Top Banner
E-Jurnal Agroindustri Indonesia Agustus 2012 Available online at : http://tin.fateta.ipb.ac.id/journal/e-jaii ISSN: 2252 - 3324 PENDUGAAN DAMPAK PENINGKATAN EMISI CO 2 ANTROPOGENIK DAN PENURUNAN LUAS LAHAN HIJAU TERHADAP PENINGKATAN NILAI TEMPERATURE HUMIDITY INDEX KOTA BOGOR DENGAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK ESTIMATION OF TEMPERATURE HUMIDITY INDEX VALUE BASED ON CO 2 ANTROPOGHENIC EMISSION AND EXISTING GREEN OPEN SPACE DEVELOPMENT ON BOGOR CITY BY DYNAMIC SYSTEM APPROACH Tajuddin Bantacut, Muhammad Iqbal Departmen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Kotak Pos 220, Bogor 16680, Indonesia. Email: [email protected] ABSTRACT Urban development in Bogor City has been responsible for the urban heat island effect and increased the air temperature due to increased of antropoghenic emission from fossil energy combustion and municipal solid waste treatment. On the other hand, the increasing of built ups and declining existing green open space also lead the increasing of the air temperature due the green space role as urban climate decreasing quality mitigation tool. The purpose of this study is to estimate the minimum needs of green open space by the CO 2 sink gas capability of the green space, to analize the best policy to support green growth based development in Bogor City, and to estimate CO 2 emission and THI value in the future by dynamic system approach. The result of this research, especially the study of the conditions of urban heat island effect, indicated that Bogor city will experience the urban heat island effect where the THI value is higher than 27 0 C. at 2031. Green scenario by the simulation has been succed to hold the urban heat island effect until 2048. Moderate scenario shows that the urban heat island effect will be experienced on 2039. On the other hand, pessimistic scenario will make Bogor city experience urban heat island effect on 2028. Keywords :built up, antropoghenic emission, green open space, dynamic system, urban heat island ABSTRAK Pembangunan perkotaan di Kota Bogor telah bertanggung jawab atas terjadinya efek pulau bahang kota dan meningkatkan suhu udara diakibatkan peningkatan emisi antropogenik dari pembakaran sumber bahan bakar fosil dan penanganan sampah perkotaan. Peningkatan lahan terbangun dan penurunan lahan terbuka hijau di lain sisi pun ikut berperan dalam peningkatan suhu udara kembali kepada peranan lahan terbuka hijau sebagai bentuk mitigasi penurunan kualitas iklim kota. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memprediksi kebutuhan minimum dari lahan terbuka hijau berdasarkan kemampuan penyerapan CO 2 dari lahan terbuka hijau, menganalisa kebijakan terbaik untuk mendukung pembangunan Kota Bogor yang berazaskan “green growth”, dan mengestimasi emisi CO 2 dan nilai THI di masa yang akan datang dengan pendekatan sistem dinamik. Hasil dari penelitian khususnya pada efek yang disebabkan oleh pulau bahang kota mengindikasikan bahwa Kota Bogor akan merasakan efek dari pulau bahang kota
15
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: e-jurnal iqbal.docx

E-Jurnal Agroindustri Indonesia Agustus 2012 Available online at : http://tin.fateta.ipb.ac.id/journal/e-jaii

ISSN: 2252 - 3324

PENDUGAAN DAMPAK PENINGKATAN EMISI CO2 ANTROPOGENIK DAN PENURUNAN LUAS LAHAN HIJAU TERHADAP PENINGKATAN

NILAI TEMPERATURE HUMIDITY INDEX KOTA BOGOR DENGAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK

ESTIMATION OF TEMPERATURE HUMIDITY INDEX VALUE BASED ON -CO2 ANTROPOGHENIC EMISSION AND EXISTING GREEN OPEN SPACE

DEVELOPMENT ON BOGOR CITY BY DYNAMIC SYSTEM APPROACH

Tajuddin Bantacut, Muhammad Iqbal

Departmen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor,Kampus IPB Darmaga, Kotak Pos 220, Bogor 16680, Indonesia.

Email: [email protected]

ABSTRACT

Urban development in Bogor City has been responsible for the urban heat island effect and increased the air temperature due to increased of antropoghenic emission from fossil energy combustion and municipal solid waste treatment. On the other hand, the increasing of built ups and declining existing green open space also lead the increasing of the air temperature due the green space role as urban climate decreasing quality mitigation tool. The purpose of this study is to estimate the minimum needs of green open space by the CO 2

sink gas capability of the green space, to analize the best policy to support green growth based development in Bogor City, and to estimate CO2 emission and THI value in the future by dynamic system approach. The result of this research, especially the study of the conditions of urban heat island effect, indicated that Bogor city will experience the urban heat island effect where the THI value is higher than 27 0C. at 2031. Green scenario by the simulation has been succed to hold the urban heat island effect until 2048. Moderate scenario shows that the urban heat island effect will be experienced on 2039. On the other hand, pessimistic scenario will make Bogor city experience urban heat island effect on 2028.

Keywords :built up, antropoghenic emission, green open space, dynamic system, urban heat island

ABSTRAK

Pembangunan perkotaan di Kota Bogor telah bertanggung jawab atas terjadinya efek pulau bahang kota dan meningkatkan suhu udara diakibatkan peningkatan emisi antropogenik dari pembakaran sumber bahan bakar fosil dan penanganan sampah perkotaan. Peningkatan lahan terbangun dan penurunan lahan terbuka hijau di lain sisi pun ikut berperan dalam peningkatan suhu udara kembali kepada peranan lahan terbuka hijau sebagai bentuk mitigasi penurunan kualitas iklim kota. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memprediksi kebutuhan minimum dari lahan terbuka hijau berdasarkan kemampuan penyerapan CO2 dari lahan terbuka hijau, menganalisa kebijakan terbaik untuk mendukung pembangunan Kota Bogor yang berazaskan “green growth”, dan mengestimasi emisi CO2 dan nilai THI di masa yang akan datang dengan pendekatan sistem dinamik. Hasil dari penelitian khususnya pada efek yang disebabkan oleh pulau bahang kota mengindikasikan bahwa Kota Bogor akan merasakan efek dari pulau bahang kota dimana diindikasikan dengan nilai THI yang lebih besar dari 270C pada tahun 2031. Hasil simulasi skenario hijau menunjukkan bahwa efek pulau bahang kota dapat ditekan hingga tahun 2048. Skenario moderat menunjukkan bahwa efek pulau bahang kota akan dialami pada tahun 2039. Sedangkan pada skenario pesimis, efek pulau bahang kota akan terjadi pada tahun 2028.

Kata kunci: lahan terbangun, emisi antropogenik, lahan terbuka hijau, sistem dinamik, pulau bahang kota

PENDAHULUAN

Udara merupakan faktor penting dalam kehidupan dimana peningkatan pembangunan fisik kota dan kegiatan industri telah mempengaruhi kualitas udara. Perubahan kualitas udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran udara, yaitu masuknya zat pencemar

(berbentuk gas dan partikel kecil/aerosol) ke dalam udara. Masuknya zat pencemar kedalam udara dapat disebabkan proses alamiah, misalnya asap kebakaran hutan, emisi gunung berapi, debu meteorit dan pancaran garam dari laut. Pencemaran udara pun dapat disebabkan oleh faktor antropogenik (kegiatan manusia)

Page 2: e-jurnal iqbal.docx

2 T. BANTACUT ET. AL E-JAII

seperti aktivitas transportasi, industri, dan pembuangan sampah, baik akibat proses dekomposisi ataupun pembakaran serta kegiatan rumah tangga (Soedomo, 1999).

Pencemar utama (major air pollutants) salah satunya adalah golongan oksidakarbon (CO, CO2). Golongan oksida karbon tersebut dilepaskan dari aktivitas pembakaran bahan bakar fosil dimana zat tersebut memberikan kontribusi terbesar pada terbentuknya efek rumah kaca yang disebabkan oleh CO2, yaitu sebanyak 83% dari total emisi yang menyebabkan efek rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfir. Pembakaran minyak bumi, batubara, dan gas bumi berkontribusi atas 18.35 miliar ton CO2 ke atmosfir setiap tahunnya (Soedomo, 1999). Daerah perkotaan tidak dipungkiri menjadi pusat kegiatan manusia dimana tak ayal menjadi penyumbang pencemaran udara utama. Beberapa jenis sumber pencemaran dapat ditemui dalam daerah perkotaan, misalnya transportasi (kendaraan bermotor), industri, sumber pencemaran domestik dan sumber diam serta bergerak lainnya.

Salah satu bentuk pengendalian lingkungan untuk menanggulangi dan meminimalisir dampak pencemaran udara kota adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ruang terbuka hijau kota merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Kawasan hijau kota terdiri atas pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga, kawasan hijau pekarangan. Ruang terbuka hijau diklasifikasi berdasarkan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya (Fandeli, 2004).

Trisulowati (2002) menunjukkan keterkaitan antara peningkatan suhu kota dengan penutupan lahan pada suatu kota. Peningkatan suhu kota diakibatkan fenomena Urban Heat Island banyak dipengaruhi oleh karakteristik penutupan lahan pada suatu kota. Semakin besar luas RTH atau semakin kecil luas lahan terbangun akan mempengaruhi penurunan suhu rata-rata di kota tersebut, berlaku kebalikannya, semakin kecil luas RTH atau semakin besar luas lahan terbangun akan mempengaruhi peningkatan suhu kota.

Kota Bogor merupakan salah satu kota di Indonesia yang mengalami pembangunan kota yang cukup pesat. Jumlah penduduk yang terus bertambah setiap tahunnya mengakibatkan aktivitas pembangunan di Kota Bogor semakin meningkat. Data BPS Kota Bogor (2007) menunjukkan jumlah penduduk di Kota Bogor mengalami peningkatan selama periode tahun 1995-2006, yaitu dari 647.912 jiwa pada tahun 1995 meningkat menjadi 879.138 jiwa pada tahun 2006 atau mengalami peningkatan sebesar 35.7 %. Salah satu efek dari degradasi iklim Kota Bogor adalah terjadinya peningkatan suhu Kota Bogor. Data BMKG Kota Bogor menunjukkan bahwa terjadi peningkatan suhu di wilayah Kota Bogor selama periode tahun 2001-2005 dimana pada tahun 2001 suhu yang tercatat sebesar 26.730C meningkat menjadi 27.040C. Selain itu, data

BMKG mencatat terjadinya kenaikan suhu pada periode April – Mei 2011 dari 320C menjadi 340C dimana seharusnya peningkatan suhu tersebut terjadi pada bulan Agustus. Peningkatan suhu perkotaan akan mempengaruhi tingkat kenyamanan penduduk suatu perkotaan. Salah satu tool untuk mengkaji tingkat kenyamanan hidup di perkotaan berdasarkan nilai suhu dan kelembaban udara adalah dengan menggunakan Temperature Humidity Index.

PENGEMBANGAN MODEL PERKIRAAN EMISI CO2 DAN RUANG TERBUKA HIJAU

KOTA BOGOR

Kota Bogor merupakan Kota pendukung Ibukota Jakarta. Secara geografis letak Kota Bogor terletak antara 106048’ Bujur Timur dan 6030’ Lintang Selatan. Rerata suhu harian Kota Bogor adalah sekitar 250C dengan kelembaban udara sekitar 70%. Luas Kota Bogor adalah 11,850 ha terbagi dalam 6 wilayah kecamatan, 31 kelurahan, dan 37 desa. Jumlah Penduduk Kota Bogor pada tahun 2001 adalah berjumlah 760,329 jiwa dan meningkat menjadi 977,054 jiwa pada tahun 2010.

KependudukanPerkembangan penduduk Kota Bogor cenderung

meningkat dengan rerata pertambahan penduduk Kota Bogor pada 2001 hingga 2010 adalah sebesar 2.8 % per tahun. Penyebaran penduduk Kota Bogor cenderung agak merata ke seluruh wilayah Kota Bogor. Jumlah penduduk terbesar pada tahun 2004 terletak di Kecamatan Bogor Barat sebanyak 184,464 jiwa yang menempati wilayah seluas 32.85 ha, jumlah penduduk terendah terdapat di Kecamatan Bogor Timur sebesar 83,907 orang yang menempati wilayah seluas 10.15 ha.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Kota Bogor

Tahun 2001 - 2010

Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa)

2001 760329

2002 789423

2003 820707

2004 831571

2005 855085

2006 879138

2007 905132

2008 942204

2009 946204

2010 977054

Sumber : Bogor dalam Angka 2001 – 2010

Page 3: e-jurnal iqbal.docx

Vol. 1, 2012 POTENSI EMISI GRK 3

Transportasi dan Kebutuhan Bahan Bakar

Bahan bakar sebagai variabel utama dipengaruhi oleh beberapa variabel lain, salah satunya adalah jumlah kendaraan dari sektor transportasi sebagai konsumen terbesar bahan bakar minyak berupa bensin dan minyak diesel, hal ini didasarkan penelitian Dahlan (2007) bahwa jumlah kendaraan di Kota Bogor mempunyai

pengaruh nyata terhadap konsumsi bahan bakar minyak berupa premium dan minyak diesel. Klasifikasi kendaraan dibagi berdasarkan tiga klasifikasi, antara lain kendaraan pribadi, mobil penumpang umum (MPU), truk, bus, dan kendaraan bermotor roda dua.

Gambar 1. Grafik perkembangan konsumsi bensin dengan pertumbuhan kendaraan bermotor

Adityawati (2008) pada penelitiannya mengenai estimasi permintaan minyak tanah berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam penghematan BBM untuk mengkonversi minyak tanah dengan gas LPG menunjukkan bahwa minyak tanah dan gas LPG merupakan barang substitusi dan bersifat inelastis dimana harga tidak akan mempengaruhi jumlah permintaannya. Namun dikarenakan gas LPG dan minyak tanah merupakan barang substitusi, naiknya harga gas LPG akan mempengaruhi permintaan minyak tanah secara negatif, berlaku kebalikannya. Sedangkan naiknya harga minyak tanah akan mempengaruhi permintaan atas gas LPG secara negatif pula, berlaku kebalikannya. Variabel lain yang mempengaruhi permintaan minyak tanah dan gas LPG antara lain PDB, dan jumlah penduduk.

Berdasarkan gambar 1 diketahui bahwa peningkatan kebutuhan akan bensin sejalan dengan peningkatan pertumbuhan mobil pribadi. Peningkatan akan kebutuhan bensin terjadi pada tahun 2004, sejalan dengan pertumbuhan kendaraan bermotor dan mobil pribadi yang meningkat pada tahun 2005. Peningkatan kemudian terjadi kembali pada tahun 2008 dimana terjadi peningkatan jumlah mobil pribadi pada tahun 2007 yang menuntut penambahan distribusi bensin pada wilayah Kota Bogor. Pada Mobil Penumpang Umum (MPU) tidak terjadi peningkatan yang nyata dikarenakan ada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Kota Bogor dalam membatasi pertumbuhan MPU, namun demikian pertumbuhan MPU tetap merupakan salah satu kontributor dalam peningkatan kebutuhan akan bensin Kota Bogor.

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 20100

10000

20000

30000

40000

50000

Konsumsi Solar (KL) Truk (unit) Bus (unit)

Gambar 2. Grafik perkembangan konsumsi solar dengan pertumbuhan kendaraan bermotor

Berdasarkan grafik 2 diketahui bahwa peningkatan konsumsi solar sejalan dengan pertumbuhan jumlah truk dan bus di Kota Bogor. Konsumsi solar cenderung meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah bus dan truk di Kota Bogor. Pada grafik menunjukkan deklinasi konsumsi solar pada selang 2008 hingga 2010. Hal ini dapat disebabkan karena konsumsi solar oleh bus antar kota yang melakukan pengisian bahan bakar di luar SPBU di Kota Bogor sehingga peningkatan jumlah

konsumsi solar tidak signifikan dengan peningkatan jumlah bus yang ada di Kota Bogor.

Minyak tanah dan gas LPG merupakan barang kebutuhan pokok masyarakat dan saling mensubstitusikan satu sama lain. Pada grafik menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi minyak tanah dan gas LPG berkorelasi secara positif dengan peningkatan jumlah penduduk di Kota Bogor dimana peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan peningkatan pada dua sumber bahan bakar ini.

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 20100

50000

100000

150000

200000

250000

Motor (unit) MPU (unit) Mobil Pribadi (unit) Bensin (KL)

Page 4: e-jurnal iqbal.docx

4 T. BANTACUT ET. AL E-JAII

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 20100

200000

400000

600000

800000

1000000

1200000

Konsumsi LPG (m3) Konsumsi Minyak Tanah (KL) Jumlah Penduduk (jiwa)

Gambar 3. Grafik perkembangan konsumsi minyak tanah dan gas LPG dengan pertumbuhan penduduk Kota Bogor

Hal yang menarik adalah pada tahun 2007 dimana konsumsi minyak tanah turun secara bertahap diikuti peningkatan konsumsi gas LPG pada tahun yang sama. Hal ini disebabkan oleh program pemerintah dalam konversi minyak tanah ke LPG. Konversi dilakukan dengan penarikan subsidi pada bahan bakar minyak tanah sehingga harga bahan bakar minyak tanah meningkat diikuti kelangkaan pasokan minyak tanah dipasaran sehingga masyarakat beralih dari menggunakan minyak tanah ke bahan bakar LPG.

EmisiPerhitungan emisi dilakukan berdasarkan jumlah

bahan bakar yang dikonsumsi (bensin, minyak diesel, minyak tanah, gas LPG) dengan faktor emisinya. Besarnya emisi ditentukan dengan jumlah bahan bakar tersebut dikalikan masing-masing faktor emisinya.

Angka faktor emisi adalah jumlah polutan per satuan energi, massa, atau volume yang dihasilkan dari penggunaan masing-masing sumber energi tersebut. Sehingga dapat disimpulkan besarnya emisi salah satunya ditentukan oleh angka faktor emisi bahan bakar tersebut. Berdasarkan data angka faktor emisi yang diterbitkan IPCC (2006) minyak diesel memiliki angka faktor emisi tertinggi diikuti minyak tanah, bensin, dan gas LPG. Mengingat penggunaan terbesar bahan bakar adalah dari konsumsi bensin, bensin dapat dikatakan sebagai penyumbang emisi CO2 terbesar, di lain sisi, penggunaan gas LPG sebagai pengganti bahan bakar premium menjadi sangat prospektif mengingat angka faktor emisi yang lebih rendah dibanding bensin.

Karbondioksida pun dihasilkan oleh sampah melalui proses pembusukan atau penguraian sampah oleh bakteri. Hasil samping dari proses pembusukan tersebut adalah gas metana (CH4) yang merupakan gas yang lebih berbahaya dibandingkan dengan gas CO2

sebagai penyebab efek rumah kaca. Suprihatin (2006) dalam penelitiannya mengenai penanggulangan emisi metana pada proses landfill sampah perkotaan dengan proses pengomposan menyatakan bahwa dalam 1 ton sampah yang menumpuk di TPS akan menghasilkan 0.25 m3 metana, dimana massa jenis metana adalah 0.5447 g/L dan dengan nilai ekuivalensi gas metana dengan gas CO2 sebesar 24.5 t CH4/t CO2, maka 1 ton sampah dengan proses landfill akan menghasilkan 0.16 ton CO2.

Gambar 4. Aliran Penghitungan Emisi CO2

Sink Gas Co2 Kota BogorSink gas CO2 Kota Bogor adalah jumlah CO2 yang

diserap oleh beberapa tipe penutupan lahan bervegetasi yang ada di Kota Bogor setiap tahunnya. Jumlah CO2

yang terserap dapat dihitung melalui luas penutupan lahan berdasarkan tipe vegetasi (hutan kota, perkebunan, rumput, dan semak) dan daya sink gas CO2

Kota Bogor. Daya sink CO2 adalah jumlah CO2 yang diserap (ton) per luas penutupan lahan (ha) per satuan waktu (jam/tahun). Jumlah CO2 yang diserap adalah perkalian antara luas tipe penutupan lahan dikalikan dengan daya sink CO2 tipe penutupan lahan tersebut.

Gambar 5. Aliran Penghitungan Daya Sink CO2

Eksisting RTH Kota Bogor Suryadi et al (2008) menunjukkan telah terjadi

fenomena alih fungsi lahan di Kota Bogor pada tahun 1972, 1983, 1990, 2000, hingga tahun 2005. Data mengenai perubahan jenis landcover disajikan pada tabel 2. Pada tabel tersebut ditunjukkan bahwa ada pertumbuhan negatif pada jenis landcover berupa hutan, kebun campuran, lahan terbuka, serta sawah. Sedangkan terjadi pertumbuhan postif pada semak dan pemukiman. Pertumbuhan pada semak dimungkinkan bersifat sementara sebagai akibat proses alih fungsi lahan dari jenis landcover sebelumnya menuju jenis landcover lain, sehingga cenderung angkanya meningkat.

Page 5: e-jurnal iqbal.docx

Vol. 1, 2012 POTENSI EMISI GRK 5

Tabel 2. Data Perubahan Landcover Kota Bogor Tahun 2001 - 2005

Tahun Hutan Kebun

Campuran

Pemukiman Lahan

Terbuka

Semak Sawah

2001 448.72 4302.28 4574.07 457.34 790.75 933.68

2002 356.44 4266.55 4697.14 403.69 811.51 925.17

2003 264.16 4230.83 4820.21 350.03 832.26 916.65

2004 171.88 4195.10 4943.28 296.38 853.01 908.13

2005 187.15 4250.87 5068.25 258.02 866.28 902.05

Sumber : Suryadi et. al. (2008)

Temperature Humidity IndexTemperature Humidity Index (THI) merupakan

nilai yang merepresentasikan tingkat kenyamanan udara pada suatu kota. THI dihitung berdasarkan data suhu dan kelembaban udara.Faktor yang menyebabkan peningkatan suhu udara perkotaan adalah fenomena Urban Heat Island. Pada fenomena tersebut “pulau-pulau panas” tercipta akibat konsentrasi penduduk pada wilayah tertentu yang bertambah ditambah dengan adanya industri dan perdagangan serta transportasi kota yang padat. Grey dan Deneke (1978) menyatakan bahwa sinar matahari yang sampai ke permukaan bumi mengalami proses refleksi, transmisi, dan absorbs. Pulau panas pada umumnya terdapat pada bagian wilayah kota yang tidak bervegetasi, karena pada wilayah kota tidak bervegetasi proses tersebut saling bersinergi dalam meningkatkan suhu udara. Sehingga variabel yang berpengaruh pada peningkatan suhu udara dipengaruhi beberapa variabel antara lain jumlah emisi CO2, luas lahan terbangun dan luas RTH.

Tabel 3. Data Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Temperature Humidity Index

Kota Bogor 2000 - 2005Tahun Suhu

Udara (0C)aKelembaban Udara (%)a

THI (0C)b

2000 25.6 0.84 20.52

2001 25.5 0.85 20.44

2002 25.7 0.84 20.60

2003 25.8 0.83 20.68

2005 25.8 0.84 20.68

2005 25.8 0.87 20.68

Sumber : a Stasiun BMG Kota Bogor (2006)b Data hasil olahan berdasarkan Nieuwolt(1975)

METODOLOGI PENELITIAN

Bahan dan AlatBahan yang digunakan pada penelitian ini adalah

data sekunder berupa Peta administrasi Kota Bogor, faktor emisi minyak tanah, premium, solar, dan gas LPG diperoleh dari studi literatur, konsumsi minyak tanah, bensin, dan solar untuk Kota Bogor diperoleh dari BPH Migas. Jumlah penduduk, konsumsi gas LPG, serta jumlah kendaraan di Kota Bogor diperoleh dari

Badan Pusat Statistik (BPS). Data mengenai landcover Kota Bogor didapatkan dari studi literatur.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat computer beserta piranti lunaknya untuk mengolah data. Piranti lunak yang digunakan untuk mengolah data yang didapatkan adalah Powersim Studio 2005, Minitab 14, serta Microsoft Excel.

Pendugaan Nilai Serapan Karbon Dioksida Kota Bogor

Analisis serapan karbon dioksida berguna untuk mendapatkan informasi mengenai kemampuan ruang terbuka hijau menyerap karbon dioksida untuk masing-masing kecamatan di Kota Bogor. Pendekatan yang dilakukan untuk penghitungan serapan karbon dioksida dilakukan dengan cara menentukan luas penutupan lahan daerah-daerah yang bervegetasi. Informasi penutupan lahan diperoleh dari data sekunder. Sebaran dan luas ruang terbuka hijau yang diperoleh dihitung nilainya berdasarkan kemampuan vegetasi menyerap karbon dioksida. Nilai serapan karbon dioksida untuk masing-masing tipe vegetasi disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Serapan Karbon Dioksida oleh Vegetasi

Tipe VegetasiSerapan

C (ton/ha) CO2 (ton/ha)

Hutan 15.9 58.2576

Perkebunan 14.3 52.3952

Semak 0.9 3.2976

Rumput 0.9 3.2976

Sumber : Iverson, 1993

Sehingga, nilai serapan CO2 oleh RTH berdasarkan tipe vegetasi dapat dijelaskan dengan formulasi :

Total Serapan Emisi CO2 =

∑ Luasan lahana (ha ) X SerapanCO2(tonha

)

Keterangan :Total Serapan Emisi CO2 : jumlah emisi CO2 yang

dapat diserap oleh vegetasi kota

Luasan lahan : luasan lahan dengan vegetasi yang mampu menyerap CO2

Page 6: e-jurnal iqbal.docx

6 T. BANTACUT ET. AL E-JAII

Serapan CO2 : nilai serapan CO2

berdasarkan tipe vegetasi

Pendugaan Nilai Emisi Karbon Dioksida Kota Bogor

Metode yang digunakan untuk menghitung emisi CO2 dari penggunaan bahan bakar merujuk pada IPCC (2006) pada sektor energi :

EmisiCO2 = Konsumsi Bahan Bakar x Faktor Emisi

Keterangan :Emisi : emisi yang dihasilkan gas

rumah kaca berdasarkan tipe bahan bakar (kg)

Konsumsi bahan bakar : jumlah bahan bakar yang dikonsumsi (TJ)

Faktor Emisi : standar faktor emisi berdasarkan tipe bahan bakar (kg CO2/TJ)

Temperature Humidity IndexIndeks kenyamanan suatu lokasi didapatkan dengan

menghitung Temperature Humidity Index dari lokasi tersebut. Temperature Humidity Index didapatkan dari data suhu udara dan kelembaban nisbi lokasi tersebut. Menurut Nieuwolt (1975), persamaan THI adalah sebagai berikut :

THI = 0.8 Ta + (RHx Ta)

500

Keterangan :Ta : suhu udara (0C)RH : kelembaban nisbi udara (%)

Rushayati (2012) menggunakan persamaan ini untuk penelitiannya di Kabupaten Bandung, dan menyimpulkan bahwa pada THI 21 – 24 0C, 100 % populasi manusia menyatakan nyaman. Sedangkan pada THI sebesar 25 – 270C, 50% populasi manusia menyatakan nyaman dan pada THI > 270C, 100 % populasi manusia menyatakan tidak nyaman. Oleh sebab itu, simulasi pada model akan dihentikan apabila nilai THI sudah melebihi 270C.

PERANCANGAN MODEL

Causal Loops DiagramCLD disebut juga dengan diagram hubugan sebab

akibat dimana pada diagram ini digambarkan hubungan antara satu unsur dengan unsur lainnya dalam bentuk hubungan satu arah maupun dua arah. Pada model perkiraan emisi terjadi pola hubungan satu arah antara unsur yang membentuk model CLD. Unsur pembentuk CLD dimulai dari kebutuhan akan sarana transportasi yang tentunya akan menyebabkan terjadinya kebutuhan akan bahan bakar yang berimplikasi pada terciptanya emisi.

Peningkatan konsumsi bahan bakar berupa bensin dan solar dipengaruhi oleh peningkatan permintaan akan bahan bakar tersebut yang dipengaruhi oleh peningkatan jumlah kendaraan yang menggunakan bahan bakar tersebut di Kota Bogor. Peningkatan akan konsumsi bensin dan solar tersebut tentu akan memiliki pengaruh terhadap terciptanya emisi CO2di Kota Bogor

Gambar 6. Causal Loops Diagram Perkiraan Emisi Kota Bogor

Stock and Flow DiagramModel SFD merupakan hasil penerjemahan dari

model CLD dengan perangkat lunak Powersim.

Hubungan antar unsur yang terdapat pada model SFD akan dirubah menjadi operasi matematik sederhana

Page 7: e-jurnal iqbal.docx

Vol. 1, 2012 POTENSI EMISI GRK 7

yang berbentuk hubungan perkalian maupun pertambahan.

Gambar 7. Stock Flow Diagram Model Pendugaan Nilai THI Kota Bogor

PENGUJIAN DAN SIMULASI SKENARIO

VerifikasiVerifikasi bertujuan untuk pengecekan konsistensi

baik hubungan antar variabel (link), varibel itu sendiri, serta melakukan simulasi untuk mengecek apakah model sudah mengikuti perilaku system pada dunia nyata. Hubungan antar variabel akan ditandai dengan tanda ‘#’ pada link. Sedangkan konsistensi model pada variabel akan ditunjukkan dengan tanda ‘?’ pada variabel. Pada model pendugaan emisi CO2 dan THI Kota Bogor sudah tidak ditemukan ketidakkonsistenan pada model. Selanjutnya model diujikan dengan dilakukan simulasi dan dilakukan pengecekan apakah sudah mengikuti perilaku dunia nyata atau belum. Model pendugaan emisi CO2 dan THI Kota Bogor menunjukkan pola perilaku linier dengan perilaku produksi emisi yang eksponensial. Hal ini menunjukkan bahwa model tersebut sudah memenuhi prosedur tahap verifikasi mengacu pada Schlesinger et. al (1979) dalam Rohmatulloh (2007).

ValidasiHasil Validasi secara teoritis menunjukkan bahwa

model yang dirancang sudah baik dan mewakili system dunia nyata. Secara teoritis, variabel yang dirancang sudah mengikuti hasil kajian dari penelitian sebelumnya dan diperkuat dengan hasil analisis konsistensi unit pada software Powersim. Konsistensi hasil keluaran dilakukan dengan menghitung nilai average percent error (APE).

Hasil validasi THI menunjukkan bahwa nilai MAPE yang diperoleh sebesar 0.5 %. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat galat simulasi berada dalam selang galat simulasi yang diperkenankan agar data hasil simulasi dapat dipertanggungjawabkan dikarenakan dianggap mewakili sistem yang terjadi di dunia nyata. Muhammadi et.al (2001) menggunakan galat di bawah 10% sebagai standar model mewakili dunia nyata. Hasil di atas menunjukkan bahwa model sudah diasumsikan mewakili sistem dunia nyata serta konsisten dan valid secara statistik berdasarkan perilaku yang dihadapinya.

Page 8: e-jurnal iqbal.docx

8 T. BANTACUT ET. AL E-JAII

Tabel 5. Hasil Validasi Temperature Humidity Index

Tahun

Temperature Humidity Index APE (%)

Simulasi Aktual

2001 24.73 24.7 0.12131

2002 24.87 24.89 0.080418

2003 24.92 25.06 0.561798

2004 24.97 25.2 0.921105

2005 25.13 25.33 0.795862

2006 25.6 25.45 0.585938

2007 25.42 25.53 0.43273

2008 25.61 25.61 0

2009 25.82 25.68 0.542215

2010 26.05 25.76 1.113244

MAPE 0.515462

Uji Sensitivitas ModelAnalisis sensitivitas dibutuhkan untuk mengetahui

sejauh mana model dapat digunakan apabila terjadi perubahan pada asumsi. Berdasarkan analisis sensitivitas didapatkan hasil bahwa terjadinya perubahan variabel-variabel pada model mengakibatkan terjadinya pula perubahan pada kesimpulan akhir model. Analisis sensitivitas dilakukan dengan mengubah nilai laju peningkatan jumlah kendaraan bermotor, laju pertambahan penduduk, dan laju pertumbuhan RTH yang mengakibatkan perubahan pada nilai THI. Hasil uji sensitivitas pada masing-masing variabel tersebut menunjukkan perubahan kinerja model apabila diberikan suatu stimulus. Hal ini menunjukkan bahwa model yang dibangun sensitif (Muhammadi et. al. 2001).

Hasil uji sensitivitas menunjukkan bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor, peningkatan luas lahan terbangun, dan penurunan RTH menyebabkan peningkatan suhu udara yang berimplikasi pada peningkatan nilai THI. Hal ini memperlihatkan kemiripan perilaku dan struktur model secara teoritis dan menunjukkan bahwa model dapat dikatakan baik.

Analisis Perilaku DasarAnalisis skenario perilaku dasar menjelaskan

kondisi riil saat ini di Kota Bogor dengan nilai masing-masing variabel pada model berdasarkan apa yang terjadi saat ini tanpa ada perubahan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada tahun 2031, nilai THI akan melewati nilai yang dikategorikan nyaman yaitu > 270C dimana menurut penelitian Rushayati (2012) 100 % populasi penduduk di Kota Bogor merasakan tidak nyaman dengan suhu udara dan kelembaban udara Kota

Bogor dengan nilai THI > 270C setelah sebelumnya pada tahun 2001 nilai THI adalah sebesar 24.73 0C dimana termasuk kategori sedang dengan 50% populasi masih merasa nyaman dengan iklim Kota Bogor.

J an 01, 2001 Jan 01, 2011 Jan 01, 2021 Jan 01, 2031 Jan 01, 2041

25

26

27

28

C

THI

Non-commercial use only!

Gambar 8. Model Perilaku Dasar Nilai THI Kota Bogor 2001 – 2050

Pada pertumbuhan lahan terbangun, apabila tidak dilakukan penanganan , maka pada tahun 2050 jumlah luas lahan terbangun akan berada pada nilai 7,401.05 ha, sedangkan pada luas hutan kota akan bertahan pada nilai 183 ha atau tidak mengalami konversi dikarenakan daerah tersebut merupakan kawasan konservasi yang dilindungi, yaitu kawasan Kebun Raya Bogor dan Hutan Penelitian Cimanggu. Luas persawahan akan tersisa 630.86 ha, sedangkan luas semak-semak dan rumput akan tersisa sebesar 569.75 ha. Kebun campuran memiliki laju penurunan paling tinggi dan akan tersisa seluas 3014.30 ha.

Skenario ModelSalah satu cara untuk mewujudkan Kota Bogor

sebagai kota hijau yang dapat menopang kegiatan antropogenik penduduknya yang menyebabkan Urban Heat Island adalah dengan menekan laju pertambahan penduduk, laju peningkatan kendaraan bermotor, serta laju peningkatan lahan terbangun dengan meningkatan hutan kota sebagai penopang iklim kota.

Skenario hijau terdiri atas penanganan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan THI Kota Bogor akibat fenomena Urban Heat Island. Faktor-faktor yang mempengaruhi diubah sesuai kemungkinan yang bias dilakukan secara agresif. Beberapa perubahan yang dilakukan diantara faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan iklim Kota Bogor antara lain laju penurunan luas sawah, laju pertumbuhan sepeda motor, laju pertumbuhan mobil pribadi, laju pertumbuhan penduduk, serta laju penurunan luas kebun campuran.

Gambar 9. Model Skenario Hijau Nilai THI Kota Bogor 2001 – 2060

Pada skenario hijau, laju pertumbuhan sawah akan dikurangi dari 0.8 %/tahun menjadi 0.4 %/tahun. Laju pertumbuhan sepeda motor dan mobil pribadi yang menjadi sumber emisi antropogenik terbesar pada alat transportasi di Kota Bogor akan dikurangi masing-masing menjadi 15 %/tahun dari 23.5 %/tahun untuk

J an 01, 2001 Jan 01, 2011 Jan 01, 2021 Jan 01, 2031 Jan 01, 2041 Jan 01, 2051 Jan 01, 2061

25

26

27

C

THI

Non-commercial use only!

Page 9: e-jurnal iqbal.docx

J an 01, 2001 Jan 01, 2011 Jan 01, 2021 Jan 01, 2031 Jan 01, 2041 Jan 01, 2051 Jan 01, 2061

25

26

27

28

29

30

C

THI

Non-commercial use only!

Vol. 1, 2012 POTENSI EMISI GRK 9

sepeda motor dan 10 %/tahun dari 20.8 %/tahun untuk mobil pribadi. Laju pertumbuhan penduduk dikurangi menjadi 2 %/tahun dari awalnya sebesar 2.8 %/tahun, ini disebabkan penduduk merupakan salah satu sumber emisi utama dimana emisi yang dihasilkan adalah hasil kegiatan rumah tangga, baik penggunaan bahan bakar berupa LPG dan minyak tanah, serta proses penanganan MSW (Municipal Solid Waste).

Hasil simulasi pada skenario hijau menunjukkan bahwa dengan skenario hijau, peningkatan THI dapat ditanggulangi, hal ini ditunjukkan karena skenario hijau baru akan menciptakan kondisi THI > 270C pada tahun 2048 setelah sebelumnya pada perilaku dasar model THI > 270C diprediksi terjadi pada tahun 2031.

Skenario moderat menggambarkan alternatif kebijakan yang agak longgar dalam hal penanganan iklim perkotaan akibat Urban Heat Island. Skenario moderat digambarkan dengan perubahan laju penurunan luas sawah menjadi sebesar 0.6 %/tahun, laju pertumbuhan kebun campuran sebesar 0.6 %/tahun, laju pertumbuhan sepeda motor menjadi 20 %/tahun, laju pertumbuhan mobil pribadi sebesar 15 %/tahun dan laju penghijauan sebesar 50 ha/tahun. Hasil simulasi menunjukkan bahwa suhu dan kelembaban udara Kota Bogor akan tidak nyaman lagi (THI > 27) pada tahun 2039, lebih lambat dari perilaku dasar yang terjadi pada tahun 2031.

Gambar 10. Model Skenario Moderat Nilai THI Kota Bogor 2001 - 2060

Skenario pesimis merupakan skenario pilihan kebihakan dimana tidak ada pengelolaan lingkungan Kota Bogor sama sekali sehingga beberapa variabel penentu kesimpulan model terus meningkat. Laju penurunan luas sawah diasumsikan menjadi 1 %/tahun, laju peningkatan jumlah sepeda motor meningkat menjadi 27 %/tahun, laju mobil pribadi menjadi 26 %/tahun, laju peningkatan jumlah penduduk menjadi 3 %/tahun, laju penurunan kebun campuran sebesar 1 %/tahun, dan tidak ada kegiatan penghijauan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa scenario pesimis akan mempercepat peninkatan suhu dan kelembaban udara kota bogor sehingga pada tahun 2028 THI Kota Bogor lebih besar dari 270C.

Gambar 11. Model Skenario Pesimis Nilai THI Kota Bogor 2001 – 2060

Rekomendasi Penyusunan KebijakanBerdasarkan hasil simulasi beberapa skenario

model, didapatkan hasil bahwa skenario hijau merupakan skenario terbaik untuk menangani masalah iklim Kota Bogor. Skenario hijau telah memasukkan variabel-variabel berbasis green growth yang merupakan konsep dari WWF dan PWC (2011). Pembangunan green growth dilakukan dengan mengusahakan keseimbangan antara ekonomi, sosial, budaya, serta lingkungan hidup. Konsep pembangunan green growth mempertimbangkan lima pilar penting sebagai berikut : pertumbuhan ekonomi, perbaikan kondisi sosial, konservasi keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan, kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global, serta penurunan emisi gas rumah kaca.

Berdasarkan hasil skenario pun diketahui bahwa berdasarkan RTRW Kota Bogor tahun 2003 bahwa luas pemukiman Kota Bogor adalah 8300 ha tidak dapat menopang perubahan iklim Kota Bogor sebagai akibat dari kegiatan antropogenik di perkotaan.

Penanggulangan degradasi kualitas udara maupun iklim kota dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya melakukan inventori dan mitigasi. Inventori dilakukan untuk mengetahui sumber-sumber emisi gas rumah kaca beserta besar emisi yang dihasilkan. Mitigasi dilakukan untuk memperoleh level emisi tertentu dengan mengganti teknologi yang sudah ada dengan teknologi yang lebih baru. Teknologi mitigasi gas rumah kaca dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu untuk sisi penawaran dan untuk sisi permintaan. Sisi penawaran dilakukan dengan menggunakan system konversi yang lebih efisien serta mengubah bahan bakar dengan bahan bakar yang menghasilkan emisi yang lebih rendah dengan meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Sisi permintaan dilakukan dengan menggunakan demand side management, dan menggunakan peralatan yang lebih efisien (Sugiyono, 2006).

Sugiyono (2006) dalam penelitiannya mengenai penanggulangan pemanasan global di sektor penggunaan energi menguraikan bahwa ada beberapa opsi mitigasi yang dapat dilakukan pada berbagai sektor penggunaan energi. Beberapa opsi yang bisa dilakukan untuk mitigasi degradasi iklim Kota Bogor antara lain pada sektor transportasi dengan memberlakukan konversi bahan bakar dengan bahan bakar nabati seperti biodiesel dan bioethanol. Serta memberlakukan intermodal shift atau suatu bentuk mengganti sistem transportasi dengan sistem transportasi massal dengan menggunakan lebih dari satu moda transportasi untuk mencapai suatu tujuan. Sugiyono (2011) pada penelitiannya mengenai pengembangan transportasi rendah karbon mendapatkan kesimpulan bahwa dengan meningkatkan pertumbuhan moda transportasi massal di Kota Jakarta untuk setiap bus yang menggantikan 4 unit mobil dan pertumbuhan bus ditingkatkan dari 0.4 % per tahun menjadi 5% per tahun dapat mengurangi emisi CO2 sampai 33% pada 20 tahun mendatang.

Menurut Dahlan (2004) setelah diketahui perlu dilakukan penambahan luasan hutan kota, untuk mendapatkan hutan kota yang baik dan benar beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan antara lain tanaman

J an 01, 2001 Jan 01, 2011 Jan 01, 2021 Jan 01, 2031 Jan 01, 2041 Jan 01, 2051 Jan 01, 2061

25

26

27

28

C

THI

Non-commercial use only!

Page 10: e-jurnal iqbal.docx

10T. BANTACUT ET. AL E-JAII

yang dipilih harus cocok dengan keadaan iklim dan tanah setempat . Kota Bogor merupakan kota dengan curah hujan tinggi yang mempunyai kondisi tanah yang

subur, sehingga tidak memiliki masalah berarti dalam memilih jenis tanaman. Tanaman yang memiliki ketahanan yang tinggi terhadap pencemar ditanam pada lokasi yang sangat dekat dengan sumber pencemar.

KESIMPULAN DAN SARAN

KesimpulanKegiatan antropogenik dan alih fungsi lahan

berperan penting dalam terciptanya iklim Kota Bogor. Hal ini ditunjukkan pada hasil simulasi perilaku dasar bahwa ada korelasi yang kuat baik secara statistika dan didukung oleh penelitian sebelumnya bahwa jumlah kendaraan bermotor, yang berimplikasi pada konsumsi bahan bakar fosil yang menyebabkan emisi gas rumah kaca yang merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam pemanasan iklim Kota Bogor. Selain jumlah kendaraan bermotor, alih fungsi lahan hijau ke lahan terbangun berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan Kota Bogor. Hal ini ditunjukkan dengan semakin tingginya nilai THI Kota Bogor seiring dengan meningkatnya konversi lahan hijau.

Faktor lain yang mempengaruhi iklim Kota Bogor adalah jumlah penduduk. Hal ini adalah akibat dari kegiatan rumah tangga yang mengkonsumsi sumber bahan bakar fosil untuk kegiatan rumah tangga selain memproduksi sampah yang juga menyebabkan emisi gas rumah kaca pada proses penanganannya.

Simulasi perilaku dasar menunjukkan bahwa Kota Bogor masih memiliki suhu dan kelembaban udara yang ideal hingga tahun 2031. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Temperature Humidity Index < 270C hingga tahun 2031. Upaya untuk menanggulangi degradasi mutu lingkungan Kota Bogor dalam hal ini fenomena Urban Heat Island adalah dengan menggunakan skenario hijau dalam kebijakan pengelolaan lingkungan hidup perkotaan Kota Bogor. Skenario hijau adalah skenario terbaik dikarenakan dapat menambah daya dukung lingkungan Kota Bogor dalam menanggulangi emisi antropogenik dari aktivitas penduduk Kota Bogor.

SaranPerlu analisis lebih lanjut dan lebih mendalam

mengenai perencanaan tata ruang dan strategi pengelolaan lingkungan hidup Kota Bogor dengan skenario hijau ini. Analisis lebih lanjut meliputi konversi sumber energi fosil ke sumber energi terbarukan lain dengan bantuan software MARKAL dan analisis kebutuhan sebaran RTH di Kota Bogor. Selanjutnya dalam merancang skenario hijau untuk Kota Bogor perlu menyertakan pengaruh meteorologis dan topografi Kota Bogor sehingga hasil simulasi akan lebih mendekati sistem dunia nyata sehingga kebijakan yang dirancang untuk mendapatkan kesimpulan sistem terbaik lebih efisien dan efektif.

DAFTAR PUSTAKADahlan Endes N. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City)

Bernuansa Hutan Kota.Bogor : IPB Press.______________. 2007. Analisis Kebutuhan Luasan Hutan Kota

sebagai Sink Gas CO2 Antropogenik dari Bahan Bakar Minyak dan Gas di Kota Bogor dengan Pendekatan Sistem Dinamik [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. InstitutPertanian Bogor.

Fandeli C. 2004. Perhutanan Kota. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Jogjakarta.

Grey G.W., Frederick Deneke J. 1978. Urban Forestry.Wiley. New York.

Intergovernmetnal Panel on Climate Change, 2006.2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. IGES. Jepang.

Iverson L.R, S. Brown, A. Grainger, A. Prasad, and D. Liu. 1993. Carbonsequestration in tropical Asia: an assessment of technically suitable forestlands using geographic information systems analysis. Climate Research 3 : 23-38.

Muhammadi Erman Aminullah, Budhi Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis :Lingkungan Hidup, Sosial Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta.

Niewolt S. 2005. Tropical Climatology, an Introduction to the Climate Low Latitude. J. Willey : New York.

Rohmatulloh. 2007. Pengembangan Penilaian Kinerja Pabrik Gula dengan Pendekatan Sistem Dinamik (Studi Kasus PG Subang Jawa Barat) [Tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Soedomo M. 1999. Pencemaran Udara. Penerbit ITB. Bandung.Sugiyono A. 2006. Penanggulangan Pemanasan Global di Sektro

Pengguna Energi. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca 7(2) : 15 – 19.

Suprihatin, Indrasti NS, Romli M. 2003. Potensi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Mlelaui Pengomposan Sampah di Wilayah Jabotabek. Environmental Research Center (PPLH-IPB) Working Paper 3.

Suryadi Yadi.dkk. 2008. Kajian Pengendalian Pemanfaatan Ruang Menuju Pembangunan Kota Bogor yang Berkelanjutan. Forum Pascasarjana 31(4) :227-238.

Tursilowati, Laras. 2002. Prosiding Nasional Pemanasan Global dan Perubahan Global :Fakta, Mitigasi, Adaptasi. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfe rdan Iklim Lapan. Bandung.

World Wide Fund for Nature, PricewaterhouseCoopers (PWC). 2001. Roadmap for a Green Economy in the Heart of Borneo :A Scooping Study. PricewaterhouseCoopers LLP. Jakarta