PERANAN TOKOH ADAT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT DI DESA LONG TEMUYAT KECAMATAN KAYAN HULU KABUPATEN MALINAU PROVINSI KALIMANTAN UTARA SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata I Oleh: NELSON BILUNG NIM. 1202025163 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA
186
Embed
eJournal Ilmu Pemerintahan ... · Web view2021/04/21 · Adat adalah wujud dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan (Koentjaraningrat, 2009:19). Adat merupakan suatu
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERANAN TOKOH ADAT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
TANAH ULAYAT DI DESA LONG TEMUYAT KECAMATAN
KAYAN HULU KABUPATEN MALINAU
PROVINSI KALIMANTAN UTARA
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Strata I
Oleh:
NELSON BILUNG
NIM. 1202025163
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
ABSTRAK
Nelson Bilung, 2019. Peranan Tokoh Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Di Desa Long Temuyat Kecamatan Kayan Hulu Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Utara. Dibawah bimbingan Dr. Erwin Resmawan, M.Si selaku Pembimbing I dan Nur Hasanah, S.Sos, M.Si, selaku Pembimbing II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan tokoh adat dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat dan faktor yang menjadi penghambat dan pendukung tokoh adat dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat di Desa Long Temuyat Kecamatan Kayan Hulu Kabupaten Malinau. Jenis penelitian berupa deskriptif dengan melakukan pendekatan kualitatif, dengan informan sebanyak 7 orang menggunakan teknik Purposive Sampling. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif yaitu mendeskripsikan serta menganalisis data yang diperoleh.Hasil penelitian menunjukan bahwa peranan Kepala Adat desa Long Temuyat sebagai motivator dengan memberikan pencerahan kepada pihak yang melakukan sengketa, selanjutnya sebagai mediator bersikap netral tidak berat sebelah, sebagai pendamai yang menawarkan sebuah solusi kepada pihak yang bersengketa dan sebagai pengambil keputusan adat, kemudian sebagai fasilitator dengan memberikan jalan keluar dalam memfasilitasi permasalahan sengketa tanah ulayat sudah sangat baik, dengan melakukan upaca adat sebagai usaha menyelesaikan konflik sengketa tanah ulayat yang terjadi. Sedangkan yang menjadi faktor penghambat yaitu faktor internal yang disebabkan oleh faktor temperamen, tingkat pendidikan, kedisiplinan, serta ketidakjelasan batas-batas tanah dan faktor eksternal yang berasal dari pihak ketiga baik yang berasal dari keluarga masyarakat dan faktor pendukung berupa upacara adat untuk menyelesaikan sengketa tanah di Desa Long Temuyat Kecamatan Kayan Hulu Kabupaten Malinau.Kata Kunci : Peranan, Tokoh Adat, Penyelesaian, Sengketa, Tanah Ulayat
RIWAYAT HIDUP
NELSON BILUNG, lahir di Nawang Baru pada tanggal 09
Juli 1993, adalah anak ketiga dari lima bersaudara pasangan
Bapak Bilung dan Ibu Ester Ngang. Jenjang pendidikan
mulai ditempuh pada tahun 2012.
Sekolah Dasar di SDN 002 Long Temuyat, melanjutkan pendidikan Sekolah
Menengah Pertama di SMPN 2 Kyan Hulu. Setelah itu penulis melanjutkan
pendidikan di Sekolah Menengah Negeri 2 Kayan Hulu.
Penulis memulai jenjang pendidikan di Perguruan Tinggi pada tahun 2012 dan
diterima sebagai Mahasiswa di Universitas Mulawarman, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Program Studi Strata 1 (S1) Ilmu Pemerintahan masuk jalur
SMPTN. Kemudian dalam rangka melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi di
Universitas Mulawarman, maka pada bulan April sampai dengan bulan Juni 2016
penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kantor Kelurahan
Temindung Permai.
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati, penyusun mengucapkan puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa atas Berkah dan Rahmat-Nya, sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan
gelar Strata 1 (S1) pada program studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman.
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang
mendalam kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Masjaya, M.Si selaku Rektor Universitas Mulawarman
yang telah menerima saya menjadi mahasiswa Universitas Mulawarman
Samarinda.
2. Bapak Dr. H. Muhammad Noor, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman, yang telah mengijinkan saya
untuk menimba ilmu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
3. Bapak Imam Surya, S.Sos, M.Si, selaku Koordinator Program Studi Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Mulawarman, yang telah menyetujui judul penelitian saya dan telah
memberikan pembimbing.
4. Bapak Dr. Erwin Resmawan, M.Si., selaku dosen pembimbing I dan Ibu
Nur Hasanah, S.Sos, M.Si., selaku dosen pembimbing II yang telah
mengarahkan dan membimbing penulis mulai dari persiapan dan selama
penelitian hingga selesainya skripsi ini.
5. Ibu Dr. Rita Kala Linggi, M.Si dan Bapak Dr. H. Muh. Jamal, M.Si selaku
dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan kritik demi
perbaikan skripsi penulis.
6. Bapak dan Ibu dosen Ilmu Pemerintahan yang telah memberikan ilmu
yang sangat bermanfaat bagi penulis selama menempuh pendidikan di
bangku kuliah.
7. Seluruh staf akademik Ilmu Pemerintahan yang telah membantu berbagai
tahapan semasa perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini.
8. Kepala Desa Long Temuyat Bapak Bilung Usat yang telah memberikan
ijin penelitian dan para tokoh adat serta masyarakat yang selama ini telah
membantu dalam penelitian skripsi ini.
9. Kepada Ayahanda Bilung dan Ibunda Ester Ngang, saudaraku Fery, Febry,
Feny dan Yosep, yang selalu mendoakan, mengingatkan, menasihati dan
memberikan dukungan moril dan materil, dan juga menjadi pendengar
setia selama ini.
10. Seluruh keluarga Besar Ilmu Pemerintahan angkatan 2012 yang telah
berjuang bersama-sama sejak awal masa perkuliahan.
Skripsi ini jauh dari kesempurnaan kepada semua pihak yang membaca skripsi ini
dapat memberikan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 11.1 Latar Belakang Penelitian...............................................................… 11.2 Rumusan Masalah….......................................................................… 71.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………… 71.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………. 8
BAB II KERANGKA DASAR TEORI…………………………… 92.1 Peranan…………………………………..…………………. 92.2 Tokoh Adat……………………………………………….... 15
2.3 Hukum Adat…………………………………..…………… 222.3.1 Hak Ulayat, Subyek dan Obyek Hak Ulayat………………. 232.3.2 Terjadinya Hak Ulayat…………………………………….. 272.3.3 Hak Ulayat Dalam Undang-Undang Pokok Agraria………. 282.3.4 Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat Konsepsi
dan Sistem Penguasaan Hak-Hak atas TanahMasyarakat Hukum Adat…………………………………... 34
2.3.5 Hubungan Hak Ulayat dengan Hak-hak Peseorangan……………... 34
2.4 Konsep Tanah…………………………………………...…. 362.5 Sengketa…………………………………………………..... 37
2.5.1 Sengketa Tanah dan Permasalahanny…………………….… 392.6 Teori Tentang Penyelesaian Sengketa Tana……………....... 412.7 Hak Milik Atas Tanah…………………………………...…. 442.8 Definisi Konsepsional……………………………………… 46
BAB III METODE PENELITIAN............................................................473.1 Jenis Penelitian…...........................................................................473.2 Fokus Penelitian….........................................................................47
3.3 Jenis dan Sumber Data…..............................................................483.4 Teknik Pengumpulan Data….........................................................493.5 Teknik Analisis Data….................................................................51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..........................554.1 Hasil Penelitian…..........................................................................554.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian….........................................554.1.2 Visi dan Misi Desa Long Temuyat…............................................564.1.3 Pertumbuhan Penduduk….............................................................574.1.4 Bidang Pelayanan Publik…...........................................................584.2 Pembahasan…................................................................................594.2.1 Peranan Tokoh Adat Dalam menyelesaikan sengketa...................604.2.2 Faktor penghambatdalam menyelesaikan sengketa......................72
BAB V PENUTUP...............................................................................................795.1 Kesimpulan…................................................................................855.2 Saran…...........................................................................................87
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR GAMBARNo Gambar Judul Gambar Halaman
3.1 Komponen-komponen Analisa Data Model Interaktif……… 514.1 Struktur Organisasi Pemerintah Desa Long Temuyat………. 57
DAFTAR TABEL
No Tabel Judul Tabel Halaman4.1 Jumlah Penduduk Desa Long Temuyat..........................................58
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Pedoman Wawancara
Lampiran 2 Dokumentasi Penelitian
Lampiran 3 Surat Balasan Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai kedudukan yang sangat penting.
Hal ini disebabkan hampir seluruh aspek kehidupannya terutama bagi bangsa
Indonesia tidak dapat terlepas dari keberadaan tanah yang sesungguhnya tidak
hanya dapat ditinjau dari aspek ekonomi saja, melainkan meliputi segala
kehidupan dan penghidupannya. Tanah mempunyai multiple value, maka sebutan
tanah air dan tumpah darah dipergunakan oleh bangsa Indonesia untuk
menyebutkan wilayah negara dengan menggambarkan wilayah yang didominasi
tanah, air, dan tanah yang berdaulat.
Arti penting tanah bagi manusia sebagai individu maupun negara sebagai
organisasi masyarakat yang tertinggi, secara konstitusi diatur dalam Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa : “Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Sebagai tindak lanjut dari Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan dengan bumi atau tanah,
maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Pokok Dasar Agraria yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan UUPA.
Adapun yang menjadi dasar tujuan pokok dari Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) adalah :
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional, yang
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
2
Negara dan rakyat, terutama rakyat dalam rangka masyarakat adil dan
makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-
hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 B ayat (2), dijelaskan bahwa
negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisional yang ada didalamnya, Pasal 28 I ayat (3) semakin
mempertegas tentang pengakuan negara terhadap identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional. Berdasarkan hal tersebut maka hukum adat beserta hak-
hak yang terkait dengan hukum adat telah mendapatkan tempat yang utama dalam
sistem hukum di Indonesia. Pada prinsipnya dengan pengakuan atas hukum adat
tentu terkait dengan pengakuan terhadap seluruh eksistensi hak adat yang ada.
Salah satu aspek hukum adat yang penting untuk dikaji yaitu hak atas tanah
adat terutama hak milik. Hak milik merupakan suatu hak yang terkuat dan
terpenuhi dari semua hak atas tanah yang ada. Konsep suatu hak milik adat
terbentuk dari dasar pemikiran tentang pemanfaatan dari hak tersebut berupa
kajian keilmuan dari hak milik adat.
Hak milik adat merupakan suatu hak penguasaan dan pemanfaatan atas tanah
dibentuk berdasarkan hukum adat dan kemauan masyarakat adat setempat.
Terbentuknya hak milik adat didasarkan pada pandangan hidup suatu masyarakat
adat yang disebut persekutuan hukum (Sugangga, 2008:63).
3
Sering kali karena pentingnya peran tanah dalam kehidupan manusia, tanah
menjadi objek yang rawan terhadap perselisihan atau sengketa antar manusia, hal
ini terjadi karena kebutuhan manusia akan tanah semakin meningkat, namun
persediaan tanah relatif tetap.
Suatu dimensi yuridis penguasaan tanah dan pemilikan tanah memerlukan
perlindungan, implikasinya harus terdapat perlindungan hukum terhadap hak-hak
keperdataan pemilikan tanah dan perlakuan yang adil terhadap kepemilikan tanah
tersebut. Sengketa tanah yang berlarut-larut dan tidak ada penyelesaian yang baik
dapat menyebabkan pihak yang dirugikan melakukan gugatan ke pengadilan.
Secara umum daerah Kabupaten Malinau pada awalnya sebagian besar
merupakan kawasan hutan yang banyak ditumbuhi semak belukar yang kemudian
dibuka dan digarap oleh warga atau para perantau untuk ditanami dengan tanaman
pangan terutama tanaman umbi-umbian, sagu, buah-buahan dan sebagainya.
Masyarakat tersebut dapat mempunyai hak milik atas tanah ini melalui
pembukaan tanah hutan untuk dijadikan kebun.
Di Desa Long Temuyat Kabupaten Malinau tanah milik seorang ayah
dibagikan kepada putra-putrinya bila mereka sudah menikah atau bila sang ayah
meninggal. Dalam pemahaman masyarakat terhadap tanah hak ulayat khususnya
di Kabupaten Malinau, adalah tanah adat terdiri atas tanah yang masih bersifat
komunal (dikuasai secara bersama) dan tanah adat yang sudah bersifat perorangan
yang cenderung penguasaannya dikuasai oleh perorangan (Kantor Desa Long
Temuyat, 2018).
4
Dengan berjalannya waktu demi memberikan kepastian status kepemilikan
atas bidang tanah yang digarapnya maka kepada penggarap tanah diberikan surat
tanda kepemilikan tanah yang berupa “alas hak” tanah yang dibuat atau
dikeluarkan oleh Kelurahan yang diketahui kepada Kepala Distrik (Kecamatan),
dan berfungsi sebagai surat tanda bukti kepemilikan tanah.
Upaya penyelesaian sengketa yang tanah ulayat yang terjadi di dalam suatu
persekutuan segenap pihak menangani permasalahan tersebut dengan cara
bermusyawarah dengan dibantu oleh kepala adat sebagai hakim penengah dan
hakim pendamai yang akan membantu kedua belah pihak mengambil keputusan
dan mengembalikan keseimbangan dalam persekutuan.
Peran kepala adat adalah cara bagaimana mengetahui upaya yang dilakukan
kepala adat dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat yang terjadi. Tujuannya
adalah untuk mengetahui peranan kepala adat dalam penyelesaian sengketa tanah
ulayat, untuk mengetahui penyebab terjadinya sengketa tanah ulayat dan
hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam upaya penyelesaian sengketa
yang terjadi.
Sengketa tanah kerap terjadi terlebih di pertengahan bulan Juli tahun 2018
tepatnya tanggal 15 Juli 2018 terkait hal kepemilikan dan penguasaan tanah.
Sengketa yang sering kali muncul di daerah tersebut adalah sengketa perdata yang
berkenaan dengan masalah tanah di antara warganya dalam hal pemilikan dan
penguasaan tanah. Sengketa-sengketa tersebut bersumber dari tanah-tanah hak
ulayat, atau obyeknya hak ulayat. Di sisi lain pernah terjadinya sengketa perdata,
sengketa antar masyarakat adat dengan obyek tanah ulayat yaitu mengenai
5
sengketa pengadaan tanah untuk lokasi permukiman transmigrasi oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Malinau.
Dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi tersebut mereka
mempunyai cara sendiri yang mereka anggap lebih efektif. Meskipun telah ada
lembaga pengadilan yang disediakan oleh Pemerintah untuk menyelesaikan
sengketa yang timbul, mereka memilih cara lain yaitu melalui penyelesaian di luar
pengadilan atau non litigasi.
Penyelesaian non litigasi dipilih oleh masyarakat dengan alasan dari segi
waktu yang relatif lebih cepat dapat terwujud, biaya murah,dan penyelesaian
masalah dilakukan dengan cara damai yaitu melalui musyawarah. Secara historis,
kultur masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan kosensus.
Pengembangan hukum adat di Indonesia tampaknya lebih kuat dibandingkan
alasan ketidak efisien proses peradilan. Proses penyelesaian melalui hukum adat
bukanlah suatu yang baru dalam nilai-nilai budaya bangsa kita yang berjiwa
kooperatif.
Upaya penyelesaian sengketa yang tanah ulayat yang terjadi di dalam suatu
persekutuan segenap pihak menangani permasalahan tersebut dengan cara
bermusyawarah dengan dibantu oleh kepala adat sebagai hakim penengah dan
hakim pendamai yang akan membantu kedua belah pihak mengambil keputusan
dan mengembalikankeseimbangan dalam persekutuan.
Tokoh yang sering konflik sengketa tanah adalah dari masyarakat itu sendiri
saat ingin melakukan jual beli dengan pihak lain, bahkan antara pihak keluarga
terkait pembagian luas tanah yang tidak sesuai dengan harapan yang mendapatkan
6
waris, padahal dalam tanah ulayat tidak berhak dilakukan jual beli apalagi
diperebutkan karena sudah sesuai dengan pembagian yang sudah dilakukan
didepan kepala adat
Peranan kepala adat dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat yang terjadi.
Dimana kepala adat memberikan suatu solusi dalam menyelesaikan permasalahan
yang dihadapi oleh masyarakat yang bertikai akibat sengketa tanah ulayat, agar
permasalahan yang terjadi tidak berlangsung secara terus menerus apalagi dapat
menimbulkan pertikaian antara dua pihak yang bersengketa.
Fenomena yang terjadi dari peranan Tokoh Adat dalam menjalankan aturan
Hukum Adat Terhadap Hak Milik Atas Tanah di Desa Long Temuyat Kecamatan
Kayan Hulu Kabupaten Malinau sebagai berikut :
1. Tidak adanya bukti tertulis atau berupa sertifikat tanah dari adat, dimana
jumlah penduduk sebanyak 74 KK dan yang memiliki sertifikat baru 32 KK.
2. Terjadinya sengketa tanah 2 kasus dalam 1 bulan tepatnya tanggal 08 Juli
2018 dan 19 Juli 2017 dengan permasalahan ukuran luas tanah tidak sesuai
dengan sertifikat di Desa Long Temuyat Kecamatan Kayan Hulu.
3. Kurangnya pemahaman masyarakat pada peraturan hukum adat.
4. Ketidak jelasan tanah ulayat.
5. Tidak diakuinya tanah ulayat.
6. Sulitnya mengadakan pertemuan.
7. Saksi yang tidak mau menjadi saksi.
7
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis tertarik melakukan
penelitian tentang “Peranan Tokoh Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Ulayat di Desa Long Temuyat Kecamatan Kayan Hulu Kabupaten Malinau
Provinsi Kalimantan Utara”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar masalah yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana peranan tokoh adat dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat di
Desa Long Temuyat Kecamatan Kayan Hulu Kabupaten Malinau Provinsi
Kalimantan Utara ?
2. Apa saja yang menjadi faktor penghambat dan pendukung tokoh adat dalam
penyelesaian sengketa tanah ulayat di Desa Long Temuyat Kecamatan Kayan
Hulu Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Utara ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan
dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk menganalisis peranan tokoh adat dalam menyelesaikan sengketa tanah
ulayat di Desa Long Temuyat Kecamatan Kayan Hulu Kabupaten Malinau.
2. Untuk mengidentifikasi faktor yang menjadi penghambat dan pendukung
tokoh adat dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat di Desa Long Temuyat
Kecamatan Kayan Hulu Kabupaten Malinau.
8
1.4 Manfaat Penelitian
Sejalan dengan tujuan penelitian, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pustaka ilmu
pengetahuan mengenai hak milik atas tanah menurut hukum adat dan
lembaga pemerintahan
b. Diharapkan penelitian ini bermanfat dalam perkembangan ilmu
pengetahuan terutama perkembangan hukum agraria yang ada di
Indonesia kearah lebih baik.
2. Manfaat Praktis
a. Adanya pemahaman terhadap hak milik atas tanah menurut adat, agar
menambah pengetahuan tentang bagaimana pelaksanaan hak milik atas
tanah menurut adat.
b. Adanya bahan-bahan yang dapat dijadikan jalan keluar (solusi) dan
alternatif dalam penyelesaian masalah yang terjadi dalam hak milik atas
tanah menurut adat.
BAB II
KERANGKA DASAR TEORI
2.1 Peranan
Peranan (role) adalah aspek dinamis dari kedudukan atau status. Seseorang
melaksanakan hak dan kewajiban, berarti telah menjalankan suatu peranan,
peranan biasa juga disandingkan dengan fungsi, peranan dan status tidak dapat
dipisahkan. Tidak ada peranan tanpa kedudukan atau status, begitu pula tidak ada
status tanpa peranan.
Menurut Soekanto (2012:212-213), Peranan (role) merupakan proses dinamis
kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya
sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara
kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan karena yang satu tergantung pada yang
lain dan sebaliknya.
Setiap orang mempunyai bermacam-macam peranan yang dijalankan dalam
pergaulan hidupnya di masyarakat. Peranan menentukan apa yang diperbuat
seseorang bagi masyarakat. Peranan juga menentukan kesempatan-kesempatan
yang diberikan oleh masyarakat kepadanya.
Menurut Berry (2008:105), mendefenisikan “peranan sebagai harapan-
harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial
tertentu”. Harapan-harapan tersebut merupakan imbangan dari norma-norma
10
sosial dan oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peranan itu ditentukan oleh
norma-norma di dalam masyarakat.
Merton dalam Raho (2007:67) mengatakan bahwa peranan didefinisikan
sebagai pola tingkah laku yang diharapkan masyarakat dari orang yang
menduduki status tertentu. Sejumlah peran disebut sebagai perangkat peran (role-
set). Dengan demikian perangkat peran adalah kelengkapan dari hubungan-
hubungan berdasarkan peran yang dimiliki oleh orang karena menduduki status-
status sosial khusus.
Selanjutnya dikatakan bahwa di dalam peranan terdapat dua macam harapan,
yaitu: pertama, harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau
kewajiban-kewajiban dari pemegang peran, dan kedua harapan-harapan yang
dimiliki oleh pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang
yang berhubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-
kewajibannya.
Dalam pandangan Berry (2008:54), peranan-peranan dapat dilihat sebagai
bagian dari struktur masyarakat sehingga struktur masyarakat dapat dilihat sebagai
pola-pola peranan yang saling berhubungan.
Peranan itu terdapat dua harapan yaitu harapan yang dimiliki oleh si
pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang yang menjalankan
peranannya atau kewajibannya.
Menurut Soekanto (2012:212), menjelaskan pengertian “peranan merupakan
aspek dinamis kedudukan status”. Apabila seseorang melakukan hak dan
kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan.
11
Perbedaan antara kedudukan dan peranan adalah untuk kepentingan ilmu
pengetahuan. Keduanya tak dapat dipisah-pisahkan karena yang satu tergantung
pada yang lain dan sebaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan
tanpa peranan. Sebagaimana dengan kedudukan, peranan juga mempunyai dua
arti. Setiap orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola
pergaulan hidupnya. Hal itu sekaligus berarti bahwa peranan menentukan apa
yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan- kesempatan apa yang
diberikan oleh masyarakat kepadanya.
Peranan yang melekat pada diri seseorang dalam masyarakat harus dibedakan
dengan posisi dalam pergaulan kemasyarakatan, peranan lebih menunjukan
seseorang individu dimana seseorang itu diberikan kepercayaan dalam sebuah
masyarakat, jadi seseorang menduduk suatu posisi dalam masyarakat serta
menjalankan suatu peranan di dalam masyarakat tersebut.
Menurut Soekanto (2012:213) mengatakan peranan mencakup tiga hal, antara
lain:
1. Peranan meliputi norma-norma yang berhubungan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian
peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan
kemasyarakatan. Norma-norma tersebut secara sosial di kenal ada empat
meliputi :
a. Cara (Usage), lebih menonjol di dalam hubungan antar individu dalam
masyarakat. Suatu penyimpangan terhadapnya tak akan mengakibatkan
12
hukuman yang berat, akan tetapi hanya sekedar celaan dari individu yang
dihubunginya.
b. Kebiasaan (folkways), sebagai perbuatan yang berulang-ulang dalam
bentuk yang sama merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai
perbuatan tersebut.
c. Tata kelakuan (mores), merupakan cerminan sifat-sifat yang hidup dari
kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara
sadar maupun tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota-
anggotanya.
d. Adat istiadat (custom), merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat
integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat dapat meningkatkan
kekuatan mengikatnya menjadi custom atau adat istiadat.
2. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh
individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai prilaku individu yang penting bagi
struktur sosial masyarakat.
Perlu juga disinggung perihal fasilitas-fasilitas bagi peranan individu (role
facilities). Masyarakat biasanya memberikan fasilitas-fasilitas pada individu untuk
dapat menjalankan peranan. Lembaga-lembaga kemasyarakatan merupakan
bagian masyarakat yang banyak menyediakan peluang-peluang untuk pelaksanaan
peranan. Terkadang perubahan struktur suatu golongan kemasyarakatan
menyebabkan fasilitas-fasilitas bertambah. Misalnya, perubahan organisasi suatu
13
sekolah yang memerlukan penambahan guru, pegawai administrasi dan
seterusnya.
Berdasarkan pendapat di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa di
dalam peranan terdapat dua macam harapan, yaitu: pertama, harapan-harapan dari
masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari pemegang
peran, dan kedua harapan-harapan yang dimiliki oleh pemegang peran terhadap
masyarakat atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya dalam
menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya yaitu:
a. Sosialisasi atau pemahaman
b. Memberikan teladan
c. Memelihara tradisi atau adat
Menurut Tjokroadmidjojo (2010:65) mengungkapkan mengenai beberapa
peranan yaitu:
a. Motivator adalah orang yang memiliki profesi atau pencaharian dan
memberikan motivasi kepada orang lain
b. Mediator adalah penengah/pihak ketiga yang tugasnya hanya membantu
pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak
mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Jadi mediator hanya
bertindak sebagai fasilitator saja. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik
temu penyelesaian masalah/sengketa yang dihadapi para pihak, yang
selanjutnya akan dituangkan dalam kesepakatan bersama. Pengambilan
keputusan tidak berbeda ditangan mediator, tetapi ditangan para pihak yang
bersengketa.
14
Seorang mediator mempunyai peran membantu para pihak dalam
memahami pandangan masing-masing dan membantu mencari persoalan-
persoalan yang dianggap penting bagi mereka. Mediator mempermudah
pertukaran informasi, mendorong diskusi mengenai perbedaan-perbedaan
kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap situasi dan persoalan-persoalan
dan membiarkan, tetapi mengatur pengungkapan emosi. Mediator membantu
para pihak memprioritaskan persoalan-persoalan dan menitikberatkan
pembahasan mengenai tujuan dan kepentingan umum.
Mediator akan sering bertemu dengan para pihak secara pribadi dan
mereka biasanya dapat memperoleh informasi dari pihak yang tidak bersedia
membagi informasi. Sebagai wadah informasi antara para pihak, mediator
akan mempunyai lebih banyak informasi mengenai sengketa dan persoalan-
persoalan dibandingkan para pihak dan akan mampu menentukan apakah
terdapat dasar-dasar bagi terwujudnya suatu perjanjian/ kesepakatan.
Dengan demikian seorang mediator tidak hanya bertindak sebagai
penengah belaka yang hanya bertindak sebagai penyelenggara dan pemimpin
diskusi saja, tetapi juga harus membantu para pihak untuk mendesain
penyelesaian sengketanya, sehingga dapat menghasilkan kesepakatan
bersama.
Mediator juga harus memiliki kemampuan mengumpulkan sebanyak
mungkin informasi yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan untuk
menyusun dan mengusulkan berbagai pilihan penyelesaian masalah yang
disengketakan. Kemudian mediator juga akan membantu para pihak dalam
15
menganalisis sengketa/pilihan penyelesaiannya sehingga akhirnya dapat
mengemukakan rumusan kesepakatan bersama sebagai solusi penyelesaian
masalah yang juga akan ditindak lanjuti secara bersama.
c. Fasilitator adalah orang yang membantu sekelompok orang memahami tujuan
bersama mereka dan membantu dalam membuat rencana guna mencapai
tujuan tersebut tanpa mengambil posisi tertentu dalam diskusi atau
musyawarah.
2.2 Tokoh Adat
2.2.1 Tokoh
Tokoh Adat adalah pihak yang mempunyai keunggulan dari masyarakat
kebanyakan dan memegang peranan penting dalam menentukan suatu keputusan.
Tokoh adat lebih mudah menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitarnya, lebih
kompeten dan lebih tahu memelihara norma yang ada. Kemampuan dirinya
memelihara norma menjadi salah satu konsekuensi logis bentuk pelayanan atau
suri teladan yang diberikan atau ditunjukkan kepada masyarakatnya.
Tokoh adat yang ada di desa seperti ketua adat, tentu bukanlah orang yang
serba tahu. Akan tetapi, mereka diakui oleh masyarakatnya sebagai orang yang
peka terhadap berbagai permasalahan yang ada di desanya. Secara relatif mereka
adalah tempat meminta pendapat dan nasehat para warga. Mereka juga dapat
mempengaruhi sikap dan tingkah warga untuk bertindak dalam cara tertentu
(Nurudin, 2009:166-169).
16
Alasan lain yang menyebabkan tokoh masyarakat begitu dihormati dan ditaati
oleh para warganya adalah status sosialnya yang tinggi. Dengan status ini, ia akan
selalu memelihara nilai-nilai serta norma-norma kelompoknya sebagai syarat
minimal untuk memelihara statusnya. Pengertian Kepala Adat adalah bapak
masyarakat, Ia mengetuai persekutuan sebagai ketua suatu keluarga besar, Ia
adalah pemimpin pergaulan hidup dalam persekutuan.
Tokoh adat adalah sesuatu yang sentral dalam sebuah komunitas masyarakat.
Tokoh adat, seperti yang dipahami bersama adalah sosok yang bisa jadi panutan
oleh masyarakat, atau tokoh yang selalu dijadikan rujukan atau sebagai tempat
bertanya perihal permasalahan masyarakat, penokohan tersebut karena pengaruh
posisi, kedudukan, kemampuan, dan kepiawaiannya yang diakui oleh masyarakat
di lingkungannya, seorang yang karena latar belakang pribadi yang kuat mewarnai
dirinya. memiliki kualitas subyektif atau obyektif yang memungkinkannya tampil
dalam kedudukan di luar struktur organisasi resmi namun ia dapat mempengaruhi
kelakuan dan tindakan suatu kelompok masyarakat, baik dalam arti positif
maupun negatif, Peran tokoh adat memang penting dalam berbagai hal, contohnya
dalam melestarikan budaya.
Karena tokoh adat diyakini penting dalam mengajak masyarakat dalam hal
positif. Dari pertemuan yang diadakan tokoh adat menciptakan perkumpulan atau
organisasi baru, tentu saja ini menumbuhkan rasa kepemimpinan dalam seseorang.
Sikap inilah yang bisa mendorong masyarakat untuk berbuat sesuatu hal yang
positif. Dalam perkumpulan juga menambah pengalaman dan wawasan kita.
17
Fungsi Kepala Adat berdasarkan pengertian diatas adalah bertugas
memelihara hidup rukun di dalam persekutuan, menjaga supaya hukum itu dapat
berjalan dengan selayaknya. Dengan demikian Kepala Adat bertugas memelihara
hidup hukum dalam persekutuan, menjaga hukum itu supaya dapat berjalan
dengan selayaknya. Aktivitas Kepala Adat sehari-hari adalah meliputi seluruh
lapangan masyarakat. Tidak ada satupun lapangan pergaulan hidup didalam badan
persekutuan yang tertutup bagi Kepala Adat untuk ikut campur bilamana
diperlukan untuk memelihara ketentraman, perdamaian, keseimbangan untuk
menegakkan hukum. Adapun aktivitas Kepala Adat dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu:
1) Tindakan-tindakan mengenai urusan tanah berhubungan dengan adanya
pertalian yang erat antara tanah dan persekutuan yang menguasai tanah
tersebut.
2) Penyelesaian hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya pelanggaran
hukum; supaya hukum dapat berjalan bagaimana semestinya (pembinaan
secara preventif).
3) Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum setelah hukum itu
dilanggar (pembinaan secara repressif).
Kepala Adat dengan segala tindakannya dan dalam memegang adat itu,
kepada adat harus memperhatikan perubahan-perubahan. Adanya pertumbuhan
hukum, sehingga dibawah pimpinan dan pengawasan Kepala Adat yang sangat
penting adalah kerja dilapangan atau sebagai hakim perdamaian desa. Apabila ada
perselisihan atau perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat,
18
maka Kepala Adat bertindak untuk memulihkan keseimbangan didalam suasana
desa serta pemulihan hukum.
Istilah adat itu berasal dari bahasa Arab “adah” yang berarti kebiasaan, yaitu
sesuatu yang sering berulang. Tetapi kebiasaan dalam arti adat adalah kebiasaan
yang normatif yang telah terwujud aturan tingkah laku yang berlaku dalam
masyarakat dan dipertahankan oleh masyarakat itu sendiri.
Dengan perpaduan arti istilah Kepala Adat dengan adat seperti yang
dikemukakan diatas, maka Kepala Adat adalah seorang pemimpin yang
memimpin sebuah kebiasaan yang normatif dan telah terwujudkan aturan tingkah
laku yang berlaku dalam daerah atau wilayah hukum adat yang dipertahankan
secara terus menerus.
Fungsi Kepala Adat dalam masyarakat tidak terlalu jauh berbeda dengan
fungsi hukum adat karena fungsi Kepala Adat yang ada didalam masyarakat
adalah sebagai berikut:
1) Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat, bagaimana seharusnya
bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat. Dan merupakan dasar dari
tingkah laku tersebut adalah kebiasaan yang bersifat normatif yaitu Adat dan
Hukum Adat.
2) Menjaga keutuhan persekutuan dalam masyarakat, supaya persekutuan
tersebut tetap terpelihara dan dapat dirasakan oleh berbagai tindakan anggota
masyarakat yang tidak sesuai dengan Adat dan Hukum Adat.
3) Memberikan pegangan kepada anggota masyarakat untuk mengadakan sistem
pengendalian sosial. Pengendalian sosial tersebut lebih bersifat pengawasan
19
terhadap tingkah laku masyarakat sehingga hidup persekutuan dapat
dipertahankan dengan sebaik-baiknya.
4) Memperhatikan setiap keputusan-keputusan yang telah ditetapkan oleh
Hukum Adat, sehingga keputusan tersebut mempunyai wibawa dan dapat
memberikan kepastian hukum yang mengikat semua anggota masyarakat.
5) Merupakan tempat bersandarnya anggota masyarakat untuk menyelesaikan,
melindungi dan menjamin ketentraman, maka Kepala Adat adalah
satusatunya tempat anggota masyarakat bersandar untuk menyelesaikan
masalahnya.
6) Sebagai tempat anggota masyarakat menanyakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan pengetahuan Adat dan Hukum Adat. Hal ini sangat
penting sebab tidak semua anggota masyarakat mengetahui, mengerti dan
memahami tentang seluk beluk Adat dan Hukum Adat. Dengan fungsi yang
demikian maka Kepala Adat boleh dikatakan sebagai media informasi Adat
dan Hukum Adat dalam masyarakat.
7) Sebagai tempat anggota masyarakat menyelesaikan segala masalah, baik yang
menyangkut urusan hidup maupun urusan yang berkaitan dengan kematian.
Fungsi tersebut sangat penting karena anggota masyarakat tidak semua dapat
menyelesaikan masalahnya sendiri kecuali meminta keterlibatan Kepala Adat
ikut serta menyelesaikannya.
8) Sebagai bapak masyarakat yang mengepalai persekutuan, dimana fungsi
tersebut lebih memperlihatkan kepemimpinan yang dapat menjadi teladan
dalam pergaulan hidup ditengah masyarakat.
20
Menurut Wulansari (2010:112), bahwa Kepala Adat senantiasa mempunyai
peranan dalam masyarakat dan peranan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kepala Adat mempunyai peranan sebagai hakim perdamaian yang berhak
menimbang berat ringannya sanksi yang harus dikenakan kepada anggota
masyarakat yang bersengketa. Kepala Adat disini berkewajiban untuk
mengusahakan perdamaian, sehingga dalam masyarakat tercipta kedamaian.
2) Untuk membetulkan hukum adat yang telah dilanggar oleh masyarakat.
Pembetulan yang dimaksud adalah mengembalikan citra hukum adat,
sehingga dapat ditegakkan keutuhannya. Misalnya terjadi sengketa
pertanahan sehingga hubungan menjadi rusak. Maka dalam masalah ini
Kepala Adat berperan untuk membetulkan keseimbangan tersebut sehingga
dapat didamaikan kembali.
3) Untuk memutuskan dan menetapkan peraturan hukum adat sebagai landasan
bagi kehidupan bermasyarakat.
4) Adapun keputusan mempunyai tujuan agar masyarakat dapat melaksanakan
perbuatan selalu berpegang kepada peraturan yang telah diputuskan, peranan
Kepala Adat, yaitu :
a) Mengenakan sanksi terhadap anggota masyarakat yang telah melakukan
pelanggaran adat. Pengenaan sanksi tersebut bukan hanya menyangkut
satu bidang pelanggaran saja, tetapi menyangkut semua pelanggaran
keseimbangan Hukum Adat.
b) Sebagai pelaksana dan pelaksanaan Hukum Adat dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini mempunyai maksud supaya Hukum Adat yang telah
21
berlaku tersebut dipertahankan keutuhannya dengan cara menyelesaikan
segala bentuk pelanggaran Hukum Adat. Dengan menyelesaikan segala
sengketa yang timbul dalam masyarakat berarti ada upaya untuk
menegakkan Hukum Adat, untuk memberitahukan Hukum Adat yang
berlaku dalam masyarakat, sebab tidak semua anggota masyarakat
mengetahui dan memahami tentang Hukum Adat. Karena itu Kepala
Adat disini berperan sebagai media informasi yang cukup efektif
memberitahukan Hukum Adat kepada masyarakat.
2.2.2 Adat
Adat adalah aturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari
suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta
dipatuhi masyarakat pendukungnya.
Adat adalah kebiasan yang normative dan dipertahkan oleh masyarakat, maka
walaupun adat tidak terus berulang, pada saat tertentu akan terus berulang dan
harus dilaksanakan, apabila tidak dilaksanakan maka masyarakat akan
mengadakan reaksi (Hadikusuma, 2013:16).
Adat adalah wujud dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan
(Koentjaraningrat, 2009:19).
Adat merupakan suatu hukum yang tidak tertulis, karena adat mengatur
seluruh kehidupan anggota masyarakat maka secara pasti adat juga mengatur
masalah-masalah di dalam masyarakat.
22
Dari pendapat di atas penulis menyimpulkan bahwa pengertian adat adalah
kebiasaan-kebiasaan yang mengatur norma-norma dalam masyarakat yang tidak
tertulis dan sebagai pedoman dalam bertingkah laku di dalam masyarakat ataupun
sebagai anggota masyarakat.
Adat telah melembaga dalam dalam kehidupan masyarakat baik berupa
tradisi, adat upacara dan lain-lain yang mampu mengendalikan perilaku warga
masyarakat dengan perasaan senang atau bangga, dan peranan tokoh adat yang
menjadi tokoh masyarakat menjadi cukup penting.
2.2.3. Hukum Adat
Hukum adat merupakan istilah teknis ilmiah, yang menunjukkan aturan-
aturan kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak berbentuk
peraturan-perundangan yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan.
Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis dan merupakan kebiasaan
dengan ciri khas tersendiri dan menjadi pedoman kehidupan rakyat dalam
menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan bersifat
kekeluargaan (Wulansari, 2010:4-6).
Hukum adat adalah hukum non statutair yang sebagian besar adalah hukum
kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam (agama)”. Hukum adat itupun
melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan hakim, yang berisi asas-asas
hukum dalam lingkungan, di mana ia memutuskan perkara. Hukum adat berurat-
akar pada kebudayaan nasional. Hukum adat adalah hukum yang hidup, karena ia
menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat.
23
Sedangkan pengertian hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan (Harsono, 2005:19)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ciri pokok dari masyarakat
hukum adat yaitu adanya kelompok manusia yang mempunyai batas wilayah
tertentu dan kewenangan tertentu serta memiliki norma-norma atau aturan-aturan
yang dipenuhi oleh kelompok manusia dalam wilayah tersebut.
2.2.4. Hak Ulayat, Subyek dan Obyek Hak Ulayat
Pengertian terhadap istilah hak ulayat ditegaskan oleh Kertasapoetra dan
kawan-kawan dalam bukunya Hukum Tanah, Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan
Pendayagunaan Tanah, menyatakan bahwa ; “Hak ulayat merupakan hak tertinggi
atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk
menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak
yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga
masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai
tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala
desa yang bersangkutan)”. (Kertasapoetra, 2015:88).
Hak ulayat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa
wewenang atau kekuasaan yang mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan
daya laku kedalam maupun keluar. Sedangkan ulayat artinya wilayah, sehingga
tanah Ulayat merupakan tanah wilayah masyarakat hukum adat tertentu.
24
Menurut Harsono (2015:185) hak ulayat dalam bentuk dasarnya adalah suatu
hak dari persekutuan atas tanah yang didiami, sedangkan pelaksanaannya diakui
baik oleh persekutuan hukum itu sendiri, maupun kepala persekutuan atas nama
persekutuan hukum.
Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam
wilayahnya yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan
masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa (Lebensraum).
Menurut Harsono (2015:58), hak ulayat hukum adat dinyatakan masih ada
apabila memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu :
1) Masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga persekutuan hukum adat
tertentu, yang merupakan suatu masyarakat hukum adat.
2) Masih adanya wilayah yang merupakan hak ulayat sebagai masyarakat
hukum adat tersebut, yang ditandai sebagai tanah kepunyaan bersama para
warganya sebagai “lebensraum”nya, dan
3) Masih adanya penguasa adat yang pada kenyataannya ada dan diakui oleh
masyarakat hukum adat yang bersangkutan, melakukan kegiatan sehari-hari
sebagai pelaksana hak ulayat.
Menurut Harsono (2015:181) subyek hak ulayat adalah masyarakat hukum
adat yang mendiami suatu wilayah tertentu. Masyarakat hukum adat terbagi
menjadi 2 (dua) yaitu :
1) Masyarakat hukum adat teritorial disebabkan para warganya bertempat
tinggal di tempat yang sama.
25
2) Masyarakat hukum adat geneologis, disebabkan para warganya terikat oleh
pertalian darah.
Selanjutnya Muhammad (2012:105) mengemukakan obyek hak ulayat
meliputi:
a. Tanah ( daratan )
b. Air ( perairan seperti : kali, danau, pantai serta perairannya ).
c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar ( pohon buah-buahan, pohon untuk
kayu pertukangan atau kayu bakar dan sebagainya ).
d. Binatang liar yang hidup bebas didalam hutan.
Menurut Harsono (2015:272) "Terciptanya hak ulayat sebagai hubungan
hukum konkret pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau suatu
kekuatan Gaib, pada waktu meninggalkan tanah yang bersangkutan kepada
orang-orang yang merupakan kelompok tertentu. Hak ulayat sebagai lembaga
hukum adat sebelumnya. Karena masyarakat hukum adat yang bersangkutan
bukan yang satu-satunya mempunyai hak ulayat. Bagi suatu masyarakat
hukum adat tertentu, hak ulayat bisa tercipta karena pemisahan dari
masyarakat hukum adat induknya, menjadi masyarakat hukum adat baru yang
mandiri, dengan sebagian wilayah induknya sebagai tanah ulayatnya.
Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam
lingkungan wilayahnya, yang sebagai telah diuraikan di atas merupakan
pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan
sepanjang masa (Lebensraum). Kewenangan dan kewajiban tersebut masuk dalam
26
bidang hukum perdata dan ada yang masuk dalam bidang hukum publik.
Kewenangan dan kewajiban dalam bidang hukum perdata berhubungan dengan
hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut. Sedangkan dalam hukum publik,
berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan,
penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya ada pada Kepala Adat/Tetua Adat.
Konsepsi hak ulayat menurut hukum adat terdapat nilai-nilai komunalistik-
religius magis yang memberi peluang penguasaan tanahsecara individual, serta
hak-hak yang bersifat pribadi, namun demikian hak ulayat bukan hak orang-
seorang. Sehingga dapat dikatakan hak ulayat bersifat komunalistik karena hak itu
merupakan hak bersama anggota masyarakat hukum adat atas tanah yang
bersangkutan.
Jika dilihat dari sistem hukum tanah adat tersebut, maka hak ulayat dapat
mempunyai kekuatan berlaku ke dalam dan ke luar. Ke dalam berhubungan
dengan para warganya, sedang kekuatan berlaku ke luar dalam hubungannya
dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya, yang disebut “orang asing
atau orang luar”. Kewajiban utama penguasa adat yang bersumber pada hak
ulayat ialah memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota-anggota
masyarakat hukumnya, menjaga jangan sampai timbul perselisihan mengenai
penguasaan dan pemakaian tanah dan kalau terjadi sengketa ia wajib
menyelesaikan.
Sedangkan untuk hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku ke luar hak ulayat
dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Orang-orang asing, artinya orang-orang yang bukan warga
27
masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang bermaksud mengambil hasil
hutan, berburu atau membuka tanah, dilarang masuk lingkungan tanah wilayah
suatu masyarakat hukum adat tanpa ijin penguasa adatnya.
Subyek hak ulayat adalah masyarakat persekutuan adat dalam
keseluruhannya, yakni seluruh nusantara ini, masyarakat menguasai hak ulayat
tidak boleh di tangan oknum pribadi tetapi harus di tangan masyarakat. (Basuki,
2009:43).
Obyek hak ulayat meliputi tanah (daratan), air, tumbuh-tumbuhan (kekayaan
alam) yang terkandung di dalamnya dan binatang liar yang hidup bebas dalam
hutan.6 Dengan demikian hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara
masyarakat hukum (subyek hukum) dan tanah/wilayah tertentu (objek hak).
(Sumardjono, 2009:56) Isi Hak Ulayat adalah :
a. Kebebasan dari anggota masyarakat desa untuk menikmati tanah hak ulayat
itu misalnya berbumi, mengambil kayu atau buah-buahan yang tumbuh di
tanah tersebut.
b. Orang asing dilarang menguasai atau menikmat tanah ulayat kecuali setelah
mendapatkan ijin dari ketua adat, desa dan membayar uang pengakuan
Wilayah kekuasaan persekutuan adalah merupakan milik persekutuan yang
pada asasnya bersifat tetap namun dalam kenyataannya terdapat pengecualian-
pengecualian. Pengecualian ini berkaitan dengan kekuatan hak ulayat yang
berlaku ke luar.
Hak Ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah
masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang
28
maupun yang belum. Dalam lingkungan Hak Ulayat tidak ada tanah sebagai “res
nullius”. Umumnya batas wilayah Hak Ulayat masyarakat hukum adat territorial
tidak dapat ditentukan secara pasti. Masyarakat Hukum Adatlah, sebagai
penjelmaan dari seluruh anggotanya, yang mempunyai hak ulayat, bukan orang
seorang.
Masing-masing itu menurut hukum adat mempunyai hukumnya yang khusus.
Tanah yang diusahakannya itu dapat dikuasainya dengan hak pakai, tetapi ada
juga masyarakat hukum adat yang memungkinkan tanah yang dibuka tersebut
dipunyai dengan hak milik. Hal itu tergantung pada kenyataan apakah tanah
dikuasai dan diusahakannya secara terus-menerus ataukah hanya sementara saja.
Jika seseorang individu warga persekutuan dengan ijin kepala adat atau
kepala desa membuka tanah persekutuan maka dengan menggarap tanah itu
terjadi hubungan hukum dan sekaligus juga hubungan religiusmagis antara
individu warga persekutuan dengan tanah yang dimaksud.Perbuatan hukum ini
jelas menimbulkan hak bagi warga yang menggarap tanah atau kemudian hak
wenang atas tanah yang bersangkutan.
2.2.5. Terjadinya Hak Ulayat
Pada asal mulanya hak ulayat dijumpai di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Hak ulayat dapat dikatakan sebagai hubungan hukum kongkret dan hubungan
hukum pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau sesuatu kekuatan
gaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan tanah yang bersangkutan
kepada orang-orang yang merupakan kelompok tertentu. Hak ulayat sebagai
29
lembaga hukum sudah ada sebelumnya, karena masyarakat hukum adat yang
bersangkutan bukan satu-satunya yang mempunyai hak ulayat. Selain diperoleh
dari nenek moyang bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu hak ulayat juga
bias tercipta atau terjadi karena pemisahan dari masyarakat hukum adat induknya,
menjadi masyarakat hukum adat baru yang mandiri, dengan sebagian wilayah
induknya sebagai tanah ulayatnya.
Tetapi dengan bertambah menjadi kuatnya hak-hak pribadi para warga
masyarakat-masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas bagian-bagian tanah
ulayat yang dikuasainya, juga karena pengaruh faktor-faktor ekstern, secara
alamiah kekuatan hak ulayat pada masyarakat hukum adat semakin melemah,
hingga pada akhirnya tidak tampak lagi keberadannya.
Sehubungan dengan itu dewasa ini pada kenyataannya keadaan dan
perkembangan hak ulayat itu sangat beragam. Tidak dapat dikatakan secara
umum, bahwa di suatu daerah hak ulayat masyarakat hukum adatnya masih ada
atau sudah tidak ada lagi ataupun tidak pernah ada sama sekali. Namun demikian
bahwa hak ulayat yang sudah tidak ada lagi akan dihidupkan kembali, juga tidak
akan dapat diciptakan hak ulayat baru yang sebelumnya tidak pernah ada.
2.2.6. Hak Ulayat Dalam Undang-Undang Pokok Agraria
Hak ulayat aturannya terdapat di dalam hukum adat. Hal ini karena
penyelenggaraan dan pengelolaan hak ulayat sesuai dengan hukum adat dari
masing-masing daerah dimana hak ulayat itu berada. Hal ini kemudian
menyebabkan hak ulayat antara daerah yang satu dengan daerah lainnya
30
pengaturannya berbeda-beda. Keadaan ini kemudian melahirkan keragaman
dalam hukum adat yang secara tidak langsung berpengaruh pula bagi hukum
pertanahan, karena hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah hak milik
adat.
Namun sering perkembangan ilmu pengetahuan di segala bidang termasuk
bidang pertanahan maka kemudian lahirlah suatu produk hukum yang dipandang
dapat mengakomodir keragaman-keragaman mengenai hukum pertanahan dalam
negara kita sehingga unifikasi hukum sebagai salah satu tujuan dikeluarkan
produk hukum ini dapat terwujud.
Produk hukum itu adalah UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang
Pokok-Pokok Agraria. Lahirnya Undang- Undang Pokok Agraria bukan berarti
meniadakan keragaman yang ada dalam hukum adat khususnya mengenai tanah
tetapi lebih pada mengatur ketentuan yang berlaku umum bagi seluruh warga
negara mengenai hokum pertanahan Indonesia. Sehingga untuk hukum adat
pengaturannya diserahkan pada peraturan hukum yang berlaku di daerahnya
masing-masing dengan catatan tidak bertentangan dengan hukum nasional dan
kepentingan nasional serta tata peraturan yang lebih tinggi.
Salah satunya pengaturan mengenai hak ulayat. Walaupun tidak semua
daerah atau wilayah di Indonesia yang masing mengakui keberadaan hak ulayat
bukan berarti hak ulayat tidak diatur dalam UUPA sebagai hukum nasional. Hal
ini karena sebagian besar materi yang ada dalam UUPA diadopsi dari hukum adat.
Hak Atas Tanah menurut UUPA 1945, pada pasal 33 ayat (1) UUD 1945,
dikatakan bahwa”bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
31
terkandung didalamnya itu pada tngkatan tertinggi dikuasai oleh Negara”. Negara
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari negara
termaksud dalam UUPA (pasal 1 ayat 2) memberi wewenang kepada negara untuk
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang
angkasa, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum (UUPA, pasal 4 ayat
1). pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan
demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan
hukum lain yang lebih tinggi.
Pengaturan hak ulayat dalam UUPA terdapat dalam Pasal 3 yaitu pengakuan
mengenai keberadaan (eksistensi) dan pelaksanannya. Eksistensi/keberadaan hak
ulayat ini menunjukkan bahwa hak ulayat mendapat tempat dan pengakuan
sepanjang menurut kenyataan masih ada. Pada aspek pelaksanaannya, maka
implementasinya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional bangsa
32
dan negara serta peraturan perundang-undangan lainnya yang tingkatannya lebih
tinggi.
Dalam hal ini kepentingan sesuatu masyarakat adat harus tunduk pada
kepentingan umum, bangsa dan negara yang lebih tinggi dan luas. Oleh sebab itu
tidak dapat dibenarkan jika dalam suasana berbangsa dan bernegara sekarang ini
ada suatu masyarakat hukum adat yang masih mempertahankan isi pelaksanaan
hak ulayat secara mutlak.
Lebih lanjut pengaturan mengenai hak ulayat diserahkan kepada peraturan
daerah masing-masing di mana hak ulayat itu berada. Realisasi dari pengaturan
tersebut dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang dipergunakan sebagai pedoman dalam
daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan
masalah hak ulayat masyarakat adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang
bersangkutan.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan
terhadap hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria. Kebijaksanaan tersebut
meliputi :
1. Penyamaan persepsi mengenai hak ulayat
2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari
masyarakat hukum adat
3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya
33
Masih adanya hak ulayat masyarakat hukum adat di suatu daerah hanya dapat
diketahui dan dipastikan dari hasil tinjauan dan penelitian setempat berdasarkan
kenyataan, bahwa : (Sumardjono, 2009:68)
1. Masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu persekutuan hukum
adat tertentu, yang merupakan suatu masyarakat hukum adat
2. Masih adanya wilayah yang merupakan tanah ulayat masyarakat hukum adat
tersebut, yang didasari sebagai tanah kepunyaan bersama para warganya
3. Masih adanya penguasa adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh para
warga mayarakat hukum adat yang bersangkutan, melakukan kegiatan sehari-
hari sebagai pelaksana hak ulayat.
Ketiga unsur tersebut pada kenyataannya harus masih ada secara kumulatif.
Penelitian mengenai unsur hak ulayat di atas akan ditugaskan kepada Pemerintah
Kabupaten, yang dalam pelaksanaannya mengikutsertakan para pakar hukum adat
dan para tetua adat setempat. Hal lain yang diatur dalam PMNA/Ka.BPN No. 5
Tahun 1999 antara lain Pasal 2 ayat (1) mengatur tentang pelaksanaan hak ulayat
sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyrakat hokum adat
menurut ketentuan hukum adat setempat. Namun dalam Pasal 3 terdapat
pengecualiannya yaitu pelaksanaan hak ulayat tersebut tidak dapat dilakukan lagi
terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud Pasal 6 :
1. Tanah tersebut sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hokum dengan
suatu hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria.
34
2. Tanah tersebut merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau
dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai
ketentuan dan tata cara yang berlaku.
Di dalam Pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwa :
1. Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanak hak ulayat oleh
perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan :
a. Oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak
penguasaan menurut ketentuan hukum adat yang berlaku, yang apabila
dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah
yang sesuai menurut ketentuan UUPA
b. Oleh instansi pemerintah atau perseorangan bukan warga masyarakat
hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan
UUPA berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut
dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai
dengan ketantauan dan tata cara hukum adat yang berlaku
2. Penglepasan tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk
keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha
atau Hak Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hokum adat dengan
penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah
jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi
atau diterlantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang
bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan
berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan
35
sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan
Pasal 2.
3. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Hak Guna Usaha atau Hak
Pakai yang diberikan oleh Negara dan perpanjangan serta pembaharuannya
tidak boleh melebihi jangka waktu penggunaan tanah yang diperoleh dari
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
2.2.7. Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat Konsepsi dan Sistem
Penguasaan Hak-Hak atas Tanah Masyarakat Hukum Adat
Sistem hukum adat bersendikan pada dasar-dasar alam pikiran bangsa
Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum
barat. Untuk dapat sadar akan sistem hukum adat, maka orang harus menyelami
dasar-dasar pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.
Dalam hukum adat hak penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah Hak
Ulayat, sebagai tanah bersama para warga masyarakat hokum adat yang
bersangkutan, yang mengandung dua unsur yang beraspek hukum keperdataan
dan hukum publik. Subyek Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat, baik
territorial, genealogik, maupun genealogis territorial sebagai bentuk bersama
para warganya (Sugangga, 2008:17-18).
Kewenangan untuk mengatur hak ulayat dalam aspek hukum publik ada pada
Hak Kepala Adat dan para Tetua Adat, sebagai pertugas masyarakat hukum adat
berwenang mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan,
penggunaan dan pemeliharaan tanah-bersama tersebut.
36
2.2.8. Hubungan Hak Ulayat dengan Hak-hak Peseorangan
Antara hak ulayat dan hak-hak perorangan selalu ada pengaruh timbal balik.
Makin banyak usaha yang dilakukan seseorang atas suatu bidang tanah, makin
eratlah hubungannya dengan tanah yang bersangkutan dan makin kuat pula
haknya atas tanah tersebut. Dalam hal yang demikian kekuatan hak ulayat
terhadap tanah itu menjadi berkurang. Tetapi menurut hukumnya yang asli,
bagaimanapun juga kuatnya, hak perseorangan atas tanah itu tetap terikat oleh hak
ulayat. Dalam pada itu di banyak daerah hak-hak perseorangan sudah sedemikian
kuatnya, hingga kekuatan hak ulayat menurut kenyataannya sudah hilang atau
hampir-hampir tak terasa lagi. Tetapi dimana hak ulayat masih kuat, sewaktu-
waktu hubungan orang dengan tanahnya menjadi kendor, misalnya tidak
diusahakan lagi, hak ulayat menjadi kuat kembali, hingga tanahnya kembali
kedalam kekuasaan penuh masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Kalau sebidang tanah tidak diusahakan lagi hingga kembali menjadi hutan
atau tumbuh belukar di atasnya, hal itu bisa mengakibatkan hilangnya hak atas
tanah yang bersangkutan. Tanah tersebut kemudian boleh diusahakan oleh
anggota masyarakat lainnya. Teranglah bahwa Hukum Adat mengenal isi
pengertian fungsi sosial dari hak-hak atas tanah. Dalam konsepsi Hukum Adat hak
ini yang merupakan perwujudan dari “unsur kebersamaan”. Para warga
masyarakat diberi kemungkinan untuk membuka, menguasai dan menghaki tanah
bukan sekedar untuk dipunyai, melainkan dengan tujuan untuk diusahakan bagi
pemenuhan kebutuhan mereka masing-masing, ini bertentangan dengan fungsi
37
sosialnya kalau tanah yang mestinya diusahakan dibiarkan dalam keadaan
terlantar. Hak atas tanah menurut Hukum Adat tidak hanya memberi wewenang,
tetapi juga meletakkan kewajiban kepada yang empunya untuk mengusahakan
tanah. Demikian sifat asli dari hak perorangan atas tanah menurut konsepsi
Hukum Adat.
Dengan bertambah kuatnya penguasaan bagian-bagian tanah bersama tersebut
oleh para warganya, secara alamiah kekuatan Hak Ulayat masyarakat hukum adat
yang bersangkutan tambah lama menjadi tambah melemah, hingga akhirnya
menjadi tidak tampak lagi keberadaannya. Oleh karena itu pada kenyataannya
perkembangannya sudah sangat beragam, maka tidak mungkin dikatakan secara
umum, bahwa di suatu daerah Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adatnya
masih ada atau sudah tidak ada lagi ataupun tidak pernah ada sama sekali.
Undang-Undang Pokok Agraria dan Hukum Tanah Nasional tidak menghapus
Hak Ulayat, tetapi juga tidak akan mengaturnya. Mengatur Hak Ulayat dapat
berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Padahal perkembangan
masyarakat menunjukkan kecenderungan akan hapusnya Hak Ulayat tersebut
melalui proses alamiah. Yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
38
2.2.9. Konsep Tanah
Tanah merupakan sumberdaya alam yang penting bagi kehidupan makhluk
hidup di muka bumi. Tanah dimanfaatkan makhluk hidup untuk menopang hidup.
Oleh karena itu, tanah perlu dipelajari lebih lanjut tentang apa yang ada di
dalamnya.
Konsep tanah dalam hukum adat juga dianggap merupakan benda berjiwa
yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah dan manusia,
meskipun berbeda wujud dan jati diri, namun merupakan suatu kesatuan yang
saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam (cosmos), besar
(macro cosmos), dan kecil (micro cosmos). Tanah dipahami secara luas meliputi
semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai pusat,
maupun roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh.
Di dalam hukum adat, yang primer bukanlah individu, melainkan masyarakat.
Karena itu, menurut tanggapan hukum adat, kehidupan individu adalah kehidupan
yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada masyarakat. Oleh karena itu,
maka hak-hak yang diberikan kepada individu adalah berkaitan dengan tugasnya
dalam masyarakat. Berdasarkan konsepsi itu pulalah, maka tanah ulayat sebagai
hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat dipandang sebagai
tanah-bersama.
Tanah bersama sebagai pemberian/anugerah dari suatu kekuatan gaib, bukan
dipandang sebagai sesuatu yang diperoleh secara kebetulan atau karena kekuatan
daya upaya masyarakat adat tersebut. Oleh karena hak ulayat yang menjadi
lingkungan pemberi kehidupan bagi masyarakat adat dipandang sebagai tanah
39
bersama, sehingga semua hak-hak perorangan bersumber dari tanah bersama
tersebut. Mengacu pada pemahaman konsepsi di atas, berarti sesungguhnya hak
atas tanah menurut hukum adat terdiri dari dua bentuk, yaitu hak ulayat (komunal)
dan hak individu.
2.2.9. Sengketa
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, sengketa adalah segala sesuatu yang
menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian atau pembantahan timbulnya
sengketa hukum adalah bermula dari pengaduan suatu pihak yang berisi keberata
dan tuntutan atas hak atas tanah baik status tanah, prioritas maupun
kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara
administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Ada 3 (tiga) fase
atau tahap dalam proses sengketa yaitu:
a. Pra konflik adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang.
b. Konflik adalah keadaan dimana para pihak menyadari atau mengetahui
tentang adanya perasaan tidak puas tersebut.
c. Sengketa adalah keadaan dimana konflik tersebut dinyatakan dimuka umum
atau melibatkan pihak ketiga.
Timbulnya bentuk-bentuk konflik pada umumnya disebabkan oleh berbagai
faktor yaitu :
1. Konflik Data
40
Konflik data terjadi karena adanya kekurangan informasi, kesalahan
informasi, adanya perbedaan pandangan, adanya perbedaan interpretasi
terhadap data, adanya perbedaan penafsiran terhadap prosedur.
2. Konflik Kepentingan,
Dalam melaksanakan kegiatan, setiap pihak memiliki kepentingan. Tanpa
adanya kepentingan para pihak tidak akan mengadakan kerjasama.
Timbulnya konflik kepentingan karena adanya beberapa hal sebagai berikut:
a. Adanya perasaan atau tindakan yang bersaing
b. Adanya kepentingan substansi dari para pihak
c. Adanya kepentingan pihak prosedural
d. Adanya kepentingan spikologi.
3. Konflik Hubungan
Konflik hubungan dapat terjadi oleh adanya kadar emosi yang kuat, adanya
kesalahan persepsi, miskin komunikasi, atau kesalahan komunikasi, dan
tingkah laku negatif yang berulang-ulang.
4. Konflik Struktur
Konflik struktur dapat terjadi karena adanya pola merusak perilaku atau
interaksi kontrol yang tidak sama, adanya kekuasaan dan kekuatan geografi,
pisikologi yang tidak sama atau faktor-faktor lingkungan yang menghalangi
kerjasama serta waktu yang sedikit.
5. Konflik Nilai
41
Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan kriteria evaluasi pendapat atau
prilaku. Adanya perbedaan pandangan hidup ideologi dan agama. Adanya
penilaian sendiri tanpa memperhatikan penilaian orang lain.
2.2.10. Sengketa Tanah dan Permasalahannya
Sengketa pertanahan ialah proses interaksi antara dua orang atau lebih atau
sekelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atau obyek
yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah seperti
air, tanaman, tambang juga udara yang berada dibatas tanah yang bersangkutan.
Menurut Maria S.W.Sumardjono (2009:28) secara garis besar permasalahan
tanah dapat dikelompokan menjadi 5 yaitu :
1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek
perumahan yang terlantarkan dan lain-lain.
2. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan kepemilikan dan
penguasaan tanah serta hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanah
(Landreform)
3. Akses-akses penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan.
4. Sengketa perdata yang berkenaan dengan tanah
5. Masalah yang berkenaan dengan hak ulayat masyarakat hukum adat.
Sedangkan menurut Margono (2009:188-189) sengketa yang sering terjadi
saat ini adalah :
1) Sengketa tradisional tentang warisan, keluarga dan tanah
42
2) Sengketa bisnis yang serta berat dengan unsur keuangan, perbankan,
peraturan Perundang-Undangan, etika dan sebagainya
3) Sengketa lingkungan yang rumit dengan masalah pembuktian ilmiah
4) Sengketa tenaga kerja yang diwarnai dengan masalah hak asasi, reputasi,
Negara dan perhatian masyarakat tradisional.
Secara yuridis Harsono (2015:52), lebih lanjut memperinci masalah tanah
yang dapat disengketakan yang terdiri dari :
a. Sengketa mengenai bidang mana yang dimaksud
b. Sengketa mengenai batas-batas bidang tanah
c. Sengketa mengenai luas bidang tanah
d. Sengketa mengenai status tanahnya : tanah Negara atau tanah hak
e. Sengketa mengenai pemegang hak
f. Sengketa mengenai hak yang membebaninya
g. Sengketa mengenai pemindahan haknya
Menurut Sumardjono (2009:28) secara garis besar permasalahan tanah dapat
dikelompokan menjadi 5 yaitu :
a. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek
perumahan yang terlantarkan dan lain-lain.
b. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan kepemilikan dan
penguasaan tanah serta hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanah
(Landreform)
c. Akses-akses penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan
d. Sengketa perdata yang berkenaan dengan tanah
43
e. Masalah yang berkenaan dengan hak ulayat masyarakat hukum adat.
Sedangkan menurut Margono (2009:188-189) sengketa yang sering terjadi
saat ini adalah :
a. Sengketa tradisional tentang warisan, keluarga dan tanah
b. Sengketa bisnis yang serta berat dengan unsur keuangan, perbankan, peraturan
Perundang-Undangan, etika dan sebagainya
c. Sengketa lingkungan yang rumit dengan masalah pembuktian ilmiah
d. Sengketa tenaga kerja yang diwarnai dengan masalah hak asasi, reputasi,
Negara dan perhatian masyarakat tradisional.
2.2.11. Konsep Tentang Penyelesaian Sengketa Tanah
Bentuk suatu penyelesaian sengketa merupakan serangkaian aktivitas yang
diperlukan oleh para pihak yang bersengketa dengan menggunakan strategi untuk
penyelesaiannya. Mekanisme penyelesaian sengketa dapat muncul dalam berbagai
bentuk. Secara umum media penyelesaian sengketa yang tersedia dapat
digolongkan dalam dua bentuk yaitu melalui pengadilan dan penyelesaian
sengketa diluar pengadilan atau sering disebut sebagai alternatif penyelesaian
sengketa.
Alternatif penyelesaian sengketa merupakan sebuah pengertian konsep
penyelesaian konflik atau sengketa yang kooperatife yang diarahkan pada suatu
kesempatan atau solusi terhadap konflik atau sengketa yang bersifat win- win
solution (menang). Cara-cara untuk menyelesaikan sengketa yaitu:
44
1. Memberikan saja, Dalam tahap ini masyarakat yang merasa diperlakukan
tidak adil atau dirugikan gagal dalam upaya menegakkan tuntutannya.
Sehingga mereka mengabaikankan saja isu yang menimbulkan tuntutannya
dan tetap berhubungan dengan pihak yang dirasakan merugikannya. Hal ini
dilakukan karena berbagai kemungkinan, seperti kekurangan informasi
bagaimana proses pengajuan keluhan itu kepengadilan, kurangnya akses
kelembaga pengadilan atau sengaja tidak diproses pengadilan karena
diperkirakan kerugian lebih besar dari pada keuntungan (baik materi maupun
kejiwaannya).
2. Mengelak, Pada tahap ini, pihak yang merasa dirugikan memilih untuk
mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang merugikannya atau sama
sekali tidak berhubungan. Misalnya, dalam hubungan bisnis, hal semacam ini
dapat terjadi. Dengan mengelak, maka isu yang menimbulkan keluhan
dielakkan saja.
3. Paksaan, Tahap selanjutnya, yaitu paksaan dimana salah satu pihak memaksa
pemecahan kepada pihak lain. Tindakan yang bersifat memaksa ini atau
ancaman untuk menggunakan kekerasan, pada umumnya mengurangi
kemungkinan penyelesaian secara damai.
4. Perundingan, Pada tahapan perundingan, dua pihak yang berhadapan
merupakan para pengambil keputusan pemecahan dari permasalahan yang
mereka hadapi dilakukan oleh kedua bela pihak, mereka sepakat tanpa adanya
pihak ketiga ikut campur. Kedua bela pihak berupaya untuk saling
meyakinkan, dengan menggunakan aturan yang mereka buat sendiri.
45
5. Mediasi, Dalam cara ini, ada pihak ketiga yang membantu kedua bela pihak
yang berselisi pendapat untuk menemukan kesepakatan. Pihak ketiga ini
dapat ditentukan oleh kedua bela pihak atau ditunjuk oleh orang yang
mempunyai wewenang.
6. Arbitrase, Kedua bela pihak sepakat untuk meminta bantuan perantara pihak
ketiga, arbitrator, dan sejak semula telah setujuh bahwa mereka akan
menerima apapun keputusan yang diambil oleh arbitrator.
7. Pengadilan, Disini, pihak ketiga berhak mencampuri pemecahan masalah,
lepas dari keinginan pihak sengketa. Pihak ketiga juga memiliki hak membuat
dan menegakkan keputusan itu artinya bahwa keputusan berupaya
dilaksanakan.
Bentuk penyelesaian sengketa lainnya yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
bersengketa adalah negosiasi. Penyelesaian sengketa model seperti ini disebut
penyelesaian untuk menghasilkan suatu keputusan atau kesepakatan tanpa campur
tangan pihak ketiga. Biasanya model penyelesaian seperti ini tidak berdasarkan
peraturan yang ada melainkan aturan yang mereka buat sendiri.
Sedangkan penyelesaian yang melibatkan pihak ketiga meliputi penyelesaian
yang berbentuk ajudikasi, arbitrase, dan mediasi. Bentuk-bentuk penyelesaian
sengketa ini mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah bahwa
ketiga bentuk penyelesaian bersifat triadic karena melibatkan pihak ketiga.
Perbedaannya adalah sebagai ajudikasi merupakan penyelesaian yang
dilakukan oleh pihak ketiga yang mempunyai wewenang untuk campur tangan
dan dapat melaksanakan keputusan yang telah ditentukan tanpa memperhatikan
46
apa yang menjadi kehendak kedua belah pihak. Berbeda dengan ajudikasi,
arbitrase merupakan penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh pihak ketiga dan
keputusannya disetujui oleh pihak-pihak yang bersengketa. Sedangkan mediasi
adalah bentuk penyelesaian yang melibatkan pihak ketiga untuk membantu pihak-
pihak yang bersangkutan dalam mencapai persetujuan.
2.2.12. Hak Milik Atas Tanah
Menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA pengertian hak milik adalah sebagai
berikut: hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas
tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Berdasarkan ketentuan tersebut
bahwa sifat-sifat hak milik membedakan dengan hak-hak lainnya. Hak milik
adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas
tanah.
Berdasarkan Pasal 21 UUPA yang menjadi subyek hak milik adalah sebagai
berikut:
1) Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik;
2) Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak
milik;
3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak
milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena
perkawinan.
47
4) Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak
milik dan baginya berlaku ketentuan ayat (3) Pasal ini.
Hak milik atas tanah yang terjadi karena ketentuan Undang-Undang artinya
Undang-Undang yang menetapkan hak milik tersebut. Contohnya hak milik atas
tanah yang berasal dari konversi tanah bekas milik adat. Tanah milik adat pada
hakekatnya merupakan tanah hak, akan tetapi menurut hukum tanah nasional yang
berlaku di Indonesia pada tanggal 24 September 1960 tanah milik adat dapat
menjadi hak milik jika telah dikonversikan. Konversi adalah penyesuaian suatu
tanah hak menurut hukum yang lama menjadi sesuatu hak atas tanah menurut
hukum yang baru.
Rahardjo (2012:96), telah mengelompokkan 5 (lima) hak, yaitu:
a. Hak sempurna dan hak tidak sempurna
b. Hak utama dan hak tambahan
c. Hak publik dan hak perdata
d. Hak-hak positif dan negatif
e. Hak milik dan pribadi
Pasal 16 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 menyebutkan tentang hak-hak atas
tanah yang bersifat tetap antara lain:
a. Hak Milik
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangun
d. Hak Pakai
48
e. Hak Sewa
f. Hak Membuka Tanah
g. Hak Memungut Hasil Hutan.
2.2.13. Definisi Konsepsional
Berdasarkan penjelasan teori yang ada peran tokoh adat meliputi motivator,
fasilitator, dan mediator dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat sebagai
beriku:
Peranan tokoh adat dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat di Desa Long
Temuyat Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Utara adalah serangkaian
perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang
diberikan baik secara formal maupun secara informal agar hak turun-temurun,
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan melakukan
pendekatan kualitatif, dimana penulis dalam hal ini menggambarkan keadaan
gejala-gejala tentang kegiatan atau program tertentu yang dilaksanakan terhadap
fenomena-fenomena yang terjadi dilapangan pada saat sekarang berdasarkan
fakta-fakta yang tampak atau bagaimana adanya.
Moleong (2011:11), mengemukakan bahwa deskriptif adalah data yang
dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Dari pengertian
ini, dijelaskan penelitian deskriptif dalam penyajian data itu lebih kepada, kata-
kata, kalimat ataupun gambar, juga berupa naskah wawancara, catatan lapangan,
video tape, dokumen pribadi, dokumen resmi atau memo. Hal ini disebabkan oleh
karena adanya penerapan metode kualitatif. Jadi penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif, karena pada dasarnya peneliti ini menggambarkan dan
mengetahui permasalahan yang diteliti dalam penelitian tersebut, yaitu “Peranan
Tokoh Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat di Desa Long Temuyat
Kecamatan Kayan Hulu Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Utara”.
3.2 Fokus Penelitian
Adapun fokus penelitian yang penulis teliti adalah:
1. Peranan Tokoh Adat Dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat di Desa
Long Temuyat Kabupaten Malinau :
50
1.1. Motivator
1.2. Mediator
1.3. Fasilitator
2. Faktor penghambat dan pendukung tokoh adat dalam menyelesaikan sengketa
tanah ulayat di Desa Long Temuyat Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan
Utara.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Menurut Moleong (2011:90), sumber data utama dalam penelitian kualitatif
ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen
dan lain-lain.
Sumber data adalah objek dimana data dapat diperoleh untuk mempermudah
dalam mengklasifikasian data.Disini yang menjadi sumber data adalah informan.
Menurut Moleong (2011:157) informan adalah orang yang dimanfaatkan
untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Dalam
penelitian ini, penunjukan key informent menggunakan teknik Purposive
Sampling.
Menurut Pasolong (2013:70) teknik Purposive Sampling adalah suatu teknik
penarikan sampel yang digunakan dengan cara sengaja atau menunjuk langsung
kepada orang yang dianggap dapat mewakili karakteristik-karakteristik populasi.
Penggunaan teknik ini senantiasa mempunyai pertimbangan-pertimbangan
tertentu, yaitu peneliti harus terlebih dahulu memiliki pengetahuan tentang ciri-
ciri tertentu yang telah didapat dari sampel sebelumnya.
51
Dengan teori yang telah diuraikan maka informan kunci dalam penelitian ini
terdiri dari key informent dan informan pendukung yang terlibat dalam
menjalankan aturan hukum adat terhadap hak milik atas tanah di Desa Long
Temuyat Kabupaten Malinau. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua
jenis, menurut Pasolong (2013:108) yaitu :
1. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung oleh pengumpul data
(peneliti) dari objek penelitianya. Data yang diperoleh yaitu melalui
wawancara secara langsung dengan menggunakan pedoman wawancara
sesuai dengan fokus penelitian yang penulis teliti. Data primer adalah sebagai
berikut:
a. Key informent : Tokoh Adat.
b. Informan pendukung : Kepala Desa, Tokoh Masyarakat dan 4 orang
masyarakat.
2. Data Sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek
penelitian. Data yang telah lebih dahulu dikumpulkan atau digunakan oleh
organisasi yang bukan pengelolanya, data yang diperoleh dari peneliti lain
atau dari catatan di instansi atau dari mana saja sudah diolah. Data yang
penulis peroleh melalui sumber informasi, yakni :
a. Dokumen dari yang ada di rumah Kepala Desa
b. Buku-buku referensi yag terdapat diperpustakaan
52
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Menurut Pasolong (2013:130) Pengumpulan data merupakan proses
pengadaan data primer untuk kebutuhan suatu penelitian. Pengumpulan data yaitu
merupakan suatu langkah yang sangat penting dalam metode ilmiah karena pada
umumnya data yang terkumpul digunakan dalam rangka analisis penelitian. Untuk
mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, teknik
pengumpulan data yang dilakukan penulis ada beberapa macam cara yaitu:
1. Library Search (Penelitian Kepustakaan), yaitu penyelidikan yang bertujuan
mengumpulkan data dan informasi yang terdapat diruang perpustakaan,
seperti buku, majalah, dokumen, catatan, dan lain-lainnya yang berhubungan
dengan penelitian.
2. Feld Work Rearch (Penelitian Lapangan), yaitu penyelidikan yang dilakukan
dalam kehidupan sebenarnya. Penulis langsung mengadakan penelitian
kelapangan dengan mempergunakan cara :
a. Observasi
Suatu upaya mengamati dan memahami secara langsung tentang objek
yang akan diteliti secermat mungkin agar data yang diperoleh nanti lebih
akurat.
b. Wawancara
Cara memperoleh data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung
yang terarah dan terkordinir sesuai dengan tujuan. Dengan demikian
wawancara yang penulis lakukan dalam penelitian ini yaitu mengajukan
pertanyaan langsung kepada responden yang telah terpilih. Dengan
Penelitian menyimpulkan data sesuai dengan rumusan masalah yang telah
dikemukakan. Data-data yang sudah dideskripsikan disimpulkan secara umum.
Simpulan tersebut meliputi peranan tokoh adat, aturan hukum adat dan hak milik
atas tanah. Setelah disimpulkan, analisis data kembali pada tahap awal sampai
semua data kompleks.
Dengan menggunakan prosedur analisis data kualitatif yang berdasarkan pada
analisis data model interaktif dari Miles, Huberman dan Saldana (2014:22),
langkah pertama yang dilakukan peneliti adalah melakukan reduksi data. Data
hasil observasi, wawancara, serta catatan lapangan dikumpulkan dan
diklasifikasikan dengan membuat catatan-catatan ringkasan, kemudian dibuat
suatu kode-kode tertentu. Data yang telah dibuat kode kemudian dipilih dan
disusun secara sistematis ke dalam suatu unit dengan sifatnya masing-masing data
dengan menonjolkan hal-hal yang bersifat pokok dan penting, sehingga dapat
memberikan gambaran yang jelas dari hasil penelitian.
Langkah selanjutnya adalah melakukan penyajian data. Dalam langkah kedua
ini, data-data yang telah direduksi dan dipilih sesuai dengan sifatnya masing-
masing, kemudian dibuat ke dalam bentuk matriks penyajian data kemudian
disajikan dalam bentuk tulisan deskriptif agar mudah dipahami secara keseluruhan
57
dan juga dapat digunakan untuk menarik kesimpulan dalam melakukan
penganalisisan dan penelitian selanjutnya.
Langkah terakhir yaitu penarikan kesimpulan atau verifikasi. Dalam tahap ini
hasil penelitian yang telah terkumpul dan terangkum harus di ulang kembali
dengan mencocokkan pada reduksi data dan penyajian data, agar kesimpulan yang
telah dikaji dapat disepakati utnuk ditulis sebagai laporan yang memiliki tingkat
kepercayaan yang benar. Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam
penelitian ini dilakukan wawancara secara mendalam kepada informan, obsevasi
dalam dokumentasi selanjutnya data tersebut dianalisis dengan menggunakan
kata-kata yang biasa disusun kedalam teks yang diperluas.
58
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Desa Long Temuyat merupakan buah hasil pemekaran desa induk ibukota
Kecamatan Kayan Hulu. Desa ini memiliki latar belakang dan karakteristik yang
sama karena berasal dari Ras dan Suku yang sama dengan masyarakat Long
Nawang, dimana hampir sebagian besar penduduknya menggantungkan nasib
hidup hanya dengan bercocok tanam atau berladang dan juga letaknya jauh dari
wilayah pusat Kabupaten atau Kota. Pemimpin Desa Long Temuyat pada saat itu
Sawang Uluk dengan jumlah penduduk 300 jiwa kemudian pada tahun 1952
Sawang Uluk meninggal dunia pada tahun yang sama diangkat seorang pemimpin
yang bernama Uluk Jalung sampai tahun 1973 dan pindah ke rukun damai
bersama warga Desa Long Temuyat. Setelah beberapa tahun kemudian Desa Long
Temuyat pindah ke hilir sungai Nawang letaknya berdampingan dengan Desa
Nawang Baru yang batas desanya hanya jembatan sungai Keduya pada tahun
1980. Pemimpin suku atau kampong Long Temuyat pada saat itu dibawah
naungan kepala kampung Surang Imang tergabung dalam wilayah Kabupaten
Bulungan.
Sebagai desa yang dekat berdekatan dengan kecamatan, masyarakat melalui
pemerintah desa, selalu memberikan usulan kepada pihak terkait untuk dapat
kiranya membangun atau membuka akses jalan darat antara pemukiman penduduk
di sekitar Long Temuyat yang sedang berkembang saat ini, serta merencanakan
60
membuka badan jalan yang menuju pusat kecamatan sebagai sarana penunjang
masyarakat setempat dalam menjalankan aktifitas perekonomian dan pendidikan
untuk menjangkau sampai Desa Long Nawang sebagai pusat pemerintahan
kecamatan.
Luas wilayah Desa Long Temuyat Kecamatan Kayan Hulu ± 160.00 Ha
merupakan daerah dataran tinggi dengan ketinggian 5000 M dari permukaan laut,
dengan batas-batas wilayah:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Long Betaoh
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Nawang Baru
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Long Nawang
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Serawak Malaysia
Visi dan Misi Desa Long Temuyat
Visi :
Visi Desa Long Temuyat Bersatu Untuk Maju Melalui Gerakan Desa Membangun
(GERDEMA).
Misi :
a. Membina kehidupan masyarakat yang lebih baik untuk bersatu.
b. Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan
pertanian dan perkebunan secara berkelanjutan dan keadilan.
c. Mengutamakan peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
d. Membangun semangat otonomi desa yang bermakna bagi kehidupan masyarakat.
e. Merekatkan harmonisasi kerukunan antar dan sesama umat beragama.
Kepala Desa
Sekretaris DesaBendahara LPPM
Kepala Urusan Umum Kepala Urusan PemerintahanKepala Urusan Pembangunan
Seksi Seksi Seksi Seksi Seksi
61
f. Bersama-sama menjaga dan memelihara keamanan dan ketentraman.
g. Meningkatkan mutu dan produktivitas sumber daya manusia.
Berikut Struktur Organisasi Kantor Desa Long Temuyat Kecamatan Kayan
Hulu Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Utara :
Gambar 4.1Struktur Organisasi Pemerintah Desa Long Temuyat
Sumber : Kantor Desa Long Temuyat, 2018
4.1.2. Pertumbuhan Penduduk
Jumlah penduduk Desa Long Temuyat memiliki pertumbuhan penduduk yang
cukup signifikan dimana dilihat dari jumlah pertambahan Rukun Tetangga pada tahun
2017 dari tiga menjadi empat Rukun Tetangga. Adapun jumlah penduduk Desa Long
Temuyat dapat dilihat pada tabel 4.1 dibawah ini
62
Tabel 4.1Jumlah Penduduk Desa Long Temuyat Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah
1 Laki- Laki 424 Jiwa
2 Perempuan 400 Jiwa
3 Jumlah KK 142 KK
Total 824 Jiwa
Sumber : Kantor Desa Ritan Baru, 2017
Berdasarkan tabel 4.1 diatas bahwa jumlah penduduk yang paling banyak di
Desa Long Temuyat adalah laki-laki sebanyak 424 jiwa dan perempuan sebanyak 400
jiwa.
4.1.3. Bidang Pealayanan Publik
Bidang pelayanan secara efektif dan efesien bagi warga masyarakat yang ada di
Desa Long Temuyat, terutama dalam hal penyelesaian sengketa tanah atau
permasalahan yang sudah terjadi sudah cukup baik dilakukan hanya saja masih
banyak pihak yang kurang mendukung dengan segala bentuk penyelesaian yang ada
di Desa.
Sengketa Tanah Ulayat antar masyarakat Desa Long Temuyat dengan
masyarakat yang lain dimana tanah ulayat yang menjadi sengketa dengan luas
wilayah Desa Long Temuyat Kecamatan Kayan Hulu ± 95,6.00 Ha. Hak ulayat
masyarakat hukum adat diartikan sebagai “kewenangan yang menurut hukum adat
dipunyai oleh kelompok masyarakat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang
63
merupakan lingkungan hidup para masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber
daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup
masyarakat, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun
temurun dan tidak terputus antara masyarakat dengan masyarakat dengan wilayahnya
tersebut. Salah satu sengketa antara masyarakat adat Desa Long Temuyat yaitu
sengketa tanah antara masyarakat Perbuatan jual beli oleh masyarakat adatpun terjadi
pada areal lahan transmigrasi yang sudah bersertipikat yang tidak dimanfaatkan oleh
masyarakat transmigrasi karena lahan tanahnya kurang subur. Menurut masyarakat
adat/pemilik tanah semula, bahwa tanah-tanah adat yang sudah pernah dilakukan
pelepasan hak oleh pemiliknya dahulu direclaiming atau diminta kembali oleh para
ahli warisnya (keturunan terdahulu) dengan dalih bahwa mereka tidak pernah tahu
adanya pelepasan hak atas tanah tersebut dan dari luas tanah yang dilepaskan ternyata
termasuk bagian dari tanah miliknya.
Berikut penulis akan membahas hasil penelitian yang didapatkan berdasarkan
fokus yang telah digunakan, antara lain :
4.2.1 Peranan Tokoh Adat Dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat di Desa
Long Temuyat Kabupaten Malinau
4.2.1.1. Sebagai Motivator
Keberadaan Kepala Adat merupakan orang yang paling dihormati oleh
masyarakat adat Desa Long Temuyat dan dapat menyelesaikan sengketa adat karena
memahami hukum adatnya. Berdasarkan hal itu diperlukan peran Kepala Adat untuk
64
menyelesaikan sengketa tanah Adat antara Desa Long Temuyat. Keadaan masyarakat
Desa Long Temuyat yang bersifat komunal yang sangat mementingkan peranan
seorang pemimpin sebagai Kepala Masyarakat, khususnya Kepala Adat. Sebagai
kepala adat bertindak sebagai motivator yaitu orang yang mampu memberikan suatu
solusi atau motivasi yang baik bagi pihak yang bersengketa.
Motivator merupakan orang yang dapat memberikan suatu motivasi kepada
orang lain untuk melakukan hal yang lebih bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang
lain. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Ding Usat (62 tahun) selaku Kepala
Adat Desa Long Temuyat Menyatakan:
“Selaku kepala adat Desa Long Temuyat saya mencoba menjadi motivator yang baik dalam memnyelesaikan sengketa tanah yang terjadi di desa, masyarakat yang sedang bersengketa saya berikan suatu masukan untuk segera menyelesaikan masalah sengketa biar tidak berlarut-larut yang menjadi pihak sengketa biasanya masih keluargaan, bahkan dari kampung atau desa sebelah yang sebelumnya pernah tinggal di desa ini karena mendapat warisan dari keluarga padahal tanah ulayat tidak boleh dijual belikan. Sengekata tanah terjadi karena para pihak mersa benar dan memiliki semua tanah yang diwariskan, sebagai kepala adat hanya bertindak sebagai motivator yang baik untuk dapat segera menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Desa Long Temuyat, dimana sebagai kepala adat harus langsung turun tangan agar tidak terjadi permasalahan yang lebih luas lagi antar pihak yang bersengketa, saya pelajari dulu permasalahannya, dan cari tau batas tanah yang dimiliki dari ahli waris yang lain terjadinya sengketa sekitar 4 bulan yang lalu, akibat dari ketidakjelasan batas tanah yang dimiliki oleh pihak yang bersengketa hanya mengandalkan ingat saja. Kepala desa sebagai motivator dalam menyelesaikan sengketa tanah adalah dengan memberikan pencerahan kepada pihak yang melakukan sengketa” (Wawancara, 21 April 2019)
65
Selanjutnya hasil wawancara dengan Bapak Bilung Usat (53
tahun) selaku Kepala Desa Long Temuyat Menyatakan:
“Motivasi merupakan suatu tindakan dalam memberikan masukan yang baik kepada pihak yang bersengketa, masyarakat desa Long Temuyat yang melakukan sengekata karena sudah pindah dari desa dan ingin kembali mengambil alih kepemilikan lahan atau tanh yang diwariskan oleh orang tuanya dulu, sebagai bentuk warisan yang diberikan padahal sebagaian masyarakat tidak memiliki bukti yang nyata, sengketa terjadi di Desa Long Temuyat sekitar 4 bulan yang lalu, dan disitulah peran kepala adat memberikan suatu motivasi yang baik dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi” (Wawancara, 22 April 2019)
Kemudian hasil wawancara dengan Bapak Ungau Anye (50 tahun) selaku
Tokoh masyarakat Desa Long Temuyat Menyatakan:
“Peran kepala adat desa sebagai motivator memberikan suatau pemahaman yang baik mengenai permasalahan yang terjadi dimana kepala adat bersama kepala desa dan tokoh msyarakat turut serta dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi hanya saja keputusan semua di tangan kepala adat. Yang bersengketa masih masyarakat desa Long Temuyat hanya saja sudah pindah ke desa sebelah, mereka mengambil tanag sebagai bentuk warisan dari orangtua mereka, kejadian sengketa sendiri di desa Long Temuyat sekitar 4 bulan yang lalu dan permasalahan yang terjadi karena batas tanah. Disitulah kepala adat melakukan perannya sebagai orang yang di tuakan dengan memeberikan suatu motivasi agar tidak terjadi keributan mengenai sengketa tanah ulayat yang dari turun temurun sudah diwariskan” (Wawancara, 23 April 2019)
Berdasarkan hasil wawancara di atas menerangkan bahwa Kepala Adat
sebagai seorang motivator dalam menyelesaikan sengketa tanah dengan memberikan
pencerahan kepada pihak yang melakukan sengketa dimana Kepala Adat memberikan
66
penjelasan mengenai ketidakjelasan tanah karena tidak memiliki surat, batas tanah
yang tidak jelas karena hanya menggunakan tanaman yang sifatnya tidak permanen.
Tokoh Adat sangat penting untuk mengkoordinir dan memotivasi masyarakat
agar tingkah lakunya sesuai dengan ketentuan hukum. Hal ini tidak lain karena tugas
yang dihadapi oleh Tokoh Adat sangat berat, terutama yang berkaitan dengan hukum
adat, baik yang berhubungan dengan kehidupan maupun kematian. Sehingga dengan
pengetahuan adat dan hukum adat yang dimilikinya tersebut. Kepala adat diharapkan
dapat melaksanakan tugas memelihara, menjalankan, dan menyelesaikan
permasalahan yang disebabkannya. Masyarakat Desa Long Temuyat dalam
persekutuan hidup bersama tidak mungkin dapat menyelesaikan masalahnya sendiri
kecuali adanya campur tangan pihan fungsionaris hukum adat, karena itu untuk
menyelesaikan segala permasalahan dalam masyarakat semua tertumpu kepada
Kepala Adat.
Hal ini sebagai wadah masyarakat dalam menyelesaiakan permasalahan yang
tidak dapat diselesaikan oleh anggota masyarakat adat. Kenyataan yang dialami oleh
masyarakat Desa Long Temuyat jika mereka terlibat konflik tanah dan satu-satunya
tempat masyarakat Desa Long Temuyat merasa yakin jika segala masalah atau
konflik tanah yang dapat diselesaikan oleh Tokoh Adat, maka semua anggota
masyarakat akan mentaati dan menghormati segala putusan yang telah dibuatnya.
Dalam mencari jalan penyelesaian mengenai konflik tanah yang terjadi, masyarakat
Desa Long Temuyat menghendaki adanya penyelesaian yang rukun dan damai tidak
67
saja terbatas pada pihak yang berselisih tetapi juga semua pihak yang terkait dalam
konflik tanah tersebut.
4.2.1.2.Mediator
Peran Tokoh Adat adalah sebagai mediator dimana mediator merupakan
penengah/pihak ketiga yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa
dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk
mengambil keputusan secara langsung melainkan mendengarkan dari berbagai pihak.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Ding usat (62 tahun) selaku Kepala
Adat Desa Long Temuyat menyatakan:
“sebagai mediator Kepala Adat membantu para pihak dalam memahami pandangan masing-masing dan membantu mencari persoalan-persoalan yang dianggap penting bagi mereka. Kepala adat sebagai mediator atau penengah dari kedua belah pihak yang bersengketa dengan mencari bukti otentik terlebih dahulu dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan bukti yang benar-benar nyata. Jadi kepala desa benar-benar sebagai penenagh yang bersikap adil tanpa memihak kepada sapapun juga” (Wawancara, 21 April 2019)
Kemudian hasil wawancara dengan Bapak Ungau Anye (50 tahun) selaku
Tokoh masyarakat Desa Long Temuyat Menyatakan:
“Kepala adat bertindak sebagai mediator, dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian masalah/sengketa yang dihadapi para pihak, yang selanjutnya akan dituangkan dalam kesepakatan bersama anatara kedua belah pihak yang melakukan sengekata tanah ulayat dengan melakukan mediasi terlebih dahulu dengan para pihak yang bersengketa, kemudian Kepala Adat akan mencari bukti yang mendukung sebelum memutuskan siapa yang salah dan benar” (Wawancara, 22 April 2019)
68
Hal serupa disampaikan oleh Bapak Balan Lie (48 tahun) selaku masyarakat
Desa Long Temuyat menyatakan bahwa:
“Kepala Desa sebagai mediator mempermudah pertukaran informasi, mendorong diskusi mengenai perbedaan-perbedaan kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap situasi dan persoalan-persoalan dan membiarkan, tetapi mengatur pengungkapan emosi, sehingga kepala adat sebagai penengah benar-benar dituntut untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi tentu saja mendapatkan bukti dan masukan dari semua tokoh masyarakat juga Kepala Desa” (Wawancara, 23 April 2019)
Berdasarkan hasil wawancara di atas menerangkan bahwa peranan tokoh Adat
desa Long Temuyat sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa tanah adalah
sebagai penengah yang bersikap netral tidak berat sebelah, sebagai pendamai yang
menawarkan sebuah solusi kepada pihak yang bersengketa dan sebagai pengambil
keputusan adat.
Tokoh Adat sebagai seorang pemimpin yang benar-benar memimpin
Masyarakat dengan berpegang pada adat dan aturan yang sebenarnya, tidak memihak
saat bertindak menjadi Penengah dalam suatu pekara dan tidak berat sebelah dalam
suatu keputusan, kedudukan Tokoh Adat sangat strategis, karena Tokoh Adat
menjalankan hak, wewenang dan Adat Istiadat yang penyelenggaraan tanggumg
jawab dalam pembangunan Kemasyarakatan. Peranan Tokoh Adat Desa Long
Temuyat dalam upaya menyelesaikan sengketa tanah adalah sebagai :
Mediator/Penengah Tokoh Adat Berperan Sebagai penengah yang menengahi kedua
belah pihak yang bersengketa, Tokoh Adat harus bersikap netral dan tidak boleh berat
sebelah karena jika Tokoh adat bersikap tidak adil atau berat sebelah maka tokoh
69
Adat dapat dikenakan denda oleh Persedium Dewan Adat Kabupaten Malinau karena
telah melanggar Hukum Adat oleh karena itu tidak sembarangan orang bisa menjabat
sebagai Kepala Adat.
Tokoh Adat harus mengetahui hukum adat dan ilmu silsilah yaitu ilmu untuk
menelusuri keturunan mana yang memiliki hak atas tanah yang disengketakan.
Pendamai Sebagai pendamai Tokoh Adat berusaha mendamaikan kedua belah pihak
yang bersengketa dengan menawarkan sebuah solusi dan melakukan negosiasi kepada
pihak yang berkonflik dan Tokoh Adat sangat menjaga jangan sampai terjadi sebuah
permusuhan yang mengakibatkan renggangnya tali persaudaraan antar warga desa.
Pengambil Keputusan Adat, Tokoh Adat harus hati-hati karena keputusan yang
diambil Tokoh Adat sangat berpengaruh dan dapat menimbulkan sebuah perpecahan
antar warga Desa Long Temuyat. Oleh karena itu keputusan yang Tokoh Adat ambil
harus seadil-adilnya berdasarkan bukti dari keterangan para saksi yang dihadirkan,
data yang didapat dilokasi tanah yang disengketakan sesuai tidak dengan keterangan
para saksi dan berdasarkan silsilah keluarga untuk mengetahui keturunan yang
memiliki hak atas tanah.
Peranan Tokoh Adat dalam menyelesaikan sengketa tanah Tokoh Adat Desa
Long Temuyat memiliki peranan penting dalam menjaga kerukunan dalam
persekutuan masyarakat adat dan Tokoh Adat merupakan tempat bersandarnya
Anggota Masyarakat untuk menyelesaikan, melindungi dan menjamin ketentraman,
maka Tokoh Adat adalah satu-satunya tempat Anggota Masyarakat bersandar untuk
menyelesaikan masalahnya.
70
Dengan demikian seorang mediator tidak hanya bertindak sebagai penengah
belaka yang hanya bertindak sebagai penyelenggara dan pemimpin diskusi saja, tetapi
juga harus membantu para pihak untuk mendesain penyelesaian sengketanya,
sehingga dapat menghasilkan kesepakatan bersama. Dalam hal ini seorang mediator
juga harus memiliki kemampuan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang
nantinya akan dipergunakan sebagai bahan untuk menyusun dan mengusulkan
berbagai pilihan penyelesaian masalah yang disengketakan. Kemudian mediator juga
akan membantu para pihak dalam menganalisis sengketa/pilihan penyelesaiannya
sehingga akhirnya dapat mengemukakan rumusan kesepakatan bersama sebagai
solusi penyelesaian masalah yang juga akan ditindak lanjuti secara bersama.
4.2.1.3. Sebagai Fasilitator
Keberadaan peran kepala Adat sebagai fasilitator yaitu orang yang membantu
sekelompok orang memahami tujuan bersama mereka dan membantu dalam membuat
rencana guna mencapai tujuan tersebut tanpa mengambil posisi tertentu dalam
diskusi atau musyawarah atau merupakan orang yang paling dihormati oleh
masyarakat adat Desa Long Temuyat dan dapat menyelesaikan sengketa adat karena
memahami hukum adatnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Ding usat
(62 tahun) selaku Kepala Adat Desa Long Temuyat mengenai Menyatakan:
“Kepala adat merupakan fasilitator dalam memberikan suatu solusi bagi apra pihak yang bersengketa menganai tanah ulaya yang terjadi di Desa Long Temuyat, kepala adat memberikan fasilitas kepada para pihak untuk menyampaikan seluruh pendapat dan persoalan yang terjadi, akan tetapi
71
peran kepala kepala adat sebagai fasilitator tidak berpihak kepada sia papun juga, melainkan hanya sebagai orang yang memberikan fasilitas untuk mencari bukti yang benar-benar nyata” (Wawancara, 21 April 2019)
Senada yang disampaikan iforman sebelumnya dimana menurut Bapak Lutang
Imang (50 tahun) selaku masyarakat Desa Long Temuyat menyatakan bahwa:
“Tokoh adat menjadi fsilitator dalam mengatasi sengketa tanah ulayat yang terjadi dengan memberikan suatu bentuk fasilitas kepada kedua belah pihak untuk membicarakan dan menceritakan permasalahan yang terjadi dengan bukti yang ada, seteleah bukti yang ada di peroleh kepala adat akan mempelajari dan mencari tahu kebenaran sebelum memutuskan siapa pemiliknya” (Wawancara, 22 April 2019)
Serupa yang disampaikan informan sebelumnya, menurut Bapak Gun Dian (45
tahun) selaku masyarakat Desa Long Temuyat menyatakan bahwa:
“Peran Tokoh adat Desa Long Temuyat sebagai fasilitator merupakan orang yang memberikan fasilitas kepada pihak yang melakukan sengketa tanah ulayat dengan memberikan bukti yang jelas dan batas serta saksi kepada kepala adat untuk memutuskan siapa pemilik tanah ulayat yang sebenarnya, jika sudah diperoleh baru kepala adat memutuskan” (Wawancara, 23 April 2019)
Hasil wawancara dengan Bapak Ngang Jan (43 tahun) selaku masyarakat Desa
Long Temuyat menyatakan bahwa:
“Sebagai fasilitator kepala adat memiliki peranan yang lain sebagai orang yang benar-benar dapat memberikan keputusan yang adil akan permasalahan sengketa tanah ulayat yang terjadi antara masyarakat desa Long Temuyat dengan bukti yang diberikan kepada semua saksi dan yang dibantu oleh kepala desa dan para tokoh masyarakat, sehingga sebagai fasilitator kepala aadat benar-benar menjalankan peranannya seadil- adilnya tanpa memihak pada siapapun juga” (Wawancara, 23 April 2019)
72
Berdasarkan wawancara di atas menerangkan bahwa peranan Kepala Adat
desa Long Temuyat sebagai fasilitator dalam menyelesaikan sengketa tanah adalah
dengan memberikan jalan keluar dalam memfasilitasi permasalahan sengketa tanah
ulayat sudah sangat baik, dengan melakukan upaca adat sebagai usaha menyelesaikan
konflik sengketa tanah ualayat yang terjadi.
Dalam mencari jalan penyelesaian sengketa tanah yang terjadi di desa Long
Temuyat menghendakai penyelesaian rukun dan damai tidak hanya terbatas pada
pihak yang berselisih tapi juga pihak yang terkait dengan sengketa tanah tersebut.
Masyarakat Desa Long Temuyat tidak menghendaki keputusan menang atau kalah,
tetapi yang dikehendaki adalah suatu keputusan yang adil bagi kedua belah pihak,
sehingga diharapkan tidak terjadainya suatu permusuhan yang mengakibatkan
renggangnya ikatan kekerabatan atau putus karena persengketaan yang tidak
ditemukan penyelesaiannya. Persoalan menyakut hak kepemilikan atas tanah tersebut,
sering sekali senjadi pula menjadi sebuah konflik persengketaan tanah. pola
penyelesaian sengketa tanah tersebut ada beberapa mekanisme penyelesaian seketa
tanah di desa sakaq lotoq yang beranjak dari kearifan kultural yang mengedepankan
aspek kekeluargaan.
Apabila model di atas tidak menemukan penyelesaian maka penyelesaian
kedua adalah melalui kompromi yaitu dimana Kepala Adat Desa Long Temuyat
berusaha untuk melakukan negosiasi kepada kedua belah pihak yang bersengketa
dengan menawarkan solusi seperti membagi rata saja tanah yang disengketakan.
73
Solusi yang dilakukan oleh Kepala Adat dengan melakukan perundingan
terlebih dahulu antar dua pihak yang bersengketa. Jika solusi yang diberikan kepala
adat tidak diterima oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak maka kepala adat
akan melakukan penyelesaian penyelesaian sengketa tanah melalui Pengadilan Adat,
yang artinya konflik sudah tidak bisa lagi diselesaikan secara kekeluargaan, dan mau
tidak mau penyelesaian melalui Pengadilan Adat. Dalam penyelesaian melalui
pengadilan adat Kepala Adat akan berperan sebagai penengah dan hakim pendamai
yang akan mengambil sebuah keputusan. Keputusan yang diambil bersarkan
keterangan para saksi yang benar-benar mengetahui tentang tanah tersebut atau Saksi
yang berbatasan langsung dengan pemilik tanah yang bersengketa. Karena
keberadaan saksi dimaksudkan untuk mencari kebenaran yang nyata sehingga akan
bermanfaat bagi semua pihak danakan dihasilkan kesepakatan sehingga akan
mengembalikan keadaan masyarakat desa Long Temuyat dan segala aspeknya pada
kondisi yang normal seperti sebelum terjadi sengketa tanah.
Ritual Adat dan surat perjanjian damai untuk menghindari agar tidak lagi
terjadinya sengketa tanah antar warga desa Long Tmuyat maka kedua belah pihak
wajib membayar denda adat dengan piring keramik putih,mangkuk keramik putih,
satu butir telur ayam kampung, bedak dingin, kunyit, serta paku yang akan digunakan
untuk memecahkan telur serta uang Rp 500.000.00, telur ayam akan dipecahkan
untuk di campur dengan bedak dingin kemudia di oleskan kepada kedua pihak yang
bersengketa masyarakat Desa Long Temuyat percaya dan yakin bahwa ritual Adat
yang dilakukan ini dapat mendinginkan hati kedua belah pihak dan menghilangkan
74
rasa kebencian antar keduanya. Kedua belah pihak yang bersengketa wajib
menandatangani surat perjajian di atas materai bahwa kedua belah pihak telah
berdamai dan menerima keputusan yang telah diambil oleh Kepala Adat. Dan jika
keputusan yang diambil Kepala Adat tidak diterima oleh salah satu pihak maka pihak
tersebut berhak melakukan banding dan pekara akan diserahkan Kepada Kepala Adat
Besar Kecamatan Nawang Baru. Dalam menyelesaian konflik sengketa tanah di desa
Long Temuyat.
Tanah yang dimiliki adalah turun menurun dari Nenek Moyang sehingga jika
terjadi sengketa tanah akan sangat sulit untuk medapatkan saksi karena saksi banyak
yang sudah meninggal, tua dan ingatanya otomatis berkurang. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Kepala Adat untuk saat ini penyelesaian konflik sengketa tanah
hanya sampai ketingkat pengadilan adat desa saja dan belum ada yang sampai ke
tingkat Kecamatan.
Dengan demikian, peranan Kepala Adat Desa Long Temuyat adalah sebagai
Penengah, Hakim Pendamai dalam persidangan adat dan juga sebagai pengambil
Keputusan Adat, yang mana keputusan tersebut mengikat kepada pihak-pihak yang
bersengketa serta menciptakan kerukunan dalam keluarga. Hal ini disebabkan
kehidupan mereka masih terikat dalam satu persekutuan yang berdasarkan keturunan
darah. Masyarakat yang masih terikat komunal demikian sangat sulit bila hidup tanpa
persekutuan, karena persekutuan merupakan sifat tradisional dari nenek moyang
diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya maka, merupakan bukti dari sifat
komunal tersebut, dapatdilihat dari setiap mereka melakukan pekerjaan yang lebih
75
besar. Misalnya mereka menanam padi diladang, mempersiapkan upacara
perkawinan, melaksanakan upacara kematian dan upacara ritual lainnya selalu
dikerjakan dengan gotong royong.
Keadaan masyarakat Desa Long Temuyat yang bersifat komunal diatas adalah
sangat mementingkan peranan seorang pemimpin sebagai Kepala Masyarakat,
khususnya Kepala Adat. Kepala Adat sangat penting untuk mengatur dan memotivasi
masyarakat agar tingkah lakunya sesuai dengan ketentuan hukum adat. Hal ini tidak
lain karena tugas yang harus dihadapi oleh Kepala Adat sangat berat, terutama yang
berkaitan dengan Hukum Adat, baik yang berhubungan dengan kehidupan maupun
kematian. Sehingga, dengan pengetahuan adat dan Hukum Adat yang dimilikinya
tersebut, Kepala Adat diharapkan dapat melaksanakan tugas memelihara,
menjalankan, dan menyelesaikan permasalahan yang dibebankan kepada Kepala
Adat.
Masyarakat Desa Long Temuyat dalam persekutuan hidup bersama tidak
mungkin dapat menyelesaikan masalahnya sendiri kecuali adanya campur tangan
pihak pengurus Adat yang ada di desa, karena itu untuk menyelesaikan segala
permasalahan dalam masyarakat semua tertumpu kepada Kepala Adat. Hal ini
sebagai tempat bagi masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan yang tidak dapat
diselesaikan oleh anggota masyarakat adat. Kenyataan yang dialami oleh masyarakat
Desa Long Temuyat jika mereka terlibat dalam persengketaan tanah dan satu-satunya
tempat masyarakat meminta pendapat mengenai penyelesaian sengketanya hanya
kepada Kepala Adat.
76
4.2.2.1. Faktor Penghambat
Tokoh adat dalam menjalankan tugasnya dihadapkan pada faktor penghambat
dan pendukung dalam menyelesaikan permasalahan sengketa tanah yang terjadi di
Desa Long Temuyat Kecamatan Kayan Hulu Kabupaten Malinau.
Selanjutnya hasil wawancara dengan Bapak Ding usat (62 tahun) selaku
Tokoh Adat Desa Long Temuyat Menyatakan:
“Faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa adalah faktor dari luar dan dalam lingkup masyarakat itu sendiri dimana emosional dalam penyelesaikan sengketa kerap terjadi, tingkat pendidikan Kedisiplinan, Ketidakjelasan kalau dari luar biasanya pihak ketiga yang lambat di ajak untuk penyelesaian sengketa” (Wawancara, 21 April 2019)
Senada yang disampaikan informan sebelumnya dimana menurut Bapak
Lutang Imang (50 tahun) selaku masyarlakat Desa Long Temuyat menyatakan
bahwa:
“Faktor penghambat dari penyelesaian sengketa tanah ulayat di Desa long Temuyat masih sering adanya emosional dari kedua belapihak yang bersangkutan, karena masing-masing masih mempertahankan ego, yang artinya kedua bela pihak selalu merasa benar. Sehingga dalam penyelesaian sengketa tanah tersebut, dapat akan menghambat terjadinya proses peyelesaian sengketa tanah.
Serupa yang disampaikan informan sebelumnya, menurut Bapak Gun Dian (45
tahun) selaku masyarakat Desa Long Temuyat menyatakan bahwa:
77
“Adapun yang menjadi penghambat dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat yang dilakukan oleh kepala adat biasanya dari faktor internal yaitu emosional saat terjadi sengketa akan tetapi dapat di selesaikan dan ditengahi oleh kepala desa, dan tingkat pendidikan Kedisiplinan, Ketidakjelasan kalau dari luar biasanya pihak ketiga yang lambat di ajak untuk penyelesaian sengketa” (Wawancara, 22 April 2019).
Berdasarkan hasil wawancara di atas menerangkan bahwa faktor penghambat
dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat di Desa Long Temuyat adalah emosional
dari kedua belah pihak yang bersengketa, tingkat pendidikan yang rendah,
Kedisiplinan dalam proses penyelesaian, Ketidakjelasan batasan tanah kalau dari luar
biasanya pihak ketiga yang lambat di ajak untuk penyelesaian sengketa.
Faktor internal yang menghambat proses penyelesaian sengketa antara lain
dapat disebabkan oleh :
1. Emosional para pihak yang bersengketa terkadang menjadi salah satu faktor yang
menghambat dalam proses musyawarah, hal ini berkaitan dengan temperamen
mereka. Emosional masyarakat adat dalam proses musyawarah sangat
berpengaruh dalam proses musyawarah.
Adapun penghambat yang kerap muncul dalam penyelesaian sengketa tanah
tidak lain faktor dari luar dan dalam lingkup masyarakat itu sendiri dimana
emosional dalam penyelesaikan sengketa kerap terjadi, tingkat pendidikan
Kedisiplinan, Ketidakjelasan kalau dari luar biasanya pihak ketiga yang lambat di
ajak untuk penyelesaian sengketa”.
78
Akibat dari dampak emosinal tersebut maka hal ini membuat para masyarakat
yang memang bersangkutan dalam kasus sengketa tanah akan membuat mereka
lebih tidak percaya dengan ketentuan hukum Adat yang berlaku, karena hukum
Adat pun sangatlah susah untuk membuktikan siapa diantara masyarakat yang
bersengketa yang seutuhnya berhak mendapatkan tanah yang bersengketa, hal ini
dikarenakan masyarakat tersebut masih lebih percaya dengan sejarah leluhur
(Nenek Moyang) dimana setiap ada sengketa selalu diselesaikan secara
kekeluargaan. Adapun kekeluargaan yang dimaksudkan disini bukanlah seperti
kekeluargaan yang tertuang dalam ketentuan hukum Adat, dimana pada
penyelesaian yang ditemurunkan dari leluhur tanah tersebut tanah ulayat akan
dibagikan sesuai dengan pengakuan Nenek Moyang karena pengakuan sang
leluhur tentu saja wajib dihormati. Maka pada kesimpulan ini masyarakat pada
umumnya dalam penyelesai sengketa tanah ulayat masih dipengaruhi dengan
narasi para leluhur.
Dari penjelasan diatas peneliti ingin mengambarkan bagaimana kondisi fakta
lapangan yang membahas tentang sengketa tanah sesuai dengan penjelasan dari
responden yang memang ahli dalam melihat kondisi emosional dan dampak
sengketa tanah terhadap kasus yang dihadapi oleh masyarakat yang bersengketa.
Sesuai dari hasil wawancara dengan responden terkait masalah dampak
emosional dalam menghadapi sengketa tanah ulayat memang pada dasarnya
masyarakat tersebut masih lebih kental mempercayai narasi-narasi leluhur yang
membahas sengketa tanah. Dengan kepercayaan yang memang melekat bagi
79
setiap masyarakat yang ada di Long Temuyat tentunya akan membawa
emosional yang memungkinkan mereka tidak akan percaya dengan ketentuan
hukum Adat yang berlaku pada saat ini.
2. Tingkat Pendidikan sebagian besar dari para responden (masyarakat adat) yang
merupakan pihak yang bersengketa hanya mempunyai tingkat pendidikan yang
relatif rendah. Sehingga mereka terkadang mengalami kesulitan untuk
memahami hal yang menjadi fokus dari sengketa yang dimusyawarahkan dan
menyebabkan sengketa menjadi semakin rumit untuk diselesaikan.
Dari uraian di atas maka sangat terlihat dimana letak hambatan dalam proses
penyelesaian sengketa tanah tersebut. Hal ini tidak lain dari sebagian responden yang
memiliki tingkat pendidikan relatif rendah sehingga memberikan dampak yang tidak
efektif, karena proses penyelesaian sengketa tanah akan menjadi semakin rumit.
3. Kedisiplinan para pihak dalam proses penyelesaiana sengketa juga menjadi salah
satu faktor penghambat. Tidak jarang terjadi pada saat akan dilakukan
penandatanganan kesepakatan, salah satu pihak menolak untuk melakukannya
dengan alasan mereka tidak mengerti maksudnya karena tidak dapat membaca
sebelumnya telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Dari penjelasan diatas pula maka letak hambatannya adalah ketidak disiplinan
para pihak yang bersengketah.
4. Ketidakjelasan Batas-batas Tanah Berdasarkan informasi yang diperoleh dari
Kantor Pertanahan di Kabupaten Malinau atau Kecamatan Sorong, tanah-tanah
sebagai obyek sengketa juga dapat menjadi penyebab penghambat jalannya
80
proses musyawarah. Sebagai contoh dalam hal penentuan batas tanah, karena
dari semula patokan yang menjadi batas-batas tanahnya tidak jelas. Hal ini
dikarenakan dahulu pada awal penguasaan tanah oleh masyarakat adat sebagian
besar penentuan batas tanah seperti sungai, batu, pohon-pohon dan lainnya,
sehingga dalam hal ini para pihak mengalami kesulitan untuk menunjukkan
batasnya.
Adapun dampak Sengketa yang dilakukan oleh Masyarakat Desa Long
Temuyat Manfaat yang diperoleh dari pilihan penyelesaian sengketa tanah ulayat
yang dilakukan oleh masyarakat Desa Long Temuyat yaitu dilakukan dengan cara
upacara adat tersebut sangat menguntungkan masyarakat adat Desa Long Temuyat
karena biaya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sengketa tanah tersebut relatif
lebih murah dan waktu yang dibutuhkannya pun lebih singkat, selain itu juga adanya
ganti rugi (uang sirih pinang) yang diberikan kepada masyarakat adat Desa Long
Temuyat oleh pemerintah setempat, serta pemberian binatang ternak untuk
penggantian tanah-tanah yang diduduki oleh perantau kepada masyarakat adat Desa
Long Temuyat walaupun saat ini kegiatan upacara adat sudah jarang dilakukan
karena kurang praktis sehingga mereka hanya memilih uang sirih pinang saja.
4.2.2.2. Faktor Pendukung
Faktor internal yang mendukung proses penyelesaian sengketa antara lain
dapat disebabkan ada faktor pendukung berupa kesepakatan kedua belah pihak untuk
81
menyelesaikan secara upacara adat sengketa yang terjadi karena biaya yang murah
dan cepat selesainya
Hasil wawancara dengan Bapak Bilung Usat (53 tahun) selaku Kepala Desa
Long Temuyat Menyatakan:
“Sejauh ini dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat terlebih dahulu kita selalu menggunakan Upacara adat untuk menyelesaikan para pihak yang bersengketa tanah ulayat, selain murah dan cepat selesai permasalahan yang ada dalam mengatasi persoalan tanah ulyat yang terjadi di Desa Long Temuyat” (Wawancara, 23 April 2019)
Hal serupa disampaikan oleh Bapak Balan Lie (48 tahun) selaku masyarakat
Desa Long Temuyat menyatakan bahwa:
“Faktor pendukung dimana kedua belah pihak yang melakukan sengketa biasanya memilih upacara adat untuk menyelesaikan sengketa tanah ulayat yang terjadi dan keputusan yang sudah ditetapkan oleh kepala adat tidak bisa diganggu gugat oleh pihak manapun juga” (Wawancara, 23 April 2019)
Hasil wawancara dengan Bapak Ngang Jan (43 tahun) selaku masyarakat Desa
Long Temuyat menyatakan bahwa:
“Upacara adat untuk menyelesaikan sengketa kedua belah pihak lebih baik dan cepat juga murah, apabila ada yang melanggar akan diberikan hukuman, sehingga para pihak yang bersengketa enggan melakukan perseteruan selanjutnya dan lebih menerima hasil keputusan dari kepala adat” (Wawancara, 23 April 2019)
Berdasarkan hasil wawancara di atas menerangkan bahwa penyelesaiaan
sengketa secara alternatif lebih dipilih oleh masyarakat adat Desa Long Temuyat
karena penyelesaian dengan cara ini biayanya lebih murah bahkan cuma-cuma.
82
Mereka menyadari bahwa tidak mungkin mereka menyelesaikan sengketa tanahnya
melalui jalur hukum karena biayanya yang mahal, sedangkan mereka sebagian besar
bermatapencaharian sebagai petani dan peternak.
Hal lain yang mendorong mereka lebih memilih menggunakan cara alternatif,
karena cara ini sudah menjadi kebiasaan dalam lingkungan mereka dimana setiap
terjadi sengketa dalam masyarakat akan diselesaikan secara musyawarah di antara
mereka. Cara seperti ini telah berlangsung secara turun temurun. Waktu penyelesaian
yang relatif singkat juga menjadi alasan yang mendorong responden lebih memilih
penyelesaian secara alternatif. Untuk menyelesaikan satu sengketa biasanya hanya
membutuhkan waktu beberapa minggu saja. Berbeda dengan penyelesaian melalui
pengadilan yang membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu berbulan-bulan bahkan
sampai bertahun-tahun.
Penyelesaian secara non litigasi/alternatif merupakan suatu kebiasaan maka
hasil kesepakatan digantungkan dari itikad baik para pihak untuk menyelesaikan
sengketanya sehingga terkadang menimbulkan kericuhan antar kedua belah pihak
dikarenakan temperaman mereka yang labil. Tidak ada kepastian hukum karena
biasanya tidak dituangkan dalam suatu bukti tertulis (bukti otentik) namun hanya
memberikan ganti rugi uang sirih pinang dengan dasar kesepakatan antara kedua
belah pihak.
Jika informasi tidak cukup diberikan kepada masyarakat adat Desa Long
Temuyat dan apabila tidak ada bukti otentik yang kuat bagi para pemilik tanah
(pendatang), kemungkinan akan timbul lagi tuntutan balik dari keturunan/pewaris
83
yang terdahulu dikarenakan kurangnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat adat
Desa Long Temuyat mengenai pertanahan.
4.3. Pembahasan
Hukum Adat merupakan kearifan lokal yang berpangkal pada keaslian budaya
setempat dan merupakan warisan budaya leluhur yang diluhung. Ada sejumlah nilai
luhur mulia yang dapat diambil untuk menjadi pegangan hidup masyarakat yang
meneruskan warisan leluhur. Oleh karena itu, adapun peranan yang dilakukan oleh
Tokoh Adat dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat:
Memimpin dan melakukan musyawarah dengan anggota keluarga dan
masyarakatnya. Musyawarah ini bertujuan untuk mencari pokok permasalahan, hal-
hal yang akan menimbulkan konflik, serta langkah-langkah yang akan diambil
apabila menjadi konflik yang berkepanjangan. Musyawarah ini biasanya di
selenggarakan di Balai Adat. Pada tahap ini Kepala Adat/ Tokoh Adat menghimbau
kepada masyarakatnya agar menahan diri sehinggah tidak pecah konflik yang
menimbulkan sengketah.
Musyawarah untuk mufakat. Penyelesaian model ini, musyawarah antara
pihak yang bersengketa dengan difasilitasi oleh kepala Desa setempat. Dalam hal ini
peranan dari tokoh Adat untuk menangani pokok permasalahan terkait sengketa
tanah yang timbul dari kedua bela pihak ialah tidak lain menghadirkan tokoh
masyarakat yang ditunjukan langsung oleh Kepala Adat Desa untuk meminta
keterangan atau informasi-informasi yang terkait masalah kepemilikan tanah tersebut.
84
Apabila kepala adat dan tokoh adat menemukan kenjanggalan dalam informasi
tersebut maka langka-langka yang akan diambil sebagai penyelesaian akhir dari
sengketa tanah tersebut ialah meminta kesepakatan dari kedua belah pihak untuk
berdamai yang artinya tanah tersebut akan dibagikan sama rata kepada kedua belah
pihak yang bersengketa seadil-adilnya agar di kemudian hari tidak menimbulkan
konflik diantara kedua belah pihak yang bersengketa.
Menurut Soepomo, (1979: 45) Kepala Adat adalah bapak masyarakat, dia
mengetuai persekutuan sebagai ketua suatu keluarga besar, dia adalah pemimpin
pergaulan hidup dalam persekutuan. Dengan demikian kepala adat bertugas
memelihara hidup hukum didalam persekutuan, menjaga, supaya hukum itu dapat
berjalan dengan selayaknya. aktivitas Kepala Adat sehari -hari meliputi seluruh
lapangan masyarakat. Tidak ada satu lapangan pergaulan hidup di dalam badan
persekutuan yang tertutup bagi Kepala Adat untuk ikut campur bilamana diperlukan
untuk memelihara ketentraman, perdamaian, keseimbangan lahir batin untuk
menegakkan hukum.
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penyajian data dan pembahasan yang telah diuraikan dari
fokus penelitian yang telah ditentukan peran tokoh adat dalam penyelesai sengketa
tanah ulayat;
1. Sebagai motivator, Kepala Adat memberikan suatu pemahaman yang baik
mengenai permasalahan yang terjadi dimana kepala adat bersama kepala desa
dan tokoh msyarakat turut serta dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi
hanya saja keputusan semua di tangan kepala adat. Yang bersengketa masih
masyarakat Desa Long Temuyat hanya saja sudah pindah ke desa sebelah,
mereka mengambil tanag sebagai bentuk warisan dari orangtua mereka, kejadian
sengketa sendiri di Desa Long Temuyat sekitar 4 bulan yang lalu dan
permasalahan yang terjadi karena batas tanah. Disitulah kepala adat melakukan
perannya sebagai orang yang di tuakan dengan memeberikan suatu motivasi agar
tidak terjadi keributan mengenai sengketa tanah ulayat yang dari turun temurun
sudah diwariskan
2. Sebagai mediator, Kepala Adat membantu para pihak dalam memahami
pandangan masing-masing dan membantu mencari persoalan-persoalan yang
dianggap penting bagi mereka. Kepala adat sebagai mediator atau penengah dari
kedua belah pihak yang bersengketa dengan mencari bukti otentik terlebih
86
dahulu dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan bukti yang
benar-benar nyata.
3. Kepala Desa merupakan fasilitator yang memberikan suatu solusi bagi para pihak
yang bersengketa menganai tanah ulayat yang terjadi di Desa Long Temuyat,
kepala desa memberikan fasilitas kepada para pihak untuk menyampaikan
seluruh pendapat dan persoalan yang terjadi, akan tetapi peran kepala kepala desa
sebagai fasilitator tidak berpihak kepada sia papun juga, melainkan hanya
sebagai orang yang memberikan solusi dan fasilitas untuk mencari bukti yang
benar-benar nyata.
4. Faktor penghambat dari penyelesaian sengketa tanah ulayat di Desa Long
Temuyat masih sering adanya emosional dari kedua belah pihak yang
bersangkutan, karena masing-masing masih mempertahankan ego, yang artinya
kedua belah pihak selalu merasa benar. Sehingga dalam penyelesaian sengketa
tanah tersebut, dapat akan menghambat terjadinya proses peyelesaian sengketa
tanah.
5. Faktor Pendukung Penyelesaian sengketa tanah ulayat terlebih dahulu akan
menggunakan Upacara adat untuk menyelesaikan para pihak yang bersengketa
tanah ulayat, selain murah dan cepat selesai permasalahan yang ada dalam
mengatasi persoalan tanah ulayat yang terjadi di Desa Long Temuyat.
87
5.2. SARAN
1. Adapun saran-saran yang dapat penulis kemukakkan adalah sebagai berikut.
Sebagai kepala adat yang dipercaya menjadi hakim penengah, harus bisa
bersikap tegas dan membuat aturan yang bersifat memikat dan memberikan
sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya.
2. Sebaiknya batas-batas patokan yang digunakan bersifat lebih kuat, agar tidak
mudah tergeser ataupun hilang hingga tanda kepemilikan tanah menjadi lebih
pasti
3. Membuat Peraturan Daerah tentang ketentuan tanah-tanah ulayat di wilayah
Kabupaten Malinau, sehingga terlihat secara jelas aturan-aturan tentang
eksistensi tanah-tanah ulayat di wilayah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Berry, David. 2008. Pokok-Pokok Dalam Sosiologi. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Hadikusuma, Hilman. 2013. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Mandar Maju:Bandung.
Harsono, Boedi. 2015. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya. Djambatan: Jakarta.
Kertasapoetra, G. 2015. Hukum Tanah, Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah. Bina Aksara: Jakarta.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta: Jakarta.
Maria.S.W. Sumarjono, 2001, Puspita Serangkum Masalah Hukum Agraria. Liberty:Yogyakarta.
Margono, Suyud. 2009. ADR dan Arbitrase, proses Pelembagaan dan Aspek Hukum.Ghalia Indonesia: Jakarta.
Miles, M.B, Huberman, A.M, dan Saldana, J. 2014. Qualitative Data analysis, A. Methods sourcebook, edition 3.USA: sage publications. Terjemahan tjetjep rohindi rohhidi, UI-Press.