Top Banner

of 16

Edisi 21 (Sep-Okt 2005)

Jul 16, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005

Rapat Umum Dibubarkan,Petani Ditembaki, 33 Orang TerlukaBerita Hal 5

PEMBARUAN TANIM I M B A R K O M U N I K A S I P E T A N I

Kekerasan Terhadap Petani Di Tanak Awu, LombokPetani Dunia Kecam Kekerasan Di Tanak AwuBerita Hal 5

Peringatan Hari Tani Nasional Ke-45

SPSU: Hentikan Kekerasan Terhadap PetaniPeringatan Hari Tani Nasional Ke-45:

Berita Hal 13

Polda NTB Di Demo PetaniBerita Hal 5

Komnas HAM Usut Kekerasan DiTanak AwuBerita Hal 6

Petani Sumatera Barat Kecam Kekerasan Di Tanak AwuBerita Hal 13

Opini

Petani Datangi DPRD NTBBerita Hal 6

Periode Liberalisasi Perdagangan Beras Di IndonesiaBerita Hal 9

salam

pembaruan tani

Kami Sudah Lelah Dengan Kekerasan...Kami sudah lelah dengan kekerasan tulisan itu terpampang dalam pamflet-pamflet bergambar wajah Munir, seorang pejuang Hak Asasi Manusia yang meninggal akibat keracunan zat arsenik. Diduga kematiannya karena dibunuh oleh pihak-pihak tertentu yang merasa terganggu oleh aksi-aksi Munir dalam mengungkap kebenaran. Dalam persidangan kasus tersebut sangat kentara keterlibatan suatu operasi terstruktur di dalamnya. Maka, terkuaklah orang-orang aneh yang mengaku punya hubungan dengan salah satu instansi intelejen di negeri ini. Walaupun susah membuktikannya, peristiwa tersebut sudah menunjukkan kepada kita bahwa permasalalahan di negeri ini kerap kali diselesaikan dengan cara-cara kekerasan. Itu yang di Jakarta, halaman muka republik tercinta ini. Bagaimana dengan halaman tengah atau belakang? Tentu tak terlepas dari aksi-aksi kekerasan semacam itu. Atau mungkin jauh lebih sadis, karena tak termonitor publik. Baru-baru ini, kekerasan terjadi di Nusa Tenggara Barat. Hanya beberapa jam dari pulau pariwisata, Bali. Kali ini yang menjadi korban adalah petani, kelompok masyarakat yang memang selalu terpinggirkan. Adalah Tanak Awu, sebuah desa di Lombok Tengah. Di atas tanah lapang ratusan petani sedang mempersiapkan rapat umum. Rapat tersebut rencananya akan dihadiri puluhan petani dari berbagai provinsi di Indonesia juga belasan petani manca negara. Rapat yang sudah disusun jauhjauh hari sebelumnya dan berbekal surat ijin dari Mabes Polri tiba-tiba dibubarkan secara paksa oleh kepolisian Lombok Tengah dan Polda Nusa Tenggara Barat. Kepolisian setempat beralasan ijin dari Mabes Polri telah dicabut. Tapi pencabutan terasa janggal dan tergesa-gesa. Bayangkan! ijin pencabutan diterima panitia hanya 12 jam menjelang pelaksanaan acara. Padahal undangan sudah disebar kemana-mana, bahkan sampai ke manca negara. Polisi tak mau tahu, masyarakat juga tak mau mengalah. Akhirnya, sepasukan brimob membubarkan rapat secara paksa. Tenda-tenda diobrak-abrik, panggung dirobohkan, lebih dari itu 33 orang terluka, 27 diantaranya terkena tembakan. Sungguh drama yang tidak enak dipandang. Sejumlah orang geram dengan tidakan aparat. Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR RI meminta Kapolri untuk mencopot Kapolres Lombok Tengah. Kalangan LSM dan organisasi tani mengecam tindak kekerasan yang tidak berperikemanusiaan itu. Padahal menurut Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), alasan polisi membubarkan rapat sangat tidak masuk akal. Acara semacam itu sebenarnya tak harus mendapat ijin dari polisi, cukup pemberitahuan saja. Itu sudah jelas diatur oleh UU No.9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Tapi kepolisian agaknya tidak mau mengalah. Mereka berbendapat, semua langkah yang diambilnya atas nama keamanan dan ketertiban umum. Polisi ingin menghindarkan masyarakat dari bentrokan horizontal. Karena tanah yang dijadikan tempat rapat umum petani merupakan tanah sengketa dimana pemerintah berniat membangun bandara bertaraf internasional di atasnya. Memang resolusi persengketaan belum selesai. Rakyat masih menuntut, karena proses pembebasan tanah yang dilakukan di masa orde baru dinilai warga tidak berpegang pada prinsip keadilan dan sangat menindas petani setempat. Centang perenang tersebut masih memerlukan waktu untuk diselesaikan. Tetapi bukan dengan kekerasan! Disini terlihat alasan aparat terkesan akal-akalan. Karena faktanya, bentrokan terjadi antara warga masyarakat dengan polisi yang seharusnya menjadi pengayom dan pelindung. Bukan menakut-nakuti rakyat. Di lapangan tak ditemukan adanya pihak-pihak lain yang akan menggagalkan rapat umum, yang terlihat jelas hanyalah barisan polisi huru-hara dilengkapi sebuah panser water canon. Apapun latar belakangnya, tampaknya kekuasaan belum bisa meninggalkan cara-cara kekerasan dalam melayani warganya. Senjata yang dibeli dari jerih payah rakyat, akhirnya digunakan untuk memberi pelajaran kepada rakyat juga. Kalau sudah begini rantai kekerasan di negeri ini semakin sulit diputuskan. Oi... andai saja dunia ini tanpa senjata, tentu tak akan ada perang yang makan biaya. Dan, biayanya lebih baik untuk membeli cangkul dan bajak. Lalu garaplah tanah-tanah kosong yang terhampar luas, tentu bangsa ini akan berkecukupan sandang pangan. Bila ada teriakan lapar dari rakyatnya tak harus dijawab dengan peluru lagi, tapi cukup dengan beras, singkong atau ubi saja.#

PEMBARUAN TANIFEDERASI SERIKAT PETANI INDONESIA (FSPI) PETANI PRESSPENANGGUNG JAWAB DICETAK OLEH DITERBITKAN OLEH

HENRY SARAGIHPEMIMPIN UMUM

ZAINAL ARIFIN FUAD ACHMAD YAKUBSEKRETARIS REDAKSI PEMIMPIN REDAKSI

TITA RIANA ZENSIDANG REDAKSI

INDRA SAKTI LUBIS TEJO PRAMONO AGUS RULI ARDIANSYAH IRMA YANNY ALI FAHMI WILDA TARIGAN CECEP RISNANDAR MUHAMMAD IKHWAN SRIWAHYUNI SUPRIYANTOM

ARTISTIK DAN TATA LETAK KEUANGAN SIRKULASI

JL MAMPANG O M U N I K XIV NO.5 PRAPATAN A S I P I M B A R K JAKARTA 12790 TELP: +62 21 7991890 FAX: +62 21 7993426 EMAIL: [email protected] www.fspi.or.id

ALAMAT REDAKSI

E

T

A

N

I

Redaksi menerima sumbangan artikel, opini atau tulisan mengenai pertanian/agraria/perjuangan yang sesuai dengan visi dan misi tabloid PEMBARUAN TANI. Setiap tulisan yang dikirimkan ke redaksi diketik 1000 (seribu) kata dan dikirimkan lewat pos, fax, maupun email. Apabila tulisan dimuat, anda akan menerima pemberitahuan dari redaksi.Wartawan PEMBARUAN TANI dilengkapi tanda pengenal dan tidak meminta/menerima apapun dari narasumberPembaruan Tani

KABAR UTAMA:Kekerasan Terhadap Petani di Tanak Awu, Lombok Tengah ....................................................................................

INTERNASIONAL UTAMA UTAMA

Gerakan Tani Menentang WTO .................................................................................... Petani Protes Polda NTB .................................................................................... Rapat Umum Dibubarkan, Petani Ditembaki, 33 Orang Terluka ....................................................................................

4-9 3 5 9

PENDAPATPeriode Liberalisasi Perdagangan Beras Di Indonesia ....................................................................................

NASIONAL MENJUAL PRODUK PERTANIAN ORGANIKKOPERASI SEJATI Jl. SMA XIV No.15A Dewi Sartika, Jakarta Timur 13640 Telp/fax. (021) 80882492Ket. Kontak person: Aat (081316650804) Pengadaan produk setiap hari Senin dan Kamis Pemesanan minimal sehari sebelumnya

Peringatan Hari Tani Nasional Ke-45 ....................................................................................

KABAR TANI INFO PRAKTIS SERIKAT

Album Perjuangan Tanpa Hak Cipta .................................................................................... Membuat Kacang Asin .................................................................................... Petani Mengecam Kekerasan Di Tanak Awu ....................................................................................

10 12-13 14 15 16

2

EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005

internasional

pembaruan tani

Gerakan Tani Menentang WTOPembaruan Tani

Demonstrasi besar-besaran petani dunia terhadap WTO, di JenewaSwiss tepat di depan markas besar WTOPemimpin, anggota dan jaringan La Via Campesina pada tanggal 19-20 Oktober lalu berkumpul di Jenewa, Swiss. Pertemuan tersebut untuk memperkuat gerakan perlawanan terhadap Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan kebijakan neoliberal yang telah membunuh jutaan petani kecil, masyarakat adat, produsen kecil dan nelayan. Juga melenyapkan sumber daya agraria dan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang tak dapat diperbarui. Maraknya protes dan kecaman terhadap WTO telah menggema di seluruh belahan dunia, ditandai dengan pergerakan petani-petani dan berbagai elemen masyarakat di bidangnya masing-masing. Demonstrasi di depan markas besar WTO di Jenewa pada tanggal 15 Oktober 2005 membuktikan bahwa solidaritas petani seluruh dunia untuk menolak WTO dari pertanian masih sangat kuat. Hal ini juga ditandai dengan aksi-aksi lain, terutama mereka yang berada di Hong Kong untuk persiapan Ministerial Meeting bulan Desember nanti (buruh migran, NGOs, dll). Mereka semua inilah yang merasa terancam oleh perundingan liberalisasi perdagangan WTO, dan tak lupa pula, terutama masyarakat di Indonesia sendiri. Pada pertemuan Zurich beberapa minggu sebelumnya, WTO seakan mendapatkan momentum bagi perundingan liberalisasi perdagangan dengan dibukanya inisiasi dari usulan Amerika Serikat (AS). Namun petani di seluruh dunia menganggap perundingan tersebut hanya sebagai formalitas belaka, dan tetap tidak mewakili keinginan petani dari seluruh dunia. Hal ini juga terus menyudutkan WTO sebagai organisasi multilateral yang tidak demokratis. Kebijakan WTO juga diyakini tidak mengubah kesejahteraan petani, bahkan hingga kini setelah 10 tahun berdiri. Bahkan dampak yang dihadapi petani adalah subsidi dan perlindungan

pemerintah semakin mengecil, sementara petani Indonesia yang subsisten sangat membutuhkan dukungan dari pemerintah, kata Henry Saragih, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) dan International Coordinator of La Via Campesina. Kebijakan neoliberal juga tercermin setelah masuknya WTO dengan adanya impor pangan yang dipaksakan, yang membuat pasar domestik dan harga hancur, lanjutnya. Impor pangan sendiri merupakan masalah klasik di Indonesia setelah masuknya WTO tahun 1994, dan hingga kini petani Indonesia menderita karena hal tersebut. Menurut FSPI, impor pangan inilah yang dipaksakan oleh WTO sehingga perusahaanperusahaan transnasional raksasa bisa mengeruk keuntungan. Akibatnya, petani di pedesaan merana. Sedangkan sekitar 70% rakyat Indonesia tinggal di pedesaan, dan kebanyakan dari mereka adalah petani. Semenjak tahun ini 1996 pula Indonesia menjadi pengimpor produk pangan utama, seperti beras, gandum, gula, kedelai dan jagung. Faktanya, Indonesia mengimpor hampir 50% stok beras dunia. Pada dekade lahirnya WTO (1990-1999) Indonesia mengimpor ratarata 1,5 juta ton beras per tahun, dan fenomena ini berlangsung hingga tahun 2004. Untuk gula, jumlah yang diimpor sebesar 1,5 juta ton (kedua terbesar di dunia) atau 40% dari konsumsi nasional. Lalu Indonesia juga mengimpor kedelai sebesar 1,3 juta ton (terbesar di dunia) yang menutup 45% konsumsi kedelai nasional. Sedangkan volume impor untuk jagung berjumlah tidak kurang dari 1 juta ton. Sementara, jangan lupa bahwa Indonesia juga terus mengimpor buah-buahan, sayur dan macam-macam seperti apel, jeruk, pir, kentang, bawang, dan lain-lain. Pemerintah seperti kurang akal untuk mengatasi masalah petani di Indonesia, padahal dengan tegas dalam UUPA 1960 kita harus menegakkan reforma agraria sejati (genuine agrarian reform) demi terwujudnya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera,

tambah Henry lagi. Dengan mewujudkan reforma agraria sejati, diharapkan dapat menangkal kebijakan neoliberalisme WTO dan juga sebagai prasyarat tegaknya kedaulatan pangan. Aspek ini harus diimplementasikan segera sebagai faktor utama dalam kebijakan pertanian. Kedaulatan pangan adalah hak rakyat untuk memproduksi makanan sendiri dengan cara yang berkesinambungan dan harmonis dengan kebudayaan dan tradisi sendiri. Hal ini juga selaras dengan ketahanan sumber daya agraria dan kekayaankeanekaragaman hayati kita sendiri, lanjutnya. Karena menurut petani di seluruh dunia, pertanian memang lebih seperti jalan hidup (way of life) ketimbang komoditas yang diperdagangkan seperti yang diatur dalam Agreement on Agriculture (AoA) WTO. Besarnya kepedulian terhadap sektor pertanian ini juga sangat beralasan dengan peringatan Hari Pangan Sedunia, karena komitmen dunia untuk mengurangi angka kemiskinan dan kelaparan di tahun 2015 nanti sangat bergantung pada sektor ini. Menurut FAO pada tahun 1996 terdapat 800 juta dari 5,67 milyar penduduk dunia yang menderita kemiskinan dan kelaparan. Namun hari ini menurut pidato Jacques Diouf, Dirjen FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia), lebih dari 850 juta jiwa masih menderita kemiskinan dan kelaparan. Fakta ini menunjukkan bahwa upaya WTO meliberalisasi perdagangan, terutama pertanian tidak cukup signifikan untuk menghapus kemiskinan dan kelaparan. Untuk itusekaligus juga memperingati Hari Pangan Sedunia pada tanggal 16 Oktober lalu, FSPI selaku suara petani di Indonesia menyerukan agar pemerintah menegakkan kedaulatan pangan, dan agar WTO keluar dari pertanian. Hal ini juga berdasarkan logika yang sederhana, karena kondisi pertanian Indonesia praWTO ternyata jauh lebih baik daripada sekarang, tukas Henry. Muhammad Ikhwan

Liberalisasi Perdagangan Rugikan PetaniLiberalisasi Perdagangan versi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) merugikan petani. Buktinya setelah 10 tahun Indonesia meratifikasi aturanaturan pertanian (AoA) WTO, impor pangan semakin menyakiti petani, demikian kata Henry Saragih, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) menanggapi pertemuan 14 Menteri anggota WTO di Zurich, Swiss, 19-20 Oktober lalu. Hal ini juga saya kemukakan agar tidak ada lagi impor pangan, terutama beras di Indonesia seperti yang direncanakan oleh Bulog dan Departemen Perdagangan. Impor pangan akan menghancurkan harga dan merusak pasar domestik, dan pada akhirnya membunuh petani, lanjut dia. Henry juga melanjutkan bahwa rencana pemerintah Indonesia baru-baru ini untuk mengimpor beras sebanyak 250.000 ton juga ditengarai atas jebakan aturan AoA WTO tersebut. Hal ini terjadi karena perdagangan dan pasar harus dibuka dengan aturan liberalisasi perdagangan dalam AoA WTO tersebut. Padahal dari studi-studi yang dilakukan oleh FSPI juga organisasi petani internasional La Via Campesina, pembukaan pasar yang diusulkan oleh WTO dalam pengebirian tarif impor sangat tidak masuk akal. Logikanya gampang, produk pangan impor yang murah akan membanjiri pasar negara, tidak ada perlindungan harga terhadap produk petani karena mekanisme harga ditentukan oleh pasar, dan pasar pangan domestik akan hancur, lanjut Henry Saragih. Pemotongan subsidi juga sangat tidak relevan dalam proses perlindungan petani. Subsidi adalah hak tiap negara untuk melindungi pertaniannya, jadi WTO sebagai rejim perdagangan tidak berhak untuk memaksa negara untuk memotong subsidi terhadap petaninya. Tentu selama subsidi yang diberikan negara bukan subsidi yang mendistorsi pasar internasional, yang bisa mengakibatkan dumping, sahut Henry. Dengan demikian, dari aturanaturan AoA WTO sebenarnya yang dibunuh bukan hanya petani dari negara miskin dan berkembang, tetapi bayangkan apa yang terjadi bila subsidi dipotong dan akses pasar dibuka selebar-lebarnya? Henry menambahkan Petani dari negara-negara maju seperti Uni Eropa (terutama dari Belanda, Swiss, Norwegia), Jepang, Korea, dan AS sendiri sekarang menderita dan jumlahnya terus berkurang, digantikan oleh korporasi transnasional pertanian raksasa yang menggurita di dunia. Perundingan Zurich juga diyakini tidak berdampak banyak bagi kemajuan negosiasi di WTO, bahkan untuk menghadapi KTM VI WTO di Hong Kong bulan Desember nanti. Masih ada gap antara kepentingan AS dan Uni Eropa, juga Jepang, diperkeruh dengan campur tangan G-20. Lanjutnya lagi, Setidaknya bagi petani, tidak tercapainya kesepakatan lebih baik daripada ada kesepakatan, tapi malah lebih membunuh petani. Pada dasarnya, perundingan WTO di bidang pertanian memang hanya menguntungkan pihak-pihak korporasi neoliberalisme raksasa di bidang pertanian. Maka dari itu, 10 tahun WTO sudah cukup bagi petani, dan WTO harus keluar dari pertanian karena pertanian bukan komoditas, tutup Henry. Memang di Indonesia dan di banyak negara lain, pertanian lebih seperti jalan hidup daripada komoditi yang diperdagangkan. Muhammad Ikhwan

EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005

3

utama

pembaruan tani

Kekerasan Terhadap Petani Di Tanak Awu, Lombokapat umum petani di Tanak Awu, Nusa Tenggara Barat, yang diadakan Minggu, 18 September, berubah menjadi tragedi berdarah. Petani dipaksa membubarkan rapat oleh aparat kepolisian. Para petani sempat menolak, karena alasan aparat dianggapnya terlalu mengada-ada dan tidak masuk akal. Namun aparat tetap memaksa, bahkan mereka menurunkan pasukan brimob dan memporakporandakan tempat berlansungnya acara. Tak cukup hanya disitu, polisi menembaki petani sehingga jatuh korban. Tenda-tenda dan sebuah panggung pertunjukan dirobohkan. Beberapa orang ditangkap untuk dimintai keterangan. Kejadian tersebut mendapat protes dari banyak pihak. Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) mengecam tindakan brutal aparat. Mereka meminta aparat menyelidiki tindak kekerasan yang dilakukan anggotanya di lapangan. Di Jakarta, puluhan Lembaga Swadaya Masyarakat menyesalkan tindakan kepolisian lombok. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR RI menggelar konferensi pers dan meminta Kapolres Lombok Tengah di copot. Komnas Hak Azasi Manusia akan menyelidiki tindakan kekerasa itu. Dunia internasional mengecam aksi kekerasan terhadap petani di Lombok. Gerakan petani internasional, La Via

R

Campesina, menyatakan akan melaporkan kekerasan polisi ke komisi hak azasi manusia Perserikatan Bangsabangsa. Petani Amerika yang tergabung dalam Family Farmer Coalition mengatakan perbuatan aparat sebagai aksi yang tidak pantas dan menodai hak asasi. Dari Jerman, aktivis Land Research Action Network, Sofia Monsalve, mengutuk aksi kekerasan oleh kepolisian dan akan melakukan kampanye internasional. Aksi kekerasan berawal ketika polisi memaksa massa petani untuk membubarkan rapat umum. Alasannya, ijin terhadap penyelenggaraan rapat umum sudah dicabut. Namun panitia tidak bisa menerima alasan yang dianggapnya dibuat-buat. Karena sudah jauh-jauh hari, panitia sudah mengantongi ijin dari mabes Polri. Namun panitia mengakui, bahwa ijin tersebut dicabut. Tapi pencabutannya hanya 12 jam menjelang acara berlangsung. Sedangkan kami sudah menyebar undangan. Tentu saja acara tidak bisa dibatalkan begitu saja tutur Ahmad Yakub, Deputi kampanye FSPI. Terlebih lagi hukum di Indonesia tidak mengharuskan ijin dari kepolisian untuk acara-acara seperti rapat umum. Masyarakat hanya wajib memberitahukan saja, bukan meminta ijin, kata Gunawan dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI).

Masyarakat yang menjadi panitia pelaksana paling terpukul dengan pembatalan ijin tersebut. Karena sudah jauh-jauh hari mereka mempersiapkan pesta petani tersebut. Bahkan dua ekor lembu sudah disembelih untuk konsumsi rapat umum. Menjelang pelaksanaan acara yang sedianya akan berlangsung pukul 9 pagi, masyarakat sudah berkumpul di bawah taring (tenda-tenda dari daun kelapa). Mereka menunggu tamu-tamu undangan dari berbagi desa disekitar Tanak Awu dan delegasi dari FSPI yang sedang menuju ke lokasi dari Mataram. Bahkan bersama-sama dengan rombongan FSPI hadir juga puluhan petani dari manca negara. Disaat-saat seperti itu ratusan polisi dengan bersenjatakan lengkap mendatangi lokasi. Mereka memaksa petani membubarkan diri. Sempat terjadi negosiasi antara warga dan polisi. Namun tidak tercapai kesepakatan. Hingga akhirnya polisi mengambil langkah kekerasan untuk membubarkan rapat tersebut. Yang ditunggu rombongan FSPI, tiba-tiba yang datang malah polisi dengan senjata lengkap mengusir kami, ucap Jupri (15 thn). Pada saat kejadian saya mau menyelamatkan kakak saya yang jatuh, tapi tiba-tiba saya terkena peluru di sini sambil menunjuk bagian bawah lengannya, ucapnya dengan polos.

Jupri merupakan salah satu dari enam orang korban yang di rawat di RSUD Mataram dan mengalami luka tembak di bagian bawah lengan kanannya. Ke enam korban terkena tembakan peluru karet dan menderita mengalami luka dibagian kaki, dada, paha dan betis. Mereka diselamatkan oleh panitia kegiatan dari RSUD Mataram karena beberapa orang korban lain yang dirawat di RS Praya dalam kedaan lukaluka langsung dibawa oleh pihak Polres Lombok Tengah untuk di interogasi. Rapat akbar dan pesta solidaritas petani yang dihadiri beberapa utusan petani dari Via Campesina seharusnya menjadi hajat besar bagi Serikat Petani Nusa Tenggara Barat sebagai tuan rumah, akan tetapi kegiatan itu berubah menjadi bencana kerasan. Kegiatan yang sudah disiapkan sekian lama dengan melibatkan banyak orang menjadi kacau balau dalam sekejap oleh desingan peluru aparat. Tindakan represif aparat, terhadap petani menjadi kado pahit peringatan hari tani ke 45 tahun ini. Tragedi berdarah ini telah menambah panjang catatan kekerasan aparat terhadap rakyat. Rezim terus berganti, akan tetapi tidak menjadikan kekerasan berkurang malah terus bertambah. Tita Zen | Cecep Risnandar

4

EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005

utama

pembaruan tani

Rapat Umum Dibubarkan, Petani Ditembaki, 33 Orang TerlukaGrupuk, Penunjak, Rebile, Batujai, Sumbawa, dan Sembalun, tengah menunggu kedatangan tamu mereka. Namun ratusan polisi bersenjata lengkap memerintahkan pembubaran rapat. Warga menolak dan sempat terjadi negosiasi diantara mereka. Warga meminta kepada aparat agar mereka diperkenankan menunggu sampai tamu dari FSPI, La Via Campesina, Land Research Action Network (LRAN), FIAN (Lembaga Hak Atas Pangan dan Hak-Hak Asasi Manusia), LSM, Mahasiswa, dan Masyarakat Adat datang ke tempat itu. Aparat tidak mengijinkannya, dan langkah pembubaran paksa pun dilakukan dengan mengerahkan pasukan kepolisian dari Polres Lombok Tengah dan Polda NTB. Alasan kepolisian membubarkan rapat tersebut karena pihak Mabes Polri yang sebelumnya memberikan ijin, menyatakan mencabut ijin secara sepihak. Warga menilai alasan tersebut mengada-ada, karena pencabutan ijin baru dilakukan beberapa jam sebelum acara dimulai, tepatnya pada pukul 21.00 WITA. Padahal panitia sudah mempersiapkan acara tersebut beberapa bulan sebelumnya. Terbukti dengan dikeluarkannya ijin resmi dari Mabes Polri tertanggal 12 September 2005. Pihak panitia menilai pencabutan ijin tersebut penuh rekayasa dan tidak wajar. Bahkan landasan hukum dalam pencabutan surat ijin terkesan asal-asalan dan dibuat tergesagesa. Langkah pembubaran paksa tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi. Karena petani hanya mengadakan acara rapat umum yang damai tanpa arak-arakan. Rencananya rapat tersebut akan dihadiri oleh perwakilan petani dari provinsi lain dan petani internasional. Lebih jauh lagi, panitia meminta kepolisian bertanggungjawab terhadap kekerasan yang dilakukannya yang memakan korban warga sipil. Sekjen FSPI, Henry Saragih, menyatakan alasan pembubaran secara paksa rapat umum tersebut tidak masuk akal, apalagi disertai tindak kekerasan. Tidak pada tempatnya pihak kepolisan membubarkan rapat secara paksa, apalagi menggunakan kekerasan sehingga para petani menjadi korban penembakan. Peristiwa ini harus diusut sampai tuntas, ujarnya. Dipihal lain, polisi mengklaim 46 anggotanya luka-luka akibat bentrokan tersebut. Namun tidak didapatkan rincian nama-nama petugas yang terluka dan apa jenis luka yang dideritanya. Cecep Risnandar

Pembaruan Tani

Rapat umum yang diadakan Serikat Tani NTB (Serta NTB) dan Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) di Tanak Awu dibubarkan aparat kepolisian dari Polda NTB dan Polres Lombok Tengah secara paksa, Minggu (18/9). Dalam peristiwa tersebut 33 orang terluka akibat kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Sebanyak 27 orang terkena luka tembak dan 6 orang luka pukul.

Diantara korban tembak terdapat anak berusia 13 tahun. Korban luka-luka dilarikan ke Puskesmas dan rumah sakit terdekat. Kejadian berawal, ketika masyarakat Tanak Awu menghadiri Rapat Umum petani di lahan yang menjadi sengketa karena akan digusur untuk pembangunan Bandara Internasional. Di atas lahan tersebut warga sudah mendirikan

tenda-tenda peneduh dan panggung untuk pertunjukan seni rakyat. Namun pihak pemerintah Lombok Tengah melarang acara yang sebelumnya sudah mendapatkan ijin itu. Pemerintah mengerahkan pasukan kepolisian untuk mengusir warga. Tindak pengusiran secara paksa dilakukan ketika warga masyarakat yang terdiri dari para petani Tanak Awu, Mawun,

Petani Dunia Kecam Kekerasan Terhadap Petani Di Tanak AwuKekerasan yang disertai penembakan oleh aparat kepolisian terhadap petani yang sedang mengikuti rapat umum di Tanak Awu, Lombok Tengah, menuai banyak protes. Berbagai organisasi petani dari luar negeri ikut mengecam tindakan kekerasan tersebut. Dena Hoff dari Family Farmers Coalition Amerika Serikat yang menjadi salah satu peserta rapat umum mengecam tindakan aparat. Dia tak habis pikir dengan tingkah aparat kepolisian. Menurutnya para peserta rapat umum tersebut datang dari banyak negara untuk melakukan pertemuan dengan maksud baik. Tetapi aparat kepolisan membubarkannya secara paksa dan dengan caracara kekerasan. "Karena itu kami sangat marah mengingat aparat keamanan bertindak dengan alasan tidak masuk akal. Pada dasarnya peran polisi adalah untuk melindungi semua warga negara, namun kenyataannya telah melakukan tindakan kekerasan," ujarnya. Aktivis Food Research Action Net Work (FIAN), Sofia Monsalve menilai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian merupakan pelanggaran HAM, dan ini berarti tidak ada kebebasan berkumpul di Indonesia. Aktivis dari Jerman ini mengatakan, tidak ada hak bagi siapapun untuk menggusur seseorang dari tanah mereka sendiri. Karena itu kami mendukung pemerintah termasuk Komnas HAM untuk menginvestigasi kasus kekerasan tersebut. Lebih jauh lagi, Sofia mengatakan akan melaporkan tindakan kekerasan di Tanak Awu ke badan-badan PBB. Hal ini akan ditempuhnya agar aparat penegak hukum di Indonesia memperhatikan hakhak sipil warganya, khususnya kaum tani. Kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan di Tanak Awu, merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Pada kesempatan lain, anggota La Via Campesina (gerakan petani internasioal) di Italia sudah melayangkan surat protes kepada kedutaan Indonesia di Roma. Surat itu menyatakan keprihatinan mendalam terhadap tragedi di Tanak Awu dan meminta pemerintah Indonesia untuk mengusut secara tuntas kekerasa yang dilakukan aparatnya terhadap petani. Dari dalam negeri, protes keras datang dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat di Jakarta. Aliansi Gerakan Reforma Agraria mengutuk tindakan represif aparat. Pihaknya menuntut pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk menindak tegas aparat yang melakukan kekerasan terhadap petani. Dukungan lain datang dari Walhi, Institut for Global Justice, PBHI, dan berbagai organisasi masyarakat lainnya. Tak hanya itu, Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR RI menyatakan kutukan terhadap kasus tersebut. Mereka meminta Kapolri Jenderal Sutanto untuk mencopot Kapolres Lombok Tengah. Cecep Risnandar

Petani Protes Polda NTBSebanyak 200 petani dari Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) dan 15 orang perwakilan petani dari 11 negara yang tergabung dalam La Via Campesina mendatangi Polda NTB, Minggu (18/9), untuk memprotes kekerasan yang dilakukan polisi di Tanak Awu, L o m b o k Te n g a h . M e r e k a memasuki halaman kantor Polda NTB dan menggelar aksi mengkritik tindakan polisi yang tidak menghormati hak asasi manusia dengan menembaki petani. Massa yang datang secara berombongan dengan menggunakan 3 truk dan 3 minibus seyogyanya akan menghadiri rapat umum yang dibubarkan aparat di Tanak Awu. Namun ditengah perjalanan menuju lokasi, mereka dihadang kepolisian. Dengan alasan, untuk menghindari konflik horizontal antar waga masyarakat. Kemudian diketahui alasan tersebut hanya akal-akalan belaka, karena tidak ada konflik horizontal antar warga. Justru telah terjadi penembakan para petani di lokasi rapat umum oleh aparat kepolisian. Massa yang dihadang di daerah Praya, akhirnya bertandang ke Polda NTB dan melakukan aksi di sana.#

EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005

5

utama

pembaruan taniPembaruan Tani

Akibat Insiden Tanak Awu Kapolres Lombok Tengah DicopotKepala Polres Lombok Tengah Ajun Komisaris Besar I Dewa Putu Maningka Jaya dicopot. Pencopotan ini diduga berkaitan dengan insiden bentrok berdarah antara petani dan polisi di lahan bakal bandara internasional Tanak Awu, Lombok Tengah, 18 September silam. Surat pencopotan dikirim melalui telegram dari Kepala Polri ke Polda NTB pada Selasa (11/10). Telegram ini baru disebarkan kepada pers, Jumat (14/10). Isinya, antara lain penggantian Dewa Maningka Jaya oleh Ajun Komisaris Besar Ruslan. Serah terima jabatan akan dilakukan pada Senin (17/10) di Praya, Lombok Tengah, seperti ditulis Tempo Interaktif. Dugaan pencopotan Maningka yang dikaitkaitkan dengan kasus kekerasan oleh aparat kepolisan di Tanak Awu di sanggah Juru bicara Polda NTB Ajun Komisaris Besar Mohammad Basri. Menurutnya mutasi Kepala Polres Lombok Tengah itu sudah kebijakan Kepala Polri. Pergantian jabatan merupakan hal biasa dilingkungan kepolisian. Mengenai kaitannya dengan kasus Tanak Awu, ia hanya berkomentar, "Ya, biarkan saja dari mana orang menilainya." Sebelumnya banyak pihak yang meminta Kapolri untuk mencopot Kapolres Lombok Tengah. Maningka dianggap berperan dalam aksi pembubaran paksa yang disertai kekerasan terhadap rapat umum petani di Tanak Awu. Senin (19/9), Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR RI. FKB mendesak Kapolri Jenderal Sutanto menindak tegas aparat kepolisian yang terlibat peristiwa tersebut. Bahkan, FKB minta agar Kapolri segera mencopot Kapolres Lombok Tengah. "Karena itu, kami mendesak Kapolri mencopot Kapolres Lombok Tengah," ujar Ketua Kelompok Komisi IV FKB, Mufid Busyairi usai menerima perwakilan petani NTB di gedung DPR. Dalam konferensi Persnya, FKB yang diwakili Mufid Busyairi dan didampingi Arifin Junaidi, Ishartanto, Hasyim Karim, dan Ahmad Rawi menganggap tindakan polisi membubarkan rapat umum petani itu sangat berlebihan. Sebab, para petani menggelar kegiatan dengan damai dan tidak melanggar UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kegiatan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. "Kegiatan semacam itu cukup pemberitahuan saja, tidak perlu izin polisi," tandasnya. Cecep Rsinandar

Komnas HAM Usut Kasus Tanak AwuKomisi Nasional Hak Asasi Manusia usut peristiwa bentrokan berdarah antara petani dengan polisi di Tanak Awu, Lombok Tengah, Rabu (6/10). Komnas HAM mengirim dua tim ke lokasi yang terdiri dari Sub Komisi Hak Sipil dan Politik, dan Sub Komisi Ekonomi dan Sosial. Kedua tim tersebut bertandang ke Nusa Tenggara Barat pada tanggal 6 September lalu. Menurut Staf Fungsional Sub Komisi Sipil dan Politik Komnas HAM, Teguh P Nugroho, kedua tim tersebut akan meneliti dua hal yang berbeda. Tim Sipil dan Politik akan meneliti prosedur yang dilakukan aparat kepolisian dalam membubarkan rapat umum petani yang berakhir dengan tindak penembakan. Sedangkan tim Ekonomi dan Sosial akan menangani kasus pembebasan tanah milik petani Tanak Awu yang menjadi bakal lokasi bandara internasional dimana bentrokan terjadi. Pembebasan tersebut dilakukan PT Angkasa Pura I pada tahun 1994-1996. Selain itu, Komnas HAM meminta Mabes Polri untuk menindak tegas aparatnya yang telah melakukan tindak kekerasan dalam insiden berdarah 18 September lalu. Menurut Teguh, pihaknya telah menyurati Mabes Polri, namun sampai saat ini belum mendapatkan jawabannya. Sedangkan pengacara dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia mengatakan insiden di Tanak Awu berpotensi untuk diajukan sebagai pelanggaran HAM berat. Pihaknya bersama Federasi Serikat Petani Indonesia akan mengajukan kasus tersebut ke komisi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa untuk di tindak lanjuti. Dalam kasus tersebut, pemerintah dalam hal ini aparat kepolisian telah bertindak semena-mena dan brutal dalam membubarkan rapat umum. Padahal menurut Undang-undang yang berlaku, kegiatan seperti itu tidak memerlukan ijin dari pemerintah. Cukup dengan pemberitahuan saja, ujar Gunawan dari PBHI. Undang-undang di Indonesia menjamin kemerdekaan mengemukakan pendapat kepada seluruh penduduknya. Polisi hanya bertugas untuk mengamankan acara bukan malah membuat rusuh dengan membubarkannya secara paksa. Gunawan yakin polisi telah melakukan pelanggaran hukum, HAM dan telah mengebiri hak masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya di muka umum. Cecep Risnandar

Massa Petani Dialog Dengan DPRD NTBSehari setelah kejadian berdarah Tanak Awuk, puluhan petani anggota Serikat Petani Busa Tenggara Barat menemui anggota DPRD NTB, Kamis (22/9). Mereka datang dengan menggunakan dua mobil bus. Massa petani diterima oleh Wakil Ketua Komisi A DPRD NTB, H. L. Moh Syamsir, S.H. dan Johan Rosihan dari Fraksi Keadilan Sejahtera. Selain anggota Serta NTB dari Tanak Awu, hadir juga dalam pertemuan tersebut para petani dari berbagai daerah yang tergabung dalam Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Para petani dari berbagai provinsi yang seyogyanya menghadiri rapat umum yang berkhir dengan tragedi berdarah menyatakan solidaritasnya kepada petani Tanak Awu. Para petani meminta DPRD NTB segera mengambil sikap untuk menyelesaikan masalah Tanak Awu dan segera membentuk tim pencari fakta dari Komnas HAM untuk mengusut kekerasan aparat keamanan terhadap petani anggota Serta NTB. Pada kesempatan itu, Sekjen Serta NTB Wahidjan mengatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap petani di Tanak Awuk merupakan bukti cara-cara lama, seperti intimidasi, kekerasan dan militerisme telah digunakan p e n g u a s a u n t u k menyelesaikan masalahmasalah yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cara-cara dialog dan musyawarah. Tidak ada alasan bagi k e p o l i s i a n u n t u k membubarkan rapat umum tersebut, karena semua perizinan sudah kita urus dari jauh hari, alasan keamanan yang tidak kondusif adalah alasan yang tidak masuk akal, karena keadaan dilokasi pada saat itu sangat kondusif dimana massa datang dengan tertib untuk menghadiri kegiatan rapat umum, ujar Wahidjan. Serta NTB mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan kepolisian terhadap petani. Serta NTB juga meminta Kapolda NTB dan Kapolres Loteng menjadi pihak paling bertanggungjawab dan dicopot dari jabatannya. Dalam kesempatan tersebut juga beberapa orang petani Desa Tanak Awu yang hadir meminta jaminan keamanan karena pasca tragedi berdarah di Tanak Awu teror maupun intimidasi terus berjalan. Intimidasi dan isu penangkapan terhadap para tokoh petani terus dihembuskan, yang menyebabkan warga ketakutan. Anggota DPRD sangat menyesalkan tindakan kekerasan tersebut dan berjanji segera menyikapi masalah tersebut dan membawanya kedalam rapat dewan dengan membentuk panitia khusus kasus Tanak Awu. Tita Zen

Korban Tindak Kekerasan di Tanak Awu, Lombok TengahKorban Terkena Tembakan 1. Jupri, 15 tahun dari Tanak Awu 2. Suratman, 19 tahun dari TanakAwu 3. Marzun, 32 tahun dari Mawun 4. Jamaludin, 35 tahun dari tanak Awu 5. Aq. Lisna, 35 tahun dari TanakAwu 6. L. Maliki, 24 tahun dari TanakAwu 7. Hasbullah, TanakAwu 8. Dasuh, TanakAwu 9. Abd. Wahab, 30 tahun dari TanakAwu 10. Aq. Bilin, 28 tahun dari TanakAwu 11. Jumarsah, 27 tahun dari TanakAwu 12. Muhammad Yakub, 22, dari Mawun 13. Sembalun A Reli, Tanak Awu 14. Tarmuzi, 23 tahun dari Batujai 15. H. Mursali, 40 tahun dari TanakAwu 16. L. Topan, 12 tahun dari TanakAwu 17. Nurman,TanakAwu 18. Kurniawan, 18 tahun dari TanakAwu 19. Mq. Novi, 27 tahun dari TanakAwu 20. Aq. Ida, 32 tahun dari TanakAwu 21. Hamdan, TanakAwu 22. A'an, 25 tahun TanakAwu 23. H. Hilmi, 40 tahun dari Penujak 24. Mq. Fitri, 40 tahun dari Rebile 25. Hasyim, TanakAwu 26. Hamdan, 27 tahun dari Rebile 27. Samsul Hadi, Mawun Korban terkena pukulan aparat 1. Amrullah, Rebile 2. Abd. Wahab, 20 Tahun dari Rebile 3. Fitrian, TanakAwu 4. Aq. Us, Selanglet Penujak 5. Abdul Kadir Jaelani, 19, dari Selanglet Penujak 6. Ahyar, 17 tahun dari TanakAwu Petani yang ditangkap saat kejadian 1. Sofiah (inaq Mulyadi ) 2. Bq. Saodah/Iq Nelly 45 Tahun 3. H. Lalu Iskandar 4. Azhar Daftar Barang yang dibawa OLRES Lombok Tengah: 1. Sepeda Motor 2. Sound System 3.Bendera, Umbul-umbul dan Atribut Organisasi Ket: Alat buktinya ditemukan 97 buti peluru berupa slongsong, proyektil dan peluru utuh)

Sumber: Serikat Petani NTB (Serta NTB) Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)

6

EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005

utama

pembaruan tani

Kronologis Pembubaran Rapat Umum Petani Oleh Aparat Kepolisian Dengan Cara-cara Kekerasan yang Mengakibatkan jatuh korban, di Tanak Awu, Lombok TengahNusa Tenggara Barat (Tragedi Kemanusiaan Tanak Awu, Minggu 18 September 2005)Latar Belakang Setiap tahunnya di bulan September, Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) beserta anggota-anggotanya yakni serikat-serikat tani di tiap wilayah propinsi selalu mengadakan peringatan hari tani 24 September, (SERTA NTB adalah salah satu anggota FSPI). Adapun kegiatan peringatan hari tani ini ada yang sifatnya berskala nasional maupun regional/wilayah. Rangkaian kegiatan hari tani yang berskala nasional selalu diputuskan dalam rapat organisasi FSPI di tingkat nasional (Rapat Pleno). Rangkaian kegiatan hari tani 24 September 2005 direkomendasikan oleh rapat pleno FSPI di Lampung pada bulan Maret 2005, kemudian dimatangkan pada rapat presidium FSPI di Jakarta pada bulan Agustus 2005 , dan memutuskan berlaku sebagai tuan rumah kegiatan hari tani nasional 2005 adalah Serikat Petani Nusa Tenggara Barat (SERTA - NTB) dengan tema kegiatan Mewujudkan Pertanian Berkelanjutan yang Berbasis Keluarga Melalui Pelaksanaan UUPA 1960 , waktu pelaksanaannya dimulai tanggal 13 sampai 21 September 2005. Secara umum tujuan dari peringatan hari tani ini adalah mendalami aspek pembaruan agraria dan tukar pengalaman dari berbagai petani di daerah lain ataupun petani yang berasal dari negara lain guna mewujudkan pertanian berkelanjutan di Indonesia menuju masyarakat petani yang adil dan sejahtera. Rangkaian kegiatan hari tani ke-45 ini meliputi : Workshop mengenai pertanian berkelanjutan, perdagangan dan pangan, Diskusi penelitian pedesaan dari LRAN, Rapat Umum Petani di Desa Tanak Awu dan Acara kunjungan lapangan di Sembalun, Lombok Timur dan Kute, serta Simposium Pengalaman dari Negara lain tentang Pembaruan Agraria Penentuan lokasi kegiatan ini didasarkan pada hasil rapat pleno FSPI di Lampung yang melihat bahwa perlu dilakukan secara bergiliran setiap tahunnya di tiap-tiap serikat. Dan di Nusa Tenggara Barat inilah dirasakan kondisinya tepat, karena NTB merupakan basis wilayah dominasi petanian dan dalam beberapa bulan kemarin terjadi busung lapar. Maka dari itu diharapkan dengan kegiatan berbagi pengalaman petani ini dapat menjadi pelajaran bagi petani-petani lokal di Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk berorganisasi dan soal-soal pertanian berkelanjutan serta kedaulatan pangan. Kemudian panitia lokal dari SERTA - NTB menentukan lokasi kegiatan hari tani di lapangan desa Tanak Awu Kabupaten Lombok Tengah, dengan pertimbangan letak geografis yang sangat strategis mudah dijangkau transportasi dan di desa tanak awu ini terdapat anggota SERTA -NTB yakni OTL Lauq Kawat yang secara organisasi dianggap cukup mampu untuk melaksanakan kegiatan besar berskala nasional dengan melibatkan undangan dari berbagai propinsi di Indonesia, juga undangan dari berbagai negara yang merupakan anggota La Via Campesina. Proses Pemberitahuan Kegiatan ke Mabes POLRI Karena Kegiatan ini berskala nasional dan terdapat undangan dari berbagai negara maka surat pemberitahuan diberikan ke Mabes POLRI. Sesuai agenda FSPI, pada Kamis sore tanggal 8 September 2005, diantarkan surat pemberitahuan kegiatan dari FSPI yang bernomor 043 /K/DKK/09/2005 tertanggal 8 September 2005 ditujukan kepada Kapolri Cq Badan Intelijen Keamanan. Surat ditanda tangani oleh Achmad Ya'kub sebagai ketua panitia nasional. Surat diantar oleh salah satu staff FSPI. Kemudian dinformasikan dari Mabes POLRI bahwa surat pengantar ada beberapa kekurangan mengenai jenis kegiatan, peserta, waktu dan tempat. Lalu diperbaiki oleh staff di FSPI yang kemudian di Fax ke Mabes POLRI. Perbaikan ini esok harinya Jum'at 9 September 2005, ketika di check langsung oleh Achmad Ya'kub ada beberapa kekeliruan, pertama KOP surat FSPI yang digunakan salah, kop surat tersebut merupakan kop surat yang lama. Kedua, daftar acara yang dituliskan kurang lengkap. Surat tersebut sudah terlanjur di FAX ke mabes POLRI. Kemudian dari 2 surat tersebut akhirnya diperbaiki langsung oleh Ketua Panitia Nasional dan kembali di FAX ke Mabes POLRI pada tanggal 9 september 2005 dengan sebelum dan sesudah kirim FAX menelepon terlebih dahulu untuk konfirmasi atas perbaikan tersebut, telepon diterima oleh asisten Ibu Nani, dikatakan beliau sedang sibuk. Nomer surat yang dikirimkan dari awal hingga perbaikan akhir adalah tetap sama yaitu No. 043 /K/DKK/09/2005. Hanya tanggalnya kemudian berubah menjadi tertanggal 9 September 2005. Kemudian setelah shollat Jum'at, Achmad Ya'kub sekitar jam 4 sore mengantarkan surat aslinya yang diterima oleh Ibu Nani (Staff di Mabes POLRI). Hari Senin 12 September 2005. FSPI menelepon ke Mabes POLRI apakah surat tersebut sudah jadi, dijawab sudah. Kemudian jam 10.00 WIB, Achmad Ya'kub sudah berada di Mabes POLRI untuk mengambil surat izin yang sudah disetujui. Namun setelah dibaca seksama ternyata surat izin tersebut tidak lengkap memberikan berbagai jenis kegiatan. Ya'kub Kemudian minta diperbaiki. Setelah itu dikatakan bahwa Bapak yang menanda tangani sudah istirahat dan kemungkinan akan datang sore hari, Ya'kub disarankan kembali esok hari. Hari Selasa 13 September 2005, Sdr. Syahroni dan sdri. Sri Wahyuni mendatangi Mabes POLRI mengambil surat izin tersebut sekitar jam 8.00-9.00 WIB. Surat tersebut kemudian diberikan langsung oleh Syahroni kepada A. Ya'kub dibandara Soekarno Hatta menjelang Ya'kub menuju ke Mataram. Kemudian surat yang ditujukan kepada Panitia dan Kapolda NTB dibawa langsung ke Mataram. Selasa, 13 Sept 2005 sore jam 15.00-an WITA sudah di Mataram. Ya'kub lalu berkoordinasi dengan panitia di NTB yaitu Sdr. Herman mengenai proses perizinan tersebut. Kemudian diputuskan segera membuat surat pengantar kepada instansi pemerintah dan kepolisian setempat. Rabu Pagi 14 september 2005, surat pengantar bahwa mengenai informasi kegiatan di tanda tangani oleh Herman selaku panitia Lokal dan Achmad Ya'kub yang mengetahui selaku panitia nasional. Surat-surat tersebut ditujukan kepada KAPOLDA NTB, KAPOLRES LOMBOK TENGAH, KAPOLSEK (Polsek Praya Barat dan Polsek Pujut), dan instansi pemerintah BUPATI, KECAMATAN (Camat Praya Barat dan Camat Pujut), KEPALA DESA (Kades Tanak Awu,Kades Penujak, dan Kades Ketare). Surat tersebut diantarkan oleh Sdr. Memed (Ahmad S.H) dan Zamaturrahili, S.E, dalam waktu antara tanggal 14 15 September 2005. Surat surat tersebut semuanya dilampirkan surat izin dari Mabes POLRI yang bernomor, No. Pol. : SI/YANMIN/785/IX/2005/BAINTELKAM bertanggal 12 september 2005 yang ditanda tangani oleh A.n Kepala Badan Intelijen Keamanan Kabid Yanmin, Drs. J. A. Nardji, MBA. Berdasarkan keluarnya surat izin dari Mabes POLRI tersebut, panitia pun segera melakukan pematangan dan persiapan-persiapan teknis pelaksanaan kegiatan seperti: memastikan kesediaan para undangan yang hadir baik yang berasal dari propinsi lain maupun peserta internasional (Brazil, Republik Dominika, Amerika Serikat, Philipina, Nicaragua, Swedia, Mexico, Jerman, Thailand, Korea Selatan dll) Proses Pencabutan Surat Izin Pada sabtu 17 September 2005, pada jam 18.40 WITA Ketua Panitia Sdr. Achmad Ya'kub ditelepon dari Mabes POLRI yang mengaku bernama Bpk. Slamet. Memberitahukan bahwa surat izin kegiatan akan dicabut. Kemudian terjadi perdebatan. Sdr. Ya'kub kemudian memberikan telepon kepada penitia lokal (Sdr. Herman) agar Bpk. Slamet berbicara langsung ketidak mungkinan acara tersebut untuk dibatalkan mengingat banyak pertimbangan teknis dan lain sebagainya Pada jam 11.00 malam, Ya'kub menerima telepon dari penjaga Sekretariat FSPI di Jakarta yang mengatakan bahwa ada 2 orang dari Mabes POLRI pada Jam 20.00 WIB (artinya 21.00 WITA) malam mengirim surat yang ditujukan kepada Ya'kub. Surat tersebut ternyata surat pencabutan izin. Tidak hanya rapat umum, namun semua kegiatan seperti Simposium, dan Kunjungan ke Lapangan. Artinya semua kegiatan dilarang. No Surat pencabutan Nomor: B/425/IX/2005/Baintelkam, kalsifikasi: biasa. Ditanda tangani oleh A.n Kepala Badan Intelijen Keamanan Kabid Yanmin, Drs. J. A. Nardji, MBA. Pencabutan ini berlangsung hanya sekitar 12 jam, sebelum acara Rapat UMUM dimulai. Padahal berbagai persiapan telah selesai. Terutama undangan dari anggota FSPI dari berbagai propinsi di sumatera, jawa, NTT, sulawesi sudah tiba. Peserta Luar Negeri juga telah tiba. Malam panitia rapat untuk merespon hal ini. Maka atas kesadaran panitia pelaksana serta menghindari hal-hal yang tidak diinginkan beberapa wilayah yang dapat dihubungi via telepon disarankan agar membatalkan datang ke lokasi rapat umum. Tentunya tidak semua peserta dapat dihubungi. Kronologis Bentrokan antara Petani Peserta Rapat Umum dengan Aparat Kepolisian Minggu, 18 September 2005 pukul 09.00 WITA, massa petani dari Tanak Awu telah berkumpul di lokasi Rapat Umum di Desa Tanak Awu. Sekitar 1000 petani dari Tanak Awu, Mawun, Grupuk, Penunjak, Rebile, Batujaik, Sumbawa, dan Sembalun, bersiap-siap menyambut kedatangan utusan petani anggota FSPI dari berbagai propinsi, utusan Pengurus La Via Campesina (Gerakan Petani internasional), mahasiswa dari Mataram dan Jakarta, serta utusan masyarakat adat. Beberapa saat kemudian 3 kompi satuan kepolisian (Brimobda) mendatangi lokasi. Polisi meminta masyarakat membubarkan acara yang akan digelar. Alasannya, ijin yang sebelumnya diberikan MABES POLRI kepada FSPI telah dicabut beberapa jam sebelumnya (Sabtu, 17 September pukul 23.00). Massa menolak karena pencabutan ijin dilakukan secara sepihak dan terburu-buru (hanya beberapa jam sebelum acara), padahal para petani sudah mempersiapkan acara jauh-jauh hari. Pihak kepolisian tetap mendesak untuk membubarkan acara. Kapolres Lombok Tengah sempat bernegoisasi dengan Herman (salah seorang warga). Dalam negosiasi itu, Herman minta waktu kepada pihak kepolisian untuk menunggu rekan-rekan peserta lainnya yang telah berkumpul di Mataram. Kapolres memberikan waktu 20 menit terhadap permintaan warga. Setelah 20 menit berlalu, Kapolres menambah pasukannya dan memberikan abaaba kepada pasukannya untuk segera membubarkan diri. Sepuluh menit kemudian, datang pasukan lebih banyak lagi disertai satu buah Panser dan dua mobil pemadam kebakaran. Jumlah aparat polisi sekitar 700 orang, terdiri dari pasukan Brimob, Dalmas, dan Huru-hara. Setelah mendapatkan bantuan pasukan, aparat merangsek ke kerumunan massa dan melakukan beberapakali tembakan peringatan. Massa tetap bertahan di lokasi dan tidak mau membubarkan diri. Aparat kepolisian semakin agresif, tenda-tenda dan panggung yang didirikan warga dirobohkan. Tidak cukup dengan tembakan peringatan, polisi menembak ke arah kerumunan massa. Massa mengadakan perlawanan lagi, melempari polisi dengan tanah dan batu. Akibat dari bentrokan tersebut, dari pihak warga jatuh korban sebanyak 37 orang diantaranya 2 orang anak-anak berusia dibawah 17 tahun. Bahkan ada seorang ibu yang diseret paksa oleh dua orang polisi (ada di tayangan televisi). Korban dilarikan ke Puskesmas Sengkol, Puskesmas Penunjak, RSUD Praya dan RSU Mataram (namanama korban terlampir), anehnya kesemua korban yang terkena tembakan tidak diperbolehkan melihat peluru yang ada, selanjutnya massa mundur ke pemukiman, namun polisi masih tetap mengejar. Hal ini dapat diketahui dimana salah seorang korban bernama Maliki terkena tembakan di tangan kananya di perkampungan. Massa dari Mataram datang berombongan dengan menggunakan satu Toyota Kijang, 3 minibus, 4 truk dan puluhan sepeda motor. Di pertigaan Kamulah Kel. Panji Sari Kec. Praya (Lombok Tengah) masa dihentikan oleh aparat kepolisian dan massa dilarang ke lokasi Tanak Awu dengan alasan khawatir terjadi konflik horizontal sesama masyarakat sipil. Belakangan diketahui, tidak ada kelompok masyarakat sipil lainnya yang menghadang perjalanan rombongan. Di Praya terjadi negoisasi yang alot, akhirnya rombongan kembali dan menuju ke kantor POLDA NTB. Sesampai di POLDA pukul 11.45 WITA, massa memasuki halaman dalam gedung POLDA NTB menyampaikan tuntutan. Massa menuntut kepolisian mempertanggungjawabkan aksi kekerasan dan menarik mundur pasukannya dari Tanak Awu. Selain itu massa menuntut untuk dikawal ke Tanak Awu oleh POLDA NTB untuk mengunjungi petani yang menjadi korban tindak kekerasan.

Sumber: Federasi Serikat Petani Indonesia (2005)

EDISI 21 - TAHUN IV. SEPTEMBER-OKTOBER 2005

7

utama

pembaruan tani

GALERI FOTO TANAK AWU