Eikosanoid, Intoleransi Aspirin dan Saluran Nafas Atas – Standar Terkini dan Kemajuan Terbaru Terapi Desensitisasi O. Pfaar, L. Klimek Pusat Rhinologi dan Alergi, Wiesbaden, Jerman Pada tahun 1992, Widal, dkk. pertama kali mendeskripsikan reaksi intoleransi terhadap asam asetilsalisilat (ASA, aspirin) dan terhadap obat anti inflamasi nonsteroid lainnya (NSAIDs). Gambaran klinisnya mempunyai gejala trias klasik (Trias Samters) yaitu aspirin menginduksi asma bronkial (dengan serangan asma akut yang berat), sensitivitas aspirin serta rhinosinusitis kronis dan polip nasal. Pada beberapa kasus, polip nasal merupakan gejala awal sensitivitas ASA yang mengindikasikan saluran nafas atas terlibat dalam proses patogenesis. Karena itu, fokus pada artikel ini pada saluran nafas atas pada pasien dengan intoleransi ASA. Pada dekade terakhir, tidak adanya bukti menunjukkan bahwa intoleransi ASA berhubungan dengan metabolisme abnormal asam arakidonat yang menyebabkan produksi leukotrien (LTs) yang berlebihan. Hasil ketidakseimbangan eikosanoid leukotrien dan prostaglandin dapat menjadi kunci penting patofisiologi penyakit ini. Insidensi hipersensitivitas aspirin populasi keseluruhan mulai dari 0,6% sampai 2,5% dan pada pasien asma dari 4,3% sampai 11%. Selain riwayat pasien, challenge tests dengan Lysin-aspirin dilakukan sebagai pilihan diagnostik. Selain terapi farmakologi dan bedah, terapi 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Eikosanoid, Intoleransi Aspirin dan Saluran Nafas Atas –
Standar Terkini dan Kemajuan Terbaru Terapi Desensitisasi
O. Pfaar, L. Klimek
Pusat Rhinologi dan Alergi, Wiesbaden, Jerman
Pada tahun 1992, Widal, dkk. pertama kali mendeskripsikan reaksi intoleransi terhadap asam
asetilsalisilat (ASA, aspirin) dan terhadap obat anti inflamasi nonsteroid lainnya (NSAIDs). Gambaran
klinisnya mempunyai gejala trias klasik (Trias Samters) yaitu aspirin menginduksi asma bronkial
(dengan serangan asma akut yang berat), sensitivitas aspirin serta rhinosinusitis kronis dan polip nasal.
Pada beberapa kasus, polip nasal merupakan gejala awal sensitivitas ASA yang mengindikasikan
saluran nafas atas terlibat dalam proses patogenesis. Karena itu, fokus pada artikel ini pada saluran
nafas atas pada pasien dengan intoleransi ASA. Pada dekade terakhir, tidak adanya bukti menunjukkan
bahwa intoleransi ASA berhubungan dengan metabolisme abnormal asam arakidonat yang
menyebabkan produksi leukotrien (LTs) yang berlebihan. Hasil ketidakseimbangan eikosanoid
leukotrien dan prostaglandin dapat menjadi kunci penting patofisiologi penyakit ini. Insidensi
hipersensitivitas aspirin populasi keseluruhan mulai dari 0,6% sampai 2,5% dan pada pasien asma dari
4,3% sampai 11%. Selain riwayat pasien, challenge tests dengan Lysin-aspirin dilakukan sebagai
pilihan diagnostik. Selain terapi farmakologi dan bedah, terapi desensitisasi ASA merupakan satu-
satunya terapi spesifik. Seperti dijelaskan pertama kali oleh Stevenson, dkk. pada awal 1984,
pemberian oral dengan maksud desensitisasi awal dimana dosis aspirin naik bertahap diikuti dosis
tetap tiap harinya. Beberapa tahun terakhir ini, banyak publikasi berbagai protokol desensitisasi dan
rute pemberian. Saat ini, rute intravena sebagai awal desentisisasi telah dijelaskan dimana dapat
memberikan kemungkinan terapi baru dalam penatalaksanaan pasien dengan intoleransi ASA.
Segera setelah aspirin (asam asetilsalisilat: ASA) ditemukan pada kasus reaksi
anafilaktoid berat setelah meminum aspirin yang dijelaskan oleh Hirschberg pada
tahun 1899 (1). Widal, dkk. adalah yang pertama menggambarkan hubungan
sensitivitas aspirin, Aspirin-induced Asthma (AIA) dan polip nasal pada tahun 1922 (2). Gambaran klinis secara keseluruhan kemudian ditunjukkan dalam studi Samter
dan Beers (3). Pada beberapa kasus, polip nasal muncul sebagai gejala awal
sensitivitas ASA (4). Ini dapat mengindikasikan bahwa saluran nafas atas terlibat
dalam proses patogenesis. Karena itu, penekanan pada artikel ini terfokus pada
saluran nafas atas pada pasien dengan intoleransi ASA.
Intoleransi ASA: eikosanoid dan metabolisme asam arakidonat.
Dekade terakhir ini, pengetahuan tentang mekanisme patofisiologi yang
mendasari intoleransi ASA difokuskan dalam beberapa studi. Telah ditemukan bukti
bahwa patogenesis intoleransi aspirin bukan reaksi yang dimediasi IgE tetapi karena
metabolisme abnormal asam arakidonat yang mengimplikasi jalur Lipooksigenase
(LO) dan siklooksigenase (CO) (4,5). Deviasi ini menghasilkan ketidakseimbangan
sintesis kedua eikosanoid, leukotrien dan prostaglandin. Prostaglandin anti inflamasi,
terutama E2, menurun dan sintesis sisteinil-leukotrien seperti leukotrien-A4, -B4, -C4, -
D4 meningkat (5,6) (Gambar. 1).
Membran Fosfolipid2
Fosfolipase A2
Asam Arakidonat
5-Lipoxygenase COX 1
Leukotrien LTA4 Prostaglandin A2
PGD2 PGE2 = Bronkodilatasi
PGF2α Vasodilatasi
Gambar. 1. Mekanisme pasti intoleransi aspirin dan juga terapi desensitisasi ASA masih belum jelas.
Buktinya bahwa intoleransi ASA tidak berhubungan dengan reaksi IgE tetapi karena metabolisme
abnormal asam arakidonat melibatkan jalur Lipoxygenase (LO) dan Cyclooxygenase (CO). Deviasi ini
menghasilkan ketidakseimbangan sintesis eikosanoid terhadap leukotrien proinflamasi yang dominan.
Prevalensi intoleransi ASA
Intoleransi ASA seharusnya diabaikan: pada populasi 500 pasien dengan AIA
dipelajari di European Network of Aspirin-Induced Asthma (AIANE), 18% tidak
diketahui intoleransi aspirin sebelum meminum aspirin (7). Yang lebih menarik, pasien
dengan AIA juga menderita rhinosinusitis walaupun 34% tidak tahu penyakitnya
sebelum dilakukan percobaan (8,9). Data lain mengungkapkan rata-rata insidensi dari
0,6% sampai 2,5% dan dewasa dengan asma 4,3% sampai 11% (8).
3
Leukotrien LTA4
LTB4 = Kemotaksis
LTC4 = Vasokontriksi
Bronkospasme
Permeabilitas ↑
LTE4 = Permeabilitas ↑
PGD2
PGF2α
PGE2 = Bronkodilatasi
Vasodilatasi
Gejala Klinis
Pada kebanyakan kasus sensitivitas ASA didapatkan pola khas: rhinitis sering
menjadi gejala klinis pertama selama tiga dekade, sering setelah infeksi pernafasan
akibat virus. Setelah beberapa bulan seiring kongesti nasal kronik, hiposmia, rhinore
kronik, polip nasal dapat dijumpai (8,9). Akhirnya, penyakit dengan AIA: 20% pasien
AIA mengalami asma ringan dan intermiten, 30% asma sedang yang dapat dikontrol
dengan steroid inhalasi dimana 50% pasien menjadi kronik, asma ketergantungan
kortikoid sering dihubungkan oleh reaksi anafilaktoid sistemik (9).
Saluran Nafas Atas: “key-area” intoleransi ASA
Rhinosinusitis ditemukan sebagai gejala dominan pada 500 pasien dengan
intoleransi ASA pada berbagai pusat survei Szczeklik dan Nizankowska (10).
Menariknya, gejala nasal ditemukan pada rata-rata umur 30 tahun, sering sebagai
hasil infeksi virus pernafasan. Pada kasus ini sekret dari hidung menahun dan sering
berair. Sensasi hiposmia ditemukan pada 55%. Pada umumnya gejala pertama asma
muncul dua tahun kemudian.
Polip Nasal
Pada 70% pasien dengan intoleransi ASA dapat ditemukan polip nasal,
sedangkan pada populasi keseluruhan prevalensi polip nasal hanya sekitar 4% (10,11).
Tipe polip pasien intoleransi ASA adalah pertumbuhan agresifnya yang melibatkan
semua sinus paranasal bilateral (12). Dengan cara CT-Scan pansinus dapat
membuktikan secara radiologi pada semua kasus dengan AIA pada studi Amerika (9).
Hubungan patogenesis antara intoleransi ASA dan asal mula polip nasal
masih belum jelas: agen infeksius seperti virus, bakteri atau jamur sebagai faktor
primer yang dapat mengaktivasi epitel sel nasal dan sitokin proinflamasi seperti
eotaksin dan faktor pertumbuhan, dan memicu proses inflamasi (11,13,14). Penjelasan
lebih lanjut yang mungkin adalah perbedaan gen HLA (15), penurunan angka apoptosis
sel inflamasi lokal seperti eosinofil (16) atau peranan berbeda dari siklooksigenase 1 4
dan siklooksigenase 2 yang mempunyai fungsi regulasi khusus dalam patogenesis
polip nasal (17).
Yang menarik, angka rekurensi polip nasal setelah reseksi pada pasien
intoleransi ASA sangat tinggi: dalam studi Jantii-Alanco, dkk. angka rekurensi
hampir tiga kali lebih besar pada AIA daripada asma intrinsik nonintoleran (18).
Diagnosis
Empat temuan khas dari riwayat pasien sesuai terhadap intoleransi aspirin dan
NSAID lainnya (5,6,7): i) gejala khas reaksi pernafasan setelah pemberian aspirin; ii)
serangan asma disertai kongesti nasal kronik dan rhinore yang cair dan banyak; iii)
frekuensi tinggi serangan asma berat; iv) frekuensi tinggi polip nasal.
Sejauh ini, validasi dan tingkat kepercayaan tes in vitro tidak tersedia untuk
diagnosis intoleransi aspirin. Tes provokasi masih sebagai alat diagnostik yang valid
terhadap sensitivitas aspirin: namun, challenge test diragukan dan hanya digunakan
pada keadaan klinis khusus yang dipersiapkan untuk reaksi anafilaksis. Empat tipe tes
aspirin dapat dipakai tergantung cara pemberian: oral, inhalasi, nasal dan intravena (7).
Pada kasus dengan gejala nasal yang dominan, nasal challenge test dengan
aspirin merupakan metode pilihan karena tingkat keamanannya dan kehandalannya (19). Pada kasus dengan hasil tes negatif pada nasal challenge test tetapi dugaan kuat
AIA dari riwayat pasien, bronkial dan atau oral challenge test harus dipakai (5,7).
Terapi
Prevensi dengan COX-1 selektif
Aturan umum terhadap penatalaksanaan AIA sesuai dengan petunjuk
penanganan asma. Lebih lanjut, serangan asma pada AIA sering berat, dan berpotensi
diterapi seumur hidup. Ini mendasari pentingnya mengedukasi pasien untuk
menghindari ASA dan semua reaksi lainnya, nonselektif inhibitor COX (Tabel 1) (5,6).
Namun, COX-2 selektif aman digunakan pada sebagian besar pasien yang sensitif
aspirin (20).5
Tabel 1. NSAID yang bereaksi dengan aspirin (5).
Jalur Penghambat NSAID
Inhibitor dominan COX-1 dan COX-2
Piroxicam
Indomethacin
Sulindac
Tolmetin
Diclofenac
Naproxen
Naproxen sodium
Ibuprofen
Fenoprofen
Ketoprofen
Flubiprofen
Asam Mefenamat
Meklofenamat
Ketorolac
Etodolac
Diflunisal
Oksifenbutazon
Fenilbutazon
Inhibitor lemah COX-1 dan COX-2Asetaminofen
Salsalat
Inhibitor relatif COX-2Nimesulide
Meloxicam
Inhibitor selektif COX-2Celecoxib
Rofecoxib
Pembedahan
Pertumbuhan polip di nasal dan sinus paranasal yang sangat besar di reseksi
secara endoskopi atau teknik mikroskopi. Namun, angka rekurensi cukup tinggi: studi
prospektif 227 pasien operasi polip nasal antara 1993 dan 2001 membuktikan angka
6
rekurensi yang sangat tinggi pada grup AIA dibandingkan dengan pasien yang toleran
ASA (21).
Desensitisasi Aspirin
Pada tahun 1976, Zess dan Lockey menjelaskan penemuan paradoksal bahwa
pasien intoleransi ASA mengalami 3 hari periode refrakter setelah diberi aspirin oral (22). Laporan ini menandai pilihan terapi baru dalam penatalaksanaan pasien sensitif
aspirin: apakah mungkin menangani proses inflamasi saluran nafas dengan
medikamentosa yang sama, yang disangka menyebabkan gejala. Berdasarkan temuan,
beberapa protokol desensitisasi dan rute pemberian telah diuraikan dua dekade