penguatan ekonomi rakyat dilakukan melalui
subsidi bunga kepada UKM, maka penurunan sewa kapital akan
meningkatkan pengangguran. Akibatnya bila pemberian subsidi pada
UKM mendorong peningkatan poduksi barang dan jasa, tetapi
meningkatkan jumlah pengangguran, maka penguatan ekonomi kerakyatan
akan mendorong inflasi meningkat.
EMBED Equation.3
Pada penguatan ekonomi kerakyatan, dimana UKM melakukan merger
menjadi unit produksi skala besar atau menengah, maka faktor
teknologi memiliki fleksibilitas yang lebar untuk dirubah. Sehingga
unit produksi rakyat akan mampu menyerap modal lebih besar bila
diberi akses kredit (tidak perlu diberi subsidi bunga maupun jatah
kredit). Pada unit Produksi rakyat skala besar atau menengah,
dengan teknologi yang efisien, selain akan menurunkan biaya
produksi juga akan meningkatkan kualitas produk, sehingga
keuntungan yang diperoleh juga akan meningkat. Keuntungan yang
diperoleh akan didistribusikan kepada masyarakat dalam bentuk
deviden, sehingga daya beli masyarakat juga meningkat. Dengan
demikian, penguatan ekonomi kerakyatan tidak akan menimbulkan
inflasi yang tinggi.
D.Konsep Operasional Ekonomi Kerakyatan: (Kebijaksanaan Moneter;
K. Fiskal; K.sektor Riil)D.1. Kebijakan Moneter
Peninjauan kembali kebijakan BLM (Grant)
Dalam rangka mengembangan usaha menengah menjadi usaha besar,
usaha kecil menjadi usaha menengah, dan usaha mikro menjadi usaha
kecil, salah satu kendala yang dihadapi adalah modal untuk
investasi dan modal untuk kerja. Karena jangkauan pasar yang masih
terbatas, teknologi yang digunakan belum efisien, dan manajemen
usaha yang belum efisien, maka resiko kegagalannya cukup tinggi.
Tingginya resiko gagal menyebabkan resiko investasinya juga besar.
Tingginya resiko investasi dan rendahnya pemilikan collateral,
menyebabkan lembaga keuangan bank kurang berminat memberi pinjaman
kepada UKM. Jumlah dana yang diberikan bank kepada UKM jauh dibawah
tingkat perintaan UKM. Kekurangan pasokan ini selanjutnya diisi
oleh lembaga kredit non bank, seperti KOSIPA, dan pengijon, dengan
tingkat bunga jauh di atas tingkat bunga pasar. Intervensi
pemerintah, melalui dana bantuan langsung ke masyarakat, seperti
dalam Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Inpres Desa Tertinggal
(IDT), dan program sejenis, ternyata kurang efektif dan kurang
efisien. Kelembagaan keuangan mikro (micro finance) yang terbentuk
dari program-program dimaksud, tingkat keberlanjutannya rendah, dan
hampir tidak mampu memecahkan permasalahan tingkat suku bunga yang
tinggi. Selain itu juga banyak menimbulkan ketergantungan kepada
pemerintah dan membutuhkan biaya delivery yang tinggi.
Dari permintaan kredit yang cukup besar dari lembaga keuangan
non bank, walaupun dengan tingkat bunga di atas bunga pasar,
membuktikan bahwa yang dibutuhkan unit produksi rakyat sebenarnya
bukan subsidi bunga dan bukan dana block grant, tetapi akses untuk
mendapatkan pinjaman ke bank.
Peninjauan Kembali Kebijakan Subsidi Bunga
Asumsi bahwa UKM membutuhkan subsidi bunga untuk mendorong
perkembangannya, ternyata tidak benar. Pemberian subsidi bunga
ternyata justru mendorong permintaan uang bukan untuk produksi
tetapi untuk konsumsi dan spekulasi. Meningkatnya permintaan uang
karena subsidi bunga ini justru akan mendorong timbulnya inflasi
yang tinggi. Tingkat bunga tinggi yang ditawarkan oleh money lender
ternyata selalu mengalami market clearing. Artinya yang dibutuhkan
Unit Produksi Rakyat, bukan subsidi bunga tetapi akses untuk
mendapatkan pinjaman di lebaga keungan bank. Untuk mendapatkan
akses ke lembaga keuangan bank, yang dibutuhkan bank adalah garansi
atau jaminan. Dengan demikian yang dibutuhkan oleh unit produksi
rakyat sebenarnya adalah jaminan pemerintah kepada bank.
D.2. Kebijakan Fiskal
Alokasi Anggaran untuk Panjaminan Kredit utuk Unit Produksi
Rakyat
Seperti telah dikemukakan, bahwa yang dibutuhkan Unit Produksi
Rakyat (UPR bukan UKM) sebenarnya bukan subsidi bunga dan bukan
dana block grant, tetapi akses untuk mendapatkan pinjaman ke bank.
Dengan demikian, intervensi yang diperlukan dari pemerintah adalah
adanya penjaminan kredit untuk UKM.
Mengapa perlu penjaminan, sebab bank adalah risk aversion
sehingga tidak berminat memberikan kredit kepada UKM yang memang
memiliki default risk tinggi. Tidak efektifnya kebijakan credit
rationing dengan mewajibkan bank menyalurkan 20 persen kredit
kepada UKM dengan subsidi bunga dari pemerintah, adalah argumentasi
yang cukup kuat tentang perlunya penjaminan pemerintah untuk kredit
UKM.
Bunga atas deposito dana penjaminan ini selanjutnya untuk biaya
fasilitasi UPR. Fasilitasi UPR ini dapat dilakukan oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat. pelibatan LSM dalam proses fasilitasi dengan
biaya dari bunga deposito ini sekaligus dapat digunakan sebagai
pembinaan LSM agar tidak digunakan oleh kepentingan asing (lembaga
donor). Sebab, ketergantungan yang begitu besar dari LSM terhadap
lembaga donor, telah membawa sebagian besar LSM menjadi alat
kepentingan politik dan kepentingan ekonomi asing.
Strategi ini, selain tidak akan membebani anggaran belanja
pemerintah yang terlalu besar, membantu penyehatan perbankan dalam
negeri, juga bagian dari pembelajaran bagi UKM untuk terbiasa
berhubungan dengan lembaga keuangan bank dan pembelajaran bagi UKM
untuk mandiri dan efisien.
Kebijakan Perpajakan
Untuk mendorong UKM bergabung (baik di sektor pertanian,
peternakan, perikanan, perdagangan, industri), maka UKM yang
bergabung menjadi UPR diberi keringanan pajak. Demikian pula kepada
perusahaan perkebunan inti rakyat yang bersedia menjual sahamnya
kepada petani plasma, sehingga menjadi UPR, diberi keringanan
pajak, baik pajak penjualan maupun pajak penghasilan.
Kebijakan Pertanahan
Lahan dalam perekonomian merupakan faktor modal yang penting.
Meningkatnya jumlah petani landless dalam 3 dekade terakhir, dan
hilangnya spesifikasi pemilikan komunal atas sumber daya hutan,
merupakan ancaman serius dalam membangun ekonomi kerakyatan. Oleh
sebab itu, perlindungan bagi masyarakat adat atas tanah ulayat,
perlindungan petani melalui sertifikasi tanah, perlu dilakukan.
Kebijakan pemerintah yang memberi kemudahan bagi masyarakat adat
untuk memperoleh hak pemilikan atas tanah ulayat, akan membantu
penguatan ekonomi rakyat.
Perusahaan Hutan Rakyat (bukan HPH tetapi mirip HPH hanya
pemilikan sahamnya adalah oleh masyarakat adat setempat), akan
dapat dibangun bila pemerintah mengakui hak pemilikan hutan ulayat.
Demikian juga Perusahaan Perkebunan Rakyat (bukan Perkebunan Inti
Rakyat, tetapi mirip PIR hanya pemilikan sahamnya oleh masyarakat
adat setempat), akan dapat dibangun bila pemerintah mengakui hak
pemilikan hutan ulayat.
D.3. Kebijakan Sektor Riil
Kebijakan Upah
Dari model ekonomi income masyarakat, salah satu sumber
pendapatan masyarakat adalah dari upah dan gaji atau .Rendah
tingginya upah dan gaji yang diterima, tergantung dari tingkat upah
perjam/bulan , lama jam kerja , dan jumlah anggota keluarga yang
bekerja . Tinggi rendahnya tungkat upah dan gaji ditentukan oleh
kualitas tenaga kerja. Kualitas tenaga kerja bukan hanya ditentukan
oleh tingat pendidikan, tetapi juga sikap mental (etos kerja,
profesionalitas, dan kedisiplinan). Lama jam kerja dan jumlah
anggota keluarga yang bekerja ditentukan oleh ketersediaan lapangan
kerja.
Kebijakan penetapan batas Upah Minimum Regional (UMR), seperti
yang selama ini digunakan pemerintah dalam melindungi kaum pekerja,
sebenarnya tidak memecahkan permasalahan ketenagakerjaan. Kebijakan
UMR justru menghambat tumbuh dan kerkembangnya UKM dan mendorong
laju pengangguran. Intervensi pemerintah secara langsung dalam
menentukan upah dan gaji pekerja, justru menimbulkan permasalahan
baru yang lebih serius, seperti pengangguran dan permasalahan
sektor informal. Perbaikan gaji dan upah, seharusnya diserahkan
melalui mekanisme pasar tenaga kerja.
Oleh sebab itu, dalam rangka penguatan ekonomi kerakyatan dari
sisi ketenagakerjaan, harus ada kebijakan baik disisi demand maupun
di sisi supply. Di sisi supply, intervensi yang dibutuhkan dari
pemerintah adalah peningkatan kualitas tenaga kerja. Sedang di sisi
demand, intervensi yang diperlukan dari pemerintah adalah perluasan
lapangan kerja. Perluasan lapangan kerja dapat dilakukan melalui
instrumen kebijakan fiskal dan moneter, penumbuh kembangkan
usaha-usaha ekonomi produktif, dan industrialisasi di perdesaan,
seperti dijelaskan pada point (1) di atas.
Untuk meningkatkan upah buruh, jalan yang aman untuk ditempuh
adalah melalui stimulus penciptaan lapangan kerja. Meluasnya
lapangan kerja akan menggeser kurve demand atau permintaan,
sehingga tingkat upah akan meningkat. Stimulan untuk menciptakan
lapangan kerja dapat ditempu h melalui peningkatan investasi.
Peningkatan investasi tidak harus menurunkan suku bunga bank,
tetapi memperluas akses unit produksi rakyat untuk memperoleh
pinjaman di lembaga keuangan bank.
Pertanian
Di sektor produksi, Problem ekonomi kerakyatan di sektor
pertanian, sektor pedagangan, sektor kehutanan, sektor
pertambangan, sektor industri, tidak sama. Dari model produksi di
sektor pertanian rakyat , problem yang dihadapi mencakup aspek
permodalan (K), aspek ketenagakerjaan (L), dan aspek teknologi
produksi (A). Pertanian rakyat dengan unit skala usaha yang
kecil-kecil (rata-rata 0,4 ha), cukup sulit untuk meningkatkan
efisiensinya. Pengadaan sarana produksi pertanian dalam jumlah
sedikit akan meningkatkan harga perunit sarana produksi, dan
akibatnya biaya produksi per unit produk menjadi tinggi. Dengan
produksi kecil dan keuntungan kecil, akan menjadi kendala untuk
terjadinya akumulasi kapital di setiap unit produksi. Akibatnya
hampir tidak pernah terjadi investasi baru di sektor ini, baik
dalam bentuk pengadaan alat-alat mekanisasi pertanian, maupun
perluasan lahan.
Dengan skala usaha kecil-kecil dengan jumlah jutaan dan tidak
ada keterkiatan antara satu dengan yang lain, menyebabkan posisi
tawar mereka baik di pasar input maupun di pasar output, sangat
lemah. Di pasar input mereka berhadapan dengan monopoli, sedang di
pasar output mereka menghadapi monopsoni. Oleh sebab itu, jalan
keluar yang relatif baik adalah melalui merger antarunit usaha
pertanian atau coorporate farming. Melalui coorporate farming (CF),
produksi pertanian dilakukan melalui unit-unit perusahaan pertanian
yang saham seluruhnya dimiliki oleh petani yang bersangkutan. Model
CF tidak saja diterapkan untuk pertanian tanaman pangan, tetapi
juga untuk perkebunan. Fakta empirik menunjukkan bahwa model
kemitraan dalam bentuk perkebunan inti rakyat, ternyata juga tidak
memberikan hasil seperti yang diharapkan.
Perdagangan
Struktur usaha di sektor perdagangan, seperti kita ketahui
bersama, terdiri dari unsur distributor, retail besar, dan retail
kecil. Perusahaan distributor pada umumnya dimiliki atau merupakan
anak perusahaan dari produsen atau dimiliki oleh perusahaan
terbatas yang pemilik bukan produsen tetapi sebagian sahamnya
dimiliki oleh produsen. Pemilikan saham di distributor dan retail
besar, pada umumnya hanya oleh sebagian kecil orang.
Dalam rangka penguatan ekonomi kerayatan, struktur pemilikan
saham di distributor dan retail besar, perlu dilakukan peninjauan
kembali. Intinya adalah, sebanyak-banyaknya warga negara harus
memiliki saham di sektor perdagangan. Bentuknya adalah,
retail-retail kecil harus membentuk koperasi. Melalui koperasi ini,
retail-retail kecil memiliki saham di retail besar dan di
distributor.
Kehutanan dan Pertambangan
Selama ini konsep bahwa bumi air dan segala isinya dikuasai
negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat ,
dipahami kekayaan alam, khususnya kekayaan hutan dan bahan galian
dikuasai negara, lalu oleh pemerintah sebagai wakil negara
mengkonsesikan kepada pihak swasta (misalnya dalam bentuk HPH,
kontrak karya), kemudian penerimaan bagi hasil dan pajak atas
eksploitasi sumber daya alam tersebut dibagi dua, sebagian
diberikan kepada pemerintah daerah dan sebagian lagi untuk
pemerintah pusat. Bagian daerah tersebut selanjutnya untuk
membiayai pembangunan di daerahnya dan bagi pusat dibagikan kepada
daerah bukan penghasil dan atau digunakan pusat untuk untuk
membiayai pembangunan nasional. Oleh sebab itu, tidak mengherankan
kalau penduduk dimana sumber daya alam itu berada, kadang-kadang
tidak merasakan manfaat atas eksploitasi sumber daya alam yang
bersangkutan. Bahkan penduduk lokal harus menanggung biaya
eksternalitas disekonomi yang ditimbulkan dari kegiatan eksploitasi
dimaksud.
Pengakuan atas pemilikan komunal terhadap sumber daya alam yang
selanjutnya melibatkan masyarakat lokal dalam eksploitasi,
merupakan pilihan kebijakan yang yang cukup baik bila ditinjau dari
aspek politik, aspek ekonomi, dan aspek keberlanjutan. Melalui
pengakuan hak kepemilikan komunal, masyarakat bersama pemerintah
secara bersama-sama dapat: (1) mengkonsesikan sepenuhnya kepada
pihak investor dengan pemilikan saham bersama antara pemerintah,
masyaakat lokal, dan investor, (2) melakukan kerja sama dengan
pihak investor dengan pola Kerja Sama Operasional (KSO), atau (3)
bersama pemerintah membentuk perusahaan yang akan mengeksploitasi
sumber daya alam yang bersangkutan (MASYARAKAT
SEKTOR SWASTA
PEMERINTAH
Idle
idle
Pemerintah
(dg garansi dalam bentuk deposito)
Bunga Deposito
Untuk biaya fasilitasi
LEMBAGA KEUANGAN
BANK
USAHA KECIL,
MIKRO, DAN
MENENGAH
Masyarakat
* Penulis adalah Staf Ahli pada Proyek Pengembangan Prasarana
Perdesaan di Bappenas, dan staf pengajar Universitas Wangsa
Manggala Yogyakarta.
Pasal 27 UUD 1945: bahwa setiap warga negara berhak untuk
mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pasal 33 1945:
bahwa ekonomi nasional disusun dalam bentuk usaha bersama yang
berasaskan kekeluargaan.
Menurut data statistik, pada tahun 1970 jumlah penduduk miskin
di Indonesia mencapai sekitar 60 juta orang. Tahun 1990 jumlah
penduduk miskin turun menjadi 27,2 juta jiwa dan pada tahun 1993
jumlah penduduk miskin turun 25,5 juta jiwa. Pada awal krisis
ekonomi yaitu tahun 1996 jumlah penduduk miskin tinggal 15,5 juta
jiwa. Perhitungan sesitivitas dari data Sesenas menunjukkan bahwa
bila batas garis kemiskinan dinaikkan dari pendapatan Rp 930
perhari untuk kota dan Rp 608 hari untuk desa, menjadi Rp 1.000,-
per hari, maka jumlah orang miskin di Indonesia akan meningkat dari
25,5 juta menjadi 77 juta. Dari 77 juta ini 67 juta adalah orang
yang tinggal di perdesaan dan 10 juta tingal di perkotaan. Bila
analisis sensitivitas ini dilanjutkan dengan melihat jumlah
penduduk Indonesia yang mengkonsumsi di bawah Rp 2.000 per hari
atau Rp 60.000,- per bulan, maka dari data Susenas tahun 1993,
jumlah orang yang hidup dengan konsumsi di bawah Rp 2.000,- per
hari mencapai 82persen penduduk Indonesia. Fakta empirik ini
setidaknya dapat digunakan sebagai acuan untuk mempertanyakan
relevansi dan efektivitas program-program khusus penganggulangan
kemiskinan. Hasil SUSENAS tahun 1996 yang dilakukan oleh BPS, dari
26 propinsi, hanya ada satu propinsi, yaitu propinsi Kalimantan
Tengah, yang jumlah penduduknya miskinnya tidak bertambah bila
dibandingkan jumlah penduduk miskin pada tahun 1993 dengan tahun
1996. Sedang di 25 propinsi lainnya jumlah penduduk miskinnya
meningkat. Kemudian kalau dilihat sebaran kabupaten yang penduduk
miskinnya meningkat, maka persentasenya mencapai 36,08persen dari
total kabupaten yang ada. Artinya, dari total kabupaten yang ada,
ada 36,08persen kabupaten yang jumlah penduduk miskinnya bertambah,
bila dibandingkan jumlah penduduk miskin tahun 1993 dengan jumlah
penduduk miskin tahun 1996. Perubahan kesenjangan pendapatan antar
golongan penduduk, dari data SUSENAS tahun 1996, ternyata
persentase kabupaten yang kesenjangan pendapatan masyarakatnya
makin buruk mencapai 50,52persen dari total kabupaten. Dari 26
propinsi (Tabel 1), hanya propinsi DKI Jakarta yang kesenjangan
pendapatan antar golongan penduduk mengalami perbaikan di semua
kota. Sedang di 25 propinsi lainnya, kesenjangan pendapatan antar
golongan penduduk justru makin buruk di beberapa kabupaten/kota. Di
Propinsi Jawa Timur misalnya, 44,44persen kabupaten, kesenjangan
pendepatan antar golongan penduduk justru makin memburuk dari tahun
1993 hingga tahun 1996.
Pada tahun 2001, resio hutang terhadap PDB telah mencapai
90persen.
Jumlah Input yang ditawarkan dan yang diminta sama jumlahnya
dalam perekonomian; atau jumlah output yang ditawarkan sama dengan
jumlah output yang dminta dalam perekonomian.
Misalnya di sektor pertanian, pada skala produksi 0,4 ha maka
tidak mungkin petani menggunakan teknologi pengolahan tanah yang
lebih efisien, menggunakan tekonolgi pemberantasan hama dan
penyakit secara efisien. sektor pertanian akan lebih efisien, kalau
skala produksinya diubah menjadi skala produksi besar.
C:\Budi Cahyono\Gado-Gado\Majalah PP\Th 2001\Edisi-25\Mardi
Yatmo Hutomo.doc
# 6
_1064178135.unknown
_1064182942.unknown
_1064183619.unknown
_1064185897.unknown
_1064353554.unknown
_1064354193.unknown
_1064358493.unknown
_1064358512.unknown
_1064353590.unknown
_1064186059.unknown
_1064188071.unknown
_1064185935.unknown
_1064185700.unknown
_1064185724.unknown
_1064183108.unknown
_1064183225.unknown
_1064183583.unknown
_1064178323.unknown
_1064182271.unknown
_1064182055.unknown
_1064182090.unknown
_1064179083.unknown
_1064182032.unknown
_1064178177.unknown
_1064178195.unknown
_1064178152.unknown
_1060937579.unknown
_1063892114.unknown
_1064176837.unknown
_1064177892.unknown
_1064177923.unknown
_1064177816.unknown
_1064177849.unknown
_1064176779.unknown
_1060972516.unknown
_1063891705.unknown
_1063892090.unknown
_1061020244.unknown
_1063891454.unknown
_1060972542.unknown
_1060972341.unknown
_1060972436.unknown
_1060938597.unknown
_1060766729.unknown
_1060766869.unknown
_1060767683.unknown
_1060768934.unknown
_1060769517.unknown
_1060773310.unknown
_1060937553.unknown
_1060769599.unknown
_1060769381.unknown
_1060769454.unknown
_1060768754.unknown
_1060766928.unknown
_1060767025.unknown
_1060767659.unknown
_1060766904.unknown
_1060766803.unknown
_1060766839.unknown
_1060766769.unknown
_1060551738.unknown
_1060551815.unknown
_1060766687.unknown
_1060551779.unknown
_1060551683.unknown
_1060551713.unknown
_1060551662.unknown