Page 1
EFISIENSI TEKNIS DAN EKONOMIS ALAT TANGKAP GARUK
DAN PELUANG PENGEMBANGANNYA DI DESA RAWAMENENG
BLANAKAN SUBANG JAWA BARAT
ADE GUNTUR
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Page 3
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Efisiensi Teknis
dan Ekonomis Alat Tangkap Garuk dan Peluang Pengembangannya di Desa
Rawameneng Blanakan Subang Jawa Barat adalah benar karya saya sendiri dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2013
Ade Guntur
NIM C44090040
Page 5
ABSTRAK
ADE GUNTUR. Efisiensi Teknis dan Ekonomis Alat Tangkap Garuk dan Peluang
Pengembangannya di Desa Rawameneng Blanakan Subang Jawa Barat. Dibimbing
oleh MOKHAMAD DAHRI ISKANDAR dan GONDO PUSPITO.
Alat tangkap garuk merupakan alat tangkap yang dominan di Desa Rawameneng
Blanakan. Alat ini memiliki produktivitas yang baik untuk menangkap kerang.
Produktivitas alat tangkap garuk tersebut berhubungan dengan kemampuan alat
tangkap untuk memberikan keuntungan bagi nelayan. Penelitian ini bertujuan untuk
menentukan efisiensi teknis dan ekonomis alat tangkap garuk dan menentukan
peluang pengembangannya di Desa Rawameneng. Untuk menentukan
produktivitas alat garuk, data yang diperoleh dianalisis secara teknis dan ekonomis.
Hasil penelitian menunjukan bahwa efisiensi teknis alat tangkap garuk di Desa
Rawameneng berkisar antara 0,22-6,41. Ditinjau dari sisi ekonomi alat tangkap
garuk mampu memberikan pendapatan dengan kisaran Rp 39.790.000-Rp
108.468.000 dengan rata-rata Return of Investment 299 %, Revenue-Cost Ratio
4,36 dan waktu pengembalian modal (Payback period) 0,33.
Kata kunci : Efisiensi teknis, efisiensi ekonomis, garuk, kerang, Desa Rawameneng.
ABSTRACT
ADE GUNTUR. The Technical and Economical Efficiency of Dredge Gear and Its
Opportunity for Development in Rawameneng Blanakan Village, Subang District,
West Java. Supervised by MOKHAMAD DAHRI ISKANDAR and GONDO
PUSPITO.
Dredge gear is the most common fishing gear in Rawameneng Blanakan Village.
This fishing gear have good productivity for catching coockles. Productivity of
dredge gear is related to the ability of fishing gear to provide the profit for
fishermen. The objectives of this research were to determine technical and
economical efficiency of dredge gear and to determine the possibility to developed
dredge gear in Rawameneng Village. Productivity of dredge gear was technically
analiyzed and economically. The research showed that technical efficiency of
dredge gear in Rawameneng village ranged from 0,22 to 6,41. In term of
economical efficiency, dredge gear contributed the revenue which ranged from Rp
39.790.000 to Rp 108.468.000. Furthermore, Return of Investment of dredge gear,
Revenue-Cost Ratio and Payback Period were 299%, 4,36 and 0,33, respectively.
Keywords : Technical efficiency, economical efficiency, dredge gear, coockles
Rawameneng Village.
Page 7
EFISIENSI TEKNIS DAN EKONOMIS ALAT TANGKAP GARUK
DAN PELUANG PENGEMBANGANNYA DI DESA RAWAMENENG
BLANAKAN SUBANG JAWA BARAT
ADE GUNTUR
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Page 9
Judul Skripsi : Efisiensi Teknis dan Ekonomis Alat Tangkap Garuk dan Peluang Pengembangannya di Desa Rawameneng Blanakan Subang Jawa Barat
Nama : Ade Guntur NIM : C44090040 Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Disetujui oleh
Ir Mokhamad Dahri Iskandar, MSi Dr Ir Gondo Puspito, MSc Pembimbing I Pembimbing II
Diketahui oleh
Tanggal Lulus : 2 '- - 2D13
Page 10
Judul Skripsi : Efisiensi Teknis dan Ekonomis Alat Tangkap Garuk dan Peluang
Pengembangannya di Desa Rawameneng Blanakan Subang Jawa
Barat
Nama : Ade Guntur
NIM : C44090040
Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Disetujui oleh
Ir Mokhamad Dahri Iskandar, MSi Dr Ir Gondo Puspito, MSc
Pembimbing I Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Budy Wiryawan, MSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
Page 11
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penelitian yang dilakukan pada
bulan Maret 2013 digunakan sebagai dasar pembuatan skripsi ini. Skripsi ini
berjudul Efisiensi Teknis dan Ekonomis Alat Tangkap Garuk dan Peluang
Pengembangannya di Desa Rawameneng Blanakan Subang Jawa Barat.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak
membantu dan memberikan masukan untuk penyelesaian skripsi ini, terutama
kepada :
1. Ir Mokhamad Dahri Iskandar, MSi dan Dr Ir Gondo Puspito, MSc selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan saran;
2. Prof Dr Ir Mulyono S. Baskoro MSc selaku dosen penguji tamu yang telah
memberikan masukan dan saran;
3. Vita Rumanti Kurniawati SPi, MT selaku komisi pendidikan yang telah
memberikan masukan dan saran.
4. Ayah, Ibu, adek, teteh serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan dan
kasih sayangnya;
5. Kepala KUD Mina Karya Baru dan staf yang telah banyak membantu kegiatan
penelitian. terutama kepada Bapak Ono, Bapak Didi atas tempat yang telah
disediakan untuk menginap;
6. Bapak Sawit sekeluarga yang telah memberikan bantuan dan tumpangan untuk
ikut melaut selama penelitian;
7. Ardian, Eka, Prori, Ulfah, Lia, Idem, Cacat, Zuhdi, Surini, Isel, Tyas, Adi, Lutfi
Imam, Ade Imam, Ine, Maul, Gun, Iin, Fais, Fajar, Bagus dan seluruh PSP 46
yang telah banyak memberikan masukan dan dukungan;
8. Kontrakan Batosai dan sekitar (Kodok, Khalid, Widodo, Iki, Bolu, Wiwit,
Pathir dan Idris munawaroh, ziar, ema, finka) yang selalu mendukung dalam
proses pengerjaan skripsi; dan
9. Pihak-pihak lain yang tidak bisa dan belum kami sebutkan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu penulis mengharapkan saran dan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini dan
penelitian berikutnya dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, September 2013
Ade Guntur
Page 13
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR LAMPIRAN iv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
METODE PENELITIAN 2
Waktu dan Tempat 2
Peralatan 2
Metode Penelitian 2
Metode Pengambilan Sampel 3
Metode Pengambilan Data 3
Analisis Data 4
Efisiensi teknis 4
Analisis finansial 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Hasil 7
Deskripsi umum dan klasifikasi alat tangkap garuk 7
Efisiensi teknis unit penangkapan garuk 16
Analisis finansial usaha penangkapan garuk 19
Pembahasan 24
Efisiensi teknis unit penangkapan garuk 24
Analisis finansial usaha penangkapan garuk 25
Analisis sensitivitas 26
Peluang pengembangan usaha 27
KESIMPULAN DAN SARAN 28
KESIMPULAN 28
SARAN 28
DAFTAR PUSTAKA 29
LAMPIRAN 31
Page 14
DAFTAR TABEL
1. Spesifikasi alat tangkap garuk 11
2. Proporsi hasil tangkapan garuk per tahun 15
3. Data produksi, jumlah trip, jumlah setting, ukuran perahu, ukuran mesin,
jumlah BBM, jumlah ABK, dan jumlah alat yang berhasil diperoleh di
Desa Rawameneng. 17
4. Perbandingan perhitungan faktor produksi yang menentukan efisiensi
teknis dan finansial 18
5. Efisiensi teknis dan nilai finansial unit penangkapan garuk 19
6. Rata-rata investasi unit penanangkapan garuk 20
7. Biaya tetap unit penangkapan garuk 20
8. Biaya tidak tetap usaha unit penangkapan garuk 21
9. Biaya penyusutan unit usaha penangkapan garuk 21
10. Penerimaan usaha penangkapan garuk 22
11. Kriteria ekonomi untuk menentukan kelayakan usaha penangkapan garuk
22
12. Analisis sensitivitas apabila terjadi kenaikan BBM 23
13. Analisis sensitivitas apabila terjadi perubahan harga produk 24
DAFTAR GAMBAR
1. Alat tangkap garuk dengan bentuk gigi raga lurus (1a) dan alat tangkap
garuk dengan gigi raga dibengkokan ujungnya (1b) 7
2. Desain garuk dengan gigi raga lurus (2a) dan desain garuk dengan gigi
raga dibengkokan (2a) 8
3. Gigi raga yang ditancapkan pada kayu (3a) dan desain gigi raga (3b) 9
4. Mulut raga alat tangkap garuk (4a) dan desain mulut raga (4b) 10
5. Kantong garuk yang terbuat dari jaring PE (5a) dan desain kantong garuk
(5b) 10
6. Pemberat alat garuk (6a) dan desain pemberat (6b) 11
7. Perahu untuk mengoperasikan alat tangkap garuk 12
8. Posisi nelayan saat melakukan penurunan alat (setting) (8a) dan posisi
garuk saat ditarik di dasar perairan (8b) 13
9. Posisi nelayan saat melakukan penarikan alat garuk (9a) dan posisi
nelayan saat hauling (9b) 13
10. Hasil tangkapan garuk yang akan disortir (10a) dan hasil tangkapan utama
garuk (10b) 14
11. Ukuran panjang cangkang kerang gelatik 16
Page 15
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta lokasi penelitian 31
2. Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan garuk 32
3. Contoh perhitungan metode skoring 33
4. Perhitungan usaha unit penangkapan garuk 34
Page 18
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perikanan pantai Utara Jawa merupakan sentra terbesar perikanan Indonesia
yang memberikan kontribusi terbesar jumlah perikanan berskala kecil. Pantai Utara
Jawa banyak dimanfaatkan oleh para pelaku kegiatan bisnis perikanan, baik dalam
skala kecil maupun skala besar. Salah satu sumber daya laut yang menjadi target
kegiatan bisnis yaitu penangkapan atau pengumpulan kerang.
Kerang (Anadara sp.) merupakan salah satu hasil laut yang bernilai ekonomis
untuk dikembangkan sebagai sumber protein dan mineral untuk memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Salah satu dari spesies kerang yang paling
populer yaitu kerang darah, selain mempunyai nilai ekonomis yang tinggi kerang
darah juga kaya akan kandungan nilai gizi. Selain kerang darah, masih ada kerang
bulu dan kerang gelatik yang biasa dikonsumsi karena mempunyai kandungan gizi
yang baik. Manusia diperkirakan sudah mengkonsumsi kerang sejak 3.500 tahun
yang lalu (Suwignyo et al. 2005).
Penangkapan kerang umumnya dilakukan dengan menggunakan alat tangkap
garuk (Subani dan Barus 1989). Garuk di Desa Rawameneng Subang telah
digunakan nelayan secara turun temurun. Alat garuk pada prinsipnya berbentuk
kantong jaring yang dilengkapi dengan kisi berupa barisan gigi-gigi dari besi yang
dipasang di bagian bawah mulut kantong jaring tersebut. Saat dioperasikan, garuk
ditarik menyusur di atas dasar perairan berpasir atau lumpur seperti jaring trawl
dasar.
Penangkapan atau pengambilan kerang banyak dilakukan di Provinsi Jawa
Barat di sekitar Pantai Utara Laut Jawa, seperti di Desa Rawameneng Kecamatan
Blanakan, Kabupaten Subang. Berdasarkan data statistik perikanan Provinsi Jawa
Barat (http://statistik.kkp.go.id) penggunaan alat tangkap kerang mengalami
peningkatan dari tahun 2009-2011, pada tahun 2009 jumlah alat mencapai 9.031
unit, sedangkan pada tahun 2011 meningkat jumlahnya menjadi 13.638 unit.
Meningkatnya jumlah alat tangkap berbanding terbalik dengan volume produksi
alat pengumpul kerang yang semakin menurun dari tahun 2009 sampai 2011.
Tahun 2009 volume produksinya sebesar 3.303 ton, sedangkan pada tahun 2011
hanya sebesar 835 ton. Peningkatan jumlah alat tangkap garuk tersebut secara terus
menerus telah mengakibatkan terjadinya penurunan produksi kerang.
Kondisi ini menjadi salah satu indikasi terjadinya penangkapan kerang secara
berlebihan dengan menggunakan alat tangkap garuk. Penangkapan kerang secara
berlebihan dapat berakibat pada menurunnya stok sumberdaya kerang di perairan
tersebut dan menurunnya ukuran kerang secara biologi pada tingkat kematangan
gonad yang pertama (length at first maturity).
Penangkapan kerang secara berlebihan dilihat dari sisi ekonomi akan
mengurangi pendapatan nelayan karena berkurangnya hasil tangkapan dari waktu
ke waktu. Ditinjau secara teknis penangkapan kerang dengan alat tangkap garuk
berpengaruh buruk terhadap lingkungan (Jones 2010). Disatu sisi ada penelitian
yang menyatakan bahwa penggarukan dasar laut dapat memperbaiki habitat setelah
kegiatan tersebut selesai (Heidi et al. 2011). Dengan adanya kecenderungan
menurunnya hasil tangkapan, namun disatu sisi ada penambahan jumlah unit
Page 19
2
penangkapan garuk, maka penulis tertarik untuk meneliti efisiensi teknis dan
ekonomis alat tangkap garuk dan peluang pengembangannya di Desa Rawameneng
Blanakan Subang.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menentukan efisiensi teknis dan ekonomis alat tangkap garuk di Desa
Rawameneng kecamatan Blanakan Subang Jawa Barat; dan
2. Menentukan peluang pengembangan usaha penangkapan garuk di Desa
Rawameneng kecamatan Blanakan Subang Jawa Barat.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu:
1. Memberikan informasi kepada nelayan mengenai prospek usaha penangkapan
garuk di Desa Rawameneng Blanakan Subang; dan
2. Memberikan informasi kepada nelayan dan instansi terkait, mengenai peluang
pengembangan unit penangkapan garuk yang efisien secara teknis di perairan
Pantai Utara Jawa Blanakan Subang.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2013, berlangsung selama 10 hari.
Penelitian dilakukan di Desa Rawameneng Blanakan Subang Jawa Barat. Penelitian
diawali dengan membuat kuesioner yang memuat beberapa pertanyaan terkait
teknis dan analisis finansial dari alat tangkap garuk. Peta lokasi penelitian dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Meteran dengan tingkat ketelitian 0,1 cm untuk mengukur alat garuk dan kapal;
2. Kamera digital untuk mengambil gambar dan video; dan
3. Kuesioner berisi pertanyaan terkait teknis dan ekonomis alat tangkap garuk
untuk mengambil data teknis dan ekonomis alat tangkap garuk.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode survei. Metode penelitian
survei merupakan suatu penelitian kuantitatif dengan menggunakan pertanyaan
terstruktur atau sistematis yang sama kepada banyak orang, untuk kemudian seluruh
data yang diperoleh dicatat, diolah, dan dianalisis (Prasetyo dan Janah 2006).
Metode survei ini digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi teknis dan finansial
Page 20
3
alat tangkap garuk dalam melakukan penangkapan kerang di Desa Rawameneng
Blanakan Subang Jawa Barat.
Metode Pengambilan Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi, pada penelitian ini diambil beberapa
sampel yang mewakili populasi nelayan garuk yang kemudian akan dijadikan
responden dalam pengumpulan data. Metode yang digunakan untuk pengambilan
sampel yaitu metode purposive sampling. Responden ditentukan berdasarkan
kriteria tertentu atau sesuai dengan penelitian (Singarimbun dan Efendi 1995),
sehingga dalam pelaksanaanya akan lebih mudah menentukan sumber data yang
tepat. Penggunaan metode tersebut berdasarkan pada keterbatasan tenaga, waktu
dan dana yang dimiliki oleh peneliti. Jumlah responden yang diambil dalam
penelitian ini sebanyak 16 sampel dari 20 nelayan pemilik di Desa Rawameneng.
Adapun kriteria responden yang akan diwawancarai sebagai berikut:
1. Responden merupakan populasi nelayan pemilik perahu alat tangkap garuk
yang ada di Desa Rawameneng Blanakan Subang Jawa Barat;
2. Responden merupakan nelayan yang sehari-harinya menggunakan alat tangkap
garuk dalam melakukan operasi penangkapan (nelayan pemilik); dan
3. Responden merupakan nelayan yang pada saat penelitian berada di lokasi
pengambilan data.
Metode Pengambilan Data
Data yang diambil pada penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dari hasil wawancara terhadap nelayan pemilik alat tangkap
garuk atau pihak-pihak terkait dengan pertanyaan yang sebelumnya sudah
disiapkan dalam bentuk kuesioner. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan
informasi atau data mengenai aspek teknik dan finansial alat tangkap garuk. Hasil
pengamatan langsung di lapangan diperoleh informasi mengenai daerah
penangkapan, metode operasi penangkapan, proses pendaratan, proses penanganan
hasil tangkapan dan bagian-bagian alat tangkap. Adapun data sekunder diambil dari
instansi perikanan setempat.
Data primer yang diambil sebagai berikut:
1. Aspek teknis
Data yang berhubungan dengan metode operasi penangkapan, deskripsi alat
tangkap dan daerah penagkapan, meliputi:
a. Metode pengoperasian alat tangkap garuk;
b. Ukuran alat tangkap garuk dan jumlahnya;
c. Konstruksi dan bagian-bagian alat tangkap garuk;
d. Daerah pengoperasian;
e. Jumlah nelayan pengoperasian alat tangkap garuk;
f. Musim penangkapan garuk;
g. Jumlah trip;
h. Jumlah setting pada setiap tripnya;
i. Sistem pembagian kerja nelayan;dan
j. Waktu yang dibutuhkan untuk pengoperasian garuk.
Page 21
4
2. Aspek finansial
Data yang berhubungan dengan analisis usaha dan kriteria investasi, meliputi:
a. Biaya investasi yang dikeluarkan untuk memulai usaha penangkapan
dengan menggunakan alat tangkap garuk;
b. Biaya operasional pengoperasian alat tangkap garuk;
c. Pendapatan nelayan dalam satu periode waktu (hari/minggu/bulan/tahun);
d. Sistem bagi hasil antara nelayan pemilik dan ABK;
e. Harga jual hasil tangkapan; dan
f. Produksi alat tangkap garuk.
Data sekunder yang akan diambil pada penelitian ini, yaitu:
1. Jumlah alat tangkap garuk selama 3 tahun terakhir (2000-2011) yang diperoleh
dari TPI KUD Mina Karya Baru Desa Rawameneng Blanakan Subang;
2. Produksi alat tangkap garuk selama 3 tahun terakhir (2007-2011) dari TPI KUD
Mina Karya Baru Desa Rawameneng Blanakan Subang; dan
3. Data mengenai aspek teknis unit alat tangkap garuk (mesin kapal, ukuran kapal,
jumlah trip, jumlah nelayan, jumlah BBM).
Analisis Data
Analisis data dilakukan untuk mengolah data dari hasil penelitian ke dalam
bentuk yang lebih sederhana sehingga mudah dipahami dalam pengambilan
kesimpulan. Data akan dianalisis secara teknik dan analisis finansial.
Efisiensi teknis
Efisiensi teknis unit penangkapan garuk dilakukan untuk mengetahui faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap produktifitas alat tangkap. Seperti metode
pengopersian dan konstruksi dari alat tangkap. Efisiensi teknis dilakukan terhadap
nelayan garuk yang didasarkan pada kriteria berikut:
1. Produksi/trip;
2. Produksi/jumlah alat tangkap dalam satu kali trip;
3. Produksi/kekuatan mesin;
4. Produksi/BBM;
5. Produksi/jumlah ABK;
6. Produksi/Gross Tonage kapal; dan
7. Produksi/jumlah setting.
Efisiensi teknis dianalisis dengan menggunakan metode skoring. Nilai yang
diberikan pada metode skoring dimulai dari yang paling rendah sampai nilai
tertinggi. Menurut Mangkusubroto dan Trisnadi (1985), untuk dapat menilai semua
kriteria digunakan nilai tukar, sehingga semua nilai mempunyai standar sama.
Untuk standarisasi nilai dapat dilakukan dengan rumus fungsi nilai sebagai berikut:
V(X) = 𝑋−𝑋0
𝑋1−𝑋0
V (A) = ∑ Vi (Xi) untuk i= 1, 2 3,..... n
Page 22
5
Keterangan:
V(X) : Fungsi terbaik dari variabel X
X : Vaiabel X
X1 : Nilai terbaik dari kriteria X
X0 : Nilai terburuk dari kriteria X
V (A) : Fungsi nilai dari alternatif A
Vi(Xi) : Fungsi nilai dari alternatif pada kriteria ke-i
Penentuan urutan prioritas dari teknologi yang dipilih dengan menggunakan
fungsi nilai ditetapkan secara urut dari alternatif yang mempunyai fungsi nilai
tertinggi ke alternatif dengan fungsi nilai terendah.
Analisis finansial
Analisis finansial adalah analisis yang menilai suatu bisnis dari sudut pandang
pebisnis secara individual atau orang yang berkaitan langsung dengan bisnis
tersebut, seperti investor yang menanamkan modalnya maupun manajer yang
terlibat bisnis tersebut (Nurmalina et al. 2009). Analisis finansial dapat dihitung
melalui pendekatan analisis usaha dan analisis sensitivitas (Kadariah et al. 1999).
Tujuan melakukan analisis aspek keuangan dari suatu studi kelayakan proyek
bisnis adalah untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan
manfaat yang diharapkan, dengan membandingkan antara pengeluaran dan
pendapatan, seperti ketersediaan dana, biaya modal, kemampuan proyek untuk
membayar kembali dana tersebut dalam waktu yang telah ditentukan dan menilai
apakah proyek akan dapat berkembang terus (Umar 2007).
1. Analisis usaha
Analisis usaha merupakan pemeriksaan keuangan untuk mengetahui sampai
sejauhmana keberhasilan usaha selama usaha itu berlangsung (Rahardi et al. 1993).
Dalam analisis usaha perlu dihitung beberapa tolak ukur profitabilitas seperti
analisis laba/rugi, Analisis Revenue Cost Ratio, Analisis Payback Period (PP) dan
Return of Invesment (Kadariah et al. 1999).
1.1 Analisis laba rugi
Analisis laba/rugi bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan dan
kerugian dari usaha yang dikelola. Suatu usaha yang menguntungkan akan
mendapatkan penerimaan yang lebih besar dari pada total pengeluaran.
Keuntungan = Total penerimaan - (total biaya tetap + total biaya variabel)
Kriteria
TP>TBT+TBV; berarti usaha untung.
TP=TBT+TBV; berarti usaha tidak untung dan tidak rugi.
TP<TBT+TBV; berarti usaha rugi.
1.2 Analisis Revenue Cost Ratio (R/C)
Analisis R/C merupakan analisis untuk melihat keuntungan relatif suatu usaha
dalam satu tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan usaha tersebut.
Suatu usaha dikatakan untung apabila nilai RC rationya lebih besar dari 1
Page 23
6
(R/C>1). Hal ini menggambarkan semakin tinggi nilai R/C maka keuntungan
yang didapat semakin besar.
R/C = (Total Penerimaan / (total biaya tetap+total biaya variabel))
Kriteria
R/C > 1 ; Usaha menguntungkan, maka usaha layak untuk dilanjutkan atau
dikembangkan
R/C = 1 ; Usaha tidak untung dan tidak rugi
R/C < 1 ; Usaha rugi, maka usaha tidak layak untuk dikembangkan.
1.3 Analisis Payback Period
Analisis Payback Period (PP) merupakan metode untuk mengukur seberapa
cepat investasi bisa kembali (Nurmalina et al. 2009). Semakin pendek waktu
yang diperlukan untuk pengembalian biaya investasi maka usaha tersebut
sangat menguntungkan. Hasil perhitungan dari Payback Period (PP)
merupakan satuan waktu (Umar 2007).
Payback period = I
Ab
Keterangan:
I ; Total investasi
Ab; Keuntungan bersih yang dapat diperoleh setiap tahunnya
Catatan: Jika Payback period lebih kecil dari umur proyek, maka usaha layak
untuk dilakukan. Semakin kecil nilai PP, maka usaha tersebut semakin
layak.
1.4 Analisis Return of Investment
Return of Investment merupakan nilai keuntungan yang diperoleh pengusaha
dari setiap jumlah uang yang diinvestasikan dalam periode waktu tertentu.
Dengan analisis ROI, pengusaha dapat menghitung seberapa besar kemampuan
usahanya untuk mengembalikan modal. Dengan demikian, analisis ROI dapat
digunakan untuk mengukur efisiensi penggunaan modal yang ditanamkan
dalam usaha tersebut (Satuhu 2004).
ROI = Keuntungan
Investasi x 100%
2. Analisis sensitivitas
Analisis sensitivitas perlu dilakukan untuk mengatasi perubahan faktor
internal dan atau ekternal terhadap produksi atau terget keuntungan sebagai akibat
adanya ketidakpastian dalam suatu usaha (Husnan dan Suwarsono 1994). Dalam
analisis ini akan melakukan identifikasi faktor-faktor perubahan yang mungkin atau
dapat saja terjadi pada bisnis tersebut, analisis ini digunakan untuk melihat
perubahan tersebut terhadap kelangsungan usaha (Nurmalina et al. 2009).
Page 24
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Deskripsi umum dan klasifikasi alat tangkap garuk
Alat tangkap garuk di Desa Rawameneng telah digunakan secara turun
temurun sejak tahun 1980an oleh nelayan setempat. Secara umum alat tangkap
garuk digunakan untuk menangkap berbagai jenis kerang yang terdapat di dasar
perairan. Alat tangkap garuk atau garok pada perkembanganya mempunyai dua
konstruksi yang sedikit berbeda pada bagian gigi raga atau gigi garuknya. Garuk
dengan gigi raga berbentuk lurus dan berbahan besi atau baja behel ini ditujukan
khusus untuk menangkap kerang (Gambar 1a). Adapun garuk dengan gigi raga
yang terbuat dari paku nomor 10 yang dibengkokan ujungnya digunakan untuk
menangkap kerang sebagai target tangkapan utama dan udang sebagai hasil
tangkapan sampingannya (Gambar 1b).
Alat tangkap garuk secara umum dioperasikan dengan cara ditarik di dasar
perairan dengan menggunakan perahu. Jenis perahu yang digunakan menggunakan
tenaga penggerak yang bervariasi tergantung kemampuan modal yang dimiliki oleh
nelayan.
(1a) (1b)
Gambar 1 Alat tangkap garuk dengan bentuk gigi raga lurus (1a) dan alat tangkap
garuk dengan gigi raga dibengkokan ujungnya (1b)
Alat tangkap garuk termasuk kedalam klasifikasi kelompok alat pengumpul
(Subani dan Barus 1989). Garuk diopersikan di dasar perairan berpasir atau lumpur
dengan kedalaman 5 meter sampai 15 meter. Garuk termasuk alat tangkap yang
aktif, karena pengoperasiannya yang ditarik oleh perahu menyapu dasar perairan.
Unit penangkapan garuk terdiri dari alat tangkap, perahu, dan nelayan. Secara detail
gambaran dari masing-masing bagian unit penangkapan garuk dijelaskan pada sub
bab dibawah ini.
Page 25
8
1. Alat tangkap garuk
Alat tangkap garuk yang terdapat di Desa Rawameneng merupakan hasil
karya masyarakat setempat atau diproduksi nelayan masing-masing. Panjang (P)
garuk berkisar antara 250 cm-350 cm dan lebar (L) 100 cm-120 cm (Gambar 2).
Panjang ini diukur dari bagian gigi garuk sampai bagian ujung kantong. Adapun
lebarnya diukur dari bagian gigi garuk sebelah kiri sampai bagian garuk sebelah
kanan. Garuk dilengkapi dengan rangka atau bingkai berbentuk segitiga untuk
meletakan tali selambar sehingga garuk bisa ditarik oleh perahu.
Proses pembuatan satu unit alat tangkap garuk membutuhkan waktu satu hari
penuh, berkisar antara 8 jam sampai 10 jam. Jumlah pekerja minimal 3 orang.
Pekerjaan pembuatan garuk dimulai dari pengadaan bahan-bahan seperti besi, paku,
jaring PE dan tali tambang. Proses selanjutnya membentuk rangka. Adapun untuk
membuat gigi raga perlu disediakan kayu yang sebelumnya sudah diberi tanda
dengan jarak 2 cm untuk memasang paku atau besi. Selanjutnya, alat siap dirangkai
dengan memasangkan gigi raga pada rangka yang kemudian dilengkapi dengan
pemberat dan kantong jaring. Proses pembuatan alat tangkap garuk dilakukan
secara bersama-sama.
(2a) (2b)
Gambar 2 Desain garuk dengan gigi raga lurus (2a) dan desain garuk dengan gigi
raga dibengkokan (2a)
Keterangan:
a = Bingkai
b = Kantong
c = Gigi raga
d = Mulut raga
e = Tali selambar
Alat tangkap garuk yang di operasikan di Desa Rawameneng memiliki
bagian-bagian yang sama walaupun tidak mempunyai ukuran yang baku untuk
beberapa bagian antara nelayan setempat. Alat tangkap garuk terdiri dari beberapa
bagian, yaitu bingkai, gigi raga, kantong, mulut raga dan pemberat yang terdiri dari
4-5 besi atau baja bekas yang diikat jadi satu bagian.
20
-30
cm
100-120 cm 100-120 cm
20
-30
cm
a
e
b
c
d
Page 26
9
1.1 Bingkai
Bingkai adalah bagian pada alat tangkap garuk yang berbentuk segitiga,
berfungsi sebagai tempat mengikatkan tali penarik pada alat tangkap sehingga
bisa ditarik oleh perahu. Bingkai terbuat dari besi, mempunyai ukuran 120 cm-
125 cm untuk panjang kedua sisinya dan alasnya 100 cm-120 cm.
1.2 Gigi raga
Gigi raga adalah satu bagian pada alat tangkap garuk yang berbentuk seperti
gigi, terdiri dari deretan paku atau besi yang disusun berderet dengan jarak
sekitar 2 cm antar giginya. Bentuk gigi raga terdiri dari 2 jenis, yakni gigi raga
yang berbentuk lurus dan gigi raga yang dibengkokan bagian ujungnya. Gigi
raga berbentuk lurus terbuat dari besi behel, panjangnya sekitar 12 cm. Adapun
gigi raga yang dibengkokan ujungnya terbuat dari besi paku nomor 10.
Panjangnya 6,5 cm yang sudah terlebih dahulu dipotong bagian tumpulnya dan
dibengkokan ujungnya dengan tujuan untuk memperoleh hasil tangkapan
sampingan udang yang lebih optimal. Gigi raga terletak pada bagian depan alat
tangkap garuk, dimana fungsinya untuk menggaruk dasar perairan yang
menjadi target penarikan alat tangkap tersebut. Gigi raga disajikan pada
Gambar 3.
(3a) (3b)
Gambar 3 Gigi raga yang ditancapkan pada kayu (3a) dan desain gigi raga (3b)
1.3 Mulut raga
Mulut raga adalah bagian pada alat tangkap garuk yang berfungsi sebagai
tempat masuknya hasil tangkapan kedalam kantong. Lebarnya (L) 100 cm-120
cm dan tingginya (T) 20 cm-30 cm. Mulut raga terbuat dari besi beton yang
berbentuk empat persegi panjang. Mulut raga terletak pada bagian depan pada
alat tangkap garuk. Mulut raga dapat dilihat pada Gambar 4.
12
cm
6
,5 c
m
100-120 cm
Page 27
10
(4a) (4b)
Gambar 4 Mulut raga alat tangkap garuk (4a) dan desain mulut raga (4b)
1.4 Kantong
Kantong adalah bagian pada alat tangkap garuk yang berbentuk kerucut
dengan ukuran panjang (P) 250 cm-350 cm, lebar (L) 100 cm-120 cm dan mesh
size 2,54 cm. Bagian kantong memanjang dari mulut hingga bagian ujung.
Kantong terbuat dari bahan PE. Untuk membuat satu unit kantong diperlukan
bahan jaring PE sebanyak 500 gram. Kantong berfungsi sebagai tempat
menampung hasil tangkapan. Kantong dapat dilihat pada Gambar 5.
(5a) (5b)
Gambar 5 Kantong garuk yang terbuat dari jaring PE (5a) dan desain kantong
garuk (5b)
1.5 Pemberat
Pemberat adalah bagian pada alat tangkap garuk yang berbentuk persegi
panjang terdiri dari beberapa besi behel yang diikat jadi satu. Pemberat terbuat
dari besi bekas dengan panjang (P) 100 cm dan diameter berkisar 2-3 cm. Satu
alat garuk membutuhkan 4 sampai 5 besi yang akan disusun menjadi satu,
sehingga berfungsi sebagai pemberat. Pemberat dapat dilihat pada Gambar 6.
20
-30
cm
100-120 cm
Page 28
11
(6a) (6b)
Gambar 6 Pemberat alat garuk (6a) dan desain pemberat (6b)
Secara lengkap bagian-bagian alat tangkap garuk dan spesifikasinya disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1 Spesifikasi alat tangkap garuk
No Bagian Bahan Ukuran
1 Bingkai Besi Panjang sisi 120-125 cm
Alas 100-120 cm
2 Gigi raga Besi paku atau
Behel baja
Panjang 6,5 cm
Panjang 12 cm
3 Mulut raga Besi Panjang 120 cm
Diameter 2-3 cm
4 Kantong Jaring PE Mesh size 2,54 cm
Panjang 250-400 cm
Lebar 100-120 cm
5 Pemberat Besi Panjang 100-120 cm
Diameter 2-3 cm
Jumlah 4-5 buah
2. Perahu alat tangkap garuk
Perahu yang digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap garuk adalah
perahu kayu. Panjang total (LOA) 8 m-10 m, lebar (B) 2,2 m-2,6 m, dan tinggi dek
(D) 0,8 m-1 m. Perahu dibuat di Indramayu dengan tonasse berkisar antara 2-4 GT,
perahu tersebut mendaratkan hasil tangkapannya di TPI KUD Mina Karya Baru.
Mesin yang dominan digunakan untuk menjalankan perahu bermerek Tianli. Mesin
tersebut memiliki umur teknis 6 tahun, kekuatan mesin yang digunakan untuk
mengoperasikan perahu tersebut berkisar antara 16 PK-22 PK.
Perahu berfungsi sebagai penarik alat tangkap garuk yang dipasang di dasar
perairan. Satu perahu akan menarik 2-3 alat tangkap garuk sekaligus, posisi
penarikan garuk terletak pada bagian haluan, tengah, dan buritan. Namun, apabila
nelayan hanya mengoperasikan 2 alat tangkap secara bersamaan, maka posisi
penarikan hanya pada bagian haluan dan buritan. Penempatan penarikan selalu di
sebelah kanan perahu, karena pada bagian sebelah kiri sudah ditempati mesin
sehingga perahu tetap melaju dengan seimbang. Perahu juga digunakan sebagai
sarana transportasi nelayan dari fishing base ke fishing ground dan juga sebagai
tempat penyimpanan hasil tangkapan garuk. Perahu disajikan pada Gambar 7.
100-120 cm
Page 29
12
Gambar 7 Perahu untuk mengoperasikan alat tangkap garuk
3. Nelayan alat tangkap garuk
Jumlah nelayan yang melaut tergantung dari jumlah alat yang dioperasikan.
Saat mengoperasikan 2 alat secara bersamaan maka jumlah nelayan yang
mengoperasikan alat 2-3 orang. Namun, jika nelayan mengoperasikan sebanyak 3
alat, maka jumlah nelayan 3-4 orang. Hal ini berkaitan dengan pembagian kerja
pada saat melakukan operasi penangkapan garuk. Satu orang nelayan bertugas
mengemudikan perahu, sedangkan dibutuhkan dua orang nelayan untuk menarik
garuk pada saat hauling dan satu orang nelayan untuk melakukan sortir hasil
tangkapan. Namun, terkadang pembagian tugas tersebut bisa berubah atau
dilakukan secara fleksibel sesuai kondisi saat melakukan operasi penangkapan.
4. Bagi hasil tangkapan
Bagi hasil yang diperoleh berasal dari penjualan hasil tangkapan dikurangi
dengan biaya perbekalan melaut. Setelah itu hasil yang diperoleh diperuntukan bagi
pemilik perahu 2 bagian dan masing-masing nelayan mendapat satu bagian.
Misalnya hasil bersih yang telah dipotong perbekalan adalah Rp 100.000. Jumlah
nelayan 2 orang. Maka pemilik mendapat Rp 50.000, sedangkan ABK atau nelayan
mendapat masing-masing Rp.25.000.
5. Metode pengoperasian alat tangkap
Operasi penangkapan alat tangkap garuk mulai dari tahap persiapan sampai
kembali ke fishing base membutuhkan waktu selama satu hari, yakni dari jam
04.30-13.00 WIB. Tahap operasi penangkapan garuk terdiri dari tahap persiapan,
tahap penurunan alat/pemasangan alat (setting), tahap penarikan alat tangkap garuk
di dasar perairan, tahap pengangkatan alat (hauling) ke atas perahu untuk
mengambil hasil tangkapan dan yang terakhir yaitu tahap penyortiran hasil
tangkapan.
5.1 Persiapan
Tahap persiapan dimulai pada jam 04.30 WIB. Persiapan tersebut dilakukan
dengan menyiapkan perbekalan melaut seperti makanan dan BBM. Tahap ini
dilakukan pengecekan kondisi mesin. Selanjutnya, setelah semua perbekalan
siap dan mesin dalam kondisi prima, nelayan garuk berangkat menuju fishing
ground. Waktu yang dibutukan untuk menuju fishing ground dari fishing base
berkisar 50-90 menit.
Page 30
13
5.2 Penurunan alat (setting)
Penurunan alat garuk ini pertama-tama dimulai dengan menyiapakan alat
tersebut di bagian buritan. Setelah alat tangkap garuk di bagian buritan selesai
diturunkan, selanjutnya dilakukan penurunan alat tangkap garuk yang kedua,
yakni pada sisi sebelah kanan perahu. Setelah kedua alat tangkap garuk
diturunkan maka alat tangkap garuk ditarik dengan menggunakan perahu.
Proses penurunan berlangsung selama 2-3 menit. Posisi nelayan saat setting
dapat dilihat pada Gambar 8a.
(8a) (8b)
Gambar 8 Posisi nelayan saat melakukan penurunan alat (setting) (8a) dan posisi
garuk saat ditarik di dasar perairan (8b)
5.3 Penarikan alat
Tahap ketiga yaitu melakukan penarikan garuk dengan menggunakan perahu.
Penarikan berlangsung antara 10-15 menit. Penarikan alat tangkap garuk
membentuk suatu lingkaran. Apabila alat tangkap garuk sudah terasa berat
maka alat tangkap segera diangkat untuk diambil hasil tangkapannya. Selama
proses penarikan garuk kecepatan perahu dipertahankan konstan dan
menyesuaikan dengan kondisi garuk di dasar. Posisi nelayan pada saat
melakukan penarikan alat dapat dilihat pada Gambar 9a.
(9a) (9b)
Gambar 9 Posisi nelayan saat melakukan penarikan alat garuk (9a) dan posisi
nelayan saat hauling (9b)
Page 31
14
5.4 Hauling
Tahap keempat yaitu pengangkatan alat untuk mengambil hasil tangkapan.
Proses hauling tersebut dilakukan bila alat garuk sudah terasa berat. Sebelum
garuk diangkat keatas perahu, kecepatan perahu diturunkan, kemudian
dilakukan pengangkatan. Pengangkatan pertama dilakukan dengan
mengangkat garuk yang berada di bagian buritan. Selanjutnya, hasil tangkapan
dikeluarkan dari jaring ke atas dek perahu yang sudah diberi alas terpal
berbentuk persegi yang memiliki ukuran berkisar antara 0,6 m × 1 m. Bila hasil
tangkapan sudah dikeluarkan dari kantong, garuk diturunkan kembali ke
perairan. Selanjutnya, pengangkatan garuk dilakukan pada sisi bagian kanan
perahu. Hasil tangkapan pada garuk yang kedua dikeluarkan dan disatukan
dengan hasil tangkapan garuk yang pertama. Garuk kemudian diturunkan
kembali ke perairan dan kemudian hasil tangkapan disortir. Posisi nelayan saat
proses pengangkatan (hauling) garuk keatas perahu disajikan pada Gambar 9b.
5.5 Penyortiran hasil tangkapan
Penyortiran dilakukan di atas perahu. Sortir hasil tangkapan dilakukan
bersamaan pada saat perahu melakukan operasi penangkapan dengan menarik
garuk untuk penangkapan berikutnya. Penyortiran dilakukan dengan
memisahkan hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan serta
sampah. Kerang yang tertangkap akan disortir berdasarkan ukuran. Kerang
yang besar berukuran lebih besar dari 3 cm, kerang yang sedang berukuran
antara 1,8 cm-3 cm. Hasil tangkapan garuk disajikan pada Gambar 10.
(10a) (10b)
Gambar 10 Hasil tangkapan garuk yang akan disortir (10a) dan hasil tangkapan
utama garuk (10b)
Kegiatan operasi penangkapan kerang yang dilakukan oleh nelayan Desa
Rawameneng hanya dilakukan di sekitar perairan Subang, Cilamaya dan Karawang.
Daerah penangkapan relatif dekat dari fishing base hanya membutuhkan waktu
sekitar 50-90 menit. Setengah perjalan tersebut digunakan untuk menyusuri sungai
sebelum sampai ke pantai. Penentuan posisi atau daerah penangkapan ini dilakukan
berdasarkan kebiasaan dan pengalaman. Pengoperasian garuk biasanya one day
fishing dan membutuhkan sekitar 15-20 liter BBM untuk satu kali operasi
penangkapan. Satu unit penangkapan garuk di Desa Rawameneng Blanakan terdiri
dari 3 alat tangkap, satu unit perahu, dan 2 sampai 4 orang nelayan.
Page 32
15
6. Musim penangkapan
Kerang menjadi hasil tangkapan utama garuk. Kerang tersebut tertangkap
sepanjang tahun, sehingga kegiatan operasi penangkapan kerang dengan
menggunakan garuk terjadi sepanjang tahun. Adapun jumlah hasil tangkapan dalam
satu tahun selalu bervarisi pada setiap bulannya. Berdasarkan hasil informasi dari
nelayan jumlah hasil tangkapan terbanyak didapat pada musim timur dan awal
musim barat yang berlangsung pada bulan Juli-Januari.
Jumlah setting alat tangkap garuk dipengaruhi oleh musim penangkapan. Jadi
saat musim puncak yang berlangsung antara bulan Juli-Januari, nelayan hanya
melakukan 10-15 kali setting per trip per alat tangkap. Hal ini karena hasil
tangkapan yang diperoleh sudah melampaui kapasitas perahu untuk memuat hasil
tangkapannya. Sebaliknya pada saat musim paceklik yang berlangsung bulan
Februari-Juli, setting penangkapan garuk berlangsung hingga 25-35 per trip per alat
tangkap. Meskipun jumlah setting bertambah banyak, hal tersebut tetap saja tidak
berpengaruh signifikan terhadap jumlah tangkapan pada musim paceklik.
7. Hasil tangkapan alat tangkap garuk
Hasil tangkapan garuk terdiri dari hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan
sampingan. Hasil tangkapan utama berupa kerang-kerangan dan hasil tangkapan
sampingan berupa udang dogol. Proporsi jumlah hasil tangkapan yang diperoleh
berdasarkan informasi terhadap responden disajikan pada Tabel 2. Gambar hasil
tangkapan garuk dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tabel 2 Proporsi hasil tangkapan garuk per tahun
Hasil tangkapan/tahun
No Responden
Kerang
besar (kg)
Kerang
sedang (kg)
Udang
dogol (kg) Total
1 Kusnadi 24.150 44.275 2.990 71.415
2 Darkim 15.007,5 27.542,5 2.806 45.356
3 Taja 12.190 22.310 3.312 37.812
4 Risam 12.650 23.000 3.358 39.008
5 Dakim 22.856 41.984 2.850 67.690
6 Taslim 39.890 73.310 2.788 115.988
7 Warkim 20.182,5 37.317,5 2.990 60.490
8 Ratim 23.460 43.240 2.990 69.690
9 Carsan 12.190 22.310 2.185 36.685
10 Tarli 17.825 32.775 3.795 54.395
11 Karsa 46.690 86.135 2.760 135.585
12 Iwan 40.595 74.980 2.185 11.7760
13 Sadam 23.460 43.240 4.048 70.748
14 Durasid 16.560 21.620 2.380,5 40.560,5
15 Daslim 23.460 43.240 4.600 71.300
16 Sawit 22.208 41.012 2.850 66.070
Hasil tangkapan garuk yang diperoleh pada saat survei dilakukan didominasi
berbagai jenis kerang. Kerang yang dominan tertangkap adalah kerang gelatik.
Ukuran kerang gelatik yang tertangkap pada saat survei berkisar antara 12 mm-43,9
Page 33
16
mm. Ukuran kerang gelatik yang paling banyak tertangkap berada pada kisaran 18,4
mm-21,5 mm. Ukuran panjang cangkang kerang gelatik disajikan pada Gambar 12.
Gambar 11 Ukuran panjang cangkang kerang gelatik
Efisiensi teknis unit penangkapan garuk
Efisiensi merupakan perbandingan antara output dan input yang digunakan
dalam proses produksi. Menurut (Soekartawi 2002), efisiensi didekati dari dua sisi
yaitu alokasi pendekatan penggunaan input dan alokasi output yang dihasilkan.
Faktor input produksi berupa tenaga kerja, alat, waktu maupun BBM yang
diperlukan untuk menghasilkan output berupa pruduksi hasil tangkapan yang dilihat
dari sudut teknis persatuan input produksi.
Kriteria input yang digunakan untuk menghasilkan output berupa hasil
tangkapan garuk yaitu ukuran perahu, kekuatan mesin, jumlah alat yang digunakan,
jumlah bahan bakar, jumlah trip, jumlah setting dan jumlah ABK (tenaga kerja).
Unit penangkapan garuk yang berada di Desa Rawameneng berjumlah sekitar 20
unit, jumlah tersebut berbeda dengan jumlah yang terdaftar di KUD Mina Karya
Baru. Jumlah unit penangkapan garuk yang terdaftar di KUD Mina Karya Baru
berjumlah 26 unit. Perbedaan ini terjadi karena beberapa nelayan telah berpindah
dari alat garuk menjadi jaring arad. Jumlah nelayan yang berhasil diwawancarai
pada saat penelitian berjumlah 16 unit penangkapan garuk dari 20 unit penangkapan
garuk yang terdapat di lokasi penelitian. Data hasil wawancara berupa perahu,
jumlah trip, jumlah setting, jumlah BBM, kekuatan mesin, jumlah alat dan jumlah
nelayan disajikan pada Tabel 3.
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
12 15,1 18,3 21,5 24,7 27,9 31,1 34,3 37,5 40,7
Fre
ku
ensi
(ek
or)
Panjang kerang (mm)
Page 34
17
Tabel 3 Data produksi, jumlah trip, jumlah setting, ukuran perahu, ukuran mesin,
jumlah BBM, jumlah ABK, dan jumlah alat yang berhasil diperoleh di
Desa Rawameneng.
No Nama Perahu
Produksi
(kg)
Jumlah
trip
Jumlah
setting
Perahu
(GT)
Mesin
(PK)
BBM
(L)
Jumlah
ABK
Jumlah
alat
1 Putra Bima 71.415 276 17.595 4 23 5.520 3 3
2 Laksana 45.356 276 14.490 4 20 4.140 2 2
3 Lancar Abadi 37.812 276 11.730 4 20 5.520 3 2
4 Asri Laksana 39.008 276 9.453 4 16 4.140 2 2
5 Sri Langgeng 67.690 262 14.800 4 20 3.930 3 2
6 Anak Jaya 115.988 262 15.720 4 20 5.240 3 3
7 Angkut Jaya 60.490 276 10.120 4 20 4.140 2 2
8 Cawuk 69.690 276 13.340 4 20 4.968 3 2
9 Anggun Jaya 36.685 276 13.455 4 20 4.140 2 3
10 Srimulya 54.395 276 11.730 4 23 5.520 2 2
11 Ridho Jaya 135.585 276 15.870 4 20 4.968 3 3
12 Srimuda 117.760 276 14.490 4 20 4.968 2 2
13 Luna Jaya 70.748 276 12.880 4 16 4.416 2 2
14 Karya Guna 40.560,5 276 11.408 4 21 4.140 2 2
15 Endang Jaya 71.300 276 12.880 4 22 4.968 3 2
16
Lancar
Rahayu 66.070 262 13.720 4 20 5.240 3 2
Analisis efisiensi teknis unit alat tangkap garuk di Desa Rawameneng
didasarkan pada penilaian produksi/jumlah trip, produksi/jumlah setting,
produksi/GT, produksi/ukuran mesin, produksi/BBM, produksi/jumlah ABK, dan
produksi/jumlah alat. Tabel 3 menunjukkan jumlah produksi masing-masing alat
tangkap garuk yang ada di Desa Rawameneng. Ridho Jaya mempunyai nilai
produksi tertinggi 135.585 kg, disusul oleh Srimuda dengan produksi 117.760 kg,
kemudian Anak Jaya diurutan tertinggi ketiga dengan produksi 115.988 kg. Adapun
diantara 16 unit penangkapan garuk yang produksinya paling sedikit diperoleh unit
penangkapan Anggun Jaya sebesar 36.685 kg per tahun.
Jumlah trip unit penangkapan garuk, seperti yang disajikan pada Tabel 3
berkisar antara 262-276 trip per tahun. Variasi ini diakibatkan adanya alih profesi
sebagian nelayan sehingga mempengaruhi jumlah trip penangkapan. Ukuran
tonasse perahu untuk alat tangkap garuk yaitu 4 GT. Adapun ukuran mesin yang
digunakan berkisar antara 16 PK-22 PK dengan jumlah BBM setiap alat tangkap
garuk berkisar 15-20 liter per trip. Jumlah BBM yang digunakan tidak jauh berbeda.
Hal ini karena daerah penangkapan untuk alat garuk relatif berdekatan.
Jumlah alat yang digunakan dalam setiap kali trip secara bersamaan
berjumlah 3 unit atau 2 unit alat. Jumlah alat yang digunakan berkaitan dengan
jumlah ABK. Apabila ABK minimal 3 orang, biasanya perahu tersebut akan
mengoperasikan 3 alat tangkap. Namun, apabila ABK berjumlah 2 orang, maksimal
alat yang dioperasikan berjumlah 2 unit. Selain itu jumlah alat yang dioperasikan
secara bersamaan juga dipengaruhi oleh kekuatan mesin masing-masing perahu.
Perhitungan efisiensi teknis dilakukan setelah produksi masing-masing alat tangkap
diketahui. Perhitungan dilakukan berdasarkan kriteria teknis yang tercantum pada
Page 35
18
Tabel 3. Perbandingan perhitungan faktor produksi yang menentukan efisiensi
teknis dan nilai finansial disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Perbandingan perhitungan faktor produksi yang menentukan efisiensi
teknis dan finansial
Keterangan:
X1 : Produksi/trip perahu
X2 : Produksi/setting alat
X3 : Produksi/ukuran perahu (GT)
X4 : Produksi/ukuran mesin (PK)
X5 : Produksi/BBM (L)
X6 : Produksi/ABK
X7 : Produksi/jumlah alat
R : Net Revenue (Rp)
Tabel 4 menunjukkan hasil perbandingan produksi untuk masing-masing unit
alat tangkap garuk. Perbandingan tersebut menunjukan tingkat efisiensi teknis dari
masing-masing unit penangkapan garuk terhadap salah satu faktor teknis yang
digunakan yakni X1 hingga X7. Selanjutnya, untuk mengetahui urutan prioritas unit
produksi yang memiliki efisiensi teknis terbaik dilakukan perhitungan dengan
fungsi nilai dari masing-masing kriteria teknis. Analisis efisiensi teknis dilakukan
dengan metode skoring yang dikembangkan oleh Mangkusubroto dan Trisnadi
(1987). Hasil perhitungannya menentukan urutan efisiensi teknis masing-masing
unit penangkapan garuk, sebagaimana disajikan pada Tabel 5.
No Nama Perahu X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 R (Rp)
1 Putra Bima 258,8 4,1 17.853,8 3.105,0 12,9 23.805,0 23.805,0 60.352.000
2 Laksana 164,3 3,1 11.339,0 2.267,8 11,0 22.678,0 22.678,0 52.992.000
3 Lancar Abadi 137,0 3,2 9.453,0 1.890,6 6,9 12.604,0 18.906,0 39.790.000
4 Asri Laksana 141,3 4,1 9.752,0 2.438,0 9,4 19.504,0 19.504,0 55.890.000
5 Sri Langgeng 258,4 4,6 16.922,5 3.384,5 17,2 22.563,3 33.845,0 59.619.600
6 Anak Jaya 442,7 7,4 28.997,0 5.799,4 22,1 38.662,7 38.662,7 92.908.000
7 Angkut Jaya 219,2 6,0 15.122,5 3.024,5 14,6 30.245,0 30.245,0 67.194.500
8 Cawuk 252,5 5,2 17.422,5 3.484,5 14,0 23.230,0 34.845,0 59.110.000
9 Anggun Jaya 132,9 2,7 9.171,3 1.834,3 8,9 18.342,5 12.228,3 40.399.500
10 Srimulya 197,1 4,6 13.598,8 2.365,0 9,9 27.197,5 27.197,5 65.492.500
11 Ridho Jaya 491,3 8,5 33.896,3 6.779,3 27,3 45.195,0 45.195,0 104.162.400
12 Srimuda 426,7 8,1 29.440,0 5.888,0 23,7 58.880,0 58.880,0 108.468.000
13 Luna Jaya 256,3 5,5 17.687,0 4.421,8 16,0 35.374,0 35.374,0 87.561.000
14 Karya Guna 147,0 3,6 10.140,1 1.931,5 9,8 20.280,3 20.280,3 46.488.750
15 Endang Jaya 258,3 5,5 17.825,0 3.240,9 14,4 23.766,7 35.650,0 72.542.000
16
Lancar
Rahayu 252,2 4,8 16.517,5 3.303,5 12,6 22.023,3 33.035,0 54.092.800
Page 36
19
Tabel 5 Efisiensi teknis dan nilai finansial unit penangkapan garuk
Keterangan:
R : Net revenue (Rp)
UP : Urutan Prioritas
Tabel 5 menunjukkan hasil perhitungan efisiensi teknis unit penangkapan
garuk di Desa Rawameneng secara keseluruhan. Berdasarkan Tabel 5, unit alat
tangkap garuk Ridho Jaya memiliki tingkat efisiensi secara keseluruhan sebesar
6,41 dan menduduki perangkat pertama. Peringkat kedua ada unit penangkapan
garuk Srimuda dengan nilai 6,21. Adapun tingkat efisiensi yang paling kecil
terdapat pada unit penangkapan garuk Anggun Jaya yang hanya mencapai 0,22.
Berdasarkan Tabel 5 tersebut dapat disimpulkan bahwa unit penangkapan Ridho
Jaya lebih efisien secara teknis dibandingkan dengan ke 15 alat tangkap garuk
lainnya di Desa Rawameneng. Contoh perhitungan efisiensi teknis dapat dilihat
pada Lampiran 3.
Analisis finansial usaha penangkapan garuk
Analisis usaha dilakukan untuk mengetahui sejauh mana usaha tersebut
berhasil. Analisis usaha biasanya diaplikasikan untuk mengevaluasi suatu usaha
atau rencana usaha yang berorientasi mencari keuntungan semaksimal mungkin
yang bisa diperoleh suatu perusahaan tertentu. Titik berat masalah usaha adalah
estimasi keuntungan yang secara langsung dapat diterima oleh individu perusahaan
dari investasi yang ditanamkan. Analisis usaha yang dilakukan antara lain:
1. Investasi unit penangkapan garuk
Investasi merupakan modal awal yang harus dimiliki untuk memulai usaha,
termasuk usaha dalam perikanan tangkap. Investasi yang ditanamkan pemilik untuk
usaha unit penangkapan garuk dapat dilihat pada Tabel 6.
No Nama kapal
V
(X1)
V
(X2)
V
(X3)
V
(X4)
V
(X5)
V
(X6)
V
(X7)
V
(X) R (Rp) UP
1 Ridho Jaya 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 0,70 0,71 6,41 104.162.400 1
2 Srimuda 0,82 0,93 0,82 0,82 0,82 1,00 1,00 6,21 108.468.000 2
3 Anak Jaya 0,86 0,80 0,80 0,80 0,75 0,56 0,57 5,15 92.908.000 3
4 Luna Jaya 0,34 0,48 0,34 0,52 0,45 0,49 0,50 3,12 87.561.000 4
5 Endang Jaya 0,35 0,48 0,35 0,28 0,37 0,24 0,50 2,58 72.542.000 5
6 Cawuk 0,33 0,43 0,33 0,33 0,35 0,23 0,48 2,50 59.110.000 6
7 Sri Langgeng 0,35 0,32 0,31 0,31 0,51 0,22 0,46 2,48 59.619.600 7
8 Angkut Jaya 0,24 0,56 0,24 0,24 0,38 0,38 0,39 2,43 67.194.500 8
9
Lancar
Rahayu 0,33 0,36 0,30 0,30 0,28 0,20 0,45 2,22 54.092.800 9
10 Putra Bima 0,35 0,23 0,35 0,26 0,30 0,24 0,25 1,98 60.352.000 10
11 Srimulya 0,18 0,33 0,18 0,11 0,15 0,32 0,32 1,58 65.492.500 11
12 Laksana 0,09 0,07 0,09 0,09 0,20 0,22 0,22 0,97 52.992.000 12
13
Asri Laksana
Jaya 0,02 0,24 0,02 0,12 0,13 0,15 0,16 0,84 55.890.000 13
14 Karya Guna 0,04 0,14 0,04 0,02 0,14 0,17 0,17 0,72 46.488.750 14
15 Lancar Abadi 0,01 0,08 0,01 0,01 0,00 0,00 0,14 0,26 39.790.000 15
16 Anggun Jaya 0,00 0,00 0,00 0,00 0,10 0,12 0,00 0,22 67.194.500 16
Page 37
20
Tabel 6 Rata-rata investasi unit penanangkapan garuk
Investasi Nilai (Rp)
Perahu untuk 10 tahun 10.000.000
Mesin untuk 6 tahun 6.000.000
Alat untuk 1 tahun 900.000
Total investasi 16.900.000
Investasi yang ditanamkan untuk memulai usaha penangkapan dengan
menggunakan garuk yaitu Rp 16.900.000. Investasi tersebut dalam bentuk perahu,
alat tangkap garuk dan mesin. Modal yang paling besar dikeluarkan pemilik yaitu
untuk membeli perahu Rp 10.000.000. Adapun modal paling kecil yaitu untuk
membuat 3 alat Rp 900.000.
2. Biaya operasional unit penangkapan garuk
Biaya operasional unit penangkapan garuk meliputi biaya tetap (fixed cost)
dan biaya tidak tetap (variabel cost). Biaya tetap adalah biaya yang harus
dikeluarkan dalam jumlah yang sama tanpa terpengaruh oleh besar kecilnya
kegiatan produksi. Meskipun tidak melakukan operasi penangkapan biaya tetap
harus tetap dikeluarkan. Biaya tetap usaha penangkapan garuk disajikan pada Tabel
7.
Tabel 7 Biaya tetap unit penangkapan garuk
Biaya tetap Keterangan Nilai (Rp)
Perawatan perahu @ Rp 1500000 1.500.000
Perawatan mesin @ Rp 650.000 × 2 1.300.000
Perawatan alat @ Rp 660.000 × 3 1.980.000
Pas @ Rp 100000 100.000
Total biaya tetap 4.880.000
Total biaya tetap untuk usaha penangkapan dengan garuk Rp 4.880.000.
Biaya paling besar harus dikeluarkan untuk perawatan alat tangkap garuk yaitu Rp
1.980.000. Biaya tersebut digunakan untuk memperbaiki 3 alat tangkap garuk
termasuk untuk biaya mengganti secara keseluruhan alat tangkap dalam jangka
waktu satu tahun. Selain itu biaya tetap juga digunakan untuk melakukan perawatan
mesin Rp 660.000 untuk sekali perawatan, dimana dalam 1 tahun terjadi dua kali
perawatan atau perbaikan. Adapun untuk biaya perizinan atau PAS membutuhkan
biaya Rp 100.000.
Biaya tidak tetap adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai
kegiatan produksi, dimana besar kecilnya biaya tersebut dipengaruhi volume
produksi. Biaya tidak tetap pada usaha penangkapan garuk meliputi BBM dan
perbekalan melaut. Biaya tidak tetap disajikan pada Tabel 8.
Page 38
21
Tabel 8 Biaya tidak tetap usaha unit penangkapan garuk
Biaya Tidak Tetap (variabel cost) Keterangan Nilai (Rp)
BBM 274 trip × 20 L × 5.500 30.140.000
Perbekalan 274 trip × 30.000 8.220.000
Total biaya variabel 38.360.000
Biaya tidak tetap dikeluarkan untuk kegiatan produksi, seperti untuk membeli
BBM sebesar Rp 30.140.000 untuk satu tahun, dan biaya perbekalan sebesar Rp
8.220.000. Total biaya tidak tetap Rp 38.360.000 dan total biaya tetap Rp
4.880.000. Jadi total biaya operasional usaha penangkapan garuk yaitu Rp
43.240.000.
3. Biaya penyusutan usaha penangkapan garuk
Biaya penyusutan pada usaha unit penangkapan garuk digunakan untuk
mengurangi keuntungan pemilik. Nilai penyusutan diperoleh dari nilai investasi
suatu barang terhadap umur teknisnya. Jadi biaya penyusutan akan bernilai nol pada
masa umur teknis barang investasi habis. Total biaya penyusutan Rp 2.900.000
meliputi perahu, mesin dan alat tangkap. Biaya penyusutan disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Biaya penyusutan unit usaha penangkapan garuk
Penyusutan Nilai (Rp)
Perahu untuk 10 tahun 1.000.000
Mesin untuk 6 tahun 1.000.000
Alat untuk 1 tahun 900.000
Total biaya penyusutan 2.900.000
4. Penerimaan usaha penangkapan garuk
Penerimaan usaha penangkapan garuk diperoleh dari hasil perkalian antara
total produksi dengan jumlah trip dan harga hasil tangkapan selama satu tahun.
Perhitungan penerimaan dibagi menjadi dua, yaitu pada saat musim puncak dan
musim paceklik, karena setiap musim mempunyai rata-rata total hasil tangkapan
dan harga yang berbeda.
Penerimaan pada musim puncak diperoleh dari rata-rata total produksi kerang
berukuran besar 150 kg dikalikan dengan jumlah trip 160 dikalikan harga kerang
Rp 3.000/kg, dengan demikian diperoleh hasil Rp 72.000.000. Adapun kerang
berukuran sedang berjumlah 250 kg dikalikan 160 trip dikalikan Rp 1.000,
hasilnnya Rp 40.000.000. Hasil tangkapan sampingan berupa udang dengan rata-
rata produksi 15 kg per trip dikalikan 160 trip dikalikan harga udang 20.000/kg
hasilnya Rp 48.000.000. Total penerimaan pada musim puncak mencapai Rp
160.000.000.
Penerimaan pada musim paceklik diperoleh dari rata-rata produksi kerang
dewasa 10 kg dikalikan 114 trip dikalikan Rp 8.000 hasilnya Rp 9.120.000 dan
untuk kerang berukuran sedang rata-rata produksi 15 kg dikalikan 114 trip dikalikan
Rp 3.000 diperoleh Rp 5.130.000. Udang yang diperoleh 5 kg dikali 114 trip
dikalikan harga udang Rp 25.000/kg hasilnya 14.250.000. Jadi total pendapatan
pada musim paceklik mencapai Rp 28.500.000, dengan demikian penerimaan usaha
Page 39
22
penangkapan garuk selama satu tahun sebesar Rp 188.500.000. Penerimaan usaha
penangkapan garuk disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Penerimaan usaha penangkapan garuk
Penerimaan Nilai (Rp)
Musim puncak bulan Juli-Januari
Kerang ( 150 kg × 160 trip × Rp 3.000) 72.000.000
Kerang kecil (250 kg × 160 trip × 1000) 40.000.000
Udang ( 15 kg × 160 trip × Rp 20.000) 48.000.000
Total 160.000.000
Musim paceklik bulan Februari-Juni
Kerang ( 10 kg × 114 trip × Rp 8.000 ) 9.120.000
Kerang kecil (15 kg × 114 trip × 3000 ) 5.130.000
Udang ( 5 kg × 114 trip × 25000 ) 14.250.000
Total 28.500.000
Total penerimaan 188.500.000
5. Kriteria ekonomi usaha penangkapan garuk
Analisis usaha meliputi perhitungan keuntungan bersih pemilik, PP, dan ROI.
Keuntungan bersih pemilik Rp 50.555.680 diperoleh dari hasil penerimaan kotor
dikurangi upah ABK yaitu Rp 80.183.520 dan biaya penyusutan Rp 2.900.000.
Penerimaan kotor Rp 133.639.200 diperoleh dari total pendapatan dikurangi biaya
operasional. Analisis finansial disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Kriteria ekonomi untuk menentukan kelayakan usaha penangkapan
garuk
Parameter Nilai
Keuntungan bersih 50.555.680
R/C 4,36
PP 0,33
ROI 299 %
Nilai R/C usaha penangkapan garuk 4,36. Nilai R/C digunakan untuk melihat
keuntungan relatif suatu usaha terhadap biaya yang dikeluarkan dalam usaha
tersebut. Dengan kata lain akan diperoleh keuntungan sebesar 4,36 kali dari biaya
yang dikeluarkan. Hal ini berarti dari setiap Rp 1 yang dikeluarkan akan diperoleh
keuntungan sebesar Rp 4,36. Karena nilai R/C > 1, maka usaha tersebut dikatakan
menguntungkan dan layak untuk dijalankan. Analisis PP (payback period) pada
suatu usaha, merupakan metode untuk mengukur seberapa cepat investasi bisa
kembali (Husnan dan Suwarsono 1994). Payback period usaha penangkapan garuk
sebesar 0,33. Modal investasi akan kembali setelah 0,33 tahun usaha berjalan
dengan asumsi pendapatan tetap, kurang lebih 3,96 bulan modal investasi akan
kembali. Nilai ROI dari usaha penangkapan garuk yaitu 299%. Jadi besarnya
kemampuan untuk pengembalian modal yang ditanam itu mencapai 299% dengan
asumsi pendapatan pada setiap bulan dan tahunnya tetap. Perhitungan usaha
penangkapan garuk dapat dilihat pada Lampiran 4.
Page 40
23
6. Analisis sensitivitas
Analisis sensitivitas perlu dilakukan karena dalam suatu usaha selalu ada
faktor ketidakpastian. Analisis sensitivitas ini digunakan untuk melihat apakah
suatu usaha sensitif atau tidak jika terjadi suatu perubahan. Perubahan inilah yang
dimaksud ketidakpastian. Dalam penelitian ini akan dilihat apakah usaha unit
penangkapan garuk sensitif atau tidak jika terjadi perubahan kenaikan harga BBM.
BBM merupakan salah satu variabel kunci untuk keberhasilan berjalannya usaha
unit penangkapan garuk. Hal ini karena BBM memberikan kontribusi sebesar 69%
dari total biaya operasional. Perhitungan analisis sensitivitas apabila harga BBM
naik 19% menjadi Rp 6.525 per liter, maka pendapatan nelayan masih Rp
48.448.291,20 per tahun. Namun, apabila harga BBM naik 456% menjadi Rp
31.580 per liter maka nelayan mengalami kerugian Rp 21.651,20 per tahun.
Perhitungan analisis sensitivitas secara sebagai akibat perubahan kenaikan harga
BBM disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Analisis sensitivitas apabila terjadi kenaikan BBM
Kriteria Kenaikan Harga BBM
% Rp % Rp % Rp % Rp % Rp % Rp
19 1.254 100 5.500` 200 11.000 300 16.500 400 22.000 456 25.080
Keuntungan
pemilik
48.448.291 39.464.160
28.372.640
17.281.120
6.189.600
-21.651
R/C 3,85 2,57 1,82 1,41 1,15 1,04
PP 0,35 0,43 0,60 0,98 2,75 -780, 56
ROI 2,87 2,34 1,68 1,02 0,37 0,00
Perubahan harga komoditas merupakan salah satu faktor yang perlu
diperhatikan pada suatu usaha selain BBM. Penurunan harga hasil tangkapan garuk
akan berpengaruh pada total keuntungan yang diterima. Kasus ini akan
menunjukkan apakah perubahan harga berdampak signifikan terhadap
kelangsungan usaha alat tangkap garuk di Desa Rawameneng Blanakan. Tabel 13
dapat dilihat, apabila harga turun sebesar 50% dengan asumsi variabel yang lain
tetap maka pemilik akan memperoleh keuntungan Rp 15.871.680 per tahun.
Nelayan atau pengusaha garuk akan mengalami kerugian apabila harga turun
sebesar 72,8%. Hal ini ditunjukan dengan nilai pendapatan pemilik yang mencapai
minus, artinya biaya yang dikeluarkan tidak mampu untuk menutupi kegiatan
produksi. Analisis sensitivitas akibat perubahan harga hasil tangkapan disajikan
pada Tabel 13.
Page 41
24
Tabel 13 Analisis sensitivitas apabila terjadi perubahan harga produk
Kriteria Penurunan Harga
50 % 72,9 %
Musim Puncak Musim Paceklik Musim Puncak Musim Paceklik
Kerang
Besar
Kerang
Sedang
Udang Kerang
Besar
Kerang
Sedang
Udang Kerang
Besar
Kerang
Sedang
Udang Kerang
Besar
Kerang
Sedang
Udang
1.500 500 10.000 4.000 1.500 12.500 2.187 729 14580 5832 2187 18.225
Keuntungan
Pemilik
15.871.680,00 -13.592,00
R/C 2,18 1,18
PP 1,06 -1243, 38
ROI 0,94 0,00
Pembahasan
Efisiensi teknis unit penangkapan garuk
Perhitungan efisiensi teknis pada unit usaha penangkapan garuk
menunjukkan bahwa perahu Ridho Jaya menduduki urutan prioritas pertama
dengan nilai 6,42. Hal ini berarti bahwa perahu Ridho Jaya memiliki efisiensi
teknis yang paling tinggi. Adapun perahu Anggun Jaya memiliki tingkat efisiensi
teknis yang paling rendah. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa ada beberapa
faktor yang berpengaruh terhadap efisiensi teknis.
Perahu Ridho Jaya memiliki efisiensi teknis tertinggi diduga karena perahu
Ridho Jaya melakukan operasi penangkapan pada jarak yang lebih jauh dan mampu
memilih lokasi yang tepat untuk fishing ground. Hal ini seperti yang dapat dilihat
pada Tabel 3, perahu Ridho Jaya menggunakan mesin 20 PK, dengan jumlah BBM
4.968 liter, dan melakukan 276 trip. Adapun perahu Anggun Jaya menggunakan
mesin berukuran 20 PK, melakukan 276 trip, dengan menghabiskan 4.140 liter
BBM, jumlah nelayan 2 orang dan menggunakan 3 alat secara bersamaan,
menduduki urutan prioritas terakhir dengan nilai efisiensi total sebesar 0,22.
Berkaitan dengan hal teknis kelangsungan operasi penangkapan, BBM merupakan
faktor penting bagi mobilisasi nelayan dalam mengeksplorasi daerah penangkapan
ikan. Jumlah bahan bakar yang memadai memungkinkan nelayan untuk mencapai
lokasi penangkapan yang lebih baik (Aprianto 2008).
Jumlah operasi penangkapan dan jangkauan daerah penangkapan yang lebih
luas akan memberikan peluang bagi nelayan untuk memperoleh hasil tangkapan
yang lebih banyak. Mukhtar (2008) menyatakan bahwa jumlah ABK yang lebih
besar memiliki kemampuan mendapatkan hasil tangkapan ikan yang lebih besar
dibanding dengan kapal yang jumlah ABK lebih kecil. Hal ini bisa dilihat pada unit
penangkapan garuk, dimana jumlah ABK berpengaruh terhadap jumlah alat dan
jumlah setting operasi penangkapan garuk. Ketepatan dalam menentukan daerah
penangkapan juga berpengaruh terhadap hasil tangkapan yang diperoleh. Kegiatan
penangkapan ikan akan menjadi lebih efisien dan efektif apabila daerah
penangkapan ikan dapat diduga secara tepat terlebih dahulu (Fausan 2011).
Unit penangkapan garuk merupakan unit penangkapan yang paling dominan
di TPI KUD Mina Karya Baru Desa Rawameneng. Hal ini terlihat dari jumlah alat
Page 42
25
tangkap garuk di desa tersebut. Desa Rawameneng merupakan satu-satunya desa
yang memproduksi kerang dari hasil tangkapan garuk melalui TPI KUD Mina
Karya Baru dari tujuh desa yang ada di Kecamatan Blanakan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan nelayan, jumlah alat tangkap garuk di Desa Rawameneng ada
20 unit. Jumlah unit penangkapan garuk mengalami peningkatan selama dua tahun
terakhir. Hal ini disebabkan unit penangkapan garuk masih memberikan
keuntungan yang sangat baik. Keuntungan bersih yang diperoleh pemilik jaring
garuk sebesar Rp 50.555.680 per tahun, bahkan dengan kenaikan harga BBM
sebesar 19 % menjadi Rp 6500 per liter, keuntungan usaha unit penangkapan garuk
masih sebesar Rp 48.448.291,20 per tahun.
Alat tangkap garuk memiliki gigi yang terbuat dari besi. Gigi garuk menancap
dan membajak substrat pasir atau lumpur pada saat alat tangkap tersebut
dioperasikan, sehingga menimbulkan turbulensi. Perairan menjadi keruh, dimana
peningkatan kekeruhan memiliki potensi untuk mempengaruhi plankton, ikan dan
invertebrata lainnya (Heidi et al. 2011). Efek dari dredging (penggarukan)
menimbulkan gangguan terhadap satwa laut meliputi ikan, mamalia laut dan
perubahan jangka panjang bagi komunitas benthos (Jones 2010). Gangguan
tersebut mengakibatkan berkurangnya kelimpahan, keragaman, biomassa dan
hilangnya tempat pemijahan dan daerah pembibitan sebagai akibat penggarukan
yang berlangsung secara terus-menerus. Menurut Heidi et al. (2011), pasir dan
kerikil merupakan habitat penting daerah pemijahan bagi banyak spesies ikan. Oleh
karena dalam jangka panjang alat tangkap garuk dapat merusak lingkungan dan
ekosistem dasar laut termasuk hilangnya habitat populasi, kematian spesies juvenil
komersial dan pergeseran struktur jaringan makanan (Rose et al. 2000). Namun,
disisi lain peningkatan sedimen tersuspensi mungkin bermanfaat bagi benthos dan
ikan. Bahan organik seperti detritus dari organisme mati seperti fitoplankton dan
bakteri yang ditemukan dalam sedimen halus jadi pasokan makanan yang memadai
(Heidi et al. 2011).
Analisis finansial usaha penangkapan garuk
Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui tingkat keuntungan yang
diperoleh pelaku usaha. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keuntungan
usaha penangkapan garuk ditinjau dari faktor-faktor produksi. Beberapa faktor
yang sangat berpengaruh yaitu harga komoditas dan faktor input produksi seperti
BBM. Hal ini karena BBM berkontribusi sebesar 69% terhadap operasional
penangkapan garuk. Harga jual hasil tangkapan akan berpengaruh terhadap
pendapatan yang diperoleh nelayan. Apabila harga komoditas tinggi maka
pendapatan akan semakin meningkat begitupun sebaliknya. Selanjutnya, apabila
harga BBM mengalami kenaikan maka total biaya operasional akan semakin besar.
Hal tersebut mengakibatkan keuntungan yang diterima nelayan akan menurun,
sehingga dalam usaha faktor tersebut perlu mendapat perhatian lebih.
Unit penangkapan garuk di Desa Rawameneng termasuk unit usaha berskala
kecil. Modal awal yang dibutuhkan maupun jumlah nelayan yang ikut beroperasi
dalam satu unit penangkapan jumlahnya relatif lebih sedikit dibandingkan jenis unit
penangkapan lainnya. Investasi yang diperlukan untuk memulai usaha garuk Rp
16.900.000. Biaya operasional terdiri dari biaya tetap Rp 4.880.000 dan biaya tidak
tetap Rp 38.360.000, sehingga total biaya operasional Rp 43.240.000. Biaya total
penting dalam perhitungan penerimaan bersih, dimana penerimaan bersih
Page 43
26
merupakan penerimaan total dikurangi dengan biaya total (Bishop dan Toussaint
1979).
Penerimaan yang didapat dari usaha penangkapan garuk yaitu Rp
188.500.000. Keuntungan bersih yang diperoleh pemilik Rp 50.555.680 dalam
setahun. Adapun pendapatan bersih yang diterima masing-masing nelayan setiap
tripnya Rp 97.546,86 Usaha unit penangkapan garuk sangat menguntungkan
apabila dibandingkan dengan usaha unit penangkapan lainnya yang berada di
Blanakan. Satu unit jaring arad yang dioperasikan di Blanakan memperoleh
keuntungan sekitar Rp 24.170.920 per tahun dengan investasi awal sekitar Rp
27.500.000 (Janah 2010).
Analisis usaha dapat digunakan untuk melihat nilai finansial yang dihasilkan
usaha penangkapan garuk. Hasil analisis diperoleh nilai Revenue/Cost (R/C)
sebesar 4,36. Nilai tersebut menunjukan bahwa usaha penangkapan garuk mampu
mengembalikan atau menghasilkan keuntungan sebesar Rp 4,36 dari setiap Rp 1
biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan usahanya. Payback period dari usaha
unit penangkapan garuk 0,33. Berdasarkan nilai tersebut berarti modal yang
digunakan untuk investasi dapat dikembalikan hanya dalam waktu 0,33 tahun atau
3,96 bulan. Waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan biaya investasi sangat
cepat. Hal ini menunjukan usaha tersebut memberikan keuntungan.
Nilai ROI dari usaha penangkapan garuk sebesar 299%. Hal ini berarti bahwa
usaha penangkapan garuk dapat memberikan keuntungan sebesar 299% dari setiap
Rp 100 yang dikeluarkan. Persentase tersebut menunjukan bahwa kemungkinan
pengembalian keuntungan dari investasi yang ditanamkan pemilik sangat besar.
Berdasarkan analisis ROI perusahaan dapat mengukur sampai sejauh mana
kemampuannya dalam mengembalikan modal yang ditanamkannya (Rahardi et al.
1993). Nilai ROI yang tinggi menunjukan usaha tersebut efisien dalam penggunaan
modal.
Analisis sensitivitas
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan usaha perlu dianalisis
lebih lanjut menggunakan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas dapat
digunakan untuk memprediksi pengaruh perubahan faktor-faktor yang signifikan
dalam proses produksi terhadap keuntungan usaha. Berdasarkan Tabel 12 dapat
dilihat bahwa kenaikan harga BBM 19% menjadi Rp 6.500 per liter mengakibatkan
berkurangnya keuntungan yang diterima nelayan sebesar 4% menjadi Rp
48.448.291,2 per tahun. Perubahan juga terlihat pada nilai ROI yang menurun
sebesar 4% menjadi 2,87 dan Net B/C sebesar 11% menjadi 3,85 yang diikuti
dengan naiknya nilai payback period sebesar 6 % menjadi 4,2 bulan. Hal ini berarti
keuntungan yang diterima berkurang, sehingga waktu yang di butuhkan untuk
pengembalian biaya investasi betambah panjang. Kenaikan harga BBM sebesar
19% tidak mempengaruhi usaha penangkapan garuk, karena usaha unit
penangkapan garuk masih memperoleh keuntungan. Berdasarkan analisis
sensitivitas menunjukan bahwa perubahan harga BBM sebesar 19% tidak sensitif
terhadap usaha penangkapan garuk.
Kenaikan harga BBM akan memberikan dampak yang berbeda apabila harga
BBM naik sebesar 456%. Kenaikan sebesar itu akan mengakibatkan nelayan
mengalami kerugian usaha, dengan asumsi faktor-faktor lain yang berpengaruh
dianggap tetap. Kenaikan harga BBM akan menjadi faktor yang sensitif dalam
Page 44
27
usaha unit penangkapan garuk apabila harga BBM naik sebesar 456% menjadi Rp
31.580 per liter. Analisis sensitivitas menunjukan sejauh mana suatu variabel akan
mempengaruhi profitabilitas usaha. Semakin buruk akibatnya, variabel tersebut
semakin perlu memperoleh perhatian (Husnan dan Suwarsono 1994).
Harga kerang merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
keuntungan yang diperoleh nelayan garuk. Menurunnya harga kerang sebesar 50%
dari harga jual saat ini sebesar Rp 8.000 per kg berdampak pada penerimaan nelayan
yang semakin menurun. Penurunan pendapatan nelayan masih dalam batas aman
karena masih mampu memberikan keuntungan sebesar Rp 15.871.680 per tahun
sehingga usaha penangkapan masih bisa berjalan. Perubahan harga produk sebesar
50% menjadi Rp 4.000 per kg tidak sensitif terhadap usaha penangkapan garuk.
Perubahan harga akan berpengaruh bila terjadi penurunan harga sebesar 72,9%.
Menurunnya harga produk sebesar 72,9% akan mengakibatkan usaha mengalami
kerugian sebesar Rp 13.529. Total pendapatan yang diterima oleh nelayan dengan
penurunan harga sebesar 72,9% tidak mampu menutupi biaya yang dikeluarkan
untuk menjalankan usaha penangkapan garuk, seperti yang disajikan pada Tabel 13.
Peluang pengembangan usaha
Usaha unit penangkapan garuk, ditinjau dari sisi finansial mampu
memberikan keuntungan bagi nelayan. Hal ini dilihat dari penerimaan dan
pendapatan bersih yang diperoleh nelayan. Berdasarkan analisis finansial usaha
penangkapan garuk juga mempunyai sensitivitas yang rendah terhadap perubahan
harga BBM, dimana BBM merupakan faktor kunci yang berperan pada operasi
penangkapan. Berdasarkan analisis sensitivitas yang dilakukan terhadap faktor-
faktor produksi penangkapan garuk di Desa Rawameneng BBM memberikan
kontribusi sebesar 69% dari total biaya opersional. Hal tersebut menunjukan bahwa
pengembangan unit usaha penangkapan garuk masih memberikan keuntungan yang
sangat menjanjikan.
Pengembangan usaha penangkapan garuk tidak hanya dilihat dari sisi
ekonomi tapi perlu juga dilihat dari sisi biologi sumber daya hayati dan lingkungan
perairan. Hasil tangkapan garuk yang diperoleh sebagian besar berada pada kisaran
13,23 mm-21,20 (Prasetiyo 2012). Bila dilihat dari ukuran kerang pada saat pertama
matang gonad maka secara dominan alat tangkap garuk banyak menangkap
dibawah ukuran layak tangkap. Kerang pertama kali matang gonad pada ukuran
panjang cangkang sekitar 18 mm-20 mm (Mubarak 1987). Sumber daya kerang
merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam prospek
pengembangan usaha unit penangkapan garuk. Kegiatan penangkapan yang tidak
terkendali secara langsung memberikan pengaruh terhadap penurunan jumlah hasil
tangkapan. Hal ini diindikasikan dengan semakin jauhnya areal penangkapan dan
kecilnya ukuran kerang yang tertangkap (Erianto 2005). Menurunnya jumlah dan
ukuran kerang ini diduga disebabkan oleh frekuensi penangkapan yang secara terus
menerus tanpa menghiraukan stok sumber daya kerang di perairan setempat. Oleh
sebab itu, apabila dibiarkan dalam jangka panjang dapat mengancam eksistensi
usaha penangkapan garuk di perairan tersebut.
Ditinjau dari efek terhadap lingkungan usaha penangkapan dengan garuk
memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan ekosistem dasar laut (Dian
et al. 2011). Intensitas penggarukan pada substrat dasar laut mengakibatkan
hilangnya habitat dasar laut, organisme benthos dan ikan demersal (Heidi et al.
Page 45
28
2011). Pengembangan usaha perlu mempertimbangkan efek jangka panjang
terhadap kelestarian sumber daya di perairan tersebut, sehingga pengembangan
usaha dengan alat tangkap garuk ditinjau dari dampaknya terhadap lingkungan
tidak layak untuk dikembangkan. Adapun pengembangan usaha penangkapan
garuk bisa dikembangkan dengan melakukan modifikasi alat. Bagian yang harus
dimodifikasi pada alat tangkap garuk yaitu gigi raga. Gigi raga merupakan salah
satu faktor yang mengakibatkan kerusakan lingkungan karena prinsip kerjanya
yang menancap dan membajak substrat.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Efisiensi teknis unit penangkapan garuk di Desa Rawameneng berkisar antara
0,22-6,41, sedangkan ditinjau dari efisiensi ekonomis unit penangkapan garuk
berkisar Rp 39.790.000 – Rp 108.468.000. Secara ekonomis unit penangkapan
garuk di Desa Rawameneng sangat efisien dengan keuntungan yang diterima
pemilik selama satu tahun yaitu Rp 50.555.000. Adapun pendapatan nelayan
selama satu tahun Rp 26.727.840; dan
2. Ditinjau dari segi finansial alat tangkap garuk merupakan unit penangkapan yang
layak dikembangkan, akan tetapi jika ditinjau dari aspek biologi sumber daya
kerang dan lingkungan perairan perlu pengaturan yang lebih baik.
SARAN
Saran yang diusulkan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kelayakan unit penangkapan garuk
yang ditinjau dari berbagai aspek seperti aspek teknis, biologi, sosial, dan
ekonomi;
2. Pemerintah atau dinas perikanan setempat perlu membuat peraturan terkait
penangkapan kerang meliputi jumlah trip penangkapan, kapasitas maksimal
hasil tangkapan per trip, dan ukuran yang diperbolehkan untuk diperjualbelikan;
dan
3. Perlu dicari alternatif alat tangkap lain pengganti garuk yang ramah lingkungan.
Page 46
29
DAFTAR PUSTAKA
Aprianto Ahdiar. 2008. Persepsi dan Strategi Adaptasi Nelayan Garuk terhadap
Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak di Pangkalan Pendaratan Ikan Mundu
Pesisir Kabupaten Cirebon. [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Pemanfaatan
Sumber daya Perikanan FPIK IPB.
Bishop C.E, Toussaint. 1979. Pengantar Analisa Ekonomi Pertanian. Jakarta (ID):
Mutiara.
Data statistik kelautan dan perikanan. 2011. Statistik Perikanan Tangkap. [Internet].
[diunduh 7 Februari 2013]. Tersedia pada: http://statistik.kkp.go.id
Dian A P F, Pramonowibowo, Kurohman F, Budi J. 2011. Modifikasi Dredged Net
untuk Peningkatan Efektivitas dan Efisiensi Penangkapan Udang di Tambak
Lorok, Semarang. Buletin Oseanografi Marina. 1: 95.
Erianto Dedi. 2005. Analisis Pengelolaan dan Pengembangan Budidaya Kerang
Darah (Anadara granosa) di Kecamatan Kuala Indragiri Kabupaten Hilir
Propinsi Riau. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Fausan. 2011. Pemetaan Daerah Potensial Penangkapan Ikan Cakalang
(Katsuwonus Pelamis) Berbasis Sistem Informasi Geografis Diperairan Teluk
Tomini Provinsi Gorontalo. [Skripsi]. Makasar (ID): Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan
Universitas Hasanuddin.
Heidi M T, Houghton, A J, Saunders J E, and Hull, S C. 2011. Direct and Indirect
Impacts of Marine Aggregate Dredging. Marine Aggregate Levy
Sustainability Fund (MALSF) Science Monograph Series. 1:20.
Husnan S, Suwarsono. 1994. Studi Kelayakan Proyek. Yoyakarta (ID): UPP AMP
YKPN . 272 hlm.
Janah Enur. 2010. Karakeristik Usaha Unit Perikanan Jaring Arad di PPI Blanakan,
Kabupaten Subang, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Jones J B. 2010. Environmental Impact of Trawling on The Seabed: A review. New
Zealand Journal of Marine and Freshwater Research. 26:61.
Kadariah, Karlina L dan Gray C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek Edisi Revisi.
Jakarta (ID): Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Mangkusubroto K, Trisnadi L. 1987. Pendekatan Sistem dalam Manajemen Usaha
dan Proyek. Bandung (ID): Ganeca Extac Bandung. hlm: 207-210.
Mubarak Hasan. 1987. Distribusi Anadara sp (Pelecypoda; Arcidae) dalam
Hubungannya dengan Karakteristik Lingkungan Perairan dan Assosiasinya
dengan Jenis-Jenis Moluska Bintik Lain di Teluk Blanakan Kabupaten
Subang Jawa Barat. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Mukhtar. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kapal
Purse Seine. [Tesis]. Program Studi Agribisnis Program Pascasarjana
Universitas Haluoleo Kendari.
Nurmalina R, T Sarianti, A Karyadi. 2010. Studi Kelayakan Bisnis. Bogor (ID):
Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Insitut Pertanian
Bogor.
Prasetyo B, Janah M L. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi.
Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada.
Page 47
30
Prasetiyo Arrif Nugroho Puji. 2012. Konstruksi Garuk yang Produktif dan Selektif
Terhadap Kerang. [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Pemanfaatan Sumber
Daya Perikanan FPIK IPB.
Rahardi F, Kristiwati R, Nazaruddin. 1993. Agribisnis Perikanan. Jakarta (ID):
Penebar Swadaya. hlm: 55 dan 59.
Rose C, Carr A, Ferro D, Fonteyne R, and MacMullen P. 2000. Using Gear
Technology to Understand and Reduce Unintended Effects of Fishing on The
Seabed and Associated Communities: Background and Potential Directions.
ICES Working Group on Fishing Technology and Fish Behaviour.
Satuhu S. 2004. Penanganan Segar dan Pembuatan Minyak Bunga Melati. Jakarta
(ID): Penebar Swadaya.
Singarimbun M, Efendi S. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID): LP3ES.
Soekartawi. 2002. Analisis Usaha Tani. Jakarta (ID): UI Press.
Subani W, HR Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia.
Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No. 50. Jakarta (ID): Balai Penelitian
Perikanan Laut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian.
Suwignyo S, Widigdo B, Wardiatno Y, Krisanti M. 2005. Avertebrata Air Jilid1.
Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Umar Husein. 2007. Studi Kelayakan Bisnis Edisi -3. Jakarta (ID): Gramedia.
Yuliana W, Soekendarsi E, Ambeng. 2012. Morfometrik Karang Bulu Anadara
antiquata, L.1758 dari Pasar Rakyat Makasar, Sulawesi Selatan. Makasar
(ID): Universitas Hasanuddin.
Page 48
31
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
Page 49
32
Lampiran 2 Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan garuk
Kerang hasil tangkapan nelayan garuk udang hasil tangkapan sampingan
Ukuran kerang yang tertangkap kerang yang akan di lelang
Page 50
33
Lampiran 3 Contoh perhitungan metode skoring
V(X) = 𝑋−𝑋0
𝑋1−𝑋0
V (A) = ∑ Vi (Xi) untuk i= 1, 2 3,..... n
Keterangan:
V(X) : Fungsi terbaik dari variabel X
X : Variabel X
X1 : Nilai terbaik dari kriteria X
X0 : Nilai terburuk dari kriteria X
V (A) : Fungsi nilai dari alternatif A
Vi(Xi) : Fungsi nilai dari alternatif pada kriteria ke-i
Contoh perhitungan dengan rumus fungsi nilai unit penangkapan garuk Ridho
Jaya.
V(x) = 491,25-132,92
491,25-132,92
= 1,00
Fungsi nilai total faktor teknis pada unit penangkapan garuk Ridho Jaya
V(X) = (VX1)+ (VX2)+ (VX3)+ (VX4)+ (VX5)+ (VX6)+ (VX7)
= 1,00+1,00+1,00+1,00+1,00+0,70+0,71
= 6,41
Page 51
34
Lampiran 4 Perhitungan usaha unit penangkapan garuk
Biaya Investasi Nilai (Rp)
Kapal untuk 10 tahun 10.000.000,00
Mesin untuk 6 tahun 6.000.000,00
Alat untuk 1 tahun 900.000,00
Total Investasi 16.900.000,00
Biaya Operasional
a. Biaya tetap Nilai (Rp)
Perawatan Kapal 1.500.000,00
Perawatan mesin 1.300.000,00
Perawatan alat 1.980.000,00
SIUP/PAS 100.000,00
Total 4.880.000,00
b. Biaya variabel Nilai (Rp)
BBM (274 trip x 20 L x 5.500) 30.140.000,00
Perbekalan (274 trip x 30.000) 8.220.000,00
Total 38.360.000,00
Total biaya operasional 43.240.000,00
Penerimaan Nilai (Rp)
a. Musim puncak Bulan Juli-Januari
Kerang Besar (150 kg x 160 trip x Rp 3.000) 72.000.000,00
Kerang kecil (250 kg x 160 trip x 1000 40.000.000,00
Udang ( 15 kg x 160 trip x Rp 20.000 48.000.000,00
Total 160.000.000,00
b. Musim paceklik bulan Februari-Juni
Kerang ( 10 kg x 114 trip x Rp 8.000 9.120.000,00
Kerang kecil (15 kg x 114 trip x 3000 5.130.000,00
Udang ( 5 kg x 114 trip x 25000 14.250.000,00
Total 28.500.000,00
Total pendapatan kotor 188.500.000,00
Penyusutan Nilai (Rp)
Kapal untuk 10 tahun 1.000.000,00
Mesin untuk 6 tahun 1.000.000,00
Alat untuk 1 tahun 900.000,00
Total penyusutan 2.900.000,00
Page 52
35
Keuntungan bersih Nilai (Rp)
Keuntungan kotor (penerimaan - biaya) 145.260.000,00
Keuntungan kotor- penyusutan 142.360.000,00
Retribusi 5% 11.620.800,00
Keuntungan kotor (penerimaan - retribusi) 133.639.200,00
Bagi Hasil
Jumlah ABK 3 orang. 1: 2
(1 Bagian untuk masing-masing ABK dan 2 Bagian untuk
pemilik ) Nilai (Rp)
Upah ABK 26.727.840
Kentungan pemilik 53.455.680
Keuntungan bersih pemilik 50.555.680
Analisis finansial usaha
R/C 4,36
PP 0,33
ROI (%) 299
Page 53
36
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi Jawa Barat pada tanggal 12 Maret 1990 dari
pasangan Bapak Engkan S dan Ibu Omi Suminar. Penulis adalah putra ketiga dari
empat bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) 01
Cisolok dan pada tahun yang sama penulis berkesempatan mengikuti perkuliahan
di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor melalui jalur
USMI dan menimba ilmu di Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum mata
kuliah Teknologi Alat Penangkapan Ikan (TAPI) pada tahun 2012/2013 dan
2013/2014, asisten praktikum mata kuliah Alat Penangkapan Ikan (API) 2012/2013
dan asisten praktikum mata kuliah Navigasi 2013/2014. Tahun 2011 penulis juga
mengikuti lomba karya tulis ilmiah tingkat mahasiswa. Penulis juga aktif di
organisasi Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
(HIMAFARIN) sebagai staf Departemen Kewirausahaan tahun 2011/2012 dan
sebagai staf Departemen Pengembangan Minat dan Bakat tahun 2012/2013. Penulis
juga pernah menjabat sebagai ketua pelaksana “LIGA PSP” dan Staff divisi Acara
HOS (Himafarin On Stage) 2011. Penulis juga aktif di Himpunan Mahasiswa
Periakan Tangkap se Indonesia (HIMPATINDO).