1 EDITORIAL Pengantar Redaksi Syukur Alhamdulilllah kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga Jurnal Kesehatan STIKes Budi Luhur Cimahi Volume 7 No. 1 Januari 2014 dapat diterbitkan. Dengan diterbitkannya Jurnal Kesehatan Budi Luhur Cimahi ini, diharapkan dapat memberikan manfaat dan pencerahan kepada masyarakat dan lingkungan civitas akademika STIKes Budi Luhur Cimahi yang dapat membawa visi dan misi Tri Dharma Perguruan Tinggi sehingga memunculkan inspirasi dan inovasi dalam bidang kesehatan untuk kepentingan kesejahteraan bangsa dan Negara Republik Indonesia. Kepada para penulis kami ucapkan banyak terima kasih atas partisipasinya. Semoga Jurnal ini dapat menjadi media komunikasi dan penyebar luas informasi tentang ilmu pengetahuan bagi kita semua, Amin. Wassalam, Dewan Redaksi Pelindung: Ketua Stikes Budi Luhur Cimahi Ijun Rijwan Susanto, SKM., M.Kes. Penanggung Jawab: Kepala LPPM Karwati, SST., MM Ketua Dewan Redaksi: Wakil Ketua I, Bidang Akademik Yosi Oktri, S.Pd., SST., MM Wakil Ketua Redaksi: Budi Rianto, S.Sos., MM Anggota: Sri Wahyuni, S.Pd., M. Kes. Editor: DR. Atira,S.Si., M.Kes. Distributor: Rahayu, S.Pd. ALAMAT REDAKSI: LPPM STIKes Budi Luhur Cimahi Jl. Kerkof No. 243 Leuwigajah Cimahi, Jawa Barat Telp. 022-6674696 Hp: 085222037309 E.mail: [email protected]
128
Embed
EDITORIAL - STIKes Budiluhur Cimahistikesbudiluhurcimahi.ac.id/uploads/jurnal/tes.pdf · pre operasi seksio sesaria di rumah sakit umu daerah al-ihsan bandung the relationship of
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
7. Hastono, S.P., 2007. Modul Analisis Data, Jakarta : Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
8. Hawari, D., 2008. Manajemen Stress,Cemas dan Depresi, EGC, Jakarta.
9. Hensarling, J. 2009. Development and psychometric testing of Henserling’s
Philosophy in the graduate school of the Texa’s women’s university, Philosophy
in the graduate sc Djakes dari
WWW.proques.com , diambil pada tanggal 8 desember 2010.
10. Kaplan H.I, Sadock B.J, dan Grebb J.A. 2003. Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan, Perilaku dan Psikaitrik Klinis. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
11. Keliat, Budi Anna. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
12. Kozier et.all, (2010), Buku Ajar Fundamental Keperawatan, cetakan ketujuh,
Jakarta : EGC.
13. Notoadmojo, Soekidjo.(2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta
14. Notoatmodjo,(2010). Prinsip-prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet ke-
2, Mei. Jakarta: Rineka Cipta
24
15. Nursalam (2009). Konsep Dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan
Edisi III. Jakarta : Salemba Medika
16. Perry, Poter, 2006. Buku Saku Ketrampilan Dan Prosedur
Dasar.Jakarta:Rineka Cipta
17. PPL ( 2012 ) , RSUD Al-Ihsan, Bandung
18. Sarwono, Prawiroharjo,. 2005. Ilmu Kandungan, Cetakan ke-4. Jakarta : PT
Gramedia.
19. Setiadi, (2013), konsep dan praktik penulisan riset keperawatan, (edisi -2),
yogyakarta: graha ilmu.
20. STIKES Budi Luhur, (2012), Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Tgas Akhir dan
Skripsi. Cimahi : STIKES Budi Luhur.
21. Smeltzer, Suzanne C & Bare,Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth.Alih bahasa, Agung Waluyo,dkk.Editor edisi bahasa
Indonesia, Monica Ester.Ed.8.Jakarta : EGC.
22. Stuart, Gail Wiscarz. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC
23. Sudiharto. 2007. Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan
Keperawatan Transkultural. Jakarta: EGC
25
24. Suliswati, 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa, EGC, Jakarta.
25. Suryani, 2005. Komunikasi Teurapetik Teori dan Praktek, Jakarta : EGC
26. Stuart, Gail Wiscarz. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC
27. Sugiono, (2007), Statistik untuk Penelitian, Bandung : Alfabeta.
28. STIKes Budi Luhur, (2012), Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Tgas Akhir dan
Skripsi. Cimahi : STIKES Budi Luhur.
29. Sudigdo, Sofyan (2011) Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta
Sugeng Seto
30. Taylor, S.E.(2006) Health Psycology (6th.ed) Singapore: MC.Grow Hill Book
Company
26
HUBUNGAN BALITA GIZI KURANG DENGAN PERKEMBANGAN BALITA
DI POSYANDU ASELYA RW 15 KELURAHAN UTAMA WILAYAH KERJA
PUSKESMAS CIMAHI SELATAN PADA TAHUN 2013
THE RELATIONSHIP OF CHILDREN NUTRITION CONNECTION WITH THE CHILDREN IN LESS POSYANDU ASELYA WARD RW 15 MAIN AREAS OF PUBLIC
HEALTH IN SOUTH CIMAHI 2013
Karwati dan Mega Yulitaningsih
Program Studi Kebidanan (D3) STIKes Budi Luhur Cimahi
ABSTRACT
Background:of this paper is the high incidence of underweight children under five is one of the causes of the increasing IMR in Indonesia. To reduce the required effort IMR associated with parenting parents to monitor the progress of one toddler by using KMS. Purpose :of this study was to determine the relationship of malnutrition toddlers with early childhood development at IHC Aselya RW 15 Sub Main South CimahiPuskesmas. Methods : this esearchis a cross sectional research design. Samples is much less than 24 toddler nutrition toddler. Determination of the total sample using sampling techniques. Data obtained by direct observation of the respondents were analyzed using chi square test. Based on the results of the study found that toddlers who were observed malnutrition on the development of the sector include language, social sector, gross motor and fine motor, chi square test p-value is obtained for each sector <0.05 with alpha 5% (0.05 ) it can be concluded that Ho is rejected which means that there is a relationship between malnutrition infants with early childhood development. Conclusion : This research is increasingly carried out counseling or approach from the local health authorities will be more and more undernourished infants who are distracted or development does not progress according to age five. The health center is expected to provide regular counseling to mothers who have children to be more concerned about nutrition and early childhood development. Keywords : Cross Sectional, malnutrition Toddler, toddler development
27
PENDAHULUAN
Di negara berkembang, termasuk Indonesia masalah gizi masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang utama dan merupakan penyebab
kematian bayi dan balita. Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Barat mencatat
sepanjang tahun 2010 sebanyak 252.255 atau 9,9% balita mengalami gizi
kurang dari total balita yaitu 2.548.967. Cukup besarnya angka balita yang
masuk kategori kekurangan gizi, harus segara ditangani, karena kalau tidak
segara ditangani balita gizi kurang ini, rawan mengalami gizi buruk (Lucyati,
2011).
Menurut Almatsier (2002:301) masalah gizi kurang pada umumnya
disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang
baiknya kualitas lingkungan (sanitasi), kurangnya pengetahuan tentang
gizi, menu seimbang dan kesehatan, dan adanya daerah miskin gizi
(iodoum). Sedangkan menurut Supartini (2004) faktor yang menyebabkan
masalah mengenai kurang gizi pada balita adalah Pengetahuan orang tua,
status ekonomi sosial, peranan orang tua, dan peranan infeksi. (Lucyati, 2011,
diperoleh tanggal 26 Februari 2013).
Ratusan balita di kota Cimahi, Jawa Barat dilanda kurang gizi, “Cimahi kota
industri banyak orang tua yang bekerja di pabrik. Orang tua sibuk bekerja balita
tak terurus dalam makanannya. Akibatnya kesalahan pola asuh akan terjadi.
(Dinas Kesehatan Kota Cimahi,2011, diperoleh tanggal 26 Februari 2013)
Di Cimahi ditemukan 225 balita yang mengalami kurang gizi, dan 38
diantaranya sudah masuk ke tingkat keparahan. Hal ini terjadi akibat masih
banyak masyarakat yang tidak mengerti tentang makanan sehat untuk balita.
Selain itu di Cimahi ditemukan masih banyak masyarakat yang belum sadar
akan hidup bersih dan sehat (Dinas Kesehatan Kota Cimahi,2011).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan balita itu mengalami gizi kurang, di
antaranya karena faktor penyakit penyerta atau turunan. “Selain itu, faktor
asupan gizi yang kurang diperhatikan juga bisa menjadi penyebab. Hal ini
terlihat dari KMS yang mencatat antara usia dan berat badan yang tidak
seimbang. Setiap bulan di setiap kelurahan pasti ada sekitar empat hingga lima
balita yang kekurangan gizi”. (Lucyati, 2011). Berdasarkan temuan data bahwa
jumlah Balita yang Mengalami Gizi Kurang di Puskesmas Cimahi selatan tahun
2012, seperti yang tertera pada Tabel 1.1.
28
Tabel 1.1 Data Jumlah Balita yang Mengalami Gizi Kurang di Puskesmas Cimahi
Berdasarkan penjelasan latar belakang tersebut maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah “Bagaimanakah hubungan antara balita gizi kurang dengan
perkembangan balita di Posyandu Aselya RW 15 Kelurahan Utama wilayah
kerja Puskesmas Cimahi Selatan Tahun 2013?”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan balita gizi kurang dengan perkembangan balita di
Posyandu Aselya RW 15 Kelurahan Utama wilayah kerja Puskesmas Cimahi
Selatan pada Tahun 2013.
29
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional yaitu suatu
penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan
efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengambilan data sekaligus
pada suatu waktu (Notoatmodjo, 2010). Variabel penelitian meliputi Variabel
Independen yaitu Balita Gizi Kurang di Puskesmas Cimahi Selatan dan Variabel
Dependen yaitu Perkembangan Balita di Puskesmas Cimahi Selatan. Alat ukur
yang digunakan adalah Check List dan DDST. Sedangkan Cara ukur yaitu
menggunakan Kartu Menuju Sehat) dan Observasi & Wawancara. Hasil pengukuran pada
variabel indevenden adalah 0 = BB sangat kurang dari seharusnya = Gizi Sangat Kurang1 =
<BB Seharusnya = Gizi Kurang. Hasil pengukuran pada variabel dependen adalah0 =
Perkembangan Abnormal1 = Perkembangan Meragukan2 = Perkembangan Normal. Skala
pengukuran yang digunakan adalah ordinal.
A. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Menurut Sugiyono (2009) dalam Hidayat (2010:51) populasi adalah
merupakan seluruh subyek atau obyek dengan karakteristik tertentu yang
akan diteliti, bukan hanya obyek atau subyek yang dipelajari saja tetapi
seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki subyek atau obyek tertentu.
Untuk itu populasi dalam penelitian ini adalah semuabalita yang status
gizinya kurang dan sangat kurang sejumlah 24 balita.
2. Sampel
Menurut (Notoatmodjo, 2005:79) sampel adalah sebagian yang diambil dari
keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel
penelitian ini berjumlah 24 balita diantaranya 2 balita yang mengalami gizi
sangat kurang dan 22 balita mengalami gizi kurang.
3. Tekhnik sampling
Tekhnik pengumpulan sampel yang digunakan adalah total sampling yaitu
mengambil semua anggota populasi menjadi sampel. Cara ini dilakukan karena
30
jumlah populasinya kecil. Besar sampel yang digunakan yaitu balita yang
mengalami gizi kurang dan sangat kurang sejumlah 24 balita.
B. Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan Data
Menurut (Nursalam, 2008:111) pengumpulan data adalah suatu proses
pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek
yang diperlukan dalam suatu penelitian.Adapun tekhnik pengumpulan data
yang akan digunakan oleh peneliti yaitu :
a. Data Sekunder, adalahdata yang diambil dari suatu sumber dan
biasanya data itu sudah dikompilasi lebih dulu oleh instansi atau
yang punya data.
b. Data Primer, adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
check list dan DDST. Check List adalah suatu daftar untuk men “cek”
yang berisi nama subjek dan beberapa gejala serta identitas lainnya
dari sasaran pengamatan. (Notoatmodjo,2010:137)
Adapun instrumen DDST adalah satu dari metode screening terhadap
kelainan perkembangan anak, test inibukanlah test diagnose atau test IQ.
D. Prosedur Penelitian
Berikut adalah tahapan-tahapan dalam penelitian yang akan dilakukan oleh
penulis, yaitu :
1. Tahap Persiapan
a. Mencari masalah penelitian/fenomena dan pembuatan judul.
b. Mencari data awal penelitian.
c. Melakukan studi pendahuluan untuk mencari informasi yang diperlukan di
Puskesmas Cimahi Selatan.
d. Menyusun proposal penelitian dan instrumen penelitian.
e. Seminar proposal penelitian.
f. Perbaikan hasil seminar proposal penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Permohonan ijin penelitian.
b. Melakukan Penelitian di wilayah kerja PuskesmasCimahi Selatan
31
c. Melakukan pengolahan dan analisis data penelitian.
3. Tahap Akhir
a. Penyusunan laporan akhir penelitian
b. Sidang / persentasi hasil penelitian
c. Pendokumentasian hasil penelitian
E. Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan Data
Menurut Notoatmodjo (2010:174) langkah-langkah dalam
pengolahan data dengan menggunakan komputer adalah Editing,
Coding, Processing dan Data Cleaning.
2. Analisis Data
Adapun analisa data yang digunakan adalah analisa univariat dan
analisa bivariat.
a. Analisis Univariat
Bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik
setiap variabel penelitian.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2005:188). Analisa ini
dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komputer. Adapun
rumus yang digunakan ialah Chi-Square (2) dengan tingkat
kemaknaan 95% atau nilai alpha 0,05 (5%).
)
Keterangan:
Chi-Square
= Frekuensi observasi
= Frekuensi harapan
Uji signifikasi antara dua variabel bebas dan terikat dilakukan dengan
menggunakan batas kemaknaan alpha (5%) dan confidance interval 95%,
dengan ketentuan:
32
1) pValue ≤ 0,05 berarti Ho ditolak (P ≤ α). Uji statistik menunjukkan
adanya hubungan yang bermakna.
2) pValue> 0,05 berarti Ho diterima atau gagal ditolak (P> α). Uji
stasistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna.
D. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi dan waktu penelitian ini dilakukan di Posyandu Aselya RW 15 Kelurahan Utama
Wilayah Kerja Puskesmas Cimahi Selatan, 15 Februari 2013 – 10 Juli 2013.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Analisis Bivariat
Tabel 1. 2 Hubungan Balita Gizi Kurang dengan Perkembangan Balita Sektor Bahasa di Posyandu Aselya RW 15 Kelurahan Utama Wilayah Kerja Puskesmas Cimahi Selatan pada tahun 2013.
Berdasarkan tabel 1.2 didapatkan bahwa dari 24 responden diperoleh
hasil perhitungan statistic uji chi kuadrat nilai p value 0,036. Oleh karena
itu nilai p value lebih kecil dibandingkan 0,05 (0,036 < 0,05) maka
terdapat hubungan balita gizi kurang dengan perkembangan balita sector
bahasa.
StatusGizi
SektorBahasa Total pvalue
Meragukan Normal
N % N % N %
GizisangatKurang GiziKurang
2 3
100 13,6
0 19
0 86,4
2 22
100 100
0,036
Jumlah 5 20,8 19 79,8 24 100
33
Tabel 1.3 Hubungan Balita Gizi Kurang dengan Perkembangan Balita Sektor Sosial di Posyandu Aselya RW 15 Kelurahan Utama Wilayah Kerja Puskesmas Cimahi Selatan pada tahun 2013.
Berdasarkan tabel 1.3 didapatkan bahwa dari 24 responden
diperoleh hasil perhitungan statistik uji chi kuadrat nilai p value 0,004.
Oleh karena itu nilai p value lebih kecil dibandingkan 0,05 (0,004 < 0,05)
maka terdapat hubungan balita gizi kurang dengan perkembangan balita
sector sosial.
Tabel 1.4 Hubungan Balita Gizi Kurang dengan Perkembangan Balita Motorik Kasar di Posyandu Aselya RW 15 Kelurahan Utama Wilayah Kerja Puskesmas Cimahi Selatan pada tahun 2013.
Berdasarkan tabel 1. 4. Didapatkan bahwa dari 24 responden
diperoleh hasil perhitungan statistic uji chi kuadrat nilai p value 0,011.
Oleh karena itu nilai p value lebih kecil dibandingkan 0,05( 0,011 < 0,05)
maka terdapat hubungan balita gizi kurang dengan perkembangan balita
motorik kasar.
StatusGizi
SektorSosial Total pvalue
Meragukan Normal
N % N % N %
GizisangatKurang GiziKurang
0 22
0 100
2 0
100 0
2 22
100 100
0,004
Jumlah 22 91,7 2 8,3 24 100
StatusGizi
MotorikKasar Total pvalue
Meragukan Normal
N % N % N %
GizisangatKurang GiziKurang
0 21
0 95,5
2 1
100 4,5
2 22
100 100
0,011
Jumlah 21 87,5 3 12,5 24 100
34
Tabel 1.5 Hubungan Balita Gizi Kurang dengan Perkembangan Balita Motorik Halus di Posyandu Aselya RW 15 Kelurahan Utama Wilayah Kerja Puskesmas Cimahi Selatan pada tahun 2013.
Berdasarkan abel 1.5 didapatkan bahwa dari 24 responden
diperoleh hasil perhitungan statistic uji chi kuadrat nilai p value 0,036.
Oleh karena itu nilai p value lebih kecil dibandingkan 0,05 (0,036 < 0,05)
makater dapat hubungan balita gizi kurang dengan perkembangan balita
motorik halus.
B. Pembahasan
1. Hubungan Balita Gizi Kurang dengan Perkembangan Balita Sektor
Bahasa, Sektor Sosial, Motorik Kasar dan Motorik Halus
Dari 24 responden yang status gizi sangat kurang terdapat 2 (100%)
balita yang sektor bahasanya meragukan, 0 (0%) balita yang sektor
bahasanya normal, dan status gizi kurang terdapat 3 (13,6%) balita yang
sektor bahasanya meragukan, 19 (86,4%) balita yang sektor bahasanya
normal. Hasil analisa diperoleh p value 0,036 yang artinya terdapat
hubungan antara balita gizi kurang dengan perkembangan balita sektor
bahasa .
Dari 24 responden yang status gizi sangat kurang terdapat 0 (0%) balita
yang sektor sosialnya meragukan, 2 (100%) balita yang sektor sosialnya
normal, dan status gizi kurang terdapat 22 (100%) balita yang sektor
sosialnya meragukan, 0 (0%) balita yang sektor sosialnya normal. Hasil
analisa diperoleh p value 0,004 yang artinya terdapat hubungan antara
balita gizi kurang dengan perkembangan balita sektor sosial.
Dari 24 responden yang status gizi sangat kurang terdapat 0 (0%) balita
yang motorik kasarnya meragukan, 2 (100%) balita yang motorik
StatusGizi
MotorikHalus Total pvalue
Meragukan Normal
N % N % N %
GizisangatKurang GiziKurang
0 19
0 86,4
2 3
100 13,6
2 22
100 100
0,036
Jumlah 19 79,2 5 20,8 24 100
35
kasarnya normal, dan status gizi kurang terdapat 21 (95,5%) balita yang
motorik kasarnya meragukan, 1 (4,5%) balita yang motorik kasarnya
normal. Hasil analisa diperoleh p value 0,011 yang artinya terdapat
hubungan antara balita gizi kurang dengan perkembangan balita motorik
kasar.
Dari 24 responden yang status gizi sangat kurang terdapat 0 (0%) balita
yang motorik halusnya meragukan, 2 (100%) balita yang motorik
halusnya normal, dan status gizi kurang terdapat 19 (86,4%) balita yang
motorik halusnya meragukan, 3 (13,6%) balita yang motorik halusnya
normal. Hasil analisa diperoleh p value 0,036 yang artinya terdapat
hubungan antara balita gizi kurang dengan perkembangan balita motorik
halus.
Menurut Proverawati & Wati (2010:62-63) secara harfiah, balita atau
anak bawah lima tahunadalahanak usia kurang dari lima tahun sehingga
bayi di bawah satu tahunjuga termasuk dalam golongan ini.
Gizi kurang adalah suatu proses kurang makan ketika kebutuhan normal
terhadap satu atau beberapa nutrien tidak terpenuhi, atau nutrien-nutrien
tersebut hilang dengan jumlah yang lebih besar dari pada yang didapat.
(Manary & Solomons, 2009:216)
Menurut Almatsier (2002:301) masalah gizi kurang pada umumnya
disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang
baiknya kualitas lingkungan (sanitasi), kurangnya pengetahuan
tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan, dan adanya daerah
miskin gizi (iodoum).
Beberapa faktor yang menyebabkan masalah mengenai status gizi pada
balita adalah Pengetahuan orang tua, status ekonomi sosial, peranan
orang tua, dan peranan infeksi yaitu :
1) Pengetahuan orang tua
Pengetahuan merupakan segala informasi yang di peroleh dengan
proses belajar, sehingga timbul pengertian atau pemahaman dan
perasaan informasi yang dapat digunakan untuk mengatasi
masalah yang di hadapi. Satu cara untuk memperoleh pengetahuan
36
adalah melalui pendidikan formal. Keluarga yang pendidikannya
rendahakan sulit untuk menerima arahan dalam pemenuhan gizi
dan mereka sering tidak mau tau tidak meyakini pentingnya
pemenuhan kebutuhan gizi atau pentingnya pelayanan kesehatan
lain yang menunjang dalam membantu pertumbuhan dan
perkembangan anak. Keluarga dengan latar belakang pendidikan
renda juga sering kali tidak dapat, tidak mau, atau tidak meyakini
pentingnya penggunaan fasilitas kesehatan yang dapat menunjang
pertumbuhan dan perkembangan anaknya (Supartini, 2004).
2) Status sosial ekonomi
Status social ekonomi juga dapat mempengaruhi status gizi
anak.Hal ini dapat terlihat anak yang dibesarkan dalam keluarga
dengan social ekonomi tinggi, tentunya pemenuhan gizi sangat
cukup baikdibandingkan anak dengan status social ekonominya
rendah. Karena Anak yang beradada dibesarkan dalam lingkungan
keluarga yang sosia ekonominya rendah, bahkan punya banyak
keterbatasan untuk member makanan bergizi, membayar biaya
pendidikan, dan memenuhi kebutuhan primer lainnya. Tentunya
keluarganya akan mendapat kesulitan untuk membantu anak
mencapai status gizi yang baik (Supartini, 2004)
3) Peran Orang Tua
Selain itu posisi anak dalam keluarga juga dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anak hal ini dapat dilihat pada anak
pertama atau tunggal kemampuan intelektual lebih menonjol dan cepat
berkembang dibandingkan anak kedua karena pada anak pertama orang
tua memberikan perhatian sepenuhnya dalam segala hal yang baik
pendidikan, gizi, atau yang lain. Maka dari itu peran orang tua sangat
penting dalam pemenuhan gizi anak (Hidayat, 2005).
37
4) Peranan infeksi
Menurut Pudjiadi (2001:106) Telah lama diketahui adanya interaksi
sinergistis antara malnutrisi dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat
memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi walaupun masih ringan,
mempunyai pengaruh negative pada daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Hasil analisa menyatakan bahwa balita gizi kurang akan berpengaruh
terhadap perkembangan balita itu sendiri. Pada penelitian ini peneliti
belum mendapatkan atau menemukan sumber penelitian yang sama
tentang judul atau pembahasan yang diteliti. Sehingga belum bisa
membandingkan atau menyamakan dengan penelitian yang lain.
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian pada 24 responden, mengenai
Hubungan Balita Gizi Kurang dengan Perkembangan Balita di Posyandu
Aselya RW 15 Kelurahan Utama Wilayah Kerja Puskesmas Cimahi Selatan
pada tahun 2013, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Riskesdas. 2010. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI
Supariasa. (2002). Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC
Proverawati dan Wati. (2010). Ilmu Gizi untuk Keperawatan dan Gizi Kesehatan. Yogjakarta : Nuha Medika
Format referensi elektronik. Anallisis faktor-faktor yang mempengaruhi gizi kurang pada balita, tersedia hptt://www.kti/skripsi.net/2011/11/analisis-faktor-faktor-yang.html, diperoleh tanggal 26 Februari 2013
______Baku Rujukan WHO, 2005, http://sehatceriaavail.blogspot.com, diperoleh tanggal 12 Maret 2013
_____. Depkes RI. (2006). Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Bandung. Tersedia http://www.depkes.go.id/downloads/profil/kota%20bandung% 02006.pdf, diperoleh tanggal 26 Februari 2013
_____. Lucyati, A. 2011. Balita di Jabar Alami Gizi Buruk. Tersedia
http://www.metrorealita.co.cc/2011/03/7377-balita-di-jabar-alami-gizi buruk.html, diperoleh tanggal 26 Februari 2013
_____. Malik, 2008, Faktor Resiko kejadian Gizi Kurang, tersedia http://kti-skripsi-keperawatan.blogspot.com, diperoleh tanggal 26 Februari 2013
40
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA TINDAKAN KEPERAWATAN DI RUMAH SAKIT PT.
PERKEBUNAN NUSANTARA VIII SUBANG
THE RELATIONSHIP OF KNOWLEDGE DEGREE WITH THE USING OF PERSONAL PROTECTIVE EQUIPMENT ON NURSING INTERVENTION AT PT.
PERKEBUNAN NUSANTARA VIII SUBANG HOSPITAL.
Atira1) dan Kurnia Fatmawaty2)
1)Program Studi S1 Ilmu Keperawatan STIKes Budi luhur
Dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa
setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non diskriminatif,
partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia
Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan
nasional. Selanjutnya Mahardani (2010) menyatakan bahwa salah satu cara dalam
memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari
bahaya akibat kecelakaan kerja adalah menggalakan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) sehingga dapat mengurangi risiko kecelakaan pada pekerja, khususnya
pada perawat pelaksana.
Selanjutnya dalam ICN (2009) dinyatakan bahwa perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan tidak boleh membedakan status sosial, ekonomi, atau masalah
kesehatan terhadap pasien. Hal ini menunjukan bahwa perawat berkewajiban merawat
pasien termasuk pasien dengan berbagai penyakit infeksi tanpa kecuali walaupun
risiko bahaya cukup tinggi bagi diri perawat. Tindakan pencegahan universal atau
Universal Precaution (UP) yaitu suatu cara penanganan harus diterapkan oleh petugas
kesehatan untuk meminimalkan risiko terjadinya penularan infeksi. Oleh karena itu
perawat sebagai pelaksana penanganan kesehatan terhadap pasien diberikan suatu
Standard Operating Procedure (SOP) yang mengatur tindakan pencegahan universal.
Tenaga kesehatan diantaranya perawat harus mendapat perlindungan diri dari risiko
tertular penyakit agar dapat bekerja secara maksimal (Mahardani, 2010).
Salah satu instrumen atau alat yang harus digunakan perawat pelaksana dalam
menangani pasien yang kita kenal dengan istilah Alat Pelindung Diri (APD). APD ini
berfungsi sebagai pelindung (barrier) terhadap perawat pada saat menangani pasien,
tetapi sering diabaikan oleh perawat dalam menggunakannya. Namun dengan
munculnya AIDS, Hepatitis C, dan Tuberkulosis serta SARS di berbagai negara,
penggunaan APD menjadi sangat penting untuk melindungi petugas (Kementerian
Kesehatan RI, 2011).
APD mencakup sarung tangan, masker, gaun pelindung, apron, alat pelindung mata
(pelindung wajah dan kaca mata), pelindung kaki, dan topi. APD ini digunakan di RS
bertujuan untuk mencegah penularan berbagai jenis mikroorganisme dari pasien ke
tenaga kesehatan atau sebaliknya melalui kontak dengan kulit, selaput lendir, dan
cairan tubuh (darah dan sekret) (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Dalam hal
penggunaan APD pada tindakan keperawatan dibutuhkan pengetahuan perawat
42
sehingga risiko infeksi akan terjaga yang akan meningkatkan derajat kesehatan
perawat.
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti di RS
PT. Perkebunan Nusantara VIII (RS PTPN VIII) Subang, bahwa secara umum perawat
masih belum menggunakan APD pada saat melakukan tindakan keperawatan. Hal
tersebut di dukung dengan data perawat yang tertular infeksi nosokomial yaitu hepatitis
sebanyak 1 orang pada tahun 2000, tuberculosa sebanyak 1 orang pada tahun 2001
dan 1 orang pada tahun 2007. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai
“Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada
Tindakan Keperawatan Di Rumah Sakit PT. Perkebunan Nusantara VIII (RS PTPN
VIII) Subang”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat
pengetahuan dengan penggunaan APD pada Tindakan Keperawatan di RS PTPN VIII
Subang.
43
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode penelitian ini adalah studi analitik dengan jenis rancangan penelitian
menggunakan rancangan cross sectional atau potong silang yaitu suatu penelitian
yang mempelajari variabel sebab atau risiko (independen) dan akibat atau kasus
(dependen) yang terjadi pada obyek penelitian yang diukur atau dikumpulkan secara
simultan atau penelitian diamati pada waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2010).
Variabel Penelitian adalah Variabel Independen yaitu Pengetahuan perawat
tentang penggunaan APD pada tindakan keperawatan. Sedangkan Variabel
Depeneden yaitu Penggunaan APD pada tindakan keperawatan di RS. Definisi
Konseptual: Pengetahuan hasil dari tahu dan orang melakukan penginderaan
terhadap obyek tertentu (Notoatmodjo, 2007). Alat pelindung adalah alat yang
digunakan untuk melindungi pasien dari mikroorganisme yang ada pada
petugas dan juga melindungi petugas dari mikroorganisme yang ada pada
pasien (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Definisi Operasional yaitu
Pemahaman perawat tentang pentingnya penggunaan APD pada tindakan
keperawatan meliputi: Pengertian, Pedoman umum APD, Jenis – jenis APD,
Tujuan menggunakan APD pada tindakan keperawatan dan Cara Penggunaan
APD. Pemakaian APD yang tepat pada tindakan keperawatan yang dilakukan
di Rumah Sakit. Alat Ukur yang digunakan pada penegrathuan perawata yaitu
Kuesioner untuk perawat pelaksana dengan menggunakan skala Guttman
(Riduwan, 2011). Pada penggunaan APD alat ukur yang digunakan Lembar
observasi untuk perawat pelaksana dalam menerapkan SOP yang dilakukan
oleh peneliti dibantu oleh kepala ruangan dengan menggunakan Skala Likert.
Hasil Ukur yang diperoleh yaitu Tingkat pengetahuan perawat meliputi: 1 = Baik
jika 76-100%, 2 = Cukup jika 56-75%, 3 = Kurang jika < 56%. Hasil ukur pada
penggunakan APD yaitu penggunaan APD dengan tepat ≥ 45,65 (mean) dan
Tidak Menggunakan APD dengan tepat < 45,65 (mean). Skala Ukur yang
digunakanan yaitu Ordinal.
44
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini sebanyak 60 orang (perawat pelaksana) di RS
PTPN VIII Subang.
2. Sampel
Besar sampel pada penelitian ini semua anggota populasi menjadi sampel yaitu
sebanyak 60 perawat. Teknik pengambilan sampel dengan sampel jenuh (total
populasi) yaitu dengan mengambil semua anggota populasi menjadi sampel.
Cara ini dilakukan karena populasi kecil (kurang dari 100) (Hidayat, 2010).
C. Pengumpulan Data
1. Teknik pengumpulan data
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pertama dengan
menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner yang akan diisi oleh
responden dan lembar observasi yang akan diisi oleh peneliti dengan dibantu
oleh kepala ruangan. Kedua peneliti melakukan observasi terhadap perawat
pelaksana mengenai penggunaan APD dengan dibantu oleh masing-masing
kepala ruangan. Observasi dilakukan selama 2 hari dan menurut kebiasaan
sehari-hari perawat pelaksana dalam melaksanakan tindakan keperawatan
selama bekerja di RS PTPN VIII.
2. Instrumen penelitian
Instrument yang digunakan kuesioner untuk mengetahui tingkat pengetahuan
perawat tentang APD dan lembar observasi tentang penggunaan APD pada
tindakan keperawatan berdasarkan SOP yang dilakukan oleh peneliti dengan
dibantu oleh kepala ruangan.
3. Uji validitas dan reliabilitas
a. Uji validitas
Pada penelitian ini uji validitas dilakukan dengan menggunakan validitas
konstruksi dengan korelasi Pearson product moment yang dilihat dari nilai
45
corected item total correlation. Adapun dasar dilakukan uji validitas karena
kuesioner dan lembar observasi dibuat sendiri oleh peneliti.
b. Uji reliabilitas.
Pada penelitian ini uji realibilitas menggunakan rumus alpha cronbach,
Reliabel tidaknya instrument diuji dengan membandingkan nilai r α dengan
nilai konstanta, instrument dinyatakan valid bila r α > 0,6 (Riyanto, 2009).
D. Prosedur Penelitian
1. Tahap persiapan
a. Memilih bahan penelitian
b. Melakukan studi kepustakaan
c. Melakukan studi pendahuluan
d. Menyusun proposal dan instrument
e. Seminar proposal
2. Tahap Pelaksanaan
a. Izin penelitian
b. Informed concent pada responden
c. Pengumpulan data
d. Pengolahan data
e. Analisa data
3. Tahap akhir
a. Menyusun laporan penelitian
b. Penyajian atau presentasi hasil penelitian
E. Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan data
Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: Editing,
Coding, Entry data, dan Cleaning.
2. Analisis Data
Analisi data Dalam penelitian ini ada dua jenis analisa, yaitu:
a. Analisis Univariat
Adalah analisis untuk mendeskripsikan karakteristik ke dalam bentuk tabel
dapat diberi perincian dengan menggunakan rumus analisis seperti rumus
sebagai berikut:
46
%100b
aP
Keterangan :
P = Persentase a = Jumlah pertanyaan yang dijawab benar b =Jumlah semua pertanyaan
b. Analisis Bivariat
Uji bivariat yang digunakan adalah uji chi square (x²). Secara perhitungan manual,
rumus umum Chi-Square/Chi-Kuadrat yang digunakan adalah sebagai berikut
(Agus Riyanto, 2009)::
h
ho
f
ffx
2
2
Keterangan:
x2 = Nilai Chi-Kuadrat fo = frekuensi yang diobservasi (frekuensi empiris) fh = frekuensi yang diharapkan (frekuensi teoritis)
Tingkat kemaknaan yang diinginkan 95% atau nilai alfa 0,05, maka hasil uji statistik
mengacu α = 0.05, yaitu jika nilai p yang diperoleh lebih kecil sama dengan 0,05 maka
H0 ditolak sehingga secara statistik terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
pengetahuan dengan penggunaan APD pada tndakan keperawatan, tetapi jika nilai p
yang diperoleh lebih lebih besar dari 0,05 maka H0 gagal di tolak sehingga secara
statistik tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan penggunaan
APD pada tindakan keperawatan.
G. Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di RS PTPN VIII Subang, tanggal 22-23 Juni 2013.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Tingkat Pengetahuan Perawat tentang APD di RS PTPN VIII Subang
47
Hasil penelitian mengenai distribusi tingkat pengetahuan tentang APD terhadap
60 orang perawat pelaksana sebagai responden yang dilaksanakan di RS PTPN
VIII Subang, ditunjukkan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Data distribusi tingkat pengetahuan tentang APD pada
perawat pelaksana di RS PTPN VIII Subang
Pengetahuan Frekuensi %
Kurang
Cukup
Baik
28
6
26
46,7
10,0
43,3
Jumlah 60 100.0
Sumber: Hasil Pengolahan Data primer 2013
Pada Tabel 1.1 terlihat hasil gambaran distribusi tingkat pengetahuan perawat
tentang APD. Hasil Uji analisis univariat dari penelitian terhadap 60 responden
didapatkan data bahwa sebanyak 28 (46,7%) responden mempunyai
pengetahuan kurang. Sebagian lainnya yaitu sebanyak 6 (10,0%) responden
mempunyai pengetahuan cukup dan 26 (43,3%) responden mempunyai
pengetahuan baik.
2. Penggunaan APD pada Tindakan Keperawatan Di RS PTPN VIII Subang
Hasil penelitian mengenai distribusi penggunaan APD pada tindakan
keperawatan terhadap 60 orang perawat pelaksana sebagai responden yang
dilaksanakan di RS PTPN VIII Subang, ditunjukkan pada Tabel 1. 2.
Tabel 1.2 Data distribusi penggunaan APD pada tindakan keperawatan oleh
perawat pelaksana di RS PTPN VIII Subang
Penggunaan APD Frekuensi % Mean
Menggunakan APD dengan tepat Tidak menggunakan APD dengan tepat
39
21
65,0
35,0
≥45,65
<45,65
Jumlah 60 100.0
48
Sumber: Hasil Pengolahan Data primer 2013
Pada Tabel 1.2 terlihat hasil gambaran distribusi penggunaan APD pada
tindakan keperawatan. Hasil uji analisis univariat didapatkan hasil yaitu dari
sebanyak 60 responden didapatkan 39 (65%) responden menggunakan APD
dengan tepat pada tindakan keperawatan. Sedangkan sebanyak 21 (35%)
responden ditemukan tidak menggunakan APD dengan tepat pada tindakan
keperawatan.
3. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Penggunaan APD pada Tindakan
Keperawatan Di RS PTPN VIII Subang
Hasil penelitian mengenai hubungan tingkat pengetahuan dengan penggunaan
APD pada tindakan keperawatan di RS PTPN VIII Subang, ditunjukkan pada
Tabel 1.3.
Tabel 1.3 Data hubungan tingkat pengetahuan dengan penggunaan APD
pada tindakan keperawatan di RS PTPN VIII Subang
Pengetahuan
Penggunaan APD pada
Tindakan Keperawatan
Total P value
Menggunakan
APD dengan
tepat
Tidak
Menggunakan
APD dengan
tepat
n % n % n %
Kurang
Cukup
Baik
7
6
26
25,0
100
100
21
0
0
75,0
0
0
28
6
26
100
100
100
0.000
Jumlah 39 65,0 21 35,0 60 100
Sumber: Hasil Pengolahan Data primer 2013
Pada Tabel 1.3 terlihat data hasil uji analisis bivariat tentang hubungan antara
tingkat pengetahuan dengan penggunaan APD pada tindakan keperawatan. Dari
sejumlah 60 responden, didapatkan data bahwa sebanyak 28 responden yang
mempunyai pengetahuan kurang, 7 (25%) responden diantaranya menggunakan
49
APD dengan tepat dan 21 (75%) responden yang tidak menggunakan APD
dengan tepat pada tindakan keperawatan. 6 responden yang mempunyai
pengetahuan cukup, 6 (100%) responden menggunakan APD dengan tepat dan
0 (0%) atau tidak ditemukan yang tidak menggunakan APD dengan tepat pada
tindakan keperawatan. Sedangkan 26 responden yang mempunyai pengetahuan
baik, 26 (100%) responden menggunakan APD dengan tepat dan 0 (0%) atau
tidak ditemukan responden yang tidak menggunakan APD dengan tepat pada
tindakan keperawatan.
B. Pembahasan
1. Tingkat Pengetahuan Perawat tentang APD di RS PTPN VIII Subang
Berdasarkan hasil penelitian mengenai tingkat pengetahuan tentang APD pada
perawat pelaksana di RS PTPN VIII Subang, berdasarkan analisis univariat yang
tertera pada Tabel 1.4. bahwa pengetahuan tentang APD yang dimiliki oleh
perawat pelaksana sebagai responden di RS PTPN VIII Subang dikategorikan
kurang, hal ini diantaranya disebabkan kurangnya informasi serta pemahaman
mengenai APD. Selama ini informasi yang diperoleh perawat pelaksana hanya
dari pendidikan formal yang diperoleh sebelum bekerja dan pengalaman kerja
yang dimiliki oleh perawat pelaksana tersebut. Perawat pelaksana atau pun
kepala ruangan tidak pernah mengikuti pelatihan, seminar atau pun simposium
mengenai K3 karena tidak ada anggaran khusus untuk mengembangkan
pengetahuan perawat tentang APD di RS PTPN VIII Subang. Sedangkan
sosialisasi tentang APD dari bagian K3 atau pun manager (kepala bidang
keperawatan atau kepala ruangan) kepada perawat pelaksana masih sangat
jarang dilakukan.
Adapun pengetahuan perawat pelaksana (responden) ada pada kategori cukup
dan baik kemungkinan karena motivasi sendiri untuk mencari informasi tentang
APD melalui media massa atau pun jaringan internet. Selain itu pengalaman
kerja yang lebih lama juga dapat mempengaruhi pengetahuan perawat
pelaksana tentang APD tersebut.
Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara
orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan merupakan hasil dari usaha untuk
tahu dan setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).
50
Pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu internal dan eksternal
(Notoatmodjo, 2003). Faktor internal meliputi: pendidikan, persepsi, motivasi, dan
pengalaman. Faktor eksternal meliputi: lingkungan, sosial ekonomi, kebudayaan,
dan informasi.
2. Penggunaan APD pada Tindakan Keperawatan di RS PTPN VIII Subang
Berdasarkan hasil penelitian tentang penggunaan APD pada tindakan
keperawatan di RS PTPN VIII Subang, berdasarkan analisis univariat yang
tertera pada Tabel 1.4. bahwa penggunaan APD dengan tepat pada tindakan
keperawatan kemungkinan karena dipengaruhi oleh pengalaman kerja yang
mereka miliki selama bekerja di RS PTPN VIII yang sebagian besar bekerja
selama lebih dari 5 tahun. Adapun perawat pelaksana tidak menggunakan APD
dengan tepat pada tindakan keperawatan karena perawat pelaksana tidak mau
memakai karena merasa tidak nyaman atau merasa bahwa APD tertentu
mengganggu pekerjaannya. Sedangkan alasan lain adalah bahwa APD yang
disediakan jumlahnya tidak mencukupi atau ada APD yang tidak disediakan di
ruang rawat inap atau poliklinik RS PTPN VIII karena ada beberapa tindakan
keperawatan yang jarang atau tidak pernah dilakukan di ruang rawat inap dan
poliklinik. Sedangkan alasan tidak disediakannya APD adalah karena pihak
manager kurang memahami pentingnya penggunaan APD pada tindakan
keperawatan selain itu ada beberapa APD yang harganya mahal.
APD mencakup sarung tangan, masker, gaun pelindung, apron, alat pelindung
mata (pelindung wajah dan kaca mata), pelindung kaki, dan topi. pelindung yang
paling baik adalah yang terbuat dari bahan yang telah diolah atau bahan sinetik
yang tidak tembus air atau cairan lain (darah atau cairan tubuh). Bahan yang
tahan air ini tidak banyak tersedia karena harganya yang mahal. pengelolah RS,
penyelia dan para petugas kesehatan harus mengetahui tidak hanya kegunaan
dan keterbatasan dari APD tertentu, tetapi peran APD sesungguhnya dalam
mencegah penyakit infeksi sehingga dapat digunakan secara efektif dan efisien
(Kementerian Kesehatan RI, 2011).
3. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Penggunaan APD pada Tindakan
Keperawatan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan tingkat pengetahuan dengan
peanggunaan APD pada tindakan keperawatan di RS PTPN VIII Subang,
51
Berdasarkan hasil uji bivariat seperti yang tertera pada Tabel 1.4. diperoleh data
bahwa dari 60 responden, terdapat 28 responden yang berpengetahuan kurang,
7 (25%) responden diantaranya menggunakan APD dan 21 (75%) responden
tidak menggunakan APD. Responden lainnya yaitu dari 6 responden yang
berpengetahuan cukup, didapatkan 100% menggunakan APD atau tidak
didapatkan responden yang tidak menggunakan APD pada tindakan
keperawatan. Sedangkan 26 responden yang berpengetahuan baik, juga
didapatkan 100% menggunakan APD pada tindakan keperawatan.
Berdasakan dari hasil uji chi square diperoleh nilai p value = 0,000 (p value <
α 0.05). Hasil p value 0,000 tersebut artinya kualitas penelitian yang telah
dilakukan tidak ada kesalahan, sehingga dinyatakan bahwa H0 ditolak artinya
terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan penggunaan APD pada
tindakan keperawatan di RS PTPN VIII Subang. Dari hasil analisa tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa jika pengetahuan perawat tentang APD baik atau
cukup maka perawat akan menggunakan APD dengan tepat pada tindakan
keperawatan tetapi apabila pengetahuan perawat tentang APD kurang maka
sebagian besar perawat tidak menggunakan APD dengan tepat pada tindakan
keperawatan. Adapun beberapa perawat pelaksana (responden) dengan tingkat
pengetahuan kurang tetapi menggunakan APD dengan tepat pada tindakan
keperawatan, hal ini adalah kebiasaan yang ditiru dari perawat seniornya atau
disuruh oleh atasan, yang kemudian perawat pelaksana tersebut akan
memahami pentingnya penggunaan APD yang selanjutnya akan diaplikasikan
pada tindakan keperawatan. Setelah berhasil menganalisa maka perawat
pelaksana tersebut dapat memilih dan mengelompokan penggunaan APD yang
sesuai dengan tindakan keperawatan yang akan dilakukan yang akhirnya dapat
mengevaluasi sendiri manfaat penggunaan APD yang tepat pada tindakan
keperawatan. Menurut Bloom (dalam Notoatmojdo, 2007) pengetahuan yang
mencakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu: tahu,
memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
52
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Hubungan Tingkat
Pengetahuan dengan Penggunaan APD pada Tindakan Keperawatan di RS
PTPN VIII Subang, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Tingkat pengetahuan tentang APD pada perawat Di RS PTPN VIII
Subang, didapatkan hasil yaitu dari 60 responden diantaranya sebanyak
26 (43,3%) responden mempunyai pengetahuan baik, 6 (10%) responden
mempunyai pengetahuan cukup, dan 28 (46,7%) responden mempunyai
pengetahuan kurang.
2. Penggunaan APD pada Tindakan Keperawatan Di RS PTPN VIII Subang,
didapatkan hasil yaitu dari sebanyak 60 responden diantaranya 39 (65%)
responden menggunakan APD dengan tepat pada tindakan keperawatan dan 21
(35%) responden tidak menggunakan APD dengan tepat pada tindakan
keperawatan.
3. Terdapat hubungan tingkat pengetahuan dengan penggunaan APD pada
tindakan keperawatan Di RS PTPN VIII Subang yaitu dari 60 responden, terdapat
28 responden yang mempunyai pengetahuan kurang, 7 (25%) responden
diantaranya menggunakan APD dengan tepat dan 21 (75%) responden tidak
menngunakan APD dengan tepat. Responden lainnya yaitu dari 6 responden
yang mempunyai pengetahuan cukup, 100% menggunakan APD dengan tepat
atau tidak didapatkan responden yang tidak menggunakan dengan tepat pada
tindakan keperawatan. Sedangkan 26 responden yang mempunyai pengetahuan
baik, juga didapatkan 100% menggunakan APD dengan tepat pada tindakan
keperawatan.
B. Saran
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan atau sumber informasi
bagi pihak RS untuk mengetahui sejauh mana tingkat pengetahuan
perawat pelaksana tentang APD dan penggunaannya dengan tepat pada
tindakan keperawatan sehingga akan meminimalkan infeksi nosokomial
dan meningkatkan derajat kesehatan bagi perawat pelaksana.
53
2. Pihak STIKes dapat membuat tulisan untuk dipublikasikan di buletin
ataupun website yang dapat diakses melalui internet tentang pentingnya
penggunaan APD pada tindakan keperawatan.
3. Perawat diharapkan lebih meningkatkan pengetahuan terutama tentang
APD karena akan bermanfaat dalam menjalankan praktek keperawatan.
4. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk
melakukan penelitian berikutnya dan diharapkan melakukan penambahan
variabel lain seperti sikap, sumber informasi dan variabel lainnya.
Sehingga diharapkan penelitian selanjutnya tidak hanya melakukan
analisa bivariat tetapi sampai multivariat untuk mengetahui faktor – faktor
lain.
54
Daftar Pustaka
1. Arikunto. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi IV. Jakarta: Rineka Cipta.
2. Departemen Kesehatan RI. (2005). Pedoman Pelayanan Keperawatan
Gawat Darurat Di Rumah Sakit. Jakarta: Direktorat Bina Keperawatan.
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik.
3. Emaliyawati Etika. (2010) Tindakan Kewaspadaan Universal sebagai Upaya Untuk Mengurangi Resiko Penyebaran Infeksi. Bandung: Unpad.
4. Hidayat. (2007). Metode Penelitian Keperawatan Dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika.
5. Kementerian Kesehatan RI. (2011). Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit da Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya. Jakarta:PERDALIN.Cetakan ketiga.
7. Mackenzie, N. & Knipe,S. (2006). “Research dilemmas: Paradigms, methods and methodology.” Issues In Educational Research.16 (2), 193-205. Diunduh pada tanggal 16 September 2006 dari http://www. iier.org.au/ iier16/mackenzie.html.
15. Setiadi. (2013). Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. (edisi-2). Yogyakarta: Graha Ilmu.
16. Wansuzusino. (2013). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Perawat Indonesia dalam Menerapkan Universal Precaution di Pusat Layanan Kesehatan. Semarang : Universitas Muhamadiyah.
56
HUBUNGAN PERILAKU KEBIASAAN MEROKOK DENGAN TERJADINYA
PENYAKIT TB PARU DI WILAYAH PUSKESMAS JAYAGIRI KECAMATAN
LEMBANG KABUPATEN BANDUNG BARAT
FACTORS RELATED CHARACTERISTICS AND BEHAVIOR WITH INDIVIDUAL
DISEASES PULMONARY TB IN THE REGION DISTRICT HEALTH Jayagiri
LEMBANG BANDUNG WEST DISTRICT
Budi Rianto1) dan Sri Wulan Yuniati2)
1) Program Studi Ilmu Keperawatan (D3), STIKes Budi Luhur Cimahi 2) Program Studi Ilmu Keperawatan (S1), STIKes Budi Luhur Cimahi
ABSTRACT
The background of this study is that the increasing pulmonary TB disease, which is
also the number 4 leading causes of death in Indonesia and MDR TB was ranked 9th
in the World. Tuberculosis (TB) is a contagious disease that is still a health problem in
Indonesia. Transmission of tuberculosis bacteria in healthy individuals and in patients
with risk of death is one of the issues that need to be addressed by all levels of society
and health workers. The purpose of this study was to determine the correlation
between the characteristics and behavior of individuals with pulmonary TB disease.
The method used in this study is an analytical study of the type of research design
used is a case control study. The population in this study were all pasen pulmonary TB
(+) in the Region Puskesmas Kecamatan Lembang Jayagiri West Bandung regency.
Collecting data were analyzed with univariate and bivariate subjective data using the
chi square test. Based on the analysis of the results of the study concluded that for the
studied behavioral characteristics and no significant relationship with OR. From the
research it can be concluded that the work has a relationship with the occurrence of
pulmonary TB Top OR = 3.081, Contact with patients having a relationship with the
occurrence of pulmonary TB value = 0.306 and OR Accustomed sleep have a
relationship with pulmonary TB patients in health centers OR = 0.221 Jayagiri
Lembang district. Results of this study are expected to My Community Health Center is
expected to not only be a means of secondary preventive health, but can be further
improved in terms of the primary preventive in preventing transmission of pulmonary
TB disease. Future studies are recommended to add other variables associated with
the incidence of pulmonary TB, which involve environmental factors and health
services. Moreover, it can perform multivariate data analysis up to see a relationship of
independent variables with one or more dependent variables. Results of this study
were taken only a few variables and only represent the relationship of the factors that
exist.
Keywords: Case control, pulmonary TB smear (+)
57
PENDAHULUAN
Penyakit tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang masih tetap
merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Badan
kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa TB saat ini
menjadi ancaman global. Diperkirakan sepertiga penduduk dunia terinfeksi kuman
tuberkulosis (TB) dan 95%-nya berada di negara berkembang serta setiap tahunnya
lebih dari 8 juta orang menderita TB. Sekitar 2 juta orang meninggal akibat penyakit ini
setiap tahunnya. Di dunia penderita TB Paru telah mencapai 8,8 juta kasus penemuan
baru dengan angka kematian 1,45 juta (Monef, 2011).
Menurut data yang ada di Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat,
penyakit TB paru merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah
kesehatan di masyarakat. Sedangkan prevalensi TB per 100 ribu jumlah penduduk di
KBB sebanyak 1.531.072 jiwa ( Profil kesehatan Propinsi jabar tahun 2013 ).
Jumlah penduduk di Kecamatan Lembang 201.765 kepadatan jiwa/km²,
meliputi 16 Desa/Kelurahan. (Menurut data dari Kecamatan Lembang). Kecamatan
Lembang merupakan daerah Wisata, banyak pendatang / turis yang datang ke
Lembang. Dikarenakan sebagai tempat wisata, maka Jayagiri ini menjadi pintu
terjadinya infeksi seperti HIV dengan Infeksi Opportunitisnya yaitu sebagian besar
menderita TB Paru. Daerah Jayagiri merupakan salah satu sasaran dan target yang
banyak berdasarkan jumlah penduduk yang padat di daerah ini. Dengan banyaknya
daerah wisata secara otomatis banyak juga pendatang baru yang bekerja di Lembang
dan bermukim baik untuk sementara atau menetap. sebagian besar tinggal di kost-an
atau kontrakan yang padat penduduknya. Untuk daerah Kecamatan Lembang terhitung
bulan september tahun 2012 yang sudah dilakukan cek resistensi MDR sebanyak 5
orang, termasuk pasen yang ada di luar wilayah.
Desa Jayagiri terletak di kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat yang
terdiri dari 3 dusun dengan 16 Rw, yaitu Dusun 1 terdiri dari RW 06, 07, 08, 11, 13 dan
16, Dusun 2 terdiri dari RW 01, 09, 10, 14, dan 15 serta dusun 3 terdiri dari RW 02, 03,
04, 05, dan 12. Desa Jayagiri memiliki jumlah penduduk 16.717 orang dengan jumlah
kepala keluarga sebanyak 4.282 kepala keluarga dengan tingkat kepadatan penduduk
480/km. Di desa Jayagiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya rata-rata bermata
pencaharian pokok sebagai karyawan perusahaan swasta di sekitar kecamatan
Lembang dengan perbandingan rasio 1:7 dengan jumlah penduduk. Penduduk usia
produktif juga di sebut sebagai penduduk usia pekerja adalah penduduk yang berumur
18-56 tahun yang bersifat produktif dan dapat menghasilkan pada masanya.
58
Pendidikan mayoritas yaitu; SMP, dan SMA. Untuk pendididkan non-formal jarang
didapati. Lulusan sarjana belum banyak dikarenakan kurangnya kemampuan ekonomi
masyarakat untuk memenuhi biaya meneruskan pendidikan ke jenjang perguruan
tinggi.
Puskesmas Jayagiri untuk penemuan kasus BTA (+) mencapai 38%, untuk
cakupan kasus BTA (+) baru 64,06%, suspect TB 37,76%. Hasil yang dicapai masih di
bawah standar yang diharapkan oleh Dinkes (Monef, 2012).
Tabel 1.1 Cakupan Penemuan BTA+ di Kecamatan Lembang tahun 2012
No. Nama Puskesmas Jumlah BTA (+)
1. Puskesmas Jayagiri 59 orang
2. Puskesmas Cikole 56 orang
3. Puskesmas Lembang 43 orang
4. Puskesmas Cibodas 32 orang
5. UPTD RSUD Lembang 8 orang
Tabel 1.2 Jumlah Penemuan Suspect TB di Kecamatan Lembang tahun
2013
No. Nama Puskesmas Jumlah Suspect
1. Puskesmas Jayagiri 224 orang
2. Puskesmas Cikole 169 orang
3. Puskesmas Lembang 53 orang
4. Puskesmas Cibodas 11 orang
5. UPTD RSUD Lembang 73 orang
Faktor resiko yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB paru
adalah daya tahan tubuh rendah, diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS
disamping faktor pelayanan kesehatan yang belum memadai (Sulianti, 2007). Selain
daya tahan tubuh, faktor resiko yang mempengaruhi seseorang menderita TB paru
adalah karakteristik (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status gizi,
imunisasi), perilaku kebiasaan merokok, adanya kontak dengan penderita TB, dan
kebiasaan anggota keluarga tidur bersama dengan penderita TB Paru, pengetahuan,
kebiasaan membuang dahak sembarangan, tidak menutup mulut bila batuk (Wiganda,
Depkes).
Hasil survei didapatkan data dari Puskesmas Jayagiri, pasien TB Paru yang paling
banyak yaitu kunjungan pasen laki-laki dan mempunyai kebiasaan
59
merokok,diperkirakan penderita TB Paru yang berkunjung ke Puskesmas Jayagiri
adalah kelompok umur produktif yaitu 15-40 tahun dengan tingkat pendidikan
kebanyakan lulusan SD, SMP, SMA dan kesadaran masyarakat untuk
mengimplementasikan atau mengembangkan pendidikan masih rendah. Dilihat dari
mayoritas pekerjaan masyarakat Jayagiri sangat memungkinkan untuk penyebaran
kuman TB. Oleh karena itu peneliti bertujuan untuk mengetahui hubungan antar
perilaku kebiasaan meroko dengan terjadinya penyakit TB paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Jayagiri Kecamatan Lembang.
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian ini rancangan penelitian yang digunakan yaitu studi kasus-kontrol
(Case Control Study). Studi kasus kontrol adalah suatu penelitian (survey) analitik yang
menyangkut bagaimana factor resiko dipelajari dengan menggunakan
pendekatan ”retrospective”. Variabel Independen yaitu Perilaku Kebiasaan Merokok
dan Variabel Dependen yaitu Kejadian TB Paru. Definisi operasional adalah Responden
yang di diagnosis BTA (+) dan tercatat di Puskesmas Jayagiri Kecamatan Lembang dan
Kebiasaan merokok yang dinyatakan dalam jumlah rokok yang dikonsumsi setiap hari.
Alat ukur yang digunakan berupa Kuesioner Buku register dan hasil laboratorium di
Kecamatan Lembang. Hasil ukur0=Responden disebut penderita TB dgn BTA (+) jika
hasil SPS menunjukan hasil (+) dan 0 = Tidak punya kebiasaan merokok 1 =Punya
kebiasaan merokok. Hasil ukur 0=Responden disebut penderita TB dgn BTA (+) jika
hasil SPS menunjukan hasil (+) 1 = Responden disebut bukan penderita TB dengan
BTA (+) jika hasil SPS menunjukan hasil (-). Skala pengukuran yang digunakan adalah
ordinal.
A. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien
yang BTA (+) di Puskesmas Jayagiri Kecamatan Lembang tahun 2013
sebanyak 59 orang.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah
karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Notoatmodjo, 2005). Sampel yang
60
diambil dari seluruh jumlah penemuan suspect yaitu sebanyak 74 responden
untuk kasus dan kontrol.
B. Pengumpulan Data
1. Tekhnik Pengumpulan Data
a. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini yaitu data yang di dapat dari wawancara
dengan pasien TB Paru BTA (+) di Puskesmas Jayagiri Kecamatan Lembang
dengan menggunakan kuesioner.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu banyaknya jumlah penderita TB paru di Puskesmas
Jayagiri Kecamatan Lembang.
2. Instrumen Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
Kuesioner berupa daftar pertanyaan yang sebelumnya telah dipersiapkan
terlebih dulu sebelum penelitian di mulai.
3. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
Prinsip validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip
keandalan dalam mengumpulkan data instrument harus dapat mengukur
apa yang seharusnya di ukur.
Dalam penelitian ini tidak dilakukan uji validitas karena memakai data
sekunder dengan menggunakan butir soal Dis-kontinum (Riyanto, 2010)
dengan pertanyaan sebanyak 20 pertanyaan.
C. Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan di Kecamatan Lembang, langkah-langkah yang ditempuh
dalam melaksanakan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Menentukan masalah penelitian
2. Menentukan tujuan penelitian
3. Mencari studi literatur
4. Menentukan rancangan penelitian
5. Menentukan populasi penelitian
6. Menentukan sampel penelitian
7. Menentukan instrument penelitian
8. Mengolah dan menganalisis data
61
D. Pengolahan dan Analisis Data
Teknik Pengolahan Data dilakukan dengan tahap Editing, Coding, Transfering, dan
Tabulating.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat.
a. Analisis univariat
Analisis univariat dilakukan dengan cara menggunakan data sekunder dengan cara
bagaimana menganalisa univariat perilaku kebiasaan merokok dengan terjadinya TB.
Hasil presentasi kemudian diinterprestasikan kedalam kata-kata atau kalimat dengan
menggunakan kategori (Sugiyono, 2007) yaitu sebagai berikut :
1. 0% dibaca tidak seorangpun dari responden
2. 1-26% dibaca sebagian kecil dari responden
3. 27-49% dibaca hampir setengah dari responden
4. 50% dibaca setengah dari responden
5. 51-75% dibaca sebagian besar dari responden
6. 76-99% dibaca hampir seluruh responden
7. 100% dibaca seluruh responden.
b. Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan bertujuan mendapatkan hubungan antara penyakit TB
paru dengan kebiasaan merokok untuk mendefinisikan variabel independen dan
variabel dependen.
Desain penelitian menggunakan metode kasus kontrol maka digunakan analisis
Odd Ratio (OR) untuk mengetahui risiko pada kelompok kasus dan kelompok
kontrol.
Tabel. 3.2 Perhitungan Odd Ratio
Faktor Risiko Kasus Kontrol Jumlah
Faktor risiko (+)
Faktor risiko (-)
A
c
B
D
a+b
c+d
Jumlah a+c b+d a+b+c+d
Keterangan :
Faktor risiko pada kelompok kasus :
A :
c =
a
(a+c) (a+c) c
62
Faktor risiko pada kelompok kontrol :
B :
d =
b
(b+d) (b+d) d
OR adalah :
a :
b =
ad
c d bc
Bila :
1) Nilai odd ratio = 1 berarti variabel yang diduga sebagai faktor risiko tidak ada pengaruhnya dalam terjadinya efek atau dengan kata lain ia bersifat netral.
2) Nilai odd ratio > 1 dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup angka 1, berarti variabel tersebut merupakan faktor risiko timbulnya penyakit.
3) Nilai odd ratio < 1 dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup angka 1, berarti faktor yang diteliti merupakan faktor protektif.
4) Nilai interval kepercayaan odd rasio mencakup angka 1, maka berarti pada populasi yang diwakili oleh sampel tersebut mungkin nilai OR = sehingga belum dapat disimpulkan bahwa faktor yang dikaji merupakan faktor risiko atau faktor protektif.
Keterangan : X2 : nilai chi square ƒo : Frekuensi yang diobservasi (frekuensi empiris) ƒe : Frekuensi yang diharapkan (frekuensi teoritis)
Paket program pengolahan data yaitu dengan menggunakan paket program statistik dengan ketentuan pembacaan sebagai berikut: a. Perhitungan Pearson Chi Square, dipakai bila tabel lebih dari 2 x 2 b. Perhitungan Continuity Corection dipakai bila tabel 2 x 2 dan tidak ada
nilai E (expected) < 5 atau kurang dari 20% dari jumlah sel dalam tabel. c. Perhitungan Fisher Exact dipakai bila tabel 2 x 2 dan dijumpai nilai E
(expected) < lebih dari 20% dari jumlah sel dalam tabel. Uji kemaknaan dilakukan dengan menggunakan α = 0,05 dan
Confidence Interval (CI) 95% dengan ketentuan bila : 1. p-value > 0,05 berarti Ho diterima (p > α). Uji statistik menunjukan tidak ada
hubungan yang bermakna. 1. p-value < 0,05 berarti Ho ditolak (p < α). Uji statistik menunjukan ada
hubungan yang bermakna.
fe
fe fo X
)2 (
2
63
E. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian di Puskesmas Jayagiri Kecamatan Lembang.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Analisis Univariat
Tabel 1.3 Tabel Distribusi Frekuensi Kebiasaan Merokok di Jayagiri Tahun
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pedoman Nasional penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Kedua.
4. Harlock, 2004. http://bidanilfa.blogspot.com, diperoleh, 02 Juli 2013).
5. (Hungu, 2007 www.psychologymania.com, diperoleh, 02 Juli 2013).
6. Kementrian Kesehatan R.I. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Materi Inti Penemuan dan Pengobatan Pasien Tuberkulosis.2011.
7. (Notoatmojo, S. 2003 http://kumpulan ilmuilmu.blogspot.com, diperoleh tanggal 02 Juli 2013).
8. Notoatmojo, Soekidjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT. Rineka Cipta.2010.
9. Nursalam. Konsep dan Penerapan Metologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika.
10. Pearce, Evelyn C. Anatomi dan Fisiologi Paramedis. Pt. Gramedia Pustaka Utama Cetakan ke tiga puluh tiga.2009
Di seluruh Negara di dunia, penderita hipertensi yang melakukan pengobatan masih
sangat sedikit. Menurut AHA ( America Heart Association ), di Amerika hanya 61%
yang melakukan pengobatan, dari penderita yang mendapatkan pengobatan hanya
satu pertiga yang mencapai target tekanan darah yang optimal ( Muhammadun,
2010 ). Sedangkan di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2007, dari total
31,7% kasus hipertensi di Indonesia hanya sekitar 0,4% kasus yang meminum obat
hipertensi untuk pengobatan dan diprediksikan terdapat 76% kasus hipertensi di
Indonesia yang belum terdiagnosis (Riskesdas 2007 , ¶3, http://www.k4health.org,
diperoleh tanggal 29 Januari 2012 ).
Penanganan hipertensi tidak hanya tergantung pada obat yang diberikan dokter, tetapi
diperlukan kerjasama dan upaya yang gigih dari penderita untuk melakukan modifikasi
gaya hidup. Contohnya : seperti mengatur pola makan rendah garam, rendah
kolesterol, dan rendah lemak jenuh serta meningkatkan konsumsi buah dan sayuran,
berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol, menurunkan berat badan bagi yang
obesitas, melakukan olahraga, menghindari stress, dan mengobati penyakit yang
dapat menghindari stress, dan mengobati penyakit yang dapat menyebabkan
hipertensi sekunder ( Sutanto, 2010 ). Namun ketika seseorang didiagnosis mengalami
hipertensi dan harus menggunakan obat untuk mengendalikan tekanan darahnya,
maka pengobatan tersebut bersifat seumur hidup ( Wolff, 2008 ).
Pengobatan hipertensi tidak dapat menyembuhkan penyakit hipetensi, namun tujuan
pengobatan hipertensi adalah untuk mengendalikan atau mengontrol tekanan darah
pada kondisi stabil dan mencegah terjadinya komplikasi akibat hipertensi. Kepatuhan
melakukan pengobatan terhadap hipertensi sangatlah diperlukan, karena hipertensi
merupakan penyakit kronis.Penderita hipertensi tetap harus mengontrol tekanan
darahnya secara berkala dan mengkonsumsi obat untuk mempertahankan agar target
tekanan darah yang optimal tetap tercapai.Penderita hipertensi sering memutuskan
berhenti berobat, karena merasa dirinya sudah sembuh. Padahal untuk penyakit
hipertensi, pencegahan terhadap timbulnya komplikasi merupakan salah satu target
utama pengobatan ( Wolff, 2008 ).
Melihat pentingnya kepatuhan pasien dalam pengobatan hipertensi, maka sangat
diperlukan sekali pengetahuan dan sikap pasien tentang pemahaman dan
pelaksanaan pengobatan hipertensi. Menurut Sackett ( dalam Niven, 2002 ),
kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang
diberikan professional kesehatan. Karena kepatuhan merupakan perilaku kesehatan,
74
maka menurut Green, 1980 ( dalam Notoatmodjo, 2003 ) menyatakan bahwa perilaku
dipengaruhi oleh 3 faktor. Faktor pertama, yaitu faktor predisposisi yang meliputi
pengetahuan, sikap, kepercayaan, tingkat pendidikan dan tingkat sosial ekonomi.
Kedua yaitu faktor pendukung yang meliputi sarana dan prasarana serta jarak
pelayanan kesehatan. Ketiga faktor pendorong yang meliputi dukungan tenaga
kesehatan, dukungan keluarga dan dukungan sosial.
Rogers, 1974 ( dalam Notoatmodjo, 2007 ) berdasarkan hasil penelitiannya,
menyatakan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku ( melakukan perilaku
baru), maka ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi
dirinya dan keluarganya.Penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku yang didasari
oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, akan menghasilkan perilaku yang
bersifat langgeng (long lasting), sebaliknya apabila perilaku tidak didasari oleh
pengetahuan, kesadaran dan sikap yang posistif maka perilaku tersebut tidak akan
berlangsung lama. Oleh sebab itu, agar kepatuhan penderita hipertensi dalam
melaksanakan pengobatan dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang lama, maka
penderita harus memiliki pengetahuan dan sikap yang positif terhadap penyakitnya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Cimahi, kasus hipertensi
di beberapa Puskesmas yang ada di Kota Cimahi menunjukkan peningkatan, dari 12
Puskesmas yang ada di Kota Cimahi, ada 8 Puskesmas yang angka kejadian
hipertensinya meningkat yaitu Puskesmas Cigugur Tengah, Cimahi Selatan,
Cipageran, Padasuka, Cibeureum, Cimahi Utara, Melong Asih, dan Leuwigajah. Dari 8
Puskesmas tersebut, Puskesmas yang paling tinggi mengalami peningkatan kasus
hipertensi dalam kurun waktu satu tahun adalah Puskesmas Cimahi Selatan. Pada
tahun 2010 kasus hipertensi di Puskesmas Cimahi Selatan sebanyak : 2.396 kasus
dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 4.562 kasus, dalam kurun waktu kasus
hipertensi di Puskesmas Cimahi Selatan mengalami peningkatan sebanyak : 2.166
kasus.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti kepada 15 orang
penderita hipertensi, didapatkan hasil bahwa 9 orang penderita hipertensi masih
kurang patuh dalam melakukan pengobatan, mereka mengatakan bahwa mereka
melakukan kontrol dan meminum obat jika mereka mengalami gejala hipertensi
seperti : pusing, nyeri di tengkuk dan mengalami sulit tidur, namun jika gejala
75
berkurang mereka menghentikan pengontrolan dan tidak minum obat lagi, mereka
menghentikan pengobatan atas keinginan sendiri tanpa mengkolsultasikan terlebibih
dahulu kepada dokter atau petugas kesehatan, jika mereka merasa pusing mereka
hanya menggunakan obat warung untuk menghilangkan gejala pusing tersebut.
Dari 9 orang penderita hipertensi yang tidak patuh melaksanakan pengobatan, ada 4
orang yang sudah lebih dari 3 bulan tidak melakukan kontrol dan tidak meminum obat.
Mereka mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui berapa tekanan darah yang
dikatakan dan tidak mengetahui komplikasi yang dapat terjadi akibat hipertensi.
Mereka hanya mengetahui bahwa mereka harus mengurangi makanan yang tinggi
garam dan tidak mengetahui hal apa lagi yang harus dilakukan untuk mengendalikan
tekanan darahnya.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
masalah : Hubungan Pengetahuan dan Sikap Penderita Hipertensi Dengan Kepatuhan
Melaksanakan Pengobatan Hipertensi Di Puskesmas Cimahi Selatan Tahun 2012 “.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deksriptif korelasi yaitu suatu metode penelitian
yang dilakukan denngan tujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan,
sikap penderita hipertensi dengan kepatuhan melaksanakan pengobatan hipertensi di
Puskesmas Cimahi Selatan Tahun 2012.
Waktu penelitian dilakukan dari bulan mei sampai dengan bulan juni 2012. Rancangan
penelitian yang digunakan adalah kros seksional.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua kunjungan kasus hipertensi selama tahun
2011 yaitu berjumlah 4.562 kasus. Sampel yang digunakan adalah 98 orang penderita
hipertensi. Tehnik pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling.
Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner dengan tehnik wawancara dan
observasi
76
HASIL PENELITIAN
1. Hasil Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen. Tehnik dalam analisis ini adalah tabulasi silang dengan uji
Chi Square dengan alpha = 0,05.
1. Hubungan Pengetahuan Penderita Hipertensi Dengan Kepatuhan
Melaksanakan Pengobatan Hipertensi
Tabel 1
Hubungan Pengetahuan Penderita Hipertensi Dengan Kepatuhan Melaksanakan
Pengobatan Hipertensi Di Puskesmas Cimahi Selatan Tahun 2012
Pengetahuan
Kepatuhan Melaksanakan
Pengobatan Hipertensi
Total
n %
Nilai P
Patuh Tidak Patuh
n % n %
Kurang 10 32,3 21 67,7 31 100
0.031
Cukup 9 39,1 14 60,9 23 100
Baik
27 61,4 17 38,6 44 100
Jumlah 46 46,9 52 53,1 98 100
77
Dari tabel diatas ternyata ada sebanyak 21 orang penderita hipertensi (67,7%) yang
pengetahuannya kurang serta tidak patuh dalam melaksanakan pengobatan hipertensi
dan sebanyak 17 orang penderita hipertensi (38,6%) yang pengetahuannya baik serta
tidak patuh dalam melaksanakan pengobatan hipertensi.
Hasil uji statistik pada α = 0,05 ternyata ada hubungan antara pengetahuan penderita
hipertensi dengan kepatuhan melaksanakan pengobatan hipertensi ( p < 0,05 )
2. Hubungan Sikap Penderita Hipertensi Dengan Kepatuhan Melaksanakan
Pengobatan Hipertensi
Tabel 2
Hubungan Sikap Penderita Hipertensi Dengan Kepatuhan Melaksanakan
Pengobatan Hipertensi Di Puskesmas Cimahi Selatan Tahun 2012
Sikap
Kepatuhan Melaksanakan
Pengobatan Hipertensi
Total
n %
Nilai P
Patuh Tidak Patuh
n % n %
Positif
31 59,6 21 40,4 52 100
0,013
Negatif
15 32,6 31 67,4 46 100
Jumlah
46 46,9 52 53,1 98 100
78
Pada tabel 2 ternyata ada sebanyak 31 orang penderita hipertensi (67,4%) yang
memiliki sikap negative serta tidak patuh dalam melaksanakan pengobatan hipertensi,
dan ada sebanyak 21 orang penderita hipertensi (40,4%) yang memiliki sikap positif
serta tidak patuh dalam melaksanakan pengobatan hipertensi.
Hasil uji statistik pada α = 0,05 ternyata ada hubungan antara sikap responden
dengan kepatuhan melaksanakan pengobatan hipertensi ( P < 0,05 )
PEMBAHASAN
1. Hubungan Pengetahuan Penderita Hipertensi Dengan Kepatuhan
Melaksanakan Pengobatan Hipertensi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang pengetahuannya
kurang, tidak patuh melaksanakan pengobatan hipertensi.Kemudian dari hasil analisis
data dengan menggunakan uji statistik chi square pada α=0,05, didapatkan nilai p =
0,031 artinya bahwa ada hubungan pengetahuan penderita hipertensi dengan
kepatuhan melaksanakan pengobatan hipertensi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
semakin baik pengetahuan tentang hipertensi maka kepatuhan dalam melaksanakan
pengobatan hipertensinya akan semakin baik. Sebaliknya jika pengetahuan penderita
hipertensi tentang hipertensi kurang,maka kepatuhan dalam melaksanakan
pengobatan hipertensinya akan semakin kurang atau bahkan tidak patuh.
Penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Agus ( 2006), yang
meneliti tentang hubungan tingkat pengetahuan tentang hipertensi dengan kepatuhan
pasien dalam melaksanakan pengobatan hipertensi. Berdasarkan hasil penelitiannya
pada 44 responden didapatkan sebagian besar responden ( 59,1%) memliki tingkat
pengetahuan tinggi dan sebesar 68,2% responden patuh dalam melaksanakan
pengobatan.Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara tingkat
pengetahuan tentang hipertensi dengan kepatuhan pasien melaksanakan pengobatan
hipertensi.
79
Pemahaman yang menyeluruh mengenai penyakit hipertensi, cara kerja
obat ,kebiasaan hidup dan mengontrol hipertensi secara teratur sangatlah penting
diketahui oleh penderita hipertensi, karena ketidakpatuhan pada program terapi
merupakan masalah besar bagi penderita hipertensi.
Konsep bahwa penyakit hipertensi hanya dapat di kontrol dan tidak dapat
disembuhkan penting untuk diketahui oleh pasien. Bimbingan dan penyuluhan secara
terus menerus diperlukan agar penderita hipertensi patuh melaksanakan pengobatan
( Brunner & Suddart, 2002 ). Pemahaman yang menyeluruh terhadap penyakit
hipertensi diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan pasien dalam melaksanakan
pengobatan hipertensi.
Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, ia harus lebih tahu
terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya ( Notoatmodjo,
2007). Maka kepatuhan penderita hipertensi dalam melakukan pengobatan akan dapat
dipertahankan dalam jangka waktu lama (bersifat langgeng), jika penderita hipertensi
mempunyai pengetahuan yang baik terhadap hipertensi.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Eliana, Khasanah & Pertiwi (2007) menjelaskan
teori yang dikemukakan oleh Wibowo ( 1999) bahwa ketaatan atau kepatuhan dalam
melakukan pengobatan dan kontrol kesehatan pada individu salah satunya disebabkan
karena adanya pemahaman pada diri individu tersebut mengenai resiko penyakit dan
tujuan pengobatan. Hal ini terbukti, bahwa penderita hipertensi di Puskesmas Cimahi
Selatan yang mempunyai pengetahuan kurang sebagian besar ( 67,7%) tidak patuh
melakukan pengobatan hipertensi dan sebagian besar (61,4%) penderita hipertensi
yang mempunyai pengetahuan baik, patuh melakukan pengobatan hipertensi. Maka
dapat disimpulkan bahwa kepatuhan penderita hipertensi di Puskesmas Cimahi
Selatan dalam melakukan pengobatan hipertensi salah satunya dipengaruhi oleh
pengetahuan mereka terhadap penyakitnya.
Oleh sebab itu , diperlukan pendidikan kesehatan untuk meningkatkan kepatuhan
penderita hipertensi dalam melakukan pengobatan hipertensi. Pendidikan kesehatan
merupakan suatu upaya atau kegiatan untuk menciptakan perilaku masyarakat yang
kondusif terhadap kesehatan. Tujuan pendidikan kesehatan pada akhirnya bukan
hanya untuk mencapai “ melek kesehatan ( health literacy ) “ pada masyarakat saja.
80
Namun lebih penting ialah mencapai perilaku kesehatan ( healthy behavior ).
Kesehatan bukan hanya untuk diketahui ( knowledge) dan disikapi ( attitude ),
melainkan harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari (practice). Berarti tujuan
pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku individu atau masyarakat sehingga
sesuai dengan norma-norma hidup sehat ( Notoatmodjo, 2007).
2. Hubungan Sikap Penderita Hipertensi Dengan Kepatuhan Melaksanakan
Pengobatan Hipertensi
Hasil penelitian menunjukkan, sebagian besar dari responden yang sikapnya negative,
tidak patuh melaksanakan pengobatan hipertensi. Kemudian dari hasil analisis data
dengan menggunakan uji statistik chi square pada α=0,05, didapatkan nilai p = 0,013
artinya bahwa ada hubungan sikap penderita hipertensi dengan kepatuhan
melaksanakan pengobatan hipertensi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin
positif sikap seseorang tentang hipertensi maka kepatuhan dalam melaksanakan
pengobatan hipertensinya akan semakin baik. Sebaliknya jika sikap penderita hipetensi
tentang hipertensi negative, maka kepatuhannya dalam melaksanakan pengobatan
hipertensinya akan semakin kurang atau bahkan tidak patuh.
Penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2011),
yang meneliti tentang pengaruh konseling obat terhadap kepatuhan pasien hipertensi
di poliklinik khusus RSUP DR.M Djamil Padang. Berdasarkan hasil penelitiannya
kepada 50 orang responden, didapat hasil bahwa konseling dapat meningkatkan
pengetahuan dan sikap dan akan berpengaruh terhadap kepatuhan pasien hipertensi
dalam melaksanakan pengobatan.
Selain itu berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi, Sulchan & Salawati
(2005) yang meneliti tentang hubungan tingkat pengetahuan dan sikap dengan
ketaatan dan derajat hipertensi penderita di Puskesmas Sumberlawang Kabupaten
Sragen, didapat hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan
ketaatan ( nilai p = 0,000 ). Penelitian ini membuktikan bahwa kepatuhan penderita
hipertensi di Puskesmas Cimahi Selatan dalam melakukan pengobatan salah satunya
dipengaruhi oleh sikap. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa lebih dari
setengahnya ( 59,6%) penderita hipertensi yang mempunyai sikap positif patuh
melakukan pengobatan dan penderita hipertensi yang mempunyai sikap negatif
sebagian besar ( 67,4%) tidak patuh melakukan pengobatan.
81
Menurut Rogers ( 1974, dalam Notoatmodjo, 2007) bahwa apabila penerimaan
perilaku baru atau adopsi perilaku didasari oleh pengetetahuan, kesadaran dan sikap
positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng ( long lasting ). Sebaliknya
apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif,
maka perilaku tersebut tidak akan berlangsung lama.
Pengetahuan akan membuat seseorang berpikir dan berusaha untuk menjaga
kesehatan nya. Dalam berpikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja.
Misalnya seorang penderita hipertensi telah mendengar tentang penyakit hipertensi
( penyebab, gejala, dampak, pencegahannya, dan sebagainya). Pengetahuan ini akan
membawa pasien untuk berpikir dan berusaha agar penyakit hipertensi yang
dialaminya tidak bertambah parah. Dalam berpikir ini komponen emosi dan keyakinan
ikut bekerja sehingga pasien tersebut berniat untuk melakukan pengobatan hipertensi
secara teratur dan menjalankan program pengobatan yang disarankan oleh petugas
kesehatan,sehingga pasien tersebut mempunyai sikap positif terhadap objek yang
berupa penyakit hipertensi ( Notoatmodjo, 2007).
Disamping itu, penelitian ini menunjukkan bahwa ada sebanyak 21 responden (40,4%),
yang sikapnya positif namun tidak patuh melaksanakan pengobatan hipertensi, dan
ada sebanyak 15 responden (32,6%) yang sikapnya negatif namun patuh
melaksanakan pengobatan. Hal ini menunjukkan bahwa sikap belum merupakan suatu
tindakan atau perilaku, akan tetapi merupakan predisposisi suatu perilaku. Sikap
masih merupakan suatu reaksi tertutup atau tingkah laku yang tertutup. Sikap
merupakan suatu reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2007). Dengan adanya hubungan
sikap dengan kepatuhan melaksanakan pengobatan, maka penderita hipertensi
seharusnya menumbuhkan sikap positif terhadap penyakit hipertensi.
Sikap dapat berubah sesuai dengan perubahan aspek kognitif atau aspek afektif.
Namun faktor eksternal sangat berpengaruh dalam mengarahkan sikap seseorang,
dengan sadar atau tidak sadar individu yang bersangkutan akan mengadopsi sikap
tertentu. Faktor eksternal pada dasarnya berpijak pada suatu proses yang disebut
strategi persuasi.
Persuasi merupakan usaha pengubahan sikap seseorang dengan memasukkan ide,
pikiran, pendapat dan bahkan fakta baru lewat pesan-pesan komunikatif. Pesan yang
disampaikan dengan sengaja dimaksudkan untuk menimbulkan kontraindikasi dan
82
inkonsistensi diantaran komponen sikap seseorang dan perilakunya, sehingga
menganggu kestabilan sikap dan membuka peluang terjadinya perubahan yang
diinginkan ( Azwar, 2009 ). Memasukkan ide, pikiran, pendapat dan fakta baru dapat
dilakukan melalui pendidikan kesehatan, sehingga diharapkan penderita hipertensi
yang pada awalnya mempunyai sikap yang negatif akan mengubah sikapnya menjadi
lebih positif terhadap penyakitnya setelah dilakukan pendidikan kesehatan.
SIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Ada hubungan antara pengetahuan penderita hipertensi dengan kepatuhan
melaksanakan pengobatan hipertensi di Puskesmas Cimahi Selatan ( p < 0,05 )
2. Ada hubungan antara sikap penderita hipertensi dengan kepatuhan
melaksanakan pengobatan hipertensi di Puskesmas Cimahi Selatan ( p < 0,05 )
SARAN
1. Peneliti menyarankan kepada Puskesmas Cimahi Selatan untuk lebih
meningkatkan lagi kepatuhan penderita hipertensi dalam melakukan
pengobatan dengan melakukan penyuluhan kesehatan secara rutin. Saat
pasien melakukan pengobatan ke puskesmas, penyuluhan dapat dilakukan
dengan cara memberikan penjelasan/informasi selengkap-lengkapnya
mengenai hipertensi dan rencana pengobatan yang akan dilakukan dengan
memberikan leaflet atau informasi secara tertulis. Selain itu penyuluhan dapat
juga dilakukan pada saat kegiatan posbindu.Disamping itu dapat juga
melakukan strategi home care pada pasien hipertensi, karena ketika dilakukan
observasi kerumah, pasien mengatakan bahwa dengan adanya kunjungan ini
pasien merasa diperhatikan oleh petugas kesehatan, sehingga timbul keinginan
untuk melakukan control kembali ke puskesmas.
2. Bagi penderita hipertensi diharapkan agar lebih meningkatkan pengetahuan
tentang hipertensi dan penyakit lain yang disebabkan oleh tekanan darah tinggi
melalui berbagai media agar dapat mengendalikan berbagai dampak negative
83
yang dapat terjadi, sehingga lebih patuh melakukan pengobatan hipertensi.
Selain itu mereka harus untuk dilakukan kunjungan rumah oleh petugas
kesehatan, karena dengan adanya kunjunngan ke rumah kondisi pasien akan
terpantau dan menjadi bahan evaluasi untuk meningkatkan kepatuhan pasien
dalam melakukan pengobatan. Sehingga diharapkan adanya peningkatan
kesehatan pada pasien hipertensi serta mencegah terjadinya komplikasi akibat
hipertensi.
3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumber
informasi dan sebagai bahan perbandingan pada penelitian yang sama atau
untuk melakukan melakukan penelitian lebih lanjut.
84
KEPUSTAKAAN
1. Adib, M. 2009. Cara Mudah Memahami dan Menghindari Hipertensi, Jantung dan Stroke. Yogyakarta. Dianloka Pustaka.
2. Alamatsier, Sunita.2005. Penuntun Diet . Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama
3. Anonim. Hindari Hipertensi Konsumsi Garam 1 Sendok Teh Perhari.2009. tersedia di http://www.dinkesbonebolango.org.diperoleh tanggal 29 Januari 2012.
4. ________ . Hipertensi,2011. Tersedia di http://fsifkunila.blogspot.com diperoleh i. Tanggal 24 Februari 2012
5. ________ . Jawa Barat Awas Ancaman Hipertensi dan Jantung.2009 Tersedia di http://www.kesehatan.kompas.com. Diperoleh tgl 21 Januari
2012.
6. Agus, Era 2006,Hubungan Tingkat Pengtahuan Tentang Hipertensi Dengan Kepatuhan Pasien Dalam Melaksanakan Pengobatan Hipertensi Di Puskesmas Gubug. Tersedia di http://digilib.unimus.ac.id, diperoleh tanggal 2 Februari
7. Azwar, Saifuddin,2009. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya.Yogjakarta Pustaka Pelajar.
8. Brunner & Suddarth 2002. Keperawatan Medikal Bedah Volume 2. Jakarta Buku
10. Dewi, Arum Tunggal,Sulchan,Salawati, Trixie.2005.Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Dengan Ketaatan dan Derajat Hipertensi Penderita di Puskesmas Sumberlawang Kecamatan Sumberlawang Kabupaten Sragen,terdapat di http://digilib.unimus.ac.id. Diperoleh tanggal 22 Januari 2012
22. Pratiwi, Denia. 2011.Pengaruh Konseling Obat Terhadap Kepatuhan Pasien Hipertensi Di Poliklinik KhususRSUP.DR.M.Djamil Padang. Tersedia di http://pasca. Unand.ac.id, diperoleh tanggal 22 Maret 2012.
23. Riskesdas, 2007. Tersedia http://www.k4health.org. diperoleh tanggal 29 Januari 2012
25. _______,2009.Pengolahan Dan Analisis Data Kesehatan.Yogyakarta. Nuha Medika.
26. Sugiyono.2010.Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & R. Bandung ; IKAPI
27. Sutanto. 2010. Cekal Penyakit Modern Hipertensi,Stroke, Jantung, Kolesterol dan Diabetes. Yogjakarta; C.V. Andi Offset.
28. Sutedjo, AY.2008. Mengenal Obat-Obatan Secara Mudah dan Aplikasinya Dalam Perawatan. Yogjakarta; Amara Books.
29. Udjianti, Juni Wajan.2010.Keperawatan Kardiovascular. Jakarta; Salemba Medika
30. Wolff, Hanns Peter.2008.Hipertensi Cara Mendeteksi dan Mencegah Tekanan Darah Tinggi Sejak Dini. Jakarta; Bhuana Ilmu Populer.
31. Wulandari, Shanty, Komariah, Maria & Ermiaty.2009. Majalah Keperawatan. Nursing Journal of Pajajaran Universsity.Hubungan Pengetahuan dan Sikap Dengan Pemberian ASI Ekslusif Oleh Ibu-IbuYang Bekerja Sebagai Perawat di RS. Al-Ihsan Kota Bandung, 10 (15), 91-95.
13. Hutagulung, Filderia. (2011). Hubungan antara usia, Paritas dengan Persalinan
Kala II Lama Tahun 2010 Di RSUD Dr. Moch. Soewandhie Surabaya. (http://creasoft.wordpress.com/2011/04/23/, dikutip pada tanggal 22 Juni 2013).
14. Indriani. (2007). Hubungan Umur dengan Kejadian Partus Lama di RSIA Makasar Tahun 2006. (http://repository.usu.ac.id/ bitstream/ 123456789/6449 /1/Indriani1.pdf dikutip pada tanggal 22 Juni 2013).
15. Manuaba, Chandradinata, dkk, (2010). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB. Edisi 2. Jakarta : EGC.
16. MenKes, (2012). Jampersal 2012 (http:www.perdhaki.jampersal dikutip pada 14 Februari 2013).
17. Rochjati, Poedji. (2003). Skrining Antenatal Pada Ibu Hamil. Surabaya :
Airlangga University Press.
18. Saifuddin. (2009). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
19. Sastroasmoro. (2011). Dasar – Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta : Sagungseto.
20. Stikes Budi Luhur Cimahi. 2011. Buku Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Tugas Akhir Dan Skripsi Mahasiswa Stikes Budi Luhur . Cimahi : LPPM.
21. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.
22. Sukarsih, Dedeh. 2009. Gambaran Angka Kejadian Partus Lama Di Rumah Sakit Umum Mitra Anugrah Lestari Periode 01 Januari-31 Desember 2008. LTA, Cimahi, stikES Budi Luhur Cimahi.
23. Tita, 2010. Gambaran Kejadian Kehamilan Resiko Tinggi Berdasarkan Karakteristik pada Ibu Hamil di Puskesmas Garuda Kota Bandung. LTA, Cimahi, STIKes Budi Luhur Cimahi.
24. Wardhana, A. 2007. Faktor Risiko Plasenta Previa. In: Budi Rianto (Ed), Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta.
25. Wiknjosastro, Gulardi, dkk. 2008. Buku Acuan Pelatihan Asuhan Persalinan Normal. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
26. Wiludjeng. 2007. Gambaran Penyebab Kematian. In: Budi Rianto (Ed), Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta.
Sasaran Posbindu Lansia meliputi beberapa kelompok dimana ada sasaran langsung
dan sasaran tidak langsung. Sasaran langsung adalah usia virilitas/pra senilis 45 tahun
- 59 tahun, Lansia 60 s.d. 69 tahun, dan Lansia risiko tinggi yaitu usia lebih dari 70
tahun. Sedangkan sasaran yang tidak langsung adalah keluarga dimana Lansia
berada, masyarakat di lingkungan Lansia, organisasi sosial yang bergerak di dalam
pernbinaan kesehatan Lansia, petugas kesehatan yang melayani kesehatan Lansia
dan masyarakat luas (Depkes RI, 2005).
Pelaksanaan pembinaan kesehatan Lansia di Puskesmas perlu dilakukan dengan
manajemen yang baik dengan memperhatikan aspek perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi. Penilaian keberhasilan program harus dimulai dari awal
kegiatan yang meliputi masukan, proses dan keluaran dengan aspek teknis dan
manajerial termasuk penyediaan sarana, prasarana dan informasi yang digunakan
untuk perencanaan lebih lanjut (Depkes RI, 2005).
Partisipasi dan keteraturan Lansia yang datang ke Posbindu lansia belum mencapai
target yang diharapkan tersebut dapat dilihat dari data laporan tahunan Dinas
Kesehatan Kabupaten Bandung Barat tahun 2010 di empat Puskesmas di UPTD
Kesehatan wilayah Sindangkerta, bahwa di Puskesmas Cicangkang Hilir dengan
cakupan partisipasi Lansia mencapai 71.42%, Puskesmas Sindangkerta mencapai
76.32%, Puskesmas Cipongkor mencapai 68.89%, dan Puskesmas Citalem mencapai
70.93%. Dari angka tersebut dapat diketahui bahwa Puskesmas Citalem merupakan
salah satu Puskesmas dengan cakupan partisipasi Lansia yang belum mencapai target
dimana cakupan yang harus dicapai adalah sebesar 80%.
Puskesmas Citalem terdiri dari 7 desa binaan dimana dari ketujuh desa tersebut
semuanya memiliki cakupan partisipasi Lansia dalam kegiatan Posbindu masih di
bawah target. Adapun data cakupan partisipasi Lansia dalam kegiatan Posbindu di
wilayah binaan Puskesmas Citalem tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut di
bawah ini.
107
Tabel 1.1 Persentase Cakupan Partisipasi Lansia dalam Kegiatan Posbindu di
Wilayah Kerja Puskesmas Citalem Tahun 2012
Desa Binaan Persentase
Kehadiran Lansia
Jumlah
Lansia Keterangan
Cicangkang Hilir 75.6% 927
Target 80%
Sukamulya 79,2% 856
Mekarsari 53,9% 442
Citalem 79,2% 1348
Giri Mukti 63,3% 617
Cijenuk 75.7% 1071
Girimukti 78.7% 764
( Sumber: Laporan Tahunan Program Lansia Puskesmas Citalem Tahun 2012.)
Berdasarkan tabel 1.1, maka dapat diketahui bahwa desa yang paling rendah dalam
cakupan partisipasi Lansia terhadap pemanfaaan Posbindu adalah desa Mekarsari,
yaitu hanya mencapai 53.9%.
Studi pendahuluan yang dilakukan penulis melalui wawancara pada bulan Febuari 2013
terhadap 15 orang Lansia yang berada di wilayah Posbindu Lansia Mekarsari di RW 01
yang jarang datang ke Posbindu diperoleh informasi bahwa alasan mereka tidak pernah
datang ke Posbindu karena merasa tidak ada masalah dengan kesehatan dirinya atau
merasa sehat-sehat saja dan merasa tidak ada waktu untuk datang ke Posbindu karena
ada pekerjaan lain yang lebih penting menurut mereka seperti pergi ke sawah. Mereka
yang jarang ke Posbindu mengatakan jika hanya ada keluhan saja mereka datang ke
Posbindu, dan ada sebagian mengatakan terkadang malas untuk mengantri karena
cukup memakan waktu yang lama. Selain itu, karena jauhnya jarak lokasi Posbindu
dengan tempat tinggal mereka dan sulitnya transportasi karena memerlukan paling tidak
kendaraan motor atau ojeg yang tentunya mengeluarkan biaya. Berdasarkan uraian dan
permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian yang
berjudul: “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemanfatan Pos Binaan Terpadu Posbindu
108
Lansia di Desa Mekarsari Wilayah Kerja Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung Barat
bulan Juni ”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi pemanfatan Posbindu Lansia di Desa Mekarsari wilayah kerja
Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung Barat .
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan studi analitik dengan rancangan penelitian
rancangan deskriptif korelasi, yaitu suatu rancangan penelitian untuk mempelajari
dinamika korelasi antara variabel, peneliti dengan pendekatan pengumpulan data
secara cross-sectional yaitu pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time
approach).
Variabel penelitian Independen yaitu Pengetahuan lansia, sikap, Persepsi Jarak,
Persepsi Biaya, dan Penilaian individu. Variabel dependen yaitu Pemanfaatan
pelayanan Posbindu. Definisi Operasional dari masing-masing variabel penelitian
pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap objek tertentu, merupakan reaksi atau respon seseorang
yang masih tertutup terhadap suatu st imulus a tau objek, Pernyataan
responden mengenai perkiraan jarak yang di tempuh untuk datang, Jumlah
kehadiran lansia dalam satu tahun terakhir di Posbindu Lansia (Notoatmodjo, 2003).
Alat Ukur yang digunakan adalah Kuesioner dan KMS dan Catatan Register.
Hasil Ukur pengetahuan adalah Baik jika 76-100%, Cukup jika 56-75 %, Kurang jika <
56 % (Notoatmodjo, 2003). Sikap jika 0 = Sikap Tidak Mendukung (≤ Mean) 81,61% dan
1 = Sikap Mendukung (>mean) 81,61%. Persepsi jarak 0 = terjangkau (>Mean) 54,88%
dan 1 = tidak terjangkau (≤Mean) 54,88%. Persepsi biaya 0 = tidak membutuhkan
(<mean) 57,32% dan 1 = membutuhkan biaya (≥mean) 57,32%. Penilaian Individu jika 0
= tidak membutuhkan (<mean) 57,32% dan 1 = membutuhkan (≥mean) 57,32%.
Pemanfaatan Posbindu bila Aktif jika minimal 75% hadir dari 11 kali kegiatan Tidak aktif
jika kurang dari 75% kehadiran dari 11 kali pertemuan.
109
A. POPULASI DAN SEMPEL PENELITIAN
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah Lansia di desa Mekarsari wilayah kerja
Puskesmas Citalem periode 2012, yaitu sebanyak 442 orang.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Untuk menentukan jumlah
sampel pada penelitian ini menggunakan Rumus Slovin yakni:
Keterangan :
= Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
e = Tingkat kesalahan
Dalam penelitian ini peneliti mengambil sampel dengan tingkat
kesalahan 10% maka:
C. PENGUMPULAN DATA
1. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah mengumpulkan data berupa data primer dan
sekunder. Data primer yaitu pengambilan data tentang Pengetahuan, Sikap,
Jarak, Persepsi individu Sedangkan data sekunder yaitu pengambilan data yang
dihimpun dari laporan atau catatan yang ada dimana peneliti hanya mengkaji
ulang data-data yang ada, yaitu data register kehadiran Lansia atau KMS Lansia
(Sahlan, 2005).
2. Instrumen Penelitian
Adapun Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kuesioner dan interviewer
(dalam hal wawancara). Instrumen untuk mengkur pengetahuan pelayanan
posbindu sosial adalah dengan Skala Guttman. Instrumen untuk mengukur sikap
Lansia adalah menggunakan Skala Likert. Instrumen untuk mengukur
110
pemanfaatan Posbindu Lansia adalah dengan menggunakan data register
kehadiran Lansia atau KMS Lansia.
3. Uji Validitas dan Reliabilitas instrumen Penelitian
Uji validitas pada instrumen pengetahuan dan jarak telah dilakukan dengan
menggunakan teknik koefisien korelasi biserial, dikarenakan jenis pertanyaan
yang digunakan berbentuk Dis-kontinum atau hanya berbentuk pertanyaan
objektif jawaban dengan skor 1 dan 0. Rumus yang digunakan untuk menghitung
koefisien korelasi biserial antara skor butir soal dengan skor total tes adalah :
[√
]
Keterangan : Rbis (i) : Koefisien korelasi biserial antara skor butir soal nomor dengan skor total xi : Rata-rata skor total responden yang menjawab benar butir soal nomor i xt : Rata-rata skor total responden St : Standar deviasi skor total semua responden pi : Proporsi jawaban yang benar untuk butir soal nomor i qi : Proporsi jawaban yang salah untuk butir soal nomor i
Sedangkan untuk instrumen sikap, menggunakan uji korelasi product moment,
dikarenakan dari jumlah 20 responden dengan 15 pertanyaan bahwa semua item
mempunyai r hitung > r table(0,44)sehingga semua pertanyaan dinyatakan valid.
∑ ∑ ∑
√[ ∑ ∑ ][ ∑ ∑ ]
Keterangan :
rhitung : Koefisien Korelasi
∑ : Jumlah skor item
∑ : Jumlah skor total
n : Jumlah responden
Setelah semua pertanyaan sudah valid semua. Analisis selanjutnya dengan uji
reliabilitas. Cara untuk mengetahui reliabilitas adalah : membandingkan nilai r
hasil dengan nilai konstanta (0,6) “bias juga dengan r table”. Dalam uji reliabilitas
sebagai nilai r hasil adalah nilai “Alpha”. Ketetuannya : bila r alpha > konstanta
(0,6) maka pertanyaan tersebut reliable (Riyanto,2009).
111
Menurut Arikunto (2006), pada penelitian ini uji reabilitasnya menggunakan
rumus Alpha cronbach yaitu sebagai berikut :
[
] [
∑
]
Keterangan :
r11 : Reliabilitas instrumen
k : Banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
∑ : Jumlah varian butir
: Varian total
Berdasarkan hasil uji reliabilitas variabel pengetahuan didapatkan nilai korelasi
sebesar 0.826. lebih besar dari konstanta (0,6) Sikap di nyatakan reliabel.
Berdasarkan hasil uji reliabilitas variabel jarak didapatkan nilai korelasi sebesar
0.777 > 0,6 (konstanta) sehingga nyatakan reliabel. Berdasarkan hasil uji
reliabilitas sikap variabel didapatkan nilai korelasi sebesar 0.842 > 0,6 konstanta
dinyatakan reliable.
D. PROSEDUR PENELITIAN
Agar penelitian yang dibuat bisa memenuhi syarat penelitian, yaitu sistematis,
berencana, dan mengikuti konsep ilmiah. Melalui langkah-langkah sebagai berikut
:
a) Tahap Persiapan
1) Menentukan topik penelitian
2) Merumuskan masalah
3) Memilih lahan penelitian
4) Melakukan studi pendahuluan
5) Menyusun proposal penelitian
6) Seminar proposal
7) Melakukan uji coba instrumen dan perbaikan instrumen
b) Tahap Pelaksanaan
1) Perizinan pelaksanaan penelitian
2) Melaksanakan penyebaran kuesioner
3) Mengolah dan menganalisa data
4) Pembahasan
c) Tahap Akhir
1) Menyusun laporan hasil penelitian
112
2) Pendokumentasian hasil penelitian
3) Presentasi hasil penelitian
E. PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA
1. Pengolahan Data
Ada empat tahapan dalam pengolahan data yang harus dilalui, yaitu: Editing,
Scoring, Coding, Processing, Cleaning, dan Tabulating,
2. Analisis Data
Analisis data yang akan digunakan sebagai berikut:
a. Analisis Univariat
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap, jarak biaya dan persepsi
sakit dilakukan uji univariat untuk masing-masing variabel yang diteliti dalam
bentuk tabel univarian dan setelah itu dilakukan penafsiran dengan asumsi-
asumsi pribadi sehingga membentuk penemuan ilmiah (Scientific Finding)
dengan menggunakan rumus berikut di bawah ini (Notoatmodjo, 2005)
b
aP x100%
Keterangan : P : Persentase responden a : Jumlah responden yang termasuk dalam kriteria b : Jumlah keseluruhan responden
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah untuk membuktikan adanya hubungan yang
bermakna antara variabel bebas dengan variabel terikat maka dilakukan uji
statistik dengan metoda Chi Square (x2). Secara perhitungan manual,
rumus umum Chi-Kuadrat yang digunakan adalah sebagai berikut
(Arikunto, 2006) :
h
ho
f
ffx
2
2
Dimana : x2 = harga Chi-Kuadrat yang dicari fo = frekuensi yang ada (frekuensi observasi atau frekuensi
sesuai dengan keadaan) fh = frekuensi yang diharapkan, sesuai dengan teori
113
Dengan tingkat kemaknaan yang diinginkan 95% atau nilai alfa 0,05.
F. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di Desa Mekarsari wilayah kerja Puskesmas Citalem
dan akan dilaksanakan pada bulan Mei – Juli tahun 2013.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
a. Faktor Predisposisi
Pada analisis ini akan dibahas mengenai pernyataan tentang gambaran
pengetahuan dan sikap remaja. Berikut adalah hasil analisisnya:
Tabel 1.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Lansia Tentang Posbindu Di Desa Mekarsari Wilayah Kerja Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung Barat
Pengetahuan Lansia F %
Baik 15 18.29
Cukup 27 32.93
Kurang 40 48.78
Total 82 100
Berdasarkan tabel 1.2 dapat dilihat bahwa dari 82 responden yang diteliti
berdasarkan pengetahuan lansia tentang posbindu, terdapat 15 responden
(18.29%) yang memiliki pengetahuan baik, 27 responden (32.93%) yang
memiliki pengetahuan cukup, dan 40 responden (48.78%) yang memiliki
pengetahuan kurang.
Tabel 1.3 Distribusi Frekuensi Sikap Lansia Tentang Posbindu Di Desa Mekarsari Wilayah Kerja Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung Barat
Sikap F %
Tidak Mendukung 30 36.59
Mendukung 52 63.41
Total 82 100
Berdasarkan tabel 1.3 dapat dilihat bahwa dari 82 responden yang diteliti
berdasarkan sikap lansia tentang posbindu, terdapat 30 responden (36.59%)
114
yang memiliki sikap tidak mendukung, dan 52 responden (63.41%) yang
memiliki sikap mendukung.
b. Faktor Pendukung
Pada analisis ini akan dibahas mengenai pernyataan tentang gambaran
persepsi jarak dan biaya. Berikut adalah hasil analisisnya:
Tabel 1.4. Distribusi Frekuensi Persepsi Jarak Posbindu Di Desa Mekarsari
Wilayah Kerja Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung Barat
Persepsi Jarak f %
Terjangkau 39 47.56
Tidak Terjangkau 43 52.44
Total 82 100
Berdasarkan tabel 1.4 dapat dilihat bahwa dari 82 responden yang diteliti
berdasarkan persepsi jarak ke posbindu, terdapat 39 responden (47.56%) yang
memiliki jarak terjangkau, dan 43 responden (52.44%) yang memiliki jarak tidak
terjangkau.
Tabel 1.5. Distribusi Frekuensi Persepsi Biaya Posbindu Di Desa Mekarsari
Wilayah Kerja Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung Barat
Persepsi Biaya f %
Terjangkau 38 46.34
Tidak Terjangkau 44 53.66
Total 82 100
Berdasarkan tabel 1.5 dapat dilihat bahwa dari 82 responden yang diteliti
berdasarkan persepsi biaya ke posbindu, terdapat 38 responden (46.34%) yang
merasa biaya terjangkau, dan 44 responden (53.66%) yang merasa biaya tidak
terjangkau.
c. Faktor Kebutuhan
Pada analisis ini akan dibahas mengenai pernyataan tentang gambaran
kebutuhan penilaian individu. Berikut adalah hasil analisisnya:
115
Tabel 1.6 Distribusi Frekuensi Kebutuhan Penilaian Individu Di Desa Mekarsari Wilayah Kerja Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung Barat
Kebutuhan Penilaian Individu f %
Tidak Membutuhkan 26 31.71
Membutuhkan 56 68.29
Total 82 100
Berdasarkan tabel 1.6 dapat dilihat bahwa dari 82 responden yang diteliti
berdasarkan kebutuhan penilaian individu tentang posbindu, terdapat 26
responden (31.71%) yang tidak membutuhkan, dan 56 responden (68.29%)
yang membutuhkan.
Tabel 1.7. Distribusi Frekuensi Pemanfaatan Posbindu Di Desa Mekarsari
Wilayah Kerja Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung Barat
Pemanfaatan Posbindu f %
Aktif 51 62.20
Tidak Aktif 31 37.80
Total 82 100
Berdasarkan tabel 1.7 dapat dilihat bahwa dari 82 responden yang diteliti
berdasarkan pemanfaatan posbindu, terdapat 51 responden (62.20%) yang
aktif dalam pemanfaatan, dan 31 responden (37.80%) yang tidak aktif
pemanfatanya.
d. Hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pos binaan
terpadu (posbindu) lansia.
Berdasarkan uji bivariat bahwa hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi
pemanfaatan pos binaan terpadu (posbindu) lansia di Desa Mekarsari Wilayah
Kerja Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung Barat, tertera dalam bentuk
tabel 1.7 sebagai berikut.
116
Tabel 1.8. Tabulasi Silang Antara Pengetahuan Lansia Dengan Pemanfaatan Posbindu Di Desa Mekarsari Wilayah Kerja Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung Barat
Pengetahuan
Lansia
Pemanfaatan Posbindu Total Koefisien
Kontingensi
P-
Value Aktif Tidak Aktif
f % F % F %
Baik 13 86.67 2 13.33 15 100
0.337 0.005 Cukup 20 74.07 7 25.93 27 100
Kurang 18 45 22 55 40 100
Berdasarkan tabel 1.8 dapat dilihat dari 82 responden, terdapat 15 responden yang
memiliki pengetahuan baik, dimana sebagian besar 13 responden (86.67%) aktif dalam
pemanfaatan posbindu. Terdapat 27 responden memiliki pengetahuan cukup, dimana
sebagian besar 20 responden (74.07%) aktif dalam pemanfaatan posbindu. Terdapat
40 responden memiliki pengetahuan kurang, dimana sebagian besar 22 responden
(55%) tidak aktif dalam pemanfaatan posbindu.
Tabel 1.9. Tabulasi Silang Antara Sikap Dengan Pemanfaatan Posbindu
Di Desa Mekarsari Wilayah Kerja Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung Barat
Sikap
Pemanfaatan Posbindu Total Koefisien
Kontingensi
P-
Value Aktif Tidak Aktif
f % F % F %
Tidak
Mendukung 6 20 24 80 30 100
0.551 0.000
Mendukung 45 86.54 7 13.46 52 100
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat dari 82 responden, terdapat 30 responden yang
memiliki sikap tidak mendukung, dimana sebagian besar 24 responden (80%) tidak
aktif dalam pemanfaatan posbindu. Terdapat 52 responden memiliki sikap mendukung,
dimana sebagian besar 45 responden (86.54%) aktif dalam pemanfaatan posbindu.
117
Tabel 1.10 Tabulasi Silang Antara Persepsi jarak Dengan Pemanfaatan Posbindu Di Desa Mekarsari Wilayah Kerja Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung Barat
Persepsi Jarak
Pemanfaatan Posbindu Total Koefisien
Kontingensi
P-
Value Aktif Tidak Aktif
f % F % f %
Terjangkau 31 79.49 8 20.51 39 100 0.322 0.002
Tidak Terjangkau 20 46.51 23 53.49 43 100
Berdasarkan tabel 1.10 dapat dilihat dari 82 responden, terdapat 39 responden yang
memiliki persepsi jarak terjangkau, dimana sebagian besar 31 responden (79.49%)
aktif dalam pemanfaatan posbindu. Terdapat 43 responden memiliki persepsi jarak
tidak terjangkau, dimana sebagian besar 23 responden (53.49%) tidak aktif dalam
pemanfaatan posbindu.
Tabel 1.11. Tabulasi Silang Antara Persepsi Biaya Dengan Pemanfaatan
Posbindu Di Desa Mekarsari Wilayah Kerja Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung Barat.
Persepsi Biaya
Pemanfaatan Posbindu Total Koefisien
Kontingensi
P-
Value Aktif Tidak Aktif
f % F % f %
Terjangkau 35 92.11 3 7.89 38 100 0.497 0.000
Tidak Terjangkau 16 36.36 28 63.64 44
Berdasarkan tabel 1.11. dapat dilihat dari 82 responden, terdapat 38 responden yang
memiliki persepsi biaya terjangkau, dimana sebagian besar 35 responden (92.11%)
aktif dalam pemanfaatan posbindu. Terdapat 44 responden memiliki persepsi biaya
tidak terjangkau, dimana sebagian besar 28 responden (63.64%) tidak aktif dalam
pemanfaatan posbindu.
Tabel 4.11 Tabulasi Silang Antara Penilaian Individu Dengan Pemanfaatan Posbind Di Desa Mekarsari Wilayah Kerja Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung Barat
Kebutuhan Penilaian
Individu
Pemanfaatan Posbindu
Total Koefisien
Kontingensi
P-
Value Aktif
Tidak
Aktif
f % F % f %
118
Tidak Membutuhkan 10 38.46 16 61.54 26 100 0.316 0.003
Membutuhkan 41 73.21 15 26.79 56 100
Berdasarkan tabel 4.11 dapat dilihat dari 82 responden, terdapat 26 responden yang
memiliki penilaian tidak membutuhkan, dimana sebagian besar 16 responden (61.54%)
tidak aktif dalam pemanfaatan posbindu. Terdapat 56 responden memiliki penilaian
membutuhkan, dimana sebagian besar 41 responden (73.21%) aktif dalam
pemanfaatan posbindu.
B. Pembahasan
1. Pengetahuan Lanjut Usia (Lansia) tentang Pos Binaan Terpadu (Posbindu) Di
Desa Mekarsari
Berdasarkan hasil penelitian, pada tabel 1.1 menunjukan bahwa dari 82 responden
hampir setengah dari responden yaitu 40 orang (48.78%) memiliki pengetahuan
kurang tentang posbindu. Pengetahuan lansia yang kurang tentang posbindu
dikarenakan kurang informasi, penyuluhan dan pengumuman tentang posbindu
kurang. Menurut Notoodmodjo (2007) mengatakan bahwa pengetahuan
merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu yang mana penginderaan ini terjadi melalui panca
indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba
yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
2. Sikap Lanjut Usia (Lansia) tentang Pos Binaan Terpadu (Posbindu) Di Desa
Mekarsari
Berdasarkan tabel 1.2 dapat dilihat bahwa dari 82 responden sebagian besar dari
responden yaitu 52 orang (63.41%) memiliki sikap mendukung posbindu
sedangkan sebagian kecil yaitu 30 responden (36.59%) yang memiliki sikap tidak
mendukung posbindu.
Sikap lansia yang mendukung posbindu dapat membuat posbindu menjadi aktif.
Akan tetapi, sikap lansia yang mendukung tersebut belum tentu membuat lansia
datang ke posbindu, karena menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2003) bahwa
sikap itu belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan
predisposisi tindakan atau perilaku. Sehingga sikap yang mendukung hanyalah
119
sebagai faktor pendukung untuk seorang lansia bertindak datang ke posbindu dan
itu berpengaruh terhadap pemanfaatan posbindu.
3. Persepsi Jarak Posbindu di Desa Mekarsari
Berdasarkan tabel 1.3 dapat dilihat bahwa dari 82 responden yang diteliti
berdasarkan persepsi jarak ke posbindu, sebagian besar dari responden 43
responden (52.44%) memiliki persepsi bahwa jarak ke posbindu tidak terjangkau
dan sebagian kecil 39 responden (47.56%) yang memiliki jarak terjangkau.
Kehadiran lansia di posbindu yang rendah dapat di pengaruhi oleh jarak rumah ke
posbindu yang jauh dan sulit di jangkau dan bagi lansia yang mengalami
penurunan daya tahan atau kekuatan fisik tubuh akan menimbulkan kelelahan atau
kecelakaan fisik sehingga lansia untuk menghadiri Posbindu menjadi berkurang
sehingga lansia sebagai anggota posbindu tidak datang ke Posbindu untuk
memeriksakan kesehatan secara rutin setiap bulannya.
Andari (2006) menyimpulkan bahwa semakin dekat lokasi pelayanan kesehatan
semakin tinggi pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Bangli. Namun
hasil ini berbeda dengan penelitian Hendrartini (1995), variabel jarak mempunyai
korelasi negatif terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dan secara
statistik tidak bermakna.
4. Persepsi Biaya Posbindu di Desa Mekarsari
Berdasarkan tabel 1.4 dapat dilihat bahwa dari 82 responden yang diteliti
berdasarkan persepsi biaya ke posbindu, terdapat 38 responden (46.34%) yang
merasa biaya terjangkau, dan 44 responden (53.66%) yang merasa biaya tidak
terjangkau. Hal ini mengindikasikan bahwa dari 82 responden sebagian besar dari
responden (53.66%) memiliki persepsi bahwa biaya ke posbindu tidak terjangkau.
Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomis yang diukur dalam satuan uang,
yang telah terjadi, sedang terjadi atau yang kemungkinan akan terjadi untuk tujuan
tertentu
Biaya yang di maksudkan adalah biaya transportasi dan biaya pengobatan di
posbindu persepsi biaya menurut lansia tidak terjangkau dikarenakan lansia yang
sudah tidak mempunyai penghasilan. Sehingga tidak terjangkaunya biaya tersebut
berpengaruh terhadap kehadiran lansia ke posbindu dan pemanfaatan posbindu
berkurang.
120
5. Penilaian Individu Lansia tentang Kebutuhan Posbindu di Desa Mekarsari
Berdasarkan tabel 1.5 dapat dilihat bahwa dari 82 responden yang diteliti
berdasarkan kebutuhan penilaian individu tentang posbindu, terdapat 26
responden (31.71%) yang tidak membutuhkan, dan 56 responden (68.29%) yang
membutuhkan. Hal ini mengindikasikan bahwa dari 82 responden sebagian besar
dari responden (68.29%) menilai bahwa membutuhkan posbindu. Menurut
Maslow (2008) kebutuhan adalah sesuatu yang diperlukan oleh manusia sehingga
dapat mencapai kesejahteraan, sehingga bila ada di antara kebutuhan tersebut
yang tidak terpenuhi maka manusia akan merasa tidak sejahtera atau kurang
sejahtera.
Penilaian individu lansia yaitu membutuhkan akan adanya posbindu,karena lansia
membutuhkan pengobatan dan control kesehatan sehingga kesehatan lansia
terpantau bila adanya posbindu.
6. Hubungan Pengetahuan Lansia dengan Pemanfaatan Posbindu oleh Lansia
Dari hasil analisis hubungan antara pengetahuan lansia terdapat 15 responden
yang memiliki pengetahuan baik, dimana sebagian besar 13 responden (86.67%)
aktif dalam pemanfaatan posbindu. Semakin baik pengetahuan lansia tentang
posbindu maka semakin baik pula dalam pemanfaatan posbindu oleh lansia. Hasil
tersebut sejalan dengan pendapat Wawolumaya (2001) mengungkapkan, bahwa
pengetahuan merupakan semua masukan yang diterima seseorang melalui proses
mengamati, mendengar, membaca, dan belajar, masuk ke dalam otak manusia dan
belum mengalami pengolahan mental. Apabila masukan tersebut mengalami
pengkajian mental berupa pendalaman perbandingan atau pengalaman maka
pengetahuan akan berubah menjadi sikap dimana telah terbentuk opini persepsi
namun belum matang untuk diperaktekkan. Setelah melalui pertimbangan berkali-
kali maka sikap tersebut menjadi lebih baik dan selanjutnya dipraktekkan dalam
bentuk tindakan yang disebut perilaku.
7. Hubungan Sikap Lansia dengan Pemanfaatan Posbindu oleh Lansia
Berdasarkan hasil analisis terdapat 52 responden memiliki sikap mendukung,
dimana sebagian besar 45 responden (86.54%) aktif dalam pemanfaatan posbindu.
Sebagaimana dalam Azwar 2000 menyebutkan bahwa untuk terbentuknya sikap
yang mendukung terhadap perilaku, seseorang tidak cukup hanya merespon saja,
namun seharusnya dapat menunjukkan perilaku yang diminta, misalkan
121
berpartisipasi, patuh dan memberikan tanggapan secara sukarela bila diminta
(Azwar, 2000).
Hal tersebut didukung dengan teori yang dikemukakan oleh Roger (dalam
Notoatmodjo, 2003) tentang sikap adalah pendapat atau pandangan seseorang
mengenai suatu objek yang mendahului tindakannya. Sikap tidak mungkin
terbentuk apabila seseorang tidak mendapat informasi atau melihat objek.
Sedangkan menurut Notoatmodjo (2003), sikap merupakan reaksi atau respon
yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek.
8. Hubungan Persepsi Jarak dengan Pemanfaatan Posbindu oleh Lansia
Berdasarkan hasil analisis terdapat 39 responden yang memiliki persepsi jarak
terjangkau, dimana sebagian besar 31 responden (79.49%) aktif dalam
pemanfaatan posbindu. Hal ini sesuai dengan Lane dan Lindquist (1988) serta
Javalgi (1991) menyimpulkan bahwa faktor kedekatan tempat pelayanan
kesehatan dengan rumah tempat tinggal menjadi faktor urutan pertama terhadap
permintaan konsumen dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan.
9. Hubungan Persepsi biaya dengan Pemanfaatan Posbindu oleh Lansia
Berdasarkan hasil tabulasi silang, sebagian besar responden memiliki persepsi
biaya tidak terjangkau dimana sebagian besar tidak aktif dalam pemanfaatan
posbindu yaitu terdapat 44 responden memiliki persepsi biaya tidak terjangkau,
dimana sebagian besar 28 responden (63.64%) tidak aktif dalam pemanfaatan
posbindu.
Menurut Mulyadi (2001;8), Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomis yang
diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi, sedang terjadi atau yang
kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu. Dimana seseorang akan
mengeluarkan biaya untuk mendapatkan tujuan tertentu, namun dengan besarnya
jumlah biaya yang di keluarkan maka seseorang mempunyai penilaian tersendiri
untuk mendapatkan tujuan tertentu tersebut.
10. Hubungan Penilaian Individu mengenai Kebutuhan Lansia terhadap
Pemanfaatan Posbindu Lansia
Hal ini mengindikasikan bahwa dari 82 responden sebagian besar memiliki
penilaian membutuhkan dimana sebagian besar aktif dalam pemanfaatan posbindu
yaitu terdapat 56 responden memiliki penilaian membutuhkan, dimana sebagian
besar 41 responden (73.21%) aktif dalam pemanfaatan posbindu.
122
Dalam Maslow 2008 menyebutkan bahwa kebutuhan sesorang terpenuhi untuk
mendapatkan kesejahteraan, dengan kata lain semakin lansia membutuhkan
posbindu maka semakin banyak lansia yang aktif dalam pemanfaatan posbindu
tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai “faktor-faktor yang mempengaruhi
pemanfaatan pos binaan terpadu (posbindu) lansia di Desa Mekarsari Wilayah
Kerja Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung Barat, dari 82 responden, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Hampir setengah dari responden (48.78%) memiliki pengetahuan kurang
tentang posbindu.
2. Sebagian besar dari responden (63.41%) memiliki sikap Mendukung
tentang pemnfaatan posbindu.
3. Sebagian besar dari responden (52.44%) memiliki persepsi bahwa jarak ke
posbindu tidak terjangkau.
4. Sebagian besar dari responden (53.66%) memiliki persepsi bahwa biaya ke
posbindu tidak terjangkau.
5. Sebagian besar dari responden (68.29%) menilai bahwa membutuhkan
posbindu.
6. Sebagian besar responden (62.20%) aktif dalam pemanfaatan pelayanan
posbindu.
7. Pengetahuan lansia berpengaruh terhadap pemanfaatan posbindu lansia
Desa Mekarsari Wilayah Kerja Puskesmas Citalem.
8. Sikap lansia berpengaruh terhadap pemanfaatan posbindu Desa Mekarsari
Wilayah Kerja Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung Barat.
9. Jarak berpengaruh terhadap pemanfaatan posbindu di Desa Mekarsari
Wilayah Kerja Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung Barat.
10. Persepsi Lansia mengenai biaya tidak terjangkau sehingga berpengaruh
terhadap pemanfaatan posbindu di Desa Mekarsari Wilayah Kerja
Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung Barat bulan Juni Tahun 2013.
123
11. Kebutuhan lansia berpengaruh terhadap pemanfaatan posbindu lansia di
Desa Mekarsari Wilayah Kerja Puskesmas Citalem Kabupaten Bandung
Barat.
B. Saran
Beberapa saran sebagai berikut :
1. Sering di adakan sosialisasi tentang posbindu
2. Menambah posbindu baru
3. Penambahan Sumber Daya Manusia, Perawat khususnya yang memegang
program Lansia
4. Di lakukan evaluasi Program Lansia supaya cakupan naik
5. Untuk penelitian selanjutnya dapat ditambahkan variable yang berkaitan
dengan umur, pendidikan, penghasilan dengan pemanfaatan posbindu dengan
desain penelitian serta uji statistik yang berbeda.
124
DAFTAR PUSTAKA
1. Alimul Hidayat, A. Aziz. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan teknik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika.
2. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta.
3. Asnawi, Sahlan. 2007. Teori Motivasi dalam Pendekatan Psikologi Industri dan Organisasi. Cetakan Ketiga. Jakarta : Studia Press.
4. DepKes RI. 2001. Profil Kesehatan Indonesia 2000. Jakarta.